Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 7
SERIBU BINTANG






“Kekacauan melahirkan kehidupan. Ketertiban melahirkan kebiasaan.”
- Henry Adams






“Ahmad dan Meisya.”

Nada membaca nama yang tertera di kartu undangan sang kakak. Ia berdiri santai sembari menyandarkan tubuhnya di tepi bingkai pintu. “Kalau nama kedua mempelai nyambung – kesannya jadi terdengar enak sewaktu diucapkan. Kebetulan nama Mbak Meisya cocok sama namamu, Mas. Nyambung. Aku suka bacanya. Untung pakai nama asli ya. Coba pakai nama panggilan - pasti ga pas. Cuplis dan Meisya. Wes gak nyambung, Mas.”

Halah. Berisik wae dasar terwelu.”

“Tapi bener lho, Mas. Selain hati… kayaknya yang paling penting dalam hubungan berpasangan apalagi pernikahan – baik si cewek maupun cowok harus klop, keduanya harus nyambung. Seirama, se-tune, satu server.”

Haish. Ngomong apaan sih? Ga usah nambah-nambah pusing, Ndut. Aku sedang banyak urusan ini.” Ahmad biasa memanggil sang adik dengan panggilan sayangnya ke Nada, si Ndut. Bukan karena Nada bertubuh ekstra, tapi karena sewaktu masih kecil dulu Ahmad suka mencubit pipi chubby Nada yang dianggapnya mirip seperti tomat merah yang gendut. “Minta tolong Papa nanti ditemenin selama acara ya, Ndut. Biar Mama juga tidak kerepotan ngurusin katering. Bagi-bagi tugas lah.”

Tapi Nada tidak mendengarkan dan malah menanyakan hal lain lagi.

“Gimana rasanya nikah, Mas? Beneran sudah siap ya? Kemarin waktu ijab kabul kan sempat ngulang dua kali. Apakah itu sebuah pertanda ketidaksiapan? Huuu, payah. Payah si Cuplis. Huu.” Nada cekikikan melihat Ahmad yang sedang sibuk di depan cermin sembari merapikan baju yang nantinya akan dia kenakan di acara ngunduh mantu.

“Set dah! Kalau ga mau dimintain tolong, keluar aja gih! Ganggu aja dari tadi! Ini udah mau dimulai acaranya nih! Banyak prosesi aneh-aneh. Jangan ganggu konsentrasiku!”

Satu kepalan besar dengan lembut mengetuk kepala Nada. “Jangan ganggu si Ahmad, Nad. Dia kan kalau lagi serius selalu tegang begitu. Kamu juga iseng amat sih.”

“Hihihi,” Nada ketawa renyah saat kakak sulungnya datang. “Habis si Cuplis onii-chan paling bisa digodain kalau pas lagi tegang begini, Mas Ey.”

“Woy! Awas aja kalau besok gantian kamu yang nikahan, bakal aku ancur-ancurin venue-nya” amuk Ahmad protes.

Nada dan Eros pun tertawa.

Eros - Kakak tertua Nada dan Ahmad datang sembari menggendong anak bungsunya yang baru berusia dua tahun. Cowok kecil itu mengenakan pakaian bayi yang mungil dan lucu dengan motif batik yang apik, seperti ibunya yang juga seorang wanita yang modis. Nada pun segera mengambil alih dan menggendong sang dedek.

“Aduduh lutuna dedek. Dedek lutuna pake batik. Aduduh gemesna…” Nada dan si keponakan langsung akrab. Bocah mungil itu tertawa-tawa bercengkerama dengan sang tante. Nada melirik ke kanan dan kiri. “Mbak Ve kemana, Mas?”

“Ada di depan baru ngurusin katering bantuin Mama. Biasalah, suka rempong kalau urusan begituan. Takut kurang lah, takut berantakan lah, takut kualitasnya turun lah… macam-macam. Aku ga ngerti dan takut ganggu, jadi kesini aja. Liatin si Ahmad kebingungan.”

“Iya nih, Mas.” Ahmad cemberut sambil terus menerus merapikan bajunya – seperti tidak nyaman meskipun terlihat gagah, “gerah beud pake beginian. Biasanya pakai kaos santai pake jeans. Meisya nih yang suka ada-ada saja.”

“Salah sendiri,” cibir Nada. “Udah ketauan kemarin ijab kabul sama resepsi sekali aja udah selesai. Eh, malah pakai ngunduh mantu apaan ribet. Tidak efektif dan tidak efisien. Boros. Huu… payah si Cuplis.”

Ngunduh mantu adalah sebuah prosesi yang mungkin hanya ada di kalangan Jawa. Istilah ngunduh mantu terdiri dari dua kata: yang pertama ngunduh artinya memanen atau panen, sedangkan yang kedua mantu artinya menantu. Acara ngunduh mantu ini biasanya diadakan setelah pernikahan atau ijab kabul sudah dilangsungkan. Acara ini digelar karena orang tua pengantin pria ingin mengadakan pesta dan mengundang tamu-tamu kenalan, saat anak mereka membawa pulang sang istri atau pengantin wanita untuk tinggal di rumah pengantin pria.

Seringkali acara ngunduh mantu dipandang boros karena seakan-akan mengadakan pesta pernikahan berulang. Kenapa bisa dibilang boros bisa dibilang tidak? Alasan yang utama adalah karena sebenarnya acara pernikahan dalam adat Jawa dilakukan oleh keluarga dari pihak perempuan, maka ngunduh mantu akan dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki dan ini tidak urgent. Karena acara ini sebenarnya adalah acara tambahan maka sebenarnya tidak terlalu penting dan bukan kewajiban yang harus dilaksanakan.

“Biarin, weeek.” Ahmad menjulurkan lidahnya. “Kan yang sponsorin Papa, jadi aku ngikut aja apa maunya Papa. Kalau kamu kan maunya sederhana? Ya udah, mari kita semua berdoa mudah-mudahan besok nikahan si Nada acaranya sederhana saja cukup di KUA, terus pulang makan nasi bebek sekeluarga, nyemil kwaci, terus udah selesai, pulang ke rumah masing-masing.”

“Dih, segitunya amat! Ga mau!”

“Katanya sederhana? Katanya mau efektif dan efisien? Ya udah kayak gitu! Cocok tuh kan acaranya simpel begitu? Namanya juga sederhana. Lagian emang ada yang mau sama kamu, Ndut? Pede banget mau nikahan.“

“Ga mau! Ga mau! Ga mau! Enak aja. Adalah yang mau! Cuplis jelek!”

“Makanya jangan suka iseng. Buruan gih tanyain ke si Rama. Kenapa dia belum halalin kamu sampai sekarang. Buruan dilamar sebelum ilang.”

“Idih, kan aku yang belum mau. Dia sih udah kebelet.”

“Jangan kelamaan ditunda-tunda, ntar kamu diculik Kakek Sugiono baru tahu rasa…” Ahmad mengetuk-ngetuk dagunya tanda berpikir, “eh… iya ya? Kan akhir-akhir ini kamu diculik ya? Jangan-jangan ada Stockholm Syndrome sama si penculiknya? Hiiy. Najong si Ndut. Hiiiy. Masa sama Kakek Sugiono… hiiy.”

“Mas Eyooooooos!” Nada keluar manjanya, “Itu Mas Ahmaaaad!”

Sang Dedek dalam pelukannya malah tertawa-tawa.

Tapi Eros bukannya membantu Nada malah balik bertanya pada sang adik bungsu, “Memangnya bener Nad? Si Rama masih belum lamar kamu sampai sekarang? Awas ntar lepas lagi kayak yang terakhir kemarin. Kalau aku lihat-lihat sih secara penampilan si Rama lumayan, orangnya juga sopan. Gagah, tenang, ada sifat mengayomi, ngemong, sama keluarga juga sudah oke. Papa Mama kayaknya cocok. Nunggu apalagi? Nunggu kamu selesai kuliah?”

Nada hanya mengangkat bahunya. “Ga tau lah, Mas. Aku belum bisa ngomong banyak. Ada sesuatu yang masih belum nyambung, Mas.”

Ahmad lagi-lagi mencibir, “Si Ndut kepincut cowok lain, Mas. Ketahuan tuh lagaknya begitu. Dasar wanita yang tidak setia. Liat aja nanti pasti dikutuk jadi batu.”

“Eh? Beneran, Nad?”

“Jangan percaya sama mas Cuplis, Mas. Dia akhir-akhir ini suka makan jamur sama minum sarsaparilla. Pasti sekarang juga lagi keracunan mushroom. Sebentar lagi kulitnya pasti berubah jadi biru dan dia berubah jadi Smurf. Banyak sebar hoax tidak baik untuk kesehatan.”

“Tapi gimana sewaktu disekap RKZ kemarin? Kamu tidak diapa-apain kan? Papa pasti hancurin kelompok itu kalau sampai kamu kenapa-kenapa. Aku juga bakal turun ke gelanggang. Benar-benar kurang ajar mereka! Harus diselesaikan sampai tuntas! Aku tidak mau mereka jalan-jalan di kota dengan bebas setelah mencelakai kamu.”

Wajah Nada memerah, dia menggeleng. “Ti-tidak, Mas. Semua aman kok. Aku tidak apa-apa.”

“Yakin?”

Nada mengangguk.

“Bohong, Mas Eros. Coba tanya ke dia… siapa cowok yang namanya Nanto.” Ahmad cekikikan.

“Eh! Si-siapa yang…? Maksudku kok bisa…? A-anu…” Nada terbelalak. Kok… kok Mas Ahmad tahu!? Nada pun jadi salah tingkah. Bagaimana mungkin kakak keduanya bisa tahu nama mas Nanto?

“Siapa Nanto, Nad?” Eros pun menatap sang adik dengan pandangan menyelidik. “Selingkuhanmu? Kamu selingkuh dari Rama? Jangan bikin Papa Mama pusing ngurusin kamu lagi lho ya. Terakhir kali ngurusin masalah asmaramu, Papa Mama mesti jungkir balik pontang panting. Jadi siapa Nanto?”

“Mas Ahmaaaaad!”

Ahmad tersenyum jumawa, Eros bertanya-tanya.

Rama yang mengenakan batik tiba-tiba saja muncul di tempat itu sembari menyapa kedua kakak Nada. “Mas Eros, Mas Ahmad. Untuk tata sound dan dekorasi panggungnya apakah sudah siap untuk…” Rama kebingungan saat melihat ketiga kakak beradik tengah berdiri berjajar dalam posisi yang tidak santai. “Eh? Ada apa ini? Kok rasa-rasanya suasananya menegangkan seperti ini?”

Nada meneguk ludah, menatap kedua kakaknya, dan juga Rama.

“Nganu… aku bisa jelaskan…”





.::..::..::..::.





Nanto berjalan perlahan memasuki gedung.

Di sampingnya, Hanna memeluk lengan si Bengal dengan lembut.

Keduanya berjalan memasuki area resepsi dengan langkah yakin. Nanto mengenakan kemeja batik warna coklat, Hanna mengenakan kebaya dengan warna yang senada. Meski tidak bermotif couple, tapi seirama. Pertama mereka memasukkan amplop ke dalam kendi sumbangan, kedua Hanna lantas menuliskan nama mereka berdua di buku tamu, dan ketiga setelah menerima kenang-kenangan, keduanya berjalan masuk.

“Seharusnya kamu datangnya sama Kinan, Mas. Kenapa sama aku?” tanya Hanna sembari menebar senyuman. Hatinya berbunga-bunga karena dapat menghadiri pesta pernikahan dengan pemuda yang sangat ia cintai.

“Kenapa memangnya? Tidak apa-apa juga, kan?” ujar Nanto sedikit ketus.

“Kok gitu sih ngomongnya? Memangnya kenapa? Mas berantem sama Kinan?”

Si Bengal mendesah dan menggelengkan kepala, “Tidak juga. Seandainya saja kami cuma berantem pasti aku bakal meminta maaf. Tapi ini tidak ada kabar apapun. Aku sudah mencoba menghubungi dia berulang-ulang kali, tapi tidak pernah diangkat. Dia juga tidak pernah aktif dimana-mana, WA pun tidak. Kinan seperti lenyap ditelan bumi. Sejak sudah tidak lagi berada di rumah sakit dia menghilang begitu saja, aku tidak tahu harus mencari dia kemana.”

“Iya katanya, ada yang jemput dia ya, Mas?”

“Mungkin keluarganya memang tidak mengijinkan dia bertemu denganku lagi…”

“Mas…” Hanna menepuk lengan Nanto. Meski hatinya terganggu karena Nanto masih juga memikirkan Kinan saat bersamanya, tapi Hanna tahu apa yang harus dilakukan – dia tahu Mas Nanto masih mengharapkan Kinan. “Aku yakin Kinan pasti lebih memilih bersamamu. Percayalah. Kalau saat ini memang dia tidak bisa ditemui, berikan sedikit waktu… aku yakin kalian pasti akan bertemu lagi.”

Nanto mengangguk.

Hanna tersenyum. Ia menepuk pundak si Bengal.

By the way, Mas kelihatan ganteng kalau pakai batik begini. Eaaaaa.”

“Kamu juga cantik banget pakai kebaya. Eaaaaa.”

“Hihihi. Jadi setiap hari aku pakai kebaya aja kali ya? Biar dibilang cantik terus. Tumben-tumbenan nih soalnya. Biasanya mau pakai baju apa aja ga ada komen.”

“Lah, buat apa dikomen kalau sudah sempurna?”

Wajah Hanna memerah.

“Eaaaaa.” Nanto tertawa.

Kedua orang itupun melangkah menuju panggung pelaminan. Suasana ramai dengan banyaknya tamu-tamu yang datang, tapi meskipun ramai suasana masih sangat terkendali. Nanto melirik ke kanan dan kiri, dia tidak mengenali orang-orang JXG, tapi mereka sepertinya berjaga-jaga di setiap sudut, mudah dikenali dari seragam batik yang mereka kenakan. Lagu Beautiful in White mengalun dinyanyikan oleh band yang berdiri di samping mimbar pelaminan.

“Mas Nantooooooooooo!!”

Terdengar panggilan kencang yang membelah suara musik yang terdengar. Seorang gadis berparas ayu berlari kecil menyambut kedatangan si Bengal dan Hanna sebelum mereka naik ke mimbar pelaminan. Seorang gadis jelita yang mengenakan baju pesta tipe kimono dengan warna pastel merah muda dan biru. Rambutnya disanggul ke atas, rapi dan sederhana. Tidak terlalu berlebihan, tidak terlalu mencolok, tapi apik. Karena kulitnya yang putih bersih, warna kimono itu pun mengkomplemen keindahan sang dara, sungguh cantik jelita.

“Mas Nan…” suara panggilan itu terhenti ketika menyadari si Bengal tengah bergandengan dengan seorang wanita muda. “…to.”

Nanto menatap kehadiran gadis jelita itu dengan senyuman, Hanna menatap gadis itu dengan tatapan mata setajam silet.

“Nada! Halo halo!”

Nanto tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyalami Nada. Tapi gadis itu justru nekat untuk mendatangi si Bengal. Setengah memeluk - lalu mengecup pipi kanan dan kirinya. Nanto sedikit kaget karena tiba-tiba saja disambut seperti itu oleh Nada. Terasa agak… spesial? Walaupun sebetulnya lumrah-lumrah saja sih menyambut kawan dengan cara seperti itu, bukan?

Hanna menarik tubuh Nanto sehingga Nada hampir saja kehilangan keseimbangan. Kini giliran Hanna yang mengulurkan tangannya, ada senyum sinis di bibirnya. “Halo. Kenalin, aku Hanna.”

Nada tersenyum manis – sedikit dibuat-buat. “Halo juga. Aku Nada.”

“Ah, jadi ini Mbak Nada ya? Terima kasih sudah mengundang kami ke pesta pernikahan kakaknya Mbak Nada,” ujar Hanna dengan nada senyuman dingin sembari memengang lengan kanan Nanto dengan erat. “Berkat Mbak Nada Saya akhirnya diajak oleh Mas Nanto untuk datang. Sudah pasti saya tidak ingin ketinggalan datang di acara semegah ini. Meski sudah berkali-kali datang ke gedung pertemuan paling besar di kampus negeri, tapi baru kali ini saya merasa acara dilangsungkan dengan sangat megah. Sekali lagi terima kasih.”

“Sama-sama.” Nada membalas juga dengan senyuman dingin dan memegang lengan kiri Nanto tanpa hendak mengalah. Masing-masing meneguhkan posisi. Kedua gadis itu saling bertatapan, saling berpandangan, dan saling memperkirakan langkah masing-masing.

“Mudah-mudahan menikmati sajian ala kadarnya dari kami,” ujar Nada berbasa-basi.

“Pasti. Setelah Mbak Nada pergi untuk mengurus urusan pernikahan yang tentunya sangat banyak, kami pasti akan menikmati hidangan yang ada,” Hanna memberikan kode supaya Nada melepaskan tangannya dari Nanto. “Kami juga belum bersalaman dengan pengantin.”

“Baiklah.” Nada cemberut sembari melepas tangannya dari lengan si Bengal, “Tapi aku pasti akan mencarimu, Mas. Jangan pulang sebelum kita bertemu lagi ya…”

“Tentu.”

“Janji?”

“Janji.”

Nada melangkah pergi dan melambaikan tangan. Sekarang giliran Hanna yang cemberut.

“Kenapa?” tanya si Bengal yang menyaksikan perubahan di wajah Hanna.

“Auk ah.” Hanna mencibir.

Nanto hanya bisa garuk-garuk kepala karena bingung. Tak ingin berlama-lama, Hanna pun menyeret si Bengal untuk naik ke panggung pelaminan. Paling tidak mereka harus menghormati tuan rumah dengan mengucapkan selamat. Di sebelah kiri Ahmad dan Meisya yang sudah berdiri, adalah pihak orang tua pengantin pria yang saat ini sedang mengadakan acara ngunduh mantu – tak lain dan tak bukan sang pimpinan tertinggi kelompok selatan – pria yang berjuluk Raja Selatan, Nazaruddin Zein dan pasangannya. Mama Nada menyambut ramah kedatangan Nanto dan Hanna.

Hanna tersenyum dan menyalami Mama dan Papa Nada.

“Selamat, Tante.”

“Terima kasih yaaaaa.”

“Selamat, Om.”

“Terima kasih.”

Giliran si Bengal yang menyalami Mama Nada sembari tersenyum, dan akhirnya Pak Zein.

“Selamat, Tante.”

“Iyaa, terima kasih.”

“Selamat, Om.”

Pak Zein tidak mengucapkan apa-apa. Ia menggenggam tangan si Bengal dengan erat. Pandangan matanya tajam menatap sang lawan bicara. Ada suasana yang berbeda ketika Nanto menjabat tangan ayah Nada itu - aura seorang jawara papan atas, aura seorang petarung kelas A+.

“Jalak Harnanto, akhirnya kita bertemu juga,” ucap Pak Zein dengan ringan tapi tegas. “Aku mendengar banyak hal tentangmu, anak muda – dari Simon, Nada, dan rekan-rekanku yang lain. Kami dari JXG juga tidak pernah ketinggalan mendengar kibaran nama harummu dari selatan. Sebuah prestasi luar biasa di usiamu yang masih sangat muda. Aku berterima kasih karena berkat Aliansi, Nada sudah kembali pulang dengan selamat tak kurang suatu apa. Sebuah prestasi juga karena telah mampu menggulingkan KSN dan juga RKZ. Sejauh ini kiprahmu luar biasa.”

“Sama-sama terima kasih, Om. Saya juga sudah banyak mendengar tentang…”

Sebelum Nanto melanjutkan ucapannya, Pak Zein membungkukkan badan ke depan, ia berbisik pada si Bengal. “Pastikan jalan kita tidak berseberangan ataupun saling silang, karena aku tidak akan pernah segan-segan.”

Nanto agak terkejut saat mendengar pernyataan yang seperti ancaman itu, tapi ia lantas tersenyum. Bagaimanapun juga Aliansi dan JXG memang bukan kawan akrab. “Tidak masalah, Om. Pastikan juga tidak ada orang selatan yang dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan hal-hal di luar kewajaran di utara. Kalau semua tenang, semua senang. Tidak ada huru-hara, semua akan baik-baik saja.”

“Sepakat.” Pak Zein mengangguk dan mempersilakan Nanto menemui Ahmad dan Meisya.

Setelah Hanna menyalami kedua mempelai, Nanto menyalami kakak Nada. “Selamat ya, Mas dan Mbak,” ucap Nanto sembari tersenyum. “Selamat menempuh hidup baru. Mudah-mudahan langgeng sampai akhir masa.”

“Ini… Nanto ya?”

“Eh… iya, Mas.” Nanto tersenyum. Kok bisa tahu ya? Mereka kan belum pernah bertemu sebelumnya.

Hanna juga jadi bertanya-tanya, sebenarnya seakrab apa sih Mas Nanto dengan keluarga Nada? Kok mereka semua sepertinya mengenal Nanto tanpa pernah bertemu sekalipun. Selama ini Mas Nanto sepertinya juga sangat jarang dan hampir tidak pernah menjelajah ke selatan menurut sepengetahuan Hanna.

“Hahahaha,” Ahmad menepuk-nepuk pundak si Bengal, “Ya ya ya… jadi ini ya yang namanya Nanto. Kapan-kapan di-update lah feed instagram-nya. Kasihan Nada cek setiap hari tidak pernah ada update terbaru, hahahaa. Padahal dia sering banget ngigau nama kamu kalau tidur. Hahahaha…”

“Eh? Hahaha… kok bisa ya… hahaha…” Nanto tertawa canggung, ia berkeringat dingin. Saat melirik ke samping, Hanna sudah melaju kencang tanpa mempedulikan Nanto yang tertinggal. Nanto pun terpaksa terburu-buru menyalami Meisya dan kedua orang tua Meisya untuk menyusul Hanna.

Hanna ternyata langsung menuju ke gubuk siomay dan mengambil sepiring kecil yang sudah disediakan. Nanto menarik segelas minuman bersoda dan menyusul sang wanita jelita.

“Apaan sih kabur aja…” Nanto mensejajari Hanna.

“Sebodo amat.” Hanna mencibir.

“Lah kok gitu?”

“Habisnya sebel. Siapa lagi sih cewek itu? Kok kayaknya adaaaa terus cewek-cewek yang deketin Mas Nanto. Kirain cuma Kinan sama aku doang. Dasar buaya, lihat jidat mulus dikit aja langsung buas. Apa ga cukup kami berdua, Mas?”

“Hahahaha.” Nanto meneguk ludah, tidak mungkin juga menceritakan hal yang sesungguhnya terjadi antara dia dan Nada bukan? Belum lagi soal Asty. Waduuuh. Bahaya, Bos. “Nada itu cuma teman saja. Tidak kurang tidak lebih. Aku mengenalnya karena dia juga kuliah di UAL. Dulu almarhum sahabat Nada kerja juga di The Donut’s Pub.”

“Udah? Cuma begitu aja?”

“Udah. Habis gimana lagi? Kita emang cuma temenan kok. Suwer.”

Mbelgedes. Akrabnya kalian beda.”

“Hanna…” Nanto buru-buru mensejajari gadis yang sedang cemburu itu dan menggandeng tangannya. “Aku ke sini sama kamu, apa ya itu masih belum cukup membuktikan kalau aku…”

“Nah ini dia!!” terdengar suara ramah yang terdengar akrab di telinga si Bengal dan Hanna. Tak perlu menunggu lama karena kemudian muncul wajah sumringah om Janu, Pak Mangku, Syam, Jun, dan X. Saat om Janu mendekati Nanto, keempat anggota QZK memisahkan diri.

Jun dan Nanto sempat saling pandang, tapi lantas Jun berjalan menjauh bersama X. Nanto seperti pernah melihat pemuda itu. Tapi di mana ya?

“Gimana-gimana kabar kalian? Hahahaha. Sudah lama banget tidak ketemu ya.” Om Janu merangkul Nanto dan Hanna yang sudah ia anggap sebagai anak-anak sendiri. “Ga menyangka akan ketemu kalian di sini.”

“Waaah! Apa kabar, Om? Om Sehat?” Hanna senang bertemu kembali dengan om Janu yang sempat mengajarinya dasar-dasar ilmu beladiri tangan kosong saat mereka ikut dengan Nanto ke desa. Hanna sangat menghormati laki-laki tua yang masih gagah itu.

“Sehat… sehat… kalian bagaimana? Sehat kan?”

“Saya juga sehat, Om.” Hanna tersenyum. “Kalau si playboy kunyuk ini ga tahu deh sehat atau tidak. Siapa tahu kalau sama saya dia ga sehat, sama cewek lain dia sehat-sehat saja. Ga tahu ya, Om.”

“Hanna…”

Om Janu tertawa melihat romansa anak muda di depan mereka. Hmm, tapi kok sepertinya ada yang kurang? Ada bumbu yang belum dicelupkan ke dalam wajan. “Kok kalian cuma berdua saja? Mana Kinan? Biasanya kemana-mana bertiga.”

“Nah itu, Om. Sudah sejak kemarin kami tidak mendengar kabar dan tidak bisa menghubungi dia. Kemarin sih dia sempat masuk rumah sakit tapi sekarang sudah keluar dijemput keluarganya.” Hanna menjelaskan, “Kinan masuk rumah sakit gara-gara ulah si playboy kunyuk satu ini juga sih.”

“Haeh. Hanna…”

“Hahaha, oh gitu. Mudah-mudahan dia tidak apa-apa dan semuanya baik-baik saja.” Om Janu mempererat rangkulannya di leher Nanto, sang pimpinan QZK itu pun menggoda si Bengal dengan suara yang sedikit dikencangkan supaya Hanna mendengarnya. “Jadinya kamu itu pilih yang mana sih? Kok semua-semuanya mau diembat? Hahahaha. Wes jan bocah.”

“Nah bener itu, Om. Marahin aja dia, Om.” Hanna mendapat angin segar. “biar kapok dia, Om. Semua-semuanya mau diembat, Om. Kemaruk, Om. Serakah, Om.”

“Hanna…” Nanto protes lagi.

“Iya… iya… aku cuma becanda, Mas.” Hanna mencibir dan mendesah. “Jangan ditambah lagi ya. Sudah cukup segini saja.”

Nanto mengangguk lemas.

Om Janu tertawa.

Terdengar suara teriakan dari atas panggung, teriakan gembira dan suara tawa yang khas. Rupanya om BMW datang dengan beberapa anggota Dinasti Baru. Dia berpelukan dengan Pak Zein dan tertawa-tawa saat memberikan salam pada Ahmad dan sang istri.

Saat melihat Nanto dan om Janu yang berdiri tak jauh dari panggung pelaminan, om BMW pun berjalan menyambangi sambil menebarkan senyum. “Halo, Mas Boy! Hahahahaha. Gimana kabarmu? Wah wah… gandengan baru lagi? Cah ganteng nggandeng cah ayu. Cocok lah. Hahahaha.”

Wajah Hanna memerah.

“Mas Janu! Mumpung kita ketemu nih. Ada yang harus saya bicarakan empat mata sama sampeyan. Ada waktu sebentar?” tanya om BMW.

“Oh, boleh… boleh…” om Janu pun segera beralih dari Nanto dan Hanna. “Kalian nanti jangan langsung pulang ya. Kita cerita-cerita dulu, oke?”

“Siap, Om. Kebetulan saya juga ada sesuatu yang ingin saya tanyakan ke Om.” Nanto mengacungkan jempolnya, tentu saja dia tidak bisa mengatakan perihal Reynaldi secara blak-blakan. Dia harus dengan sopan mengajukan permintaan terkait hal tersebut, dan permintaan itu tidak bisa dilakukan dengan gegabah. Harus menunggu waktu yang tepat karena mengungkit isu yang sensitif.

“Mas… aku ke belakang dulu ya.” Hanna juga pamit.

“Oke. Aku tunggu di sini.”





.::..::..::..::.





Pagi yang indah, matahari bersinar cerah, sinaran terang tergelar dari atas ke bawah. Membanjiri atap hingga ke sudut-sudut rumah. Semarak suasana pun tumpah ruah. Masyarakat menyambut hari dengan saling menyapa ramah, bergerak keluar mencari upah. Berangkat bekerja tanpa keluh kesah, ada yang ke kantor, ada yang ke sawah.

Burung-burung gereja tadinya hinggap di atas atap, tepat di ujung, menatap ke bawah, menyaksikan manusia lalu-lalang dan menganggap dunia seakan menjadi milik mereka. Burung-burung gereja itu berkicau seperti tertawa. Mentertawakan manusia karena makhluk yang berasa dewa itu mungkin lupa – sebelum ada mereka dan mungkin setelah ada mereka, bumi bisa jadi masih tetap akan ada, berubah secara struktur, berubah secara kimiawi, berubah secara geografis, berubah selamanya, tapi masih tetap akan ada. Karena manusia yang pongah hanyalah debu yang berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.

Shinta sang anggota Tim Garangan, Simon Sebastian, Amar Barok, Don Bravo, dan Deka keluar dari dalam mobil. Mereka berlima berdiri di depan sebuah rumah tua kosong yang memiliki gaya bangunan ala-ala masa kolonial. Sepi, seram, dan singup. Sangat mudah membayangkan satu rentetan cerita horor untuk menggambarkan rumah seram itu. Untung saja mereka datang ke sini pagi-pagi.

“Sepi sekali – sepertinya benar-benar tidak berpenghuni, kekekek. Yakin tidak salah rumah kan?” ujar Don Bravo sembari mendekati pintu gerbang rumah tua kosong itu. Sebuah pintu pagar besi geser yang sudah berkarat. Dengan sekali loncat, Don Bravo sudah pindah ke bagian dalam halaman rumah. “Yakin rumah ini yang menjadi tempat penyekapan orang tua Shinta? Tidak nampak ada tanda-tanda kehidupan. Bukannya menyelamatkan mereka, kita malah uji nyali di rumah hantu. Kekekekek. Apa ya nama julukan yang biasa disematkan ke rumah ini oleh anak-anak? Rumah tomat?”

“Rumah kentang.” Simon membenahi ucapan Don Bravo.

“Ya, itu.”

Masing-masing dari kelima orang yang datang segera menyusul Don Bravo masuk ke halaman rumah kosong itu untuk memeriksa. Tepat seperti apa yang diperkirakan Don Bravo, mereka tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Don Bravo memindai dari sisi ke sisi dinding rumah yang ada. Dengan cekatan ia lantas naik ke atas atap untuk mengamati.

Shinta menatap ke arah Amar Barok dengan pandangan bertanya-tanya. “Apakah benar ini rumahnya? Ini kelihatannya cuma rumah kosong biasa. Takutnya kita salah masuk ke rumah orang.”

“Rumah ini memang sepertinya terbengkalai. Tidak ada yang merawat gedung dan kebunnya. Tapi kalau ditanya apakah rumah ini markas RKZ atau bukan? Bisa ya bisa tidak. Tidak yakin juga karena informasinya tidak gamblang. Seperti yang sama-sama kita tahu, semua hal yang berkaitan dengan RKZ bukanlah ilmu pasti. Tapi kita bisa memulai dari tempat ini untuk mencari petunjuk.”

Simon, Deka, dan Shinta menatap ke arah Amar Barok. Petunjuk? Petunjuk dari mana?

Melihat tatapan menyelidik mereka, Amar tahu sebagai anggota dan panglima baru dia harus membuka diri agar mendapatkan kepercayaan dari seluruh anggota Aliansi. “Aku dapat info terpercaya dari Dinasti Baru kalau tempat ini dulu sering dipakai nongkrong anak-anak RKZ. Dari mana mereka tahu? Ada beberapa saksi mata dari Dinasti Baru yang mengatakan kalau motor anak-anak RKZ sering diparkir di sini. Tapi mereka tidak mengatakan kalau kondisi di sini memang benar-benar mengerikan.” ujar Amar sembari menggerutu saat mengamati halaman rumah – dia benci jika mereka buang-buang waktu hanya untuk memeriksa ranah yang salah, “Sebenarnya aku juga tidak suka dengan tempat ini. Pertama, lokasinya terlalu dekat dengan pusat kota dengan banyak labirin sehingga memudahkan target melarikan diri jika memang benar ada mereka di dalam. Kedua, lokasi ini cukup dekat dengan kantor pihak yang berwajib, apa iya RKZ bikin markas di sini? Cukup diragukan. Ketiga, hawa kawasan ini lumayan aneh. Seperti ada sesuatu yang tidak beres di sini.”

Amar tidak salah, rumah yang saat ini sedang mereka kunjungi berada di jajaran blok yang tak jauh dari sebuah SMA swasta khusus wanita di tengah kota – tak jauh dari jembatan GodongLayu. Ada beberapa blok rumah dengan landskap luas dan berarsitektur kolonial di tempat ini.

“Aku tidak bisa merasakan tenaga Ki dari dalam ataupun di sekitar rumah kosong ini,” tambah Deka sembari mengamati rumah yang sedang mereka periksa. “Tapi Mas Amar benar, ada sesuatu di sini yang tidak biasa. Apa benar tempat ini jadi salah satu rumah singgah PSGxRKZ? Kondisinya seperti sudah tidak pernah dijamah manusia sejak satu milenia ke belakang. Jangan-jangan informan Dinasti Baru salah.”

“Informanku jarang salah, tapi bukan berarti tidak pernah salah. Akan selalu ada salah tebak dan salah prasangka karena mereka bekerja berdasarkan intuisi.” Amar kembali mendengus, hidungnya bergerak-gerak. Ada bau aneh yang tercium dari rumah kosong itu, bau yang tidak menyenangkan, bau hangus.

Shinta menggelengkan kepala, “Aku jadi ragu-ragu apakah rumah ini benar-benar markas PSGxRKZ atau bukan. Jangan-jangan hanya rumah kosong biasa. Apakah sebaiknya kita pergi saja dari sini dan mencari di lokasi lain?”

Simon menyentuh pundak Amar, menempatkan telunjuknya di bibir, lalu menggoyangkan jari telunjuknya ke arah pintu depan rumah tua. Ia berbisik. “Ada seseorang.”

Don Bravo melihat kode dari Simon. Ia pun turun ke bawah.

Shinta dan Deka juga menyadari kode dari Simon. Mereka bersiap sembari menatap ke arah Amar.

“Sebenarnya bukan tidak ada nyala tenaga Ki,” bisik Amar Barok kepada keempat orang disampingnya. “Ada - tapi kecil sekali karena sedang tidak diaktifkan. Hampir-hampir tidak terasa. Berhati-hatilah kalian, siapapun yang menjaga rumah ini, dia punya kekuatan yang disembunyikan.”

Kelima orang itu pun bersiap. Dengan sengaja mereka berjalan menuju ke pintu depan rumah. Langkah mereka dilakukan sepelan mungkin.

Pintu depan rumah tua itu akhirnya terbuka. Hanya terbuka sedikit saja.

Secara tiba-tiba Amar menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya melejit dengan kecepatan tinggi, melompat jauh ke pintu depan. “Siapa ka-…!?”

Ka-Booom!

Tubuh Amar Barok terpelanting ke belakang hampir empat meter jaraknya hanya dengan satu sentakan tenaga dalam yang tiba-tiba saja menyala dengan hebatnya. Amar Barok mendarat dengan aman, tapi sempat terseret ke belakang sejauh dua meter lagi.

Gila! Siapa yang sanggup menghentak tubuh Amar Barok dengan sebegitu mudahnya? Amarah sang panglima Aliansi jelas terbakar. Amar menggeram. Ia mengambil kuda-kuda Raungan Singa Emas. Siapapun yang ada di belakang pintu masih belum terlihat. Ruangan di dalam rumah terlampau gelap.

Shinta duduk bertongkat-lutut, menyentuh tanah dengan satu tangan, dan merenggangkan jari-jemari tangan yang satu lagi. Bibir mungil gadis cantik itu berkomat-kamit merapal dan satu rentetan sentakan gelombang tenaga terhempas dari telapak tangan mungilnya.

Bsss! Bsssshh! Bssssh!

Bkkk! Bkkk! Bkkkk!


Seluruh serangan Shinta gagal ketika satu tangan keluar dari dalam pintu untuk menahan serangan itu. Hanya satu tangan. Sentakan energi dari Shinta ditahan hanya dengan satu tangan saja!

“Hah!? Gagal!?” desis Shinta. Siapa orang yang sanggup menahan serangannya?

Tak ingin ada serangan balasan, Deka segera menutup jalur menuju ke arah sang dara, dan melindunginya dengan Perisai Genta Emas.

Amar menganggukkan kepala, “Deka, tetap lindungi Shinta. Simon ke kanan. Don Bravo ke kiri. Kita kepung dia.”

Terdengar suara kekeh tawa berat dari balik pintu yang kini semakin terbuka. Tidak ada apa-apa yang nampak di dalam rumah ketika pintu terbuka. “Kenapa juga harus dikepung? Aku akan keluar. Sudah lama sekali aku tidak mandi darah. Sepertinya saatnya sudah tiba.”

Seseorang akhirnya melangkah keluar dari dalam rumah.

Seseorang bertubuh raksasa.

Kelima orang di halaman rumah kosong mulai bersiap-siap dan memasang kuda-kuda. Siapa lagi orang ini? Ukuran tubuhnya luar biasa. Tingginya mungkin hampir mencapai dua meter dan ia sangat kekar menyeramkan dengan wajah seperti keturunan India. Jenggot tebal memenuhi dagu hingga sampai ke dada, alis mata tebal menutup hampir memenuhi kening, rambut dikuncir ala Brahmana. Pakaiannya pun sederhana, sandangan dengan desain yang mirip karate-gi berwarna abu-abu gelap.

“Pagi-pagi begini kalian datang tak diundang dan mengganggu ketenangan rumahku. Masih doyan hidup kenapa berbuat onar?” Tiba-tiba saja, lonjakan energi dahsyat keluar dari tubuh sang pria bertubuh raksasa. Bukan hiperbola, dia benar-benar bertubuh tinggi besar mirip genderuwo.

Don Bravo dan Simon saling berpandangan.

“Akuma Gouki?” bisik Don Bravo.

“Braun Strowman?” balas Simon.

Keduanya jelas sedang mengambil referensi dari game dan sports entertainment untuk menggambarkan sosok pria bertubuh besar yang saat ini sedang berdiri jumawa di teras rumah. Seorang raksasa yang menyeramkan. Campuran antara Hulk, Blanka, Zangief, dan Juggernaut.

Amar mengernyitkan dahi.

Tunggu dulu… orang ini kan…?

Amar Barok terbelalak saat menyadari siapa orang itu. “SEMUANYAAA! MUNDUUUUR!!”

Sang pria bertubuh raksasa berjalan santai di teras rumah sembari menarik sebuah kursi rotan. Ia meletakkan kursi itu di tepat di tengah-tengah teras, lalu duduk dengan tenang sembari menatap kelima orang yang sedang kebingungan di halaman rumah yang tadinya mereka anggap kosong.

“Lo-Lonjakan energi ini!!” Deka terperanjat ketika menyadari ada kekuatan Ki maha dahsyat yang dikeluarkan oleh sang pria tinggi besar di hadapan mereka. “Siapa dia, Mas? Kenapa ada orang sekuat ini?”

“Bangsat! Tak kusangka dia masih hidup! Dia adalah salah satu dari petarung kelas A+ selain om Janu, Pak Zein, Bos BMW, dan kemungkinan Ki Juru Martani,” desis Amar Barok dengan wajah yang berkeringat dan mimik wajah cemas. Ini kali pertama seumur hidup Deka melihat kakaknya seperti itu. Amar Barok… ketakutan? Masa iya sih?

Amar melanjutkan, “Dia menghilang setelah perang besar yang terakhir. Banyak yang mengira dia sudah mati – tapi tidak kusangka dia masih hidup! Ini benar-benar gawat! Kita harus menyingkir dari sini! Cepat jangan membantah!”

“Petarung kelas A+?” Deka mengernyitkan dahi.

Istilah kelas petarung sudah lama tak digunakan, dulu istilah ini digunakan untuk memetakan kekuatan para jawara, namun entah kenapa kemudian ditinggalkan sejak perang besar usai. Para bos kelompok besar yang sudah tentu memiliki kemampuan linuwih berada di jajaran A+, mereka yang tidak memiliki kekuatan Ki dan hanya bertarung mengandalkan tangan kosong berada di kelas F. Sebagai gambaran, kalau dinilai dari kekuatannya yang sekarang, Nanto mungkin ada di tingkatan A-, tapi orang bertubuh raksasa di depan mereka ini adalah salah satu dari jawara tingkat A+. Kekuatannya sudah jelas sangat mengerikan.

“Siapa dia, Mas?” tanya Deka lagi.

“Rahu.” Amar Barok menggemeretakkan gigi. “Tidak tahu nama asli atau nama panjangnya. Tapi dia dipanggil Rahu Kala. Ada yang menyebutnya lebih lengkap dengan sebutan Rahu sang Batara Kala, ada juga yang menyebutnya Rahu sang Dewa Iblis. Apapun julukannya, dia bencana yang berjalan di antara manusia. Aku tidak menyangka dia sekarang berafiliasi dengan PSGxRKZ. Dulu dia tidak ikut kelompok manapun karena tidak pernah menginginkan jabatan, tidak di JXG tidak pula di QZK, apalagi Dinasti Baru yang dulu masih jadi komplotan anak bawang. Kalau ada yang bisa mengobrak-abrik tatanan kota selama ini, maka Rahu-lah orangnya. Kami semua mengira dia sudah lenyap dari dunia ini di masa perang besar yang terakhir.”

“Apa yang kalian cari di sini, orang-orang sial? Apa sudah cari mati sepagi ini? Mungkin kalian bersedia jadi tumbal setelah aku bertapa bertahun-tahun lamanya?” Rahu tersenyum. Senyum menyeramkan terlukis di bibirnya. Pria menyeramkan itu mengucapkan satu rapalan. Bibirnya yang menghitam berkomat-kamit. “Wong bener soyo tenger-tenger, wong salah soyo bungah-bungah.”

Rahu mengibaskan satu tangan.

Saat itu tiba-tiba saja ada hempasan tenaga api besar yang menyentak ke depan dengan bentuk serangan seperti bulan sabit. Satu hentakan tenaga panas dahsyat yang membuat empat tubuh terlempar ke belakang. Shinta, Don Bravo, Deka, dan Simon keempatnya terlontar ke belakang. Mereka mengerang kesakitan di pelataran rumah.

Satu-satunya yang bertahan hanyalah Amar Barok.

“Oh?” Rahu memiringkan kepalanya dan menatap Amar Barok. “Bisa bertahan? Menarik.”

Tangan Amar Barok disilangkan, Ki-nya menyala terang. Perisai Genta Emas diaktifkan. Amar mencoba berbicara dengan sopan untuk berhati-hati, “Kami tidak ingin mengganggu anda, Rahu. Kami hanya ingin tahu apakah orangtua gadis ini ada di dalam atau tidak. Orangtuanya disekap oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan melihat kekejaman mereka, kami mengkhawatirkan kondisi orangtua gadis ini. Mohon pencerahannya jika memang orang yang ingin kami selamatkan ada di dalam.”

Rahu tersenyum kembali dan melirik ke arah Shinta yang masih tergeletak di tanah. Pria yang duduk di teras itu lalu menatap kembali ke arah Amar Barok. “Kalau ada kenapa, kalau tidak ada juga kenapa? Enak saja kalian main suruh-suruh! Tidak ada sopan-sopannya! Datang kesini tanpa permisi, lalu masuk ke rumah tanpa izin! Sekarang kalian berharap dengan memberikan alasan yang tidak bermutu itu aku akan memberikan kalian akses untuk masuk ke dalam. Begitu?”

“Sebelumnya mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu istirahat. Apa yang Rahu sampaikan tadi betul, kami memang sudah seenaknya masuk karena berpikir tadi kalau rumah ini rumah kosong. Untuk itu kami minta maaf. Kami akan segera meninggalkan tempat ini seandainya…”

“Untuk apa minta maaf?” Rahu menyandarkan badannya ke kursi. Senyumannya tidak hilang dari bibir. “Tidak perlu minta maaf. Aku akan jujur. Kalian mencari orang? Sebenarnya memang ada orang di dalam. Memang ada orang-orang yang sedang kusiksa di dalam dan kukuliti untuk kujadikan daging mie ayam. Tapi apakah mereka orang yang kalian cari?”

“A-Apa?” Amar Barok terbata-bata.

Rahu merogoh kantong celananya, mengeluarkan sesuatu, dan melemparkannya ke depan. Dua benda menancap di tanah yang berada di dekat Shinta. Sang pria bertubuh raksasa yang tengah duduk di teras mengedipkan mata pada sang gadis jelita. “Kamu mengenali itu?”

Shinta mengejapkan mata, pertama ia tak menyadari karena benda itu terbungkus plastik bening, tapi kemudian ia hampir meloncat karena terkejut! Suara teriakannya tertahan.

Itu potongan jari tangan manusia!

Swsh.

“Hkkkghhhh!”

Tubuh Don Bravo tiba-tiba saja terangkat. Lehernya dicekik oleh sang monster yang mengangkatnya hanya dengan satu tangan saja, tubuh sang anggota setia DoP itu mulai meronta-ronta tanpa hasil. Bokken yang biasa ia bawa-bawa melesat dengan cepat ke kepala Rahu.

Satu pukulan dari Rahu melesat kencang. Begitu cepatnya sehingga melebihi kecepatan serangan tongkat kayu dari Don Bravo. Ia memukul pundak pemuda itu. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Lima. Enam. Tujuh. Tangan Don Bravo seperti lumpuh. Bokken-nya terjatuh. Don Bravo seharusnya berteriak kesakitan, namun ia tidak sanggup melakukan apa-apa karena kencangnya cekikan Rahu. Matanya melotot karena napasnya semakin sesak.

Hkkkkkgh!

“Ucapkan selamat tinggal pada teman-temanmu.”

Amar Barok, Deka, dan Simon menatap gemas ke arah kekejaman yang tengah dipertontonkan oleh sang batara Kala. Mereka tahu mereka pasti akan terlambat melakukan apapun, tapi ketiganya bangkit untuk menolong Don Bravo.

Rahu Kala tertawa kecil.

Krghk.





.::..::..::..::.





“Sudah lega?” Nanto yang tengah makan sate tertawa saat melihat wajah Hanna sekarang sudah jauh lebih cerah.

“Hihihi. Udah, Mas.” Hanna tertawa, “paling males kalau pakai pakaian begini kebelet ke toilet. Susah bukanya. Hihihi.”

“Hmm. Eh, tapi kok keluarnya dari pintu dapur?”

“Eh iya ya? Ga tau sih, Mas. Tadi ditunjuk ke situ sama yang jaga.” Hanna duduk di samping si Bengal. Nanto pun menghunjukkan satu piring sate untuk si gadis jelita itu. “Eh? Udah diambilin? Hihihi. Makasih ya, Mas.”

“Iya, sama-sama.”

“Senang deh kalau Mas Nanto perhatian gini. Aku jadi…”

Nanto terdiam.

“Mas?”

Nanto masih terdiam. Hanna melirik ke arah sang pemuda idaman. Pandangan mata Nanto menatap ke depan, seperti terkejut melihat sesuatu. Tapi saat Hanna menelusuri arah mata si Bengal, ia tidak melihat sesuatu yang janggal ataupun aneh. Jangan-jangan si Nada lagi? Hanna semakin penasaran, tapi tidak… ia tidak melihat Nada. Entah di mana dia berada.

Lalu apa yang membuat si Bengal terpaku terdiam seribu bahasa?

Hanna tak menyadari, bahwa sebenarnya tatapan mata Nanto bertemu dengan tatapan mata sosok seorang wanita jelita lain yang juga hadir di pesta pernikahan itu. Bukan Nada, bukan. Melainkan satu sosok dari masa lalu si Bengal, sosok wanita yang pernah menjadi perwujudan kesempurnaan seorang wanita bagi Nanto. Sang bulan di malam yang gelap, sang penerang di hari yang cerah.

Jauh di ujung sana, berseberangan dengan tempat duduk Nanto dan Hanna, ada seorang wanita yang duduk dengan sopan, anggun dengan mengenakan kerudung yang indah, dan nampak terlalu cantik di tengah kerumunan tamu, padahal mengenakan pakaian yang sederhana.

Wanita jelita yang menatap balik ke arah si Bengal.

Asty.

Seperti halnya Nanto, Asty juga melihat dan memandang si Bengal dari kejauhan. Angan si Bengal melayang jauh ke sebuah masa yang kini hanya hadir dalam memori.

Nanto melesakkan kemaluannya dalam-dalam. Ia bergerak kencang, menumbuk, menggiling, menusuk, menyodok, maju mundur penuh tenaga tanpa ampun. Liang cinta Asty senikmat itu rasanya. Nanto tak berhenti bergerak, maju mundur, putar, maju mundur, putar, dilakukan berulang bagaikan menggiling dan menumbuk, tak istirahat, tanpa jeda, terus bergerak tanpa henti.

“Dek Asty? Dek Asty…?” satu tangan lembut menepuk pundak sang ibu muda jelita yang kini telah menjadi janda itu. “Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

“Eh… eh? Ti-tidak kok, Mas Ri. Tidak apa-apa. Aku hanya… hanya tiba-tiba saja teringat seseorang.” Ketika Asty melihat ke arah seberang, Nanto dan Hanna sudah tak lagi ada di sana. Wanita cantik itu pun menundukkan wajahnya yang berkeringat, ruangan ini entah kenapa jadi panas seketika. Kenapa… kenapa di saat-saat seperti ini sosok Nanto hadir kembali?

“Apakah sosok itu… almarhum suamimu?” Kapten Ri yang duduk di samping Asty merasa bersalah karena telah mengajak Asty datang untuk menghadiri pesta pernikahan. Tentu berat bagi Asty untuk datang ke sebuah acara yang akan mengingatkannya pada sang suami tercinta. “Maaf kalau mungkin aku mengajakmu terlalu dini untuk hadir ke acara seperti ini. Aku memang tidak peka.”

Asty tersenyum dan menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Mas. Tapi mohon bersabar ya, aku tidak bisa secepat itu meneguhkan hati dan menguatkan diri. Aku tahu maksud Mas baik untuk mengajak aku keluar rumah supaya tidak terbayang-bayang terus dan melamun sepanjang hari. Tapi aku butuh waktu untuk melalui dan memproses semua ini. Hatiku masih tak menentu, Mas.”

Kapten Ri tersenyum, “Saya paham, Dek. Mungkin ini terdengar kurang ajar dan tidak pada tempatnya, tapi saya harus jujur. Sejak pertama kali Dek Asty datang untuk kasus pembunuhan almarhum, saya sudah bingung dengan hati saya sendiri. Karena saya langsung terpesona melihat ketegaran dan kekuatan Dek Asty dalam menghadapi kasus yang sedemikian mengerikan. Lalu ketika kemarin ada serangan mendadak dari seorang durjana, Dek Asty juga menghadapinya dengan tabah… saya merasa…”

Asty menepuk punggung tangan Kapten Ri. “Terima kasih atas kedatangannya, Mas Ri. Saya merasa terlindungi. Tanpa Mas Ri, saya mungkin sudah di-rudapaksa oleh durjana satu itu. Entah kenapa dia terus menerus mengincar saya.”

Kapten Ri mengangguk dan tersenyum. Ia merasa menjadi pria paling beruntung di pesta pernikahan itu karena dapat duduk berdua dengan seorang wanita yang sejelita Asty.

Asty menggoyang gelas cocktail yang ia minum, masih ada nanas dan pepaya tersisa di sana. Pandangannya lurus ke depan, mencari satu sosok pemuda yang mengisi mimpi-mimpinya selama ini. Kapten Ri mungkin tidak tahu, walaupun ia kehilangan sosok suami, hatinya sebenarnya sudah berlabuh ke seorang pemuda yang tiba-tiba saja muncul bersanding dengan wanita lain hari ini.

Cemburu? Sudah pasti.

Asty memejamkan mata. Ada memori indah terpatri yang tersimpan dalam sanubari dan tak akan pernah hilang apapun yang terjadi. Ia menyentuh dadanya sendiri, merasakan detak jantung yang kian memburu tanpa henti.

Asty membalas ciuman Nanto, bibir mungilnya bergerak lembut menjelajah dengan manja di bibir sang pemuda bengal. Ciuman yang hangat, basah, saling menghendaki, saling menginginkan, saling membutuhkan. Bibir beradu, lidah terkait, bertempur dalam pencarian kenikmatan menuju tingkat pemuncak.

“Mas? Mas Nanto?”

Nanto terkesiap, ia tersadar dari lamunannya saat berjalan bersama Hanna. “Eh, eh iya?”

“Tuh kan melamun terus. Bayangin siapa lagi? Nada ya? Sebel ih.”

Ternyata Nada berdiri tak jauh dari mereka. Ia sedang menggandeng seorang pemuda tampan dan gagah dan bercakap-cakap dengan pasangan berbatik. Mungkin saudara atau handai taulan.

“Ish. Mana mungkin aku bayangin dia. Tuh lihat sendiri Nada sudah punya pasangan. Aku tidak akan mengganggu dia lah. Lagipula tahu sendiri dia anaknya siapa, aku sih tidak pengen nyari penyakit.”

“Ah, Mas Nanto kan playboy cap koyo cabe. Mau udah punya pasangan atau belum asal bening pasti disundul gan. Buktinya dulu aku juga diganggu kan? Aku kan dulu juga sudah punya pasangan.” Ledek Hanna yang pura-pura ngambek sembari ketawa-ketawa kecil. “Kalau sudah begini, mendingan memang aku cepet-cepet aja pergi ke luar negeri.”

“Lah… kok gitu…” Nanto tertawa. “Beneran nih mau ninggalin aku sendirian?”

“Ada Kinan.”

“Memang.”

“Ada Nada.”

“Iya ya?”

“Ada yang lain-lain juga.”

“Begitu ya.”

“Ih, kok ga ada perlawanan sih, Mas?”

“Hehehehe… abisnya dari tadi kamu begitu melulu. Sudah jelas-jelas aku datang ke pesta pernikahan ini sama kamu, bukan sama yang lain. Kok ya masih cemburu aja sih.”

“Iya ya?”

Tiba-tiba lampu gedung padam. Mungkin hanya untuk sesaat, hanya beberapa detik saja. Posisi ruangan yang agak jauh dari jendela membuat suasana di dalam menjadi gelap gulita. Orang-orang langsung berteriak karena terkejut, terutama kaum wanita dan anak-anak.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam.

Lampu kembali menyala.

Musik kembali berputar. MC pun mengucapkan maaf karena adanya gangguan teknis dan meminta para tamu untuk kembali menikmati hidangan yang sudah disediakan. Desahan lega terdengar dari segala penjuru.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam.

Musik tiba-tiba saja kembali terhenti. Ada apa lagi kali ini?

Layar monitor yang tadinya menayangkan sajian band pengiring, tiba-tiba saja menyala putih. Ada sosok orang yang duduk di tengah layar, memegang tongkat akar.

“Selamat siang. Apa kabar semuanya?”

Seluruh pandangan teralih ke arah layar monitor raksasa yang ada di tengah ruangan. Obrolan terhenti, kasak-kusuk padam, keributan terjeda, wajah-wajah keheranan bemunculan. Para pimpinan kelompok mengerutkan kening tanda siaga. Apa-apaan ini?

Om Janu bertatapan mata dengan om BMW yang berdiri di sampingnya, keduanya lantas melirik ke arah Pak Zein yang ada di panggung pengantin. Mereka saling pandang dan saling menerka. Tapi tidak ada jawaban. Ulah siapa ini? Siapa yang berani mengganggu pesta-nya Pak Zein?

Seseorang dengan topeng Klana Merah tampil di layar monitor, topeng klasik itu menyeringai sadis seakan mentertawakan para pengunjung yang tengah menatap dengan keheranan, ketakutan, dan kebingungan. Ini masalah serius.

“Jangan takut dan jangan risau. Santai saja, silakan lanjut mencicipi hidangan. Saya tidak muncul di layar besar ini hanya untuk mengacaukan pesta pernikahan putra terkasih Pak Zein dalam rangka ngunduh mantu. Saya tidak sebengis itu. Saya masih punya nurani…” ujar pria bertopeng Klana Merah, “…tapi bohong. Jyahahahahaha.”

Pak Zein menyiagakan pasukannya. Om Janu dan om BMW menegang, sebagian pasukan mereka juga bersiap di belakang pimpinan masing-masing – dan di luar gedung. Nanto berdiri dan fokus pada layar, tangannya erat memegang jemari Hanna. Kapten Ri mempersiapkan ponselnya, ia langsung menghubungi mabes Tim Garangan.

“Tahukah anda semua kalau di pesta ini telah hadir empat pimpinan besar kelompok preman yang telah memecah belah kota kita tercinta? Mereka tidak menginginkan apa-apa kecuali penguasaan wilayah. Hanya itu saja yang mereka pikirkan. Hanya mereguk keuntungan dari orang-orang biasa seperti kita semua. Mereka menjadi kaya dan berkuasa, setelah menginjak-injak kita – saya dan kalian. Mereka menjadi kaya dan berkuasa, setelah merampas kemerdekaan kalian. Seenaknya sendiri petentengan di tengah jalan minta sumbangan, merampas rumah kita, meniadakan rejeki kita, dan memutus rantai persaudaraan. Mereka melakukan kekerasan tanpa pernah dijerat hukuman dan selalu selamat dari sel yang akan meyekap mereka dalam tahanan. Kita semua… adalah korban.

Kalian semua para tamu tidak percaya? Baiklah, saya hanya ingin berbicara berdasarkan fakta. Jadi saya akan membeberkan beberapa hal yang saya ketahui sehubungan dengan keempat pimpinan,” ucap si penopeng. “Oh iya. Mungkin ada yang belum kenal dengan saya? Sebut saja nama saya Ki Juru Martani. Heheh. Saya berada di balik layar karena peran saya hanyalah remahan peyek teri tak berarti di sudut blek khonggwan. Saya hanyalah debu dibandingkan kejayaan semua tamu dan undangan yang hadir. Itu pula sebabnya saya tidak hadir di acara ngunduh mantu ini… karena saya tidak diundang. Kalau saya tidak diundang, itu artinya, kehadiran saya tidak diharapkan… yang artinya pula, saya hanyalah orang kecil yang tak berarti. Hanya sampah.”

Orang-orang mulai berbincang-bincang. Kasak-kusuk menebak siapa sebenarnya sosok Ki Juru Martani yang mengenakan topeng Klana Merah ini. Suaranya terdengar berat, tenang, penuh perhitungan, dan berwibawa. Sepertinya dia bukan sosok yang main-main.

“Mengherankan bukan? Bagaimana saya yang tidak pernah berbuat kejahatan pada mereka malah tak diundang, sementara orang-orang yang telah membuat kericuhan, menyakiti, dan mencelakai orang-orang terdekat Pak Zein justru diundang! Fakta sudah berbicara!”

Saat Ki Juru Martani berbicara di layar, Jagal mendekati Pak Zein. “Kami tidak menemukan sumbernya. Layar itu dihubungkan dengan koneksi nirkabel, entah di mana source-nya dan dari koneksi yang mana. Satu-satunya jalan adalah mematikan monitornya. Apakah sebaiknya kami take down?”

Pak Zein mengangguk. “Sebelum terjadi kekacauan, alangkah baiknya kalau…”

“Orang yang pertama! Januari Arifin Tjokrokusumo!” Ki Juru Martani menunjuk ke depan. “Janu!”

Mendengar nama om Janu disebut, saat itulah tangan Pak Zein dibentangkan untuk menghentikan langkah Jagal melaju ke depan. Sepertinya dia ingin mendengarkan apa yang akan diungkapkan oleh sang penopeng.

“Bagaimana mungkin orang ini diundang datang? Dia menjadi pembasmi JXG di masa perang, banyak korban yang jatuh karena ulahnya! Tapi sekarang dia diundang untuk datang! Apa tidak kepikir gimana itu arwah para anggota JXG yang jadi korban, Pak Zein?” Ki Juru Martani melanjutkan lagi, “Om Janu, sang pimpinan tertinggi QhaozKings atau QZK, pria berjuluk Kaisar Utara! Pelindung dan bapak angkat orang-orang terpinggirkan! Memiliki kemampuan A+! Bijaksana dan berpikiran cerdas! Tapi dia tak luput dari noda dan sejarah kelam bagi JXG! Salah satunya adalah…”

Om Janu mendesis geram, “orang ini…”

Syam maju ke depan “Biar saya hancurkan layar monitornya, Bos!”

“Laksanakan!”

Syam melesat ke depan untuk menghancurkan layar, tapi langkahnya terhenti. Ada seseorang yang menghalanginya! “Minggir atau kuhancurkan tulang belulangmu saat ini juga, setan!”

Jagal tersenyum, “aku hanya akan minggir ketika bos Zein mengijinkan. Ini property pernikahan Ahmad dan Meisya. Siapa yang mengijinkan kalian seenak wudel sendiri menghancurkan apapun di tempat ini?”

“Baji…”

Syam meluncurkan pukulan ke arah Jagal. Jagal menghentikan semua pukulan Syam dengan mudahnya. Adu tangan kosong terjadi.

Nalurinya menggelegak, Kapten Ri segera bertindak, ia berlari ke depan untuk menghentikan ulah kedua orang berangasan yang bisa mengacaukan seluruh pesta pernikahan. Saat pukulan dari kedua belah pihak dilontarkan, Kapten melesat untuk menahan laju pukulan lengan kanan Syam dan juga Jagal.

Pukulan tidak sampai ke sasaran. Lengan keduanya ditahan oleh sang Kapten.

“Aku harap semua yang hadir bisa berpikiran jernih dan sadar bahwa saat ini pesta pernikahan sedang berlangsung,” Kapten Ri bersikeras, “Hormati tamu! Redakan emosi kalian semua!”

“Berpacu dalam memori.” Ki Juru Martani tertawa.

Setelah mengucapkan kalimat itu, sosok sang penopeng menghilang, digantikan oleh putaran video yang tidak begitu jelas – karena selain gelap, rekaman itu seperti didapat dari CCTV generasi teknologi lawas. Seorang pria berjalan dengan tenang di belakang sosok pria lain yang tengah berlutut ketakutan, kaki dan tangannya terikat erat oleh tali tambang.

Orang yang ketakutan itu bergetar hebat, wajahnya berkeringat deras, mulutnya diam karena tersumbat. Terlihat orang yang di belakang kemudian berulang kali menendang kepala sang laki-laki yang berada di depannya dengan tendangan yang teramat kuat. Ada muncrat darah terlihat. Ketika orang yang di depan jatuh, dua orang lain datang dan menempatkannya kembali supaya berlutut di depan sang penyerang. Begitu terus berulang-ulang sampai sosok di depan akhirnya tak lagi merespon.

Saat akhirnya berkelebat cahaya, kedua sosok itu akhirnya terlihat jelas. Sosok di belakang adalah om Janu dan sosok di depan adalah seseorang yang dari kejauhan memiliki wajah yang mirip dengan Pak Zein.

“Zul!” Pak Zein mendesis geram.

Jadi selama ini dugaannya benar. Meninggalnya Zul sang adik ternyata ada hubungannya dengan om Janu! Kemungkinan peristiwa di layar itu terjadi bertahun-tahun yang lalu saat perang besar terjadi. Potongan rambut om Janu sudah berbeda sekali.

Sosok terikat di layar kemudian dipegang oleh dua orang yang sejak tadi membantu om Janu. Mereka melepas celananya sambil tertawa-tawa. Om Janu menarik sesuatu dari atas meja, seperti pisau. Ia perlahan-lahan mendekati orang yang diduga Zul.

Para tamu terkesiap. Mereka benar-benar terkejut sampai ada yang terpekik.

Saat itulah layar gelap dan kembali menunjukkan wajah Klana Merah yang terkekeh-kekeh. “Jangan khawatir, Zul tidak meninggal karena om Janu. Heheheh.”

Om Janu mendengus dan berucap cukup kencang – ia maksudkan ucapan itu untuk Pak Zein, “Mas Bro! Jangan percaya dengan video basi itu! Itu peristiwa saat perang besar terjadi! Sudah bertahun-tahun yang lalu! Kita sama-sama melakukan hal yang tidak sepantasnya karena sedang berseteru! Tapi aku tidak membunuh ataupun melenyapkan Zul! Dia masih hidup saat video itu direkam! Lihat saja napasnya masih kembang kempis di situ! Zul sudah pulang dengan selamat!”

Pak Zein geram dan ikut berucap kencang, “Aku tahu, Mas Janu! Kita bicarakan masalah ini lain kali!”

Zul memang tidak lantas mati saat itu, tapi kemudian istri dan anaknya meninggalkannya entah karena apa. Dia jatuh ke dalam depresi dan ahirnya mati setelah minum obat serangga.

“Lihat kan? Apakah pantas orang seperti itu diundang ke pernikahan anak Pak Zein? Setelah dia mengakibatkan adik Pak Zein depresi dan bunuh diri?” ejek Ki Juru Martani. “Luar biasa memang orang-orang yang berkuasa di kota ini. Melupakan hubungan persaudaraan demi pengakuan penetapan penguasaan wilayah tanpa mengundang pertengkaran.”

Sang Klana Merah tertawa-tawa, lalu layar kembali berubah menjadi gelap. Kali ini ada muncul adegan berikutnya. Masih dari rekaman CCTV dan masih tak menampilkan dengan jelas wajah-wajah orang yang ada di sana. Ada gerakan yang hampir tak terpantau kamera, karena hanya menampilkan sebagian tubuh yang sedang bergerak maju mundur di ruangan seperti sebuah gudang. Tak perlu jadi orang pintar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi – adegan senggama ala doggy style.

Beberapa orang tamu kembali terpekik dan buru-buru keluar ruangan, mereka tidak ingin menyaksikan apa yang sedang ditayangkan. Beberapa anak kecil dibawa keluar oleh orangtua mereka.

“Yang berikut ini saya khususkan untuk sang Hantu yang telah banyak berjasa untuk JXG. Hantu selama ini mungkin mencari siapa yang telah mengambil anaknya.” Suara Ki Juru Martani terdengar meskipun layar masih menunjukkan video CCTV, “Padahal jawabannya mudah saja – tapi tak pernah diungkapkan karena adanya konspirasi Pak Zein dan si Jagal dengan orang ini… sang biang prostitusi.”

CCTV itu tiba-tiba saja menampilkan wajah orang yang sedang maju mundur dengan jelasnya.

Bintoro Muji Wiguno. Sang pemuncak Dinasti Baru. Rasa-rasanya banyak hal yang bisa anda jelaskan pada sang Hantu. Termasuk kemana anda membawa bocah yang dilahirkan oleh istri Hantu dahulu. Heheheh.”

Layar kemudian menampilkan wajah Priska – almarhum istri Hantu dan seorang bayi.

Om BMW meludah dan menyeringai. “Kalau memang Hantu bertanya, aku pasti akan menjawab. Aku tidak pernah menyembunyikan rahasia apapun. Kemana anak itu dan apa yang dilakukan akan aku ceritakan panjang lebar. Tapi karena selama ini Hantu tidak bertanya, ya aku tidak perlu menjawab apa-apa. Hahahaha.”

Hantu memiringkan kepalanya sembari menatap layar. Air matanya mengalir, tapi dia hanya bergoyang-goyang aneh seperti biasanya, tanpa ekspresi. Pak Zein, Jagal, dan Barakuda bersiap sedia – seandainya tiba-tiba Hantu mengamuk. Tapi ia tidak melakukannya. Pria berkelakuan ganjil itu tetap diam saja seolah-olah dia tidak paham apa yang terjadi.

“Bagaimana mungkin kalian mengundang orang yang paling bersalah terhadap Hantu? Pria yang paling berjasa mengharumkan nama JXG? Memalukan! Hantu! Kalau kamu berniat masuk PSGxRKZ, kami terima dengan senang hati! Jyahahahahaha.” Ki Juru Martani tergelak.

“Pastikan dia tetap tidak paham apa yang terjadi,” bisik Pak Zein pada Jagal sembari menatap Hantu yang masih bergoyang-goyang aneh.

Sulaiman Seno mengangguk. “Siap.”

“Berikutnya… ada kado spesial untuk Pak Zein. Saya tahu njenengan pasti bertanya-tanya tentang hilangnya Pak Pos sang anggota Empat Anak Panah JXG beberapa hari bahkan minggu belakangan ini. Jangan khawatir, saya telah menemukan beliau.” Ki Juru Martani tersenyum, “Beliau ternyata bersembunyi di…”

Terdengar suara letupan kecil, orang-orang yang berada di dekat meja prasmanan terpekik kaget. Bangunan chocolate fondue raksasa tiba-tiba saja terkuak dan terbuka. Bangunan itu adalah sebuah perangkat mekanis yang mengalirkan arus coklat cair ke sebuah penampung sementara di mana makanan-makanan kecil bisa dicelupkan ke dalam arus cairan coklat. Di bagian tengah bangunan mekanik itu ada sebuah tabung besar. Entah bagaimana dengan satu ledakan kecil, dasar dari chocolate fondue yang berbentuk tabung itu pun terbuka.

Ketika akhirnya menyadari apa yang ada di sana, orang-orang pun menjerit dan berlarian, mencoba menjauh dari meja prasmanan. Sebagian bahkan muntah-muntah karena tak sanggup menyaksikan. Mereka tadinya sempat mencicipi coklat dari mesin fondue raksasa yang tadinya mereka pikir mengagumkan. Para tamu undangan mulai menangis dan ketakutan.

Bagaimana mungkin benda itu tidak menimbulkan bau yang menyengat?

Ada kepala Pak Pos di tengah-tengah tabung. Melotot menatap ke arah para tamu undangan, dengan coklat menetes di sekujur wajah.

“Hanzo!”

Pria tegap di belakang Pak Zein segera bertindak dengan sigap. Saat ia menganggukkan kepala, beberapa bayangan keluar entah dari mana dan mengamankan kepala Pak Pos. Mereka lantas pergi semisterius kedatangannya. Para tamu berteriak-teriak histeris karena ketakutan, terutama wanita dan anak-anak yang tadi belum sempat keluar.

Pak Zein geram. “Jagal, Barakuda, Hanzo dan semua anggota SSX - kalian bimbing tamu-tamu keluar dari tempat ini. Usagi, bawa Meisya, istri Eros dan anaknya, istriku, besanku, dan siapapun yang ada di panggung ke tempat yang aman.”

Orang-orang yang ditunjuk segera mengangguk dan beraksi. Mereka melesat meninggalkan Pak Zein untuk mengerjakan tugasnya. Satu-satunya yang tinggal hanyalah Hantu yang masih terus berdiri menatap layar – meskipun sekarang hanya nampak gelap di sana. Tentu saja tidak mudah mengeluarkan orang yang teramat banyak dari pintu-pintu yang terbatas. Antrian pun tak bisa dihindari, banyak orang bahkan tidak menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

“Yang terakhir! Saya simpan the best for last. Khususnya untuk kaum muda kita, harapan bangsa. Pimpinan Aliansi yang penuh potensi, Mas Jalak Harnanto! Tentunya Mas Nanto hadir juga di acara ini bukan? Cukup mengherankan kenapa Mas Nanto ini tidak memberikan saya penghormatan karena begini-begini, sayalah yang telah menjodohkan dia dengan putri kesayangan Pak Zein.”

Terdengar suara terkesiap dari para tamu. Pandangan mata segera beralih ke si Bengal dan Nada. Rama dan Hanna ikut kaget.

“Apa maksud orang itu, Nada?” tanya Rama.

Nada menggelengkan kepala, keringatnya menetes deras. Ia tahu pasti sesadis apa Ki Juru Martani. Ia tahu pasti sang arsitek kekacauan itu tidak akan segan-segan melakukan tindakan yang merugikan. “Tidak… tidak… tidak… jangan… jangan…” Nada berteriak kencang, “Papa!! Hancurkan monitornyaaa! Papaaaaa!!”

Di tempat lain, Hanna melepaskan genggaman tangannya pada Nanto. “Mas…? Apa yang dia maksud? Apa yang orang bertopeng itu maksud?”

Nanto terdiam dan menatap monitor. Si bangsat ini… apa yang sekarang dia rencanakan?

Layar berubah. Tak lagi menunjukkan wajah bertutupkan topeng Klana Merah. Terdengar suara desahan, suara penolakan, tangisan, jeritan. Akhirnya layar berubah… menunjukkan adegan persenggamaan yang blak-blakan diputar lengkap dengan suara.

Nada menjerit.

Orang-orang menjerit.

Bukan. Itu bukan adegan persetubuhan dua orang yang saling mencinta. Itu adegan pemerkosaan. Nada yang tengah melawan mati-matian diperkosa oleh seseorang… dan seseorang itu adalah si Bengal.

Nanto menatap layar besar itu dengan pandangan tak percaya. Adegan demi adegan berlalu di depan matanya, tanpa jeda, tanpa henti, tanpa sensor. Semua berlangsung begitu saja dengan cepatnya. Teriakan demi teriakan terdengar. Para tamu langsung menyingkir karena terkejut, sebagian dari mereka memalingkan muka karena malu, segan, khawatir, takut, tapi juga penasaran.

Nada berteriak-teriak histeris, malu luar biasa sekaligus shock.

Rama melangkah mundur dengan tertatih. Ia sama sekali tak percaya adegan yang tengah diputar di layar. Tidak mungkin itu Nada. Tidak mungkin. Nada tidak akan melakukan itu dengan laki-laki lain. Tidak mungkin! Tidak mungkin!

Pak Zein mengayunkan tangannya. “Usagi!”

Sekelebat bayangan hitam melejit dari samping sang pimpinan JXG. Kelebat hitam itu mengeluarkan satu sinar terang dan layar monitor pun mendadak terbelah. Sang bayangan lenyap secepat dia datang. Gerakannya anggun, ringan, dan lincah.

Bsssh!

Pak Zein terbang dari mimbar penganten ke depan. Dengan satu hembusan napas sudah ada di depan si Bengal. Ki-nya menyala, ada angin yang berputar di sekeliling tubuhnya. “Anak muda… rasa-rasanya kamu berhutang satu penjelasan padaku!”

Satu monitor yang diletakkan tak jauh dari monitor pertama kemudian menyala. Sekali lagi adegan demi adegan yang diperlihatkan oleh Ki Juru Martani menimbulkan kehebohan. Masih adegan yang sama, namun kini topeng Klana Merah kembali muncul di layar.

“Nah, bagaimana? Apakah kelak kita akan melihat pernikahan mereka? Sepertinya Pak Zein siap punya mantu lagi. Jyahahaha.” Tawa mengejek terdengar dari layar.

Hanna terkesiap dan menatap layar dengan tak percaya, air matanya terkumpul di ujung pelupuk mata, siap untuk tumpah kapan saja. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Nanto tidak pernah cerita tentang kejadian ini? Kenapa dia berbohong mengenai Nada? Kenapa dia tidak mau jujur dia pernah tidur dengan wanita lain?

Nanto kembali menatap layar monitor yang baru menyala tanpa peduli siapapun. Ia menggemeretakkan gigi sambil menatap sosok laki-laki bertopeng Klana Merah yang tengah tertawa terbahak-bahak tanpa jeda. Tawa yang seakan-akan muncul karena pria bertopeng itu sedang menyaksikan suatu adegan yang sangat lucu.

“ANAK MUDA! JAWAB PERTANYAANKU!!” Pak Zein menggertak si Bengal yang malah terus melihat ke layar monitor, dia paling benci jika ancamannya tidak mendapat tanggapan. Sang pimpinan JXG mengangkat tangannya dan bersiap mengeluarkan angin ribut. Semua orang yang memahami apa yang akan dilakukan oleh Pak Zein makin panik. Suasana semakin tak terkendali.

Satu bayangan berkelebat.

Om Janu menutup jalur Pak Zein dan Nanto.

“Maaf saya harus ikut campur, tapi keponakan saya ini pasti punya alasan dan akan menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Secara moral, dia bukan orang seperti itu. Saya yakin ini jelas-jelas jebakan yang dilakukan oleh bedebah bertopeng merah itu. Mas Bro, mari kita semua berpikir dengan jernih dan membicarakan hal ini dengan baik-baik.”

“Minggir dari hadapanku, Mas Janu. Aku sudah diam saja untuk urusan Zul. Tapi tidak untuk yang satu ini. Ini urusanku dengan pemuda yang telah memperkosa anakku.” Angin di sekitar Pak Zein kini membentuk tornado kecil yang berputar dengan kencangnya, menghancurkan apapun di sekelilingnya. Meja, kursi, piring, gelas, semuanya terlempar dan berserakan. “Aku tidak akan main-main lagi. Kehormatanku sedang dihancurkan. Untuk terakhir kalinya, Janu. MINGGIR!”

Om BMW melesat dan menyambangi keduanya. “Mas Janu dan Z, silakan berpikir jernih. Ini bukan tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Keadaan yang kacau seharusnya ditenangkan, bukan ditambah kacau.”

Om Janu tersenyum dan mengangguk. “Nanto adalah keluargaku dari Trah Watulanang. Anggap saja dia keponakanku. Aku juga anggota keluarga Trah Watulanang, seorang Watulanang tidak akan pernah meninggalkan saudara sedarah untuk dihabisi orang lain. Dari semua orang di sini, barangkali akulah yang paling tahu sifat Nanto seperti apa. Dia tidak akan melakukan hal terkutuk seperti itu kalau tidak ada pemicunya! Kalaupun terjadi, pasti ada alasannya! Jadi Mas Bro, aku tidak peduli apapun ancamanmu, jawabanku sudah jelas. TIDAK AKAN! AKU TIDAK AKAN MINGGIR! MAU MENYENTUH NANTO? LEWATI DULU MAYATKU!”

“Begitu ya.” Suara wibawa Pak Zein terdengar tanpa ampun. “Aku akan langkahi tubuhmu dalam waktu tiga detik saja.”

Om BMW geleng-geleng kepala. “Ayolah kalian berdua…”

Tapi Pak Zein dan om Janu tidak mendengarkan. Kedua orang tetua itu bertatapan, terlalu banyak rindu dendam di antara mereka yang kini meledak terpicu oleh amarah. Ki keduanya menyala hebat. Pasukan JXG dan SSX berkumpul di belakang Pak Zein untuk mengepung om Janu dan Nanto. Jagal, Hantu, dan Rogo sang Barakuda semua siap di tempat.

Tapi tak lama kemudian, pasukan QZK pun datang secara tiba-tiba. Entah dari mana. Para tetua dari Empat Perisai dan Pak Mangku semuanya hadir seperti memang sudah siap jika sewaktu-waktu bom waktunya akan meledak. Syam, Jun, dan X bersiap.

Masuknya pasukan QZK membuat tamu-tamu makin panik.

“Oh? Pasukanmu masuk tanpa permisi? Berniat mengacau pesta pernikahan anakku? Kamu tahu apa artinya ini, Janu?” ancam Pak Zein saat melihat pasukan QZK datang dan om Janu tetap bersikukuh melindungi si Bengal. “Kamu benar-benar akan menghancurkan perjanjian kita hanya demi pemuda busuk itu!? Pemuda yang telah memperkosa anakku!! MEMPERKOSA ANAK KESAYANGANKU!! BAYANGKAN JIKA ITU ANAKMU!!”

“Aku tahu… aku tahu… Mas Bro, tapi keadaannya mungkin tidak segamblang itu. Ini jelas-jelas adu domba.” Om Janu tersenyum sinis sembari menatap tajam Pak Zein. “Aku percaya padanya, beri dia kesempatan. Kita akan lihat siapa sebenarnya yang berdiri di sisi kebenaran.”

Satu orang dengan nyala Ki besar lain kembali mencoba menenangkan om Janu dan Pak Zein. Orang yang paling netral saat itu. “Kalian yakin akan melakukan ini sekarang? Banyak tamu undangan yang ketakutan, banyak orang yang kabur tunggang langgang. Mari berpikir jernih dan lebih bijak. Jangan kacaukan hari bahagia ini sekarang, kekacauan apapun juga akan mengundang tim Garangan karena mereka hadir di pesta ini. Belum lagi lihat di panggung, anak menantu Pak Zein sedang menangis dan ketakutan karena hari bahagianya berubah menjadi kengerian. Aku sih tidak peduli-peduli amat kalian mau apa, aku peduli pada kehormatan kita, pada reputasi kita, pada temanten berdua, dan terutama pada para tamu. Jangan beri kesempatan Ki Juru Martani untuk tertawa karena berhasil mengadu domba kita. Kita semua tahu siapa orang yang paling bajingan saat ini dan dia ada di balik layar itu!”

“Aku tidak tahu siapa orang di balik topeng itu, tapi yang jelas dia orang busuk dan aku akan mengejarnya sampai kelak dia masuk ke liang kubur,” bisik Pak Zein yang menggenggam kepalan tangannya erat-erat. Ia menatap om Janu dengan pandangan mata tajam. “Tapi itu tidak menutup kenyataan kalau anakku telah diperkosa oleh pemuda bajingan ini.”

Nanto yang terdiam masih menatap monitor. Hanna berdiri di belakang si Bengal, berusaha kuat, meski ketakutan setengah mati. Tak jauh dari sana, Nada masih histeris dan harus ditenangkan oleh Ahmad dan Eros. Para tamu undangan mulai menyingkir dari lokasi dan menyebar ke segala penjuru. Karena mereka tahu, pertemuan kekuatan bercampur emosi antara om Janu, Pak Zein, dan om BMW bukanlah hal yang akan berakibat baik untuk kesehatan mereka.

Suara tawa di layar monitor masih tak terhenti, tawa sang penopeng Klana Merah yang terus saja menambah panasnya keadaan di pernikahan yang sudah kacau balau itu. Ki Juru Martani memang benar-benar pantas dijuluki arsitek kekacauan.

Semua kacau.

Semua bingung.

Tidak ada yang tahu harus bagaimana.

Nanto menggemeretakkan gigi dan meremas kepalan. Dia maju mensejajari om Janu dan berhadapan dengan Pak Zein. Untuk pertama kalinya dia bersuara dengan bisikan perlahan, “Saya tahu ini terdengar seperti alasan dan tidak bertanggung jawab. Tapi sungguh sebenarnya saya tidak bersalah. Pada saat itu saya dihip-…”

Awas belakang.

Awas belakang!

Awas belakang!!


Nanto mengerutkan kening, memangnya ada apa di belakang? Bukankah di sana ada Han…

Sblp.

Ada rasa yang aneh di bagian belakang tubuhnya, rasa yang lama kelamaan berubah menjadi sakit yang nyata. Nanto terengah-engah saat tangannya meraih ke belakang, jemarinya menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana. Sesuatu yang…

Ketika Nanto melihat ke jemarinya, ia mengejapkan mata. Merah kental tumpah basah. Ti-tidak mungkin. Itu darah...! Itu darahnya!? Ti-tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi!

Klang!

Satu pisau jatuh berdenting ke bawah. Sebuah pisau besar, sepertinya pisau dapur.

Tangan Hanna bergetar hebat. Ia menatap ketakutan ke arah si Bengal. “A-apa yang baru saja aku lakukan? Apa yang baru saja aku lakukan? APA YANG BARU SAJA AKU LAKUKAN!??”

Nanto menatap gadis itu dengan pandangan yang tak percaya. Tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Darah pemuda itu mengalir. Ia jatuh terduduk. Nanto menatap kebingungan ke arah wanita jelita yang sedang berdiri dengan gamang dan menatapnya dengan pandangan yang tak bisa ia jelaskan. Pemuda itu mengernyit kesakitan.

“Ha-Hanna…?”

“Ma-maafkan a-Aku, Mas… aku tidak tahu… aku tidak tahu… apa yang telah terjadi? Apa yang telah aku lakukan?”

Tubuh Hanna bergetar, ia melihat tangannya sendiri dengan ketakutan. Air matanya mengalir deras. Ia menatap si Bengal dan pisau yang baru saja ia tusukkan. Merah darah menggenang di lantai. Orang-orang yang tadinya hendak menyerang Nanto kini kebingungan.

“Nanto!? Nantooooo!” Om Janu terbelalak melihat kejadian itu, buru-buru ia berusaha menyelamatkan Nanto.

“Nanto!? Nantoooooo!? Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Jangan. Jangan. Jangan. Jangaaaaaan!!” Di kejauhan, Asty berteriak kencang dengan histeris melihat kejadian yang berlangsung teramat cepat itu dan berlari sekencang mungkin saat melihat Nanto roboh. Ibu muda jelita itu mencoba menghampiri si Bengal dengan melewati banyak penghalang. Bahkan seorang Kapten Ri tak kuasa menahannya.

“Mas Nanto!? Mas Nantoooooooooo!!!” Di posisi yang berbeda, Nada juga terkejut dan berteriak dengan kencang saat melihat pemuda itu bersimbah darah. Gadis itu juga siap berlari, tapi tangannya dipegang dengan kencang oleh Rama. Pemuda itu menggelengkan kepala.

“Jangan pergi ke sana.”

“Lepaskan aku.”

“Nada… aku ulangi sekali lagi. Jangan pergi ke sana. Jika masih ada sedikit rasa sayangmu untukku, jangan pergi kesana. Aku tidak apa-apa dengan kejadian di layar monitor tadi. Aku tidak… maksudku aku marah, sangat marah, dan emosi. Tapi kita pasti bisa memperbaiki hubungan kita. Aku akan… dia tidak akan…”

“Lepaskan aku!” Nada mendesis marah. Ia menyentakkan tangan Rama. “Aku tidak peduli kamu mau ngomong apa dan menahanku karena apa. Tapi aku tidak akan diam saja melihat Mas Nanto kesakitan seperti itu! Lepaskan aku sekarang juga!”

“Nada… kalau kamu pergi ke sana, maka hubungan kita akan…”

“LEPASKAAAAAN!” Nada mengangkat tangan Rama dan menggigitnya.

“Aaaaaduuuhh!” Rama menarik tangannya dengan kesakitan. Ahmad dan Eros saling berpandangan dan keduanya mengangkat bahu. Mereka memegang pundak Rama.

Nada segera memanfaatkan momentum itu untuk berlari ke arah si Bengal.

Di saat Asty dan Nada berlari mendekati si Bengal, Hanna jatuh terduduk di hadapan Nanto. Air matanya mengalir deras. Ia berulangkali menggeleng kepala, lidahnya kelu tak dapat bicara, mulutnya terbuka tanpa suara. Tangannya bergetar tapi ia seakan tak bisa apa-apa.

“A-aku tidak tahu apa yang telah aku… Mas…. Maafkan aku, Mas… aku tidak tahu…”

“Nanto, kamu tidak apa-apa?” om Janu memegang pundak si Bengal dan mencoba melihat apa yang baru saja dilakukan Hanna. Pakaian yang sudah memerah dan darah yang mengalir membuat semua orang panik. Om Janu membuka bajunya dan mengikat bagian tubuh Nanto yang terluka. “Tekan dan tahan di sini, Le. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Pak Mangku! Pak Mangkuuuuu!!”

Sendiko dhawuh.” Pria tua itu mendatangi om Janu dengan sigap.

“Siapkan mobil. Kita bawa dia ke rumah sakit.” Om Janu menatap layar yang masih menampilkan senyuman menyeramkan dari topeng Klana Merah, “Bajingan…”

Om BMW juga menatap geram ke layar, “jangan-jangan ini juga ulahnya? Apakah gadis ini termasuk jaringannya? Dia sudah menebar telik sandi ke semua kelompok termasuk JXG, QZK, dan Dinasti Baru! Siapa sebenarnya orang tengik itu? Bajingaaaaan!”

Om Janu tidak ambil pusing, ia menatap Pak Zein. “Ini belum berakhir. Ingat baik-baik! Ini belum berakhir! Sejak awal njenengan selalu menekanku seolah-olah aku ini sampah dan tidak mau mendengarkan ucapanku sekalipun. Sepertinya memang njenengan menganggapku rendah. Baiklah kalau begitu! Ingat Mas Bro, QZK selalu membalas tuntas! Kami selalu membalas tuntas!”

Om BMW menutup jalur antara om Janu dan Pak Zein. “Sekali lagi saya mohon. Mas Janu dan Z, kalian berdua tahu apa yang terbaik. Redakan emosi kalian.”

Om Janu dan Pak Mangku dibantu oleh Asty dan Nada yang tiba-tiba saja berkumpul segera membantu membawa Nanto menuju ke arah mobil. Tangis kedua wanita jelita itu pecah ketika melihat si Bengal mengerang kesakitan dan bersimbah darah.

Nanto tersengal-sengal. “Hkkkkghh… hkkkghhh…”

“Nanto… Nanto… Nanto… kamu tidak apa-apa kan? Kumohon kamu tidak apa-apa…” Asty sesunggukan melihat si Bengal dan mengelus-elus pipinya. “Kamu harus baik-baik saja… kamu pasti tidak apa-apa… Aku mohon… kamu tidak apa-apa…”

“Mas Nanto… Mas Nanto… jangan tinggalkan aku, Mas… jangan tinggalkan aku…” Meski berlinang air mata, Nada masih tetap memeriksa dengan khawatir luka si Bengal berulang-ulang kali dan memastikan ikatan baju om Janu kencang. Ia juga membantu Nanto menekan luka. “Aku ikut kamu, Mas… aku ikut kamu…”

Hanna yang gemetaran buru-buru berdiri untuk ikut menghampiri om Janu yang bersiap membawa Nanto. Suasana sangat kacau, semua orang masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Sebelum Hanna sanggup berdiri dan menghampiri Nanto, satu tangan menahan bahu gadis itu.

Nanto sempat melihatnya.

Tangan si Bengal mengarah ke Hanna. “Ja-jangan… jangan… di-dia tidak bersalah…”

Tapi tangan Hanna sudah ditelikung ke belakang oleh satu sosok perkasa. Gadis itu tidak akan bisa kemana-mana lagi. Saat menoleh ke belakang, Hanna melihat Kapten Ri menahan laju geraknya sembari menunjukkan lencana kepolisian. “Kamu ikut kami, Mbak.”

Hanna menatap sang komandan Tim Garangan dengan pandangan mata kosong, lalu menunduk, dan mengangguk pasrah.

Nanto yang dipandu keluar oleh om Janu tidak bisa menghentikan kepergian Hanna yang dibawa pergi oleh Kapten Ri.

“Bu-bukan dia… bukan salah dia… jangan…” Nanto tak sanggup menghentikan siapapun.

Di kejauhan, Rama hanya bisa berdiri terdiam karena ditahan oleh Ahmad dan Eros. Ia menggemeretakkan gigi sembari mengepalkan tangan menatap tingkah Nada yang seperti lebih peduli pada Nanto daripada dirinya. Rama menatap ke arah si Bengal dengan pandangan mata sengit. Pemuda itu bersumpah, jika hari ini si Bengal masih bisa hidup, maka dia akan memastikan akan menuntaskan nasibnya nanti di rumah sakit nanti. Orang yang telah merebut hati Nada itu harus mati di tangannya! Tidak ada yang boleh mendapatkan Nada kecuali dirinya!

Di bagian lain, Pak Zein dengan kesal hanya bisa pasrah saat menatap kepergian om Janu dan Nanto. Ia tahu pasti ia masih punya etika saat membiarkan pemerkosa anaknya itu pergi, terlebih saat melihat Nada ternyata begitu mempedulikannya.

Tapi urusan ini jelas belum berakhir dan baru dimulai.

“MAS JANU!” teriak Pak Zein.

Om Janu terhenti sejenak untuk menatap ke belakang.

“SEMUA PERJANJIAN KITA BATAL! KAMI AKAN KE UTARA!”

Om Janu mendengus dan meludah. “Seperti aku peduli saja apa omongan njenengan. Datanglah dengan segenap kekuatan. Akan kami sambut.”

Saat suasana sedemikian kacau balau, terdengar suara menggelegar memenuhi ruangan yang carut marut. Suara Ki Juru Martani yang berselimutkan misteri terdengar, “Dengan ini, saya juga ikut pamit. Mudah-mudahan semuanya diberikan kesehatan dan semoga kita dapat berjumpa kembali di lain waktu. Pesta yang sungguh menyenangkan dan meriah, mungkin kapan-kapan saya bisa diundang secara resmi. Pasti akan saya berikan kejutan-kejutan berikutnya. Arrivederci, do svidaniya, au revoir, TTFN, sampai kita bertemu lagi di sepanjang jalan kenangan. Buat Mas Ahmad dan Mbak Meisya, selamat menempuh hidup baru. Jyahahahaha.”

Saat Pak Zein membalikkan badan untuk mengucapkan sesuatu, ia sudah terlambat - layar sudah berubah menjadi gelap. Lenyap sudah sosok sang pengacau dari monitor. Lenyap sudah sosok sang arsitek kekacauan. Kesakralan dan kemeriahan pernikahan anaknya hancur dengan kehadiran Ki Juru Martani – sang tamu tak diundang. Kesucian anak kesayangannya hilang oleh ulah pemuda bajingan dan urusannya dengan om Janu kembali pecah seperti bertahun-tahun lalu.

Demi langit dan bumi, Pak Zein pasti akan mencari orang bertopeng Klana Merah itu dan mencarinya sampai dapat! Tidak peduli wilayah selatan, tengah, atau utara! Bahkan jika perlu mengarungi samudera dan membelah gunung sekalipun!

Suara tawa yang terngiang menjadi pemicu emosinya.

“Jagal, Hantu, Barakuda.” Panggil Pak Zein.

Ketiga anggota Anak Panah JXG itu pun menjura.

“Jagal dan Barakuda, kalian bagi tugas. Satu ke utara, satu ke tengah. Pastikan kita mendirikan pos untuk penempatan pasukan, dan tentunya kirim anggota kita di sana. Terutama sekali, Kirim SSX ke utara. Sudah saatnya kita menyatukan kota.” Pak Zein lalu menatap Hantu. “Kamu… pastikan pemuda busuk itu selamat dan sehat dari lukanya. Beri obat paling manjur karena aku ingin dia sehat lagi dengan cepat.”

Jagal mengernyitkan kening, “Maaf… kenapa Hantu harus melakukan itu, Bos? Bukankah akan lebih baik kalau pemuda itu sekarat dan…”

“Tidak,” Pak Zein menatap keluar dengan geram, “kalau ada yang akan membunuhnya, itu adalah aku. Bukan orang lain dan tidak dengan cara seperti ini. Sudah saatnya Inti Angin Sakti berdiri jumawa di atas Kidung Sandhyakala. Aku tidak peduli apakah dia dilindungi oleh QZK sekalipun. Aku akan menghancurkan semua penghalang. Orang yang telah memperkosa Nada tidak pantas hidup, apapun alasannya. Tapi harus aku yang mencabut nyawanya. Harus aku yang menyaksikan pandangan mata orang yang sudah hilang semua harapan dan cita-citanya, sebagaimana dia melakukannya padaku. Paham?”

Jagal dan sang Barakuda mengangguk, mereka ikut apapun keputusan Pak Zein.

Hantu terkekeh dan mengangguk.





BAGIAN 7 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 8


no quote
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 7
SERIBU BINTANG






“Kekacauan melahirkan kehidupan. Ketertiban melahirkan kebiasaan.”
- Henry Adams






“Ahmad dan Meisya.”

Nada membaca nama yang tertera di kartu undangan sang kakak. Ia berdiri santai sembari menyandarkan tubuhnya di tepi bingkai pintu. “Kalau nama kedua mempelai nyambung – kesannya jadi terdengar enak sewaktu diucapkan. Kebetulan nama Mbak Meisya cocok sama namamu, Mas. Nyambung. Aku suka bacanya. Untung pakai nama asli ya. Coba pakai nama panggilan - pasti ga pas. Cuplis dan Meisya. Wes gak nyambung, Mas.”

Halah. Berisik wae dasar terwelu.”

“Tapi bener lho, Mas. Selain hati… kayaknya yang paling penting dalam hubungan berpasangan apalagi pernikahan – baik si cewek maupun cowok harus klop, keduanya harus nyambung. Seirama, se-tune, satu server.”

Haish. Ngomong apaan sih? Ga usah nambah-nambah pusing, Ndut. Aku sedang banyak urusan ini.” Ahmad biasa memanggil sang adik dengan panggilan sayangnya ke Nada, si Ndut. Bukan karena Nada bertubuh ekstra, tapi karena sewaktu masih kecil dulu Ahmad suka mencubit pipi chubby Nada yang dianggapnya mirip seperti tomat merah yang gendut. “Minta tolong Papa nanti ditemenin selama acara ya, Ndut. Biar Mama juga tidak kerepotan ngurusin katering. Bagi-bagi tugas lah.”

Tapi Nada tidak mendengarkan dan malah menanyakan hal lain lagi.

“Gimana rasanya nikah, Mas? Beneran sudah siap ya? Kemarin waktu ijab kabul kan sempat ngulang dua kali. Apakah itu sebuah pertanda ketidaksiapan? Huuu, payah. Payah si Cuplis. Huu.” Nada cekikikan melihat Ahmad yang sedang sibuk di depan cermin sembari merapikan baju yang nantinya akan dia kenakan di acara ngunduh mantu.

“Set dah! Kalau ga mau dimintain tolong, keluar aja gih! Ganggu aja dari tadi! Ini udah mau dimulai acaranya nih! Banyak prosesi aneh-aneh. Jangan ganggu konsentrasiku!”

Satu kepalan besar dengan lembut mengetuk kepala Nada. “Jangan ganggu si Ahmad, Nad. Dia kan kalau lagi serius selalu tegang begitu. Kamu juga iseng amat sih.”

“Hihihi,” Nada ketawa renyah saat kakak sulungnya datang. “Habis si Cuplis onii-chan paling bisa digodain kalau pas lagi tegang begini, Mas Ey.”

“Woy! Awas aja kalau besok gantian kamu yang nikahan, bakal aku ancur-ancurin venue-nya” amuk Ahmad protes.

Nada dan Eros pun tertawa.

Eros - Kakak tertua Nada dan Ahmad datang sembari menggendong anak bungsunya yang baru berusia dua tahun. Cowok kecil itu mengenakan pakaian bayi yang mungil dan lucu dengan motif batik yang apik, seperti ibunya yang juga seorang wanita yang modis. Nada pun segera mengambil alih dan menggendong sang dedek.

“Aduduh lutuna dedek. Dedek lutuna pake batik. Aduduh gemesna…” Nada dan si keponakan langsung akrab. Bocah mungil itu tertawa-tawa bercengkerama dengan sang tante. Nada melirik ke kanan dan kiri. “Mbak Ve kemana, Mas?”

“Ada di depan baru ngurusin katering bantuin Mama. Biasalah, suka rempong kalau urusan begituan. Takut kurang lah, takut berantakan lah, takut kualitasnya turun lah… macam-macam. Aku ga ngerti dan takut ganggu, jadi kesini aja. Liatin si Ahmad kebingungan.”

“Iya nih, Mas.” Ahmad cemberut sambil terus menerus merapikan bajunya – seperti tidak nyaman meskipun terlihat gagah, “gerah beud pake beginian. Biasanya pakai kaos santai pake jeans. Meisya nih yang suka ada-ada saja.”

“Salah sendiri,” cibir Nada. “Udah ketauan kemarin ijab kabul sama resepsi sekali aja udah selesai. Eh, malah pakai ngunduh mantu apaan ribet. Tidak efektif dan tidak efisien. Boros. Huu… payah si Cuplis.”

Ngunduh mantu adalah sebuah prosesi yang mungkin hanya ada di kalangan Jawa. Istilah ngunduh mantu terdiri dari dua kata: yang pertama ngunduh artinya memanen atau panen, sedangkan yang kedua mantu artinya menantu. Acara ngunduh mantu ini biasanya diadakan setelah pernikahan atau ijab kabul sudah dilangsungkan. Acara ini digelar karena orang tua pengantin pria ingin mengadakan pesta dan mengundang tamu-tamu kenalan, saat anak mereka membawa pulang sang istri atau pengantin wanita untuk tinggal di rumah pengantin pria.

Seringkali acara ngunduh mantu dipandang boros karena seakan-akan mengadakan pesta pernikahan berulang. Kenapa bisa dibilang boros bisa dibilang tidak? Alasan yang utama adalah karena sebenarnya acara pernikahan dalam adat Jawa dilakukan oleh keluarga dari pihak perempuan, maka ngunduh mantu akan dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki dan ini tidak urgent. Karena acara ini sebenarnya adalah acara tambahan maka sebenarnya tidak terlalu penting dan bukan kewajiban yang harus dilaksanakan.

“Biarin, weeek.” Ahmad menjulurkan lidahnya. “Kan yang sponsorin Papa, jadi aku ngikut aja apa maunya Papa. Kalau kamu kan maunya sederhana? Ya udah, mari kita semua berdoa mudah-mudahan besok nikahan si Nada acaranya sederhana saja cukup di KUA, terus pulang makan nasi bebek sekeluarga, nyemil kwaci, terus udah selesai, pulang ke rumah masing-masing.”

“Dih, segitunya amat! Ga mau!”

“Katanya sederhana? Katanya mau efektif dan efisien? Ya udah kayak gitu! Cocok tuh kan acaranya simpel begitu? Namanya juga sederhana. Lagian emang ada yang mau sama kamu, Ndut? Pede banget mau nikahan.“

“Ga mau! Ga mau! Ga mau! Enak aja. Adalah yang mau! Cuplis jelek!”

“Makanya jangan suka iseng. Buruan gih tanyain ke si Rama. Kenapa dia belum halalin kamu sampai sekarang. Buruan dilamar sebelum ilang.”

“Idih, kan aku yang belum mau. Dia sih udah kebelet.”

“Jangan kelamaan ditunda-tunda, ntar kamu diculik Kakek Sugiono baru tahu rasa…” Ahmad mengetuk-ngetuk dagunya tanda berpikir, “eh… iya ya? Kan akhir-akhir ini kamu diculik ya? Jangan-jangan ada Stockholm Syndrome sama si penculiknya? Hiiy. Najong si Ndut. Hiiiy. Masa sama Kakek Sugiono… hiiy.”

“Mas Eyooooooos!” Nada keluar manjanya, “Itu Mas Ahmaaaad!”

Sang Dedek dalam pelukannya malah tertawa-tawa.

Tapi Eros bukannya membantu Nada malah balik bertanya pada sang adik bungsu, “Memangnya bener Nad? Si Rama masih belum lamar kamu sampai sekarang? Awas ntar lepas lagi kayak yang terakhir kemarin. Kalau aku lihat-lihat sih secara penampilan si Rama lumayan, orangnya juga sopan. Gagah, tenang, ada sifat mengayomi, ngemong, sama keluarga juga sudah oke. Papa Mama kayaknya cocok. Nunggu apalagi? Nunggu kamu selesai kuliah?”

Nada hanya mengangkat bahunya. “Ga tau lah, Mas. Aku belum bisa ngomong banyak. Ada sesuatu yang masih belum nyambung, Mas.”

Ahmad lagi-lagi mencibir, “Si Ndut kepincut cowok lain, Mas. Ketahuan tuh lagaknya begitu. Dasar wanita yang tidak setia. Liat aja nanti pasti dikutuk jadi batu.”

“Eh? Beneran, Nad?”

“Jangan percaya sama mas Cuplis, Mas. Dia akhir-akhir ini suka makan jamur sama minum sarsaparilla. Pasti sekarang juga lagi keracunan mushroom. Sebentar lagi kulitnya pasti berubah jadi biru dan dia berubah jadi Smurf. Banyak sebar hoax tidak baik untuk kesehatan.”

“Tapi gimana sewaktu disekap RKZ kemarin? Kamu tidak diapa-apain kan? Papa pasti hancurin kelompok itu kalau sampai kamu kenapa-kenapa. Aku juga bakal turun ke gelanggang. Benar-benar kurang ajar mereka! Harus diselesaikan sampai tuntas! Aku tidak mau mereka jalan-jalan di kota dengan bebas setelah mencelakai kamu.”

Wajah Nada memerah, dia menggeleng. “Ti-tidak, Mas. Semua aman kok. Aku tidak apa-apa.”

“Yakin?”

Nada mengangguk.

“Bohong, Mas Eros. Coba tanya ke dia… siapa cowok yang namanya Nanto.” Ahmad cekikikan.

“Eh! Si-siapa yang…? Maksudku kok bisa…? A-anu…” Nada terbelalak. Kok… kok Mas Ahmad tahu!? Nada pun jadi salah tingkah. Bagaimana mungkin kakak keduanya bisa tahu nama mas Nanto?

“Siapa Nanto, Nad?” Eros pun menatap sang adik dengan pandangan menyelidik. “Selingkuhanmu? Kamu selingkuh dari Rama? Jangan bikin Papa Mama pusing ngurusin kamu lagi lho ya. Terakhir kali ngurusin masalah asmaramu, Papa Mama mesti jungkir balik pontang panting. Jadi siapa Nanto?”

“Mas Ahmaaaaad!”

Ahmad tersenyum jumawa, Eros bertanya-tanya.

Rama yang mengenakan batik tiba-tiba saja muncul di tempat itu sembari menyapa kedua kakak Nada. “Mas Eros, Mas Ahmad. Untuk tata sound dan dekorasi panggungnya apakah sudah siap untuk…” Rama kebingungan saat melihat ketiga kakak beradik tengah berdiri berjajar dalam posisi yang tidak santai. “Eh? Ada apa ini? Kok rasa-rasanya suasananya menegangkan seperti ini?”

Nada meneguk ludah, menatap kedua kakaknya, dan juga Rama.

“Nganu… aku bisa jelaskan…”





.::..::..::..::.





Nanto berjalan perlahan memasuki gedung.

Di sampingnya, Hanna memeluk lengan si Bengal dengan lembut.

Keduanya berjalan memasuki area resepsi dengan langkah yakin. Nanto mengenakan kemeja batik warna coklat, Hanna mengenakan kebaya dengan warna yang senada. Meski tidak bermotif couple, tapi seirama. Pertama mereka memasukkan amplop ke dalam kendi sumbangan, kedua Hanna lantas menuliskan nama mereka berdua di buku tamu, dan ketiga setelah menerima kenang-kenangan, keduanya berjalan masuk.

“Seharusnya kamu datangnya sama Kinan, Mas. Kenapa sama aku?” tanya Hanna sembari menebar senyuman. Hatinya berbunga-bunga karena dapat menghadiri pesta pernikahan dengan pemuda yang sangat ia cintai.

“Kenapa memangnya? Tidak apa-apa juga, kan?” ujar Nanto sedikit ketus.

“Kok gitu sih ngomongnya? Memangnya kenapa? Mas berantem sama Kinan?”

Si Bengal mendesah dan menggelengkan kepala, “Tidak juga. Seandainya saja kami cuma berantem pasti aku bakal meminta maaf. Tapi ini tidak ada kabar apapun. Aku sudah mencoba menghubungi dia berulang-ulang kali, tapi tidak pernah diangkat. Dia juga tidak pernah aktif dimana-mana, WA pun tidak. Kinan seperti lenyap ditelan bumi. Sejak sudah tidak lagi berada di rumah sakit dia menghilang begitu saja, aku tidak tahu harus mencari dia kemana.”

“Iya katanya, ada yang jemput dia ya, Mas?”

“Mungkin keluarganya memang tidak mengijinkan dia bertemu denganku lagi…”

“Mas…” Hanna menepuk lengan Nanto. Meski hatinya terganggu karena Nanto masih juga memikirkan Kinan saat bersamanya, tapi Hanna tahu apa yang harus dilakukan – dia tahu Mas Nanto masih mengharapkan Kinan. “Aku yakin Kinan pasti lebih memilih bersamamu. Percayalah. Kalau saat ini memang dia tidak bisa ditemui, berikan sedikit waktu… aku yakin kalian pasti akan bertemu lagi.”

Nanto mengangguk.

Hanna tersenyum. Ia menepuk pundak si Bengal.

By the way, Mas kelihatan ganteng kalau pakai batik begini. Eaaaaa.”

“Kamu juga cantik banget pakai kebaya. Eaaaaa.”

“Hihihi. Jadi setiap hari aku pakai kebaya aja kali ya? Biar dibilang cantik terus. Tumben-tumbenan nih soalnya. Biasanya mau pakai baju apa aja ga ada komen.”

“Lah, buat apa dikomen kalau sudah sempurna?”

Wajah Hanna memerah.

“Eaaaaa.” Nanto tertawa.

Kedua orang itupun melangkah menuju panggung pelaminan. Suasana ramai dengan banyaknya tamu-tamu yang datang, tapi meskipun ramai suasana masih sangat terkendali. Nanto melirik ke kanan dan kiri, dia tidak mengenali orang-orang JXG, tapi mereka sepertinya berjaga-jaga di setiap sudut, mudah dikenali dari seragam batik yang mereka kenakan. Lagu Beautiful in White mengalun dinyanyikan oleh band yang berdiri di samping mimbar pelaminan.

“Mas Nantooooooooooo!!”

Terdengar panggilan kencang yang membelah suara musik yang terdengar. Seorang gadis berparas ayu berlari kecil menyambut kedatangan si Bengal dan Hanna sebelum mereka naik ke mimbar pelaminan. Seorang gadis jelita yang mengenakan baju pesta tipe kimono dengan warna pastel merah muda dan biru. Rambutnya disanggul ke atas, rapi dan sederhana. Tidak terlalu berlebihan, tidak terlalu mencolok, tapi apik. Karena kulitnya yang putih bersih, warna kimono itu pun mengkomplemen keindahan sang dara, sungguh cantik jelita.

“Mas Nan…” suara panggilan itu terhenti ketika menyadari si Bengal tengah bergandengan dengan seorang wanita muda. “…to.”

Nanto menatap kehadiran gadis jelita itu dengan senyuman, Hanna menatap gadis itu dengan tatapan mata setajam silet.

“Nada! Halo halo!”

Nanto tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyalami Nada. Tapi gadis itu justru nekat untuk mendatangi si Bengal. Setengah memeluk - lalu mengecup pipi kanan dan kirinya. Nanto sedikit kaget karena tiba-tiba saja disambut seperti itu oleh Nada. Terasa agak… spesial? Walaupun sebetulnya lumrah-lumrah saja sih menyambut kawan dengan cara seperti itu, bukan?

Hanna menarik tubuh Nanto sehingga Nada hampir saja kehilangan keseimbangan. Kini giliran Hanna yang mengulurkan tangannya, ada senyum sinis di bibirnya. “Halo. Kenalin, aku Hanna.”

Nada tersenyum manis – sedikit dibuat-buat. “Halo juga. Aku Nada.”

“Ah, jadi ini Mbak Nada ya? Terima kasih sudah mengundang kami ke pesta pernikahan kakaknya Mbak Nada,” ujar Hanna dengan nada senyuman dingin sembari memengang lengan kanan Nanto dengan erat. “Berkat Mbak Nada Saya akhirnya diajak oleh Mas Nanto untuk datang. Sudah pasti saya tidak ingin ketinggalan datang di acara semegah ini. Meski sudah berkali-kali datang ke gedung pertemuan paling besar di kampus negeri, tapi baru kali ini saya merasa acara dilangsungkan dengan sangat megah. Sekali lagi terima kasih.”

“Sama-sama.” Nada membalas juga dengan senyuman dingin dan memegang lengan kiri Nanto tanpa hendak mengalah. Masing-masing meneguhkan posisi. Kedua gadis itu saling bertatapan, saling berpandangan, dan saling memperkirakan langkah masing-masing.

“Mudah-mudahan menikmati sajian ala kadarnya dari kami,” ujar Nada berbasa-basi.

“Pasti. Setelah Mbak Nada pergi untuk mengurus urusan pernikahan yang tentunya sangat banyak, kami pasti akan menikmati hidangan yang ada,” Hanna memberikan kode supaya Nada melepaskan tangannya dari Nanto. “Kami juga belum bersalaman dengan pengantin.”

“Baiklah.” Nada cemberut sembari melepas tangannya dari lengan si Bengal, “Tapi aku pasti akan mencarimu, Mas. Jangan pulang sebelum kita bertemu lagi ya…”

“Tentu.”

“Janji?”

“Janji.”

Nada melangkah pergi dan melambaikan tangan. Sekarang giliran Hanna yang cemberut.

“Kenapa?” tanya si Bengal yang menyaksikan perubahan di wajah Hanna.

“Auk ah.” Hanna mencibir.

Nanto hanya bisa garuk-garuk kepala karena bingung. Tak ingin berlama-lama, Hanna pun menyeret si Bengal untuk naik ke panggung pelaminan. Paling tidak mereka harus menghormati tuan rumah dengan mengucapkan selamat. Di sebelah kiri Ahmad dan Meisya yang sudah berdiri, adalah pihak orang tua pengantin pria yang saat ini sedang mengadakan acara ngunduh mantu – tak lain dan tak bukan sang pimpinan tertinggi kelompok selatan – pria yang berjuluk Raja Selatan, Nazaruddin Zein dan pasangannya. Mama Nada menyambut ramah kedatangan Nanto dan Hanna.

Hanna tersenyum dan menyalami Mama dan Papa Nada.

“Selamat, Tante.”

“Terima kasih yaaaaa.”

“Selamat, Om.”

“Terima kasih.”

Giliran si Bengal yang menyalami Mama Nada sembari tersenyum, dan akhirnya Pak Zein.

“Selamat, Tante.”

“Iyaa, terima kasih.”

“Selamat, Om.”

Pak Zein tidak mengucapkan apa-apa. Ia menggenggam tangan si Bengal dengan erat. Pandangan matanya tajam menatap sang lawan bicara. Ada suasana yang berbeda ketika Nanto menjabat tangan ayah Nada itu - aura seorang jawara papan atas, aura seorang petarung kelas A+.

“Jalak Harnanto, akhirnya kita bertemu juga,” ucap Pak Zein dengan ringan tapi tegas. “Aku mendengar banyak hal tentangmu, anak muda – dari Simon, Nada, dan rekan-rekanku yang lain. Kami dari JXG juga tidak pernah ketinggalan mendengar kibaran nama harummu dari selatan. Sebuah prestasi luar biasa di usiamu yang masih sangat muda. Aku berterima kasih karena berkat Aliansi, Nada sudah kembali pulang dengan selamat tak kurang suatu apa. Sebuah prestasi juga karena telah mampu menggulingkan KSN dan juga RKZ. Sejauh ini kiprahmu luar biasa.”

“Sama-sama terima kasih, Om. Saya juga sudah banyak mendengar tentang…”

Sebelum Nanto melanjutkan ucapannya, Pak Zein membungkukkan badan ke depan, ia berbisik pada si Bengal. “Pastikan jalan kita tidak berseberangan ataupun saling silang, karena aku tidak akan pernah segan-segan.”

Nanto agak terkejut saat mendengar pernyataan yang seperti ancaman itu, tapi ia lantas tersenyum. Bagaimanapun juga Aliansi dan JXG memang bukan kawan akrab. “Tidak masalah, Om. Pastikan juga tidak ada orang selatan yang dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan hal-hal di luar kewajaran di utara. Kalau semua tenang, semua senang. Tidak ada huru-hara, semua akan baik-baik saja.”

“Sepakat.” Pak Zein mengangguk dan mempersilakan Nanto menemui Ahmad dan Meisya.

Setelah Hanna menyalami kedua mempelai, Nanto menyalami kakak Nada. “Selamat ya, Mas dan Mbak,” ucap Nanto sembari tersenyum. “Selamat menempuh hidup baru. Mudah-mudahan langgeng sampai akhir masa.”

“Ini… Nanto ya?”

“Eh… iya, Mas.” Nanto tersenyum. Kok bisa tahu ya? Mereka kan belum pernah bertemu sebelumnya.

Hanna juga jadi bertanya-tanya, sebenarnya seakrab apa sih Mas Nanto dengan keluarga Nada? Kok mereka semua sepertinya mengenal Nanto tanpa pernah bertemu sekalipun. Selama ini Mas Nanto sepertinya juga sangat jarang dan hampir tidak pernah menjelajah ke selatan menurut sepengetahuan Hanna.

“Hahahaha,” Ahmad menepuk-nepuk pundak si Bengal, “Ya ya ya… jadi ini ya yang namanya Nanto. Kapan-kapan di-update lah feed instagram-nya. Kasihan Nada cek setiap hari tidak pernah ada update terbaru, hahahaa. Padahal dia sering banget ngigau nama kamu kalau tidur. Hahahaha…”

“Eh? Hahaha… kok bisa ya… hahaha…” Nanto tertawa canggung, ia berkeringat dingin. Saat melirik ke samping, Hanna sudah melaju kencang tanpa mempedulikan Nanto yang tertinggal. Nanto pun terpaksa terburu-buru menyalami Meisya dan kedua orang tua Meisya untuk menyusul Hanna.

Hanna ternyata langsung menuju ke gubuk siomay dan mengambil sepiring kecil yang sudah disediakan. Nanto menarik segelas minuman bersoda dan menyusul sang wanita jelita.

“Apaan sih kabur aja…” Nanto mensejajari Hanna.

“Sebodo amat.” Hanna mencibir.

“Lah kok gitu?”

“Habisnya sebel. Siapa lagi sih cewek itu? Kok kayaknya adaaaa terus cewek-cewek yang deketin Mas Nanto. Kirain cuma Kinan sama aku doang. Dasar buaya, lihat jidat mulus dikit aja langsung buas. Apa ga cukup kami berdua, Mas?”

“Hahahaha.” Nanto meneguk ludah, tidak mungkin juga menceritakan hal yang sesungguhnya terjadi antara dia dan Nada bukan? Belum lagi soal Asty. Waduuuh. Bahaya, Bos. “Nada itu cuma teman saja. Tidak kurang tidak lebih. Aku mengenalnya karena dia juga kuliah di UAL. Dulu almarhum sahabat Nada kerja juga di The Donut’s Pub.”

“Udah? Cuma begitu aja?”

“Udah. Habis gimana lagi? Kita emang cuma temenan kok. Suwer.”

Mbelgedes. Akrabnya kalian beda.”

“Hanna…” Nanto buru-buru mensejajari gadis yang sedang cemburu itu dan menggandeng tangannya. “Aku ke sini sama kamu, apa ya itu masih belum cukup membuktikan kalau aku…”

“Nah ini dia!!” terdengar suara ramah yang terdengar akrab di telinga si Bengal dan Hanna. Tak perlu menunggu lama karena kemudian muncul wajah sumringah om Janu, Pak Mangku, Syam, Jun, dan X. Saat om Janu mendekati Nanto, keempat anggota QZK memisahkan diri.

Jun dan Nanto sempat saling pandang, tapi lantas Jun berjalan menjauh bersama X. Nanto seperti pernah melihat pemuda itu. Tapi di mana ya?

“Gimana-gimana kabar kalian? Hahahaha. Sudah lama banget tidak ketemu ya.” Om Janu merangkul Nanto dan Hanna yang sudah ia anggap sebagai anak-anak sendiri. “Ga menyangka akan ketemu kalian di sini.”

“Waaah! Apa kabar, Om? Om Sehat?” Hanna senang bertemu kembali dengan om Janu yang sempat mengajarinya dasar-dasar ilmu beladiri tangan kosong saat mereka ikut dengan Nanto ke desa. Hanna sangat menghormati laki-laki tua yang masih gagah itu.

“Sehat… sehat… kalian bagaimana? Sehat kan?”

“Saya juga sehat, Om.” Hanna tersenyum. “Kalau si playboy kunyuk ini ga tahu deh sehat atau tidak. Siapa tahu kalau sama saya dia ga sehat, sama cewek lain dia sehat-sehat saja. Ga tahu ya, Om.”

“Hanna…”

Om Janu tertawa melihat romansa anak muda di depan mereka. Hmm, tapi kok sepertinya ada yang kurang? Ada bumbu yang belum dicelupkan ke dalam wajan. “Kok kalian cuma berdua saja? Mana Kinan? Biasanya kemana-mana bertiga.”

“Nah itu, Om. Sudah sejak kemarin kami tidak mendengar kabar dan tidak bisa menghubungi dia. Kemarin sih dia sempat masuk rumah sakit tapi sekarang sudah keluar dijemput keluarganya.” Hanna menjelaskan, “Kinan masuk rumah sakit gara-gara ulah si playboy kunyuk satu ini juga sih.”

“Haeh. Hanna…”

“Hahaha, oh gitu. Mudah-mudahan dia tidak apa-apa dan semuanya baik-baik saja.” Om Janu mempererat rangkulannya di leher Nanto, sang pimpinan QZK itu pun menggoda si Bengal dengan suara yang sedikit dikencangkan supaya Hanna mendengarnya. “Jadinya kamu itu pilih yang mana sih? Kok semua-semuanya mau diembat? Hahahaha. Wes jan bocah.”

“Nah bener itu, Om. Marahin aja dia, Om.” Hanna mendapat angin segar. “biar kapok dia, Om. Semua-semuanya mau diembat, Om. Kemaruk, Om. Serakah, Om.”

“Hanna…” Nanto protes lagi.

“Iya… iya… aku cuma becanda, Mas.” Hanna mencibir dan mendesah. “Jangan ditambah lagi ya. Sudah cukup segini saja.”

Nanto mengangguk lemas.

Om Janu tertawa.

Terdengar suara teriakan dari atas panggung, teriakan gembira dan suara tawa yang khas. Rupanya om BMW datang dengan beberapa anggota Dinasti Baru. Dia berpelukan dengan Pak Zein dan tertawa-tawa saat memberikan salam pada Ahmad dan sang istri.

Saat melihat Nanto dan om Janu yang berdiri tak jauh dari panggung pelaminan, om BMW pun berjalan menyambangi sambil menebarkan senyum. “Halo, Mas Boy! Hahahahaha. Gimana kabarmu? Wah wah… gandengan baru lagi? Cah ganteng nggandeng cah ayu. Cocok lah. Hahahaha.”

Wajah Hanna memerah.

“Mas Janu! Mumpung kita ketemu nih. Ada yang harus saya bicarakan empat mata sama sampeyan. Ada waktu sebentar?” tanya om BMW.

“Oh, boleh… boleh…” om Janu pun segera beralih dari Nanto dan Hanna. “Kalian nanti jangan langsung pulang ya. Kita cerita-cerita dulu, oke?”

“Siap, Om. Kebetulan saya juga ada sesuatu yang ingin saya tanyakan ke Om.” Nanto mengacungkan jempolnya, tentu saja dia tidak bisa mengatakan perihal Reynaldi secara blak-blakan. Dia harus dengan sopan mengajukan permintaan terkait hal tersebut, dan permintaan itu tidak bisa dilakukan dengan gegabah. Harus menunggu waktu yang tepat karena mengungkit isu yang sensitif.

“Mas… aku ke belakang dulu ya.” Hanna juga pamit.

“Oke. Aku tunggu di sini.”





.::..::..::..::.





Pagi yang indah, matahari bersinar cerah, sinaran terang tergelar dari atas ke bawah. Membanjiri atap hingga ke sudut-sudut rumah. Semarak suasana pun tumpah ruah. Masyarakat menyambut hari dengan saling menyapa ramah, bergerak keluar mencari upah. Berangkat bekerja tanpa keluh kesah, ada yang ke kantor, ada yang ke sawah.

Burung-burung gereja tadinya hinggap di atas atap, tepat di ujung, menatap ke bawah, menyaksikan manusia lalu-lalang dan menganggap dunia seakan menjadi milik mereka. Burung-burung gereja itu berkicau seperti tertawa. Mentertawakan manusia karena makhluk yang berasa dewa itu mungkin lupa – sebelum ada mereka dan mungkin setelah ada mereka, bumi bisa jadi masih tetap akan ada, berubah secara struktur, berubah secara kimiawi, berubah secara geografis, berubah selamanya, tapi masih tetap akan ada. Karena manusia yang pongah hanyalah debu yang berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.

Shinta sang anggota Tim Garangan, Simon Sebastian, Amar Barok, Don Bravo, dan Deka keluar dari dalam mobil. Mereka berlima berdiri di depan sebuah rumah tua kosong yang memiliki gaya bangunan ala-ala masa kolonial. Sepi, seram, dan singup. Sangat mudah membayangkan satu rentetan cerita horor untuk menggambarkan rumah seram itu. Untung saja mereka datang ke sini pagi-pagi.

“Sepi sekali – sepertinya benar-benar tidak berpenghuni, kekekek. Yakin tidak salah rumah kan?” ujar Don Bravo sembari mendekati pintu gerbang rumah tua kosong itu. Sebuah pintu pagar besi geser yang sudah berkarat. Dengan sekali loncat, Don Bravo sudah pindah ke bagian dalam halaman rumah. “Yakin rumah ini yang menjadi tempat penyekapan orang tua Shinta? Tidak nampak ada tanda-tanda kehidupan. Bukannya menyelamatkan mereka, kita malah uji nyali di rumah hantu. Kekekekek. Apa ya nama julukan yang biasa disematkan ke rumah ini oleh anak-anak? Rumah tomat?”

“Rumah kentang.” Simon membenahi ucapan Don Bravo.

“Ya, itu.”

Masing-masing dari kelima orang yang datang segera menyusul Don Bravo masuk ke halaman rumah kosong itu untuk memeriksa. Tepat seperti apa yang diperkirakan Don Bravo, mereka tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Don Bravo memindai dari sisi ke sisi dinding rumah yang ada. Dengan cekatan ia lantas naik ke atas atap untuk mengamati.

Shinta menatap ke arah Amar Barok dengan pandangan bertanya-tanya. “Apakah benar ini rumahnya? Ini kelihatannya cuma rumah kosong biasa. Takutnya kita salah masuk ke rumah orang.”

“Rumah ini memang sepertinya terbengkalai. Tidak ada yang merawat gedung dan kebunnya. Tapi kalau ditanya apakah rumah ini markas RKZ atau bukan? Bisa ya bisa tidak. Tidak yakin juga karena informasinya tidak gamblang. Seperti yang sama-sama kita tahu, semua hal yang berkaitan dengan RKZ bukanlah ilmu pasti. Tapi kita bisa memulai dari tempat ini untuk mencari petunjuk.”

Simon, Deka, dan Shinta menatap ke arah Amar Barok. Petunjuk? Petunjuk dari mana?

Melihat tatapan menyelidik mereka, Amar tahu sebagai anggota dan panglima baru dia harus membuka diri agar mendapatkan kepercayaan dari seluruh anggota Aliansi. “Aku dapat info terpercaya dari Dinasti Baru kalau tempat ini dulu sering dipakai nongkrong anak-anak RKZ. Dari mana mereka tahu? Ada beberapa saksi mata dari Dinasti Baru yang mengatakan kalau motor anak-anak RKZ sering diparkir di sini. Tapi mereka tidak mengatakan kalau kondisi di sini memang benar-benar mengerikan.” ujar Amar sembari menggerutu saat mengamati halaman rumah – dia benci jika mereka buang-buang waktu hanya untuk memeriksa ranah yang salah, “Sebenarnya aku juga tidak suka dengan tempat ini. Pertama, lokasinya terlalu dekat dengan pusat kota dengan banyak labirin sehingga memudahkan target melarikan diri jika memang benar ada mereka di dalam. Kedua, lokasi ini cukup dekat dengan kantor pihak yang berwajib, apa iya RKZ bikin markas di sini? Cukup diragukan. Ketiga, hawa kawasan ini lumayan aneh. Seperti ada sesuatu yang tidak beres di sini.”

Amar tidak salah, rumah yang saat ini sedang mereka kunjungi berada di jajaran blok yang tak jauh dari sebuah SMA swasta khusus wanita di tengah kota – tak jauh dari jembatan GodongLayu. Ada beberapa blok rumah dengan landskap luas dan berarsitektur kolonial di tempat ini.

“Aku tidak bisa merasakan tenaga Ki dari dalam ataupun di sekitar rumah kosong ini,” tambah Deka sembari mengamati rumah yang sedang mereka periksa. “Tapi Mas Amar benar, ada sesuatu di sini yang tidak biasa. Apa benar tempat ini jadi salah satu rumah singgah PSGxRKZ? Kondisinya seperti sudah tidak pernah dijamah manusia sejak satu milenia ke belakang. Jangan-jangan informan Dinasti Baru salah.”

“Informanku jarang salah, tapi bukan berarti tidak pernah salah. Akan selalu ada salah tebak dan salah prasangka karena mereka bekerja berdasarkan intuisi.” Amar kembali mendengus, hidungnya bergerak-gerak. Ada bau aneh yang tercium dari rumah kosong itu, bau yang tidak menyenangkan, bau hangus.

Shinta menggelengkan kepala, “Aku jadi ragu-ragu apakah rumah ini benar-benar markas PSGxRKZ atau bukan. Jangan-jangan hanya rumah kosong biasa. Apakah sebaiknya kita pergi saja dari sini dan mencari di lokasi lain?”

Simon menyentuh pundak Amar, menempatkan telunjuknya di bibir, lalu menggoyangkan jari telunjuknya ke arah pintu depan rumah tua. Ia berbisik. “Ada seseorang.”

Don Bravo melihat kode dari Simon. Ia pun turun ke bawah.

Shinta dan Deka juga menyadari kode dari Simon. Mereka bersiap sembari menatap ke arah Amar.

“Sebenarnya bukan tidak ada nyala tenaga Ki,” bisik Amar Barok kepada keempat orang disampingnya. “Ada - tapi kecil sekali karena sedang tidak diaktifkan. Hampir-hampir tidak terasa. Berhati-hatilah kalian, siapapun yang menjaga rumah ini, dia punya kekuatan yang disembunyikan.”

Kelima orang itu pun bersiap. Dengan sengaja mereka berjalan menuju ke pintu depan rumah. Langkah mereka dilakukan sepelan mungkin.

Pintu depan rumah tua itu akhirnya terbuka. Hanya terbuka sedikit saja.

Secara tiba-tiba Amar menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya melejit dengan kecepatan tinggi, melompat jauh ke pintu depan. “Siapa ka-…!?”

Ka-Booom!

Tubuh Amar Barok terpelanting ke belakang hampir empat meter jaraknya hanya dengan satu sentakan tenaga dalam yang tiba-tiba saja menyala dengan hebatnya. Amar Barok mendarat dengan aman, tapi sempat terseret ke belakang sejauh dua meter lagi.

Gila! Siapa yang sanggup menghentak tubuh Amar Barok dengan sebegitu mudahnya? Amarah sang panglima Aliansi jelas terbakar. Amar menggeram. Ia mengambil kuda-kuda Raungan Singa Emas. Siapapun yang ada di belakang pintu masih belum terlihat. Ruangan di dalam rumah terlampau gelap.

Shinta duduk bertongkat-lutut, menyentuh tanah dengan satu tangan, dan merenggangkan jari-jemari tangan yang satu lagi. Bibir mungil gadis cantik itu berkomat-kamit merapal dan satu rentetan sentakan gelombang tenaga terhempas dari telapak tangan mungilnya.

Bsss! Bsssshh! Bssssh!

Bkkk! Bkkk! Bkkkk!


Seluruh serangan Shinta gagal ketika satu tangan keluar dari dalam pintu untuk menahan serangan itu. Hanya satu tangan. Sentakan energi dari Shinta ditahan hanya dengan satu tangan saja!

“Hah!? Gagal!?” desis Shinta. Siapa orang yang sanggup menahan serangannya?

Tak ingin ada serangan balasan, Deka segera menutup jalur menuju ke arah sang dara, dan melindunginya dengan Perisai Genta Emas.

Amar menganggukkan kepala, “Deka, tetap lindungi Shinta. Simon ke kanan. Don Bravo ke kiri. Kita kepung dia.”

Terdengar suara kekeh tawa berat dari balik pintu yang kini semakin terbuka. Tidak ada apa-apa yang nampak di dalam rumah ketika pintu terbuka. “Kenapa juga harus dikepung? Aku akan keluar. Sudah lama sekali aku tidak mandi darah. Sepertinya saatnya sudah tiba.”

Seseorang akhirnya melangkah keluar dari dalam rumah.

Seseorang bertubuh raksasa.

Kelima orang di halaman rumah kosong mulai bersiap-siap dan memasang kuda-kuda. Siapa lagi orang ini? Ukuran tubuhnya luar biasa. Tingginya mungkin hampir mencapai dua meter dan ia sangat kekar menyeramkan dengan wajah seperti keturunan India. Jenggot tebal memenuhi dagu hingga sampai ke dada, alis mata tebal menutup hampir memenuhi kening, rambut dikuncir ala Brahmana. Pakaiannya pun sederhana, sandangan dengan desain yang mirip karate-gi berwarna abu-abu gelap.

“Pagi-pagi begini kalian datang tak diundang dan mengganggu ketenangan rumahku. Masih doyan hidup kenapa berbuat onar?” Tiba-tiba saja, lonjakan energi dahsyat keluar dari tubuh sang pria bertubuh raksasa. Bukan hiperbola, dia benar-benar bertubuh tinggi besar mirip genderuwo.

Don Bravo dan Simon saling berpandangan.

“Akuma Gouki?” bisik Don Bravo.

“Braun Strowman?” balas Simon.

Keduanya jelas sedang mengambil referensi dari game dan sports entertainment untuk menggambarkan sosok pria bertubuh besar yang saat ini sedang berdiri jumawa di teras rumah. Seorang raksasa yang menyeramkan. Campuran antara Hulk, Blanka, Zangief, dan Juggernaut.

Amar mengernyitkan dahi.

Tunggu dulu… orang ini kan…?

Amar Barok terbelalak saat menyadari siapa orang itu. “SEMUANYAAA! MUNDUUUUR!!”

Sang pria bertubuh raksasa berjalan santai di teras rumah sembari menarik sebuah kursi rotan. Ia meletakkan kursi itu di tepat di tengah-tengah teras, lalu duduk dengan tenang sembari menatap kelima orang yang sedang kebingungan di halaman rumah yang tadinya mereka anggap kosong.

“Lo-Lonjakan energi ini!!” Deka terperanjat ketika menyadari ada kekuatan Ki maha dahsyat yang dikeluarkan oleh sang pria tinggi besar di hadapan mereka. “Siapa dia, Mas? Kenapa ada orang sekuat ini?”

“Bangsat! Tak kusangka dia masih hidup! Dia adalah salah satu dari petarung kelas A+ selain om Janu, Pak Zein, Bos BMW, dan kemungkinan Ki Juru Martani,” desis Amar Barok dengan wajah yang berkeringat dan mimik wajah cemas. Ini kali pertama seumur hidup Deka melihat kakaknya seperti itu. Amar Barok… ketakutan? Masa iya sih?

Amar melanjutkan, “Dia menghilang setelah perang besar yang terakhir. Banyak yang mengira dia sudah mati – tapi tidak kusangka dia masih hidup! Ini benar-benar gawat! Kita harus menyingkir dari sini! Cepat jangan membantah!”

“Petarung kelas A+?” Deka mengernyitkan dahi.

Istilah kelas petarung sudah lama tak digunakan, dulu istilah ini digunakan untuk memetakan kekuatan para jawara, namun entah kenapa kemudian ditinggalkan sejak perang besar usai. Para bos kelompok besar yang sudah tentu memiliki kemampuan linuwih berada di jajaran A+, mereka yang tidak memiliki kekuatan Ki dan hanya bertarung mengandalkan tangan kosong berada di kelas F. Sebagai gambaran, kalau dinilai dari kekuatannya yang sekarang, Nanto mungkin ada di tingkatan A-, tapi orang bertubuh raksasa di depan mereka ini adalah salah satu dari jawara tingkat A+. Kekuatannya sudah jelas sangat mengerikan.

“Siapa dia, Mas?” tanya Deka lagi.

“Rahu.” Amar Barok menggemeretakkan gigi. “Tidak tahu nama asli atau nama panjangnya. Tapi dia dipanggil Rahu Kala. Ada yang menyebutnya lebih lengkap dengan sebutan Rahu sang Batara Kala, ada juga yang menyebutnya Rahu sang Dewa Iblis. Apapun julukannya, dia bencana yang berjalan di antara manusia. Aku tidak menyangka dia sekarang berafiliasi dengan PSGxRKZ. Dulu dia tidak ikut kelompok manapun karena tidak pernah menginginkan jabatan, tidak di JXG tidak pula di QZK, apalagi Dinasti Baru yang dulu masih jadi komplotan anak bawang. Kalau ada yang bisa mengobrak-abrik tatanan kota selama ini, maka Rahu-lah orangnya. Kami semua mengira dia sudah lenyap dari dunia ini di masa perang besar yang terakhir.”

“Apa yang kalian cari di sini, orang-orang sial? Apa sudah cari mati sepagi ini? Mungkin kalian bersedia jadi tumbal setelah aku bertapa bertahun-tahun lamanya?” Rahu tersenyum. Senyum menyeramkan terlukis di bibirnya. Pria menyeramkan itu mengucapkan satu rapalan. Bibirnya yang menghitam berkomat-kamit. “Wong bener soyo tenger-tenger, wong salah soyo bungah-bungah.”

Rahu mengibaskan satu tangan.

Saat itu tiba-tiba saja ada hempasan tenaga api besar yang menyentak ke depan dengan bentuk serangan seperti bulan sabit. Satu hentakan tenaga panas dahsyat yang membuat empat tubuh terlempar ke belakang. Shinta, Don Bravo, Deka, dan Simon keempatnya terlontar ke belakang. Mereka mengerang kesakitan di pelataran rumah.

Satu-satunya yang bertahan hanyalah Amar Barok.

“Oh?” Rahu memiringkan kepalanya dan menatap Amar Barok. “Bisa bertahan? Menarik.”

Tangan Amar Barok disilangkan, Ki-nya menyala terang. Perisai Genta Emas diaktifkan. Amar mencoba berbicara dengan sopan untuk berhati-hati, “Kami tidak ingin mengganggu anda, Rahu. Kami hanya ingin tahu apakah orangtua gadis ini ada di dalam atau tidak. Orangtuanya disekap oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan melihat kekejaman mereka, kami mengkhawatirkan kondisi orangtua gadis ini. Mohon pencerahannya jika memang orang yang ingin kami selamatkan ada di dalam.”

Rahu tersenyum kembali dan melirik ke arah Shinta yang masih tergeletak di tanah. Pria yang duduk di teras itu lalu menatap kembali ke arah Amar Barok. “Kalau ada kenapa, kalau tidak ada juga kenapa? Enak saja kalian main suruh-suruh! Tidak ada sopan-sopannya! Datang kesini tanpa permisi, lalu masuk ke rumah tanpa izin! Sekarang kalian berharap dengan memberikan alasan yang tidak bermutu itu aku akan memberikan kalian akses untuk masuk ke dalam. Begitu?”

“Sebelumnya mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu istirahat. Apa yang Rahu sampaikan tadi betul, kami memang sudah seenaknya masuk karena berpikir tadi kalau rumah ini rumah kosong. Untuk itu kami minta maaf. Kami akan segera meninggalkan tempat ini seandainya…”

“Untuk apa minta maaf?” Rahu menyandarkan badannya ke kursi. Senyumannya tidak hilang dari bibir. “Tidak perlu minta maaf. Aku akan jujur. Kalian mencari orang? Sebenarnya memang ada orang di dalam. Memang ada orang-orang yang sedang kusiksa di dalam dan kukuliti untuk kujadikan daging mie ayam. Tapi apakah mereka orang yang kalian cari?”

“A-Apa?” Amar Barok terbata-bata.

Rahu merogoh kantong celananya, mengeluarkan sesuatu, dan melemparkannya ke depan. Dua benda menancap di tanah yang berada di dekat Shinta. Sang pria bertubuh raksasa yang tengah duduk di teras mengedipkan mata pada sang gadis jelita. “Kamu mengenali itu?”

Shinta mengejapkan mata, pertama ia tak menyadari karena benda itu terbungkus plastik bening, tapi kemudian ia hampir meloncat karena terkejut! Suara teriakannya tertahan.

Itu potongan jari tangan manusia!

Swsh.

“Hkkkghhhh!”

Tubuh Don Bravo tiba-tiba saja terangkat. Lehernya dicekik oleh sang monster yang mengangkatnya hanya dengan satu tangan saja, tubuh sang anggota setia DoP itu mulai meronta-ronta tanpa hasil. Bokken yang biasa ia bawa-bawa melesat dengan cepat ke kepala Rahu.

Satu pukulan dari Rahu melesat kencang. Begitu cepatnya sehingga melebihi kecepatan serangan tongkat kayu dari Don Bravo. Ia memukul pundak pemuda itu. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Lima. Enam. Tujuh. Tangan Don Bravo seperti lumpuh. Bokken-nya terjatuh. Don Bravo seharusnya berteriak kesakitan, namun ia tidak sanggup melakukan apa-apa karena kencangnya cekikan Rahu. Matanya melotot karena napasnya semakin sesak.

Hkkkkkgh!

“Ucapkan selamat tinggal pada teman-temanmu.”

Amar Barok, Deka, dan Simon menatap gemas ke arah kekejaman yang tengah dipertontonkan oleh sang batara Kala. Mereka tahu mereka pasti akan terlambat melakukan apapun, tapi ketiganya bangkit untuk menolong Don Bravo.

Rahu Kala tertawa kecil.

Krghk.





.::..::..::..::.





“Sudah lega?” Nanto yang tengah makan sate tertawa saat melihat wajah Hanna sekarang sudah jauh lebih cerah.

“Hihihi. Udah, Mas.” Hanna tertawa, “paling males kalau pakai pakaian begini kebelet ke toilet. Susah bukanya. Hihihi.”

“Hmm. Eh, tapi kok keluarnya dari pintu dapur?”

“Eh iya ya? Ga tau sih, Mas. Tadi ditunjuk ke situ sama yang jaga.” Hanna duduk di samping si Bengal. Nanto pun menghunjukkan satu piring sate untuk si gadis jelita itu. “Eh? Udah diambilin? Hihihi. Makasih ya, Mas.”

“Iya, sama-sama.”

“Senang deh kalau Mas Nanto perhatian gini. Aku jadi…”

Nanto terdiam.

“Mas?”

Nanto masih terdiam. Hanna melirik ke arah sang pemuda idaman. Pandangan mata Nanto menatap ke depan, seperti terkejut melihat sesuatu. Tapi saat Hanna menelusuri arah mata si Bengal, ia tidak melihat sesuatu yang janggal ataupun aneh. Jangan-jangan si Nada lagi? Hanna semakin penasaran, tapi tidak… ia tidak melihat Nada. Entah di mana dia berada.

Lalu apa yang membuat si Bengal terpaku terdiam seribu bahasa?

Hanna tak menyadari, bahwa sebenarnya tatapan mata Nanto bertemu dengan tatapan mata sosok seorang wanita jelita lain yang juga hadir di pesta pernikahan itu. Bukan Nada, bukan. Melainkan satu sosok dari masa lalu si Bengal, sosok wanita yang pernah menjadi perwujudan kesempurnaan seorang wanita bagi Nanto. Sang bulan di malam yang gelap, sang penerang di hari yang cerah.

Jauh di ujung sana, berseberangan dengan tempat duduk Nanto dan Hanna, ada seorang wanita yang duduk dengan sopan, anggun dengan mengenakan kerudung yang indah, dan nampak terlalu cantik di tengah kerumunan tamu, padahal mengenakan pakaian yang sederhana.

Wanita jelita yang menatap balik ke arah si Bengal.

Asty.

Seperti halnya Nanto, Asty juga melihat dan memandang si Bengal dari kejauhan. Angan si Bengal melayang jauh ke sebuah masa yang kini hanya hadir dalam memori.

Nanto melesakkan kemaluannya dalam-dalam. Ia bergerak kencang, menumbuk, menggiling, menusuk, menyodok, maju mundur penuh tenaga tanpa ampun. Liang cinta Asty senikmat itu rasanya. Nanto tak berhenti bergerak, maju mundur, putar, maju mundur, putar, dilakukan berulang bagaikan menggiling dan menumbuk, tak istirahat, tanpa jeda, terus bergerak tanpa henti.

“Dek Asty? Dek Asty…?” satu tangan lembut menepuk pundak sang ibu muda jelita yang kini telah menjadi janda itu. “Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

“Eh… eh? Ti-tidak kok, Mas Ri. Tidak apa-apa. Aku hanya… hanya tiba-tiba saja teringat seseorang.” Ketika Asty melihat ke arah seberang, Nanto dan Hanna sudah tak lagi ada di sana. Wanita cantik itu pun menundukkan wajahnya yang berkeringat, ruangan ini entah kenapa jadi panas seketika. Kenapa… kenapa di saat-saat seperti ini sosok Nanto hadir kembali?

“Apakah sosok itu… almarhum suamimu?” Kapten Ri yang duduk di samping Asty merasa bersalah karena telah mengajak Asty datang untuk menghadiri pesta pernikahan. Tentu berat bagi Asty untuk datang ke sebuah acara yang akan mengingatkannya pada sang suami tercinta. “Maaf kalau mungkin aku mengajakmu terlalu dini untuk hadir ke acara seperti ini. Aku memang tidak peka.”

Asty tersenyum dan menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Mas. Tapi mohon bersabar ya, aku tidak bisa secepat itu meneguhkan hati dan menguatkan diri. Aku tahu maksud Mas baik untuk mengajak aku keluar rumah supaya tidak terbayang-bayang terus dan melamun sepanjang hari. Tapi aku butuh waktu untuk melalui dan memproses semua ini. Hatiku masih tak menentu, Mas.”

Kapten Ri tersenyum, “Saya paham, Dek. Mungkin ini terdengar kurang ajar dan tidak pada tempatnya, tapi saya harus jujur. Sejak pertama kali Dek Asty datang untuk kasus pembunuhan almarhum, saya sudah bingung dengan hati saya sendiri. Karena saya langsung terpesona melihat ketegaran dan kekuatan Dek Asty dalam menghadapi kasus yang sedemikian mengerikan. Lalu ketika kemarin ada serangan mendadak dari seorang durjana, Dek Asty juga menghadapinya dengan tabah… saya merasa…”

Asty menepuk punggung tangan Kapten Ri. “Terima kasih atas kedatangannya, Mas Ri. Saya merasa terlindungi. Tanpa Mas Ri, saya mungkin sudah di-rudapaksa oleh durjana satu itu. Entah kenapa dia terus menerus mengincar saya.”

Kapten Ri mengangguk dan tersenyum. Ia merasa menjadi pria paling beruntung di pesta pernikahan itu karena dapat duduk berdua dengan seorang wanita yang sejelita Asty.

Asty menggoyang gelas cocktail yang ia minum, masih ada nanas dan pepaya tersisa di sana. Pandangannya lurus ke depan, mencari satu sosok pemuda yang mengisi mimpi-mimpinya selama ini. Kapten Ri mungkin tidak tahu, walaupun ia kehilangan sosok suami, hatinya sebenarnya sudah berlabuh ke seorang pemuda yang tiba-tiba saja muncul bersanding dengan wanita lain hari ini.

Cemburu? Sudah pasti.

Asty memejamkan mata. Ada memori indah terpatri yang tersimpan dalam sanubari dan tak akan pernah hilang apapun yang terjadi. Ia menyentuh dadanya sendiri, merasakan detak jantung yang kian memburu tanpa henti.

Asty membalas ciuman Nanto, bibir mungilnya bergerak lembut menjelajah dengan manja di bibir sang pemuda bengal. Ciuman yang hangat, basah, saling menghendaki, saling menginginkan, saling membutuhkan. Bibir beradu, lidah terkait, bertempur dalam pencarian kenikmatan menuju tingkat pemuncak.

“Mas? Mas Nanto?”

Nanto terkesiap, ia tersadar dari lamunannya saat berjalan bersama Hanna. “Eh, eh iya?”

“Tuh kan melamun terus. Bayangin siapa lagi? Nada ya? Sebel ih.”

Ternyata Nada berdiri tak jauh dari mereka. Ia sedang menggandeng seorang pemuda tampan dan gagah dan bercakap-cakap dengan pasangan berbatik. Mungkin saudara atau handai taulan.

“Ish. Mana mungkin aku bayangin dia. Tuh lihat sendiri Nada sudah punya pasangan. Aku tidak akan mengganggu dia lah. Lagipula tahu sendiri dia anaknya siapa, aku sih tidak pengen nyari penyakit.”

“Ah, Mas Nanto kan playboy cap koyo cabe. Mau udah punya pasangan atau belum asal bening pasti disundul gan. Buktinya dulu aku juga diganggu kan? Aku kan dulu juga sudah punya pasangan.” Ledek Hanna yang pura-pura ngambek sembari ketawa-ketawa kecil. “Kalau sudah begini, mendingan memang aku cepet-cepet aja pergi ke luar negeri.”

“Lah… kok gitu…” Nanto tertawa. “Beneran nih mau ninggalin aku sendirian?”

“Ada Kinan.”

“Memang.”

“Ada Nada.”

“Iya ya?”

“Ada yang lain-lain juga.”

“Begitu ya.”

“Ih, kok ga ada perlawanan sih, Mas?”

“Hehehehe… abisnya dari tadi kamu begitu melulu. Sudah jelas-jelas aku datang ke pesta pernikahan ini sama kamu, bukan sama yang lain. Kok ya masih cemburu aja sih.”

“Iya ya?”

Tiba-tiba lampu gedung padam. Mungkin hanya untuk sesaat, hanya beberapa detik saja. Posisi ruangan yang agak jauh dari jendela membuat suasana di dalam menjadi gelap gulita. Orang-orang langsung berteriak karena terkejut, terutama kaum wanita dan anak-anak.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam.

Lampu kembali menyala.

Musik kembali berputar. MC pun mengucapkan maaf karena adanya gangguan teknis dan meminta para tamu untuk kembali menikmati hidangan yang sudah disediakan. Desahan lega terdengar dari segala penjuru.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam.

Musik tiba-tiba saja kembali terhenti. Ada apa lagi kali ini?

Layar monitor yang tadinya menayangkan sajian band pengiring, tiba-tiba saja menyala putih. Ada sosok orang yang duduk di tengah layar, memegang tongkat akar.

“Selamat siang. Apa kabar semuanya?”

Seluruh pandangan teralih ke arah layar monitor raksasa yang ada di tengah ruangan. Obrolan terhenti, kasak-kusuk padam, keributan terjeda, wajah-wajah keheranan bemunculan. Para pimpinan kelompok mengerutkan kening tanda siaga. Apa-apaan ini?

Om Janu bertatapan mata dengan om BMW yang berdiri di sampingnya, keduanya lantas melirik ke arah Pak Zein yang ada di panggung pengantin. Mereka saling pandang dan saling menerka. Tapi tidak ada jawaban. Ulah siapa ini? Siapa yang berani mengganggu pesta-nya Pak Zein?

Seseorang dengan topeng Klana Merah tampil di layar monitor, topeng klasik itu menyeringai sadis seakan mentertawakan para pengunjung yang tengah menatap dengan keheranan, ketakutan, dan kebingungan. Ini masalah serius.

“Jangan takut dan jangan risau. Santai saja, silakan lanjut mencicipi hidangan. Saya tidak muncul di layar besar ini hanya untuk mengacaukan pesta pernikahan putra terkasih Pak Zein dalam rangka ngunduh mantu. Saya tidak sebengis itu. Saya masih punya nurani…” ujar pria bertopeng Klana Merah, “…tapi bohong. Jyahahahahaha.”

Pak Zein menyiagakan pasukannya. Om Janu dan om BMW menegang, sebagian pasukan mereka juga bersiap di belakang pimpinan masing-masing – dan di luar gedung. Nanto berdiri dan fokus pada layar, tangannya erat memegang jemari Hanna. Kapten Ri mempersiapkan ponselnya, ia langsung menghubungi mabes Tim Garangan.

“Tahukah anda semua kalau di pesta ini telah hadir empat pimpinan besar kelompok preman yang telah memecah belah kota kita tercinta? Mereka tidak menginginkan apa-apa kecuali penguasaan wilayah. Hanya itu saja yang mereka pikirkan. Hanya mereguk keuntungan dari orang-orang biasa seperti kita semua. Mereka menjadi kaya dan berkuasa, setelah menginjak-injak kita – saya dan kalian. Mereka menjadi kaya dan berkuasa, setelah merampas kemerdekaan kalian. Seenaknya sendiri petentengan di tengah jalan minta sumbangan, merampas rumah kita, meniadakan rejeki kita, dan memutus rantai persaudaraan. Mereka melakukan kekerasan tanpa pernah dijerat hukuman dan selalu selamat dari sel yang akan meyekap mereka dalam tahanan. Kita semua… adalah korban.

Kalian semua para tamu tidak percaya? Baiklah, saya hanya ingin berbicara berdasarkan fakta. Jadi saya akan membeberkan beberapa hal yang saya ketahui sehubungan dengan keempat pimpinan,” ucap si penopeng. “Oh iya. Mungkin ada yang belum kenal dengan saya? Sebut saja nama saya Ki Juru Martani. Heheh. Saya berada di balik layar karena peran saya hanyalah remahan peyek teri tak berarti di sudut blek khonggwan. Saya hanyalah debu dibandingkan kejayaan semua tamu dan undangan yang hadir. Itu pula sebabnya saya tidak hadir di acara ngunduh mantu ini… karena saya tidak diundang. Kalau saya tidak diundang, itu artinya, kehadiran saya tidak diharapkan… yang artinya pula, saya hanyalah orang kecil yang tak berarti. Hanya sampah.”

Orang-orang mulai berbincang-bincang. Kasak-kusuk menebak siapa sebenarnya sosok Ki Juru Martani yang mengenakan topeng Klana Merah ini. Suaranya terdengar berat, tenang, penuh perhitungan, dan berwibawa. Sepertinya dia bukan sosok yang main-main.

“Mengherankan bukan? Bagaimana saya yang tidak pernah berbuat kejahatan pada mereka malah tak diundang, sementara orang-orang yang telah membuat kericuhan, menyakiti, dan mencelakai orang-orang terdekat Pak Zein justru diundang! Fakta sudah berbicara!”

Saat Ki Juru Martani berbicara di layar, Jagal mendekati Pak Zein. “Kami tidak menemukan sumbernya. Layar itu dihubungkan dengan koneksi nirkabel, entah di mana source-nya dan dari koneksi yang mana. Satu-satunya jalan adalah mematikan monitornya. Apakah sebaiknya kami take down?”

Pak Zein mengangguk. “Sebelum terjadi kekacauan, alangkah baiknya kalau…”

“Orang yang pertama! Januari Arifin Tjokrokusumo!” Ki Juru Martani menunjuk ke depan. “Janu!”

Mendengar nama om Janu disebut, saat itulah tangan Pak Zein dibentangkan untuk menghentikan langkah Jagal melaju ke depan. Sepertinya dia ingin mendengarkan apa yang akan diungkapkan oleh sang penopeng.

“Bagaimana mungkin orang ini diundang datang? Dia menjadi pembasmi JXQ di masa perang, banyak korban yang jatuh karena ulahnya! Tapi sekarang dia diundang untuk datang! Apa tidak kepikir gimana itu arwah para anggota JXG yang jadi korban, Pak Zein?” Ki Juru Martani melanjutkan lagi, “Om Janu, sang pimpinan tertinggi QhaozKings atau QZK, pria berjuluk Kaisar Utara! Pelindung dan bapak angkat orang-orang terpinggirkan! Memiliki kemampuan A+! Bijaksana dan berpikiran cerdas! Tapi dia tak luput dari noda dan sejarah kelam bagi JXG! Salah satunya adalah…”

Om Janu mendesis geram, “orang ini…”

Syam maju ke depan “Biar saya hancurkan layar monitornya, Bos!”

“Laksanakan!”

Syam melesat ke depan untuk menghancurkan layar, tapi langkahnya terhenti. Ada seseorang yang menghalanginya! “Minggir atau kuhancurkan tulang belulangmu saat ini juga, setan!”

Jagal tersenyum, “aku hanya akan minggir ketika bos Zein mengijinkan. Ini property pernikahan Ahmad dan Meisya. Siapa yang mengijinkan kalian seenak wudel sendiri menghancurkan apapun di tempat ini?”

“Baji…”

Syam meluncurkan pukulan ke arah Jagal. Jagal menghentikan semua pukulan Syam dengan mudahnya. Adu tangan kosong terjadi.

Nalurinya menggelegak, Kapten Ri segera bertindak, ia berlari ke depan untuk menghentikan ulah kedua orang berangasan yang bisa mengacaukan seluruh pesta pernikahan. Saat pukulan dari kedua belah pihak dilontarkan, Kapten melesat untuk menahan laju pukulan lengan kanan Syam dan juga Jagal.

Pukulan tidak sampai ke sasaran. Lengan keduanya ditahan oleh sang Kapten.

“Aku harap semua yang hadir bisa berpikiran jernih dan sadar bahwa saat ini pesta pernikahan sedang berlangsung,” Kapten Ri bersikeras, “Hormati tamu! Redakan emosi kalian semua!”

“Berpacu dalam memori.” Ki Juru Martani tertawa.

Setelah mengucapkan kalimat itu, sosok sang penopeng menghilang, digantikan oleh putaran video yang tidak begitu jelas – karena selain gelap, rekaman itu seperti didapat dari CCTV generasi teknologi lawas. Seorang pria berjalan dengan tenang di belakang sosok pria lain yang tengah berlutut ketakutan, kaki dan tangannya terikat erat oleh tali tambang.

Orang yang ketakutan itu bergetar hebat, wajahnya berkeringat deras, mulutnya diam karena tersumbat. Terlihat orang yang di belakang kemudian berulang kali menendang kepala sang laki-laki yang berada di depannya dengan tendangan yang teramat kuat. Ada muncrat darah terlihat. Ketika orang yang di depan jatuh, dua orang lain datang dan menempatkannya kembali supaya berlutut di depan sang penyerang. Begitu terus berulang-ulang sampai sosok di depan akhirnya tak lagi merespon.

Saat akhirnya berkelebat cahaya, kedua sosok itu akhirnya terlihat jelas. Sosok di belakang adalah om Janu dan sosok di depan adalah seseorang yang dari kejauhan memiliki wajah yang mirip dengan Pak Zein.

“Zul!” Pak Zein mendesis geram.

Jadi selama ini dugaannya benar. Meninggalnya Zul sang adik ternyata ada hubungannya dengan om Janu! Kemungkinan peristiwa di layar itu terjadi bertahun-tahun yang lalu saat perang besar terjadi. Potongan rambut om Janu sudah berbeda sekali.

Sosok terikat di layar kemudian dipegang oleh dua orang yang sejak tadi membantu om Janu. Mereka melepas celananya sambil tertawa-tawa. Om Janu menarik sesuatu dari atas meja, seperti pisau. Ia perlahan-lahan mendekati orang yang diduga Zul.

Para tamu terkesiap. Mereka benar-benar terkejut sampai ada yang terpekik.

Saat itulah layar gelap dan kembali menunjukkan wajah Klana Merah yang terkekeh-kekeh. “Jangan khawatir, Zul tidak meninggal karena om Janu. Heheheh.”

Om Janu mendengus dan berucap cukup kencang – ia maksudkan ucapan itu untuk Pak Zein, “Mas Bro! Jangan percaya dengan video basi itu! Itu peristiwa saat perang besar terjadi! Sudah bertahun-tahun yang lalu! Kita sama-sama melakukan hal yang tidak sepantasnya karena sedang berseteru! Tapi aku tidak membunuh ataupun melenyapkan Zul! Dia masih hidup saat video itu direkam! Lihat saja napasnya masih kembang kempis di situ! Zul sudah pulang dengan selamat!”

Pak Zein geram dan ikut berucap kencang, “Aku tahu, Mas Janu! Kita bicarakan masalah ini lain kali!”

Zul memang tidak lantas mati saat itu, tapi kemudian istri dan anaknya meninggalkannya entah karena apa. Dia jatuh ke dalam depresi dan ahirnya mati setelah minum obat serangga.

“Lihat kan? Apakah pantas orang seperti itu diundang ke pernikahan anak Pak Zein? Setelah dia mengakibatkan adik Pak Zein depresi dan bunuh diri?” ejek Ki Juru Martani. “Luar biasa memang orang-orang yang berkuasa di kota ini. Melupakan hubungan persaudaraan demi pengakuan penetapan penguasaan wilayah tanpa mengundang pertengkaran.”

Sang Klana Merah tertawa-tawa, lalu layar kembali berubah menjadi gelap. Kali ini ada muncul adegan berikutnya. Masih dari rekaman CCTV dan masih tak menampilkan dengan jelas wajah-wajah orang yang ada di sana. Ada gerakan yang hampir tak terpantau kamera, karena hanya menampilkan sebagian tubuh yang sedang bergerak maju mundur di ruangan seperti sebuah gudang. Tak perlu jadi orang pintar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi – adegan senggama ala doggy style.

Beberapa orang tamu kembali terpekik dan buru-buru keluar ruangan, mereka tidak ingin menyaksikan apa yang sedang ditayangkan. Beberapa anak kecil dibawa keluar oleh orangtua mereka.

“Yang berikut ini saya khususkan untuk sang Hantu yang telah banyak berjasa untuk JXG. Hantu selama ini mungkin mencari siapa yang telah mengambil anaknya.” Suara Ki Juru Martani terdengar meskipun layar masih menunjukkan video CCTV, “Padahal jawabannya mudah saja – tapi tak pernah diungkapkan karena adanya konspirasi Pak Zein dan si Jagal dengan orang ini… sang biang prostitusi.”

CCTV itu tiba-tiba saja menampilkan wajah orang yang sedang maju mundur dengan jelasnya.

Bintoro Muji Wiguno. Sang pemuncak Dinasti Baru. Rasa-rasanya banyak hal yang bisa anda jelaskan pada sang Hantu. Termasuk kemana anda membawa bocah yang dilahirkan oleh istri Hantu dahulu. Heheheh.”

Layar kemudian menampilkan wajah Priska – almarhum istri Hantu dan seorang bayi.

Om BMW meludah dan menyeringai. “Kalau memang Hantu bertanya, aku pasti akan menjawab. Aku tidak pernah menyembunyikan rahasia apapun. Kemana anak itu dan apa yang dilakukan akan aku ceritakan panjang lebar. Tapi karena selama ini Hantu tidak bertanya, ya aku tidak perlu menjawab apa-apa. Hahahaha.”

Hantu memiringkan kepalanya sembari menatap layar. Air matanya mengalir, tapi dia hanya bergoyang-goyang aneh seperti biasanya, tanpa ekspresi. Pak Zein, Jagal, dan Barakuda bersiap sedia – seandainya tiba-tiba Hantu mengamuk. Tapi ia tidak melakukannya. Pria berkelakuan ganjil itu tetap diam saja seolah-olah dia tidak paham apa yang terjadi.

“Bagaimana mungkin kalian mengundang orang yang paling bersalah terhadap Hantu? Pria yang paling berjasa mengharumkan nama JXG? Memalukan! Hantu! Kalau kamu berniat masuk PSGxRKZ, kami terima dengan senang hati! Jyahahahahaha.” Ki Juru Martani tergelak.

“Pastikan dia tetap tidak paham apa yang terjadi,” bisik Pak Zein pada Jagal sembari menatap Hantu yang masih bergoyang-goyang aneh.

Sulaiman Seno mengangguk. “Siap.”

“Berikutnya… ada kado spesial untuk Pak Zein. Saya tahu njenengan pasti bertanya-tanya tentang hilangnya Pak Pos sang anggota Empat Anak Panah JXG beberapa hari bahkan minggu belakangan ini. Jangan khawatir, saya telah menemukan beliau.” Ki Juru Martani tersenyum, “Beliau ternyata bersembunyi di…”

Terdengar suara letupan kecil, orang-orang yang berada di dekat meja prasmanan terpekik kaget. Bangunan chocolate fondue raksasa tiba-tiba saja terkuak dan terbuka. Bangunan itu adalah sebuah perangkat mekanis yang mengalirkan arus coklat cair ke sebuah penampung sementara di mana makanan-makanan kecil bisa dicelupkan ke dalam arus cairan coklat. Di bagian tengah bangunan mekanaik itu ada sebuah tabung besar. Entah bagaimana dengan satu ledakan kecil, dasar dari chocolate fondue yang berbentuk tabung itu pun terbuka.

Ketika akhirnya menyadari apa yang ada di sana, orang-orang pun menjerit dan berlarian, mencoba menjauh dari meja prasmanan. Sebagian bahkan muntah-muntah karena tak sanggup menyaksikan. Mereka tadinya sempat mencicipi coklat dari mesin fondue raksasa yang tadinya mereka pikir mengagumkan. Para tamu undangan mulai menangis dan ketakutan.

Bagaimana mungkin benda itu tidak menimbulkan bau yang menyengat?

Ada kepala Pak Pos di tengah-tengah tabung. Melotot menatap ke arah para tamu undangan, dengan coklat menetes di sekujur wajah.

“Hanzo!”

Pria tegap di belakang Pak Zein segera bertindak dengan sigap. Saat ia menganggukkan kepala, beberapa bayangan keluar entah dari mana dan mengamankan kepala Pak Pos. Mereka lantas pergi semisterius kedatangannya. Para tamu berteriak-teriak histeris karena ketakutan, terutama wanita dan anak-anak yang tadi belum sempat keluar.

Pak Zein geram. “Jagal, Barakuda, Hanzo dan semua anggota SSX - kalian bimbing tamu-tamu keluar dari tempat ini. Usagi, bawa Meisya, istri Eros dan anaknya, istriku, besanku, dan siapapun yang ada di panggung ke tempat yang aman.”

Orang-orang yang ditunjuk segera mengangguk dan beraksi. Mereka melesat meninggalkan Pak Zein untuk mengerjakan tugasnya. Satu-satunya yang tinggal hanyalah Hantu yang masih terus berdiri menatap layar – meskipun sekarang hanya nampak gelap di sana. Tentu saja tidak mudah mengeluarkan orang yang teramat banyak dari pintu-pintu yang terbatas. Antrian pun tak bisa dihindari, banyak orang bahkan tidak menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

“Yang terakhir! Saya simpan the best for last. Khususnya untuk kaum muda kita, harapan bangsa. Pimpinan Aliansi yang penuh potensi, Mas Jalak Harnanto! Tentunya Mas Nanto hadir juga di acara ini bukan? Cukup mengherankan kenapa Mas Nanto ini tidak memberikan saya penghormatan karena begini-begini, sayalah yang telah menjodohkan dia dengan putri kesayangan Pak Zein.”

Terdengar suara terkesiap dari para tamu. Pandangan mata segera beralih ke si Bengal dan Nada. Rama dan Hanna ikut kaget.

“Apa maksud orang itu, Nada?” tanya Rama.

Nada menggelengkan kepala, keringatnya menetes deras. Ia tahu pasti sesadis apa Ki Juru Martani. Ia tahu pasti sang arsitek kekacauan itu tidak akan segan-segan melakukan tindakan yang merugikan. “Tidak… tidak… tidak… jangan… jangan…” Nada berteriak kencang, “Papa!! Hancurkan monitornyaaa! Papaaaaa!!”

Di tempat lain, Hanna melepaskan genggaman tangannya pada Nanto. “Mas…? Apa yang dia maksud? Apa yang orang bertopeng itu maksud?”

Nanto terdiam dan menatap monitor. Si bangsat ini… apa yang sekarang dia rencanakan?

Layar berubah. Tak lagi menunjukkan wajah bertutupkan topeng Klana Merah. Terdengar suara desahan, suara penolakan, tangisan, jeritan. Akhirnya layar berubah… menunjukkan adegan persenggamaan yang blak-blakan diputar lengkap dengan suara.

Nada menjerit.

Orang-orang menjerit.

Bukan. Itu bukan adegan persetubuhan dua orang yang saling mencinta. Itu adegan pemerkosaan. Nada yang tengah melawan mati-matian diperkosa oleh seseorang… dan seseorang itu adalah si Bengal.

Nanto menatap layar besar itu dengan pandangan tak percaya. Adegan demi adegan berlalu di depan matanya, tanpa jeda, tanpa henti, tanpa sensor. Semua berlangsung begitu saja dengan cepatnya. Teriakan demi teriakan terdengar. Para tamu langsung menyingkir karena terkejut, sebagian dari mereka memalingkan muka karena malu, segan, khawatir, takut, tapi juga penasaran.

Nada berteriak-teriak histeris, malu luar biasa sekaligus shock.

Rama melangkah mundur dengan tertatih. Ia sama sekali tak percaya adegan yang tengah diputar di layar. Tidak mungkin itu Nada. Tidak mungkin. Nada tidak akan melakukan itu dengan laki-laki lain. Tidak mungkin! Tidak mungkin!

Pak Zein mengayunkan tangannya. “Usagi!”

Sekelebat bayangan hitam melejit dari samping sang pimpinan JXG. Kelebat hitam itu mengeluarkan satu sinar terang dan layar monitor pun mendadak terbelah. Sang bayangan lenyap secepat dia datang. Gerakannya anggun, ringan, dan lincah.

Bsssh!

Pak Zein terbang dari mimbar penganten ke depan. Dengan satu hembusan napas sudah ada di depan si Bengal. Ki-nya menyala, ada angin yang berputar di sekeliling tubuhnya. “Anak muda… rasa-rasanya kamu berhutang satu penjelasan padaku!”

Satu monitor yang diletakkan tak jauh dari monitor pertama kemudian menyala. Sekali lagi adegan demi adegan yang diperlihatkan oleh Ki Juru Martani menimbulkan kehebohan. Masih adegan yang sama, namun kini topeng Klana Merah kembali muncul di layar.

“Nah, bagaimana? Apakah kelak kita akan melihat pernikahan mereka? Sepertinya Pak Zein siap ngunduh mantu lagi. Jyahahaha.” Tawa mengejek terdengar dari layar.

Hanna terkesiap dan menatap layar dengan tak percaya, air matanya terkumpul di ujung pelupuk mata, siap untuk tumpah kapan saja. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Nanto tidak pernah cerita tentang kejadian ini? Kenapa dia berbohong mengenai Nada? Kenapa dia tidak mau jujur dia pernah tidur dengan wanita lain?

Nanto kembali menatap layar monitor yang baru menyala tanpa peduli siapapun. Ia menggemeretakkan gigi sambil menatap sosok laki-laki bertopeng Klana Merah yang tengah tertawa terbahak-bahak tanpa jeda. Tawa yang seakan-akan muncul karena pria bertopeng itu sedang menyaksikan suatu adegan yang sangat lucu.

“ANAK MUDA! JAWAB PERTANYAANKU!!” Pak Zein menggertak si Bengal yang malah terus melihat ke layar monitor, dia paling benci jika ancamannya tidak mendapat tanggapan. Sang pimpinan JXG mengangkat tangannya dan bersiap mengeluarkan angin ribut. Semua orang yang memahami apa yang akan dilakukan oleh Pak Zein makin panik. Suasana semakin tak terkendali.

Satu bayangan berkelebat.

Om Janu menutup jalur Pak Zein dan Nanto.

“Maaf saya harus ikut campur, tapi keponakan saya ini pasti punya alasan dan akan menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Secara moral, dia bukan orang seperti itu. Saya yakin ini jelas-jelas jebakan yang dilakukan oleh bedebah bertopeng merah itu. Mas Bro, mari kita semua berpikir dengan jernih dan membicarakan hal ini dengan baik-baik.”

“Minggir dari hadapanku, Mas Janu. Aku sudah diam saja untuk urusan Zul. Tapi tidak untuk yang satu ini. Ini urusanku dengan pemuda yang telah memperkosa anakku.” Angin di sekitar Pak Zein kini membentuk tornado kecil yang berputar dengan kencangnya, menghancurkan apapun di sekelilingnya. Meja, kursi, piring, gelas, semuanya terlempar dan berserakan. “Aku tidak akan main-main lagi. Kehormatanku sedang dihancurkan. Untuk terakhir kalinya, Janu. MINGGIR!”

Om BMW melesat dan menyambangi keduanya. “Mas Janu dan Z, silakan berpikir jernih. Ini bukan tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Keadaan yang kacau seharusnya ditenangkan, bukan ditambah kacau.”

Om Janu tersenyum dan mengangguk. “Nanto adalah keluargaku dari Trah Watulanang. Anggap saja dia keponakanku. Aku juga anggota keluarga Trah Watulanang, seorang Watulanang tidak akan pernah meninggalkan saudara sedarah untuk dihabisi orang lain. Dari semua orang di sini, barangkali akulah yang paling tahu sifat Nanto seperti apa. Dia tidak akan melakukan hal terkutuk seperti itu kalau tidak ada pemicunya! Kalaupun terjadi, pasti ada alasannya! Jadi Mas Bro, aku tidak peduli apapun ancamanmu, jawabanku sudah jelas. TIDAK AKAN! AKU TIDAK AKAN MINGGIR! MAU MENYENTUH NANTO? LEWATI DULU MAYATKU!”

“Begitu ya.” Suara wibawa Pak Zein terdengar tanpa ampun. “Aku akan langkahi tubuhmu dalam waktu tiga detik saja.”

Om BMW geleng-geleng kepala. “Ayolah kalian berdua…”

Tapi Pak Zein dan om Janu tidak mendengarkan. Kedua orang tetua itu bertatapan, terlalu banyak rindu dendam di antara mereka yang kini meledak terpicu oleh amarah. Ki keduanya menyala hebat. Pasukan JXG dan SSX berkumpul di belakang Pak Zein untuk mengepung om Janu dan Nanto. Jagal, Hantu, dan Rogo sang Barakuda semua siap di tempat.

Tapi tak lama kemudian, pasukan QZK pun datang secara tiba-tiba. Entah dari mana. Para tetua dari Empat Perisai dan Pak Mangku semuanya hadir seperti memang sudah siap jika sewaktu-waktu bom waktunya akan meledak. Syam, Jun, dan X bersiap.

Masuknya pasukan QZK membuat tamu-tamu makin panik.

“Oh? Pasukanmu masuk tanpa permisi? Berniat mengacau pesta pernikahan anakku? Kamu tahu apa artinya ini, Janu?” ancam Pak Zein saat melihat pasukan QZK datang dan om Janu tetap bersikukuh melindungi si Bengal. “Kamu benar-benar akan menghancurkan perjanjian kita hanya demi pemuda busuk itu!? Pemuda yang telah memperkosa anakku!! MEMPERKOSA ANAK KESAYANGANKU!! BAYANGKAN JIKA ITU ANAKMU!!”

“Aku tahu… aku tahu… Mas Bro, tapi keadaannya mungkin tidak segamblang itu. Ini jelas-jelas adu domba.” Om Janu tersenyum sinis sembari menatap tajam Pak Zein. “Aku percaya padanya, beri dia kesempatan. Kita akan lihat siapa sebenarnya yang berdiri di sisi kebenaran.”

Satu orang dengan nyala Ki besar lain kembali mencoba menenangkan om Janu dan Pak Zein. Orang yang paling netral saat itu. “Kalian yakin akan melakukan ini sekarang? Banyak tamu undangan yang ketakutan, banyak orang yang kabur tunggang langgang. Mari berpikir jernih dan lebih bijak. Jangan kacaukan hari bahagia ini sekarang, kekacauan apapun juga akan mengundang tim Garangan karena mereka hadir di pesta ini. Belum lagi lihat di panggung, anak menantu Pak Zein sedang menangis dan ketakutan karena hari bahagianya berubah menjadi kengerian. Aku sih tidak peduli-peduli amat kalian mau apa, aku peduli pada kehormatan kita, pada reputasi kita, pada temanten berdua, dan terutama pada para tamu. Jangan beri kesempatan Ki Juru Martani untuk tertawa karena berhasil mengadu domba kita. Kita semua tahu siapa orang yang paling bajingan saat ini dan dia ada di balik layar itu!”

“Aku tidak tahu siapa orang di balik topeng itu, tapi yang jelas dia orang busuk dan aku akan mengejarnya sampai kelak dia masuk ke liang kubur,” bisik Pak Zein yang menggenggam kepalan tangannya erat-erat. Ia menatap om Janu dengan pandangan mata tajam. “Tapi itu tidak menutup kenyataan kalau anakku telah diperkosa oleh pemuda bajingan ini.”

Nanto yang terdiam masih menatap monitor. Hanna berdiri di belakang si Bengal, berusaha kuat, meski ketakutan setengah mati. Tak jauh dari sana, Nada masih histeris dan harus ditenangkan oleh Ahmad dan Eros. Para tamu undangan mulai menyingkir dari lokasi dan menyebar ke segala penjuru. Karena mereka tahu, pertemuan kekuatan bercampur emosi antara om Janu, Pak Zein, dan om BMW bukanlah hal yang akan berakibat baik untuk kesehatan mereka.

Suara tawa di layar monitor masih tak terhenti, tawa sang penopeng Klana Merah yang terus saja menambah panasnya keadaan di pernikahan yang sudah kacau balau itu. Ki Juru Martani memang benar-benar pantas dijuluki arsitek kekacauan.

Semua kacau.

Semua bingung.

Tidak ada yang tahu harus bagaimana.

Nanto menggemeretakkan gigi dan meremas kepalan. Dia maju mensejajari om Janu dan berhadapan dengan Pak Zein. Untuk pertama kalinya dia bersuara dengan bisikan perlahan, “Saya tahu ini terdengar seperti alasan dan tidak bertanggung jawab. Tapi sungguh sebenarnya saya tidak bersalah. Pada saat itu saya dihip-…”

Awas belakang.

Awas belakang!

Awas belakang!!


Nanto mengerutkan kening, memangnya ada apa di belakang? Bukankah di sana ada Han…

Sblp.

Ada rasa yang aneh di bagian belakang tubuhnya, rasa yang lama kelamaan berubah menjadi sakit yang nyata. Nanto terengah-engah saat tangannya meraih ke belakang, jemarinya menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana. Sesuatu yang…

Ketika Nanto melihat ke jemarinya, ia mengejapkan mata. Merah kental tumpah basah. Ti-tidak mungkin. Itu darah...! Itu darahnya!? Ti-tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi!

Klang!

Satu pisau jatuh berdenting ke bawah. Sebuah pisau besar, sepertinya pisau dapur.

Tangan Hanna bergetar hebat. Ia menatap ketakutan ke arah si Bengal. “A-apa yang baru saja aku lakukan? Apa yang baru saja aku lakukan? APA YANG BARU SAJA AKU LAKUKAN!??”

Nanto menatap gadis itu dengan pandangan yang tak percaya. Tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Darah pemuda itu mengalir. Ia jatuh terduduk. Nanto menatap kebingungan ke arah wanita jelita yang sedang berdiri dengan gamang dan menatapnya dengan pandangan yang tak bisa ia jelaskan. Pemuda itu mengernyit kesakitan.

“Ha-Hanna…?”

“Ma-maafkan a-Aku, Mas… aku tidak tahu… aku tidak tahu… apa yang telah terjadi? Apa yang telah aku lakukan?”

Tubuh Hanna bergetar, ia melihat tangannya sendiri dengan ketakutan. Air matanya mengalir deras. Ia menatap si Bengal dan pisau yang baru saja ia tusukkan. Merah darah menggenang di lantai. Orang-orang yang tadinya hendak menyerang Nanto kini kebingungan.

“Nanto!? Nantooooo!” Om Janu terbelalak melihat kejadian itu, buru-buru ia berusaha menyelamatkan Nanto.

“Nanto!? Nantoooooo!? Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Jangan. Jangan. Jangan. Jangaaaaaan!!” Di kejauhan, Asty berteriak kencang dengan histeris melihat kejadian yang berlangsung teramat cepat itu dan berlari sekencang mungkin saat melihat Nanto roboh. Ibu muda jelita itu mencoba menghampiri si Bengal dengan melewati banyak penghalang. Bahkan seorang Kapten Ri tak kuasa menahannya.

“Mas Nanto!? Mas Nantoooooooooo!!!” Di posisi yang berbeda, Nada juga terkejut dan berteriak dengan kencang saat melihat pemuda itu bersimbah darah. Gadis itu juga siap berlari, tapi tangannya dipegang dengan kencang oleh Rama. Pemuda itu menggelengkan kepala.

“Jangan pergi ke sana.”

“Lepaskan aku.”

“Nada… aku ulangi sekali lagi. Jangan pergi ke sana. Jika masih ada sedikit rasa sayangmu untukku, jangan pergi kesana. Aku tidak apa-apa dengan kejadian di layar monitor tadi. Aku tidak… maksudku aku marah, sangat marah, dan emosi. Tapi kita pasti bisa memperbaiki hubungan kita. Aku akan… dia tidak akan…”

“Lepaskan aku!” Nada mendesis marah. Ia menyentakkan tangan Rama. “Aku tidak peduli kamu mau ngomong apa dan menahanku karena apa. Tapi aku tidak akan diam saja melihat Mas Nanto kesakitan seperti itu! Lepaskan aku sekarang juga!”

“Nada… kalau kamu pergi ke sana, maka hubungan kita akan…”

“LEPASKAAAAAN!” Nada mengangkat tangan Rama dan menggigitnya.

“Aaaaaduuuhh!” Rama menarik tangannya dengan kesakitan. Ahmad dan Eros saling berpandangan dan keduanya mengangkat bahu. Mereka memegang pundak Rama.

Nada segera memanfaatkan momentum itu untuk berlari ke arah si Bengal.

Di saat Asty dan Nada berlari mendekati si Bengal, Hanna jatuh terduduk di hadapan Nanto. Air matanya mengalir deras. Ia berulangkali menggeleng kepala, lidahnya kelu tak dapat bicara, mulutnya terbuka tanpa suara. Tangannya bergetar tapi ia seakan tak bisa apa-apa.

“A-aku tidak tahu apa yang telah aku… Mas…. Maafkan aku, Mas… aku tidak tahu…”

“Nanto, kamu tidak apa-apa?” om Janu memegang pundak si Bengal dan mencoba melihat apa yang baru saja dilakukan Hanna. Pakaian yang sudah memerah dan darah yang mengalir membuat semua orang panik. Om Janu membuka bajunya dan mengikat bagian tubuh Nanto yang terluka. “Tekan dan tahan di sini, Le. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Pak Mangku! Pak Mangkuuuuu!!”

Sendiko dhawuh.” Pria tua itu mendatangi om Janu dengan sigap.

“Siapkan mobil. Kita bawa dia ke rumah sakit.” Om Janu menatap layar yang masih menampilkan senyuman menyeramkan dari topeng Klana Merah, “Bajingan…”

Om BMW juga menatap geram ke layar, “jangan-jangan ini juga ulahnya? Apakah gadis ini termasuk jaringannya? Dia sudah menebar telik sandi ke semua kelompok termasuk JXG, QZK, dan Dinasti Baru! Siapa sebenarnya orang tengik itu? Bajingaaaaan!”

Om Janu tidak ambil pusing, ia menatap Pak Zein. “Ini belum berakhir. Ingat baik-baik! Ini belum berakhir! Sejak awal njenengan selalu menekanku seolah-olah aku ini sampah dan tidak mau mendengarkan ucapanku sekalipun. Sepertinya memang njenengan menganggapku rendah. Baiklah kalau begitu! Ingat Mas Bro, QZK selalu membalas tuntas! Kami selalu membalas tuntas!”

Om BMW menutup jalur antara om Janu dan Pak Zein. “Sekali lagi saya mohon. Mas Janu dan Z, kalian berdua tahu apa yang terbaik. Redakan emosi kalian.”

Om Janu dan Pak Mangku dibantu oleh Asty dan Nada yang tiba-tiba saja berkumpul segera membantu membawa Nanto menuju ke arah mobil. Tangis kedua wanita jelita itu pecah ketika melihat si Bengal mengerang kesakitan dan bersimbah darah.

Nanto tersengal-sengal. “Hkkkkghh… hkkkghhh…”

“Nanto… Nanto… Nanto… kamu tidak apa-apa kan? Kumohon kamu tidak apa-apa…” Asty sesunggukan melihat si Bengal dan mengelus-elus pipinya. “Kamu harus baik-baik saja… kamu pasti tidak apa-apa… Aku mohon… kamu tidak apa-apa…”

“Mas Nanto… Mas Nanto… jangan tinggalkan aku, Mas… jangan tinggalkan aku…” Meski berlinang air mata, Nada masih tetap memeriksa dengan khawatir luka si Bengal berulang-ulang kali dan memastikan ikatan baju om Janu kencang. Ia juga membantu Nanto menekan luka. “Aku ikut kamu, Mas… aku ikut kamu…”

Hanna yang gemetaran buru-buru berdiri untuk ikut menghampiri om Janu yang bersiap membawa Nanto. Suasana sangat kacau, semua orang masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Sebelum Hanna sanggup berdiri dan menghampiri Nanto, satu tangan menahan bahu gadis itu.

Nanto sempat melihatnya.

Tangan si Bengal mengarah ke Hanna. “Ja-jangan… jangan… di-dia tidak bersalah…”

Tapi tangan Hanna sudah ditelikung ke belakang oleh satu sosok perkasa. Gadis itu tidak akan bisa kemana-mana lagi. Saat menoleh ke belakang, Hanna melihat Kapten Ri menahan laju geraknya sembari menunjukkan lencana kepolisian. “Kamu ikut kami, Mbak.”

Hanna menatap sang komandan Tim Garangan dengan pandangan mata kosong, lalu menunduk, dan mengangguk pasrah.

Nanto yang dipandu keluar oleh om Janu tidak bisa menghentikan kepergian Hanna yang dibawa pergi oleh Kapten Ri.

“Bu-bukan dia… bukan salah dia… jangan…” Nanto tak sanggup menghentikan siapapun.

Di kejauhan, Rama hanya bisa berdiri terdiam karena ditahan oleh Ahmad dan Eros. Ia menggemeretakkan gigi sembari mengepalkan tangan menatap tingkah Nada yang seperti lebih peduli pada Nanto daripada dirinya. Rama menatap ke arah si Bengal dengan pandangan mata sengit. Pemuda itu bersumpah, jika hari ini si Bengal masih bisa hidup, maka dia akan memastikan akan menuntaskan nasibnya nanti di rumah sakit nanti. Orang yang telah merebut hati Nada itu harus mati di tangannya! Tidak ada yang boleh mendapatkan Nada kecuali dirinya!

Di bagian lain, Pak Zein dengan kesal hanya bisa pasrah saat menatap kepergian om Janu dan Nanto. Ia tahu pasti ia masih punya etika saat membiarkan pemerkosa anaknya itu pergi, terlebih saat melihat Nada ternyata begitu mempedulikannya.

Tapi urusan ini jelas belum berakhir dan baru dimulai.

“MAS JANU!” teriak Pak Zein.

Om Janu terhenti sejenak untuk menatap ke belakang.

“SEMUA PERJANJIAN KITA BATAL! KAMI AKAN KE UTARA!”

Om Janu mendengus dan meludah. “Seperti aku peduli saja apa omongan njenengan. Datanglah dengan segenap kekuatan. Akan kami sambut.”

Saat suasana sedemikian kacau balau, terdengar suara menggelegar memenuhi ruangan yang carut marut. Suara Ki Juru Martani yang berselimutkan misteri terdengar, “Dengan ini, saya juga ikut pamit. Mudah-mudahan semuanya diberikan kesehatan dan semoga kita dapat berjumpa kembali di lain waktu. Pesta yang sungguh menyenangkan dan meriah, mungkin kapan-kapan saya bisa diundang secara resmi. Pasti akan saya berikan kejutan-kejutan berikutnya. Arrivederci, do svidaniya, au revoir, TTFN, sampai kita bertemu lagi di sepanjang jalan kenangan. Buat Mas Ahmad dan Mbak Meisya, selamat menempuh hidup baru. Jyahahahaha.”

Saat Pak Zein membalikkan badan untuk mengucapkan sesuatu, ia sudah terlambat - layar sudah berubah menjadi gelap. Lenyap sudah sosok sang pengacau dari monitor. Lenyap sudah sosok sang arsitek kekacauan. Kesakralan dan kemeriahan pernikahan anaknya hancur dengan kehadiran Ki Juru Martani – sang tamu tak diundang. Kesucian anak kesayangannya hilang oleh ulah pemuda bajingan dan urusannya dengan om Janu kembali pecah seperti bertahun-tahun lalu.

Demi langit dan bumi, Pak Zein pasti akan mencari orang bertopeng Klana Merah itu dan mencarinya sampai dapat! Tidak peduli wilayah selatan, tengah, atau utara! Bahkan jika perlu mengarungi samudera dan membelah gunung sekalipun!

Suara tawa yang terngiang menjadi pemicu emosinya.

“Jagal, Hantu, Barakuda.” Panggil Pak Zein.

Ketiga anggota Anak Panah JXG itu pun menjura.

“Jagal dan Barakuda, kalian bagi tugas. Satu ke utara, satu ke tengah. Pastikan kita mendirikan pos untuk penempatan pasukan, dan tentunya kirim anggota kita di sana. Terutama sekali, Kirim SSX ke utara. Sudah saatnya kita menyatukan kota.” Pak Zein lalu menatap Hantu. “Kamu… pastikan pemuda busuk itu selamat dan sehat dari lukanya. Beri obat paling manjur karena aku ingin dia sehat lagi dengan cepat.”

Jagal mengernyitkan kening, “Maaf… kenapa Hantu harus melakukan itu, Bos? Bukankah akan lebih baik kalau pemuda itu sekarat dan…”

“Tidak,” Pak Zein menatap keluar dengan geram, “kalau ada yang akan membunuhnya, itu adalah aku. Bukan orang lain dan tidak dengan cara seperti ini. Sudah saatnya Inti Angin Sakti berdiri jumawa di atas Kidung Sandhyakala. Aku tidak peduli apakah dia dilindungi oleh QZK sekalipun. Aku akan menghancurkan semua penghalang. Orang yang telah memperkosa Nada tidak pantas hidup, apapun alasannya. Tapi harus aku yang mencabut nyawanya. Harus aku yang menyaksikan pandangan mata orang yang sudah hilang semua harapan dan cita-citanya, sebagaimana dia melakukannya padaku. Paham?”

Jagal dan sang Barakuda mengangguk, mereka ikut apapun keputusan Pak Zein.

Hantu terkekeh dan mengangguk.





BAGIAN 7 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 8
Tuh kan updet...
Tenkyu suhu updetnya, ki juru martani berhasil mengadu domba para ketua neh. Perang besar bentar lg tercipta, minus kinan bidadari nanto berkumpul dlm satu tempat!!😅😅
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd