Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Kenapa harus dinda euy...
Karakter lemah yg harus jd korban...
Gimana pembalasan amar barok...
Gimana pembalasan si gondes...
Gimana pembalasan pak de wi...
Kita tunggu kisah selanjutnya...
:mantap: :mantap: :mantap:
makasih updatenya om @killertomato ...
selalu ditunggu kelanjutan cerita nya...
Mantap Jiwa...
 
BAGIAN 15-A
SEPARUH NAFAS




Kekhawatiran tidak pernah menghasilkan apa-apa.
Ketika Anda memiliki masalah,
yang terbaik adalah berkonsentrasi untuk mencari solusi,
bukan memikirkan masalah itu sendiri.”

- Thomas D. Willhite





.:: SEKARANG



Ada sebuah cerita.

Tentang seorang pemuda.

Yang karena tergoda hawa nafsu ingin buru-buru berilmu lantas berguru pada seorang yang tak seharusnya dianggap sebagai pengampu. Seorang guru yang telah menjeratnya pada kekelaman, seorang guru yang menjebaknya pada kegelapan, seorang guru yang ia kenal secara kebetulan yang menjerumuskannya ke dalam dunia ilmu hitam. Ilmu kanuragan yang jika sudah dikuasai tak akan bisa dilepaskan – sampai kelak waktu akhir tiba. Seperti sebuah kalimat populer, once you go black, you can never go back.

Beruntung akhirnya sang pemuda bertemu dengan tetua lain. Tetua yang meskipun perilaku dan sifatnya sedikit bengkok, tapi berpikiran lurus dan mengajarkannya bagaimana caranya membersihkan aura gelap secara perlahan. Mengajarkan kepada sang pemuda bagaimana caranya memendam kekelaman dan mengubah alirannya menjadi cahaya yang mapan. Meski tak mungkin menghapusnya secara total tapi setidaknya bisa membimbing sang pemuda untuk berjalan di jalur yang lebih terang. Karena gelap dan terang adalah dua sisi yang sebenarnya seimbang. Tak ada yang satu kalau tidak ada yang lain.

Kisah ini adalah kisah tentang redemption, tentang upaya untuk kembali terang.

Upaya dari seorang pemuda bernama lengkap Dani Kuncoro Hadi. Pemuda yang lebih dikenal dengan nama panggilan Deka, teman-temannya dari Lima Jari sering memanggilnya Gondes, karena di masa SMA dia pernah tampil dengan potongan rambut gondrong ndeso yang nggak banget. Kesalahan sekali-kalinya yang kemudian menjadi aib seumur hidup, sejak saat itu Deka tidak pernah lagi memanjangkan rambutnya.

Tapi masalah Deka kali ini bukan tentang rambut dan jauh lebih serius dari sekedar panggilan Gondes. Saat ini, Deka sedang bingung saat Shinta mendatanginya dengan panik dan kebingungan. Sebenarnya wajar saja karena saat itu Shinta baru tahu kalau om Tarjo yang sedang sakit tenyata malah pergi meninggalkan rumah tanpa kabar.

“Coba jelaskan sekali lagi, Mas. Jelaskan dengan gamblang supaya aku bisa paham. Supaya aku yakin telingaku tidak salah dengar. Katakan dengan jelas supaya aku bisa menerima kabar itu secara logis.” Tatapan Shinta galak menatap Deka. “Karena kalau sampai aku mendengar tentang apa yang tidak ingin aku dengar, maka aku bersumpah akan…”

“Shin, aku minta maaf kalau gara-gara ini kamu jadi berburuk sangka. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa! Beneran ini nggak bohong. Aku benar-benar tidak bisa menahannya! Om Tarjo memang bilang dia akan pergi dan berharap kita dapat memanfaatkan momentum itu untuk menyelamatkan Papa dan Mama kamu. Tapi sebelum aku bisa protes, Om Tarjo menotokku sehingga aku tak bisa bergerak sama sekali. Baru setelah setengah jam berlalu, aku baru bisa tuntas melepaskan diri dari totokannya dan langsung mencarimu. Aku sudah berusaha mencari tapi tidak bisa menemuinya di mana-mana. Om Tarjo sudah pergi.”

Shinta geleng-geleng kepala, dia memandang Deka dengan sorot mata yang tak ingin dilihat oleh si Gondes. “Kemana dia pergi, Mas?”

“Om Tarjo bilang dia akan pergi ke… ke kediaman Rahu.”

“KE KEDI…!?” Shinta hampir berteriak karena kesal, dia berdehem untuk memperbaiki sikapnya, tapi sungguh gadis itu sedang marah. “Hebat. Hebat sekali bukan? Aku tidak salah dengar kan? Aku benar-benar tidak salah dengar? Kamu bilang apa barusan, Mas? Om Tarjo pergi ke kediaman Rahu? KE KEDIAMAN RAHU?”

“Iya… ke…” belum sampai Deka menjawab, Shinta sudah menyambar.

“Itu hal paling gila yang pernah aku dengar! Tidak ada penjelasan logis apapun yang bisa membuatku paham dengan keterangan itu. Bagaimana bisa orang sesakit om Tarjo menotokmu dan kamu biarkan pergi begitu saja? Kamu tahu kan dia sedang sakit? Dengan kondisinya yang sekarang dia hanya akan mengantarkan nyawa! Apa tidak terlintas di pikiranmu untuk menghentikannya, Mas? Kamu tahu sendiri Rahu itu seperti apa! Kita yang sehat saja tidak mungkin melawannya, apalagi om Tarjo! GILAAA!!”

“Oke, oke… aku paham. Kamu sedang panik, kesal, dan memang sudah seharusnya kamu marah padaku. Meskipun sebenarnya AKU DITOTOK dan tidak bisa berbuat apa-apa, tapi tidak mengapa. Timpakan saja semua kesalahan padaku, karena memang aku pantas menerimanya. Hanya saja sekarang kita tidak bisa menyalahkan kenapanya, tidak akan ada juntrungannya. Kita sekarang harus menyusul om Tarjo sebelum terlambat – beliau sudah menjelaskan semua rencananya padaku, dia berharap kita dapat menyelinap masuk ke rumah Rahu dan menyelamatkan kedua orangtuamu di saat om Tarjo berhadapan dengan Rahu.”

“Gila! Bagaimana kalau saat ini juga om Tarjo sudah berhadapan dengan Rahu? Bakal terlambat dan sia-sia belaka! Rencana macam apa itu?”

Deka dan Shinta saat itu sedang berada di rumah sang dara, sebelumnya mereka berdua merawat om Tarjo yang tengah kesakitan dan menderita penyakit fatal yang mungkin akan segera merenggut nyawanya. Tak dinyana tak disangka, sang tetua nan eksentrik, menarik, dan menggelitik itu lenyap tak ketahuan batang hidungnya. Baik hidung yang atas maupun hidung yang bawah.

“Bagaimana ini?” Shinta menepuk dahinya sendiri dengan telapak tangan, lalu menggeleng-geleng kepala dengan bingung. Dara jelita itu lalu mengambil sesuatu dari atas rak buku. Ia melemparkannya kepada Deka. Sebuah kunci. “Siapkan motor. Aku akan bersiap-siap. Kita susul om Tarjo sekarang juga.”

Deka mengangguk.

Tak perlu waktu lama sebelum Deka memacu kendaraan milik Shinta di jalanan raya kota, meliuk-liuk di antara mobil yang berjalan lebih lambat karena arus yang padat melata menjelang malam tiba. Shinta memeluk Deka dari kursi penumpang dan memastikan si Gondes menuju ke arah yang tepat. Om Tarjo hanya dimungkinkan pergi dengan menggunakan ojek atau taksi online. Dia tak akan lebih cepat dari mereka. Shinta hanya berharap mereka tidak datang terlambat dan mendapati om Tarjo sudah meregang nyawa di tangan Rahu.

“Maaf,” kata Shinta saat mereka berdua terpaksa berhenti di sebuah persimpangan jalan. Lampu merah terasa setahun saat itu.

Deka menggelengkan kepala, “Tidak ada yang perlu dimaafkan.”

“Maaf aku menyalahkanmu. Aku tahu om Tarjo pasti sudah berniat pergi sendiri sejak awal, kita tidak akan mampu menghentikannya. Aku melampiaskan kekesalanku sendiri kepadamu, Mas. Itu sebabnya aku minta maaf.”

“Sekali lagi – tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku juga merasa bersalah karena tidak mampu menghentikannya. Untuk ukuran seorang pri… maksudnya wanita yang maaf-maaf saja tidak mungil, dia cukup gede, medeni, dan mengintimidasi. Aku punya Perisai Genta Emas yang seharusnya tidak dapat tertembus dengan mudah. Tapi om Tarjo mampu menotokku dengan mudahnya. Entah bagaimana cara ia melakukannya. Aku berada di ujung batas antara penasaran dan marah karena sebegitu mudah ia lewati.”

“Demi apapun aku akan menyelamatkannya, Mas. Aku akan membawanya pergi dari hadapan Rahu meskipun nyawa taruhannya,” janji Shinta pada dirinya sendiri. “Aku akan…”

“Tidak.”

“Ha?”

“Aku tidak akan membiarkanmu mempertaruhkan nyawa. Aku sudah berjanji pada om Tarjo untuk melindungimu. Aku tidak berniat mengingkari janji pada orang yang telah membantuku meredam ilmu hitamku,” ucap Deka dengan tegas. “Om Tarjo sudah sangat berjasa padaku, jadi sebagai balas budi – aku sudah berjanji akan selalu menjagamu.”

Wajah Shinta memerah, untung saja si Gondes tidak melihatnya karena dara itu menjadi salah tingkah. Dengan sedikit ketus ia menangkis, tanpa disadari pelukannya di pinggang Deka justru sedikit lebih erat, “Jangan ngaco. Aku tidak perlu dilindungi siapapun. Apa kamu pikir aku gadis lemah tak berdaya? A damsel in distress? Apa Mas lupa kalau aku ini aparat negara?”

“Aku tahu. Aku menghormatimu dan yakin sekali kamu dapat melindungi diri sendiri dengan sangat baik. Tapi janji adalah janji. Anggap saja ada bola batu besar menggelinding ke arahmu, maka aku telah berjanji pada om Tarjo untuk menjadi orang pertama yang berdiri menahan laju kecepatan batu itu. Bukan untuk merendahkan kemampuanmu, tapi untuk menjadi palang pintu penahan supaya kamu dapat memutuskan bagaimana cara terbaik untuk menghindari masalah yang datang mengancam.”

Lampu hijau menyala. Motor kembali berjalan.

Mereka berdua tidak lagi bercakap-cakap sampai kemudian motor itu melalui perempatan toko buku besar, ke selatan menuju ke stadion utara, lalu belok ke kanan – ke arah barisan rumah-rumah lama. Tempat di mana terletak lokasi kediaman Rahu Kala sang Dewa Iblis berada.

“Ini rumahnya,” suara Deka sedikit tercekat saat mereka sampai di tujuan.

“Sepi.” Shinta mencoba menilik suasana rumah dari kejauhan. “Jangankan nyalakan Ki-mu, Mas. Rahu akan dapat mendeteksimu meski jarak kita jauh dan masih ada di luar rumah.”

“Aku tahu.” Deka bahkan sampai berbisik amat perlahan supaya angin yang lembut berhembus pun tak dapat mengantarkan suaranya pada sang Dewa Iblis. Jantung keduanya berdetak lebih kencang dari biasanya. Mereka sudah pernah bertemu Rahu, mereka tahu apa itu artinya memasuki kediamannya. “Apakah om Tarjo belum sampai di sini?”

“Tidak ada tanda-tanda. Aku harap belum.” Shinta menggeleng sambil terus mengamati ke arah jauh. Dari sisi ke sisi rumah itu terlihat tenang dan adem ayem. “Dari luar sepi. Mau memastikan ke dalam? Aku tidak yakin om Tarjo akan menembus rumah ini terang-terangan dari luar. Aku menduga si Om akan tetap licik meskipun sakit.”

Rumah Rahu berada di pengkolan sebuah pertigaan yang teramat sepi. Tidak banyak orang melalui jalanan di sini meski berada di tengah kota. Nuansa era Belanda masih sangat terasa di lokasi ini, kadang menimbulkan aura yang tidak nyaman.

“Kamu siap untuk masuk? Kita harus benar-benar siap sebelum masuk. Harus dipastikan.” Deka turun dari motor. “Ini Rahu yang akan kita hadapi.”

Shinta mengangguk tanpa ragu, dia sudah terlebih dahulu turun dari motor. Dara itu mengetatkan jaket hitam yang ia kenakan. “Aku akan…”

Bledaaaaaaaaaaaaaam!!

Terdengar suara gemuruh dari sisi kiri rumah - sisi yang pagar luarnya berbatasan langsung dengan trotoar jalan. Terlihat sebuah pohon besar yang ada di dalam rumah - pohon yang hanya bisa terlihat pucuknya – tiba-tiba saja tumbang ke dalam. Kediaman Rahu ini memang di sisi-sisinya terdapat pagar beton tinggi mengelilingi bak benteng selain pagar di luar halaman rumah, sehingga tidak terlihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam.

“Po-pohon besar di dalam rumah itu tumbang.” Deka terbelalak. “Ada dua Ki besar sedang bertarung di sana. Salah satunya adalah tenaga yang sangat-sangat besar. Itu pasti Rahu. Kalau Ki yang terbaca satu lagi lebih lembut dan tenang, itu pasti om Tarjo.”

“Aku tahu.”

Shinta geram menahan keinginan untuk segera melejit dan lari ke sana untuk menyelamatkan om Tarjo dari gempuran Rahu Kala. Dia tahu apa yang dilakukan om Tarjo dan Rahu, tapi menahan diri karena kalau dia ke sana, itu artinya dia menyerahkan diri pada Rahu – bukan itu tujuan om Tarjo melawan Rahu, bukan itu pula alasan kenapa om Tarjo rela berkorban. Dia harus memanfaatkan sebaik-baiknya.

Maafkan aku, Om. Terima kasih. Batin Shinta dalam hati. Dia merasa sangat bersalah sekaligus sangat berterima kasih. Dia tidak ingin membuat perjuangan om Tarjo jadi sia-sia.

Shinta tahu apa yang harus dilakukan. Dia menunjuk ke sebuah arah – sebuah rumah yang sepertinya kosong tanpa ada penghuni. “Rumah yang di sisi kanan itu. Om Tarjo dan Rahu bertempur di sisi kiri rumah jadi kita bisa menyelinap dari sisi kanan. Di sana ada bangunan garasi milik tetangga yang sepertinya juga kosong. Kita bisa naik melalui pagar, dan melompat masuk dari ujung sana.”

Dara jelita itu membuka helm-nya dan meletakkannya di jok motor. “Bagaimana?”

Jantung Deka berdegup dengan kencang.

Shinta mengulurkan tangannya, mencoba menggandeng Deka. “Ikut?”

Deka tersenyum dan mengangguk.





.::..::..::..::.





Amar Barok duduk di tempat yang biasanya digunakan oleh Rao untuk menatap ke arah jalan raya di seberang Universitas Amora Lamat. Saat ini dia sedang berada di Kandang Walet, markas besar DoP. Di belakangnya ada tiga orang yang berdiri dengan gagah. Tiga pemuda yang tergabung dalam kelompok Lima Jari.

Roy, Bian, dan Hageng.

“Cuma kami bertiga?” tanya Bian sembari bertanya-tanya. “Kenapa cuma kami bertiga? Tidak ada anggota Aliansi lain?”

“Hanya Lima Jari ya. Kita tahu Nanto sedang di kampung, tapi Deka?” Roy ikut bertanya.

Hageng terdiam dan menatap Amar Barok dengan tatapan mata tajamnya. Dia sekarang memang tidak banyak bicara. Dia tahu setelah ini Amar pasti akan menjelaskan duduk perkara kenapa sang Panglima memanggil mereka bertiga.

“Maaf. Tapi untuk kasus yang kali ini aku minta kalian untuk tidak memberitahu Deka. Serius, ini permintaan pertamaku secara personal kepada kalian bertiga. Karena jika Deka tahu, aku khawatir dia akan gelap mata,” ujar Amar Barok. Wajahnya terlihat tegang, sikapnya gelisah.

Untuk pertama kalinya ketiga sahabat melihat wajah sang Panglima Singa Emas terlihat seperti itu.

“Sepertinya serius. Ada masalah apa?” tanya Roy. “Bukankah saat ini masa vakum bagi Lima Jari dan Aliansi? Sedang ada perang antar kelompok di luar sana dan kita tidak boleh melakukan kegiatan apapun jika ingin tetap eksis. Aku tak bisa berlama-lama, Rania dan Lena sedang butuh perlindungan. Si Durjana sedang kampret-kampretnya.”

“Maaf aku akan merepotkan kalian sekali lagi. Tapi memang permintaan kali ini di luar kebiasaanku, hanya kalian sepertinya yang bisa menolong.” Amar menggosok-gosok wajahnya dengan punggung tangan, ia terlihat putus asa. Lagi-lagi ini adalah untuk pertama kalinya ketiga sahabat menyaksikan perubahan wajah sang pimpinan sementara Aliansi yang terbiasa tenang dan bijak. Apa yang dilakukan Amar seperti out of character. Apa yang sebenarnya terjadi? “Masalah ini terkait Dinda, tunanganku… kalian pernah bertemu dengannya saat pertempuran di bengkelku dulu. Dinda… diculik orang. Aku tak bisa menyelamatkannya karena mereka sudah mengancam – jika sampai mereka melihatku bergerak, maka aku akan mendapatkan mayat Dinda di gardu pandang Kalipenyu.”

Roy, Bian, dan Hageng langsung tahu seberapa serius permasalahan yang dihadapi.

“Aku tidak ingin Deka tahu karena Dinda adalah sahabat masa kecilnya. Kalau Deka sampai tahu, dia akan gelap mata dan menyerang membabi-buta,” Amar menghela napas, “Ini memang salahku. Aku lengah melindunginya. Seharusnya aku mengantarkannya pulang ke kota sebelah, tapi malah sibuk dengan urusan-urusan remeh Aliansi. Aku membiarkannya berangkat sendiri ke stasiun kereta dan ternyata dia sudah diikuti oleh orang-orang yang berniat jahat.”

“Siapa yang menculiknya? Di mana posisinya?” tanya Roy kembali.

“Penculiknya adalah Rama si oportunis, anggota tim Garangan yang aku yakin merupakan anggota korup. Dia mengancamku untuk melakukan semua perintah-perintahnya – termasuk ketika menjadi pimpinan Aliansi,” kata Amar sembari menatap satu persatu wajah anggota Lima Jari yang terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga ada anggota Tim Garangan yang akan melakukan hal serendah itu. “Rama memaksaku untuk terus menjadi pimpinan Aliansi menggantikan Nanto. Tentu saja dia akan menyetir semua perbuatanku dengan jaminan Dinda.”

Blackmail,” desis Bian geram. “Aku tidak mengira di tubuh Tim Garangan ada juga bekicotnya.”

“Begitulah. Orang ini memang kabar buruk. Aku menduga dia terkait dengan KRAd saat ini. Tapi ini masih spekulasi. Andai saja aku dapat bergerak bebas, aku pasti akan memburunya.”

“Jangan khawatir, Masbro. Katakan saja apa yang bisa kami bantu,” ucap Bian.

“Aku tahu masalah yang berkaitan dengan orang yang kita sayangi seperti ini sangat berat. Baru-baru ini Rania juga kembali diganggu si Durjana dan sampai sekarang aku masih belum bisa menggorok lehernya. Jangan khawatir, Mas Amar. Katakan saja apa yang bisa kami bantu. Aku pasti akan ikut menolong.”

Hageng terdiam, matanya terpejam. Wajahnya menunduk dan ia mengangkat tangannya. Dia ikut.

Amar Barok mengangguk. “Baiklah. Terima kasih kalian semua telah bersedia. Aku akan selalu mengenang jasa-jasa kalian ini dan akan selalu berhutang budi pada kalian seumur hidupku.” Sang Panglima Singa Emas membentangkan sebuah peta di lantai. Kecuali Hageng, semuanya jongkok untuk memperhatikan peta itu. “Ini adalah lokasi yang kucurigai menjadi tempat penyekapan Dinda oleh Rama.”

“Tahu darimana?”

“Dia.” Amar Barok menunjuk ke belakang anggota Lima Jari.

Duduk di atas sebuah tong, adalah Sang Pemakan Bengkuang – Don Bravo – yang tentunya sedang memakan bengkuang. Kalau soal informasi dan menyusup ke kelompok lawan, tidak ada yang lebih handal. Para anggota Lima Jari sepaham, kalau info-nya datang dari Don Bravo, itu artinya informasi sudah valid.

Konnijiwa.” Don Bravo terkekeh-kekeh sembari melambaikan tangan.

“Begitu tahu aku sedang di-blackmail oleh Rama, dia mengkonfrontasiku sehingga aku terpaksa menjelaskan duduk perkaranya. Dia juga yang menyarankan aku untuk menghubungi kalian bertiga. Seperti yang kalian tahu, aku tidak mungkin menggerakkan pasukan Aliansi. Selain bakal membuat Rama bertindak yang aneh-aneh, sudah pasti aksi kita akan menimbulkan reaksi dari JXG atau QZK yang tengah berseteru,” Amar menjelaskan.

“Oke, baiklah kami paham. Kita kembali ke peta,” Roy menunjuk ke peta yang dibentangkan oleh Amar Barok. “Ini seperti di kawasan Jalan Malegang? Dekat dengan Plaza.”

Amar mengangguk dan mulai menjelaskan, “Betul. Aku juga baru tahu rumah penyekapannya. Lokasinya tersembunyi karena dikelilingi oleh ruko-ruko. Jalan masuknya hanya lewat lorong ini. Cukup besar bisa masuk mobil – lokasinya tidak akan salah karena di depan ada gerbang berbentuk gapura non permanen. Jalan utama ini berbentuk L. Begitu masuk dan berbelok kita akan menjumpai halaman rumah utama yang cukup besar, meskipun sebetulnya ini rumah lama. Di samping rumah utama ada kebun dan jalan setapak yang menuju ke kebun belakang. Di sini ada rumah sebelah yang lebih kecil – sepertinya rumah kontrakan, dan di belakang ada dua kamar kos-kosan kosong.”

“Sebentar… sebentar…” Bian menyadari sesuatu, “Ini bukannya rumah yang disebut-sebut angker itu? Apa itu namanya… Rumah Simbah? Yang ada di channel Youtube-nya si siapa itu yang suka nulis buku dan stand up?”

“Betul sekali. Tempat itu sekarang dipakai oleh Rama dan kawanannya. Aku hanya berharap tidak akan ada campur tangan Tim Garangan saat kalian melabrak tempat itu. Ini misi penyelamatan, tidak boleh gagal. Aku berterima kasih sekali kalian bersedia membantu.”

“Tidak masalah,” jawab Roy sembari menepuk pundak Amar Barok, “Kita sesama anggota Aliansi harus saling bantu. Apalagi ini tugas mulia untuk menyelamatkan damsel in distress. Apa ada hal lain yang harus kami ketahui sebelum ke sana?”

“Weladalah. Apa ga denger tadi aku ngomong barusan? Angker lho ini… angker lho… bagian mana dari kata angker yang tidak kalian pahami?” Bian mencoba protes sembari menunjuk-nunjuk ke arah peta. “Yakin kita mau kesini? Angker lho.”

Roy tertawa dan merangkul sang saudara, “mukamu lebih serem dari genderuwo, dab. Yang begituan pasti lebih takut ketemu kamu daripada kamu ketemu dia.”

Wasuuu.”

“Rama punya satu unit pasukan yang ditempatkan untuk menjaga lokasi. Kalau menurut Don Bravo pasukan ini cukup kuat karena direkrut khusus untuk Rama, terbina oleh KRAd, dan jumlahnya lumayan. Itu sebabnya aku sudah mempersiapkan bala bantuan juga untuk kalian, mereka tidak terlibat kelompok manapun jadi aman. Mereka ini sahabat-sahabatku - dulunya mereka anak buahku di Dinasti Baru tapi sekarang sudah mundur dan mencoba hidup normal. Saat aku hubungi, mereka ternyata bersedia membantu.” Amar Barok bertepuk tangan dan dari sebalik ruang muncul lima orang pria beraneka penampilan.

“Aku menyebut mereka tim Samsu sesuai merk rokok kesukaan bersama. Ini mereka: si Fojan, Anang Reji, Rudi Wewor, Mas Dwimo, dan Leo.”

Mereka berdelapan saling bersalaman.

“Mereka berlima akan bertindak sebagai decoy, tugasnya mengalihkan perhatian pasukan Rama dengan menyerbu secara frontal dari depan. Sementara kalian bertiga dari Lima Jari… kalian akan masuk dari sini.” Amar menunjuk ke peta, di posisi dekat kamar kos-kosan. “Di belakang tembok ini ada kebun tanaman hias. Aku pastikan kalian bisa masuk dari kebun itu. Tangga juga akan disiapkan supaya kalian tidak kerepotan memanjat dinding.”

“Begitu ya.” Roy mengelus-elus dagunya dengan jempol, “Apakah Rama tidak akan mengenali mereka berlima? Kalau sampai dia mengenali kelimanya sebagai mantan Dinasti Baru yang artinya berhubungan dengan Mas Amar, bukankah itu berbahaya buat Dinda?”

“Tidak. Mereka berlima ini akan mengenakan atribut ormas Unicorn yang loreng pelangi. Tidak akan ada yang mengenali mereka. Ormas itu memang sering bikin rusuh di kawasan Jalan Malegang jadi alibinya aman.”

Roy, Bian, dan Hageng saling bertatapan, tidak ada pertanyaan lagi dari mereka. Ketiganya mengangguk. Sepertinya Amar sudah mempersiapkan semua rencana.

Roy yang bertanya, “Kapan kita berangkat?”

Amar Barok menarik napas lega.

Dinda… tunggulah sebentar.

Bala bantuan segera datang.





.::..::..::..::.





.:: DI LAIN TEMPAT



Malam seharusnya dingin. Tapi tidak malam itu. Malam itu sangat panas.

Panas bukan karena hawa, tapi karena rasa. Rasa dendam yang membara. Dendam sang Hyena Gila.

Rao tersenyum melihat pergerakan ketiga lawannya. Bukan karena dia kagum pada kekompakan gerak ketiga lawannya yang memang seirama, tapi karena dia puas melihat dengan siapa dia berhadapan. Baru saja pulang ke kota dia ternyata ketiban ndaru, bisa langsung berhadapan dengan lawan yang dia cari-cari. Tas plastik berisikan oleh-oleh Gethuk Troy dari kota sebelah diletakkan di trotoar jalan, entah bagaimana nanti jadinya oleh-oleh itu. Tapi yang pasti, ketiga orang di hadapannya akan dia jadikan gethuk.

Tiga Gentho dari Bondomanan.

Tiga Gentho dari Bondomanan sering disingkat menjadi 3GB. Buat sang Hyena Gila, itu artinya mereka adalah tiga target utama yang harus di-gangbang. Tiga bajingan bangsat yang kemana-mana jalan bertiga seperti kontol dengan dua bijinya. Trio telek lenchung yang sejak jaman sepur lempung selalu jadi andalan PSG dan sekarang menjadi salah satu pilar KRAd.

Akhirnya dia bisa kembali berhadapan dengan mereka. Sang Hyena Gila menyeka bibirnya dengan punggung tangan, ini bakal jadi sesuatu yang menggemaskan. Ini akan jadi sangat menarik.

Mereka bertigalah yang dulu menjadi awal dari akhir semua kisah indahnya. Semua harapan hidupnya pupus ketika mereka menculik sang kekasih untuk diserahkan pada sang lawan utama. Merekalah yang menghancurkan jiwa dan hatinya. Ketika sang lawan utama telah tiada, mungkin ini saatnya dia bisa menyelesaikan dendam. Saat ini dia berhak menyebut mereka sebagai musuh bebuyutannya, penyebab segalanya.

Gerakan ketiganya masih sama, masih penuh ancaman, masih penuh aura membunuh.

Bagus.

Rao memang tidak ingin lawan-lawannya itu mengurangi sedikit saja tenaga mereka untuk melawannya. Dia ingin menghadapi ketiganya saat mereka sedang berada di puncak. Dia ingin menuntaskan semuanya, di sini, sekarang, saat ini juga dengan menghadapi kekuatan terhebat mereka. Dengan begitu dia akan lebih puas, bertarung pun lebih semangat.

Pemuda gagah itu tertawa cekikikan. Tawa yang tak menyenangkan bagi yang mendengarnya, tawa seekor binatang pemangsa. Tawa seorang pria yang tak lagi peduli hidup mati. Tujuannya di dunia ini sekarang hanya satu. Membumihanguskan makhluk-makhluk menjijikkan seperti ketiga bangsat yang ada di depannya ini!

“Kekekeke. Maju kalian bertiga. MAJUUU!!”

“Sepertinya kemampuanmu berubah dan bertambah, kami ucapkan selamat padamu. Tapi percuma saja. Kamu salah mengira dengan bertambahnya kemampuanmu akan banyak yang berubah, karena kamu akan tetap kalah,” ucap Udet sembari menyeringai buas. “Bukan hanya kamu saja yang kemampuannya bertambah.”

Tangan sang gentho utama terayun, Grago dan Yosan bergerak bersamaan mengikuti komando.

Udet mengancam Rao, “Kami tidak akan main-main. Kamu yang cari perkara sendiri. Kami sudah pernah membebaskanmu, tapi malah balik lagi. Sekarang no more Mr. Nice Guy! Bisa-bisanya anak kuliahan cari mati berhadapan dengan KRAd! Mau bunuh diri? Kami berikan apa yang kamu cari! Malam ini juga kamu akan menemui ajalmu! Jangan khawatir! Kamu jual? Kami beli!”

Yang mengerikan dari TIga Gentho dari Bondomanan memang bukan hanya kemampuan personal mereka, melainkan bagaimana mereka bertiga mampu menyeimbangkan kemampuan masing-masing dan menggunakan perbedaan mereka tersebut dalam satu orkestra serangan bersama yang seirama. Satu serangan mematikan oleh tiga personel.

Tapi ini bukan pertama kalinya mereka berhadapan. Rao sudah paham siapa mereka, apa saja yang bisa mereka lakukan, dan bagaimana menghadapi mereka. Kali ini dia siap meskipun pertemuan mereka ini cukup mendadak. Dia sudah bisa melihat apa saja kemampuan dari 3GB. Masing-masing dari mereka adalah monster dalam ilmu kanuragan.

Pertama adalah Yosan si gundul yang hobi makan permen karet. Si gundul ini memiliki kemampuan unik untuk mengunci gerakan, mencegah lawan bergerak, sekaligus membuat lawan tak bisa memanfaatkan Ki. Seperti memberikan sugesti yang mampu membuat lawan tak bisa menggerakkan badan atau memanfaatkan Ki. Sekali tepuk di tubuh lawan dan mereka akan terhenti beberapa saat kemudian. Kemampuan ini juga didukung oleh ilmu hitam bermaterikan elemen tanah yang ia kuasai, ilmu yang seakan-akan mampu menjebak lawan dalam satu pasir penghisap. Kombinasi kemampuan sugesti dan ilmu kanuragan unik menjadikan Yosan sebagai salah satu lawan berat yang harus terus menerus diwaspadai tanpa lengah.

Kedua Grago si Tupai Terbang, pria yang memiliki luka di leher dan hanya bisa berbisik saat bicara itu adalah sang eksekutor dan penyerang utama dari 3GB. Si rambut panjang ini mampu melakukan gerakan aerial yang ajaib, mampu melompat tinggi dan turun menyerang dengan efektif, kecepatannya mengerikan, kakinya kejam dalam bertindak, dan sangat sempurna sebagai attacante di garis depan. Dialah yang harus dihadapi Rao secara mano-a-mano. Lebih mengerikannya lagi, Grago mampu membaca kemampuan lawan dan mencari cara untuk mengantisipasinya, ini berkat ilmu kanuragan Mata Dewa yang dia kuasai.

Tentu saja yang terakhir adalah si rambut mohawk Udet yang merupakan pimpinan 3GB. Dia adalah pria yang licik dan manipulatif, mampu mengatur pergerakan kawan-kawannya supaya efektif dan efisien, tidak menguras terlampau banyak tenaga namun mampu menghancurkan lawan dengan kecepatan dan ketepatan dahsyat. Barisan kemampuan yang mengerikan dari Udet antara lain adalah jurus tangan kosongnya dan satu ilmu kanuragan yang menjadi andalan sang pimpinan 3GB: Udet punya kemampuan mengerikan peninggalan Joko Gunar, Hikmat Penyesap Prana.

Rao memindai situasi. Berhadapan dengan 3GB adalah momen yang bagus untuk mencoba kemampuannya yang sudah upgrade sekaligus membalas dendam. Dia sangat kesal Joko Gunar sudah mati sehingga tidak bisa dia hancurkan pria bedebah itu dengan kedua tangannya sendiri. Tapi untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Joko Gunar sudah tewas. Sebagai gantinya, ketiga bedebah busuk ini akan menjadi lawan yang setimpal untuk melampiaskan dendamnya.

Rao maju dengan langkah kaki tegap. Tidak ada gentar sedikitpun, dia bahkan tidak mengambil ancang-ancang apapun seandainya menggunakan tenaga dalam. Tapi bagi mereka yang bisa membaca kekuatan Ki, sejak dulu Rao adalah satu dari sekian banyak orang yang memiliki power mengagumkan dan dijuluki manusia baterai, karena memiliki cadangan tenaga dalam yang besar.

Seringai Rao membuat ketiga lawan mundur perlahan. Mereka masih meraba-raba kekuatan baru sang Hyena Gila. Tidak ingin gegabah melahap mangsa, Udet meminta Grago mengitari Rao dengan kecepatannya – sekaligus untuk memindai kekuatan Rao. Udet juga meminta anak buah mereka yang berjumlah belasan untuk mengepung Rao dan ketiga anggota DoP dari segala penjuru.

Jo, Bondan, dan Surya saling berpandangan. Apakah mereka akan diam saja melihat Rao akan melawan KRAd seorang diri?

“Aku tidak tahu dengan kalian, tapi aku tidak akan membiarkan Pimpinan bertarung sendirian,” kata Jo pada Surya dan Bondan sembari mencoba bangkit meski kesakitan. Jo menganggukkan kepalanya ke arah Rao. “Dulu aku bukan siapa-siapa, tapi sekarang aku telah diberikan kepercayaan oleh Pimpinan sebagai Kapten DoP, jabatan yang bukan main-main bagiku. Jadi aku akan bertindak sesuai jabatan yang diberikan. Jiwa dan darahku DoP. Kemanapun pria itu melangkah menghadapi lawan, aku akan mengikutinya ke medan perang.”

Bondan tersenyum, sang petinju itu ikut bangkit dan mempersiapkan kepalannya. “Akhirnya kamu membuktikan kalau kamu layak jadi kapten, Jo. Aku setuju denganmu. Aku juga akan mengikuti Rao dan selalu mendukungnya, bahkan ke neraka sekalipun.”

Surya melengos. “Lebay. Hiperbola. Mau mati kok ajak-ajak.”

Bondan mengangkat jempolnya, tidak masalah jika Surya tidak ikut. Kondisi mereka bertiga memang sudah parah karena dihajar pasukan KRAd tadi. Bisa jadi apa yang akan mereka lakukan tidak lebih dari sekedar mengantarkan nyawa. Menghindar dari pertarungan bisa jadi pilihan tepat untuk menikmati hidup lebih lama. “Kamu tidak ikut, Dab? Tidak apa-apa. Sekali ini kami maklumi. Cari tempat sembunyi yang aman. KRAd memang lawan yang…”

“Bah! Siapa pula yang mau sembunyi!?” Surya juga berdiri dengan susah payah. Ia kesal karena Bondan salah sangka. “Dengan kemampuanku yang sekarang, aku mungkin tidak akan pernah bisa mengikuti Rao kemana dia akan pergi, dan hanya akan merepotkannya saja. Tapi demi apa aku akan meninggalkan kalian berdua. Kita bertiga duduk di kapal yang sama, berlayar bersama, tenggelam juga harus bersama.”

Jo dan Bondan saling berpandangan, lalu sama-sama menganggukkan kepala pada Surya. Benar sekali. Awalnya mereka bertiga hanyalah anggota DoP rendahan, lalu berjuang bersama dari bawah, dan akhirnya berdiri sama pantas sebagai kapten DoP – juga bersama.

Dikepung oleh belasan anggota KRAd jelas bukan perkara mudah bagi ketiga kapten DoP – mungkin mereka akan mati hari ini. Tapi tidak ada kawan lain yang bisa mereka percaya dan mereka anggap paling pantas berdiri di samping mereka, selain masing-masing dari mereka bertiga. Naik ke kapal bersama, berlayar bersama, tenggelam bersama.

Saat Rao melangkah maju – Jo, Bondan, dan Surya yang sudah remuk redam berjalan tertatih di belakangnya. Bukan untuk menjadi beban, tapi untuk membuktikan bahwa DoP masih pantas dihormati sebagai salah satu geng kampus legendaris, bukan hanya sebagai anakan dari Aliansi.

Udet, Grago, dan Yosan bersiap. Mereka menyebar ke tiga posisi sejajar. Masing-masing mengincar Rao sebagai target utama. Posisi Rao dan ketiga Kapten DoP terkepung oleh belasan anggota KRAd yang membentuk lingkaran. Sebelum Rao berkata apa-apa, Jo dan kedua kawannya mendahului langkah sang junjungan dan berdiri di depan sang Hyena Gila.

“Pimpinan pasti hendak mengincar ketiga bedebah 3GB dari KRAd di depan sana. Tugas kita adalah membuka jalur untuknya. Bahkan jika itu harus diperoleh dengan menyerahkan nyawa,” kata Jo dengan tegas. Langkahnya diikuti oleh Bondan dan Surya.

Rao tentu saja tertegun melihat ketiga anak buahnya bertindak nekat. “Apa yang kalian lakukan?” tanya sang Hyena Gila. “Kalian sedang terluka. Sebaiknya istirahat saja. Tenanglah, aku tidak apa-apa.”

“Maaf pimpinan,” Jo menengok ke arah Rao dan tersenyum, “Terima kasih sudah menyelamatkan kami. Tapi rasa-rasanya kami juga tidak akan bisa tinggal diam begitu saja membiarkan Pimpinan bertarung sendiri. Tugas kami adalah melayani Pimpinan, bukan dilayani. Tugas kami adalah untuk membuka jalan bagi pimpinan, bukan sebaliknya. Jadi jangan khawatir. Kami yang akan membukanya, tugas Pimpinan berikutnya hanya satu. Hajar ketiga bajingan itu sampai mampus.”

Beberapa orang KRAd melangkah maju. “Hajar mereka! Mereka sudah sempoyongan! Bunuh Rao!”

Jo mendengus kesal, “Bajilak!!! Jogo omonganmu su. Ra rumongso! Kegedhen empyak kurang cagak. Mau melawan pimpinan kami? Ra pantes kowe su! Tidak semudah itu! Lewati kami dulu! Tidak ada seorang pun di antara kalian keturunan kecoak mars yang pantas bertarung dengan pimpinan kami!! Kalian bahkan tidak layak berdiri sejajar dengannya! Ra pantes! Orang-orang seperti kalian yang hobinya menjilat ketiak Jenggo mending pulang saja! Daripada maju tapi nantinya bakal terkencing-kencing.”

Orang-orang KRAd itu jelas marah. Mereka berteriak kencang, bersiap untuk menyerang.

“Woryaaaaaaaaaaaaaaa!!” Surya ikut berteriak sembari berlari menerjang.

Begitu Surya maju, tiga anggota KRAd roboh terkena terjangannya. Tapi kondisi itu tentu hanya sementara. Pemuda dari DoP itu langsung dikeroyok oleh enam orang sekaligus. Tapi bukan Kapten DoP namanya kalau begitu saja sudah tumbang. Meski badan sudah remuk redam, tapi Surya tetap bondo nekat. Adu pukulan pun terjadi begitu saja. Jo dan Bondan menyusul Surya. Perang pecah antara ketiga anggota DoP dan KRAd. Masyarakat yang tadinya ramai mengelilingi pertengkaran antara kedua kelompok akhirnya kabur dan menyebar karena takut kena imbasnya.

Membagi masing-masing melawan tiga hingga lima orang sekaligus – Jo, Bondan, dan Surya sebenarnya kewalahan. Tapi demi apa mereka akan menyerah! Dipukul jatuh, bangkit, pukul, jatuh, bangkit, pukul, pukul, jatuh, bangkit, pukul, jatuh, bangkit! Bangkit!! Bangkiiiit!! Bangkiiiiiit!!! Teruuuuusss!! Gempur semuanyaaaaa!!

Perlawanan mati-matian ketiga kapten DoP berhasil membuka jalan bagi Rao untuk menyeberangi kerumunan dan melangkah menuju Tiga Gentho dari Bondomanan. Begitu sang Hyena Gila berhadapan langsung dengan 3GB, Udet langsung menganggukkan kepala pada Grago dan Yosan.

Ketiganya bergerak bersamaan, menjalankan strategi seperti yang sudah-sudah. Sesuatu yang sudah dibaca dan diperkirakan oleh Rao. Sang Hyena Gila tersenyum. Mereka ini bodoh atau apa? Mengapa menggunakan pergerakan yang sama saat melawannya? Mereka pikir strategi ini masih efektif?

Pertama, Yosan akan menjebaknya.

Tebakannya benar, Yosan mengambil ancang-ancang lalu meluruskan kedua lengan ke depan dengan telapak tangan dibuka lebar-lebar. Ia berkomat-kamit membaca mantra. Tatapannya penuh kebencian pada si Hyena Gila.

Rao berjalan lalu terhenti. Wajahnya menunjukkan kebingungan. Ia seperti tidak bisa menggerakkan tubuh, semua persendian kaku dan lemas, semua tenaga yang sudah dihimpun hilang tak berbekas, tak muncul meski dipaksakan. Padahal dia sudah hapal betul rumusnya.

Pertama, Yosan akan menjebaknya.

Kedua. Setelah lawan terkunci, Udet dan Grago bergerak bersamaan. Udet dari bawah, Grago dari atas.

Bukankah seharusnya dia paham taktik mereka? Kenapa justru terjebak!? Rao kebingungan karena tak dapat menyalakan Ki-nya – itu artinya dia menjadi sasaran empuk. Saat itulah kedua anggota 3GB maju menyerang bersamaan. Grago berlari bagaikan peluru kendali, meloncat, dan meluncur ke arah Rao dengan kecepatan tinggi.

Pada saat bersamaan Udet bergerak tanpa terlihat, berlari secara stealth, mencoba menjadi musuh tak terduga yang bisa menyelinap. Entah sudah upgrade kemampuan apaan tahu tapi Rao ternyata masih saja kebingungan dan tidak bisa mengantisipasi gerakan mereka bertiga. Udet tersenyum memahami kondisi Rao, bocah itu mengalami upgrade yang gagal. “Dengan ini kamu habis.”

Tepat di saat kaki Grago turun untuk menjejak kepala Rao, di saat itulah Udet datang untuk mencengkeram sang Hyena Gila dan menyedot tenaganya. Serangan maut dari 3GB adalah kombinasi dari sang pemindai, sang penjebak, dan sang penghisap. Tiga orang dengan kekuatan mengerikan bergabung dalam satu serangan mematikan untuk melakukan gerakan bersama yang teramat efektif dan sudah dilatih ratusan kali.

Mereka menyerang bersamaan di saat yang sudah diperkirakan, yaitu di saat Rao kebingungan.

Efektif.

Tepat sasaran.

Mematikan.

Tapi itu kan menurut mereka.

Rao yang terlihat kebingungan tiba-tiba terdiam, dia mengangkat kepala, menatap ke arah Yosan, menyeringai, dan mengedipkan mata. Yosan yang menyaksikan perubahan wajah sang Hyena Gila dari kejauhan langsung terbelalak. Dia buru-buru memperingatkan kedua kawannya, “Awaaaaaaaaaaasss!! Dia tahuuuuuuuuuuu!!!”

Terlambat.

Rao memutar badan dengan sebagian dada menantang ke atas, Ia mengincar Grago. Rao menarik turun lengannya sedikit, menekuk siku, dan menyiapkan kepalan. Rao melumuri kepalan itu dengan kekuatan Ki yang belum pernah terbaca oleh Grago sebelumnya. Ternyata sejak tadi Rao berpura-pura. Pura-pura bingung, pura-pura tak bisa menyalakan Ki, pura-pura terjebak.

Si Tupai Terbang terbelalak melihat kesigapan sang lawan, tentu saja dia tak bisa menghentikan injakan gandanya ke arah Rao - tapi Ki yang kali ini ditunjukkan oleh sang Hyena… bukan Ki yang biasa-biasa saja! Terpaksa Grago menumpukan seluruh kekuatan pada injakannya!!

Rao meringis, Ia meledakkan pukulannya ke atas, menghadang injakan ganda dua kaki dari si Tupai Terbang. Kepalannya tepat bertemu dengan telapak kaki Grago di udara. Dua gempuran bertemu.

Bledaaaaaaaaaaaaam!!

Hempasan dahsyat menerbangkan Grago yang terpaksa menggunakan pertemuan dua tenaga untuk melakukan salto ke belakang. Kata melakukan salto mungkin tidak tepat, lebih tepatnya dia terlempar ke belakang.

Rao sendiri berdiri tegap seperti tanpa masalah sedikitpun.

Grago mendarat dengan berguling, sungguh tidak disangka kalau Rao bisa memperoleh tenaga Ki sebesar ini dalam waktu singkat setelah mereka hajar sampai hampir mati tempo hari! Preman kampus itu jelas jauh lebih cepat dan lebih powerful. Grago penasaran, bagaimana mungkin Rao bisa menahan tendangannya secara head to head?

Posisi Grago rentan, tapi Rao tak mengejarnya.

Rao bukannya tidak ingin mengejar, dia tidak dapat bergerak untuk mengejar Grago karena ada sesuatu yang menahannya. Pemuda berangasan itu kembali tersenyum. Dia merasakan tenaganya tengah disedot oleh tangan yang mencengkeram pergelangan kakinya. Udet sedang berada di bawah.

“Bagaimana rasanya? Enak tenagaku?” desis Rao. “Lintah!

Udet terbelalak. Seharusnya Rao tidak mengetahui keberadaannya! Seharusnya Yosan mampu menyembunyikan keberadaannya! Buru-buru Udet mundur dan melepaskan cengkeramannya. Tapi gerakannya masih kalah cepat dibandingkan sang lawan. Rao mencengkeram kerah baju Udet.

Sang Hyena Gila menghentakkan kepalanya ke depan!! Dahi bertemu dahi!

Duaaaaakgh!!

Udet mengaduh kencang. Kepalanya terbanting ke belakang! Pusing sekali rasanya! Tapi Rao belum berhenti. Siku tangan Rao ditekuk dan dihantamkan berulang ke pelipis Udet!

Jboookghh! Jboookghh! Jboookghh! Jboookghh! Jboookghh!

Wajah Udet bermandikan darah ketika pelipisnya bocor. Kepalanya terguncang-guncang bagaikan boneka mampang. Rao lantas mengangkat tubuh pimpinan Tiga Gentho itu dengan dua tangan ibarat barbel, dan membantingnya ke aspal!

Jbuuuuuuuuuuuuuuooooommmmmhhhhhhh!!!

Punggung pria berambut mohawk itu berasa remuk ketika dihempaskan ke aspal. Tapi Rao belum berhenti. Dia mencengkeram kerah Udet sekali lagi dengan satu tangan, lalu mengangkatnya lagi, dan kembali membantingnya ke aspal!

Jbuuuuuuuuuuuuuuooooommmmmhhhhhhh!!!

Dua kali rasanya masih kurang. Sekali lagi Rao mengangkat Udet ke atas, dan membantingnya ke aspal!

Jbuuuuuuuuuuuuuuooooommmmmhhhhhhh!!!

Berulangkali Udet berteriak kesakitan, kedua kawannya tidak sempat bertindak karena kejadiannya sangat cepat. Hanya dalam hitungan detik, Udet sudah dibanting ke aspal tiga kali. Grago dan Yosan maju bersamaan untuk menyelamatkan sang Pimpinan 3GB. Rao berkelebat dengan cepat.

Yosan sedang bersiap untuk melepaskan sentakan tenaga jarak jauh ketika tiba-tiba dia merasakan ada kaki yang nangkring di bahunya. Ia melotot! Apa-apaan in… Kaki itu ditarik dan dilontarkan dengan kecepatan tinggi secara berulang – tiap tendangan bagaikan ledakan peluru kendali yang tak terhenti.

Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!!

Tidak sempat berbuat banyak, enam tendangan dari sang Hyena Gila menghajar rahang dan tulang pipi Yosan berulang kali. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Berulangkali kepala sang pengunyah permen karet terlempar ke kiri dan kanan sampai akhirnya tubuh Yosan terbanting ke samping pada tendangan terakhir dari Rao.

Jbbbkgh!!

Tubuh Yosan terbanting ke aspal.

Grago tidak kalah apes. Ketika hendak menyelamatkan Yosan, kaki Grago langsung dihadapi oleh tendangan Rao!

Bkgghhh!

Kaki bertemu kaki! Tendangan bertemu tendangan! Duel pun tercipta tanpa aba-aba. Kaki kiri dan kanan melesat dengan kecepatan tinggi, saling bertukar sepakan dalam badai kecepatan benturan. Sampai akhirnya kaki Rao melesat masuk ke pertahanan Grago.

Grago mundur dua langkah dan mendelik ketika kedua pergelangan tangannya dicengkeram erat oleh Rao, tangan sang Tupai Terbang direnggangkan oleh Rao sehingga bagian tengah tubuhnya terbuka! Sang Hyena Gila melompat dan menggunakan tangan Grago sebagai penahan. Derap Tendangan Tanpa Bayangan disarangkan. Kaki Rao bergerak cekatan bagaikan sedang mengayuh pedal sepeda! Semua masuk ke dada Grago tanpa penghalang!!

Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!! Jbbbkgh!!

Grago terjungkal dan terguling ke belakang tanpa bisa melawan.

Melihat kawan-kawannya dihempaskan, Udet mencoba menggeliat untuk bangkit. Ia mencoba menyamankan diri di atas aspal meski itu tidak mungkin. Pimpinan 3GB itu mencoba berdiri dengan segenap kekuatan tersisa. Saat ia bisa duduk bertongkat lutut, tiba-tiba saja ada bayangan menutup wajahnya.

Rao membuka telapak tangannya di depan muka Udet yang terbelalak kaget. Kelima jari sang Hyena Gila membentang lebar di depan mata. Rao terkekeh, “Mau hadiah? Hitung sampai lima. Satu…”

Udet menggemeretakkan gigi, “Baji…”

“Lima.” Rao mengedipkan mata, “Hfah.”

Bledaaaaaaaaaaaaam!!

Wajah Udet terpapar sentakan tenaga Ki dahsyat dari Rao. Meski di detik-detik terakhir dia sempat menyilangkan tangan untuk mengurangi daya gempur dari serangan tenaga Ki milik sang Hyena Gila, tapi tak urung tubuh Udet melesat mundur jauh enam meter ke belakang karena terhentak. Dia terguling dan terbanting berkali-kali di aspal sampai akhirnya terhenti karena bantuan dari Yosan. Bajunya robek-robek, kulitnya terkupas, dan darah menetes dari bagian-bagian tubuhnya yang terluka. Ada asap mengepul di lengan Udet tanda dahsyatnya serangan Rao yang barusan.

“Ba-bangsat.” Udet berdiri dibantu oleh Yosan dan Grago, wajah pimpinan 3GB itu menghitam karena hempasan tenaga dari sang Hyena Gila. “Kita kembali gunakan taktik yang sama, pakai variasi Plan B. Dia sudah hapal dengan gerakan kita jika menggunakan Plan A.”

“Siap.” Yosan mulai mengumpulkan tenaga. “Akan kulubangi badannya.”

Grago mengangguk dan melakukan kuda-kuda.

“Kalian sudah paham? Kita mulai dalam hitungan ketiga.”

Plan B adalah variasi serangan dari 3GB. Yosan akan melontarkan pukulan jarak jauh sementara Grago menyerang mendadak dari sisi, bukan lagi dari atas. Udet sendiri akan meloncat dan menyerangnya dari atas secara frontal. Semua dilakukan bersamaan. Begitu serangan itu masuk, Yosan akan mengunci badan lawan.

Udet menghapus darah di wajahnya, “Jangan khawatir, aku pasti bisa menyedot tenaganya sampai habis! Bangsat busuk itu tidak akan…”

Hpppphhhh!

Tangan Rao tiba-tiba saja sudah mencengkeram dan membungkam mulut Udet.

CEPAT SEKALI! KAPAN DIA DATANG!?

Kedatangannya begitu tiba-tiba sehingga mengagetkan para anggota 3GB. Bagaimana mungkin Rao sudah ada di sini? Hanya dalam hitungan detik dia bisa melesat begitu jauh! Tidak hanya kekuatan! Kecepatannya juga meningkat drastis!

“Tumben justru kalian yang terlalu banyak omong,” ucap Rao sambil tersenyum.

Udet meronta-ronta karena mulutnya dicengkeram dengan satu tangan oleh Rao. Kuat sekali! Cengkramannya ini kuat sekali! Bagaimana bisa dia begitu kuat secara tiba-tiba? Udet membalas dengan menancapkan cengkramannya di pergelangan tangan Rao – pemimpin 3GB itu mendelik dan menyedot tenaga Ki dari sang Hyena Gila.

Tenaga itu memang tersedot, tapi seberapa pun tenaganya tersedot tak kunjung membuat Rao lemas! Rao bahkan seperti tidak peduli kalau tenaganya tersedot. Seakan-akan bersikap seperti cuek, kalau mau ambil ya ambil saja. Seberapa besar tenaga dalamnya yang sekarang sampai-sampai dia tidak peduli tenaga dalamnya disedot Udet?

Yosan mencoba membantu Udet.

Hpppppphhhhkkhggg!

Sama saja.

Sebelum Yosan sempat melakukan apapun, Rao tiba-tiba saja sudah mencengkeram leher sang pengunyah permen karet yang langsung sesak napas. Dia meronta-ronta sambil merem-melek kehabisan napas. Dengan kekuatan mentahnya, Yosan mencoba melepaskan tangan Rao. Cara apapun digunakan. Entah itu dengan mencakar, memukul, merobek, apapun. Tapi tidak ada satupun yang sukses melepaskan cengkraman tangan sang Hyena Gila.

Rao merentangkan kedua tangannya. Udet di satu tangan, Yosan di tangan lain.

Udet gagal total, Yosan tidak bisa melepaskan Ki-nya saat panik mendera. Beruntung bagi kedua anggota 3GB itu, mereka masih punya anggota ketiga : Grago.

Melihat kedua kawannya terjebak oleh Rao, Grago berputar dengan cepat, menempatkan posisinya di belakang Rao. Begitu sudah tepat dan tak terlihat, Grago maju dan meloncat, sang Tupai Terbang melemparkan kedua kakinya secara lurus ke arah punggung Rao.

Jbkkkggkghhhhh!!

Sang Hyena Gila terdorong ke depan karena serangan itu. Cengkraman tangannya terlepas, Yosan dan Udet selamat. Saat terjatuh, Yosan masih sempat mengumpulkan sedikit tenaga dalam dan membuka telapak tangannya ke depan!

Jbooooooooooommhh!!

Punggung Rao terpapar serangan sang pembokong. Sang Hyena Gila pun terlempar lebih jauh lagi, menerobos semak-semak di taman yang ada di samping gedung. Dia menghilang dalam kegelapan.

Grago buru-buru membantu kedua temannya berdiri.

Udet geram sekali, dia bertanya kepada Grago, “Bagaimana? Kamu bisa membaca kekuatannya? Sepertinya ada yang berbeda. Dia jauh lebih kuat, lebih cepat, dan lebih percaya diri. Dia seperti tidak peduli kekuatannya kusedot.”

“Kekuatan tak terbaca. Seperti Petarung Kelas A. Tapi belum. Hanya seperti.”

Udet terbelalak. Matanya seperti mau copot dari soketnya. Bagaimana mungkin orang yang kemarin hari sudah mau mati, eh hari ini bisa-bisanya hadir bagaikan seorang jagoan berkemampuan A? Mana bisa begitu? Dia tidak boleh lagi diberi angin. Udet mengatur barisan, “Kita serang lagi! Sekarang!”

“Heheheheh… hehahahahhaha. Wahahahaha! Wahahahahahaha! Hahahha!!” Rao tertawa mengerikan sembari jongkok di atas sebuah pagar. Dia tertawa terbahak-bahak saat menyaksikan 3GB menjadi lebih siaga melihat kemampuannya yang sekarang, padahal sebenarnya dia belum melakukan apa-apa yang berarti. Mulai sekarang mereka bertiga tidak akan pernah lagi meremehkan kemampuannya. Mulai sekarang, mereka akan menganggap Rao sebagai seekor hyena yang buas dan siap memangsa mereka kapan saja! “Wahahahah!! Wahahahahahahahah!!”

Melihat lawan tertawa seperti orang gila, Udet mulai melambaikan tangannya – memberikan pertanda untuk kawan-kawannya supaya segera bergerak, di antaranya termasuk anggota KRAd yang berhasil merobohkan Jo, Surya, dan Bondan yang sudah terkapar tak sadarkan diri. Grago bersiap untuk melesat maju. Yosan kembali memulai aksinya dengan menggerakkan tangan dan mengatur pernapasan - kali ini dia tidak mengunci Rao dari jarak jauh tapi dia mengumpulkan tenaga untuk menembakkan sentakan tenaga dalam, mulutnya berkomat-kamit merapal ilmu kanuragan. Dia menyiapkan sentakan tenaga dalam yang jauh lebih hebat dari sebelumnya.

Sang Hyena Gila tersenyum dan terus melangkah. Sampai posisi yang diperkirakan sudah cukup dekat dengan ketiga lawan, tubuhnya merunduk, kaki ditekuk, tangan dibiarkan terbuka, badan diputar ke samping. Pemuda itu sudah siap kembali dengan kuda-kudanya, Ia menatap tajam ke arah 3GB. Bisikannya bagaikan pertanda maut. “Maju.”

Saat Rao merapal ilmu kanuragannya, saat itulah Grago yang tadinya berlari ke depan paling awal, terlihat terkejut dan membatalkan serangan. Dia melompat mundur saking kagetnya. Dia kembali sejajar di posisi di mana Yosan dan Udet berada, Grago menyeret kedua temannya agar mendekat dan mundur ke belakang bersamanya.

“Jangan. Dihadapi. Sekarang.” Grago menggelengkan kepala. “Berbahaya. Kekuatannya. Berbeda.”

“Haish! Nanggung! Nyoooooh!” Yosan dengan geram melepaskan tenaga dalam yang sejak tadi dipendam. Gempuran tenaga dalam dahsyat melesat dari arah kedua tangannya menuju ke sang Hyena Gila.

Rao bukannya tidak menyadari. Satu tangannya dihunjukkan ke depan, telapak tangan terbuka. Bibirnya sedikit terbuka. “Hfah.”

Boooooooooom!

Benturan tenaga terjadi. Kekuatan dahsyat bertemu di udara. Bagi petarung kelas rendah yang tak dapat melihat Ki, mereka hanya merasakan desakan yang terjadi akibat benturan tenaga luar biasa yang membuat mereka terlempar dari posisi mereka berdiri.

Yosan juga terdesak dan hendak terlempar ke belakang namun ditahan oleh Grago. Sang pengunyah permen karet langsung berdiri tegap kembali.

“Berbahaya,” bisik Grago. “Kekuatan hitam. Tumpuk tiga.”

“Bah! Pantas saja tiba-tiba dia berubah menjadi sangat kuat,” Yosan geram. “Rupanya dia sudah membuang jiwanya demi kekuatan. Kita harus bagaimana sekarang? Bisakah menghadapinya dengan gerakan rutin kita? Aku sudah tidak sabar mengirimnya ke neraka.”

Udet melangkah ke depan. Dia menyingsingkan lengan bajunya hingga sampai ke bahu. “Tidak ada yang akan bisa mengalahkan Tiga Gentho dari Bondomanan semudah itu. Aku tak peduli, bahkan jika dia seorang monster sekalipun. Apa jadinya nama harum kita kalau melawan seorang mahasiswa cecunguk begini saja kalah.”

Yosan mengangguk dan berdiri sejajar dengan Udet. Grago sebenarnya ragu, tapi dia tidak akan meninggalkan kedua sahabat-nya.

“Dalam hitungan ketiga, serbu dengan segenap kekuatan yang kalian punya,” ujar Udet dengan geram. “Bocah itu tidak boleh melihat matahari esok pagi. Hari ini kita tentukan – dia atau kita yang mati.”

Ketiga anggota Tiga Gentho dari Bondomanan berteriak kencang, mereka maju menyergap. Menang atau mati. Malam ini juga.

Rao menyeringai.



BAGIAN 15-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 15-B
Akhirnya....muncul juga.....
Makasih apdetnya bro @killertomato ....
 
BAGIAN 15-B
SEPARUH NAFAS


.:: DI TEMPAT TERSEMBUNYI




“Dia adalah komoditi teranyar kami. Diambil dari jalan, diberikan obat-obatan untuk menetralkan, dan disiapkan sebagai persembahan. Bagaimana? Minat kan, njenengan? Uapik ini barangnya.”

“Bagaimana bisa bajingan semacam kamu mendapatkan daging empuk semacam itu? Kelihatannya legit banget. Dagingnya aman atau tidak? Jangan-jangan ada udang di balik apem? Surat-surat sudah beres diperiksa? Sudah dicek asal muasalnya? Tidak ada unsur sapi gila kan? Kesehatan dan segala macamnya? Aku tidak mau pulang dari sini nanti gatal-gatal.”

Seorang pria bertubuh bongsor mengamati sebuah cermin dua arah. Di sebalik cermin itu, ada sesosok wanita jelita yang tengah terbaring di atas ranjang, karena hanya mengenakan handuk sebagai penutup tubuh, berulangkali keindahan tubuhnya terekspos. Meski kondisi ruangan dan dirinya sendiri mengenaskan, namun ternyata hal itu tidak mengurangi kecantikan natural sang dara jelita yang minim make-up.

Di samping sang pria bongsor, ada seorang pria berseragam yang meskipun tampan, tapi memiliki senyum licik. Dia adalah Rama – anggota tim Garangan sekaligus salah satu anggota penting dari kelompok keji Komando Ratu Adil.

“Hehehehe. Bisa saja njenengan. Tentu saja komoditinya aman, kami selalu berikan service terbaik. Yang satu ini sample yang kami koleksi secara khusus. Surat-surat sudah kami cek, berasal dari keluarga orang baik-baik. Bahkan sebentar lagi akan menikah – calon manten. Sepertinya sesuai dengan selera njenengan yang suka netorare. Bwahahahahaha. Masalah yang lain-lain pokoknya beres, semua bisa diatur.” Rama tertawa sambil mengedipkan mata, “Yah mungkin perlu kami sampaikan di awal. Kalau sebaiknya berhati-hati dengan konsekuensi mencicipi daging wagyu yang ini – karena yang satu ini anjing penjaganya sangat galak. Tapi berhubung sampeyan Raja Para Anjing, saya yakin anjing penjaganya pun bisa sampeyan taklukkan.”

“Wueheheheh. Aku mencium bau-bau jebakan betmen ini. Hehehe. Orang licik semacam kamu patut diwaspadai. Aku tidak percaya sedikitpun upeti semacam ini gratis. Pasti ada something. Masa iya barang bagus begini diberikan buat aku gratis.”

“Welah, kalau memang tidak mau ya saya ambil lagi komoditinya. Saya yakin sample semenarik ini akan laku jika dilepas di pasar. Njenengan memangnya selera yang seperti apa? Jangan-jangan njenengan ngacengnya sama yang gagah, six pack, sering nge-gym, dan masih kuliah? Jangan-jangan njenengan penggemar Momogi keju?”

“Hehehehe, wasyuuuu! Yo yang seperti di dalam itu sudah bener. Aku cuma ragu-ragu saja, jangan diambil dulu lah. Aku paling doyan daging wagyu yang empuk, juicy, dan seger. Jadi ya masa bodoh dengan semua perangkap dan konsekuensimu. Mau dijebak atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting ada jajanan, ya dilahap sampai kenyang. Baahahhaaha.”

Rama tersenyum dan melemparkan kunci sel pada Bambang Jenggo.

Sang Raja Para Anjing pun melangkah ke pintu yang berada di samping cermin dua arah. Ketika pintu terbuka, sang gadis yang hanya berselimutkan handuk langsung menjerit ketakutan. Jenggo meringis sambil menyapu air liurnya. Bangsat, mulus banget jidat si teteh satu ini.

“Selamat malam, sayang.” Jenggo menjilat bibirnya sendiri. Asem, betul-betul seksi cewek satu ini. Bikin ngeces saja. Rama berdiri di samping Jenggo, saat melirik – ia puas karena Jenggo terlihat amat berminat pada sang dara telanjang.

“Ja-jangan mendekat! Apa yang mau kalian lakukan!!? Jangan mendekat!!” Ketakutan, gadis itu meringkuk di pojokan. Dia berusaha mencari celah untuk melarikan diri dari ruangan terkutuk tempatnya disekap. Tapi tidak ada celah. Rama dan dua bodyguard menjaga pintu di sisi kanan. Di sisi kiri, ada pria bongsor yang menatapnya tak senonoh.

“Keluar, Nyuk. Aku sudah tidak sabar,” kata Jenggo sambil menyeringai seram.

“Siap. Kami akan menunggu di luar. Ketuk saja pintunya jika sudah tuntas. Mudah-mudahan tidak keberatan jika semua adegan kami rekam ya.” Rama mengangguk dan tertawa. Ia melirik pada sang dara jelita yang sedang meringkuk ketakutan. “Selamat menikmati bulan madu, sayang. Mudah-mudahan malam ini jadi malam yang indah. Calon suamimu pasti mengerti pengorbananmu. Om Jenggo ini penyayang kok.”

“Siapa namanya?” tanya Jenggo.

Rama menyeringai, “Dinda. Namanya Dinda.”

Gadis jelita yang sesungguhnya adalah tunangan Amar Barok itu terbelalak dan memekik ketakutan saat menyaksikan Jenggo bergerak maju dan Rama sudah siap keluar dari ruangan. Secara otomatis sang dara jelita melesat hendak pergi dengan menerobos Rama dan kedua penjaga. Tapi saat ia hendak meloncat dari atas ranjang, Jenggo berhasil merenggut handuknya.

“Aaaaaaaaaahhh!” Dinda menjerit ketakutan, ia menutupi ketelanjangannya dengan jari.

Sang Raja Para Anjing terkekeh-kekeh, ia menjilat bibir sendiri saat melirik ke arah Dinda yang tak mengenakan sehelai benang pun. “Wuahahahahahahah. Wasyuuuuu. Poeeetiiih. Cantik dan seksi banget kamu. Ranum sekali minta dipetik. Masih fresh from the oven? Aku akan menikmatinya dengan senang hati.”

“Masih dong. Masih sueeeger. Buka saja segelnya. Tidak akan ada yang protes. Anjingnya tidak ada di sini.” Rama mengedipkan mata pada Dinda. “Lama-lama dilihat kok kalian berdua mirip ya? Pasti jodoh. Hahahaha.”

Wasyuuuu. Hahahahaha. Mirip dari mananya. Aku buruk rupa, dia cantik jelita. Ini namanya Beauty and Kampret. Bahahahaha. Ya kan, sayang?”

“Hahahhaha.” Rama tertawa.

Dengan sengaja Rama tidak mengatakan pada Jenggo kalau gadis itu adalah tunangan Amar Barok. Seru sekali bukan kalau mereka berdua bakal berhadapan suatu saat nanti? Apalagi kalau si kembang ranum nan jelita ini sampai dihamili oleh Jenggo. Heheh. Rama akan sangat menikmati hasil akhirnya nanti. Amar Barok vs Bambang Jenggo. Pasti seru.“

Njenengan tidak butuh kondom kan? Calon suaminya pasti bakal bahagia kalau sebelum nikah cewek ini sudah punya tabungan untuk masa depan kelak. Hitung-hitung ngasih rejeki.” Pancing Rama.

Bambang Jenggo tertawa dan mengangguk-angguk. “Akan kupastikan menyemprot di dalam.”

Dinda berteriak-teriak ketakutan. Apa yang akan terjadi pada dirinya? Mas Deka… Mas Amar… siapa yang bisa menolongnya sekarang? Siapa? Tidak ada orang yang bisa mendengar teriakannya. Tidak akan ada orang yang bisa mendengar jeritannya. Apakah tidak ada lagi orang di tempat ini yang punya nurani? Apa yang akan terjadi padanya?

Pintu sel ditutup.

Sosok pria tua gemuk yang menatapnya dengan menjijikkan makin mendekat. Tatapannya sangat mesum dan penuh nafsu birahi.

“JANGAN MENDEKAT!! KELUAAAAR!!” bentak Dinda galak.

Bambang Jenggo menggelengkan kepala sambil terus tertawa dan menjilat bibirnya, “Sudah cantik, manis, seksi, eh galak pula. Pasti memabukkan di ranjang. Kita akan bersenang-senang berjam-jam hari ini, sayang. Kamu benar-benar upeti yang harus dinikmati dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bahahahaha.”

Dinda geram, “Tidak sudi! Aku tidak sudi!”

Jenggo kembali tertawa sembari melepaskan celananya sendiri tanpa rasa malu sedikitpun. Dinda menjerit dan memalingkan wajah. Jenggo meletakkan celananya di sebuah meja dan mengeluarkan sebungkus rokok.

“KELUAAAAAARRR!! KELUAAAAAAARRR!!”

Rama tersenyum sambil terengah-engah sembari menyaksikan di cermin dua arah, entah kenapa ada rasa puas dan memuncak ketika ia menyaksikan seorang gadis jelita didominasi oleh pria durjana berwajah busuk seperti Bambang Jenggo ini. Mungkin dia punya fetish unik – melihat gadis baik-baik dirusak oleh pria bejat berwajah abstrak. Mungkin suatu ketika nanti dia akan membuat Nada merasakan hal yang sama karena telah menyakiti perasaannya.

Jenggo mengambil sebatang rokok dari dalam bungkus, menyalakan korek api, dan asap pun membumbung tinggi di dalam ruangan yang pengap itu. Ia tidak peduli ketika kemudian Dinda terbatuk-batuk karena asap. Puas sekali rasanya dia akan mendapatkan dara yang ranum begini. Satu lagi dara muda akan dia embat, satu lagi gadis baik-baik akan dia santap. Benar-benar mangsa yang bakal membuat dia kenyang lahir batin untuk seminggu ke depan.

Jenggo berjalan ke arah Dinda yang tak bisa lari kemana-mana. Gadis itu sudah terpojok dan terjebak.

Pria berperut buncit nan biadab yang mendekatinya memalangkan lengan di kanan dan kiri Dinda. Gadis itu gemetar ketakutan. Jenggo mengecup dahi Dinda. Gadis itu langsung berteriak kencang dan meringkuk ketakutan. Ia memeluk dirinya sendiri sembari melorot ke bawah. Air mata tumpah tanpa henti.

Dinda berteriak, “JANGAN SENTUH AKU!”

“Bwaahahahaha. Sok-sokan ngatain jangan sentuh, sebentar lagi kamu bakal melenguh keenakan sewaktu aku pakai. Kamu bakal tergila-gila pada kontolku dan melupakan pria-pria lain. Ingat baik-baik. Posisimu sedang tidak menguntungkan. Jadi jangan coba-coba melakukan hal bodoh atau nyawamu akan melayang.” Jenggo membenahi poni nakal Dinda.

“JANGAN SENTUH AKU!! DASAR BAJINGAAAN!! AKU TIDAK PERNAH MELAKUKANNYA DENGANMU!! KAMU BIADAB!! LEBIH BAIK AKU MATI!!”

“Mati? Kok sia-sia banget hidup kamu? Tubuh molek seperti punyamu itu diciptakan untuk dientotin. Buat apa disia-siakan, tiwas kamu rawat baik-baik kok malah dibawa mati. Huaduh eman. Kan sayang banget kalau mati. Mending buat aku aja bakal aku sayang dari pagi ketemu pagi. Buahahahahahah!”

“AKU BAKAL LAPOR POLISI!!”

“Bahahahahahahahahah! Ini lebih lucu lagi. Kamu sadar tidak? Orang yang tadi berada di dalam sel ini berada di sisi yang berwajib. Seandainya kamu membuka mulut dan lapor pada polisi, maka kami justru akan menjebloskanmu dan calon suamimu ke penjara dengan alasan yang sudah disiapkan dan tidak akan pernah kalian duga. Kalian masuk penjara, dan tidak akan pernah bertemu lagi. Aku akan memastikan kalian berdua berkenalan dengan napi-napi di dalam sel yang punya libido berlebih. Buahahahaha. Jangan salah, aku dan teman-temanku sudah beberapa kali melakukan hal semacam itu karena kami punya kuasa. Hahahaha… maafkan aku, sayang. Kamu sial karena berada di waktu dan tempat yang salah.” Jenggo menowel dagu Dinda yang menangis tersedu.

“JANGAN MENYENTUHKU!!” Dinda berteriak di sela-sela sesunggukan. Tangannya yang gemetar mencoba menutup ketelanjangannya dengan sia-sia. Dia berusaha berontak dan melarikan diri dari sosok Jenggo.

Tapi apalah daya seorang wanita lemah dibandingkan nafsu birahi menggelegak seorang Raja Para Anjing yang perkasa. Begitu pergelangan tangannya dicengkeram, Dinda dilemparkan ke atas ranjang. Jenggo terkekeh. Sosok seksi Dinda membuatnya nafsunya menggelegak. Tubuh yang teramat molek terlentang di atas ranjang tanpa sehelai benang, seksinya bersinar di antara bintang-bintang, ini yang namanya pemandangan yang mengundang.

Jenggo mengelus kaki mulus Dinda, meraba betis, lalu paha. Dinda menjejak, marah, dan meronta. Tapi apalah daya gadis lemah seperti dia di hadapan angkara murka? Dinda tak akan menyerah tanpa mencoba. Sebisa mungkin dia lolos dari bahaya sang pemerkosa. Meskipun nyawa taruhannya. Dia lebih baik mati daripada di-rudapaksa.

“Wanita sepertimu… adalah candu. Lekuk indah tubuhmu, Pesona cantik wajahmu, wangi harum yang kau tebarkan. Semua membuat pria bertekuk lutut dan ingin mendapatkannya lagi dan lagi dan lagi. Tanpa akhir dan tanpa henti,” bisik Jenggo pada Dinda yang gemetar ketakutan. Ia memeluk gadis telanjang itu dan mengecup berulang pipi dan telinganya. “Hari ini akan kujadikan kamu wanita yang utuh. Yang paham bagaimana memuaskan pria, yang paham apa artinya yoni dan lingga. Bukankah itu impian hidupmu yang paling paripurna?”

Jenggo tersenyum dan mengecup bibir Dinda yang terkatup rapat.

“Hmmmppphhh!!” Dinda meronta. Jijik dia.

Begitu kotornya ciuman sang preman. Seakan-akan mulut Jenggo hendak mengatup keseluruhan bibir Dinda. Sulit bagi gadis itu untuk bernapas. Bibirnya dihisap dan disesap, dicium dan digarap. Air liur berpindah, bibir dijajah, sang gadis pun meratap.

Tangan Jenggo mendarat di buah dada sang dara. Ia meremas dengan kencang tanpa ampun dan tanpa peduli, hanya nafsu yang jadi alasan utama.

“Montooookghhh…!!”

“Haaaaaaaaaaaaghh!” Dinda kesakitan. Mulutnya terbuka. Jenggo menjelajah bibirnya dengan leluasa. Tubuh Dinda bergetar hebat – antara ketakutan, malu, kesakitan, marah, dan ingin membunuh Jenggo. Kecupan kencang Jenggo menimbulkan bunyi berkecipak. Lidah berkelana, air liur berpindah dari satu mulut ke bibir yang lain. Jenggo tenggelam dalam kenikmatan, Dinda luruh dalam kesengsaraan.

“Mmmmmhhhh…” Jenggo melepas ciumannya. Preman bertubuh bongsor itu menikmati kecantikan Dinda, lalu menurunkan badannya ke bawah, bongkahan kenyal dan ranum sang dara jadi sasarannya kini. Sembari meremas-remas bulat buah dada Dinda, Jenggo menjilat ujung pentil kenikmatannya.

Tubuh Dinda menggelinjang, Ia menangis, air matanya mulai tumpah, Ia sesunggukan dan bergetar. Gadis itu memejamkan mata, ia mencoba menjadi kosong, tak ingin merasakan, tapi tidak bisa. Setiap kali ia meronta dan mencoba fana, ia justru merasakan tiap remasan sang Raja Para Anjing di tubuhnya. Meski Jenggo memperlakukannya dengan lembut, namun setiap sentuhan terasa bagaikan tusukan benda tajam di hati sang dara jelita.

Jenggo menjilat, mengecup, mencium, menggigit, dan memainkan puting payudara Dinda dengan gemas. Raja Para Anjing mendaki tubuh Dinda, lalu mengecup lehernya yang wangi. Pria itu berbisik amat pelan, “Jangan khawatir, sayang. Aku akan membuatmu nyaman. Aku akan membuatmu merasakan bagaimana sentuhan seorang pria sejati. Aku akan membuatmu merasakan bagaimana seks menjadi sensasi.”

Dinda menggeleng dan menggeleng. “Tidak mau… tidak mau… tidak mau… lepaskan aku… lepaskan…”

Kepala Jenggo luruh ke bawah, tepat di selangkangan Dinda yang wangi. Gadis itu melotot ketakutan dan menggelinjang. Ia menyepak-nyepak ke segala arah. Tangisan dan teriakannya membahana. Tapi sekali lagi… apa daya? Bibir Jenggo mendarat di bibir kemaluan sang dara.

Sang Raja Para Anjing menjulurkan lidahnya dan memainkan perannya. Dinda tak bisa berkutik, tubuhnya ternyamankan dengan terpaksa. Jari jemari gemuk Jenggo merenggangkan kaki dan kemaluan sang dara, sementara lidahnya menjelajah, dan bibirnya menghisap.

“Hmmmh… srrpppssss… ssrrrppsss… aaahhh… srrppsss…” Jenggo terkekeh, “Ini… jus paling nikmat yang pernah aku cicip, sayang. Hahaha… srrrppsss…”

Dinda meronta. Tidak sudi dia memberikan kenikmatan untuk sang preman!

Jenggo sudah tidak tahan lagi. Dia melepaskan Dinda dan berdiri di hadapan sang dara.

Raja Para Anjing itu menatap cermin dua sisi dan mengedipkan mata. Jenggo tahu dia tak bisa melihatnya dari sini, tapi ada seseorang di sebalik cermin. Dia bisa merasakan Ki milik Rama di sana. Si bangsat itu pasti sedang merekam apa yang tengah dia dan cewek ini lakukan. Dasar kampret memang.

Tapi Bambang Jenggo bukanlah kampret kelas abal-abal. Dia tahu Rama adalah seorang oportunis dan akan menggunakan segala cara untuk mengamankan posisi dimanapun dia berafiliasi. Kakinya mungkin berdiri dimana-mana. Jenggo tahu Rama pasti punya rencana busuk dengan menumbalkan gadis ini.

Tapi ya sudah biar saja. Apapun rencana Rama, Jenggo selalu siap. Apapun niat busuk si oportunis itu, Jenggo akan melaluinya. Seorang Bambang Jenggo yang pernah lolos dari kematian tidak takut dengan ancaman dan gangguan. Dia sudah pernah hampir mati ditusuk besi baja. Bukan masalah besar baginya untuk lolos dari ancaman Rama.

Sekarang saatnya menikmati sang dara.

Jenggo yang sudah melepas celananya makin memamerkan Jenggo Junior yang tegap menantang kencang dengan ornamen tonjolan-tonjolan gurat urat aneh yang makin membuatnya tidak sedap dipandang, apalagi ukurannya juga tidak kecil, dan warnanya kelam.

“Heheheh. Release the Kraken,” bisik Jenggo. “Yuk diicip yuk. Yuk bisa yuk.”

Penampakan barang mengerikan itu membuat Dinda menjerit-jerit karena panik. “Tidak! TIDAK MAUUU!! TIDAKK MAUUUU!!!”

Tapi Jenggo sudah gelap mata. Dia menjambak rambut Dinda, dan menarik kepalanya ke belakang. Dara jelita itu pun berteriak-teriak kesakitan. Jenggo mengatur supaya Dinda rubuh ke depan dengan pantat bulatnya yang putih mulus bak pualam menghunjuk ke atas. Lidah jenggo langsung menjilat bibirnya melihat penampakan indah bibir surgawi Dinda yang masih rapat.

“Jangaaaan… jangaaaaaaaan… aku mohooooon… jangaaaaaan… jangaaaaan… jangaaaaan…” Dinda merintih dan memohon ampunan dari Jenggo. Tapi tentu saja Jenggo tidak akan peduli apapun rintihan sang dara melihat keindahan tubuh Dinda yang amat ranum.

“Aku tidak peduli apakah kamu masih perawan atau sudah pernah ditusuk orang. Tapi akan kupastikan, hari ini kontolku akan membuatmu nyaman. Bahkan kalau kamu sudah tidak perawan, kamu akan merasa kembali seperti perawan karena akan kukuak bagian terdalammu yang belum pernah dijelajah oleh kontol-kontol lain yang sepengalaman.”

“Jangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannn!!”

“Hkkkghhh!” Sodokan Jenggo dihempaskan ke depan. Tapi Dinda menggoyang pantatnya ke arah yang tepat, penis Jenggo gagal masuk, hanya menubruk bongkah pantat. Jenggo tertawa. Hehehe, ada-ada saja. Coba lagi. Sekali lagi Jenggo mendorong kontolnya ke depan.

Hpph!! Sekali lagi gagal masuk! Kampret cewek satu ini, bisa-bisanya tahu posisi aman.

Tidak peduli! Kali ini tidak akan gagal lagi! Yang ketiga pasti… kampreeeeeeeet!!

Sang Raja Para Anjing jadi penasaran dan geram, “Bisa diam tidak sihhhhh!!?”

“Jangaaaaan… jangaaaaan… tidak akan muaaat… tidak muaaaat…”

Plaaaaaaaak!!

Pantat Dinda ditepuk teramat keras sehingga meninggalkan bekas telapak tangan memerah. Dinda menjerit kesakitan. Saat itulah akhirnya gadis itu lengah.

Slepp.

Dinda terbelalak, mulutnya menganga, tapi tidak ada suara. Rasanya luar biasa sakitnya. Bagian paling rahasia dari tubuhnya kini sudah dijajah oleh orang yang paling tidak berhak sedunia. Air mata deras mengalir dari pelupuk mata sang dara. Tubuhnya bergetar hebat. Ia menangis tersedu-sedu. Kenapa ini terjadi pada dirinya? Kenapa hal seperti ini terjadi padanya? Dia salah apa? Apa hal buruk yang pernah dilakukannya sehingga dia harus mengalami nasib seperti ini?

Kenapa bukan Deka? Kenapa bukan mas Amar? Kenapa justru… pria seperti ini yang menjadi…

Dinda tak berdaya melawan angkara murka, Jenggo mulai bergerak. Setiap kali Dinda menolak, Jenggo justru terus menerus memompa. Tanpa henti dan tanpa jeda. Memanfaatkan kerapatan di dalam vagina. Dinda memejamkan mata. Hancur hatinya. Apa yang akan terjadi jika Mas Amar tahu apa yang terjadi padanya? Apa yang akan dilakukan Deka jika mengetahuinya? Tubuhnya tak layak lagi ia persembahkan untuk salah satu dari mereka, ia sudah ternoda. Dara jelita yang nelangsa itupun berteriak kencang dengan parau karena putus asa.

Tubuh Dinda maju mundur ketika Jenggo mulai memainkan tempo. Kadang cepat, kadang lambat, kadang kencang, kadang pelan. Meski bajingan, tapi Jenggo tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita. Kapan harus kasar dan kapan harus berlaku santai. Dia ingin cewek ini takluk padanya dan itu butuh permainan yang pas untuk menjinakkannya. Tubuh Dinda terhentak-hentak karena digenjot dari belakang. Dadanya yang ranum bergoyang-goyang melawan irama gerakan maju mundur, sebuah pertanda bahwa gravitasi itu nyata.

Mungkin di luar kesadarannya, tapi Dinda mulai masuk dalam irama sang preman yang sedang memperkosanya.

“Tubuhmu… tubuhmu… indah bangeeeett… kamu cantik bangeeeet… jadi sayang aku yaaaaa!? Mau kan kamu jadi sayangku? Jadi pacarkuuu? Akan kuberikan segalanya untukmuuuuu!!” Jenggo merem melek merasakan denyutan liang cinta Dinda yang rapat, memeluk erat batang kejantanannya yang maju mundur, keluar masuk, ke dalam, keluar, dilepas, melesak, menggesek, dan merapat. Ini kenikmatan sempurna dunia akhirat.

“Jangaaaan… jangaaan… sudaaaah… sudaaaah… kumohooon… kumohoooooon…” rintih Dinda dalam sedu sedan. Tubuhnya masih maju mundur dan matanya dipejamkan. Rasanya ada sesak yang mendesak di liang cintanya yang menyingkirpun enggan. Jenggo sudah sangat berpengalaman menaklukkan, dia tahu kapan harus keluar, dan kapan memasukkan. Dinda tidak punya kesempatan. “Hnggkhh! Hnnngkkkhh!! Aaaahhh…! Ahhhhh!! Ahhhhh!!”

“Haaahhh… hahhh… hahhh… memek kamu bener-bener, sayang… bener-bener juaraaaaaa…!!!” Jenggo tidak buang waktu lama. Dia mendaki gunung kenikmatan dengan kecepatan. Tubuh Dinda yang jauh lebih mungil dibandingkan dirinya terus digoyang tanpa henti. Makin lama makin cepat. Terhentak-hentak. Tersengal-sengal.

“Ahaaaaaaaakghhhh!! Hssst…. Hssst… ssst… sssst… haaaakkkghhh…” Dinda melenguh-lenguh saat tubuhnya dipacu oleh nafsu birahi sang pemerkosa. Ia memekik ketika batang kejantanan milik Jenggo menjajah liang cintanya. Bagian tubuh yang seharusnya ia persembahkan hanya untuk suaminya seorang lenyap ditelan seorang jahanam. Bagian terdalam vagina Dinda bagaikan dirobek-robek oleh sayatan batang nakal yang ditenagai oleh hawa nafsu.

Tubuh Dinda menggelinjang. Tiap kali Jenggo menekan, saat itu pula ia tersiksa. Seakan selalu ada celah dan bagian-bagian dalam liang cintanya yang berhasil dijelajah untuk pertamakalinya oleh sang pemerkosa. Lenguhan berulang kali terdengar dari bibir Dinda yang terbuka. Ia tidak ingin membuka mata. Ia tidak bisa membuka mata. Hentakan demi hentakan menyakiti tubuh dan batinnya. Menyiksa. Sangat tersiksa. Sakit di badan, sakit di hati.

“Aaaahaaakghh… wueeenaaaaak sekali memek kamu, sayaaaaang. Bakal aku pakai siang dan malaaam!! Huahahahaha!! Nikmaaaaaat!! Gudeg mercon saja kalaaaaah wueeenaaaak!! Hahahahah!!” Jenggo semakin liar memompakan batang penisnya ke dalam vagina Dinda, tubuhnya tergoyang dan digoyang. Buah dada Dinda bergerak-gerak erotis menambah macetnya aliran kesadaran dalam sanubari Bambang Jenggo. Sesekali tangan Jenggo meremas-remas bongkahan kenyal yang meskipun tidak besar, namun menyempurnakan keindahan tubuh sang dara.

Sampai pada akhirnya, satu hentakan yang teramat kuat dan menyakitkan terjadi. Jenggo bagaikan menembus sisi terdalam di liang cinta sang dara jelita. Sisi yang belum pernah dimasuki oleh pria manapun di dunia. Preman bajingan itu berteriak kencang karena puas yang tak tertahan.

“Haaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!”

Dinda hanya bisa menjerit dan memejamkan mata.

Ada yang membanjir di liang rahimnya. Begitu banyak, begitu hangat, begitu tak diinginkan.

“Hahahahahahhaha!! Mantaaaaaaaap!! Hahahahahah!!” Sang Raja Para Anjing mengungkapkan rasa di dadanya.

Bambang Jenggo terkulai di samping tubuh Dinda yang masih terengah-engah. Lendir kental meleleh dari pintu gerbang surgawi sang dara jelita, seakan menandakan betapa penuhnya liang rahim Dinda telah diisi oleh kesesatan pekat dari sang pimpinan preman.

Meski sudah usai, namun Jenggo masih belum selesai. Ia masih saja mengelus-elus paha dan meremas-remas buah dada dara cantik itu. Air mata sang dewi masih terus menetes, sesunggukan tanpa jeda. Jenggo hanya terkekeh-kekeh ketika Dinda kemudian menepis tangan sang preman.

“Gimana, suka kan? Mau lagi kan?”

“MENJIJIKKAN!! AKU BENCI SAMA KAMU! JAHAT!”

“Hahahahaha! Tidak masalah kamu membenciku, yang penting setiap kali aku datang, buka kakimu lebar-lebar buat kontolku ya. Hhahahahaha. Juara banget memek kamu, sayang. Akhirnya aku bisa merasakan lagi memek rapet setelah sekian lama. Hehehehehe. Apem yang benar-benar sempurna jepitannya.”

Cuh!

Dinda meludahi wajah Jenggo. Jenggo tersenyum dan menghapus ludah Dinda dengan tangannya.

“Kenapa marah? Baru saja kamu menggelinjang keenakan bukan? Sayangnya memekmu yang sempit itu harus aku bikin renggang. Maaf kalau kontolku jadi bikin memekmu longgar, sayang. Mudah-mudahan kelak calon suamimu punya kontol yang jauh lebih besar dariku – jadi kamu bisa merasakan nikmatnya kenthu. Tapi kalau lebih kecil… aduh… kasihan banget kamu… buahahahahahha.”

Jenggo meninggalkan ranjang dan duduk di samping meja, di sana ada gelas kosong dan teko berisi teh. Jenggo menuang teh itu dan langsung menyeruputnya tanpa gula.

Ada rasa pahit yang menamparnya.

Dinda menatap pilu ke arah Jenggo – pria yang telah memuntahkan banyak air mani di dalam rahimnya. Gadis ayu itu terus menerus meneteskan air mata, membuat wajahnya semakin mengenaskan di dalam ketelanjangan yang tak lagi ia tutupi. Buat apa? Jenggo telah meninggalkan jejak di setiap jengkal tubuhnya, entah itu elusan ataupun kecupan. Untuk apa ditutupi? Pikiran Dinda menerawang jauh.

Bagaimana kalau…

Bagaimana kalau dia hamil? Dia sedang masuk di masa subur.

Berbagai penyesalan membanjir di benak Dinda. Berbagai rasa yang tak terucapkan tapi dirasakan bagai paku yang menghujani batin. Kalau tahu begini, dia seharusnya dulu melakukan ini. Kalau tahu begini, dia seharusnya sejak dulu melakukan itu.

Dia seharusnya memberikan yang terindah untuk Mas Amar. Dia seharusnya sejak dulu mengiyakan cinta Deka. Dia seharusnya tidak datang ke kota ini. Dia seharusnya tidak…

Ah.

Ingin mati saja rasanya.

Tiba-tiba saja Bambang Jenggo berdiri dan melangkah kembali ke arah ranjang. Mata Dinda terbelalak karena kaget dan ketakutan. Mau apa lagi pria menjijikkan itu sekarang?

Jenggo mengedipkan mata dan terkekeh, “sudah istirahatnya? Yuk masuk ronde kedua, sayang.”

Dinda menjerit ketakutan.

Tapi saat itu, tidak ada yang menolongnya.

Jenggo kembali bejat.





.::..::..::..::.





.:: SEMENTARA ITU



Deka dan Shinta terus mengendap-endap. Siapa yang menyangka kalau kedua orang tua Shinta ternyata disekap di tempat mereka tadi menyelinap masuk? Sungguh se-fruit kebetulan yang menguntungkan. Papa Mama Shinta disekap di kamar kos-kosan yang ada di halaman belakang rumah utama. Untung saja Deka dan Shinta memutuskan untuk langsung memeriksa tempat itu begitu masuk ke bagian terdalam kediaman Rahu Kala, sehingga Deka dan Shinta bisa langsung menyelamatkan mereka.

Kamar kos-kosan itu sebuah tempat yang gelap, pengap, dan tak bertuan. Ada sisa-sisa biskuit yang rupanya menjadi satu-satunya makanan yang diberikan pada mereka. Begitu Deka menjebol kunci pintu ruangan dengan keahliannya membongkar gerendel, Shinta langsung membawa kedua orangtuanya pergi. Mereka sangat lemah, ketakutan, dan terus menerus gemetaran. Beberapa jemari mereka hilang karena tindakan laknat sang Dewa Iblis.

Good news-nya, karena sudah menemukan target di kos-kosan belakang, mereka tidak perlu mencari dan menjelajah lagi. Bad news-nya, mereka bingung harus melarikan diri dari mana.

“Kita keluar dari mana, Mas? Di sini jalan buntu, semuanya pagar tembok yang tinggi-tinggi. Kita tidak mungkin balik lewat atas lagi, Mama Papa-ku tidak akan sanggup meloncat,” bisik Shinta perlahan-lahan – takut suara sekecil apapun akan terdengar oleh Rahu yang tengah bertarung dengan om Tarjo di sayap sebelah kiri rumah. Dia terus menggandeng sang Papa sementara Deka menggendong Mama-nya yang hampir tak sadarkan diri karena terlalu lemah.

Deka juga kebingungan. Di kejauhan masih terdengar suara pohon yang tumbang satu demi satu. Sepertinya berlangsung pertempuran yang sangat seru antara om Tarjo dan Rahu Kala. Sebenarnya Deka sangat ingin membantu om Tarjo, tapi dia tahu hal itu justru sama saja dengan mengantarkan nyawa dan dia hanya akan merepotkan om Tarjo. Itu sebabnya dia dan Shinta harus cepat, karena kalau tidak – Rahu bakal menyadari keberadaan mereka di dalam rumahnya.

Deka mencari, mencari, dan mencari sampai akhirnya menemukan satu celah di pojokan. “Pagar yang sebelah sana. Itu kan ada tumpukan tong-tong minyak yang sudah karatan. Kalau kita bisa naik ke tong-tong minyak itu, jarak atas pagar tembok jadi lumayan pendek, aku bisa mengangkat Mama dan Papa kamu dari bawah, kamu bantu tarik dari atas, lalu turun di sisi sebaliknya. Setelah semua melompati pagar tembok, kita bisa lari dari rumah sebelah.”

Tidak ada cara lain. Mereka harus mencobanya. Buru-buru Deka dan Shinta membawa Mama dan Papa Shinta mendekati tong yang harus mereka panjat. Satu persatu dari Papa dan Mama Shinta dinaikkan ke atas tong oleh Deka, lalu ditarik naik ke atas pagar oleh Shinta. Deka mengangkat dan mendorong dari bawah, sementara Shinta menarik dari atas.

“Ayo naik, Mas. Aku akan turun dan membantu Papa Mama turun di sebelah.”

Deka mengangguk. Dia melompat dengan cekatan lalu berdiri di atas pagar. Berhati-hati sekali, Deka menurunkan Papa dan Mama Shinta ke bawah sementara Shinta sendiri menerimanya di halaman rumah sebelah yang memang kebetulan sekali kosong. Setelah kedua orang sepuh itu berhasil turun, Shinta memberikan kode pada Deka.

Deka pun bersiap untuk meloncat turun.

Saat itulah malapetaka datang.

“Apa yang kalian lakukan di sini?”

Suara berat sang Dewa Iblis berkumandang. Dia berdiri dengan tegap di atas pagar tembok, jumawa di belakang Deka.

Rahu Kala sang maut, sang Dewa Iblis, telah hadir.

Deka dan Shinta sama-sama terkejut saat melihat kehadiran sosok menakutkan itu! Orangtua Shinta yang amat lemah sampai duduk bersimpuh karena tak kuat lagi, orang-orang sepuh yang terluka itu sangat ketakutan melihat wajah Rahu. Jantung keempat orang itu berdegup dengan kencang. Padahal hanya tinggal beberapa langkah lagi mereka bakal sampai di gerbang kebebasan. Tinggal beberapa langkah lagi untuk dapat keluar dari neraka ini.

Tapi nasib ternyata berkata lain.

Rahu turun ke bawah.

Deka ikut turun. ia berdiri di antara Rahu dan rombongan Shinta. Deka berada di tengah – menghalangi laju Rahu agar tidak mencapai Shinta dan kedua orang tuanya. Si Gondes menelan ludah dengan tegang, bagaimana tidak tegang? Ada raksasa dengan wajah menyeringai menakutkan berdiri di hadapannya sembari bersidekap. Deka menatap ngeri wajah Rahu, matanya tajam menatap ke depan. Mata seorang pemburu yang gembira karena telah bertemu dengan mangsa.

Tunggu sebentar… Kalau si Dewa Iblis ini sudah sampai di sini… apakah itu artinya om Tarjo sudah…?

“Heheheh. Lho kok kalian sudah mau pergi saja? Tidak mau ngobrol-ngobrol dulu? Tidak ingin lebih lama tinggal di sini untuk sekedar berbincang santai? Mungkin sambil ngeteh atau ngopi? Mumpung harinya cerah tidak hujan, mungkin kita semua bisa duduk bersama-sama. Kalian suka teh Soros atau teh Asry Wangi? Hahahahah. Nanti aku siapkan.”

Deka tahu mereka tidak boleh menunggu. Setiap detik berharga.

“Shintaaaaaaaa! Lari!” Deka berteriak kencang. Dia mencoba menutup jalur Rahu dengan memanfaatkan lebar tubuhnya. Di belakang Deka, Shinta berusaha mengangkat kedua orangtuanya untuk segera melarikan diri.

Sesuatu yang sebenarnya sia-sia belaka.

“Hahaha, kok malah lari-lari? Mau olahraga? Boleeeeh. Boleeeeeh.” Sang genderuwo bertubuh besar di depan Deka merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, lalu menepukkannya sekuat tenaga.

Ka-Blaaaaaaaamnnn!

Tepukan disertai tenaga Ki itu begitu luar biasa. Hampir semua orang yang berhadapan dengan Rahu langsung terlempar terkena hembusannya, mereka terpental dan terhentak di tembok pembatas pagar, lalu terguling-guling ke halaman di sisi kiri garasi tetangga Rahu, sebuah rumah kosong yang lama tidak berpenghuni.

Semuanya ambruk, jatuh tak berdaya.

Deka yang berada di posisi terdepan ambruk dengan posisi tengkurap, setelah terbanting ke tanah beberapa kali. Tubuhnya terhentak ke bawah dengan kencang, mengenai satu pancang batu besar yang langsung menghantam tulang rusuknya. Deka berteriak kencang karena kesakitan. Dia mengerang dan berputar-putar di tanah dengan nelangsa.

Rahu tertawa-tawa dan berjalan melewati si Gondes, seakan-akan menganggap bahwa pemuda itu bukanlah ancaman yang berarti baginya. Sang Dewa Iblis juga melewati Shinta yang sedang berusaha keras untuk bangkit. Tujuan utamanya malah justru Papa dan Mama Shinta yang tergeletak kesakitan tanpa daya di atas rerumputan.

“Kalian pergi begitu saja. Datang tak diundang, pulang pun tak diantar. Mana bisa begitu.” Rahu tersenyum saat ia berdiri di atas kedua orang sepuh tak berdaya yang menatapnya dengan ketakutan. Papa Shinta yang kemudian melindungi sang istri dengan tubuh gemetar. Ia merangkul istrinya dan memejamkan mata. Kalau harus mati hari ini di tangan angkara murka, setidaknya mereka akan mati berdua sesuai janji suci.

Rahu mengangguk, dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seperti ada kilat-kilat yang muncul di kepalan tangan kanan yang ia angkat. “Akan kuwujudkan permintaan terakhir kalian.”

Shinta terbelalak dan berteriak kencang, “Papaaaaa! Mamaaaaaa!”

Swssh.

Haish. Kutu beras mau ngapain?” Rahu mendengus.

Deka berdiri melindungi Papa Mama Shinta. Tepat di hadapan Rahu Kala. “Sedari tadi mulut busukmu terus saja merendahkan kami. Aku sudah tidak tahan. Harus ada orang yang membungkammu dengan karma. Mungkin aku bakal mati hari ini, tapi setidaknya aku mati sebagai laki-laki. Bukan seperti pengecut yang hanya bisa menyakiti orang tak berdosa – apalagi terhadap wanita dan orang tua.”

Deka melangkah ke depan tanpa rasa takut. Dia sudah tidak peduli lagi, jika memang dia harus mati ya sudahlah. Yang penting dia harus menutup mulut bedebah bongsor satu itu. Kesombongan tidak akan ada ujungnya kecuali disumpal balik ke mulut si bacot.

“Aku tidak peduli kamu siapa dan kamu bisa apa. Saatnya memasukkan kamu ke perut bumi, sekali dan selamanya. Kota ini tidak membutuhkan buto ijo seperti kamu.” gertak Deka sembari menyiapkan sesuatu yang sejak awal ia bawa, nunchaku-nya. Deka langsung memainkan senjata favoritnya itu dan membuat lingkaran membadai. “Mari kita lihat bisa apakah kami bisa menembus Perisai Genta Emas!

“Bwahahahaha. Baru bisa Perisai Genta Emas saja sudah sombong! Maju! Akan aku tunjukkan bedanya petarung seperti aku dengan tae kemampul neng kalen.” Rahu berjalan gagah menghadapi Deka.

Deka berlari ke depan dengan gerakan nunchaku yang menggila. Kelebat serangannya bagaikan kilat yang menyambar-nyambar. Serangan dilancarkan, tapi dengan mudahnya Rahu Kala berkelit dan menepis serangan itu. Gerakan mundurnya sangat efektif. Satu langkah mundur, satu langkah ke samping, selalu berhasil menghindar dari serangan Deka. Rahu tidak pernah boros dalam bergerak.

“Shintaaaaaaa!!”

Sang dara jelita yang memperhatikan pertarungan Deka dengan Rahu dengan takjub akhirnya tersadar. Inilah kesempatan untuk membawa lari kedua orantuanya! Aduh! Kenapa dia malah bengong! Deka sudah jelas tidak akan bertahan lama bermain satu lawan satu dengan Rahu. Sekarang saja sudah terlihat perbedaan mereka, Deka begitu ngotot merangsek ke depan, tapi Rahu dengan mudahnya menghindar dan menepis setiap serangan Deka. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum keadaan berbalik.

Buru-buru Shinta berlari menuju Papa Mama-nya.

Rahu Kala tertawa, “Gadis itu bodoh juga ya. Sudah diberikan kesempatan lari malah tidak bereaksi. Malah bengong dengan bloonnya. Hahahaha. Baiklah, waktunya bermain-main sudah habis.”

Deka mendesis kesal, apakah dia harus mengerahkan ilmu hitamnya?

Tidak… tidak bisa… dia sudah berjanji pada om Tarjo. Dia akan mengatasi Rahu dengan kemampuannya sendiri, tidak dengan bantuan sosok yang bakal merasuk ke dalam tubuhnya dan selalu meminta tumbal sebagai balas jasa. Dia sudah berjanji.

Deka menjejakkan kakinya ke tanah, melompat teramat tinggi, mengayunkan nunchaku-nya ke belakang, memutar-mutarnya untuk mendapatkan momentum, lalu menghempaskannya ke kepala Rahu dengan sekuat tenaga.

“Maaaamppppuuuussssss!!”

Bledaaaaaaaaaakghhh!

Nunchaku
itu mental begitu saja setelah mengenai kepala Rahu. Tidak nampak rasa sakit di wajah sang Dewa Iblis, malah senyum lebarnya yang menghias wajah. Deka mendarat dengan mata melotot. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Sekali lagi Deka mengayunkan nunchaku-nya.

Hpph.

Tangan kanan jumbo milik Rahu Kala dengan mudahnya menangkap hempasan nunchaku dari Deka itu, dia bahkan melakukannya dengan tersenyum. Tangan kiri Rahu menangkap tubuh Deka, meremas dadanya – membuat si Gondes berteriak kesakitan. “Selain Kuasa Dewa Iblis, aku juga punya pertahanan Delapan Ksatria Perunggu. Masih terlalu dini bagimu untuk menghadapiku. Tenagamu tak beraturan, Ki-mu lepas lepas, napasmu kacau balau. Seandainya hari ini kamu tidak mati, aku tunggu kesempatan kita bertemu kembali.”

Shinta berusaha membawa kabur kedua orangtuanya, tapi melihat Deka diperlakukan bak mainan membuat gadis itu tidak tega. Bagaimanapun juga Deka-lah yang sejak tadi telah membantunya. Bagaimana ini? Dia bimbang. Membantu Deka berarti meninggalkan Papa dan Mama-nya. Tapi jika membantu mereka kabur, itu artinya Deka akan…

“Ma… Mas…”

Rahu melirik ke arah sang dara. Nunchaku pun direnggut lepas dari tangan Deka dan dilemparkan ke arah Shinta! Dara jelita itu langsung ambruk tak berdaya saat sambaran senjata Deka mengenai kepalanya!

“Shintaaaaaaaaaa!!!” Deka berteriak kesal. Dia lengah.

Dengan kedua tangannya, Rahu Kala mengangkat tubuh Deka dengan satu tangan. Pameran kekuatan yang mengagumkan, menyeramkan, menakutkan, nggegirisi, nggilani, medeni, sekaligus ngedab-edabi.

Rahu tidak menunggu lama dan sama sekali tidak menunggu keputusan dari siapapun. Dia melemparkan tubuh Deka ke tembok. Melemparkan mungkin bukan kata yang tepat. Rahu membanting dan menghempaskan tubuh pemuda itu begitu kerasnya.

Jblaaaaaaaaaaam!

Sekali? Tidak.

Jblaaaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaaam! Jblaaaaaaaam!

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Lima kali Deka dibenturkan ke tembok yang keras. Beruntung Perisai Genta Emas beraksi secara naluri. Deka ambruk terguling-guling ke bawah. Sepertinya ada tulangnya yang patah atau retak tapi entah di bagian mana. Seluruh tubuhnya terasa sakit semua. Darah mengucur dari pelipisnya yang bocor.

Rahu Kala bergerak dengan cepat dan menghujani Deka dengan hantaman membadai. Mengincar semua bagian tubuhnya yang terbuka.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Deka terhajar. Dia tidak punya kesempatan. Pemuda itu ambruk luruh ke belakang.

“Hehehehe. Ayo berdiri. Masa segitu saja sudah KO. Menjijikkan,” pancing Rahu.

Dengan tersengal-sengal Deka mencoba bangkit. Wajahnya sudah tidak karuan, sembab, dan bengkak. Bibirnya bergetar mencoba mengatakan hal-hal yang tidak akan berpengaruh banyak. Pemuda itu remuk redam di tangan sang Dewa Iblis.

Sblkghhh!

Satu tendangan sepatu Rahu yang dijejalkan ke dada Deka membuat tubuh si Gondes terhenyak dan terlempar ke belakang. Ia kembali terguling-guling. Sesak sekali dadanya, remuk semua terasa tulang rusuknya. Deka kembali rubuh tanpa daya.

Andai saja bisa, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia sudah berjanji untuk melindungi Shinta. Dia sudah berjanji! Deka paham, hari ini sepertinya dia akan tamat.

Sudah selesai tugas-tugasnya di dunia ini. Rahu akan menjadi malaikat maut yang mencabut nyawanya. Dia tidak akan sempat lagi bertemu dengan Nanto dan kawan-kawan dari Lima Jari, dia tidak akan sempat pamit dari sang kakak Amar Barok, dari sang sahabat masa kecilnya Dinda, dan tidak akan sempat mengucapkan kata berpisah dengan mantan tunangannya Ara.

Dia tidak akan bertemu mereka lagi.

Tapi setidaknya dia usai dengan penuh gaya. Deka mencoba tersenyum meski mulutnya terasa perih. Ada robek di ujung bibir. Dengan sekuat tenaga Deka mencoba bangkit. Susah sekali. Rasanya susah sekali.

Gunakan aku.

Heheheh. Dasar bajingan lelembut kurang ajar. Tidak akan Deka menyerah lagi pada nafsu buas untuk memangsa, untuk meminta tumbal. Mau membantu? Bantu menghadapi monster ini untuk yang terakhir kalinya! Maju bersama, mati bersama, lenyap bersama dari dunia!

Baiklah akan kubantu, tapi setelah ini jiwamu akan kugerus dan kuseret ke neraka.

Dasar munyuk. Bisa-bisanya.

Deka mengambil ancang-ancang. Ya sudahlah. Saatnya membenamkan bajingan satu itu ke lautan neraka terdalam, mau pakai ilmu putih atau hitam sama saja. Kalau Deka jatuh hari ini, maka Rahu juga harus ikut jatuh bersamanya.

Deka bersiap. “Ki Demang Undur-Undur… akan kupakai ilmumu untuk yang terakhir kalinya…”

Belum sampai Deka mengeluarkan ilmu hitamnya, satu tangan lembut menghentikan ancang-ancang sang pemuda.

“Kamu sudah berjanji tidak akan menggunakan ilmu hitammu lagi. Sudah berhasil bertahan sampai saat ini, jangan sia-siakan usahamu itu. Mundurlah dulu, bocah. Biarkan aku yang mengajarkanmu bagaimana menghadapi sosok seperti Dewa Iblis. Memahami langkah dan teknik lawan juga termasuk strategi pertarungan. Akan datang saatnya ilmu yang kelak akan kamu kuasai menjadi sesuatu yang berguna untukmu, tapi bukan sekarang dan bukan ilmu hitam. Pelajari yang telah aku berikan.”

Deka terdiam sesaat sebelum perlahan-lahan terbelalak. Meski matanya sudah tidak bisa lagi melek dengan sempurna, tapi pemuda itu tahu dia sedang bertatapan dengan om Tarjo yang tersenyum lembut kepadanya. Ada darah yang mengucur dari kepala sang pria tapi wanita itu.

“O-Om… Jangan bilang kalau… haaargh!”

Tangan om Tarjo bergerak sangat cepat, jauh lebih cepat dibandingkan Deka. Tubuh pemuda itu pun luruh ke bawah tanpa daya. Ia jatuh terduduk tanpa bisa bergerak sedikit pun. Mulutnya juga tak dapat bergerak, Deka tidak dapat berteriak untuk menghentikan langkah sang pria tua.

“Rahu, kita tuntaskan pertarungan kita hari ini! Setelah ini kita lihat apakah aku masih pantas hidup dan menuntaskan perjalanan panjangmu, ataukah justru dirimu yang berhasil mengakhiri warisan darah ajaib dari Kakek Segala Obat!

“Boleeeeeh! Boleh! Ini baru seru. Tak kuduga sama sekali kamu masih hidup, jerangkong benyek. Aku pikir sudah dijadikan sop-sopan gule tulang kambing sama tukang sate setelah aku timbun di bawah pepohonan tadi! Hahahaha!”

“Sudah jangan banyak bicara! Waktuku tak banyak! Aku akan melawanmu tanpa bantuan siapapun dan berjanji akan bertarung dengan terhormat! Aku juga tidak akan pernah meminta murid-muridku untuk membalas dendam padamu jika nanti aku tumbang! Sebagai gantinya aku mau kamu berjanji untuk melepaskan mereka semua ini.” Om Tarjo memberikan syarat. “Nyawaku sebagai ganti mereka. Setuju?”

Rahu menyeringai dan mengangguk. “Setuju.”

Om Tarjo terbatuk-batuk beberapa kali, tubuhnya lemah sehingga dia terpaksa menopangkan tangan di pundak Deka. Meski begitu wanita transgender itu masih sanggup tersenyum lembut, ia berbisik lemah. “Aku baru saja menotok aliran darahmu, bocah. Kamu tidak akan dapat melepaskan diri sampai seperempat jam ke depan, gunakan untuk memulihkan tenaga. Jangan khawatir… Rahu tidak akan menyakitimu atau siapapun karena meskipun dia berangasan, dia selalu menepati janjinya. Bukan begitu, Rahu?”

Rahu menyilangkan tangan di depan dada. Dia sempat melirik ke arah Shinta dan kedua orangtuanya yang belum juga berhasil lolos dari tempat itu. Rahu mendengus dan mengangkat pundaknya tanda tak peduli lagi, “Tentu saja. Wong lanang seng dicekel omongane. Aku tidak akan mengutak-atik si kutu beras, ceweknya, atapun keluarganya hari ini. Tentu saja kalau mereka juga tidak macam-macam.”

“Terima kasih.” Om Tarjo mengangguk. Ia menatap wajah Deka, Shinta yang terkapar, dan keluarga Shinta yang sudah terlalu lelah untuk merangkak menjauh. Om Tarjo mengangkat dagu Deka, menegakkan wajahnya dan mulai berbisik. “Bocah ganteng… aku minta tolong jaga Shinta baik-baik. Dia gadis yang sangat kuat dan mandiri, tapi dia tetap membutuhkanmu untuk menjaganya karena ke depan nanti aku yakin kalian akan menemui banyak tantangan dan rintangan. Pelajari buku yang kuberikan untuk memahami apa yang masih kurang dari dirimu. Ingat baik-baik, Rahu bukanlah dewa sebenarnya. Dia masih manusia biasa. Manusia biasa punya batasan. Perhatikan bagaimana caranya mengalahkan Rahu Kala.”

Pria unik itu mengelus pipi Deka, menepuknya, kemudian berbalik badan, dan melangkah menuju ke arah sang lawan tanpa rasa takut sedikitpun. Meski dengan tubuh lemah dan kaki yang sepertinya harus diseret, om Tarjo menantang maut tepat di depan matanya.

Maut itu berjuluk Sang Dewa Iblis, musuh bebuyutannya – Rahu Kala.

“Bocah! Jaga Shinta untukku!”

Teriak Om Tarjo yang sudah siap mati. Demi memberitahukan cara menaklukkan sang Dewa Iblis pada Deka, om Tarjo mengubur dalam-dalam rasa takutnya.

Keringat deras membanjiri tubuh Deka. Dia mencoba memberontak karena tahu nasib apa yang akan menunggu om Tarjo. Tapi bagaimanapun caranya dia berontak, dia tidak bisa lepas dari totokan. Dia hanya sanggup memandang pria bertubuh lemah yang dengan gagah mendatangi seorang pria bertubuh raksasa.

“Heheheh. Akhirnya kita berhadapan untuk yang terakhir kalinya, Mas Tarjo. Orang yang konon mewarisi darah dewa. Orang yang mampu menyembuhkan luka apapun dengan ajaib. Orang yang menjadi keturunan terakhir tokoh legendaris Kakek Segala Obat. Sebenarnya aku tidak keberatan menghadapi kalian berdua bersama-sama. Tapi kalau kamu ingin memaksa menghadapi aku sendiri, ya ayo saja.” Rahu Kala menyeringai. “Sepertinya sudah waktunya garis keturunan Kakek Segala Obat terhenti. Tidak akan ada lagi darah-darah magis yang membuat pertarungan menjadi tidak seru. Kamu juga setuju kan, Mas Tarjo?”

“DEKA! PERHATIKAN PERTARUNGAN INI!” teriak om Tarjo dengan kencang. Dia tidak mempedulikan kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh sang Dewa Iblis. Pria lemah lembut itu berubah menjadi garang dan menunjuk ke arah sang Dewa Iblis, “MAJU RAHU!!”

Rahu Kala tertawa terbahak-bahak, tubuh raksasanya terguncang-guncang. “Apanya yang mau ditunjukkan ke bocah kutu beras itu? Kematianmu? Bwahahahha… kacau kamu, Mas Tarjo! Sini! Biar sekalian kutunjukkan pada si bocah, kekuatan macam apa yang bakal menguasai kota ini. Bwaahahhaah.”

Kedua petarung melangkah maju tanpa perlu berlari. Mereka hanya berjalan perlahan namun sama-sama meningkatkan Ki dalam diri. Nyala aura-nya memancar tak tertahankan.

Pertemuan dua kekuatan tidak bisa dihindari.

Deka hanya bisa memandang dengan geram. Apakah om Tarjo mampu melayani Rahu?

Rahu yang bertubuh raksasa melebarkan tangan, membuka diri, dan membiarkan om Tarjo masuk ke dalam area pertahanannya. Aura maut merajalela di seluruh penjuru lokasi. Om Tarjo siap meladeni. Dia melangkah dengan berani ke depan, tangannya bergerak-gerak seperti berusaha menghalangi arus angin yang sedang berhembus di antara kedua petarung.

Menghalangi? Bukan. Deka mengerutkan kening. Ia mulai paham apa yang sedang dilakukan oleh pria unik yang akhir-akhir ini memperoleh rasa hormatnya itu.

Bukan. Om Tarjo bukan berusaha menghalangi arus angin, dia justru sedang berusaha membiarkannya mengalir.

Alih-alih berusaha melawan arus Ki yang ditebarkan oleh aura sang Dewa Iblis, om Tarjo membiarkan Ki itu mengalir dan melaluinya. Tubuhnya bertindak bagaikan kapas yang diterbangkan oleh angin. Tapi tidak berhenti sampai di situ saja. Om Tarjo lama-kelamaan memutar arus tenaga Ki yang mengalir keluar dari tubuh sang Dewa Iblis dan menelannya seperti air terjun yang malahap arus sungai – dia mengubah arus yang menghentak menyerang menjadi kekuatan bagi dirinya sendiri.

Hembusan Ki yang keluar dari tubuh Rahu keluar dan menghentak, tubuh om Tarjo mengikutinya secara natural sehingga dia akan mundur setiap kali Rahu maju, om Tarjo dapat menghindar dengan mudahnya karena kekuatan Rahu justru memberitahukannya arah pembukaan serangan. Rahu tidak mampu mengunci posisi om Tarjo dengan pasti. Deka terus menerus mengawasi dari kejauhan, strategi yang bagus dari om Tarjo. Saat melawan Rahu, jangan langsung melawan secara frontal, ikuti arusnya dulu.

“Hahahaha. Jadi kamu main defensif ya? Bagus sekali. Bagus sekali! Permainan defensif seperti yang kamu peragakan adalah makananku! Permainan defensifmu akan ditelan mentah-mentah oleh Kuasa Dewa Iblis-ku!” Rahu kembali tertawa. “Sampai berapa lama kamu dapat bertahan?”

Sembari menyeringai meremehkan, Rahu menarik lengan kanannya sedikit ke belakang. Tangannya mengepal erat, kekuatan besar terasa terkumpul di kepalan tangan itu, tangannya sedikit berputar dan bergetar, seperti dinamo yang tengah mengumpulkan kekuatan, bagaikan torpedo yang tengah memutar baling-baling untuk diluncurkan.

“Bunyi kereta api , tut… tut… tut,” bisik om Tarjo lemah, “siapa hendak turut?”

Kaki Om Tarjo bergerak dengan gemulai seakan-akan ia sedang mengendarai seluncur es menuruni bukit salju. Begitu cepatnya manusia ganjil itu menyeruak masuk ke area pertahanan sang lawan. Tepat di tengah-tengah. Satu tangannya diangkat lalu disabetkan ke depan, membentuk garis serangan ke arah sang Dewa Iblis.

Rahu sudah bisa menebaknya, pertama dia berkelit lalu menjepit tangan yang disabetkan oleh om Tarjo dengan tepukan tangan raksasanya yang…

Plaaaaakgh!

Tepukan tangan Rahu menemui ruang kosong! Sang Dewa Iblis terbelalak. Mana mungkin!? Si penyakitan itu gerakannya bisa lebih cepat daripada Rahu!?

Bukan.

Dia tidak lebih cepat. Dia lebih cerdas. Om Tarjo sudah memperkirakan bahwa Rahu akan bergerak sesuai pancingannya. Itu sebabnya sekarang dia berada di atas angin.

Rahu Kala menggemeretakkan gigi karena dia keliru menebak, dia mengaku salah. Tapi bukan berarti lantas dia akan kalah. Bajingan penyakitan berpakaian wanita ini berani-beraninya menyerang di saat dia tak paham langkah. Sang Dewa Iblis memaksa gerakannya berubah tindakan, tangan yang tadinya diputar untuk menyerang kini digunakan secara langsung untuk memukul tepat arah, dari samping langsung meledak ke tengah.

Om Tarjo menyadari nyala api di hulu ledak sang lawan. Ia pun segera keluar dari jalur maut dengan bergulir ke samping sembari merunduk, tepat di bawah jangkauan garis serang.

Tapi Rahu tidak kalah mahir, dia mengikuti langkah sang pria yang wanita itu. Gagal memukul tidak berarti serangan tuntas. Tangan kiri dan kanan sang Dewa Iblis bergerak bersama, satu hendak menyambar baju om Tarjo, satu lagi hendak meremukkan lengan om Tarjo dengan satu sodokan kencang.

Lolos.

Tapi bahkan petarung Kelas A+ seperti Rahu Kala pun bisa terkejut. Tepukannya tak cukup kuat untuk menghentikan lengan om Tarjo! Alih-alih membuat om Tarjo terhenti, pria ganjil itu justru membalikkan kekuatan sang Dewa Iblis!

Mana mungkin!? Rahu tak percaya kekuatan mereka sebanding! Bahkan hanya dengan satu tangan, om Tarjo mampu terus menyeruak ke atas, mengincar dagu Rahu. Sang Dewa Iblis berteriak kencang dan memegang pergelangan tangan om Tarjo, lalu dengan sekuat tenaga melemparkan tubuh lemah itu ke atas.

Kali ini om Tarjo tak dapat menghindar.

Tubuh sang pria unik dilontarkan ke udara. Dia menggapai-gapai apapun yang bisa ia gapai, namun tidak ada yang bisa dijadikan pegangan.

Deka menatap dengan ngeri. Posisi om Tarjo tidak memungkinkan untuk menyerang balik! Tapi bukan om Tarjo namanya kalau semudah itu menyerah. Si ganjil itu berputar dan menghunjukkan lengan ke bawah, menyalurkan Ki ke dalam telapak tangan yang menuju ke bawah!

Rahu Kala memutar kembali lengannya seperti tadi, bagai mesin yang siap mencecar lawan. Dengan ketepatan, keduanya bertemu. Kepalan Rahu dengan telapak tangan om Tarjo!

Bledaaaaaaaaaaaaam!!

Rahu sedikit ambas ke tanah sementara om Tarjo terlempar dan terbang di udara.

Rahu dengan geram menatap ke atas dan melompat tinggi tanpa ancang-ancang. Hanya dalam waktu singkat ia berhasil menyusul posisi om Tarjo yang ada di atas. Keduanya kembali bertemu. Adu pukulan pun terjadi.

Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh!

Keduanya saling meluncurkan serangan dan saling menangkis selama di udara. Tidak ada yang berhasil masuk dan mengenai lawan. Kaki mereka sama-sama dilontarkan. Tendangan om Tarjo berhasil ditahan Rahu, sementara tendangan Rahu masuk ke punggung sang pria unik.

Keduanya turun di sisi yang berbeda.

Rahu dengan satu putaran ringan untuk mendarat sempurna, sementara om Tarjo terguling-guling sebelum akhirnya menggunakan tangan untuk mencakar tanah dan menghentikan putaran. Om Tarjo terbatuk-batuk, ia membuka mulut, dan meludahkan dahak darah dari dalam tenggorokan. Pria unik itu menghapus darahnya sendiri dari dagu. Apakah dia bakal bisa bertahan?

Rahu tertawa terbahak-bahak, “Hasil akhirnya sudah pasti. Kenapa harus terus seperti ini? Padahal punya kemampuan, tapi terpuruk dan hanya jadi tepung ketan. Kamu bisa saja menjadi petarung kelas A+, kawan. Tapi malah jadi pesakitan yang berdiri saja kesulitan. Menyedihkan.”

Bukannya kena mental, Om Tarjo malah ikut tertawa. “Menyedihkan? Hidupku menyenangkan dan aku bahagia meski sakit mendera. Aku tidak pernah menyesal dilahirkan dan berharap dapat berguna bagi banyak orang. Tidak pernah sekalipun aku berpikir bahwa hidupku menyedihkan. Sehat dan sakit itu dua sisi mata uang pemberian langit. Kenapa harus disesali dan disedihkan? Hidup kita sudah digariskan sejak kelahiran. Kalau memang aku mati di tanganmu hari ini, aku juga tidak akan menyesal.”

Sepertinya om Tarjo juga sadar bahwa inilah akhirnya. Dalam suatu pertarungan antara dua master dibutuhkan kekuatan dan Ki yang luar biasa untuk bisa saling mengungguli dalam pertarungan yang ambang batas kekuatannya tipis. Jika ragu-ragu – bahkan jika hanya sesaat, hasilnya sudah terpetakan karena nyawa taruhannya. Dengan kondisi sakitnya yang seperti saat ini, secara logis hampir mustahil om Tarjo bisa mengalahkan Rahu – bahkan hampir mustahil untuk menyamai kekuatannya.

Nasibnya sudah terbilang.

Om Tarjo melirik ke arah Deka. Tatapan mereka bertemu. Om Tarjo tersenyum lembut.

Sudah memperhatikan kan, Bocah? Itulah tadi rangkaian cara untuk menaklukkan sang Dewa Iblis, bukan dengan adu kuat tapi dengan adu otak. Jika memaksakan adu kekuatan, maka sudah pasti Rahu bakal menang dan kita akan tumbang lebih cepat. Aku mungkin gagal dan tewas hari ini, tapi pastikan kamu memahami bahwa masih ada jalan untuk mengalahkan sang maut. Gunakan otakmu. Jika kamu tidak bisa melakukan ini sendiri, ajaklah para sahabat, tumbangkan sang Dewa Iblis.

“Bwahahahahhaaha! Sudah mulai putus asa, Mas Tarjo?” Rahu berdiri dan berjalan dengan santai ke depan. “Bagaimana rasanya berhadapan dengan seorang dewa? Bagaimana rasanya menghadapi seorang malaikat maut? Kamu beruntung kamu tidak akan mati direnggut penyakitmu, biar kupermudah hidupmu dengan mengakhirinya hari ini, tidak perlu dibayar – akan kulakukan secara gratis. Tak akan ada lagi orang yang bisa diselamatkan darahmu. Hitung-hitung supaya kamu tidak perlu menderita oleh sakit yang kamu alami.”

Deka menggemeretakkan gigi dengan geram. Seandainya saja dia dapat bergerak! Seandainya saja dia dapat bergeraaaak!! Om Tarjo tidak perlu melakukan ini semua!! Ada bening air mata menggenang di pelupuk mata Deka, ia tidak tega melihat pria unik yang sakit-sakitan itu mengorbankan diri.

Tiba-tiba… ada tangan lembut menyentuh Deka dari belakang.

“To-tolong…”

Shinta!

Shinta ternyata sudah sadar dan merangkak lemah ke arah si Gondes. Dara jelita itu memohon pada Deka. Tapi Deka tak dapat bergerak. Orang tua Shinta sudah tak lagi terlihat, mungkin sudah berhasil meloloskan diri.

“Tolong selamatkan dia, Mas… tolong…! Hanya Mas yang bisa! Tolong selamatkan om Tarjo!” Shinta merengek, dia juga tidak bisa berdiri dengan tegap, tubuhnya sangat lemas. Dia berusaha keras mengguncang tubuh Deka yang masih tak bergerak. “Mas!! Ayo ke sana, Mas! Selamatkan om Tarjo! Berdiri, Mas! Jangan diam saja!”

Bangsaaaaaaaaaat!! Seandainya saja dia bisa bergeraaaaak!!

Deka geram pada dirinya sendiri yang masih tak bisa menguasai kemampuan yang mahir untuk bisa sejajar dengan dua master yang saat ini sedang bertarung di hadapannya. Dia tak akan bisa menyelamatkan siapa-siapa dengan kekuatannya yang sekarang.

Atau… apakah sebaiknya dia aktifkan kembali ilmu hitam yang sebelumnya sudah…

“JANGAN COBA-COBAAAA!!” Om Tarjo berteriak kencang dari kejauhan, mengagetkan si Gondes. Pria unik itu menggeleng dari kejauhan. Menyadarkan Deka untuk tidak mengembalikan apa yang sudah dia pendam dalam-dalam.

Jangan pernah menggunakan ilmu hitam lagi.

Om Tarjo seperti mampu membaca pikiran Deka, tapi pemuda itu sudah sangat putus asa. Bagaimana dia bisa menyelamatan om Tarjo dari nasib buruk dengan kemampuannya yang sekarang?

Rahu tersenyum menyeringai melihat ketidakmampuan Deka dan Shinta menyelamatkan diri mereka sendiri dan om Tarjo. Bukankah ini semua ironi? Saling mencoba menyelamatkan sementara mereka sendiri tidak bisa menyelamatkan diri mereka sendiri? Luar biasa sekali. Jaman macam apa sekarang ini? Konsep cinta kasih pada sesama yang menyebalkan. Hidup kok dikorbankan buat orang lain.

Konyol.

“Heheh. Pengorbanan yang indah. Tapi aku masih tidak paham dengan apa yang ingin kalian dapatkan dengan semua ini. Mukamu saja sudah sangat pucat, Mas Tarjo. Yakin ingin terus melawan? Sudahlah. Beristirahatlah dengan tenang. Pejamkan matamu, lepas tenagamu, jangan melawan, dan biarkan aku mematahkan lehermu dalam kedamaian.” Rahu menggoyangkan lengan.

“Suatu saat nanti, bocahku itu akan menghancurkanmu, Rahu. Kamu akan menangis-nangis meminta ampun dan pada saat itulah kamu akan paham artinya pengorbananku saat ini.”

Rahu menggeram sesaat, ia menarik tangan kanannya mundur, dan mulai memutarnya bagaikan mesin giling. Kuasa Dewa Iblis mulai dirapal. Rahu terkekeh, “Kita lihat apakah pengorbananmu sepadan!”

Pria bertubuh raksasa itu berdiri dengan tenang dan melambaikan tangannya pada om Tarjo. Seperti mengundang sang pria unik untuk datang. Searah dengan ayunan jemari Rahu, tubuh om Tarjo tiba-tiba saja terbang hingga di hadapan sang Dewa Iblis tanpa bisa melawan. Inilah kekuatan Ki yang sangat dahsyat yang dimiliki oleh sang petarung Kelas A+. Begitu om Tarjo datang, Rahu kembali tersenyum keji. Dia ternyata sudah menyiapkan kepalan yang diputar sejak tadi.

“Salam untuk penghuni neraka.” Kepalan itu meledak tanpa ampun.

Bledaaaaaaaaammmhhh!!

Tubuh om Tarjo terpelanting sampai memutar seratus delapan puluh derajat di udara. Dia terbang ke belakang sekitar enam meter jauhnya. Wajahnya dirombak paksa, gigi yang sudah tidak seberapa terlepas, hidungnya bengkok seketika. Om Tarjo terbanting dan terguling berkali-kali. Tak terhitung berapa kali darahnya muncrat membasahi tanah lapang.

Om Tarjo tergeletak tanpa gerak.

“OM TARJOOOOOOOOO!!” Shinta menjerit kencang.

Gadis itu berusaha berdiri tapi susah sekali karena ternyata kakinya terluka setelah terantuk batu cukup keras saat terbanting. Dia berusaha merangkak menuju sang paman tersayang. Dari kejauhan sepertinya om Tarjo sudah tak sadarkan diri. Entah pingsan entah mati. Yang jelas tidak baik-baik saja.

Rahu terdiam menatap Shinta, lalu melihat ke arah Deka, dan akhirnya berjalan ke arah om Tarjo.

Sampah.

Mereka semua sampah yang tidak ada artinya. Buat apa hidup kalau tidak punya kemampuan? Buat apa punya kemampuan tapi tidak bisa ditingkatkan? Untuk apa tetap menjadi bibit kalau sebenarnya kita bisa menjadi pohon raksasa? Buat apa hidup kalau hanya jadi sayuran? Ia bisa membunuh mereka semua dengan mudah asalkan darah dari om Tarjo tidak lagi tersedia. Sang Dewa Iblis berjalan dengan ringan. Terlihat santai namun sebenarnya berhati-hati.

Baru beberapa langkah berjalan, Rahu terdiam dan mendengus. Ada aura mengancam terasa.

Benar saja.

Om Tarjo tiba-tiba saja meloncat dengan kecepatan sangat tinggi. Kedua tangannya dikatupkan dan ia melesat bak anak panah terlepas dari busur. Ada selimut Ki yang melindunginya. Om Tarjo merubah dirinya menjadi anak panah yang melesat sekuat tenaga.

Rahu menghentakkan tenaga dalamnya ke depan, lalu menarik tangan dan memutarnya – mengisinya dengan tenaga. “Sejak tadi aku gagal mengeksekusi jurus ini. Sekarang harus berhasil atau namaku bukan Rahu Kala! Gemuruh Dewa Iblis!

Tangan Rahu yang diputar dihentakkan sekuat tenaga ke depan!

Jboooooooooom!

Hentakan tenaga yang luar biasa itu menghempaskan semua benda yang berada dalam jangkauan tujuh meter di hadapan Rahu Kala. Ada dua pohon kecil yang tumbang karena desakannya, rerumputan hanya bisa rebah ke tanah, semak belukar tercerabut dari akarnya.

Untuk beberapa saat kencangnya tenaga dalam itu mendera apapun yang ada di hadapan sang Dewa Iblis sampai Rahu menarik tenaganya kembali. Meski tidak sampai menguras tenaga, tapi serangan tadi pasti sudah cukup untuk…

Rahu Kala terbelalak. Ketika debu-debu yang berterbangan tersingkap, ternyata masih ada tenaga Ki berkekuatan besar yang menerjang ke arahnya! Si pesakitan itu! Dia masih belum berhenti! Om Tarjo masih terus melaju dan kali ini tidak akan dapat dihentikan begitu saja! Serangannya tepat ke wajah Rahu!!

Sang Dewa Iblis menurunkan badannya ke belakang, hanya bertumpu ke dua kakinya yang kokoh memijak tanah, ia memutar badan tepat di saat-saat terakhir, sehingga serangan om Tarjo menemui ruang kosong. Tangan Rahu menangkup lengan om Tarjo yang terbang di atas badannya dan menguncinya dengan satu sergapan. Om Tarjo mencoba menggetarkan badannya namun Rahu begitu kencang menguncinya sampai-sampai si pria unik itu tak dapat lolos.

“Aku bahkan tidak membutuhkan Ki untuk menundukkanmu,” bisik Rahu dengan wajah dingin.

Begitu tangan om Tarjo terkunci oleh kempitan lengan kiri sang Dewa Iblis, Rahu mengulurkan tangan kanan dan mencengkeram leher sang lawan. Ia mencekiknya. Om Tarjo tak bisa bernapas dan mencoba meronta secara reflek, wajahnya yang penuh darah sudah tak lagi bisa dikenali. Dengan satu tangan Rahu mengangkat tubuh laki-laki penyakitan itu ke atas.

“Ada pepatah, Mas Tarjo. Semua yang naik, haruslah turun.”

Rahu Kala membanting tubuh rapuh om Tarjo ke tanah dengan sekuat tenaga!!

Jbooooom!!

“Haaaaaaaarrghhh...!”

Teriakan kesakitan dari om Tarjo mengubah suasana menjadi pilu. Semua yang hadir di tempat itu tahu apa yang terjadi. Ada tulang yang patah – mungkin tulang belakang. Lelehan air mata menetes di pipi Shinta dan Deka. Mereka hanya bisa menatap tanpa bisa berbuat apa-apa.

Tangan om Tarjo akhirnya lunglai ke bawah tanpa tenaga. Luruh tanpa daya.

Habis sudah semuanya.

Rahu Kala berdiri di atas tubuh om Tarjo yang sudah terdiam seribu bahasa. Raksasa itu senyap sejenak setelah menaklukkan mangsa. Puas dan bangga telah menuntaskan lawan bebuyutan. Mulai saat ini, tidak akan ada lagi orang yang mendadak bisa selamat setelah meminum darah ajaib sumber segala obat itu.

Sementara di sisi lain, ada nyala yang padam, ada pedih yang nyata. Ada leleh air mata yang tak bisa diredam, ada yang menyambut keabadian dengan senyum terakhirnya. Aura sang tetua mulai menurun secara berkala.

Napas Om Tarjo sudah mencapai puncaknya. Sudah saatnya beristirahat dan memejamkan mata dengan tenang, tanpa khawatir, tanpa kegelisahan, karena dia sudah mencoba sekuat tenaga. Tidak ada penyesalan sedikitpun.

Bocah, kutitipkan Shinta kepadamu.

Om Tarjo tersenyum.

Dalam tenang.

Dalam senyap.

Dalam diam.

Dalam usai.





BAGIAN 15-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 16

A tribute to HnK.
Eeehhh.......ada lagi apdetnya.......
Makasih double apdetnya bro @killertomato
 
Bimabet
Makasih updatenya

Walau udah merencanakan penyelamatan Dinda, tapi sayang banget Dinda udah dinikmati si Jenggo. Entah siapa yang bakal berhasil nyelametin Dinda kalau ada Jenggo disana.

Wah power up Rao pakai ilmu hitam juga? Sampai dibilang 3GB *menbuang jiwanya* kalau iya menarik banget nih, di Aliansi bakal ada 2 orang yang jadi bom waktu.

Tidak disangka pertempuran Om Tarjo dan Rahu cukup menarik, andaikata tidak memiliki penyakit rasanya pertarungan mereka tidak selesai dengan cepat.

Nah Deka dapat warisan nih dari Om Tarjo mungkin nnti setelah belajar warisan dari Om Tarjo Deka bisa mengejar Nanto, Bian dan Hageng.

Ditunggu kelanjutannya
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd