Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 8
AKU TETAPLAH AKU






“Bersama-sama. Kita merasakan sakit dan bahagia.
Bersama, kita jatuh. Bersama, kita bangkit.”
- Eric Cantona





Krgh
.

Semuanya terkejut. Semua mata terbelalak.

Bahkan Rahu pun terdiam dan membalikkan badan, satu tangannya terpaksa digunakan untuk melindungi diri, sedangkan tangan yang lain masih mencekik Don Bravo. Karena harus bertahan dengan satu tangan, cekikannya di leher Don Bravo melonggar, satu tendangan Sang Pemakan Bengkuang ke lengan Rahu membuat pria menyeramkan itu melepaskan cekikannya.

Bukan karena sakit, tapi karena perhatiannya teralihkan. Siapa yang baru saja menyerangnya dari belakang?

Don Bravo jatuh dan terguling. Ia beringsut menjauh dengan napas tersedak-sedak. Baru kali ini dia dicengkeram sedemikian kencangnya oleh seseorang. Hampir saja gelar semu tak terkalahkan-nya hancur dengan sia-sia di tangan Rahu. Baru kali ini Don Bravo berhadapan dengan lawan yang luar biasa kuat.

Tak mempedulikan Don Bravo, Rahu membalikkan badan untuk menghadapi sang penyerang.

Ternyata di belakang sang Dewa Iblis, Shinta tengah berdiri sembari terengah-engah dengan memegang bokken milik Don Bravo yang sudah patah menjadi dua setelah terkena lengan Rahu. Antara takut tapi juga nekat, Shinta dengan berani menantang sang Dewa Iblis. “Aku tidak takut padamu. Aku anggota Tim Garangan dan aku akan membuatmu menyesal jika kamu berani bergerak selangkah lagi. Kamu akan membusuk di penjara jika berani macam-macam,” ucap gadis itu dengan berani. Tubuh mungilnya jelas kalah besar dari Rahu yang bagaikan monster. ia terus menerus mengacungkan patahan bokken ke wajah Rahu Kala sang Dewa Iblis yang tak menampakkan ekspresi apapun.

“Katanya hebat, tapi bisa-bisanya orang seperti kamu menjadi kacung Bambang Jenggo! Dasar tidak punya harga diri! Bebaskan orangtuaku!” Shinta makin menjadi-jadi. “Untuk apa kalian menahannya? Tidak ada gunanya! Bebaskan mereka! Bebaskan!”

Rahu terdiam sesaat dan menyeringai. Ia melihat sang gadis mungil dengan matanya yang menyala-nyala. Pria raksasa itu terkekeh sembari menjilat bibirnya dengan lidah. Dia sepertinya menyadari siapa Shinta itu sebenarnya. “Jadi kamu ya…”

Begitu Rahu berucap, Shinta mundur beberapa langkah ke belakang dengan gerakan secepat mungkin ia lakukan. Ia tidak mungkin bisa menang melawan Rahu. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menghindar ke belakang, meskipun tahu peluang untuk meloloskan diri dari sang Dewa Iblis sangatlah kecil.

Semua anggota Aliansi terperangah melihat bokken yang begitu kuatnya sampai terbelah menjadi dua saat dipukulkan ke lengan, sebegitu kuatkah sang Dewa Iblis? Tapi sebenarnya mereka lebih terperangah lagi melihat sikap Shinta yang berani melawan Rahu. Apakah gadis ini tidak mengerti resiko menantang seorang petarung kelas A+? Rahu dapat mematahkan lehernya hanya dengan sekali gebrak. Herannya lagi, sang pria bertubuh tinggi besar itu ternyata tidak melakukan apa-apa. Dia diam saja saat Shinta bergerak menjauh.

Melihat Rahu hanya terdiam dan terpaku di tempat, Simon dan Amar buru-buru menarik Shinta menjauh sedangkan Deka menarik tubuh Don Bravo. Mereka semua secepatnya menyingkir menuju pagar, sementara Rahu tetap terdiam sembari menyeringai dan menatap Shinta – masih dengan pose yang sama.

“Luar biasa pertahanannya. Apa itu? Perisai Genta Emas?” tanya Simon.

Amar menggeleng. “Bukan. Itu jurus yang berbeda. Tadi aku juga sempat mengira Rahu menguasai PGE, tapi nyala aura Ki-nya berbeda dari pengguna Perisai Genta Emas. Itu ilmu kanuragan yang berbeda. Aku masih menebak-nebak jurus apa itu.”

“Edan juga jurus pertahanannya. Kalau bokken saja bisa sampai patah, apalagi kaki kita! Pertahanannya menggunakan ilmu kanuragan apa itu ya?”

“Kalau tebakanku tidak salah, sepertinya itu ilmu kanuragan yang berasal dari aliran yang sama dengan Perisai Genta Emas karena hampir-hampir mirip dari gerakan dan eksekusinya. Kalau tidak salah ingat, PGE dan ilmu kanuragan yang dinamakan Delapan Ksatria Perunggu meski punya banyak perbedaan tapi juga punya banyak persamaan. Mungkin itu yang digunakan oleh Rahu. Jadi untuk pertahanan, Rahu menggunakan Delapan Ksatria Perunggu, sedangkan untuk jurus serangannya masih belum diketahui.”

“Seperti apa pula itu Delapan Ksatria Perunggu?”

“Konon jika dikuasai dengan benar dan sempurna oleh penggunanya – Delapan Ksatria Perunggu akan membuat badan sekeras baja dan tulangnya bagaikan batu. Rahu adalah master di bidangnya, mungkin dia sudah hampir sempurna menguasai jurus itu.”

“Eh, tapi out of topic nih… sebentar… sebentar… kok ada yang aneh ya, Masbro? Sejak tadi dia diam saja di sana setelah dipukul oleh Shinta. Sepertinya dia tidak mengejar kita, kenapa ya?” bisik Simon sambil mundur dengan menandak perlahan-lahan. Ia mengerutkan kening dengan tetap siaga penuh. “Apa sebaiknya kita pergi dari sini sekarang sebelum situasinya menjadi lebih gawat?”

“Iya, kita pergi saja. Dia memang sosok yang aneh, mudah-mudahan saja hari ini kita beruntung dan dapat lolos darinya.” Amar setuju dengan usulan itu, dengan berhati-hati sekali, dia menarik Shinta yang mencoba meronta. Sang panglima Aliansi itu mencengkeram lengan Shinta dengan erat dan berbisik, “Maafkan aku. Tapi kita tidak akan dapat melakukan apa-apa untuk saat ini. Kita tidak akan dapat menang darinya apapun yang kita lakukan, berapapun jumlah kita. Jadi kita harus balik kembali dan mengatur strategi. Kita harus mencari cara untuk melewatinya, bukan secara frontal begini.”

“Lepaskan aku! Lepaskan ak…”

Swssh.

Hanya dalam sekejap.

Ibarat kata, hanya dalam satu kedipan mata.

Don Bravo terbang menubruk tembok dan jatuh berdebam ke tanah, dia tidak tahu apa yang telah mendorongnya, dan bagaimana dia bisa terlempar. Sekali lagi dadanya tersengal-sengal. Ada sengatan telapak tangan di dada sang pemakan bengkuang.

Simon menderita hal yang sama. Pukulan bertubi-tubi menghentak dadanya, ia bahkan tak bisa melihat lawan. Seluruh lekukan jari tertanam di dada Simon bagaikan hendak melesak teramat dalam. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Delapan pukulan melesat dan menggali dada Simon tanpa bisa dikendalikan. Tubuhnya bagaikan diterjang air bah. Simon terlempar ke belakang, punggungnya terpapar pagar besi. Tersentak berulang, dan akhirnya luruh ke bawah tanpa daya. Ia mengerang kesakitan sambil menggelepar karena dada dan punggungnya bagaikan dilindas mesin penggiling.

Amar Barok yang melihat dua rekannya tersambar segera mengunci area pertahanan. Ia dan Deka saling memunggungi dan mengaktifkan Perisai Genta Emas.

“Awas! Jangan lengah! Kita tidak boleh main-main! Pastikan PGE-mu dilepas sampai tingkat setinggi mungkin!” ucap Amar sembari setengah berteriak. Matanya melirik ke kanan dan kiri, memastikan posisi lawan seandainya datang menerjang. Ia juga masih sempat mengawasi posisi Shinta yang tentu saja tidak aman.

Deka juga ikut panik ketika melihat Amar tidak seperti biasanya. Ia mengambil kuda-kuda dan mengaktifkan Perisai Genta Emas. Tapi baru saja Deka hendak menyilangkan tangan di depan dada, tiba-tiba di depan wajahnya ada sosok pria berwajah sangar bertubuh kekar bak raksasa menyeringai mengerikan kepadanya bagaikan seorang Titan.

“Cilukba.” Bisik Rahu pelan.

Deka terbelalak.

Bldm!

Satu hempasan kencang mengenai wajahnya, Deka tak mampu membuka mata, hanya rasa sakit sengatan bogem mentah yang rasanya meremukkan tulang-tulang pipinya yang terasa. Tubuh si Gondes terpelanting ke kiri dan berputar seratus delapan puluh derajat seperti ferris wheel, dia bahkan tak sempat bersuara. Satu pukulan saja, mampu membuat Deka terpelanting bagaikan ban bekas, ia jatuh berdebam di tanah tak lama kemudian.

“Kun!!” Amar Barok terbelalak melihat adiknya dihancurkan hanya dengan satu sengatan, ia membalikkan badan dan melontarkan satu pukulan ke arah Rahu.

Tph.

Pukulan Amar diterima oleh telapak tangan sang Dewa Iblis.

Tph. Tph. Tph. Tph. Tph. Tph. Tph. Tph. Tph. Tph. Tph. Tph.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh. Sebelas. Dua belas. Dua belas pukulan dilepaskan Amar Barok dengan membabibuta. Keduabelasnya berhasil diterima oleh Rahu Kala dengan sempurna. Lepasan pukulan dan pertemuannya dengan telapak tangan menimbulkan bunyi tepukan nan kencang.

Amar Barok berkeringat dingin. Rahu mampu menerima semua serangan yang ia lepaskan. Bagaimana ia bisa menyelipkan serangan yang bisa masuk mengenai lawan kalau semua berhasil dimentahkan begini? Satu-satunya harapan Amar adalah dengan…

Roaaaaaaaaaaaaaarrr!!

Raungan Singa Emas berkumandang, memekakkan telinga, menghantarkan sentakan energi dahsyat ke depan. Ke arah sang Dewa Iblis yang jaraknya tak sampai satu meter dari posisi Amar.

Terjangan energi mendorong Rahu, kakinya terseret ke belakang. Namun wajahnya masih tetap tenang, ia bahkan masih menyeringai. Kaki-kaki pria gagah itu dihentakkan kencang ke tanah, menapak dengan teguh bagaikan tiang pancang yang teramat dalam menggali tanah. Tangannya disilangkan ke depan wajah, melindungi diri dari terjangan teriakan sang Panglima Singa Emas.

Kesempatan!

Amar Barok menerjang ke depan dengan tetap membuka rahang, tak henti menyerbu dengan Raungan Singa Emas yang mengalir bak air bah. Antisipasinya? Tak terduga.

Rahu tersenyum, “sudah kuduga.”

Begitu tubuh Amar bergerak ke depan, Rahu menghentakkan tubuhnya bagaikan lecutan cambuk, ia memutar badan untuk menerjang dari sisi, dan dengan satu gerakan ringan, berhasil mencekik leher sang Panglima Singa Emas dari posisi samping.

“Hkkkghhhh!!”

Jurusnya langsung terhenti, Amar melotot karena lehernya dicekik teramat kencang. Apanya yang petarung Kelas A+? Rahu ternyata melebihi ekspektasinya!

Bagai memainkan boneka, hanya dengan satu tangan saja Rahu mengangkat tubuh Amar dan menghempaskannya ke bawah dengan teramat kencang. Membongkar punggung Amar dan mencoba meremukkan tulang punggung sang panglima Aliansi hanya dengan satu bantingan.

“Haaaaaaaaaaaaakkkghhh!!”

Amar tersentak dan tak mampu banyak bergerak. Ia mengerang kesakitan. Tapi penderitaannya belum usai. Dadanya diinjak tiga kali oleh Rahu.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Swsssh
.

Begitu Amar tak berdaya, Rahu melesat menemui Shinta yang masih memegang bokken patahnya. Ia mengancam Rahu meski tahu itu tidak ada gunanya.

“Ja-jangan mendekat.” Shinta tak bisa lebih mundur lagi. Ia sudah tersudut ke tembok. Keringatnya menetes deras. Wajahnya pucat pasi.

Rahu tersenyum lembut pada sang dara. “Kalian paham sekarang? Bukan aku tak berani melawan ataupun tak berniat melawan kalian. Bukan juga karena aku terikat dengan kelompoknya si Jenggo. Hehehe, tidak… tidak… jangan salah sangka. Aku masih tetap free agent, tidak bergabung kemanapun. Aku di sini sekarang karena kehendakku sendiri. Aku tidak menyerang kalian juga karena kehendakku sendiri. Karena aku sedang TIDAK INGIN melawan kalian.”

Shinta tidak menjawab, tangannya mulai bergetar.

“Hari ini hari yang baik, aku berhasil meningkatkan kemampuanku. Jadi percuma saja kalian melawan. Kalian tidak berada di level yang sama denganku. Heheh,” kata Rahu dengan ucapan yang terdengar sombong tapi sesungguhnya berdasarkan kenyataan. “Tapi aku sedang baik hati…”

Deru napas Rahu terdengar berpacu, pria bertubuh raksasa itu semakin mendekat ke arah Shinta dengan membungkuk karena ukuran tubuhnya yang raksasa. Wajah mereka begitu dekat sampai-sampai napas sang Dewa Iblis bisa dirasakan oleh sang dara jelita.

“Kamu spesial.” Tatapan mata sang Dewa Iblis menatap gadis itu dengan tajam. “Aku dengar dari si Jenggo kalau dia dibantu oleh seorang polwan. Sepertinya itu kamu. Kata Jenggo kamu punya saudara yang merupakan keturunan terakhir dari Kakek Segala Obat? Betul atau tidak? Kalau jawabanmu ya, maka akan aku bebaskan kalian. Kalau tidak atau jawabanmu tidak sesuai dengan informasi yang aku punya, maka aku akan membunuh kalian sore ini juga. Kamu sudah pasti tahu aku mampu melakukannya.”

Shinta menggemeretakkan giginya. Lagi-lagi masalah itu. Sama saja seperti si Jenggo orang ini. Shinta mencoba mengatur napasnya, “Apa maumu?”

“Bawa keturunan terakhir Kakek Segala Obat itu ke sini, dan aku akan membebaskan orang tuamu. Kita barter. Bagaimana? Heheheh.” Rahu tersenyum sinis, “Bukankah aku orang baik? Hahhaaha. Aku tidak peduli dengan Jenggo dan pasukannya. Aku tidak peduli dengan Ki Juru Martani dan segala urusan politiknya. Aku tidak peduli dengan semua urusan yang tidak membuatku tertarik karena tidak menguntungkanku. Aku tetaplah aku. Rahu Kala, tidak terikat tidak terkait. Heheheh.”

“Kalau aku tidak mau?”

“Mau lihat potongan jari lagi? Lama-lama habis. Terpaksa memotong dari tempat lain lagi. Kamu tega?”

“Ba-bajingan kamu…! Kamu tidak akan bebas dari semua ini dengan mudah! Tim Garangan pasti akan menangkapmu dan…”

“Apakah wajahku menunjukkan kepedulian? Mau Tim Garangan, mau Tim Luwak, mau Tim Kelinci Merah Jambu, aku tidak peduli. Aku hanya ingin menjadi yang terhebat.”

“Kamu tidak membutuhkan darah obat. Kamu sudah hebat.”

Rahu tersenyum, “Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan kalau tidak ada lagi yang bisa sembuh saat berhadapan denganku nanti. Aku tidak akan membunuh orang itu.”

“Dia sudah tidak bisa lagi menghasilkan darah obat.”

“Berdasarkan apa aku harus mempercayaimu? Bawa dulu dia kemari, aku periksa. Baru kita bicara lebih lanjut nanti. Seperti yang sudah aku bilang, aku akan membebaskan orangtuamu.” Rahu terkekeh ringan, lalu meniup poni rambut Shinta dan mengedipkan mata.

Swsssh.

Hanya dengan satu kedipan mata, Rahu sudah tak lagi nampak. Debu-debu berterbangan di bawah langit siang menjelang sore. Pintu depan rumah yang tadinya terbuka kini sudah tertutup kembali. Shinta berdiri dengan gamang sambil bersandar di tembok, napasnya satu dua. Dia melihat ke kanan kiri, semua anggota Aliansi terkapar tak berdaya.

Shinta buru-buru berlari untuk menemui sang panglima yang tengah mengerang kesakitan.





.::..::..::..::.





Waktu, menjelang sore.

Tempat, sebuah tanah kosong.

Hanya sebuah tanah kosong biasa di samping petak-petak sawah berkotak-kotak yang saling bersinggungan berjajar bersilangan di kawasan ringroad selatan. Tanah kosong lapang dan landai yang di hari-hari biasa digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola atau digunakan sebagai landasan pacu untuk mengudarakan layang-layang.

Sore kali ini, tanah kosong itu akhirnya memiliki kisah yang berbeda. Kali ini, tanah kosong itu menjadi tempat yang ramai karena digunakan sebagai arena oleh sekelompok pria gagah.

Kaki-kaki menjejak pematang, satu persatu berkumpul membentuk lingkaran besar, mengelilingi dua kubu yang tengah berseteru dan hendak menyelesaikan masalah pangkat sore itu.

Di tengah arena berdiri sosok pria bertubuh gempal. Rambutnya jarang, tubuhnya tambun, perutnya buncit, kepalanya sedikit botak, berambut mullet panjang. Secara visual dia bukan sosok yang sedap dipandang tapi punya aura dan wibawa yang menakutkan.

Namanya Bambang, panggilannya Jenggo.

Jenggo yang mengambil posisi area kiri menghadapi dua anak muda gagah di sebelah kanan. Keduanya asyik memamerkan kemampuan olah tubuh mereka. Meregangkan badan, melenturkan urat, menguji Ki. Saling memuji kemampuan masing-masing dan teramat percaya diri.

Aswin Aswatama dan Ajo Gunarso, penerus legacy Joko Gunar di jagad persilatan.

Kedua kubu masing-masing saling mengancam dan menyeringai meremehkan. Pertaruhannya besar, siapapun yang menang, akan menjadi pejabat tertinggi kelompok PSGxRKZ, siapapun yang kalah – akan menjadi budak dan harus kehilangan satu jarinya. Pertaruhan tertinggi dua kelompok yang bergabung demi kuasa atas sebagian bumi selatan.

Ini semua bermula dari satu sosok, Ki Juru Martani.

Ingatan orang-orang yang tengah berada di tengah arena itu melayang pada percakapan terakhir saat mereka berhadapan dengan sang arsitek kekacauan. Pria tua yang akhir-akhir ini sering mengenakan topeng Klana Merah itu mencoba menyatukan mereka bertiga dalam satu pemahaman.



“Meski besok kita akan menentukan siapa yang akan memimpin pasukan gabungan, tapi harap diingat bahwa sekarang bukanlah saatnya kita terpecah belah. Sekarang saatnya kita semua bersatu. PSG kehilangan induknya dan RKZ kehilangan buntutnya, tapi bukan berarti keduanya lemah, justru sebaliknya kita punya banyak potensi.

“Dengan bergabung, kita menyatukan dua kekuatan yang jika bersatu padu tidak akan kalah sebegitu mudahnya dari JXG dan QZK,” ujar Ki Juru Martani dengan suara tegas dan penuh wibawa. “Ini bukan saatnya menjadi cengeng, bukan saatnya berkeluh-kesah. Joko Gunar pernah sekali waktu bercerita padaku betapa dia ingin dihormati di kota, dan sepertinya inilah saatnya kita mengusung namanya.

“Pucuk pimpinan JXG telah memutuskan kalau mereka akan menyerang wilayah utara – tentu saja itu artinya menantang QZK. Tapi sebenarnya bukan QZK yang akan langsung dihadapi oleh JXG dengan keputusan itu, melainkan…?”

“Dinasti Baru.” Aswin mendengus. “Semua orang juga tahu. Yang pertama kali akan mengalami kerugian dari semua ini adalah Dinasti Baru.”

“Tepat sekali.” Ki Juru Martani menepuk pundak Aswin. Pemuda itu tersenyum karena mengira dia sudah bersumbangsih terhadap ide yang tengah disampaikan oleh sang arsitek kekacauan. Dulu di jaman sang ayah, Joko Gunar bahkan tidak menggubris sedikitpun apapun yang dia ucapkan.

Ki Juru Martani melanjutkan, “Aswin benar, yang paling rugi dari semua ini adalah Dinasti Baru. Mereka berada di tengah, tergencet di antara dua kekuatan besar yang saling berseteru. Sebelum mampu menyeberang ke utara, JXG harus terlebih dahulu menelan penghalang di tengah. Berlaku juga sebaliknya, dengan menghapus Dinasti Baru, QZK akan meraih kembali kawasan tengah yang dulunya mereka kuasai.

“Lalu jangan lupa juga kalau di wilayah utara ada Aliansi – kelompok anak-anak muda yang sudah pasti akan bertahan mati-matian supaya tidak terhapus dari sejarah sebegitu mudahnya, mereka akan menjadi lalat hijau yang akan susah sekali ditepuk sampai mati. KSN dan RKZ sudah kena getahnya. Aliansi harus diberangus dan dihabisi sampai ke akar-akarnya.

“JXG akan berhadapan dengan kedua kelompok ini sebelum menghadapi QZK. Aku juga yakin sekali QZK tidak akan menyeberang ke selatan semudah itu. Mereka akan menunggu sampai JXG kehabisan tenaga dan sumber daya karena harus menghadapi Dinasti Baru dan Aliansi terlebih dahulu.”

“QZK cerdik.” Aswin berucap.

“Benar sekali.” Ki Juru Martani yang mengenakan topeng Klana Merah kembali mengangguk, “Hal yang sama juga berlaku dengan kita. Begitu mesin tempur JXG mulai bergerak ke utara untuk meninggalkan pos-pos penting dan bertarung mati-matian di utara, itulah saatnya kita bergerak untuk mulai mencuri wilayah demi wilayah di selatan. Hancur di utara, digembosin di selatan. Bagaimana? Heheh.”

Bambang Jenggo tertawa terbahak-bahak. “Itulah yang dinamakan strategi.”

“Saat JXG lengah dan lemah, saat itulah kita tampil full power. Tapi jangan salah… skenario dan rencana seperti ini di atas kertas memang sangat mudah dibayangkan, dan sayangnya, bukan hanya kita yang akan menyadari peta kekuatan dan pergeserannya dengan skenario tersebut. Semua pimpinan pasti sudah paham apa yang akan mereka hadapi jika salah langkah.” Ki Juru Martani berjalan kembali ke kursinya. “Tidak perlu khawatir jika skenario dan strategi ini melenceng, karena aku pasti akan menemukan cara bagi kita untuk meluluhlantakkan semuanya – termasuk jika Tim Garangan ikut campur.

“Kita akan semakin kuat dan kuat dan perlahan-lahan akan merebut semua wilayah dan menjadikannya satu di bawah kekuatan kita. Tidak perlu lagi ada perebutan kekuasaan dan saling serang, tidak perlu lagi membagi kota menjadi wilayah utara, selatan, tengah, atau apapun. Kita yang akan memegang kendali secara penuh. Kita yang akan mengatur semuanya secara utuh, bukan lagi sebagai PSG dan bukan lagi RKZ, kita akan menjadi para satria piningit yang dinanti-nantikan kota ini. Kita adalah… Komando Ratu Adil.”

Bambang Jenggo mengangguk, ia mengangkat gelasnya. “Komando Ratu Adil.”

Aswin dan Ajo saling berpandangan, sepertinya PSG akan baik-baik saja, warisan sang ayah justru semakin kuat dengan bergabungnya RKZ. Semua berkat orang yang penuh strategi di hadapan mereka ini, sang arsitek kekacauan yang penuh dengan perhitungan. Tidak ada salahnya mengikuti langkah kaki orang ini.

Aswin dan Ajo mengangkat gelas mereka dan mengucapkan kalimat secara bersamaan dengan kompak, “Komando Ratu Adil.”




Kembali ke tanah kosong.

Suasana yang tegang membuat orang-orang terdiam tanpa banyak bersuara. Tidak ada yang bertanya, tidak ada yang berbicara, tidak ada yang berbisik. Hanya ada gemerisik suara angin mengikis dedaunan di pohon yang meranggas karena panas.

Tiba-tiba saja terdengar ringtone ponsel berdering dari arah kerumunan.

“Ah? Siap. Untuk arena sudah siap dan pertarungannya sudah akan dimulai. Bagaimana? Baik… baik… siap… siap akan saya laksanakan.” Seorang pria yang mengenakan topeng Klana Putih melangkah ke tengah arena sembari memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Baik… baik… siap. Tentu nanti akan saya sampaikan hasilnya. Baik…. Baik… siap. Sendiko dhawuh.”

Ketiga orang yang tengah berada di arena menatap sang Klana Putih yang dengan berani berdiri di antara mereka. Siapa orang ini?

Bambang Jenggo, Aswin, dan Ajo menatap sosok pria yang sedang menutup sambungan telepon dan menyarungkan ponselnya ke dalam kantong celana. Aswin dan Ajo saling berpandangan, apakah ini Ki Juru Martani? Masa sih? Sepertinya bukan. Postur tubuhnya berbeda dan dia tidak membawa tongkat. Yang saat ini datang terlihat seperti seorang pemuda dengan tubuh yang masih gagah dan segar - bukan sosok laki-laki tua yang butuh tongkat.

Pemuda itu bertepuk tangan untuk meminta perhatian semua orang yang ada di arena. Ia lantas berbicara sedikit lantang supaya semua bisa mendengarkan, “Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, hari ini kita akan melakukan adu kekuatan untuk menentukan pimpinan PSGxRKZ. Di satu sisi ada Bambang Jenggo dari RKZ dan di sisi lain adalah Aswin Aswatama dan Ajo Gunarso dari PSG.”

Masing-masing kelompok berteriak-teriak menyatakan dukungannya pada kedua kubu. Para pengikut PSG yang jauh lebih besar tentunya tidak ingin kalah dari pihak RKZ. Mereka menganggap diri mereka jauh lebih pantas memimpin kelompok gabungan dibandingkan RKZ yang baru saja kalah melawan Aliansi. Para pengikut RKZ sendiri tengah mengelu-elukan nama Bambang Jenggo yang mereka anggap secara ajaib mampu bangkit dari api yang membakar gudang RKZ hingga hancur menjadi debu. Jenggo dianggap bagaikan seekor burung phoenix yang bangkit dari kematian.

“Kalian tentu langsung paham kalau saya bukanlah Ki Juru Martani. Postur tubuh kami berbeda dan suara kami langsung ketara perbedaannya,” ujar sang penopeng.

Sopo koweee suuuuu!?

Iki sopoooo!?

Teriakan penuh gempita mempertanyakan keaslian sosok yang katanya diminta mewakili Ki Juru Martani. Pemuda bertopeng Klana Putih itu pun tertawa ringan, “Tidaklah penting siapa saya, yang penting adalah saya bersumpah dan berjanji untuk bersikap adil dalam pertarungan kali ini. Saya telah ditunjuk untuk mewakili beliau sebagai hakim, juri, dan wasit karena Ki Juru Martani tidak dapat hadir di sini.”

Semua orang mengungkapkan rasa kecewa. Beberapa geleng-geleng kepala.

Si Klana Putih tertawa di balik topengnya, “Alasannya tentu saja kalian sudah tahu… beliau sedang dalam perjalanan karena baru saja menghadiri suatu pesta pernikahan yang sudah dipastikan berakhir hancur.”

Orang-orang tertawa. Mereka seperti paham apa yang dimaksud oleh si Klana Putih. Pemuda bertopeng itu kembali bertepuk tangan dan juga ikut tertawa-tawa.

“Sudahlah! Aku tidak peduli kamu siapa! Tidak usah berlama-lama! Kami sudah siap menyelesaikan pertarungan ini dengan cepat! Kakehan lambe kurang gawe! Bacot terus! Kapan kita akan memulai pertandingan ini?” Aswin mendengus kesal sembari menunjuk ke arah sang Klana Putih. “Jangan banyak basa-basi tidak penting! Ayo segera dimulai! Aku jadi tidak sabar!”

“Oh gitu? Jadi kalian sudah siap? Baik, akan saya sampaikan aturan-aturan pertarungan hari ini sesuai apa yang disampaikan oleh Ki Juru Martani.” ucap sang pemuda di balik topeng Klana Putih-nya dengan lugas.

“Aturan? Bah! Kakehan pretingsing tenan menurutku.” Aswin mencibir. “Ya sudah sebutkan saja! Aturannya begini beginu ra jelas!

“Nah… nah… harap bersabar. Sebenarnya kita bisa menangguhkan pertarungan hari ini jika ada di antara kalian bertiga yang memang berkeberatan dengan satu atau semua aturan yang akan disebutkan nanti. Khusus bagi Mas Aswin dan Ajo harap diingat bahwa pertarungan kali ini adalah handicap match – pertarungan dua lawan satu yang secara jumlah menguntungkan kalian berdua. Apakah sudah paham dengan apa yang saya sampaikan barusan? Apakah ada di antara kalian bertiga yang keberatan dan ingin menangguhkan pertarungan?”

Aswin tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Enak saja! Wedhus! Memangnya kenapa kok sampai ditangguhkan? Koclok. Aku dan Ajo akan menghadapi si Raja Para Anjing ini dengan segenap kekuatan yang kami miliki! Mulai saja sekarang! Wes ra sabar aku! Paling-paling selesai dalam waktu

“Bwahahahah! Boleh saja! Aku akan…” Bambang Jenggo tidak akan menyerah sebegitu mudahnya pada dua orang pemuda sok hebat di depannya ini. Omong besar mereka jadi pemicu, ingin membuktikan apakah anak-anak Joko Gunar ini benar-benar sehebat yang dia omongkan.

Pemuda Klana Putih mengangkat tangannya, menghentikan Bambang Jenggo mengucapkan kalimat lebih lanjut. Sang Raja Para Anjing mengangguk tanda paham. Apalagi yang mau disampaikan perwakilan dari Ki Juru Martani ini?

Si Klana Putih kembali tertawa aneh. “Baiklah! Karena sepertinya ada yang sudah tidak sabar, kita mulai saja pertarungan kali ini. Aturan pertama! Pemenangnya adalah yang mengucapkan kata menyerah alias pertarungan kali ini adalah submission match! Siapa yang menyerah, dia kalah.”

Aswin dan Ajo melakukan fistbump dan mengangguk. Mereka benar-benar percaya bahwa mereka akan mampu menundukkan Bambang Jenggo dengan mudah. Sang Raja Para Anjing sendiri hanya berdiri dengan tenang. Ia tersenyum saja melihat tingkah laku sok dari kedua anak Joko Gunar.

“Aturan kedua!” Si Klana Putih kembali tertawa, “Jika dalam waktu yang telah ditentukan tidak ada pemenang maka permainan akan ditangguhkan dan diganti ke hari lain.”

“Tidak masalah. Hari ini pasti selesai. Tidak butuh waktu lama untuk mengalahkan cecunguk seperti Bambang Jenggo!” ujar Aswin sambil tertawa menghina. Dari dua bersaudara, Aswin memang lebih vokal dan grusa-grusu dibandingkan Ajo.

“Oh iya… sebentar… sebentar… dua lawan satu sepertinya tidak adil bukan? Kalian berdua adalah pewaris ilmu kanuragan papan atas. Yang satu punya Jurus Kodok, yang satu lagi punya Hikmat Penyesap Prana. Sepertinya kok kurang imbang pertarungan kali ini. Bagaimana kalau kita tambahkan satu syarat aturan lagi supaya semua benar-benar adil?”

Aswin mendengus, “Buset! Apalagi sih maunya ini? Tapi kami tidak peduli karena kami pasti menang! Kami akan ikuti semua permintaan dan permainanmu! Jangan mencoba berbuat licik!”

Si Klana Putih tertawa terkekeh, “Benar sekali, yang terakhir ini justru supaya semua tidak ada yang merasa dirugikan ataupun diuntungkan. Yang terakhir ini adalah cara untuk menentukan pemenang dengan cara paling adil.”

“Apalagi syaratnya kali ini?” Kali ini Ajo yang maju.

“Aturan ketiga!” Pemuda Klana Putih duduk di sebuah tikar yang disiapkan untuk juri pertarungan kali ini. “Tidak ada yang menggunakan Ki atau tenaga dalam apapun! Pertarungan ini akan dilakukan secara close combat dengan tangan kosong! Siapapun yang menggunakan Ki akan didiskualifikasi dan dinyatakan kalah.”

Aswin terkejut, “Hah!? Ta-tangan kosong tanpa Ki? Mana ada peraturan seperti itu! Curang ini! Kita harus menggunakan Ki! Ini curang sekali! Kenapa harus ada peraturan ga jelas semacam itu tiba-tiba! Bajingan! Tunggu dulu! Kami tidak sepakat!”

“Heh! Kok jadi begini urusannya? Kacau ini! Parah banget! Kemarin kan tidak disebutkan kalau tidak boleh pakai tenaga dalam!” Ajo protes ke arah Klana Putih. Tapi tentu saja sang penopeng tidak ambil peduli apapun.

“Iya bener! Curang banget! Wasuuu!” Aswin terus-menerus mengumpat.

Bambang Jenggo yang tengah bersidekap menyunggingkan senyum, “Curang? Yang seperti ini disebut curang? Yakin? Bukannya dengan begini kita justru dipaksa untuk benar-benar mengandalkan kemampuan asli kita dan tidak menggunakan kekuatan di luar nalar? Kalau tangan kosong saja tidak bisa bagaimana kami akan percaya kalian mampu menangani satu kelompok besar? Katanya mau jadi ketua? Piye toh? Harus bisa semuanya dong.”

Aswin dan Ajo menatap Jenggo dengan geram. Sepertinya mereka harus pasrah dengan adanya peraturan yang sangat tiba-tiba saja diadakan itu. Sang Klana Putih kembali tertawa dan tidak mempedulikan protes dari Aswin dan Ajo.

Ajo menatap Aswin. Keduanya mendekat dan berbicara perlahan, mengucapkan bisikan-bisikan yang tak terdengar tapi punya satu bahasan.

Tanpa Ki? Bukankah itu artinya mereka sama sekali tidak bisa menggunakan jurus andalan warisan dari Joko Gunar!? Tapi Bambang Jenggo juga tidak akan bisa menggunakan jurus-jurus Hikayat Pemuja Malam-nya. Sepertinya sih di atas kertas memang imbang. Adu tangan kosong tanpa Ki, dua lawan satu.

Ajo dan Aswin sama-sama mengangguk. “Baiklah! Tangan kosong!”

Pemuda Klana Putih mengangguk dan mengayunkan tangannya.

“Pertarungan… DIMULAI!”

Teriakan penonton yang bersorak-sorai terdengar, masing-masing mendukung jagoannya. Uang bergeser dengan cepatnya dari satu tangan ke tangan yang lain. Pertaruhan dilakukan di dalam dan di luar arena.

Aswin dan Ajo berlari kencang ke depan, mereka sedikit keteteran karena tak bisa melesat dengan enak seperti halnya ketika mereka menggunakan Ki, tapi tenaga muda mereka rasa-rasanya bisa cukup diandalkan karena dari segi usia Bambang Jenggo tentunya jauh lebih berumur, badannya juga gempal dan besar. Pasti dia kesusahan bergerak jika tidak mengandalkan Ki. Sepertinya tidak masalah jika hanya menggunakan tangan kosong saja.

Prediksi Aswin terbukti, Jenggo hanya terdiam sembari menunggu serangan datang tanpa repot-repot ingin maju menyerang. Ketika akhirnya Aswin dan Ajo benar-benar tiba di hadapannya, pertarungan dimulai. Badai pukulan dari tiga sosok yang saling ingin menjatuhkan terjadi tanpa terelakkan. Tangan Jenggo bergerak dengan sangat cepat sampai-sampai tak terlihat dengan mudah oleh Aswin dan Ajo yang awalnya menyerang namun kini kebingungan mencari celah kelemahan pertahanan sang Raja Para Anjing.

Dph! Dph! Dph! Dph! Dph! Dph! Dph! Dph!

Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Tengah. Kanan. Tengah. Kiri.

Semua serangan mereka gagal. Setiap pukulan berhasil dihindari atau bahkan ditepis dengan mudahnya. Meski terbilang berisi, Jenggo ternyata cukup lincah berkelit.

Aswin dan Ajo mundur dan menyebar ke kanan dan kiri Jenggo, membentuk formasi segitiga. Jenggo tersenyum, cerdas juga kedua lawannya. Sejatinya dalam konsep handicap match, Bambang Jenggo sebaiknya memposisikan dirinya di depan salah satu saudara dan membentuk satu garis lurus sehingga bisa menghadapi lawan satu demi satu, bukan dari kiri dan kanan begini. Karena jika mereka menyerang, maka Jenggo akan kerepotan dari segi jarak pandang, jangkauan, dan kesempatan jika keduanya maju secara bersamaan.

Waktu jadi krusial, detik demi detik berharga.

Yang mana dari dua ini yang dia incar terlebih dahulu?

Jenggo tahu teorinya. Jika dua lawan menyerang bersamaan, incar salah satu dulu. Kejar sampai dapat, atur posisi supaya segaris, dan segera kirim serangan balik dengan gerakan memutar. Sang Raja Para Anjing sudah tahu siapa yang akan dia incar.

Pria bertubuh gempal itu menggeser badan ke sisi kanan.

“Ibu kamu bule ya? Lucu sekali punya mata warna biru,” ucap Jenggo sembari mengincar Ajo yang terkejut karena tiba-tiba saja didekati oleh Jenggo. Pemuda itu langsung siaga, apa maksudnya nih? Jenggo tertawa, “Bertarung tangan kosong tapi pakai jaket. Sok modis, bangsat. Bukan hal yang pintar, cah!”

Ajo berteriak kencang, tangannya bergerak melecut, hendak melontarkan pukulan. Dia tidak sadar itulah yang diincar oleh lawan. Bagaikan seekor badak, Jenggo turun ke bawah dengan sangat cepat, menyeruduk tubuh Ajo yang bahkan belum melontarkan satu pukulan pun. Tubuh anak kedua Joko Gunar itu terdorong ke belakang bagaikan terkena spears. Jenggo tidak berhenti di situ saja. Satu pukulan kencang bersarang di rusuk sang pemuda.

Jbbbkghhh!!

“Haaaaaaaaaarrrghh!!”

Ajo berteriak kencang karena sakit, terkejut juga kesal.

Bambang Jenggo tidak peduli, ia menghantam berulang, Ajo tersengal-sengal ke belakang.

Jbbbkghhh!! Jbbbkghhh!! Jbbbkghhh!! Jbbbkghhh!! Jbbbkghhh!!

Ajo kewalahan, dia mulai melawan balik. Siku tangannya dilontarkan dari atas untuk menghajar punggung dan kepala Jenggo. Pada saat bersamaan, dari sudut matanya sang Raja Para Anjing menyadari Aswin juga sedang bergerak maju.

Sebelum tangan Ajo mengenai punggungnya, Jenggo beraksi.

Ia menautkan tangan ke arah jaket Ajo, mencengkeram dan menarik hoodie jaket itu ke atas seperti hendak melepaskannya tapi dia hanya melakukannya sampai separuh lepas saja. Semua berlangsung secara tiba-tiba dan teramat cepat, Ajo hanya tahu jaketnya tiba-tiba telah menutup kepalanya. Ajo tak berkutik! Tubuh bagian atasnya terkunci oleh jaketnya sendiri yang ditarik sampai membungkus kepala!

Tubuh Ajo ditarik ke kanan dan kiri dengan mudahnya, tangan Jenggo mencengkeram kerah jaket Ajo dan menjadikannya perisai hidup yang tak akan mudah dilewati begitu saja. Ajo berteriak-teriak karena ia tidak dapat melihat apa-apa, jaketnya sendiri menangkup wajah, kerahnya dipegang erat oleh Jenggo. Ia meronta tapi tak berdaya, tubuhnya membungkuk ke depan mengikuti cengkraman Jenggo.

“Wooooy!! Sheeeeet!! Fooooookkk!!” Ajo berteriak-teriak kebingungan. “Apa-apaan ini!? Apa-apaan ini!? Bajingaaaaaaan! Munyuuuuuuk!”

Aswin yang hendak menyerang Jenggo tidak bisa masuk ke area pertahanannya, karena jalurnya terus menerus ditutup oleh Ajo yang ditarik kesana kemari oleh sang Raja Para Anjing. “Jangan ditutup! Ajoooo! Jangan tutup akuuuu!”

“Aku ga tahuuu! Gimanaaa ini!! Aku ga bisa lihaaaat!! Fooooooookkk!!

Aswin dengan geram mencoba mencari celah untuk menyerang, tapi setiap kali dia bergerak mencari posisi yang tepat, di situ tubuh Ajo menutupnya. Aswin jelas marah besar pada Jenggo karena tidak dapat beraksi dengan efektif. Ia melepaskan beberapa kali pukulan saat bagian atas tubuh Ajo merunduk, tapi jangkauannya tidak sempurna – terlalu jauh.

Aswin mundur dan menggerutu. Ia bergerak lincah ke kanan dan ke kiri tanpa hasil. “Curang sekali! Ini tidak jantan! Ini curang! Kamu memakai jaketnya untuk…”

Bambang Jenggo mendengus dan tersenyum sinis, “Kalian bertarung di arena gelut jalanan. Tidak ada aturan mau bertarungnya pakai cara apa. Mau bagaimanapun bebas. Salah sendiri hanya selalu mengandalkan Ki semata.”

Jbkkgh! Jbkkkkghh!

Dua tendangan ke bagian belakang lutut Ajo membuat pemuda itu berteriak kesakitan. Ia luruh ke bawah. Tapi sebelum benar-benar jatuh, Jenggo beraksi lagi. Ia menundukkan badan dan mengayunkan kakinya. Siapa yang menyangka seekor beruang raksasa dapat bergerak dengan lincah? Sepakan kaki Jenggo membuat Ajo terbanting semakin keras ke arah yang berbeda. Ia terbanting lebih keras dari seharusnya. Tidak hanya itu saja, kaki Jenggo segera menginjak dada Ajo dengan kencangnya.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Lima kali menjejak, lima kali dada Ajo disentak.

Adiknya memang rubuh, tapi kesempatan kini terbuka. Aswin melaju kencang menyerang. Ia melompat tinggi dan melontarkan kepalan beruntun ke arah kepala Jenggo.

Hanya tertawa, Jenggo mundur ke belakang dengan langkah kaki ringan. Gerakannya lentur seperti seorang penari, tapi ia mampu melontarkan pukulan yang kencang bagaikan palu gada. Sang Raja Para Anjing menarik lengan kanannya sedikit ke belakang, sejajar dengan bahu. Dalam satu hembusan napas, ia melepaskan pukulan bagai peluru kendali.

Jblaaaaaaaaam.

Kepalan tangan Jenggo melesat kencang, kepala Aswin terbanting ke samping. Tubuhnya rubuh begitu saja. Giginya lepas dua. Darah mulai tumpah.

Bambang Jenggo berdiri jumawa dengan dua tangan terkepal di depan dua orang pemuda yang sama-sama roboh di hadapannya. Aswin menggemeretakkan giginya dengan kesal. Napasnya tak beraturan, Ajo lebih parah.

Aswin menghapus darah di pinggir mulutnya. “Ini masih belum selesai.”

Jenggo tersenyum sinis, “Sudah pasti. Kalau begini saja selesai aku akan sangat kecewa sekali. Maju dan kerahkan semua kemampuanmu. Jangan bilang kalau kamu hanya berani bertarung kalau memakai Ki saja. Memalukan!”

Aswin mencoba bangkit, tubuhnya doyong kesana kemari. Jenggo tidak menyerangnya, ia justru menunggu sampai Aswin benar-benar berdiri dengan tegap baru mengambil kuda-kuda lagi. Ajo juga mulai bangkit meskipun ia masih terus memegang dadanya yang terasa sesak.

“Aku akan membunuhmu,” desis Aswin sembari menatap Jenggo dengan tajam.

“Silakan saja kalau bisa. Masukkan ke wish list kamu kalau perlu. Aku tidak akan kemana-mana. Majulah kalian berdua.”

Aswin dan Ajo sama-sama berteriak.

Kaki-kaki mereka menjejak tanah, menerbangkan debu, membuat suasana panas makin panas di sore yang juga panas.

Hujan tidak turun hari ini.





.::..::..::..::.





“Sebenarnya siapa yang diinginkan Rahu?”

Shinta memejamkan mata, gadis itu seperti sedang mencoba menelusuri rak-rak penuh debu dengan buku-buku diary yang tebal dan berhiaskan sarang laba-laba dalam kenangannya. Keempat pria yang sedang bersamanya di dalam mobil menunggu cerita sang dara.

Mobil itu melaju ke arah timur kota.

“Namanya om Tarjo. Beliau adalah saudara angkat Papaku. Lahir yatim piatu dan setahuku tidak punya istri ataupun anak. Garis keturunannya yang ajaib bakal habis di om Tarjo seandainya ada sesuatu yang terjadi padanya.” Shinta menghela napas sembari menatap satu persatu wajah Amar Barok, Deka, Don Bravo, dan Simon. Mereka berempat menatap sang gadis muda itu dengan raut muka tegang. “…dan sesuatu benar-benar telah terjadi pada om Tarjo.”

“Apa yang terjadi?” tanya Deka.

“Om Tarjo sakit keras dan itu tidak memungkinkannya melakukan apa yang diinginkan oleh Rahu atau siapapun yang mengetahui rahasianya.”

“Sebentar sebentar… kita mulai dari awal dulu. Apa sebenarnya yang dimiliki oleh om Tarjo?” tanya Amar Barok. “Kenapa Rahu menginginkannya? Dia jelas bukan orang biasa.”

“Om Tarjo punya sesuatu yang… ajaib. Dia adalah keturunan seorang tabib sakti dari masa lampau yang memiliki keistimewaan turun-temurun, mengenai ini aku sebenarnya juga kurang paham walau sudah dijelaskan berkali-kali. Yang pasti, aku mengetahui keajaiban tentang om Tarjo ketika Papa kecelakaan dan terluka cukup parah di bagian kaki. Saat itu tiba-tiba saja Om Tarjo menyayat tangannya sendiri dan meminumkan darahnya pada Papa. Tidak butuh waktu berbulan-bulan, Papa secara ajaib sembuh tak kurang suatu apa! Siapa yang tidak akan terkejut!? Papa saat itu sudah akan diamputasi oleh dokter, tapi secara ajaib bisa sembuh! Benar-benar mengagumkan sekaligus mengerikan. Dengan darahnya, om Tarjo mampu menyembuhkan luka dan sakit seperti apapun, seperti obat yang sangat super.”

Don Bravo mendengus, “Cih. Dunia macam apa ini. Curang betul ada obat hebat semacam itu. Kalau kita perang dan lawan punya kekuatan obat semacam itu, sudah pasti tidak akan ada yang bisa kalah dan mati. Lha terus gimana menangnya? Wasu, curang sekali. Itu namanya nge-cheat. Hekekekek.”

“Seharusnya, tapi om Tarjo sudah tidak bisa lagi menurunkan darah apapun, darahnya sudah tergantikan sejak ia sakit keras dan mendapatkan transfusi darah. Darahnya sudah tidak murni lagi karena telah bercampur. Orang terakhir yang mendapatkan darahnya adalah si bajingan Bambang Jenggo.”

“Lah, kok orang itu bisa sakit? Katanya darahnya ampuh? Kok tidak bisa menyembuhkan diri sendiri? Piye toh? Wkwkwk.” Don Bravo garuk-garuk kepala.

“Seorang dokter tidak bisa mengoperasi dirinya sendiri, darahnya yang bagaikan obat bagi orang lain, kemungkinan besar tidak akan manjur baginya.” ujar Amar Barok. “Apakah seperti itu kondisinya, Mbak Shinta?”

“Betul, Mas Amar.” Shinta mengangguk. “Karena kondisinya semakin parah, tidak saja om Tarjo tidak lagi mampu menyediakan darah murninya, darahnya juga sudah tercampur dengan darah hasil transfusi darah. Efek khasiat darahnya sudah tidak lagi mujarab,” ujar Shinta sambil menundukkan kepala, “om Tarjo orang baik, tapi saat ini kondisinya sudah sekarat dan kemungkinan waktunya tidak akan lama lagi. Beliau masih sempat membantu dengan memberikan darah murni terakhir untuk menyembuhkan Bambang Jenggo demi menolong orangtuaku, tapi sampai saat ini, keduanya masih belum bisa diselamatkan. Aku tidak yakin apakah dengan kondisinya yang sekarang, om Tarjo bisa dibawa untuk menemui Rahu Kala.”

Simon mengangguk dan bersidekap, “Kita pasti akan menemukan jalan untuk menyelamatkan mereka dengan ataupun tanpa om Tarjo. Entah bagaimana caranya. Kita akan menyelamatkan orangtua-nya Mbak Shinta. Walau untuk itu kita harus berjibaku menghadapi Rahu. Sial! PSGxRKZ punya petarung kelas A+ seperti dia.”

Amar merengut. A+? Yakin masih di situ. Sehebat apa sebenarnya si Rahu? Dia bagaikan monster mengerikan yang jika dilepas di medan perang, akan menjadi anomali yang menghancurkan semuanya. Dia adalah mesin penghancur sejati, sang senjata pemusnah massal.

“Aku turun di bengkel saja,” ujar Amar. “Ada beberapa motor yang masih harus aku lembur hari ini. Kun, bisa bantuin? Tubuhku bener-bener remuk redam.”

“Oke, Mas. Aku juga sebenarnya sedang tidak fit sama sekali, tapi aku bantuin lah.” Deka mengiyakan.

Dia juga tidak tahu harus kemana lagi siang menjelang sore ini. Badannya masih pegal-pegal usai diberi kawruh oleh Rahu tadi. Benar-benar sosok yang mengerikan. Kenapa selama ini dia tidak pernah tahu akan keberadaan sosok legenda dengan level A+ seperti sang Dewa Iblis? Jauh sekali kemampuannya jika dibandingkan dengan Rahu. Deka mungkin masih berada di tingkat B atau C – padahal Deka sudah tenggelam dalam ilmu hitam. Sial, harus bagaimana lagi dia bisa meningkatkan kemampuan? Setidaknya dia ingin bisa menyamai dan membantu Nanto seperti halnya Amar Barok.

“A-aku juga akan turun di tempat yang sama.” Shinta tiba-tiba saja berucap. “Ada yang ingin aku obrolkan sama mas Amar sebagai perwakilan pimpinan Aliansi.”

Amar, Deka, dan Simon saling pandang. Satu-satunya yang cuek cuma Don Bravo yang terus melanjutkan aksinya makan bengkuang. Simon pun mengangguk setelah Amar memberikan tanda.

“Siap, Bos.”

Mobil memasuki kawasan wilayah tengah yang satu arah. Untuk bisa mencapai lokasi bengkel Amar Barok, mereka harus memutar setengah lingkaran stadion tengah kota, lalu masuk ke jalur di samping kantor Telkom, dan mengikuti jalan untuk sampai di perempatan nanggung. Dari sana mereka melanjutkan perjalanan ke bengkel Amar Barok yang ada di timur sembari menyusuri jalan melewati embung dan Balai Yasa.

Hanya butuh sekitar sepuluh menit untuk mencapai bengkel sang Panglima Singa Emas. Tiga orang turun dari mobil dan melangkah menyusuri trotoar sementara Simon dan Don Bravo melanjutkan perjalanan ke utara.

Amar dan Shinta berjalan beriringan sementara Deka di belakang mereka.

“Harap bersabar ya, untuk saat ini mungkin kita masih belum bisa menyelamatkan orangtuanya Mbak Shinta. Tapi kami pasti akan mencari cara untuk masuk ke dalam rumah Rahu dan meyelamatkan siapapun yang ada di dalam,” ujar Amar Barok dengan kalimat yang tenang walaupun ia sendiri sebenarnya masih belum tahu bagaimana caranya. “Orang itu menakutkan dan tidak bisa dihadapi sendirian secara nekat, butuh strategi dan cara khusus untuk bisa memasuki rumahnya.”

Shinta tersenyum pada Amar, “Terima kasih banyak, Mas Amar. Mudah-mudahan kita bisa segera memperoleh cara. Aku sebenarnya tidak mengira kalau Aliansi berbeda dengan QZK, JXG, dan Dinasti Baru. Aku pikir kalian cuma anak-anak kampus yang sok preman. Aku tidak pernah mengira kalau kalian ternyata bersedia membantu seperti ini. Sungguh sebenarnya aku tidak ingin merepotkan kalian. Aku kemarin berpikir kalau untuk bisa menyelamatkan orangtuaku, aku butuh orang-orang seperti Don Bravo, jadi…”

Amar tersenyum tipis sembari mensejajari Shinta saat melangkah menuju ke bengkelnya, “Kami hanya bisa membantu sekedarnya saja, Mbak. Tapi memang benar Aliansi tidak seperti kelompok yang lain. Kami benar-benar ingin membantu dan hanya ini saja sebenarnya yang bisa kami…”

Shinta menatap Amar penuh kekaguman dengan wajah memerah. Sungguh orang yang gagah Amar Barok ini. Dewasa dan tahu harus bicara apa, kapan, dan bagaimana.

“Mas Amar?”

Shinta dan Amar terhenti di jalan saat suara itu terdengar. Deka yang muncul di belakang mereka terkesiap saat melihat wajah cantik yang tengah berdiri termangu di depan bengkel Amar. Si cantik itu duduk di atas sebuah tas koper berukuran besar, mengenakan kaus putih, celana jeans warna biru pudar, dan topi warna hitam. Entah sudah berapa lama dia berada di sana. Kemungkinan sudah menunggu sejak pagi kalau dilihat dari wajah jelitanya yang lelah dan berpeluh. Kini senyumannya pun menghilang dan berubah menjadi wajah serius ketika melihat Amar berjalan bersama seorang wanita cantik.

Deka buru-buru melangkah ke depan Amar dan Shinta.

“Din… Dinda?”





.::..::..::..::.





“Tidak akan terelakkan.”

Om BMW geleng-geleng kepala, “Kalau Pak Z sudah meneguhkan sikap, maka dia pasti akan melaksanakan ancamannya, itu pertaruhannya. Harga dirinya terlampau besar. Kita harus menggetok kepalanya baru dia akan tenang. Untuk itu kita berdua harus bersatu dan menyadarkannya, Mas Dab. Karena setuju tidak setuju, perang ini tidak perlu terjadi.”

Asap tebal mengepul dari bibir om BMW. Meskipun ini di rumah sakit, dan tentunya tidak ada orang yang boleh merokok, tapi tidak ada yang berani menegur sang pria berpenampilan preman itu.

Saat ini Om BMW sedang mencoba berbicara dengan om Janu di koridor rumah sakit tempat Nanto tengah dirawat. Keduanya berbincang-bincang dengan suara setengah berbisik karena tidak ingin ada orang tahu apa yang sedang mereka perbincangkan.

“Tidak akan ada hasil yang bisa didapatkan dari perseteruan kita kecuali kerugian orang tidak bersalah, kita harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat.”

Om Janu memiringkan kepalanya, lalu tersenyum sembari menatap ke arah om BMW dengan tatapan santai. “Masa sih? Apakah ini benar-benar karena sampeyan merasa perlu menghindari perang, ataukah karena sampeyan ketakutan? Saya akui, wilayah tengah punya banyak aset yang harus dilindungi dan sudah pasti akan sangat sayang dilepaskan. Tapi apakah selemah itu Dinasti Baru sampai-sampai kita harus bergabung?”

Badalah. Kampret koen.” Om Bmw mendengus kesal dan melepas kacamata hitamnya. “Ini masalah serius, Dab. Jangan main-main! Taruhannya nyawa banyak orang iki!”

“Saya paham, paham sekali.” Om Janu mencibir. “Tapi sudah terlalu lama rasanya saya bersikap tenang dan jadi orang baik. Selama ini saya selalu mengalah. Pertarungan terakhir antara saya dengan Pak Zein masih ambigu, tapi QZK secara keseluruhan runtuh. Setelah kekalahan QZK di pertempuran lampau, rasa-rasanya sekarang saatnya kami bersikap dan tidak lagi tunduk pada JXG. Nah, tugas sampeyan sebagai pucuk pimpinan Dinasti Baru… hanya perlu berjaga di perbatasan dan tak melepas orang-orang JXG ke utara. Saya sebenarnya tidak perlu memberitahukan hal ini, tapi opsi sampeyan kan ada tiga. Satu – bertahan dan menahan gempuran baik dari utara ataupun selatan, dua – bergabung dengan QZK, dan tiga – bergabung dengan JXG. Lho kan penak. Pilihannya ada tiga.”

“Jadi begitu…”

Om Janu melangkah pergi meninggalkan om BMW yang berdiri termangu sendirian di koridor. Asap rokoknya masih mengepul, beberapa orang suster perawat berkumpul hendak memberanikan diri untuk menegurnya. Sembari melirik ke belakang, sang pimpinan QZK pun mengucapkan beberapa patah kata tambahan, “Kita sama-sama tahu ujian pertama perang ini ada di Dinasti Baru. Persiapkan diri sampeyan. Kalau Pak Zein memang nekat ke utara, kami juga akan ke selatan. Beritahukan padaku sampeyan mau ke arah mana. Kawan, atau lawan.”

Om Janu melangkah pergi.

Om BMW mendengus kesal mendengar ucapan dari sang pimpinan QZK itu. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam, dan menghembuskan asapnya dengan santai.

“Sebaiknya dimatikan saja rokoknya. Suster-suster perawat sudah resah semua. Mereka mau memperingatkan sampeyan tapi tidak berani.” Seorang pria mendekat ke arah om BMW. Dia bersandar di sebuah tiang penyangga. Sebatang rokok yang tidak menyala terselip di bibirnya. “Sedang galau? Sama.”

“Heheh. Kegalauan kita tidak sama, Mas Ridwan Danuri. Njenengan pastinya sedang puyeng sekarang, hahahaha.” Om BMW terbahak-bahak dan membalikkan badan untuk menemui Kapten Ri. “Kota ini akan segera dihancurkan oleh benturan kekuatan dari utara dan selatan, bagaimana perasaan Tim Garangan?”

Kapten Ri menyeringai, “Biasa saja. Malah justru bagus. Kalian saling bunuh, mengurangi populasi orang-orang bangsat di kota ini.”

“Hahahahaha, semprul.” Om BMW berjalan mendekat, lalu berbisik pada Kapten Ri. “Lakukan saja tugas kalian dengan baik dan pastikan tidak ada korban. Ora sah ndaho, Dab. Jangan gegabah. Tim Garangan yang sekarang tidak akan mampu menghentikan apapun jika pertikaian meledak.”

Kapten Ri mendengus, “Widih. Tidak mampu? Jangan meremehkan kami, Ngab. Begini-begini kami masih punya banyak resource.”

“Bukan meremehkan, tapi menyatakan kebenaran. Aku kepengen Tim Garangan bisa punya suara di lapangan – seperti halnya saat menuntaskan problema perang utara-selatan sebelumnya, tapi saat ini kalian punya masalah internal yang tidak akan bisa beres kalau orang-orang berjabatan masih berjabat tangan dengan mafia.” Om BMW mengedipkan mata, “Tapi itu hanya basa-basi. Kalau kalian bekerja dengan baik, Dinasti Baru dalam bahaya. Bwahahahahaha.”

Gemblung.”

“Kapten Ri yang terhormat, sekedar saran saja. Ini hanya mengingatkan lho ya. Hanya mengingatkan karena tentunya sebagai warga masyarakat kita wajib mengingatkan kalau ada yang tidak benar. Mohon maaf kalau tersinggung atau salah kata, karena tujuannya hanya sekedar mengingatkan. Heheheh.” Om BMW menatap mata Kapten Ri dan menggemeretakkan giginya, “Jangan ganggu langkahku kalau tidak ingin terjegal.”

Kapten Ri mencibir tapi kemudian mengangguk, “Memang ada sedikit penurunan kualitas di jaman kepemimpinanku sesuai yang sampeyan bilang, Om. Tapi aku yakin Tim Garangan mampu menuntaskan pertikaian antar kelompok sekaligus menghancurkan tatanan geng yang tidak sehat di kota ini. Pihak yang berwajib harus jadi yang utama di kota sendiri, bukan kalian.”

“Heheheh. Ngomongnya mulai ngelantur. Cita-cita memang boleh setinggi langit sih. Tapi seharusnya kalian paham kekuatan sendiri.” Om BMW geleng-geleng kepala. “Bahkan untuk kasus Nanto hari ini pun pasti kalian akan menemui kesusahan.”

Kapten menatap om BMW tanpa berkedip. “Maksud?”

“Bahkan untuk sesuatu yang jelas-jelas terjadi di depan mata, banyak hal di belakangnya yang masih jadi misteri. Kalian pikir gadis yang kalian tangkap itu bersalah? Dia hanya korban dan berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Semua berjalan sesuai dengan rencana Ki Juru Martani, bahkan kedatangan Nanto pun sudah dia perkirakan. Hebat bukan? Sebegitu detailnya rencana busuk si penopeng itu. Apapun rencana Tim Garangan, dia selalu selangkah di depan.” Om BMW menepuk pundak Kapten Ri, membersihkannya dari debu, “Kalau memang kalian mewakili pihak yang berwajib, jadilah kelompok yang wajib ditakuti, bukan wajib disusupi.”

“Tidak perlu mengkritik kelompok lain kalau kelompok sendiri juga tidak beres.” Kapten Ri tersenyum.

Om BMW tersenyum, lalu mendengus, dan berjalan pergi meninggalkan Kapten Ri yang masih bersandar di tiang penyangga. Tapi sebelum pria gagah itu melangkah terlampau jauh, sang pimpinan Tim Garangan memanggilnya.

“Siapa yang paling dirugikan dari pernyataan Pak Zein tadi siang? Dinasti Baru! Bukan JXG, bukan QZK, tapi Dinasti Baru. Kalian terjepit di tengah dan sudah pasti bakal jadi mangsa empuk dua raksasa. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum kalian akan tertelan.” ucapnya sedikit lantang. Beberapa orang yang kebetulan lewat terkejut dan buru-buru menghindari kedua laki-laki itu.

Om BMW terhenti, lalu membalikkan badan. Wajahnya menunjukkan perbedaan, lebih seram, lebih mengintimidasi. Kata-kata yang berikutnya terucap disampaikan dengan tegas. “Wilayah tengah memang terjepit. Tapi ada alasannya kenapa aku bisa duduk di satu meja dengan Pak Zein dan om Janu serta mendapatkan perhatian mereka berdua – sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh almarhum Joko Gunar dan pimpinan Tim Garangan sekalipun. Tanya kenapa.”

Kapten Ri geram. Om BMW menyeringai, lalu bersiap memutar badan untuk kembali melangkah. Sekarang atau tidak sama sekali.

“Dinasti Baru butuh pengakuan dan perlindungan, kalian terlalu banyak urusan busuk di tengah yang terancam hancur karena kejadian ini.” ujar Kapten Ri. Dia berjalan mendekat ke arah om BMW sembari menggemeretakkan gigi, dia tidak ingin melakukan ini tapi harus. Kondisi tim yang dipimpinnya membuat Kapten Ri tidak punya banyak pilihan. “Tim Garangan akan menyediakan itu… jika kita bekerja sama.”

“Oh?”

“Ada warna merah di cakrawala sore ini. Warna merah yang akan meluas, lalu perlahan-lahan menangkup seisi kota dan merubahnya menjadi kegelapan. Satu-satunya warna yang bias ada di tengah. Cahaya kecil sang rembulan yang siap merubah langit gelap menjadi terang sebelum akhirnya pagi menjelang. Dimulai dari tengah.” Kapten Ri mengulurkan tangannya ke depan, mengajak berjabat tangan. “Butuh lebih dari sekedar nyala bulan untuk menjadikan malam menjadi pagi yang terang.”

“Hahahahaha. Tidak kuduga sama sekali seorang sampeyan bisa puitis.” Om BMW tertawa. Sejenak kemudian tawanya mereda. Wajahnya berubah menjadi serius. “Nah… nah… sekarang baru kita bicara serius dua rius. Saya jadi penasaran. Herr Kapitän, was soll ich jetzt tun? Apa yang sampeyan inginkan?”

Keduanya saling bertatapan.

Kapten Ri masih menyodorkan tangannya.





.::..::..::..::.





Angkringan di bawah Jembatan Tjinta menjadi sedikit lebih ramai sore itu – padahal sang penjual baru saja datang dan menggelar dagangannya. Hampir sepuluh motor terparkir berjajar rapi di samping gerobak angkringan dan belasan preman duduk-duduk santai beralaskan tikar di depannya sembari merokok dan minum kopi. Gorengan laris manis, tumpukan nasi kucing tinggal separuh, dan wedang jahe terus menerus diseduh. Laris manis tanjung kimpul. Hari yang menyenangkan bagi sang penjual.

Tapi bukan hari yang menyenangkan bagi para preman yang tengah berkumpul di situ. Satu diantaranya terus menerus menggerutu.

“Kalau dipikir-pikir, yang mau perang JXG sama QZK, eh tapi sekarang justru Dinasti Baru yang kelimpungan. Jan munyuk og. Wasu! Jingan!” Martoyo Kimpling bersungut-sungut. Ia menepuk ujung batang rokoknya sedikit untuk melepaskan abu, lalu mengangkatnya kembali, dan menghisap dalam-dalam. Asap rokok menyebar mengisi ruang di bawah jembatan. “Semua ini gara-gara ulah si bajingan Ki Juru Martani yang membuat semua yang baik-baik saja jadi berantakan. Jan wedhus tenan! Gek yo ngopoooo ngunu lho, wong kok kakehan pretingsing. Kenapa sih tidak bisa membiarkan semuanya seperti apa adanya sekarang?”

“Belum ketauan ya munyuke siapa, Bos?”

“Terus gimana sekarang? Piye iki penake?”

“Apa yang akan kita lakukan, Om?”

Bertubi-tubi pertanyaan menerpa sang preman pemimpin unit Slayer Biru. Pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Sang pemimpin hanya bisa mengangkat bahunya tanda mbuh ra weruh.

Om Kimpling mencibir kesal, “Yo arep piye meneh? Mau gimana lagi? Pasrahlah. Apalagi yang bisa kita lakukan kecuali bersiap-siap? Sesuai yang tadi disampaikan di mabes, kita akan membagi tugas dan berjaga-jaga di parameter yang telah ditetapkan. Seperti yang sekarang ini kita lakukan. Wilayah Jembatan Tjinta ini jadi pintu gerbang utama wilayah timur, sementara Pakdhe Nur dan unit Slayer Merah bakal berjaga-jaga di Pertigaan Boroplaza sampai Perempatan Jites. Pokoknya berhati-hatilah karena JXG bisa datang kapan saja dan dari mana saja, jangan pernah lengah dengan pergerakan apapun. Usahakan ada yang patroli setiap seperempat jam sekali.”

“Siap Bos.”

“JXG bukanlah kelompok kelas kacang bosok. Mereka akan menyerang dengan terang-terangan, tidak main umpet-umpetan kayak pengecut. Jadi kalau tidak lewat sini, mereka akan menembus lewat Pakdhe Nur.” Om Kimpling kembali menghembuskan rokoknya, ia menatap ke arah jauh. Karena berada di bawah jembatan, dia harus sedikit memicingkan mata dan mengintip untuk memperhatikan arah selatan jembatan layang yang saat ini sedang mereka jaga. “Jembatan Tjinta adalah wilayah paling rawan, karena titik inilah jalur utama bagi pasukan JXG untuk menyerang ke utara melalui ringroad. Seandainya saja mereka langsung menuju utara tanpa harus melewati wilayah tengah, maka itu tidak jadi masalah. Masalahnya adalah mereka pasti ingin mencaplok wilayah tengah juga. Jadi kita harus mempertahankan titik ini apapun yang terjadi. Tidak ada kata menyerah. Dinasti Baru harus bisa bertahan dan menjadi besar. Kita tidak akan pernah…”

Terdengar suara raungan motor dari arah selatan, gas yang diputar berulang-ulang memekakkan telinga. Jelas tidak hanya dilakukan oleh satu motor. Mungkin ada belasan yang datang mengepung dari selatan. Dari sisi kiri dan kanan jembatan, masuk menyeruak memenuhi empat lajur jalanan.

Om Kimpling meludah ke trotoar dan berjalan dengan tenang sembari memakai jaket kulitnya. Ia mengayunkan lengan pada para anggota Slayer Biru. “Tutup jalan! Kiri dan kanan! Tidak ada yang boleh lewat! Kalau nekat kita kasih neraka! Mereka atau kita yang mati!”

Teriakan-teriakan terdengar, pasukan Slayer Biru menyebar sesuai perintah. Motor-motor yang baru datang berhenti di tengah jalan. Belasan orang berwajah serius turun berjajar. Satu orang di antara mereka berjalan dengan tenang ke tengah menuju ke arah parkiran di samping gerobak angkringan di mana om Kimpling berada.

Pria yang baru datang membungkukkan badan untuk memberi hormat. Dia melepas topengnya untuk menunjukkan wajah yang seperti orang asing. Sang pimpinan Slayer Biru mengenali sosok itu sebagai salah satu anggota dari sepuluh punggawa SSX, si nomor tiga setelah Hanzo dan Usagi, dia adalah Nohara, si Jepang botak bercodet.

Martoyo Kimpling berdiri sembari berkacak pinggang, rokok masih terselip di bibirnya. “Nohara Shinnosuke-kun.”

“Om Kimpling.”

Sang pimpinan Slayer Biru tersenyum menatap salah satu punggawa unit SSX itu, “Akhirnya bertemu lagi denganmu setelah cukup lama rasanya kita tak berjumpa. Tadinya aku khawatir kita tidak berjodoh karena sudah tidak pernah lagi bertemu. Aku pikir karena ijin tinggalmu ditangguhkan jadi kamu dideportasi dan dipulangkan.”

Nohara menyunggingkan senyum tanpa banyak kata.

Om Kimpling memainkan asap rokoknya. “Sepertinya hari ini kita sama-sama sudah terlalu lelah, sama-sama terlalu banyak pikiran dengan semua yang terjadi terlalu cepat. Bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol saja di angkringan? Kita pertimbangkan dulu semuanya dengan matang. Aku yakin kamu juga tidak ingin melakukan ini.”

“Maafkan saya, om Kimpling. Perintah dari pimpinan kami sudah jelas. Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan.” Pemuda itu berjalan perlahan ke depan dan menatap om Kimpling dengan tatapan mata tajam, wajahnya yang tampan nampak keras dengan codet menyilang dari atas alis kanan sampai bawah pipi kiri. Nohara terlihat sangat fokus terlihat fokus, rahangnya mengeras. Pemuda ini sedang tidak bercanda. “Kalimat dari pemimpin kami sudah disampaikan dengan sangat-sangat jelas. JXG akan ke utara.”

“Barangkali karena kamu orang Jepang - kamu tidak bisa membaca peta dengan baik dan benar. Coba aku jelaskan dengan kalimat yang mudah dipahami ya? Kalian tidak sedang berada di utara. Kalian berada di wilayah tengah,” ujar om Kimpling. Wajahnya kini ikut tegas dan tidak main-main. Ia menatap mata Nohara dengan tajam, jarak antara keduanya makin dekat. “Setelah paham bahwa kalian berada di wilayah tengah, silakan berbalik arah dan hormati Dinasti Baru. Ini adalah peringatan pertama dan terakhir. Aku yakin kalian sudah paham.”

Nohara tersenyum dan menyiapkan kuda-kudanya, “Dalam hal ini tidak ada istilah paham tidak paham mengenai wilayah tengah atau apalah. Yang kami paham hanya satu, perintah adalah perintah. Tetap bersikeras menghadapng? Maka jadilah. Nggir ra minggir tabrak.”

Om Kimpling mendengus, kakinya mantap menapak tanah. Suaranya lantang berkumandang. “Bocaaaaaaaah-bocaaaah! Siaaaaaaaaap!!”

“Siaaaaaap!!!” terdengar balasan menggema bergempita dari rombongan pemuda yang berada di belakang om Kimpling. Masing-masing dari mereka mengenakan ikat kepala slayer yang berwarna biru. Pasukan Slayer Biru menyebar sambil berteriak-teriak. Sebagian dari mereka memegang senjata apapun yang bisa mereka pegang.

Suasana menjadi panas seketika.

Om Kimpling memberikan tanda pada sang penjual angkringan untuk menyingkir dari arena. Tidak perlu menunggu lama, pria malang itu segera lari tergopoh-gopoh meninggalkan gerobaknya. Om Kimpling bersiap. Kuda-kuda ia bentangkan, tidak ada lagi jalan mundur – JXG telah memaksanya.

Nohara sama sekali tak bergeming. Tanpa melirik sekalipun ke belakang, ia mengayunkan tangannya. Memberi tanda pada pasukan JXG yang ikut bersamanya untuk bersiaga.

Suasana menjadi panas. Mata saling memandang, kedua sisi saling mengukur kekuatan masing-masing, saling mengincar lawan yang akan dihadapi. Sudah tidak ada jalur memutar lagi, sudah tidak ada jalan untuk berbalik. Sekarang atau tidak sama sekali. Saatnya untuk mewujudkan apa yang sudah dinantikan, jika memang keharusan. Yang terjadi terjadilah.

Nohara mengangguk. “Maju.”

Om Kimpling berteriak kencang. “Seraaaaaaaaaaaaangg!!”

Arena tercipta.





.::..::..::..::.





Balkon rumah keluarga Zein yang menghadap ke taman agak sendu sore itu.

Usai pesta pernikahan yang menjadi berantakan karena ulah seorang pengganggu, keluarga akhirnya pulang ke rumah dengan hati yang runyam. Semua orang berusaha melanjutkan hidup dan acara mereka dengan rasa yang karuan dengan cara masing-masing. Mama Eros, Ahmad, dan Nada menjadi nyonya rumah paling berpengaruh yang mengatur semampunya agar kehidupan kembali menyala normal di dalam rumah, meski tentunya hal itu tidak mudah.

Pak Zein sendiri tidak nampak seharian, entah di mana dia berada. Rumah dijaga dengan ketat, akses keluar masuk dibatasi bahkan untuk anggota keluarga sekalipun. Anggota unit khusus SSX menjadi penjaga andalan yang menjaga setiap parameter rumah keluarga Zein.

Nada duduk dengan kepala tertunduk di balkon rumah, berusaha menata hati dan menata jiwa. Matanya sembab karena menangis seharian. Gadis itu membiarkan rambutnya yang digelung ke atas sesekali dimainkan oleh angin yang nakal tapi menenangkan sejenak. Setelah sesaat disentuh angin, kembali ia runtuh dalam pikiran yang dalam. Wajar saja. Bagaimana dia dapat tampil di publik setelah semua yang ditampilkan di pernikahan Ahmad? Tubuh telanjangnya dipertontonkan sedemikian vulgar di depan semua orang, pemerkosaan dirinya muncul bagaikan adegan horor paling ngeri yang pernah ia saksikan – dan itu jadi tampilan bagi khalayak ramai.

Bagaimana dia dapat menghadapi orang-orang lagi?

Bagaimana ia dapat bertemu dengan pria yang telah mencuri hati dan jiwanya?

Ada kotak obat penenang di meja di sampingnya. Nada melirik obat itu, mencoba meneguhkan hati, mencari dalam diri apa yang hendak ia cari dan apa yang sebaiknya ia lakukan. Gadis jelita itu sudah berniat membuka kotak obat itu untuk mengambil dua butir dan segera menenggaknya untuk menenangkan diri. Tapi ketika hendak meraihnya, tangannya bergetar.

Tidak. Ia tidak bisa melakukannya. Ia tidak boleh melakukannya. Semua pasti bisa diatasi, semua pasti ada jalan keluarnya. Bahkan bencana seperti inipun pasti ada cara untuk melaluinya. Tidak begini caranya dididik.

Lagipula bukan dengan cara begini dia bisa sembuh dan ini tidak akan baik untuk…

Nada menangkupkan kedua tangan pada wajahnya. Ia mendengus kesal karena sepertinya sangat lemah sekali sehingga bisa dipermainkan seperti ini oleh seseorang seperti Ki Juru Martani. Pada saat-saat seperti ini, Nada selalu ingat apa kata sang Papa.

Semua masalah pasti ada solusinya.

Meski sampai saat ini Nada belum menemukannya, tapi semua masalah pasti ada solusinya.

Ah.

Untuk kesekian kalinya, air mata Nada kembali mengalir tanpa terkendali, tubuhnya meradang, dan ia pun mulai sesunggukan. Ia menangis tersedu-sedu secara tiba-tiba untuk kesekian kalinya hari ini. Ia benci pada dirinya sendiri kalau jadi lemah seperti ini.

Gadis yang sedang duduk di balkon itu mencoba menatap langit yang perlahan membias gelap dari ujung ke ujung cakrawala – seperti hidupnya, semua yang terang perlahan menjadi gelap. Kehidupannya hancur setelah video tak senonohnya ditampilkan tanpa sensor di depan ratusan bahkan ribuan orang di pesta pernikahan sang kakak. Siapa yang tak akan hancur setelah peristiwa semacam itu?

Ia bahkan tidak bisa menemani Nanto di rumah sakit karena Sulaiman Seno menjemputnya. Nada tahu kondisi di ruang terbuka menjadi tidak aman setelah Papa-nya menyatakan perang pada orang-orang utara. Ia akan menjadi titik kelemahan sang Papa dan sudah dipastikan keberadaannya di manapun akan menjadi incaran. Bagaimanapun perasaan Nada pada Nanto, ia tidak mungkin mengacaukan semuanya dengan menawarkan diri di publik bagi musuh-musuh sang Papa.

Hingga saat ini, Ia sudah berulangkali menghubungi ponsel Nanto, tapi tentu saja tidak terjawab karena tentunya pemuda itu sedang kesakitan. Badan dan perasaan Nada hancur.

Kehancuran dirinya, membuatnya sadar akan hal lain lagi. Nada berusaha menyentuh kantong outer cardigan-nya. Lalu hal ini terjadi… ia semakin hancur lagi.

Satu tangan lembut merangkul gadis itu dari belakang.

“Semua akan baik-baik saja, Ndut.” bisik suara itu, “aku akan memastikan semua baik-baik saja. Papa memang susah dibelokkan jika sudah berpendirian, tapi semuanya akan baik-baik saja seperti biasanya. Aku yakin Papa dapat melihat kalau kamu sangat memperhatikan pemuda itu. Lalu mudah-mudahan jika Papa sudah bisa mengendalikan emosinya, semua hal yang terjadi hari ini bisa di-undone. Semua masih dimungkinkan, kita tahu para pimpinan kelompok adalah orang-orang dewasa dengan pemikiran yang matang. Mereka seharusnya tidak lepas kendali – tapi hari ini Papa benar-benar dipukul palu gada berkali-kali, siapa yang tidak akan hancur hatinya dan meledak emosinya.” Ahmad merangkul sang adik dan mengecup ubun-ubunnya. “Kamu juga lebih kuat dan sabar ya. Semua hal yang terjadi hari ini adalah cobaan yang harus kita lalui, bukan hanya kamu seorang – kita, satu keluarga – semua harus bersatu dan menjadi kuat, kita sudah pernah menghadapi hal seperti ini. Kita tahu bagaimana melaluinya.”

“Mama mungkin tidak bisa menghentikan amarah Papa, tapi setidaknya bisa membantu kita menyelamatkan seluruh keluarga. Untuk sementara waktu ada baiknya kamu, Mama, Mbak Ve dan Dedek, serta Meisya – liburan untuk waktu yang lama di Jepang,” ujar Eros yang ternyata juga berada di balkon. “Aku dan Ahmad akan membantu Papa mengatasi semua masalah di sini. Mudah-mudahan tidak sampai terjadi seperti apa yang pernah terjadi.”

“Iya, Mas.” Nada menghela napas, dia sudah tahu kalau dia akan diamankan ke luar negeri menyusul peristiwa ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan kepergiannya bisa saja permanen. “Tapi seandainya saja masalahnya semudah itu… aku masih ada urusan yang harus aku selesaikan…”

Eros dan Ahmad saling berpandangan.

Eros mengerutkan kening dan mengelus pundak sang adik, “Apa maksudmu? Urusan dengan Rama? Dia pergi entah kemana tanpa menenangkanmu, rasa-rasanya itu sudah cukup menjelaskan karakternya. Dia pasti juga sedang marah besar. Kita bisa rundingkan masalah pertunangan kalian kalau semua sudah tenang nanti.”

Nada menggeleng. “…bukan Rama.”

Ahmad menghela napas, “Nanto? Ayolah, Ndut… Papa tidak akan pernah mengijinkanmu menemuinya kecuali dia menyembah dan minta ampun pada Papa. Dengan kondisinya yang sekarang, aku ragu perdamaian di antara JXG dan Aliansi bisa tercapai dalam waktu dekat, apalagi Nanto dan Aliansi kelihatan seperti anak emas QZK.”

Eros dengan tenang tersenyum pada sang adik, “bagaimana tadi di rumah sakit?”

“Tadinya aku memang mau menemaninya di rumah sakit, Mas. Tapi karena aku juga sedang shock berat setelah… setelah… setelah yang tadi… makanya aku memilih untuk menghindar dulu dari ruang terbuka. Ketika dijemput om Jagal, aku pulang ke rumah dan mengunci diri di kamar sepanjang hari sampai Mama datang.”

“Nangis ya?” Ahmad tersenyum lembut pada sang adik dan memukul lembut ubun-ubun si cantik itu. “Bukan kayak kamu, Ndut. Kamu orang yang kuat – seharusnya bisa lebih tahan dari ini. Mungkin orang tidak akan pernah melupakan video kamu tadi, tapi setidaknya kamu bisa berusaha untuk move on. Bukan demi orang lain, tapi demi dirimu sendiri. Aku yakin kamu bisa… karena kamu adikku.”

“Kami selalu ada di samping kamu, jangan khawatir.” Eros memastikan dukungannya pada sang adik. “Aku akan membujuk Papa untuk mempertimbangkan semuanya. Tidak ada ujung pangkalnya kalau saling serang begitu saja seperti orang barbar. Dendam hanya akan menimbulkan dendam baru yang mengakibatkan dendam lain. Begitu saja terus seperti lingkaran setan. Efek perang utara dan selatan akan menimbulkan kerugian besar.”

Nada mengangguk dan tersenyum dengan mata sembab. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong outer cardigan-nya dan mengangkatnya ke hadapan kedua kakaknya dengan tangan bergetar dan wajah pucat pasi. “Tapi ada masalah yang lebih besar yang aku hadapi sekarang. Jangan bilang-bilang ke Papa dulu ya, Mas. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku bingung, Mas…”

“Apa-apaan sih kamu ini. Kan sudah aku bilang jangan cengeng. Kamu itu orang kuat, Ndut. Aku yakin kamu pasti bisa melalui…” Ahmad mencibir dan mengambil benda itu. Ketika akhirnya melihat apa yang ditunjukkan sang adik, matanya terbelalak dan kalimatnya yang tadinya nyerocos bak kereta barang akhirnya terhenti.

“Oh.”

Eros melirik ke kantong plastik bening di tangan Ahmad. Ia juga terbelalak melihat dua stick berwarna putih yang berada di dalam kantong plastik itu. Dia tahu itu benda apa, dia tahu kalau stick itu memiliki indikator garis di salah satu ujungnya. Tidak perlu jadi orang pintar untuk mengenali benda apa itu dan apa yang telah terjadi.

Eros menatap Nada, seketika wajah lembut Eros berubah menjadi khawatir, “Nad… ini…?”

“Aku juga baru saja tahu, Mas… sore ini… sebenarnya aku sudah curiga karena belakangan ini aku…”

“Jangan-jangan kamu…?”

Nada kembali melelehkan air mata.

Tapi kali ini dia tersenyum dan mengangguk dengan tegas. Ia tidak takut. Ia tidak takut apapun. Ia berani. Ia berani menghadapi siapapun. Meski bergetar dan suaranya parau, tapi gadis jelita itu berusaha tetap tegar menjawab pertanyaan dan rasa penasaran dari kedua kakaknya. Meski ia tidak akan tahu apa yang akan terjadi kelak, tapi ini kenyataan yang harus dia hadapi sekarang.

“Iya, Mas.”





.::..::..::..::.





.:: SEBULAN KEMUDIAN



Bunyi dering telepon memenuhi rumah, mengisi ruang, membuatnya terdengar dari ujung ke ujung, melayang di langit-langit, dan menyeruak mencari celah untuk terbang keluar. Hari yang sejuk dengan angin sepoi mengarungi udara membawa dering itu sampai ke halaman depan.

Mendengar dering yang mengalun, satu tubuh indah bergegas masuk ke dalam rumah dan melalui ruang demi ruang dengan gerakan ringan yang lembut bagaikan tarian untuk mencapai di mana ponsel itu berada. Satu tangan lentik membuka layar smartphone-nya yang berbunyi nyaring.

Tubuh indah itu lantas duduk di lantai menghadap ke halaman luar. Tak lama kemudian percakapan pun tercipta. Mulai dari mengucapkan salam, sampai ke pertanyaan kenapa terlambat menyambut dering. “Hahahaha, iyaaa. Maaf tadi saya habis dari kebun, Mas. Sudah makan siang? Syukurlah. Ponselnya saya taruh di ruang tengah, jadi tidak dengar apa-apa. Iya… bagaimana kabarnya? Syukurlah kalau sehat-sehat saja. Kami di sini juga semua baik-baik saja tak kurang suatu apa.”

Ah, senang mendengarnya. Bagaimana kehidupan di sana? Tentu saja sangat berbeda dari suasana di sini ya. Jujur saya agak kaget ketika Dek Asty memutuskan untuk pindah.

“Hahaha. Lumayan kok, kami mulai menyesuaikan. Hidup di sini memang berbeda, tapi setidaknya lebih tenang dari segala macam marabahaya yang mengancam.” si cantik Asty tertawa ringan, “mungkin terdengar lebay ya, Mas. Tapi sungguh saya sering merasa ketakutan kalau tetap tinggal di kota – terutama dengan adanya ancaman terus menerus dari Reynaldi sang durjana, Mas Ri tahu sendiri bagaimana ngototnya orang itu. Di sini, saya sudah dapat pekerjaan baru. Mengajar dengan santai di salah satu sekolah kecil. Yah, mesti dengan gaji seadanya, tapi setidaknya bisa hidup tenang.”

Syukurlah kalau Dek Asty mulai bisa menyesuaikan diri.”

“Iya… untung saja saya dan Adek bisa cocok tinggal di sini. Oh iya, sebenarnya saya ingin bertanya kalau diperkenankan, Mas Ri. Kira-kira bagaimana dengan Hanna?” tanya Asty dengan hati-hati sekali, dia tidak ingin membuat Kapten Ri yang sedang menelpon menjadi terlalu banyak bertanya-tanya, “Saya mengenal gadis itu, Mas Ri. Dia gadis yang baik. Saya kok tidak yakin dia melakukan semua hal itu dengan sengaja. Pasti ada orang yang telah mempengaruhinya. Apa yang terjadi padanya? Apakah masih ada jalan untuk membebaskannya?”

Nanto dengan tegas sudah menyatakan untuk tidak mengajukan gugatan, keluarganya juga sudah menjamin bahwa gadis itu tidak bermasalah. Mungkin ada tekanan mental dan hal lain-lain yang menyebabkan ia melakukan tindakan itu.” Terdengar suara balasan Kapten Ri dari ujung telepon. “Karena korban sudah tegas menyatakan bahwa itu kecelakaan murni, keluarga sudah bicara, dan ada pejabat yang menjamin, Hanna kami bebaskan. Walaupun sebenarnya saksi begitu banyak sehingga dia bisa dijerat pasal tindakan percobaan pembunuhan.”

“Kasihan sekali dia. Apakah mungkin karena tunangannya meninggal dibunuh orang tidak dikenal dan kasusnya masih belum jelas sampai sekarang membuat gadis itu jadi stres? Saya tidak yakin, Mas Ri. Benar-benar tidak mungkin Hanna melakukan itu. Gadis itu pasti dipengaruhi seseorang, seperti.. hipnotis barangkali? Kita hidup di jaman semuanya serba mungkin, apalagi dengan semua yang terjadi belakangan ini. Saya kok curiga ada yang menghipnotis.”

Mungkin. Selama dalam tahanan Hanna menunjukkan tanda-tanda kooperatif dan berlaku baik, saya juga tidak yakin dia melakukan kejahatan itu dengan sengaja – tapi sesuai hukum, saya harus tetap menahannya. Lantas keluarganya datang dan menjamin gadis itu dipastikan tidak akan bisa menyakiti dan berhubungan dengan Nanto untuk sementara waktu. Karena tidak ada gugatan, keluarga sudah menebus jaminan – termasuk jaminan dari beberapa orang pejabat berpangkat tinggi, termasuk juga pengacara yang bersikeras untuk menyelamatkannya, untuk saat ini gadis itu lolos dari jeratan hukum apapun. Hanna sudah dikirim ke luar negeri dan tidak akan kembali dalam waktu dekat.

“Begitu ya. Untunglah kalau dia tetap bisa melanjutkan hidup. Sekali lagi… saya kok tidak percaya Hanna tega dan mampu melakukan tindakan sekeji itu pada Nanto. Pasti ada sesuatu yang mengendalikannya. Intuisi saya untuk hal ini tidak akan salah, Mas. Sama seperti Nanto yang juga yakin sekali kalau Hanna tidak bersalah.” Asty menghela napas panjang, “Apa yang akan terjadi jika Hanna balik ke negara kita kelak? Apakah dia benar-benar tidak boleh menemui Nanto lagi?”

Semuanya tergantung bagaimana nanti. Secara pribadi, aku juga merasakan ada yang aneh dari peristiwa ini, Dek Asty. Apalagi kalau dari pemeriksaan, gadis itu sepertinya mengalami transient global amnesia - semacam hilang ingatan sesaat tentang apa yang terjadi. Ini dibuktikan melalui tes deteksi kebohongan. TGA Hanna terjadi tepat di saat-saat krusial saat ia meninggalkan ruangan pesta untuk sesaat dan meninggalkan Nanto. Ada sesuatu yang terjadi saat itu, entah apa. Jangan khawatir, kami juga punya nurani. Jika gadis itu memang benar-benar tidak bersalah, namanya pasti akan dibersihkan. Tapi sayangnya Hanna melakukan penusukan tepat di depan orang banyak – alibinya saat ini sangat lemah. Jika ia kembali kelak, ada kemungkinan dia akan mendapatkan penghakiman secara sosial kecuali benar-benar terbukti tak bersalah.”

“Hmm… kasihan sekali.”

Hening sesaat.

Ehm, Dek Asty…”

“Iya, Mas?”

Kalau boleh bertanya… sebenarnya apa hubungan Dek Asty dengan Nanto? Kenapa sepertinya Dek Asty sangat memperhatikan pemuda itu? Bahkan sekarang pun Dek Asty sampai…”

Asty menundukkan kepala. Wanita cantik itu hanya tersenyum. Sebelum Kapten Ri melanjutkan kalimatnya, Asty memotong. “Apakah saya harus menjawab pertanyaan itu sekarang, Mas Ri? Bisakah menjawabnya di lain waktu saat saya juga sudah tahu jawabannya? Untuk saat ini saya juga sedang mencari tahu dan saya butuh berada di sini dengannya.”

Oh. Baiklah,” terdengar suara Kapten Ri agak mengambang. Antara bingung dan mungkin juga kecewa. Tapi dia seperti berusaha memahami dan memaklumi sesuatu yang tidak dia mengerti. “Mudah-mudahan saya mendapatkan kabar baik beberapa hari ke depan. Apakah Dek Asty benar-benar akan tinggal dan menetap di sana?

“Untuk saat ini iya. Sampai waktu yang tidak bisa ditentukan saya akan tinggal di sini, Mas. Bisa jadi untuk selamanya. Untuk saat ini prioritas saya adalah untuk tinggal di sini sementara waktu, sampai kondisinya kembali seperti semula. Perkembangannya cukup membahagiakan kok. Setelah itu baru saya memutuskan apa yang akan saya lakukan.”

Syukurlah kalau begitu, mudah-mudahan kondisinya terus membaik. Ya sudah, saya akan telpon lagi kapan-kapan. Hati-hati di sana, Dek Asty. Kondisi kota sedang tidak karuan. Semua hal terjadi begitu cepat dan semua kelompok saling menyerang. Sangat tidak aman berada di sini, jadi saya cukup lega Dek Asty tidak lagi berada di kota.”

“Jaga diri ya, Mas. Saya akan selalu mendoakan kesehatan dan kesejahteraan Mas Ri.”

Sangat berarti doa yang datang darimu, Dek Asty.”

Klkgh.

“Mmmh…” terdengar suara lenguhan pelan.

Asty tersenyum dan duduk di atas lincak bambu, ia mengangkat kepala seorang pemuda yang tengah tertidur lelap dan menempatkannya di pangkuan pahanya.

Pemuda yang tidur di pangkuan Asty masih belum benar-benar sadar dari tidurnya. Luka di punggungnya sudah mulai pulih, meski tak separah yang diperkirakan tapi dia butuh waktu untuk bisa sembuh total dan kembali seperti semula. Untuk itu Asty memutuskan untuk menemaninya. Sampai kapanpun dia membutuhkan, Asty akan tetap berada di sisinya.

Asty mengelus rambut pemuda yang sangat berarti baginya itu dengan penuh kasih sayang. Ia menundukkan kepala dan mengecup dahinya.

Tenanglah, tidurlah dengan tenang. Aku akan menemanimu. Kita berdua akan tinggal di tempat ini dan aku akan akan menjagamu sampai sembuh. Aku tidak akan kemana-mana, aku akan selalu di sini bersamamu. Aku juga akan tetap berada di sini jika kelak kamu membutuhkanku.

Asty menundukkan wajah dan sekali lagi mencium bibir si Bengal, mengoleskan bibir indahnya di bibir sang pemuda.

Kita akan selalu bersama.

Terdengar suara seekor anjing menyalak dengan gembira. Asty melirik ke samping, anaknya sedang tertawa-tawa dan berkejar-kejaran dengan sang anjing putih yang terus menerus mengajak bermain. Keduanya bermain dengan gembira di halaman rumah yang luas.

Rumah yang berada di desa.

Desa Kakek Nanto.





BAGIAN 8 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 9
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd