Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 13
ROMAN PICISAN




Kita tidak mengembangkan keberanian dengan hidup senang.
Kita mengembangkannya dengan bertahan dan menantang kesulitan.

- Barbara de Angelis





.:: BEBERAPA MINGGU YANG LALU



Pada suatu ketika, adalah sebuah cerita.

Cerita tentang seorang pemuda bertubuh perkasa yang sedang terganggu mentalnya. Cerita tentang pemuda yang terguncang karena dua sahabatnya menghembuskan napas terakhir mereka dengan cara yang memedihkan di depan mata. Salah satu dari sahabatnya itu bahkan sempat mengucapkan kata cinta di akhir hayatnya, dilakukan dengan susah payah saat meregang nyawa.

Rasa bersalah mengungkung sang pemuda bertubuh perkasa. Ia merasa tak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah kematian mereka. Ia merasa tak pantas berada di bumi karena gagal melindungi. Ia merasa rapuh dan kalah, menatap kepergian nan pilu dengan pasrah tanpa bisa membantah.

Cerita ini adalah tentang seorang pemuda berbakat berjuluk T-Rex.

Cerita ini adalah kisah tentang Hageng.

Hageng sedang berada di sebuah kompleks hutan pinus yang menjadi pintu gerbang ke alas yang lebih lebat. Suasana temaram sudah terlihat sejak awal memasuki hutan. Gelap, tanpa cahaya, lembab, tanpa harapan, tanpa asa, cocok dengan hatinya.

Hutan ini berjuluk Hutan Pinus Sewularas, kawasan pekat yang masih sangat asri dan luas di ujung terluar Gunung Menjulang. Tebaran pepohonan pinus berjajar rapi bagaikan barisan ksatria yang menjaga pintu gerbang menuju kerajaan, bagai pasukan terakota menjaga peristirahatan terakhir sang kaisar. Tidak boleh ada yang masuk, tidak boleh ada yang keluar. Pilihannya ada dua, tetap di dalam atau di luar.

Hageng duduk bersila di sebuah cakruk bambu di tepian hutan.

Di depan Hageng, seorang pemuda berdiri dengan gelisah, kadang menengok ke kanan, kadang menengok kiri, seolah-olah sedang mencari seseorang. Pemuda itu adalah Simon Sebastian – Sang Pemuncak Gunung Menjulang, pimpinan Sonoz, dan Wakil Ketua Aliansi.

“Hutan ini adalah Hutan Pinus Sewularas, pintu masuk menuju Hutan Alas Mentas. Di sini dulu aku diajak oleh Guruku untuk belajar Pukulan Geledek. Kita akan menuju ke sebuah kompleks pelataran yang merupakan petilasan lawas. Area itu disebut Pondok Bambu Belah – dulunya di sana ada tempat tetirah besar dan melegenda. Seluruh turun temurun pewaris Pukulan Geledek selalu mempelajari ilmunya di Pondok Bambu Belah. Itu sebabnya aku mengajakmu kemari untuk mempelajari ilmu itu langsung dari guruku.”

“Terima kazih telah memenuhi permintaanku, Boz.” Hageng memandang Simon dengan penuh hormat. “Aku ingin meningkatkan kemampuanku dan Pukulan Geledek adalah zatu-zatunya yang aku miliki zekarang. Aku kehilangan dua zahabat dengan cara yang menyedihkan karena aku tidak mampu menyelamatkan mereka dengan kemampuanku yang zeadanya. Tidak ada jalan lain. Aku haruz mampu meningkatkan kemampuan untuk menghadapi lawan yang zemakin kuat dan zemakin hebat.”

“Aku tahu.” Simon menghela napas panjang dan menepuk pundak sang T-Rex. “Bersabarlah. Guru pasti akan datang, tapi aku tidak dapat memperkirakan kapan. Memang selalu seperti ini. Bisa cepat, bisa juga lambat – dan lambatnya bisa hitungan hari. Sementara menunggu, kerahkan Ki yang kamu miliki untuk membuat badanmu hangat karena tempat ini dingin sekali. Berlatih meditasi, berlatih mengatur aliran tenaga dalam, dan lakukan puasa mutih. Aku akan mengirimkan ransum melalui anak-anak Sonoz ke tempat ini setiap hari tiga kali. Kamu dapat mengambilnya di gapura Pondok Bambu Belah.”

“Terima kazih, Boz Zimon.”

“Tidak masalah. Jika bertemu dengan Guru, pastikan menyebut namaku dan apa tujuanmu datang. Beliau pasti akan paham dan akan mengajarkanmu Pukulan Geledek.”

“Ziap, Boz.” Karena ada sesuatu yang mengganjalnya, Hageng mau tidak mau harus bertanya, “Apakah ada ciri-ciri khuzuz dari Guru Boz Zimon ini? Ziapa tahu ada orang zembarang yang juga mazuk ke Pondok Bambu Belah. Aku tidak ingin zalah orang, Boz. Bukannya belajar ilmu, malah belajar bikin kembang tahu. Kan wagu.”

Haiyah.” Simon tertawa dan menepuk pundak Hageng lagi, “Kamu akan langsung mengenalinya. Beliau berambut kriwil panjang, sedikit slengean tapi punya gaya bicara yang tegas. Orangnya memang agak unik atau yah bisa diistilahkan secara keren menjadi eksentrik.”

“Begitu ya.”

“Lalu… beliau sudah pasti memiliki tato petir di pundaknya. Mirip seperti ini…”

Simon membuka bagian kaos yang menutup bahu dan memperlihatkan tato kilat menyambar. Bentuknya hanya berupa garis-garis yang bercabang. Terlihat sederhana, namun gagah. Tato itu terlihat seperti garis yang muncul secara natural, bukan seperti tato biasa.

“…ini adalah tato yang akan dimiliki oleh semua pewaris Pukulan Geledek.”

Hageng mengangguk-angguk. Ia melirik ke bahunya secara reflek.

Simon tertawa, “Kamu juga akan mendapatkannya kelak, secara otomatis setelah menguasai Pukulan Geledek.”

“Tunggu zebentar. Ada yang ingin ditanyakan terkait Pukulan Geledek. Ini berdazarkan pengetahuan umum zaja. Bukankah tato yang muncul zecara tiba-tiba di tubuh karena penguazaan ilmu kanuragan itu biazanya adalah pertanda kalau ilmu terzebut merupakan ilmu hitam yang terlarang?”

Simon mengangguk. “Sesungguhnya empu pencipta Pukulan Geledek bukan orang baik, Hageng. Dia adalah seorang punggawa aliran sesat. Tapi seiring berjalannya waktu, Pukulan Geledek jatuh ke tangan aliran putih dan diadaptasi oleh pendekar-pendekar berwatak baik. Mereka berjasa membersihkan ilmu kanuragan ini dari kesesatan dan kebutuhan akan tumbal. Hitam tak selamanya hitam seperti putih tak selamanya putih. Ilmu hitampun bisa berubah menjadi putih. Setelah pembersihan oleh para pendahulu, tenaga dalam dari ilmu kanuragan ini menjadi benar-benar bersih, tanpa adanya sosok yang masuk ke dalam tubuh penggunanya. Jadi kita semua aman. Meskipun begitu masih ada sedikit tato yang muncul karena memang aslinya berasal dari aliran hitam.”

Penjelasan panjang lebar dari Simon membuat Hageng paham.

“Ayo. Sudah saatnya kita masuk ke dalam.” Ajak Simon. “Perjalanan masih panjang dan tidak bisa dilalui oleh motor apalagi mobil.”

Hageng mengangguk dan mengikuti langkah Sang Pemuncak Gunung Menjulang masuk ke hutan yang semakin lama semakin minim cahaya. Simon sudah menyiapkan flashlight untuk dirinya sendiri dan Hageng supaya tidak tersesat jika cahaya mulai menghilang.

Meski di siang hari sekalipun, tempat ini sudah terasa gelap dan singup – nah sekarang bayangkan kalau menjelang malam seperti ini. Setiap sudutnya yang sudah berkesan horor dan menyeramkan jadi makin berlipat ganda kengeriannya. Bahkan yang lebih seram lagi, ada sebuah area pekuburan di kompleks Hutan Pinus Sewularas. Benar-benar tempat yang paling cocok buat syuting film Wrong Turn.

“Kok ada kuburan?” tanya Hageng saat melihat sudut yang sebaiknya tidak dilihat itu.

“Sudah ada sejak lama. Usia pemakaman itu mungkin sudah ratusan tahun, bahkan mungkin ribuan. Ga tahu juga. Konon dulunya tempat ini sempat jadi kawasan pelancong sebelum kena dampak bencana Gunung Menjulang ratusan tahun yang lalu. Alas Mentas pernah menjadi area paling ditakuti oleh para pendekar sekaligus menjadi kawah candradimuka, tempat penggemblengan ilmu kanuragan. Apalagi area yang akan kita datangi nanti, Pondok Bambu Belah. Ada pepatah lawas yang mengatakan: siapapun yang masuk ke sana, tidak akan pernah keluar lagi. Mitos ini bercerita tentang kejadian yang cukup menggetarkan dunia persilatan di tempat yang kita tuju nanti. Pernah dengar cerita Geger Pondok Bambu Belah?”

Hageng menggeleng.

“Mungkin sebaiknya kita tidak tahu. Mitos atau fakta pun masih belum bisa dipahami. Suatu saat nanti kuceritakan. Cerita yang lagi-lagi berhubungan dengan Trah Watulanang.” Simon saat itu sedang memanggul sebuah tas ransel di punggungnya. Terlihat berat dan penuh, tapi dapat dibawanya dengan mudah.

Hageng meliriknya dengan heran. “Apa yang dibawa? Aku zaja hanya membawa barang zeadanya. Zepertinya taz itu terlihat berat dan merepotkan.”

Simon tertawa, “Ini semua buat kamu.”

“Hah?”

“Aku membawa beberapa makanan yang sudah direbus seperti ubi, jagung, dan kentang untuk malam ini. Lalu beberapa botol air kemasan. Setelah hari ini, kamu harus puasa mutih di pelataran Pondok Bambu Belah. Seorang diri, aku dulu juga begitu. Suasananya akan sangat sepi dan agak ngeri, tapi percayalah… kamu tidak sendiri. Guruku biasa turun dari gunung ke sana setiap malam. Sampai saat ini pun aku masih belum paham di mana rumah Guru. Beliau hanya sesekali pergi keluar kota untuk menemui rekan-rekan seperguruannya di wetan pulau. Selebihnya, menyepi di atas gunung, menjauh dari hiruk pikuk dunia fana. Namanya juga orang lama.”

“Puaza mutih ya.”

“Iya. Kenapa?”

“Agak khawatir tidak tahan.”

”Tenang saja. Puasa mutih hanya dilakukan selama belum bertemu Guru. Setelah bertemu dengan beliau, aku akan mengirimkan makanan-makanan rebus. Jadi tenang saja soal ransum. Meskipun guru tidak mau mengikuti perkembangan teknologi, tapi beliau ada beberapa pengikut setia yang akan memberikan kabar padaku jika mereka sudah bertemu denganmu.”

“Tapi kenapa puaza mutih? Itu kan berarti hanya makan nazi putih dan minum air putih bukan? Zeperti tidak zeru tidak ada lauknya.”

Simon mengangguk. “Betul. Aku yakin kamu juga sudah paham hakikat dan esensi dari puasa mutih. Puasa mutih tentunya berasal dari kata putih. Jika putih menjadi mutih, itu artinya ada proses memutihkan atau membersihkan. Simpelnya, orang yang melaksanakan puasa mutih bisa jadi sedang berproses untuk menjadi putih hatinya, bersih jiwanya, dan mendapatkan keberkahan sebagaimana penggambaran filosofi warna putih yang suci.”

“Paham.”

“Secara sains, sebenarnya ada keuntungannya juga puasa mutih. Karena hanya makan nasi dan minum air putih, kadar gula dan garam di dalam tubuh juga tidak sebanyak sebelumnya. Nasi akan memberikan karbohidrat yang dibutuhkan oleh tubuh dan air tentunya menjaga supaya badan kita tidak dehidrasi. Tentu saja karena hanya makan nasi tanpa lauk, otomatis kita tidak akan mengkonsumsi lemak – itu saja sudah sangat menguntungkan. Nah, yang terakhir, keuntungan dari puasa mutih adalah kita juga secara natural melakukan detox racun yang ada di dalam tubuh.”

Hageng melirik ke arah Simon. Ternyata Sang Pemuncak Gunung Menjulang sedang membuka hp-nya. “Kirain paham. Ternyata nyari info di Google ya?”

“Kalau bisa mudah kenapa harus susah.” Simon tertawa.

Hageng ikut tertawa.

Tapi kemudian ia terdiam. Karena mereka sudah sampai.

Mereka sampai di sebuah tempat yang seperti sebuah rumah tetirah kuno yang ditinggalkan, sebuah petilasan lawas. Tidak ada tembok dan dinding karena semua sudah roboh, apa yang dulunya mungkin sebuah bangunan besar kini hanya menyisakan lantai nan lebar seperti pelataran. Memang ada bekas-bekas bingkai pintu dan sedikit reruntuhan yang menandakan bahwa di posisi itu dulunya terdapat sebuah pintu gerbang.

Simon berbisik.

“Kita sudah sampai.”

“Zepertinya begitu. Di mana tempat ternyaman untuk melakukan meditazi?”

“Di sana…” bisik Simon sembari menunjuk ke sebuah tempat. Di lokasi yang ditunjuk Simon terdapat sebuah ceruk dalam sebuah batang pohon di bawah lindungan dahan besar yang akan melindungi siapapun di tempat itu dari hujan, angin, dan panas.

Simon memandang ke kanan dan ke kiri. Perubahan alam sudah terjadi di tempat yang dulu menjadi tempatnya berlatih. Dulu lebih cerah dan asri, tapi sekarang sudah sangat gelap sekali. Apakah Guru dan teman-temannya tidak merawat tempat ini? Mampukah Hageng melakukan hal yang sama sepertinya? Berlatih Pukulan Geledek? Simon tidak ingin mengatakan apa-apa karena takut pendapatnya akan membuat Hageng mundur.

Tapi tidak adil juga kalau Simon hanya diam, dia ingin Hageng paham resikonya. Sang Pemuncak Gunung Menjulang menatap sang T-Rex. Ia bertanya dengan serius, “Kamu yakin akan melakukan ini? Apakah niatmu sudah bulat? Masih ada waktu untuk berpikir ulang dan ikut denganku kembali ke luar dari hutan ini.”

Hageng menggeleng. “Zudah zaatnya aku meningkatkan kemampuan. Mau bagaimanapun caranya pazti akan aku jalani.”

Simon mengangguk. Ia meletakkan tas ransel yang sejak tadi dia bawa di ceruk yang tadi ia tunjukkan.

Baik Hageng maupun Simon sama-sama tidak tahu kalau saat itu mereka berdua tengah diawasi oleh seseorang. Orang yang tersenyum puas saat melihat sosok Hageng. Dia duduk dengan santai di atas sebuah pohon, ongkang-ongkang kaki di salah satu batang yang kokoh sembari mengawasi interaksi antara Hageng dan Simon.

“Akhirnya datang juga. Heheheh. Pewaris ilmu kanuragan Pukulan Geledek berikutnya. Sudah lama sekali aku tunggu kedatanganmu, pemuda yang tidak bisa mengucapkan kata S. Hikikikikik…”

Entah bagaimana, Hageng yang berada di pelataran merasa seperti ada yang memperhatikannya dari kejauhan, dan itu membuatnya tidak nyaman. Hageng mengelus-elus bagian belakang lehernya. “Boz Zimon… kenapa tiba-tiba beraza horor ya? Yakin tidak ada goblin di zekitar zini ya? Merinding bulu kudukku.”

“Hayah, masa ya goblin? Itu hanya perasaanmu saja karena baru pertama kali datang di tempat ini. Percayalah, lama-lama kamu pasti akan terbiasa.” Simon mencoba menenangkan Hageng, meski dia sendiri juga merasa tidak nyaman. Aneh sekali rasanya. Kenapa tempat ini jadi berkali-kali lipat ngerinya ya? Dia juga merasakan tenaga Ki yang samar-samar. Jadi ada orang di sekitar sini.

Apakah… Sang Guru yang eksentrik sudah hadir namun belum menampakkan diri?

Kedua pemuda itu terdiam sesaat dan saling berpandangan, tapi Simon kemudian tersenyum sembari menunjuk ke sebuah sudut tempat penyimpanan sapu. Setelah memasang lampu teplok, keduanya mencoba membersihkan pelataran agar lebih layak. Mereka tidak mengucapkan sepatah katapun selama bebersih.

Keduanya sama-sama paham ada hal-hal yang sebaiknya mereka simpan di dalam hati.

Keduanya sama-sama berdoa.





.::..::..::..::.





Bruaaaaaaaaakk!!

Pintu didobrak.

Roy menemukan Rania sedang menangis sesunggukan di dalam bilik ganti pakaian. Pakaiannya sudah acak-acakan, nyaris bugil. Tapi istrinya itu hanya sendirian saja di dalam bilik, terbujur kaku tidak bisa bergerak.

“Ra-Rania? Sayang? Kamu tidak apa-apa?”

Rania mengejapkan mata dan melihat Roy sedang berdiri di pintu bilik. Roy sadar apa yang terjadi melihat wanita yang ia cintai itu tak bisa bergerak. Buru-buru ia melepaskan totokan pembuluh darah sang istri.

Lepas dari kuncian, wanita berparas manis itu meloncat dan memeluk sang suami. Tubuhnya sangat gemetar dan ketakutan. Roy geram meski mencoba menenangkan sang istri. Siapa lagi yang telah mencelakai wanita yang ia cintai ini? Kenapa bencana tak henti-hentinya menerpa mereka? Roy buru-buru mengamankan sang kekasih. Ia melepas jaket dan mengenakannya pada Rania.

Di bilik sebelah mereka, sesosok mayat dengan dada yang menghitam ditemukan, beberapa karyawan dan satpam silih berganti berdatangan. Department Store itu pun langsung kacau balau dan heboh. Siapa yang dengan tega menghabisi sang satpam yang tak bersalah?

Hanya Rania dan Roy yang tahu jawabannya.

“Si Durjana itu? Kamu bertemu dengannya lagi?”

Rania menatap sang suami dengan mata sembab dan mengangguk. Sejuta kata ingin terucap, tak ada satupun yang keluar dari mulutnya. Bahkan ia sendiri pun tak percaya kalau lagi-lagi dia bertemu dengan Reynaldi.

“Apakah dia telah…?”

Rania meneteskan air mata dan menggeleng. Berulang kali si manis itu menggosokkan punggung tangan di bibirnya, seakan hendak menyeka sesuatu yang kotor. Tak perlu jadi orang pintar untuk memahami situasi. “Ma-maafkan aku, Mas… maafkan aku… maafkan aku…”

“Dia tidak sempat…?”

Rania menggeleng. “Ada keributan di luar. Mungkin karena satpam yang jadi korban… karena keributan itu konsentrasinya pecah dan dia… dia kabur… dan mengunciku di sini…”

Roy menggemeretakkan gigi dan mencoba menahan emosi. Tangannya dikepalkan dan dia siap menghajar siapapun yang berada di tempat itu, namun mereka semua tak bersalah. Sang durjana-lah yang harus dikejar sampai mampus! Begitu jengkelnya dia sampai-sampai tubuhnya bergetar dan giginya bergemeretak. Dia benci sekali jika sesuatu seperti ini menimpa orang-orang yang dia cintai. Berkali-kali! Sudah berkali-kali! Sampai berapa kali lagi durjana itu akan lolos dan semena-mena melaksanakan perbuatannya?

“Jangan minta maaf, sayang. Akulah yang seharusnya minta maaf. Maafkan aku…” bisik Roy sembari mengecup dahi Rania. Tubuhnya masih terus bergetar hebat karena menahan emosi menghebat. Bahkan sampai saat ini pun dia masih juga gagal melindungi Rania. Suami macam apa dia? “Maafkan aku… seharusnya aku selalu ada di sisimu, seharusnya aku melindungimu… maafkan aku…”

Rania menggeleng. Tangisannya meledak di pelukan sang suami. “Ma-maafkan aku, Mas… maafkan aku… maafkan aku… aku sangat kot…”

Seorang pria yang mengenakan seragam penjaga toko mendatangi Roy dan Rania. Pria itu bernama Aditya, teman Roy yang kebetulan bekerja di Department Store. Dia sedang menggendong Lena, sepertinya tadi Roy menitipkan Lena pada sang teman sebelum mendobrak pintu ruang ganti.

Aditya langsung memberikan info terbaru, wajahnya sebenarnya terlihat panik tapi ia berusaha setenang mungkin. “Gila nih. Ini kasus penganiayaan menjurus ke pembunuhan. Para karyawan sedang heboh di belakang. Polisi juga pasti akan segera datang. Kalian mau tetap di sini untuk memberi kesaksian atau bagaimana?”

Roy menatap Rania, seperti sudah ada kesepakatan di antara mereka berdua. Keduanya mengangguk dan setuju untuk memberikan laporan pada pihak berwajib. Si durjana itu harus segera ditangkap dan diadili, baik melalui jalan hukum maupun melalui cara yang lebih barbar. Tidak boleh buang waktu lagi. “Dit, makasih banget sudah memberitahuku di mana Rania. Aku tidak tahu lagi apa yang…”

“Simpan terima kasihmu. Untung aku tadi secara tidak sengaja masuk ke ruang satpam dan melihat CCTV. Aku merasa ada yang aneh karena Pak Man menghilang dan ternyata…” Aditya menarik napas panjang, ada getaran di nada suaranya. Dia juga emosional, Aditya pasti cukup dekat dengan sang satpam yang gugur. “Ini bakal jadi panjang. Pak Man orang baik, aku tidak menyangka kalau dia akan…

“Pelakunya memang biadab. Dia harus dihukum seberat-beratnya.” Roy geram bukan kepalang.

“Aku juga tidak mampu berbuat banyak ketika istrimu didorong masuk ke dalam bilik. Aku…”

“Tidak, Dit. Kamu juga hanya akan menjadi korban kalau bertindak. Orang ini kuat bukan main dari waktu ke waktu, dan dia sangat berbahaya. Apa yang sudah kamu lakukan sudah benar. Aku yang akan menyelesaikannya. Aku yang akan memburunya.” Roy sudah bertekad dan berniat. Dia bersumpah tidak akan membiarkan bedebah yang sudah berkali-kali mencelakai istrinya itu dibiarkan hidup dengan tenang. Tidak bisa. Dia harus menderita sebelum mati sengsara.

Seorang pemuda datang. Dia mengenakan seragam yang sama dengan Aditya. “Dit! O-orang itu! Yang mencelakai Pak Man! Dia terlihat dari CCTV gedung! Lari ke belakang!”

“Ke belakang? Itu kan jalan buntu. Dia terjebak! Dia harus melompati tembok yang sangat tinggi untuk bisa lolos dari sana. Mampus dia sekarang! Ayo kita gerebek!”

Mata Roy melebar, “Dit. Mana jalan tercepat menuju ke belakang gedung ini? Peringatkan teman-temanmu untuk tidak mendekat. Dia orang yang sangat berbahaya.”

Aditya menunjuk ke arah toilet di luar department store. “Di sebelah toilet, ada tangga darurat. Ikuti saja terus sampai lantai terbawah sebelum basement. Di sana ada pintu keluar, tidak akan terlewat. Bagian belakang gedung ini sebenarnya tempat bongkar muat barang. Tapi hanya ada satu jalan keluar masuk di sana dan itu melalui gerbang kendaraan di samping. Teman-teman satpam gedung pasti sudah berjaga-jaga. Dia tidak akan bisa lolos.”

Roy menatap ke arah Rania dan Lena.

Rania menggeleng, “Mas… jangan… berbahaya… berbahaya… aku tidak mau kamu berhadapan dengan dia. Mas… jangan, Mas… tidak sekarang.”

“Ini kesempatan, Sayang. Mungkin satu-satunya kesempatan.” Roy segera beralih ke Aditya. “Dit, aku minta tolong sekali lagi. Maaf merepotkanmu. Tolong beri pakaian layak untuk istriku. Aku bayar nanti. Aku titip mereka di sini untuk memberikan keterangan pada polisi. Aku harus mengejar bajingan itu.”

“Siap, Bro.”

Roy menatap ke arah istrinya sekali lagi. Ia mengelus pipinya. “Demi kehormatanmu, Sayang. Demi Ibu, demi Lena, demi semua orang tak bersalah yang telah menjadi korbannya. Aku harus pergi.”

“Mas… berjanjilah kamu akan kembali… aku tidak akan kuat kalau kamu…”

Roy tersenyum dan mengangguk. Ia pun melesat.

Rania tak kuasa mencegah, terlebih karena Lena kemudian menangis. Aditya menyerahkan si kecil pada sang Ibu, lalu mencarikan Rania pakaian. Department Store yang heboh itu ditutup sembari menunggu kedatangan pihak yang berwajib.

Roy mengikuti anjuran Aditya dan berlari kencang melalui arah yang tadi disampaikan sang teman. Mengerahkan segenap kekuatannya, Roy bisa mencapai lantai yang dituju dengan cepat. Ia membuka pintu dan mendapati sebuah ruang terbuka yang kosong. Hanya ada beberapa peti kemas yang sudah kosong dan disusun di pojok, menanti untuk digunakan kembali.

Bagian belakang gedung mall itu hanya punya satu pintu untuk keluar dan masuk yang langsung menuju gerbang depan, pintu itu pasti sudah dijaga oleh banyak satpam. Sementara di belakang, ruang kosong bongkar muat itu dikelilingi oleh tembok yang tingginya lebih dari tiga meter. Tidak ada celah untuk melarikan diri.

Tapi Roy mendapati ruang kosong. Benar-benar kosong. Tidak nampak satu orang pun di sini. Kemana bajingan itu pergi? Apakah dia sudah berhasil melarikan diri?

Roy memindai tempat itu.

Sampai akhirnya pandangan matanya tertuju ke satu arah. Ada orang berada di balik kontainer sampah warna kuning. Ia sedang menumpuk kotak-kotak peti kemas di ujung dan menggunakannya sebagai tempat pijakan untuk melompati tembok. Hanya tinggal satu kotak lagi dan ia bisa lolos.

Bahkan dari kejauhan pun Roy mengenali sosok itu. Sang Durjana Reynaldi! Tidak salah lagi! itu dia! Pucuk dicinta ulam pun tiba!

Roy berlari sekuat tenaga, ia harus cepat sebelum bedebah itu dapat lolos dari hadapannya. Sang Pengendara Angin mengerahkan Ki. Ia melompat sangat tinggi bagaikan terbang dan mendarat di atas tumpukan di samping peti kemas yang tengah disusun oleh Reynaldi.

“BAJINGAAAAAAAAAAN!!!”

Reynaldi menengadah. Belum sempat ia bereaksi, satu tendangan kencang menyambar wajahnya!

Jboookghhh!!

Reynaldi terlempar jatuh karena sepakan itu, tubuhnya terguling-guling ke samping. Sayangnya Reynaldi hanya terguling tak seberapa lama karena sesaat kemudian tangannya yang menghitam mencakar tanah dan menghentikan putaran tubuhnya. Pemuda itu meraung keras seperti seekor harimau. Ada dua nada di suara raungannya. Ada hitam di sekeliling matanya. Dia seperti bukan sosok Reynaldi, seperti sosok lain yang mengerikan.

Tapi Roy tak akan takut melihatnya.

Melihat Reynaldi terhenti dari gulingannya, Roy melejit ke depan bagaikan seorang pelari sprinter seratus meter. Kecepatannya tinggi dan penuh tenaga, ibarat panah yang terlepas dari busur.

Napas Reynaldi menggerus-gerus seperti seekor binatang buas. Lari ke kanan ataupun ke kiri dia akan terpepet ke tembok. Tidak akan bisa menghindar. Hanya ada satu cara dan itu adalah menghadapi langsung si bangsat ini. Rey masih bisa sempat-sempatnya menghina Roy, “Sudah bosan hidup rupanya kamu? Kali ini aku benar-benar akan membunuhmu!! Setelah kamu mati, maka akan kunikmati tubuh istrimu yang…”

Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh!

Lima tendangan beruntun membuat kepala Reynaldi bagaikan ditampar berulang. Sekali, dua kali, tiga kali, empat, lima. Lima kali kepala sang Durjana disentak ke kanan dan kiri oleh tendangan kencang yang membuat tulang pipinya serasa hancur. Kaki Roy bergerak secepat kilat. Dia sudah tidak lagi banyak bicara dan membiarkan kakinya yang bekerja.

Reynaldi terpental hingga menubruk dinding pagar. Matanya sudah sangat lebam dan pedih sehingga tidak dapat terbuka dengan sempurna. Sang Durjana tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk menyalakan Ki, merapal jurus, ataupun mengambil kuda-kuda. Roy benar-benar memburunya dengan buas. Ada kilat cahaya terpantul, ada sekelebat bayangan melayang. Reynaldi harus mengandalkan instingnya.

Dbm! Dbmmmm! Dbbmmmm!

Tiga tendangan Roy dapat dihindari dengan susah payah. Tiga tendangan yang menimbulkan retak di dinding tembok. Reynaldi mengumpat. Saatnya dia mengatur napas dan Ki. Tangannya ke depan membentuk cakar, keduanya diputar, tangan itu menghitam.

Roy mendengus keras dengan geram melihat Reynaldi mempersiapkan cakarnya, Sang Pengendara Angin pun berteriak kencang. “Sudah saatnya kamu mati, bangsat! Choose your destiny!

Reynaldi menyeringai dan meludah. “Heheh. Kamu pikir semudah itu membunuhku? Bukan sekarang dan tidak olehmu!”

Roy mengatur napas. Serangan bertubi membuatnya sedikit terengah. Sayangnya kalau dia berhenti begini, momentumnya hilang dan Reynaldi bisa mengatur Ki-nya. Sial.

“Kenapa? Capek? Dasar bodoh.” Reynaldi mengedipkan mata, “Bibir istrimu enak sekali. Masih terasa jilatannya tadi di kontolku. Aku yakin dia kecewa karena batangmu cuma seukuran lidi kalau dibandingkan milikku. Lain kali akan kupastikan menanamkan benihku lagi di rahimnya. Membantumu mendapatkan anak. Kasihan juga Rania mendapatkan suami yang lemah seperti kamu. Memeknya pasti masih rapat sekali. Aku masih teringat rasanya saat dinding memek Rania meremas-remas batangku.”

“Diaaaaaaaaam!”

Reynaldi menjilat jari-jemarinya sembari tersenyum karena telah berhasil memancing emosi Roy. Orang yang emosi lebih mudah dikendalikan. “Rasanya juga enak. Masih sama seperti dulu. Heheh. Dia mudah sekali banjir kalau sudah dirangsang ya. Aku tahu sebenarnya dia merindukanku. Merindukan seks yang sebenar-benarnya seks dengan batang perkasa. Bukan cuma dicolok jarum pentul seperti kontolmu itu. Wahahahaha.”

Roy sudah tidak tahan. Ia melaju sekali lagi.

Dia tahu setiap kata yang diucapkan oleh Reynaldi dikeluarkan hanya untuk memancingnya, hanya untuk membuatnya marah dan murka, hanya untuk membuatnya emosi. Tapi dia memang ingin emosi.

Tendangan demi tendangan Roy dilontarkan, dengan kecepatan tinggi, dengan tenaga besar.

Dbm! Dbmmmm! Dbbmmmm!

Lagi-lagi tiga kali serangan gagal menemui sasaran. Dinding tembok bergetar karena kencangnya tendangan Roy. Reynaldi melompat dan salto kesana kemari sembari tertawa-tawa. “Wuahahahahahaha. Ayooo! Mana yang katanya kemampuanmu bisa membunuhku? Katanya menyuruhku Choose Your Destiny? Wuahahahha! Ayooo! Sini! Test Your Might!

Suara tawa menghina dari Reynaldi membuat darah Roy mendidih.

Tiba-tiba saja tubuh Roy melesat dengan kecepatan tinggi, membuat gerakannya nan cepat bagaikan sinar cahaya neon yang terang berwarna ungu dan merah jambu. Ia melesat ke kanan dan kiri memanfaatkan tembok, peti kemas, dan tiang untuk memantulkan tubuhnya. Roy memutar tubuhnya dengan satu putaran yang tak mungkin bisa dilihat dengan mata telanjang. Jurus yang baru sekali-sekalinya dipraktekkan oleh Sang Pengendara Angin.

Jbuaaaaaaaaaaakghhh!

Kepala Reynaldi kembali tersambar. Tubuhnya terpental bahkan sampai memutar di udara. Ia jatuh berdebam setelah berputar-putar beberapa kali. Reynaldi tersentak ke tanah, terpantul, lalu terbanting kembali di tanah. Roy tidak menunggu lebih lama lagi. Dia melompat tinggi dan menggunakan tumitnya untuk dihunjamkan ke bawah. Makhluk seperti Reynaldi tidak boleh dibiarkan hidup!

Dbmmmmm!

Reynaldi berhasil bergulir ke samping, menghindar dari hajaran tumit Roy. Dengan satu tangan ia menghentakkan tubuhnya supaya terlempar ke atas, sementara tangan yang lain menyambar kaki Roy dengan Cakar Tangan Hitam-nya.

Beruntung Roy menarik kakinya pada saat yang tepat.

Sang Pengendara Angin mundur ke belakang sekitar tiga meter jauhnya, ia memainkan kaki, dan memutarnya di hadapan Reynaldi. “Kamu tidak akan bisa lolos, bangsat. Hari ini juga kita tentukan tanggal di nisanmu.”

“Ck… ck… ck…” Reynaldi terkekeh dan menjulurkan lidahnya mengejek Roy. Tangan hitamnya berpendar, menunjukkan adanya perubahan kekuatan di tangannya – tangan mengerikan penuh racun. “Boro-boro menulis tanggal di nisan. Malam ini akan kubenamkan dirimu dalam lautan racun, akan kukebiri batangmu, dan akhirnya akan kunikmati istrimu. Setelah kunikmati sampai puas – dia akan aku jual ke pelacuran paling murah di kota ini. Buahahahahahahaha.”

“Memang pantas kamu ditenggelamkan di api neraka.” Roy menurunkan tubuhnya, gayanya seperti seorang sprinter yang hendak berlari. “Akan kubunuh kau malam ini juga, jahanam. Dunia akan jadi lebih indah tanpa kehadiranmu! Negeri ini tidak membutuhkan makhluk menjijikkan sepertimu!”

Reynaldi merapal beberapa kata, tangannya yang membentuk cakar diputar-putar di depan Roy, sang Durjana lantas menyambar satu peti kemas yang langsung hancur berkeping-keping dengan mudahnya. Itu adalah gabungan Cakar Tangan Hitam dan gerbang Cengkraman Tangan Baja dari Kidung Sandhyakala. Sang Durjana lalu mengedipkan mata di depan Roy. Dia mendesis, “Maju. Maju dan mari jadikan Rania janda. Akan kunikmati setiap jengkal tubuhnya, akan kujilat-jilat sampai puas. Lalu setelah puas, akan kukirim dia ke prostitusi paling murah di kota. Dia pasti bakal laku keras.”

Roy sudah tidak sabar lagi ingin mengunyah setiap sendi-sendi di tubuh Reynaldi. Untuk setiap ucapan kotornya, untuk setiap tindakannya, untuk setiap…

Booom!

Bom asap?

Tiba-tiba saja muncul asap mengepul di antara Roy dan Reynaldi. Menghalangi pandangan Roy terhadap sang lawan. Ia mencoba menggunakan tangannya untuk menguak asap yang membumbung tebal. Ia tidak dapat melihat apapun. Roy terbatuk-batuk. Kenapa tiba-tiba ada bom asap? Apakah si bajingan itu yang melakukannya? Sepengecut itukah dia?

Bukan.

Ini bukan ulah sang Durjana. Sebenci apapun Roy pada sang lawan, bukan Reynaldi yang kali ini menggunakan trik sepengecut ini. Benar saja. Sang Pengendara Angin melihat ada samar bayangan sosok-sosok lain yang muncul di balik asap.

Ada angin semilir yang merambat ke arahnya. Roy bersiap.

Rangkaian pukulan menyerbu Roy.

Dari kanan dan dari kiri. Dia terpaksa meladeninya dengan pertahanan kaki yang dilontarkan secepat kilat sebagai pertahanan untuk mementalkan setiap pukulan. Kaki Roy bagaikan mesin berantai yang silih berganti bekerja untuk menepis hantaman yang datang dari dua lawan. Roy terpaksa mundur selangkah demi selangkah karena gempuran itu terus mendesaknya tanpa henti.

Sampai kemudian kedua penyerangnya mundur.

Roy terengah-engah.

Bajilak. Wedhuuuus!! Siapa lagi ini? Siapa lagi yang mau menyelamatkan Reynaldi bajingan itu? Dua penyerangnya menggunakan pakaian kaos bola. Roy belum pernah melihat mereka sebelumnya. Dari postur tubuhnya mereka terlihat kokoh dan tangguh.

Siapa mereka?

Terdengar suara dari atas dinding pagar. Roy mendongak. Reynaldi dan tiga orang yang mengenakan kaos bola ada di sana, berdiri dengan jumawa seolah-olah tak tersentuh. Sang Durjana bahkan cekakakan. “Hahahaha. Sepertinya kita belum berjodoh, sobat. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan. Sampaikan salamku pada Rania. Bilang padanya untuk selalu menghangatkan memeknya untukku. Minum sari rapet biar kalau kita ngewe nanti rasanya kaya perawan. Buahahahahhahaah.”

Roy menggeram marah. “Bajingaaaaaaaaan! Jangan kabur, bangsaaaaat!”

Sang Pengendara Angin memanfaatkan Ki-nya untuk meningkatkan kemampuan. Ia melesat ke atas satu peti kemas, menjadikannya pijakan, meloncat ke sisi tembok, lalu ke kotak yang lebih besar, lalu ke dinding pagar dan akhirnya berada di satu jalur yang sama dengan Reynaldi. Bagian atas pagar dinding menjadi arena super sempit yang digunakan untuk mengejar sang Durjana.

Tiba-tiba saja satu terjangan datang dari salah satu cecunguk penjaga Reynaldi. Pria yang satu ini mengenakan baju bola garis-garis merah biru. Sembari mengomando kawan-kawannya, si merah biru menghalangi langkah Roy. Sepertinya dialah pimpinannya.

“Kalian semua, bawa pergi Den Reynaldi.”

Tak menunggu perintah kedua kali, keempat anggota lain kelompok misterius berlari sembari mengawal Reynaldi pergi meninggalkan tempat itu. Sang Durjana tertawa-tawa karena lagi-lagi dapat lolos dari Roy.

“Bangsaaaaaaaaaaat!”

Roy mencoba mengejar dengan memanfaatkan Ki. Sang Pengendara Angin melaju secepat yang ia bisa karena tidak ingin kehilangan jejak. Kecepatannya mengagumkan, kembali ia terlihat bagaikan kilatan cahaya neon yang hanya bisa dilihat sekelebat mata.

Tapi tak disangka-sangka sang kelompok misterius mampu melihat gerakannya. Bergerak dalam senyap, sang pimpinan melepaskan satu clothesline. Tangan kanannya membentang dan menghalangi laju Roy. Ia hendak menyambar bagian leher Sang Pengendara Angin yang gelap mata dan tak awas karena emosi, memanfaatkan situasi.

Tapi Roy lebih cepat. Dia mampu menghindar dari hadangan itu dan melewati sang pimpinan kelompok misterius dengan mudahnya. Begitu halangan terlampaui, Roy melaju memanfaatkan pagar dinding yang lebarnya cukup kecil dan hanya bisa dipijak satu kaki dengan kecepatan tinggi bagaikan cheetah. Satu lompatan kencang ke depan, Sang Pengendara Angin sudah langsung mencapai posisi di mana keempat anggota kelompok misterius dan Reynaldi berada.

Roy memutar tubuhnya, melakukan salto di udara, dan sekali lagi ia melancarkan tendangan dahsyat. Tidak akan ada di antara empat anggota kelompok misterius dan Reynaldi yang siap menerima serangan itu. Serangan itu pasti masuk!

Tetuko Amuk Angkara!

Bledaaaaaaaaaaaam!!

Roy tersambar di punggung. Bajunya sobek dan terkoyak membentuk lingkaran besar. Tubuh Roy terlempar ke samping karena lontaran tenaga dalam dari jarak jauh yang mengenainya. Ia jatuh terguling-guling ke semak-semak yang ada di kebun di belakang pagar dinding.

“Aseeeeeeeeem!!” Roy mengamuk dan bangkit.

Amarahnya lebih dalam daripada rasa sakit yang ia rasakan.

Di atas dinding, sang pimpinan kelompok misterius berdiri dengan jumawa. Tangannya berasap karena baru saja melontarkan tenaga dalam berkekuatan dahsyat. Suara tegas sang pimpinan kelompok misterius berkumandang. “Selama berada di lindungan kami, tak ada seorang pun yang berhak menyakiti Den Reynaldi. Lebih baik urungkan niatmu dan selamatkan keluargamu. Pergi jauh-jauh.”

“Bedebah! Jangan halangi aku!!” Roy siap-siap berdiri.

Roy memang tidak paham siapa mereka, tapi sesungguhnya kelompok misterius itu adalah ekuivalen dari Pasukan Badut dari KRAd dan SSX atau Shinsengumi X dari JXG. Sama halnya seperti Pasukan Badut dan SSX, kelompok misterius itu adalah pasukan unit khusus yang dibentuk oleh generasi muda dari QZK. Mereka disebut Sambergeni dan dipimpin oleh sang panglima yang memiliki nama samaran Hannibal Razan.

Razan mengencangkan sarung tangannya. “Maju selangkah lagi dan kamu akan berhadapan dengan QZK. Pilih langkahmu baik-baik setelah ini.”

Roy geram sekali. “AKU TIDAK PEDULI!”

Razan mendengus, telapak tangannya dibuka ke depan. Ada aura Ki dahsyat terbaca. Sekali lagi ia merapal jurusnya. “Tetuko Amuk Angkara!!

Jeblaaaaaaaaaaaam!!

Roy berusaha berkelebat menghindar lontaran tenaga dalam dari Razan yang menghajar semak-semak sampai hancur. Ia beringsut ke kiri dan meloncat ke atas sembari melontarkan satu tendangan dengan kekuatan penuh. Hannibal Razan menarik lengannya ke belakang, lalu meledakkannya ke depan dengan satu sengatan. Kepalan bertemu tendangan.

Bledaaaaaaaaaaaam!!

Roy dan Razan sama-sama terlempar ke belakang. Roy kembali jatuh di kebun yang berada di balik tembok tinggi, terguling-guling di antara semak belukar. Dengan geram Roy kembali berdiri dan melesat ke atas pagar secepat yang ia bisa.

Tapi Hannibal Razan dan kawan-kawannya sudah tak lagi terlihat. Lenyap tanpa jejak. Entah melalui jalur mana mereka pergi. Mereka berhasil menyelamatkan Sang Durjana.

Sekali lagi Reynaldi lolos dari sergapan Roy, suara tawanya terngiang-ngiang di telinga Sang Pengendara Angin. Pemuda itu berteriak penuh amarah.

Lagi-lagi bajingan itu bisa lolos.





.::..::..::..::.





Pelataran Pondok Bambu Belah ada di Hutan Alas Mentas.

Kawasan angker, singup, dan konon berhantu.

Tapi itu tak akan menghentikan Hageng berguru.

Hari sudah menjelang malam, sore sudah tergantikan. Rembulan mulai bertahta, ditemani ribuan bintang bertebaran ikut memancarkan cahaya pantulan. Suara jangkrik terdengar memuja bulan, kodok bernyanyi bersahutan bertabuhan. Silih berganti mengumandangkan kidung pujian. Angin semilir bagaikan sitar yang dipetik dan membuai insan.

Ketika malam semakin larut. Cahaya rembulan makin surut. Hutan yang gelap makin pekat dari sudut ke sudut. Ada satwa yang bersembunyi di antara semak nan rungkut, ada yang bertetirah di sebalik dedaunan menggelayut. Hageng duduk bersila dengan tenang menghadap ke barat laut, tekadnya bulat membulat saat semangatnya tersulut.

Pria di hadapan Hageng duduk dengan tenang dan bersemedi. Bibirnya berkomat-kamit sementara matanya terpejam. Entah merapal entah nginang.

Wajah pria itu unik dengan rambut gondrong kriwil dengan jenggot dan cambang yang panjangnya sampai ke dada, baik rambut maupun jenggotnya sama-sama memerah terbakar matahari. Mungkin beliau tidak mengenal peradaban manusia yang disebut alat cukur. Tatap matanya tajam dengan lingkar hitam di sekitar mata dan mulut yang mungkin kebanyakan menghisap rokok kelobot. Ia mengenakan pakaian kejawen, lengkap dengan lurik dan blangkon.

Namanya Ki Buwang.

Guru Pukulan Geledek ini memang unik dan eksentrik - persis seperti yang dibilang oleh Simon. Kalau di luar sana barangkali sudah digelandang masuk ke panti ODGJ.

Setelah Simon meninggalkan Hageng sendirian, orang ini tiba-tiba saja datang dan memamerkan kemampuannya menghancurkan batu dengan Pukulan Geledek yang tentu saja mengagetkan Hageng. Belum reda kekagetan Hageng bertemu dengan sosok antik di tengah hutan, tiba-tiba saja pria unik itu menyuruh sang T-Rex untuk bermeditasi dengan membimbingnya mendalami ilmu pernapasan.

Bagaimana awalnya Simon bisa bertemu dengan sosok guru seperti ini?

Sungguh tokoh yang aneh dan unik dengan tingkah kocak namun sakti. Pantas saja Simon menyebut kalau gurunya adalah orang yang eksentrik. Pria yang menyebut dirinya sendiri dengan julukan Ki Buwang ini bercerita kalau sebutannya itu tercipta ketika dia membuang dirinya sendiri ke dalam hutan untuk menjauhi hiruk pikuk dunia di luar sana.

“Guru, bagaimana kita biza mengaktifkan Ki dengan sengaja?” tanya Hageng. “Apa rahazianya?”

Ki Buwang mengangkat jemarinya dengan mata terpejam, tanda supaya Hageng tenang dulu. Bibirnya masih terus berkomat-kamit, Sang pria unik berbisik-bisik sendirian sembari mengatur arus Ki. Tenaga dalam dahsyat itu bahkan terasa sampai di posisi Hageng berada. Tanpa membuka mata, Ki Buwang mulai menjelaskan.

“Rapalan. Rapalan atau mantra adalah pembuka niat. Bisa diucapkan di dalam hati, dengan berbisik, atau dengan diteriakkan – berbeda-beda tergantung dari ilmu kanuragannya. Pengucapan mantra mempengaruhi kinerja otak, keseimbangan diri, dan kestabilan emosi. Inilah sebabnya mantra dan rapalan bisa dilafalkan baik ketika seseorang sedang bermeditasi ataupun menjalani kegiatan sehari-hari. Ketika berucap, terjadi maksud untuk menggelorakan pernapasan dengan niatan. Alur ini penting karena dalam bermeditasi, pernapasan menjadi kunci kelancaran penguasaan Ki.

“Ritme pernapasan akan berpengaruh pada suasana hati dan peningkatan konsentrasi. Untuk menguasai tenaga dalam, sangat diperlukan penguasaan pernapasan dengan baik. Kenapa? Karena untuk memastikan peningkatan Ki diperlukan konsentrasi tinggi. Kedengaran remeh ya? Tapi bukan hal yang mudah dilakukan untuk pengguna tingkat bawah. Butuh ketenangan, persiapan pikiran, dan kesabaran tinggi untuk membangun konsentrasi. Pastikan situasi dan kondisi adalah tempat yang senyaman-nyamannya. Tentu saja ada aturannya dalam berlatih pernapasan, menarik dan membuang napas itu tidak sembarang.

“Berikutnya adalah pelatihan tulang belakang. Tulang belakang menjadi soko guru pendukung, harus dilatih supaya fleksibel dengan mempertimbangkan kemampuan diri. Ini terkait dengan postur tubuh. Meskipun saat bermeditasi tidak ada gerakan tubuh yang digunakan untuk melancarkan energi, tapi harus duduk dengan tegak supaya energi dari dasar tulang belakang dapat mengalir dengan lancar.

“Saat itulah baru kita berlatih penggunaan mantra atau rapalan. Gunanya adalah untuk menangkal penghalang konsentrasi, pengucapan mantra dengan ritme yang tepat membantu pernapasan mewujudkan aliran energi.”

“Begitu rupanya. Terima kazih, Guru. Murid mulai paham.” Hageng menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Lalu menarik lagi, lepaskan, tarik, lepaskan. Dilakukan perlahan-lahan untuk merasakan alirannya mengembang dan memenuhi tubuh.

Ki Buwang berdiri dan mendekati Hageng, masih dengan terus berkomat-kamit. Ia meletakkan tangannya di pundak Hageng yang masih duduk bersila. Sang T-Rex merasakan ada yang hangat menyeruak memasuki tubuhnya.

Sang Guru berbisik, “Ada dua belas tahapan yang harus kamu laksanakan jika ingin menguasai Pukulan Geledek. Dua belas tugas yang akan menempamu menjadi ksatria pilih tanding Alas Mentas. Masing-masing tugas adalah pengejawantahan jurus pilih tanding yang akan melengkapi keselarasan dua belas tahap penguasaan Pukulan Geledek secara sempurna. Setelah menguasainya dengan ini kamu akan meningkatkan kemampuan jurus luar maupun tenaga dalam. Apakah kamu siap?”

“Ziap, Guru.”

Ki Buwang melepas tangannya dari pundak Hageng, lalu melangkah kembali ke posisinya semula. Ia duduk jegang dengan santai, lalu mencibir sembari utik-utik upil. Matanya awas memantau kegelapan di atasnya, lalu dengan satu gerakan ringan ia meloncat dan mencapai satu dahan pohon yang bergoyang-goyang. Sang Guru pun nangkring sambil jongkok di dahan itu. “Jika kamu berhasil menguasai Pukulan Geledek, aku akan mewariskan satu ilmu kanuragan lagi. Apakah kamu bersedia melakukannya?”

“A-apakah murid zanggup dengan keterbatazan kemampuan yang dimiliki?”

“Aku baru saja menurunkan tiga perempat tenagaku untukmu. Seharusnya lebih dari cukup.”

“Ziap, Guru.” Hageng mengangguk, “akan zaya coba.”

“Jawab dengan tegas. Jangan ragu-ragu. Diniatkan kalau memang niat, diniatkan kalau memang tidak niat. Tidak ada coba-coba. Tawaran hanya berlaku satu kali. Mau atau tidak?”

“Ziap! Murid berzedia!”

“Nah begitu. Jawab dengan tegas, jelas, lugas. Jangan cengengesan. Setelah bersedia… masalahnya adalah apakah iya kamu sanggup? Meski dengan bantuan tenaga dalam yang sudah kuhibahkan, kamu butuh mengolahnya.” Ki Buwang masih saja mempermainkan Hageng. Pria tua eksentrik itu beristirahat dengan berbaring santai di dahan pohon. “Bisa?”

Dahan pohon itu memang panjang dan besar, tapi terlihat rapuh. Kalau ada orang lain duduk di sana, pasti dahannya sudah patah. Inilah demonstrasi kekuatan Ki yang luar biasa mencengangkan.

“A-Akan zaya coba.” Hageng sampai terbata-bata menatapnya.

Bajilaaaaak! Bocah iki kepiye to yoooo! Tobaaaaat! Sudah dibilang jawabnya harus tegas, jelas, lugas! Jangan ragu-raguuu!! Itu salaaah! Itu jawaban yang salah. Ulangi! Piye to we ki suuuuu!!” Ki Buwang meludah ke tanah. Dengan satu salto pria unik itu meloncat dan langsung duduk bersila di hadapan Hageng. Pria itu bertanya dengan nada suara lembut, kepalanya begitu dekat dengan Hageng. Bau tidak sedap tercium dari mulutnya. Buset ini orang tua satu tadi habis makan apa? Bangkai bajing? Edan baunya busuk sekali. Konsentrasi sang T-Rex terpecah.

Ki Buwang terkekeh dengan mulut lengket, setiap kali bicara, ada lendir yang terangkat di antara gigi-giginya. Sebenarnya menyeramkan dan jijik jika melihatnya dari jarak sedekat ini. Hageng memilih untuk memejamkan mata dan fokus. Ki Buwang memang satu sosok aneh yang sebaiknya tidak ditanya ini dan itu, daripada malah repot sendiri.

“Kamu tahu kenapa jawaban kamu jawaban yang salah?” tanya Ki Buwang.

“Maaf, murid tidak paham, Guru.”

Ki Buwang mengangguk dan menepuk pundak Hageng. Sekali lagi sang T-Rex merasakan ada aliran hangat memasuki tubuhnya.

“Guru?” Hageng membuka mata.

Tepat pada saat itu, Ki Buwang menghilang dari pandangan. Gerakan pria tua itu begitu lembut sehingga hampir-hampir Hageng kesulitan menebak di mana posisi sang guru sebenarnya. Apalagi di tengah gelapnya malam. Hageng baru sadar ketika melihat Ki Buwang ternyata sudah berbaring kembali di dahan yang sama.

Ki Buwang melanjutkan lagi, “Di dunia ini hanya ada dua jawaban pasti. Ya atau tidak. Termasuk jika berkaitan dengan tugas yang harus kamu lakukan. Mampu atau tidak melaksanakan tugas itu belakangan, yang pertama adalah mewujudkan niat dan meyakini bahwa kamu mampu melakukannya dan menjalani yang terbaik yang kamu bisa.”

“Ziap, Guru.”

Ki Buwang tersenyum aneh. “Bersiap-siaplah memasuki dunia yang berbeda. Heheh.”

Hageng mengerutkan kening. Kepalanya tiba-tiba pusing sekali. Sakit sekali. Pusing. Berputar-putar. Tidak bisa. Hageng tidak kuasa menahan. Ini pusing sekali. Ini sakit sekali. Sungguh sakit sekali.

Apa yang baru saja dilakukan Ki Buwang pada dirinya?

Hageng tenggelam dalam kegelapan.





.::..::..::..::.





Ara terhenti dengan terengah-engah. Napasnya satu dua. Keringatnya menetes sebiji-biji jagung. Wajahnya berada di antara dua perasaan. Antara lelah tapi juga puas. Sembari mencoba menggapai udara, Ia menarik dan mengangkat tubuhnya perlahan-lahan. Mengatupkan mata ketika bibir surgawinya melepaskan batang perkasa yang membelah ruang cintanya.

“Pelan-pelan saja…”

“Hmm… begitu ya.” Ara mengedipkan mata.

Simon tersenyum dan mengangkat kepalanya. Keduanya berpagutan. Saling mengelus memberikan rasa sayang berlebih dalam sentuhan bibir yang lembut. “Enak kan?”

“Banget… mmmhhh…” Ara memeluk leher sang kekasih. Tubuh perkasa Simon terasa kokoh dan aman baginya. Kedua tubuh telanjang itu masih terus menyatu seakan tak ingin terpisah. Tapi ada awal ada akhir, ada temu ada pisah. Batang kejantanan yang sebelum-sebelumnya tegak kini lunglai saat dilepas dari sarang nikmatnya. Desah nikmat Ara menandakan rasa. “Aaaaaaah…”

Kedua insan membuka mata, saling menyelami perasaan masing-masing.

Lalu keduanya kembali berpagutan, berciuman. Menyelaraskan rasa dalam gelimang nikmat berbatas asa. Aku padamu dan kamu padaku. Manusia menyebutkan dengan istilah nan indah yakni cinta. Rasa yang muncul antara dua insan yang dimabuk asmara.

“Hnggkh.” Ara mundur sedikit, dadanya terhenyak.

Simon langsung terkejut dan khawatir, “kamu kenapa?”

“Ng-nggak… dadaku tiba-tiba saja…”

“Sakit?”

“He’em.” Ara mengangguk. “Kadang-kadang racunnya masih bereaksi. Aku harus minum obat lagi untuk menuntaskan racun ini. Nah, sekarang sudah hilang lagi. Barusan nyut-nyut banget. Bikin seseg.”

“Obatnya dari gurunya Deka?”

“He’em… dari gurunya…” Ara baru sadar saat melihat perubahan wajah Simon saat ia menyebut nama Deka. “Idih, ini kan buat kita semua, Mas. Masa iya kamu cemburu? Antara aku dan Mas Deka sudah tidak ada apa-apa lagi. Gimana sih kamu ini.”

“Iya sih, cuma jadi berkesan aneh aja gitu kalau sesama mantan akrab. Mana pas menyebut namanya terkesan mesra begitu. Kan aku takut kamu nanti celebek.”

“Ih, Celebek? Apaan lagi itu?”

“CLBK. Cinta lama bersemi di Kalipenyu.”

“Wkwkwk. Haiyah, ada-ada aja, Mas.” Ara memeluk Simon dan mengecup pipinya. “Kamu lupa kita barusan ngapain? Habis beginian kok bisa-bisanya kamu menuduh aku celebek. Dadaku memang beneran sakit barusan. Fokusnya ke situ aja gimana?”

“Iya. Maaf sayang, aku kan juga manusia biasa. Bisa cemburu, bisa sakit hati. Aku bukan pisau belati. Hehehe. Kamu tenang saja. Mulai sekarang aku bakal selalu jagain kamu. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu. Tidak sekarang, tidak nanti, tidak kapanpun.”

“Aku percaya.” Ara beranjak dari atas tubuh Simon ke samping, tubuh indahnya mengkerut karena terkena dinginnya air conditioner. Ia bergerak dengan hati-hati sekali karena racun di dalam tubuhnya belum benar-benar hilang.

“Selain kamu, masih ada juga Roy dan anaknya Rania yang menderita gara-gara racun dari sang Durjana. Kita harus segera mencari cara untuk mencegah dedengkot sialan itu mengkoyak-koyak kehidupan orang tak berdosa lain. Entah sudah berapa orang yang menjadi tumbalnya.”

“Pasti suatu saat nanti dia akan menemui karmanya, Mas. Aku yakin sekali. Tidak mungkin dia sebegitu mudahnya bebas setelah menyakiti banyak orang.”

Simon mengangguk. Saat itu ponselnya menyalak. Ringtone lembut bernada jazz. Simon melirik ke arah jam. Siapa pula jam segini menghubunginya? Kurang kerjaan saja. Saat menarik ponsel dan melihat siapa yang baru saja menghubunginya melalui pesan singkat, wajah Simon berubah.

“Kenapa, Mas?” Ara melirik ke arah Simon yang sedang mengerutkan kening.

Sang Pemuncak Gunung Menjulang terlihat serius ketika melihat ke arah ponselnya.

“Ada yang mengundangku untuk rapat.”

Wajah Simon menunjukkan rasa malas yang luar biasa.

“Apakah urusan penting?” tanya Ara.

“Mungkin. Ini masalah keluarga sih, terkait perusahaan Papa. Mereka mau aku datang untuk menjadi mediator. Aku jarang datang ke rapat-rapat apapun. Ini tadi kakak sambungku bilang ada masalah di salah satu perusahaan Papa. Mereka minta aku datang untuk menyelesaikannya karena jabatanku di sana cukup tinggi.”

Ara memeluk sang kekasih, “Pergilah. Selama kamu bisa membantu orang lain, meringankan pekerjaan orang lain, dan memberikan jalan pada orang lain untuk merasa nyaman dengan kehadiranmu, pergilah. Aku akan menunggu.”

“Awas aja kalau nggak.” Simon tersenyum. Ia memeluk Ara dan membenamkan kepalanya di leher jenjang sang kekasih. Ia mencium leher wangi itu. “Aku suka bau tubuhmu. Bikin aku mabuk kepayang.”

“Heeeh, kamu kan harus pergi, Mas. Mandi dulu sana.”

“Males.”

“Idih…”

“Beneran males. Mending di sini aja berduaan sama kamu.” Simon terkekeh pelan.

Ara mengecup dahi Simon dan merapikan rambutnya. “Aku juga pengennya selalu berada di deket kamu. Tapi kamu kan sedang dibutuhkan. Pergilah. Aku akan tetap di sini dan akan tetap nungguin kamu. Tidak masalah kan? Hanya beberapa jam saja selesai.”

“Iya juga sih…”

Simon meremas payudara Ara sambil mencoba mencium belahan dadanya.

“Hei! Hei! Kok malah jadi nakal ya? Ga boleh ah! Nanti jadi keterusan! Sana! Hus! Hus!” Ara tertawa dan mendorong Simon dari atas ranjang. Meski mendorongnya perlahan, Simon sampai terjatuh ke lantai. Tidak sakit karena hanya bercanda.

Keduanya tertawa terbahak-bahak.

“Iya deh, iya deh.” Simon berdiri sambil tersenyum lebar dan mengedipkan mata. Ia menarik tangan Ara dan mengecup punggung tangannya dengan gentle. “Aku mandi dulu, sayang. Jangan merindukan aku.”

“Belum belum aku sudah kangen nih.”

“Ah, maafkan aku, putri. Aku harus pergi ke hutan untuk berburu. Aku harus meninggalkanmu sesaat di tempat ini. Aku mohon untuk bersabar dan menungguku.”

“Baiklah pangeran.”

Sekali lagi keduanya tertawa. Simon pun menarik pakaian dan celana lalu melangkah malas ke arah kamar mandi. Ara berbaring dengan nyaman dan memindah-mindah channel televisi. Mencari salah satu tontonan yang sesuai dengan mood-nya. Si cantik itu melesakkan tubuh telanjangnya ke dalam selimut dan membenahi posisi berbaringnya.

Ketika tidak kunjung menemukan tontonan yang menarik, Ara beralih. Ia menarik ponselnya dan mulai menjelajahi media sosial. Ia baru sadar ada yang mengirimkan pesan melalaui layanan chat di salah satu aplikasi yang jarang dibukanya.

Permintaan melakukan percakapan?

Dia tidak mengenali sosok yang ada di gambar maupun nama samaran yang digunakan. Nomis? Siapa itu? Ara membukanya karena penasaran. Alis Ara seperti hendak menyatu ketika keningnya berkerut. Siapapun yang mengirimkan pesan kepadanya… dia tidak main-main.

Kamu pacar Simon yang baru? Dia punya rahasia besar yang akan membahayakanmu. Akan kujelaskan semuanya. Tidak bisa aku jelaskan di sini, tidak aman. Aku tidak ingin apa yang menimpaku juga menimpamu. Kalau kamu mau tahu, marilah kita bertemu, nomor ponselku aku tulis di bawah. Jangan bilang siapa-siapa.

Di bawah kalimat itu ada foto Simon yang belum pernah dilihat oleh Ara sebelumnya. Foto yang belum lama diambil karena kaos yang dikenakan Simon di foto adalah kaos dibelikan oleh Ara di salah satu distro populer belum lama ini. Kok orang ini bisa punya foto Simon? Siapa dia?

Jantung Ara berdegup dengan kencang. Ada apa lagi ini?





.::..::..::..::.





Hageng ambruk ke tanah.

Dia sudah sangat kelelahan. Latihan yang dilakukannya sangat sangat berat. Dia harus berlatih di dua dunia, di latar astral dan di pelataran Pondok Bambu Belah. Sialnya, tidak akan ada orang yang tahu seberapa berat pelatihan yang harus dilakukannya. Ki Buwang benar-benar membuatnya hancur lebur luar dalam. Entah berapa kali dia harus dirawat Ki Buwang karena luka-luka.

“Bagus! Baguuuusss!! Dengan ini semuanya selesai!” Sang guru sesepuh tersenyum dan bertepuk tangan sembari melonjak-lonjak seperti monyet. Memang benar-benar orang satu ini sangatlah eksentrik.

Hageng bahkan sudah tidak mampu mengangkat kepalanya.

Ki Buwang tertawa-tawa dan terus saja bertepuk tangan. “Sebenarnya masih ada beberapa tahap latihan yang harus kamu selesaikan untuk melengkapi Pukulan Geledek. Tapi sudah kuberikan semua naskahnya, kamu pun sudah memahami semua langkah pelatihannya. Tinggal dipelajari dengan tekun, rajin berlatih, dan pastikan pikiran terpusat tanpa terganggu – lambat laun kamu akan menguasai semuanya. Ingat bahwa kamu dan Simon adalah pendekar pilihan yang mampu menguasai jurus langka Pukulan Geledek. Kumandangkan gemuruhnya di dunia persilatan. Buahahahahahha.”

“Ba-baik, Ki Buwang.”

Ki Buwang menghapus air matanya yang turun karena tertawa terlalu berlebihan. “Heheh… dasar bocah sial. Baiklah… sepertinya sudah saatnya aku undur diri. Semua ilmu sudah kuturunkan kepadamu. Setelah ini kita tidak akan pernah bertemu kembali, baik karena sengaja maupun tidak sengaja. Buahahahaha. Males banget aku ketemu bekantan gundul macam kamu. Buahahahaha.”

Hageng yang terengah-engah mengangguk dan menjura dalam kelelahan, dia sudah tidak sanggup lagi. Tubuhnya sudah remuk redam dengan semua latihan berat yang diberikan oleh sang sesepuh. Entah sudah macam apa luka yang telah membuat tubuhnya menjadi seperti sekarang. Sang sesepuh benar-benar membuatnya kepayahan. Bolak-balik menyeberangi kesadaran dari dunia astral ke dunia nyata tidak semudah yang terlihat. Menghabiskan semua tenaga dan kemampuannya. Ia benar-benar sudah endgame. Kalaupun ada tugas tambahan, dia tidak akan sanggup melanjutkannya hari ini. Untunglah ternyata ini sudah yang terakhir.

“Z-Zaya berterima kazih ataz zemua yang telah zezepuh ajarkan kepada zaya. Mudah-mudahan zezepuh diberikan kezehatan dan umur panjang,” Hageng membungkuk dan mengaturkan hormat tiga kali pada sang guru.

Ki Buwang mengerutkan kening dan menggaruk-garuk kepala. “Wekekekek. Itu sepertinya akan menjadi hal yang cukup rumit, bocah sial. Wekekeke. Tapi ya sudahlah, tidak perlu dipusingkan. Aku pamit dulu. Pesan terakhirku untukmu hanya satu. Jadilah satria utama. Buahahahaaaaa…”

Setelah mengucapkan itu, Ki Buwang melesat dan menghilang dari pandangan.

Datang tanpa permisi, pergi tanpa pamit.

Hageng kehilangan sosoknya, tapi bukannya sedih dia justru merasa hangat dan tenang.

Hageng duduk bersila, merapal kalimat demi kalimat yang diajarkan, untuk membenahi napas dan aliran. Hageng mencoba mengingat-ingat apa yang disampaikan oleh Ki Buwang, Pukulan Geledek sesungguhnya adalah sumber atau muara yang memiliki banyak ekstensi. Salah satu turunannya adalah jurus yang diajarkan oleh Ki Buwang, Gaman Gegala Rujakpolo. Atau dengan kata lain jika sudah menguasai dua belas esensi dari Pukulan Geledek, maka akan dapat menguasai pukulan legendaris Gaman Gegala Rujakpolo yang meningkatkan daya hancur Pukulan Geledek. Jurus ajaran Ki Buwang tersebut konon merupakan kombinasi jurus luar dan tenaga dalam yang pernah menjadi andalan seorang jawara di masa lampau, jurus yang mengandalkan pukulan pamungkas yang membuat sang pendekar menjadi nama pilih tanding di masanya.

Hageng melihat kedua kepalan tangannya. Ada aliran tenaga dahsyat yang mengalirinya. Tangannya bagaikan berlinang cahaya keemasan. Energi yang disalurkan oleh Ki Buwang ke dalam tubuhnya telah bersinergi dengan kekuatan Ki-nya sendiri. Luar biasa. Apa yang diberikan Ki Buwang bagaikan emas intan permata yang tak akan disia-siakannya. Sungguh sangat berharga.

Dengan kekuatan ini, siapa tahu dia bisa menjelma menjadi seseorang seperti Nanto. Menguasai Pukulan Geledek akan mengantarkan penggunanya menjadi penguasa Gaman Gegala Rujakpolo. Bukankah itu mirip seperti Kidung Sandhyakala dan Nawalapatra Serat 18 Naga? Dua ilmu kanuragan yang saling berkesinambungan dan menjadi pelengkap pamungkas.

Hageng mendengus sambil terus memandang kedua kepalannya yang dialiri oleh Ki dahsyat, seluruh tenaga terpusat, kedua kepalan tangan sang T-Rex bagaikan hulu ledak yang siap menghancurkan apapun. Ya, dia yakin sekali. Dengan ini, dia bisa menjelma menjadi seseorang seperti Nanto dan menyelamatkan orang-orang yang dekat dengannya. Dia bisa menyelamatkan orang-orang yang ia sayangi. Tak akan ada lagi korban seperti Abi dan Eva. Tak akan ada lagi korban seperti mereka. Dia akan memastikan itu. Tak akan ada lagi orang yang sedih, tak akan ada lagi orang yang ditinggalkan, tak akan ada lagi yang sengsara di bawah amuk angkara murka para durjana.

“TAK AKAN ADA LAGI!!”

Hageng melompat dari posisi bersila, terbang ke atas dengan satu lompatan dahsyat. Ia meraung dengan kencang, kedua tangan diangkat ke atas kepala. Jari jemari tangan kiri maupun kanan saling berkait. Lompatan Hageng mengantarkannya menuju ke sebuah pohon besar yang berdiri kokoh. Pohon raksasa yang jika dipukul pun tak akan terguncang.

Jboooooom!!

Kepalan yang terkait dihantamkan ke batang pohon besar itu, menimbulkan suara dentuman kencang yang memekakkan telinga. Hantaman dari tangan Hageng hanya mengenai pohon itu sekali saja. Tapi ternyata efeknya luar biasa. Pohon besar itu terbelah dan langsung tumbang hanya dengan sekali hajar.

Hageng berdiri di hadapan sebuah pohon yang dulunya raksasa. Dedaunan banjir di sekitarnya. Ranting dan batang luruh di mana-mana. Ambruk mengakui keperkasaan sang pemuda. Sang perkasa melihat hasil perbuatannya, lalu menunduk ke bawah.

Apa yang telah ia lakukan? Bisa-bisanya.

Hageng mengelus-elus batang pohon yang baru saja ia robohkan.

“Maafkan aku. Aku telah memanfaatkanmu untuk keegoizanku. Tenanglah, aku akan memastikan keselamatanmu. Zetelah ini aku akan mencoba menanammu kembali, mencangkokmu, melakukan apapun supaya kamu kembali hidup.” Bisikannya terkesan sendu dan sedih. Ia teringat kalimat yang pernah diajarkan oleh Ki Buwang.

Manusia harus menghargai semua makhluk di dunia ini. Semua yang tak mampu mempertahankan diri mereka sendiri.

“Whoah. Apa yang terjadi di sini?” terdengar suara dari arah jauh.

Hageng bahkan tidak perlu menengok untuk dapat mengetahui siapa yang datang. Sekarang Ia bisa membaca tenaga Ki siapapun. Sang T-Rex segera membalikkan badan dan membungkuk untuk memberi hormat. “Zelamat datang. Hageng memberi hormat.”

“Heh, apaan kamu itu. Tidak perlu formal seperti itu.” Simon Sebastian mengerutkan kening. Ia terheran-heran karena Hageng tiba-tiba saja berlaku aneh. Kesamber apa orang ini? Jangan-jangan dia jadi gila selama ditinggal Simon di Alas Mentas? Simon juga sih yang salah. Dia lupa menjemput Hageng yang berada di tempat ini. Padahal sang guru…

“Zaya akan zelalu berhutang budi pada Boz Zimon zang Ketua Zonoz, zang wakil Alianzi. Berkat Boz Zimon, zaya memperoleh banyak masukan dan tambahan ilmu dari zang guru zezepuh zelama beberapa bulan ini. Dengan ini zaya memberikan hormat dan janji untuk zelalu berada di zizi Boz Zimon dan mendukung dalam zemua uruzan.”

“Apa maksudmu?” Simon garuk-garuk kepala. “Guru sesepuh? Beberapa bulan.”

“Guru Boz Zimon tentunya – Ki Buwang. Di ataz tadi zaya bertemu dengannya, beliau mengajarkan banyak hal pada zaya. Jadi zaya berterima kazih zekali pada Boz Zimon karena dengan begini kemampuan zaya meningkat draztiz.” Hageng menjura memberikan hormat. Tubuhnya masih sangat sakit di sana-sini, sehingga dia tidak dapat membungkuk dengan sempurna.

Simon masih saja bingung, tapi dia menyerah. Cuaca terlalu dingin dan sudah saatnya mereka pergi dari tempat ini. “Ya sudah… ayo kita turun. Kita pulang dulu.”

“Ziap.”

Keduanya berjalan beriringan dalam diam, perjalanan dari lokasi Hageng melakukan meditasi sampai ke pintu masuk Alas Mentas cukup jauh. Tapi keduanya sama-sama menggunakan Ki untuk menghangatkan diri.

Itu saja sudah cukup untuk membuat Simon menganga terheran-heran. Ia bisa merasakan Ki luas biasa muncul dari dalam tubuh sang teman. Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba si bongsor kocak ini memiliki tenaga Ki yang sedemikian luar biasa? Dari mana dia mendapatkannya? Bagaimana dia melatihnya? Apa jangan-jangan dari… Ki Buwang?

Simon meneguk ludah. Wajahnya sebenarnya menunjukkan kekagetan yang luar biasa saat Hageng mengucapkan nama itu, namun dia tidak ingin menunjukkan ekspresinya di hadapan sang T-Rex. Semua yang dikatakan Hageng tadi…

Ah tidak mungkin.

Dia itu ngomong jujur atau hanya mempermainkannya saja ya? Bukankah si Hageng ini senang bercanda? Tapi kenapa juga dia sekarang jadi seserius ini?

Kedua pemuda gagah itu jalan bersama menuruni jalan setapak Hutan Pinus Sewularas – gerbang masuk dan keluar dari Alas Mentas. Simon masih tak habis pikir saat mendengar cerita Hageng. Pertama, karena dia bilang berada di tempat ini selama beberapa bulan. Apanya yang bulan? Hageng hanya beberapa minggu saja di sini. Tidak sampai sebulan. Itu saja sudah mencengangkan karena jarang ada yang bisa bertahan lebih dari seminggu.

Keanehan yang kedua, karena nama guru yang mengajarkan Pukulan Geledek kepada Simon bukanlah Ki Buwang.

Sebenarnya Simon menyusul Hageng karena gurunya tersebut ternyata sedang berada di lain tempat sehingga tidak dapat hadir untuk melatih Hageng. Dia baru saja mengetahuinya setelah berkomunikasi dengan salah satu rekan seperguruan yang sering bersama-sama dengan sang guru. Guru Simon tengah berada di wilayah wetan pulau untuk waktu yang tidak sebentar. Jadi sangat tidak mungkin sang guru menemui Hageng.

Itulah sebabnya dia buru-buru menjemput Hageng. Anehnya dia malah menemui Hageng yang sudah berubah menjadi salah satu lakon berkekuatan hebat yang menguasai Pukulan Geledek.

Siapa yang mengajarkan ilmu kanuragan itu kepadanya? Kalau bukan gurunya, siapa sebenarnya orang yang menemui Hageng?

Simon tidak ingin menakut-nakuti Hageng saat mereka berjalan melalui sebuah kompleks makam tak jauh dari gerbang gapura yang menjadi penanda ujung jalan setapak. Karena Simon hapal sekali, di tempat itu ada sebuah makam yang diperlakukan spesial oleh warga sekitar. Makam dengan pagar dan atap berwarna hijau.

Makam yang konon merupakan peristirahatan terakhir seseorang sakti bernama Ki Buwang. Salah satu tokoh yang terlibat cerita mitos Geger Pondok Bambu Belah.

Sosok yang namanya disebut-sebut oleh Hageng.

Bulu kuduk Simon berdiri.





.::..::..::..::.





.:: PADA SUATU KETIKA



Simon Sebastian melirik ke kanan dan ke kiri.

Entah kenapa ia melakukannya.

Mungkin tidak disadari kalau tingkah lakunya itu justru cukup aneh. Ini kan kantor. Siapa juga yang akan melihatnya di sini? Terus nek konangan njuk ngopo? Kalaupun ketahuan memangnya kenapa? Siapa yang mau protes? Simon geleng kepala sambil tersenyum sendiri. Pasti konyol sekali kalau ada yang melihat tingkahnya ini.

Untuk apa dia takut?

Hmm, well… mungkin bukan takut ya, lebih tepatnya dia hanya merasa kurang nyaman saja dengan semua ini. Dia merasa seperti tidak pantas berada di tempat ini.

Simon menarik napas panjang.

Mungkin karena akhir-akhir ini dia merasa terintimidasi oleh banyak hal sehingga dia merasa harus ekstra hati-hati dalam segala sesuatunya. Selalu curiga saat melihat orang. Padahal sebagai seorang pimpinan Sonoz, Simon sebenarnya selalu merasa percaya diri. Ia seharusnya tidak takut untuk menghadapi apapun. Toh dia bersalah, hanya orang bersalah-lah yang seharusnya takut. Perasaan menjebak tersebut seharusnya tidak ia rasakan.

Simon menarik napas panjang berikutnya.

Sang Pemuncak Gunung Menjulang itu sebenarnya mengalami krisis eksistensi karena berhadapan dengan kawan dan lawan yang berat dan bertubi – misalnya saja Rahu Kala yang menyeramkan. Dia tahu dia seharusnya lebih percaya diri, namun entah kenapa melihat lawan dan kawan yang semakin lama semakin jago – ia justru merasa jalan di tempat dengan kemampuan yang stagnan. Simon tahu dia harus mengembangkan kemampuan lebih tinggi.

Dia harus bisa menyamai atau bahkan melebihi Rahu sang Dewa Iblis.

Harus bisa.

Sekali lagi Simon melirik ke kanan dan kiri. Ketika merasa semua sudah aman, Simon mengetuk pintu yang ada di depannya. Butuh waktu satu menit sebelum pintu itu akhirnya terbuka.

“Selamat datang Den Simon. Silakan masuk.”

Seorang pria bertubuh tegap membukakan pintu. Dia menunjuk ke dalam dengan jempol tangan, pertanda hormat. Meskipun jauh lebih tua, orang itu jelas memiliki posisi yang lebih rendah dalam struktur organisasi dibandingkan Simon.

“Sudah makan, Om?” tanya Simon dengan sopan.

Pria bertubuh tegap itu hanya tersenyum dan menggeleng. Simon menepuk pundak sang penjaga pintu dan memberikan goody-bag coklat yang ia bawa-bawa. “Ini ada roti toast isi telur sama daging, buat Om aja. Selamat menikmati, Om.”

“Hah!? Kok diberikan ke saya, Den Simon?”

“Kebetulan tadi ada dua. Saya sudah makan satu.” Simon berbohong.

“Terima kasih, Den Simon.”

“Sama-sama, Om.”

Simon melangkah ke dalam ruangan. Tempat itu sebenarnya sebuah ruang meeting yang cukup luas dengan tebaran pemandangan taman yang indah di suasana malam, lampu-lampu taman menerangi pepohonan dan hiasan taman yang apik dan asri.

Begitu masuk ke dalam, sudah ada beberapa orang yang duduk mengitari sebuah meja berbentuk elips. Sisi lebar diisi oleh beberapa orang, sedangkan sisi paling ujung hanya diisi oleh satu orang saja. Orang yang duduk di paling ujung itu menatap ke arah Simon dan mengangkat tangannya untuk mempersilakan Simon duduk di ujung terjauh.

Simon mengangguk dan duduk di kursi spesial di paling ujung.

“Maaf aku terlambat datang. Tadi ada urusan sebentar,” ucap Sang Pemuncak Gunung Menjulang sembari tersenyum. Ia lantas duduk dan tersenyum sopan kepada satu-persatu dari mereka yang duduk di kursi. “Silakan dilanjutkan percakapannya.”

“Akhirnya kamu datang juga.”

“Maaf, Bang.”

“Benar-benar ada urusan penting ataukah cuma pacaran saja? Lagipula anak kuliahan seperti kamu memangnya ada urusan penting apa?” tanya seorang pria dengan garis dagu tinggi yang sebelumnya mempersilakan Simon duduk. Pria berwajah tampan itu menatap Sang Pemuncak Gunung Menjulang dengan tatapan sinis. Rambutnya klimis, kumis dan cambangnya dicukur rapi tapi tak sampai habis. Ia berpakaian layaknya seorang pebisnis, mengenakan kacamata dengan frame dari Dolce & Gabbana, jam tangan Rolex Daytona, jas berkelas Vanquish II dari Alexander Amosu, dan dasi rapi besutan Stefano Ricci. Dari atas sampai bawah semua necis. Entah apa sepatu yang ia kenakan, pasti bukan sendal Swallow yang tipis.

“Maaf, Bang Alex.” Simon tersenyum kecut. Tentu saja dia tadi sebenarnya sedang berduaan dengan Ara, tapi itu bukan alasan yang ingin dia ceritakan di rapat ini bukan? “Tadi aku benar-benar sedang ada kesibukan, terkait tugas-tugas dari dosen pembimbing akademik. Sekali lagi maaf aku terlambat, Bang…”

“Bang? Bang?! Yang benar saja, Simon. Mudah-mudahan kamu sedang bercanda. Apaan panggilnya Bang-bang.” Alexander Arden mendengus. “Kalau sedang di kantor, apalagi sedang rapat dengan manajemen, panggil nama dan jabatan dengan lebih profesional.”

“Siap, Bang. Eh, maaf… maksud saya Pak Alex.” Simon duduk dengan lebih santai sambil cengengesan.

Alex menatapnya tegas. “Jangan main-main, Simon. Begitu kamu masuk ke tempat ini, kita mengharapkan dedikasi dan komitmen. Sementara kamu bermalas-malasan, kami semua sudah berkumpul di sini sejak beberapa jam lalu untuk membicarakan mengenai opsi investasi paling aman terkait hedge fund milik klien yang akan dikelola oleh Sera Financial.”

Alex berdiri, lalu berjalan ke arah Simon, dan melemparkan map ke depan sang pemuda. “Aku yakin sekali kamu tidak paham dengan ini semua. Setidaknya kamu datang lebih awal untuk belajar paham. Jangan malas untuk datang tepat waktu! Disiplin!”

Simon menghela napas panjang. Sebenarnya ia memang orang yang memiliki disiplin tinggi, dia hanya malas saja dengan semua urusan perusahaan ini. Pemuda itu pun mengangguk untuk mengiyakan, “Saya memang belum siap untuk ini semua. Saya belum pantas rasanya untuk menduduki kursi chairman. Apakah yakin keputusan tersebut sudah final?”

“Perusahaan ini dibentuk dari tetesan keringat dan darah Papa kamu, Simon,” ujar Alex sedikit ketus. Justru dia sendiri sekarang yang melewati batas-batas profesionalitas karena menyangkutpautkan urusan pribadi. “Mungkin kamu menganggap perusahaan ini bukan apa-apa karena kamu tidak paham bisnisnya. Tapi sebagai putra kandung Papa kamu, sudah sewajibnya kamu belajar karena kamu akan mewarisi usaha ini dari beliau.”

“Saya ini anak kuliah, Pak Alex. Bisa apa saya mengurus perusahaan semacam ini?”

“KAMU ITU CALON PIMPINAN PERUSAHAAN INI!” bentak Alex sembari menggebrak meja. Semua mata terarah padanya. “Seraphim Corps bukan sekedar perusahaan remeh! Korporasi ini terbentuk karena andil banyak orang termasuk yang sebagian hadir di sini! Seraphim Corps berhasil menjadi salah satu nama besar di tanah air berkat jasa banyak orang yang sudah siang malam berusaha tanpa kenal lelah. Berilah penghormatan kepada mereka semua! Beri hormat pada mereka yang duduk di sini dan telah melakukan voting secara absolut. Mereka yakin pada keputusan pimpinan lama untuk mewariskan perusahaan pada kamu.”

“Mas Simon… kami hanya ingin anda lebih aktif lagi dalam rapat perusahaan.” Salah seorang manager tersenyum lembut menatap sang pemuda, “Dengan begini tongkat estafet kepemimpinan dapat dipindahkan secara bertahap dengan sempurna.”

Simon mengangguk-angguk.

Manager berusia sepuh itu menunjuk ke arah map di depan Simon, “Silakan dipelajari, Mas. Kami sudah mencurahkan waktu, tenaga, dan keringat untuk menyelesaikan laporan tersebut.”

Simon meraih map tersebut, Ia hendak membukanya ketika kemudian terdengar ketukan di pintu. Dua orang berdiri di sana.

“Pak Alex, Mas Simon. Anda berdua ditunggu di ruang pimpinan.”

Simon dan Alex berpandangan.

“Bapak dan Ibu sekalian, untuk sementara rapat kita tutup sampai di sini dulu. Kami akan mencoba menyampaikan aspirasi dari Bapak dan Ibu sekalian secara langsung ke pimpinan,” ujar Alex sembari berkemas-kemas.

Beberapa manager bercakap-cakap sejenak dan bersalaman dengan Alex dan Simon.

Kedua pemuda itu lantas berjalan beriringan. Keluar dari ruang meeting, menuju ke salah satu ruang paling penting di gedung ini. Ruang sang owner, ruang sang pimpinan tertinggi Seraphim Corps. Itu artinya mereka sedang berjalan bersama untuk menemui Papa Simon.

“Sebentar lagi Papa akan menyerahkan perusahaan ini untukmu. Persiapkan dirimu agar lebih pantas untuk menerima tampuk pimpinan perusahaan. Papa sudah jatuh bangun, keluar keringat dan darah demi mempertahankan perusahaan. Jangan lantas kamu hancurkan begitu saja dengan urusan tidak penting dan memalukan.” Alex mengomel sejak keluar dari ruang meeting. “Papa menyekolahkanmu di universitas terpandang untuk menjadi pribadi mandiri yang pantas memegang tampuk pewaris perusahaan, bukan jadi petarung jalanan yang hobi berantem.”

“Aku tidak pernah minta menjadi apapun di perusahaan Papa, Bang. Aku bisa membangun usahaku sendiri.”

“Membangun usahamu sendiri?” Alex menghela napas panjang, “Aku tahu kalau dari usahamu sendiri saja kamu sudah memperoleh uang berlebih. Tapi bukan itu masalahnya. Bukan itu juga yang ingin Papa dengar. Papa mendirikan dan menyiapkan perusahaan ini untuk kamu jalankan hingga kelak bisa kamu mewariskannya pada anak cucu. Papa mengusahakan harta yang tidak akan habis sampai tujuh turunan. Bisa dibayangkan kerja kerasnya? Semua demi anak cucu. Inilah kerajaan keluarga kita yang dibangun oleh Papa.”

“Aku tahu itu, Bang. Aku tidak ingin mengecewakan Papa. Aku merasa tidak berhak mewarisi apapun dengan kemampuanku yang sekarang. Kenapa Papa tidak memilih Abang saja? Abang jauh lebih pantas. Lebih mengerti bisnis ini daripada aku, lebih lama bekerja di sini, dan lebih berdedikasi. Abang tahu semuanya dari A sampai ke Z. Kami semua menganggap Abang juga keluarga.”

“Aku sangat mencintai Papa, Mama, dan keluarga kita – tapi aku tidak akan bisa menjadi pewaris tahta. Kamu darah langsung Papa, aku bukan. Kamu punya privilege, aku tidak. Jangan sia-siakan.” Alex menepuk dada Simon perlahan menggunakan map yang ia bawa. “Aku tahu kamu bisa kalau tidak terlalu banyak terlibat urusan receh.”

“Kalau memang diserahkan padaku, kenapa semua orang seperti khawatir kalau-kalau aku tidak akan memenuhi syarat? Kalau memang aku tidak pantas, ya sudah tidak usah diserahkan. Bukankah begitu saja sudah selesai masalahnya? Kalau aku yang dijadikan pimpinan, langsung aku tunjuk Bang Alex saja yang jadi CEO. Lebih pantas dan lebih paham. Aku yakin keluarga kita tidak akan masalah dengan itu. Aku tidak mengerti kenapa kalian membuat semua ini menjadi urusan berkepanjangan.”

“Kamu tidak akan paham karena kamu tidak pernah berdiri di samping Papa. Kamu sibuk mengurus urusan geng busukmu itu, menganggap mereka keluarga, dan melupakan keluarga sendiri.” Alex mencibir, “ini semua sudah keputusan Papa dan jika Papa sudah mengambil keputusan, itu artinya titik tanpa koma. Kamu seharusnya yang paling tahu.”

Mereka berdua sampai di sebuah pintu besar.

Alex mengetuk pintu.

Tidak lama kemudian, pintu dibuka.

Seorang wanita cantik berkacamata muncul saat pintu terbuka. Ia mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan blazer gelap nan senada dengan rok pendek yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Gadis ini adalah sekretaris sang Papa – namanya Btari. Cantik, seksi, menggoda iman dan imron. Ia tersenyum saat melihat Alex dan Simon di depan pintu.

“Halo mbak Btari,” sapa Simon. “Apa kabar? Sehat?”

“Halo juga, Mas Simon. Kabar sehat-sehat. Mas Simon juga sehat kan?”

“Ehem.” Alex menyela.

Btari mengangguk dan menunjuk ke satu pintu lagi. “Papa kalian sedang menemui tamu. Masuk saja, tidak dikunci. Beliau dan para tamu sudah menunggu sedari tadi,” sapa Btari ramah.

Alex mengangguk dan berjalan masuk.

Simon tidak terburu-buru, Ia mengambil sesuatu dari kantong bajunya – sebatang permen coklat segitiga dan memberikannya pada sang sekretaris sembari mengedipkan mata. “Buat ngemil, Mbak. Spesial buat mbak Btari.”

“Waaaahh, surprise nih. Hahhaa. Makasih banyak, Mas.”

Simon ikut tertawa dan segera menyusul sang kakak yang sudah masuk terlebih dahulu. Di dalam ruangan ada beberapa orang yang duduk di sofa kerja. Salah satu diantaranya tentu adalah Papa Simon dan Alex, Raden Sastrojendro Whitman – atau biasa dipanggil Pak Jendro.

“Pah.”

“Papa.”

“Duduk kalian berdua. Papa mau ngobrol sebentar sama kalian.”

Simon dan Alex nantinya akan duduk berhadapan di sofa sebelah barat dan timur, sementara Pak Jendro duduk di sofa yang berada di posisi utara. Tamu sang Papa beserta para asisten seharusnya duduk di sofa sebelah selatan, tapi baru saja undur diri sejenak untuk ke kamar kecil - meninggalkan Pak Jendro dengan kedua putranya sendiri saja di ruangan.

“Lagi-lagi terlambat,” Pak Jendro menatap Simon yang masih berdiri. Alex menyingkir agak jauh dan pura-pura tidak mendengar.

“Ada sesuatu yang harus aku urus sebentar.”

“Sudah yang kesekian kalinya kamu seperti ini. Ada baiknya kamu menerapkan disiplin dengan lebih serius. Biar bagaimanapun, kamu akan menggantikan aku memimpin perusahaan ini setelah kamu lulus kuliah.”

“Apa tidak terlalu terburu-buru? Aku mau melanjutkan sekolah lagi.”

“Pasti dan harus, kalau bisa sampai doktoral. Tapi lanjut sekolah bisa dibarengi dengan kepengurusan perusahaan. Transisi kepemimpinan butuh waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Itu sebabnya harus kita cicil sedari awal dan itu dimulai dari sekarang. Seraphim Corps punya banyak anak perusahaan, salah satunya Sera Financial. Klien kita yang sekarang terkait dengan usaha itu.”

Simon hendak menyangkal, tapi sang Papa meletakkan telunjuk di bibir. Pertanda dia tidak ingin diganggu oleh sang putra. Juga sebagai pertanda bahwa keputusan itu sudah final. Simon menunduk, dia tahu apa itu artinya.

“Tanggung jawabmu sangat besar begitu kamu dilahirkan. Kamu adalah sang pewaris yang sudah ditunjuk bahkan sebelum kamu bisa ngompol. Sebesar itulah kepercayaan Papa sama kamu.”

“Tentu Pa.”

“Dalam bayangan Papa, semua itu artinya kamu harus lulus tepat waktu di S1 minimal cum laude, lanjut ke S2 di Jerman, dan lanjut doktoral di Inggris atau di Amerika atau dimanapun terserah kamu. Semua itu dilakukan di sela-sela mengurus anak perusahaan Seraphim Corps, setelah itu barulah kamu pulang untuk mewarisi tampuk tahta perusahaan kita. Papa tidak ingin mendengar kata kata tidak ingin, tidak mau, dan tidak suka. Papa tidak ingin mendengar ada penolakan apapun. Kamu anakku dan itu adalah jalan yang aku tetapkan untukmu untuk masa depan dan kebaikanmu sendiri. Paham?”

“Paham, Pa.” Simon mengangguk. Semacam ada belenggu yang mengikatnya.

Inilah kenapa Sonoz begitu berarti baginya.

Sonoz adalah keluarga.

“Ada satu hal lagi yang perlu Papa bicarakan sama kamu,” Pak Jendro melanjutkan kembali, urat wajahnya menunjukkan perbedaan. “Keluarga kita adalah keluarga yang terpandang dan kita harus menjaga image itu, karena image keluarga terkait dengan pekerjaan kita.”

Simon tidak menyukai kemana arah pembicaraan ini.

“Gadis yang tempo hari kamu bawa ke rumah itu… apakah kamu sudah tahu bobot, bibit, bebetnya? Selain mewarisi perusahaan, kamu juga diproyeksikan masuk ke partai yang mengusung Papa, itu artinya kamu harus menjaga nama baik Papa, menjaga nama baik keluarga, dan tidak memulai keresahan macam apapun. Itu artinya kamu tidak boleh berpacaran dengan wanita yang akan menimbulkan skandal, apalagi wanita sembarangan yang sudah tidak perawan. Amit-amit. Berita begini bisa jadi sasaran empuk Lambe Curah. Jaga harga diri! Jaga nama keluarga! Sudah paham juga kan?”

Simon mendengus, “Paham.”

Ini tidak akan berakhir dengan baik kalau Papa-nya tahu wanita seperti apa Ara. Bukan karena Simon tidak menghargai Ara justru sebaliknya Simon ingin melindungi Ara dari orang-orang berprasangka buruk seperti sang Papa. Simon tidak akan membiarkan siapapun menghina dan merendahkan gadis itu, bahkan jika orang itu adalah Papanya sendiri.

Tapi untuk saat ini… Simon tahu posisinya. Dia harus mengalah.

“Sekarang kemarilah, duduk di sini. Kita sedang ada tamu.” Sang Papa menunjuk ke kursi yang ada di samping kanan yang masih kosong. Di sisi kiri sudah ada Alex yang akhirnya duduk sembari menatap Simon dengan tajam. Tatapan yang memberi arti : jangan kacaukan ini.

Simon tersenyum dan duduk dengan sopan.

Tamu sang Papa duduk di sofa sebelah selatan. Ada dua orang asisten di belakangnya.

“Oh, siapa kedua pemuda ini, Pak Jendro?”

“Ini anak-anak saya. Maaf, anak saya memang masih sangat muda dan kurang berpendidikan. Seringkali masih lancang dan belum bisa bertatakrama. Wong Jowo seng wes ilang Jowo-ne. Biasalah masih belum bisa berpikiran dewasa, Pak.” Papa Simon tersenyum pada sang tamu yang duduk di kursi terjauh.

Simon belum pernah melihat orang ini. Siapa dia sebenarnya? Kolega Papa-nya? Yang dari mana?

“Simon. Beri salam.”

“Selamat malam, Om. Saya Simon. Salam kenal.”

“Heheh. Jadi ini penerus Seraphim Corps selanjutnya? Heheheh. Pemuda yang menarik sekali. Aku menyebutnya tampan dan berani. Gagah, penuh semangat. Sepertinya punya pendirian yang teguh.” Pria yang menjadi kolega Papa Simon itu tampil santai dengan pakaian jawa. Ia mengangguk-angguk sembari memperhatikan Simon yang salah tingkah. “Aku banyak mendengar tentangmu, Simon. Kamu sudah punya nama harum di luar sana.”

“Saya yakin itu bukan cerita yang baik, Pak.” Alex berdehem, “Adik saya ini seringkali terlibat dalam masalah hukum karena tindakan yang…”

Papa Simon baru saja hendak menghentikan Alex yang membuka aib sang adik ketika Pak Jendro justru menyelanya.

“Justru sebaliknya.” Sang tamu tersenyum.

“Oh?” Alex dan Papa Simon saling berpandangan.

Sang tamu tersenyum lebar, “Aku sudah sangat mengenal sosok Sang Pemuncak Gunung Menjulang yang memiliki nama harum karena aku punya dua keponakan yang juga menjadi salah satu punggawa kelompok yang berdiri kokoh di kawasan utara.”

Simon terbelalak. Orang ini mengenalnya!? Siapa dia!?

“Tu-tunggu, saya yakin kalau…” Alex mencoba menyela. Dia tidak ingin tindak tanduk Simon di luar perusahaan membuat masalah lebih jauh lagi. Adik tirinya itu memang membuatnya tidak nyaman dengan semua kegiatan geng-nya. Nama baik Seraphim Corps bisa terancam jika pimpinannya terlibat kegiatan kelompok bawah tanah.

Tapi sang tamu mengangkat tangan dan menghentikan kalimat Alex.

“Simon Sebastian Sang Pemuncak Gunung Menjulang. Kedua keponakanku itu adalah Amar Barok dan Deka. Aku sangat yakin kamu mengenal mereka.”

Simon masih terbelalak. Orang ini…?

“Sa-sangat kenal,” ucap Simon. Ia merasakan Ki yang menyala pada diri sang tamu. Apakah dia mencoba menunjukkan siapa dia sebenarnya pada Simon dengan menyalakan Ki-nya? “Maaf, siapa anda sebenarnya?”

“Nama saya Yama Widura, Mas. Pakdhe-nya Amar dan Deka yang tinggal di kota sebelah. Tapi seperti halnya keponakan-keponakan saya, kita ngobrolnya santai saja, kita bikin suasananya akrab. Mas Simon dapat memanggil saya dengan Pakdhe Wid. Heheheh.” Pria itu tersenyum lebar. “Kita pasti akan punya banyak hal yang bisa diperbincangkan. Bukan begitu, Mas?”

Simon meneguk ludah, Ia mulai merasa tidak nyaman. Gawat ini kalau sampai Papa dan Mas Alex tahu sepak terjang Simon di dunia underground. Mereka memang biasanya akan mendukung apapun yang Simon lakukan tanpa banyak bertanya, tapi ada kalanya sesuatu itu memiliki batas. terlebih jika sudah berkaitan dengan Seraphim Corps. Aliansi dan Seraphim Corps adalah dua entitas yang berbeda yang tidak boleh bersinggungan.

Ia melirik ke arah Papa-nya dan Alex. Keduanya sedang menatap Simon dengan galak. Seakan-akan sekali lagi hendak mengatakan : jangan kacaukan ini.

Simon tersenyum. Dua orang ini memang benar-benar… Sambil geleng kepala dan mengedipkan mata, Simon meneguhkan sikap. Sepertinya dia harus membuktikan sesuatu di depan Bang Alex dan Papa-nya. Sang Pemuncak Gunung Menjulang memutar badan di kursi sofanya untuk berhadapan dengan Pakdhe Wid. Pemuda gagah itu menyilangkan kaki, duduk dengan santai, dan tersenyum penuh arti.

Dengan berani dia berhadapan dengan sang tamu. “Baiklah, Pakdhe Wid. Seperti tadi sudah disampaikan oleh Papa – nama saya Simon Sebastian dan mulai hari ini saya akan menjabat sebagai pimpinan sementara atau temporary CEO dari Seraphim Corps. Jadi supaya tidak panjang kali lebar, mari kita mulai bicara bisnis. Anda bilang tadi anda tinggal di kota sebelah?”

“Benar sekali.”

“Satu-satunya alasan kenapa Pakdhe datang ke kota ini menurut saya tentunya adalah untuk membuka lahan baru dan memperluas usaha yang saya rasa sudah sangat besar dan sukses di kota sebelah. Apakah Pakdhe tertarik untuk berinvestasi di kota ini? Seraphim Corps punya banyak unit yang berjalan di bidang keuangan termasuk konsultasi, asuransi, pendanaan investasi, reksadana, dan hedge fund. Apapun yang Pakdhe inginkan, kami sediakan.”

Pakdhe Wid tersenyum dan mengangguk. “Menarik.”

Simon mengangguk. “Jadi… apa yang bisa kami bantu?”

Pria tua itu mengayunkan tangan. Dua orang lelaki gagah yang sejak tadi berdiri di belakangnya maju ke depan, membuka sebuah tas jinjing, mengeluarkan beberapa map.

Pakdhe Wid mendorong map-map itu ke arah Simon. “Saya dan rekan-rekan pengusaha memiliki dana kolektif yang dikumpulkan melalui pendanaan pribadi yang ingin kami kelola sebagai dana lindung nilai. Untuk keperluan itu kami ingin menyerahkan pengelolaan dana pada Sera Finansial, yang sepanjang pengetahuan saya adalah grup keuangan sukses di bawah Seraphim Corps.”

“Bisa dibilang demikian.”

“Dalam map-map ini ada beberapa opsi investasi yang ingin kami konsultasikan untuk dana lindung nilai tersebut. Opsi-opsi investasi ini adalah yang paling sesuai dengan minat dan lingkup kerja kami. Pembagian keuntungan seperti biasa, two and twenty. Kalau Sera Finansial berkenan, kami juga membuka kesempatan untuk melakukan leverage.”

Simon memperhatikan beberapa judul proposal, ada delapan map di atas meja. Pemuda itu membuka satu persatu map, melihat proposal dan laporannya sekilas lalu. Dengan cepat Ia lalu mengelompokkan map itu ke dalam dua klasifikasi kelompok. Ia menyingkirkan lima di antaranya dan menyisakan tiga. Sang Pemuncak Gunung Menjulang tersenyum setelah selesai melakukan pemeriksaan. Ia kembali duduk dengan santai.

“Yang lima ini tidak perlu ditindaklanjuti. Alasannya jelas karena trend-nya sudah mulai hangus dan hype-nya sudah habis. Masyarakat akan jenuh jika dicekoki hal yang sama terus menerus. Hanya akan jadi pasar persaingan sempurna tanpa juntrungan, mau masuk sudah telat. Kecuali jika kita langsung gung ho dengan modal besar dan rebut semua pasar dari pimpinan saat ini melalui harga, kualitas, dan kekuatan media sosial – diraih dengan menggaungkan brand baru. Bukan perkara mudah” Simon menunjuk satu dari kelompok tiga map. “Dari semua usulan, yang satu ini yang paling potensial direbut pasarnya. Tapi itu beresiko tinggi karena kita baru gabung di tengah-tengah arus hype, lawan kita sudah terpetakan dan sangat kuat di mata masyarakat.”

High risk? Apakah sepadan?”

“Terlalu high untuk dijajaki. Lagipula masih ada opsi lain. Kalau enggan jadi pengekor - kita bisa bicara mengenai dua yang tersisa.”

Simon menggeser dua map dari kelompok tiga map.

“Dua ini potensial. Yang pertama masih akan punya hype setidaknya sampai dua tahun mendatang karena pasarnya anak muda. Bisnis yang basah dan akan memberikan profit asal bisa break event point dalam waktu satu tahun. Jika tidak, tinggalkan saja.”

Pakdhe Wid manggut-manggut, “bagaimana dengan yang terakhir?”

“Yang terakhir ini bisa dicoba. Masih belum ramai tapi sangat menjanjikan. Delapan puluh persen akan booming di saat-saat menjelang hari raya. Pasarnya lintas usia.”

Pakdhe Wid bertepuk tangan, “Analisa yang menarik.”

Alex dan Pak Jendro saling berpandangan. Kalau sampai Pakdhe Wid setuju dengan usul-usul Simon yang belum melalui proses pemeriksaan yang komprehensif, maka nama baik perusahaan bisa berada di ujung tanduk. Pakdhe Wid memiliki jaringan yang cukup mengakar.

“Maaf, Pak Wid. Tadi itu hanya sekedar…” Alex mencoba menimpali. Dia takut apa yang diucapkan Simon tidak berkenan bagi sang tamu. “Sekedar analisa yang belum terbukti. Masih butuh penelitian lebih lanjut dari para ahli dan…”

Ssssh. Kalau sedang rapat kita harus fokus, tidak boleh terlalu banyak gangguan.” Pakdhe Wid meletakkan telunjuknya di bibir. “Biarkan sang pimpinan sementara Seraphim Corps ini menyelesaikan analisa mengenai bisnis yang saya tawarkan. Anda boleh diam dulu sejenak. Sejauh ini saya menyukai pandangannya.”

Alex langsung terdiam seribu bahasa, sementara Papa Simon mengangguk-angguk dan terus mengawasi kedua putranya.

Simon tersenyum melihat kakak angkatnya dibungkam oleh Pakdhe Wid, dia tidak nyaman dengan situasi ini, dan melanjutkan, “…hanya sekedar analisa sederhana dari seorang anak kuliahan, Pakdhe. Mudah-mudahan saya tidak gegabah dalam memberikan usulan, saya masih terlalu hijau untuk tahu secara lengkap apa-apa saja yang harus dipertimbangkan. Mengenai Bisnis mana yang akan diambil dan dikerjakan, keputusan terakhir tentu ada di tangan Pakdhe. Kita semua yang duduk di ruangan ini tentunya sudah paham bahwa bisnis adalah bisnis, mau bagaimanapun usahanya, bisnis hanya akan menghasilkan dua ujung. Untung atau rugi.”

“Sepakat, Mas. Sepertinya ini akan jadi permulaan kerja sama yang menarik, Mas Simon.” Pakdhe Wid tertawa sambil melirik ke arah Papa Simon dan Alex yang cemberut. “Meskipun usianya masih muda dan analisanya masih perlu pembuktian, tapi anak anda ini sudah memahami konsepnya. Luar biasa berbakat. Generasi masa depan yang gemilang. Saya menyukai dia. Sepertinya anda telah mendidik anak dengan luar biasa, Pak Jendro.”

Papa Simon mengangguk. “Sepertinya begitu.”

Alex mendengus saat Simon kemudian mengedipkan mata padanya. Tapi kakak angkat Simon itu akhirnya tersenyum dan mengangkat jempolnya saat Pakdhe Wid menandatangani surat perjanjian yang disodorkan Papa mereka.

Terlihat Alex berbisik dari kejauhan tanpa suara. Simon bisa melihat perubahan bibirnya, “Good job.”

Simon tertawa kecil dan menarik napas lega.

Urusan keluarga dan kantor untuk sementara sudah bisa dia selesaikan, tinggal masalah Ara… dan Aliansi. Dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan-lawan kuat jika tetap bertahan di Aliansi. Di tengah berkecamuk perang QZK vs JXG, KRAd adalah ancaman nyata yang ada di depan mata.

Mereka semua harus meningkatkan level kemampuan.

Apalagi jika berhadapan dengan makhluk-makhluk menyeramkan seperti Rahu.

So help us all.





.::..::..::..::.





.:: SEKARANG



Hageng baru saja usai berlatih. Makin hari kemampuannya makin meningkat. Berkat petunjuk dari Ki Buwang, Hageng sekarang bahkan mampu menyembunyikan Ki-nya secara signifikan dari jangkauan pemindaian orang-orang lain yang juga menggunakan Ki. Kini saatnya dia bermeditasi lagi untuk menetralkan diri.

Setelah banyak belajar, dia harus mampu menyelaraskan ilmu luar dan tenaga dalam supaya mampu meningkatkan kemampuan hingga ke taraf tertinggi. Hageng tahu kalau dulu dia jauh tertinggal, namun kini saatnya ia mengejar. Sudah saatnya kemampuannya ditingkatkan.

Dia harus tenang. Melupakan semuanya, mengunci diri, dan…

“Tidak.”

Hageng menengok ke belakang, ke arah pintu.

Ada sosok wanita jelita berkerudung yang menatapnya dengan pandangan tajam dan galak. Gadis itu tidak main-main. Hasna menutup pintu dan menguncinya. Kini dalam kamar Hageng hanya ada mereka berdua. “Aku tidak peduli dengan hal bodoh apapun yang membuat mas Hageng berubah. Tapi kalau mas Hageng menganggap apa yang mas lakukan akan membuatku menjauh dari mas… lebih baik berpikir ulang. Tidak semudah itu menyingkirkanku, Mas. Enak saja.”

“Dek Na…”

“Aku tidak peduli, Mas. Aku tidak akan pergi. Aku akan tetap bersamamu. Di sini. Bersamamu. Titik. Enak saja kamu menyingkirkanku. Kamu pikir kamu siapa, hah?”

“Dek Na. Mazalah yang aku dan teman-temanku hadapi sangat berat, kami berhadapan dengan kelompok-kelompok bezar yang tidak main-main. Mereka biza menggunakan kekerazan kapanpun mereka mau. Aku hanya akan membuatmu berada dalam bahaya kalau kamu berada di zekitarku.”

Hageng mencoba menahan suaranya yang bergetar. Wajah Eva dan Abi tidak pernah berhenti nampak di batinnya. Bahkan sekarang pun seakan-akan dia bisa melihat mereka duduk di ruangan ini bersamanya. Sudah sejak beberapa saat yang lalu kedua sosok yang tak kasat mata menemaninya kemanapun dia pergi.

“Mungkin kamu tidak tahu… tapi zemua orang yang dekat denganku mati. Dua zahabatku gugur zaat aku dekat dengan mereka! Aku tidak akan zanggup mengatazi raza zedih itu jika aku menghadapi zituazi yang zama zekali lagi. Aku tidak tahu apa yang biza aku lakukan untuk mengatazinya, tapi aku tahu aku tidak biza melindungi ziapapun kecuali diriku zendiri. Aku tidak… Aku tidak ingin kamu juga…”

“Aku tidak peduli!” Hasna membentak Hageng sambil menahan air matanya supaya tidak tumpah. Dengan langkah tertatih Hasna melepaskan kruknya dan mendekati Hageng. Tangannya bergerak dengan cepat.

Plaaaak!

“Kamu egois, Mas!”

Hageng menatap mata Hasna. Keduanya bertatapan. Mata gadis itu bagaikan api yang menyala dalam kemarahan. Ada tetes air menggenang di pelupuk mata.

“Kamu melakukan semua ini hanya karena kamu tidak bisa begini, kamu tidak bisa begitu, kamu tidak ingin ini, dan kamu tidak ingin itu. Pernah tidak kamu memikirkan orang lain? Tidak kan!? Kamu tidak pernah melakukannya! Mas pikir Mas yang paling menderita di dunia ini? Mas pikir karena Mas tidak mampu menghadapi kesedihan, Mas menutup diri dari semua hal di dunia ini? Jangan ngaco! Buka mata lebar-lebar! Lihat sekeliling! Lihat aku! Lihat keadaanku sekarang! Bagaimana mungkin aku bisa lebih menyedihkan lagi!?

“Mas pikir mudah hidup dengan kaki cacat seperti ini? Mas pikir mudah bagiku bergaul dengan teman-teman yang hidupnya normal? Mas pikir mudah bagiku mencari kerja di luar sana? Mas pikir mudah bagiku tampil di depan publik dengan kondisi seperti ini? Kondisi yang membuat orang pasti melirik dan merasa kasihan! Setiap saat! Setiap waktu! Jangan sombong dengan ketidakmampuanmu, Mas! Sombong tidak harus merasa tinggi. Sombong itu merasa yang paling! Jadi jangan sombong merasa yang paling rendah!”

Hageng hendak membuka mulutnya, tapi Hasna menggeleng. “Aku belum selesai!”

Hageng terdiam.

“Selama ini aku beranggapan kalau Mas Hageng adalah satu-satunya orang yang tidak pernah menganggapku sebagai orang cacat. Tidak pernah menganggapku berbeda karena kakiku ini! Tidak pernah mengasihani aku! Tidak pernah sekalipun mempermasalahkan kakiku! Kakiku sialan yang terkutuk ini!!” Hasna mulai menangis karena emosinya kian meledak. “Aku pikir hanya Mas yang mengerti! Aku pikir hanya Mas yang paham! Mas pikir mudah membuat orang lain melihatku sebagai wanita normal? Tidak Mas! Nggak gampang! Hal pertama yang mereka pikirkan adalah rasa kasihan! Aku tidak ingin dikasihani! Hanya mas Hageng yang tidak begitu! Hanya mas Hageng yang mengerti! Kenapa sekarang Mas Hageng jadi seperti ini!? Kembalikan!! Kembalikan Mas Hagengku yang dulu!!”

Hageng masih terdiam ketika Hasna kemudian memukul-mukul dadanya. Sang T-Rex yang sekarang gundul itu hanya menarik napas perlahan. Mencoba mengatur pernapasannya. Masalah seperti ini juga harus dihadapi kata Ki Buwang. Bukan hanya masalah pertarungan dengan lawan di arena, tapi pertarungan dengan orang-orang yang sebenarnya peduli padanya.

“Dek Na…”

Bkk.

Kruk yang diletakkan Hasna tidak ditempatkan dengan sempurna. Kruk itu jatuh ke bawah. Hasna menarik napas panjang, “Kamu mau aku pergi, Mas?”

Hageng terdiam.

“Baiklah. Kalau kamu aku pergi, aku akan pergi. Sesuai permintaanmu. Aku akan pergi selamanya dari hidupmu dan tidak akan pernah lagi hadir di hidupmu. Aku tidak akan pernah lagi mengganggumu dengan urusan-urusanku. Kamu tidak perlu lagi peduli padaku. Kamu bisa bebas dengan urusanmu dan terhindar dari gangguan gadis tak berguna sepertiku…”

“Dek Na…”

Hasna menunduk untuk mengambil kruknya yang terjatuh. Tapi sebelum tangannya meraih kruk, Hageng terlebih dahulu menunduk untuk mengambil kruk itu. Hageng memberikannya pada Hasna yang lantas membalikkan badan dan berjalan perlahan menuju ke pintu.

“Dek Na…”

Hasna terdiam tapi tidak membalikkan badan.

“Dek Na… jangan pernah meraza kalau dizabilitasmu itu menjadi penghalang. Tidak. Kamu jauh lebih kuat dari itu. Kamu jauh lebih berharga daripada itu. Kamu meraza kurang? Kamu meraza tidak beruntung? Zalah bezar. Bagiku… kamu zempurna. Karena kamu zempurna, aku tidak ingin kehilanganmu zeperti aku kehilangan yang lain. Aku tidak akan zanggup…”

Hasna menunduk dan menangis tersedu-sedu. Dia sudah tidak kuat lagi.

Hageng buru-buru menghampiri gadis itu dan memeluknya dari belakang. Pelukan itu amat hangat dan erat, seakan tidak ingin Hasna pergi dari pelukannya. Hasna membalikkan badan. Keduanya berpelukan di diam malam.

Ada air mata mengalir di pipi sang dara.

Ada secercah harapan dan sejumput rasa bahagia. Entah untuk berapa lama rasa bahagia itu hadir. Setidaknya malam ini Hasna tidak akan bisa tidur karena perasaannya berbunga-bunga.

Sampai kemudian ponsel Hageng berbunyi. Ada pesan singkat masuk. Ketika melihat nama di layar notifikasi, Hageng berasa aneh. Pesan pribadi? Kenapa tidak lewat grup? Apakah ada sesuatu?

“Siapa?”

“Ada yang memintaku datang.”

“Siapa?”

“Namanya Amar Barok. Aku haruz pergi.”

Hasna mengangguk. Dia memeluk Hageng lagi, kali ini jauh lebih erat. “Jangan terlalu lama. Aku akan merindukanmu. Jangan pernah lagi pergi terlalu lama.”

Hageng tidak menjawab.





BAGIAN 13 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 14
Hageng kelihatan zangar zekarang...
Badazzz.
 
Terima kasih Om @killertomato , yang tlah mengupdate cerita Jalak.

Mohon izin untuk sedikit mereview episode ke 13 ini, suhu.

Ceritanya semakin seru. Semua anggota Aliansi sedang memperdalam ilmu, dan masing-masing juga mempunyai guru. Mereka berlatih keras tak peduli waktu, hingga akhirnya berhasil dengan kekuatan baru.

Kali ini Hageng sang T-Rex, bersama Simon Sebastian menuju ke tempat yg sdh melegenda ratusan tahun ylu, tempat penuh misteri dimana pada jamannya para tokoh persilatan datang ke tempat tsb namun banyak yg hilang entah kemana. Tempat itu bernama Pondok Bambu Belah, di puncak gunung menjulang.

Di sana, Hageng yg ditinggalkan sendirian oleh Simon didatangi dan diajari ilmu pukulan geledek oleh seorang guru eksentrik yg sepertinya merupakan makhluk astral
yg bernama Ki Buwang. Jadi, dimungkinkan sekali Ki Buwang mirip keadaannya dengan Eyang Bara guru dari Nanto, yg sama-sama astral. Hageng memang sdh lama ditunggu kedatangannya oleh guru astral Ki Buwang sebagai murid pilihannya. Dan selama berbulan-bulan di dimensi dunia lain yg ternyata sebenarnya hanya hitungan minggu di dunia nyata, Hageng ditempa hingga lulus menjadi pemilik ilmu Pukulan Geledek hingga tahap ke 12 yg menurut saya lebih sempurna dan lebih kuat aura Ki-nya dibandingkan Simon. Ilmu Pukulan Geledek yg dimiliki Hageng memiliki tahapan 12 esensi menuju kesempurnaan yg dinamakan Ilmu Gaman Gegara Rujakpolo. Dengan menguasai tahapan 12 esensi dari Pukulan Geledek akan menguasai ilmu pukulan Gaman Gegara Rujakpolo yg nantinya akan memperkuat daya hancur dari Pukulan Geledek. T-Rex telah menjelma menjadi seorang Bima dikisah Mahabarata. Senjata gada Bima diibaratkan pukulan Gaman Gegara Rujakpolo berbalut pukulan geledeknya. T-Rex diharapkan mampu seperti Bima yg akan mengalahkan musuh2nya kelak.

Nah siapakah sebenarnya guru Simon ini, kalo bukan Ki Buwang yg Hageng sebutkan...? Terus terang aja sampe sekarang saya penasaran, apakah benar ada hubungannya antara Rogo Barakuda JXG dgn Simon sebagai guru dengan murid... ? Tapi kalo dilihat jalan cerita nya, guru Simon adalah orang yg tdk suka hingar bingar dunia dan seringkali berdiam diri berada di gunung menjulang tsb. Apakah guru Simon adalah murid dari Ki Buwang yg sudah meninggal itu...?? Karena Simon juga melihat keanehan pada diri Hageng yg merasakan aura Ki Hageng yg lebih dahsyat. Lalu, Simon level ilmunya apakah cuma segitu gitu aja kah..? Lagi sibuk pacaran ama Ara, dan persiapan jadi pemimpin baru di perusahaan keluarga rupanya Simon ini, sehingga belum sempat meningkatkan kemampuan pukulan geledek nya. Mungkin nanti ketika gurunya sdh pulang dari pulau sebelah, kali ya..?

Hageng yang sedang mengalami keterpurukan setelah ditinggal dari 2 orang yg dekat dengannya. Dan 2 orang yg begitu dekat dengan Hageng adalah Eva Kusuma yg mencintai Hageng dan ingin bertobat, akhirnya tewas dibunuh Rama dan Chaplin. Serta Hasan Abidin/Abi korlap Sonoz, yang tewas terbunuh oleh tikaman senjata Nobita ketika melindungi Hageng dari serangan mendadak Nobita. Dan Hageng kali ini pun tak ingin Hasna, akan mengalami hal yang sama. Hageng ternyata mencintai Hasna dan begitu pun sebaliknya. Dia hanya ingin Hasna selamat. Dan yg utama, sekarang Hageng menjadi petarung pilih tanding yg siap membantu Nanto bersama Aliansinya untuk melawan musuh yg sudah di depan mata.

Ara yg bisa diibaratkan Drupadi nya Pandawa Lima, akhirnya melabuhkan cintanya pada Simon. Hanya saja kali ini, tampaknya ada masalah misterius yg mengganggu kenyamanan Ara. Chatting dari seseorang yg berinisial NOMIS, yg bisa berarti Night Hunter. Rahasia apa yg diketahui NOMIS itu tentang Simon..?
Saya masih sangat penasaran sekali, bahwa saya menganggap Simon ini punya hubungan persaudaraan sedarah dengan keluarga Pak Zein. Walaupun diceritakan Simon adalah anak dari Pak Jendro, tapii ada kisah yang seakan akan ada sangkut pautnya Simon dgn keluarga besar Pak Zein. Entah lah... Apa seperti demikian prediksinya...?

Pak Yama Widura menurut saya adalah Ki Juru Martani. Cerita disini membuat saya semakin yakin bahwa Ki Juru Martani itu adalah Pakde Wid... Saya sdh pernah membuat analisa tentang Siapa itu Pak Martani.. Dan tetap hingga saat ini, perspective saya masih kearah Pak Yama Widura.

Roy hampir berhasil bertarung seru melawan Reynaldi, setelah mengejar Rey dari usahanya buat memperkosa Rania. Namun digagalkan oleh pasukan unit khusus dari QZK, yaitu unit Sambergeni yg dikomandoi oleh Hannibal Razan.
Balas dendam Roy kepada Reynaldi mungkin suatu saat akan terjadi kembali. Tapi Reynaldi tidak menganggap Roy sebagai calon lawannya yg sepadan. Lalu siapa..? Mungkin kah lawan yg sepadan itu Nanto....? Sangat dimungkinkan... Kalo itu terjadi.. Maka pertempuran clasic Eyang Bara vs Ki Suro wanggono akan terjadi kembali nanti, diantara titisan mereka yaitu Nanto vs Reynaldi.

Hageng dihubungi oleh Amar Barok...? Ada apakah...? Apakah Amar Barok ingin melakukan sabotase dengan mengajak anggota Lima Jari lainnya, seperti Roy yg juga sdh dihubungi Amar untuk bergabung ke KRAd atas perintah Rama...? Patut ditunggu lanjutannya...

Next episode yaitu episode ke 14 juga dimungkinkan Kisah Simon dilanjutkan kembali, siapa Simon... Rahasia apa yg ada pada diri Simon... Serta usaha Simon memperdalam ilmunya buat meningkatkan levelnya jadi pilih tanding.. Akan diulas oleh TS.

Kemudian Kemampuan Rao yg tiba-tiba datang dgn aura Ki yg dahsyat di depan anak2 3GB dan KRAd... Sepertinya akan diceritakan flashback back oleh TS.. Kenapa Rao bisa menjadi hebat sekarang ini.

Demikian hasil dari analisa saya ini. Semoga Om @killertomato berkenan.

Terima kasih.
 
Yg ditunggu2 akhirnya update jg,,,siapa yg kangen Bu Asty,,,angkat jempolnya,,,, thanks suhu killertomato update nya,,, ditunggu klnjtnya
 
Makasih updatenya

Wah Hageng belajar Tinju geledek dari orang lama, sama seperti Nanto belajar dari eyang Bara. Tapi ada satu jurus lagi yang dipelajari Hageng masih menjadi rahasia, aliran hitam kah atau putih jurus yang dipelajari itu?

Ditunggu kelanjutannya
 
Bimabet
Matur sembah nuwun atas updatenya sama, semoga next episode nanto muncul hehe
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd