Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 15-A
SEPARUH NAFAS




Kekhawatiran tidak pernah menghasilkan apa-apa.
Ketika Anda memiliki masalah,
yang terbaik adalah berkonsentrasi untuk mencari solusi,
bukan memikirkan masalah itu sendiri.”

- Thomas D. Willhite





.:: SEKARANG



Ada sebuah cerita.

Tentang seorang pemuda.

Yang karena tergoda hawa nafsu ingin buru-buru berilmu lantas berguru pada seorang yang tak seharusnya dianggap sebagai pengampu. Seorang guru yang telah menjeratnya pada kekelaman, seorang guru yang menjebaknya pada kegelapan, seorang guru yang ia kenal secara kebetulan yang menjerumuskannya ke dalam dunia ilmu hitam. Ilmu kanuragan yang jika sudah dikuasai tak akan bisa dilepaskan – sampai kelak waktu akhir tiba. Seperti sebuah kalimat populer, once you go black, you can never go back.

Beruntung akhirnya sang pemuda bertemu dengan tetua lain. Tetua yang meskipun perilaku dan sifatnya sedikit bengkok, tapi berpikiran lurus dan mengajarkannya bagaimana caranya membersihkan aura gelap secara perlahan. Mengajarkan kepada sang pemuda bagaimana caranya memendam kekelaman dan mengubah alirannya menjadi cahaya yang mapan. Meski tak mungkin menghapusnya secara total tapi setidaknya bisa membimbing sang pemuda untuk berjalan di jalur yang lebih terang. Karena gelap dan terang adalah dua sisi yang sebenarnya seimbang. Tak ada yang satu kalau tidak ada yang lain.

Kisah ini adalah kisah tentang redemption, tentang upaya untuk kembali terang.

Upaya dari seorang pemuda bernama lengkap Dani Kuncoro Hadi. Pemuda yang lebih dikenal dengan nama panggilan Deka, teman-temannya dari Lima Jari sering memanggilnya Gondes, karena di masa SMA dia pernah tampil dengan potongan rambut gondrong ndeso yang nggak banget. Kesalahan sekali-kalinya yang kemudian menjadi aib seumur hidup, sejak saat itu Deka tidak pernah lagi memanjangkan rambutnya.

Tapi masalah Deka kali ini bukan tentang rambut dan jauh lebih serius dari sekedar panggilan Gondes. Saat ini, Deka sedang bingung saat Shinta mendatanginya dengan panik dan kebingungan. Sebenarnya wajar saja karena saat itu Shinta baru tahu kalau om Tarjo yang sedang sakit tenyata malah pergi meninggalkan rumah tanpa kabar.

“Coba jelaskan sekali lagi, Mas. Jelaskan dengan gamblang supaya aku bisa paham. Supaya aku yakin telingaku tidak salah dengar. Katakan dengan jelas supaya aku bisa menerima kabar itu secara logis.” Tatapan Shinta galak menatap Deka. “Karena kalau sampai aku mendengar tentang apa yang tidak ingin aku dengar, maka aku bersumpah akan…”

“Shin, aku minta maaf kalau gara-gara ini kamu jadi berburuk sangka. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa! Beneran ini nggak bohong. Aku benar-benar tidak bisa menahannya! Om Tarjo memang bilang dia akan pergi dan berharap kita dapat memanfaatkan momentum itu untuk menyelamatkan Papa dan Mama kamu. Tapi sebelum aku bisa protes, Om Tarjo menotokku sehingga aku tak bisa bergerak sama sekali. Baru setelah setengah jam berlalu, aku baru bisa tuntas melepaskan diri dari totokannya dan langsung mencarimu. Aku sudah berusaha mencari tapi tidak bisa menemuinya di mana-mana. Om Tarjo sudah pergi.”

Shinta geleng-geleng kepala, dia memandang Deka dengan sorot mata yang tak ingin dilihat oleh si Gondes. “Kemana dia pergi, Mas?”

“Om Tarjo bilang dia akan pergi ke… ke kediaman Rahu.”

“KE KEDI…!?” Shinta hampir berteriak karena kesal, dia berdehem untuk memperbaiki sikapnya, tapi sungguh gadis itu sedang marah. “Hebat. Hebat sekali bukan? Aku tidak salah dengar kan? Aku benar-benar tidak salah dengar? Kamu bilang apa barusan, Mas? Om Tarjo pergi ke kediaman Rahu? KE KEDIAMAN RAHU?”

“Iya… ke…” belum sampai Deka menjawab, Shinta sudah menyambar.

“Itu hal paling gila yang pernah aku dengar! Tidak ada penjelasan logis apapun yang bisa membuatku paham dengan keterangan itu. Bagaimana bisa orang sesakit om Tarjo menotokmu dan kamu biarkan pergi begitu saja? Kamu tahu kan dia sedang sakit? Dengan kondisinya yang sekarang dia hanya akan mengantarkan nyawa! Apa tidak terlintas di pikiranmu untuk menghentikannya, Mas? Kamu tahu sendiri Rahu itu seperti apa! Kita yang sehat saja tidak mungkin melawannya, apalagi om Tarjo! GILAAA!!”

“Oke, oke… aku paham. Kamu sedang panik, kesal, dan memang sudah seharusnya kamu marah padaku. Meskipun sebenarnya AKU DITOTOK dan tidak bisa berbuat apa-apa, tapi tidak mengapa. Timpakan saja semua kesalahan padaku, karena memang aku pantas menerimanya. Hanya saja sekarang kita tidak bisa menyalahkan kenapanya, tidak akan ada juntrungannya. Kita sekarang harus menyusul om Tarjo sebelum terlambat – beliau sudah menjelaskan semua rencananya padaku, dia berharap kita dapat menyelinap masuk ke rumah Rahu dan menyelamatkan kedua orangtuamu di saat om Tarjo berhadapan dengan Rahu.”

“Gila! Bagaimana kalau saat ini juga om Tarjo sudah berhadapan dengan Rahu? Bakal terlambat dan sia-sia belaka! Rencana macam apa itu?”

Deka dan Shinta saat itu sedang berada di rumah sang dara, sebelumnya mereka berdua merawat om Tarjo yang tengah kesakitan dan menderita penyakit fatal yang mungkin akan segera merenggut nyawanya. Tak dinyana tak disangka, sang tetua nan eksentrik, menarik, dan menggelitik itu lenyap tak ketahuan batang hidungnya. Baik hidung yang atas maupun hidung yang bawah.

“Bagaimana ini?” Shinta menepuk dahinya sendiri dengan telapak tangan, lalu menggeleng-geleng kepala dengan bingung. Dara jelita itu lalu mengambil sesuatu dari atas rak buku. Ia melemparkannya kepada Deka. Sebuah kunci. “Siapkan motor. Aku akan bersiap-siap. Kita susul om Tarjo sekarang juga.”

Deka mengangguk.

Tak perlu waktu lama sebelum Deka memacu kendaraan milik Shinta di jalanan raya kota, meliuk-liuk di antara mobil yang berjalan lebih lambat karena arus yang padat melata menjelang malam tiba. Shinta memeluk Deka dari kursi penumpang dan memastikan si Gondes menuju ke arah yang tepat. Om Tarjo hanya dimungkinkan pergi dengan menggunakan ojek atau taksi online. Dia tak akan lebih cepat dari mereka. Shinta hanya berharap mereka tidak datang terlambat dan mendapati om Tarjo sudah meregang nyawa di tangan Rahu.

“Maaf,” kata Shinta saat mereka berdua terpaksa berhenti di sebuah persimpangan jalan. Lampu merah terasa setahun saat itu.

Deka menggelengkan kepala, “Tidak ada yang perlu dimaafkan.”

“Maaf aku menyalahkanmu. Aku tahu om Tarjo pasti sudah berniat pergi sendiri sejak awal, kita tidak akan mampu menghentikannya. Aku melampiaskan kekesalanku sendiri kepadamu, Mas. Itu sebabnya aku minta maaf.”

“Sekali lagi – tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku juga merasa bersalah karena tidak mampu menghentikannya. Untuk ukuran seorang pri… maksudnya wanita yang maaf-maaf saja tidak mungil, dia cukup gede, medeni, dan mengintimidasi. Aku punya Perisai Genta Emas yang seharusnya tidak dapat tertembus dengan mudah. Tapi om Tarjo mampu menotokku dengan mudahnya. Entah bagaimana cara ia melakukannya. Aku berada di ujung batas antara penasaran dan marah karena sebegitu mudah ia lewati.”

“Demi apapun aku akan menyelamatkannya, Mas. Aku akan membawanya pergi dari hadapan Rahu meskipun nyawa taruhannya,” janji Shinta pada dirinya sendiri. “Aku akan…”

“Tidak.”

“Ha?”

“Aku tidak akan membiarkanmu mempertaruhkan nyawa. Aku sudah berjanji pada om Tarjo untuk melindungimu. Aku tidak berniat mengingkari janji pada orang yang telah membantuku meredam ilmu hitamku,” ucap Deka dengan tegas. “Om Tarjo sudah sangat berjasa padaku, jadi sebagai balas budi – aku sudah berjanji akan selalu menjagamu.”

Wajah Shinta memerah, untung saja si Gondes tidak melihatnya karena dara itu menjadi salah tingkah. Dengan sedikit ketus ia menangkis, tanpa disadari pelukannya di pinggang Deka justru sedikit lebih erat, “Jangan ngaco. Aku tidak perlu dilindungi siapapun. Apa kamu pikir aku gadis lemah tak berdaya? A damsel in distress? Apa Mas lupa kalau aku ini aparat negara?”

“Aku tahu. Aku menghormatimu dan yakin sekali kamu dapat melindungi diri sendiri dengan sangat baik. Tapi janji adalah janji. Anggap saja ada bola batu besar menggelinding ke arahmu, maka aku telah berjanji pada om Tarjo untuk menjadi orang pertama yang berdiri menahan laju kecepatan batu itu. Bukan untuk merendahkan kemampuanmu, tapi untuk menjadi palang pintu penahan supaya kamu dapat memutuskan bagaimana cara terbaik untuk menghindari masalah yang datang mengancam.”

Lampu hijau menyala. Motor kembali berjalan.

Mereka berdua tidak lagi bercakap-cakap sampai kemudian motor itu melalui perempatan toko buku besar, ke selatan menuju ke stadion utara, lalu belok ke kanan – ke arah barisan rumah-rumah lama. Tempat di mana terletak lokasi kediaman Rahu Kala sang Dewa Iblis berada.

“Ini rumahnya,” suara Deka sedikit tercekat saat mereka sampai di tujuan.

“Sepi.” Shinta mencoba menilik suasana rumah dari kejauhan. “Jangankan nyalakan Ki-mu, Mas. Rahu akan dapat mendeteksimu meski jarak kita jauh dan masih ada di luar rumah.”

“Aku tahu.” Deka bahkan sampai berbisik amat perlahan supaya angin yang lembut berhembus pun tak dapat mengantarkan suaranya pada sang Dewa Iblis. Jantung keduanya berdetak lebih kencang dari biasanya. Mereka sudah pernah bertemu Rahu, mereka tahu apa itu artinya memasuki kediamannya. “Apakah om Tarjo belum sampai di sini?”

“Tidak ada tanda-tanda. Aku harap belum.” Shinta menggeleng sambil terus mengamati ke arah jauh. Dari sisi ke sisi rumah itu terlihat tenang dan adem ayem. “Dari luar sepi. Mau memastikan ke dalam? Aku tidak yakin om Tarjo akan menembus rumah ini terang-terangan dari luar. Aku menduga si Om akan tetap licik meskipun sakit.”

Rumah Rahu berada di pengkolan sebuah pertigaan yang teramat sepi. Tidak banyak orang melalui jalanan di sini meski berada di tengah kota. Nuansa era Belanda masih sangat terasa di lokasi ini, kadang menimbulkan aura yang tidak nyaman.

“Kamu siap untuk masuk? Kita harus benar-benar siap sebelum masuk. Harus dipastikan.” Deka turun dari motor. “Ini Rahu yang akan kita hadapi.”

Shinta mengangguk tanpa ragu, dia sudah terlebih dahulu turun dari motor. Dara itu mengetatkan jaket hitam yang ia kenakan. “Aku akan…”

Bledaaaaaaaaaaaaaam!!

Terdengar suara gemuruh dari sisi kiri rumah - sisi yang pagar luarnya berbatasan langsung dengan trotoar jalan. Terlihat sebuah pohon besar yang ada di dalam rumah - pohon yang hanya bisa terlihat pucuknya – tiba-tiba saja tumbang ke dalam. Kediaman Rahu ini memang di sisi-sisinya terdapat pagar beton tinggi mengelilingi bak benteng selain pagar di luar halaman rumah, sehingga tidak terlihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam.

“Po-pohon besar di dalam rumah itu tumbang.” Deka terbelalak. “Ada dua Ki besar sedang bertarung di sana. Salah satunya adalah tenaga yang sangat-sangat besar. Itu pasti Rahu. Kalau Ki yang terbaca satu lagi lebih lembut dan tenang, itu pasti om Tarjo.”

“Aku tahu.”

Shinta geram menahan keinginan untuk segera melejit dan lari ke sana untuk menyelamatkan om Tarjo dari gempuran Rahu Kala. Dia tahu apa yang dilakukan om Tarjo dan Rahu, tapi menahan diri karena kalau dia ke sana, itu artinya dia menyerahkan diri pada Rahu – bukan itu tujuan om Tarjo melawan Rahu, bukan itu pula alasan kenapa om Tarjo rela berkorban. Dia harus memanfaatkan sebaik-baiknya.

Maafkan aku, Om. Terima kasih. Batin Shinta dalam hati. Dia merasa sangat bersalah sekaligus sangat berterima kasih. Dia tidak ingin membuat perjuangan om Tarjo jadi sia-sia.

Shinta tahu apa yang harus dilakukan. Dia menunjuk ke sebuah arah – sebuah rumah yang sepertinya kosong tanpa ada penghuni. “Rumah yang di sisi kanan itu. Om Tarjo dan Rahu bertempur di sisi kiri rumah jadi kita bisa menyelinap dari sisi kanan. Di sana ada bangunan garasi milik tetangga yang sepertinya juga kosong. Kita bisa naik melalui pagar, dan melompat masuk dari ujung sana.”

Dara jelita itu membuka helm-nya dan meletakkannya di jok motor. “Bagaimana?”

Jantung Deka berdegup dengan kencang.

Shinta mengulurkan tangannya, mencoba menggandeng Deka. “Ikut?”

Deka tersenyum dan mengangguk.





.::..::..::..::.





Amar Barok duduk di tempat yang biasanya digunakan oleh Rao untuk menatap ke arah jalan raya di seberang Universitas Amora Lamat. Saat ini dia sedang berada di Kandang Walet, markas besar DoP. Di belakangnya ada tiga orang yang berdiri dengan gagah. Tiga pemuda yang tergabung dalam kelompok Lima Jari.

Roy, Bian, dan Hageng.

“Cuma kami bertiga?” tanya Bian sembari bertanya-tanya. “Kenapa cuma kami bertiga? Tidak ada anggota Aliansi lain?”

“Hanya Lima Jari ya. Kita tahu Nanto sedang di kampung, tapi Deka?” Roy ikut bertanya.

Hageng terdiam dan menatap Amar Barok dengan tatapan mata tajamnya. Dia sekarang memang tidak banyak bicara. Dia tahu setelah ini Amar pasti akan menjelaskan duduk perkara kenapa sang Panglima memanggil mereka bertiga.

“Maaf. Tapi untuk kasus yang kali ini aku minta kalian untuk tidak memberitahu Deka. Serius, ini permintaan pertamaku secara personal kepada kalian bertiga. Karena jika Deka tahu, aku khawatir dia akan gelap mata,” ujar Amar Barok. Wajahnya terlihat tegang, sikapnya gelisah.

Untuk pertama kalinya ketiga sahabat melihat wajah sang Panglima Singa Emas terlihat seperti itu.

“Sepertinya serius. Ada masalah apa?” tanya Roy. “Bukankah saat ini masa vakum bagi Lima Jari dan Aliansi? Sedang ada perang antar kelompok di luar sana dan kita tidak boleh melakukan kegiatan apapun jika ingin tetap eksis. Aku tak bisa berlama-lama, Rania dan Lena sedang butuh perlindungan. Si Durjana sedang kampret-kampretnya.”

“Maaf aku akan merepotkan kalian sekali lagi. Tapi memang permintaan kali ini di luar kebiasaanku, hanya kalian sepertinya yang bisa menolong.” Amar menggosok-gosok wajahnya dengan punggung tangan, ia terlihat putus asa. Lagi-lagi ini adalah untuk pertama kalinya ketiga sahabat menyaksikan perubahan wajah sang pimpinan sementara Aliansi yang terbiasa tenang dan bijak. Apa yang dilakukan Amar seperti out of character. Apa yang sebenarnya terjadi? “Masalah ini terkait Dinda, tunanganku… kalian pernah bertemu dengannya saat pertempuran di bengkelku dulu. Dinda… diculik orang. Aku tak bisa menyelamatkannya karena mereka sudah mengancam – jika sampai mereka melihatku bergerak, maka aku akan mendapatkan mayat Dinda di gardu pandang Kalipenyu.”

Roy, Bian, dan Hageng langsung tahu seberapa serius permasalahan yang dihadapi.

“Aku tidak ingin Deka tahu karena Dinda adalah sahabat masa kecilnya. Kalau Deka sampai tahu, dia akan gelap mata dan menyerang membabi-buta,” Amar menghela napas, “Ini memang salahku. Aku lengah melindunginya. Seharusnya aku mengantarkannya pulang ke kota sebelah, tapi malah sibuk dengan urusan-urusan remeh Aliansi. Aku membiarkannya berangkat sendiri ke stasiun kereta dan ternyata dia sudah diikuti oleh orang-orang yang berniat jahat.”

“Siapa yang menculiknya? Di mana posisinya?” tanya Roy kembali.

“Penculiknya adalah Rama si oportunis, anggota tim Garangan yang aku yakin merupakan anggota korup. Dia mengancamku untuk melakukan semua perintah-perintahnya – termasuk ketika menjadi pimpinan Aliansi,” kata Amar sembari menatap satu persatu wajah anggota Lima Jari yang terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga ada anggota Tim Garangan yang akan melakukan hal serendah itu. “Rama memaksaku untuk terus menjadi pimpinan Aliansi menggantikan Nanto. Tentu saja dia akan menyetir semua perbuatanku dengan jaminan Dinda.”

Blackmail,” desis Bian geram. “Aku tidak mengira di tubuh Tim Garangan ada juga bekicotnya.”

“Begitulah. Orang ini memang kabar buruk. Aku menduga dia terkait dengan KRAd saat ini. Tapi ini masih spekulasi. Andai saja aku dapat bergerak bebas, aku pasti akan memburunya.”

“Jangan khawatir, Masbro. Katakan saja apa yang bisa kami bantu,” ucap Bian.

“Aku tahu masalah yang berkaitan dengan orang yang kita sayangi seperti ini sangat berat. Baru-baru ini Rania juga kembali diganggu si Durjana dan sampai sekarang aku masih belum bisa menggorok lehernya. Jangan khawatir, Mas Amar. Katakan saja apa yang bisa kami bantu. Aku pasti akan ikut menolong.”

Hageng terdiam, matanya terpejam. Wajahnya menunduk dan ia mengangkat tangannya. Dia ikut.

Amar Barok mengangguk. “Baiklah. Terima kasih kalian semua telah bersedia. Aku akan selalu mengenang jasa-jasa kalian ini dan akan selalu berhutang budi pada kalian seumur hidupku.” Sang Panglima Singa Emas membentangkan sebuah peta di lantai. Kecuali Hageng, semuanya jongkok untuk memperhatikan peta itu. “Ini adalah lokasi yang kucurigai menjadi tempat penyekapan Dinda oleh Rama.”

“Tahu darimana?”

“Dia.” Amar Barok menunjuk ke belakang anggota Lima Jari.

Duduk di atas sebuah tong, adalah Sang Pemakan Bengkuang – Don Bravo – yang tentunya sedang memakan bengkuang. Kalau soal informasi dan menyusup ke kelompok lawan, tidak ada yang lebih handal. Para anggota Lima Jari sepaham, kalau info-nya datang dari Don Bravo, itu artinya informasi sudah valid.

Konnijiwa.” Don Bravo terkekeh-kekeh sembari melambaikan tangan.

“Begitu tahu aku sedang di-blackmail oleh Rama, dia mengkonfrontasiku sehingga aku terpaksa menjelaskan duduk perkaranya. Dia juga yang menyarankan aku untuk menghubungi kalian bertiga. Seperti yang kalian tahu, aku tidak mungkin menggerakkan pasukan Aliansi. Selain bakal membuat Rama bertindak yang aneh-aneh, sudah pasti aksi kita akan menimbulkan reaksi dari JXG atau QZK yang tengah berseteru,” Amar menjelaskan.

“Oke, baiklah kami paham. Kita kembali ke peta,” Roy menunjuk ke peta yang dibentangkan oleh Amar Barok. “Ini seperti di kawasan Jalan Malegang? Dekat dengan Plaza.”

Amar mengangguk dan mulai menjelaskan, “Betul. Aku juga baru tahu rumah penyekapannya. Lokasinya tersembunyi karena dikelilingi oleh ruko-ruko. Jalan masuknya hanya lewat lorong ini. Cukup besar bisa masuk mobil – lokasinya tidak akan salah karena di depan ada gerbang berbentuk gapura non permanen. Jalan utama ini berbentuk L. Begitu masuk dan berbelok kita akan menjumpai halaman rumah utama yang cukup besar, meskipun sebetulnya ini rumah lama. Di samping rumah utama ada kebun dan jalan setapak yang menuju ke kebun belakang. Di sini ada rumah sebelah yang lebih kecil – sepertinya rumah kontrakan, dan di belakang ada dua kamar kos-kosan kosong.”

“Sebentar… sebentar…” Bian menyadari sesuatu, “Ini bukannya rumah yang disebut-sebut angker itu? Apa itu namanya… Rumah Simbah? Yang ada di channel Youtube-nya si siapa itu yang suka nulis buku dan stand up?”

“Betul sekali. Tempat itu sekarang dipakai oleh Rama dan kawanannya. Aku hanya berharap tidak akan ada campur tangan Tim Garangan saat kalian melabrak tempat itu. Ini misi penyelamatan, tidak boleh gagal. Aku berterima kasih sekali kalian bersedia membantu.”

“Tidak masalah,” jawab Roy sembari menepuk pundak Amar Barok, “Kita sesama anggota Aliansi harus saling bantu. Apalagi ini tugas mulia untuk menyelamatkan damsel in distress. Apa ada hal lain yang harus kami ketahui sebelum ke sana?”

“Weladalah. Apa ga denger tadi aku ngomong barusan? Angker lho ini… angker lho… bagian mana dari kata angker yang tidak kalian pahami?” Bian mencoba protes sembari menunjuk-nunjuk ke arah peta. “Yakin kita mau kesini? Angker lho.”

Roy tertawa dan merangkul sang saudara, “mukamu lebih serem dari genderuwo, dab. Yang begituan pasti lebih takut ketemu kamu daripada kamu ketemu dia.”

Wasuuu.”

“Rama punya satu unit pasukan yang ditempatkan untuk menjaga lokasi. Kalau menurut Don Bravo pasukan ini cukup kuat karena direkrut khusus untuk Rama, terbina oleh KRAd, dan jumlahnya lumayan. Itu sebabnya aku sudah mempersiapkan bala bantuan juga untuk kalian, mereka tidak terlibat kelompok manapun jadi aman. Mereka ini sahabat-sahabatku - dulunya mereka anak buahku di Dinasti Baru tapi sekarang sudah mundur dan mencoba hidup normal. Saat aku hubungi, mereka ternyata bersedia membantu.” Amar Barok bertepuk tangan dan dari sebalik ruang muncul lima orang pria beraneka penampilan.

“Aku menyebut mereka tim Samsu sesuai merk rokok kesukaan bersama. Ini mereka: si Fojan, Anang Reji, Rudi Wewor, Mas Dwimo, dan Leo.”

Mereka berdelapan saling bersalaman.

“Mereka berlima akan bertindak sebagai decoy, tugasnya mengalihkan perhatian pasukan Rama dengan menyerbu secara frontal dari depan. Sementara kalian bertiga dari Lima Jari… kalian akan masuk dari sini.” Amar menunjuk ke peta, di posisi dekat kamar kos-kosan. “Di belakang tembok ini ada kebun tanaman hias. Aku pastikan kalian bisa masuk dari kebun itu. Tangga juga akan disiapkan supaya kalian tidak kerepotan memanjat dinding.”

“Begitu ya.” Roy mengelus-elus dagunya dengan jempol, “Apakah Rama tidak akan mengenali mereka berlima? Kalau sampai dia mengenali kelimanya sebagai mantan Dinasti Baru yang artinya berhubungan dengan Mas Amar, bukankah itu berbahaya buat Dinda?”

“Tidak. Mereka berlima ini akan mengenakan atribut ormas Unicorn yang loreng pelangi. Tidak akan ada yang mengenali mereka. Ormas itu memang sering bikin rusuh di kawasan Jalan Malegang jadi alibinya aman.”

Roy, Bian, dan Hageng saling bertatapan, tidak ada pertanyaan lagi dari mereka. Ketiganya mengangguk. Sepertinya Amar sudah mempersiapkan semua rencana.

Roy yang bertanya, “Kapan kita berangkat?”

Amar Barok menarik napas lega.

Dinda… tunggulah sebentar.

Bala bantuan segera datang.





.::..::..::..::.





.:: DI LAIN TEMPAT



Malam seharusnya dingin. Tapi tidak malam itu. Malam itu sangat panas.

Panas bukan karena hawa, tapi karena rasa. Rasa dendam yang membara. Dendam sang Hyena Gila.

Rao tersenyum melihat pergerakan ketiga lawannya. Bukan karena dia kagum pada kekompakan gerak ketiga lawannya yang memang seirama, tapi karena dia puas melihat dengan siapa dia berhadapan. Baru saja pulang ke kota dia ternyata ketiban ndaru, bisa langsung berhadapan dengan lawan yang dia cari-cari. Tas plastik berisikan oleh-oleh Gethuk Troy dari kota sebelah diletakkan di trotoar jalan, entah bagaimana nanti jadinya oleh-oleh itu. Tapi yang pasti, ketiga orang di hadapannya akan dia jadikan gethuk.

Tiga Gentho dari Bondomanan.

Tiga Gentho dari Bondomanan sering disingkat menjadi 3GB. Buat sang Hyena Gila, itu artinya mereka adalah tiga target utama yang harus di-gangbang. Tiga bajingan bangsat yang kemana-mana jalan bertiga seperti kontol dengan dua bijinya. Trio telek lenchung yang sejak jaman sepur lempung selalu jadi andalan PSG dan sekarang menjadi salah satu pilar KRAd.

Akhirnya dia bisa kembali berhadapan dengan mereka. Sang Hyena Gila menyeka bibirnya dengan punggung tangan, ini bakal jadi sesuatu yang menggemaskan. Ini akan jadi sangat menarik.

Mereka bertigalah yang dulu menjadi awal dari akhir semua kisah indahnya. Semua harapan hidupnya pupus ketika mereka menculik sang kekasih untuk diserahkan pada sang lawan utama. Merekalah yang menghancurkan jiwa dan hatinya. Ketika sang lawan utama telah tiada, mungkin ini saatnya dia bisa menyelesaikan dendam. Saat ini dia berhak menyebut mereka sebagai musuh bebuyutannya, penyebab segalanya.

Gerakan ketiganya masih sama, masih penuh ancaman, masih penuh aura membunuh.

Bagus.

Rao memang tidak ingin lawan-lawannya itu mengurangi sedikit saja tenaga mereka untuk melawannya. Dia ingin menghadapi ketiganya saat mereka sedang berada di puncak. Dia ingin menuntaskan semuanya, di sini, sekarang, saat ini juga dengan menghadapi kekuatan terhebat mereka. Dengan begitu dia akan lebih puas, bertarung pun lebih semangat.

Pemuda gagah itu tertawa cekikikan. Tawa yang tak menyenangkan bagi yang mendengarnya, tawa seekor binatang pemangsa. Tawa seorang pria yang tak lagi peduli hidup mati. Tujuannya di dunia ini sekarang hanya satu. Membumihanguskan makhluk-makhluk menjijikkan seperti ketiga bangsat yang ada di depannya ini!

“Kekekeke. Maju kalian bertiga. MAJUUU!!”

“Sepertinya kemampuanmu berubah dan bertambah, kami ucapkan selamat padamu. Tapi percuma saja. Kamu salah mengira dengan bertambahnya kemampuanmu akan banyak yang berubah, karena kamu akan tetap kalah,” ucap Udet sembari menyeringai buas. “Bukan hanya kamu saja yang kemampuannya bertambah.”

Tangan sang gentho utama terayun, Grago dan Yosan bergerak bersamaan mengikuti komando.

Udet mengancam Rao, “Kami tidak akan main-main. Kamu yang cari perkara sendiri. Kami sudah pernah membebaskanmu, tapi malah balik lagi. Sekarang no more Mr. Nice Guy! Bisa-bisanya anak kuliahan cari mati berhadapan dengan KRAd! Mau bunuh diri? Kami berikan apa yang kamu cari! Malam ini juga kamu akan menemui ajalmu! Jangan khawatir! Kamu jual? Kami beli!”

Yang mengerikan dari TIga Gentho dari Bondomanan memang bukan hanya kemampuan personal mereka, melainkan bagaimana mereka bertiga mampu menyeimbangkan kemampuan masing-masing dan menggunakan perbedaan mereka tersebut dalam satu orkestra serangan bersama yang seirama. Satu serangan mematikan oleh tiga personel.

Tapi ini bukan pertama kalinya mereka berhadapan. Rao sudah paham siapa mereka, apa saja yang bisa mereka lakukan, dan bagaimana menghadapi mereka. Kali ini dia siap meskipun pertemuan mereka ini cukup mendadak. Dia sudah bisa melihat apa saja kemampuan dari 3GB. Masing-masing dari mereka adalah monster dalam ilmu kanuragan.

Pertama adalah Yosan si gundul yang hobi makan permen karet. Si gundul ini memiliki kemampuan unik untuk mengunci gerakan, mencegah lawan bergerak, sekaligus membuat lawan tak bisa memanfaatkan Ki. Seperti memberikan sugesti yang mampu membuat lawan tak bisa menggerakkan badan atau memanfaatkan Ki. Sekali tepuk di tubuh lawan dan mereka akan terhenti beberapa saat kemudian. Kemampuan ini juga didukung oleh ilmu hitam bermaterikan elemen tanah yang ia kuasai, ilmu yang seakan-akan mampu menjebak lawan dalam satu pasir penghisap. Kombinasi kemampuan sugesti dan ilmu kanuragan unik menjadikan Yosan sebagai salah satu lawan berat yang harus terus menerus diwaspadai tanpa lengah.

Kedua Grago si Tupai Terbang, pria yang memiliki luka di leher dan hanya bisa berbisik saat bicara itu adalah sang eksekutor dan penyerang utama dari 3GB. Si rambut panjang ini mampu melakukan gerakan aerial yang ajaib, mampu melompat tinggi dan turun menyerang dengan efektif, kecepatannya mengerikan, kakinya kejam dalam bertindak, dan sangat sempurna sebagai attacante di garis depan. Dialah yang harus dihadapi Rao secara mano-a-mano. Lebih mengerikannya lagi, Grago mampu membaca kemampuan lawan dan mencari cara untuk mengantisipasinya, ini berkat ilmu kanuragan Mata Dewa yang dia kuasai.

Tentu saja yang terakhir adalah si rambut mohawk Udet yang merupakan pimpinan 3GB. Dia adalah pria yang licik dan manipulatif, mampu mengatur pergerakan kawan-kawannya supaya efektif dan efisien, tidak menguras terlampau banyak tenaga namun mampu menghancurkan lawan dengan kecepatan dan ketepatan dahsyat. Barisan kemampuan yang mengerikan dari Udet antara lain adalah jurus tangan kosongnya dan satu ilmu kanuragan yang menjadi andalan sang pimpinan 3GB: Udet punya kemampuan mengerikan peninggalan Joko Gunar, Hikmat Penyesap Prana.

Rao memindai situasi. Berhadapan dengan 3GB adalah momen yang bagus untuk mencoba kemampuannya yang sudah upgrade sekaligus membalas dendam. Dia sangat kesal Joko Gunar sudah mati sehingga tidak bisa dia hancurkan pria bedebah itu dengan kedua tangannya sendiri. Tapi untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Joko Gunar sudah tewas. Sebagai gantinya, ketiga bedebah busuk ini akan menjadi lawan yang setimpal untuk melampiaskan dendamnya.

Rao maju dengan langkah kaki tegap. Tidak ada gentar sedikitpun, dia bahkan tidak mengambil ancang-ancang apapun seandainya menggunakan tenaga dalam. Tapi bagi mereka yang bisa membaca kekuatan Ki, sejak dulu Rao adalah satu dari sekian banyak orang yang memiliki power mengagumkan dan dijuluki manusia baterai, karena memiliki cadangan tenaga dalam yang besar.

Seringai Rao membuat ketiga lawan mundur perlahan. Mereka masih meraba-raba kekuatan baru sang Hyena Gila. Tidak ingin gegabah melahap mangsa, Udet meminta Grago mengitari Rao dengan kecepatannya – sekaligus untuk memindai kekuatan Rao. Udet juga meminta anak buah mereka yang berjumlah belasan untuk mengepung Rao dan ketiga anggota DoP dari segala penjuru.

Jo, Bondan, dan Surya saling berpandangan. Apakah mereka akan diam saja melihat Rao akan melawan KRAd seorang diri?

“Aku tidak tahu dengan kalian, tapi aku tidak akan membiarkan Pimpinan bertarung sendirian,” kata Jo pada Surya dan Bondan sembari mencoba bangkit meski kesakitan. Jo menganggukkan kepalanya ke arah Rao. “Dulu aku bukan siapa-siapa, tapi sekarang aku telah diberikan kepercayaan oleh Pimpinan sebagai Kapten DoP, jabatan yang bukan main-main bagiku. Jadi aku akan bertindak sesuai jabatan yang diberikan. Jiwa dan darahku DoP. Kemanapun pria itu melangkah menghadapi lawan, aku akan mengikutinya ke medan perang.”

Bondan tersenyum, sang petinju itu ikut bangkit dan mempersiapkan kepalannya. “Akhirnya kamu membuktikan kalau kamu layak jadi kapten, Jo. Aku setuju denganmu. Aku juga akan mengikuti Rao dan selalu mendukungnya, bahkan ke neraka sekalipun.”

Surya melengos. “Lebay. Hiperbola. Mau mati kok ajak-ajak.”

Bondan mengangkat jempolnya, tidak masalah jika Surya tidak ikut. Kondisi mereka bertiga memang sudah parah karena dihajar pasukan KRAd tadi. Bisa jadi apa yang akan mereka lakukan tidak lebih dari sekedar mengantarkan nyawa. Menghindar dari pertarungan bisa jadi pilihan tepat untuk menikmati hidup lebih lama. “Kamu tidak ikut, Dab? Tidak apa-apa. Sekali ini kami maklumi. Cari tempat sembunyi yang aman. KRAd memang lawan yang…”

“Bah! Siapa pula yang mau sembunyi!?” Surya juga berdiri dengan susah payah. Ia kesal karena Bondan salah sangka. “Dengan kemampuanku yang sekarang, aku mungkin tidak akan pernah bisa mengikuti Rao kemana dia akan pergi, dan hanya akan merepotkannya saja. Tapi demi apa aku akan meninggalkan kalian berdua. Kita bertiga duduk di kapal yang sama, berlayar bersama, tenggelam juga harus bersama.”

Jo dan Bondan saling berpandangan, lalu sama-sama menganggukkan kepala pada Surya. Benar sekali. Awalnya mereka bertiga hanyalah anggota DoP rendahan, lalu berjuang bersama dari bawah, dan akhirnya berdiri sama pantas sebagai kapten DoP – juga bersama.

Dikepung oleh belasan anggota KRAd jelas bukan perkara mudah bagi ketiga kapten DoP – mungkin mereka akan mati hari ini. Tapi tidak ada kawan lain yang bisa mereka percaya dan mereka anggap paling pantas berdiri di samping mereka, selain masing-masing dari mereka bertiga. Naik ke kapal bersama, berlayar bersama, tenggelam bersama.

Saat Rao melangkah maju – Jo, Bondan, dan Surya yang sudah remuk redam berjalan tertatih di belakangnya. Bukan untuk menjadi beban, tapi untuk membuktikan bahwa DoP masih pantas dihormati sebagai salah satu geng kampus legendaris, bukan hanya sebagai anakan dari Aliansi.

Udet, Grago, dan Yosan bersiap. Mereka menyebar ke tiga posisi sejajar. Masing-masing mengincar Rao sebagai target utama. Posisi Rao dan ketiga Kapten DoP terkepung oleh belasan anggota KRAd yang membentuk lingkaran. Sebelum Rao berkata apa-apa, Jo dan kedua kawannya mendahului langkah sang junjungan dan berdiri di depan sang Hyena Gila.

“Pimpinan pasti hendak mengincar ketiga bedebah 3GB dari KRAd di depan sana. Tugas kita adalah membuka jalur untuknya. Bahkan jika itu harus diperoleh dengan menyerahkan nyawa,” kata Jo dengan tegas. Langkahnya diikuti oleh Bondan dan Surya.

Rao tentu saja tertegun melihat ketiga anak buahnya bertindak nekat. “Apa yang kalian lakukan?” tanya sang Hyena Gila. “Kalian sedang terluka. Sebaiknya istirahat saja. Tenanglah, aku tidak apa-apa.”

“Maaf pimpinan,” Jo menengok ke arah Rao dan tersenyum, “Terima kasih sudah menyelamatkan kami. Tapi rasa-rasanya kami juga tidak akan bisa tinggal diam begitu saja membiarkan Pimpinan bertarung sendiri. Tugas kami adalah melayani Pimpinan, bukan dilayani. Tugas kami adalah untuk membuka jalan bagi pimpinan, bukan sebaliknya. Jadi jangan khawatir. Kami yang akan membukanya, tugas Pimpinan berikutnya hanya satu. Hajar ketiga bajingan itu sampai mampus.”

Beberapa orang KRAd melangkah maju. “Hajar mereka! Mereka sudah sempoyongan! Bunuh Rao!”

Jo mendengus kesal, “Bajilak!!! Jogo omonganmu su. Ra rumongso! Kegedhen empyak kurang cagak. Mau melawan pimpinan kami? Ra pantes kowe su! Tidak semudah itu! Lewati kami dulu! Tidak ada seorang pun di antara kalian keturunan kecoak mars yang pantas bertarung dengan pimpinan kami!! Kalian bahkan tidak layak berdiri sejajar dengannya! Ra pantes! Orang-orang seperti kalian yang hobinya menjilat ketiak Jenggo mending pulang saja! Daripada maju tapi nantinya bakal terkencing-kencing.”

Orang-orang KRAd itu jelas marah. Mereka berteriak kencang, bersiap untuk menyerang.

“Woryaaaaaaaaaaaaaaa!!” Surya ikut berteriak sembari berlari menerjang.

Begitu Surya maju, tiga anggota KRAd roboh terkena terjangannya. Tapi kondisi itu tentu hanya sementara. Pemuda dari DoP itu langsung dikeroyok oleh enam orang sekaligus. Tapi bukan Kapten DoP namanya kalau begitu saja sudah tumbang. Meski badan sudah remuk redam, tapi Surya tetap bondo nekat. Adu pukulan pun terjadi begitu saja. Jo dan Bondan menyusul Surya. Perang pecah antara ketiga anggota DoP dan KRAd. Masyarakat yang tadinya ramai mengelilingi pertengkaran antara kedua kelompok akhirnya kabur dan menyebar karena takut kena imbasnya.

Membagi masing-masing melawan tiga hingga lima orang sekaligus – Jo, Bondan, dan Surya sebenarnya kewalahan. Tapi demi apa mereka akan menyerah! Dipukul jatuh, bangkit, pukul, jatuh, bangkit, pukul, pukul, jatuh, bangkit, pukul, jatuh, bangkit! Bangkit!! Bangkiiiit!! Bangkiiiiiit!!! Teruuuuusss!! Gempur semuanyaaaaa!!

Perlawanan mati-matian ketiga kapten DoP berhasil membuka jalan bagi Rao untuk menyeberangi kerumunan dan melangkah menuju Tiga Gentho dari Bondomanan. Begitu sang Hyena Gila berhadapan langsung dengan 3GB, Udet langsung menganggukkan kepala pada Grago dan Yosan.

Ketiganya bergerak bersamaan, menjalankan strategi seperti yang sudah-sudah. Sesuatu yang sudah dibaca dan diperkirakan oleh Rao. Sang Hyena Gila tersenyum. Mereka ini bodoh atau apa? Mengapa menggunakan pergerakan yang sama saat melawannya? Mereka pikir strategi ini masih efektif?

Pertama, Yosan akan menjebaknya.

Tebakannya benar, Yosan mengambil ancang-ancang lalu meluruskan kedua lengan ke depan dengan telapak tangan dibuka lebar-lebar. Ia berkomat-kamit membaca mantra. Tatapannya penuh kebencian pada si Hyena Gila.

Rao berjalan lalu terhenti. Wajahnya menunjukkan kebingungan. Ia seperti tidak bisa menggerakkan tubuh, semua persendian kaku dan lemas, semua tenaga yang sudah dihimpun hilang tak berbekas, tak muncul meski dipaksakan. Padahal dia sudah hapal betul rumusnya.

Pertama, Yosan akan menjebaknya.

Kedua. Setelah lawan terkunci, Udet dan Grago bergerak bersamaan. Udet dari bawah, Grago dari atas.

Bukankah seharusnya dia paham taktik mereka? Kenapa justru terjebak!? Rao kebingungan karena tak dapat menyalakan Ki-nya – itu artinya dia menjadi sasaran empuk. Saat itulah kedua anggota 3GB maju menyerang bersamaan. Grago berlari bagaikan peluru kendali, meloncat, dan meluncur ke arah Rao dengan kecepatan tinggi.

Pada saat bersamaan Udet bergerak tanpa terlihat, berlari secara stealth, mencoba menjadi musuh tak terduga yang bisa menyelinap. Entah sudah upgrade kemampuan apaan tahu tapi Rao ternyata masih saja kebingungan dan tidak bisa mengantisipasi gerakan mereka bertiga. Udet tersenyum memahami kondisi Rao, bocah itu mengalami upgrade yang gagal. “Dengan ini kamu habis.”

Tepat di saat kaki Grago turun untuk menjejak kepala Rao, di saat itulah Udet datang untuk mencengkeram sang Hyena Gila dan menyedot tenaganya. Serangan maut dari 3GB adalah kombinasi dari sang pemindai, sang penjebak, dan sang penghisap. Tiga orang dengan kekuatan mengerikan bergabung dalam satu serangan mematikan untuk melakukan gerakan bersama yang teramat efektif dan sudah dilatih ratusan kali.

Mereka menyerang bersamaan di saat yang sudah diperkirakan, yaitu di saat Rao kebingungan.

Efektif.

Tepat sasaran.

Mematikan.

Tapi itu kan menurut mereka.

Rao yang terlihat kebingungan tiba-tiba terdiam, dia mengangkat kepala, menatap ke arah Yosan, menyeringai, dan mengedipkan mata. Yosan yang menyaksikan perubahan wajah sang Hyena Gila dari kejauhan langsung terbelalak. Dia buru-buru memperingatkan kedua kawannya, “Awaaaaaaaaaaasss!! Dia tahuuuuuuuuuuu!!!”

Terlambat.

Rao memutar badan dengan sebagian dada menantang ke atas, Ia mengincar Grago. Rao menarik turun lengannya sedikit, menekuk siku, dan menyiapkan kepalan. Rao melumuri kepalan itu dengan kekuatan Ki yang belum pernah terbaca oleh Grago sebelumnya. Ternyata sejak tadi Rao berpura-pura. Pura-pura bingung, pura-pura tak bisa menyalakan Ki, pura-pura terjebak.

Si Tupai Terbang terbelalak melihat kesigapan sang lawan, tentu saja dia tak bisa menghentikan injakan gandanya ke arah Rao - tapi Ki yang kali ini ditunjukkan oleh sang Hyena… bukan Ki yang biasa-biasa saja! Terpaksa Grago menumpukan seluruh kekuatan pada injakannya!!

Rao meringis, Ia meledakkan pukulannya ke atas, menghadang injakan ganda dua kaki dari si Tupai Terbang. Kepalannya tepat bertemu dengan telapak kaki Grago di udara. Dua gempuran bertemu.

Bledaaaaaaaaaaaaam!!

Hempasan dahsyat menerbangkan Grago yang terpaksa menggunakan pertemuan dua tenaga untuk melakukan salto ke belakang. Kata melakukan salto mungkin tidak tepat, lebih tepatnya dia terlempar ke belakang.

Rao sendiri berdiri tegap seperti tanpa masalah sedikitpun.

Grago mendarat dengan berguling, sungguh tidak disangka kalau Rao bisa memperoleh tenaga Ki sebesar ini dalam waktu singkat setelah mereka hajar sampai hampir mati tempo hari! Preman kampus itu jelas jauh lebih cepat dan lebih powerful. Grago penasaran, bagaimana mungkin Rao bisa menahan tendangannya secara head to head?

Posisi Grago rentan, tapi Rao tak mengejarnya.

Rao bukannya tidak ingin mengejar, dia tidak dapat bergerak untuk mengejar Grago karena ada sesuatu yang menahannya. Pemuda berangasan itu kembali tersenyum. Dia merasakan tenaganya tengah disedot oleh tangan yang mencengkeram pergelangan kakinya. Udet sedang berada di bawah.

“Bagaimana rasanya? Enak tenagaku?” desis Rao. “Lintah!

Udet terbelalak. Seharusnya Rao tidak mengetahui keberadaannya! Seharusnya Yosan mampu menyembunyikan keberadaannya! Buru-buru Udet mundur dan melepaskan cengkeramannya. Tapi gerakannya masih kalah cepat dibandingkan sang lawan. Rao mencengkeram kerah baju Udet.

Sang Hyena Gila menghentakkan kepalanya ke depan!! Dahi bertemu dahi!

Duaaaaakgh!!

Udet mengaduh kencang. Kepalanya terbanting ke belakang! Pusing sekali rasanya! Tapi Rao belum berhenti. Siku tangan Rao ditekuk dan dihantamkan berulang ke pelipis Udet!

Jboookghh! Jboookghh! Jboookghh! Jboookghh! Jboookghh!

Wajah Udet bermandikan darah ketika pelipisnya bocor. Kepalanya terguncang-guncang bagaikan boneka mampang. Rao lantas mengangkat tubuh pimpinan Tiga Gentho itu dengan dua tangan ibarat barbel, dan membantingnya ke aspal!

Jbuuuuuuuuuuuuuuooooommmmmhhhhhhh!!!

Punggung pria berambut mohawk itu berasa remuk ketika dihempaskan ke aspal. Tapi Rao belum berhenti. Dia mencengkeram kerah Udet sekali lagi dengan satu tangan, lalu mengangkatnya lagi, dan kembali membantingnya ke aspal!

Jbuuuuuuuuuuuuuuooooommmmmhhhhhhh!!!

Dua kali rasanya masih kurang. Sekali lagi Rao mengangkat Udet ke atas, dan membantingnya ke aspal!

Jbuuuuuuuuuuuuuuooooommmmmhhhhhhh!!!

Berulangkali Udet berteriak kesakitan, kedua kawannya tidak sempat bertindak karena kejadiannya sangat cepat. Hanya dalam hitungan detik, Udet sudah dibanting ke aspal tiga kali. Grago dan Yosan maju bersamaan untuk menyelamatkan sang Pimpinan 3GB. Rao berkelebat dengan cepat.

Yosan sedang bersiap untuk melepaskan sentakan tenaga jarak jauh ketika tiba-tiba dia merasakan ada kaki yang nangkring di bahunya. Ia melotot! Apa-apaan in… Kaki itu ditarik dan dilontarkan dengan kecepatan tinggi secara berulang – tiap tendangan bagaikan ledakan peluru kendali yang tak terhenti.

Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!!

Tidak sempat berbuat banyak, enam tendangan dari sang Hyena Gila menghajar rahang dan tulang pipi Yosan berulang kali. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Berulangkali kepala sang pengunyah permen karet terlempar ke kiri dan kanan sampai akhirnya tubuh Yosan terbanting ke samping pada tendangan terakhir dari Rao.

Jbbbkgh!!

Tubuh Yosan terbanting ke aspal.

Grago tidak kalah apes. Ketika hendak menyelamatkan Yosan, kaki Grago langsung dihadapi oleh tendangan Rao!

Bkgghhh!

Kaki bertemu kaki! Tendangan bertemu tendangan! Duel pun tercipta tanpa aba-aba. Kaki kiri dan kanan melesat dengan kecepatan tinggi, saling bertukar sepakan dalam badai kecepatan benturan. Sampai akhirnya kaki Rao melesat masuk ke pertahanan Grago.

Grago mundur dua langkah dan mendelik ketika kedua pergelangan tangannya dicengkeram erat oleh Rao, tangan sang Tupai Terbang direnggangkan oleh Rao sehingga bagian tengah tubuhnya terbuka! Sang Hyena Gila melompat dan menggunakan tangan Grago sebagai penahan. Derap Tendangan Tanpa Bayangan disarangkan. Kaki Rao bergerak cekatan bagaikan sedang mengayuh pedal sepeda! Semua masuk ke dada Grago tanpa penghalang!!

Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!!

Grago terjungkal dan terguling ke belakang tanpa bisa melawan.

Melihat kawan-kawannya dihempaskan, Udet mencoba menggeliat untuk bangkit. Ia mencoba menyamankan diri di atas aspal meski itu tidak mungkin. Pimpinan 3GB itu mencoba berdiri dengan segenap kekuatan tersisa. Saat ia bisa duduk bertongkat lutut, tiba-tiba saja ada bayangan menutup wajahnya.

Rao membuka telapak tangannya di depan muka Udet yang terbelalak kaget. Kelima jari sang Hyena Gila membentang lebar di depan mata. Rao terkekeh, “Mau hadiah? Hitung sampai lima. Satu…”

Udet menggemeretakkan gigi, “Baji…”

“Lima.” Rao mengedipkan mata, “Hfah.”

Bledaaaaaaaaaaaaam!!

Wajah Udet terpapar sentakan tenaga Ki dahsyat dari Rao. Meski di detik-detik terakhir dia sempat menyilangkan tangan untuk mengurangi daya gempur dari serangan tenaga Ki milik sang Hyena Gila, tapi tak urung tubuh Udet melesat mundur jauh enam meter ke belakang karena terhentak. Dia terguling dan terbanting berkali-kali di aspal sampai akhirnya terhenti karena bantuan dari Yosan. Bajunya robek-robek, kulitnya terkupas, dan darah menetes dari bagian-bagian tubuhnya yang terluka. Ada asap mengepul di lengan Udet tanda dahsyatnya serangan Rao yang barusan.

“Ba-bangsat.” Udet berdiri dibantu oleh Yosan dan Grago, wajah pimpinan 3GB itu menghitam karena hempasan tenaga dari sang Hyena Gila. “Kita kembali gunakan taktik yang sama, pakai variasi Plan B. Dia sudah hapal dengan gerakan kita jika menggunakan Plan A.”

“Siap.” Yosan mulai mengumpulkan tenaga. “Akan kulubangi badannya.”

Grago mengangguk dan melakukan kuda-kuda.

“Kalian sudah paham? Kita mulai dalam hitungan ketiga.”

Plan B adalah variasi serangan dari 3GB. Yosan akan melontarkan pukulan jarak jauh sementara Grago menyerang mendadak dari sisi, bukan lagi dari atas. Udet sendiri akan meloncat dan menyerangnya dari atas secara frontal. Semua dilakukan bersamaan. Begitu serangan itu masuk, Yosan akan mengunci badan lawan.

Udet menghapus darah di wajahnya, “Jangan khawatir, aku pasti bisa menyedot tenaganya sampai habis! Bangsat busuk itu tidak akan…”

Hpppphhhh!

Tangan Rao tiba-tiba saja sudah mencengkeram dan membungkam mulut Udet.

CEPAT SEKALI! KAPAN DIA DATANG!?

Kedatangannya begitu tiba-tiba sehingga mengagetkan para anggota 3GB. Bagaimana mungkin Rao sudah ada di sini? Hanya dalam hitungan detik dia bisa melesat begitu jauh! Tidak hanya kekuatan! Kecepatannya juga meningkat drastis!

“Tumben justru kalian yang terlalu banyak omong,” ucap Rao sambil tersenyum.

Udet meronta-ronta karena mulutnya dicengkeram dengan satu tangan oleh Rao. Kuat sekali! Cengkramannya ini kuat sekali! Bagaimana bisa dia begitu kuat secara tiba-tiba? Udet membalas dengan menancapkan cengkramannya di pergelangan tangan Rao – pemimpin 3GB itu mendelik dan menyedot tenaga Ki dari sang Hyena Gila.

Tenaga itu memang tersedot, tapi seberapa pun tenaganya tersedot tak kunjung membuat Rao lemas! Rao bahkan seperti tidak peduli kalau tenaganya tersedot. Seakan-akan bersikap seperti cuek, kalau mau ambil ya ambil saja. Seberapa besar tenaga dalamnya yang sekarang sampai-sampai dia tidak peduli tenaga dalamnya disedot Udet?

Yosan mencoba membantu Udet.

Hpppppphhhhkkhggg!

Sama saja.

Sebelum Yosan sempat melakukan apapun, Rao tiba-tiba saja sudah mencengkeram leher sang pengunyah permen karet yang langsung sesak napas. Dia meronta-ronta sambil merem-melek kehabisan napas. Dengan kekuatan mentahnya, Yosan mencoba melepaskan tangan Rao. Cara apapun digunakan. Entah itu dengan mencakar, memukul, merobek, apapun. Tapi tidak ada satupun yang sukses melepaskan cengkraman tangan sang Hyena Gila.

Rao merentangkan kedua tangannya. Udet di satu tangan, Yosan di tangan lain.

Udet gagal total, Yosan tidak bisa melepaskan Ki-nya saat panik mendera. Beruntung bagi kedua anggota 3GB itu, mereka masih punya anggota ketiga : Grago.

Melihat kedua kawannya terjebak oleh Rao, Grago berputar dengan cepat, menempatkan posisinya di belakang Rao. Begitu sudah tepat dan tak terlihat, Grago maju dan meloncat, sang Tupai Terbang melemparkan kedua kakinya secara lurus ke arah punggung Rao.

Jbkkkggkghhhhh!!

Sang Hyena Gila terdorong ke depan karena serangan itu. Cengkraman tangannya terlepas, Yosan dan Udet selamat. Saat terjatuh, Yosan masih sempat mengumpulkan sedikit tenaga dalam dan membuka telapak tangannya ke depan!

Jbooooooooooommhh!!

Punggung Rao terpapar serangan sang pembokong. Sang Hyena Gila pun terlempar lebih jauh lagi, menerobos semak-semak di taman yang ada di samping gedung. Dia menghilang dalam kegelapan.

Grago buru-buru membantu kedua temannya berdiri.

Udet geram sekali, dia bertanya kepada Grago, “Bagaimana? Kamu bisa membaca kekuatannya? Sepertinya ada yang berbeda. Dia jauh lebih kuat, lebih cepat, dan lebih percaya diri. Dia seperti tidak peduli kekuatannya kusedot.”

“Kekuatan tak terbaca. Seperti Petarung Kelas A. Tapi belum. Hanya seperti.”

Udet terbelalak. Matanya seperti mau copot dari soketnya. Bagaimana mungkin orang yang kemarin hari sudah mau mati, eh hari ini bisa-bisanya hadir bagaikan seorang jagoan berkemampuan A? Mana bisa begitu? Dia tidak boleh lagi diberi angin. Udet mengatur barisan, “Kita serang lagi! Sekarang!”

“Heheheheh… hehahahahhaha. Wahahahaha! Wahahahahahaha! Hahahha!!” Rao tertawa mengerikan sembari jongkok di atas sebuah pagar. Dia tertawa terbahak-bahak saat menyaksikan 3GB menjadi lebih siaga melihat kemampuannya yang sekarang, padahal sebenarnya dia belum melakukan apa-apa yang berarti. Mulai sekarang mereka bertiga tidak akan pernah lagi meremehkan kemampuannya. Mulai sekarang, mereka akan menganggap Rao sebagai seekor hyena yang buas dan siap memangsa mereka kapan saja! “Wahahahah!! Wahahahahahahahah!!”

Melihat lawan tertawa seperti orang gila, Udet mulai melambaikan tangannya – memberikan pertanda untuk kawan-kawannya supaya segera bergerak, di antaranya termasuk anggota KRAd yang berhasil merobohkan Jo, Surya, dan Bondan yang sudah terkapar tak sadarkan diri. Grago bersiap untuk melesat maju. Yosan kembali memulai aksinya dengan menggerakkan tangan dan mengatur pernapasan - kali ini dia tidak mengunci Rao dari jarak jauh tapi dia mengumpulkan tenaga untuk menembakkan sentakan tenaga dalam, mulutnya berkomat-kamit merapal ilmu kanuragan. Dia menyiapkan sentakan tenaga dalam yang jauh lebih hebat dari sebelumnya.

Sang Hyena Gila tersenyum dan terus melangkah. Sampai posisi yang diperkirakan sudah cukup dekat dengan ketiga lawan, tubuhnya merunduk, kaki ditekuk, tangan dibiarkan terbuka, badan diputar ke samping. Pemuda itu sudah siap kembali dengan kuda-kudanya, Ia menatap tajam ke arah 3GB. Bisikannya bagaikan pertanda maut. “Maju.”

Saat Rao merapal ilmu kanuragannya, saat itulah Grago yang tadinya berlari ke depan paling awal, terlihat terkejut dan membatalkan serangan. Dia melompat mundur saking kagetnya. Dia kembali sejajar di posisi di mana Yosan dan Udet berada, Grago menyeret kedua temannya agar mendekat dan mundur ke belakang bersamanya.

“Jangan. Dihadapi. Sekarang.” Grago menggelengkan kepala. “Berbahaya. Kekuatannya. Berbeda.”

“Haish! Nanggung! Nyoooooh!” Yosan dengan geram melepaskan tenaga dalam yang sejak tadi dipendam. Gempuran tenaga dalam dahsyat melesat dari arah kedua tangannya menuju ke sang Hyena Gila.

Rao bukannya tidak menyadari. Satu tangannya dihunjukkan ke depan, telapak tangan terbuka. Bibirnya sedikit terbuka. “Hfah.”

Boooooooooom!

Benturan tenaga terjadi. Kekuatan dahsyat bertemu di udara. Bagi petarung kelas rendah yang tak dapat melihat Ki, mereka hanya merasakan desakan yang terjadi akibat benturan tenaga luar biasa yang membuat mereka terlempar dari posisi mereka berdiri.

Yosan juga terdesak dan hendak terlempar ke belakang namun ditahan oleh Grago. Sang pengunyah permen karet langsung berdiri tegap kembali.

“Berbahaya,” bisik Grago. “Kekuatan hitam. Tumpuk tiga.”

“Bah! Pantas saja tiba-tiba dia berubah menjadi sangat kuat,” Yosan geram. “Rupanya dia sudah membuang jiwanya demi kekuatan. Kita harus bagaimana sekarang? Bisakah menghadapinya dengan gerakan rutin kita? Aku sudah tidak sabar mengirimnya ke neraka.”

Udet melangkah ke depan. Dia menyingsingkan lengan bajunya hingga sampai ke bahu. “Tidak ada yang akan bisa mengalahkan Tiga Gentho dari Bondomanan semudah itu. Aku tak peduli, bahkan jika dia seorang monster sekalipun. Apa jadinya nama harum kita kalau melawan seorang mahasiswa cecunguk begini saja kalah.”

Yosan mengangguk dan berdiri sejajar dengan Udet. Grago sebenarnya ragu, tapi dia tidak akan meninggalkan kedua sahabat-nya.

“Dalam hitungan ketiga, serbu dengan segenap kekuatan yang kalian punya,” ujar Udet dengan geram. “Bocah itu tidak boleh melihat matahari esok pagi. Hari ini kita tentukan – dia atau kita yang mati.”

Ketiga anggota Tiga Gentho dari Bondomanan berteriak kencang, mereka maju menyergap. Menang atau mati. Malam ini juga.

Rao menyeringai.



BAGIAN 15-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 15-B
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd