Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Makasih updatenya suhu
Update yang sangat panjang
Menguras birahi dan emosi
Dan akhirnya si bengal muncul kembali dengan kekuatan nya yang mengerikan
Tidak disangka om janu lah ki juru martani brengsek
Makin menarik
Selalu dinanti update selanjutnya
 
Obrolan antara si Nanto dengan eyang Bara maknanya dlm bgt suhu,hrs dibaca pelan2 dan diresapi,,,ttg hakekat hidup sepertinya,,, penyatuan kita dengan alam,Krn jaman skg manusia sdh pd lupa dgn alam sekitar kita,hanya ego dan ke aku an nya saja yg ditonjolkan,jgn slhkan kl alam yg berbicara skg,Krn kita itu menumpang saja di alam ini,,,versi org ngelantur,, thanks suhu killertomato ats updatenya
Betul kang,katanya alam Indonesia gemah Ripah loh jinawi..tapi kenyataannya..di keruk oleh dan buat segelintir orang saja..
#stopoligarki
 
Mantap suhu @killertomato pagi pagi buta udh ada estafet update episode yang ke-16 aja....

Mohon izin sedikit mereview episode kali ini, menurut perspective saya.

Akhirnya Nanto dapat menyelesaikan dan menyempurnakan ilmu Kidung Sandyakala-nya serta Selubung Nawalapatra 18 Serat Naga dengan bimbingan Eyang Bara. Sebagai pewaris dan penerus tunggal ilmu Kidung Sandyakala dari Trah Watulanang, beban berat akan diemban Nanto untuk bisa mengangkat kembali gaung Kidung Sandyakala di dunia persilatan modern. Nanto kini menjelma menjadi seorang petarung papan atas kelas A dan siap melawan musuh musuh di kota sana.

Rasanya sudah komplit teman-teman 5 jari dan juga Aliansi meng-upgrade kemampuan olah kanuragannya. Tinggal 1-2 orang yg perlu diasah lagi, yaitu Deka dengan kitab dari Om Tarjo dan Simon yg masih menunggu gurunya pulang dari daerah seberang.

Pak Zein pun rasanya sudah menyiapkan teamnya JXG untuk menghadapi KRAd di pertarungan antar wakil. Apakah Pak Zein juga akan turun tangan langsung di dalam pertarungan tsb, yang kemungkinan besar akan menghadapi BaJeng...?? Demi menjaga kekuasaan dan kekuatan teratas di wilayah selatan, maka Pak Zein akan melakukan cara yang tegas dan tepat untuk menaklukkan KRAd.

Tentunya Pak Zein sudah punya hitung-hitungan tersendiri siapa-siapa yg layak tampil melawan 3 wakil dari team KRAd nantinya. Yang pastinya JXG tidak boleh kalah dari KRAd, karena begitu JXG kalah maka wilayah selatan akan dikuasai lawan...

Nah bagi KRAd sendiri, menurut pandangan saya menang ataupun kalah tidak lah masalah. Karena Pak Martani sudah pasti menyiapkan strategi plan A, B hingga C.. Dan menurut pandangan saya kesemua plan ini akan bermuara pada pemanfaatan kekuatan pasukan JXG dalam menghadapi lawan lawan seperti QZK atau Dinasti Baru bahkan kelompok kecil seperti Aliansi dengan cara mendompleng. Setelah itu ketika JXG lengah sehabis mengalahkan setiap lawannya, maka KRAd akan menusuk dari belakang pada pentolan pentolan JXG dan akhirnya menguasai seluruh kota secara tunggal. (Strategi Raden Wijaya, Raja Majapahit)

Menjelang persiapan tarung antar wakil, ternyata Pak Zein harus berurusan dengan pihak berwajib dari Team Garangannya Kapten Ri akibat ulah JXG yang meresahkan warga kota akibat serangan JXG kepada QZK di wilayah utara.

Seandainya selama proses interogasi tersebut Pak Zein akhirnya didakwa bersalah berdasarkan bukti-bukti. Maka kemungkinan besar Pak Zein akan langsung dijebloskan ke dalam penjara. Belum lagi kasus lain yang siap memberatkan Pak Zein dipenjara. Apa itu..?? Kalo kita masih ingat di episode awal Jalak V3 ini, ketika Rama yang waktu itu berada di rumah Pak Zein berusaha mencari sebuah barang bukti berupa kitab kuno ilmu kanuragan milik Keraton yang hilang...?? Seandainya Rama berhasil mendapatkan barang bukti tsb, maka ini akan semakin memberatkan penahanan Pak Zein.
Hal ini pula akan mempengaruhi kekuatan para wakil JXG dalam pertandingan vs KRAd.

Om Janu bersama Pak Mangku sudah mempersiapkan diri untuk kembali ke kota bersama Nanto. Tentunya persiapan pertemuan Trah Watulanang adalah agenda yang ditunggu tunggu oleh mereka. Banyak sanak family yang akan hadir, termasuk Pakde Wira dari pulau seberang. Saya masih penasaran dengan sosok Pakde Wira ini yang merupakan Kakak dari Ibunya Nanto (Ibu Sari) . Apakah dia seorang petarung handal sekelas Om Janu..?? Apakah Pakde Wira juga yang akan mendidik salah satu anak dari Nanto yaitu Janoko, di pulau seberang kelak..??

Om Janu membuka sebuah kotak yang ternyata berisi sebuah Topeng Klana Merah. Untuk apa Om Janu membawa kotak Topeng itu...? Apakah ada nilai Histories dengan Topeng Klana di masa lampau, apakah dengan Topeng Klana itu kah yang membawa QZK menjadi raja di wilayah utara..??

Topeng yang akan Om Janu bawa dan pakai untuk menaklukkan dan menyatukan serta meleburkan menjadi satu kekuatan kelompok besar di kota itu.

Bukan kah itu beliau mengucapkan dan diskusikan tentang tata kota serta keamanan kota dengan seseorang yang mengaku sebagai ajudan dari Ngarso Dalem ketika bertamu ke rumah Om Janu di waktu yang lalu..??

Lalu, adakah kaitannya Topeng Klana Merah milik Om Janu dengan sosok Ki Juru Martani..? Atau kah Ki Juru Martani itu sesungguhnya Om Janu..?

Menurut saya, masih terlalu dini dan prematur kalo Om Janu itu adalah Pak Martani. Sekilas dari cerita ini bisa dianggap beliau sebagai KJM, tapi dari narasi yang TS Om @killertomato buat
secara detail dikatakan Om Janu menyuruh Pak Mangku mengambil kotak yang tersimpan di salah satu bagian di ruang pribadi Om Janu di desa tsb, ingat...bukan di ruang pribadi Om Janu di kota yg biasa beliau tempati. Masih ingat keris cagak bebanda...?? Benda tsb beliau simpan di ruang pribadi beliau di kota. Jadi... Buat apa benda yang sering dipakai, tapi disimpan di desa..? Apa harus ke desa dulu ambil Topeng Klana, lalu beraksi ke kota..? Dijelaskan pula, Om Janu sangat jarang ke desa ini dan hanya sesekali. Dan kebetulan saat ini beliau ke rumah d desa untuk menjemput Nanto kembali ke kota. Kemudian baru membawa kotak berisi Topeng Klana Merah yang diyakini akan digunakan buat misi beliau menguasai kota.

Selain itu ada hal penting bisa mengatakan Om Janu bukan KJM, yaitu ;

1. Om Janu ber silsilah sebagai keturunan Trah Watulanang... Sedangkan dari cerita sebelumnya KJM membentuk kelompok yang dikomandoi oleh BaJe bernama RKZ yang berkepanjangan Ranupandji Kombat Zombies. Jelas sekali ada keterkaitan kuat KJM dengan silsilah keturunan Raden Ranupandji.

2. Pakde Gito-Gati ketika awal memilih dan mengangkat Bian jadi murid, sempat mengatakan bahwa ilmu ini (Hikayat Pemuja Langit) akan menjadi lawan dari kekuatan KJM keturunan dari Raden Ranupandji, karena Pakde Gito-Gati tau siapa itu KJM.

3. Jelas sekali KJM minta pada Nanto untuk menuliskan seluruhnya jurus2 dari Kidung Sandyakala serta selubung serat 18 naga, ketika disekap di gudang bersama Nada. Lalu Nanto membuat nya terbalik balik. Seandainya itu Om Janu, jelas sekali beliau seketika akan marah besar kalo yang ditulis Nanto salah. Karena ini KJM yg asli, jelas belum menguasainya dan gak tau kalo itu salah. (Silahkan baca kembali di episode terakhir Jalak V2)

4. KJM marah besar ketika mencoba mempraktekkan langkah langkah ilmu Kidung Sandyakala, ternyata baru tau kalo itu salah. Karena kesal beliau lontarkan dengan kekuatan Ki raungan singa "Rooaaarrrr" Sehingga membuat BaJe dan Pak Mangku harus berpegangan pada tembok akibat kuat nya angin dari raungan KJM. Jelas KJM belum menguasai Kidung. (Silahkan baca di 2 episode awal Jalak V3)

Jadi cluenya kalo dibilang sebagai Ki Juru Martani adalah ia harus berdarah keturunan Raden Ranupandji. Ini sering sekali ketika KJM diceritakan TS terkadang disematkan pada asal silsilahnya (Ranupandji).

Tidak serta merta simbol benda ditujukan dia itu adalah KJM. Sama halnya ketika KJM memakai tongkat, tidak serta merta yang memakai tongkat itu KJM, Seperti Lek Suman, Ki Demang yang sama sama menggunakan tongkat.

Baiklah Om @killertomato , saya cukupkan reviewnya sampe disini. Sesungguhnya ada beberapa yang belum, saya tulisan. Mungkin next akan saya lanjutkan kembali. Semoga subes berkenan dengan apa yang saya tulis ini.

Makasih... Makasih
 
Terima kasih suhu utk update yg luar biasa ini, sampe berkali-kali update langsung... luar biasa :ampun::mantap:
Semoga lancar terus RL nya suhu...
Duh kasian dinda jd korban euy, ga tau ap2 tiba2 jd bahan konspirasi rama... btw s bengal jd keren banget euy, mantafff... sayang guru BK cantik harus stay di kampung, tp yakin lah si bengal mah ga susah nyari pengganti di kota
 
BAGIAN 16-B
KITA TIDAK SEDANG BERCINTA LAGI





Nanto dan Asty tertawa bersama, beberapa kali mereka bercanda saat memasuk-masukkan barang ke dalam mobil. Cukup banyak juga yang akan dibawa ke kota. Selain koper dan perlengkapan milik si Bengal, ada juga beberapa hasil kebun om Janu yang nantinya akan dibagi-bagikan. Memang di kampung ini om Janu memiliki perkebunan yang dikerjakan oleh orang-orang setempat. Beberapa buah-buahan akan dihidangkan di acara Trah Watulanang sehingga sekalian dibawa.

Setelah usai memasuk-masukkan barang, Nanto dan Asty duduk berdua di sebuah cakruk bambu di tepian sungai, di samping sebuah jembatan kecil. Sebuah cakruk dengan nuansa asri dan damai, dengan pepohonan rindang melindungi. Mendengarkan suara kecipak air menyapa bebatuan, sembari menatap sawah berpetak-petak nan hijau sejauh mata memandang. Masih terdengar bunyi burung-burung berkicau. Masih syahdu langit yang perlahan menuai warna merah jambu.

Pemandangan yang indah. Si Bengal menatap Asty dengan tatapan mata lembut, ia membenahi kerudung sang kekasih. Di sini juga ada pemandangan yang tak kalah indahnya.

“Kamu cantik banget.”

Gombal.”

Si Bengal geli sedikit, tapi kemudian wajahnya berubah serius. “Jadi… kamu tidak akan ikut kembali ke kota?”

“Tidak.” Asty tersenyum dan menggeleng. “Tempatku di sini. Setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Aku sudah mendapatkan pekerjaan, Adek juga sudah sekolah. Rasa-rasanya tidak logis kalau aku kembali ke kota sekarang dan merubah lagi status quo-nya. Aku tidak boleh egois memikirkan diri sendiri, Mas. Aku harus memikirkan Adek juga. Sudah saatnya beristirahat dari segala hiruk pikuk kota, sudah saatnya hidup tenang. Lagipula di sini cukup aman dibandingkan kota yang berbahaya.”

“Tidak ada cara untuk memaksamu ikut?”

Asty mengelus pipi si Bengal, “Tidak sayang… lagipula kita sudah berkali-kali membicarakan hal ini. Keputusanku sudah bulat, demi kebaikan Adek juga. Kontrakan baruku yang ada di dekat sekolah sudah di-DP dan rumah di kota sudah dikontrakkan ke orang lain. Jadi tidak ada kata mundur lagi, tidak apa-apa kan? Kamu toh bisa mengunjungiku kapan saja. Aku akan selalu menunggumu di sini. Sampai kapanpun aku akan menunggumu.”

Nanto mengangguk, “Memang benar. Meski harus berjauhan, aku lebih tenang karena tahu kalian semua aman di sini. Di kota sedang berkecamuk perang yang tak kunjung usai. Akan banyak masalah jika kalian kembali saat ini. Keputusanmu sudah benar, hanya saja aku akan merasa kesepian tanpa kamu.”

“Mudah-mudahan kamu bakal sering mengunjungi kami. Jangan terlampau terlibat dengan semua masalah di kota. Aku tidak ingin ada apa-apa terjadi sama kamu, Mas. Aku selalu ingin kamu baik-baik saja, aku akan selalu mendoakan keselamatanmu.”

Nanto mengangguk.

“Yang pertama, selesaikan kuliahmu, cari pekerjaan yang bagus – dan… pulanglah padaku. Aku akan menunggumu.”

Nanto memeluk sang kekasih, “Yakin mau menungguku selama itu? Aku tidak akan mempermasalahkan jika kamu memilih orang lain. Kamu juga berhak bahagia. Sementara aku yang sekarang mungkin tidak bisa memberikan kebahagiaan itu padamu.”

“Hanya kamu yang aku harapkan.”

“Kapten itu?”

“Dih, kan sudah dibilang – aku memilihmu, bukan yang lain. Makanya buruan pulang ke sini sebelum aku direbut orang lain.”

“Hidupmu adalah milikmu, aku tidak berhak mengaturnya. Tapi jika menungguku, aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi, sampai kapan aku akan tinggal di kota, dan jadi apa aku kelak. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu. Masa depan masih abu-abu.”

“Tepat sekali, jadi jangan pernah membayangkan hal yang aneh-aneh. Ingat bahwa di tempat ini ada seseorang yang akan selalu menunggu pelukanmu dan akan selalu mencintaimu.”

“Mudah-mudahan kamu dan Adek betah tinggal di sini.”

“Mudah-mudahan.”

Ada jutaan kata yang ingin Asty ucapkan, tapi seperti tercekat di dalam dada dan tak ingin dia keluarkan. Dia benci perpisahan dan dia yakin kelak masih akan berjumpa. Meskipun entah kapan. Mantan guru BK si Bengal itu membenahi rambut sang pemuda. Ada bening air mata yang coba ditahan untuk tidak tumpah. Suara Asty lirih mendendangkan bait-bait lagu kesayangannya.

“Aku mengerti, perjalanan hidup yang kini kau lalui.
Ku berharap, meski berat kau tak merasa sendiri.
Kau tlah berjuang, menaklukkan hari-harimu yang tak mudah.
Biar kumenemanimu, membasuh lelahmu.

Izinkan kulukis senja, mengukir namamu di sana.
Mendengar kamu bercerita, menangis tertawa.
Biar kulukis malam, bawa kamu bintang-bintang.
Tuk temanimu yang terluka, hingga kau bahagia…”


Suara Asty tidak kencang, hanya lirih, hanya pelan. Tapi justru itu yang membuat si Bengal tergugah dengan lantunan lembut sang kekasih. Ia memeluk tubuh hangat yang ia sayangi itu. “Semoga kamu bahagia,” bisik si Bengal. “Kamu akan selalu berarti untukku.”

Ketika pelukan terlepas, garis air mata di pipi Asty telah terbentuk. Nanto menghapus air mata itu dengan punggung jari telunjuknya.

Keduanya berpandangan dalam-dalam. Banyak kata yang ingin terucap, tapi tak satupun yang bisa terjawab. Mereka tahu perpisahan sudah digariskan dan tak akan bisa diubah semudah membalikkan telapak tangan. Mereka berdua sama-sama tahu ini adalah jalan yang terbaik. Bukan sebagai wujud ego, tapi karena kedewasaan keduanya yang menyadari saat ini mereka tak bisa bersama. Andai saja menjadi suatu perumpamaan atau mungkin saja diwujudkan menjadi sebuah bayangan maka khayalan dan harapan akan menjadi pondasi, dan kenyataan akan selalu hadir untuk membentangkan jalan kehidupan dengan tematik syahdu berlabelkan suatu ketika dan suatu saat nanti.

“Mas…” Asty memejamkan mata, siap menerima kecupan dari si Bengal. Bibirnya sedikit terbuka. Nanto menurunkan wajahnya. Cantik. Asty terlalu cantik. Bibirnya terlalu indah untuk dibiarkan menganggur begitu saja. Bibir itu harus selalu dikecup dan disayang.

Saat itulah terdengar teriakan dari kejauhan.

“Mas Nantooooo! Mas Nantooooooo!”

Buru-buru si Bengal keluar dari cakruk. Asty mengikutinya.

Sebuah mobil Jeep berhenti di dekat mereka, seorang pria turun dan langsung berlari tergopoh-gopoh menemui pasangan yang tengah asyik masyuk itu. Nanto dan Asty saling berpandangan, ada apa ya? Mereka mengenali orang tersebut sebagai Pak Dukuh. Salah seorang aparat desa yang sering bekerja di kebun bersama si Bengal. Kenapa pula dia datang dengan wajah tegang dan ketakutan?

“Lho, Pak Dukuh? Ada apa ya? Kenapa lari ke sini? Apa ada yang bisa saya bantu?”

“Si… Si Sagu…”

“Sagu?” perasaan Nanto langsung tidak enak. Sagu selama ini dititipkan pada sahabat Kakek yang bernama Pak Di. “Apa yang terjadi pada Sagu?”

“Baru saja ada orang-orang yang menyerang Sagu! Dia terluka! Parah!”

Sagu!? Terluka parah!?

Ada seekor naga yang meraung dalam diri si Bengal mendengar kabar itu, tubuhnya bergetar hebat. Jika ada sosok yang sangat berarti baginya lebih dari keluarga, maka sosok itu adalah sang anjing yang setia. Asty menatap kekasihnya dengan khawatir. Jika terjadi apapun pada Sagu – Nanto pasti akan mengamuk hebat.

Pemuda itu pun segera menatap Asty, terlihat kesedihan luar biasa di wajahnya, sesuatu yang sangat jarang ia lihat pada si Bengal. Terakhir kali ia melihat wajahnya seperti itu adalah saat Nanto kehilangan sang Ibu di masa SMA. Si Bengal meminta ijin yang tak perlu diminta tanpa mengucap kata. Si cantik itu langsung mengangguk, “Pergilah. Cepat. Aku yang akan membantu om Janu berkemas-kemas, aku juga harus menjemput Adek.”

Nanto mengangguk pada Pak Dukuh tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka segera naik ke mobil Pak Dukuh dan melesat pulang kembali ke kampung di dekat hutan sementara Asty mengamati dari kejauhan dengan perasaan campur aduk.

Mobil itu meliuk-liuk melalui jalanan pedesaan dan akhirnya sampai di rumah Pak Di.

Nanto dan Pak Dukuh turun dari mobil. Ia berlari ke kerumunan beberapa orang yang sedang mengitari Sagu. Ada Pak RT, Pak Yatno, Pak Masrun, dan si pemilik rumah – Pak Di. Mereka tinggal di lingkungan yang sama dan saling bertetangga.

“Apa yang terjadi, Bapak-bapak?” Nanto buru-buru datang.

“Sa-sagu, Le. Sagu dicelakai orang!” Pak Di menjelaskan. Mata orang tua itu berkaca-kaca. Bukan hanya Nanto yang menyayangi si anjing putih yang ramah itu. Mereka membuka kerumunan, memperlihatkan kondisi Sagu pada si Bengal. “Mereka menyakiti Sagu… duh aduh Sagu…”

Anjing setia itu tergeletak pasrah. Tubuhnya penuh luka karena habis ditendang. Ada pisau menancap di kaki. ia mengerang kesakitan. Matanya menunjukkan bening air mata.

Tubuh si Bengal bergetar hebat melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu.

Ki-nya menyala dahsyat meski orang-orang di tempat itu tak ada yang bisa menyadarinya. Ia menekan Ki-nya sebisa mungkin. Wajah Sagu terlihat senang saat melihat sang tuan. Dia berusaha berdiri, namun tak sanggup. Kondisinya memelas, tubuhnya juga sangat lemah. Ia berusaha menyalak, tapi tak ada suara lantang seperti biasa keluar dari moncongnya. Hanya ada lolongan sedih. Seakan-akan bertanya, kenapa ada yang sampai hati menyakitinya padahal dia tidak salah apapun.

Nanto tidak terima.

Menyakiti? Lebih daripada itu. Siapapun mereka, bajingan-bajingan itu berusaha membunuh Sagu. Nanto tidak terima. Sungguh beruntung dia anjing yang kuat sehingga mampu bertahan. Nanto mengelus-elus kepala Sagu, ia berusaha menahan tangisnya.

“Tenang, Nak… tenang… aku sudah di sini.” Nanto memeluk Sagu dengan tangan gemetar. Ia mengelus-elus anjing itu sembari menumpahkan rasa sayang yang amat sangat. “Tenanglah… tenanglah… kamu istirahat dulu, tidak perlu berdiri. Aku tahu… aku tahu… pasti rasanya sakit sekali. Tenanglah, aku tidak akan membiarkanmu disakiti orang lagi, aku yang akan membalasnya. Kamu jangan khawatir, kamu tenang saja.”

Pak RT geleng-geleng kepala, “Kok ya ada yang setega ini sama binatang… biadab banget. Padahal dia anjing yang sangat manis dan penurut. Tidak pernah galak sama orang kampung sekitar.”

Pak Di melirik ke pemilik mobil Jeep, “Pak Dukuh, bagaimana ini enaknya?”

Pak Masrun yang kemudian menyumbangkan usulnya. “Saya tahu dokter hewan di dekat sini. Lokasinya tidak terlalu jauh. Saya bersedia mengantarkan Sagu kalau diijinkan.”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya akan sangat berterima kasih kalau Bapak bersedia,” ujar si Bengal.

Pak Dukuh menunjuk ke arah mobilnya yang diparkir di depan halaman rumah. “Luka si Sagu masih belum lama, kondisinya juga tidak terlalu serius jika bisa dirawat secepatnya – lemasnya mungkin karena shock dan luka terbuka. Darahnya terus menerus mengucur, dia bisa mati kehabisan darah kalau kita terlambat. Kita harus membawanya sekarang. Kemungkinan selama masih sangat besar.”

Nanto mengangguk pada dua orang tersebut – Pak Dukuh dan Pak Masrun yang segera membungkus tubuh Sagu dengan selimut milik Pak Di, mereka menggendongnya untuk masuk ke mobil. Sagu sempat berontak, tapi Nanto terus menerus mengelus kepala anjing malang itu.

“Sabar… sabar… sebentar lagi kamu akan sembuh. Kita kejar-kejaran lagi di hutan kalau kamu sudah sembuh ya.” Si Bengal mengangguk pada Pak Dukuh dan Pak Masrun yang akhirnya berhasil menempatkan Sagu ke dalam mobil. “Terima kasih, Bapak-bapak berdua. Saya titip Sagu. Mohon maaf tidak bisa ikut bersama kalian karena saya…”

Baik Pak Dukuh maupun Pak Masrun tahu apa yang akan dilakukan oleh si Bengal. Setelah semua yang dilakukan pemuda itu saat membantu tanpa upah, tanpa mengeluh, dan tanpa pamrih di kebun mereka, hal inilah yang bisa mereka berikan untuk si Bengal.

“Santai aja, Mas. Cari bajingan-bajingan itu sampai dapat. Kami berangkat duluan.” Pak Dukuh berada di belakang kemudi. Ia langsung memasang sabuk pengaman. Di belakang, Pak Masrun menemani Sagu.

“Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih. Tolong beri saya kabar mengenai perkembangan apapun, baik atau buruk. Saya akan datang setelah menyelesaikan persoalan.”

“Siap, Mas.”

Mobil yang dikendarai Pak Dukuh pun melaju dengan kecepatan tinggi ke arah dokter hewan terdekat agar Sagu segera mendapatkan perawatan intensif. Nanto tak kuasa menahan gemetar tubuhnya. Dia akan memburu orang-orang itu! Sampai ke neraka sekalipun dia akan memburu mereka!

Yang tinggal hanyalah Pak RT, Pak Di, dan Pak Yatno.

“Bapak-bapak bertiga. Apakah Bapak-bapak tahu siapa pelakunya?” suara Nanto terdengar berbeda, dingin dan dalam. Ia berusaha menekan kemarahan luar biasa yang ia rasakan. Wajahnya memerah menahan amarah, dia terus menerus berusaha tenang. “Apakah ada di antara Bapak bertiga yang melihat pelakunya?”

“Se-sepertinya aku tahu, Mas…” Pak Yatno menunjuk ke arah depan – ke arah hutan. “Mereka lari ke sana. Satu rombongan pakai jaket hitam, rambutnya gondrong-gondorng. Kayak rombongan begal. Bukan dari kampung sini.”

“Baiklah. Saya akan mengejar mereka.”

“Tidak perlu! Kami sudah datang!” terdengar suara lantang berkumandang, “Bahahahahaha! Jadi kamu yang namanya Nanto? Bagaimana rasanya melihat anjingmu mampus? Bahahahahaha.”

Seseorang menyeruak dari balik semak-semak belukar, di belakangnya ada beberapa orang lagi yang menyusul. Satu, dua, tiga, empat, lima… sepuluh, lima belas. Nanto mengamati bayangan-bayangan yang akhirnya datang itu.

Lima belas orang.

Siapa mereka?

Apa yang dikatakan Pak Yatno benar – mereka memakai jaket hitam dan berambut gondrong. Si Bengal tidak pernah melihat mereka sebelumnya. Siapa, darimana, dan kenapa menyakiti Sagu?

“Bapak-bapak, silakan meninggalkan tempat ini dan mencari tempat aman,” bisik Nanto pada Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di. “Keadaan akan menjadi sangat buruk.”

Ketiga tetangga Nanto itu pun segera pulang ke rumah masing-masing dan mengunci pintu mereka. Ketiganya menutup tirai dan mengintip dari sela-sela tirai yang terpasang.

Arena terbuka.

Satu lawan lima belas.

Nanto mendengus. Dia menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menangkup jari jemari tangan kanan dengan jari jemari tangan kiri, menggemeretakkannya, dan melakukan sebaliknya setelah itu. “Kalian yang melakukannya? Kalian yang menyakiti Sagu?”

Pimpinan kelompok yang rambutnya gondrong jabrik maju paling depan. “Kalau iya memangnya kenapa? Heheheh. Dasar bocah. Bisa apa kamu lawan kami semua? Paling cuma bisa terkencing-kencing kalau kami keroyok. Tapi supaya kamu tenang, kami kasih tahu saja! Ya! Memang kami yang menendangi anjing bau itu, tapi bukan kami yang menusuk kakinya. Menurut kami sih anjing seperti itu memang lebih baik dibunuh – supaya tidak menimbulkan masalah untuk warga desa, supaya tidak mengotori jalanan dengan tae-nya! Jijik banget lihat anjing di sini!”

Nanto tidak mengucapkan apapun. Dia hanya berdiri dengan tenang dan matanya terpejam, ketika matanya terbuka, dia menatap tajam si Jabrik sembari mengucap satu rangkaian rapalan. “Sakdumuk bathuk, saknyari bumi, ditohi pati.”

Si Jabrik mulai kehilangan kesabaran. Dia mengayunkan tangan, “Midun! Maju kamu! Selesaikan dia supaya kita cepat pulang!”

Nanto mendengarnya. Rupanya begitu, mereka orang-orang bayaran.

Seorang pria bertubuh tinggi besar maju terdepan, namanya sudah pasti Midun. Midun seorang preman pasar yang sering jaga parkiran di Indom@ret. Wajahnya tersenyum culas dan meremehkan. Midun mencibir ke arah si Bengal. Jadi ini target mereka? Cuma precil. Kenapa harus sampai rombongan yang diundang kalau lawannya cuma seukuran Nanto begini? Dia sendiri juga sudah cukup. Memangnya si Nanto bisa apa? Paling-paling hanya butuh waktu sebentar untuk menghancurkannya.

Midun berjalan dengan santai. “Tenang saja, Bos. Saya juga sudah cukup untuk…”

Tap.

Telapak tangan Nanto mendarat di wajah Midun. Dia mencengkeram wajah pria bertubuh tinggi besar itu dengan teramat kuat. Midun mencoba melepaskan cengkraman dengan merobek lengan si Bengal namun pemuda itu tak bergeming sedikitpun. Lengannya sangat kuat dan kokoh. Ti-tidak mungkin!? Terbuat dari apa tangannya? Kenapa bisa sekencang ini cengkramannya?

Kenapa…

Midun merasakan seluruh tubuhnya terangkat, napasnya mulai sesak karena cengkraman Nanto mendesak wajahnya. Midun meronta-ronta tapi percuma! Nanto sama sekali tidak berniat melepaskan pria bertubuh besar itu.

Nanto mengangkat kepala Midun, lalu membantingnya ke bawah dengan sangat kencang.

Bledaaaaammmm!!!

Midun tak bisa bangkit, tubuhnya terasa sakit. Ada lekukan di tanah saking kencangnya Nanto membanting pria itu. Kepala belakangnya berasa sakit bukan kepalang. Dengan penuh rasa marah, si Midun berusaha bangkit. “Kurang aj…”

Tap.

Sekali lagi Nanto mencengkeram wajah Midun, lalu mengangkat dan membanting tubuh pria perkasa itu dengan sekuat tenaga seakan-akan hendak menanamnya ke bumi.

Bledaaaaammmm!!!

“Ku... kura…” Midun pusing bukan kepalang. Darah mulai menetes dari kepala belakangnya. Tapi Nanto masih belum selesai.

Tap.

Kali ketiga. Nanto mencengkeram wajah Midun, mengangkatnya, lalu membanting pria itu sekuat tenaga.

Bledaaaaammmm!!!

Lalu melakukannya lagi, lagi, dan lagi.

Bledaaaaammmm!! Bledaaaaammmm!! Bledaaaaammmm!!

Midun tersengal-sengal, darahnya mengucur lebih deras, ia sesak sekali. Matanya tak bisa terbuka. Napasnya tak lancar. Dia tak bisa bernapas! Midun menggapai-gapai ke atas. Meminta pertolongan seseorang untuk datang dan membantunya berdiri.

“Ba… bangs…”

Tapi bantuan tak datang, justru kaki Nanto yang merujak wajahnya.

Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh!

Berulang kali kaki si Bengal menginjak-injak wajah Midun dengan penuh amarah, merombak wajah pria itu hingga bermandikan darah. Midun akhirnya tak sadarkan diri. Wajahnya mungkin sudah tak bisa lagi dikenali. Rahangnya sudah geser dan giginya lepas kemana-mana.

“Satu,” desis Nanto dengan geram sembari menatap ke depan. “Masih empat belas bajingan lagi.”

Si Jabrik terbelalak, ia melangkah mundur sembari menunjuk dua orang. “Maju! Kalian berdua!! Majuu!”

Dua orang berlari ke depan, menuju posisi kiri dan kanan Nanto. Si Bengal masih tetap tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Nanto hanya bergerak dua kali. Ke kanan sekali, ke kiri sekali. Ia melakukannya tepat pada saat jarak kedua lawannya sudah tinggal dua langkah besar ke depan.

Saat melompat ke kanan, Si Bengal menyabetkan tangan kanannya.

Sblkgh!

Lawan di kanan terlempar sejauh tiga meter. Giginya rompak dan hidungnya bergeser. Darah muncrat dari wajahnya. Si Bengal sama sekali tak mengurangi tenaga Ki-nya. Dia tidak peduli mereka orang-orang tak berdaya atau bukan pengguna Ki. Mereka telah menyakiti Sagu, mereka harus membayarnya.

Nanto mengulang gerakan. Saat melompat ke kiri, Nanto menyabetkan tangan kirinya dua kali.

Sblkgh! Sblkgh!

Sang lawan juga terlempar. Kondisinya sama mengenaskan, hampir semua gigi depannya hancur dan patah, bisa dipastikan tulang dadanya retak karena membiru dan lebam. Begitu kerasnya pukulan si Bengal. Tulang pipinya juga langsung membiru karena ada yang retak di bagian itu.

Tidak cukup sampai di situ. Nanto mengejar lawan di kanan, lalu menyepak kepalanya.

Jbkkkghhhh!!

Darah bertebaran kemana-mana. Orang itu langsung pingsan tanpa bisa ditahan. Ia sudah tidak kuat lagi. Nanto melompat ke udara dan mengejar lawan yang di kiri, orang itu masih tersengal-sengal karena semua mulutnya berdarah. Tapi Nanto tak memberi ampun. Dia juga menyepak kepala orang di kiri.

Jbkkkghhhh!

Orang itu pun pingsan seketika.

“Tiga terbilang,” bisik Nanto. “Dua belas lagi.”

Si Jabrik tak percaya ini. Bagaimana mungkin Nanto bisa menghancurkan lawan-lawannya dengan sebegini mudahnya? Jangan-jangan dia seorang petarung kelas A? Tapi tidak… bacaan Ki oleh si Jabrik tidak mungkin salah, tidak mungkin Nanto seorang petarung kelas A! Tidak mungkin dengan Ki sekecil ini! Ini pasti salah! Ki milik Nanto bahkan hampir-hampir tak terbaca! Mana mungkin dia seorang petarung Kelas A atau B?

Jabrik geram, “Maju semua!! Maju semuanyaaaaaaaa!!! BUNUUUUUH DIAAAA!!!”

“Woryaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

“Seraaaaaaaaaaaaangg!!”

“Bunuh diaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Sembari berteriak kencang, Sebelas orang maju secara serentak, mengincar kepala si Bengal yang berjalan dengan tenang ke arah mereka. Si Bengal masih tak merubah ekspresi, tatapan matanya selalu tajam ke satu titik. Ke arah si Jabrik! Pemuda dengan rambut jabrik itu pun merasa gerah, keringatnya mengalir deras. Hanya ada satu solusi hari ini! Dia atau Nanto yang mati!

Nanto mengambil kuda-kuda ala Wing Chun seperti biasa. Ada ketenangan dalam gerakannya yang tegas dan kaku. Gerakan yang patah-patah tapi pasti. Sebelas lawan maju serentak. Apa yang harus dilakukan? Pertama adalah mengetahui pergerakan mereka, hendak kemana mereka melangkah, mau apa mereka, dan dalam jarak yang seberapa. Semuanya diperhitungkan dalam sepersekian detik. Kesalahan pengambilan keputusan akan fatal akibatnya.

Weruh rosing roso kang rinuruh.” Nanto membuka Gerbang Pengamatan.

Si Bengal merunduk. Tangan kanannya menyentuh tanah, tangan kiri diletakkan menyilang di pinggang belakang. Kedua kaki ditekuk, kaki kiri lebih maju daripada kaki kanan. Kepala lurus ke depan.

Mata si Bengal berkilat. Ia mulai memindai situasi.

Orang pertama ke sana, orang kedua akan melakukan ini, orang ketiga akan menjadi seperti itu. Baiklah. Lanjut orang keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan. Orang kesembilan hingga kesebelas akan melakukan seperti itu rupanya. Nanto memahami pergerakan dan sikap mereka semua satu persatu hanya dalam hitungan detik.

Pemindaian selesai.

Nanto berdiri, kakinya mundur dua langkah. Tangannya melakukan gerakan dengan cepat, seperti sesuatu yang sudah dia hapal di luar kepala. Ada banyak gerakan dilakukan dengan kecepatan tinggi, tepatnya delapan belas gerakan. Dari posisi pertama hingga yang ke delapan belas dilakukannya tanpa cacat. Kedua tangan kanan Nanto menyentak ke depan, lalu diputar sembari ditarik ke belakang seperti menyedot udara ke dalam satu pusaran dahsyat. Seperti vacuum yang menghisap ke dalam.

Ki pada tubuh si Bengal menyala dahsyat, bibirnya terbuka, tipis-tipis rapalan diucapkan. “Geni dadi sucining jagad, dewa sang hyang girinata dadi raja, gagamaning naga kinarya dewa.”

Penyerang-penyerangnya semakin dekat. Sudah tidak ada waktu untuk mengelak. Sekarang atau tidak sama sekali. Kedua tangan si Bengal disentakkan ke depan, ada raungan binatang raksasa yang muncul dan terbawa oleh tenaga yang dihempaskan Nanto.

Lontaran tenaga dalam yang menghancurkan apa pun yang ada didepannya.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Sebelas orang terlempar ke belakang empat meter masing-masing jauhnya. Mereka semua jatuh bersamaan. Tidak ada yang berhasil menyentuh si Bengal sedikitpun. Mereka semua mengerang kesakitan. Tidak ada yang tubuhnya utuh. Ada yang kakinya patah, ada yang tangannya patah, ada yang tulang di bahunya patah dan tembus hingga keluar, ada yang sebagian tangannya terbakar. Ada yang tangannya berbelok ke arah yang salah.

Edannya, ada beberapa pohon kokoh yang juga ikut tumbang.

Efek dari 18 Serat Naga memang berbeda-beda untuk setiap penerimanya – karena terdiri dari 18 pukulan naga yang berbeda-beda jenis namun dilepaskan secara bersamaan. Kekuatannya jelas sangat dahsyat. Apalagi ini masih belum tingkatan pemuncak.

Jabrik gemetar ketakutan melihat semua teman-temannya tumbang, hanya menyisakan dia sendiri berdiri. Apa-apaan ini? Mana mungkin mereka kalah? Siapa orang ini sebenarnya? Apakah dia menyembunyikan aura Ki-nya? Apakah dia petarung kelas A? Hanya seorang petarung besar yang mampu melakukan hal semacam ini! Siapa dia?

Jabrik mulai belingsatan, “Banguuuun! Apa yang kalian lakukan? Bantu aku! Kita harus menghajar dia sampai mampuuuus!! Banguuun kalian semuaaaaa!!”

Tidak ada yang mampu menjawab Jabrik, berteriak pun mereka tidak akan mampu. Si Bengal berjalan dengan tenang ke arah Jabrik. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Seakan-akan apa yang dia lakukan ini memang sudah sepantasnya dia lakukan. Jika mengingat apa yang bajingan ini lakukan pada Sagu, maka Nanto tidak akan menahan pukulannya.

“Tu-tunggu dulu…” Jabrik melangkah mundur dan memohon ampun, wajahnya keringatan, bajunya basah kuyup. “Kamu tahu aku sebenarnya tidak ada masalah denganmu. Kami hanya orang-orang bayaran saja dari kota di pantai utara. Dibawa ke sini khusus untuk menghabisimu. Jangan salahkan kami, kami hanya ingin memberi makan anak istri… kamu tahu kan? Kamu pasti paham kan kalau…”

Jbooooooooooooooooooooooookghhhh!

Pukulan Nanto menghajar wajah Jabrik.

Tubuh preman itu terlontar sampai berputar ke belakang berulang-ulang kali gara-gara pukulan yang merombak wajah. Darah muncrat kemana-mana. Namun belum benar-benar sampai jatuh ke bawah, si Bengal sudah sampai di posisi jatuh si Jabrik. Tangan Nanto maju dan menahan kerah baju yang dikenakan Jabrik, mengunci posisinya. Jabrik yang lemah mencoba meronta, tapi dia tidak mampu. Cengkraman Baja si Bengal telah bekerja.

Nanto memegang erat kerah sang lawan yang lunglai supaya ia tidak benar-benar jatuh ke tanah. Masih ada sesuatu yang harus ditanyakan.

"Siapa yang menyuruh kalian?” tanya Nanto dengan suara tegas dan tenang, cengkramannya di kerah baju si Jabrik sangat kencang. Preman itu tak akan bisa kemana-mana. “Jawaaaaab!”

Cuh!” Ludah si Jabrik mendarat di wajah si Bengal. Dia kesal bukan kepalang setelah dipukul oleh Nanto barusan. Kali ini dia melawan, “Aku tidak berkewajiban menjawab satu pun pertanyaanmu! Pergi saja ke neraka! Temui anjing sialanmu itu di sana!! Hahahahaha!!”

Nanto menarik napas, ia menatap ke arah Jabrik dengan tatapan mata tajam. Ia menyapu ludah Jabrik dengan punggung tangan dan mengelapnya menggunakan baju si preman. Ini bukan masalah ludah, ini masalah dendam Sagu.

Ada suara dari batin Nanto. Hitung sampai tiga dan berikanlah neraka. Tidak ada ampun.

Si Bengal memejamkan mata, lalu menarik napas panjang.

Satu. Dua. Tiga.

Hancurkan dia.

Nanto menarik tangannya ke belakang. Lalu dengan satu hentakan, ia meluncurkan badai pukulan tanpa henti.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!


Kepalan tangannya bekerja gattling gun. Pukulan demi pukulan dilepaskan tanpa ampun. Bagaikan mesin uap yang menjalankan kereta api. Ditarik, dilepaskan, ditarik, dilepaskan, ditarik, dilepaskan. Targetnya hanya satu. Wajah si Jabrik. Setiap lontarannya membawa serta kehancuran di wajah sang preman.

Nanto melepaskan cengkramannya di kerah baju Jabrik. Pemuda preman itu doyong tak tentu arah. Berhentikah si Bengal?

Tidak.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!


Pukulan demi pukulan terus masuk menghajar wajah si Jabrik. Dari kanan, dari kiri, dari tengah, dari kanan, dari kiri. Tubuhnya terlontar ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke kanan, lalu doyong ke kiri, lalu ke kanan, kemudian ke kiri. Dia benar-benar dihajar sampai tak mampu berbuat apa-apa.

Akhirnya tubuh Jabrik sudah siap rubuh ke depan, kesadarannya sudah terpupus. Tapi sekali lagi tangan kiri Nanto mencengkeram kerah bajunya.

Enak saja! Tidak semudah itu pingsan! Tidak semudah itu menyerah! Bahkan Sagu pun pasti tidak menyerah sewaktu kalian hajar!

Nanto tahu itu dengan pasti.

Jabrik mencoba mengangkat tangannya yang bergetar. Menyerah. Ia menyerah.

Tubuh Jabrik sudah lemah tanpa daya. Dia tak bisa melakukan apa-apa sedikitpun, jangankan melawan – untuk mengangkat tangan pun sudah sangat susah. Tamat sudah semuanya. Hanya ada satu cara untuk menghentikan si Bengal menghajarnya. Jabrik pun akhirnya menyerah pada nasib, ia akhirnya bersedia mengaku siapa yang telah menyuruhnya.

“Haa… hakkk… haaakkkuww di… di… srrhrrhh… jj… hhaaantuww… ttpeeenn… gg… mmmeraaahhh…” suara Jabrik tak jelas, mungkin karena dia lemah, mungkin karena giginya sudah hampir seluruhnya tanggal, mungkin karena wajahnya pun sudah dirombak sedemikian rupa sehingga. Darah mengucur dari mana-mana. Kalau saja si Bengal tidak berhenti, Jabrik mungkin sudah mati sejak tadi.

“Apa maksudmu?” tanya Nanto. “Hantu?”

Si Jabrik menggeleng pelan, hendak membuka mulut. “Jjj… hhaaantuuuww… ttp… ngg… mmmmrhh… bknn… mmmrrh…”

Sblp!

Kepala Jabrik terkulai ke belakang. Ia tak sempat menuntaskan kalimatnya yang tak jelas. Ada bercak darah terciprat mengenai wajah si Bengal.

Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di muncul dari balik jendela rumah mereka masing-masing. Semua berteriak histeris sembari menunjuk-nunjuk.

“Mas! Mas! Di kepalanya, Mas!!”

Nanto menegakkan kepala Jabrik.

Di kepala pria itu sudah tertancap sebuah pisau. Pisau yang dilontarkan dari jarak jauh. Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di semuanya segera datang membantu si Bengal untuk mengamankan si Jabrik. Siapapun yang menyerang orang ini, pasti masih berada di lingkungan sekitar.

Nanto mengamati pisau itu. Pisau dengan motif gagang yang sama seperti pisau yang menancap di kaki Sagu. Orang yang juga tak boleh lolos.

Si Bengal mencoba memindai wilayah, membaca daerah, dan menjelajah denah. Siapa yang melakukan ini? Siapa yang mampu membunuh dari kejauhan? Apakah hantu yang disebut-sebut oleh si Jabrik tadi? Nanto meloncat ke atas atap rumah dengan satu gerakan ringan yang anggun, Ia mencoba membaca Ki di sekitaran tempat ini.

Sampai akhirnya dia menemukan satu tenaga Ki di kejauhan, tengah berlari menjauh menuju hutan. Tenaga Ki asing yang tidak dia kenali. Sudah pasti itu milik si pelontar pisau! Nanto menyerahkan mayat Jabrik kepada Pak Di, Pak Yatno, dan Pak RT.

“Tolong jaga dia dan teman-temannya, Bapak-bapak. Panggil polisi kalau perlu. Mereka bersalah telah melukai Sagu.”

“Sudah, Mas. Saya sudah memanggil polisi. Mereka akan segera datang. Orang yang kepalanya tertancap pisau itu juga akan kami…” belum sampai Pak RT selesai bicara, Nanto sudah melesat pergi. Pak RT sadar si Bengal tidak boleh buang-buang waktu.

Dia tahu Nanto sedang memburu seseorang dan saat Nanto sudah memburu, orang itu pasti tidak akan selamat.

Gerbang Kecepatan dipompa.

Satu orang lagi. Si pelempar pisau. Dia tak boleh lolos. Siapapun yang menyakiti Sagu, tidak akan mendapatkan maaf dari Nanto. Siapapun. Dengan kemarahan yang luar biasa pemuda itu bahkan tak menapak tanah untuk berhenti. Dia meloncat dari batang ke batang, dari pohon ke pohon, gerakannya tak akan bisa diikuti oleh mata telanjang.

Sampai akhirnya pemindaian tenaga pengguna Ki itu terhenti tak jauh dari sebuah tanah kosong. Sebuah petak sawah kering yang belum digunakan.

Sang pelempar pisau berhenti. Dia terengah-engah.

Tak mengira si Bengal akan mengejarnya tanpa henti. Darimana bocah sialan itu bisa mendeteksi posisinya? Apakah dari tenaga Ki yang ia kerahkan? Tapi dia bahkan tidak menggunakan Ki yang terlalu besar dan sudah menekannya sekecil mungkin. Mustahil mendeteksi Ki yang ia miliki kecuali bocah ini sudah mencapai petarung kelas…

“Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan di sini?” Nanto mendarat dengan ringan di sebuah pematang tak jauh dari posisi orang itu. Kakinya menapak begitu lembut bagaikan kapas.

Saat sang pelempar pisau berbalik, Nanto menjumpai wajah yang aneh. Hidungnya dicat merah, wajahnya dicat putih, rambutnya hijau dan di bibirnya ada hiasan merah lebar. Badut? Pelempar pisau itu seorang badut? Ia pun mengerutkan kening. Siapa orang ini?

“Hehehe. Sebenarnya tidak wajib menyebutkan nama bukan? Tapi tidak apa-apa. Namaku Zambo si Badut Pisau dan aku anggota Pasukan Badut. Ketahuan dari nama panggilanku, kalau keahlianku lempar pisau. Bukan lempar pisang apalagi lempar kulkas.” Sambil tertawa-tawa Zambo mengeluarkan dua pisau dari dalam jaketnya, Ia memainkannya dengan lihai. “Bagaimana anjingmu? Apakah harus diamputasi? Waahhahahahah! Sudahlah, dia sudah tamat. Mending dibikin tongseng saja. Waahhahahaha.”

Nanto geram. Ini orangnya yang telah mencelakai Sagu!

“Kamu mencelakai seekor anjing yang tak berdosa dan tak pernah berbuat salah kepadamu. Dosamu luar biasa. Anjing itu memang tidak akan mampu melawan dan hanya bisa pasrah kamu perlakukan seperti itu, tapi aku tak akan memaafkanmu,” ujar Nanto. “Sebelum kubuat kakimu cacat seumur hidup, sebutkan siapa yang telah mengirimmu. Bagaimana kamu bisa tahu tempat ini?”

“Hehhehe… panjang ceritanya. Tapi Ki Juru Martani dan KRAd kirim salam.”

Nanto menghela napas panjang. Lagi-lagi mereka. Sepertinya dia benar-benar harus membuat perhitungan dengan KRAd sesampainya di kota nanti. Baiklah. Dia sudah tahu siapa yang bertanggung jawab. “Terima kasih. Jangan khawatir, aku tetap akan membuatmu hidup supaya hidupmu sengsara selama-lamanya.”

“Bwahahahhahaha, apa maksudmu?”

Nanto menatap Zambo dengan mata tajam tanpa berkedip.

Ada sesuatu yang membuat wajah si Bengal sangat mengerikan meskipun sikapnya tenang dan tidak agresif. Sang badut mendengus. Tanpa ancang-ancang si Badut Pisau melemparkan kedua pisaunya,

Modar wae kowe, suuu!

Swwssh! Swwssh!

Kedua pisaunya jatuh tak menemui sasaran. Hanya ruang kosong. Hanya dalam sekejap mata, Nanto sudah menghilang dari pandangan mata Zambo. Sang badut pun terkesiap. Apa yang terjadi? Tidak mungkin ada yang bisa menghindar dari incarannya! Tidak mung…

Bldkkkkghhh!

Satu sapuan tepi tangan menghajar tengkuk Zambo dari belakang. Sang badut langsung terdorong ke depan dengan kepala pusing dan siap muntah-muntah.

Tapi dia tak bisa melakukannya.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Ada telapak tangan yang kemudian menghajar dagunya dari bawah, lalu ada kepalan menempeleng kepalanya dari kanan, lalu ada lutut yang menghantam rusuknya, lalu ada cengkraman yang memutar tangannya, dan akhirnya ada kekuatan yang membanting tubuhnya dengan sangat kencang ke tanah.

Bldkkkkghhh!

Mata Zambo terkejap saat ia kembali tersadar. Ia baru saja dibanting!

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terasa kesakitan karena menghantam tanah dengan keras dan dihajar dengan kecepatan tinggi. Dia tidak pernah mengira akan jatuh secepat ini. Zambo mencoba bangkit tapi…

Tiba-tiba saja ada sesuatu yang terjadi yang membuatnya meronta-ronta dan menjerit seperti orang gila.

“Kamu menusuk kaki anjingku,” kata Nanto yang tengah mengunci tubuh Zambo, ia memegang kaki sang badut. “Seperti ini.”

Sblp!

“Heee? Heaaaaaaaaaaaaaaaaarghhhh!!”

Zambo berteriak kesakitan!! Pisau yang tadi ia lempar kini menancap di betis kaki kanannya. Menembus kakinya dari sisi kiri ke sisi kanan! Dia meronta-ronta meminta lepas, tapi Nanto sangat kencang mengunci tubuhnya. Zambo sama sekali tak bisa bergerak!

“Kamu pasti berharap lebih baik mati saja, bukan? Sakit kan? Aku tambah lagi supaya lebih adil.”

Sblp!

Zambo kembali berteriak. Tubuhnya meronta ke kanan dan kiri. Sakit sekali! Sakit sekali! Sakit sekali! Kali ini pisaunya yang kedua menusuk kakinya dari belakang ke depan, membentuk persilangan dengan pisau yang pertama. Ini sakit sekali! Dia mohon! Dia memohon! Dia memohon! Mulutnya terbuka tapi tak satu suara pun keluar karena rasa sakit hebat yang ia rasakan.

Nanto bukannya tak menyadari itu, dia memang sengaja.

“Maaf? Kamu minta maaf? Tidak. Siapapun yang menyakiti anjingku, tidak akan ada ampun.” Nanto menarik pisau pertama ke samping dan pisau kedua ke atas. Merobek kulit dan daging kaki kanan Zambo.

Shrrgh! Shrrhgg!

Zambo kesetanan. Dia pun menangis sejadi-jadinya. Make-up badutnya sampai luntur. Dia masih meronta, tapi tetap tak bisa bergerak. Darah berceceran di mana-mana.

Dia mohon ampun. Dia mohon ampun. Dia mohon ampun. Dia tidak kuat lagi, dia tidak kuat. Tak ada kata terucap, hanya wajah penuh penderitaan dan penyesalan yang ditunjukkan.

“Tidak peduli,” dingin Nanto menanggapi. “Anjingku sedang sekarat, tapi mudah-mudahan selamat. Luka di kakinya tidak terlalu parah karena lemparan pisaumu tidak mengenai bagian vital. Tapi meski kakinya pulih kemungkinan dia akan pincang seumur hidup. Nah kalau kamu… kamu tidak akan seberuntung itu. Aku tidak akan membiarkan orang yang telah melakukan hal yang keji pada anjing yang tak berdosa bisa hidup dengan tenang. Orang yang tak pernah menghargai makhluk hidup lain, dipastikan tidak punya rasa simpati. Kamu juga tega terhadap yang lemah – kamu bahkan membunuh si Jabrik untuk membungkam mulutnya. Katakan padaku, apakah kamu pantas dimaafkan dan pantas hidup?”

Nanto berbisik, mengucap rapalan untuk membuka Gerbang Tangan Baja. Ada Ki dahsyat menyelubungi kedua tangan si Bengal. Zambo bisa merasakan maut akan segera menghampirinya. Si keji itu menggelengkan kepala dengan lemah. Jangan… jangaaaan… jangaaaaaaan…

Sbkghh!

Pukulan ringan dilontarkan. Pelan saja. Ke arah tengah kaki kiri Zambo. Satu pukulan lemah. Tapi pukulan lemah itu ternyata mampu meremukkan tempurung lutut. Sang badut bahkan sudah tak bisa lagi berteriak. Sakitnya luar biasa!! Mulut dan matanya terbuka lebar tanpa ada suara sedikit pun.

“Tenang saja. Tak akan kubiarkan kamu mati dengan mudah. Tidak setelah menyakiti Sagu. Yang berikut ini adalah untuk membuatmu sedikit lebih tenang, sobat.”

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Kepalan tangan Nanto beraksi. Seluruh tubuh Zambo tak ada yang lolos.

Tangan si Bengal bergerak dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, hanya dalam hitungan detik, dan dalam beberapa helaan napas. Begitu cepatnya si Bengal menghancurkan semangat Zambo dengan badai serangan pukulan tanpa ada yang bisa menahan.

“Sudah bisa membayangkan apa yang telah kalian lakukan terhadap Sagu? Bagaimana rasanya?”

Nanto mengangkat kaki kanan Zambo, mencengkeramnya, lalu memutarnya ke arah yang tidak dimungkinkan oleh akal sehat. Satu, dua, tiga. Si Bengal memutar tulang kaki Zambo ke tiga arah yang berbeda.

Krgh! Krgh! Krgh!

Mulut dan mata Zambo terbuka lebar tanpa ada suara sedikit pun.

Zambo bahkan sudah tak bisa lagi berteriak. Jangankan berteriak, bicara pun tak dimungkinkan. Tulang-tulang di kaki kanannya hancur, kulit dan daginya berceceran di sawah, tempurung lutut kaki kirinya hancur. Dia pasti akan cacat seumur hidup.

“Sampaikan pada Ki Juru Martani dan KRAd-nya kalau mereka akan berhadapan denganku. Tidak perlu mencariku ke sini karena aku yang akan mendatangi mereka.” Nanto berdiri dengan jumawa di atas tubuh Zambo. “Baiklah. Kaki sudah dibalas kaki, tapi tanganmu yang jahat akan tetap berbuat jahat karena sering dipakai untuk melemparkan pisau. Aku tidak bisa membiarkan itu. Sagu tidak akan membiarkan itu.”

Zambo menangis sesunggukan, untuk pertama kalinya akhirnya dia bicara. “S… sdh… sdhhh ckuppp… Sdhhhh… sddhhhh…”

Nanto masih diam tanpa ekspresi, tapi ia kemudian menirukan satu iklan yang populer. “Aku beri satu kesempatan…”

Zambo masih menangis, “Tma ksssshhh… tmm kssshhh…”

“…untuk tangan kirimu. Kamu masih butuh tangan kiri untuk cebok bukan? Rasanya sudah cukup satu tangan saja. Aku tidak akan memberi kesempatan pada tangan kananmu.”

Zambo terbelalak karena terkejut ketika si Bengal kemudian memegang pergelangan tangan kanannya. Dia menggeleng kepala dengan ketakutan. Kedua kakinya sudah hancur! Masa dia tidak diberi kesempatan untuk…

Kaki si Bengal menginjak siku tangan Zambo, lalu tangannya bergerak dengan cepat. “Demi Sagu.”

Krrgghhh!

“Demi Sagu.”

Krrgghhh!

“dan demi Sagu.”

Krrgghhh!

Zambo berteriak sangat kencang. Tulang tangan kanan Zambo sudah patah-patah tidak karuan, beberapa bagian keluar sampai tembus dari kulitnya. Begitu sakitnya sampai akhirnya Zambo mengerang dan pingsan. Darah mengucur deras dari semua bagian tubuhnya.

Melihat kondisi sang Badut, Si Bengal melepas kekuatan Gerbang Tangan Baja yang ia gunakan sampai tuntas. Zambo sudah tidak bisa apa-apa lagi kini. Dia sudah habis.

“Buat kamu, Sagu,” bisik Nanto perlahan sembari memejamkan mata. “Dendammu sudah kubalaskan, Nak.”

Ia berbalik badan dan hendak melangkah pergi. Ada bunyi notifikasi masuk dan ponselnya bergetar. Nanto menarik smartphone dari dalam saku. Dia menatap layar ponselnya, ada pesan WhatsApp masuk. Dari Pak Dukuh. Buru-buru si Bengal membukanya.

Kabar baik.

Sagu selamat dan tidak akan kenapa-kenapa, kakinya masih dapat disembuhkan meski mungkin akan pincang entah sampai kapan. Untuk sementara waktu anjing itu harus dirawat inap. Tapi pada intinya, Sagu selamat. Tebakan si Bengal benar sejak awal.

Si Bengal menarik napas lega sembari berjalan meninggalkan tempat itu. Syukurlah, Sagu… istirahatlah dulu. Kalau sudah sehat, baru lari-lari lagi. Syukurlah… syukurlah…

Satu suara menghentikan langkah kaki si Bengal.

Suara ringtone. Nanto melirik ponselnya lagi. Bukan. Ini bukan suara dering telepon dari ponselnya. Lalu darimana asalnya? Dari mana ringtone itu berasal? Nanto melirik ke belakang. Sepertinya dari arah Zambo.

Karena penasaran, Nanto kembali berbalik. Ia berjalan perlahan ke arah Zambo. Suara dering itu berasal dari kantong jaket yang ia kenakan. Nanto membungkuk dan memeriksa badan Zambo, ia menemukan satu feature phone dari dalam saku jaket sang Badut.

Ponsel jadul seri Siemons C45.

Tanpa rasa takut sedikitpun Nanto menekan tombol terima dan meletakkan ponsel itu di telinganya. Tapi setelah beberapa lama mendengarkan, tidak ada suara dari ujung sana. Hanya ada desah napas saja. Siapapun yang menelpon sepertinya juga menyadari kalau ada masalah.

“Sudah menelpon kenapa diam saja?” tanya Nanto.

Kamu bukan Zambo.” terdengar suara yang aneh. Seperti ada suara ganda pria dan wanita yang bicara bersamaan. Apakah penelponnya menggunakan alat untuk mengaburkan suara asli? Bisa seperti itu ya di handphone jadul?

“Zambo sudah tidak bisa lagi menjawab. Dia sudah lumpuh. Apapun yang kamu perintahkan, Zambo sudah gagal melakukannya. Kalau mau menggangguku, tidak perlu repot-repot mengirim orang, sekarang juga aku akan datang ke tempatmu. Sebutkan saja di mana dan kapan aku perlu datang. Kita berhadapan satu lawan satu secara jantan.”

Suara di ujung sana terdiam, hening untuk beberapa saat. Lalu terdengar kekehan tawa.

Hehe, bacot.”

Nanto tersenyum, meski dia tahu, orang di seberang sana tidak akan mampu melihat senyumnya.

Dengan suara yakin si Bengal menjawab, “Tidak. Ini bukan bacot. Ini bukan omong kosong, ini kenyataan. Aku tidak peduli pendapatmu. Terserah kamu mau menerimanya atau tidak. Aku sudah menaklukkan Zambo. Karena kamu berani mengganggu kehidupanku, maka aku juga akan mengganggu hidupmu. Jadi bersiap-siaplah. Hanya masalah waktu sebelum aku tahu siapa namamu, di mana kamu, dan apa alasanmu. Setelah itu aku akan memburumu sampai dapat. Saat aku menemukanmu, aku akan membunuhmu...”

Terserah.”

“Tunggu aku.”

Terdengar sunyi yang lama. Lalu terdengar suara kekehan tawa. “Aku akan menunggumu.”

Klgh. Sambungan dimatikan.

Nanto menatap ke arah Zambo, lalu membawa ponsel itu pergi. Siapapun yang menantang si Bengal, dia tidak tahu dengan siapa dia berhadapan. Dia akan menyesal di kemudian hari karena telah membangkitkan amarah seekor naga. Naga yang saat ini akan kembali ke kota dan menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalannya.

Ini adalah kisah tentang seorang pemuda.

Ini adalah kisah tentang kebangkitan amarah menghebat.

Ini adalah kisah tentang seorang pemuda bernama Nanto, penguasa Kidung Sandhyakala, pewaris terakhir Nawalapatra 18 Serat Naga, pimpinan kelompok Aliansi dari utara, dan sahabat dari Lima Jari.

Ini adalah kisah seorang pemuda bernama Nanto, sahabat Sagu.

Ini… adalah kisah tentang kebangkitan sang Naga.





BAGIAN 16-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 17

Contains Tribute to ED & Tkn.
Thank's Master,,
Still The Best👏👏👏👏
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd