Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
tentang sagu di bunuh itu mungkin akan di jadikan sebuah peringatan untuk si bengal agar dia mau menuruti kemauan si penculik kinan,
Kemungkinan diminta untuk memberi tahukan jurus kidung sandhyakala dan 18 serat naganya yg waktu itu diputar balikan oleh nanto

semua hanya kemungkinan dan kemungkinan

salam hormat untuk TS

salute :beer:
 
BAGIAN 14
PANGERAN CINTA




Dan begitu badai berlalu,
Anda tidak akan ingat bagaimana Anda berhasil melewatinya,
atau bagaimana caranya Anda berhasil bertahan hidup.
Anda bahkan tidak akan yakin apakah badai yang Anda lalui itu masih ada atau benar-benar telah berlalu.
Tapi ada satu hal yang pasti.
Ketika Anda berhasil keluar dari badai,
Anda tidak akan pernah menjadi orang yang sama lagi.

- Haruki Murakami



.:: KETIKA ITU



Ketika semua jalan sudah tertutup, tak bisa ke kanan, tak bisa ke kiri, dan tak bisa mundur, maka jalan satu-satunya adalah berhenti atau terus maju. Hanya ada satu output dari satu input, tidak ada percabangan. Hasilnya hanya bisa atau tidak bisa. Itu saja.

Ketika seorang manusia terdesak dan disudutkan, maka dia tak akan bisa mengulang masa lalu untuk membenahi jalan hidupnya. Tak ada tombol undo atau tombol reset di kehidupan nyata. Harapan satu-satunya, atau pilihan yang paling mungkin diambil hanya dua - menyerah atau terus menerjang menyerang semua tantangan yang menghadang di hadapan dengan penuh semangat dan harapan. Seorang William Shakespeare menuliskannya dalam satu kalimat populer, to be or not to be.

Hidup atau mati.

Sayang sering kali manusia kehilangan tekad bahkan sebelum mewujudkan niat.

Putus asa kadang memang membuat manusia menjadi lupa pada hakikat utama perjuangan, bahwa bukanlah hasil akhir yang menjadi tujuan utama, tapi bagaimana tetap tegar menghadapi kendala dan selalu bangkit setiap kali ada kesulitan. Dari situlah manusia berkembang, dari situlah manusia menjadi manusia. Bagaimana dia bangkit dan menghadapi setiap permasalahan, bagaimana dia bangkit untuk tumbuh dan berkembang.

Kita tidak akan selalu mendapatkan apa yang kita minta, tidak ada yang instan, dan tidak ada yang gratisan. Ada harga untuk semuanya. Meski sudah berjuang sekalipun, kadang hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Manusia jelas tidak akan pernah selalu jaya, pasti ada kalanya di bawah. Tapi ketika berada di atas, manusia selalu ingin mengembangkan sayap dan terbang tinggi.

Ini adalah kisah kebangkitan.

Ini adalah sebuah kisah seorang pemuda, yang sebelumnya putus asa, yang akhirnya mendapatkan pertolongan tanpa pamrih, yang akhirnya bangkit dari keterpurukan. Yang akhirnya mencoba memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Seorang pemuda yang sedang mencoba untuk menjalani hidup sebaik-baiknya.

Ini adalah sebuah kisah tentang Bian.

Saat ini Bian tengah berdiri menantang Agus Lodang – sang Perisai QZK, mungkin salah satu lawan terberat yang pernah dia hadapi sepanjang hidup. Tapi saat berdiri menantang kesulitan, pikiran Bian malah melayang ke suatu ketika di masa lalunya. Suatu ketika saat ia masih sekolah di SMA Cendikia Berbangsa, di atas atap rumah sebelah sekolah – menatap jalanan.

Mata Bian menatap tukang jualan siomay di depan sekolah dari kejauhan, menyaksikannya memotong-motong siomay dan menyiapkan kondimen-kondimennya. Asap rokok mengebul dari mulut si Bandel.

“Ga tau lah, Nyuk. Sepertinya aku tidak akan pernah bisa mengejar lari kalian. Mungkin sudah karmaku. Aku kebanyakan ndableg sewaktu dikasih tahu wong tuwo. Aku selemah itu – setiap kali ketemu perkoro selalu lari ke wedang galak,” kata Bian pada Nanto. Si Bengal juga sedang duduk-duduk di atas atap rumah tetangga sekolah. “Setelah kamu pergi nanti, aku tidak tahu apa yang bakal aku lakukan.”

“Jangan jadi cengeng begitu lah. Suatu saat nanti, aku yakin kamu pasti akan menemukan jalanmu, Dab. Jangan pernah berhenti berharap dan berusaha. Wong gundulmu atos kok. Masa yo kalah sama Roy yang klemar-klemer?”

“Itulah salah satu kenapanya, Nyuk. Mungkin karena kembaran – kami selalu dibandingkan. Padahal dalam hal apa-apa aku kalah jauh. Dalam pelajaran apapun, kalau soal nilai aku ga bakal menang. Soal cewek, Roy lebih cepet cekatan, aku deketin satu cewek aja keringetan, kepikiran sampai tidak bisa tidur seminggu. Apalagi yang bisa dibanggakan dariku?”

“Yo tidak masalah. Kenapa harus peduli apa kata orang? Kenapa harus minder? Kalian berbeda. Kalau Roy cerdas dan cekatan, kamu toh punya sesuatu yang bisa dibanggakan juga.”

“Sesuatu yang dibanggakan dari aku? Opo horo?”

“Bentar… bentar… kalau kamu apanya ya yang bisa dibanggakan? Lha opo-opo kurang je… sebentar… sebentar…” jawab si Bengal sambil cengengesan. “Apa ya dari kamu yang membanggakan? Hmm…”

“Wasuuuuuuuu! Wedhuuuuuus!!”

Nanto tertawa terbahak-bahak. Ia pun merangkul sang sahabat. “Kamu adalah sahabat yang baik, yang setia, yang selalu ada ketika orang lain tidak ada. Kamu hadir ketika yang lain tidak hadir. Kamu selalu membantu dengan seratus persen bahkan jika kondisimu hanya satu persen. Itulah kamu, Dab.”

“Itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, semua juga seperti itu.”

“Tidak. Karena kamu punya iIni.” Nanto menunjuk ke dada Bian. “Kamu selalu memakai perasaan dan hati. Rasa kasih yang besar sekali. Itu yang membuatku bangga denganmu. Itu yang membuat kawan-kawan Lima Jari selalu bangga denganmu. Jangan pernah berubah saat aku pergi nanti, Dab.”

Bian mencibir.


Seperti itu.

Kenapa tiba-tiba saja teringat percakapan dengan si Bengal? Apakah karena Nanto selalu menjadi garda terdepan mereka? Selalu menjadi orang yang mereka andalkan? Selalu mewujudkan impian? Selalu bisa menunjukkan keajaiban? Bian menundukkan kepala, lalu mendengus. Si Bengal tidak ada saat ini, entah kapan mereka akan bertemu kembali, mungkin tidak untuk sementara waktu – saat ini, ini Bian akan beraksi sendirian. Tidak akan ada yang menjadi garda depan, tidak ada seorang pun yang bisa dia andalkan, tidak ada yang akan mewujudkan impian.

Hanya dia seorang.

Bisakah ia melakukannya?

Percakapan dengan sang sahabat itu tiba-tiba saja mendera pikiran si Bandel saat ia sedang berdiri menantang seseorang yang dikenal lebih mahir bertarung daripada dirinya. Jabatan lawannya saja Empat Perisai QZK, salah satu dari punggawa kelompok besar. Apa yang bisa dilakukan pemuda koclok seperti Bian saat menghadapinya?

Apa dia bisa?

Bisa saja. Harus optimis.

Bukankah sekarang dia punya ilmu kanuragan andalan yang didukung oleh nyala Ki terpendam di dalam tubuhnya? Sesuatu yang baru dia pelajari dan belum pernah dia perlihatkan pada siapapun. Mungkin masih mentah dan belum tuntas dia telaah. Buku juga belum tunta ia pelajari, tapi mudah-mudahan apa yang sudah ia kuasai sekarang akan cukup.

Gudang beras ini akan menjadi saksi, pertempuran perdana kemampuan baru seorang Bian.

Bukan pertempuran perdana yang perdana karena sebelum ini dia sudah sangat sering bertarung tangan kosong, tapi ini adalah pertempuran perdana Bian yang telah upgrade. Pertempuran perdana Bian yang sudah berbeda.

Bian yang kini punya tenaga dalam dahsyat tersimpan dalam dirinya, diberikan secara cuma-cuma oleh dua orang penguasa ilmu kanuragan tinggi. Dua orang sesepuh yang pergi secepat mereka datang. Dua orang sesepuh yang memberikan Bian ilmu kanuragan pilih tanding yang mereka ciptakan sendiri.

Ini adalah sebuah kisah tentang seorang pemuda, yang mencoba menempatkan dirinya supaya bisa sejajar dengan para jawara yang lain. Sebuah kisah tentang seorang pemuda, yang mencoba menjadikan dirinya semampu keempat kawannya yang lain.

Seperti tadi di awal disampaikan.

Ini adalah sebuah cerita, tentang Bian.

Pemuda yang meskipun bandel, namun memiliki hati yang lembut dan penuh kasih, tampang Rambo hati mambo. Begitu penuh kasihnya, sampai-sampai hari ini dia mepertaruhkan keberadaan dan keselamatan Aliansi hanya demi keselamatan seorang gadis yang sebenarnya belum dia kenal betul. Entah itu bisa disebut gentleman atau diamput.

Demi seorang gadis, Bian akan melawan Agus Lodang, salah satu dari Empat Perisai QZK.

Sekarang.

Bian mundur selangkah, memperlebar jarak antara dirinya dengan sang lawan. Dia mencoba berstrategi. Seperti apa sebenarnya kekuatan sang lawan? Dia belum mengenal Agus Lodang. Kuat sudah pasti, tapi kuatnya seperti apa? Seberapa kuat? Apa yang mampu dilakukannya?

Pria di hadapan Bian itu misterius, bahkan kemampuannya pun tidak banyak ia ketahui. Wajahnya mengingatkan Bian pada seorang juri yang paling atos perangainya pada ajang kontes masak di televisi, chef siapa itu namanya ya? Yang sering banget buang piring kontestan. Chef Jono? Ya itulah.

Gudang ini memang besar tapi tak cukup besar untuk digunakan bermanuver, setidaknya Bian bakal bisa memanfatkan tumpukan beras dan berbagai peti sebagai pijakan untuk meloncat kesana dan kemari. Dia mungkin belum siap untuk mempraktekkan kemampuannya yang baru secara satu lawan satu dengan lawan yang seperti ini. Tapi Naoko terluka dan satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan gadis itu adalah Bian. Jadi ya memang tidak ada jalan lain.

Meski misterius, Bian tahu dia tengah berhadapan dengan lawan yang mengerikan. Agus Lodang sudah pasti bukan ecek-ecek. Dia salah satu dari Empat Perisai QZK. Kemampuannya sudah pasti setara dengan Ki Kadar guru si Pasat. Negosiasi aja gimana?

“Ayolah, kita pasti bisa menyelesaikan ini dengan cara baik-baik. Tidak perlu seperti ini, tidak baik melakukan kekerasan. Njenengan kan lananging jagad, gagah lan medeni. Yang njenengan kejar cuma cah wadon enom yang pake baju cosplay Jejepangan. Bisa apa dia di kota ini? Paling banter jualan sushi atau takoyaki. Ayolah, mari pakai perasaan njenengan. Jangan gampang bunuh orang. Gadis itu tidak perlu mati konyol.” Bian yang mengenakan topeng dari karung beras masih mencoba mencari cara untuk ngeles tanpa perlu bertempur.

“Ada kalanya seseorang harus tahu kapan saatnya bicara dan kapan terlalu banyak bicara. Karung beras, kamu sudah tahu ini bukan masalahmu, kuberi kesempatan untuk menyingkir. Mau minggir atau tidak? Kalau tidak minggir justru kamu yang bakal mati konyol dengan memakai topeng njelehi itu.” Agus Lodang tertawa. Ia memutar-mutar tangannya seperti sedang memilin sesuatu. Dari kedua telapak tangannya, terbentuk satu bola tenaga besar yang memerah. Bola energi ini terlihat jelas terutama oleh mereka pengguna Ki.

Kampret, gerutu Bian dalam hati. Bola energi apalagi itu? Jangan-jangan orang satu ini adalah murid Jin Kura-kura. “Woah-woah! Puja kerang ajaib! Tunggu dulu! Tunggu dulu! Mari kita bersabar! Ingat kata cikgu kesayangan kita dulu! Orang sabar disayang Maria Vania! Tolonglah bersabar! Ingatlah empuknya kesabaran!”

Agus Lodang tidak menunggu lebih lama, dia meledakkan serangan jarak jauhnya. “Gaduh Banaspati!

Swsssshhh!!

Begitu kedua telapak tangan Agus Lodang disentakkan ke depan, bola energi itu juga melesat dengan kecepatan tinggi ke arah Bian! Jarak mereka hanya sekitar tiga meter! Mau kemana Bian menghindar? Tidak bisa kemana-mana! Bola energi itu makin dekat dan makin dekat, Bian baru menyadari kalau warna bola apinya merah menyala seperti api.

Bian tidak sempat berbuat banyak, dia lari ke kanan untuk menghindar.

Agus Lodang menyeringai. Kamu pikir semudah itu lari dariku?

Dia mengangkat tangan kirinya, lalu menghunjukkan jari tengah dan jari telunjuk ke atas sementara jari-jari lain ditekuk. Dengan cekatan, dia menggerakkan tangannya untuk mengikuti posisi Bian. Kalau Bian ke kiri, dia ikut, kalau Bian ke kanan, dia juga ikut. Gilanya, bola api energi yang dilepaskan Agus Lodang pun bergerak mengikuti perintah dengan masih tetap melaju cepat!

Apa-apaan ini!?

Memangnya drone!?

Bian sudah jelas terpojok dan tak akan bisa berkelit. Karena kemanapun dia pergi, bola api energi mengikuti. Mau tidak mau dia harus menerima serangan itu. Naoko yang sadar langsung berteriak kencang karena khawatir ketika melihat Bian tak bisa berkelit.

Bola api energi itu sudah hampir mengenai si topeng karung beras.

“Cowok tak bergunaaaaaaa!!” teriak Naoko, “Awaaaaaaass!!”

Bian melirik ke arah Naoko, meski si gadis Rubah Putih itu tidak bisa melihat kedipan matanya, tapi sebenarnya si Bandel itu sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Bibirnya bergerak secara reflek, mengucapkan kata-kata yang selama ini ia pendam sendiri.

Hikayat Pemuja Langit.”

Bian memejamkan mata, menyilangkan tangan di depan wajah, lalu menggerakkan telapak tangannya dengan kecepatan tinggi mengikuti langkah-langkah yang sudah dia pelajari sebelumnya. Kali ini gerakan Bian seperti menarik sesuatu dari angkasa dan membantingnya ke tanah. Hikayat Pemuja Langit memiliki beberapa bukaan yang disebut rekatan. Setiap rekatan memiliki cara buka masing-masing.

Usai melakukan ritual, Bian merasakan aliran Ki mulai mengalir ke seluruh sendi-sendi dalam tubuhnya. Dengan cepat tenaga dalam membanjiri setiap sendi dan nadinya. Si Bandel membuka mata dan berbisik perlahan, “Rekatan kedua, Pemuja Ki Lawang Bledheg.”

Secara ajaib, bola api energi yang dilontarkan Agus Lodang ditangkap oleh Bian!

Tangan Bian bergerak tanpa digerakkan. Bagaikan dibimbing oleh seseorang yang hanya bisa dilihat oleh si Bandel sendiri. Seseorang itu adalah sosok astral seorang petani berpakaian Jawa yang gagah perkasa – tanpa mengungkap nama, Bian mengenalinya dengan panggilan Ki Ageng. Dengan bantuan sosok Ki Ageng, Bian menangkap bola api energi dari Agus Lodang dengan satu tangan lalu memutarnya bagai bola basket di tangan, dengan mudah Bian memutar-mutar bola api energi itu di atas satu jari.

Agus Lodang terbelalak.

Bahkan Bian sendiri pun sebenarnya terkejut dengan apa yang bisa dia lakukan. Dia bisa memerangkap dan menangkap energi lawan? Lha kok iso? Kok ampuh?

“Siapa kamu sebenarnya?” desis Agus Lodang penasaran.

“Aku adalah pahlawan bertopeng! Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!!”

Punggawa QZK itu geram bukan kepalang karena dia ditanggapi main-main oleh Bian.

Di satu sisi Agus Lodang kaget dan kagum karena dia sama sekali tidak menduga lawannya mampu melakukan hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Antara percaya tidak percaya semudah itu serangannya dimentahkan oleh orang yang bukan siapa-siapa. Di sisi lain, Agus jelas tidak terima! Baru pertama kali ini dia melihat ada lawan yang mampu lolos bahkan menangkap bola api energinya! Pasti cuma kebetulan!

Agus Lodang membentangkan kedua tangannya ke samping!

“Sepertinya aku meremehkanmu, karung beras. Tapi tidak akan ada keajaiban untuk yang kedua kalinya. Satu bisa kamu tangkap. Bagaimana kalau dua?”

Kali ini Agus Lodang menggunakan kedua tangannya untuk memilin udara secara bersamaan. Saat itulah terbentuk dua bola api energi dari telapak tangan kanan dan kiri hampir berbarengan. Bagaimana Bian akan mengatasi serangan demi serangan dari Agus Lodang sekarang? Bagaimana mengatasi dua serangan bola api energi sekaligus?

Agus Lodang mengayunkan kedua tangannya berbarengan, dua bola api energi itu dihentakkan ke depan secara bersamaan, bagaikan lidah api yang membakar dari dua corong, menyerang ke dua arah, dan menerjang ke depan secara bergantian. Serangan ganda dengan kecepatan tinggi, siap membakar sampai hangus sang lawan.

Swsssshhh!! Swsssshhh!!

Kembali tangan Agus Lodang beraksi mengendalikan kedua bola api energi. Gerak kedua bola api energi itu pun tak lagi lurus ke depan, melainkan zigzag sesuai keinginannya. Tak ada kesempatan bagi Bian untuk menghentikan bola api itu sekarang. Kemanapun dia melangkah, kedua bola api energi mengikuti.

Kampret pancene. Kalau seperti ini bagaimana cara mengatasinya?

Baiklah, daripada menghindar, lebih baik dihadapi.

Bian tidak akan menunggu diserang dan berdiri dengan pasrah. Itu sama saja mencari mati. Dia justru berlari ke depan untuk menyongsong serangan sembari membawa bola api energi pertama yang tadi ia tangkap. Bian melompati karung-karung beras untuk menghindari kejaran.

“Masih belum paham ya?” Bian maju menuju ke arah bola api energi pertama dari Agus Lodang, seperti biasa dia berteriak-teriak dengan asal, “Mau sampai berapakali pun dicoba hasilnya akan sama saja! Star Platinuuuuuuum!!”

Bian mengayunkan bola api energi yang ia pegang untuk memukul bola api energi yang datang dari sebelah kiri.

Bledaaaaaaaaam!!

Ada ledakan kencang yang membuat beberapa karung tergeser saking kuatnya benturan dua kekuatan. Naoko yang bersembunyi di balik tumpukan karung beras bahkan terlempar dari posisinya karena kuatnya hempasan akibat benturan itu.

Agus Lodang tidak terpengaruh. Dia melompat ke depan dan mengincar Bian dengan bola api energi yang masih melayang. Tangannya digerakkan menyamping, bola api energi itu pun melayang kencang ke arah Bian dari sisi badan sebelah kanan.

Tak sempat banyak berpikir. Bian langsung bertahan dengan tangan disilangkan, ia mengumpulkan Ki pada kedua lengan – menyelimutinya dengan tenaga dalam sebagai tameng. Tapi usaha mendadaknya tentu tak menuai hasil sempurna.

Bledaaaaaaaaam!!

Benturan keras terjadi. Tubuh Bian terpental beberapa meter ke belakang. Semua berlangsung begitu cepat, dia tidak sempat merapal jurus apapun, bola api energi yang dilepaskan oleh Agus Lodang mengenai pertahanannya secara frontal. Tubuh Bian terguling ke belakang. Berulangkali Bian terhempas ke lantai gudang, ke peti kemas, dan ke karung beras. Tangannya mencoba mencengkeram karung beras untuk berusaha menghentikan gulingannya dengan paksa. Cengkraman tangan Bian merobek karung dan beras pun berceceran kemana-mana. Si Bos gak bakalan suka berasnya jadi berantakan dan gudangnya hancur seperti ini.

Setelah berhenti terguling, si Bandel berusaha bangkit, lengannya berdenyut karena kesakitan, ada biru lebam yang ngilu sampai ke tulang gara-gara menahan serangan tadi. Serangan bola api energi dari si bangsat itu memang bukan main-main. Beruntung dia punya tenaga Ki yang bisa menjadi perisai – sebuah jurus yang diciptakan oleh saudara kembarnya sendiri, jurus tak bernama tapi sukses melindungi. Ada untungnya juga ternyata sesekali sparring dengan Roy sehingga bisa mendapatkan satu jurus yang efektif digunakan dalam pertarungan sesungguhnya.

Belum sampai Bian benar-benar tegak berdiri, Agus Lodang sudah melompat tinggi. “Kali ini kamu tidak akan sekedar terlempar! Akan kuledakkan kepalamu!” Begitu tinggi lompatan Agus Lodang sehingga dia seakan-akan sedang terbang di langit-langit gudang. Punggawa QZK itu kembali memutar tangan dan melemparkan bola api energinya ke arah si Bandel.

Tch!

Lagi?

Bian menyeringai di balik topeng karung berasnya. Entah kenapa ia merasa seperti tidak sedang terancam. Ia merasa sedikit lebih tenang meskipun lawan tengah memborbardirnya dengan serangan jarak jauh. Setidaknya dia sudah tahu efek yang ditimbulkan oleh serangan itu dan dia bisa menahannya. Itu membuatnya tenang.

Apakah rasa tenang ini muncul karena dia sudah benar-benar menjadi petarung kelas atas? Bola api energi yang dilontarkan Agus Lodang tadi memang tak bisa Bian hindari, tapi ternyata tidak akan membuatnya mati juga, efeknya pun tidak separah yang ia duga. Apakah karena Ki-nya?

Bian menarik lengan kanannya ke belakang sedikit. Tangannya diputar untuk menambah kekuatan. Dia berharap putaran itu akan memberikan efek pegas. Setidaknya ada tenaga Ki teramat besar kini terkumpul di kepalan.

Bian menatap posisi lawan, memperkirakan jarak, lalu melompat menyambut serangan. Ia justru menantang serangan dari Agus Lodang. Dua petarung bertemu di udara. Bak roket, Bian meluncurkan tangan kanannya dengan kecepatan tinggi untuk menghantam bola api energi yang dilontarkan oleh sang lawan.

“Mau adu tenaga? Hasiyaaaap! Biar kuhadapi petirmu, Masbroooo!” Bocah bandel yang tak mengenal tatakrama itu berteriak dengan kencang, “Gandrik!! Kulo niki putune Ki Lawang Bledheg!!

Bledaaaaaaaaam!!

Bola api energi itu hancur dan lagi-lagi menimbulkan hempasan tenaga.

Bian terlontar ke belakang, tubuhnya terhentak di susunan peti-peti kemas berisi saos sambel sachetan. Peti kemas itu hancur berantakan sementara Bian tenggelam di lautan sachet saos sambel merk CBA. Sang lawan pun sama saja. Agus Lodang terlempar ke arah tumpukan beras lima kiloan, membuat beberapa susunan beras berantakan, dan dia sendiri tenggelam di sela-sela antar karung yang ambruk.

Gudang semakin tidak karuan, karung-karung sobek, peti-peti hancur, beras bertebaran kemana-mana. Sachet minuman, kopi, dan makanan kecil tumpah ruah tak karuan. Entah bagaimana nanti Bian menjelaskannya pada sang bos.

“Blarrghhh… wuaseeeem.” Nyeri terasa di punggung Bian, berasa seperti dihempaskan ke truk tronton. Dia meludahkan sachet saos sambal yang masuk ke dalam mulut sewaktu tadi dia jatuh sambil berteriak-teriak.

“Cowok tak bergunaaaa! Kamu tidak apa-apa!?” Naoko berusaha menghampiri Bian dengan tertatih. Dia khawatir dengan keselamatan pria yang berusaha menyelamatkannya itu, lukanya sendiri masih mengkhawatirkan tapi dia lebih mengkhawatirkan Bian, “Lebih baik aku menyerah padanya. Kamu tidak perlu berkorban seperti ini! Aku tidak mau kamu…”

“Heheheh… Don’t worry. Yamette no surrender. Aku masih kimochi, kok. I am not father. Aku tidak papa,” ujar Bian dengan bahasa kacau balau sambil mengangkat jempolnya. “Justru kamu yang sebaiknya istirahat. Tenang saja. Aku akan melindungimu.”

Brrrkaaakghhh!

Barang-barang terlempar dari posisi tumpukan karung beras. Agus Lodang kemudian berdiri di atas tumpukan karung sembari menatap Bian dengan geram, ia menyeka kotor di bibirnya. “Luar biasa. Tak kusangka akan bertemu lawan yang mumpuni tapi sama sekali tak kukenal. Baiklah, aku salah mengira. Aku yang salah. Kukira cupu ternyata suhu.” Agus Lodang menyeringai, ia kembali terlihat tenang dan santai.

Naoko membantu Bian berdiri.

Agus Lodang membuka telapak tangan dan melambaikan jemarinya ke dalam. “Maju lagi kamu, karung beras! Kemampuanmu menarik dan ampuh! Ayo maju lagi! Aku jadi tertantang.”

Wajah punggawa QZK itu memerah. Campuran antara menahan marah, emosi, tapi juga penasaran. Untuk pertama kalinya ada orang tak dikenal yang berhasil menahan bahkan menghancurkan bola api energinya dengan tangan kosong. Si karung beras ini bukan sosok main-main. Siapa dia sebenarnya? Orang JXG-kah? Sepertinya bukan. Sepertinya hanya orang awam biasa.

Itu berarti tidak boleh ada serangan yang gagal lagi! Dia akan menghancurkan pemuda dengan topeng karung beras itu sekali untuk selamanya! Mana bisa punggawa QZK dipecundangi orang awam begini. Memalukan! Bisa diamuk Bos Janu dia nanti.

Pria yang menurut Bian mirip dengan juri acara kontes masak itu mendengus dan fokus ke depan, mempersiapkan serangan berikutnya. Bian pun memasang kuda-kuda dan mendorong lembut Naoko ke samping.

Apalagi rencana sang punggawa QZK sekarang?

Agus Lodang mengangkat tangan lurus di depan dada, telapak tangan dibuka. Bibirnya berkomat-kamit membaca rapalan. Suasana di ruangan menjadi sedikit lebih panas. Mungkin karena tegang, mungkin karena ruangan rapat tertutup, tapi jelas karena hembusan Ki dari sang punggawa QZK.

Bian dapat merasakan tenaga dalam berhawa panas teramat besar terkumpul di kedua telapak tangan Agus Lodang, jauh lebih besar jika dibandingkan bola api energi yang tadi.

Gawat. Gawat. Gawat. Soto babat kurang tomat.

Apalagi yang mau dilepaskan orang mengerikan itu? Bian bertanya-tanya.

Sepertinya si Bandel tidak perlu menunggu lama untuk menantikan jawabannya, karena sesaat kemudian badai serangan dari Agus Lodang sudah mulai dikerahkan. Sang punggawa QZK memutar-mutar tangannya di udara membentuk satu lingkaran api raksasa. Dengan wajah penuh keyakinan, Agus Lodang menatap Bian. Bola api energi-nya memang bisa dihentikan oleh si Bandel, tapi coba lihat bagaimana dia akan menghentikan serangannya pamungkasnya yang ini! Badai serangan yang membuat Agus Lodang sering dijuluki Raja Ular Api.

Sang punggawa QZK menghentakkan lengan ke depan. “Kirab Gunung Geni!

Dari tengah lingkaran besar yang dibentuk oleh Agus Lodang muncul pancaran tenaga bagaikan lidah-lidah api yang panjang menjalar keluar berturutan.

Satu, dua, tiga, empat, lima.

Lima lidah api panjang yang menjalar. Lima lidah api yang saling susul menyusul, berkejar-kejaran, dan berebut menyerbu apapun di depan dengan buas. Bagi pengguna Ki, lidah-lidah api itu lama-lama menjelma menjadi lima ekor ular berbadan api. Para ular api yang buas. Sesuatu yang menakjubkan yang hanya terlihat oleh seorang pengguna Ki.

Bian jadi sedikit menyesal kenapa dia bisa melihat jurus yang mengerikan ini.

Salah satu ular api bergerak dengan kecepatan tinggi, menelusuri tanah dan naik dengan cepat di posisi Bian, siap menghantamnya. Bian meloncat ke belakang untuk menghindar karena dia tidak tahu efek apa yang akan menimpanya jika ular api itu menembus badannya. Meski berhasil menghindar, ular-ular api itu terus saja mengejar. Bian melompat dari satu posisi ke posisi lain, memanfaatkan karung-karung beras untuk dijadikan pijakan dan landasan. Tapi ular-ular api tidak berhenti, keringatnya mulai mengalir deras, piye iki penake?

Bian berhenti dan mencoba beristirahat di atas sebuah tumpukan karung, ular-ular api itu mengejarnya dengan ganas. Kini mereka sudah hampir mencapai posisinya. Meluncur dari lima penjuru dengan gerakan zigzag khas ular yang melata tapi di udara. Meskipun tentu saja itu hanya manifestasi energi dari Agus Lodang, tapi ular-ular api itu bagai sungguh-sungguh nyata.

Bian sungguh tak menyangka akan muncul jurus seperti ini. Dia mengumpat, bisa-bisanya dia berjumpa dengan ilmu kanuragan yang ajaib seperti ini. Memangnya ini apaan? Sinetron Indorias? Acara gabutnya si Ayuk Kayuk? Si karung beras mundur teratur, mencoba memahami situasi dan mengatur strategi. Semua harus dilakukan dalam hitungan detik atau semuanya akan terlambat. Dalam penglihatannya ia menyaksikan lima ular api membentuk jalur ke arahnya dengan kecepatan yang berbeda-beda. Ada yang dari utara, selatan, barat, timur, tenggara.

Serangan semacam ini tidak akan bisa dihadang oleh pertahanan seperti yang diajarkan oleh Roy. Dia harus mencari cara lain. Untung saja dia juga sudah berubah dan berkembang. Seandainya ini Bian yang dulu, dia sudah akan terhantam dan terpental ke belakang terkena sambaran tenaga dalam yang tak nampak. Tapi itu dulu. Bian yang sekarang adalah Bian yang berbeda. Bian yang sekarang adalah Bian yang mampu melakukan hal yang sama seperti Agus Lodang.

Sulap Pak Tarna harus dibalas dengan sulap Pak Tarna.

Tapi posisinya tidak menguntungkan.

Bian meloncat dan bersalto, lalu berlari menyusuri tumpukan karung beras yang sudah berkali-kali ia lewati. Sebelum terlambat, dia harus mencari tempat lapang untuk mengeksekusi kemampuannya. Bian mencari bagian gudang yang lebih terbuka. Tempat yang meskipun sempit tapi masih memungkinkan satu dua manuver.

Dia menemukannya. Salah satu lokasi di dalam gudang beras yang cukup lapang. Sembari memainkan tangannya, Bian melompat ke bawah dan berjongkok. Pemuda itu lantas menghantamkan telapak tangan ke lantai seperti menanam sesuatu.

Ular api kan? Lawan dari api adalah air.

“Berhubung kamu kayak setan api, saatnya main water breathing, Dab. Mizu no Kokyu!” Bian meledek Agus Lodang, yang diledek tentu saja tidak paham apa maksudnya, karena tidak semua orang itu wibu. “Hikayat Pemuja Langit. Rekatan ketiga, Pemuja Pencabut Lidi.”

Sekali lagi seperti ada sesosok makhluk astral yang membimbing Bian, kali ini sosoknya seperti bocah bersisik ular yang badannya separuh manusia separuh reptil. Bocah astral bersisik ular itu menarik kedua lengan si Bandel ke belakang, mengepalkan tinjunya, lalu menyelimuti tinju itu dengan Ki, sembari menyelubungi tubuh si Bandel dengan armor mirip kulit ular yang hangat.

Selain melindungi si Bandel dengan pertahanan ampuh, seluruh tubuh Bian kini bisa diibaratkan meriam yang tengah diisi amunisinya, tubuh pemuda itupun bergetar hebat.

Kelima ular api makin mendekat. Naoko yang menyaksikan dari jarak jauh hanya bisa menjerit khawatir. Tapi Bian tak bergeming dan hanya terdiam, Dia masih pada posisinya dengan berjongkok dan satu tangan berada di lantai. Si Bandel menatap ke depan sembari tersenyum.

Lima, empat, tiga, dua, satu.

Begitu ular-ular api itu sampai di daerah pertahanannya, Bian memutar tangan dan bergerak seolah-olah sedang mencabut sebuah batang imajiner yang tertanam di lantai. Begitu Bian mengangkat tangannya ke atas, dia berteriak kencang. Saat itu juga ada tenaga besar melejit ke atas dari lantai dan membentuk dinding tenaga yang bergejolak melebar seperti air yang menjadi pelindung si Bandel, Ki berwujud dinding air terjun mengarah terbalik ke atas.

Tenaga ular-ular api terpecah dan terurai saat menyerbu. Niat hendak menembus dinding pertahanan air, ular-ular api itu pun lenyap dan menguap.

Agus Lodang terbelalak. Apa-apaan lagi ini? Bisa-bisanya memunculkan pertahanan unik seperti ini?

Selain menyelimuti tubuhnya dengan sisik yang kokoh, tenaga Bian seperti sedang membangun fortress atau benteng pelindung yang muncul dari dalam tanah dan dimanifestasikan dalam bentuk dinding air tepat di lingkar perimeter area pertahanan sang pemuda. Agus Lodang jelas terkagum-kagum melihat kemampuan Ki yang dimiliki oleh Bian. Baru sekali ini dia menyaksikan sesuatu yang indah sekaligus menjengkelkan.

Jengkel karena kelima ularnya lenyap tertahan oleh dinding air sebegitu mudahnya.

Meski heran, kesal, sekaligus terkagum-kagum, tapi Agus Lodang tidak akan menyerah begitu saja. Sekali lagi ia menggerakkan tangannya membentuk lingkaran besar. Keringatnya menetes sebiji-biji jagung. Ia benar-benar memaksa Ki-nya untuk mewujud. Seumur-umur baru sekali ini dia memaksa tenaga dalamnya menghebat untuk orang yang dia anggap tidak pantas menerimanya.

Apakah kemampuan si karung beras ini setara dengannya?

Agus Lodang kembali mencoba memindai kekuatan sang pemuda.

Tidak. Untung saja tidak. Ketahuan sekali kalau kemampuan si karung beras masih mentah dan belum terlatih baik, keputusan-keputusannya masih sering keliru, dan arus Ki-nya masih amburadul. Dia sangat bisa ditundukkan. Agus Lodang tidak akan menahan malu.

Sang punggawa QZK mencoba kembali mengumpulkan tenaganya, lingkaran energi yang dia buka lebih besar dari sebelumnya. Bian masih mencoba defensif dan tidak ingin menyerang. Tapi lingkaran besar yang dibuka oleh Agus Lodang benar-benar membuat si Bandel sedikit khawatir.

Benar saja.

Belasan ular api keluar dari lingkaran energi itu. Belasan ular api yang berebut maju dengan buasnya, mendesis dan menyerbu ke depan, saling tumpuk dan saling membelit. Benar-benar pertunjukan manifestasi kekuatan yang mengerikan. Bian yang masih belum berpengalaman dalam pertarungan Ki jarak jauh terpana melihat serangan itu.

“Cowok dunguuuu!! Apa yang kamu lakukan!? Kenapa diam saja!!?” teriak Naoko dari kejauhan, gadis itu mencoba menyadarkan Bian dari sikap pasifnya, mencoba menjejalkan ke kepala pemuda itu tentang apa yang harus dia lakukan. “Jangan bertindak bodoh! Kamu bakal jadi sasaran terus kalau tidak menyerang! Manfaatkan kekagetan lawan! Kalau memang tidak berniat bertarung, pergi dari tempat ini, dan selamatkan dirimu!”

Bian tergagap, dia tersadar, “Ti-Tidak bisa. Aku tidak bisa pergi dari sini.”

Dia tidak bisa mengatakan dengan jujur kalau tempat ini milik bosnya. Dia juga sama sekali tidak ada niat untuk meninggalkan Naoko sendirian berdua dengan si Chef Jono ini.

“Jangan bodoh! Cepat pergi!” Naoko kembali memaksa, “Ini bukan urusanmu! Pergilah! Aku bukan siapa-siapamu! Kenapa bebal sekali sih!?”

“Tidak.” Bian kembali mempersiapkan dinding airnya. “Tidak sampai kamu selamat! Kamu harus selamat! Aku harus melindungimu!!”

Naoko terkesiap.

Kenapa…? Kenapa orang yang baru dikenalnya ini justru begitu keras kepala memperhatikannya?

Bian kembali mengulang langkah-langkah ilmu kanuragannya. Ia membanting tangannya sendiri ke lantai. Telapak tangan menapak ke bawah, lalu mencabut satu batang imajiner yang sudah pasti tidak nampak oleh siapapun. Gerakan itu sekali lagi memunculkan manifestasi energi dalam bentuk air yang membentang di depan sang pemuda untuk melindungi dari serangan lawan.

Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm!

Ular-ular api dari Agus Lodang membenturkan diri ke dinding air milik Bian.

Tapi kali ini Agus Lodang sudah paham. Dinding air itu tetap saja ada kelemahannya. Setiap benturannya yang dilakukan oleh ular apinya akan membuat riak-riak bulat. Riak-riak itu adalah celah yang memungkinkan ular-ular api lain menembus dinding air.

Terlihat Bian harus berusaha keras menutup dinding pertahanannya cepat-cepat agar tidak ada seekor ular pun yang berhasil lolos. Teori Agus Lodang terbukti benar.

Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm!

Riak-riak air muncul dan Bian berulangkali kewalahan.

“Hraaaaaaaaaaaaarrrghhh!!” Bian berteriak karena benturan energi yang terjadi sangat menguras tenaga. Sesuatu yang belum ia kuasai benar. Pemuda itu tertatih mundur beberapa langkah.

Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm! Bdmm! Bddmm!

Si Bandel harus berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, tapi itu tak mungkin. Kakinya terus mundur selangkah demi selangkah. Bian mulai terdesak. Dia harus segera memikirkan strategi lain. Naoko benar, bertahan terus memang tidak menguntungkan, Bian harus segera menyerang. Tapi bagaimana caranya menyerang kalau terus menerus diserbu dengan ular-ular api seperti ini?

Bian harus…

“Mulai kewalahan ya? Kamu butuh makan yang kenyang, karung beras! Kirab Gunung Geni!

Bian geram. Bajingan. Sang lawan rupanya tahu kalau dia sudah mulai terdesak. Napas Bian makin tak teratur karena panik – suatu hal yang sebenarnya tidak perlu dia lakukan, tapi terjadi secara natural. Bagaimana tidak panik kalau lawan mulai menggila?

Agus Lodang mengeluarkan satu ular lagi dari lingkaran besar yang tadinya melepaskan belasan ular-ular api kecil. Hanya satu ular saja, tapi gedenya se-Gaban. Yang begituan pasti tidak akan mempan dihadang oleh dinding air.

Hanya ada satu cara untuk menghadangnya.

Bian melepas dinding air. Ia menarik dan mengumpulkan tenaga Ki air yang semula dijadikan dinding pertahanan dan melingkarkannya di lengan. Menyelubungi tangannya dengan selimut air. Prinsipnya masih sama. Api lawannya air. Apa yang tadinya menjadi pertahanan, kini menjadi kekuatan. Manifestasi Ki-nya berubah.

Saat tangannya sudah diselimuti Ki, Bian berlari ke depan menyambut ular raksasa yang dilepaskan oleh Agus Lodang. Tangan Bian ditarik mundur, ia meloncat – lalu meledakkan kepalan berselubung tenaga ke arah ular api raksasa sembari berteriak kencang.

“Nezukoooooooo!!”

Bledaaaaaaaaaaammm!

Pertemuan tenaga dari kedua petarung mengakibatkan gelombang hempasan yang dahsyat. Baik Agus Lodang maupun Bian sama-sama terlempar ke belakang. Sang punggawa QZK terhenyak dan terlempar ke tumpukan karung beras rojolele. Sementara Bian terlempar ke peti-peti kemas berisi kopi sachet. Sekali lagi punggung Bian kena hajar peti dengan kerasnya. Dia terpantul dan terjerembab ke depan, wajahnya langsung menghantam lantai.

Bleeedaaaaaaaaagkh!

Bian mengguling-gulingkan badan sembari berteriak-teriak. “Aaaaaarghhh! Asem. Asem. Asem.”

Pemuda itu mengerang kesakitan sembari meregangkan badan, dia mencoba bangkit. Tapi dia tidak akan pernah menyangka.

“Dunguuuuuuu!! Awaaaaaass!” terdengar teriakan Naoko.

Terlambat.

Ketika Bian mendongak, di depannya sudah berdiri Agus Lodang – sang punggawa QZK. Pria itu memasang wajah penuh amarah - persis Chef Jono ketika disuguhi fillet ikan salmon yang masih ada tulangnya. Muaaarah semarah-marahnya.

“Tidak pernah ada… tidak pernah… TIDAK PERNAH ADA!” Agus Lodang menunjuk ke arah Bian, “Tidak pernah ada orang awam yang bisa menghancurkan Kirab Gunung Geni dan menghempaskanku dengan sekali pukul! Aku akan ditertawakan di luar sana karena dipermalukan olehmu. Satu dari Empat Perisai QZK dipermalukan anak bau kencur! Tidak boleh ada cerita seperti itu. Hanya ada satu solusi – dan itu adalah membunuhmu.”

Agus Lodang mengangkat satu tangan – mengeluarkan tenaga dalam melalui telapak tangan, dan bersiap-siap menghancurkan kepala Bian. Ki yang teramat besar! Ular api raksasa muncul sebagai manifestasi dan menggeliat-geliat di atas kepalanya.

Hikayat Pemuja hmph…!

Wajah Bian ditendang Agus Lodang sebelum sempat mengucapkan rapalan. Dia bahkan belum sempat menyalakan pertahanan apapun. Wajahnya bagaikan dirombak seketika. Tapi Agus Lodang belum selesai. Tangannya dihentakkan ke bawah!

Ular api yang tadinya melingkar-lingkar di angkasa melaju kencang ke arah dada Bian!

Bleeedaaaaaaaaammmhhhhh!

Tubuh Bian remuk redam diterjang kekuatan besar. Darah muncrat dari mulutnya! Pasti ada luka dalam. Tubuh pemuda itu menegang sesaat. Urat-uratnya menonjol keluar, di wajah, di badan, di tangan. Dia berusaha menahan rasa sakit yang sebenarnya tak tertahankan.

Tubuh Bian gemetar. A-apakah justru sekarang dia akan mati? Di saat dia belum menuntaskan ilmu kanuragan yang diberikan kepadanya?

Tidak boleh. Tidak bisa. Dia tidak terima.

“Tidurlah,” desis Agus Lodang kesal. “Sekali lagi! Kirab Gunung Geni!

Ular api raksasa muncul kembali di udara dan kali ini tidak menunggu lama! Ular api itu melesat ke bawah dan kembali menghajar dada Bian.

Bleeedaaaaaaaaammmhhhhh!

Bian sampai terlontar ke atas dan terbanting begitu kerasnya ke lantai terkena sambaran itu. Darah kembali semburat dari mulutnya. Badannya sudah tidak karuan.

Tidak berguna. Dia merasa tidak berguna. Di saat memperoleh ilmu kanuragan hebat dia bukannya mampu menguasainya dengan baik, tapi malah kalah telak saat pertama kali bertarung dan bersiap-siap mati dengan konyolnya.

Bian mengerang kesakitan, mulutnya sudah tak mampu lagi berucap. Hanya erangan yang terdengar lirih. Agus Lodang jelas tidak peduli. Sekali lagi dia mengangkat tangannya ke atas dan membentuk manifestasi ular api raksasa. Sang Raja Ular Api berdiri dengan jumawa, “Sudah jelas perbedaan level kita. Sekali lagi! Kirab Gunung Geni!

Naoko berteriak, “Jangaaaaaaaaaaaaaaann!!”

Bleeedaaaaaaaaammmhhhhh!

Debu-debu berterbangan.

Untuk sesaat Sang Raja Ular Api tidak bisa melihat ke depan karena debu yang membuatnya terbatuk-batuk. Tapi semua sudah jelas terlihat, Agus Lodang terkesiap. Serangannya mengenai ruang kosong. Hanya meninggalkan lantai yang kini retak-retak.

Kemana si karung beras yang…?

Geram Agus Lodang saat menyadari bagaimana pemuda itu bisa selamat.

Naoko. Semua ini ulah Naoko.

Naoko yang sebenarnya terluka cukup parah berhasil menarik tubuh Bian di saat-saat terakhir, sehinga sampai ke posisi yang sekiranya aman untuk sementara. Gadis itu terguncang. Ia tidak pernah melihat ada orang yang mati-matian melindunginya. Sembari mencoba menahan air yang menggenang di pelupuk matanya supaya tidak menetes, Naoko bertanya, “Kenapa? Kenapa kamu melindungiku? Selamatkan dirimu sendiri. Kamu tidak ada urusan apapun dengan dia…”

“Sa-salah besar. Tempo hari kamu sudah menyelamatkan nyawaku, kini saatnya aku membalasnya. Aku tidak suka hutang budi. Terlebih lagi aku tidak begitu dekat dengan si Budi, aku deketnya sama Hageng. Dia lebih konyol daripada si Budi. Heheh.” Meskipun situasi gawat, Bian masih bisa bercanda. “Tenang saja. Selama hayat masih di kandung badan, aku tidak akan membiarkan dia mendekatimu. Meski nyawa taruhanku.”

“Tapi kenapa? Kenapa kamu ngotot membuang nyawa seperti ini? Kamu tidak kenal denganku! Aku ini orang jahat! Aku ini sering menyakiti orang lain! Tidak ada gunanya kamu menyelamatkan aku. Mungkin lebih baik kalau aku mati di sini. Apa alasanmu?”

“Alasan? Kenapa butuh alasan? Tidak ada alasan. Apakah perlu ada alasan untuk berbuat baik?”

“Ini bukan berbuat baik. Kamu mencelakakan dirimu sendiri untuk orang lain yang bahkan tidak kamu kenal. Kamu memang benar-benar cowok dungu yang tidak berguna.” Air mata Naoko akhirnya menetes tanpa bisa ditahan, hanya segaris, tapi itu sudah menunjukkan kekhawatirannya pada Bian. Gadis itu tertawa kecil, “Mau mati saja konyol banget.”

Bian tersenyum, ia menghapus air mata Naoko dengan punggung jari tangannya. “Jangan khawatir. Orang seperti aku biasanya bertahan sampai final boss. Yuk bisa yuk.”

Satu bayangan muncul di atas mereka berdua.

Tombak Gunung Geni!

Mata Naoko terbelalak saat menyadari sesuatu yang tidak mereka berdua sadari karena lengah - Agus Lodang sudah datang! Dengan cepat gadis itu mendorong Bian supaya terguling ke samping, sementara dia menghalangi jalur antara Agus Lodang dan sang pemuda.

Sblp! Sblp! Sblp!

“Hghkkkkkk!”

Tubuh mungil Naoko terjerembab ke bawah setelah punggungnya ditembus tiga runcing energi berbentuk tombak trisula api dari Agus Lodang. Ketika tombak energi itu ditarik, gadis itu terhenyak ke belakang sebelum akhirnya jatuh terlentang. Darah semburat dari mulut dan luka-lukanya. Naoko sempat terhempas berulang di lantai gudang sebelum akhirnya dihentikan oleh tumpukan karung beras yang kokoh. Seketika itu juga kepalanya terkulai ke bawah.

“Tidak, tidak, tidak, tidaaaaaaaak!!” Bian menggeleng kepala. Dia khawatir terjadi sesuatu pada Naoko, “Hikayat Pemuja Langit. Rekatan pertama. Pemuja Sang Kera Putih.”

Agus Lodang menyeringai. Dia memutar tombaknya dan siap mengarahkannya pada Bian.

Tapi Bian kali ini lebh cerdas dalam bertindak, dengan sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki dan ilmu kanuragan yang baru saja ia aktifkan, pemuda itu berlari ke samping, lalu memanfaatkan tumpukan karung beras yang cukup tinggi di sebelah Agus Lodang untuk meloncat. Bian merapal ilmu kanuragan berikutnya di udara. Jari jemari di kedua tangannya ditekuk melingkar mirip seperti cakar.

Hikayat Pemuja Langit. Rekatan keempat, Pemuja Panglima Harimau.”

Bian melompat ke bawah, tepat ke arah lawan. Agus Lodang tak sempat menghindari serangan dari atas karena tidak dapat melihat si Bandel. Punggawa QZK tak mengira gerakan Bian akan secepat itu. Bian meraung kencang seperti seekor harimau, dia mengibaskan tangan.

Shhrrrgh!

Agus Lodang berteriak kesakitan. Ada tiga bekas cakaran di pipinya. Dia terhenyak ke samping dan terjatuh. Tapi Bian masih belum selesai. Tepat ketika Agus terjatuh, Bian langsung menjatuhkan diri ke perut sang lawan. Tepat dengan dua lutut ditekuk mengincar rusuk!

Sbblgkghh!

Agus melolong kesakitan, rusuknya berasa remuk redam dihentak oleh lutut Bian. Secara reflek, Agus Lodang melontarkan pukulan ke atas, tapi Bian sudah siap. Tangan yang melontarkan pukulan ke atas itu langsung ditangkap oleh Bian. Tangan kanannya mencengkeram pergelangan tangan Sang Raja Ular Api, sementara tangan kiri memegang sikunya. Bian menggeram dan meraung keras bagaikan perwujudan seekor harimau.

Lalu Bian memutarnya dengan wajah sengit. “Ini untuk gadis jepang itu!!”

Krkgh.

Agus Lodang berteriak kesakitan tak terperi! Tangannya berubah arah! Tubuhnya berkelojotan karena kesakitan. Memandang Bian dengan sengit, Agus Lodang tak mau kalah, “Tombak Gunung Geni!!

Satu tombak imajiner berpendar muncul secara ajaib di tangan Agus Lodang. Dengan satu tangan yang belum dilukai oleh Bian, punggawa QZK itu memutar tombak energi dan menusukkannya ke atas. Ke wajah Bian!

Shrrrghkk!

Bian mundur tepat waktu, tapi karung beras yang ia kenakan sobek dan terbuka lebar.

Gawat. Gawat. Gawat. Soto babat ga pake kawat.

Bian tahu dia tak boleh ketahuan oleh siapapun, tapi kondisinya sekarang tidak memungkinkan. Dia melepaskan Agus Lodang dan salto berbalik ke belakang untuk memunggungi Sang Punggawa QZK, Bian menyembunyikan wajahnya.

Bagaimana ini?

Mana yang lebih urgent? Naoko atau kerahasiaan wajahnya? Naoko masih pingsan karena baru saja melindunginya dan itu membuat gadis itu terluka. Bian sendiri tak bisa terus-terusan menutup wajah dan melindungi Naoko secara bersamaan. Bagaimana ini? Apakah dia harus membuka rahasia wajahnya di depan Agus Lodang? Sial, ini artinya memperkeruh hubungan Aliansi dan QZK.

“Satu-satunya alasan kamu tidak ingin wajahmu ketahuan, pasti karena kamu tidak ingin terlibat permusuhan dengan QZK." Agus Lodang menyeringai, dia cerdik. Setalah berhasil berdiri dengan susah payah, pria itu menyalakan Ki di tangan kirinya – tangan yang belum terluka. Dengan langkah tertatih ia mendekat ke arah Bian dan Naoko. “Sayangnya sudah terlambat, karung berasnya sudah hancur dan sudah tidak bisa menutup wajahmu lagi. Kamu melindungi wajah, gadis itu aku bunuh. Kamu melindungi gadis itu, wajahmu terlihat. Apapun keputusanmu, kalian berdua akan kubunuh. Heheheh. Berbaliklah dengan ksatria supaya aku dapat melihat wajah orang yang akan mati di tanganku.”

Sial. Sial. Sial. Bian kebingungan. Bagaimana ini?

Bian merunduk dan memangku kepala Naoko. Gadis itu benar-benar tak sadarkan diri dalam pangkuannya. “Naoko… maafkan aku, sepertinya aku tidak bisa melindungimu. Padahal sudah push rank, ternyata nasib jelek masih belum juga meninggalkanku. Selalu sial melulu dari dulu. Jangan-jangan aku masih ada keturunan Malin Kundang, dikutuk seumur hidup.” Bian mulai meracau, antara panik dan bingung harus bagaimana. Ia sudah sangat kelelahan – tapi dia tak akan menyerah semudah itu.

“Ucapkan kalimat terakhirmu, bangsat,” ujar Agus Lodang. Ia mengangkat tangannya, kekuatan tenaga dalam yang ia kuasai seperti membentuk satu tombak api dalam genggaman. “Tombak Gunung Geni.”

Bian tersenyum. “Hikayat Pemuja Langit. Rekatan ketujuh. Pemuja Panglima Harimau.”

Tangan Bian membentuk cakar, ia siap berbalik untuk menyerang lawan. Dia sudah tidak peduli lagi jika wajahnya terlihat oleh Agus Lodang. Keselamatan Naoko di depan mata lebih penting dari urusan lain saat ini.

Tapi belum lagi Bian berbalik, tiba-tiba terjadi guncangan hebat dan pintu rolling door gudang hancur seperti diledakkan oleh sesuatu.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaam!!

Pintu Gudang terbuka lebar, tak lagi tersembunyi dari luar. Pintu yang menuju ke arah jalan raya sudah terbuka. Di tengah-tengah gudang kini, berdiri dua sosok yang menghadapi Agus Lodang. Mereka adalah Hanzo dan Usagi, co-leader SSX.

Shinsengumi X.

Matsu dan Usagi dari Shinsengumi X sudah hadir. Kepalan berlapiskan Ki menyala, pedang terhunus, wajah serius, mata menatap tajam. Keduanya berdiri gagah menutup akses Sang Raja Ular Api ke arah Bian yang juga tengah melindungi Naoko yang terluka.

Agus Lodang tersenyum pahit. Sial. Belanda sudah datang. Tapi tak mengapa. Ia pasti bisa mengatasi mereka semua. Level Shinsengumi X masih berada di bawahnya. Tapi… tapi Ki yang ia rasakan ini sangat berlebih dan rasa-rasanya bukan dari anggota SSX. Apakah mereka hanya berdua saja atau…?

“Eh eh… Kamu yang Djoko Lodang itu bukan? Atau Gatotkatja? Atau Minggu Pagi? Atau Bernas? Atau Kedaulatan Rakyat? Kekekekekek.” Kalimat itu diakhiri dengan kekehan khas yang tidak ada duanya.

Sial.

Agus Lodang berbalik badan.

Di sana sudah ada Hantu dan Rogo sang Barakuda! Dua Anak Panah JXG! Agus Lodang mengutuk dirinya sendiri. Tangannya sedang terluka, tidak mungkin menghadapi mereka semua sekaligus! Apalagi kemudian muncul Anak Panah dari JXG.

“Agus Lodaaaang!” seorang pria yang berada di barisan paling depan rombongan yang baru masuk berteriak dengan kencang. Dia adalah Hanzo, pimpinan Shinsengumi X dari JXG. Usagi serta Matsu juga lantas berdiri di samping Hanzo, sebagaimana Hantu dan Rogo sang Barakuda yang ikut serta di belakang mereka. Tangan Rogo seperti berasap. Diakah yang baru saja menghancurkan pintu gudang?

Melihat lawan-lawan kuat bermunculan, Agus Lodang yang terluka mendengus, dia tidak akan selamat kalau memaksakan diri melawan para punggawa SSX dan dua dari Empat Anak Panah JXG. Peluangnya kecil untuk menang dengan kondisi kaki dan tangannya seperti ini. Sekali lagi dia melirik ke arah Bian, “Bocah karung beras. Aku ingat suaramu dan aku tahu kekuatanmu. Akan aku ingat kekalahan ini seumur hidup. Kali lain kita bertemu, akan kuhancurkan ilmu kanuraganmu. Ingat itu baik-baik. Nikmati sisa hidupmu.”

Agus Lodang yang terluka tangannya meloncat melalui jendela yang terbuka dan melesat pergi meninggalkan SSX di dalam gudang bersama Bian.

“Sial! Dia melarikan diri. Matsu! Bagi pasukan! Sebagian mengejar Agus Lodang, sebagian menghadapi pasukan QZK yang datang kemari! Usagi, lihat kondisi Naoko!” Hanzo mulai membagi tugas. Barisan pasukan JXG pun membagi diri sesuai perintah sang komandan.

Rogo dan Hantu melesat mengejar Agus Lodang.

Pertempuran masih belum usai. Pasukan QZK tidak semudah itu mengalah, dua puluhan pemuda datang untuk menyerang anggota JXG, membantu pasukan yang sebelumnya sudah mempertahankan pos. Kedatangan mereka disertai dengan datangnya tiga anggota Phantom Gate – dari unit Muge sang Monster – Hugo, JJ, dan si Yon. Suasana begitu chaos untuk memahami siapa berhadapan dengan siapa, di mana, dan siapa yang unggul. Yang ada hanya kekacauan.

Hanzo dan Matsu pun bergegas untuk melawan QZK. Mereka meninggalkan gudang.

Hanya Usagi yang tinggal untuk melihat kondisi Naoko. Si cantik itu memeriksa Gadis Rubah Putih dengan penuh perhatian, seperti layaknya seorang kakak pada adik. Bian duduk terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Sementara Usagi memeriksa Naoko yang terbaring di pangkuan si Bandel, pemuda itu berusaha keras menyembunyikan wajah dari Usagi dengan mengangkat kerah baju yang dikenakan sampai ke hidung.

Usagi menggeleng, “Lukanya agak lumayan. Dia harus dibawa ke rumah sakit. Mungkin ada beberapa sobek yang harus dijahit dan luka dalam yang harus dipastikan melalui rontgen.”

Bian mengangguk dengan canggung.

“Pergi dan selamatkan dia, bawa ponsel ini.” Usagi menyerahkan smartphone pada Bian. “Bawa ke rumah sakit terdekat. Kami akan tahu posisi kalian dari ponsel – jaga supaya ponselnya selalu nyala supaya kami bisa membaca GPS-nya. Tidak usah memikirkan biaya dan lain-lain. Kami akan menjemput Naoko secepatnya jadi kami yang akan menanggung biayanya, setelah itu baru kamu boleh pulang. Setuju?” Usagi lantas berdiri dan membungkukkan badan pada Bian. “Tanpa kehadiranmu, Naoko pasti sudah tiada. Kami berterima kasih karena kamu sudah melindunginya.”

“Aku tidak…”

Usagi meluruskan badan. “Bahagia rasanya melihat Naoko punya malaikat pelindung yang siap siaga menjaga. Entah kenapa aku tahu ini bukan kali pertama kalian bertemu, jadi… senang rasanya punya adik ipar seperti kamu. Aku titip Naoko ya, jaga perasaannya dan jangan sakiti dia. Mudah-mudahan benar dia gadis impianmu. Hihihi.”

Usagi mengedipkan mata dan tertawa saat melihat wajah Bian yang masih separuh tertutup menjadi memerah.

“Woy woy woy. Bukan begitu konsepnya.” Bian protes.

Usagi tergelak dan melesat pergi meninggalkan Bian. Kedatangan Hanzo dan pasukannya membuat QZK sedikit kocar-kacir, ditambah dengan kepergian tiba-tiba Agus Lodang yang lenyap tanpa pamit. Namun kedatangan Phantom Gate membuat pertarungan kembali imbang. Hari itu, sekali lagi JXG gagal merebut salah satu pos wilayah utara dari tangan QZK.

Sembari menggerutu sekaligus berbunga-bunga, Bian menggendong Naoko keluar dari gudang untuk pergi ke rumah sakit terdekat. Dia berhutang budi pada gadis ini, yang telah menyelamatkan nyawanya ketika mabuk di pinggir pantai dan membuang diri untuk melindunginya dari hantaman Agus Lodang – dia juga jadi gadis yang memberikan permen sebagai pertanda untuk melanjutkan hidup. Yang meyakinkan bahwa hidup itu bisa dibikin santai atau susah tergantung dari cara berpikir kita. Kita yang menjalani, kita yang mengambil jalur, hasil akhirnya kita serahkan pada Langit.

Jangan khawatir, Naoko. Sekarang giliranku untuk memastikan kamu selamat, tidak akan kubiarkan ada yang menyakitimu lagi.

Ia memegang erat jari jemari Naoko.

Dia tak akan melepaskannya.





.::..::..::..::.





.:: SEMENTARA ITU



Blaaaaaaaaaaaaaam!!

Jun terlontar ke belakang dan mendarat dengan sempurna sekitar empat meter jauhnya dari X yang tengah bertahan dengan menyilangkan tangan sembari berlutut. Ilmu kanuragan khusus pertahanan yang dikuasai X memang lumayan sangar. Ternyata ia tak mudah ditembus oleh Jun.

Lengan X terasa nyut-nyutan setelah menerima serangan Jun barusan, sakit tapi tidak seberapa. Sebenarnya bukan serangan itu yang lantas membuat X jadi terheran-heran. Dia heran kenapa serangan dari Jun itu jauh dari ekspektasinya.

“Sudah? Seperti itu saja? Yakin?”

“Hehehe… kenapa memangnya?” Jun berjalan ke depan menemui X.

“Aku tidak mau membuatmu kecil hati, Nyuk. Tapi sejujurnya ini membuatku kecewa. Kenapa keluaran Ki tadi terasa seperti… biasa-biasa saja? Tidak ada yang istimewa. Ini seperti kemampuan kelas C rendahan saja, bukan kelasmu. ”

“Hahaha… jadi seperti itu ya? Aku memang harus berlatih banyak untuk Gatraganda ini.” Jun tertawa sembari menggaruk-garuk kepala. “Ilmu kanuragan ini secara mengagumkan membuatku sanggup meniru jurus luar dan tenaga dalam siapapun hanya dengan sekali lihat. Tapi ada kelemahannya. Kekuatan Ki yang kutiru tidak akan bisa menyamai yang asli karena seberapa besar kemampuan ilmu yang aku tiru akan berbatas dari kekuatan Ki milikku sendiri. Itu sebabnya aku harus meningkatkan Ki-ku juga untuk memperlebar batas kuota tenaga dalam yang bisa kutiru. Jadi meskipun bisa meniru, aku tidak bisa menyamai.

“Mirip seperti cara kerja mesin fotokopi lama. Mesin fotokopi jaman dahulu hanya akan menghasilkan kopi dokumen yang sama persis tapi dalam versi hitam putih, tidak bisa berwarna. Hasil akhirnya berbeda bukan karena si mesin fotokopi gagal menyamai, tapi karena ketergantungan pada alat yang digunakan untuk mencetaknya.”

X tertawa saat dia mulai paham, “Kampret. Jadi jurus ini meskipun mencengangkan tapi paling banter hanya akan menimbulkan efek kejutan saja? Kamu tidak akan bisa meniru Pimpinan kita misalnya jika sudah melihatnya bertempur?”

Jun menggeleng. “Tidak ada jalan pintas seperti itu. Meniru bisa tapi tidak menyamai. Mirip seperti cara kerja bunglon, memberikan efek kejut yang kemudian digunakan untuk kabur dari pemangsa, bukan untuk melawan. Itu sebabnya aku juga sedang melatih tenaga dalam dan ilmu kanuraganku sendiri, sebagai pelengkap dan penyempurna kejutan dari Gatraganda. Tapi apa dan bagaimana ilmu kanuragan itu tidak akan aku keluarkan sekarang. Heheh. Biarlah kusimpan sebagai kejutan.”

Jinguk. Pancene njelehi kowe, Nyuk.”

Jun mengulurkan tangannya untuk membantu X berdiri. X bersungut-sungut, “Kenapa tidak dikeluarkan sekarang?”

“Nggaklah. Kan jadi nggak seru. Tidak lucu kalau lakon utama jurusnya sudah keluar semua sebelum level terakhir. Aku janji aku akan mengejutkanmu suatu saat nanti.”

Ponsel mereka berdua berbunyi hampir bersamaan. Kedua partner itu pun saling berpandangan. Mereka sama-sama memeriksa handphone yang mereka bawa. Ada pesan singkat yang masuk dari markas besar. Kemungkinan besar Erina sang sekretaris QZK yang mengirimkan.

Jun yang pertama membuka pesang singkat itu, “X, ada perintah masuk. Kita diminta untuk menjemput orang di bandara.”

X mengangguk. “…ini beneran nih? Si Gila itu benar-benar balik ke sini?”

“Mungkin surat perpanjangan VISA-nya sudah keluar. Aku juga belum pernah bertemu dengannya, tapi sering mendengar ceritanya dari Bos Syam,” ujar Jun. “Kalau tidak salah kronologi, gara-gara orang inilah sebenarnya Jagal lepas dari QZK. Si Gila ini bikin masalah, dilindungi Pimpinan, Jagal mengamuk dan balas dendam – tapi salah sasaran ke orang-orang Bos Syam dan keluarganya. Gara-gara amukannya, Jagal masuk penjara. Urusannya memang panjang dan rumit.”

“Ya… aku juga pernah dengar cerita itu.” X membalas pesan singkat dari Erina dengan mengirimkan posisinya dan Jun melalui aplikasi maps. “Tapi pasti ada sesuatu yang terjadi kalau sampai si Gila itu datang kembali kemari. Apakah mungkin ada pesan dari Bos Syam?”

“Ada. Pesannya tentang Ki Kadar…”

“Hmm?”

“Ki Kadar membelot ke JXG.”

X tertegun.

Mereka berdua sama-sama terdiam sembari menatap kembali layar ponsel masing-masing. Pantas saja Pimpinan menginginkan si Gila pulang. Meski keberadaannya sama saja dengan kabar buruk, tapi kemampuannya memang tidak bisa diremehkan. Jika diproyeksikan sebagai Empat Perisai QZK, bisa jadi dia orang paling tepat untuk menggantikan Ki Kadar, kalaupun bukan – dia akan menambah kekuatan di kubu QZK. Saat ini kekuatan sangat timpang.

Hanya saja orang ini dan kegilaannya adalah seorang loose cannon. Orang yang sering berlaku seenak udelnya sendiri dengan kekuatannya yang mengagumkan.

X dan Jun berjalan menuju jalan raya. Titik penjemputan mereka ada di jalan besar.

“Kalau orang ini sudah datang sekarang, bukankah itu berarti beliau sudah tahu kalau Ki Kadar akan membelot? Dia sudah memproyeksikan penggantinya bahkan sebelum Ki Kadar pergi dari QZK dengan memanggil si Gila ini sejak jauh-jauh hari.”

“Pimpinan kita memang pendiam, tapi bukan berarti dia diam saja. Ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentangnya. Beliau sering tidak ada di tempat dan tak ada seorang pun yang tahu kemana perginya. Pimpinan yang kharismatik tapi misterius. Pasti ada alasan kenapa beliau memilih memanggil pulang si Gila.”

“Omong-omong, aku dengar kabar saat ini Aliansi sedang vakum, mereka tidak melakukan aktivitas apapun selama konfrontasi QZK – JXG berlangsung. Sama halnya dengan Dinasti Baru dan KRAd, mereka semua menunda banyak kegiatan. Walaupun aku tidak yakin KRAd akan diam saja. Mereka itu rombongan wedhus, ada saja yang dikerjakan buat nyusahin orang lain.” X membuka kotak permen dan melesakkan beberapa buah permen tactic ke dalam mulutnya.

“Setelah mendengar kabar mengenai membelotnya Ki Kadar, aku justru mencemaskan orang yang berada di sisi sendiri. Pasti dia yang akan semakin menjadi-jadi tanpa kawalan dari Ki Kadar dan kawan-kawan. Bajingan satu itu kabar buruk yang terus menerus dipelihara oleh Pimpinan.”

“Oh?”

“Adik angkat pimpinan, Mas Reynaldi.”

“Oh.”

“Dia punya sesuatu yang berbahaya, X. Semua orang tahu itu, tapi tidak ada yang berani protes. Selama ini hanya Ki Kadar dan unitnya yang menjaga nama baik PImpinan dan membersihkan kotoran dan sampah-sampah Mas Rey. Mereka juga menjaga Mas Reynaldi berada dalam koridor aman supaya tidak terciduk pihak yang berwajib. Entah bagaimana sekarang tanpa kehadiran Ki Kadar.”

“Aku yakin urusan Mas Rey akan jatuh ke Muge sang Monster dan Phantom Gate. Selama ini mereka yang menjaga rumahnya. Mereka yang paling pantas dan bisa melanjutkan tugas menjaga Mas Rey dan tingkah eksentriknya,” jawab X.

“Begitu ya. Tapi itu mengurangi kekuatan kita dengan jumlah besar. Lebih baik memperkuat pasukan untuk melawan JXG daripada menjaga ulah seekor ular yang bisa dipastikan akan terus memakan korban. Tapi ya siapalah aku untuk mengajukan protes.” Jun mengangkat bahunya, tanda dia tak tahu menahu. “Aku tidak pernah berani berbicara tentang ulah Mas Reynaldi. Setiap tindakannya selalu merugikan QZK. Entah mengapa Pimpinan selalu melindunginya. Bahkan dengan cara apapun.”

“Dia adiknya. Bukankah itu wajar?”

“Tidak juga. Seperti ada sesuatu yang lain yang kita tidak tahu.”

“Atau memang sebaiknya kita tidak tahu.” X mencibir. Dia tidak ingin melangkahkan kaki ke area yang berbahaya. Tidak ada yang ingin berurusan dengan adik sang Pimpinan, sebejat apapun dia.

Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan keduanya. Pintu mobil tergeser dan dari dalam muncul wajah seorang pria yang mereka kenal. Meski tanpa senyum, pria itu menyapa keduanya. “Kapten X, Kapten Jun. Kita segera menuju bandara.”

“Hannibal Razan.” Jun tersenyum dan masuk ke dalam van diikuti oleh X.

Wajah ketiganya kaku selama perjalanan. Mereka bertiga tahu saat ini mereka sedang menjemput seseorang yang bisa mengubah kekuatan QZK dan merubah jalannya peperangan. Mereka bertiga dan dua orang lain di dalam mobil bahkan tidak saling bercakap-cakap selama perjalanan ke bandara. Semuanya terdiam membayangkan perkembangan situasi yang amat cepat.

Ketika sampai di bandara, ketiga orang itu pun menunggu di pintu kedatangan. Razan, X, dan Jun sama-sama tegang menunggu kehadiran orang yang dipanggil pulang oleh sang Pimpinan. Selama ini orang yang mereka jemput berlatih ilmu kanuragan dari banyak tempat di seluruh penjuru dunia. Bagaimana perkembangan kekuatannya?

Saat satu rombongan keluar dari pintu kedatangan, Razan, X, dan Jun bersiaga dan mengamati satu demi satu wajah yang mungkin mereka kenal. Ketika orang itu akhirnya datang, mereka tidak ingin salah mengenalinya karena belum atau jarang berjumpa..

Si Gila itu akhirnya benar-benar datang.

Sosok seorang pria caucasian bertubuh tinggi lebih dari dua meter dengan rambut blonde yang panjangnya seleher. Tubuhnya well-shaped dan gagah, pasti rajin mengolah tubuh. Langkahnya yakin dengan wajah yang selalu tersenyum lebar, cambang dan jenggot tipisnya juga berwarna blonde. Ia memakai topi koboi, kacamata hitam, pakaian hawaii kedodoran, celana pendek, dan sendal jepit. Penampilannya hanya seperti seorang turis, tapi aura yang ia keluarkan sangat mengintimidasi.

Pria itu merangkul seorang pramugari cantik yang sepertinya risih tapi tidak berani berbuat banyak, padahal beberapa kali tangannya dengan nakal dan sengaja meremas-remas buah dada sang pramugari di depan umum, termasuk berbisik-bisik mesra ke telinga dan mengecup pipi sang dara. Orang-orang lebih memilih menghindari daripada berpapasan dengannya – mereka menganggap kedua orang ini adalah pasangan.

Jun, X, dan Hannibal Razan mendekati dan menghadang langkah sang pria. Jun yang berdiri terdepan.

“Kami datang untuk menjemput Mister, atas perintah dari Pimpinan Qhaoz-Kings,” ujar Jun.

Rangkulan tangan sang pria terlepas. Pramugari cantik yang sebelumnya terjebak segera menyadari kesempatannya dan kabur meninggalkan sang pria dengan air mata berderai. Belum pernah dia dipermalukan sedemikian rupa di depan umum seperti ini sebelumnya.

Sang pria itu tersenyum lebar menatap kehadiran anggota QZK. Dia merentangkan tangannya lebar-lebar dan memeluk ketiga orang itu bersamaan tanpa risih.

“Hahaha! How do you do!?





.::..::..::..::.





.:: PADA SUATU KETIKA, KEMUDIAN



Empat Anak Panah
berdiri bersama-sama di samping Pak Zein. Masing-masing dari mereka terlihat yakin dan percaya diri. Rogo sang Barakuda, Hantu, Sulaiman Seno sang Jagal, dan anggota yang terbaru: Ki Kadarusman. Keempatnya menatap setiap anggota pasukan khusus Shinsengumi X yang berdiri tegap berjajar. Sembilan di belakang, satu di depan. Sepuluh orang pasukan khusus yang siap bertarung demi JXG dipimpin oleh Hanzo yang kharismatik.

Sembilan orang di belakang Hanzo adalah pemuda dan pemudi yang sigap. Ada yang keturunan, ada yang asli Jepang. Beberapa di antara mereka sudah sangat dikenali, terutama Usagi, Matsushita, Nohara, Naoko, dan empat kawan mereka yang lain. Dididik sejak muda, kesepuluh orang ini siap dijadikan garda depan bagi JXG. Mereka berani, nekat, dan penuh tekad. Meski kemampuan mereka cukup beragam.

Sayangnya hari ini bukan hari baik untuk mereka.

Bagi kelompok yang digadang-gadang menjadi unit andalan, hari ini menjadi hari yang berbeda di mana mereka tidak sedang menjadi anak emas. Pak Zein sang pimpinan berjalan mondar-mandir di hadapan kesepuluh SSX dengan wajah masam. Itu saja sudah pasti membuat mereka semua ketar-ketir. Apalagi ketika Pak Zein berhenti sejenak untuk mengamati luka-luka Naoko.

“Sebenarnya aku tidak mempertanyakan kemampuan kalian, aku tahu kalian mampu melakukan tugas apapun yang aku perintahkan dengan sangat baik. Tapi sejauh yang aku pahami, hasil di lapangan saat ini membuatku sangat kecewa, dan di luar ekspektasi. Pertama! Nohara dapat dikalahkan oleh om Kimpling di Jembatan Tjinta, di gerbang masuk utara!! Padahal itu adalah kali pertama kita membuka jalur ke utara. Kegagalan itu menjadikan serangan kita tidak maksimal karena kehilangan momentum dan kita semua menanggung malu! Kedua! Naoko bahkan harus diselamatkan oleh orang asing lain saat berhadapan dengan Agus Lodang. Apa-apaan itu!? Memalukan!! Aku tidak bisa terima apapun alasannya!! Ketiga! Semua serangan kita ke utara mentah!! Tidak ada hasil! Kita sama sekali tidak bisa menembus tembok penghalang QZK!”

Hanzo dan kawan-kawan langsung bersikap tegak. Dengan suara yang kompak, kesepuluh anggota SSX berteriak kencang, “Kami bersalah! Kami memalukan! Kami pantas dihukum!”

Pak Zein menghela napas panjang sembari memandang satu persatu wajah anggota Shinsengumi X.

“Apa yang harus aku lakukan pada kalian semua? Kalian yang di belakang? Dari mana saja kalian? Kenapa tidak membantu kawan-kawan yang lain? Masamune? Sanada? Fuuma? Miyamoto?” Pak Zein terdengar gusar. “Bagaimana bentuk pertanggungjawaban kalian atas kejadian ini?”

Hanzo menjura dan berucap dengan tegas, “Tidak ada alasan. Kami telah bersumpah untuk selalu mengabdi kepada junjungan dan hidup mati kami telah kami persembahkan untuk junjungan. Zein-sama adalah junjungan kami. Jika memang kami gagal melakukan tugas, lebih baik kami mati dengan seppuku untuk menjaga nama keluarga besar.”

Haiyah. Tidak perlu sejauh itu juga.” Pak Zein geleng kepala, “Kalian masih muda dan masih belum banyak makan asam garam. Kalian memang berbakat secara teori, namun kemampuan kalian belum teruji di lapangan. Itu sebabnya kalian masih harus banyak berlatih..”

“Mohon maaf, Pak Zein. Ijin untuk menyela.” Ki Kadar menjura di hadapan sang pimpinan.

“Silakan Ki Kadar.” Pak Zein mengangguk. “Ada yang ingin kamu sampaikan?”

“Mungkin tidak pada tempatnya saya menyampaikan ini, terlebih karena saya baru saja hadir kembali sebagai anggota baru Empat Anak Panah. Tapi menurut saya, benar bahwa adik-adik Shinsengumi X ini masih muda, sehingga membutuhkan banyak pengarahan tentang bagaimana berhadapan dengan lawan besar, khususnya QZK, Dinasti Baru, atau bahkan KRAd.” Ki Kadar melangkah ke depan Shinsengumi X dan berdiri menghormat pada sang ketua. “Saya bersedia menjadi tutor sekaligus pendamping mereka jika diperkenankan.”

Pak Zein tersenyum, “Hmm. Wah Kamu ini Ki Kadar… baru pulang ke markas kok sudah berulah ya?”

Ki Kadar tertawa. Dia tahu Pak Zein cuma bercanda. Pak Zein memang selalu serius, tapi bukan berarti dia tidak bisa bercanda. Salah satu yang bisa membuat pimpinan JXG itu bersikap santai seperti terhadap sahabat sendiri mungkin hanyalah Ki Kadar.

“Apa maksudmu, Ki Kadar? Kenapa kamu kepengen menjadi tutor bagi bocah-bocah Jepang ini? Keuntungan apa yang akan kamu dapatkan?”

“Hehehe. Bukan maksud saya untuk melawan, Pak Zein. Rasa-rasanya saya juga tidak akan mendapatkan banyak keuntungan. Tapi menurut saya, melakukan kesalahan adalah guru yang terbaik. Anak-anak muda ini akan selalu mengingat kekalahan yang sedang mereka alami ini selamanya dan hal itu akan mencetak sebuah mindset dalam pikiran mereka. Setelah berhadapan langsung dengan Dinasti Baru dan QZK serta merasakan konfrontasi secara langsung dengan kedua kelompok besar itu, maka mereka tentu sudah paham apa artinya pertarungan besar antar kelompok.”

Ki Kadar membalik badan, kini dia berhadapan langsung dengan sepuluh anggota SSX. Pria tua itu lantas melanjutkan lagi ucapannya.

“Pertarungan besar antar kelompok bukanlah hal main-main dan tidak akan selesai dalam sehari semalam. Ini bukan perebutan lahan parkir. Ini adalah pengerahan seluruh kekuatan dan kewaspadaan di sisa hidup sampai nanti perang usai dan kita semua dapat hidup lebih tenang sesuai dengan hasil akhir peperangan itu. Itu pun kalau kita bisa hidup tenang karena menang. Kalau kalah? Bukankah kita tidak akan tahu apa cerita selanjutnya? Mengerti semuanya?”

“Mengerti!” SSX menjawab secara serempak.

“Apa yang kamu inginkan Ki Kadar?” Pak Zein bertanya. “Aku masih belum paham kenapa kamu ingin menjadi tutor mereka.”

“Kalau diijinkan oleh Pak Zein, saya akan membimbing mereka dan mengajarkan bagaimana caranya menjadi petarung-petarung yang jauh lebih tangguh. Saya akan membentuk mereka, mengubah tanah liat ini untuk menjadi pondasi dan menjadikannya besi baja.”

Hanzo melirik ke arah Ki Kadar. Kedua pria itu saling bertatapan, diakhiri oleh senyuman sang pria tua. Ki Kadar melanjutkan kalimatnya.

“Mendengar langsung dari Pak Zein bahwa SSX sebelumnya punya nama besar dan anak-anak ini hadir sebagai pengganti SSX yang lama, maka saya melihat ini semua sebagai permulaan dan saya yakin dengan potensi mereka. Tidak mungkin para sesepuh SSX di negara asal akan menunjuk anak-anak muda ini sebagai pengganti kalau mereka tidak memiliki potensi bukan? Sejujurnya, mereka bahkan tidak memerlukan senjata untuk bertarung karena punya kemampuan berlebih. Terutama beberapa di antara mereka yang Ki-nya sudah sangat hebat,” jawab Ki Kadar.

“Cukup.” Pak Zein mengayunkan tangannya.

Ki Kadar menjura.

Pak Zein kembali berjalan di depan SSX. “Seperti yang tadi kalian dengar, mulai sekarang kalian akan bergerak dan bekerja di bawah kepemimpinan Ki Kadar. Beliau yang akan mengatur pola kerja dan latihan kalian. Beliau sudah menyampaikan padaku pos-pos QZK mana yang memungkinkan untuk ditembus dan dikuasai dalam waktu singkat. Kalian pelajari wilayah itu dan tundukkan. Paham?”

Hanzo dan kawan-kawannya langsung menanggapi dengan cepat. “Siap! Paham, pimpinan!”

Pak Zein menepuk pundak Ki Kadar. “Senang sampeyan pulang, Ki Kadar.”

Ki Kadar mengangguk, “saya juga punya perasaan sedemikian.”

“Kami akan setia dan tunduk pada perintah. Setelah sepeninggal Ki Kadar… sepertinya Empat Perisai QZK sedang berada di titik terendah mereka. Kekuatan mereka jelas sedang pincang. Apakah ini saat yang tepat untuk menyerang QZK?” tanya Hanzo.

Ki Kadar dan Jagal saling berpandangan, keduanya sama-sama pernah mengabdi di QZK. Jagal mendengus. “Tidak juga. Jangan pernah meremehkan QZK. Seperti halnya JXG, mereka punya barisan pasukan tangguh yang selama ini mungkin belum pernah kita dengar karena dirahasiakan, baru saja secara personal Ki Kadar menyampaikan hal tersebut pada kami dan Pak Zein. Kita tunggu saja kiprah mereka. Aku yakin sekali Empat Perisai akan tetap menjadi Empat Perisai. Akan ada empat orang menduduki pos itu. Siapanya yang kita masih belum paham betul.”

Hanzo mengangguk, “Siap.”

Seorang pemuda tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. “Ma-maaf mengganggu pertemuan… ada yang harus saya sampaikan ke Pak Zein. Di depan ada tamu… yang memberikan sesuatu untuk diserahkan pada Pak Zein.”

Hantu terkekeh-kekeh, “Tamuuuu!? Siaapaaa tuuuuuh!? Kekkekekeke… siapa berani ganggu pertemuan keramat? Sudah ganda nyawa? Kekeke…”

“Siapa dia?” tanya Ki Kadar pada Jagal menanyakan sosok yang baru hadir.

“Hanya salah seorang penjaga gerbang. Kita dengarkan saja apa laporannya. Sepertinya ada sesuatu yang penting.”

“Menyerahkan apa?” tanya Pak Zein.

Begitu sang penjaga gerbang menghunjukkan sesuatu, baik Hanzo maupun Usagi bersiap menjaga.

“Berhati-hatilah, Zein-sama,” ujar Hanzo. Dia tidak mempercayai apapun. Merekalah yang kemudian menerima sesuatu itu – sebuah surat. Surat yang diperiksa secara seksama sebelum kemudian diberikan kepada Pak Zein.

Pak Zein membuka amplop dan membaca surat itu.

Sesuatu yang cukup unik di jaman modern di mana semua orang punya ponsel. Kenapa tidak SMS? Kenapa tidak Whatsapp? Kenapa tidak menggunakan aplikasi pesan singkat saja? Kenapa harus menggunakan surat?

“Agak aneh bukan? Kenapa pakai surat?” Jagal menggosok-gosok dagu dengan dua jarinya.

Ki Kadar mengangguk. Memang sepertinya ada yang janggal.

Mata Pak Zein terbelalak saat membaca surat itu, ia mendengus dan memasukkan surat kembali ke dalam amplop. Ia membalik badan dan melirik ke arah sang prajurit pintu gerbang. “Orang yang menyerahkan surat ini… apakah dia masih ada di depan?”

“Masih Pak Zein. Dia menunggu jawaban.”

“Hrrh.” Pak Zein melemparkan surat itu pada Jagal sembari menggerutu. Pria bertubuh langsing dengan kaus turtleneck itu duduk di kursi kesayangannya. “Seno. Kamu temui tamu dan bilang aku akan datang di tempat yang telah ditentukan. Aku bukan pengecut.”

Jagal, Ki Kadar, dan Rogo saling berpandangan. Hantu bergoyang-goyang aneh dan tertawa-tawa. Kesepuluh anggota SSX memandang ke arah Jagal. Mereka semua penasaran. Apa maksud ucapan pimpinan mereka itu? Jagal buru-buru membuka surat yang diberikan oleh sang pimpinan.

“Ini?”

“Surat tantangan resmi,” desis Pak Zein. “Datang dari KRAd.”

“Gila! Surat tantangan ini dikirim untuk menentukan pembagian wilayah selatan. Pertarungan tiga lawan tiga dalam Pertarungan Antar Wakil. Penentu sekali dan selamanya siapa yang berhak menguasai wilayah selatan! Diadakan dalam waktu dekat di lapangan parkir Sasana Prawiratama, depan Museum Monumen Sang Pangeran.”

Semua anggota JXG yang saat itu berada di ruangan menatap ke arah Pak Zein.

Pertarungan Antar Wakil?

“Kenapa kalian memandangku begitu? Bukankah sudah kuputuskan tadi? Kita akan datang. Tiga lawan tiga. Kita hajar mereka sampai tuntas sekali untuk selamanya. Kita rebut kembali dominasi JXG di wilayah selatan. Apa ada masalah dengan itu?”

“Tidak ada masalah, Pimpinan!!” Hanzo dan kawan-kawan menjawab dengan tegas dan berani.

Hanya para anggota Empat Anak Panah JXG yang masih saling bertatapan.

Pertarungan Antar Wakil dengan KRAd? Di tengah repotnya mereka dengan urusan QZK? Sungguh riskan dan berbahaya. Benarkah pak Zein akan melakukan ini? Bijakkah keputusan itu?

Atau jangan-jangan… ini jebakan?

Bagaimana seandainya QZK lantas memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dan menyerang?

Bagaimana?





.::..::..::..::.





Empat Perisai QZK atau yang tersisa dari kelompok itu tengah duduk bersama di sebuah kursi yang mengitari sebuah meja bundar raksasa. Om Janu sering menyebut mereka-mereka yang duduk di meja bundar itu adalah Knights of the Round Table.

Selain Agus Lodang, Syamsul Bahar, dan Muge Monster – telah hadir juga perwakilan unit pasukan dari masing-masing subsidiary mereka. Agus Lodang membawa Sambergeni, Muge Monster membawa Phantom Gate, dan Syamsul Bahar membawa serta kedua kaptennya yaitu X dan Jun. Tentunya pertemuan kali ini tidak dihadiri oleh Ki Kadar yang sudah membelot, Pasat yang entah berada di mana, dan Handoko Hamdani yang dirawat di rumah sakit.

Empat Perisai QZK hanya tinggal tiga.

“Sudah datang semua?”

Om Janu datang paling terakhir dan duduk di kursi yang posisinya paling tengah, seperti biasa dia ditemani oleh Erina dan Pak Mangku, sekarang ditambah juga dengan kehadiran Reynaldi.

Para hadirin berdiri sejenak dan membungkuk bersama untuk memberikan hormat pada sang pimpinan. Begitu duduk, Om Janu mengamati satu persatu anggota yang hadir dan mengangguk. Sang pimpinan yang kharismatik itu mempersilakan semuanya duduk dan langsung membuka percakapan.

“Baiklah kita mulai. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, saat ini kita sedang berada di masa-masa sulit dan dalam keadaan hiruk pikuk. Pertempuran sporadis yang terjadi antara kita dan JXG terlalu berlarut-larut tanpa ada hasil yang pasti. Sekarang salah satu dari kita justru memilih untuk menyeberang ke sisi lawan,” ujar om Janu dengan raut wajah masam. Tapi sejenak kemudian dia tersenyum, “Tapi tenang saja – aku sudah mempersiapkan gantinya. Empat Perisai QZK akan tetap menjadi Empat Perisai. Empat tetap akan menjadi empat.”

Ada sedikit bisik berbisik terjadi. Mereka bertanya-tanya siapa yang akan ditunjuk oleh om Janu sebagai perisai keempat? Orang ini sudah pasti tidak boleh memiliki kemampuan sembarang. Minimal harus Petarung kelas B+ ke atas atau sekalian Petarung Kelas A. Dia juga sudah pasti akan diberikan tampuk kepemimpinan dari salah satu unit subsidiary dari QZK.

Siapa orangnya?

“Apakah dia sudah hadir?” tanya om Janu.

“Permisi, Bapak. Sudah. Dia ada di ruang tunggu,” jawab Erina dengan hormat. Si cantik itu mengedipkan mata pada X dan Jun yang tadi sudah menjemput.

“Suruh dia kesini.”

“Siap, Bapak.” Erina mengangkat ponselnya dan menghubungi salah satu nomor. “Yes. You may enter.”

Tak lama kemudian pintu dibuka dan si Bule Gila bertopi koboi masuk dengan senyum lebarnya. “Howdy folks. Haw ya’ doin’? Apa kabar semuanya?”

Mereka yang hadir pun terkesiap melihat kehadiran pria itu, bukan karena mereka tidak mengenalnya – tapi karena mereka justru sangat mengenal orang ini. Dia bukan orang asing di QZK. Pada pertempuran dengan JXG di perang besar terdahulu, dia juga menjabat sebagai salah satu panglima QZK. Inilah salah satu orang yang menyebabkan Sulaiman Seno sang Jagal beralih haluan ke JXG.

Sang bule bertubuh tinggi besar dengan badan kekar dan tampang cengengesan itu meletakkan topi koboinya di meja, melepas kacamata hitam dan mengaitkan tangkainya di saku bajunya. Ia mengangguk pada om Janu dan melenggang dengan santai. Baju santai, celana pendek khaki, dan sendal jepit. Mirip seperti surfer slenge’ean.

Erina menarik salah satu kursi di meja bundar. “Silakan duduk.”

Thanks, sweetie pie.” Sang pria bule mengedipkan mata pada Erina yang tersenyum hormat. Dengan sengaja ia menepuk pantat sang sekretaris.

Pkk.

“Aaah!” Erina berteriak karena terkejut. Gadis itu mencoba menengok pada om Janu untuk meminta tolong namun sang pimpinan tidak bereaksi. Dia pun mundur teratur sementara sang bule tertawa-tawa. Erina tahu posisinya, dia harus mengalah.

Dengan santai si Bule Gila duduk di kursi yang sudah dipersiapkan oleh Erina. Karena ukuran tubuhnya di atas rata-rata orang negeri ini, kursi yang dipersiapkan pun kursi yang lumayan besar. Senyum lebarnya seakan meremehkan – tapi itu sejurus dengan kemampuannya yang memang luar biasa. Kemlinti tapi sembodo.

“Hahahhaaha. Kenapa semua mata bengong, eh? Sudah lama kita tidak bertemu, eh? Hahahhaha.” Si Bule Gila tertawa-tawa sembari menyilangkan kaki dan mengangkatnya ke atas meja. Terkesan tidak sopan dan tidak menghormati om Janu. Tapi pimpinan tertinggi QZK itu seperti tidak peduli dengan tingkah laku sang pria bule. “Please continue, Mr. Janu.”

“Mox!” Muge sang Monster berdiri dan menggebrak meja. Pria yang sebenarnya juga bertubuh besar itu menunjuk ke arah sang Bule Gila. “Turunkan kakimu dari meja sebelum kupatahkan. Ini rapat resmi yang diadakan oleh pimpinan! Hormati beliau! Jangan seenaknya sendiri! Sana pulang ke negaramu kalau tidak mau diatur!”

Si Bule Gila yang punya nama asli Joe Moxon itu pun berdiri sembari cengengesan dan mendekati Muge. Bagi orang lokal, Muge Monster adalah laki-laki bertubuh raksasa yang mengerikan – itu sebabnya dia dijuluki monster. Tapi di hadapan Mox, tubuhnya kalah besar.

Mox menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, jari kelingkingnya masuk ke hidung. Ia melemparkan boogers ke arah Muge. “Coba diulang lagi di depanku.”

Ki milik Muge menyala.

Saat itu juga hembusan energi yang keluar dari tubuh sang monster terlepas, membuat siapapun yang saat itu berada di ruangan terdorong ke belakang. Semua. Kecuali om Janu, Syam, Agus Lodang, dan Moxon. Perhatian di ruangan pun segera tertumpah pada Muge dan Mox.

Mox cekikikan, ia menempelkan dahinya pada Muge. “Mau main sulap? You wanna play some magic, pretty boy? Some tricky stuff? Where’s the hat and the rabbit? Where’s the cards?

Muge mendorong dahi Mox balik, “Wasweswos wasweswos! Mbelgedheeeees! Jingan!! Ra mudeng kowe ngomong opo, Su!! Iso ngomong seng bener ora je? Balio negoromu kono! Inggrismu ra mbois! Aku nggak ngerti sama sekali kamu ngomong apa!!”

Wasu. Pengen ndhlosor po piye, Su? Sudah pengen masuk liang lahat?” jawab si Bule Gila.

Bagi yang tidak paham mungkin kaget ketika tahu Mox bisa bahasa lokal, tapi Mox adalah seorang polyglot. Seseorang yang memahami banyak bahasa – termasuk bahasa lokal. Si Bule Gila itu menarik kepalanya untuk menjauh dari Muge, Ia mendengus dan menyeringai.

Fakkin’ dwarf. Mau diselesaikan sekarang? Di depan semua orang? Mau dibongkar wajah jelekmu itu, he? Mau dijadikan rambut nenek, he? Mau dijadikan kremesan sempe? Kita selesaikan sekarang!”

“Boleh!”

Muge geram, dia jelas tidak takut. Dia hanya tidak paham seperti apa kekuatan Mox, keberanian dan nekat memang berbatas tipis. Nekatnya Muge sebenarnya menjadikannya lemah secara strategi karena dua faktor. Pertama, Muge belum pernah melihat Mox bertarung jadi dia tidak paham siapa lawannya. Kedua, Om Janu tidak pernah asal memilih punggawa. Apalagi punggawa yang menempati posisi Empat Perisai. Muge, Mox, Agus Lodang, dan Syam jelas punya kemampuan setara.

Sebelum ini om Janu selalu memilih Empat Perisai QZK sesuai dengan kemampuannya, masing-masing dari mereka memiliki kekuatan elemen. Ki Kadar yang mantan empat perisai memiliki kekuatan angin, Syam memiliki kekuatan air, Muge memiliki kekuatan tanah, dan Agus Lodang memiliki kekuatan api. Lalu kekuatan apa yang dimiliki Mox?

“Bapak. Mereka berdua sepertinya serius. Saya hanya takut karpetnya nanti kotor kalau ada ceceran darah,” ujar Erina pada om Janu ketika melihat pertikaian antara Muge dan Mox. Meski kalimatnya khawatir, tapi wajah gadis itu terlihat dingin dan biasa-biasa saja, dingin dan tanpa ekspresi. “Karpetnya baru saja saya bersihkan. Baru kemarin saya ambil dari laundry. Mungkin bisa dipertimbangkan.”

Setelah bujukan dari Erina, barulah om Janu mengambil sikap. Dia melambaikan tangan dengan cuek. “Mox. Muge. Jangan seperti bocah. Hentikan.”

Meskipun pelan, tapi suara om Janu terdengar sampai ke ujung-ujung ruangan. Saat Om Janu bertitah, semua menurut perintah. Baik Muge maupun Mox sama-sama mundur. Keduanya tahu apa artinya jika tidak mengikuti apa kata sang pimpinan. Kedua pria bertubuh besar itu mengangguk dan duduk kembali di kursi mereka. Kali ini keduanya duduk dengan sopan.

Setelah semua perdebatan reda, barulah om Janu memulai rapatnya.

“Kepergian Ki Kadar membuatku sadar kalau selama ini aku kurang agresif menanggapi serangan-serangan dari JXG. Pak Zein sangat berambisi untuk mencaplok wilayah utara. Satu-satunya cara untuk menghentikan ambisinya menguasai utara adalah dengan merebut kawasan selatan sejengkal demi sejengkal. Hal itu juga akan menyadarkannya bahwa dia berhadapan dengan lawan yang sama kuat. Kita harus membalas sikap agresif JXG dengan semangat yang sama. Tapi kita tidak akan melakukannya dengan cara yang biasa-biasa saja. Kita harus menunggu waktu yang tepat.

“Mereka punya Empat Anak Panah, kita punya Empat Perisai. Mereka punya Shinsengumi X, kita punya Sambergeni. Apa yang mereka punya, kita juga punya. Jadi kita tidak perlu takut. Kita juga punya Phantom Gate serta pasukan di bawah pimpinan X dan Jun. Singkat kata, secara pasukan kita seimbang.

“Dalam waktu dekat, JXG akan terkena ontran-ontran, akan terkena masalah – sesuai dengan informasi yang aku dapat dari beberapa pihak terkait.” Om Janu melirik ke arah Pak Mangku. Sang driver itu menganggukkan kepala, “Lemahnya mereka merupakan bukaan bagi kita, kesempatan untuk menyerang. Sembari menunggu peristiwa menarik itu terjadi, kita akan memperkuat barisan. Aku akan memberitahukan kalian pada hari H, area wilayah selatan mana yang pertama kali akan kita rebut dari JXG, jadi bersiaplah.”

“Siap, Pimpinan.” Serentak anggota QZK menjawab.

“Sementara itu…” Om Janu menatap ke arah Mox. “Kamu baru pulang setelah berlatih lama di luar negeri, Mox. Aku sudah melihat apa yang kamu bisa dan aku menganggap kemampuanmu yang sekarang pantas disejajarkan dengan Muge, Agus Lodang, dan Syam. Aku juga percaya pada kesetiaanmu karena kamu dulu ajudanku. Hanya saja aku tetap butuh pembuktian. Jadi… apa yang akan kamu persembahkan sebagai hadiah pengangkatanmu sebagai anggota Empat Perisai?

“Maaf menyela, Pimpinan. Baru-baru ini saya berhadapan dengan SSX dan mereka benar-benar membuat saya kesal bukan kepalang. Apakah ada yang bisa kita lakukan terhadap mereka?” tanya Agus Lodang. “Saya cukup kesal dengan ulah mereka yang membuat tangan saya harus diperban ini.”

Mendengar permintaan Agus, Mox tertawa dan memberi usulan pada sang pimpinan, “Shinsengumi X. X-nya itu karena mereka benar-benar bersepuluh ya? Hahahaha ada ada saja. Bagaimana kalau kita samakan jumlahnya dengan Sambergeni-nya Kang Agus sebagai ajang balas dendam tangannya yang terluka? Supaya bisa pas tujuh lawan tujuh, maka saya akan memburu dan meletakkan kepala tiga orang Shinsengumi X di meja ini.”

Om Janu tersenyum, “Menarik. Apakah kamu bisa melakukannya?”

“Sudah pasti.”

“Kapan kamu bisa melakukannya?”

Senyum Mox makin lebar. “Kapanpun. Akan saya pastikan SSX banjir darah.”

Om Janu mengangguk, “Sebentar lagi aku akan mengadakan pesta trah Watulanang. Sepulang dari pesta itu, aku menunggu pembuktianmu. Begitu aku sampai di sini, kamu harus sudah meletakkan tiga kepala anggota SSX di atas meja ini.”

Mox menjawab perintah dari sang pimpinan dengan sikap tegas. “Siap laksanakan!”

Mox mengangkat jempol dan mengedipkan mata pada Muge, seakan-akan mengatakan bahwa Muge sebaiknya memperhatikan apa yang setelah ini akan dilakukan oleh Mox terhadap Shinsengumi X. Yang dikedipin hanya mendengus saja. Dia mau lihat sampai seberapa jauh kemampuan Mox setelah lama berada di luar negeri. Dia masih belum percaya seratus persen bedebah bule satu ini punya kemampuan yang sebanding.

“Baiklah, apakah ada lagi yang perlu dibahas? Pasukan untuk Mox akan dibicarakan di lain kesempatan, aku harus melakukan asesmen terlebih dahulu untuk menjaring siapa-siapa saja yang pantas masuk ke regu tempurnya Mox,” ujar om Janu. “Ada lagi yang lain?”

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Orang-orang yang berada di dalam saling berpandangan. Ketukan di pintu? Siapa yang mau masuk? Sepertinya semua orang yang layak masuk ke ruangan sudah masuk ke dalam. Siapa lagi yang datang sekarang?

“Siapa?” tanya om Janu pada Erina.

Si seksi itu justru menggelengkan kepala tanda tidak tahu. Erina melirik ke arah Om Janu, “Bagaimana, Pak? Apakah dibuka saja?”

Om Janu mengangguk dengan tenang.

Hannibal Razan yang berdiri paling dekat dengan pintu pun membukanya, tak lama kemudian seseorang masuk. Semua orang bersiaga saat menatap orang yang baru masuk itu. Pakaiannya kotor dan acak-acakan, wajahnya kuyu seperti tidak tidur beberapa hari.

Razan cukup kaget melihat siapa yang datang, “Ka-kamu?”

Orang itu maju ke depan sang pimpinan dan menjura. “Maaf saya mengganggu pertemuan ini. Tapi rasa-rasanya saya masih punya hak untuk bergabung. Saya tidak ditolak di penjagaan depan ataupun penjaga manapun. Itu artinya saya masih punya hak. Benar begitu?”

Om Janu memiringkan kepalanya dan menyeringai, “benar.”

Muge dan Syam bersiap, melindungi jalur menuju om Janu dari sosok yang baru datang. Sekali lagi, Muge yang paling siaga dan geram, dia memang agak sensi jika menyangkut keselamatan dan kehormatan sang Pimpinan.

“Jangan mendekat! Apa yang kamu lakukan di sini!? Jangan coba-coba mendekati pimpinan!”

“Apa yang saya lakukan? Heheheh. Pertanyaan konyol. Saya anggota QZK!! Dulu saya memang bukan siapa-siapa. Tapi berkat didikan dan pengaruh positif dari QZK, saya sekarang menjadi orang yang sama sekali baru. Jiwa dan hati saya selalu untuk QZK. Tidak hanya kalian yang hadir di sini yang merasa dikhianati! Tapi saya juga telah dikhianati! Ijinkan saya membalas dendam.”

“Mana mungkin kami percaya!” Muge maju.

“Kalau ada orang yang paling berhak menjatuhkan Ki Kadar dari JXG, maka orang itu adalah saya – Pasat!!”

Di hadapan semua anggota QZK yang hadir, Pasat berdiri dengan tenang dan gagah. Rambutnya coklatnya sudah dipotong habis, wajahnya menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Dua tangan tergenggam terkepal. Urat-urat di leher dan dahi terlihat nyata. Ada darah di dahinya yang terluka, apakah itu gara-gara membenturkan kepalanya ke tembok berulang-ulang kali?

Muge dan Syam berdiri sejajar di depan Pasat. Mereka berdua masih belum percaya pada Pasat.

“Maju selangkah lagi dan akan kupatahkan kakimu.”

“Tenang saja. Saya tidak akan pernah mengkhianati QZK.”​

“Selama ini kamu ada di bawah ketiak Ki Kadar dan menjadi murid kesayangannya. Kalau dia berkhianat, tidak ada jaminan kamu tidak akan mengikuti jejaknya. Secara logika, mana ada murid mau melawan guru.” sergah Syam yang tak akan membiarkan Pasat mendekati Pimpinan mereka. Syamsul Bahar paling benci pengkhianat, menurutnya siapapun yang selama ini selalu bersama-sama dengan Ki Kadar sudah seharusnya tidak boleh lagi memasuki ruangan ini. “Apa buktinya kamu sudah tidak lagi berhubungan dengan Ki Kadar? Kamu hanya akan menjadi musuh dalam selimut berikutnya.”

“Saya juga dikhianati dan dicampakkan oleh Ki Kadar setelah dia diangkat menjadi Empat Anak Panah. Saya bukan pengkhianat, sejak remaja saya telah diselamatkan oleh QZK, dibesarkan oleh QZK, dan diberikan kehidupan kedua oleh QZK. Hati saya hanya untuk QZK bukan yang lain. Hanya orang QZK sejati yang tahu bagaimana setianya saya pada QZK.”

“Kami butuh action, bukan bacot. Apa yang akan kamu jadikan bukti sumpah setiamu?” Syam mendengus.

“Saya tahu rahasia kemampuan dan ilmu kanuragan Ki Kadar. Sebagai bukti kesetiaan, akan saya seret pengkhianat itu kemari supaya dapat diadili di depan mimbar besar QZK baik dalam kondisi hidup ataupun mati. Rasanya itu sudah cukup membuktikan kesetiaan saya pada QZK.”

“Oh?” Om Janu mengerucutkan bibirnya. “Menarik.”

“Mohon jangan dipercaya, Pimpinan. Dia pasti hanya omong besar. Pasat dan Ki Kadar dekat seperti ayah dan anak. Akan sangat mengherankan jika dia akan ” Syam menyampaikan keluhannya pada om Janu.

Tapi Pasat menatap tajam ke arah sang pimpinan. “Saya bersumpah.”

“Baiklah.” Om Janu menyeringai, sang pimpinan QZK itu pun memanggil satu nama, “Mox!”

“Siap.” Mox berjalan ke arah Pasat. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Si Bule Gila itu berdiri sembari bersidekap di hadapan Pasat.

“Mulai sekarang Pasat akan bertindak sebagai deputimu. Kalian akan jadi partner. Kamu harus pastikan dia melaksanakan janjinya untuk membawa kepala Ki Kadar padaku.”

“Siap!”

“Jika dia gagal atau memang tidak berniat melakukannya, bunuh saja.”

“Siap!” Mox tersenyum sinis pada Pasat yang menatapnya dengan pandangan mata tajam. “Selamat datang di reguku, sobat kecil. Jangan terlalu nyaman.”

Pasat tersenyum meremehkan. “Tidak masalah.”

Om Janu terlihat senang. Mox sudah berjanji akan memenggal tiga anggota SSX, sementara Pasat berjanji akan menangkap Ki Kadar hidup atau mati.

Luar biasa.





.::..::..::..::.





.:: PADA SUATU KETIKA, DI SEBUAH LOKASI



Ini sebuah kisah, tentang seekor anjing. Ya, seekor anjing.

Sagu namanya.

Seekor anjing berwarna putih. Dulu turun temurun dia selalu menemani Kakek, lalu si Bengal. Sekarang dia dirawat oleh tetangga mereka, Pak Di dan keluarganya. Rumah Pak Di tak jauh dari rumah Kakek Nanto dan karena dikenal sebagai anjing yang ramah dan baik di kampung, banyak yang sayang dan merawat Sagu. Pak Di dan keluarganya sangat menyayangi Sagu, mereka bahkan selalu menganggap Sagu sebagai bagian dari keluarga.

Anjing kampung berwarna putih itu bermain-main di kebun Pak Di. Mengejar kupu-kupu yang terbang dari satu bunga ke bunga yang lain. Dia menunggu datangnya si Bengal – pemilik lama yang akhir-akhir ini tinggal di desa. Kadang si Bengal akan lewat dan mengajaknya ke hutan, kadang hanya berjalan di tepian sungai. Ketika si Bengal hadir di desa, hidup Sagu terasa lebih seru.

Pak Di dan keluarganya memang baik, tapi si Bengal adalah si Bengal.

Kini Sagu mengejar kupu-kupu sembari menunggu si Bengal yang tak kunjung datang. Apakah pemuda itu akan menghilang lagi untuk waktu yang lama seperti sebelumnya? Apakah kali ini dia juga bakal kelupaan pamit sama Sagu? Tidak apa-apa. Sagu akan selalu menunggu dengan setia.

Dia akan selalu menunggu.

Sagu menggeram. Ada bau asing.

Bau beberapa orang asing masuk ke halaman tempatnya bermain, tak jauh dari rumah Pak Di.

Beberapa orang diantara mereka tertawa-tawa. Apakah ada yang lucu? Tidak. Tidak ada yang lucu. Orang-orang ini bukan kawannya. Mereka bukan sahabatnya. Mereka berniat jahat. Bau mereka tidak enak. Sagu menggonggong dan berlari ke sana kemari.

Pergi! Dia mengusir orang-orang jahat itu. Pergi dari sini! Ini bukan tempat kalian! ini tempat si Bengal! Kalian tidak boleh berada di sini! Pergi!

Sagu terus saja menggonggong.

Salah satu dari orang-orang yang datang “Ini anjingnya?”

“Iya yang ini. Katanya bulunya putih semua. Ini anjing pemuda bernama Nanto itu.”

Sagu menyalak galak. Orang-orang ini berniat tidak baik. Ia menggonggong dengan kencang.

Sblp.

Tubuh Sagu roboh.

Di kakinya yang kokoh tertancap pisau. Darahnya mengalir. Dia melolong kesakitan. Sagu marah. Orang-orang yang jumlahnya belasan datang dengan senyum jahat mereka. Sagu menyalak galak. Dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia berusaha berdiri meski selalu jatuh lagi. Kakinya terasa sakit. Sagu berdiri dengan kaki bergetar.

Kerumunan orang mulai mendekat, semakin dekat, dan semakin dekat. Mengitari Sagu yang terus saja menggonggong. Sagu ketakutan, dia mendengking.

Orang-orang yang jumlahnya belasan itu berwajah jahat, niat mereka sudah pasti tak baik, dan mereka semakin dekat.

Mereka menjaring Sagu yang langsung terjebak. Kaki mereka bergerak. Satu orang menendang anjing malang itu hingga kesakitan. Pertama hanya satu, lalu dua orang, lalu tiga, empat, dan akhirnya beramai-ramai. Sagu awalnya masih kuat berdiri, tapi tak lama kemudian dia roboh.

Sagu melolong.

Mungkin untuk yang terakhir kalinya.





BAGIAN 14 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 15
Terima kasih untuk update nya suhu @killertomato Ditunggu update part 15 nya
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd