Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Setelah mendengar sound ini, Aku teringat peristiwa dulu, Bapak pernah ngasih uang ke adikku buat bayar listrik di PLN, namun Bukannya buat bayar listrik, uangnya malah dibelikan lotre yg hadiahnya Mobil Innova. Sampe rumah adikku jelasin ke Bapak kalo uang listrik udah dibelikan lotre, seketika bapak ngamuk-ngamuk, adikku digebukin sampe benjol dan lebam.
Besok paginya Bapak bangun dan ketika buka pintu rumah, Ada mobil Innova warna putih parkir di depan rumah.
Bapak dan adikku langsung nangis, Tapi adikku nangisnya yang paling kuat, Ternyata mobil Innova itu adalah mobil PLN yg mau mutus aliran listrik kami Karena belum dibayar. Akhirnya adikku digebukin lagi sama Bapak dan benjolannya makin parah. Saya pun nyaris babak-belur dihajar warga, gara-gara mengumumkan berita ini pake speaker masjid... 😢
Makasih update nya Suhu..
Salam buat adik+bapaknya ya Hu..
 
Bimabet
BAGIAN 19.1
HIDUP ADALAH PERJUANGAN




“Wahai pengembara, sampaikanlah pada orang-orang Sparta.
Kami terbaring di sini karena patuh pada hukum mereka.”
- Simonides






Jadi… apa yang terjadi sebelumnya?

Banyak.

Semerbak bintang yang bertebaran di langit kota ibarat cahaya dengan gemerlap redup yang jauh lebih sederhana dibandingkan pentas kembang api yang riuh di lantai bumi. Ketika apa yang terjadi di bawah lebih penuh ledakan suar dibandingkan langit kelam, itulah penanda bahwa sejarah sedang tercipta oleh tangan-tangan anak manusia.

Terlebih, bintang gemerlap di langit kota kian tertutup oleh mendung berarak yang membentuk awan hujan padat pekat, menutup tirai dari pandangan langit. Tetesan tangis sang awan tumpah menandakan sejarah yang ditorehkan akan jadi sesuatu nan pilu.

Udara malam, angin kencang, dan hujan yang kemudian turun malam itu seharusnya terasa dingin namun suasana justru tengah menjadi panas.

Ada tiga pesta simbah darah tubuh-tubuh rebah ke tanah di malam yang seakan dikendalikan angin tanpa arah. Akankah ada pergeseran tahta di pertarungan yang tumpah ruah? Akankah akan ada nyawa berserah saat perang nantinya berakhir sudah? Entahlah. Tumpahnya darah seakan justru menjadi penanda picu amarah, siapa yang berakhir sebagai semut dan siapa yang menjadi gajah. Siapa yang hancur terbelah dan siapa yang berdiri dengan gagah.

Bak menjalankan bidak di atas papan catur megah, om Janu dan Ki Juru Martani menempatkan penyerang di posisi strategis untuk menekan raja dan perwira milik lawan. Semua telah diatur sedemikian rupa sehingga hanya tinggal kekuatan mentah yang akan membuktikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Di kawasan utara, di perbatasan kota dengan kota sebelah, keluarga Trah Watulanang sedang berupaya dibumihanguskan hingga tak tersisa. Nanto dan Pakdhe Wira berjuang melawan gempuran om Janu yang sudah gelap mata. Entah kawan entah lawan, di tengah pertarungan nan tak seimbang, muncul seseorang dari langit ke tengah arena. Siapa dia?

Di kawasan tengah, seorang gadis yang dijadikan tahanan oleh KRAd dan QZK menjadi pemicu pertempuran yang membawa Aliansi terseret ke perang besar. Tiga anggota Lima Jari – Hageng, Roy, dan Bian berjuang untuk melawan jebakan lawan. Di saat-saat krusial, Sang Panglima Singa Emas Amar Barok hadir untuk membantu ketiga kawan-kawannya yang terperangkap.

Terakhir di kawasan selatan, Tarung Antar Wakil berakhir ricuh tanpa arah dengan amukan gabungan pasukan KRAd dan QZK setelah JXG mendapatkan bantuan dari sosok wanita misterius. Perang terbuka tak terelakkan. KRAd-QZK dipimpin Ki Juru Martani, JXG dipimpin oleh Ki Kadar.

Itu yang terjadi sebelumnya. Banyak bukan?

Tiga lokasi, tiga pertarungan. Malam masih panjang, darah terus tumpah di gelanggang.

Jadi… pertanyaannya hanya satu. Siapa yang akan menjadi pemenang?





.::..::..::..::.





.:: ONTRAN-ONTRAN DI KAWASAN SELATAN



Malam telah larut, mendung menggelayut, gerimis tipis berubah menjadi hujan yang semenjana.

Di lantai bumi, genderang perang justru tengah dibunyikan. Dua kelompok saling menghujat dan mengirimkan pesan penanda kiamat. Adu jotos tak mungkin dihindarkan, seketika saja arena tercipta. Teriakan, jeritan, kemarahan, kesakitan, semuanya hadir di malam petaka di selatan kota.

Kedua pasukan kocar-kacir, tidak ingin berada di ruang terbuka. Hanya mereka yang punya ilmu kanuragan tinggi yang berdiri tegap di tengah arena. Saling menantang, saling bersaing, merebut kuasa, merenggut asa, kemenangan jadi harapan utama. Tak peduli di lapangan, tak peduli halaman rumah orang, tak peduli pekarangan, bahkan sampai kuburan. Semua tempat dihinggapi orang demi orang dari kedua kubu yang saling mengejar dan menyerang. Kawan dibela mati-matian, lawan dilawan sampai hancur badan.

Usagi-chan melesat dari satu posisi ke posisi lain, mengayunkan katana, menyabet kaki dan tangan untuk menjatuhkan lawan. Tak sampai membunuh memang, yang penting adalah melumpuhkan. Teriakan kesakitan terdengar di setiap pijakan kakinya, gadis itu memang lethal dalam penggunaan senjata. Tapi lawan juga bukan abal-abal, mereka punya daya.

“Awas! Dari atas! Dia melompat kesana kemari!” teriak Gio - salah seorang anggota KRAd. Dia berlari kencang untuk memperingatkan kawan-kawannya. Secara kemampuan dia memang tidak bisa mengejar kemana arah Usagi melompat, tapi setidaknya dia ingin berguna.

Usagi bukannya tak melihatnya, gadis itu hanya ingin menyelamatkan teman-teman seperjuangan yang saat ini terdesak. Dia sudah tak bisa lagi tahu di mana para anggota Shinsengumi X berada, di mana Ki Kadar, Jagal, dan yang lain. Mereka sudah tercerai-berai begitu genderang perang dibunyikan.

Gio yang berisik jelas menjadi incaran sang dara maut. Pakaian kimono yang dikenakan Usagi pendek hingga di atas lutut, memudahkannya bergerak lincah bagai burung walet yang terbang dengan cekatan di langit malam yang gerimis.

Berkat peringatan dari Gio, para anggota KRAd dan QZK yang tadinya dalam incaran Usagi kini berhamburan kesana kemari tanpa arah. Usagi tak lagi mudah mengejar dan menghancurkan lawan. Gadis itu berdecak sengit. Ia melompat dari atap rumah satu ke atap rumah lain. Kemampuannya memang mengagumkan. Itu sebabnya ia juga sering dijuluki Walet Maut.

Asap membumbung tinggi di sekitar Usagi, rumah-rumah terbakar, orang-orang berlarian kesana sini, suasana ricuh. Teriakan, jeritan, kekacauan terjadi. Orang tua-orang tua yang rumahnya terbakar mulai panik dan kalang kabut. Anak-anak menangis. Kalau mereka keluar rumah, mereka bisa menjadi korban salah sasaran. Tapi kalau tetap di dalam, mereka bisa mati konyol karena terbakar.

Gio terengah-engah, dia memang tak begitu mampu ilmu kanuragan, tapi dia sedang berusaha sebaik mungkin membantu kawan-kawannya. Gio melihat pintu gerbang menuju jalur kecil ke arah timur. Jalur kecil itu menuju ke persawahan. Dari sana orang-orang bisa menyelamatkan diri! Gio menendang gerbang kecil itu berulang kali sampai gembok karatan yang mengunci terlepas. Ia menendang sekuat tenaga!

Beruntung, gembok itu sendiri kuat, tapi gerbangnya tidak. Gerbang itu berdentang saat terbanting.

“Ke sini! Ke sini! Ke sini!” Gio mengayunkan tangan. “Cepat! Cepat! Kebakaran! Kebakaran!”

Tidak hanya kawan dan lawan, orang-orang sipil yang kebingungan menemukan secercah cahaya. Mereka menyelamatkan diri melalui jalur yang dibuka oleh Gio. Tidak lama lagi pemadam kebakaran akan datang. Mereka pasti bisa mengatasi api yang menjalar. Saat ini tugas Gio adalah…

Swsssh!

Satu sabetan tiba-tiba saja berlalu di depan Gio, ia terkejut!

Tanpa bisa ia kendalikan, tubuhnya tersungkur. Darah keluar dari mulutnya. Darah menetes di dadanya. Ada luka terbuka di dadanya. Si-sial! Dia terlalu terekspos. Mulutnya terlalu nyablak dan posisinya terbuka buat serangan lawan.

Siaaaaaaaal!

“Hhh… hhh… haaaakkghh…”

Gio tahu ajalnya sudah tiba. Dia tidak menyesal karena apa yang telah ia lakukan mungkin menyelamatkan banyak nyawa anggota KRAd dan QZK. “Hakkghhh…”

Tubuh pemuda itu terjatuh.

Usagi melompat ke dekat Gio. Satu hal yang membuat Usagi mendekatinya adalah karena Gio membawa-bawa senter. Alat penerangan itu akan membuka posisi Usagi di mana ia berada, karena sejak tadi Gio terus menerus menyorot ke arah atas, ke atap-atap rumah dan beberapa kali mengekspos posisi Usagi.. Bahaya sekali.

Sang walet maut mulai mengayunkan senjatanya.

Sblap!

Satu pisau melesat, tepat ke arah di mana Usagi berada. Gadis itu tak sempat mengelak. Pisau menancap di pundak.

“Ahaaaakgh!”

Usagi mundur dan mengernyit kesakitan. Ia tertatih ke belakang beberapa langkah. Siapa yang sudah menyerangnya? Kenapa ia tak bisa merasakan aura gelap dari serangan itu?

Gio terkejut! Ia mencoba merangkak ke belakang dengan segenap kekuatan yang tersisa.

“Maaf aku harus melakukannya,” terdengar seseorang bicara dari balik asap. “Itu karena kamu bergabung dengan kelompok yang salah.“

Usagi mengerutkan keningnya yang berkeringat deras. Siapa yang bicara? Gadis itu tersenyum. “Salah? Tidak. Tidak ada salah benar di sini, yang ada adalah siapa yang bisa selamat. Satu-satunya jalan untuk selamat adalah melumpuhkan lawan. Siapa kamu?”

Dari arah asap yang membumbung tinggi dan mengepung bagai kabut, ada langkah kaki terdengar. Baik Gio maupun sang walet maut terkejut. Langkah kaki itu bukan langkah kaki satu dua orang, itu satu pasukan!

Sial.

JXG sepertinya benar-benar sedang dijebak dan dibantai. KRAd dan QZK pasti sudah merencanakan ini. Mereka memang tidak berniat melakukan Tarung Antar Wakil secara adil. Mereka juga punya plan a, plan b, plan c, dan masih banyak lagi rencana-rencana lain seandainya rencana awal gagal dieksekusi. Penangkapan Pak Zein adalah pertanda. Saat perang terjadi, pasukan bantuan datang.

Usagi mendengus-dengus, darah yang menetes di pundaknya cukup lumayan. Dia bisa mati kehabisan darah kalau ini terus menerus dibiarkan. Dia harus lolos dari neraka ini! Usagi mencoba menggunakan katana-nya untuk menjadi kaki ketiga, untuk menjadi penguat dan penopang tubuhnya. Ia mengumpulkan Ki yang tersisa, mencoba untuk melompat pergi.

Tut-tut, where are you goin’, beautiful?” terdengar suara lain dalam bahasa Inggris.

Sialan! Mereka sudah datang! Usagi menundukkan badan hendak meloncat.

Sblap!

Sekali lagi satu pisau melesat, tepat ke kaki Usagi.

Sang walet maut menjerit kesakitan. Ia jatuh terduduk, katana-nya masih tetap menjadi penopang utama. Gadis itu mendengus-dengus kesal. Dari mana serangan ini berasal?

“Kita bahkan belum berkenalan. Bagaimana kalau aku mengajakmu dinner? A gorgeous gal like you sepertimu sangat pantas mendapatkan kesempatan mencicipi steak terenak di kota ini. Aku traktir.”

Sekali lagi ada benda dilemparkan ke arah Usagi. Tapi kali ini bukan pisau!

Gadis itu mundur ke belakang.

Tak mengenai sang walet maut, benda yang dilemparkan menggelinding di atas aspal. Usagi melotot saat menyadari apa yang baru saja dilemparkan kepadanya! Tubuhnya bergetar saking terkejutnya. Ti-tidak mungkin! Ini tidak mungkin!

Benda itu… benda itu adalah kepala Nohara!!

Dua orang muncul dari balik kabut asap.

Yang pertama adalah Pasat yang memainkan pisau-pisau. Yang kedua adalah si bule gila, Mox. Keduanya datang bersama pasukan bala bantuan untuk KRAd dan QZK.

“Apakah gadis cantik suka sop kepala? Tidak? That’s too bad. Kalau menolak dinner denganku, aku tidak bisa menyelamatkanmu, mau tidak mau aku harus memenggal kepalamu seperti si bodoh itu. Sayang sekali bukan? Tapi percayalah, it’s not personal. It’s not you. It’s me. Kita tidak bisa bersama, kamu terlalu baik untukku.” Mox cengengesan. Ia mengeluarkan energi Ki. Kedua lengannya menyala kuning dan membentuk siluet seperti tangan pedang.

Usagi-chan berteriak kencang penuh kemarahan. Nohara! Mereka telah membunuh Nohara!!

“Bagaimana menurutmu, boy?”

“Bunuh,” bisik Pasat dengan dingin.

“Ck. Sayang sekali, padahal cantik dan seksi. Tapi ya sudahlah. A promise is a promise. Kita menjanjikan tiga kepala untuk pimpinan.”

Mox melesat ke depan dan dalam sekelebatan mata, tangannya sudah mencengkeram leher Usagi. Gadis walet maut itupun meronta. Ia lengah karena tusukan pisau dan shock karena kematian Nohara yang begitu mengenaskan. Napasnya perlahan-lahan padat dan berat, ia tak bisa bernapas, tangan besar Mox menjepit leher sang dara yang mulai lemas.

Mox tersenyum.

Hello. Goodbye.

Krgkh.





.::..::..::..::.





Arena tengah adalah lapangan tenis tanpa net. Tanahnya keras, dibatasi jeruji di empat penjuru. Sudah tak ada lagi siapapun di sana, kecuali para petinggi. Dewi Uma dan Ki Juru Martani entah tengah bertempur di mana.

Di arena tengah hadir dua sosok dari JXG melawan satu punggawa KRAd.

Ki Kadar dan Jagal berhadapan dengan Bambang Jenggo.

“Dua lawan satu? Serius kalian? Curang sekali.” Jenggo terkekeh. “Dua orang gagah dari JXG melawan aku yang lemah ini. Menggelikan. Apa kata dunia.”

Bodo amat. Ki Kadar tak ambil pusing. Pria tua itu melirik ke arah Sulaiman Seno dan mengangguk, keduanya pun melesat bersamaan ke depan, bersama-sama menyerang sang Raja Para Anjing dengan kecepatan yang setara. Satu dengan Kidung Sandhyakala, satu lagi dengan Inti Angin Sakti.

Tapi lari mereka terhenti tiba-tiba saat menyadari sesuatu.

Bambang Jenggo tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana? Mentah Ki kalian? Bwhahahaahahah.”

Ki Kadar menggelengkan kepala dan menatap Jagal, “Ki-nya tidak menyala. Si gemblung ini sepertinya memasang cagak bebandan, Seno. Kita tidak bisa mengeluarkan Ki atau jurus apa-apa yang mengandung tenaga dalam.”

“Cuh.” Jagal meludah ke arah kiri. Pria berangasan itu mendengus, “Aku tidak butuh tenaga dalam untuk membunuh si anjing satu ini. Akan kucongkel jantungnya dengan tangan kosong kalau perlu.”

“Setuju.” Ki Kadar menyingsingkan lengan baju, “Maju!”

Keduanya berlari dan menyiapkan kepalan. Tangan kosong tanpa tenaga dalam. Dari kiri dan dari kanan. Bambang Jenggo tak bergerak, diam penuh makna. Ia hanya cengengesan.

“Kalian benar-benar hebat, mengaku diri sebagai tanpa tanding tapi beraninya main keroyokan melawan pria lemah seperti aku. Heheh.” Jenggo melipat tangan di depan dada, dia bahkan tidak melakukan kuda-kuda sedikitpun. Apa yang sedang direncanakannya?

Jagal meloncat, mengincar kepala Jenggo dengan kepalan. Ki Kadar memutar badan, melontarkan tendangan berputar. Sekali lagi Jenggo hanya tersenyum. Begitu tendangan Ki Kadar memasuki ruang pertahanannya, pria bertubuh besar itu mengeluarkan lengannya untuk menghadang serangan.

Bledaaaakghhh!

Jenggo terdorong mundur karena kerasnya tendangan Ki Kadar. Ia mengernyit kesakitan tapi masih nampak meremehkan, dengan kurang ajar sang Raja Para Anjing mencibir. “Sudah? Hanya begitu saja?”

Kepalan Jagal mendarat telak di pipi kanannya.

Bledaaaakghhh!

Jenggo terlempar jauh dan terguling-guling ke kiri. Tubuhnya yang gembul ibarat bola yang menggelinding kencang di lapangan tenis nan keras. Jagal dan Ki Kadar saling berpandangan. Kenapa Jenggo terkesan ogah-ogahan melawan mereka? Bukankah saat ini pasukan KRAd dan QZK tengah bertempur melawan JXG? Kenapa pimpinan mereka malah seperti ini.

“Hrhh… hhh… hhh… sudah?” Jenggo berdiri dengan mendengus-dengus, bibirnya bocor, dan ada bengap biru di sisi-sisi wajahnya yang nampak menyeramkan. Bambang Jenggo tersenyum, “Malam ini – malam mengerikan ini, kemungkian akan ada yang mati. Bisa saja itu aku, Jagal, atau bahkan njenengan, Ki Kadar. Pukulan tadi sebagai pembayar lunas hutang-hutangku pada kalian kalau selama ini ada salah-salah dariku pada kalian. Bisa jadi ini percakapan terakhir kita.”

“Bangsat.” Jagal geram.

Ki Kadar tersenyum, “jadi seperti itu.”

Lampu rumah-rumah yang mengelilingi lapangan tenis satu persatu mati, lampu jalan juga dipadamkan. Sepertinya memang ricuh terjadi tanpa bisa dicegah. Masyarakat khawatir dan mencoba menghindari masalah dengan mematikan lampu rumah mereka.

Boooom!

Ledakan terjadi di satu sisi, berkelap suasana gelap untuk sesaat menjadi terang. Nyala api membakar kayu dan pepohonan. Tidak hanya di satu sudut, tapi juga di sudut yang lain, dan yang lain, dan yang lain. Masyarakat sekitar yang tadinya bersembunyi, kini mulai panik oleh api. Hujan yang turun menjadi bantuan besar untuk mengendalikan nyala si jago merah sebelum pemadam datang. Tapi kepanikan itu ternyata tak menghentikan pertarungan koalisi KRAd dan QZK melawan JXG.

Ki Kadar dan Jagal yang sempat hilang fokus baru menyadari kalau Jenggo sudah lenyap dari pandangan.

“Bangsaaaaat!” Jagal berteriak jengkel. “Lari lagi si anjing buduk! Aku cari dia!”

Ki Kadar mengangguk.

Jagal berlari kesana kemari mencoba mencari musuh bebuyutannya itu. Tentu saja ia tak dapat menemukannya dengan mudah. Tapi Sulaiman Seno sudah sangat hapal pattern Ki dari si Raja Para Anjing. Dia pasti akan menemukannya. Ini bukan masalah bisa atau tidak bisa. Ini masalah kapan.

Melihat suasana tak lagi kondusif, Ki Kadar balik kembali ke rumah yang tadinya digunakan sebagai basis oleh JXG. Rumah itu gelap dan berantakan oleh serangan prajurit-prajurit koalisi KRAd dan QZK. Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan.

Karena khawatir, pria tua itu memeriksa satu persatu nadi dari prajurit-prajurit JXG. Sebagian dari mereka masih hidup, pingsan – tapi masih hidup. Satu dua… kritis.

Ki Kadar mengenali pattern Ki seseorang yang berada di dalam rumah lindung. Buru-buru ia berlari ke dalam rumah. Benar saja, di sana ia bertemu dengan seseorang yang kemudian menjura untuk memberi hormat pada Ki Kadar.

“Hanzo. Kamu masih di sini.”

Tanpa menjawab, Hanzo mengangguk.

“Tidak tahu kenapa tapi aku tak bisa menghimpun Ki-ku, bahkan sampai di sini. Pasti ada yang telah dilakukan oleh KRAd dan QZK pada tempat ini, mungkin saja cagak bebandan dengan radius luas. Hanzo, kita harus mencari lokasi yang lolos dari parameter hadangan Ki untuk membantu semua teman-teman JXG, kondisi sungguh tidak menguntungkan kita. Di mana Hantu dan Rogo?” ujar Ki Kadar yang diakhiri dengan pertanyaan, tapi Hanzo menggeleng kepala tanda tak tahu. Ki Kadar berjalan ke arah jendela di dekat Hanzo dan menatap ke arah jauh. “Semua lampu jalanan mati. Semua lampu rumah dimatikan. Sekarang ini benar-benar gelap di luar sana. Aku mengkhawatirkan mereka semua yang…”

Sblap.

“Ahaaaakghhh!”

Satu benda tajam menusuk dan menembus punggung hingga dada Ki Kadar.

Darahnya menetes-netes dari ujung benda tajam yang tembus di dadanya. Tubuh pria tua itu gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau dia akan diserang, tidak ada seorang pun yang akan menyangka.

“Hanzo… siapa yang…”

Pedang itu ditarik dari dada sang pria tua, darah dan daging yang lengket ikut tertarik keluar. Ki Kadar tersungkur ke depan. Saat ia menengok ke belakang, ia hanya melihat sepasang mata menatapnya tajam dari balik topeng ninja.

“Ha… Hanzo?” Ki Kadar terbelalak.

Ki Kadar mengelus dadanya, ia memegang darah segar yang tak bisa ia kendalikan. Ia mendongak dan berusaha mengucapkan kata dengan sisa-sisa tenaga yang ada, “Ke-kenapa?”

Hanzo tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mendengus dan menatap sang pria tua dengan pandangan mata tajam. Alis tebalnya membentuk ulat besar yang melancip. Pandangan Ki Kadar lama-lama menjadi kabur. Ia menunjuk ke arah Hanzo.

“Beraninya kamu? Kualat kamu! Hidup atau mati… aku akan menjadi hantu, aku akan memburumu…”

Sang ninja tak bergeming. Pemuda itu kemudian meletakkan pedang dan mengangkat sebilah pisau besar dari balik pakaian dengan dua tangan, membalik pisau itu, dan mengarahkan ujung mata lancipnya ke arah dada sang pria tua.

“Heheheh. Dibayar berapa kamu, ba-bangsat…?”

Hanzo menurunkan pisau itu perlahan-lahan tanpa mempedulikan ucapan Ki Kadar.

“Ahaaakghhh!!!” Ki Kadar melotot saat ujung tajam pisau sang ninja melesak masuk ke tubuhnya. Ke sisi lain di dada yang tidak tertusuk pedang.

“Ssst…” Hanzo meletakkan telunjuknya di area bibir yang tertutup. Pisau itu makin turun ke bawah, makin melesak masuk. Tubuh sang pria tua bergetar hebat.

“Ahhhaaaaaakkkghhhhh…!!!!”

Tangan Ki Kadar yang gemetar meraih pipi Hanzo dengan lembut. “Ka-kamu sudah kuanggap anak sendiri. Kenapa kamu melakukan ini? Maaf kalau selama ini aku telah…”

“Ssttt…”

“Ahhhaaaaaaaaaaaakkkghhhhh!!!”

“Ssstttt…”

Pria tua itu tak lagi melawan, dadanya tak lagi naik turun, bukannya tak mau, tapi tak bisa. Matanya terbuka lebar. Tubuhnya mengejang hebat sekali, lalu terdiam. Tapi ia tak lagi melawan. Semua ilmu kanuragan yang ia kuasai seakan-akan tak ada artinya saat berhadapan dengan pemuda yang telah mengkhianatinya.

Hanzo berdiri, memalingkan wajah, dan melesat pergi.

Ia tak menyadari ada gerakan lain di ruangan itu yang menyeruak dari kegelapan.

Gerak dari seseorang yang sejak tadi bersembunyi.

Ia buru-buru menghampiri Ki Kadar.





.::..::..::..::.





.:: BUBRAH DI KAWASAN TENGAH



Datangnya sang pembeda membuat pertarungan semakin memanas.

Meski hanya melawan empat orang saja, tapi keempat orang yang dilawan bukanlah musuh kaleng-kaleng. Muge harus benar-benar mengatur siasat agar pasukannya tidak berakhir konyol dan menjadi mangsa. Beruntung kini di sisinya hadir satu rekan.

“Syam. Terima kasih sudah membantu.”

“Muge.” Syamsul Bahar hadir dengan kepalan terhunus. Kuda-kuda lembut ia hadirkan dengan kekerasan berbalut kelembutan, wajar karena ia memiliki gelar sebagai seorang taichi master. Pandangan matanya tertuju ke depan – ke arah Amar Barok. “Aku sudah menunggu-nunggu kedatangannya. Yang satu itu bagianku.”

Muge menyeringai. Pria bertubuh besar itu mengeraskan otot-ototnya. “Amar tidak akan mudah, tapi aku yakin kamu bisa mengatasinya.”

“Tentu saja.”

Syam berjalan ke depan tanpa rasa takut sedikit pun, ia bahkan tak berkedip, tak bergetar, tak takut menghadapi sang lawan yang datang dengan penuh amarah. Kepalan tangannya sudah berselimut Ki. Berbeda dari Amar Barok yang mengandalkan serangan frontal, Syam adalah seorang pengendara arus. Dari ketiga kelompok besar, ketiganya pernah menjadi tanan kanan setara dari para pimpinan. Amar Barok dari Dinasti Baru, Syamsul Bahar dari QZK, dan si Jagal Sulaiman Seno dari JXG.

“AMAR BAROK!!!” teriaknya dengan penuh percaya diri. “MAJU KAMUUU!!”

Amar mendengus-dengus bagaikan singa yang menatap seekor pelanduk. Keduanya berhadapan hanya berjarak beberapa meter saja. Syam bukan lawan yang mudah takut, dia bukan kroco yang mudah terbang ketika dihantam. Amar tidak akan bisa mudah menghadapinya.

ROAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRR!!

Raungan Singa Emas berkumandang. Mencabut akar rumput dari tanah, menggoyang pohon besar hingga rontok daun-daunnya. Beberapa anggota KRAd dan QZK terbang karena tidak mampu bertahan dengan kuatnya serangan yang dilontarkan.

“Ababmu tidak akan mempan terhadapku, Singa Emas,” Syam berjalan dengan tenang ke depan, ia menghadapi Amar dengan penuh percaya diri. Tangannya berputar-putar di depan dada, seperti merangkai sesuatu, membuat sebuah bola di udara. “Kamu akan runtuh karena tiga kesalahan.”

Amar Barok mendengus kesal, pandangannya mengarah pada Don Bravo yang berhasil mencapai lokasi tempat sang kekasih berada. Keselamatan gadis itu sekarang, ada di tangan sang pemakan bengkuang. Tentu saja Don Bravo masih harus berhadapan dengan beberapa kroco terlebih dahulu sebelum mencapai posisi Dinda.

“Kamu tidak fokus, Amar. Kesalahan pertamamu.”

Syam melontarkan serangan bola api energi yang telah dihimpun ke depan. Bagi mereka yang mampu melihatnya, bola api energi adalah tembakan tenaga dalam berbentuk bola berwarna biru yang menyala redup terang bagaikan dihimpun dari tenaga elektris.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaamm!!!

Bola api energi dari Syam meledak saat bertemu Amar Barok. Pria gagah itu menahan serangan hanya dengan membuka satu telapak tangan.

Syam sudah paham akan kemampuan sang Panglima Singa Emas, itu sebabnya ia sudah mempersiapkan bola api energi kedua dan ketiga di telapak tangan kanan dan kirinya.

Perisai Genta Emas memang pilih tanding.”

Amar melihat bola api energi di tangan Syam, “Mau dicoba berapa kalipun tidak akan ada gunanya.”

“Kamu meremehkan, Amar. Itu kesalahanmu yang kedua,” Syam tersenyum, “sasaranku bukan kamu.”

Syam melontarkan bola api energi dari tangan kiri ke samping. Ke arah Don Bravo yang tengah berjuang untuk menyelamatkan Dinda. Amar terbelalak.

“AWAAAAAAAAAAAAAASSSS!!!”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaamm!!!

Don Bravo terpental jauh terkena sambaran bola api energi dari Syam. Dia sama sekali tidak menyangka datangnya serangan itu. Tubuh pemuda itu bagaikan terbakar. Serombongan pasukan KRAd segera mengincarnya.

Syam melirik ke samping, tiba-tiba saja Amar Barok sudah berada di depannya! Kepalan sang Panglima Singa Emas melaju dengan kecepatan tinggi. Penuh dengan gejolak amarah yang berlipat-lipat.

“Hraaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!”

Syam mendesis, ia menerima serangan itu dengan bola api energi dari tangan kanan.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaamm!!!

Kedua orang perkasa itu terlempar mundur beberapa meter jauhnya. Kaki mereka berdua sama-sama menjejak tanah sebagai tumpuan untuk melesat kembali ke depan. Badai pukulan tak terelakkan. Saling melontarkan serangan, saling menahan. Keduanya seimbang.

Kanan. Kiri. Atas. Bawah. Kanan. Atas. Bawah. Depan. Belakang. Putar ke kanan. Ke kiri.

Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam!

Setiap pukulan yang dijual Syam dibeli oleh pertahanan prima Amar. Senada, serangan Amar juga tak menemui hasil. Pertahanan Syam juga pilih tanding, setiap kekerasan sang Panglima Singa Emas dimentahkan oleh kelembutan pertahanan Syam.

Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam!

Keringat deras mulai menghias wajah keduanya. Badai jotosan mereka berdua sudah tak lagi nampak oleh mata orang normal, sangat cepat, penuh tenaga, dan setanding. Baik Syam maupun Amar sama-sama tak menarik diri. Mereka menyerang dengan serius, mencoba mencari celah yang tak ada.

Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Bam!

Bledaam!! Bledaaaam!!


Badai seakan tak terhenti sampai akhirnya adu pukulan terjadi, kepalan melawan kepalan. Keduanya terlempar kembali ke belakang beberapa meter jaraknya. Baik Syam maupun Amar sama-sama mengambil napas. Mencoba mencari jeda setelah ngos-ngosan memacu tenaga.

Tubuh Syam bagaikan berasap. Demikian pula Amar.

“Kesalahan ketiga…” Syam tersenyum sambil menghapus peluh di dahi dengan punggung tangannya. “Adalah bahwa kamu mengira kami akan bertarung dengan ksatria.”

Amar terbelalak, ia mencoba mencari sesuatu.

“Di sini, Amar.”

Di atas tingkat yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian, Muge sang Monster berdiri dengan tenang. Tangannya mencengkeram leher Dinda yang masih pingsan dengan pakaian acak-acakan. Hanya dalam sekali remas, leher Gadis itu akan remuk. Tidak nampak Roy, Bian, dan Hageng dimanapun. Kemana mereka?

“Bangsat. Lepaskan dia kalau kamu masih ingin hidup!” Amar geram bukan kepalang.

Muge menyeringai. Dia merobek satu demi satu kain yang menutup tubuh sang dara. “Pantas saja kamu ingin memperistrinya, Amar. Tubuhnya sangat molek. Sayang dia sudah diperawani oleh Bambang Jenggo. Hahaha.”

“BAJINGAAAAAAAAAANNNN!!”

“Meski sudah tidak perawan, tapi pasti memeknya masih akan sangat legit dan sempit. Sayang gadis desa seperti dia bukan seleraku, akan kuberikan dia pada bocah-bocah KRAd saja. Mereka pasti doyan tempik wangi seperti milik lonte ini.”

“AWAS KAMU MUGEEEEE!!” Amar menunjuk ke atas. Dia sudah bersiap untuk berlari ke tangga menuju lantai jemuran, tapi di depannya, Syam sudah menghadang.

Perisai Genta Emas memang menakjubkan tapi tidak akan banyak berarti ketika titik kematian sudah di tangan lawan.” Syam mengangkat tangan kanan dengan jari telunjuk dan jari tengah terhunjuk ke atas. “Sadarkah kamu kalau aku sebenarnya sudah mengetahui titik kematianmu, Amar? Percuma kamu melawanku. Pergilah dari sini! Aku masih memandang reputasimu. Aku tidak ingin kamu mati sia-sia.”

Amar mendengus. “Aku tidak peduli!”

Amar kembali menghimpun tenaga, Perisai Genta Emas meningkat level-nya. Syam melesat dengan kecepatan tinggi. Jari yang tadi ia hunjukkan kini mengincar bagian tertentu dari tubuh Amar yang menjadi lokasi penempatan titik kematian. Syam mengincar bagian bawah ketiak sang pendekar Singa Emas. Tapi boro-boro ia bisa menotoknya, untuk masuk ke area pertahanan Amar saja tidak mungkin.

Gemas, Syam berteriak. “Muge!! Telanjangi gadis itu!!”

Muge menyeringai dan mulai melucuti semua yang dikenakan oleh Dinda. Hal ini membuat fokus Amar berantakan. Sesuatu yang memang diincar oleh sang punggawa QZK. Satu pukulan tangan kanan Amar melayang, mengincar kepala Syam.

Syam memejamkan mata.

Bledaaaaakghhh!

Pukulan itu masuk!

Sayang sekali memang itu tujuan Syam. Dengan cekatan ia mencengkeram lengan Amar, dan menariknya ke depan. Sang Panglima Singa Emas kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke depan, totokan dari jari Syam masuk ke lokasi yang dia incar.

Jbkgh! Jbkgh!

Amar mendelik! Ia mengokohkan kaki. Memutar kepalan dan melontarkan serangan hebat ke sisi wajah Syam yang terekspos.

Jbooooooooooooooooookghhhhh!!

Syam terlontar ke kanan tanpa bisa menahan serangan, tubuhnya berputar di udara beberapa kali sebelum ia akhirnya mendarat sempurna. Ia terengah-engah, kenapa… totokannya gagal? Bukankah posisinya ada di bawah ketiak? Ataukah totokannya di tangan yang salah? Syam geram. Ia kembali memutar tangan untuk mengeluarkan bola api energi.

Bledaaaaaaaaaaaaaaakghhh!

Syam dan Amar sama-sama menengok ke atas. Ke arah suara berasal.

Muge sang Monster terhuyung-huyung ke belakang. Mundur beberapa langkah ke belakang sembari memegang wajahnya yang tersengat tendangan. Dinda lepas dari genggaman, gadis itu jatuh ke pelukan seseorang.

Amar mencoba memperhatikan lebih jelas. Don Bravo? Bukan. Si pemakan bengkuang masih sibuk dengan lawan-lawannya dari KRAd. Siapa orang itu?

“Hhh… hhh… hhh… hhh… aku tidak akan membiarkan Dinda kalian sakiti lagi. Tidak akan pernah! Maafkan aku terlambat datang… maafkan aku terlambat… tak akan kubiarkan mereka semua bebas. Tak akan kubiarkan.” Orang itu berucap geram sembari terengah-engah, napasnya satu dua. Seorang pemuda muncul untuk melindungi tubuh Dinda. Dengan penuh rasa kasih ia menutup ketelanjangan gadis itu dengan jaketnya. “Semua yang telah menyakiti gadis ini… akan kubunuh. AKAN KUBUNUH KALIAN SEMUAAAAA!! MALAM INI JUGAAAA!!”

Amar mendesis lirih menyaksikan sosok yang tengah meradang dan terluka itu, dari semua orang di dunia, mungkin hanya Amar yang paham bagaimana perasaannya.

“Deka.”





.::..::..::..::.





Shinta menunjuk ke depan. “Di sana. Itu pintu utamanya.”

Kapten Ridwan Danuri mengangguk pada Shinta. Ia memerintahkan anak buahnya untuk memulai menjaga parameter di sekitar rumah yang menjadi target serangan Tim Garangan. Ia juga membaca peta untuk memastikan tidak ada jalan keluar yang tidak ditutup oleh anggota pasukan gabungan.

“Shinta, kamu masuk dari sisi sini.” Kapten Ri menunjuk ke satu celah pada peta, “rumah ini berbatasan langsung dengan halaman belakang rumah sekap KRAd. Pastikan membawa beberapa rekan sebagai backing. Tidak perlu langsung menyerang, laporkan saja apa yang terjadi. Jangan melakukan apapun. Tunggu aba-aba. Aku yang akan memutuskan apa yang akan kita lakukan. Kalau situasi gawat, laporkan juga dengan segera. Pasukan akan aku gerakkan dari sini, sini, sini, dan sini.”

“Siap, Kapten.” Shinta mengangguk saat mengamati peta. Ia segera meninggalkan Kapten Ri dan mengajak tiga kawan bersamanya untuk masuk ke rumah sekap.

Kapten Ri melangkah ke arah salah satu pasukannya. “Bandri. Pastikan tidak ada kejadian penting yang lolos, videokan semua yang terjadi sebelum kami masuk. Malam ini KRAd membuat perkara dan mengajak QZK bersamanya. Kita harus pastikan untuk mencekok para pemimpin dengan bukti-bukti otentik. Kamu masuk dari gedung yang di sana itu. Rekam semuanya, walaupun tanpa suara setidaknya kita tahu ada kejadian apa. Gedung yang di sana paling tinggi dari semua gedung di sekitar lokasi.”

“Siap Kapten.” Pria yang dipanggil dengan nama Bandri memasang penutup wajah dan pergi menuju arah yang ditunjuk.

Semua pasukan sudah bersiap. Kapanpun Kapten Ridwan Danuri mengucapkan kata go. Mereka akan melesat untuk menangkap semua anggota geng bajingan yang malam ini mengobrak-abrik kota. Ponsel sang kapten berbunyi.

Ia melirik ke arah layar dan menekan tombol terima. Ada suara seseorang yang menanyakan keberadaan sang kapten tim Garangan.

“Ya? Iya, aku masih di lokasi.”

Terdengar orang itu menyampaikan laporan.

Kapten Ri mengangguk-angguk meskipun orang di ujung sana tak dapat melihatnya. “Baik… baik… ya, bebaskan saja mereka berdua. Aku yang akan bertanggung jawab pada pimpinan. Situasi sudah semakin tak terkendali, sekalian saja melepas buaya dan piranha ke kolam hiu.”

Orang di ujung menyatakan selesainya laporan. Kapten RI memasukkan ponsel ke sakunya.

Tim Garangan sudah mengambil langkah.

Tinggal Dinasti Baru.





.::..::..::..::.





.:: ANGKARA MURKA DI KAWASAN UTARA



Mata semua orang terbelalak melihat sosok yang baru hadir.

Dia adalah seorang pria berjubah tebal warna putih dengan pakaian seperti seorang pertapa. Jenggot tebal dan panjang putih hingga ke lutut, wajah adem dengan alis yang juga panjang dan putih keperakan. Sosok misterius dengan aura Ki yang menakjubkan. Gerakannya sangat-sangat pelan dan anggun, usianya tak tertebak. Mungkin lebih tua dari yang diperkirakan siapapun.

Ketika dia mendarat di tanah, hempasan tenaga yang ia lepas memaksa om Janu, Nanto, Pakdhe Wira dan semua orang yang berada di taman halaman belakang gedung pertemuan mengeluarkan ilmu kanuragan hanya untuk tetap berada di posisi mereka, mereka harus bersusah payah mencengkeram tanah dengan energi supaya tidak terlontar dari posisi mereka saat ini.

Sungguh luar biasa! Siapa orang ini sebenarnya?

Om Janu geram menatap sang pertapa yang baru datang. Tangannya dikepalkan. Orang ini tidak hanya sekedar datang! Dia tidak mengenalnya – itu artinya dia bukan anggota QZK, ditambah lagi dia juga bukan bagian dari KRAd. Itu artinya dia anggota Aliansi!!

Om Janu berlari ke depan dengan kecepatan tinggi bahkan sebelum sang pertapa menjejak tanah. Tidak ada satu orang pun kecuali si Bengal yang sanggup melihat gerakan sang pimpinan tertinggi QZK itu karena dia menggunakan ilmu kanuragan.

Nanto mendengus, dia berkelebat ke depan untuk menyusul dan mencoba melindungi sosok yang baru hadir. Siapapun sang pertapa, dia sepertinya bukan orang jahat. Aura yang keluar dari sosoknya adalah aura yang tenang dan meneduhkan, bukan aura pembunuh. Si Bengal tahu siapa yang harus dibela dan siapa yang harus dilawan.

“Awaaaaasss Tetuaaaaaa!!”

Nanto mengerahkan kemampuannya, membuka gerbang kecepatan, dan dalam sekejap melesat ke depan, memangkas jarak dengan hempasan lompatan yang diselimuti tenaga dalam. Tapi om Janu pun melakukan hal yang sama. Pimpinan QZK itu membuka gerbang kecepatan dari Kidung Sandhyakala.

Dalam tiga lompatan, baik om Janu dan Nanto akan mencapai lokasi tempat sang pertapa. Siapa yang berhasil lebih mencapainya?

Lompatan pertama. Om Janu menggeram dan menyentakkan tenaga dalam dari kedua tangannya. Sentakan tenaga yang kemudian menghempas tanah dan menjadi booster laju kecepatannya. Dengan sentakan tenaga itu, Om Janu terbang lebih jauh, tak lagi memerlukan lompatan ketiga. Nanto hendak melakukan hal yang sama.

“Oh tidak. Tidak boleh. Sekarang giliranku.”

Si Bengal terbelalak.

Dari samping datang kepalan yang deras meluncur seperti peluru kendali. Kencang tak tertahan. Ia bahkan tak sempat membuka gerbang pertahanan.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaamm!!!

Tubuh si Bengal terbang dengan wajah bengap karena pukulan di wajah. Rahangnya bagaikan remuk oleh sodokan pukulan tadi. Nanto jatuh berdebam dan terguling-guling di tanah. Tangannya mencengkeram rumput, menjadikannya tautan untuk menghentikan gerakan. Saat akhirnya ia terhenti berputar, si Bengal bangkit berdiri dengan kesal.

“Wahahahahahah. Bagaimana rasanya? Enak bukan dipukul tiba-tiba? Kamu yang pertama kali melakukannya padaku! Sekarang kita impas!!” Seorang pria berbadan raksasa hadir.

Lagi-lagi ulah Rahu Kala sang Dewa Maut! Kenapa sih susah sekali menundukkannya? Nanto memandang khawatir ke arah sang pertapa tua yang diserang om Janu! Dia pasti terlambat menolongnya! Dia tidak mungkin mengejar om Janu apalagi kalau dihadang oleh Rahu Kala yang perkasa. Gawat.

Sial! Pertapa itu bisa celaka kalau om Janu sampai…

Eh?

Pukulan om Janu ternyata berhasil ditahan oleh satu tangan sang pertapa, semua orang terkaget-kaget dan terkejut bukan kepalang. Bagaimana mungkin kakek-kakek tua itu bisa melakukannya? Ini om Janu lho! Pimpinan QZK lho! Kok bisa-bisanya ditahan dengan mudahnya?

Balasan dilakukan, satu jentikan jari dari sang pertapa tua mengenai dahi om Janu. Lembut saja.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaamm!!!

Om Janu terbang ke belakang lebih jauh dari Nanto. Ia terguling-guling sebelumnya akhirnya terhempas ke tembok dan jatuh ke depan. Om Janu mengerang kesakitan sembari memegang dahinya yang terasa begitu panas dan nyeri. Untuk pertama kalinya dalam hidup ia dipermalukan seperti seorang bocah di hadapan seorang sakti.

Semua orang di situ menatap ke sang pertapa tua.

“SERANG DIAAAAAA!!” perintah om Janu yang mencoba kembali bangkit. “KENAPA KALIAN SEMUA MALAH BENGONG!? SERANG DIAAAAAA!!”

Pasukan QZK tersadar. Mereka berteriak kencang dan berlari menuju ke arah sang pertapa.

Boooooooooooooooooom!!

Satu ledakan bercahaya membutakan mata. Bagaikan nuklir yang tiba-tiba saja meledak dan membakar langit malam yang gerimis. Angin kencang bak badai tiba-tiba saja berputar kencang dengan taman sebagai pusat pusaran, menghadirkan tornado, menerbangkan apapun yang tak mampu mengencangkan tumpuan. Bagi yang tak mampu, tubuh-tubuh berterbangan, baik yang sadar maupun yang pingsan.

Di sisi QZK, baik Rahu Kala maupun om Janu berusaha keras mengerahkan ilmu kanuragan untuk sekedar bertahan di posisi semula, tapi bahkan itu pun sulit dilakukan! Siapa pertapa ini? Kenapa dia mampu melakukan hal yang luar biasa seperti ini?

Boooooooooooooooooom!!

Sekali lagi cahaya membutakan mata terjadi. Angin puting beliung makin besar dan terus membesar. Tidak ada siapapun yang sanggup menahannya kali ini.

Boooooooooooooooooom!! Boooooooooooooooooom!! Boooooooooooooooooom!!

Om Janu memejamkan mata, dengan geram ia berteriak kencang. Suaranya tertelan pusaran angin. Ia tak bisa melihat siapapun saat ini.

Sampai kemudian semuanya berubah menjadi gelap.

Gelap.

Gelap.

Gelap.

Gelap.

Gelap dan… gelap dan…

Terang benderang!

Om Janu terkejut! Ia mengejapkan mata. Apa yang baru saja terjadi? Apakah dia pingsan? Seberapa lama dia pingsan? Dia sedang terbaring di bawah langit yang gerimis!

Pria gagah itu bangkit dari posisinya terbaring dan mulai memindai situasi dan kondisi lokasi. Tempat pertemuan sudah porak poranda. Pepohonan tercerabut dari akarnya, kaca-kaca pecah, makanan berserakan. Tubuh-tubuh bergeletakan. Semua pasti gara-gara tornado tadi.

Om Janu menggemeretakkan gigi dengan geram.

Jurus itu tadi… itu jurus yang mirip dengan yang pernah ia lihat dalam satu pertarungan dengan musuh bebuyutannya. Apa hubungan sang pertapa dengan Pak Zein?

Perhatian om Janu teralihkan. Mulutnya sampai ternganga saat ia menyadari sesuatu!

Semua anggota keluarga Trah Watulanang telah hilang dari ruang pertemuan. Ada yang menyelamatkan mereka! Tidak hanya satu dua orang, semuanya selamat! Nanto, om Darno, Tante Susan, Pakdhe Wira, semuanya! Semuanya lenyap!! Tidak bisa tidak ini pasti ulah sang pertapa tua!

Kurang ajar!!

Siapapun pertapa itu, dia akan berhadapan dengan koalisi QZK dan KRAd. Tidak akan ada tempat baginya untuk sembunyi! QZK akan mengobrak-abrik kota ini dari utara ke selatan, dari barat sampai ke timur! Dia akan mencabik-cabiknya! Dia akan membelah tubuhnya ke empat penjuru!

“KURANG AJAAAAAAAAAAAAAARRRR!!!”

Om Janu benar-benar marah. Tenaganya dilepas.

Beberapa tembok di radius lima meter dari om Janu langsung roboh seketika. Hancur berantakan tak tentu arah. Semua yang tadinya kokoh, menjadi lebur. Pria perkasa itu benar-benar murka.

Pertapa tua… Nanto… tunggu saja!!

Nasib kalian akan seperti tembok-tembok ini. Hancur runtuh berantakan.

Tunggu saja!





.::..::..::..::.





Mungkin memang tembok-tembok di sekitar om Janu runtuh, tapi tembok yang berada di suatu tempat yang jauh dari lokasi pertemuan, yaitu tembok sebuah hotel sederhana di belakang satu stasiun televisi lokal, ternyata berhasil menyelamatkan keluarga Trah Watulanang. Sebuah hotel disulap menjadi tempat suaka sementara untuk penampungan mereka.

Tidak ada satu orang pun yang tahu bagaimana mereka bisa sampai di tempat itu.

Seorang pelayan mengantarkan teh hangat ke meja Pakdhe Wira. Sang pria tua itu tengah memperhatikan seluruh anggota keluarga Trah Watulanang yang duduk-duduk untuk memulihkan diri dari trauma yang mereka hadapi. Entah bagaimana, mereka semua mengira akan menemui ajal dan pingsan saat di gedung pertemuan karena racun dan serangan dari om Janu. Tapi sekarang, mereka terbangun sehat tak kurang suatu apa di sebuah hotel yang entah ada di mana. Beberapa memang telah gugur dan itu sangat menyesakkan jiwa. Sungguh biadab apa yang telah dilakukan oleh om Janu.

Cangkir teh dan pocinya diletakkan di meja.

Monggo diunjuk. Silakan diminum.”

“Terima kasih, Mas.”

Nggih, sama-sama…”

“Maaf, Mas. Bolehkah saya bertanya? Apakah Mas kenal dengan pertapa tua yang membawa kami ke sini? Ketika terbangun kami semua tiba-tiba saja sudah berada di tempat ini. Kami bahkan tidak tahu ini di mana.”

Pelayan itu menggeleng, “Tidak, Pak. Saya juga baru pertama kali ini melihat beliau. Saya juga tidak tahu kapan njenengan masuk, tapi tiba-tiba saja njenengan semua sudah masuk ke kamar. Sewaktu ditelpon pemilik, katanya semua biaya sudah beres, njenengan semua dipersilakan menggunakan hotel ini sampai kapan pun sampai suasana aman. Seumur-umur baru sekali ini pemilik menelpon kami yang sedang bekerja malam-malam begini.”

“Hotel apa ini ya? Apa namanya?”

“Ini Hotel Angin Mas.”

“Hotel A…” Pakdhe Wira menunduk dan tersenyum, “begitu rupanya.”

Saat sang pelayan meninggalkan Pakdhe Wira, pria tua itu berpaling pada Tante Susan yang sedang duduk disampingnya. Adik Pakdhe Wira itu terlihat lesu, “Bagaimana suamimu?”

“Sedang beristirahat, kami berdua tidak apa-apa. Kondisi juga sudah pulih, agak sedikit lemas dan trauma, tapi selebihnya baik-baik saja. Kita beruntung, Mas. Sebagian besar keluarga kita selamat, memang ada yang gugur dan ada beberapa yang kritis, tapi sebagian besar selamat. Pria, wanita dan anak-anak yang ada di hotel ini semuanya sehat. Entah siapa dan apa yang telah dilakukan oleh pertapa tua itu. Tidak hanya menyelamatkan kita semua – dia juga menyalurkan tenaga ke kita untuk menyembuhkan semua luka luar dan dalam. Dia seperti mukjizat yang tiba-tiba saja datang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa nama, tanpa asal-usul, tanpa alasan.”

Pakdhe Wira mengangguk. “Syukurlah kalau semua baik-baik saja.”

“Di mana… Nanto?”

Pakdhe Wira menunjuk ke sebuah arah.

Tempat yang ditunjuk adalah taman hotel yang ada di depan kamar-kamar. Ada kolam, bebatuan, dan tanaman rindang yang menyejukkan. Tempat yang menyuarakan zen dan ketenangan.

Di sana si Bengal sedang duduk bersila. Ia bersama dengan sang pertapa yang sedang menepuk-nepuk pundak si Bengal – sebenarnya tidak hanya menepuk, tapi sang pertapa tua tengah menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyembuhkan si Bengal. Mereka berdua seperti sedang berbincang tapi tak ada suara terdengar, tak ada kata terucap, bibir keduanya bahkan tak terbuka. Keduanya seperti sedang berbicara menggunakan telepati. Memahami tanpa perlu menyuarakan.

“Terima kasih sudah membantu kami, Tetua,” batin si Bengal. “Kami sangat berterima kasih.”

Sang pertapa mengangguk-angguk sambil terus menerus menepuk pundak sang pemuda. Nanto mungkin tak menyadari, bahwa sejak tadi sang pertapa terus mengalirkan tenaga dalam kepadanya, menambah kekuatan Ki si Bengal dan menyembuhkannya dari luka.

“Tetua… ijinkan aku mengetahui siapa nama njenengan, supaya kelak kami dapat membalas budi. Apa yang sudah Tetua lakukan akan kami ingat sampai kami mati. Tetua sudah sangat membantu keluarga Trah Watulanang. Entah apa yang bisa kami lakukan untuk membalas semua kebaikan Tetua.”

Orang tua itu hanya terkekeh ringan dan menggelengkan kepala, dia tidak memerlukan balas budi. Dia tidak memerlukan apa-apa, dia tidak ingin dibayar dengan apapun.

Nanto bingung harus bagaimana.

Tiba-tiba saja orang tua itu menepuk kedua pundak Nanto secara bersamaan dan langsung terbang mengudara dengan ilmu ringan tubuh yang sangat sempurna. Ia melambaikan tangan seperti hendak pergi meninggalkan mereka semua.

“Tu-tunggu dulu, Tetua! Siapa nama njenengan?”

Orang tua itu tertawa lagi, ia masih melambaikan tangan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Nanto tidak yakin siapa yang telah datang membantunya malam ini. Tidak hanya dirinya, tapi juga seluruh anggota Trah Watulanang.

Siapa sebenarnya pertapa misterius ini?

Ini mungkin adalah kali pertama dan terakhir kita akan berjumpa. Aku sudah tidak lagi berurusan dengan semua hal duniawi. Hidupku sudah dipasrahkan untuk pemasrahan.”

Nanto tertegun. Pertapa tua itu sama sekali tak membuka mulut tapi suaranya seperti bisa ia dengar, nadanya terdengar berat, tenang, dan penuh wibawa. Entah sudah seperti apa ilmu kanuragan yang telah ia kuasai. “Pertama dan terakhir? Te-tetua? Kenapa bisa begitu?”

Sudah waktunya aku pulang. Aku sudah tak lagi layak menjumpai dunia di usiaku yang sekarang, sudah waktunya aku beristirahat dalam kekekalan. Biarlah urusan duniawi menjadi urusan kalian kaum muda. Aku juga sudah tidak kuat menghadapi matahari, biarlah saja aku menjadi embun pagi, yang datang untuk memberikan kesegaran sesaat, lalu menguap dan tak teringat lagi.” Sang pertapa menautkan kedua tangannya di belakang pinggang. “Dulu aku berduka sekali karena gagal melindungi, tapi kini sudah kuperbaiki. Hutangku telah lunas, sudah dibayar tuntas.

“Tetua?”

Pertapa tua itu tersenyum, dengan langkah ringan ia melangkah di langit seperti sedang menapakkan kaki di atas anak tangga. Ilmu ringan tubuhnya pasti tidak main-main! Saat itulah Nanto seperti terhenyak karena teringat suatu kisah.

Kisah masa lampau yang penuh intrik. Kisah yang ia dengar saat berada di dalam gua di desa.

“Pe… Pendekar A…” Nanto terbelalak dan terbata-bata tak satupun kata bisa terucap.

Selamat tinggal, Nanto, jaga keluargamu. Setelah ini mereka akan membutuhkanmu untuk menapaki jejak-jejak menuju puncak. Setelah ini, jadilah pimpinan sejati, jadilah acuan jiwa dan pribadi. Bimbinglah mereka semua, bimbing sampai kelak para jabang bayi menjadi serigala beringas penjaga nurani. Perang memang akan hadir, tugasmu adalah memimpin para jawara penjunjung suara hati melawan angkara murka. Tetaplah bertahan, tingkatkan kemampuan. Jangan khawatir dan pastikan kemenangan.”

“Tetua…”

Setelah semua berakhir, setelah usai masalah kali ini maupun masalah mendatang, setelah kamu benar-benar lelah dan puas dengan keadaan, kelak kita bertemu di nirwana.”

Pertapa tua itu tertawa dan menghilang dari pandangan, seperti sebuah bayangan yang tergradasi. Wajahnya terlihat bahagia, selayaknya seseorang yang lepas dari beban yang terangkat setelah menderita lama. Beban yang menjadi kutukan dan membuatnya tak bisa terangkat moksa. Beban yang sudah dipikul sangat sangat lama.

Nanto terkesiap. Tunggu dulu… tunggu dulu…

Dia pasti salah. Tidak mungkin itu beliau.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa itu beliau? Jarak waktunya sangat absurd! Bagaimana bisa itu adalah beliau?

Nanto menatap langit yang gelap.

Gelap tapi menyejukkan. Hujan yang turun seperti memori akan masa lampau.

Si Bengal menyalakan Ki. Ia baru menyadari bahwa seluruh tenaganya telah kembali. Bahkan lebih daripada itu, ia mendapatkan sesuatu yang baru… tenaga yang disalurkan oleh sang pertapa tua membangkitkan kekuatan lain yang tak ia sadari sebelumnya.

Penyempurna kestabilan energi Nawalapatra 18 Serat Naga.

Malam itu, terdengar raungan seekor binatang buas di langit kelam.

Ada yang bilang, malam itu mereka melihat penampakan seekor naga.





.::..::..::..::.





.:: ENTAH DI MANA



“Suasana kota sedang sangat panas saat ini. Ada Tarung Antar Wakil antara dua kelompok yang tengah bertarung. Siapapun paham dengan situasi ini.”

Seorang gadis yang mengenakan topi, masker, dan kacamata hitam duduk di depan Ara. Mereka berdua tengah berada di sebuah rumah makan ayam presto yang menggunakan brand dari nama seorang raja di masa kejayaan kerajaan masa lampau.

“Tidak usah ngalor-ngidul. Kamu tahu apa yang kamu inginkan. Waktuku tidak banyak, tidak ingin aku buang-buang dengan percuma.” Ara kesal menanggapi ucapan gadis itu. “Kalau memang tidak ada apapun yang penting, lebih baik aku pergi saja.”

“Ayolah…” gadis di depan Ara tersenyum, “tidak mau mencicipi freshly squeezed lemon-nya? Juara banget. Segernya no play-play.”

Ara mendesah. “Aku hitung sampai tiga. Kalau tidak ada yang ingin kamu sampaikan lebih baik aku…”

Gadis di depan Ara membuka topi, kacamata, dan maskernya. Menunjukkan wajah yang ternyata cantik jelita. Gadis itu mendorong ponselnya ke arah Ara.

Ara mengernyit. Apa-apaan sih ini…? Apa yang dia…?

Di gambar yang ditunjukkan sang gadis di depan Ara, terdapat foto dirinya, seorang anak kecil, dan Simon Sebastian.

“Apa-apaan ini?”

“Namaku Metta Okti Kurniasih, anak yang ada di foto ini anakku. Lucu ya? Sayang anak itu tumbuh tanpa mengenal ayahnya. Aku tidak punya suami – ayahku bahkan tidak pernah tahu siapa nama ayah anakku, aku tidak pernah memberitahunya. Aku tidak bisa. Laki-laki yang menghamiliku kabur dengan wanita lain sebelum kami menikah. Ayahku terlampau garang, aku tidak ingin ada pertumpahan darah. Anakku tetap kubesarkan dengan rasa sayang melebihi apapun sampai saat kelak dia mandiri. Anak itu, adalah anakku dengan laki-laki yang sekarang menidurimu. Laki-laki brengsek yang tidak pernah bertanggung jawab!”

Plaaaaaaakk!!

Ara menampar Metta. Ia menunjuk ke arah gadis yang baru dikenalnya itu, “Awas! Hati-hati kalau bicara. Aku tidak akan segan-segan…”

Metta mencibir dan menyeringai, “Kamu pasti belum pernah terkena imbas kasus-kasusnya. Wanita seperti aku tidak hanya satu. Kami semua menjadi korban keberingasan si brengsek itu! Tunggu saja, waktumu pasti akan tiba.”

Ara kesal sekali. “Simon tidak akan pernah…”

Metta mengangkat bahu, “Sebenarnya aku juga tidak perlu peduli padamu. Percaya tidak percaya itu terserah kamu. Aku hanya mencoba memperingatkanmu tentang siapa dia dan apa yang selama ini dia lakukan. Dia bukan orang suci, bukan orang yang bersih.”

Ara geregetan. “Apa buktinya? Kalau kamu hanya akan menuduh tanpa bukti, itu namanya fitnah.”

“Bisa tes DNA kalau memang dibutuhkan. Aku bukan perek, bukan lonte, tidak pernah tidur dengan laki-laki lain.” Metta menantang Ara. “Cinta memang membutakan, tapi jadilah orang yang cerdas dalam memilih pasangan. Lihat masa lalunya. Ingat baik-baik, aku bukan yang pertama dan bukan satu-satunya. Jangan sampai kamu terjebak dan kemudian ditinggalkan begitu saja. Korbannya sudah banyak.”

Ara menahan perasaannya. Apakah Simon memang bajingan pemetik bunga seperti yang dituduhkan oleh gadis bernama Metta ini? Coba dia korek keterangan lebih dalam. Apakah dia benar-benar mengenal Simon seperti Ara mengenalnya?

“Anakmu. Siapa namanya?”

“Deva. Mahadeva Kurnia. Seperti yang aku bilang, ayahku sendiri bahkan tidak tahu siapa ayah Deva. Padahal ayahku orang yang cukup disegani, Bintoro Muji Wiguno.”

“Si-siapa?” Ara terbelalak mendengar nama yang disebutkan oleh Metta. “Siapa tadi kamu bilang? Bukankah itu…?”

“Ya. Memang itu namanya. Itu nama ayahku. Jarang digunakan. Dia lebih sering menggunakan nama BMW. Kamu kenal ayahku?”

Kepala Ara pusing bukan kepalang.

Gadis di depan Ara tersenyum sembari menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan Ara. “Kita mulai dari awal saja. Namaku Metta Okti Kurniasih, putri Bintoro Mugi Wiguno, mantan Simon Sebastian dan ibu dari Mahadeva Kurnia.”

Ara meneguk ludah.

Ini beneran nih? Ini bohong kan?





BAGIAN 19.1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 19.2
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd