Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 3
DUA SEJOLI






“Pertemuan dua kepribadian itu ibarat kontak dua zat kimia.
Jika ada reaksi, keduanya berubah.”
- Carl Jung






“Lalu bagaimana sekarang?”

Pertanyaan itu membuat Pak Zein melemaskan badannya, tubuh yang semula membesar dengan otot-otot mengencang, kini kembali normal seperti semula. Napas yang tadinya memburu dan jantung yang sebelumnya berdetak dengan kencang, kini dihempaskan. Tubuhnya menjadi lebih rileks dan santai. Pimpinan JXG itu lantas tersenyum sembari mengelap keringat dengan kain handuk kecil berwarna putih.

Masih dengan bertelanjang dada, sang pimpinan JXG yang penampakan luarnya terkesan langsing namun ternyata masih sangat berotot itu duduk di kursi di samping seorang pria yang baru saja mengajukan pertanyaan. Ia mengenakan kembali kaus hitam yang tadinya sempat ia lepas.

Mereka berdua sedang duduk di sebuah teras indoor sembari mengamati jalan lingkar selatan yang menuju ke arah bandara baru di tingkat paling atas sebuah rumah mewah. DI belakang mereka terdapat gym dengan peralatan lengkap yang baru saja digunakan oleh keduanya, sementara di samping terdapat satu kolam renang endless dengan arus yang bisa diatur.

“Bagaimana apanya, kok njenengan malah jadi membuat saya deg-degan ini.” Seloroh Pak Zein menjawab pertanyaan yang sebelumnya diajukan oleh sang tamu. Ia menuangkan jus jeruk segar ke dalam dua gelas kosong yang ada di atas meja di samping mereka. “Monggo diunjuk lho. Silakan diminum, jangan sungkan-sungkan.”

“Ha nggih.” Orang itu pun turut mengambil gelas yang sudah diisi oleh Pak Zein dan meminumnya. “Sueger ini, Mas. Apalagi sembari melihat pemandangan yang seperti ini. Biasanya wilayah selatan itu panas, nggih. Tapi kalau dari sini kok semua terlihat adem, ayem, tentrem.”

“Makanya njenengan jangan terlalu sering main ke utara. Di selatan pun banyak yang belum dijelajahi. Njenengan kan tinggal di kawasan selatan, tapi kok lebih seneng main ke utara. Sudah lihat pantai terbaru? Pantai Krokol di Sobogiri? Kawasan yang sebelumnya tertutup di sana sekarang sudah dibuka untuk umum. Pantainya putih resik, Pak. Apik.”

“Wah, mantep itu, Mas.”

“Bener, Pak. Saestu, sungguh. Kapan-kapan kita main-main kesana.” Pak Zein tersenyum, “Tapi kalau hari ini, kedatangan njenengan sepertinya justru membawa angin yang cukup kencang yang mambu-mambu udan. Mendung kelihatan di sana itu, kayaknya kawasan selatan bakal diguyur hujan deras.”

“Baguslah, bikin seger.”

“Setuju, Pak. Bikin sawah tambah ijo, bikin jalanan jadi resik kembali.” Pak Zein meletakkan gelasnya, “jadi dengan tidak mengesampingkan basa-basi… tujuan njenengan selain ngajakin saya nge-gym apa nih, Pak?”

“Lho, lha ini nih, menuduh ini. Apa ya muka saya sedemikian kelihatan bagongnya sampai-sampai njenengan mengira kalau saya datang ke sini ada maksud tersembunyi? Apa ya tidak mungkin saya datang hanya karena ingin melanjutkan persahabatan kita, minum jus, ngobrol-ngobrol santai sembari nge-gym di ruang olahraga yang menurut saya lebih lengkap peralatannya dari semua gym yang ada di kota ini.”

Pak Zein terkekeh, “Sudah pasti kalau sekedar bertegur sapa itu biasa. Tapi kalau njenengan sampai turun gunung itu tidak mungkin kalau tidak ada maksud tertentu. Terakhir njenengan kemari itu sudah beberapa bulan yang lalu.”

Orang itu tertawa, ia mengeluarkan satu buku dari tas yang tadinya ia sandarkan di samping kursi. Ia menyodorkannya pada Pak Zein. Sebuah buku yang terlihat sangat tua dan rapuh, namun ternyata terjalin kuat dan isinya masih dapat terbaca dengan baik. “Titipan dari Ngarso Dalem. Beliau tahu njenengan menyukai belajar ilmu kanuragan. Ini salah satu yang diwariskan secara turun temurun. Beliau menitipkannya pada njenengan untuk dipelajari.”

Pak Zein menatap kitab itu dan tersenyum lebar, “Tentu saja saya tidak berani menolak kalau Ngarso Dalem sudah berkehendak. Tapi ini benar-benar luar biasa, ini ilmu kanuragan yang sangat langka. Tidak pernah muncul di dunia sejak ratusan tahun silam. Ucapkan salam dan terima kasih saya untuk Ngarso Dalem. Semoga selalu diberikan kesehatan dan kesejahteraan.”

“Akan saya sampaikan.”

“Kira-kira beliau saged datang tidak ya untuk acara saya? Ngunduh mantu-nya si Ahmad? Acara sendiri minggu depan ini.”

“Akan saya tanyakan. Tapi jangan berharap banyak karena beliau sedang disibukkan oleh masalah lain yang cukup penting akhir-akhir ini. Kalaupun saya yang datang untuk mewakili apakah njenengan kerso? Bersedia?”

“Dengan senang hati.” Pak Zein membuka-buka kitab yang baru saja diberikan kepadanya dengan wajah riang. “Ini akan masuk ke perpustakaan ilmu kanuragan saya dengan menempati posisi yang cukup elit. Ini bukan ilmu kanuragan main-main, saya benar-benar berterimakasih terhadap titipan yang sangat berarti ini.”

“Setuju. Itu bukan ilmu kanuragan yang main-main dan rasa-rasanya hanya punggawa sekelas Pak Zein yang sanggup menelaahnya. Itu pula sebabnya Ngarso Dalem menitipkannya pada njenengan karena tahu njenengan bisa dipercaya untuk mempelajarinya.”

“Sungguh sangat bangga mendapatkan kepercayaan dari Ngarso Dalem. Apakah mungkin ada yang beliau inginkan dari saya?”

Sang lawan bicara tertawa. “Yo ndak ada yang seperti itu. Beliau kalau memberi itu selalu ikhlas, tanpa minta timbal balik. Lagipula beliau sudah punya semuanya. Tanah dari Pantai Selatan sampai ke pelataran Gunung Menjulang itu yang kagungan beliau, kepunyaan beliau. Tentu saja beliau tidak berkehendak meminta apa-apa lagi dari njenengan, Mas.”

“Seandainya saja ada?” Pak Zein mencoba memancing.

Sang lawan bicara tersenyum, “Yah katakanlah kalau memang ada, kemungkinan besar Ngarso Dalem ingin menanyakan mengenai rencana njenengan tentang… katakanlah tata kota dalam kutip. Pihak keraton mengerti posisi njenengan, tapi juga tidak bisa membiarkan begitu saja terjadi hal-hal yang terlalu merugikan. Dengan kata lain, Ngarso Dalem mengijinkan pembersihan tapi melarang segala sesuatu yang berlebihan. Karena yang berlebihan itu pasti tidak baik dan yang tidak baik itu sudah sewajibnya dipangkas. Setuju bukan? Jadi sebenarnya… kami hanya ingin memastikan apa rencana njenengan.”

Pak Zein langsung paham apa yang dimaksud, “Oh ya? Saya kok jadi bingung. Bukankah hal-hal semacam ini tidak bisa kita kendalikan? Bagaimana kalau misalnya ada daun-daun yang berjatuhan dan dahan yang patah di pelataran? Apakah itu akan dihitung sebagai hal yang aman atau berlebihan? Apakah beliau tidak takut seandainya terjadi kekacauan?”

Senyum orang di samping Pak Zein semakin lebar setelah kembali meminum jus jeruknya. “Dari kekacauan, akan timbul keteraturan. From chaos comes order. Bukan karena kita ingin terjadi kekacauan, tapi karena kita tahu akan ada keteraturan yang muncul sebagai dampaknya. Ketika kita membenahi rumah atau lemari, kita harus terlebih dulu menatanya secara acak bahkan terkadang kacau sebelum akhirnya bisa diatur sesuai yang kita inginkan.”

Pak Zein ikut tersenyum, “Nietzche.”

Ngarso Dalem tidak ingin ikut campur terlalu dalam terhadap upaya-upaya perebutan wilayah yang kalian-kalian lakukan kecuali jika dampaknya sudah sangat keterlaluan bagi masyarakat, kalau ada seleksi alam, biarlah itu yang terjadi. Beliau hanya ingin tahu apa yang sedang njenengan rencanakan setelah ini. Karena beliau ingin bersiap-siap dengan angin sepoi yang bisa berubah menjadi badai dalam waktu dekat, terutama karena beliau sudah menerima tanda-tanda.”

Pak Zein tertawa kecil, “Ngarso Dalem memang punya kemampuan linuwih, sanggup weruh sakdurunge winarah, mampu melihat sebelum terjadi. Kalau memang itu yang ingin diketahui oleh beliau, sepertinya pembicaraan kita akan jadi cukup panjang.”

“Saya punya banyak waktu. Pasti akan jadi cerita yang gayeng.”

Pak Zein tersenyum lebar sembari menatap sang pria yang punya aura ningrat itu. “Kira-kira apakah anda doyan iga bakar?”

“Tentu saja.”

“Cocok.”





.::..::..::..::.





“Adooooooh! Aduuuuh! Ugh, bisa pelan-pelan tidak? Sakit semua ini badan.”

Nuke tersenyum saat melihat Rao menggerutu, mengaduh, dan mengeluh. Tidak sering dia seperti itu, biasanya padahal hanya diam saja walau terkena hujan badai dan amukan meteor. Sejak ada Nuke, Rao memang jadi sedikit berbeda – kalau tidak ingin disebut manja. Wanita memang merubah segalanya. Bahkan seekor hyena pun bisa disulap menjadi kelinci.

“Biasa aja kali, Mas. Ini kan cuma kerokan biasa. Masa iya pimpinan preman takut dikerokin. Ga banget.” Nuke melanjutkan niatnya menggunakan koin untuk mengerok punggung sang Hyena Gila, sebuah upaya yang akhirnya membentuk ruas-ruas berwarna merah menyala di sisi kiri dan kanan punggung Rao. “Merah banget, Mas. Parah masuk anginnya. Sejak pertarungan terakhir tempo hari, sepertinya Mas belum bisa pulih sempurna ya.”

Hrmph. Demi siapa coba.”

Nuke tertawa, ia mengoleskan minyak ke punggung Rao sekali lagi. “Iya… iya… diulang-ulang aja terus, Mas. Kalau begitu kan aku jadi semakin merasa bersalah. Seakan-akan gara-gara aku Mas terluka parah, terjatuh, dan tak bisa bangkit lagi.”

“Ledek aja terus.”

Nuke tersenyum. Sejak bertemu kembali dengan Rao, pertemuan dan percakapan mereka jadi lebih kasual dan informal, seakan-akan ada tembok yang sekarang sudah runtuh dan bisa ditembus. Dia bersyukur mendapatkan bantuan dari Don Bravo tempo hari, karena berkat dia Nuke berhasil selamat dan lolos dari maut. Entah bagaimana sekarang nasib pemuda itu. Mudah-mudahan tidak apa-apa.

“Tapi aku jelas beterima kasih, karena Mas sudah mati-matian berniat menyelamatkan aku.”

“Aku kan gagal, buktinya kamu bisa sukses diculik si Gunar.” Rao cemberut.

Dia merasa kemampuannya masih belum apa-apa, bahkan beberapa jurus barunya juga tidak berfungsi dengan baik kala berhadapan dengan 3 Gentho dari Bondomanan. Serangan Ki jarak jauh yang menjadi andalannya juga kurang bisa efektif karena saat ia tenaganya disedot habis dia tak mampu berbuat apa-apa. Harus ada cara untuk memperbaiki kemampuannya.

“Adooooooh! Aduuuuh! Pelan-pelan dong… dooooh, iki dikerok opo dikuliti toh, biyuuuuung.”

“Mas…”

“Apaaah?”

“Nggak, aku cuma mau bilang kalau… aku berterima kasih Mas sudah peduli sama aku. Di saat yang lain tidak mau menolong, mempedulikan, dan bahkan menganggap aku bisa dikorbankan, hanya Mas yang tetap ngotot menyelamatkan aku.”

“Aku hanya melakukan apa yang perlu aku lakukan.”

Nuke tersenyum, ia mendorong badannya ke depan dan memberanikan diri untuk mengecup pipi Rao. “Itu hadiah yang kamu dapat karena telah berjuang demi aku.”

Wajah Rao langsung tersipu-sipu.

Nuke melanjutkan kerokannya. “Mas tidak berminat ikut teman-teman yang tadi bertemu di rumah sakit? Sepertinya ada masalah serius.”

“Sepertinya begitu, tapi kondisi badanku sedang tidak baik. Aku ikut pun hanya akan menjadi beban untuk mereka. Entah hanya tinggal berapa persen kemampuanku yang sekarang, mungkin 50 persen juga belum nyampe. Aku butuh bermeditasi tiap hari…”

“Kenapa tidak Mas lakukan? Bukankah bermeditasi itu baik?”

“Aku tidak bisa bermeditasi kalau pikiranku selalu dipenuhi oleh wajahmu…” lirih suara Rao menjawab pertanyaan Nuke.

Kali ini giliran Nuke yang tersipu-sipu malu.

Suasana pun menjadi sunyi. Masing-masing mencoba mendalami hati mereka, mencoba mengejawantahkan apa yang menjadi pemantik api dalam hati dan apa yang menjadi tembok penghalang rasa sayang. Kalau bisa kenapa tidak, kalau tidak bisa kenapa tidak.

“Mas… aku…”

Rao tiba-tiba berdiri sembari terbatuk-batuk dan berlari menuju kamar mandi. Karena sang Hyena Gila berlari, Nuke tak sempat menghentikannya dan melihat kenapa Rao tiba-tiba saja terbatuk-batuk.

“Mas, kamu kenapa?”

Rao tak menjawab.

“Mas?”

Terdengar suara ketukan pintu. Tapi bukan pintu kamar mandi.

“Mas?” Nuke mengetuk pintu kamar mandi. “Ada tamu tuh.”

Rao akhirnya menjawab, “Tolong bukakan sebentar.”

“Oke.”

Terdengar langkah kaki Nuke meninggalkan kamar mandi. Rao kembali terbatuk-batuk, sepertinya apa yang ia rasakan saat ini lebih parah dari biasanya. Apakah karena terlalu lelah? Mungkin dia harus beristirahat lebih lama.

Kembali Rao terbatuk, ia berusaha menahan agar suara batuknya tak membuat Nuke khawatir. Tapi di dunia ini ada beberapa hal yang tak bisa disembunyikan seperti kantuk, asap, dan batuk. Rao kembali tersengal-sengal oleh batuknya, sang Hyena Gila mencoba menutup suara batuk dengan kepalan tangannya, tapi suara batuk itu tetap lepas bergaung.

Sial.

Dia tidak ingin membuat Nuke curiga.

Hkkgh. Kenapa juga sih dadanya ini? Bangsat. Di saat-saat seperti malah…

Rao melihat ke kepalan tangan dan ke lantai kamar mandi. Ada ceceran darah. Batuknya berdarah.

Apa-apaan ini?

Nuke tidak boleh tahu. Dia pasti akan…

Saat itu terdengar teriakan.

“Nuke?”

Rao buru-buru membilas tangan dan wajahnya, lalu berlari keluar dari kamar mandi untuk menuju pintu depan. Kenapa Nuke berteriak? Apa yang terjadi?

“Nuke? Apa yang…”

Rao tersentak ketika sampai di depan pintu. Di hadapannya kini, terdapat tiga anggota dari bedebah yang kemarin menghajarnya, 3 Gentho dari Bondomanan. Masing-masing menatap Rao dengan tatapan meremehkan. Tapi yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah saat ini Nuke tengah disekap satu lengan yang kokoh.

Tangan milik Joko Gunar.

Pria bertubuh gempal itu tersenyum dan mengedipkan mata pada Rao, “Yahalooo!”

Nuke semakin menjadi-jadi dalam meronta saat melihat Rao.

“Nuke!” Rao menatap Joko Gunar dengan tatapan sengit, “Kalau tidak kamu lepaskan dia sekarang juga, akan aku buat kepalamu meninggalkan badan dalam hitungan detik…”

Joko Gunar tertawa, seakan-akan meremehkan kemampuan Rao.

“Lepaskan diaaa!” Rao mulai emosi.

Joko Gunar terdiam, ia menatap tajam ke arah pimpinan DoP itu dengan satu pandangan mata yang seakan-akan ingin menguliti sang Hyena Gila sampai ke tulang-tulangnya.

Bagi Rao, ini mungkin yang namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Sang Hyena Gila menundukkan wajahnya dan tersenyum sinis. Dia menyiapkan Ki-nya. Bagaimana mereka bisa menemukan tempat tinggalnya? Hanya orang-orang yang ia kenal yang…

“Maaf, Bos. Sepertinya angin sudah berubah ke arah yang lebih kencang. Heheh.”

Suara itu!?

Dari balik ketiga bedebah 3 Gentho dari Bondomanan, muncul satu sosok yang sangat Rao kenal. Sosok yang bahkan membuat sang Hyena Gila terkesiap karena kaget.

“Kamu? Kamu!?”

Remon.

Remon tersenyum dan mengangkat bahu. “Sudah saatnya geng-geng kampus diberangus. Dimulai dari Talatawon dan kini DoP. Pertama-tama potong kepala ularnya, setelah itu kita kuliti bagian badannya. Sama seperti Talatawon, saat Ableh Ndaho jatuh, Talatawon akan ikut runtuh. Maaf Rao, tapi era baru telah tiba, era PSGxRKZ. Aku lebih berminat bergabung dengan pemenang.”

Rao menahan geram dan hanya bisa mengepalkan tangannya.

Tiga gentho Bondomanan maju ke depan bersamaan. Udet melirik ke arah Joko Gunar untuk meminta petunjuk. “Bagaimana, Bos?”

Joko Gunar mengangguk sembari menyeret Nuke yang mulutnya ia tutup. Ia melirik ke arah Rao, pria yang berhasil mencuri hati Nuke. Tidak ada yang boleh mendapatkan hati Nuke kecuali dirinya.

“Habisi dia.”

“Kalian dengar apa yang Bos perintahkan! Majuuuuuuuuuu!!”

Hfah.”





.::..::..::..::.





Nada bersiul-siul sembari membalik daging iga di atas bakaran BBQ.

Dia tahu Papa-nya sangat menyukai iga bakar jadi hari ini dia sengaja memasak iga itu untuk sang Papa – setidaknya itu alasan pertamanya. Alasan keduanya adalah dia bersemangat membakar iga ini untuk seseorang nun jauh di sana, yang mungkin bahkan tidak akan memakannya.

“Hmm… baunya enak banget. Lezatos kotos-kotos. Kamu benar-benar paket lengkap, Sayang. Sudah cerdas, cantik, seksi, pintar masak pula. Bisa semuanya.” Ada lengan yang kemudian memeluk Nada dari belakang dan mencium tengkuk gadis itu.

“Ini bukan memasak. Ini membakar.” Protes Nada sembari menggoyangkan badan, melepaskan diri dari pelukan sang penyergap. “Aku sama sekali tidak bisa memasak. Jangan mengejek ya.”

“Ya udah… kamu memang paling jago membakar. Membakar semangatku, membakar api cintaku, membakar…”

Ish. Apaan sih, cringe banget.” Nada menjulurkan lidah, “stop being annoying dan bantu aku kenapa? Itu potong-potong tomat kek, atau ngapain kek. Sudah tahu lagi bakar iga malah digangguin. Baka!

“Yaelah, gitu saja sih.” Kekasih Nada – Rama, akhirnya menyerah dan mulai beringsut ke meja dan mulai memotong-motong tomat. Ia juga membantu membuat sambel kacang untuk hidangan Nada hari ini. “Omong-omong, Papa kamu mana?”

Haeh. Papa lagi Papa lagi. Kamu itu pacarannya sama aku atau sama Papa sih, Mas?” Nada cemberut, “Setiap kali kamu datang, yang pertamakali ditanyain malah Papa. Tadi udah dijawab Papa ada di atas sedang ada tamu – bukannya ini sudah kamu tanyain tadi? Jangan mengulang-ulang pertanyaan lah, apalagi pertanyaan yang sudah dijawab.”

Rama menggaruk hidungnya sembari tersenyum kecut, “Yah… aku kan ngikutin aja apa kata orang-orang. Katanya kalau mau deket sama anaknya, deketin juga keluarganya. Begitu bukan?”

“Iya iya… terserah. Pokoknya jangan gangguin aku dulu. Kalau tomatnya sudah dipotong-potong, semua jenis sambel sudah jadi, boleh menunggu sebentar. Atau kalau memang tidak berminat membantu, silakan duduk dulu di sana.” Nada menunjuk ke kursi santai yang ada di teras dekat rumah. Tak seberapa jauh dari posisi Nada bakar membakar. “Sebentar lagi ini juga jadi kok. Coba icipin ini dulu, enak tidak.”

Nada meletakkan potongan kecil dari iga yang ia bakar ke atas piring di hadapan Rama. Pemuda itu pun buru-buru meniup-niupnya supaya tidak terlampau panas. Baunya wuenak, apalagi saat dimakan, Rama benar-benar terbang ke langit.

“Wih, enak banget, Say. Kamu apain ini iganya? Tolonglah chef, spill rahasianya. Ini enak gila.”

“Rebus dulu di presto, lalu dibakar sambil diolesi bumbu kecap.”

“Ini bener-bener enak. Tidak salah kalau kelak kamu dipercaya meneruskan restoran milik Mama kamu, sayang. Citarasanya dapat banget. Yang seperti ini 10 dari 10 nilainya.”

“Jangan lebay.” Nada berucap ketus dan balik lagi ke grill.

Rama menghela napas panjang sembari bengong menatap ke arah Nada. Dia sebenarnya tahu kenapa Nada sedingin ini. Pemuda itu melanjutkan membantu Nada dengan membersihkan dan menyiapkan piring, lalu lalapan, lalu sambal kacang, lalu sambal mentah, dan berbagai kondimen lain. Apapun yang bisa ia bantu, ia melakukannya.

“Nad.”

“Hmm?”

“Aku minta maaf.”

“Hmm.”

Rama terdiam sembari menatap wanita berparas jelita di hadapannya. Tumben-tumbenan nih Nada ngambeknya beneran. Biasanya dia selalu saja mengalah dan tiba-tiba tersenyum untuk memaafkan Rama saat pemuda gagah itu melakukan kesalahan. Nada adalah seorang cewek yang ceria dan positive thinking. Sepertinya kali ini Nada benar-benar marah.

“Aku benar-benar minta maaf, Nad,” ulang Rama.

“Iya. Aku juga sudah dengar tadi. Tidak perlu Mas ulang-ulang. Aku masih bisa mendengar dengan jelas,” balas Nada dengan ketus.

Rama tersenyum, setidaknya si cantik itu masih mau membalas pernyataannya. “Aku minta maaf karena pada saat kamu diculik dan disekap – aku sama sekali tidak menampakkan batang hidungku di depan Papa atau keluargamu yang lain. Aku juga sedang sibuk saat itu – kamu tahu sendiri tugasku di mabes Tim Gara-…”

“Aku kan tidak marah.”

“Tapi sikapmu dingin seperti ini. Pasti ada sesuatu yang salah yang aku lakukan. Percayalah, aku tidak secuek itu. Kamu kekasihku, jelas aku kalang kabut mencarimu kemana-mana. Aku hanya tidak sempat mengontak Papamu.”

“Aku tahu kamu sedang banyak pekerjaan jadi tidak sempat mencari pacarmu yang sedang diculik orang. Paling-paling kan dia cuma disiksa, atau diperkosa, atau paling banter nantinya dibunuh. Jadi tidak urgent. Urusan kantor jauh lebih penting.”

“Bukan begitu juga, hei. Aku justru tidak bisa bekerja dengan tenang karena pada saat yang bersamaan ada dua hal yang harus aku lakukan. DI satu sisi aku harus mengerjakan suatu kasus yang sangat-sangat penting bagi kemaslahatan orang banyak, di sisi lain aku juga harus mencarimu kesana-kemari. Semua wilayah kota aku jelajahi tapi aku tidak pernah berjumpa denganmu, aku sudah menurunkan banyak personil tapi tidak ketemu-ketemu juga. Ternyata kamu ada di tangan RKZ. Pantas saja aku gagal menemukanmu. Mereka nomaden – tidak memiliki basis posisi khusus, jadi sangat sulit dilacak dan ditemukan lokasi markas mereka. Sampai…”

“Setidaknya aku tahu di mana prioritasmu, Mas.” Nada tersenyum pada Rama dan kembali mengerjakan iga bakarnya dengan wajah masam.

“Nad… sayang…”

Ponsel Rama berdering. Pemuda itu mendesis kesal. Di saat-saat seperti ini! Kenapa juga ada yang menghubungi?! Sial!

Rama melirik ke arah ponselnya dan berdehem, “Maaf – aku harus angkat ini, Nad. Aku…”

“Angkat saja. Memangnya aku protes?”

Rama mendesah panjang.

“Bagaimana?” wajah Rama kemudian berubah serius saat menerima telepon yang masuk itu, dia meninggalkan Nada supaya gadis itu tidak terganggu oleh telponnya. “Yakin sudah ditemukan koordinatnya? Arahnya balik ke tempat yang sama? Aku akan menyusulmu ke sana. Jangan berbuat gegabah. Jangan bertindak apapun yang merugikan rencana semula, amati saja target dari kejauhan. Kalau memang target kita terpisah dari kelompoknya, barulah kita meringkusnya. Betul. Baik. Aku akan segera kesana. Seperempat sampai setengah jam. Ingat – jangan bertindak gegabah seperti sebelumnya, tunggu aku.”

Rama menutup telponnya dan menghampiri sang kekasih.

“Harus pergi?” tanya Nada sembari tersenyum.

“Kok kayaknya kamu malah bahagia banget aku pergi.”

“Begini salah, begitu salah. Diem salah, perhatian juga salah. Terserah kamu aja deh, Mas.” Nada mencibir, “dari tadi perasaan aku salah melulu.”

“Aku becanda saja, sayang.” Rama mendekat untuk mengecup pipi Nada.

Gadis itu diam tanpa ekspresi apa-apa. Dingin.

Rama tersenyum melihat gadisnya hanya terdiam, memang seperti inilah Nada kalau sedang ngambek. Dia lebih memilih diam daripada banyak bicara atau memaki-maki, jadi ada baiknya dia mengalah dulu. “Baiklah, sepertinya hari ini kita sedang sama-sama sibuk – aku juga sedang diburu-buru pekerjaan. Kita bicara lagi nanti kalau kamu sudah tidak marah sama aku. Sebentar lagi kan pernikahan kakakmu, banyak yang harus kita bicarakan. Maaf aku tidak bisa menemani Papa menikmati iga bakar yang kamu masak.”

Nada hanya mengangguk, wajahnya masih tak berubah, dia bahkan tak memperhatikan sosok Rama saat kekasihnya itu meninggalkan taman.

Baru beberapa saat kemudian Nada menyunggingkan senyum, terutama saat iga bakarnya sudah mulai matang. Ia memotret daging itu dengan ponselnya dan mengirimkannya ke seseorang. Benaknya melayang-layang ke seorang pemuda yang terjebak dalam satu ruangan bersamanya beberapa waktu yang lalu.

Mereka sempat berbincang-bincang mengenai iga bakar – itu sebabnya hari ini dia memasaknya, supaya seakan-akan ada kedekatan di antara mereka yang terpisah jarak. Masih tercetak jelas di dalam memori Nada bagaimana percakapan mereka berdua.

“Kamu suka makan apa saja, Mas?”

“Apa ya? Sate, nasi goreng, iga bakar…”

“Iga bakar? Wah, sama kayak Papa aku. Kapan-kapan kalau memang kita diberi kesempatan untuk bertemu kembali, aku masakin deh iga bakar.”

“Serius?”

“Iya dong… Hihihi. Iga bakar kecap, sama nasi hangat, tomat, lalapan, dan sambal.”

“Waini, jelas mau lah ini. Harus diagendakan ini”


Senyum Nada merekah saat mengingat sosok pemuda itu. Wajahnya memerah karena menahan rindu. Bibirnya sedikit merekah dan terucap namanya dalam hati.

Perubahan wajah Nada itu mungkin tidak ia sadari.

Tapi ada satu orang yang mengamati dari kejauhan dan curiga ada sesuatu yang terjadi selama Nada disekap, sesuatu yang membuat perubahan besar pada sikap gadis itu.

Seseorang yang mengintip sang gadis jelita dari sebalik jendela dan tirai yang tersembunyi. Wajahnya berubah geram saat melihat Nada yang tadinya muram kini menjadi ceria kembali. Apa yang membuat gadis itu tiba-tiba saja berubah? Apa yang menyuntikkan bahagia ke gadis jelita itu? Dia tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Apakah… laki-laki lain?

Rama. Bagaimana kondisi di sana?

“Kondisi di sini aman, sampaikan pada Kapten Ri kalau saya masih butuh waktu untuk benar-benar bisa memperoleh kepercayaan penuh dari Pak Zein. Saya bahkan hanya butuh selangkah lagi untuk diajak masuk ke ruang arsip ilmu kanuragannya,” ucap Rama yang terus menerus mengintip Nada. “Setelah kita peroleh semua rahasia JXG, barulah kita bisa mengambil tindakan terhadap Pak Zein dan anggota-anggotanya. Tidak ada satupun dari mereka yang akan bisa lolos dari jerat hukum.”

Bagaimana dengan rencana pernikahan Ahmad?

“Akan tetap dilaksanakan, saya harus memastikan banyak hal berjalan dengan sempurna karena berperan sebagai paniitia, tidak boleh ada yang salah karena akan ada yang curiga. Tapi akan saya pastikan begitu ada anggota JXG melanggar aturan atau melakukan tindakan yang menyalahi hukum, maka saya akan langsung melaporkan pada Tim Garangan dilengkapi dengan bukti-bukti supaya kita dapat membekuknya. Mereka memang tahu kalau saya dari pihak yang berwajib, tapi mereka masih belum paham saya dari unit apa – mungkin mereka mengira saya Polantas, mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”

Jangan lupa kalau target utama kita adalah Pak Zein, dia selalu lolos dari pihak berwajib karena licin bagaikan belut. Kita tidak boleh lupa bahwa eksekusi kematian pimpinan KSN tempo hari adalah ulah JXG dan tentunya Pak Zein bertanggung jawab penuh. Mereka seharusnya dibawa ke meja hijau karena sudah main hakim sendiri dengan sadis. Tapi kita masih kurang bukti. Tidak boleh terjadi lagi. Kita tidak boleh mentolerir kejahatan, siapapun korbannya, siapapun pelakunya. Semua orang punya hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.

“Pasti. Saya tidak akan pernah lupa kalau tujuan utama saya di tempat ini adalah untuk menumbangkan Pak Zein. Bahkan dalam bayangan saya, kelak akan saya bawa sendiri Pak Zein ke mabes Tim Garangan dan memasukkannya ke jeruji besi.”

Bagus. Lanjutkan.”

“Laksanakan.”

Over and out.”

Rama mengakhiri pembicaraan telpon lirihnya sembari tetap menatap Nada dari kejauhan. Maafkan aku sayang, tapi ini bukan masalah personal – ini pekerjaan.

Sebaiknya kamu tidak menghalangi.





.::..::..::..::.





“Jadi siapa wanita yang tewas itu?”

Kapten Ri kali ini bertanya dengan serius, wajahnya tak menunjukkan kekocakan seperti sebelumnya. Di hadapannya kini, Eva memeluk tangan Hageng dengan erat. Dia sepertinya baru saja menangis habis-habisan. Hageng juga baru kali ini melihat Eva tanpa make-up berlebih dan dia menyaksikan paras jelita apa-adanya seorang Eva. Benar-benar berbeda, seperti gadis cantik pada umumnya, Eva sebenarnya tak perlu membubuhkan make-up tebal untuk tampil berbeda, karena aslinya memang sangat mempesona.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Hageng sembari merapikan selintas rambut jatuh di dahi Eva.

Wanita cantik itu menatap Hageng dengan pandangan berbinar-binar dan menggeleng, “Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah mau datang dan mendengarkan permintaan tolongku. Aku tidak tahu kepada siapa lagi aku harus minta tolong.”

Hageng mengangguk. “Aku pazti datang. Apa yang zebenarnya terjadi, ziapa wanita yang tewaz itu? Ziapa yang memburumu?”

“Weladalah. Saya juga tadi sudah nanya begitu tapi dicuekin.” Sambar Kapten Ri yang juga penasaran, “Silahkan dijawab, Mbak.”

“Baiklah…” Eva memperbaiki duduknya, ia melepaskan lengan Hageng yang raksasa dan meletakkan tangannya di atas meja. Wanita bertubuh indah berparas jelita itu menatap Kapten Ri dan Shinta yang berada di hadapannya.

“Baiklah…” Eva meneguk ludah, “seperti yang kalian ketahui – aku bukan wanita baik-baik dan terlibat banyak masalah karena… pekerjaanku…”

Eva menunduk malu sembari melirik ke arah Hageng, wajahnya memerah, ia sama sekali tak berani menatap mata pemuda yang membuatnya beralih haluan itu. Tapi jemari mereka yang saling berkait menandakan kalau sang T-Rex tidak pernah mempermasalahkan latar belakang Eva, senyum lebar Hageng membuat si cantik itu merasa tenang.

“…aku bekerja di dunia hitam, memiliki banyak klien dari kalangan papan atas, dan sering mendengar mereka melakukan transaksi gelap atau mengatur pekerjaan mereka saat bersamaku. Hal itu memudahkan aku untuk memeras mereka agar mengucurkan dana tambahan buatku. Tapi… setelah mengenal… Hageng ini… aku merasa… kalau aku sudah berjalan di sisi yang salah. Aku ingin berubah dan mengakhiri semuanya, aku ingin hidup sederhana, jauh dari dunia hitam, tidak lagi melakukan tindak kejahatan yang merugikan orang lain. Singkatnya, aku ingin hidup tenang.”

Eva kembali melirik ke arah Hageng, sang T-Rex mengangguk, meminta Eva membuka semua rahasia yang menyebabkan kematian orang lain itu.

“Aku pun berniat mundur dan mengutarakan niatku pada pimpinan sindikatku, atau setidaknya melalui supervisor-ku… atau germo lah kalau bisa dibilang begitu. Dia menolak mentah-mentah pengunduran diriku dan mengatakan kalau aku pergi, itu artinya aku harus mati karena menyimpan semua rahasia klien. Tektokan kami berakhir ribut dan aku kabur begitu saja untuk kembali ke apartemen dan berkemas-kemas. Tapi sebelum sempat melakukan apa-apa, supervisor-ku mengancam kalau dia akan datang dan membunuhku. Dalam kepanikan, aku menelpon Hageng…

“Singkat cerita, ternyata orang itu benar-benar datang dan mengamuk di apartemenku. Tapi saat aku diserang, salah satu tetanggaku yang kebetulan mendengar keributan dan melihat kami bertarung datang membantuku. Aku tidak tahu siapa nama tetangga apartemenku itu karena kami baru beberapa kali bertemu, tapi dia berhasil menjatuhkan germoku. Itulah saat ketika kami berdua kabur melalui pintu yang terbuka.

“Aku tidak mengira kalau… tetanggaku ternyata tidak berhasil kabur dan justru menjadi korban…”

“Siapa nama supervisor-mu itu?”

“Aku tidak tahu nama aslinya – tapi setahuku namanya Adam.”

“Adam?”

“Iya, kalau tidak salah nama lengkapnya Adam Ladam.” Eva menunjukkan bukti transfer yang ada di dalam dompetnya. Nama yang tertera di bank memang Adam Ladam. “Saya hanya tahu dia terlibat dengan salah satu kelompok besar, tapi saya tidak tahu yang mana. Saya juga tidak mau repot-repot menanyakan karena buat saya dulu intinya bukan kelompok mana, tapi bayarannya berapa.”

Tangan Eva bergetar karena dia takut mengungkap semua rahasia ini, tapi kemudian Hageng meremas jari jemarinya itu dengan lembut. Seakan-akan meyakinkan wanita jelita itu kalau masa-masa tergelap dalam kehidupannya akan segera berlalu dan siapapun yang bertanggungjawab akan kasus mengerikan ini akan segera dibawa ke meja hijau.

“Baiklah. Rasa-rasanya kasus ini sudah jelas – pembunuh itu kemungkinan besar adalah si Adam Ladam ini, tapi anehnya aku belum pernah tahu siapa dan dari kelompok mana dia, mungkin itu nama alias. Kami akan melakukan penyelidikan mendalam, melacak transfernya, dan dari situ kita akan bisa menyimpulkan dari kelompok mana dia. Kalau diprediksi dan melihat kinerja Eva yang selama ini beroperasi di kawasan utara, hanya ada dua kelompok yang memungkinkan, QZK dan Dinasti Baru.”

“Jadi kalian akan mencarinya zampai ketemu?” tanya Hageng.

“Tentu saja. Ini kan kasus pembunuhan, tentu kami tidak akan diam saja. Akan kita cari siapa dari kedua kelompok besar itu yang punya anggota yang bernama Adam. Cepat atau lambat kami pasti akan menemukannya. Aneh banget sebetulnya, aku sama sekali tidak pernah tahu kalau di kedua kelompok ini ada yang namanya Adam Ladam. Apalagi Adam yang berhubungan dengan Unyil-Vista setahuku ada di Ibukota. Heheh.”

Guyonan yang garing itu tidak membuat seorang pun tertawa.

Ehem.

Kapten Ri merubah wajahnya, ia menatap Hageng dengan sangat serius. Wajah penuh candanya hilang seketika, berganti dengan sosok yang menatap mata sang T-Rex dengan tajam. Untuk pertama kalinya, pemuda bongsor itu merasa berhadapan dengan orang yang sangat mengerikan.

“Aku akan membebaskan kamu dan Eva sekarang juga tanpa banyak cingcong tanpa banyak babibu. Tapi ada satu syarat yang harus kalian penuhi. Kalau kalian bersedia melakukan ini, maka kita semua tenang, kita semua senang. Kalian untung, aku juga untung. Bagaimana? Berminat?”

Hageng menatap Kapten Ri dengan senyum receh. “Zepertinya ada kentut di balik bakwan. Jadi ada yang haruz kami lakukan untuk Kapten Ri zupaya kami berdua biza mendapatkan kezepakatan ini. Benar begitu kah?”

“Tentu saja,” Kapten membalas senyum Hageng, “jer basuki mawa beya. Tidak ada kesejahteraan tanpa pengorbanan. Aku akan membantu kalian, tapi kalian juga harus membantu aku, atau lebih tepatnya… ada sesuatu yang harus kalian lakukan untuk kami. Ini kan namanya simbiosis mutualisme. Win-win situation.”

Hageng merengut, dia paling tidak suka urusan barter-barter politik seperti ini. Tapi dia juga tidak mau mengambil langkah yang salah karena sedang berhadapan dengan pihak yang berwajib. Mau tidak mau Hageng menjawab pernyataan Kapten Ri. “Tidak uzah bertele-tele. Kira-kira, apa yang haruz kami lakukan?”

Kapten Ri tersenyum dan menarik sesuatu dari dalam laci mejanya. Beberapa lembar kertas dengan sejumlah lampiran. Ia menyodorkannya pada Hageng dan Eva. “Ini yang harus kalian lakukan.”

Hageng mengerutkan kening. “Zurat perjanjian khusus?”

“Silahkan dibaca terlebih dahulu, lalu berikan keputusannya kepada kami. Kami butuh orang-orang seperti kalian berdua untuk memberikan info penting buat kami.” Kapten Ri mundur dan bersandar santai di kursinya, “ini hari yang melelahkan. Aku tahu hari ini cukup berat bagi kita semua, jadi aku tidak akan memaksa. Silakan beristirahat di sel yang sudah kami siapkan dan bisa kalian pikirkan baik-baik.”

“Bukankah itu namanya pemakzaan? Kami berdua akan ditahan dan dimazukkan ke dalam zel kecuali berzedia menandatangani perjanjian itu?”

“Kan saya cuma meminta kalian berdua beristirahat. Di sini tidak ada kamar – kami tidak sedang menjalankan hotel, ini kantor Tim Garangan. Satu-satunya tempat bagi kalian beristirahat ya di dalam sel. Apa saya salah?” Kapten Ri tersenyum. “Jangan berpikir kalau keputusan ini hanya untuk kamu sendiri saja, pikirkan juga cewek itu.”

Hageng mendengus.

Ia melirik ke samping, melihat sosok Eva yang sepertinya sedang menggigil dan sangat lelah dengan semua yang telah terjadi. Wanita cantik itu sedang berusaha memperbaiki jalan hidupnya, meninggalkan dunia hitam untuk menapak ke jalan yang lurus kembali. Masa ia tega membiarkan harapan Eva hilang begitu saja?

Kapten Ri terkekeh karena nampaknya usahanya akan berhasil, ia kembali mendorong kedua surat itu. “Tanda tangannya di atas meterai.”

Hageng mengambil pena di sebuah box dan menandatangani surat itu, ia lantas memberikan pena ke Eva. Wanita cantik itu berkaca-kaca menatap apa yang dilakukan sang T-Rex demi dirinya. Ia pun akhirnya melakukan hal yang sama.

Good boy.” Kapten Ri tersenyum dan menarik kedua surat perjanjian itu kembali.

Dia menarik laci mejanya sekali lagi dan mengeluarkan satu ponsel. “Di dalamnya hanya ada kontak ke nomorku dan nomor kaliang masing-masing. Bawa ini. Dengan ini kita bisa berkomunikasi dan kami bisa melacak keberadaan kalian. Kalau ponsel ini ditinggalkan sembarangan atau bahkan dibuang, maka perjanjian kita batal dan kami akan memburu kalian seperti kriminal. Paham?”

Hageng geram, tapi ia mengangguk. Pemuda bertubuh raksasa itu mengambil ponsel yang diberikan Kapten Ri dan memasukkannya ke dalam saku celana. “Jadi semua beres? Kami bisa pergi sekarang?”

“Semua beres. Shinta akan mengantar…” Kapten Ri memandang sekeliling, lho kemana Shinta tadi? Perasaan ada di dalam ruangan ini, ternyata tidak ada. Ya sudah yang lain saja kalau begitu. “Jadi kalian akan diantar oleh mas ganteng berkumis tipis yang sedang meringis di dekat pintu itu untuk menuju ke ruang barang bukti. Hageng boleh mengambil kembali barang-barangnya yang tadi diamankan oleh petugas dan setelahnya kalian bebas.”

“Terima kazih. Ciao il Capitano.”

“Terima kasih, Kapten.” Eva mengangguk.

Kapten Ri membalas salam mereka sembari tersenyum lebar.

Hageng berdiri dan menarik tangan Eva, ia menggandeng wanita cantik itu untuk keluar mengikuti si mas berkumis tipis.

Satu-persatu petugas juga ikut meninggalkan ruangan, meninggalkan Kapten Ri sendirian saja. Pria itu pun celingukan. “Kalau Rama sih aku tahu dia kemana, tapi Shinta? Weladalah, kemana bocah ayu itu sekarang?”

Shinta memang sudah meninggalkan ruangan interogasi sejak beberapa saat yang lalu. Tanpa terdeteksi siapapun, gadis jelita itu menyusuri lorong demi lorong mabes Tim Garangan untuk mencapai suatu tempat.

Shinta menengok ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang mendekati ataupun memperhatikannya. Ia lalu berjalan dengan sesantai mungkin menuju ke sebuah ruangan yang berada di sebuah sudut, begitu santainya sehingga seakan-akan mengendap-endap. Karena kasus Eva sedang ramai, banyak petugas yang tidak fokus dan memperbincangkan mengenai hal itu.

Dia lolos dengan mudah dari pandangan siapapun.

Gadis itu melirik ke arah CCTV, memastikan ia berjalan di sudut tertentu dan melangkah dengan pasti ke lokasi yang tidak bisa diperkirakan oleh siapapun. Setelah sampai di sebuah ruang tahanan terisolasi dan tertutup, Shinta melirik ke arah satu kabel yang terhubung dengan kamera dan mencabutnya dari satu stop kontak yang tertanam di dinding. Berulangkali ia memastikan tidak ada satu orang pun berada di lorong tempatnya berada.

Gadis manis itu pun membuka kunci pintu yang berlapis-lapis dan masuk ke dalam ruangan, ia pun masuk dan langsung menutup pintu kembali. Ada seorang pria yang sedang rebahan sembari mengangkat kaki ke tembok dan melempar-lempar bola tenis untuk menangkap pantulannya. Saat Shinta datang, orang itu buru-buru bangkit dari rebahan dan duduk untuk menyambutnya.

“Halo cantik, sudah kutunggu lama lho. Aku merindukanmu. Ingin rasanya lebih lama mencium wangi tubuhmu itu.”

Shinta terdiam dan sama sekali tak menggubris, dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Gadis itu lantas menyiapkan satu gelas yang ada di meja, lalu mengambil sesuatu dari dalam slingbag yang ia bawa-bawa, dan meletakkan barang itu di samping gelas. Ia melakukannya sambil menggemeretakkan gigi, satu kantong infus berisi darah tapi tidak penuh, mungkin hanya cukup untuk satu gelas saja.

“Ini barang terakhir, tidak akan ada lagi untuk sementara waktu.” Shinta membuka kantong infus itu dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia menyerahkan gelas itu untuk sang pria yang langsung meminumnya tanpa merasa jijik ataupun canggung. Dia bahkan tertawa-tawa.

“Nah begini dong baru seru.” Orang itu tertawa dan mengangguk-angguk sembari mengangkat jempolnya usai habis meminumnya. “Tak pernah aku duga, kalau darah seseorang bisa menjadi obat ampuh untuk segala penyakit dan luka dalam sekejap, setelah minum beberapa kali – aku bisa sembuh. Benar-benar jamu mantap jiwaaa, obat segala obat. Wahahahahha. Aku pikir obat seperti ini hanya ada dalam legenda, sudah bertahun-tahun menghilang dari muka bumi. Sayang tidak bisa diproduksi banyak ya. Padahal bisa dijual laris seperti susu. Aku paling suka susu.”

Pria yang duduk itu mengedipkan mata dan mengarahkan pandangan matanya ke dada Shinta yang langsung merasa jengah dan menutup dada membusungnya dengan menyilangkan lengan. Wajah polwan cantik itu memerah, “Tugasku sudah selesai, sepertinya kamu sudah sembuh. Aku sudah memenuhi apa yang kamu minta, sekarang bebaskan mereka.”

Orang itu berdiri dan meregangkan tangannya, tubuhnya sehat, badannya segar. Luar biasa ajaibnya obat legendaris yang tidak semua orang tahu ini. Dengan langkah tegap pria itu pun maju ke depan, tubuhnya yang tinggi besar mengintimidasi sang polwan yang bertubuh lebih mungil. Pria itu bahkan dengan berani meremas pantat Shinta.

“Kurang ajar! Kam-… hmpphhh!

Belum sempat Shinta protes, pria itu sudah menutup mulut sang polwan dengan tangannya yang kuat dan perkasa. Mau meronta bagaimanapun Shinta tak akan sanggup melawan. Pria bertubuh tinggi besar dan gempal itu meremas-remas dada Shinta dengan berani. Polwan itu jelas meronta-ronta dan mencoba melawan, namun tubuhnya dikunci, hasilnya ia harus pasrah tubuhnya dipermainkan oleh sang pria.

“Lpsknnn!! Bjgnnn!!” Suara Shinta mampu diredam sempurna oleh sang pria bertubuh tegap.

Pria itu terkekeh, tangan satu mengunci mengatup menutup mulut Shinta, tangan satu lagi meremas-remas dada ranum sang polwan.

“Kamu bekerja dengan baik dan aku sangat berterima kasih sekali. Berkat kerja sama darimu, aku berhasil kembali sehat hanya dalam tempo sangat singkat. Ini benar-benar keajaiban. Aku tidak pernah melihat ada obat semanjur dan sehebat ini. Sayang jumlahnya terbatas. Tidak pernah ada yang tahu keberadaannya sampai kami menemukan relasimu dengan orang itu. Hahahahaha.” Sang pria bertubuh gempal menjilat pipi Shinta yang memejamkan mata karena ia tak mampu bergerak dan harus pasrah saja dilecehkan sedemikian rupa oleh sang pria bertubuh besar, “Tapi tugasmu belum selesai, karena masih ada hal yang harus aku kerjakan di tempat ini…”

Pria bertubuh gempal itu kemudian maju dan membisikkan sesuatu ke telinga Shinta yang langsung terbelalak.

“Tdk mww!!” Shinta mencoba menggeleng. Jelas tidak, dia tidak mau mengkhianati korpsnya.

“Lho… lho… kok kamu tidak mau? Apa sampai sekarang kamu masih mengira kamu punya hak untuk melawan kami? Satu. Kamu tidak berhak menawar karena kami memegang kunci paling penting saat ini. Apakah kamu mau mengulang kejadian kemarin? Tiba-tiba dikirim kotak paket berisikan potongan jari tangan seperti beberapa waktu yang lalu? Kamu pikir masih ada berapa jari lagi yang dimiliki orang tuamu?”

Shinta meronta dan hampir-hampir menangis, ia mencoba berteriak-teriak dan meronta dengan liar.

“Cup… cup… sayang, jangan menangis. Kami pasti akan membebaskan mereka kalau memang sudah waktunya dan kamu sudah selesai menuntaskan tugasmu. Jadi saat ini, turuti saja apa mauku. Aku tahu kamu memiliki tenaga Ki yang cukup lumayan untuk ukuran seorang gadis, tapi tetap saja – tempat ini sudah dipasang Cagak Bebandan sehingga orang-orang seperti kita tidak bisa berkutik. Tanpa Ki, tenaga mentahmu tidak ada artinya dibandingkan tenagaku.”

Tangan yang tadinya tanpa henti meremas-remas dada Shinta kini turun ke bawah dan menyelusup ke rok yang dikenakan oleh sang polwan. Gadis jelita itu kebetulan sedang mengenakan pakaian bebas dan tidak menggunakan seragam.

Shinta terbelalak dan semakin meronta-ronta, tangannya mencoba memukul dan mendorong tubuh sang pria gempal, namun secara mentah – tenaganya tidak ada apa-apanya dibandingkan sang pria yang kini menguncinya. “Lpsknnn! Lpsknnn! Lpsknnn!”

Sang pria hanya tertawa, “Ayolah, aku tahu kamu juga menikmati ini. Jadi diam saja lah. Aku tadi bilang aku suka susu. Tapi aku juga suka memek.”

Shinta melotot galak ke arah sang pria yang baginya menjadi sosok paling memuakkan di muka bumi itu. Kalau saja tidak ada cagak bebandan, kalau saja ia bebas melakukan apa saja, kalau saja nasib orangtuanya tidak sedang di tangan pria menjijikkan itu, maka dia pasti akan membunuhnya saat itu juga.

“Kalau kamu tidak ingin ada keributan, tidak ingin ada petugas lain masuk kemari, maka ada baiknya kamu diam saja. Biarkan aku melakukan ini untuk sesaat, sayang. Sudah lama sekali aku tidak melakukan ini ke cewek, apalagi yang secantik kamu.”

Jemari gempal milik sang pria menelusup semakin ke bawah dan akhirnya menemukan apa yang dicari, gundukan lembut berbelah. Jari jemari pria itu pun mulai beraksi bak ular menemukan sarang. Menjejal, mengusik dan mengganggu.

Napas Shinta mendengus, air matanya mengalir, tubuhnya bergetar hebat. Dia benar-benar marah tapi tak mampu melakukan apapun. Ia membiarkan saja saat jari jemari gempal sang pria bermain-main di bagian miliknya yang paling rahasia.

Shinta memejamkan mata dan pasrah.

Jemari itu semakin nakal, menyingkapkan kain halus celana dalamnya. Jari itu mulai masuk dan hendak…

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.

Sang pria melirik ke samping dan melepas semua tangannya dari Shinta. Entah bagaimana caranya dia kemudian secepat kilat kembali duduk di atas pembaringan. Dengan wajah penuh senyum menatap sang polwan.

Napas Shinta mendengus-dengus, jantungnya berdebar teramat kencang. Polwan cantik itu menarik napas panjang, ia tahu ia baru saja lolos dari nasib teramat buruk. Ia menatap galak ke sang pria. Bajingan busuk itu masih tersenyum menatap Shinta sembari menjilat-jilat jemarinya.

Geram polwan cantik itu.

Shinta memutar tubuhnya dengan gerakan ringan dan anggun.

Empat tendangan dilontarkan secepat kilat oleh sang polwan. Empat tendangan yang melesak masuk ke arah sang pria yang cengengesan. Ke bagian selangkangan, dada, bahu dan kepala.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Orang kurang ajar itu langsung terlontar ke tembok dan terjatuh ke depan. Meski dia meringkuk kesakitan, tapi masih tetap cengengesan. Shinta maju menghadapinya lagi.

“Sekali lagi kamu seperti itu, aku akan mengebirimu. Paham?” Shinta dengan geram mencengkeram kerah baju sang pria, dan dengan satu kecepatan tinggi melepaskan pukulan. Tangannya melesat menonjok wajah pria itu.

Bkghh!

Hidung sang pria langsung mengalirkan cairan merah, bukti kerasnya pukulan sang polwan. Shinta mendekatkan wajahnya yang geram “PAHAM TIDAK?”

Pria itu malah tertawa, dia berdiri tanpa kesulitan. “Bagus. Bagus sekali. Aku suka cewek seperti kamu. Berani melawan dan tidak takut resiko apapun. Bagus sekali! Wahahhahahaa!”

Shinta hanya mendengus. “Aku pergi.”

Polwan manis itu melangkah ke arah pintu.

“Pilih mana?”

Shinta berhenti dan menatap ke arah sang pria.

“Pilih mana apanya?”

“Kamu baru saja menghajarku dan itu artinya kamu harus membayar dengan satu jari lagi. Pilih tangan papa atau mamamu?” sang bajingan busuk tersenyum menyeringai. “Kalau tidak menjawab, aku anggap kamu memilih jari mamamu. Heheheh. Anak cewek biasanya paling dekat sama mamanya.”

“Bajingaaaan!” Shinta mendesis, “kalau kamu berani-beraninya menyentuh mereka lagi, aku akan…”

“Akan apa? Sesuai yang aku bilang kemarin. Sehari saja tidak ada kabar dariku, satu persatu jari mereka akan dipotong. Lalu entah apa lagi. Jadi jangan gegabah bertindak.”

“Bedebah. Aku akan menemukan mereka sebelum kamu bisa macam-macam.”

Jenggo tersenyum, “Aku beri tiket khusus jalan tol untuk menyelamatkan mereka hari ini. Aku tidak sejahat itu kok.”

“Hrmph.” Shinta mendengus kesal, “apa lagi yang kamu inginkan? Bukankah semua sudah aku penuhi? Kamu pikir kamu siapa mengancam aparat negara? Aku akan perlu melaporkanmu ke Kapten Ri dan bubar semua rencanamu.”

“Coba saja kalau mau, aku sih tidak ada masalah. Bisa dibuktikan ataupun tidak, aku kan ujung-ujungnya dipenjara? Lha sekarang ini aku ada di mana? Heheheh. Tapi bagaimana dengan orangtuamu? Lalu siapa bilang kami tidak ada akses ke saudara-saudaramu yang lain? Heheh.”

“Bajingan…” Mata bulat Shinta melotot ke arah sang Raja Para Anjing. “Apa maumu?”

“Cium aku.”

Shinta terbelalak, dia tidak salah dengar kan? “A-apa!?”

“Kalau kamu menciumku, aku akan melupakan seranganmu tadi, dan kita impas. Aku akan meminta anak buahku yang ada di lokasi penyekapan orangtuamu untuk tidak memotong jari-jemari orangtuamu hari ini. Syaratnya kamu cuma harus menciumku . Heheheheh.”

“Dasar bajingan tengik! Aku tidak akan sudi…”

“Ya sudah kalau begitu, keputusan kan ada di tangan kamu. Aku cukup diam saja. Bersiaplah menerima kiriman sekali lagi.”

Shinta mendengus.

Dia mendekati sang pria dan sembari menahan jijik, Shinta mencium bibirnya. Tercium bau anyir karena tadi pria busuk itu baru saja meminum gelas berisikan darah. Mulut keduanya beradu, sang pria dengan senang hati menyambut bibir manis milik Shinta. Lidahnya menari-nari, menjelajah bibir mungil milik sang polwan sembari tangannya beraksi, satu meraba-raba pantat, satu lagi meremas-remas dada Shinta. Nikmat banget tubuh aparat.

Polwan cantik itu mendorong sang pria dengan sekuat tenaga.

Kali ini sang pria tidak melawan. Ia terduduk di pembaringan setelah mendapatkan dorongan kencang. Wajah kurang ajarnya membuat gejolak emosi Shinta mendidih.

Sang polwan cantik itu pun menatap ke arah sang pria itu dengan geram. Dia meludah sembari menahan amarah yang luar biasa. Wajah cantiknya berubah menjadi merah karena emosi. Ia mengelap bibirnya dengan punggung tangan. “SUDAH PUAS?”

“Bagaimana? Bagaimana rasanya berciuman dengan Bambang Jenggo? Nikmat kan? Lezat bukan? Ya! Aku puas! Hahahahahahahaha.”

Pria yang ternyata adalah Bambang Jenggo sang pimpinan RKZ itu pun tertawa terbahak-bahak.

Shinta meninggalkan ruangan dengan wajah kecut dan terburu-buru. Tangannya tergenggam mengepal menahan dendam. Jenggo baru beberapa hari di sini tapi sudah membuatnya hancur luar dalam.

Bagaimana bisa orang ini menyelidiki latar belakangnya dengan mudah dan menculik kedua orang tuanya? Aneh sekali. Satu, Shinta orang baru di sini dan dia tidak punya banyak teman – jadi aneh rasanya kalau ada yang mengenal kehidupan pribadinya. Dua, Jenggo sudah masuk ke bui dan kondisi awalnya teramat parah tapi kok bisa-bisanya berhubungan dengan dunia luar dan mengatur rencana sebusuk ini.

Bagaimana mungkin Bambang Jenggo mengetahui tentang siapa Shinta, di mana orangtuanya, dan rahasia yang disimpan oleh salah satu saudara angkatnya yang saat ini Shinta sembunyikan keberadaannya? Semua petunjuk mengarah ke satu hal, jelas ada orang dalam terlibat.

Shinta harus mengetahui siapa orang itu.

Jika orangtuanya selamat, jika saja mereka selamat, dan mereka harus selamat, maka langkah pertama yang akan dilakukan Shinta adalah menghajar Jenggo, mengebirinya, dan membunuhnya pelan-pelan! Dia tidak boleh mati dengan cepat, dia harus menderita terlebih dahulu setelah apa yang ia lakukan terhadap Shinta.

Yang jelas, suatu saat nanti, dia akan membunuh Bambang Jenggo!

Itu sumpahnya!

Shinta mendengus kesal sembari menahan semua luapan emosinya, apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia tidak ingin memberi kebebasan pada preman bajingan itu sekaligus membahayakan kedua orangtuanya yang disekap RKZ entah di mana.

Ancaman Bambang Jenggo bukanlah ancaman main-main. Kalau dia sudah berniat, pasti akan dilaksanakan. Shinta harus menyelamatkan kedua orangtuanya dan untuk itu dia butuh bantuan orang di luar Tim Garangan, karena dia tidak tahu siapa jujur dan tidak di sini. Shinta butuh orang yang bisa dipercaya, orang yang juga berkecimpung di dunia gelap, tapi sebenarnya juga berdiri di sisi hukum. Dia butuh orang yang berdiri dua kaki di tempat yang berbeda.

Gadis cantik itu menghentikan langkahnya.

Sebenarnya ada orang yang rasa-rasanya dapat dia percaya – orang yang ditugaskan untuk memonitor sebuah kelompok di utara.

Polwan jelita itu menarik ponselnya dari dalam slingbag, lalu menekan tombol kontak. Dia mencari satu nama di sana dengan scroll layar ke atas ke bawah berulang-ulang. Saat menemukannya, dia langsung menekan tombol panggilan. Ia mencoba menahan napasnya yang terengah-engah saat telepon ternyata diangkat.

“Don Bravo? Aku butuh bantuanmu.”





.::..::..::..::.





“Tidak ada siapa-siapa di sini.”

“Yakin?” Simon melongokkan kepala kesana kemari.

Amar Barok mengangguk. “Aku sudah cek ruangan-ruangannya dari jendela yang tirainya sedikit tersibak. Rumah ini sudah ditinggalkan cukup lama – mungkin sebulan-dua bulan atau malah lebih. Kemungkinan karena ada pembangunan di bagian belakang jadi tidak digunakan oleh pemiliknya, tapi tidak ada tukang-tukang dimanapun, mereka sepertinya menghentikan pembangunan entah karena apa. Satu hal yang pasti, apapun penyebab rumah ini kosong - Reynaldi tidak ada di sini.”

“Kampret!” Roy mengumpat karena kesal dan menendang satu potongan batu bata dengan kencang. “Kemana lagi kita harus mencari bajingan busuk itu?”

Sama seperti Amar, Deka mencoba menyelidiki setiap sudut rumah. Kalaupun orang itu sudah pergi mungkin ada petunjuk yang bisa memberikan informasi mengenai kemana perginya Reynaldi ataupun petunjuk lain.

Deka, Roy, Amar Barok, dan Simon saat itu berada di depan sebuah rumah yang cukup besar di suatu kawasan perkampungan di wilayah utara kota, tidak jauh lokasinya dari stadion baru. Rumah besar itu memiliki pekarangan yang cukup luas dan pagar tinggi – pagar yang tentunya tidak jadi penghalang bagi mereka berempat.

“Sebenarnya ada satu petunjuk sih.” Deka mencubit-cubit dagunya perlahan sembari mengerutkan kening, menandakan dia sedang berpikir keras, “Kalian lihat tanda di dekat tiang di samping pintu masuk? Tiang untuk garasi?”

Roy buru-buru mendatangi tiang yang dimaksud oleh Deka. “Tanda apa, Ndes?”

“Di sebelah luar kiri, tidak terlihat dengan jelas karena menyaru dengan warna tiang – tapi ada di sana.” Deka menunjuk ke satu sisi. “Rasa-rasanya benda itu bisa memberikan clue mengenai Reynaldi ini sebenarnya siapa.”

Roy mengiyakan, “Iya. Ada semacam emblem tembaga tertanam di tiang ini. Emblem seekor singa bermahkota. Apakah ini petunjuknya? Memangnya apa artinya?”

Amar Barok terbelalak, ia buru-buru menghampiri Roy dan memeriksa emblem yang menempel di tiang garasi. Ia meraba emblem itu untuk sesaat dan bersungut-sungut, “Sial. Kamu bener, Kun. Ini emblem asli. Masalah si Reynaldi ini baru saja berubah menjadi masalah besar.”

Simon menghela napas dan bersidekap menyilangkan tangan, sepertinya ia menyadari seberapa serius kondisi sebenarnya. “Emblem tembaga semacam itu ya… Kalau emblem itu maksudnya seperti yang aku perkirakan, maka keadaan bener-bener jadi sangat buruk. Ada kemungkinan kita tidak akan bisa menyentuh bajingan itu. I have a bad feeling about this.”

“Ada yang bisa menjelaskan padaku apa maksud emblem ini dan kenapa tiba-tiba semua orang jadi parno?” tanya Roy kebingungan. “Bukankah kita seharusnya tetap harus mengejar si Reynaldi bajingan ini apapun resikonya?! Ayolah kalian! Dia pembunuh dan pemerkosa! Bajingan yang tidak boleh dibiarkan hidup!”

“Aku akan tetap membantumu, tapi kamu harus tahu konsekuensinya dahulu,” Amar Barok mencoba menjelaskan, “Secara simpelnya, emblem itu tidak dimiliki orang secara bebas. Emblem itu adalah penunjuk bahwa siapapun yang tinggal atau pernah tinggal di rumah ini, maka dia mendapatkan perlindungan ekstra dari kelompok paling kuat di utara – itu logo mereka,”

“Dengan kata lain, dia dilindungi hidup mati oleh QZK,” lanjut Deka. “Kamu tahu sendiri apa artinya itu. Kita harus memutar otak untuk menjebak bajingan ini dengan cara lain karena kalau nekat pakai force, maka kita harus berhadapan langsung dengan QZK.”

Roy menjadi semakin geram. “Brengseeeeek! Siapa sih orang ini? Kenapa bisa kenal sana-sini?”

“Kalian semua tentu tahu jika kita menyentuh sehelai saja rambut penghuni rumah ini, maka QZK akan memburu kita dan keluarga kita tanpa ampun. Itu sudah prosedur dan sumpah QZK yang bahkan om Janu sekalipun tidak akan langgar, karena mereka terikat pada kontrak si pemilik emblem. Kalau kita berani macam-macam, maka kita sama saja mengundang seekor singa untuk masuk ke kandang kita,” Simon membeberkan situasinya.

“Tapi orang ini kriminal!” Roy masih ngotot, dan itu wajar. “Om Janu mungkin bisa memberikan kita kelonggaran.”

Deka mengangguk. “Intinya kita harus bicara dengan om Janu. Siapapun yang pernah menghuni rumah ini, beliau pasti tahu – atau setidaknya bisa mencari tahu. Kita bisa mulai dengan menjelaskan situasi sebenarnya bahwa QZK sedang melindungi seorang kriminal yang telah membunuh orang tak bersalah dan berharap kita dapat mengekstrakdisi orang itu dari proteksi QZK.”

“Itu langkah terbaik, kita tidak boleh gegabah menyerang karena serangan balik dari QZK akan sangat mengerikan,” ujar Amar Barok. “Aliansi pasti belum siap.”

“Tapi sebentar… seandainya orang itu kini tinggal di rumah tanpa emblem tembaga QZK, apakah itu artinya dia dapat kita serang? Kan dia sudah tidak tinggal di rumah ini lagi, dia tinggal di tempat lain.” Roy mencoba mencari celah.

Amar Barok menggeleng, “Sama saja. Kontrak emblem tembaga mengikat ke person dan keluarganya, bukan ke rumah yang mana. Kita tidak akan dapat menyentuh orang itu sebelum QZK melepas proteksi mereka. Kalau mau cepat, kita harus menghubungi Nanto dan bersamanya kita ke om Janu.”

Roy mengangguk, “Baiklah, kita coba hubungi Nanto dan…”

Simon mengenduskan hidungnya berulangkali ke udara. Tangannya diletakkan di pundak Roy untuk menghentikan ucapan sang pengendara angin. “Kalian mencium bau ini tidak? Seperti ada bau sesuatu…”

Deka mengangguk sembari ikut mengendus-enduskan hidungnya, tangannya menunjuk ke pagar. “Betul. Tiba-tiba saja ada bau yang sangat aneh. Bagaimana kalau kita pergi dari pekarangan rumah ini sekarang? Toh kita tidak menemukan apa-apa.”

Amar Barok mendengus, tenaga Ki-nya menyala. Ia menggeram dan berbisik, “Terlambat. Ada yang datang. Bersiaplah kalian.”

“Sudah menemukan apa yang kalian cari?”

Simon, Deka, Roy, dan Amar Barok langsung bersiaga penuh. Siapakah yang baru saja berucap? Apakah rumah kosong ini sebenarnya masih ada orang yang menjaga? Mereka berempat tak perlu berlama-lama bertanya karena sesaat kemudian muncul selintas bayangan berkelebat menghalangi jalur mereka ke arah pagar.

Tiga orang pria muncul dan berdiri di depan Deka dan kawan-kawan.

Meski sudah lama berkecimpung di dunia hitam, tapi Amar Barok tidak mengenal ketiga sosok asing tersebut. Siapa mereka?

Pria terdepan maju – sosoknya yang berkulit hitam legam, berambut keriting, dan bertubuh bongsor bagaikan raksasa pemakan segala yang mampu mengintimidasi keempat anggota Aliansi. Dari sosoknya terlihat bahwa dia memiliki tubuh yang bahkan lebih besar dari Amar Barok ataupun Simon.

Si hitam kelam mengulang ucapannya, “Aku ulangi lagi. Sudah menemukan apa yang kalian cari?”

Amar melangkah di depan sang adik dan kedua rekan Aliansi-nya. Dia tidak mau gegabah terhadap orang yang tidak ia kenal, karena saat ini posisi mereka telah melanggar kawasan pribadi milik orang lain, maka Amar berusaha sesopan yang ia bisa.

“Kami datang dengan hanya satu tujuan, kami berniat meminta pertanggungjawaban dari pemilik rumah ini atas beberapa kasus kekerasan. Tapi karena orang itu sepertinya tidak ada di tempat, jadi…”

Si kuit hitam maju tanpa gentar untuk menghadapi Amar Barok, saat bersidekap ia memperlihatkan tato pistol di lengan kirinya. “Apakah kalian anggota RT, RW, Dukuh, Lurah, atau Camat setempat?”

Amar berdehem, “Bukan.”

“Apakah kalian polisi?”

Amar menggeleng.

“Apakah kalian punya surat-surat resmi untuk melakukan penggerebekan?”

Amar kembali menggeleng.

“Jadi menurut kalian, apakah kalian punya hak untuk melakukan penggeledahan?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa kalian berada di tempat ini dan kenapa kami harus mengijinkan kalian untuk masuk ke pekarangan rumah ini? Sudah ganda nyawa kalian?”

“Itu sebabnya kami akan meninggalkan tempat ini tanpa perlu dilanjutkan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan kedua belah pihak. Kami minta maaf seandainya kehadiran kami mengganggu.”

“Baiklah, kita juga tidak perlu memperpanjang urusan. Dalam hitungan kesepuluh, kalian sebaiknya segera meninggalkan tempat ini. Karena jika tidak, kami tidak akan segan-segan. Ingat bahwa kalian yang masuk ke pekarangan rumah kami, bukan sebaliknya.”

Amar Barok mengangguk dan membalikkan badan, demikian juga dengan Simon, Deka, dan Roy yang kemudian keluar dari sebuah pintu gerbang yang dibukakan oleh salah satu dari ketiga orang penjaga. Satu persatu mereka mengangguk pada para penjaga.

Si pembuka pintu awalnya terdiam, tapi ketika Amar Barok melaluinya, ia mendongakdan memperlihatkan wajah yang tersenyum menyeringai, dia berbibir sumbing.

“Amar Barok dan Simon sang Pemuncak Gunung Menjulang, para punggawa Aliansi. Wajah-wajah yang cukup populer. Kita pasti akan bertemu lagi di lain waktu.”

Amar melirik ke orang itu dan akhirnya menyadari sesuatu, dia hanya mengangguk terhadap si senyum sumbing yang menyeringai.

Deka dan kawan-kawan akhirnya kembali ke motor mereka. Roy yang kembali tidak bisa menahan emosi. “Bagaimana sekarang? Kita harus ke om Janu? Sekarang atau bagaimana?”

Deka menggeleng, “Sebaiknya menunggu si Bengal – dia yang sangat dipercaya om Janu. Masalah ini sudah urgent karena menyangkut kasus pembunuhan, aku sudah tidak peduli apakah RKZ akan menyerang Aliansi atau tidak tapi tujuan utama kita adalah mencari Reynaldi. Kalian bertiga bersiap-siap karena kondisi utara sedang panas gara-gara serangan PSGxRKZ ke Talatawon, aku pulang dulu ke Pantai Selatan mengambil obat pemunah racun.”

Simon melirik ke arah Amar Barok yang tiba-tiba saja terdiam. “Ada sesuatu? Kenapa tiba-tiba terdiam?”

Amar Barok mendengus dan menatap satu persatu, “Sial, akhirnya aku tahu siapa mereka, aku pernah mendengar anak-anak Dinasti Baru membicarakan ketiga orang itu – aku mengenalinya dari tato pistol di tangan si kulit hitam dan sosok si bibir sumbing tadi. Kita baru saja berhadapan dengan unit QZK Phantom Gate. Ini bakal panjang urusannya kalau tidak segera kita hindari konfrontasinya.”

“QZK Phantom Gate? Siapa mereka?” tanya Deka.

“Unit pasukan QZK bawahan om Mugianto atau Muge sang Monster, salah satu dari Empat Perisai QZK. Aku hanya mengenal nama julukan, bukan nama asli. Yang hitam besar tadi sepertinya yang dipanggil Hugo, lalu yang sumbing tadi si JJ alias Crazy Horse, dan yang satu lagi di belakang dan diam saja adalah si Yon atau Papilon. Mereka bukan orang-orang lemah,” lanjut Amar Barok, “QZK sepertinya sedang sensitif. Mereka mengirimkan pasukan ke semua aset mereka untuk berjaga-jaga termasuk di tempat ini. Setelah kejadian dengan Talatawon mereka tidak mau kecolongan lagi.”

“Tapi kenapa tempat seperti ini dijaga oleh punggawa-punggawa QZK?” tanya Simon.

Amar mengangguk sembari mengenakan helmnya. “Itu juga yang jadi pertanyaanku. Satu-satunya jawaban adalah… siapapun yang tinggal di rumah ini, selain mendapatkan proteksi dari QZK, dia juga pasti salah satu orang penting di sana. Rumahnya saja dijaga, apalagi orangnya.”

“Kampret!” Roy kembali mengumpat. “Apakah benar-benar tidak ada jalan untuk meringkus si Reynaldi busuk ini? Jangan-jangan nanti om Janu juga tidak mau merelakan dia?”

“Kita lihat saja nanti.” Suara Amar terdengar gamang.

Dia tidak bisa menjawab.





.::..::..::..::.





Terdengar guntur bertalu.

Bagaikan genderang perang yang tengah ditabuh sosok raksasa di angkasa.

Gelap berkuasa menjelajah dari ujung ke ujung, dari sudut ke sudut, ke sela-sela batu karang, ke sisi-sisi rumah hingga pekarangan. Tidak ada cahaya tegas menyala,

Suasana redup menjadi terang sesaat ketika kilat mengkilat lewat, lalu kembali gelap setelah cahaya berkelebat. Pertanda bahwa langit muram telah datang ke bumi, hujan deras menyambangi, dan angin kencang mengikuti. Dari ujung ke ujung, dari ufuk ke ufuk, sudah bukan pertanda lagi, karena kini datang cuaca yang tidak bersahabat.

Kalau sudah begini, hal buruk apa lagi yang bisa terjadi?

“Kita tidak akan bisa kemana-mana untuk sementara,” ucap Nanto saat mengamati suasana melalui sela-sela tirai jendela.

“Sepertinya begitu,” balas seorang gadis jelita di belakangnya.

“Langitnya gelap banget.” Si Bengal berjalan ke arah jendela, masih terus mengamati melalui sela-sela tirai. “Tempat ini bakal dilanda badai, anginnya juga kenceng banget. Mungkin itu sebabnya listrik di sekitar sini dimatikan. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.”

Pemuda itu membuka tirai jendela dan mengamati hujan turun tanpa jeda dari cakrawala hingga ke posisinya berdiri sekarang - di sebuah kamar di hotel yang berada di Pantai Selatan. Hotel yang ternyata sepi tanpa teman-temannya di sana. Kemana yang lain? Roy dan Rania? Amar dan Deka? Bahkan Hageng dan Bian yang seharusnya beristirahat juga tidak nampak batang hidungnya. Apakah telah terjadi sesuatu?

Mungkinkah ada kode bravo?

Sial. Kenapa justru di saat-saat seperti ini ponselnya kehabisan baterai dan listrik di hotel pun padam?

Nanto memandang ke arah pantai yang tengah diamuk oleh badai. Beberapa kali kilat memancar, beberapa kali guntur terdengar, memekakkan telinga, menggetarkan tempat di mana si Bengal berada. Kalaupun balik ke kota, mereka harus menunggu beberapa saat lagi, karena hujan deras dan jalan yang gelap bukanlah hal yang ingin ia lewati saat ini.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” kembali terdengar suara si cantik di belakang si Bengal. Gadis itu sepertinya tenang-tenang saja.

Nanto menengok ke arah Hanna yang sedang menyalakan lilin yang didapat dari petugas hotel.

“Ponselku juga sebentar lagi bakal habis baterainya – dan kita juga tidak bisa nge-charge entah untuk berapa jam lagi.” Hanna mengetuk ponselnya dan menarik napas panjang, “kita terjebak di sini, Mas.”

Nanto duduk bersandar di dekat jendela. Ia mengangguk. Entah Hanna melihatnya atau tidak karena suasana kamar ini makin lama makin gelap. Sebenarnya si Bengal tidak ingin mengajak Hanna ke tempat ini, namun karena gadis itu terus memaksa, dia tidak punya pilihan lain. Nanto memang paling lemah kalau soal beradu cakap dengan kaum wanita.

Setidaknya cahaya lilin membuat kamar ini terlihat lebih terang.

“Kamu menyesal?”

Hanna tersenyum dan menggelengkan kepala, meski di bawah redupnya cahaya lilin sekalipun, gadis itu tetap saja terlihat cantik dan mempesona. Rambut hitam panjangnya dikuncir ke atas membentuk bun. Ia memeluk kakinya sendiri yang jenjang dan matanya menatap tajam ke arah si Bengal dalam remang-remang.

“Mas…”

“Ya?”

“Aku tidak tahu kapan aku pulang setelah aku berangkat ke luar negeri. Jadi aku ingin memanfaatkan waktuku sebanyak mungkin bersamamu.”

Nanto mengangguk.

Hanna tersenyum tulus. Cantik sekali. Nanto memalingkan wajahnya, takut terpesona. Dia tidak ingin memanfaatkan situasi dengan melakukan hal yang tidak baik pada gadis yang sudah sangat baik padanya itu.

“Mas…”

“Ya?”

“Aku cinta sama kamu.”

Nanto terdiam, dia menundukkan kepala. Sekali lagi, dia tidak tahu apa yang bisa dia ucapkan untuk menjawab pernyataan itu. Dia terikat pada Kinan, pada cinta mereka berdua, dan pada sang jabang bayi yang belum lahir. Jika kemudian dia menjawab Hanna, laki-laki macam apa dia? Dia tahu salah dan salah tidak lantas menjadi benar.

“Hanna…”

“Aku belum selesai.”

Nanto kembali terdiam.

“Ijinkan aku berbicara sedikit lebih panjang ya, Mas.”

Nanto menatap Hanna yang meringkuk di dekat meja tempat ia meletakkan lilin.

“Aku cinta sama kamu, Mas. Itulah sebenar-benarnya perasaanku buat kamu. Tulus dari dalam hati yang terdalam, tanpa embel-embel abcd. Entah sejak kapan aku merasakannya, tapi sejak pertama kali kita bertemu di warung dan kamu mengembalikan ponselku, aku merasa ada yang berbeda tentangmu. Masih ingat? Sejak saat itu ada rasa canggung setiap kali bertemu denganmu, apalagi ketika kemudian kita ketemu di rumah sakit. Setelah itu semuanya bagaikan bola salju yang terus bergulir dari atas bukit, semakin lama semakin besar dan tak bisa kubendung – padahal saat itu aku sudah bertunangan.

“Tapi sebelum kamu protes, kamu tenang saja, Mas. Aku tidak ingin merebutmu dari Kinan. Pertama karena dia sekarang sudah seperti sahabat bahkan saudara bagiku, kedua karena aku paham dengan banyaknya masalah yang kalian hadapi. Kinan sedang sangat-sangat membutuhkanmu lebih dari aku. Sekarang lebih dari kapanpun. Dia kehilangan kepercayaan keluarganya dan hanya kamu yang menjadi tumpuan hidupnya. Aku akan menjadi orang yang sangat-sangat berdosa jika merebutmu sekarang.

“Tapi… tapi di sisi lain aku juga sudah lelah mengalah dan berkorban untuk orang lain. Selama ini aku melakukan semuanya demi orang lain, untuk orang lain, karena orang lain akan berbahagia. Aku tidak pernah melakukan apapun untuk diirku sendiri. Meski untuk sesaat saja, aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dengan tenang dan damai. Meskipun itu hanya sekejap, meskipun itu hanya bohongan, meskipun aku tahu situasimu, aku tetap pengen egois memilikmu untuk beberapa saat saja. Aku pengen bilang aku sayang sama kamu tanpa merasa bersalah.”

Hanna meneguk ludahnya. Suaranya berubah menjadi parau – penanda kalau dia mengungkapkan perasaannya yang terdalam. Ada sedikit nada suara yang menandakan kalau sebentar lagi ia akan menangis.

“Mas, aku mencintaimu dan aku bakal terus menyimpan namamu di hatiku dimanapun aku berada, kemanapun aku pergi. Kebahagiaanmu penting bagiku, jadi aku rela mengalah demi kalian berdua.”

Nanto menunduk.

“Mas Nanto tahu sendiri, sudah sejak lama aku selalu mengalah. Saat bersama Glen aku selalu mengikuti apapun yang dia ucapkan, menjalani apapun yang dia perintahkan, rela diperlakukan kasar. Aku rela karena aku dulu yakin dia pasanganku yang terakhir - setidaknya karena aku mengikuti anjuran keluarga. Demi masa depan dan demi keluarga aku rela disakiti baik fisik maupun batin, karena aku pikir akan ada suatu saat di masa depan nanti dia akan berubah. Dia orang yang aku pikir juga sayang sama aku dan itu dia buktikan di akhir hayatnya. Masa depan itu akhirnya tidak datang buatku ataupun dia dan sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

“Aku kesepian tapi tidak pernah merasa sepi, karena aku tahu kamu selalu ada di sana untuk aku, Mas. Aku yakin seyakin-yakinnya untuk pertamakalinya dalam hidupku – kalau aku ingin bersama dengan orang yang paling aku sayangi, meski itu hanya untuk batas waktu yang singkat. Aku ingin selalu bersamamu, meski kamu tidak merasakan hal yang sama.

“Jadi setelah panjang lebar menjelaskan… aku punya satu pertanyaan, Mas. Seandainya tidak ada Kinan, seandainya mungkin, seandainya hanya untuk malam ini saja – apakah kamu akan menerima cintaku?”

Tiba-tiba saja Hanna meniup cahaya api mungil yang membakar lilin. Ruangan pun menjadi gelap gulita. Nanto mendongak, mencoba mencari di mana Hanna berada. Di luar sana hujan masih turun deras tanpa ampun.

“Koreknya ada di atas meja, Mas. Kalau kamu juga ada sedikit perasaan untukku dan bersedia menerima cintaku dalam batas-batas yang sudah aku sebutkan tadi, nyalakan lilinnya. Tapi kalau tidak, biarkan tetap gelap sampai listrik menyala kembali. Kalau tiba-tiba listrik menyala maka memang sudah takdir kita tak akan pernah bersama.”

Nanto terdiam.

Apa yang harus dia lakukan?

Kepalanya berputar, gadis demi gadis yang menyambangi hidupnya satu persatu hadir di dalam benaknya. Ara – cinta pertamanya yang kini sudah menjalani kisah cinta dengan orang lain, Bu Asty – obsesi hasrat pribadinya sejak masa-masa sekolah, Kinan – gadis yang ia pilih sebagai pendamping sekaligus calon ibu anaknya, Nada – gadis yang tiba-tiba saja hadir dan berkaitan dengannya karena kasus RKZ, dan tentunya Hanna – si cantik yang selalu ada dan membantunya.

Apa yang harus dia lakukan? Si Bengal memejamkan mata, mencari jawabannya di lubuk hati yang terdalam, dia harus bertanya kepada siapa?

Hidup ini hanya sekali. Lakukan apa yang menurutmu benar.

Entah siapa yang mengatakan itu. Kebenaran itu relatif bukan? Apa yang benar menurutmu belum tentu benar untuk orang lain. Apa yang tepat dilakukan bisa jadi akan ada konsekuensi di masa depan. Semuanya punya plus minus tapi harus diputuskan.

Nanto mendesah, “Aku tidak bisa meninggalkan Kinan demi kamu, Hanna. Tapi aku tahu aku juga punya perasaan yang sama dan aku tidak ingin menyakitimu sama sekali, seandainya ini bisa membuatmu merasa bahagia walau untuk sekejap saja…”

Nanto berdiri dan berusaha berjalan menuju meja di mana lilin berada, agak sulit melakukan itu dalam kegelapan. Dia melangkah pelan-pelan sampai akhirnya menemukan meja itu. Mana korek apinya? Tak perlu waktu lama dan Nanto menemukannya, ia pun menyalakan lilin.

Di mana Hanna berada?

Saat lilin kembali menerangi kamar, Nanto membalikkan badan dan terperangah.

Hanna mendekatinya, perlahan-lahan. Setiap langkahnya membuat Nanto meneguk ludahnya sendiri.

Mata gadis itu bagaikan menyala di tengah kegelapan. Ia mendorong si Bengal ke dinding, keduanya terdiam, saling menatap, terpaku di tempat mereka masing-masing. Tidak ada yang bertanya, tidak ada yang menjawab.

Mulut Hanna merekah, ia mendorong kepalanya ke depan lalu mencium si Bengal.

Mereka berdua berpagutan.

Nanto kaku terdiam tak bergerak saat ia mencium Hanna, matanya terpejam karena rasanya sungguh berbeda. Dia mungkin melakukan pengkhianatan, dia mungkin tak seharusnya melakukan ini, dia selalu teringat pada seorang wanita yang sedang tergolek di rumah sakit, tapi dia juga merasakan ketulusan gadis yang sedang bersamanya dan tak kuasa menolaknya. Dia merasa apapun yang akan dia lakukan adalah hal yang salah. Batinnya berperang, tapi entah kenapa tidak ada yang menghentikan, tidak ada suara-suara yang menahan.

Nanto awalnya terdiam, tapi kemudian membalas ciuman Hanna.

Bibir keduanya beradu, Hanna karena melepas rasa yang ditahan entah sudah berapa lama. Nanto karena suasana yang sepertinya mendorongnya untuk melakukan apa yang sedang ia lakukan sekarang. Listrik padam, suasana gelap, hujan deras, semilir angin dingin, hari yang beranjak menuju malam. Suasana ini tak kuasa ditolaknya.

Kalau sudah soal wanita, Nanto tak pernah bisa berkutik, Nanto bahkan tak berani menyentuh gadis itu. Tapi sudah jelas dia tidak mungkin diam saja…

…karena Hanna sudah tanpa busana.





.::..::..::..::.





“Tidak apa-apa. Aku sendiri saja.”

“Yakin? Hahhahaa. Maaf nih, tiba-tiba zaja ban motornya kempez. Hahaha.”

“Iya ih, tidak apa-apa. Kan udah gede.” Kedip Eva genit, “Gede badannya, gede bagian lainnya. Hihihi.”

Hageng meneguk ludah karena tiba-tiba saja Eva menyorongkan dadanya. Wanita cantik itu tertawa melihat Hageng dan bapak penambal ban sama-sama bengong. Sebelum terjadi huru-hara Eva langsung meninggalkan mereka untuk menuju suatu gedung bertingkat di depan.

“Lagian apartemennya kan cuma di depan sana, kelihataan dari sini kan? Hageng di sini saja nungguin motor dibenerin bannya sementara aku ambil barang-barang yang bisa aku bawa.” Eva tersenyum dan melangkah meninggalkan Hageng yang sedang duduk di kursi sederhana milik seorang tukang tambal ban yang tengah menambal motor yang mereka pakai. “Tapi aku ditungguin ya. Jangan ditinggal lho ya.”

“Hahaha. Nunggu ziaran balap di hari minggu, ziap pazti aku tunggu. Hahahaha.”

“Jual ronde di dekat Tugu, saya juga nunggu. Ahahahaha.” Seloroh tukang tambal ban sok asik.

Eva tertawa. Ia pun berlari menuju ke apartemennya dengan hati senang. Sebentar lagi ia akan ikut Hageng meninggalkan dunia gelap menuju ke kehidupan yang lebih baik, entah bagaimana, entah di mana. Ia berencana meninggalkan semua senyawa sesat yang pernah menghantui malam-malamnya. Dia tidak tahu kehidupan baru semacam apa yang akan ia jalani, yang jelas bukan seperti yang sekarang – tidak mencari uang dengan merenggangkan kaki demi laki-laki yang menjijikkan dan melakukan blackmail yang berujung pada kesedihan dan kriminalitas.

Ia sudah lelah melakukan itu semua.

Karena tidak ingin menimbulkan masalah karena masih ada beberapa orang yang mengerumuni TKP tempat kematian sang tetangga, Eva memilih untuk ke apartemennya melalui tangga darurat. Akses yang sama yang sebelumnya dilalui oleh Hageng.

Tapi ternyata baru empat tingkat saja dia sudah lelah. Hahaha. Menyerah, Eva membuka pintu di lantai lima dan menyusuri lorong untuk menggunakan lift ke atas. Lantai lima ternyata digunakan sebagai ruang kantor, sehingga hanya terdapat lorong-lorong panjang saja, bukan kamar-kamar apartemen dan suasana sepi karena apartemen ini dikosongkan usai adanya insiden kematian salah satu penghuninya.

Belum sampai di lift yang ia inginkan, tiba-tiba saja listrik padam. Sudah pasti lift tidak akan bisa ia gunakan. Duh, kalau begini Eva harus kembali lagi ke tangga darurat tadi atau turun ke bawah saja sampai lampu menyala kembali. Si cantik itu pun berlari menuju ke arah pintu darurat kembali. Untung saja lantai ini masih ada sedikit cahaya yang datang dari lampu penerangan darurat yang menyala redup di setiap sudut.

Eva buru-buru berlari karena tidak menyukai lantai yang sunyi senyap dan gelap, tapi dia tidak hapal jalannya. Ngeri banget di lantai yang sepi begini sendirian.

Apalagi tadi ada yang mati. Hiiy, serem aja gitu sendirian di sini.

Sayangnya Eva tidak sendiri.

Jalannya tiba-tiba saja terhenti ketika ada satu bayangan di depan.

“Ha-Hageng?”

Sosok itu tak menjawab tapi berjalan ke depan dengan berani.

“Ma-maaf, apakah tangga daruratnya bisa dipakai? Saya mau turun.” Eva mencoba bercakap-cakap dengan sosok yang berada di kegelapan.

Tapi sosok itu tak menjawab, dia terus saja berjalan menuju Eva. Wanita cantik itu pun melangkah mundur ketakutan. Gawat, siapa nih? Tangannya memegang ponsel dan mulai mencari nama Hageng di kontak.

Tiba-tiba saja terdengar ucapan dari sang sosok gelap.

“Kamu pikir kamu bisa bertindak sesukamu? Kamu pikir kamu bisa lari dari jerat kami? Tidak ada yang bisa lepas dari kegelapan setelah terperosok ke dalamnya. Once you go black, you can never go back.” Seorang pria keluar dari kegelapan. Eva tidak bisa melihat dengan jelas siapa dia. Tapi dari postur tubuh dan tinggi badannya sudah jelas dia bukan Hageng. “Berani-beraninya kamu menceritakan rahasia sindikat kami ke polisi. Kamu sudah tahu apa itu artinya, Eva. Kamu benar-benar harus dibungkam sebelum lebih banyak lagi rahasia kami kamu beberkan, apalagi rahasia para klien. Dasar gadis sundal tak tahu diri.”

Sosok siapa pria itu sebenarnya akhirnya nampak di depan Eva ketika ia melalui lampu emergency. Gadis itu menatap dengan tatapan ngeri bagaikan melihat sesosok hantu, ia mundur ketakutan.

“Ma-Mas Adam… Mas, aku bisa jelaskan, Mas. Aku terpaksa menceritakan itu ke polisi untuk menyelamatkan temanku dari tuduhan karena dia tidak bersalah. Tapi setelah ini aku bakal diam saja, Mas. Setelah ini aku bakal diam total, tidak akan buka suara ke siapapun, tidak akan cerita apa-ap…”

Sblp.

Eva merasakan sesuatu yang aneh. Ia melirik ke bawah. Ada satu benda tajam yang sudah menembus perutnya dari arah samping. Eva lantas melihat ke depan. Adam masih berada di jarak yang cukup jauh darinya. Lalu siapa yang…

Benda tajam itu ditarik, lalu ditusukkan lagi, lalu ditarik, dan ditusukkan lagi, lalu lagi, lalu lagi, lalu lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi.

Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp.

Tubuh Eva tersungkur, ia tidak bisa berkata apa-apa, ia bahkan sudah tidak bisa merasakan rasa sakit ketika tubuhnya luruh ke bawah.

“Kamu bahkan tidak bisa membereskan cewek seperti ini,” Sosok lain muncul di samping tubuh sang wanita cantik yang kini terbaring sekarat bersimbah darah, seorang pria dengan sarung tangan hitam. Ia menunduk dan membersihkan pisaunya di baju yang dikenakan Eva. “Tidak akan ada yang kehilangan gadis semacam dia. Hanya satu sampah masyarakat yang tidak layak hidup. Dia mengira bisa dengan mudah dimaafkan dan kembali ke masyarakat. Memangnya siapa dia? Mantu presiden? Kalau hanya bermodalkan cantik saja, kita pasti bisa mencari gantinya.”

“Hrmph.” Adam melengos.

“Masa yang begini juga mesti aku yang ngurus? Sekalinya kerja kamu malah salah sasaran, yang mati orang lain. Dasar bodoh. Jangan hanya mau enaknya saja ngurusin ciwi-ciwi! Kerja kotor juga dong! Untung saja kita sudah memasang pelacak GPS di dompet yang ia bawa, jadi tahu kemana dia akan berakhir.”

“Aku baru saja hendak…”

Si sarung tangan hitam melemparkan pisaunya ke arah Adam Ladam. Pria itu pun menerimanya dengan sigap. Mahirnya si sarung hitam melempar dan menempatkan gagang pisau ke tangan Adam, sehingga dia bisa menangkapnya dengan mudah.

Si sarung tangan hitam menunjuk pisau itu. “Singkirkan. Aku tidak mau itu ditemukan dimanapun oleh siapapun.”

“Baiklah. Bagaimana dengan tubuhnya?” Adam menunjuk ke arah Eva.

“Tinggalkan saja di sini, nanti juga ada yang menemukan. Paling-paling polisi akan menunjuknya sebagai korban perampokan atau apalah. Kalau ada masalah di kantor, aku yang akan mengurus dan memastikannya. Sampaikan saja pada Bos kalau aku sudah membereskan semua kotoranmu.” Pria bersarung tangan hitam itu terkekeh, “Sial banget nasibku. Lagi-lagi aku harus jadi cleaning service yang harus membersihkan kotoran kalian.”

“Terima kasih,” ucap Adam lirih.

“Apa?” si sarung tangan hitam pura-pura tidak mendengar, “apa yang barusan kamu bilang?”

Adam mendengus kesal, “Aku bilang terima kasih! Terima kasih kamu sudah berulangkali membantu kami membereskan semua masalah.”

Tch. Kita bertemu lagi kapan-kapan. Mudah-mudahan tidak secepatnya, karena aku punya banyak urusan.” Si sarung tangan hitam berdiri dan membalikkan badan untuk berjalan ke arah tangga darurat.

“Hei.” Adam mencoba memanggil si sarung tangan hitam.

Tapi yang dipanggil tidak memperhatikan, dia tetap terus berjalan.

“HEI!”

Si sarung tangan hitam melambaikan tangannya tanda dia tidak peduli.

“RAMA!”

Saat itu juga lampu di lantai itu menyala sempurna.

Si sarung tangan hitam berhenti berjalan, membalikkan badan dan menatap Adam dari kejauhan. “Bajingan, sudah berapa kali aku bilang jangan pernah sebut namaku di..”

Si sarung tangan hitam yang ternyata adalah Rama kemudian terbelalak saat menatap Adam. Pria itu sedang membungkuk dengan wajah ketakutan di dekat Eva yang sudah tak bernyawa. Adam baru saja membalik mayat Eva. Mata wanita jalang itu terbuka, namun bibirnya menyunggingkan senyum.

Pandangan Rama beralih ke tangan Eva.

Di tangan Eva tergenggam ponsel yang sebelumnya diberikan oleh Kapten Ri. Ponsel itu menyala dan percakapan mereka barusan terkirim ke seseorang.

Rama menghela napas panjang.

Kampret.

Pintu tangga darurat terbuka.

Seorang pria berdiri tegap di depan pintu dengan terengah-engah. Kemungkinan ia baru saja mencari dari lantai ke lantai. Begitu tegap dan besar badannya sehingga seakan-akan menghalangi cahaya yang memancar. Wajahnya memerah, marah. Matanya merah, marah. Emosinya memuncak, marah. Begitu marahnya pemuda bertubuh raksasa itu seakan-akan ada asap yang keluar dari tubuhnya.

Tangannya memegang ponsel yang sama seperti yang dipegang oleh Eva.

Terdengar guntur bertalu. Satu kilat menyambar angkasa.

Nada suara geraman pria bertubuh tegap itu bergetar, apalagi setelah ia melihat tubuh wanita jelita yang ia sebutkan namanya tengah tergeletak bermandikan darah. Napas pria tegap itu menderu, ia berusaha tenang, tapi sepertinya itu tidak mungkin.

Dia sudah tidak peduli lagi pada apa yang akan terjadi pada bajingan-bajingan di depan matanya ini.

Malam ini juga, ia akan menciptakan neraka.





BAGIAN 3 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4
 
Bimabet
BAGIAN 3
DUA SEJOLI






“Pertemuan dua kepribadian itu ibarat kontak dua zat kimia.
Jika ada reaksi, keduanya berubah.”
- Carl Jung






“Lalu bagaimana sekarang?”

Pertanyaan itu membuat Pak Zein melemaskan badannya, tubuh yang semula membesar dengan otot-otot mengencang, kini kembali normal seperti semula. Napas yang tadinya memburu dan jantung yang sebelumnya berdetak dengan kencang, kini dihempaskan. Tubuhnya menjadi lebih rileks dan santai. Pimpinan JXG itu lantas tersenyum sembari mengelap keringat dengan kain handuk kecil berwarna putih.

Masih dengan bertelanjang dada, sang pimpinan JXG yang penampakan luarnya terkesan langsing namun ternyata masih sangat berotot itu duduk di kursi di samping seorang pria yang baru saja mengajukan pertanyaan. Ia mengenakan kembali kaus hitam yang tadinya sempat ia lepas.

Mereka berdua sedang duduk di sebuah teras indoor sembari mengamati jalan lingkar selatan yang menuju ke arah bandara baru di tingkat paling atas sebuah rumah mewah. DI belakang mereka terdapat gym dengan peralatan lengkap yang baru saja digunakan oleh keduanya, sementara di samping terdapat satu kolam renang endless dengan arus yang bisa diatur.

“Bagaimana apanya, kok njenengan malah jadi membuat saya deg-degan ini.” Seloroh Pak Zein menjawab pertanyaan yang sebelumnya diajukan oleh sang tamu. Ia menuangkan jus jeruk segar ke dalam dua gelas kosong yang ada di atas meja di samping mereka. “Monggo diunjuk lho. Silakan diminum, jangan sungkan-sungkan.”

“Ha nggih.” Orang itu pun turut mengambil gelas yang sudah diisi oleh Pak Zein dan meminumnya. “Sueger ini, Mas. Apalagi sembari melihat pemandangan yang seperti ini. Biasanya wilayah selatan itu panas, nggih. Tapi kalau dari sini kok semua terlihat adem, ayem, tentrem.”

“Makanya njenengan jangan terlalu sering main ke utara. Di selatan pun banyak yang belum dijelajahi. Njenengan kan tinggal di kawasan selatan, tapi kok lebih seneng main ke utara. Sudah lihat pantai terbaru? Pantai Krokol di Sobogiri? Kawasan yang sebelumnya tertutup di sana sekarang sudah dibuka untuk umum. Pantainya putih resik, Pak. Apik.”

“Wah, mantep itu, Mas.”

“Bener, Pak. Saestu, sungguh. Kapan-kapan kita main-main kesana.” Pak Zein tersenyum, “Tapi kalau hari ini, kedatangan njenengan sepertinya justru membawa angin yang cukup kencang yang mambu-mambu udan. Mendung kelihatan di sana itu, kayaknya kawasan selatan bakal diguyur hujan deras.”

“Baguslah, bikin seger.”

“Setuju, Pak. Bikin sawah tambah ijo, bikin jalanan jadi resik kembali.” Pak Zein meletakkan gelasnya, “jadi dengan tidak mengesampingkan basa-basi… tujuan njenengan selain ngajakin saya nge-gym apa nih, Pak?”

“Lho, lha ini nih, menuduh ini. Apa ya muka saya sedemikian kelihatan bagongnya sampai-sampai njenengan mengira kalau saya datang ke sini ada maksud tersembunyi? Apa ya tidak mungkin saya datang hanya karena ingin melanjutkan persahabatan kita, minum jus, ngobrol-ngobrol santai sembari nge-gym di ruang olahraga yang menurut saya lebih lengkap peralatannya dari semua gym yang ada di kota ini.”

Pak Zein terkekeh, “Sudah pasti kalau sekedar bertegur sapa itu biasa. Tapi kalau njenengan sampai turun gunung itu tidak mungkin kalau tidak ada maksud tertentu. Terakhir njenengan kemari itu sudah beberapa bulan yang lalu.”

Orang itu tertawa, ia mengeluarkan satu buku dari tas yang tadinya ia sandarkan di samping kursi. Ia menyodorkannya pada Pak Zein. Sebuah buku yang terlihat sangat tua dan rapuh, namun ternyata terjalin kuat dan isinya masih dapat terbaca dengan baik. “Titipan dari Ngarso Dalem. Beliau tahu njenengan menyukai belajar ilmu kanuragan. Ini salah satu yang diwariskan secara turun temurun. Beliau menitipkannya pada njenengan untuk dipelajari.”

Pak Zein menatap kitab itu dan tersenyum lebar, “Tentu saja saya tidak berani menolak kalau Ngarso Dalem sudah berkehendak. Tapi ini benar-benar luar biasa, ini ilmu kanuragan yang sangat langka. Tidak pernah muncul di dunia sejak ratusan tahun silam. Ucapkan salam dan terima kasih saya untuk Ngarso Dalem. Semoga selalu diberikan kesehatan dan kesejahteraan.”

“Akan saya sampaikan.”

“Kira-kira beliau saged datang tidak ya untuk acara saya? Ngunduh mantu-nya si Ahmad? Acara sendiri minggu depan ini.”

“Akan saya tanyakan. Tapi jangan berharap banyak karena beliau sedang disibukkan oleh masalah lain yang cukup penting akhir-akhir ini. Kalaupun saya yang datang untuk mewakili apakah njenengan kerso? Bersedia?”

“Dengan senang hati.” Pak Zein membuka-buka kitab yang baru saja diberikan kepadanya dengan wajah riang. “Ini akan masuk ke perpustakaan ilmu kanuragan saya dengan menempati posisi yang cukup elit. Ini bukan ilmu kanuragan main-main, saya benar-benar berterimakasih terhadap titipan yang sangat berarti ini.”

“Setuju. Itu bukan ilmu kanuragan yang main-main dan rasa-rasanya hanya punggawa sekelas Pak Zein yang sanggup menelaahnya. Itu pula sebabnya Ngarso Dalem menitipkannya pada njenengan karena tahu njenengan bisa dipercaya untuk mempelajarinya.”

“Sungguh sangat bangga mendapatkan kepercayaan dari Ngarso Dalem. Apakah mungkin ada yang beliau inginkan dari saya?”

Sang lawan bicara tertawa. “Yo ndak ada yang seperti itu. Beliau kalau memberi itu selalu ikhlas, tanpa minta timbal balik. Lagipula beliau sudah punya semuanya. Tanah dari Pantai Selatan sampai ke pelataran Gunung Menjulang itu yang kagungan beliau, kepunyaan beliau. Tentu saja beliau tidak berkehendak meminta apa-apa lagi dari njenengan, Mas.”

“Seandainya saja ada?” Pak Zein mencoba memancing.

Sang lawan bicara tersenyum, “Yah katakanlah kalau memang ada, kemungkinan besar Ngarso Dalem ingin menanyakan mengenai rencana njenengan tentang… katakanlah tata kota dalam kutip. Pihak keraton mengerti posisi njenengan, tapi juga tidak bisa membiarkan begitu saja terjadi hal-hal yang terlalu merugikan. Dengan kata lain, Ngarso Dalem mengijinkan pembersihan tapi melarang segala sesuatu yang berlebihan. Karena yang berlebihan itu pasti tidak baik dan yang tidak baik itu sudah sewajibnya dipangkas. Setuju bukan? Jadi sebenarnya… kami hanya ingin memastikan apa rencana njenengan.”

Pak Zein langsung paham apa yang dimaksud, “Oh ya? Saya kok jadi bingung. Bukankah hal-hal semacam ini tidak bisa kita kendalikan? Bagaimana kalau misalnya ada daun-daun yang berjatuhan dan dahan yang patah di pelataran? Apakah itu akan dihitung sebagai hal yang aman atau berlebihan? Apakah beliau tidak takut seandainya terjadi kekacauan?”

Senyum orang di samping Pak Zein semakin lebar setelah kembali meminum jus jeruknya. “Dari kekacauan, akan timbul keteraturan. From chaos comes order. Bukan karena kita ingin terjadi kekacauan, tapi karena kita tahu akan ada keteraturan yang muncul sebagai dampaknya. Ketika kita membenahi rumah atau lemari, kita harus terlebih dulu menatanya secara acak bahkan terkadang kacau sebelum akhirnya bisa diatur sesuai yang kita inginkan.”

Pak Zein ikut tersenyum, “Nietzche.”

Ngarso Dalem tidak ingin ikut campur terlalu dalam terhadap upaya-upaya perebutan wilayah yang kalian-kalian lakukan kecuali jika dampaknya sudah sangat keterlaluan bagi masyarakat, kalau ada seleksi alam, biarlah itu yang terjadi. Beliau hanya ingin tahu apa yang sedang njenengan rencanakan setelah ini. Karena beliau ingin bersiap-siap dengan angin sepoi yang bisa berubah menjadi badai dalam waktu dekat, terutama karena beliau sudah menerima tanda-tanda.”

Pak Zein tertawa kecil, “Ngarso Dalem memang punya kemampuan linuwih, sanggup weruh sakdurunge winarah, mampu melihat sebelum terjadi. Kalau memang itu yang ingin diketahui oleh beliau, sepertinya pembicaraan kita akan jadi cukup panjang.”

“Saya punya banyak waktu. Pasti akan jadi cerita yang gayeng.”

Pak Zein tersenyum lebar sembari menatap sang pria yang punya aura ningrat itu. “Kira-kira apakah anda doyan iga bakar?”

“Tentu saja.”

“Cocok.”





.::..::..::..::.





“Adooooooh! Aduuuuh! Ugh, bisa pelan-pelan tidak? Sakit semua ini badan.”

Nuke tersenyum saat melihat Rao menggerutu, mengaduh, dan mengeluh. Tidak sering dia seperti itu, biasanya padahal hanya diam saja walau terkena hujan badai dan amukan meteor. Sejak ada Nuke, Rao memang jadi sedikit berbeda – kalau tidak ingin disebut manja. Wanita memang merubah segalanya. Bahkan seekor hyena pun bisa disulap menjadi kelinci.

“Biasa aja kali, Mas. Ini kan cuma kerokan biasa. Masa iya pimpinan preman takut dikerokin. Ga banget.” Nuke melanjutkan niatnya menggunakan koin untuk mengerok punggung sang Hyena Gila, sebuah upaya yang akhirnya membentuk ruas-ruas berwarna merah menyala di sisi kiri dan kanan punggung Rao. “Merah banget, Mas. Parah masuk anginnya. Sejak pertarungan terakhir tempo hari, sepertinya Mas belum bisa pulih sempurna ya.”

Hrmph. Demi siapa coba.”

Nuke tertawa, ia mengoleskan minyak ke punggung Rao sekali lagi. “Iya… iya… diulang-ulang aja terus, Mas. Kalau begitu kan aku jadi semakin merasa bersalah. Seakan-akan gara-gara aku Mas terluka parah, terjatuh, dan tak bisa bangkit lagi.”

“Ledek aja terus.”

Nuke tersenyum. Sejak bertemu kembali dengan Rao, pertemuan dan percakapan mereka jadi lebih kasual dan informal, seakan-akan ada tembok yang sekarang sudah runtuh dan bisa ditembus. Dia bersyukur mendapatkan bantuan dari Don Bravo tempo hari, karena berkat dia Nuke berhasil selamat dan lolos dari maut. Entah bagaimana sekarang nasib pemuda itu. Mudah-mudahan tidak apa-apa.

“Tapi aku jelas beterima kasih, karena Mas sudah mati-matian berniat menyelamatkan aku.”

“Aku kan gagal, buktinya kamu bisa sukses diculik si Gunar.” Rao cemberut.

Dia merasa kemampuannya masih belum apa-apa, bahkan beberapa jurus barunya juga tidak berfungsi dengan baik kala berhadapan dengan 3 Gentho dari Bondomanan. Serangan Ki jarak jauh yang menjadi andalannya juga kurang bisa efektif karena saat ia tenaganya disedot habis dia tak mampu berbuat apa-apa. Harus ada cara untuk memperbaiki kemampuannya.

“Adooooooh! Aduuuuh! Pelan-pelan dong… dooooh, iki dikerok opo dikuliti toh, biyuuuuung.”

“Mas…”

“Apaaah?”

“Nggak, aku cuma mau bilang kalau… aku berterima kasih Mas sudah peduli sama aku. Di saat yang lain tidak mau menolong, mempedulikan, dan bahkan menganggap aku bisa dikorbankan, hanya Mas yang tetap ngotot menyelamatkan aku.”

“Aku hanya melakukan apa yang perlu aku lakukan.”

Nuke tersenyum, ia mendorong badannya ke depan dan memberanikan diri untuk mengecup pipi Rao. “Itu hadiah yang kamu dapat karena telah berjuang demi aku.”

Wajah Rao langsung tersipu-sipu.

Nuke melanjutkan kerokannya. “Mas tidak berminat ikut teman-teman yang tadi bertemu di rumah sakit? Sepertinya ada masalah serius.”

“Sepertinya begitu, tapi kondisi badanku sedang tidak baik. Aku ikut pun hanya akan menjadi beban untuk mereka. Entah hanya tinggal berapa persen kemampuanku yang sekarang, mungkin 50 persen juga belum nyampe. Aku butuh bermeditasi tiap hari…”

“Kenapa tidak Mas lakukan? Bukankah bermeditasi itu baik?”

“Aku tidak bisa bermeditasi kalau pikiranku selalu dipenuhi oleh wajahmu…” lirih suara Rao menjawab pertanyaan Nuke.

Kali ini giliran Nuke yang tersipu-sipu malu.

Suasana pun menjadi sunyi. Masing-masing mencoba mendalami hati mereka, mencoba mengejawantahkan apa yang menjadi pemantik api dalam hati dan apa yang menjadi tembok penghalang rasa sayang. Kalau bisa kenapa tidak, kalau tidak bisa kenapa tidak.

“Mas… aku…”

Rao tiba-tiba berdiri sembari terbatuk-batuk dan berlari menuju kamar mandi. Karena sang Hyena Gila berlari, Nuke tak sempat menghentikannya dan melihat kenapa Rao tiba-tiba saja terbatuk-batuk.

“Mas, kamu kenapa?”

Rao tak menjawab.

“Mas?”

Terdengar suara ketukan pintu. Tapi bukan pintu kamar mandi.

“Mas?” Nuke mengetuk pintu kamar mandi. “Ada tamu tuh.”

Rao akhirnya menjawab, “Tolong bukakan sebentar.”

“Oke.”

Terdengar langkah kaki Nuke meninggalkan kamar mandi. Rao kembali terbatuk-batuk, sepertinya apa yang ia rasakan saat ini lebih parah dari biasanya. Apakah karena terlalu lelah? Mungkin dia harus beristirahat lebih lama.

Kembali Rao terbatuk, ia berusaha menahan agar suara batuknya tak membuat Nuke khawatir. Tapi di dunia ini ada beberapa hal yang tak bisa disembunyikan seperti kantuk, asap, dan batuk. Rao kembali tersengal-sengal oleh batuknya, sang Hyena Gila mencoba menutup suara batuk dengan kepalan tangannya, tapi suara batuk itu tetap lepas bergaung.

Sial.

Dia tidak ingin membuat Nuke curiga.

Hkkgh. Kenapa juga sih dadanya ini? Bangsat. Di saat-saat seperti malah…

Rao melihat ke kepalan tangan dan ke lantai kamar mandi. Ada ceceran darah. Batuknya berdarah.

Apa-apaan ini?

Nuke tidak boleh tahu. Dia pasti akan…

Saat itu terdengar teriakan.

“Nuke?”

Rao buru-buru membilas tangan dan wajahnya, lalu berlari keluar dari kamar mandi untuk menuju pintu depan. Kenapa Nuke berteriak? Apa yang terjadi?

“Nuke? Apa yang…”

Rao tersentak ketika sampai di depan pintu. Di hadapannya kini, terdapat tiga anggota dari bedebah yang kemarin menghajarnya, 3 Gentho dari Bondomanan. Masing-masing menatap Rao dengan tatapan meremehkan. Tapi yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah saat ini Nuke tengah disekap satu lengan yang kokoh.

Tangan milik Joko Gunar.

Pria bertubuh gempal itu tersenyum dan mengedipkan mata pada Rao, “Yahalooo!”

Nuke semakin menjadi-jadi dalam meronta saat melihat Rao.

“Nuke!” Rao menatap Joko Gunar dengan tatapan sengit, “Kalau tidak kamu lepaskan dia sekarang juga, akan aku buat kepalamu meninggalkan badan dalam hitungan detik…”

Joko Gunar tertawa, seakan-akan meremehkan kemampuan Rao.

“Lepaskan diaaa!” Rao mulai emosi.

Joko Gunar terdiam, ia menatap tajam ke arah pimpinan DoP itu dengan satu pandangan mata yang seakan-akan ingin menguliti sang Hyena Gila sampai ke tulang-tulangnya.

Bagi Rao, ini mungkin yang namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Sang Hyena Gila menundukkan wajahnya dan tersenyum sinis. Dia menyiapkan Ki-nya. Bagaimana mereka bisa menemukan tempat tinggalnya? Hanya orang-orang yang ia kenal yang…

“Maaf, Bos. Sepertinya angin sudah berubah ke arah yang lebih kencang. Heheh.”

Suara itu!?

Dari balik ketiga bedebah 3 Gentho dari Bondomanan, muncul satu sosok yang sangat Rao kenal. Sosok yang bahkan membuat sang Hyena Gila terkesiap karena kaget.

“Kamu? Kamu!?”

Remon.

Remon tersenyum dan mengangkat bahu. “Sudah saatnya geng-geng kampus diberangus. Dimulai dari Talatawon dan kini DoP. Pertama-tama potong kepala ularnya, setelah itu kita kuliti bagian badannya. Sama seperti Talatawon, saat Ableh Ndaho jatuh, Talatawon akan ikut runtuh. Maaf Rao, tapi era baru telah tiba, era PSGxRKZ. Aku lebih berminat bergabung dengan pemenang.”

Rao menahan geram dan hanya bisa mengepalkan tangannya.

Tiga gentho Bondomanan maju ke depan bersamaan. Udet melirik ke arah Joko Gunar untuk meminta petunjuk. “Bagaimana, Bos?”

Joko Gunar mengangguk sembari menyeret Nuke yang mulutnya ia tutup. Ia melirik ke arah Rao, pria yang berhasil mencuri hati Nuke. Tidak ada yang boleh mendapatkan hati Nuke kecuali dirinya.

“Habisi dia.”

“Kalian dengar apa yang Bos perintahkan! Majuuuuuuuuuu!!”

Hfah.”





.::..::..::..::.





Nada bersiul-siul sembari membalik daging iga di atas bakaran BBQ.

Dia tahu Papa-nya sangat menyukai iga bakar jadi hari ini dia sengaja memasak iga itu untuk sang Papa – setidaknya itu alasan pertamanya. Alasan keduanya adalah dia bersemangat membakar iga ini untuk seseorang nun jauh di sana, yang mungkin bahkan tidak akan memakannya.

“Hmm… baunya enak banget. Lezatos kotos-kotos. Kamu benar-benar paket lengkap, Sayang. Sudah cerdas, cantik, seksi, pintar masak pula. Bisa semuanya.” Ada lengan yang kemudian memeluk Nada dari belakang dan mencium tengkuk gadis itu.

“Ini bukan memasak. Ini membakar.” Protes Nada sembari menggoyangkan badan, melepaskan diri dari pelukan sang penyergap. “Aku sama sekali tidak bisa memasak. Jangan mengejek ya.”

“Ya udah… kamu memang paling jago membakar. Membakar semangatku, membakar api cintaku, membakar…”

Ish. Apaan sih, cringe banget.” Nada menjulurkan lidah, “stop being annoying dan bantu aku kenapa? Itu potong-potong tomat kek, atau ngapain kek. Sudah tahu lagi bakar iga malah digangguin. Baka!

“Yaelah, gitu saja sih.” Kekasih Nada – Rama, akhirnya menyerah dan mulai beringsut ke meja dan mulai memotong-motong tomat. Ia juga membantu membuat sambel kacang untuk hidangan Nada hari ini. “Omong-omong, Papa kamu mana?”

Haeh. Papa lagi Papa lagi. Kamu itu pacarannya sama aku atau sama Papa sih, Mas?” Nada cemberut, “Setiap kali kamu datang, yang pertamakali ditanyain malah Papa. Tadi udah dijawab Papa ada di atas sedang ada tamu – bukannya ini sudah kamu tanyain tadi? Jangan mengulang-ulang pertanyaan lah, apalagi pertanyaan yang sudah dijawab.”

Rama menggaruk hidungnya sembari tersenyum kecut, “Yah… aku kan ngikutin aja apa kata orang-orang. Katanya kalau mau deket sama anaknya, deketin juga keluarganya. Begitu bukan?”

“Iya iya… terserah. Pokoknya jangan gangguin aku dulu. Kalau tomatnya sudah dipotong-potong, semua jenis sambel sudah jadi, boleh menunggu sebentar. Atau kalau memang tidak berminat membantu, silakan duduk dulu di sana.” Nada menunjuk ke kursi santai yang ada di teras dekat rumah. Tak seberapa jauh dari posisi Nada bakar membakar. “Sebentar lagi ini juga jadi kok. Coba icipin ini dulu, enak tidak.”

Nada meletakkan potongan kecil dari iga yang ia bakar ke atas piring di hadapan Rama. Pemuda itu pun buru-buru meniup-niupnya supaya tidak terlampau panas. Baunya wuenak, apalagi saat dimakan, Rama benar-benar terbang ke langit.

“Wih, enak banget, Say. Kamu apain ini iganya? Tolonglah chef, spill rahasianya. Ini enak gila.”

“Rebus dulu di presto, lalu dibakar sambil diolesi bumbu kecap.”

“Ini bener-bener enak. Tidak salah kalau kelak kamu dipercaya meneruskan restoran milik Mama kamu, sayang. Citarasanya dapat banget. Yang seperti ini 10 dari 10 nilainya.”

“Jangan lebay.” Nada berucap ketus dan balik lagi ke grill.

Rama menghela napas panjang sembari bengong menatap ke arah Nada. Dia sebenarnya tahu kenapa Nada sedingin ini. Pemuda itu melanjutkan membantu Nada dengan membersihkan dan menyiapkan piring, lalu lalapan, lalu sambal kacang, lalu sambal mentah, dan berbagai kondimen lain. Apapun yang bisa ia bantu, ia melakukannya.

“Nad.”

“Hmm?”

“Aku minta maaf.”

“Hmm.”

Rama terdiam sembari menatap wanita berparas jelita di hadapannya. Tumben-tumbenan nih Nada ngambeknya beneran. Biasanya dia selalu saja mengalah dan tiba-tiba tersenyum untuk memaafkan Rama saat pemuda gagah itu melakukan kesalahan. Nada adalah seorang cewek yang ceria dan positive thinking. Sepertinya kali ini Nada benar-benar marah.

“Aku benar-benar minta maaf, Nad,” ulang Rama.

“Iya. Aku juga sudah dengar tadi. Tidak perlu Mas ulang-ulang. Aku masih bisa mendengar dengan jelas,” balas Nada dengan ketus.

Rama tersenyum, setidaknya si cantik itu masih mau membalas pernyataannya. “Aku minta maaf karena pada saat kamu diculik dan disekap – aku sama sekali tidak menampakkan batang hidungku di depan Papa atau keluargamu yang lain. Aku juga sedang sibuk saat itu – kamu tahu sendiri tugasku di mabes Tim Gara-…”

“Aku kan tidak marah.”

“Tapi sikapmu dingin seperti ini. Pasti ada sesuatu yang salah yang aku lakukan. Percayalah, aku tidak secuek itu. Kamu kekasihku, jelas aku kalang kabut mencarimu kemana-mana. Aku hanya tidak sempat mengontak Papamu.”

“Aku tahu kamu sedang banyak pekerjaan jadi tidak sempat mencari pacarmu yang sedang diculik orang. Paling-paling kan dia cuma disiksa, atau diperkosa, atau paling banter nantinya dibunuh. Jadi tidak urgent. Urusan kantor jauh lebih penting.”

“Bukan begitu juga, hei. Aku justru tidak bisa bekerja dengan tenang karena pada saat yang bersamaan ada dua hal yang harus aku lakukan. DI satu sisi aku harus mengerjakan suatu kasus yang sangat-sangat penting bagi kemaslahatan orang banyak, di sisi lain aku juga harus mencarimu kesana-kemari. Semua wilayah kota aku jelajahi tapi aku tidak pernah berjumpa denganmu, aku sudah menurunkan banyak personil tapi tidak ketemu-ketemu juga. Ternyata kamu ada di tangan RKZ. Pantas saja aku gagal menemukanmu. Mereka nomaden – tidak memiliki basis posisi khusus, jadi sangat sulit dilacak dan ditemukan lokasi markas mereka. Sampai…”

“Setidaknya aku tahu di mana prioritasmu, Mas.” Nada tersenyum pada Rama dan kembali mengerjakan iga bakarnya dengan wajah masam.

“Nad… sayang…”

Ponsel Rama berdering. Pemuda itu mendesis kesal. Di saat-saat seperti ini! Kenapa juga ada yang menghubungi?! Sial!

Rama melirik ke arah ponselnya dan berdehem, “Maaf – aku harus angkat ini, Nad. Aku…”

“Angkat saja. Memangnya aku protes?”

Rama mendesah panjang.

“Bagaimana?” wajah Rama kemudian berubah serius saat menerima telepon yang masuk itu, dia meninggalkan Nada supaya gadis itu tidak terganggu oleh telponnya. “Yakin sudah ditemukan koordinatnya? Arahnya balik ke tempat yang sama? Aku akan menyusulmu ke sana. Jangan berbuat gegabah. Jangan bertindak apapun yang merugikan rencana semula, amati saja target dari kejauhan. Kalau memang target kita terpisah dari kelompoknya, barulah kita meringkusnya. Betul. Baik. Aku akan segera kesana. Seperempat sampai setengah jam. Ingat – jangan bertindak gegabah seperti sebelumnya, tunggu aku.”

Rama menutup telponnya dan menghampiri sang kekasih.

“Harus pergi?” tanya Nada sembari tersenyum.

“Kok kayaknya kamu malah bahagia banget aku pergi.”

“Begini salah, begitu salah. Diem salah, perhatian juga salah. Terserah kamu aja deh, Mas.” Nada mencibir, “dari tadi perasaan aku salah melulu.”

“Aku becanda saja, sayang.” Rama mendekat untuk mengecup pipi Nada.

Gadis itu diam tanpa ekspresi apa-apa. Dingin.

Rama tersenyum melihat gadisnya hanya terdiam, memang seperti inilah Nada kalau sedang ngambek. Dia lebih memilih diam daripada banyak bicara atau memaki-maki, jadi ada baiknya dia mengalah dulu. “Baiklah, sepertinya hari ini kita sedang sama-sama sibuk – aku juga sedang diburu-buru pekerjaan. Kita bicara lagi nanti kalau kamu sudah tidak marah sama aku. Sebentar lagi kan pernikahan kakakmu, banyak yang harus kita bicarakan. Maaf aku tidak bisa menemani Papa menikmati iga bakar yang kamu masak.”

Nada hanya mengangguk, wajahnya masih tak berubah, dia bahkan tak memperhatikan sosok Rama saat kekasihnya itu meninggalkan taman.

Baru beberapa saat kemudian Nada menyunggingkan senyum, terutama saat iga bakarnya sudah mulai matang. Ia memotret daging itu dengan ponselnya dan mengirimkannya ke seseorang. Benaknya melayang-layang ke seorang pemuda yang terjebak dalam satu ruangan bersamanya beberapa waktu yang lalu.

Mereka sempat berbincang-bincang mengenai iga bakar – itu sebabnya hari ini dia memasaknya, supaya seakan-akan ada kedekatan di antara mereka yang terpisah jarak. Masih tercetak jelas di dalam memori Nada bagaimana percakapan mereka berdua.

“Kamu suka makan apa saja, Mas?”

“Apa ya? Sate, nasi goreng, iga bakar…”

“Iga bakar? Wah, sama kayak Papa aku. Kapan-kapan kalau memang kita diberi kesempatan untuk bertemu kembali, aku masakin deh iga bakar.”

“Serius?”

“Iya dong… Hihihi. Iga bakar kecap, sama nasi hangat, tomat, lalapan, dan sambal.”

“Waini, jelas mau lah ini. Harus diagendakan ini”


Senyum Nada merekah saat mengingat sosok pemuda itu. Wajahnya memerah karena menahan rindu. Bibirnya sedikit merekah dan terucap namanya dalam hati.

Perubahan wajah Nada itu mungkin tidak ia sadari.

Tapi ada satu orang yang mengamati dari kejauhan dan curiga ada sesuatu yang terjadi selama Nada disekap, sesuatu yang membuat perubahan besar pada sikap gadis itu.

Seseorang yang mengintip sang gadis jelita dari sebalik jendela dan tirai yang tersembunyi. Wajahnya berubah geram saat melihat Nada yang tadinya muram kini menjadi ceria kembali. Apa yang membuat gadis itu tiba-tiba saja berubah? Apa yang menyuntikkan bahagia ke gadis jelita itu? Dia tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Apakah… laki-laki lain?

Rama. Bagaimana kondisi di sana?

“Kondisi di sini aman, sampaikan pada Kapten Ri kalau saya masih butuh waktu untuk benar-benar bisa memperoleh kepercayaan penuh dari Pak Zein. Saya bahkan hanya butuh selangkah lagi untuk diajak masuk ke ruang arsip ilmu kanuragannya,” ucap Rama yang terus menerus mengintip Nada. “Setelah kita peroleh semua rahasia JXG, barulah kita bisa mengambil tindakan terhadap Pak Zein dan anggota-anggotanya. Tidak ada satupun dari mereka yang akan bisa lolos dari jerat hukum.”

Bagaimana dengan rencana pernikahan Ahmad?

“Akan tetap dilaksanakan, saya harus memastikan banyak hal berjalan dengan sempurna karena berperan sebagai paniitia, tidak boleh ada yang salah karena akan ada yang curiga. Tapi akan saya pastikan begitu ada anggota JXG melanggar aturan atau melakukan tindakan yang menyalahi hukum, maka saya akan langsung melaporkan pada Tim Garangan dilengkapi dengan bukti-bukti supaya kita dapat membekuknya. Mereka memang tahu kalau saya dari pihak yang berwajib, tapi mereka masih belum paham saya dari unit apa – mungkin mereka mengira saya Polantas, mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”

Jangan lupa kalau target utama kita adalah Pak Zein, dia selalu lolos dari pihak berwajib karena licin bagaikan belut. Kita tidak boleh lupa bahwa eksekusi kematian pimpinan KSN tempo hari adalah ulah JXG dan tentunya Pak Zein bertanggung jawab penuh. Mereka seharusnya dibawa ke meja hijau karena sudah main hakim sendiri dengan sadis. Tapi kita masih kurang bukti. Tidak boleh terjadi lagi. Kita tidak boleh mentolerir kejahatan, siapapun korbannya, siapapun pelakunya. Semua orang punya hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.

“Pasti. Saya tidak akan pernah lupa kalau tujuan utama saya di tempat ini adalah untuk menumbangkan Pak Zein. Bahkan dalam bayangan saya, kelak akan saya bawa sendiri Pak Zein ke mabes Tim Garangan dan memasukkannya ke jeruji besi.”

Bagus. Lanjutkan.”

“Laksanakan.”

Over and out.”

Rama mengakhiri pembicaraan telpon lirihnya sembari tetap menatap Nada dari kejauhan. Maafkan aku sayang, tapi ini bukan masalah personal – ini pekerjaan.

Sebaiknya kamu tidak menghalangi.





.::..::..::..::.





“Jadi siapa wanita yang tewas itu?”

Kapten Ri kali ini bertanya dengan serius, wajahnya tak menunjukkan kekocakan seperti sebelumnya. Di hadapannya kini, Eva memeluk tangan Hageng dengan erat. Dia sepertinya baru saja menangis habis-habisan. Hageng juga baru kali ini melihat Eva tanpa make-up berlebih dan dia menyaksikan paras jelita apa-adanya seorang Eva. Benar-benar berbeda, seperti gadis cantik pada umumnya, Eva sebenarnya tak perlu membubuhkan make-up tebal untuk tampil berbeda, karena aslinya memang sangat mempesona.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Hageng sembari merapikan selintas rambut jatuh di dahi Eva.

Wanita cantik itu menatap Hageng dengan pandangan berbinar-binar dan menggeleng, “Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah mau datang dan mendengarkan permintaan tolongku. Aku tidak tahu kepada siapa lagi aku harus minta tolong.”

Hageng mengangguk. “Aku pazti datang. Apa yang zebenarnya terjadi, ziapa wanita yang tewaz itu? Ziapa yang memburumu?”

“Weladalah. Saya juga tadi sudah nanya begitu tapi dicuekin.” Sambar Kapten Ri yang juga penasaran, “Silahkan dijawab, Mbak.”

“Baiklah…” Eva memperbaiki duduknya, ia melepaskan lengan Hageng yang raksasa dan meletakkan tangannya di atas meja. Wanita bertubuh indah berparas jelita itu menatap Kapten Ri dan Shinta yang berada di hadapannya.

“Baiklah…” Eva meneguk ludah, “seperti yang kalian ketahui – aku bukan wanita baik-baik dan terlibat banyak masalah karena… pekerjaanku…”

Eva menunduk malu sembari melirik ke arah Hageng, wajahnya memerah, ia sama sekali tak berani menatap mata pemuda yang membuatnya beralih haluan itu. Tapi jemari mereka yang saling berkait menandakan kalau sang T-Rex tidak pernah mempermasalahkan latar belakang Eva, senyum lebar Hageng membuat si cantik itu merasa tenang.

“…aku bekerja di dunia hitam, memiliki banyak klien dari kalangan papan atas, dan sering mendengar mereka melakukan transaksi gelap atau mengatur pekerjaan mereka saat bersamaku. Hal itu memudahkan aku untuk memeras mereka agar mengucurkan dana tambahan buatku. Tapi… setelah mengenal… Hageng ini… aku merasa… kalau aku sudah berjalan di sisi yang salah. Aku ingin berubah dan mengakhiri semuanya, aku ingin hidup sederhana, jauh dari dunia hitam, tidak lagi melakukan tindak kejahatan yang merugikan orang lain. Singkatnya, aku ingin hidup tenang.”

Eva kembali melirik ke arah Hageng, sang T-Rex mengangguk, meminta Eva membuka semua rahasia yang menyebabkan kematian orang lain itu.

“Aku pun berniat mundur dan mengutarakan niatku pada pimpinan sindikatku, atau setidaknya melalui supervisor-ku… atau germo lah kalau bisa dibilang begitu. Dia menolak mentah-mentah pengunduran diriku dan mengatakan kalau aku pergi, itu artinya aku harus mati karena menyimpan semua rahasia klien. Tektokan kami berakhir ribut dan aku kabur begitu saja untuk kembali ke apartemen dan berkemas-kemas. Tapi sebelum sempat melakukan apa-apa, supervisor-ku mengancam kalau dia akan datang dan membunuhku. Dalam kepanikan, aku menelpon Hageng…

“Singkat cerita, ternyata orang itu benar-benar datang dan mengamuk di apartemenku. Tapi saat aku diserang, salah satu tetanggaku yang kebetulan mendengar keributan dan melihat kami bertarung datang membantuku. Aku tidak tahu siapa nama tetangga apartemenku itu karena kami baru beberapa kali bertemu, tapi dia berhasil menjatuhkan germoku. Itulah saat ketika kami berdua kabur melalui pintu yang terbuka.

“Aku tidak mengira kalau… tetanggaku ternyata tidak berhasil kabur dan justru menjadi korban…”

“Siapa nama supervisor-mu itu?”

“Aku tidak tahu nama aslinya – tapi setahuku namanya Adam.”

“Adam?”

“Iya, kalau tidak salah nama lengkapnya Adam Ladam.” Eva menunjukkan bukti transfer yang ada di dalam dompetnya. Nama yang tertera di bank memang Adam Ladam. “Saya hanya tahu dia terlibat dengan salah satu kelompok besar, tapi saya tidak tahu yang mana. Saya juga tidak mau repot-repot menanyakan karena buat saya dulu intinya bukan kelompok mana, tapi bayarannya berapa.”

Tangan Eva bergetar karena dia takut mengungkap semua rahasia ini, tapi kemudian Hageng meremas jari jemarinya itu dengan lembut. Seakan-akan meyakinkan wanita jelita itu kalau masa-masa tergelap dalam kehidupannya akan segera berlalu dan siapapun yang bertanggungjawab akan kasus mengerikan ini akan segera dibawa ke meja hijau.

“Baiklah. Rasa-rasanya kasus ini sudah jelas – pembunuh itu kemungkinan besar adalah si Adam Ladam ini, tapi anehnya aku belum pernah tahu siapa dan dari kelompok mana dia, mungkin itu nama alias. Kami akan melakukan penyelidikan mendalam, melacak transfernya, dan dari situ kita akan bisa menyimpulkan dari kelompok mana dia. Kalau diprediksi dan melihat kinerja Eva yang selama ini beroperasi di kawasan utara, hanya ada dua kelompok yang memungkinkan, QZK dan Dinasti Baru.”

“Jadi kalian akan mencarinya zampai ketemu?” tanya Hageng.

“Tentu saja. Ini kan kasus pembunuhan, tentu kami tidak akan diam saja. Akan kita cari siapa dari kedua kelompok besar itu yang punya anggota yang bernama Adam. Cepat atau lambat kami pasti akan menemukannya. Aneh banget sebetulnya, aku sama sekali tidak pernah tahu kalau di kedua kelompok ini ada yang namanya Adam Ladam. Apalagi Adam yang berhubungan dengan Unyil-Vista setahuku ada di Ibukota. Heheh.”

Guyonan yang garing itu tidak membuat seorang pun tertawa.

Ehem.

Kapten Ri merubah wajahnya, ia menatap Hageng dengan sangat serius. Wajah penuh candanya hilang seketika, berganti dengan sosok yang menatap mata sang T-Rex dengan tajam. Untuk pertama kalinya, pemuda bongsor itu merasa berhadapan dengan orang yang sangat mengerikan.

“Aku akan membebaskan kamu dan Eva sekarang juga tanpa banyak cingcong tanpa banyak babibu. Tapi ada satu syarat yang harus kalian penuhi. Kalau kalian bersedia melakukan ini, maka kita semua tenang, kita semua senang. Kalian untung, aku juga untung. Bagaimana? Berminat?”

Hageng menatap Kapten Ri dengan senyum receh. “Zepertinya ada kentut di balik bakwan. Jadi ada yang haruz kami lakukan untuk Kapten Ri zupaya kami berdua biza mendapatkan kezepakatan ini. Benar begitu kah?”

“Tentu saja,” Kapten membalas senyum Hageng, “jer basuki mawa beya. Tidak ada kesejahteraan tanpa pengorbanan. Aku akan membantu kalian, tapi kalian juga harus membantu aku, atau lebih tepatnya… ada sesuatu yang harus kalian lakukan untuk kami. Ini kan namanya simbiosis mutualisme. Win-win situation.”

Hageng merengut, dia paling tidak suka urusan barter-barter politik seperti ini. Tapi dia juga tidak mau mengambil langkah yang salah karena sedang berhadapan dengan pihak yang berwajib. Mau tidak mau Hageng menjawab pernyataan Kapten Ri. “Tidak uzah bertele-tele. Kira-kira, apa yang haruz kami lakukan?”

Kapten Ri tersenyum dan menarik sesuatu dari dalam laci mejanya. Beberapa lembar kertas dengan sejumlah lampiran. Ia menyodorkannya pada Hageng dan Eva. “Ini yang harus kalian lakukan.”

Hageng mengerutkan kening. “Zurat perjanjian khusus?”

“Silahkan dibaca terlebih dahulu, lalu berikan keputusannya kepada kami. Kami butuh orang-orang seperti kalian berdua untuk memberikan info penting buat kami.” Kapten Ri mundur dan bersandar santai di kursinya, “ini hari yang melelahkan. Aku tahu hari ini cukup berat bagi kita semua, jadi aku tidak akan memaksa. Silakan beristirahat di sel yang sudah kami siapkan dan bisa kalian pikirkan baik-baik.”

“Bukankah itu namanya pemakzaan? Kami berdua akan ditahan dan dimazukkan ke dalam zel kecuali berzedia menandatangani perjanjian itu?”

“Kan saya cuma meminta kalian berdua beristirahat. Di sini tidak ada kamar – kami tidak sedang menjalankan hotel, ini kantor Tim Garangan. Satu-satunya tempat bagi kalian beristirahat ya di dalam sel. Apa saya salah?” Kapten Ri tersenyum. “Jangan berpikir kalau keputusan ini hanya untuk kamu sendiri saja, pikirkan juga cewek itu.”

Hageng mendengus.

Ia melirik ke samping, melihat sosok Eva yang sepertinya sedang menggigil dan sangat lelah dengan semua yang telah terjadi. Wanita cantik itu sedang berusaha memperbaiki jalan hidupnya, meninggalkan dunia hitam untuk menapak ke jalan yang lurus kembali. Masa ia tega membiarkan harapan Eva hilang begitu saja?

Kapten Ri terkekeh karena nampaknya usahanya akan berhasil, ia kembali mendorong kedua surat itu. “Tanda tangannya di atas meterai.”

Hageng mengambil pena di sebuah box dan menandatangani surat itu, ia lantas memberikan pena ke Eva. Wanita cantik itu berkaca-kaca menatap apa yang dilakukan sang T-Rex demi dirinya. Ia pun akhirnya melakukan hal yang sama.

Good boy.” Kapten Ri tersenyum dan menarik kedua surat perjanjian itu kembali.

Dia menarik laci mejanya sekali lagi dan mengeluarkan satu ponsel. “Di dalamnya hanya ada kontak ke nomorku dan nomor kaliang masing-masing. Bawa ini. Dengan ini kita bisa berkomunikasi dan kami bisa melacak keberadaan kalian. Kalau ponsel ini ditinggalkan sembarangan atau bahkan dibuang, maka perjanjian kita batal dan kami akan memburu kalian seperti kriminal. Paham?”

Hageng geram, tapi ia mengangguk. Pemuda bertubuh raksasa itu mengambil ponsel yang diberikan Kapten Ri dan memasukkannya ke dalam saku celana. “Jadi semua beres? Kami bisa pergi sekarang?”

“Semua beres. Shinta akan mengantar…” Kapten Ri memandang sekeliling, lho kemana Shinta tadi? Perasaan ada di dalam ruangan ini, ternyata tidak ada. Ya sudah yang lain saja kalau begitu. “Jadi kalian akan diantar oleh mas ganteng berkumis tipis yang sedang meringis di dekat pintu itu untuk menuju ke ruang barang bukti. Hageng boleh mengambil kembali barang-barangnya yang tadi diamankan oleh petugas dan setelahnya kalian bebas.”

“Terima kazih. Ciao il Capitano.”

“Terima kasih, Kapten.” Eva mengangguk.

Kapten Ri membalas salam mereka sembari tersenyum lebar.

Hageng berdiri dan menarik tangan Eva, ia menggandeng wanita cantik itu untuk keluar mengikuti si mas berkumis tipis.

Satu-persatu petugas juga ikut meninggalkan ruangan, meninggalkan Kapten Ri sendirian saja. Pria itu pun celingukan. “Kalau Rama sih aku tahu dia kemana, tapi Shinta? Weladalah, kemana bocah ayu itu sekarang?”

Shinta memang sudah meninggalkan ruangan interogasi sejak beberapa saat yang lalu. Tanpa terdeteksi siapapun, gadis jelita itu menyusuri lorong demi lorong mabes Tim Garangan untuk mencapai suatu tempat.

Shinta menengok ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang mendekati ataupun memperhatikannya. Ia lalu berjalan dengan sesantai mungkin menuju ke sebuah ruangan yang berada di sebuah sudut, begitu santainya sehingga seakan-akan mengendap-endap. Karena kasus Eva sedang ramai, banyak petugas yang tidak fokus dan memperbincangkan mengenai hal itu.

Dia lolos dengan mudah dari pandangan siapapun.

Gadis itu melirik ke arah CCTV, memastikan ia berjalan di sudut tertentu dan melangkah dengan pasti ke lokasi yang tidak bisa diperkirakan oleh siapapun. Setelah sampai di sebuah ruang tahanan terisolasi dan tertutup, Shinta melirik ke arah satu kabel yang terhubung dengan kamera dan mencabutnya dari satu stop kontak yang tertanam di dinding. Berulangkali ia memastikan tidak ada satu orang pun berada di lorong tempatnya berada.

Gadis manis itu pun membuka kunci pintu yang berlapis-lapis dan masuk ke dalam ruangan, ia pun masuk dan langsung menutup pintu kembali. Ada seorang pria yang sedang rebahan sembari mengangkat kaki ke tembok dan melempar-lempar bola tenis untuk menangkap pantulannya. Saat Shinta datang, orang itu buru-buru bangkit dari rebahan dan duduk untuk menyambutnya.

“Halo cantik, sudah kutunggu lama lho. Aku merindukanmu. Ingin rasanya lebih lama mencium wangi tubuhmu itu.”

Shinta terdiam dan sama sekali tak menggubris, dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Gadis itu lantas menyiapkan satu gelas yang ada di meja, lalu mengambil sesuatu dari dalam slingbag yang ia bawa-bawa, dan meletakkan barang itu di samping gelas. Ia melakukannya sambil menggemeretakkan gigi, satu kantong infus berisi darah tapi tidak penuh, mungkin hanya cukup untuk satu gelas saja.

“Ini barang terakhir, tidak akan ada lagi untuk sementara waktu.” Shinta membuka kantong infus itu dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia menyerahkan gelas itu untuk sang pria yang langsung meminumnya tanpa merasa jijik ataupun canggung. Dia bahkan tertawa-tawa.

“Nah begini dong baru seru.” Orang itu tertawa dan mengangguk-angguk sembari mengangkat jempolnya usai habis meminumnya. “Tak pernah aku duga, kalau darah seseorang bisa menjadi obat ampuh untuk segala penyakit dan luka dalam sekejap, setelah minum beberapa kali – aku bisa sembuh. Benar-benar jamu mantap jiwaaa, obat segala obat. Wahahahahha. Aku pikir obat seperti ini hanya ada dalam legenda, sudah bertahun-tahun menghilang dari muka bumi. Sayang tidak bisa diproduksi banyak ya. Padahal bisa dijual laris seperti susu. Aku paling suka susu.”

Pria yang duduk itu mengedipkan mata dan mengarahkan pandangan matanya ke dada Shinta yang langsung merasa jengah dan menutup dada membusungnya dengan menyilangkan lengan. Wajah polwan cantik itu memerah, “Tugasku sudah selesai, sepertinya kamu sudah sembuh. Aku sudah memenuhi apa yang kamu minta, sekarang bebaskan mereka.”

Orang itu berdiri dan meregangkan tangannya, tubuhnya sehat, badannya segar. Luar biasa ajaibnya obat legendaris yang tidak semua orang tahu ini. Dengan langkah tegap pria itu pun maju ke depan, tubuhnya yang tinggi besar mengintimidasi sang polwan yang bertubuh lebih mungil. Pria itu bahkan dengan berani meremas pantat Shinta.

“Kurang ajar! Kam-… hmpphhh!

Belum sempat Shinta protes, pria itu sudah menutup mulut sang polwan dengan tangannya yang kuat dan perkasa. Mau meronta bagaimanapun Shinta tak akan sanggup melawan. Pria bertubuh tinggi besar dan gempal itu meremas-remas dada Shinta dengan berani. Polwan itu jelas meronta-ronta dan mencoba melawan, namun tubuhnya dikunci, hasilnya ia harus pasrah tubuhnya dipermainkan oleh sang pria.

“Lpsknnn!! Bjgnnn!!” Suara Shinta mampu diredam sempurna oleh sang pria bertubuh tegap.

Pria itu terkekeh, tangan satu mengunci mengatup menutup mulut Shinta, tangan satu lagi meremas-remas dada ranum sang polwan.

“Kamu bekerja dengan baik dan aku sangat berterima kasih sekali. Berkat kerja sama darimu, aku berhasil kembali sehat hanya dalam tempo sangat singkat. Ini benar-benar keajaiban. Aku tidak pernah melihat ada obat semanjur dan sehebat ini. Sayang jumlahnya terbatas. Tidak pernah ada yang tahu keberadaannya sampai kami menemukan relasimu dengan orang itu. Hahahahaha.” Sang pria bertubuh gempal menjilat pipi Shinta yang memejamkan mata karena ia tak mampu bergerak dan harus pasrah saja dilecehkan sedemikian rupa oleh sang pria bertubuh besar, “Tapi tugasmu belum selesai, karena masih ada hal yang harus aku kerjakan di tempat ini…”

Pria bertubuh gempal itu kemudian maju dan membisikkan sesuatu ke telinga Shinta yang langsung terbelalak.

“Tdk mww!!” Shinta mencoba menggeleng. Jelas tidak, dia tidak mau mengkhianati korpsnya.

“Lho… lho… kok kamu tidak mau? Apa sampai sekarang kamu masih mengira kamu punya hak untuk melawan kami? Satu. Kamu tidak berhak menawar karena kami memegang kunci paling penting saat ini. Apakah kamu mau mengulang kejadian kemarin? Tiba-tiba dikirim kotak paket berisikan potongan jari tangan seperti beberapa waktu yang lalu? Kamu pikir masih ada berapa jari lagi yang dimiliki orang tuamu?”

Shinta meronta dan hampir-hampir menangis, ia mencoba berteriak-teriak dan meronta dengan liar.

“Cup… cup… sayang, jangan menangis. Kami pasti akan membebaskan mereka kalau memang sudah waktunya dan kamu sudah selesai menuntaskan tugasmu. Jadi saat ini, turuti saja apa mauku. Aku tahu kamu memiliki tenaga Ki yang cukup lumayan untuk ukuran seorang gadis, tapi tetap saja – tempat ini sudah dipasang Cagak Bebandan sehingga orang-orang seperti kita tidak bisa berkutik. Tanpa Ki, tenaga mentahmu tidak ada artinya dibandingkan tenagaku.”

Tangan yang tadinya tanpa henti meremas-remas dada Shinta kini turun ke bawah dan menyelusup ke rok yang dikenakan oleh sang polwan. Gadis jelita itu kebetulan sedang mengenakan pakaian bebas dan tidak menggunakan seragam.

Shinta terbelalak dan semakin meronta-ronta, tangannya mencoba memukul dan mendorong tubuh sang pria gempal, namun secara mentah – tenaganya tidak ada apa-apanya dibandingkan sang pria yang kini menguncinya. “Lpsknnn! Lpsknnn! Lpsknnn!”

Sang pria hanya tertawa, “Ayolah, aku tahu kamu juga menikmati ini. Jadi diam saja lah. Aku tadi bilang aku suka susu. Tapi aku juga suka memek.”

Shinta melotot galak ke arah sang pria yang baginya menjadi sosok paling memuakkan di muka bumi itu. Kalau saja tidak ada cagak bebandan, kalau saja ia bebas melakukan apa saja, kalau saja nasib orangtuanya tidak sedang di tangan pria menjijikkan itu, maka dia pasti akan membunuhnya saat itu juga.

“Kalau kamu tidak ingin ada keributan, tidak ingin ada petugas lain masuk kemari, maka ada baiknya kamu diam saja. Biarkan aku melakukan ini untuk sesaat, sayang. Sudah lama sekali aku tidak melakukan ini ke cewek, apalagi yang secantik kamu.”

Jemari gempal milik sang pria menelusup semakin ke bawah dan akhirnya menemukan apa yang dicari, gundukan lembut berbelah. Jari jemari pria itu pun mulai beraksi bak ular menemukan sarang. Menjejal, mengusik dan mengganggu.

Napas Shinta mendengus, air matanya mengalir, tubuhnya bergetar hebat. Dia benar-benar marah tapi tak mampu melakukan apapun. Ia membiarkan saja saat jari jemari gempal sang pria bermain-main di bagian miliknya yang paling rahasia.

Shinta memejamkan mata dan pasrah.

Jemari itu semakin nakal, menyingkapkan kain halus celana dalamnya. Jari itu mulai masuk dan hendak…

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.

Sang pria melirik ke samping dan melepas semua tangannya dari Shinta. Entah bagaimana caranya dia kemudian secepat kilat kembali duduk di atas pembaringan. Dengan wajah penuh senyum menatap sang polwan.

Napas Shinta mendengus-dengus, jantungnya berdebar teramat kencang. Polwan cantik itu menarik napas panjang, ia tahu ia baru saja lolos dari nasib teramat buruk. Ia menatap galak ke sang pria. Bajingan busuk itu masih tersenyum menatap Shinta sembari menjilat-jilat jemarinya.

Geram polwan cantik itu.

Shinta memutar tubuhnya dengan gerakan ringan dan anggun.

Empat tendangan dilontarkan secepat kilat oleh sang polwan. Empat tendangan yang melesak masuk ke arah sang pria yang cengengesan. Ke bagian selangkangan, dada, bahu dan kepala.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Orang kurang ajar itu langsung terlontar ke tembok dan terjatuh ke depan. Meski dia meringkuk kesakitan, tapi masih tetap cengengesan. Shinta maju menghadapinya lagi.

“Sekali lagi kamu seperti itu, aku akan mengebirimu. Paham?” Shinta dengan geram mencengkeram kerah baju sang pria, dan dengan satu kecepatan tinggi melepaskan pukulan. Tangannya melesat menonjok wajah pria itu.

Bkghh!

Hidung sang pria langsung mengalirkan cairan merah, bukti kerasnya pukulan sang polwan. Shinta mendekatkan wajahnya yang geram “PAHAM TIDAK?”

Pria itu malah tertawa, dia berdiri tanpa kesulitan. “Bagus. Bagus sekali. Aku suka cewek seperti kamu. Berani melawan dan tidak takut resiko apapun. Bagus sekali! Wahahhahahaa!”

Shinta hanya mendengus. “Aku pergi.”

Polwan manis itu melangkah ke arah pintu.

“Pilih mana?”

Shinta berhenti dan menatap ke arah sang pria.

“Pilih mana apanya?”

“Kamu baru saja menghajarku dan itu artinya kamu harus membayar dengan satu jari lagi. Pilih tangan papa atau mamamu?” sang bajingan busuk tersenyum menyeringai. “Kalau tidak menjawab, aku anggap kamu memilih jari mamamu. Heheheh. Anak cewek biasanya paling dekat sama mamanya.”

“Bajingaaaan!” Shinta mendesis, “kalau kamu berani-beraninya menyentuh mereka lagi, aku akan…”

“Akan apa? Sesuai yang aku bilang kemarin. Sehari saja tidak ada kabar dariku, satu persatu jari mereka akan dipotong. Lalu entah apa lagi. Jadi jangan gegabah bertindak.”

“Bedebah. Aku akan menemukan mereka sebelum kamu bisa macam-macam.”

Jenggo tersenyum, “Aku beri tiket khusus jalan tol untuk menyelamatkan mereka hari ini. Aku tidak sejahat itu kok.”

“Hrmph.” Shinta mendengus kesal, “apa lagi yang kamu inginkan? Bukankah semua sudah aku penuhi? Kamu pikir kamu siapa mengancam aparat negara? Aku akan perlu melaporkanmu ke Kapten Ri dan bubar semua rencanamu.”

“Coba saja kalau mau, aku sih tidak ada masalah. Bisa dibuktikan ataupun tidak, aku kan ujung-ujungnya dipenjara? Lha sekarang ini aku ada di mana? Heheheh. Tapi bagaimana dengan orangtuamu? Lalu siapa bilang kami tidak ada akses ke saudara-saudaramu yang lain? Heheh.”

“Bajingan…” Mata bulat Shinta melotot ke arah sang Raja Para Anjing. “Apa maumu?”

“Cium aku.”

Shinta terbelalak, dia tidak salah dengar kan? “A-apa!?”

“Kalau kamu menciumku, aku akan melupakan seranganmu tadi, dan kita impas. Aku akan meminta anak buahku yang ada di lokasi penyekapan orangtuamu untuk tidak memotong jari-jemari orangtuamu hari ini. Syaratnya kamu cuma harus menciumku . Heheheheh.”

“Dasar bajingan tengik! Aku tidak akan sudi…”

“Ya sudah kalau begitu, keputusan kan ada di tangan kamu. Aku cukup diam saja. Bersiaplah menerima kiriman sekali lagi.”

Shinta mendengus.

Dia mendekati sang pria dan sembari menahan jijik, Shinta mencium bibirnya. Tercium bau anyir karena tadi pria busuk itu baru saja meminum gelas berisikan darah. Mulut keduanya beradu, sang pria dengan senang hati menyambut bibir manis milik Shinta. Lidahnya menari-nari, menjelajah bibir mungil milik sang polwan sembari tangannya beraksi, satu meraba-raba pantat, satu lagi meremas-remas dada Shinta. Nikmat banget tubuh aparat.

Polwan cantik itu mendorong sang pria dengan sekuat tenaga.

Kali ini sang pria tidak melawan. Ia terduduk di pembaringan setelah mendapatkan dorongan kencang. Wajah kurang ajarnya membuat gejolak emosi Shinta mendidih.

Sang polwan cantik itu pun menatap ke arah sang pria itu dengan geram. Dia meludah sembari menahan amarah yang luar biasa. Wajah cantiknya berubah menjadi merah karena emosi. Ia mengelap bibirnya dengan punggung tangan. “SUDAH PUAS?”

“Bagaimana? Bagaimana rasanya berciuman dengan Bambang Jenggo? Nikmat kan? Lezat bukan? Ya! Aku puas! Hahahahahahahaha.”

Pria yang ternyata adalah Bambang Jenggo sang pimpinan RKZ itu pun tertawa terbahak-bahak.

Shinta meninggalkan ruangan dengan wajah kecut dan terburu-buru. Tangannya tergenggam mengepal menahan dendam. Jenggo baru beberapa hari di sini tapi sudah membuatnya hancur luar dalam.

Bagaimana bisa orang ini menyelidiki latar belakangnya dengan mudah dan menculik kedua orang tuanya? Aneh sekali. Satu, Shinta orang baru di sini dan dia tidak punya banyak teman – jadi aneh rasanya kalau ada yang mengenal kehidupan pribadinya. Dua, Jenggo sudah masuk ke bui dan kondisi awalnya teramat parah tapi kok bisa-bisanya berhubungan dengan dunia luar dan mengatur rencana sebusuk ini.

Bagaimana mungkin Bambang Jenggo mengetahui tentang siapa Shinta, di mana orangtuanya, dan rahasia yang disimpan oleh salah satu saudara angkatnya yang saat ini Shinta sembunyikan keberadaannya? Semua petunjuk mengarah ke satu hal, jelas ada orang dalam terlibat.

Shinta harus mengetahui siapa orang itu.

Jika orangtuanya selamat, jika saja mereka selamat, dan mereka harus selamat, maka langkah pertama yang akan dilakukan Shinta adalah menghajar Jenggo, mengebirinya, dan membunuhnya pelan-pelan! Dia tidak boleh mati dengan cepat, dia harus menderita terlebih dahulu setelah apa yang ia lakukan terhadap Shinta.

Yang jelas, suatu saat nanti, dia akan membunuh Bambang Jenggo!

Itu sumpahnya!

Shinta mendengus kesal sembari menahan semua luapan emosinya, apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia tidak ingin memberi kebebasan pada preman bajingan itu sekaligus membahayakan kedua orangtuanya yang disekap RKZ entah di mana.

Ancaman Bambang Jenggo bukanlah ancaman main-main. Kalau dia sudah berniat, pasti akan dilaksanakan. Shinta harus menyelamatkan kedua orangtuanya dan untuk itu dia butuh bantuan orang di luar Tim Garangan, karena dia tidak tahu siapa jujur dan tidak di sini. Shinta butuh orang yang bisa dipercaya, orang yang juga berkecimpung di dunia gelap, tapi sebenarnya juga berdiri di sisi hukum. Dia butuh orang yang berdiri dua kaki di tempat yang berbeda.

Gadis cantik itu menghentikan langkahnya.

Sebenarnya ada orang yang rasa-rasanya dapat dia percaya – orang yang ditugaskan untuk memonitor sebuah kelompok di utara.

Polwan jelita itu menarik ponselnya dari dalam slingbag, lalu menekan tombol kontak. Dia mencari satu nama di sana dengan scroll layar ke atas ke bawah berulang-ulang. Saat menemukannya, dia langsung menekan tombol panggilan. Ia mencoba menahan napasnya yang terengah-engah saat telepon ternyata diangkat.

“Don Bravo? Aku butuh bantuanmu.”





.::..::..::..::.





“Tidak ada siapa-siapa di sini.”

“Yakin?” Simon melongokkan kepala kesana kemari.

Amar Barok mengangguk. “Aku sudah cek ruangan-ruangannya dari jendela yang tirainya sedikit tersibak. Rumah ini sudah ditinggalkan cukup lama – mungkin sebulan-dua bulan atau malah lebih. Kemungkinan karena ada pembangunan di bagian belakang jadi tidak digunakan oleh pemiliknya, tapi tidak ada tukang-tukang dimanapun, mereka sepertinya menghentikan pembangunan entah karena apa. Satu hal yang pasti, apapun penyebab rumah ini kosong - Reynaldi tidak ada di sini.”

“Kampret!” Roy mengumpat karena kesal dan menendang satu potongan batu bata dengan kencang. “Kemana lagi kita harus mencari bajingan busuk itu?”

Sama seperti Amar, Deka mencoba menyelidiki setiap sudut rumah. Kalaupun orang itu sudah pergi mungkin ada petunjuk yang bisa memberikan informasi mengenai kemana perginya Reynaldi ataupun petunjuk lain.

Deka, Roy, Amar Barok, dan Simon saat itu berada di depan sebuah rumah yang cukup besar di suatu kawasan perkampungan di wilayah utara kota, tidak jauh lokasinya dari stadion baru. Rumah besar itu memiliki pekarangan yang cukup luas dan pagar tinggi – pagar yang tentunya tidak jadi penghalang bagi mereka berempat.

“Sebenarnya ada satu petunjuk sih.” Deka mencubit-cubit dagunya perlahan sembari mengerutkan kening, menandakan dia sedang berpikir keras, “Kalian lihat tanda di dekat tiang di samping pintu masuk? Tiang untuk garasi?”

Roy buru-buru mendatangi tiang yang dimaksud oleh Deka. “Tanda apa, Ndes?”

“Di sebelah luar kiri, tidak terlihat dengan jelas karena menyaru dengan warna tiang – tapi ada di sana.” Deka menunjuk ke satu sisi. “Rasa-rasanya benda itu bisa memberikan clue mengenai Reynaldi ini sebenarnya siapa.”

Roy mengiyakan, “Iya. Ada semacam emblem tembaga tertanam di tiang ini. Emblem seekor singa bermahkota. Apakah ini petunjuknya? Memangnya apa artinya?”

Amar Barok terbelalak, ia buru-buru menghampiri Roy dan memeriksa emblem yang menempel di tiang garasi. Ia meraba emblem itu untuk sesaat dan bersungut-sungut, “Sial. Kamu bener, Kun. Ini emblem asli. Masalah si Reynaldi ini baru saja berubah menjadi masalah besar.”

Simon menghela napas dan bersidekap menyilangkan tangan, sepertinya ia menyadari seberapa serius kondisi sebenarnya. “Emblem tembaga semacam itu ya… Kalau emblem itu maksudnya seperti yang aku perkirakan, maka keadaan bener-bener jadi sangat buruk. Ada kemungkinan kita tidak akan bisa menyentuh bajingan itu. I have a bad feeling about this.”

“Ada yang bisa menjelaskan padaku apa maksud emblem ini dan kenapa tiba-tiba semua orang jadi parno?” tanya Roy kebingungan. “Bukankah kita seharusnya tetap harus mengejar si Reynaldi bajingan ini apapun resikonya?! Ayolah kalian! Dia pembunuh dan pemerkosa! Bajingan yang tidak boleh dibiarkan hidup!”

“Aku akan tetap membantumu, tapi kamu harus tahu konsekuensinya dahulu,” Amar Barok mencoba menjelaskan, “Secara simpelnya, emblem itu tidak dimiliki orang secara bebas. Emblem itu adalah penunjuk bahwa siapapun yang tinggal atau pernah tinggal di rumah ini, maka dia mendapatkan perlindungan ekstra dari kelompok paling kuat di utara – itu logo mereka,”

“Dengan kata lain, dia dilindungi hidup mati oleh QZK,” lanjut Deka. “Kamu tahu sendiri apa artinya itu. Kita harus memutar otak untuk menjebak bajingan ini dengan cara lain karena kalau nekat pakai force, maka kita harus berhadapan langsung dengan QZK.”

Roy menjadi semakin geram. “Brengseeeeek! Siapa sih orang ini? Kenapa bisa kenal sana-sini?”

“Kalian semua tentu tahu jika kita menyentuh sehelai saja rambut penghuni rumah ini, maka QZK akan memburu kita dan keluarga kita tanpa ampun. Itu sudah prosedur dan sumpah QZK yang bahkan om Janu sekalipun tidak akan langgar, karena mereka terikat pada kontrak si pemilik emblem. Kalau kita berani macam-macam, maka kita sama saja mengundang seekor singa untuk masuk ke kandang kita,” Simon membeberkan situasinya.

“Tapi orang ini kriminal!” Roy masih ngotot, dan itu wajar. “Om Janu mungkin bisa memberikan kita kelonggaran.”

Deka mengangguk. “Intinya kita harus bicara dengan om Janu. Siapapun yang pernah menghuni rumah ini, beliau pasti tahu – atau setidaknya bisa mencari tahu. Kita bisa mulai dengan menjelaskan situasi sebenarnya bahwa QZK sedang melindungi seorang kriminal yang telah membunuh orang tak bersalah dan berharap kita dapat mengekstrakdisi orang itu dari proteksi QZK.”

“Itu langkah terbaik, kita tidak boleh gegabah menyerang karena serangan balik dari QZK akan sangat mengerikan,” ujar Amar Barok. “Aliansi pasti belum siap.”

“Tapi sebentar… seandainya orang itu kini tinggal di rumah tanpa emblem tembaga QZK, apakah itu artinya dia dapat kita serang? Kan dia sudah tidak tinggal di rumah ini lagi, dia tinggal di tempat lain.” Roy mencoba mencari celah.

Amar Barok menggeleng, “Sama saja. Kontrak emblem tembaga mengikat ke person dan keluarganya, bukan ke rumah yang mana. Kita tidak akan dapat menyentuh orang itu sebelum QZK melepas proteksi mereka. Kalau mau cepat, kita harus menghubungi Nanto dan bersamanya kita ke om Janu.”

Roy mengangguk, “Baiklah, kita coba hubungi Nanto dan…”

Simon mengenduskan hidungnya berulangkali ke udara. Tangannya diletakkan di pundak Roy untuk menghentikan ucapan sang pengendara angin. “Kalian mencium bau ini tidak? Seperti ada bau sesuatu…”

Deka mengangguk sembari ikut mengendus-enduskan hidungnya, tangannya menunjuk ke pagar. “Betul. Tiba-tiba saja ada bau yang sangat aneh. Bagaimana kalau kita pergi dari pekarangan rumah ini sekarang? Toh kita tidak menemukan apa-apa.”

Amar Barok mendengus, tenaga Ki-nya menyala. Ia menggeram dan berbisik, “Terlambat. Ada yang datang. Bersiaplah kalian.”

“Sudah menemukan apa yang kalian cari?”

Simon, Deka, Roy, dan Amar Barok langsung bersiaga penuh. Siapakah yang baru saja berucap? Apakah rumah kosong ini sebenarnya masih ada orang yang menjaga? Mereka berempat tak perlu berlama-lama bertanya karena sesaat kemudian muncul selintas bayangan berkelebat menghalangi jalur mereka ke arah pagar.

Tiga orang pria muncul dan berdiri di depan Deka dan kawan-kawan.

Meski sudah lama berkecimpung di dunia hitam, tapi Amar Barok tidak mengenal ketiga sosok asing tersebut. Siapa mereka?

Pria terdepan maju – sosoknya yang berkulit hitam legam, berambut keriting, dan bertubuh bongsor bagaikan raksasa pemakan segala yang mampu mengintimidasi keempat anggota Aliansi. Dari sosoknya terlihat bahwa dia memiliki tubuh yang bahkan lebih besar dari Amar Barok ataupun Simon.

Si hitam kelam mengulang ucapannya, “Aku ulangi lagi. Sudah menemukan apa yang kalian cari?”

Amar melangkah di depan sang adik dan kedua rekan Aliansi-nya. Dia tidak mau gegabah terhadap orang yang tidak ia kenal, karena saat ini posisi mereka telah melanggar kawasan pribadi milik orang lain, maka Amar berusaha sesopan yang ia bisa.

“Kami datang dengan hanya satu tujuan, kami berniat meminta pertanggungjawaban dari pemilik rumah ini atas beberapa kasus kekerasan. Tapi karena orang itu sepertinya tidak ada di tempat, jadi…”

Si kuit hitam maju tanpa gentar untuk menghadapi Amar Barok, saat bersidekap ia memperlihatkan tato pistol di lengan kirinya. “Apakah kalian anggota RT, RW, Dukuh, Lurah, atau Camat setempat?”

Amar berdehem, “Bukan.”

“Apakah kalian polisi?”

Amar menggeleng.

“Apakah kalian punya surat-surat resmi untuk melakukan penggerebekan?”

Amar kembali menggeleng.

“Jadi menurut kalian, apakah kalian punya hak untuk melakukan penggeledahan?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa kalian berada di tempat ini dan kenapa kami harus mengijinkan kalian untuk masuk ke pekarangan rumah ini? Sudah ganda nyawa kalian?”

“Itu sebabnya kami akan meninggalkan tempat ini tanpa perlu dilanjutkan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan kedua belah pihak. Kami minta maaf seandainya kehadiran kami mengganggu.”

“Baiklah, kita juga tidak perlu memperpanjang urusan. Dalam hitungan kesepuluh, kalian sebaiknya segera meninggalkan tempat ini. Karena jika tidak, kami tidak akan segan-segan. Ingat bahwa kalian yang masuk ke pekarangan rumah kami, bukan sebaliknya.”

Amar Barok mengangguk dan membalikkan badan, demikian juga dengan Simon, Deka, dan Roy yang kemudian keluar dari sebuah pintu gerbang yang dibukakan oleh salah satu dari ketiga orang penjaga. Satu persatu mereka mengangguk pada para penjaga.

Si pembuka pintu awalnya terdiam, tapi ketika Amar Barok melaluinya, ia mendongakdan memperlihatkan wajah yang tersenyum menyeringai, dia berbibir sumbing.

“Amar Barok dan Simon sang Pemuncak Gunung Menjulang, para punggawa Aliansi. Wajah-wajah yang cukup populer. Kita pasti akan bertemu lagi di lain waktu.”

Amar melirik ke orang itu dan akhirnya menyadari sesuatu, dia hanya mengangguk terhadap si senyum sumbing yang menyeringai.

Deka dan kawan-kawan akhirnya kembali ke motor mereka. Roy yang kembali tidak bisa menahan emosi. “Bagaimana sekarang? Kita harus ke om Janu? Sekarang atau bagaimana?”

Deka menggeleng, “Sebaiknya menunggu si Bengal – dia yang sangat dipercaya om Janu. Masalah ini sudah urgent karena menyangkut kasus pembunuhan, aku sudah tidak peduli apakah RKZ akan menyerang Aliansi atau tidak tapi tujuan utama kita adalah mencari Reynaldi. Kalian bertiga bersiap-siap karena kondisi utara sedang panas gara-gara serangan PSGxRKZ ke Talatawon, aku pulang dulu ke Pantai Selatan mengambil obat pemunah racun.”

Simon melirik ke arah Amar Barok yang tiba-tiba saja terdiam. “Ada sesuatu? Kenapa tiba-tiba terdiam?”

Amar Barok mendengus dan menatap satu persatu, “Sial, akhirnya aku tahu siapa mereka, aku pernah mendengar anak-anak Dinasti Baru membicarakan ketiga orang itu – aku mengenalinya dari tato pistol di tangan si kulit hitam dan sosok si bibir sumbing tadi. Kita baru saja berhadapan dengan unit QZK Phantom Gate. Ini bakal panjang urusannya kalau tidak segera kita hindari konfrontasinya.”

“QZK Phantom Gate? Siapa mereka?” tanya Deka.

“Unit pasukan QZK bawahan om Mugianto atau Muge sang Monster, salah satu dari Empat Perisai QZK. Aku hanya mengenal nama julukan, bukan nama asli. Yang hitam besar tadi sepertinya yang dipanggil Hugo, lalu yang sumbing tadi si JJ alias Crazy Horse, dan yang satu lagi di belakang dan diam saja adalah si Yon atau Papilon. Mereka bukan orang-orang lemah,” lanjut Amar Barok, “QZK sepertinya sedang sensitif. Mereka mengirimkan pasukan ke semua aset mereka untuk berjaga-jaga termasuk di tempat ini. Setelah kejadian dengan Talatawon mereka tidak mau kecolongan lagi.”

“Tapi kenapa tempat seperti ini dijaga oleh punggawa-punggawa QZK?” tanya Simon.

Amar mengangguk sembari mengenakan helmnya. “Itu juga yang jadi pertanyaanku. Satu-satunya jawaban adalah… siapapun yang tinggal di rumah ini, selain mendapatkan proteksi dari QZK, dia juga pasti salah satu orang penting di sana. Rumahnya saja dijaga, apalagi orangnya.”

“Kampret!” Roy kembali mengumpat. “Apakah benar-benar tidak ada jalan untuk meringkus si Reynaldi busuk ini? Jangan-jangan nanti om Janu juga tidak mau merelakan dia?”

“Kita lihat saja nanti.” Suara Amar terdengar gamang.

Dia tidak bisa menjawab.





.::..::..::..::.





Terdengar guntur bertalu.

Bagaikan genderang perang yang tengah ditabuh sosok raksasa di angkasa.

Gelap berkuasa menjelajah dari ujung ke ujung, dari sudut ke sudut, ke sela-sela batu karang, ke sisi-sisi rumah hingga pekarangan. Tidak ada cahaya tegas menyala,

Suasana redup menjadi terang sesaat ketika kilat mengkilat lewat, lalu kembali gelap setelah cahaya berkelebat. Pertanda bahwa langit muram telah datang ke bumi, hujan deras menyambangi, dan angin kencang mengikuti. Dari ujung ke ujung, dari ufuk ke ufuk, sudah bukan pertanda lagi, karena kini datang cuaca yang tidak bersahabat.

Kalau sudah begini, hal buruk apa lagi yang bisa terjadi?

“Kita tidak akan bisa kemana-mana untuk sementara,” ucap Nanto saat mengamati suasana melalui sela-sela tirai jendela.

“Sepertinya begitu,” balas seorang gadis jelita di belakangnya.

“Langitnya gelap banget.” Si Bengal berjalan ke arah jendela, masih terus mengamati melalui sela-sela tirai. “Tempat ini bakal dilanda badai, anginnya juga kenceng banget. Mungkin itu sebabnya listrik di sekitar sini dimatikan. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.”

Pemuda itu membuka tirai jendela dan mengamati hujan turun tanpa jeda dari cakrawala hingga ke posisinya berdiri sekarang - di sebuah kamar di hotel yang berada di Pantai Selatan. Hotel yang ternyata sepi tanpa teman-temannya di sana. Kemana yang lain? Roy dan Rania? Amar dan Deka? Bahkan Hageng dan Bian yang seharusnya beristirahat juga tidak nampak batang hidungnya. Apakah telah terjadi sesuatu?

Mungkinkah ada kode bravo?

Sial. Kenapa justru di saat-saat seperti ini ponselnya kehabisan baterai dan listrik di hotel pun padam?

Nanto memandang ke arah pantai yang tengah diamuk oleh badai. Beberapa kali kilat memancar, beberapa kali guntur terdengar, memekakkan telinga, menggetarkan tempat di mana si Bengal berada. Kalaupun balik ke kota, mereka harus menunggu beberapa saat lagi, karena hujan deras dan jalan yang gelap bukanlah hal yang ingin ia lewati saat ini.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” kembali terdengar suara si cantik di belakang si Bengal. Gadis itu sepertinya tenang-tenang saja.

Nanto menengok ke arah Hanna yang sedang menyalakan lilin yang didapat dari petugas hotel.

“Ponselku juga sebentar lagi bakal habis baterainya – dan kita juga tidak bisa nge-charge entah untuk berapa jam lagi.” Hanna mengetuk ponselnya dan menarik napas panjang, “kita terjebak di sini, Mas.”

Nanto duduk bersandar di dekat jendela. Ia mengangguk. Entah Hanna melihatnya atau tidak karena suasana kamar ini makin lama makin gelap. Sebenarnya si Bengal tidak ingin mengajak Hanna ke tempat ini, namun karena gadis itu terus memaksa, dia tidak punya pilihan lain. Nanto memang paling lemah kalau soal beradu cakap dengan kaum wanita.

Setidaknya cahaya lilin membuat kamar ini terlihat lebih terang.

“Kamu menyesal?”

Hanna tersenyum dan menggelengkan kepala, meski di bawah redupnya cahaya lilin sekalipun, gadis itu tetap saja terlihat cantik dan mempesona. Rambut hitam panjangnya dikuncir ke atas membentuk bun. Ia memeluk kakinya sendiri yang jenjang dan matanya menatap tajam ke arah si Bengal dalam remang-remang.

“Mas…”

“Ya?”

“Aku tidak tahu kapan aku pulang setelah aku berangkat ke luar negeri. Jadi aku ingin memanfaatkan waktuku sebanyak mungkin bersamamu.”

Nanto mengangguk.

Hanna tersenyum tulus. Cantik sekali. Nanto memalingkan wajahnya, takut terpesona. Dia tidak ingin memanfaatkan situasi dengan melakukan hal yang tidak baik pada gadis yang sudah sangat baik padanya itu.

“Mas…”

“Ya?”

“Aku cinta sama kamu.”

Nanto terdiam, dia menundukkan kepala. Sekali lagi, dia tidak tahu apa yang bisa dia ucapkan untuk menjawab pernyataan itu. Dia terikat pada Kinan, pada cinta mereka berdua, dan pada sang jabang bayi yang belum lahir. Jika kemudian dia menjawab Hanna, laki-laki macam apa dia? Dia tahu salah dan salah tidak lantas menjadi benar.

“Hanna…”

“Aku belum selesai.”

Nanto kembali terdiam.

“Ijinkan aku berbicara sedikit lebih panjang ya, Mas.”

Nanto menatap Hanna yang meringkuk di dekat meja tempat ia meletakkan lilin.

“Aku cinta sama kamu, Mas. Itulah sebenar-benarnya perasaanku buat kamu. Tulus dari dalam hati yang terdalam, tanpa embel-embel abcd. Entah sejak kapan aku merasakannya, tapi sejak pertama kali kita bertemu di warung dan kamu mengembalikan ponselku, aku merasa ada yang berbeda tentangmu. Masih ingat? Sejak saat itu ada rasa canggung setiap kali bertemu denganmu, apalagi ketika kemudian kita ketemu di rumah sakit. Setelah itu semuanya bagaikan bola salju yang terus bergulir dari atas bukit, semakin lama semakin besar dan tak bisa kubendung – padahal saat itu aku sudah bertunangan.

“Tapi sebelum kamu protes, kamu tenang saja, Mas. Aku tidak ingin merebutmu dari Kinan. Pertama karena dia sekarang sudah seperti sahabat bahkan saudara bagiku, kedua karena aku paham dengan banyaknya masalah yang kalian hadapi. Kinan sedang sangat-sangat membutuhkanmu lebih dari aku. Sekarang lebih dari kapanpun. Dia kehilangan kepercayaan keluarganya dan hanya kamu yang menjadi tumpuan hidupnya. Aku akan menjadi orang yang sangat-sangat berdosa jika merebutmu sekarang.

“Tapi… tapi di sisi lain aku juga sudah lelah mengalah dan berkorban untuk orang lain. Selama ini aku melakukan semuanya demi orang lain, untuk orang lain, karena orang lain akan berbahagia. Aku tidak pernah melakukan apapun untuk diirku sendiri. Meski untuk sesaat saja, aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dengan tenang dan damai. Meskipun itu hanya sekejap, meskipun itu hanya bohongan, meskipun aku tahu situasimu, aku tetap pengen egois memilikmu untuk beberapa saat saja. Aku pengen bilang aku sayang sama kamu tanpa merasa bersalah.”

Hanna meneguk ludahnya. Suaranya berubah menjadi parau – penanda kalau dia mengungkapkan perasaannya yang terdalam. Ada sedikit nada suara yang menandakan kalau sebentar lagi ia akan menangis.

“Mas, aku mencintaimu dan aku bakal terus menyimpan namamu di hatiku dimanapun aku berada, kemanapun aku pergi. Kebahagiaanmu penting bagiku, jadi aku rela mengalah demi kalian berdua.”

Nanto menunduk.

“Mas Nanto tahu sendiri, sudah sejak lama aku selalu mengalah. Saat bersama Glen aku selalu mengikuti apapun yang dia ucapkan, menjalani apapun yang dia perintahkan, rela diperlakukan kasar. Aku rela karena aku dulu yakin dia pasanganku yang terakhir - setidaknya karena aku mengikuti anjuran keluarga. Demi masa depan dan demi keluarga aku rela disakiti baik fisik maupun batin, karena aku pikir akan ada suatu saat di masa depan nanti dia akan berubah. Dia orang yang aku pikir juga sayang sama aku dan itu dia buktikan di akhir hayatnya. Masa depan itu akhirnya tidak datang buatku ataupun dia dan sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

“Aku kesepian tapi tidak pernah merasa sepi, karena aku tahu kamu selalu ada di sana untuk aku, Mas. Aku yakin seyakin-yakinnya untuk pertamakalinya dalam hidupku – kalau aku ingin bersama dengan orang yang paling aku sayangi, meski itu hanya untuk batas waktu yang singkat. Aku ingin selalu bersamamu, meski kamu tidak merasakan hal yang sama.

“Jadi setelah panjang lebar menjelaskan… aku punya satu pertanyaan, Mas. Seandainya tidak ada Kinan, seandainya mungkin, seandainya hanya untuk malam ini saja – apakah kamu akan menerima cintaku?”

Tiba-tiba saja Hanna meniup cahaya api mungil yang membakar lilin. Ruangan pun menjadi gelap gulita. Nanto mendongak, mencoba mencari di mana Hanna berada. Di luar sana hujan masih turun deras tanpa ampun.

“Koreknya ada di atas meja, Mas. Kalau kamu juga ada sedikit perasaan untukku dan bersedia menerima cintaku dalam batas-batas yang sudah aku sebutkan tadi, nyalakan lilinnya. Tapi kalau tidak, biarkan tetap gelap sampai listrik menyala kembali. Kalau tiba-tiba listrik menyala maka memang sudah takdir kita tak akan pernah bersama.”

Nanto terdiam.

Apa yang harus dia lakukan?

Kepalanya berputar, gadis demi gadis yang menyambangi hidupnya satu persatu hadir di dalam benaknya. Ara – cinta pertamanya yang kini sudah menjalani kisah cinta dengan orang lain, Bu Asty – obsesi hasrat pribadinya sejak masa-masa sekolah, Kinan – gadis yang ia pilih sebagai pendamping sekaligus calon ibu anaknya, Nada – gadis yang tiba-tiba saja hadir dan berkaitan dengannya karena kasus RKZ, dan tentunya Hanna – si cantik yang selalu ada dan membantunya.

Apa yang harus dia lakukan? Si Bengal memejamkan mata, mencari jawabannya di lubuk hati yang terdalam, dia harus bertanya kepada siapa?

Hidup ini hanya sekali. Lakukan apa yang menurutmu benar.

Entah siapa yang mengatakan itu. Kebenaran itu relatif bukan? Apa yang benar menurutmu belum tentu benar untuk orang lain. Apa yang tepat dilakukan bisa jadi akan ada konsekuensi di masa depan. Semuanya punya plus minus tapi harus diputuskan.

Nanto mendesah, “Aku tidak bisa meninggalkan Kinan demi kamu, Hanna. Tapi aku tahu aku juga punya perasaan yang sama dan aku tidak ingin menyakitimu sama sekali, seandainya ini bisa membuatmu merasa bahagia walau untuk sekejap saja…”

Nanto berdiri dan berusaha berjalan menuju meja di mana lilin berada, agak sulit melakukan itu dalam kegelapan. Dia melangkah pelan-pelan sampai akhirnya menemukan meja itu. Mana korek apinya? Tak perlu waktu lama dan Nanto menemukannya, ia pun menyalakan lilin.

Di mana Hanna berada?

Saat lilin kembali menerangi kamar, Nanto membalikkan badan dan terperangah.

Hanna mendekatinya, perlahan-lahan. Setiap langkahnya membuat Nanto meneguk ludahnya sendiri.

Mata gadis itu bagaikan menyala di tengah kegelapan. Ia mendorong si Bengal ke dinding, keduanya terdiam, saling menatap, terpaku di tempat mereka masing-masing. Tidak ada yang bertanya, tidak ada yang menjawab.

Mulut Hanna merekah, ia mendorong kepalanya ke depan lalu mencium si Bengal.

Mereka berdua berpagutan.

Nanto kaku terdiam tak bergerak saat ia mencium Hanna, matanya terpejam karena rasanya sungguh berbeda. Dia mungkin melakukan pengkhianatan, dia mungkin tak seharusnya melakukan ini, dia selalu teringat pada seorang wanita yang sedang tergolek di rumah sakit, tapi dia juga merasakan ketulusan gadis yang sedang bersamanya dan tak kuasa menolaknya. Dia merasa apapun yang akan dia lakukan adalah hal yang salah. Batinnya berperang, tapi entah kenapa tidak ada yang menghentikan, tidak ada suara-suara yang menahan.

Nanto awalnya terdiam, tapi kemudian membalas ciuman Hanna.

Bibir keduanya beradu, Hanna karena melepas rasa yang ditahan entah sudah berapa lama. Nanto karena suasana yang sepertinya mendorongnya untuk melakukan apa yang sedang ia lakukan sekarang. Listrik padam, suasana gelap, hujan deras, semilir angin dingin, hari yang beranjak menuju malam. Suasana ini tak kuasa ditolaknya.

Kalau sudah soal wanita, Nanto tak pernah bisa berkutik, Nanto bahkan tak berani menyentuh gadis itu. Tapi sudah jelas dia tidak mungkin diam saja…

…karena Hanna sudah tanpa busana.





.::..::..::..::.





“Tidak apa-apa. Aku sendiri saja.”

“Yakin? Hahhahaa. Maaf nih, tiba-tiba zaja ban motornya kempez. Hahaha.”

“Iya ih, tidak apa-apa. Kan udah gede.” Kedip Eva genit, “Gede badannya, gede bagian lainnya. Hihihi.”

Hageng meneguk ludah karena tiba-tiba saja Eva menyorongkan dadanya. Wanita cantik itu tertawa melihat Hageng dan bapak penambal ban sama-sama bengong. Sebelum terjadi huru-hara Eva langsung meninggalkan mereka untuk menuju suatu gedung bertingkat di depan.

“Lagian apartemennya kan cuma di depan sana, kelihataan dari sini kan? Hageng di sini saja nungguin motor dibenerin bannya sementara aku ambil barang-barang yang bisa aku bawa.” Eva tersenyum dan melangkah meninggalkan Hageng yang sedang duduk di kursi sederhana milik seorang tukang tambal ban yang tengah menambal motor yang mereka pakai. “Tapi aku ditungguin ya. Jangan ditinggal lho ya.”

“Hahaha. Nunggu ziaran balap di hari minggu, ziap pazti aku tunggu. Hahahaha.”

“Jual ronde di dekat Tugu, saya juga nunggu. Ahahahaha.” Seloroh tukang tambal ban sok asik.

Eva tertawa. Ia pun berlari menuju ke apartemennya dengan hati senang. Sebentar lagi ia akan ikut Hageng meninggalkan dunia gelap menuju ke kehidupan yang lebih baik, entah bagaimana, entah di mana. Ia berencana meninggalkan semua senyawa sesat yang pernah menghantui malam-malamnya. Dia tidak tahu kehidupan baru semacam apa yang akan ia jalani, yang jelas bukan seperti yang sekarang – tidak mencari uang dengan merenggangkan kaki demi laki-laki yang menjijikkan dan melakukan blackmail yang berujung pada kesedihan dan kriminalitas.

Ia sudah lelah melakukan itu semua.

Karena tidak ingin menimbulkan masalah karena masih ada beberapa orang yang mengerumuni TKP tempat kematian sang tetangga, Eva memilih untuk ke apartemennya melalui tangga darurat. Akses yang sama yang sebelumnya dilalui oleh Hageng.

Tapi ternyata baru empat tingkat saja dia sudah lelah. Hahaha. Menyerah, Eva membuka pintu di lantai lima dan menyusuri lorong untuk menggunakan lift ke atas. Lantai lima ternyata digunakan sebagai ruang kantor, sehingga hanya terdapat lorong-lorong panjang saja, bukan kamar-kamar apartemen dan suasana sepi karena apartemen ini dikosongkan usai adanya insiden kematian salah satu penghuninya.

Belum sampai di lift yang ia inginkan, tiba-tiba saja listrik padam. Sudah pasti lift tidak akan bisa ia gunakan. Duh, kalau begini Eva harus kembali lagi ke tangga darurat tadi atau turun ke bawah saja sampai lampu menyala kembali. Si cantik itu pun berlari menuju ke arah pintu darurat kembali. Untung saja lantai ini masih ada sedikit cahaya yang datang dari lampu penerangan darurat yang menyala redup di setiap sudut.

Eva buru-buru berlari karena tidak menyukai lantai yang sunyi senyap dan gelap, tapi dia tidak hapal jalannya. Ngeri banget di lantai yang sepi begini sendirian.

Apalagi tadi ada yang mati. Hiiy, serem aja gitu sendirian di sini.

Sayangnya Eva tidak sendiri.

Jalannya tiba-tiba saja terhenti ketika ada satu bayangan di depan.

“Ha-Hageng?”

Sosok itu tak menjawab tapi berjalan ke depan dengan berani.

“Ma-maaf, apakah tangga daruratnya bisa dipakai? Saya mau turun.” Eva mencoba bercakap-cakap dengan sosok yang berada di kegelapan.

Tapi sosok itu tak menjawab, dia terus saja berjalan menuju Eva. Wanita cantik itu pun melangkah mundur ketakutan. Gawat, siapa nih? Tangannya memegang ponsel dan mulai mencari nama Hageng di kontak.

Tiba-tiba saja terdengar ucapan dari sang sosok gelap.

“Kamu pikir kamu bisa bertindak sesukamu? Kamu pikir kamu bisa lari dari jerat kami? Tidak ada yang bisa lepas dari kegelapan setelah terperosok ke dalamnya. Once you go black, you can never go back.” Seorang pria keluar dari kegelapan. Eva tidak bisa melihat dengan jelas siapa dia. Tapi dari postur tubuh dan tinggi badannya sudah jelas dia bukan Hageng. “Berani-beraninya kamu menceritakan rahasia sindikat kami ke polisi. Kamu sudah tahu apa itu artinya, Eva. Kamu benar-benar harus dibungkam sebelum lebih banyak lagi rahasia kami kamu beberkan, apalagi rahasia para klien. Dasar gadis sundal tak tahu diri.”

Sosok siapa pria itu sebenarnya akhirnya nampak di depan Eva ketika ia melalui lampu emergency. Gadis itu menatap dengan tatapan ngeri bagaikan melihat sesosok hantu, ia mundur ketakutan.

“Ma-Mas Adam… Mas, aku bisa jelaskan, Mas. Aku terpaksa menceritakan itu ke polisi untuk menyelamatkan temanku dari tuduhan karena dia tidak bersalah. Tapi setelah ini aku bakal diam saja, Mas. Setelah ini aku bakal diam total, tidak akan buka suara ke siapapun, tidak akan cerita apa-ap…”

Sblp.

Eva merasakan sesuatu yang aneh. Ia melirik ke bawah. Ada satu benda tajam yang sudah menembus perutnya dari arah samping. Eva lantas melihat ke depan. Adam masih berada di jarak yang cukup jauh darinya. Lalu siapa yang…

Benda tajam itu ditarik, lalu ditusukkan lagi, lalu ditarik, dan ditusukkan lagi, lalu lagi, lalu lagi, lalu lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi.

Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp. Sblp.

Tubuh Eva tersungkur, ia tidak bisa berkata apa-apa, ia bahkan sudah tidak bisa merasakan rasa sakit ketika tubuhnya luruh ke bawah.

“Kamu bahkan tidak bisa membereskan cewek seperti ini,” Sosok lain muncul di samping tubuh sang wanita cantik yang kini terbaring sekarat bersimbah darah, seorang pria dengan sarung tangan hitam. Ia menunduk dan membersihkan pisaunya di baju yang dikenakan Eva. “Tidak akan ada yang kehilangan gadis semacam dia. Hanya satu sampah masyarakat yang tidak layak hidup. Dia mengira bisa dengan mudah dimaafkan dan kembali ke masyarakat. Memangnya siapa dia? Mantu presiden? Kalau hanya bermodalkan cantik saja, kita pasti bisa mencari gantinya.”

“Hrmph.” Adam melengos.

“Masa yang begini juga mesti aku yang ngurus? Sekalinya kerja kamu malah salah sasaran, yang mati orang lain. Dasar bodoh. Jangan hanya mau enaknya saja ngurusin ciwi-ciwi! Kerja kotor juga dong! Untung saja kita sudah memasang pelacak GPS di dompet yang ia bawa, jadi tahu kemana dia akan berakhir.”

“Aku baru saja hendak…”

Si sarung tangan hitam melemparkan pisaunya ke arah Adam Ladam. Pria itu pun menerimanya dengan sigap. Mahirnya si sarung hitam melempar dan menempatkan gagang pisau ke tangan Adam, sehingga dia bisa menangkapnya dengan mudah.

Si sarung tangan hitam menunjuk pisau itu. “Singkirkan. Aku tidak mau itu ditemukan dimanapun oleh siapapun.”

“Baiklah. Bagaimana dengan tubuhnya?” Adam menunjuk ke arah Eva.

“Tinggalkan saja di sini, nanti juga ada yang menemukan. Paling-paling polisi akan menunjuknya sebagai korban perampokan atau apalah. Kalau ada masalah di kantor, aku yang akan mengurus dan memastikannya. Sampaikan saja pada Bos kalau aku sudah membereskan semua kotoranmu.” Pria bersarung tangan hitam itu terkekeh, “Sial banget nasibku. Lagi-lagi aku harus jadi cleaning service yang harus membersihkan kotoran kalian.”

“Terima kasih,” ucap Adam lirih.

“Apa?” si sarung tangan hitam pura-pura tidak mendengar, “apa yang barusan kamu bilang?”

Adam mendengus kesal, “Aku bilang terima kasih! Terima kasih kamu sudah berulangkali membantu kami membereskan semua masalah.”

Tch. Kita bertemu lagi kapan-kapan. Mudah-mudahan tidak secepatnya, karena aku punya banyak urusan.” Si sarung tangan hitam berdiri dan membalikkan badan untuk berjalan ke arah tangga darurat.

“Hei.” Adam mencoba memanggil si sarung tangan hitam.

Tapi yang dipanggil tidak memperhatikan, dia tetap terus berjalan.

“HEI!”

Si sarung tangan hitam melambaikan tangannya tanda dia tidak peduli.

“RAMA!”

Saat itu juga lampu di lantai itu menyala sempurna.

Si sarung tangan hitam berhenti berjalan, membalikkan badan dan menatap Adam dari kejauhan. “Bajingan, sudah berapa kali aku bilang jangan pernah sebut namaku di..”

Si sarung tangan hitam yang ternyata adalah Rama kemudian terbelalak saat menatap Adam. Pria itu sedang membungkuk dengan wajah ketakutan di dekat Eva yang sudah tak bernyawa. Adam baru saja membalik mayat Eva. Mata wanita jalang itu terbuka, namun bibirnya menyunggingkan senyum.

Pandangan Rama beralih ke tangan Eva.

Di tangan Eva tergenggam ponsel yang sebelumnya diberikan oleh Kapten Ri. Ponsel itu menyala dan percakapan mereka barusan terkirim ke seseorang.

Rama menghela napas panjang.

Kampret.

Pintu tangga darurat terbuka.

Seorang pria berdiri tegap di depan pintu dengan terengah-engah. Kemungkinan ia baru saja mencari dari lantai ke lantai. Begitu tegap dan besar badannya sehingga seakan-akan menghalangi cahaya yang memancar. Wajahnya memerah, marah. Matanya merah, marah. Emosinya memuncak, marah. Begitu marahnya pemuda bertubuh raksasa itu seakan-akan ada asap yang keluar dari tubuhnya.

Tangannya memegang ponsel yang sama seperti yang dipegang oleh Eva.

Terdengar guntur bertalu. Satu kilat menyambar angkasa.

Nada suara geraman pria bertubuh tegap itu bergetar, apalagi setelah ia melihat tubuh wanita jelita yang ia sebutkan namanya tengah tergeletak bermandikan darah. Napas pria tegap itu menderu, ia berusaha tenang, tapi sepertinya itu tidak mungkin.

Dia sudah tidak peduli lagi pada apa yang akan terjadi pada bajingan-bajingan di depan matanya ini.

Malam ini juga, ia akan menciptakan neraka.





BAGIAN 3 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4
Komeng dan like dulu...., baru baca......, nuju sibuk euy ;)

Hanupis sang Maestro @killertomato atas updetannya :mantap::Peace:

Salam Merdeka :semangat:

#stay safe & health
 

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd