Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 6
NONSENS






Jika kita terlalu lama menatap kegelapan,
Kegelapan akan menatap balik ke kita
.”
- Friedrich Nietzsche





Cakar Tangan Hitam
melesat mengincar sasaran.

Kapten Ridwan Danuri membelalakkan mata. Ilmu apa-apaan ini? Ilmu hitam-kah? Dia tidak akan sempat menghindar dari serangan si gelap mata yang menyerang Asty. Satu-satunya jalan adalah bertahan dan mencari kesempatan untuk menyerang balik.

Kapten Ri tentu tahu dia harus mempertimbangkan banyak hal, satu – ruangan ini terlalu sempit untuk bermanuver. Dia tidak mau mengambil resiko berlebih untuk merusak barang-barang di rumah Asty, tapi di lain pihak dia harus mempertimbangkan untuk mengambil langkah terburuk seandainya pertarungan ini mengancam nyawanya. Kedua – keberadaan Asty sendiri, dengan keberadaan sang janda jelita itu di ruangan yang sama dengan Kapten Ri dan si Durjana, resiko bahaya tetap cukup besar. Dua nyawa sedang berada di ujung tanduk dan keduanya harus ia selamatkan, nyawanya sendiri dan nyawa Asty.

Sang Kapten menyilangkan lengan di depan dadanya dan menggerakkannya melingkar setengah lingkaran ke kanan dan ke kiri, hingga lengan kiri tegak lurus ke atas. Bibirnya mulai merapal satu jurus pertahanan andalannya.

Angin gumilir, cahya gumilang. Katampa pait getir, tameng mas kumandang.”

Hanya yang memiliki Ki yang dapat melihat kalau di tangan sang Kapten kini tercipta satu perwujudan astral berupa perisai cakra yang berdenyut memendar.

Bmmmhhhkk!

Cakar Tangan Hitam
Rey mengenai perisai itu, tapi ia lalu terlempar ke belakang karena kekuatan yang dimiliki oleh sang Kapten! Serangan dari Rey sama sekali tidak menimbulkan luka apalagi mampu menyentuh.

Rey mendesis kesal, meski terlempar ke belakang tapi ia tidak kapok. Sembari meluruskan jalur, sang durjana memutar badannya dan menjejakkan kakinya ke tembok. Ia menggunakannya sebagai tumpuan untuk melesatkan tubuhnya ke depan kembali. Dengan satu sentakan kaki, ia meluncur. Kali ini kedua tangannya ia hentakkan ke depan untuk menyerang sang Kapten.

“Heaaaaaaaaaaa!!”

Sekali lagi Kapten Ri beraksi, kali ini dia tidak menunggu untuk diserang begitu saja. Meski masih mengaktifkan jurus pertahanannya, ia maju untuk menyergap. Lengannya kembali disilangkan tepat di pergelangan tangan. Pergelangan tangan kanan di atas pergelangan dtangan kiri, awalnya bersilangan, lalu diputar bak kemudi, hingga tangan kanan lurus menyamping, tangan kiri tegak menahan.

Bdhhmmmmmm!

Benturan terjadi tanpa bisa dielakkan di tengah ruangan. Hembusan tenaga menyebar ke segala arah. Ki aliran putih beradu dengan Ki aliran hitam. Baik Kapten Ri ataupun Reynaldi sama-sama terlontar ke belakang, keduanya gagal menyentuh lawan masing-masing.

Sekali lagi Rey meluruskan jalur, menapak di lantai, dan melompat ke samping. Kali ini ia tidak mengincar sang Kapten. Ia mengincar Asty!

“Aaaaaaah!” Asty menjerit.

Kapten Ri mendengus kesal, keselamatan Asty jadi prioritas. Janda jelita itu mundur teratur dan menunjukkan wajah ketakutan ketika Rey tiba-tiba saja meloncat ke arahnya. Kapten Ri tidak mau apa-apa terjadi pada Asty. Kapten Ri berlari ke arah kiri, menggunakan tembok sebagai landasan, dan melesat dengan kecepatan tinggi untuk menghentikan jalur serangan Reynaldi. Tempatnya memang sempit, tapi semua masih bisa terjadi.

Sang Kapten menarik tangan kiri ke belakang, menyimpannya sesaat, melumurinya dengan tenaga dalam, membungkusnya dengan pancuran kilatan cahaya. Gerakannya teramat cepat, lebih cepat dari sang Durjana. Terlihat siapa yang sudah terbiasa bertarung dan siapa yang belum. Kapten Ri melontarkan tangan kirinya ke depan, menghentikan Reynaldi di jalurnya.

Sengatan Listrik Purba.”

Ka-blaaaaaaaaaaam!

Tonjokan Kapten Ri masuk tanpa tertahan di wajah sang durjana.

Jalur laju Cakar Tangan Hitam terputus, tubuhnya terhempas ke samping kiri, terhampar dengan tembok dan menimbulkan bunyi benturan yang kencang. Kapten Ri berputar dengan anggun ke depan untuk berdiri di hadapan Asty, sementara tubuh Reynaldi terpelanting dan jatuh berdebam.

“Tidak apa-apa, Dek Asty?” tanya sang Kapten.

“Tidak apa-apa, Mas.”

“Buka pintu dan cepatlah lari. Aku akan menahan si brengsek itu di sini.”

Tanpa diminta dua kali, Asty bergegas lari ke pintu yang tadi ditutup oleh sang durjana. Ia melesat untuk melarikan diri. Reynaldi yang melihat gerakan Asty yang hendak kabur tentu saja jadi geregetan, dia meloncat ke depan bagaikan seekor cheetah yang hendak menubruk mangsa. Kapten Ri mana bisa mengijinkan sang durjana berbuat sekehendak hati.

Sengatan Listrik Purba. Empat Dentuman.”

Tangan kanan dan kiri Kapten Ri meluncur deras bak peluru kendali, melesat mengincar badan Reynaldi. Empat kali serangan beruntun dilontarkan. Masing-masing dibungkus energi bak berbalut petir.

Bhmm! Bhmm! Bhmm! Bhmm!

Reynaldi terhempas ke belakang. Badan dan wajahnya tersambar serangan yang ganas dari sang Kapten. Perbedaan kemampuan keduanya terlihat dengan jelas. Kondisi menjadi berbalik. Sang penyerang menjadi mangsa, sang mangsa menjadi penyerang. Tapi mana mungkin Reynaldi menyerah begitu saja. Sang durjana masih punya banyak senjata rahasia, salah satunya… Kidung Sandhyakala. Dengan sengaja ia menggulirkan badan ke depan, memutar diri sendiri bagaikan roller. Setelah sampai pada jarak yang diinginkan, ia menjejakkan tangannya ke lantai, menggunakannya sebagai landasan untuk meluncurkan tubuhnya ke atas.

Cakar Tangan Hitam digabungkan dengan Cengkraman Tangan Baja dari Kidung Sandhyakala meluncur dari bawah. Kapten Ri mendengus kesal, ia paling benci diserang dari posisi yang sulit dipahami seperti ini. Sekali lagi pergelangan tangannya saling menyilang di depan wajah, lalu diputar sedikit. Tameng Mas Kumandang diaktifkan kembali untuk mencoba menahan serangan dari sang durjana.

Bddddhmmmmmm!

Serangkan pertama gagal. Rey memutar tangannya dan membentuk cakar. Cakar yang langsung mencengkeram erat lengan sang Kapten, namun tidak mampu menembus perisainya. Kekuatan Ki keduanya jauh berbeda. Penguasaan tenaga dalam Rey jelas masih di bawah pimpinan tim Garangan, meski jari jemari Rey menancap di lengan Kapten Ri namun tak mampu melubangi dagingnya sedikit pun. Geram Rey saat sang Kapten berhasil bertahan. Apalagi ketika kemudian Asty berhasil membuka pintu dan melarikan diri dari ruangan itu. Hancur sudah semua rencananya.

“Bedebaaaaaaaaaaaahhh!!”

Rey berteriak kencang. Ia merasa putus asa. Susah benar ia mendapatkan Asty sang pujaan! Kenapa selalu saja ada yang menghalanginya? Seberuntung apa sih Asty? Emosi sang durjana menggelegak. Siapa lagi orang di hadapannya ini? Mengapa ia menghalangi Reynaldi?

Seperti tahu kalau Reynaldi bertanya-tanya tentang siapa dirinya, Kapten Ri mengeluarkan name-tag kepolisiannya. “Bedebah kok teriak bedebah. Kamu yang bedebah busuk, bajingan. Seenak wudelnya sendiri menyerang wanita yang baru saja kehilangan suami. Sudah hilang simpati dari otakmu? Perlu aku bawa ke balik jeruji biar tahu rasa?”

Penghalang antara Reynaldi dan pintu keluar adalah Kapten Ri yang berdiri tegap, melakukan ancang-ancang dan memancarkan aura tenaga dalam mengerikan berkilap-kilap bak petir menyambar. Itulah tenaga dalam Sengatan Listrik Purba yang dahsyat.

“Mau kemana kamu, bajingan? Kamu tidak akan bisa lolos dari tempat ini tanpa seijinku.”

“Aku akan keluar dari sini,” ujar Rey sembari menyeringai. “…dan itu tidak perlu ijinmu.”

“Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya,” ucap Kapten Ri. “Tidak sekarang, tidak nanti, tidak kapanpun. Sial buatmu, tapi hari ini aku sudah dibuat kesal oleh sesuatu dan aku akan melampiaskannya padamu. Jadi aku tidak akan membebaskanmu semudah itu, kucing garong! Akan kuseret kamu ke sel dan aku jadikan pembuat dodol seumur hidupmu!”

Reynaldi mulai berkeringat dingin. Mati kutu dia. Kalau saja tadi dia tidak kabur dari rumah om Janu, dia masih bisa berleha-leha rebahan sembari nonton bokep. Sekarang dia malah harus berhadapan dengan pihak yang berwajib. Asty tidak didapatkan, urusan jadi panjang. Bibirnya bergumam mengucap rapalan. Ia membuka gerbang Kidung Sandhyakala.

Kapten Ri mulai membaca pola aura tenaga dalam Reynaldi, tapi unsur ilmu hitam yang dikuasai sang Durjana membuatnya tidak mudah memahami dari aliran ilmu kanuragan mana sebenarnya si Rey busuk ini berasal.

“Kamu tidak benar-benar tulus juga, bukan?” ledek Rey.

“Apa maksudmu?”

“Kamu tidak benar-benar tulus ingin menolong Asty.”

“Kurang ajar.”

“Kamu sebenarnya sama saja. Kamu juga ngiler dengan kemolekan tubuh si janda muda itu dan berniat memilikinya untuk dirimu sendiri. Dalam hati kamu juga pengen memeluk tubuh Asty, berada dalam satu ranjang dengan Asty, mencicipi setiap jengkal tubuhnya dengan lidahmu, meremas-remas dadanya, menepuk pantatnya, memasukkan…”

“Sudah cukup!” Kapten Ri geram, ia melesat ke depan. “Empat Dentuman.”

Tangan kiri dan kanan Kapten Ri dilontarkan dengan kecepatan tinggi, maksud hati hendak menyambar kepala dan tubuh Reynaldi. Namun setiap pukulannya gagal bersarang. Si durjana telah mengaktifkan Gerbang Kecepatan, ia dengan mudah berkelit.

Bssh. Bsshh. Bsssh. Bsssh.

Keempat pukulan Kapten Ri menemui ruang kosong. Emosi sepertinya sudah menguasai jiwanya setelah diprovokasi oleh Reynaldi sehingga dia tidak dapat berpikir jernih dan taktis. Tapi hanya sejenak, karena kemudian Kapten Ri sadar ia telah dipancing oleh sang Durjana. Ketika Kapten Ri menghentikan serangannya, Reynaldi sudah tak lagi nampak di depannya, tidak disamping, tidak juga di belakang. Kemana bajingan itu pergi?

Masa bisa secepat itu kabur?

Kapten Ri tidak dapat melihatnya, aura Ki sang bedebah pun tak terbaca.

Dia benar-benar berhasil lolos.

Secepat itu.

Kapten Ri mengumpat berulang, dia gagal menghalangi gerakan super cepat dari sang durjana. Tapi bagaimana bisa? Ia sudah menutup langkah ke pintu depan, seandainya hendak menuju ke pintu itu, Rey harus melewatinya dan itu tidak mung…

Ah.

Jalur ke pintu depan memang ia tutup sehingga Rey tidak dapat lolos dari cegatannya, tapi ia masih bisa keluar melalui pintu belakang – pintu yang sama tempat Kapten Ri tadi masuk. Sial. Pikirannya diselimuti oleh emosi hingga tidak bisa berpikir jernih. Hari ini sudah dua orang yang melarikan diri dari tangkapannya. Satu lolos karena ia emosi, satu lagi lolos karena perintah dari atas.

Geram Kapten Ri tak kunjung reda.

Pintu depan kembali terbuka dan Asty masuk ke dalam. Wajahnya menyiratkan kepanikan. “A-aku melihat orang itu kabur lewat belakang. Ma-Mas Ri tidak apa-apa?”

“Hehehe, tidak apa-apa. Dia sepertinya berilmu tinggi, tapi masih belum teramat tinggi, jadi aku masih dapat mengatasinya. Akan aku cari siapa dia supaya dapat meringkusnya. Jangan khawatir, Dek Asty. Aku masih…”

“Ma… Mas Ri!”

Janda jelita itu terbelalak dan menjerit saat melihat ke arah sang Kapten.

Kapten Ri merasa aneh. Ia menunduk untuk melihat ke bawah.

Sebentar…

Pimpinan tim Garangan itu pun melihat ke dadanya. Ada sobek di bajunya, ada bekas koyakan hitam di sana, mirip seperti gosong terbakar. Sang pimpinan tim Garangan itu pun segera menghela napas panjang saat menyadari ada bekas menghitam.

Woalah.”





.::..::..::..::.





Pasat menguap.

Malam ini sebenarnya si Rambut Coklat sudah sangat mengantuk, tapi karena harus berjaga-jaga di sebuah rumah yang menjadi salah satu rumah singgah QZK, maka mau tidak mau dia harus lebih sigap. Kopi kental tak henti-hentinya ia sruput supaya matanya tak terlampau cepat terkatup. Rumah yang dijaga Pasat sebenarnya milik salah satu penggede lawas dari QZK, berlokasi di dekat perempatan Kalipenyu di ringroad utara, tepatnya di belakang kawasan ruko Pinus Delapan. Serangan PSGxRKZ ke aset-aset QZK secara sporadis membuat kelompok penguasa utara itu berjaga-jaga.

Imbasnya, seluruh pasukan disiagakan. Termasuk Pasat.

Untung saja di dekat rumah yang harus dijaga itu ada angkringan sehingga Pasat tidak benar-benar gabut. Dia tetap bisa berjaga layaknya satpam sembari terus menggoyang lidah. Pasat menarik satu tempe goreng lemes berminyak yang menggoda sekaligus nasty. Hanya dalam hitungan detik, tempe itu lenyap di mulutnya.

Handoko Hamdani mendatangi Pasat yang masih duduk-duduk di kursi angkringan sembari memutar-mutar kunci mobil di jemarinya. Sang pria bertubuh tegap dengan kepala yang sekarang dicukur rapi ala militer itu beringsut untuk duduk di samping Pasat. Ia tertawa saat melihat di depan sang pemuda sudah terbuka tiga bungkus nasi kucing dan tiga bekas tusuk sate telur puyuh bacem.

Jinguk, Le. Entekmu kok akeh? Habismu banyak bener. Lapar apa doyan?”

“Aku kan masih dalam masa pertumbuhan, Mas.”

Mbahmu. Hahahaha.”

“Ada kabar dari Guru?”

Hamdani menggelengkan kepala. Dia memang masih belum mendengar kabar dari guru mereka – Ki Kadar, “Guru masih di pertemuan dengan bos Janu sepertinya. Kenapa? Wes kangen ta? Hahahaha. Guru bilang dia langsung pulang setelah pertemuan. Jadi kita hari sepertinya tidak akan…”

Ponsel Hamdani menyalak, ia pun melirik ke layar dan membaca pesan singkat yang tertera di layar.

“Panjang umur, baru aja diomongin sudah kirim pesan. Ini dari Guru, beliau minta dijemput. Kamu tunggu di sini sebentar ya. Aku mau jemput dulu. Guru baru saja selesai rapat dengan Bos Janu dan yang lain-lain. Setelah mengantarkan Guru pulang ke rumah, aku balik ke sini lagi.”

“Siap. Kayaknya juga sepi-sepi aja sih. Aku masih belum paham kenapa kita harus menyebar dan melindungi aset-aset QZK seperti ini, fungsinya apa? Sepertinya tidak PSGxRKZ tidak lagi melakukan gerilya ke utara beberapa jam terakhir ini. Mungkin ada sesuatu yang terjadi.”

“Sepertinya begitu. Kamu sudah dengar kabar belum?”

“Kabar apaan?”

“Joko Gunar mati dibunuh orang malam ini.”

Haaaaaaah!? Bajingoook! Demi apa!? Yang bener?” Pasat terbelalak, tentu saja berita itu benar-benar mengejutkan. Petinggi nomor satu PSG dibunuh? Siapa yang berani-beraninya? “Siapa yang berhasil membunuh penggede PSG itu? Orang sakti darimana?”

“Bukan orang sakti dari mana-mana, cuma cewek biasa saja, kabarnya sih dia sebenarnya korban terbaru si Gunar. Eloknya, dia berhasil membalikkan kenyataan dan membunuh si Gunar walaupun dia sendiri akhirnya juga mati. Kabarnya sudah beredar luas, sedang kacau sekarang di mabes PSG.”

Kuampret-e. Matine goro-goro wong wadon? Wasu. Ra mbois blas.” Pasat geleng-geleng kepala, “sama sekali tidak keren, mati gara-gara cewek seperti itu. Padahal dia punya ilmu kanuragan pilih tanding, tapi pada akhirnya tidak ada gunanya sama sekali.”

“Ya memang seperti itulah dunia, misterius sekaligus membagongkan. Kita tidak pernah bisa menebak bagaimana kita nanti akan mati. Meskipun berguru menimba ilmu paling tinggi sekalipun, tidak ada daya apa-apa jika memang nasib sudah di ujung batas.” Hamdani menggeleng kepala, ia menjumput satu batang rokok dari dalam kaleng yang sudah disediakan oleh sang penjual angkringan. “Siji yo, Mas. Mengko dibayari bocah iki. Si bocah ini yang bayar.”

Nggih, Dab. Siyap.”

Wasu. Lha kok jadi aku yang harus bayar, Mas.”

“Wekekeke. Junior harus mengalah, Dab.” Hamdani tertawa renyah sembari menepuk pundak Pasat. Pria yang sehari-harinya serius itu jarang banget tertawa, itu sebabnya ketika dia tertawa, pasti karena hal yang benar-benar lucu – atau setidaknya lucu menurutnya sendiri. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan, mungkin gara-gara mendengar kabar meninggalnya Joko Gunar yang baru-baru ini merongrong eksistensi QZK di utara. Hamdani mengambil korek gas yang tergantung di tepian atas gerobak angkringan untuk menyalakan rokoknya, tak lama kemudian asap pun membumbung dari batang yang ia nyalakan.

Fhh. Aku duluan.”

“Siap, Mas. Ati-ati di jalan.”

Hamdani mengangguk, ia melangkah keluar dari area gerobak angkringan. Hembusan angin malam menyeruak menyambutnya.

Hembusan angin malam yang dingin.

Kenapa malam ini tiba-tiba saja menjadi sangat dingin ya? Hamdani mengancingkan jaketnya supaya badan jadi lebih hangat dan melangkah ringan menuju ke mobil yang ia parkir tak jauh dari rumah yang dijaga. Jarak antara tempat ini dan rumah om Janu tak begitu jauh, paling-paling hanya butuh waktu seperempat jam untuk menjemput Ki Kadar. Hamdani memainkan kunci mobil di jemarinya.

Hawa dingin yang sangat erat mengungkung badan ibarat sanggup menembus selimut pembungkus tererat. Saat baru separuh jalan, Hamdani merasakan sesuatu. Pria anggota QZK itu melirik ke belakang, Pasat masih berada di angkringan.

Hmm.

Baru beberapa langkah berjalan meninggalkan gerobak angkringan di depan rumah aset QZK, Handoko Hamdani menghentikan langkahnya. Dengan rokok masih terselip di bibir, dia mulai memutar kepala untuk melihat ke sekeliling. Utara, selatan, timur, barat, balik ke utara. Atas, bawah, kiri, kanan, depan, dan belakang. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang berbeda, tapi dia tidak tahu di mana. Ia bisa merasakannya dari angin yang berhembus.

Aura ini…

Handoko Hamdani mendesis kesal ketika kemudian ia menyadari sesuatu. Pria itu melirik ke belakang, ke arah gerobak angkringan.

“Pasat.” Bisiknya.

Si Rambut Coklat tentu saja tidak mendengar. Jarak mereka cukup jauh dan suara Hamdani sangat lirih. Entah kenapa pula Hamdani melakukannya sambil berbisik.

“Pasat!” kini suaranya lebih keras.

Pasat yang akhirnya sadar dia dipanggil melongokkan kepala dari balik spanduk yang menjadi penutup gerobak itu.

Handoko Hamdani lantas membalikkan badan sembari menggerakkan tangan pada Pasat dan menunjuk ke atas, ke atap rumah. Dia berusaha berjalan ke arah si Rambut Coklat dengan langkah kaki cepat.

“Lima! Ada lima!” ucapnya.

“Lima? Lima apanya?” Pasat mengerutkan kening karena kebingungan. Dia masih tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Hamdani.

Saat itulah tiba-tiba ada yang melesat.

Sblp!

Hamdani terhenti di jalan.

Pasat terbelalak. “Ma… Mas Hamdani?! MAS HAMDANI!!”

Pasat langsung terbang ke depan dengan ilmu ringan tubuhnya, mencoba menggapai sang senior. Tapi tubuh Hamdani sudah hampir ambruk ke belakang sebelum Pasat sampai. Tangannya menggapai-gapai ke arah si rambut coklat. “Pa… Pasat!?”

Ada satu benda panjang mirip tombak yang menembus dada Hamdani, masuk dari punggung, keluar di depan, menancap ke tanah.

“MAS HAMDAAAAANI!!”

Handoko Hamdani roboh ke samping, namun karena panjangnya pancang yang menembus dirinya, Hamdani tidak benar-benar bisa roboh. Dia seperti tersangkut pada pancang yang menyangga dengan tubuh lunglai.

“Gaaaaakhhh… aaaagkhhhh…”

Hamdani berusaha menggapai-gapai tempat aman dengan merangkak dan beringsut, tapi tidak dapat bergerak. Dadanya tertembus pancang yang mirip seperti tombak, hanya tinggal menunggu waktu sebelum dia jatuh ke pingsan atau bahkan tenggelam dalam ketidaksadaran untuk selama-lamanya. Darahnya mengucur.

Sepertinya ini sudah di ujung waktunya. Tubuh Hamdani bergetar, ia mengerang pasrah. Ada sesuatu yang tersedot keluar dari tubuhnya.

Orang-orang berteriak dan kebingungan, antara hendak menolong tapi juga takut. Mereka mengkhawatirkan kondisi Hamdani, tapi jerih menghadapi siapapun penyerangnya. Pasat berlari menuju Hamdani.

Tapi belum sampai ia sampai di tempat sang teman, sebuah tendangan berputar menyambar kepalanya dengan keras sekaligus menghentikannya.

Bkkghh!

Pasat terguling ke belakang.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Sang penyerang tak berhenti. Serbuan bertubi menghampiri. Badan, wajah, kaki, semua diserang. Pasat bahkan tidak tahu apa yang telah menyerangnya, berapa orang, kenapa, dan siapa. Dia berlindung di balik lengan yang menutup kepala dan kaki yang meringkuk. Tapi itu semua gagal melindunginya. Wajahnya benar-benar menjadi bengkak dan bengap.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Penyerangnya tidak mengenal ampun dan tidak kunjung berhenti.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Pasat makin kepayahan, dia bahkan tidak bisa merapal jurusnya sendiri karena serangan lawan begitu bertubi. Pemuda berambut coklat itu akhirnya hanya bisa pasrah ketika semua serangan masuk menyasar tubuhnya. Seperti dugaannya, meski Pasat sudah pasrah tapi serangan itu tidak berhenti sama sekali. Siapapun penyerangnya, dia punya endurance yang luar biasa, bagaikan robot. Dia mungkin bahkan tak berhenti untuk menarik napas.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!


Pasat terkapar tanpa daya dengan tubuh remuk redam. Lawan akhirnya mulai mengambil jeda dan mundur beberapa langkah.

Pasat yang sedang terkapar dan terlentang mencoba berdiri dengan susah payah. Ia menggunakan lengan untuk menekan beban tubuh dan dijadikan tumpuan untuk mengangkat badan, ketika sudah setengah duduk ia menghapus darah dari bibirnya yang pecah dengan punggung tangan.

Dia menatap ke sekeliling untuk mencari-cari, siapa sebenarnya sang lawan?

Pasat tidak hanya menghadapi satu, melainkan ada lima orang berpakaian serba hitam menutup tubuh dari ujung kaki sampai ujung kepala ala-ala Ninja dan mengenakan topeng badut. Kelimanya mendekati si Rambut Coklat.

“Mau apa kalian?” Pasat mendesis geram, “Mau menghabisiku? Bangsat kalian semua! Jangan harap kalian bisa melakukannya dengan mudah! Jangan pula berharap kalian bakal selamat dari amarah QZK setelah mencelakaiku dan Hamdani! Kami QZK adalah pendendam, kalau kami sudah marah, kalian tidak akan dapat lolos dengan mudah. Aku bersumpah malam ini, tidak sampai setahun, kalian semua akan musnah.”

Orang-orang itu saling berpandangan dan terkekeh. Mereka berbicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Pasat. Bahasa itu seperti… jingan… bahasa itu… bahasa Jepang? Jangan bilang kalau orang-orang ini…

“JXG bangsat!” Pasat memaki kelima orang itu sambil mencoba berdiri dengan tubuh sempoyongan. Dia bukan orang yang emosional, tapi hari ini dia benar-benar sampai di ujung batas kemarahan. Mungkin memang benar-benar ini hari akhir baginya dan Hamdani. “Jadi kalian dari Saringancumi X apa itu ga jelas, He? Unit Jepang-nya JXG, eh? Jingan!

Bagi Pasat malam itu, sepertinya perang besar sudah benar-benar dimulai. Dia dan Hamdani akan berperan sebagai martir, tapi dia tidak akan jatuh tanpa perlawanan.

Beberapa orang berpakaian gelap itu hanya terkekeh-kekeh. Mereka maju perlahan-lahan, menyebar, dan mengepungnya. Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima orang tengah bersiap untuk menghabisi Pasat bersama-sama dan menyergap dari semua penjuru. Yang paling mencolok ada dua, yang pertama memainkan toya dengan memutar-mutarnya secara mahir, satu lagi memainkan sepasang pedang sai atau tekpi. Kelimanya kompak dalam mengepung, gerakan mereka sangat terkoordinir tanpa perlu banyak bicara. Mereka pasti sudah sangat sering bertarung bersama. Kelimanya membentuk lingkaran untuk mencegah gerakan liar dari si Rambut Coklat.

Dari jumlah, kecepatan, dan kemampuan - kelima orang bertopeng itu jelas lebih unggul dibandingkan Pasat yang saat ini terluka. Si Rambut Coklat pun tahu itu, hidupnya mungkin sedang berada di ujung tanduk jika ia tidak mampu menyelesaikan pertarungan ini dengan cepat. Tapi saat ini dia berhadapan dengan lima cecunguk yang bukan kaleng-kaleng, satu saja repot apalagi lima.

Cuh.” Pasat membuang ludah bercampur darahnya ke samping. Ia kembali berdiri dengan tubuh sempoyongan dan melakukan kuda-kuda sembari bersiap melepas jurus andalannya - Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah. “Meskipun disiksa sampai mati, aku tidak akan pernah menyerah. Tidak kemarin, tidak sekarang, tidak nanti, dan tidak kapanpun. Majulah kalian cecunguk-cecunguk JXG. Kita selesaikan secara jantan. Kalian siap, aku juga siap. Kita lihat butuh berapa lama buat kalian untuk merobohkan orang yang sudah terluka seperti aku?”

Pasat menggemeretakkan gigi dan mulai menyalakan Ki. Kelima orang itu bergerak bersamaan. Pasat tahu, kesempatannya untuk menang bisa dibilang cuma 20 persen saja. Dia tersenyum, seperti ini rupanya akhir kisah hidupnya.

Rasa-rasanya pantas untuknya, mati karena bertarung di jalanan.

Boooom!

Tepat di saat Pasat sudah mulai putus asa, ada seseorang yang masuk ke dalam area lingkaran kepungan kelima orang bertopeng, tepat di tengah-tengahnya, menutup jalur mereka . Orang yang baru masuk itu berdiri dengan canggung di sebelah Pasat, bergerak-gerak dengan ganjil dan terkekeh-kekeh.

“Ku… ku… ku… ku…, pemeran utama akhirnya datang. Hihihihi. Apakah kedatanganku mengganggu pesta kalian? Ku… ku… ku… ku. Datang tak diundang, pulang tak diantar. SI badut datang sambil berdendang, ke neraka kalian kan diantar. Waahahahahah.”

Sosok ganjil itu bergoyang-goyang dengan aneh. Kepalanya bergeleng ke kiri dan kanan seakan menikmati apa yang baru saja ia ucapkan. Pasat menatap pria yang berada di hadapannya dengan tatapan takjub, dia sama sekali tidak mengira akan berjumpa kembali dengannya – si mulut sobek misterius dari JXG, salah satu dari Empat Anak Panah – Hantu.

Para penyerang Pasat saling berpandangan, bingung harus bagaimana saat menghadapi Hantu. Pertama karena dia keunikannya, kedua karena dia orang yang diketahui punya ilmu kanuragan yang tidak main-main, dan ketiga karena jabatannya sebagai punggawa JXG. Pria yang wajahnya tidak sedap dipandang itu kini tengah memainkan lengannya dengan gerakan-gerakan absurd di depan kelima orang bertopeng yang kebingungan.

Lagi-lagi Hantu berucap, “Ada rubah di pohon pakis. Kalau kalah jangan menangis. Ku… ku… ku… ku.”

Kelima orang itu saling berpandangan satu sama lain, mereka mundur sedikit demi sedikit, seperti jengah dan enggan bertarung dengan orang yang berada di depan mereka ini. Kelima sosok bertopeng itu sepertinya paham dengan siapa mereka berhadapan.

Hanya dengan bergoyang-goyang aneh, Hantu membuat kelima orang yang mengurung Pasat mundur teratur.

Pasat kebingungan – bukankah orang ini juga termasuk punggawa JXG? Kenapa Hantu menghalangi mereka menyerangnya kalau JXG menginginkan kematiannya dan Hamdani? Orang-orang ini kan orang JXG juga? Atau apakah ada sesuatu yang tidak ia ketahui?

“Mohon tidak menghalangi kami menghabisi orang QZK ini, wahai Hantu.” salah satu dari lima orang bertopeng membuka mulutnya. “Ini perintah dari…”

“Lho, menghalangi kalian? Ku… ku… ku… Jajaja.” Sosok seram yang dipanggil Hantu itu terkekeh-kekeh sembari menggoyangkan badan bagian atasnya ke kanan dan kiri seperti boneka pegas dashboard mobil, tentu saja tidak imut sama sekali, malah berkesan teramat seram. “Jajaja… siapa kalian berani memerintahku? Perintah dari siapa? Kkukukuku… Bos tidak pernah memerintah siapa-siapa… Ku… ku… ku… semua wajah ditutup topeng, pasti kalian wajahnya kayak cecurut! Hahahahahaha!! Impostor yaaaaa!? Dari mana kalian sebenarnya?”

Hantu bergerak ke depan dengan kecepatan tinggi hendak melancarkan serangan untuk membuka topeng salah satu dari kelima penyerang Pasat. Tapi kelima orang itupun ternyata punya ilmu ringan tubuh yang lumayan sehingga mereka dapat menghindar dan berkumpul kembali dan berdiri berjajar bersama.

“<Bagaimana?>” bisik salah seorang di antara lima penopeng kepada salah satu sosok yang paling tinggi dengan menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh Pasat “<Dia salah satu dari Anak Panah. Ini tidak akan berakhir dengan baik seperti rencana semula. Sebaiknya kita pertimbangkan ulang rencana malam ini, kita harus mencari alternatif lain>.”

Salah satu dari mereka yang berkacak hitam berbicara dengan nada yang berat dan dalam, kemungkinan dia adalah pimpinan mereka. Dia satu-satunya yang mengenakan shoulder pad. “<Saatnya kita pergi.>”

Hanya dengan sekali ucap, kelima orang itu melesat pergi meninggalkan Pasat dan Hantu sehingga hanya tinggal mereka berdua saja. Hantu menatap arah kepergian para penyerang dan tertawa-tawa. Ia bergumam dengan bahasa yang mirip seperti yang digunakan oleh para penyerang. “<dasar bodoh>.”

Bagaimana ia bisa memahami bahasa itu?

Seketika itu juga, suasana menjadi sepi. Orang-orang yang tadinya bersembunyi akhirnya keluar, mereka mencoba menolong Handoko Hamdani yang kondisinya kritis dan berusaha membawanya ke rumah sakit – termasuk si mas penjual angkringan juga ikut bergerak menolong.

Entah apakah Hamdani masih bisa selamat atau tidak.

Pasat jatuh terduduk bertongkat lutut, sepertinya dia juga terluka cukup lumayan. Pemuda itu terengah-engah, kondisinya menurun setelah serangan beruntun, sebenarnya dia terluka namun masih bertahan karena tenaga yang ia himpun. Tapi semua ada waktunya dan semua ada jedanya, melihat sang rekan sudah ditangani beberapa orang, dia pun pasrah. Berulang kali napasnya dihela. Bagaimana bisa menolong Hamdani kalau dia sendiri sedang tidak sanggup untuk berdiri? Dia mesti percaya pada orang-orang baik yang menolong mereka.

Napas si Rambut Coklat tidak lega, berulangkali Pasat terbatuk-batuk, seperti ada yang menyekat kerongkongannya. Dia juga penasaran pada misteri yang menyekat pemikirannya. Siapa orang-orang itu sebenarnya kalau mereka bukan dari JXG? Bukankah mereka tadi berbicara dalam bahasa Jepang? Seharusnya mereka dari unit SSX-nya JXG, tapi kenapa mereka berseberangan dengan si Hantu? Apakah mereka bukan dari unit SSX-nya JXG? Lalu dari mana?

Pasat hendak berdiri, tapi karena ia masih kesakitan, pemuda itu pun memilih untuk duduk dahulu sementara waktu, duduk dahulu… sebentar, duduk sebentar… duduk…

Ia mengatur napas, memejamkan mata, dan mulai bermeditasi untuk melancarkan Ki.

Tiba-tiba saja ada sesuatu yang hangat yang menyeruak masuk ke dalam tubuhnya. Lembut, hangat, dan penuh tenaga. Menetralkan, menentramkan. Ada seseorang yang tengah membagikan tenaga dalamnya pada Pasat.

Saat membuka mata, dia baru menyadari kalau orang itu adalah Hantu yang sedang memegang pundak si Rambut Coklat.

“Ma-Mas Dika…” bisik Pasat saat melihat wajah Hantu dari jarak dekat.

Tapi Hantu memalingkan wajahnya dan melepaskan tangannya dari pundak Pasat, ia beralih ke belakang dan menyalurkan tenaganya melalui punggung. Tenaga dalam Pasat kini dihentak dan ditambah dengan tenaga yang makin menghebat. Pasat terdiam, kembali memejamkan mata, dan membiarkan Hantu membantunya menyembuhkan diri.

Setelah beberapa saat, Hantu melepaskan desakan tenaganya. Ia bangkit dan mengambil sesuatu dari dalam kantong celananya. Pasat membuka mata dan bersiap menyusul Hamdani yang dibawa ke rumah sakit.

“Te-terima kasih… Mas Dika? Beneran Mas Dika kan? Selama ini kami salah mengira Mas Dika sudah meninggal. Bener kan ini Mas Dika?” ucap Pasat pada Hantu yang lagi-lagi menyembunyikan wajahnya. Tapi Hantu tidak menjawab satu pun pertanyaan Pasat. Dia hanya terkekeh-kekeh – tapi bukan karena ingin terkekeh, melainkan karena sesuatu yang nampaknya menyakitkan – dia terkekeh-kekeh seperti karena terpaksa.

Hantu memberikan sesuatu pada Pasat. Sesuatu yang tadi ia ambil dari kantong celananya, sesuatu yang selama ini selalu ia bawa kemana-mana.

“Titipan… da… dari… kukukuku… ka… kakakmu,” bisik Hantu sembari terbata-bata pada Pasat. Dia meletakkan satu gelang prusik di tangan si rambut coklat. “Di… Dia se-selalu… kukukuku… bi-bilang kalau d-dia… bangga… sa-sama kamu… kukuku…”

Pemuda itu terperangah karena dua hal. Yang pertama dan cukup mengagetkan adalah… si Hantu bisa berbicara normal? Dia tidak gila setotal-totalnya?

“Ma… Mas Dika…”

Tapi Hantu tidak menjawab. Dia melesat pergi semisterius kedatangannya. Pasat hanya dapat merasakan angin berhembus saat sosok ganjil itu menghilang begitu saja.

Tapi tunggu dulu…

Jadi selama ini dia mengawasi Pasat?





.::..::..::..::.





Nanto dan Hanna memasuki ruangan rapat di markas Sonoz. Di sana sudah ada lengkap anggota Lima Jari, Simon, dan Amar Barok. Si Bengal segera duduk di kursi yang mengitari sebuah meja bundar sementara Hanna duduk di kursi yang ada di sudut ruangan.

Aliansi tidak punya banyak waktu melakukan koordinasi karena apa yang terjadi di sekitar mereka berlangsung dengan sangat cepat.

“Ternyata kita semua sama aja brengseknya ya, disuruh tetap tinggal di hotel di Pantai Selatan malah kabur ke kota semua,” ucap Nanto sambil tersenyum.

Keempat sahabatnya terkekeh ringan dan mengangguk-angguk. Situasi menjadi lebih ringan, tapi hanya untuk sesaat. Suasana murung kembali terasa hanya sejenak kemudian. Suasana dan aura gelap memang sangat mengungkung.

Roy yang membuka percakapan, “Kita sudah menemukan di mana Rey berada, tapi tidak dapat menemukannya. Kuncinya ada pada om Janu. Kamu mesti menemui dia, Dab. Dengan meminta ijin pada om Janu, kita pasti bisa mendapatkan Reynaldi.”

“Aku hanya ingin membunuh zezeorang malam ini. Tidak peduli ziapa dia.” Hageng yang tidak biasanya serius, terdengar sangat menyeramkan.

“Kalau aku hanya ingin tidur malam ini.” Bian menimpali. Dia memang sedang mengantuk sekali.

Deka mengetukkan jemarinya di meja bundar, “Kita sudah tahu di mana Reynaldi berada, tapi untuk saat ini kita tidak akan bisa menyentuhnya. Si bajingan itu melenggang bebas di luar sana dan bisa saja setiap saat kembali merenggut nyawa. Kita harus mengejarnya.”

“Hhh.”

Ada suara dengusan kencang terdengar dari sudut. Semua mata menatap ke arah yang sama.

Amar Barok yang tengah bersidekap di pojok ruangan memandang satu demi satu anggota Aliansi. “Kalian memang berbakat, tapi karena hanya berisikan anak-anak muda, pikiran kalian juga masih berangasan, dan teramat naif. Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan pertempuran. Kelompok-kelompok besar lebih memilih tidak melakukan konfrontasi dan bernegosiasi untuk menghindari korban. Kalian sebaliknya.”

“Maksudmu gimana, Mas?” tanya Nanto.

“Pertama… kita sedang dalam kondisi payah – dan maksudku benar-benar payah. Tidak ada satupun dari kita yang segar. Kita semua sedang terluka, baik secara mental maupun secara fisik. Seandainya saat ini kita menyerang atau mengejar siapapun sepertinya itu keputusan yang kurang tepat karena kita sedang berada dalam kondisi yang tidak seratus persen, padahal siapapun yang kita kejar punya backing yang mengerikan. Untuk saat ini kita harus fokus pada kesehatan masing-masing dan secepatnya meningkatkan kemampuan. Apalagi saat ini obat dari guru si Deka sudah bisa diberikan pada Rania dan Ara. Mudah-mudahan itu bisa berguna.”

“Aku sudah memberikannya pada Rania,” ucap Roy. “Kabar terakhir yang aku dengar, kondisi Lena sudah membaik. Syukurlah. Aku juga meminumnya kalau-kalau obat itu bisa menyembuhkanku lebih total, karena racun di tubuhku sudah terlanjur menyebar.”

“…dan aku juga sudah memberikannya pada Ara,” sambung Simon sambil menatap si Gondes. “Butuh waktu, tapi sepertinya dia juga semakin membaik. Obat itu benar-benar ampuh. Terima kasih, Deka.”

Deka mendengus, dia jelas tidak melakukannya untuk Simon.

Nanto mengangguk, “kabar yang bagus. Jadi semuanya berjalan sesuai rencana untuk pemberian obat.”

“Ya. Untuk masalah itu sepertinya untuk sementara terselesaikan, mudah-mudahan tidak ada efek samping ataupun komplikasi baru nantinya. Kita tetap harus mengawasi mereka.” Amar Barok mengangkat jempolnya, “Sekarang bagaimana dengan tim kita? Rao masih belum jelas kabarnya, masih missing in action. Lima Jari jelas sedang tidak dalam kondisi terbaik. Kita semua masih belum pulih betul usai bertarung mati-matian dengan RKZ. Kita semua kelelahan baik secara fisik maupun mental, sepertinya banyak sekali masalah mbundet yang harus kita luruskan. Yang masih segar mungkin hanya aku dan Simon.”

Nanto menghela napas panjangnya. Mau tidak mau dia harus mengakui kalau Amar Barok benar, semua anggota Aliansi butuh jeda. Terlebih dengan deretan masalah yang silih berganti menghancurkan mental mereka akhir-akhir ini. Bahkan si Bengal pun harus menghadapi masalah Kinan dan Hanna secara beruntun.

Nanto memandang ke sekeliling, matanya melirik ke arah Hageng yang tidak seperti biasanya diam seribu bahasa. Sang raksasa yang selalu ramah itu menenggelamkan kepalanya di dalam dekapan kedua lengannya yang besar. Dari matanya yang sembab, dia tahu sang sahabat bertubuh bongsor itu baru saja kehilangan seorang kawan dekat karena kasus yang terkait dengan kelompok besar.

Si Bengal beralih melirik Bian - si Bandel yang berangasan. Bian baru saja memperoleh warisan Ki dari guru misterius Beni Gundul. Entah itu bisa disebut beruntung entah tidak karena tubuhnya kini butuh penyesuaian dan ia harus melatih diri untuk bisa menyesuaikan tubuh dengan tenaga yang ia dapatkan. Dia juga baru saja mendapatkan ilmu kanuragan baru dari para tetua tersebut, sayangnya kondisi Bian masih belum sober. Dia butuh waktu untuk mengatasi ketergantungannya ke minuman keras terutama karena Bian masih merasa bersalah setelah mengakibatkan kematian Beni Gundul.

Lalu bagaimana kembaran Bian - Si Roy? Roy tidak kalah bermasalah. Dia juga baru saja mendapatkan tambahan ilmu kanuragan dari salah satu punggawa QZK – Ki Kadar. Namun ilmu itu tidak didapatkan secara percuma, dia harus menggunakannya untuk menekan racun yang sudah menyebar dalam tubuhnya, mudah-mudahan saja obat dari guru Deka bisa menyembuhkannya karena saat ini Roy tidak akan bisa bertarung dengan kemampuan seratus persen jika masih harus memperhatikan racun yang menyebar dalam tubuhnya. Selain masalah racun, Roy juga harus menghadapi masalah ketika keluarga kekasihnya diserang oleh si durjana Reynaldi yang berakibat meninggalnya ibu Rania dan melukai anaknya.

Berlanjut ke Deka. Deka baru saja patah hati dan dia melarikan diri dari masalah itu dengan belajar ilmu kanuragan dari aliran hitam. Ilmu kanuragan dari aliran hitam memang mudah dipelajari dan cepat dipraktekkan, namun akan selalu meminta korban entah itu melalui tumbal atau menghancurkan diri sendiri. Entah dari mana Deka mengenal Ki Demang Undur-Undur yang mengajarinya ilmu hitam – akan ada saatnya nanti si Bengal harus mengkonfrontasi Ki Demang supaya tidak mengkorupsi jiwa sang sahabat. Sisi positifnya, dari guru Deka itu mereka mendapatkan obat untuk meringankan rasa sakit akibat serangan Cakar Tangan Hitam yang mengenai Ara, Lena – anak Rania, dan Roy.

Kesimpulannya? Lima Jari sedang sakit.

Bagaimana dengan Aliansi?

Sama saja.

Simon sedang sibuk merawat Ara dan Rao tidak ketahuan rimbanya, sang Hyena Gila missing in action dan tidak bisa dihubungi hampir beberapa hari belakangan ini. Keputusan kini ada di tangan si Bengal. Apa yang harus mereka lakukan?

“Baiklah.” Nanto menyilangkan jari jemari di depan wajahnya, ia mulai mencari solusi. “Masalah kita tentang racun untuk sementara bisa teratasi dengan obat dari guru Deka. Masalah berikutnya adalah tentang si penyerang yang punya jurus Cakar Tangan Hitam dan menyebabkan semua kekacauan ini. Kita harus menghentikan bedebah ini sekali untuk selamanya. Roy – apa saja fakta-fakta yang kita dapat mengenai si durjana ini?”

Roy mengangguk. “Namanya Reynaldi. Dia bekerja sebagai guru di SMA CB, meski sekarang sedang diskors karena menyerang Bu Asty…”

Semua anggota Lima Jari melirik ke arah si Bengal saat nama Asty disebutkan. Dari mereka berlima, Nanto adalah yang paling dekat dengan mantan guru BK mereka itu. Tapi si Bengal tak bergeming dan dari tatapan matanya meminta Roy melanjutkan keterangannya.

“Seperti yang kita ketahui, dia ini PK paling busuk dari yang paling busuk, otaknya cuma kepikiran selangkangan. Sebelum mencelakai Bu Asty, dia pernah melecehkan Rania bertahun-tahun lalu. Sekarang dia melakukannya lagi dengan menyerang keluarganya. Kita sudah satroni rumahnya, tapi tidak ada siapapun di sana. Rumahnya kosong dan yang lebih mengejutkan, dia memiliki lempeng perlindungan dari QZK.”

Nanto mengangguk. “Aku akan bicara pada om Janu dan menanyakan siapa sebenarnya si bedebah busuk yang bersembunyi di bawah ketiak QZK ini. Akan aku usahakan untuk melepaskannya dari perlindungan QZK sehingga kita bisa meringkusnya dan meminta pertanggungjawaban.”

“Kapan kamu akan melakukannya, Dab?” tanya Roy.

“Kalau tidak salah semua tetua kelompok akan hadir pada pesta pernikahan anak Pak Zein. Aku diundang ke sana oleh Nada. Kita lihat saja nanti apa yang bisa aku…” Nanto melirik ke arah Hanna yang langsung mencibir ngambek saat si Bengal menyebutkan nama Nada, “…kita lihat nanti apa yang bisa aku peroleh dari pertemuan dengan para tetua kelompok di sana.”

“Kita harus menunggu sampai minggu depan?” Roy sudah tidak sabar.

“Nanto benar.” Amar Barok menimpali, “Kita tidak akan bisa secara tiba-tiba menyerang orang yang berada di bawah perlindungan QZK ataupun secara gegabah maju ke hadapan om Janu dan meminta orang ini. Pertama karena kita harus menghormati beliau, kedua karena secara kekuatan kita juga belum mampu. Pulihkan dulu semua kemampuan kita dan kita akan lihat sejauh mana si Reynaldi ini bisa lari. Setidaknya kita tahu dia berada di bawah perlindungan QZK. Itu clue yang sudah cukup besar.”

“Jadi sekarang bagaimana?” Bian memutar-mutar botol minuman berperisa sarsaparilla di tangannya.

“Kita menunggu.”

“Menunggu?”

“Iya, menunggu. Kita lihat minggu depan setelah Nanto bertemu om Janu di pesta pernikahan anak Pak Zein, untuk menentukan apa langkah selanjutnya. Untuk sementara waktu kita stay down, stay low, tapi stay strong. Kalian semua beristirahat dan memulihkan diri, Simon bisa merawat Ara dan Roy membantu Rania menemani masa-masa kritis Lena. Di saat yang bersamaan, tingkatkan ilmu kanuragan kalian karena ke depan nanti kita pasti akan berhadapan dengan lawan-lawan yang semakin kuat,” ujar Amar Barok. Pria yang memang pantas dijadikan penasehat itu mengangkat tangannya. “Yang setuju angkat tangan.”

Simon menganggukkan kepala dan mengangkat tangan. “Tidak ada masalah menunggu sementara waktu dan menghindari konfrontasi dengan siapapun. Apalagi obat dari Deka sedikit menenangkanku karena obat itu efeknya positif ke Ara. Aku setuju, kita pulihkan diri dulu.”

Bian juga mengangkat tangan. “Aku juga setuju. Udah teler banget ini, pengen tidur sumpah. Pemirsah kita rehad sejedag.”

Deka mengangguk tanpa banyak berucap, ia mengangkat tangan. Dia tidak mau melirik sedikitpun ke arah Simon. Wajar saja, dia kehilangan tunangannya ke Simon dan gadis yang ia sukai ke Amar Barok. Sekarang mentalnya sedang benar-benar diuji. Nanto terus mengawasi perubahan wajah sang sahabat.

“Roy?” Amar beralih ke sang pengendara angin yang paling tidak sabar mengejar Reynaldi. Tapi setelah berpikir cukup lama, ia juga akhirnya mengangkat tangan.

“Aku bisa merawat Lena dan menemani Rania untuk sementara waktu ini. Jadi meskipun geregetan, rasa-rasanya tidak masalah.” Roy duduk di kursi dan berusaha tenang setelah beberapa saat lamanya mondar-mandir. “Setuju sih, setidaknya kita tahu sekarang dia ada di mana dan di bawah perlindungan siapa.”

“Sekarang tinggal sang pimpinan. Bagaimana?”

Nanto menghela napas, “Suaranya sudah bulat dan aku juga setuju. Kita istirahat dahulu untuk sementara waktu, seminggu lagi bertemu di sini untuk membicarakan langkah selanjutnya. Pastikan kalian semua menyembuhkan diri dan meningkatkan kemampuan masing-masing. Aku tahu seminggu itu terkesan lama – tapi jika kalian memanfaatkannya dengan baik, maka waktu berlalu begitu saja.”

“Baiklah, kita sudah putuskan seperti itu. Aku satu-satunya yang sehat sepertinya, jadi aku akan menjaga posisi sebagai caretaker sementara kalian istirahat. Bagaimana ketua?” tanya Amar.

“Tidak ada orang yang lebih tepat.” Nanto berdiri dan menghampiri Amar Barok, sang panglima baru Aliansi. Dia menepuk pundak Amar. “Aku percayakan semua tugas sementara waktu padamu, Mas. Termasuk untuk mencari Rao dimanapun dia berada saat ini.”

Terdengar ketukan di pintu. Hanna yang kebetulan tidak ada kerjaan membukakan pintu. Seorang pemuda yang membawa pedang kayu sambil cengengesan masuk ke dalam. “Apa kabar kalian semua?”

“Wooooh. Don Bravo?” Deka terkekeh menatap sang pemakan bengkuang masuk. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali mereka bertemu dengannya. “Dari mana saja kamu?”

“Mau tau aja atau mau tau banget?”

“Sompret.” Deka tertawa.

Pemuda yang baru masuk datang sembari menebar senyum, tapi ia tidak mengucapkan banyak kata dan membuka pintu lebih lebar lagi. Seorang gadis turut masuk ke dalam mengikuti langkah si pemakan bengkuang. Gadis yang baru masuk mengenakan pakaian yang mengesankan tomboi, topi trucker putih, kemeja flanel kotak-kotak merah hitam dan celana jeans ketat membungkus kaki yang jenjang. Sembari membuka topi dan memperlihatkan rambut pendek, gadis cantik itu tersenyum menatap semua orang yang ada di sana.

“Salam kenal semuanya. Namaku Shinta dan aku butuh bantuan kalian.”





.::..::..::..::.





Bmmm! Bmmm! Bmmmm!

Terdengar dentuman demi dentuman bertalu diiringi getaran yang hebat.

Seandainya saja ruangan yang berada di lokasi tersembunyi itu tidak terbuat dari bahan-bahan yang kokoh, maka sudah pasti akan hancur berantakan. Tetap saja atap berderak dan dinding jadi retak-retak. Dua orang pria berjaga-jaga di depan sebuah pintu besar di mana suara dentuman itu berasal, tepatnya di sebuah bangunan yang berbentuk pendopo.

Warna semburat oranye mulai hadir di cakrawala, menandakan pagi sudah hampir hadir.

“Selamat atas kebebasanmu. Heheh,” ujar seseorang di sebelah kanan. Dia adalah Pak Mangku – orang kepercayaan om Janu QZK. “Aku lihat kondisimu juga sudah pulih kembali. Mengagumkan apa yang bisa dilakukan darah orang itu.”

“Berkat doa sampeyan. Heheheh. Darah penyembuh yang ampuh yang sayang sudah habis.” Bambang Jenggo yang berdiri di sebelah kiri Pak Mangku terkekeh-kekeh sembari bersandar ke sebuah soko - tiang penyangga. “Begitu bebas dari tahanan aku langsung ke sini untuk menemui Ki Juru Martani. Berterimakasih karena berkat beliau-lah aku bisa bebas dan sehat seperti ini. Hahaahhaha…”

Pak Mangku menganggguk-angguk, “Sudah seharusnya. Beliau memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Omong-omong, sudahkah mendengar kabar tentang…”

Jenggo mendengus, sudah pasti dia telah mendengar kabar paling hot saat ini.

“Kabar tentang Si Gunar? Sudah. Bodoh memang dia. Kalau saja dia bisa berpikiran jernih dan tidak mengutamakan kontol, barangkali nyawanya masih bisa selamat. Tapi Ki Juru Martani tidak perlu khawatir, aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama seperti si bodoh busuk itu,” Jenggo tersenyum. “Kita akan mengubah tatanan kota, tidak ada lagi utara dan selatan – semua akan bersatu di bawah satu kendali, dan aku akan memastikan itu melalui kekuatan gabungan poros PSGxRKZ.”

“Gunar sudah lewat, itu artinya kamu yang akan menjadi pimpinan PSGxRKZ di bawah Ki Juru Martani.”

“Tidak masalah.”

ROOOAAAAAAAAAAAAAAARRR!

Pintu kamar yang ada di depan pendopo tiba-tiba saja terbuka. Terdengar suara raungan kencang dari dalam kamar yang sejak tadi berdentum. Raungan yang sangat keras dengan angin begitu kencang keluar dari dalam. Baik Jenggo maupun Pak Mangku harus bertahan dan mengerahkan Ki agar mereka tidak terlempar terbang dari posisi mereka sekarang.

Tenaga hembusan yang teramat kuat itu akhirnya berhenti. Seluruh tempat porak poranda. Jenggo dan pak Mangku terengah-engah sembari saling bertatapan. Kekuatan apa ini? Apakah Ki Juru Martani sudah menguasai ilmu kanuragan pilih tanding yang baru?

“Tongkat.”

Angin membawa bisikan dari dalam ruang yang gelap. Hanya dengan satu kalimat saja, tongkat yang tadinya bersandar di meja yang ada pada pendopo bergerak seakan-akan dihuni oleh sosok astral, lalu terbang di udara dan melayang masuk ke dalam ruangan yang gelap dengan kecepatan tinggi.

Bambang Jenggo dan Pak Mangku terdiam.

Tak lama kemudian terdengar suara orang melangkah dengan ditemani tongkatnya. Langkahnya perlahan, tapi getaran auranya sangat terasa menekan orang-orang yang tengah menunggu di pendopo. Mereka semua harus berkonsentrasi supaya tidak tertelan tenaga dalam hebat yang ditunjukkan.

Satu sosok pria keluar. Ia berjalan dengan tenang dan duduk di kursi utama yang ada di pendopo. Keringat bercucuran dan meskipun wajahnya terkesan rileks, seperti ada sirat kekecewaan. Orang itu, tentu saja adalah… Ki Juru Martani, sang arsitek kekacauan.

Sugeng enjang. Selamat pagi, Ki Juru Martani.” Pak Mangku menyapa dan menunjuk ke meja. “Silakan diunjuk dahulu. Nanti tehnya keburu dingin kalau tidak diminum.”

Ada gelas teh hangat yang disiapkan di samping Ki Juru Martani, dia menyeruputnya perlahan, menikmati hangatnya teh yang dipadu dengan dinginnya malam. Sang tetua menggeleng kepala dan mencibir. “Gagal lagi. Kitab yang diberikan bocah brengsek itu pasti sudah dibolak-balik dan ada yang dihapus sana-sini. Susunannya berantakan dan ngawur. Tenaga internalku bisa hancur kalau mempraktekkannya… untung saja aku paham kelicikannya.”

“Sudah dicoba mencari susunan yang benar, Pak Bos?” tanya Jenggo.

“Tidak ada gunanya kalau tidak ada panduan. Aku malah bisa jadi gila nantinya kalau ilmu kanuragan ini salah diurutkan. Tapi tidak apa-apa, aku tidak terburu-buru. Lagipula masih banyak ilmu kanuragan lain yang bisa aku pelajari untuk sementara waktu ini. Cepat atau lambat aku pasti akan mendapatkan nawalapatra 18 Serat Naga, bagaimanapun caranya.”

Ki Juru Martani meletakkan teh-nya di atas meja. Ia menatap kedua orang yang hadir di sana. “Ada yang mau kalian laporkan atau tanyakan?”

“Maaf, bagaimana dengan posisi komandan lapangan PSGxRKZ setelah kematian Joko Gunar? Siapa yang akan ditunjuk dan menjabat sebagai wakil dari Ki Juru Martani?” tanya Pak Mangku sembari berbasa-basi. “Kita harus melakukan ini dengan cepat sebelum ada orang-orang yang memanfaatkan vakumnya kepemimpinan di PSG.”

“Kumpulkan semua orang dan pasang Bambang Jenggo sebagai pimpinan mereka,” ujar Ki Juru Martani dengan santai. “Pastikan tidak ada yang berkeberatan. Aku menginginkan tim yang solid, karena hanya tim yang benar-benar bersatu yang sanggup meruntuhkan semua tatanan. Pastikan juga peristiwa seperti Darsono dan Joko Gunar tidak terulang. Benar-benar memalukan.”

Bambang Jenggo mengangguk dan menjura, “Saya bisa pastikan tidak akan terjadi peristiwa yang sama, Ki Juru Martani. Saya tidak segegabah itu mencari perempuan.”

“Baguslah kalau begitu.” Ki Juru Martani tersenyum, “Pak Mangku, bagaimana persiapan menjelang pesta pernikahan? Poros Axis PSGxRKZ memang tidak diundang, tapi kita tetap harus datang. Karena kita justru akan membawa kado untuk semua yang hadir di sana. Heheheh.”

Pak Mangku menjura, “sampun saya persiapkan.”

“Bagus. Sekarang kiranya kita bisa…”

Tiba-tiba terdengar suara dari arah depan gerbang pendopo, beberapa orang penjaga mencoba menghalangi namun gagal menahan kemampuan tingkat tinggi dua orang pemuda yang memaksa masuk ke dalam.

Dua orang gagah masuk ke dalam. Satu bertubuh gempal, satu lagi cukup tegap. Keduanya bersidekap saat berhadapan langsung dengan Pak Mangku, Bambang Jenggo, dan Ki Juru Martani. Dengan jumawa keduanya tersenyum sinis.

Pak Mangku langsung bertindak dan menutup jalan menuju Ki Juru Martani. “Jangan kurang ajar kalian berdua! Seenaknya sendiri masuk kesini! Memangnya kalian tidak tahu kalian sedang berhadapan dengan siapa?”

Bambang Jenggo tersenyum meremehkan saat melihat kedua pemuda itu. “Lagi-lagi kalian berdua.”

Ki Juru Martani tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia menurunkan wajah dan memasang topeng klana berwarna merah dengan hidung panjang, mirip seperti sosok iblis marah. Kedua orang yang baru datang tak akan dapat mengenali siapa dia. Dengan santai sang arsitek kekacauan itu duduk menyilangkan kaki.

“Pertama, kami tidak peduli siapapun kalian. Kami kesini bukan untuk bersenda gurau dan merunduk di bawah kaki RKZ. Kami datang sebagai perwakilan PSG hanya untuk memberikan konfirmasi,” seru pemuda pertama – Aswin Aswatama, putra Joko Gunar. Di sebelahnya ada Ajo Gunarso sang adik tiri. Aswin menatap tajam ke arah Ki Juru Martani. “Dengan kematian Bapak kami, kami berdua yang berhak mewarisi kelompok PSG! RKZ hanyalah nama yang hampir punah yang tidak berhak mengatur apapun di PSG. Kalau ada rencana-rencana yang menyangkut nama PSG, kami harus dilibatkan dan diuntungkan.”

Ajo menambahkan, “Kami tidak akan menerima Bambang Jenggo sebagai pimpinan! PSG jauh di atas RKZ, kami yang lebih dulu eksis, bukan kalian! Kalian yang melebur ke kelompok kami, bukan sebaliknya! Ingat itu baik-baik!”

“Si Jenggo itu bahkan tidak becus berhadapan dengan Aliansi, kenapa kami harus menerimanya menjadi Ketua?” Aswin semakin berapi-api, “Dia tidak berhak mewarisi apa yang selama ini diperjuangkan Bapak! Kami yang berhak!”

Pak Mangku geleng-geleng kepala. “Bapaknya belum lagi dikubur, ini dua orang sudah kesini main sok hebat. Oportunis sejati yang biadab. Kalian benar-benar…”

Bambang Jenggo tersenyum, “Sudah lama aku tidak mencoba Jurus Kodok dan Hikmat Penyesap Prana. Baguslah kalau malam ini kita pesta, sudah lama tidak olahraga. Lagipua kalian berdua sepertinya cocok dijadikan makanan ternak.”

Aswin dan Ajo bersiap tanpa gentar, mereka benar-benar percaya diri. Pasukan penjaga mengepung mereka. Pak Mangku berdiri di samping Ki Juru Martani sementara Bambang Jenggo maju ke depan untuk menghadapi mereka berdua.

Bambang Jenggo menyeringai sembari menyalakan Ki-nya. “Dari sperma tengik seorang laki-laki koplak, ternyata menghasilkan bibit-bibit yang koplak pula. Gendeng-gendeng anake Gunar pancene. Kalian berdua benar-benar tidak tahu tempat dan waktu. Perjanjian antara PSG dan RKZ sudah resmi dilakukan di masa kepemimpinan Joko Gunar dan menetapkan PSG dan RKZ di ranah yang setara. Kalian diam saja di ketiak Bapak kalian saat itu, kenapa sekarang mbalelo?”

Aswin mencibir, “Jangan banyak bacot! Ngaca kamu! Kamu dikalahkan anak kuliahan sampai mau mati! Begitu kok mau memimpin kelompok sebesar PSG! Dasar tidak tahu malu!”

Ajo memasukkan dua jarinya ke dalam mulut dan bersiul dengan kencang. Saat itulah dari pintu yang sama tempat mereka masuk, menyeruak satu pasukan yang datang. Mereka melompati barisan pengepung Aswin dan Ajo, lalu melindungi kedua putra Gunar dengan gagah. Pasukan berpakaian serba hitam yang mengenakan topeng badut – inilah dia Lima Topeng Badut.

Sendhiko dhawuh, Den Ajo. Kami hadir.”

“Berikan laporan kalian!” ucap Ajo lantang, seakan-akan ingin pasukannya memamerkan kemampuan mereka.

“Kami sudah menyerang satu aset QZK dan merobohkan salah seorang penjaganya – disinyalir bernama Handoko Hamdani dari unit Ki Kadarusman. Status… fatal,” ucap salah satu topeng badut yang mengenakan shoulder pad.

Bambang Jenggo mendengus, “Rupa-rupanya unit ini yang kemarin juga secara gegabah memimpin pasukan menyerang Talatawon bersama 3GB? Jinguk. Badut-badut kabeh, Nyuk.”

“Benar! Memangnya kenapa!?” Aswin kembali berkacak pinggang di hadapan Jenggo, “Itu keputusan yang tepat! Bapak juga sudah menyetujuinya! Serangan ke Talatawon akan memberikan shock therapy ke semua kelompok! Mengabarkan kepada dunia bahwa PSG layak disejajarkan di panggung yang sama dengan QZK ataupun JXG!”

“Badut… badut…” Jenggo geleng-geleng kepala dan menepuk kening. Dia mendengus dan melangkah ke depan. “Okelah. Badut-badut ulang tahun ini mesti diberi panggung sejenak supaya tidak seenak jidat. Maju! Aku tidak peduli siapa yang maju! Mau kalian berdua, mau pasukan badut, mau 3GB, mau 4GB, mau 1TB, sudah selayaknya ditanam. Kekekeke...”

“Jenggo. Berhenti.”

Terdengar suara berwibawa dari belakang. Bambang Jenggo langsung terdiam dan menyingkir ke samping.

Topeng Merah Klana menatap ke arah Aswin dan Ajo dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan karena wajahnya ada di belakang topeng. Sosok itu berdiri dan melangkah ke depan dengan perlahan menggunakan tongkat. Sosoknya mengeluarkan aura yang tidak main-main, ada hawa mengerikan yang keluar dari sang arsitek.

“Malam ini aku hormati kalian karena dari sepemahamanku kalian berdua sedang berduka atas kematian Joko Gunar dan aku ucapkan bela sungkawa, entah apakah itu ada pengaruhnya ke kalian atau tidak. Aku jelas tidak akan membiarkan Jenggo atau siapapun di sini melawan kalian hari ini, demi rasa hormatku pada Joko Gunar yang selama ini telah membesarkan PSG,” ujar Ki Juru Martani. “Kita perlu bersatu – bukan saling serang seperti ini – demi mempersatukan kota di bawah kaki PSGxRKZ. Karena PSG memang lebih besar dan berkuasa dibandingkan RKZ, maka memang sudah sepantasnya kami mengalah.”

Aswin dan Ajo saling berpandangan, mereka berdua mengangguk-angguk dan tersenyum puas.

“Tapi kalian dan Bambang Jenggo tentunya harus mengikuti uji kompetensi dan kelayakan. Akan kita lihat siapa yang lebih berhak menjadi komandan lapangan bagi PSGxRKZ…” Ki Juru Martani berdiri di depan Aswin dan Ajo. “…tapi uji itu akan diadakan setelah pesta pernikahan anak Pak Zein minggu depan. Aku tahu kalian berdua harus mengikuti ritual-ritual untuk mendoakan arwah Joko Gunar selama seminggu ini. Jadi selama menunggu masanya tiba, saya mohon untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang sebelumnya tidak dikonsultasikan terlebih dahulu.”

“Bagus sekali! Kami siap! Dua lawan satu! Kami lawan Jenggo!” Aswin dan Ajo tertawa-tawa sembari saling menepuk dada saudaranya. Rencana mereka berhasil! Selangkah lagi mereka akan memimpin pasukan besar yang selama ini ada di bawah kendali Joko Gunar!

Ki Juru Martani tersenyum di balik topengnya.

“Hmm… satu lagi. Karena ini levelnya sudah pimpinan kelompok, maka siapapun yang kalah harus mengorbankan sesuatu. Siapapun yang kalah harus menyerahkan kitab ilmu kanuragannya pada sang pemenang, dan memotong salah satu jarinya.”

Bambang Jenggo menyeringai.

Aswin dan Ajo saling berpandangan. Kok jadi begini? Keringat mereka menetes. Keduanya sama-sama saling mengangguk, Aswin yang akhirnya berseru dengan lantang pada Ki Juru Martani. “BAIKLAH! Baiklah…! Kalau itu mau kalian, baiklah! Kami siap!”

Ki Juru Martani mengangguk, membalikkan badan, dan berjalan kembali ke kursinya.

Saat berjalan melewati Bambang Jenggo dia menepuk pundak Raja Para Anjing itu. “Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”

Jenggo menyeringai. “Tentu saja. Heheheh. Tentu saja…”

Jenggo terus saja menatap tajam ke arah Aswin dan Ajo yang sedang tertawa-tawa.





BAGIAN 6 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 7
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd