Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 19.2
HIDUP ADALAH PERJUANGAN




“Orang-orang Sparta tidak pernah menanyakan berapa jumlah lawan mereka.
Mereka bertanya di mana lawan-lawan itu berada.”
- Plutarch





Krgk
.

Satu bokken patah saat dihantamkan mengenai punggung Mox. Meskipun tidak memberikan efek kesakitan yang terlalu amat sangat, sang punggawa Empat Perisai QZK itu terjungkal ke depan. Pegangannya pada leher Usagi terlepas.

Usagi yang sudah tak berdaya jatuh ke samping. Tepat pada saat itu, seseorang berkelebat untuk menangkap tubuh wanita muda yang terluka parah itu untuk menjauhkannya dari Mox.

Sang Bule Gila tentunya tak terima diserang dari belakang seperti itu. Ia menghantam tanah dengan Ki dan memutar tubuhnya bak pegas. Ia melayang balik ke belakang. Berharap dapat menghajar siapapun yang baru saja menyerangnya. Tapi sang penyerang Mox jauh lebih lincah dari yang ia perkirakan. Dengan cekatan ia menghindar dan meloncat menjauhi posisi Mox dan Pasat.

Kini dua kubu berbatas jarak. Mox dan Pasat di kiri, kedua penyelamat Usagi di kanan.

“Hmm… hmm…”

Mox menyeringai saat melihat siapa sebenarnya kedua orang yang baru saja mencegahnya membunuh Usagi. Keduanya menggunakan topeng, berpakaian ala-ala kimono tapi lebih ringkas dan gesit dalam bergerak. Sepertinya dia tidak perlu mencari karena yang dicari datang sendiri.

Hello there! Wah, another japanese? Orang jepang lagi? Kalian pasti dari SSX bukan…? Hold on! Hold on! I got this! Sebentar sebentar… aku hapal kok siapa siapa saja anggota SSX. Aku selalu berusaha menghapal wajah targetku meskipun itu dari video atau gambar saja.”

Pasat menatap Usagi, gadis itu hampir saja mati kalau saja tidak ada pertolongan dari kedua anggota SSX yang lain. Dirinya dan Mox hanya butuh dua kepala lagi dari SSX sebagai pembuktian kemampuan kepada Empat Perisai dan ketua QZK. Kebetulan sekali dua orang anggota SSX datang untuk menolong Usagi, sial bagi mereka, untung bagi Mox.

“Matsushita. Kamu Matsu bukan?” Mox menunjuk pria berambut pendek yang sedang mengeluarkan sebilah pedang, lalu ke arah sang wanita yang tengah merangkul tubuh lemah Usagi. “Well I’ll be damn. What a cutie. Manis sekali kamu, Naoko-chan.”

Matsu dan Naoko menatap geram pada pria itu. Matsu mengayunkan pedangnya, “Kamu telah membunuh Nohara. Kami tidak akan membiarkan malam ini kamu tetap hidup untuk menikmati hari esok. Itu sumpah kami sebagai anggota SSX!”

“Bacot.” Pasat mendengus geram. “Mox, habisi saja mereka.”

“Tentu saja… tentu saja…” Mox melirik ke kanan dan kiri, lalu menarik pedang tergeletak di aspal. Pedang yang tadinya dibawa-bawa oleh Usagi. Dengan satu tendangan ke atas, pedang itu terangkat tepat ke tangannya. Ia lalu mengayun-ayunkan pedang dengan gerakan gemulai. Bisa dipastikan bukan sekali ini saja si Bule Gila itu menggunakan pedang sebagai senjata. “One on one, Matsu.”

Matsu bersiap dan meletakkan pedangnya bagaikan memegang busur, tubuhnya menunduk sedikit, pedang di tangan kanan diletakkan sejajar dengan arah pandangan mata. Tangan kiri diletakkan menyilang untuk melindungi diri dari lawan sekaligus meletakkan mata pedang supaya lurus ke depan.

“Naoko, bawa Usagi-chan pergi dari sini,” bisik Matsu pada rekannya yang ada di belakang. “Aku tidak yakin mampu mengalahkan orang ini. Tapi aku bisa memberikan waktu lebih supaya kalian selamat. Pergilah ke destinasi yang sudah ditunjuk dan disampaikan Ki Kadar sebelumnya.”

“Hah!? Tapi… Kak Matsu… itu artinya…”

“Pergi.”

Matsu menerjang ke depan terlebih dahulu. Duel pedang tak terelakkan. Percikan api dan dentingan dua senjata tajam yang dengan ganas dilontarkan untuk membabat lawan. Kecepatan Matsu dibantah oleh ketegasan Mox. Seni pedang ala Jepang yang lajunya bagaikan air dihadapkan pada jurus pedang campuran yang dibawa Mox entah dari mana.

Adu pedang terjadi bagaikan badai yang dentingnya memekakkan telinga. Meski seumur hidup jarang memegang pedang, tapi Mox adalah seorang petarung natural yang bisa memanfaatkan benda apa saja untuk dijadikan senjata. Itu yang menjadikan dia teramat berbahaya. Terlebih dia adalah alumni satu penjara paling mengerikan di muka bumi – penjara tak tertembus tak bisa dibobol yang ada di pulau para dewa.

Matsu memperhatikan gerak tangan Mox. Dia menggunakan tangan kanan. Bilah pedang memang mampu menyentuh kemana saja, tapi tetap ada keterbatasan titik karena posisinya. Matsu bisa masuk dari kanan, hanya untuk menghentak, lalu beralih ke kiri, berputar, dan menyerang posisi blind spot. Dia punya kesempatan.

“Hiyaaaaaaaaaa!!”

Sesuai dengan perkiraan sebelumnya, Mox bertahan dan menyerang hanya dengan tangan kanan. Matsu sukses mengeksekusi rencananya.

“Ah!”

Sang Bule Gila mengernyit kesakitan, lengannya baru saja tersayat. Darah menetes dari luka sabetan. Ia mundur beberapa langkah, tapi demi apa dia akan berhenti oleh hal sesepele itu. Mox mengerahkan Ki, ia melepas gagang pedang, lalu memutarnya dengan jari jemari, dan sesaat kemudian dengan mengejutkan ia melemparkan pedang ke tangan kiri. Kembali pedang itu diayunkan dengan anggun untuk menahan serangan Matsu yang berikutnya.

Adu pedang memantik cahaya petasan dari hasil pertemuan ayunan dua senjata. Degup jantung kedua petarung meningkat. Sedikit saja salah mengambil keputusan, fatal akibatnya. Termasuk rencana yang baru saja dikerjakan oleh Matsu ternyata gagal total. Mox adalah seorang ambidextrous, seseorang yang mampu melakukan apapun dengan handal baik itu menggunakan tangan kanan maupun tangan kiri.

Matsu yang mengira dia akan berada di atas angin karena menggunakan pedang ternyata mendapatkan perlawanan yang setimpal.

Boy! Jangan diam saja!! Bunuh dua cewek itu!” teriak Mox pada Pasat yang sejak tadi hanya diam termangu. “Kamu ini patung atau apa sih? Kenapa membiarkan aku bertarung sendirian saja? Jangan tiba-tiba saja jadi banci kamu!”

“Ish!” Pasat mendesis marah. Ia terbang untuk mengejar Naoko dan Usagi yang tentu saja kini menjauh. Pasat gagal mencapai posisi kedua gadis itu. Dia seperti orang yang kehilangan fokus dan tujuan, hanya melihat pertarungan Mox dengan kebingungan.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” Matsu juga terbelah fokusnya. Ia tak mengira Naoko dan Usagi justru tak buru-buru kabur sejak tadi. “Cepat pergi!!”

“Kak… Kak Matsu… kami tidak bisa meninggalkan… kami akan membantumu untuk…”

“Pergilah. Aku yang akan menghadapi mereka!” Matsu memerintah Naoko untuk membawa Usagi yang sudah terluka parah. “PERGI!!”

“Ta-tapi…”

“PERGII!!”

“Heheheh.” Mox terkekeh. “Kamu hilang fokus, young samurai boy. Too bad.”

Matsu menyadari kesalahan terbesarnya. Tiba-tiba saja lehernya sudah dicengkeram oleh Mox! Sang Bule Gila mengayunkan pedangnya. Tangan Matsu yang memegang pedang terpotong dan jatuh ke tanah. Dengan mudahnya pria raksasa itu lantas menancapkan pedang Usagi ke punggung Matsu.

Sblp.

“Hgggkkkkkhhhh!!”

“KAK MATSUUUUUUUU!!”

“PERGIII!!!!!!!”

Naoko melelehkan air mata, tapi dia tidak bisa diam saja dan menjadi mangsa Mox selanjutnya. Pria itu terlampau mengerikan. Kemampuannya seperti melebihi kemampuan semua anggota SSX bahkan mungkin melebihi Empat Anak Panah JXG.

“Maaf, Kak Matsu… aku pergi dulu.”

“Ma… Matsu…” Usagi merintih lemah.

Naoko melesat membawa Usagi pergi dari lokasi pembantaian anggota JXG. Suasana makin keruh, darah tumpah bercampur dengan air hujan yang turun. Petir menderu seperti hendak memberikan cahaya sesaat untuk menerangi mereka yang membutuhkan.

Mox menjambak rambut Matsu, memegangnya erat, lalu mengirimkan bogem mentah bertubi-tubi ke wajahnya. Pemuda jepang itu sendiri tak bisa bergerak karena punggungnya tertembus pedang yang menancap hingga ke tanah. Tangannya sudah tak lagi berfungsi dan dimutilasi.

Jbookgh! Jbookgh! Jbookgh! Jbookgh! Jbookgh! Jbookgh!

“Mau jadi pahlawan? Bodoh sekali. Meskipun kamu berkorban, tapi darah tetap akan tumpah dan SSX akan dihancurkan malam ini. Percuma saja. Seharusnya kamu memilih lari dan pulang ke negaramu. No good deeds goes unpunished.” Mox menghajar Matsu tanpa ampun, pukulan bertubi membuat wajah tampan pemuda itu sudah tak bisa lagi dikenali karena lebam dan darah berkucuran. “Pasaaaaaat!”

Pasat melangkah ke samping Mox. Si Bule Gila geleng kepala dan menampar pipi pemuda itu.

“Pasat! What is wrong with you, dude? Kenapa kamu diam saja? Tahu kan apa yang harus dilakukan? Apa ya harus aku ajari? Go get her! Kalau sampai mereka berdua lolos, aku sendiri yang akan mengebirimu! Akan aku cabut bijimu dengan tangan kosong! Paham kamu?”

Pasat mengangguk, dia pun melesat untuk mengejar Naoko dan Usagi. Mox geleng-geleng kepala melihat pemuda yang baru saja ia minta untuk mengejar lawan yang kabur itu.

“Dasar masih hijau. Lihat darah saja bengong. Beginilah kalau harus jadi baby sitter anak orang,” Mox lalu menatap Matsu, “Oh iya, sebelum kamu aku tuntaskan, tolong diingat-ingat ya. Sampaikan salamku untuk Bapak Ibuku. Keduanya sudah almarhum. Bilang saja aku kangen sama mereka. Begitu kangennya sampai-sampai aku membunuh adik tiriku yang imbecile itu karena capek ngurusnya. Ibuku pasti ngamuk-ngamuk sewaktu tahu suami barunya yang bodoh dipenjara karena dituduh membunuh anak sendiri, padahal itu ulahku. Wahahahahahah.”

Matsu sudah tak bisa lagi membuka mata, bernapas pun susah karena hidungnya sudah bengkok dan darah mengucur deras. “Hgkkhhh… hgggghkkkkkh… bnnh… sjaaa.. akkhhhuughh…”

“Ya… ya… baiklah.” Mox tersenyum. Ia menarik pedang yang menancap di punggung Matsu perlahan-lahan. Pemuda itu berteriak-teriak kesakitan karena Mox memutar-mutar pedangnya yang masih tertancap.

“Mudah-mudahan kamu telah menjalani hidup yang menyenangkan, selamat jalan ke alam baka.” bisik Mox. Ia menarik pedang, mengalirkan tenaga Ki ke batang dan mata pisau pedang itu, lalu mengambil posisi yang tepat dan mengayun hanya dalam hitungan detik. “Musashi slash.”

Swshhh.

Kepala Matsu menggelinding jatuh.

Darah deras mengalir membasahi jalanan.

Mox menendang kepala Matsu supaya lebih dekat ke kepala Nohara. Sudah dua dari tiga yang ia janjikan. Ia mengangkat pedang dan berteriak kencang. Seakan menantang langit.

Here we areeee! Born to be king! We’re the princes of the universe!!

Pria sadis itu tertawa terbahak-bahak.

Tidak ada yang berani mendekati dia, bahkan anggota KRAd dan QZK sekalipun. Mox punya sesuatu yang sangat sesat yang tak dimiliki oleh anggota Empat Perisai lain. Dia ganas, buas, dan tanpa ampun. Dia akan menjadi pembantai mengerikan malam ini.

Satu kepala anggota SSX lagi dan janjinya pada om Janu akan terpenuhi.

Srng! Srng! Srng! Srng!

Terdengar suara empat pedang terhunus. Mox menghela napas. Dia tidak perlu menengok dan menghitung untuk tahu jumlah orang yang datang. “Satu, dua, tiga, empat. Ada empat ekor kambing siap dipenggal kepalanya. Kalian mau balas dendam kematian dua orang anggota SSX lain? Lebih baik lakukan sekarang di saat keempat anggota kalian lengkap.”

Di belakang Mox saat ini berdiri Masamune, Fuuma, Miyamoto, dan Sanada. Keempatnya diam tak mengucap kata. Mereka hanya tahu satu bahasa, dendam harus dibalaskan. Dua rekan mereka dipenggal. Itu artinya maut untuk Mox!

Si Bule Gila mengendus-endus.

“Sebentar sebentar… aku hapal wajah-wajah kalian. Seharusnya masih ada Hanzo, Usagi, dan Naoko. Yang kubunuh Nohara dan Matsu. Kalian Masamune, Fuuma, Miyamoto, dan Sanada. Yang satu lagi mana? Namanya Kage ya? Jangan-jangan dia adalah seorang ninja? Tak terlihat dan tak terdeteksi. Tapi aku yakin dia ada juga di ajang pertarungan ini. Heheh. Bagus. Akan sangat menyenangkan hari ini. Tidak hanya tiga kepala, aku akan menghabisi semua anggota SSX satu persatu. Hahahahaha.”

Fuuma berteriak dan memaki-maki Mox dalam bahasa Jepang. Si Bule Gila menggelengkan kepala, jelas ia tidak paham.

“Ayolah, bicara dengan bahasa yang lebih civilized kan bisa. Sudah tahu aku tidak bisa bicara bahasa Jepang. Kalau tidak bisa bahasa ya pakai Inggris. Apa susahnya? Atau jangan-jangan kalian selama ini tinggal di gua? Waahahha. Dasar barang import, visa kalian pasti visa wisata ya. Sampai-sampai tidak mau belajar bahasa asli sini? Kalah sama aku. Bahasa-ku sudah lancar.”

Horyaaaaaaaaaa!!!

Woryaaaaaaaaaa!!!

Sanada dan keempat kawannya berteriak hampir bersamaan. Mereka maju menyerang.

Mox menyeringai.





.::..::..::..::..::.





Tak ada percakapan, tak ada basa-basi – tiba-tiba saja langsung terjadi adu pukulan antara Bian dan lawan yang berada di depannya. Setiap sodokan kepalan dibalas dengan hentakan untuk menepis serangan. Baik Bian maupun lawannya sama-sama tak mau mengalah, keduanya beradu jotos tanpa kendali, membentuk satu pusaran badai hantaman yang seakan-akan tanpa henti.

Sang lawan mengeluarkan tiga tendangan beruntun, Bian menahan dengan lengannya sembari melangkah mundur. Kondisi masih sama kuat. Satu serangan muncul dari samping, menyambar Bian dengan satu tendangan.

Sekali lagi si bocah bandel meloncat ke belakang untuk menghindar. Kecekatannya masih di atas penyerang yang tiba-tiba muncul. Sang penyerang tidak berhenti begitu saja, ia menapak ke tanah dan dalam satu hentakan melontarkan satu tendangan berputar ke arah Bian. Si Bandel menyilangkan tangan di depan wajah, menerima saja serangan itu dan menggunakannya sebagai energi pelontar ke belakang.

Bledaaaaakgh!

Lengan Bian seperti tersengat petir yang teramat kencang. Ia terlontar ke belakang semakin jauh lagi. Setidaknya kini ia bisa melihat siapa sebenarnya yang telah menyerang. Ketika mencapai posisi aman, Bian berdiri tegap untuk mengamati siapa yang dia lawan. Saat mengetahui, dia pun tersenyum lebar.

“Kita bertemu lagi, Om.” Bian cengengesan.

Agus Lodang mengernyitkan kening saat menggoyangkan kedua tangannya. Sang Raja Ular Api yang tengah berdiri di samping Crazy Horse bersiap untuk membakar sang lawan. Posisinya yang berdiri di atas dak kayu yang ada di samping teras rumah sekap membuatnya lebih jumawa di atas dibandingkan Bian yang masih berdiri di atas rerumputan di taman.

Pertanyaan Bian tentu saja membuat Agus Lodang bertanya-tanya. Bertemu? memangnya mereka pernah bertemu sebelumnya?

Am-om-am-om mbahmu jaran!! Siapa kamu? Di mana kita pernah bertemu?”

“Tidak perlu diingat-ingat, Om. Cukup dicelup, dijilat, dan dirasakan. Kejadian itu begitu cepat dan menyakitkan. Om pergi meninggalkan aku begitu saja setelah merengkuh kenikmatan. Setelah bercanda dan tertawa bersama, aku lalu dicampakkan. Om jahat!”

Matamu!” Agus Lodang kian marah.

Suara Bian seperti pernah didengar oleh Agus Lodang sebelumnya. Tapi di mana ya? Agus Lodang benar-benar tidak ingat, dia lupa.

“Untuk memudahkan njenengan mengenaliku, biar kusampaikan salam dari langit.” Sesaat kemudian Bian menyeringai sambil menyalakan tenaga dalamnya. Ki yang lama-lama menghebat dengan cepat. Ia memantik energinya supaya semakin menguat.

Ki-nya pun terbaca oleh Agus Lodang. Salah satu perisai QZK itu mengernyitkan dahi. Pattern Ki ini… bukankah ini tenaga dalam bocah yang tempo hari jadi pengganggu dan menggagalkan niat Agus Lodang membunuh si cewek SSX?

Tidak salah lagi. Saat Agus Lodang menatap ke arah Bian ia akhrnya sadar saat ini dia tengah berhadapan dengan sosok yang sama seperti yang dia hadapi kemarin hari. Bocah tidak tahu diri!

“Karung beras!!” desis Agus Lodang sambil menunjuk ke arah Bian. “Kamu si pemakai karung beras, kan!? Bagus! Akhirnya kita bertemu lagi! Sekarang bisa kuhabisi kamu sampai tuntas!”

Bian tersenyum, “Kiranya njenengan yang jadi lawan saya malam ini. Sungguh beruntung karena kita berdua sudah saling mengenal. Sepertinya banyak hal yang bisa kita luruskan hari ini mengingat pada pertemuan pertama masih banyak hal yang belum kita selesaikan. Bukan demikian?”

“Jangan kebanyakan bacot, bocah. Malam ini kita tuntaskan pertarungan antara kita berdua! Supaya aku tidak mati penasaran!!”

“Tidak masalah. Kali ini tidak ada karung beras yang akan menghalangi pertarungan kita.” Bian nyengir sambil memasang kuda-kuda. “Kalau diijinkan saya ingin mengajarkan banyak hal pada njenengan, terutama mengenai sebuah lantunan tembang, sebuah Hikayat tentang Pemuja Langit.”

Gaduh Banaspati!

Agus Lodang menyulam bola api dari telapak tangannya. Bola Api berselimut Ki menyala dan langsung dilontarkan ke depan, tepat ke wajah sang pemuda! Sulaman bola api yang geraknya bisa diatur dari jarak jauh itu dilontarkan dengan kencang.

Bian mendengus. Ia merapal ilmu kanuragan yang ia kuasai, “Hikayat Pemuja Langit. Rekatan Ki Lawang Bledheg.”

Bian merasakan aliran Ki mulai mengalir ke seluruh sendi-sendi dalam tubuhnya bagaikan listrik yang merambat menyala di setiap jalur nadinya. Dengan cepat tenaga dalam membanjiri setiap sela dan kuasanya. Tanpa bisa dilihat oleh siapapun, di samping Bian kini berdiri sosok seorang pria berpakaian adat jawa yang tersenyum kepadanya, hadir untuk membimbing si Bandel.

“Bantu aku, Ki Ageng,” bisik Bian pada perwujudan astral yang entah nyata entah tidak itu.

Dengan mudah Bian menangkap sulaman bola api yang dilontarkan oleh Agus Lodang. Hal yang sama seperti yang sudah pernah dilakukannya saat melawan punggawa QZK itu dulu di gudang beras tempatnya bekerja.

Agus Lodang melompat ke depan ditemani oleh Crazy Horse, keduanya bergerak bersamaan, mengepung Bian dari kanan dan kiri. Sang Raja Ular Api kembali menyulam di udara, membuat bulatan-bulatan raksasa dengan kedua tangannya. Tiga sulaman bola api energi terbentuk begitu saja. Ukurannya sedikit lebih kecil dari bola api energi yang pertama.

Bian melaju ke depan sembari membawa bola api energi yang tadi ia tangkap. Ia memutarnya ke atas dan melontarkannya ke depan ke arah Agus Lodang!

Bledaaaaaaaaaaarrr!!

Satu bola api energi bentukan baru hancur berantakan ditabrak sulaman bola api energi yang dilempar Bian, tapi dua yang lain lolos dan meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah si Bandel. Bian menyorongkan tangan, menembakkan tenaga dalam ke depan badan untuk mendorong tubuhnya ke belakang. Dengan satu sentakan, pemuda itu terlontar mundur jauh dari posisi semula. Meski tak menghentikan laju dua bola api energi ke arahnya, tapi Bian menghindar dari serangan awal. Crazy Horse tak mampu menggapainya, begitu juga Agus Lodang.

Setelah jarak cukup aman, Bian memutar tangan, mengubah jemarinya untuk membentuk cengkeraman. Lalu berteriak demi menerima sulaman bola api energi yang sudah begitu dekat dengannya.

“Hraaaaaaaaaaaaaaarrrghhh!”

Teriakan Bian membuat banyak orang terkejut saking kencangnya, bola api yang datang ternyata bisa ditangkap dan dicengkeram lalu langsung dibanting ke kanan, ke arah Crazy Horse. Pria itu berhasil menghindar. Tumbukan bola api energi dan tembok menimbulkan hentakan suara kencang yang memekakkan telinga.

Bledaaaaaaaaaaarrr!!

Satu sulaman bola api energi masih terbang ke arah Bian dengan tak terkendali. Agus Lodang mengejar ke depan untuk memastikan serangan itu berhasil. Tapi sekali lagi Si Bandel mampu mencengkeram bola api energi itu dan melemparkannya balik ke arah sang lawan.

Bledaaaaaaaaaaarrr!!

Agus Lodang terlempar mundur ke belakang dengan tangan bersilang di depan wajah. Meski terkena serangan sendiri tapi dia tetap kukuh berdiri tanpa kehilangan kendali diri. Ia hanya terseret mundur beberapa langkah ke belakang.

Crazy Horse kembali mensejajarinya, keduanya bersiap untuk mengirimkan serangan berikutnya pada Bian. Tapi Bian sendiri juga tidak bergeming. Ia kembali mengambil kuda-kuda. Pandangannya tak membiarkan kedua lawannya bergerak bebas, ia harus memastikan keduanya mengambil arah yang dia kehendaki.

Pertarungan masih jauh dari akhir.

Bledaaaaaaaaaaarrr!!

Tiba-tiba saja ada asap tebal membumbung tinggi di antara Bian dan Agus Lodang.

Menutup pandangan antara kedua orang yang tengah berseteru. Tidak hanya antara kedua orang tersebut. Ledakan dan asap tebal juga terjadi di tengah pertarungan antara Muge dan Deka, serta Syam dan Amar Barok. Asap itu berasal dari bom asap yang dilemparkan oleh beberapa orang yang berlarian kesana kemari sambil tertawa-tawa.

Ulah Pasukan Badut.

Bian mendengar teriakan Deka, lalu suara auman Amar Barok yang membahana dan membongkar dinding asap tebal. Tapi sesaat kemudian asap kembali menutup dengan pekat dan tebalnya, tidak ada siapapun yang bisa melihat di lingkup asap seperti ini.

“SEMUANYA! DENGARKAN AKU! Pertahankan posisi! Kita tidak tahu apa yang terjadi! Jangan lengah, gandakan kewaspadaan kalian! Pastikan posisi lawan! Gunakan pembacaan Ki untuk mendeteksi!” Amar memberikan komando kepada para anggota Lima Jari.

“Mereka pergi dari zini!” ujar Hageng dari kejauhan. “Mereka kabur!”

Shinta yang baru saja sampai ke lokasi melihat apa yang terjadi. Alih-alih dapat melihat pertarungan untuk memastikan siapa yang melawan siapa, dia malah melihat bom asap tebal dimana-mana. Ada yang menggagalkan ulah tim Garangan untuk menjebak KRAd dan QZK. Sepertinya polwan itu tahu ini ulah siapa… seseorang di kubunya sendiri.

“Kapten Ri, ada bom asap. Jarak pandangan menjadi sangat pendek. Kami tidak dapat melihat posisi para anggota KRAd dan QZK, sepertinya ada yang membocorkan rencana kita pada pihak lawan,” lapor polwan cantik itu pada sang pimpinan. “Apa yang harus kami lakukan?”

Asap? Asap apa yang… Shinta! Mereka meninggalkan arena! Masuk! Masuk! Masuk!

“Sial!” Shinta mendesis kesal dan mengayunkan tangan pada pasukannya. “Kita masuk!”

Melihat kondisi arena yang sudah tidak kondusif, pasukan Tim Garangan yang dipimpin Shinta masuk ke arena, tapi sekali lagi ledakan-ledakan itu terjadi. Asap tambah tinggi dan menghalangi pandangan. Semua dibutakan oleh asap.

“Menyebar berkelompok!! Gunakan flashlight atau cahaya apapun yang bisa kalian gunakan!” ujar Shinta memberikan perintah. Tapi percuma saja, asap terlampau tebal bahkan untuk berjalan ke depan dengan jarak sejengkal sekalipun. Mungkin hanya Pasukan Badut yang sanggup bergerak bebas di tengah kabut asap seperti itu.

Bian mencoba mengibaskan asap-asap itu, tapi percuma karena terlalu tebal.

Beruntung hujan turun semakin deras dan membantu menghilangkan efek bom asap. Tidak hanya si Bandel, Amar Barok dan yang lain juga melakukan hal sama. Mereka mencoba menerjang ke depan dengan segala upaya, mengandalkan pembacaan Ki untuk menembus asap, tapi sia-sia karena para lawan mematikan nyala energi mereka.

Saat arena kembali terang beberapa saat kemudian, tidak ada satupun anggota QZK dan KRAd yang terlihat. Semua hilang dan lenyap begitu saja.

Terjadi anti klimaks.

Kenapa tiba-tiba Pasukan Badut hadir? Kenapa KRAd dan QZK memilih kabur begitu saja? Mereka bukan pengecut kan?

Shinta, kumpulkan anak-anak Aliansi dan beri pengertian pada mereka tentang apa yang terjadi! Kamu benar, ada yang telah membocorkan rencana kita dan saat ini keberadaannya entah di mana. Dia berbahaya, kalau berhadapan dengannya jangan gegabah.

“Siap laksanakan, Kapten.”

Aku mendeteksi arah kepergian anggota KRAd dan QZK. Mereka kabur dari arah yang jauh. Kamu dan pasukan pantau pergerakan kami, susul segera!”

“Siap, Kapten. Saya akan pastikan kondisi di tempat ini kondusif sebelum menyusul.”

Kabut asap sudah benar-benar lenyap, Dinda sudah bisa diselamatkan, tapi KRAd dan QZK tiba-tiba saja menghilang di tengah pertarungan sengit. Sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh para anggota Aliansi dan Garangan.

Para anggota Lima Jari dan Amar Barok berkumpul, termasuk Shinta dan pasukannya yang kebingungan. Asap akhirnya benar-benar menghilang dari arena. Hujan kian deras. Kenapa tiba-tiba para anggota KRAd dan QZK menghilang begitu saja? Pertarungan kan belum usai!? Dimulai saja belum.

“Kemana mereka?” tanya Bian sambil terengah-engah. Pertarungan dengan Agus Lodang cukup menguras adrenaline-nya. “Kenapa tiba-tiba pergi?”

“Aku sempat melihat ada anggota pasukan mereka yang mendekat ke arah Muge. Ia yang kemudian mengatur komando. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi,” ujar Deka dengan sangat geram. “Aku bahkan belum sempat maju untuk menyerang.”

“Beberapa anggota mereka yang pingsan ditinggalkan begitu saja di sini. Tim Garangan bisa menginterogasi mereka untuk mendapatkan informasi berharga,” kata Roy sembari menunjuk ke arah sisa-sisa pertarungan.

Shinta mengangguk mengiyakan. “Sudah pasti. Kami akan membawa mereka ke mabes.”

“Sial! Anti klimaks sekali! Aku bahkan tidak sempat menonjok bedebah-bedebah itu! Siapa sebenarnya yang telah membantu mereka kabur? Siapa yang menyebarkan bom asap?” Bian geregetan.

“Tidak penting,” Deka menggendong Dinda yang masih tak sadarkan diri. “Yang penting kita harus segera pergi dari sini setelah mendapatkan Dinda. Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, kita tidak tahu apa-apa. Semua tindak tanduk mereka di luar penalaranku. Aku masih tidak percaya mereka meninggalkan kita begitu saja.”

Amar Barok mengangguk. “Kondisi hari ini sangat aneh dan tiba-tiba, begitu banyak kejadian yang berlangsung bersamaan. Yang jelas kita semua kelelahan, Dinda sudah terselamatkan, dan hujan semakin deras, ada baiknya sekarang kita…”

Bledaaaaaaam.

Tiba-tiba petir menyambar. Terasa begitu dekat dengan posisi di mana mereka berada.

Saat itulah mereka menyadari karena dari terang yang sesaat, mereka melihat ada sosok yang berdiri di atas tembok. Sesosok gagah yang tengah bersidekap sembari terkekeh-kekeh mengerikan. Wajahnya bagaikan Joker yang sedang menggila.

Orang itu mengenakan jaket kulit yang sudah robek-robek, “Kalian sudah kelelahan? Beristirahatlah kalau mau. Tapi saat ini DoP sudah tidak lagi punya rumah untuk pulang, markas hancur di-bom orang. Banyak korban yang berjatuhan. Aku tidak bisa tinggal diam. Kalau kalian memang lelah, pulanglah dan tidur. Aku akan menuju ke selatan. Sedang ada kejadian di sana, bahkan tim Garangan pun sedang melaju ke selatan untuk mengejar Muge dan kawan-kawan. Aku akan ke sana… karena ada dendam yang harus dituntaskan.”

“Aku akan ikut dengannya.”

Satu suara di belakang Amar dan Lima Jari terdengar. Saat mereka menengok ke belakang, tubuh tinggi besar Sang Pemuncak Gunung Menjulang hadir dengan jumawa. Tangan terkepal, wajah mengeras, pemuda gagah itu telah menetapkan tujuan.

Rao sang Hyena Gila dan Simon Sebastian.

Amar mengerutkan kening. “Sepertinya memang kita harus menentukan posisi sekarang. Deka, kamu bawa Dinda pulang. Kondisimu kan juga belum…”

“Aku yang akan membawa Dinda ke rumah sakit,” Shinta maju di depan Deka. Ia tersenyum pada pemuda itu. “Kalian pergilah ke selatan. Nanti aku akan menyusul. Pimpinanku juga sudah mengomando semua anggota tim Garangan untuk menuju ke selatan. Ada sesuatu yang terjadi di sana. ”

“Shin…” Deka mencoba protes.

Tapi Shinta menggeleng dan tersenyum.

“Aku akan menyusul.” Gadis itu lalu menyorongkan badan untuk maju dan berbisik pada Deka, “Aku tidak akan membiarkan gadis yang kamu sayangi lebih kesakitan lagi. Aku akan memastikan keselamatannya. Jangan khawatir.”

“Aku tidak menyaya… maksudku, aku sekarang lebih mengkhawatirkanmu.” Deka menurunkan Dinda yang kemudian dibawa oleh beberapa anggota pasukan tim Garangan. Si Gondes lalu mengelus pipi sang polwan manis tanpa malu-malu di hadapan yang lain, “Maksudku… kita kan sedang… ada banyak yang…”

Wajah Shinta memerah. Untung saja situasi saat itu gelap sehingga tidak ada yang bisa melihat wajahnya bersemu bak tomat segar. “Aku akan baik-baik saja, kalian berhati-hatilah dengan anggota tim Garangan yang bernama Rama. Dia bisa menghancurkan semua rencana kalian dengan kelicikannya. Dia yang baru saja mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan anggota KRAd dan QZK. Mas Deka hati-hati dengan kondisi badan sendiri, Mas kan belum sembuh benar. Nanti aku akan menyusul.”

Deka mengangguk.

Shinta dan kelompok garangan yang tersisa segera pergi untuk membawa Dinda ke rumah sakit, mereka juga membawa para anggota KRAd dan QZK yang pingsan atau terkapar tak berdaya.

Simon dan Rao berdiri sejajar di atas pagar.

Bian, Hageng, dan Roy saling berpandangan. Tapi mereka bertiga setuju kalau saatnya sudah tiba untuk menuntaskan semua masalah dengan semua lawan. Roy maju untuk mewakili kawan-kawannya. “Kami berempat dan tentunya Nanto sudah berikrar untuk berada di bawah komando Aliansi. Mas Amar, kami akan ikut kemanapun kamu membawa kami.”

“Baiklah.” Amar mendengus, tentu saja hanya ada satu hal yang saat ini bisa mereka lakukan. “Sudah diputuskan. Don Bravo, perintahkan anggota Aliansi yang tersisa untuk menuju ke selatan. Ke Museum Sang Pangeran. Pertarungan dengan QZK dan KRAd sudah tak bisa lagi dihindari. Kita pergi sekarang!”

Amar Barok memutuskan. Itu artinya Aliansi telah mengambil sikap dan resmi terjun ke perang antar geng yang tengah terjadi.

“Siap, Bos.” Don Bravo tertawa. Sang pemakan bengkuang mengeluarkan ponselnya untuk mengetik pesan dengan satu hashtag khusus. Dia yakin anggota Aliansi semuanya sudah paham apa yang dimaksudkan. Sejak awal dia sudah menduga bahwa pertarungan dengan semua lawan Aliansi sudah tinggal menunggu waktu. Sepertinya malam ini akan menjadi malam penentuan.

Para anggota Aliansi yang berdiri berjajar di jalan meneduh dari hujan yang turun di tepi jalan.

Terdengar suara raungan rombongan motor. Gerombolan geng motor tiba-tiba saja datang menghampiri Amar Barok dan kawan-kawan yang masih berdiri di depan rumah sekap. Satu sosok pria yang sudah berumur tapi sok muda menghampiri sang Panglima Singa Emas.

“Amar! Ngapain hujan-hujanan, Dab? Mengko pilek! Hahahahahaha!!”

Orang itu tertawa sembari membuka helm untuk menunjukkan wajah yang sudah amat dikenal.

“Om Kimpling!” Amar tersenyum lebar sembari menghampiri preman itu dan saling melakukan tos khas Dinasti Baru. “Kok bisa ada di sini?”

“Panjang ceritanya. Yang jelas aku tidak akan membiarkan seorang sahabat berjuang sendirian. Aku tahu kamu dan kawan-kawan butuh dukungan dari kami para pengguna slayer. Kami akan antarkan kalian ke selatan. Bagaimana? Kalian semua mau ikut? Boncengan kami masih kosong.”

Amar melirik kawan-kawannya. “Bagaimana?”

Deka mengangguk, “Jalan.”

Don Bravo kembali tertawa sambil memilih membonceng anggota Dinasti Baru, sang pemakan bengkoang pun menekan tombol send untuk mengirimkan pesan yang tadi ia ketik pada semua anggota Aliansi di seluruh pelosok kota. Pesan dengan hashtag yang menjadi pertanda khusus akan hadirnya Aliansi dan Dinasti Baru di kancah pertempuran perebutan wilayah.

#SelatanMelawan





.::..::..::..::..::.





Lembaga Pemasyarakatan Cemongan telah menjadi legenda tersendiri di kota.

Namanya akan menjadi sinonim dari sebuah peristiwa berdarah yang bersejarah.

Di tempat ini telah terjadi tragedi yang populer dikenal dengan istilah Penembakan Cemongan. Empat orang tahanan meninggal dunia setelah dieksekusi dengan dingin oleh kelompok tak dikenal. Saat itu lapas Cemongan digeruduk oleh segerombolan pasukan berpakaian lengkap, dengan penutup wajah, dan membawa senjata laras panjang. Semua orang yang tahu peristiwa ini tentu saja paham betul siapa gerombolan pasukan yang datang. Tapi tidak ada kata, tidak ada kejujuran yang terkuak hingga saat ini. Tidak ada hukuman, yang ada hanyalah pembiaran dan pemakluman. Karena keempat tahanan yang dieksekusi semuanya berasal dari satu kelompok yang sebelumnya melakukan pengeroyokan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap seorang anggota berseragam yang tergabung ke dalam tim pasukan khusus.

Tapi itu sebuah cerita di masa lalu, di saat JXG dan QZK sama-sama vakum sehingga kelompok-kelompok kecil bermunculan untuk melakukan tindakan yang tidak diinginkan dan mengganggu masyarakat. Kini semua jadi lebih tertata.

Tertata?

Diperebutkan mungkin lebih tepat.

“Aku bisa mendapatkan dukungan dari Aswin dan Ajo seandainya diberi kesempatan untuk bertemu mereka. Aku sangat yakin keduanya yang berdarah PSG tidak akan mau dengan mudah diperintah oleh KRAd. Kematian Joko Gunar yang terlalu tiba-tiba memang sangat disayangkan, bahkan konyol kalau boleh dibilang. Tapi aku tidak akan membiarkan kematiannya sia-sia, kita harus memanfaatkan momentum untuk meraih dukungan dari eks-PSG dan itu semua diawali dengan meraih simpati Aswin dan Ajo, penerus PSG yang sah.” Panjang lebar Lek Suman menjelaskan.

Pak Zein hanya terdiam. Entah ia mendengarkan atau tidak ucapan dari si licik tua. Berulang kali pimpinan JXG itu melirik ke arah jam dinding di sepanjang koridor yang dilalui.

Keduanya memang tengah melalui koridor demi koridor yang dijaga ketat sembari diiringi oleh dua orang penjaga, tangan mereka diborgol sehingga gerakan keduanya terbatas. Saat mencapai pintu penjagaan, mereka harus menunggu beberapa saat untuk dibukakan sipir sebelum akhirnya berjalan menuju koridor berikutnya. Begitu terus sampai akhirnya mencapai koridor terujung.

Setelah itu barulah mereka akan bebas memasuki halaman dan gerbang terakhir.

“Pak Zein, Lek Suman.” Seorang pria berdiri di pintu baja menuju halaman. Ia adalah sang kepala sipir. “Sebenarnya sejak awal aku sudah yakin kalian berdua tidak akan lama berada di tempat ini. Lapas ini biasanya hanya digunakan untuk transit saja. Tapi tidak kuduga kalian berdua akan bebas lebih cepat dari dugaan semula.”

Sang Kepala Sipir mendekati Pak Zein dan membuka kunci borgolnya, “Ada api di selatan. Sudah dipastikan ada pertarungan di sana. Apakah itu ulah JXG dan QZK?”

“Mana beliau tahu, Pak. Kita berdua kan ditahan di sel tanpa ada ponsel. Gimana sih?” Lek Suman mencibir sembari membantu Pak Zein memberikan alasan.

Tapi sang Kepala Sipir hanya tersenyum, dia menarik sesuatu dari kantong celananya. Sebuah ponsel lawas Nokai model featured phone, bukan smartphone. Ia mendekat ke arah Pak Zein dan berbisik. “Ada yang menitipkan ini untuk Pak Zein. Beliau bilang, begitu Pak Zein sudah lepas, silakan dihubungi satu-satunya nomor yang ada di ponsel ini. Beliau juga menyampaikan supaya Pak Zein tidak perlu khawatir, orang ini tidak tergabung di kelompok manapun.”

Pak Zein dan Lek Suman sama-sama mengerutkan kening meskipun keduanya sepertinya tahu siapa orang yang dimaksud.

Pak Zein menerima ponsel itu dan langsung menghubungi satu-satunya nomor yang tertera. Butuh beberapa saat sebelum nomor itu akhirnya menerima panggilan.

Pak Zein.

Sang pimpinan JXG mendengus. “Kapten Ridwan. Ada yang bisa saya bantu? Saya baru saja hendak dibebaskan dari penjara. Apakah ada masalah lain lagi sehingga saya harus menghubungi anda? Apakah saya harus balik jalan dan masuk ke sel lagi?”

Heheh. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengabarkan kalau saat ini saya dan tim Garangan sedang dalam perjalanan menuju selatan. Saya yakin anda sudah paham apa yang terjadi. Saya menghubungi anda karena saat ini dari dua kubu, anda yang paling approachable. Kita sama-sama tahu siapa lawan yang akan dihadapi, jadi bagaimana kalau kita gabungkan kekuatan untuk sementara? Saya yakin JXG membutuhkan bantuan tim Garangan.”

Pak Zein tersenyum kecut, “Kapten Ri… di atas papan catur hanya ada dua kubu. Satu hitam satu putih. Tidak bisa netral dan tidak bisa berpindah seenak wudel sendiri. Apa jaminan buat saya seandainya anda memilih kubu selatan?”

Tidak ada jaminan. Kami pihak yang berwajib tidak bernegosiasi.” Tegas Kapten Ri menjawab, “tapi kami bisa menentukan pilihan. Apa yang kami inginkan hanya satu – orang yang bertanggung jawab di balik kekacauan yang terjadi hari ini. Saya yakin anda juga tahu ada dua orang yang harus diberangus. Saya mengincar keduanya. Saya lepaskan dua orang, saya inginkan dua orang.”

“Begitu rupanya. Akan saya pikirkan, Kapten. Saya masih belum paham situasi sampai saya melihatnya sendiri.”

Mengerikan di selatan. JXG sedang dibantai, masyarakat sipil menjadi korban. Tim Garangan akan fokus evakuasi korban dari masyarakat sipil, kalian menangani pihak pengacau keamanan.”

Pak Zein dan Lek Suman melangkah melewati pintu yang dijaga sang Kepala Sipir, lalu melewati halaman, dan akhirnya gerbang terakhir. Sepanjang perjalanan menuju pintu keluar, Pak Zein tak melepas ponsel dari telinganya.

“Seperti yang saya bilang, saya harus melihat sendiri situasinya baru memutuskan.”

Tidak masalah. Begitu anda melalui gerbang terakhir, saya sudah pesankan ojek online untuk anda berdua supaya bisa lekas sampai di selatan. Persiapkan diri karena pertarungan kali ini akan brutal. Percakapan ini tidak akan direkam di manapun. Buang ponselnya ke bak sampah. Terima kasih.”

Klkh.

Sambungan terputus.

Pak Zein mencibir, ojek online dia bilang? Bisa-bisanya. Pimpinan JXG yang kharismatik itu lalu menjatuhkan ponsel dan menginjaknya sampai hancur.

Lek Suman melotot, “Laaaaaah!? Kok dihancurin?”

“Kita sudah tidak memerlukannya lagi.” ujar Pak Zein.

Pak Zein mengambil remukan ponsel itu dan membuangnya di bak sampah yang ada di luar lapas. Lek Suman hanya menghela napas. Dia sudah tua, tapi tetap tak bisa memahami tingkah laku orang-orang seperti Pak Zein dan yang lain.

“Bagaimana kita akan pergi dari sini? Hujan tambah deras,” tanya Lek Suman. “Aku sudah terlalu tua untuk jalan kaki.”

“Kita akan dijemput ojek online.”

Sesaat kemudian, tanah di bawah mereka seperti bergetar. Seperti ada gempa bumi kecil. Tapi ini bukan gempa bumi, ini lebih ke efek karena ada sesuatu. Sesuatu yang sama sekali tidak ia perkirakan sebelumnya.

Pak Zein mengerutkan kening, lalu menundukkan kepala, sedikit tersenyum, dan mendengus. Lek Suman kebingungan dengan sikap sang pimpinan JXG yang tiba-tiba berubah itu.

“A-apa yang terjadi?” tanya si licik tua dengan bingung. Sejak berada di sel ataupun ketika kini melangkah keluar dari penjara Cemongan, Pak Zein tak sekalipun melihatkan wajah senang ataupun tersenyum. Baru sekaranglah beliau memperlihatkan perubahan wajah itu.

Pak Zein tidak menjawab pertanyaan Lek Suman.

Tapi sesaat kemudian terdengar deru motor yang menderu-deru. Lek Suman melihat ke kiri, kepulan asap motor membumbung tinggi. Eh sebentar, ini bukan hanya satu motor! Ini rombongan motor yang berjalan beriringan seperti satu rombongan burung yang sedang migrasi. Banyak dan bergerombol! Gempa bumi kecil tadi rupanya karena adanya stampede – rombongan kuda besi yang berjalan beriringan.

Hanya ada satu kelompok di kota yang mampu menunjukkan display pertunjukan iring-iringan motor sebanyak dan semengagumkan itu.

Pak Zein menepuk pundak Lek Suman, “Siap tidak siap, kita akan menuju ke kurukshetra.”

Lek Suman pun meneguk ludah.

Motor terdepan dari rombongan motor berhenti tepat di depan Pak Zein dan Lek Suman, helm dibuka untuk menunjukkan satu wajah ceria dan sumringah.

“Yahooooo!” om BMW menyeringai menyeramkan sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman, “Butuh tumpangan ke selatan?”

Pak Zein mendengus dan menyambut salam dari sang pimpinan Dinasti Baru. “Kamu yakin dengan pilihanmu? Keputusan yang sekarang diambil tidak akan dicabut lagi. Ini masalah hidup mati orang banyak. Kita sedang menuju perang.”

“Tidak pernah seyakin ini sebelumnya dalam hidupku. Kita harus melawan dan mempertahankan kota, apapun resikonya.”

“Ini penentuan nasib kota.”

“Setuju.”

Pak Zein mengangguk, ia pun duduk di belakang om BMW, memboncengnya. Mereka sudah tak peduli dengan hujan yang sebenarnya tengah turun.

Lek Suman duduk di belakang motor lain setelah mengenakan jas hujan. Pria tua itu mengenakan helmnya dengan grogi. Dia tahu pasti kalau mereka akan segera menuju ke sebuah ajang yang tak terelakkan. Lek Suman lantas menepuk pundak prajurit Dinasti Baru yang ia boncengi. “Kamu tahu kita hendak kemana kan?”

Pemuda itu mengangguk dalam diam. Wajahnya terlihat tegas dan tanpa takut.

“Bagus,” Lek Suman terkekeh. Entah rencana apa yang tengah tertumpah dalam pikirannya. “Ini akan menjadi hari yang tak terlupakan untuk kita semua.”

Barisan motor meraung-raung di bawah hujan menjelang malam.

Mereka semua berjalan menuju ke selatan dengan kecepatan tinggi.

Mungkin dalam benak para penunggang motor itu saat ini ada satu hashtag yang sedang trending topic. Mereka akan melakukan perlawanan membahana untuk mempertahankan kawasan dan status quo. Kalau tidak bisa bertahan, lebih baik menjadikannya lautan api.

Dalam hati mereka, ada satu pesan yang menjadi ajang pemersatu.

#SelatanMelawan





.::..::..::..::..::.





Di sebuah hotel di jalan yang ada di belakang stasiun televisi pemerintah terjadi sedikit insiden. Bukan insiden yang menimbulkan kepanikan, lebih ke arah kekaguman.

Hotel itu adalah hotel yang menjadi tempat persembunyian anggota keluarga Trah Watulanang yang selamat dari ajang pembantaian. Anak kecil, bayi, ibu mengandung, ibu dan bapak yang sepuh, untungnya semua selamat.

Tapi insiden tidak terkait dengan apa yang mereka alami, insiden terakhir terkait dengan… penampakan seekor naga. Hanya sekilas saja di langit yang gelap, naga yang terbentuk dari rangkaian cahaya berwarna oranye. Mirip seperti bentukan cahaya neon. Bagi yang mampu membaca Ki, perwujudan itu nampak jelas sebagai wujud seekor naga, bagi yang tidak bisa membaca Ki, hanya terlihat kerlap kerlip cahaya membentuk satu lukisan di angkasa. Lukisan yang hanya sesaat namun megah.

“A-apa itu tadi?”

Wedhus! Opo kae, lek?

“Lho kok wedhus? Itu bukannya naga?”

“Naga?”

Di kawasan seputar ringroad yang tak jauh dari hotel, tukang becak, tukang siomay, tukang sendal, tukang angkringan, dan tukang-tukang yang lain menatap keheranan ke langit dan langsung membicarakan apa yang baru saja mereka saksikan. Penampakan supranatural mengagumkan yang bahkan nampak oleh mata telanjang. Mereka tidak bisa menebak arah tujuan dan muasal si naga, karena muncul dan lenyap begitu saja di angkasa. Seperti sesuatu yang magis. Datang tak diundang, pulang tak diantar.

Tidak ada yang dapat menebak dari mana dan hendak kemana naga supranatural itu muncul. Semua terjadi secara tiba-tiba.

“Itu pasti pertanda.”

“Pertanda apa?”

“Akan terjadi ontran-ontran di kota ini.”

Para tukang becak dan tukang angkringan mengambil kesimpulan dari kengerian dan kehebohan yang terjadi malam itu.

Di hotel, keributan pun terjadi, tapi hanya untuk sementara. Mereka khawatir penampilan sang naga akan menyebabkan lokasi keberadaan mereka ketahuan, untung saja tidak.

Tubuh Nanto yang tengah bersemedi seperti berasap. Ia yang awalnya berteriak kencang, kini tenang dalam diam. Duduk di sebuah taman dengan kolam buatan yang bergemericik. Wajahnya terlihat cerah dan segar, padahal baru beberapa jam yang lalu ia terlibat dalam pertarungan melelahkan dengan om Janu dan Rahu Kala. Meskipun baru saja melalui perubahan tenaga dalam yang hebat, ia sama sekali tak terlihat lelah – bahkan sebaliknya.

“A-apa yang baru saja terjadi?” Om Darno terbelalak tak percaya melihat apa yang baru saja ia lihat. Bersama dengan istri dan kakak iparnya, om Darno mendekat ke arah Nanto. “Aku tak pernah melihat hal yang seperti itu sebelumnya. Itu sepertinya bukan Kidung Sandhyakala. Itu ilmu kanuragan yang berbeda. Lepasan energinya membentuk manifestasi berwujud seekor naga. Jangan-jangan…”

Kidung Sandhyakala adalah sebuah prasyarat, pintu, dan jalan masuk. Itu sebabnya tiap tingkatannya disebut gerbang. Gerbang untuk membuka apa? Inilah dia. Jurus paripurna pilih tanding keluarga Watulanang yang sesungguhnya, Nawalapatra 18 Serat Naga.” Pakdhe Wira menelan ludah, “aku juga baru pertama kali ini melihat seperti apa perwujudannya. Benar-benar jurus yang mengagumkan, mengerikan, tapi juga sangat megah.”

Nanto terdiam sejenak, menata hati, menata jiwa, menata badan. Secara fisik dan mental sebenarnya Ia telah kelelahan dan letih usai semua peristiwa yang terjadi di pertemuan Trah Watulanang. Tapi setelah melakukan apa yang baru saja ia kerahkan, tenaganya seperti dikembalikan dan diberikan booster yang sedemikian besarnya. Bagaimana bisa? Entahlah. Sepertinya ini ulah sang pertapa tua yang membuka pintu-pintu energi yang sebelumnya tertutup.

Dengan beristirahat begini setidaknya ia bisa menyusun rencana untuk melakukan serangan balasan pada om Janu dan komplotannya, tentunya dengan bantuan Pakdhe Wira, Tante Susan, dan om Darno.

Si Bengal benar-benar tak menduga kalau om Janu bisa setega dan sejahat itu pada keluarga sendiri.

Ia mengambil napas panjang, lalu melepaskannya. Apa yang diberikan oleh sang pertapa tua membuat Ki-nya jauh berbeda. Kini seperti lebih ringan, lebih mudah diatur, dan lebih mudah dikendalikan. Tak seliar sebelumnya. Nanto benar-benar bersyukur.

“Om, Tante, Pakdhe.” Nanto tersenyum menyambut ketiganya, “sepertinya kita sudah punya amunisi tambahan untuk melawan om Janu dan kawanannya. Tapi tentu saja ini belum cukup. Saya masih butuh pasukan. Untuk sementara keluarga kita biar berada di sini saja.”

“Kita memang tak akan bisa kemana-mana selama QZK masih memburu kita.” Om Darno menghela napas panjang. “Kita juga tidak mungkin pulang ke rumah. Situasi di luar sana berbahaya.”

“Setidaknya kita semua masih diberikan kesehatan. Itu dulu yang nomor satu.” Tante Susan mencoba memberikan alasan yang lebih menyenangkan tentang kondisi mereka. “Trah Watulanang tidak lemah, hanya saja tidak semua dari kita yang memiliki ilmu kanuragan. Kita tidak bisa membantu Nanto dalam perjuangannya. Dari semua yang ada di sini, mungkin hanya kita bertiga yang sanggup membantunya. Tapi itu pun tidak akan maksimal.”

Pakdhe Wira mengangguk, “kalau saja kondisiku tidak seperti ini… aku pasti bisa membantunya melawan angkara murka yang dikobarkan si Janu. Maafkan aku, bocah. Aku benar-benar merasa bersalah selama ini tidak memperingatkanmu tentang sepak terjang si Janu yang jahanam. Malam ini benar-benar malam terkutuk!”

Nanto menggelengkan kepala, “Om dan Tante tenang saja, kita tidak akan kenapa-kenapa. Aku akan memastikan penjagaan di tempat ini diperketat sampai ke radius jalan raya. Tidak akan ada yang bisa datang ke sini tanpa bersusah payah.”

“Menurutmu, apa yang selanjutnya harus kita lakukan, Mas?” tanya Tante Susan. “Apa ya kita akan diam saja tanpa berbuat apapun? Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum QZK menemukan kita bersembunyi di sini.”

Pakdhe Wira mengelus-elus janggutnya. “Ada tentunya.”

“Apa itu, Mas?”

“Aku harus menuntaskan apa yang seharusnya kulakukan bertahun-tahun yang lalu,” Pakdhe Wira meremas ujung kursi yang ia duduki, “Aku harus membunuh bedebah itu sekali untuk selamanya. Supaya keluarga kita selamat dari ancaman bahaya. Hanya itulah cara satu-satunya untuk menyelamatkan Trah Watulanang dari kemusnahan!”

Om Darno dan Tante Susan saling berpandangan, Om Darno menatap tak percaya ke arah Pakdhe Wira. “Me-membunuhnya? Itu agak terlalu… ekstrim bukan? Maksudku, memang orang itu pantas mati… tapi apakah harus kita juga yang melakukannya? Yang kita bicarakan ini bukan sekedar pertarungan biasa. Ini mengenai nyawa. Ada konsekuensi hukuman pihak yang berwajib yang harus dihadapi seandainya…”

“Jangan khawatir. Aku yang akan melakukannya.” Pakdhe Wira mencoba berdiri dengan tegap, meski kakinya terasa sakit dan ia bergoyang tanpa arah. “Orang tua sepertiku sudah terlalu lama hidup, apalagi setelah dosa yang aku lakukan terhadap Sari dan suaminya… aku tidak pantas hidup lebih lama lagi.”

“Mas! Kamu itu ngomong apa!” Tante Susan menghardik kakak tertuanya. “Sari sudah memaafkanmu sejak lama. Dia sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri seperti itu! Itu sebabnya dia mempersiapkan Nanto, itu sebabnya Bapak mempersiapkan Nanto. Karena mereka tahu akan ada kejadian seperti ini. Kita hanya tidak mengira kalau Janu yang akan melakukannya.”

“Maaf memotong pembicaraan Om, Tante, dan Pakdhe. Tapi… apa sebenarnya yang terjadi dulu? Kenapa Pakdhe Wira sampai harus merasa bersalah pada Bapak dan Ibu? Tapi sebelum menjawab pertanyaan itu… ada satu lagi pertanyaan yang lebih penting. Ki Juru Martani, orang ini sangat sangat berbahaya. Ki Juru Martani adalah tokoh di balik semua peristiwa yang terjadi di kota sekarang ini. Dia bahkan jauh lebih berbahaya daripada om Janu.”

Ketiga pemuka keluarga Trah Watulanang saling bertatapan.

Mereka menggelengkan kepala hampir bersamaan.

“Ada yang lebih mengerikan dari Janu sepertinya. Apa yang telah dia lakukan, Le?” tanya Pakdhe Wira. “Siapa tahu Pakdhe bisa membantu.”

“Ki Juru Martani dan om Janu telah menculik kekasih saya… Kinan dan sampai sekarang belum saya jumpai lagi. Saya benar-benar khawatir dengan keselamatannya karena kedua orang ini tak akan segan-segan membunuh . Saya harus menyelamatkannya dan untuk itu saya harus…”

Terdengar bunyi ringtone.

Si Bengal menatap layar ponselnya. Ada yang baru saja mengirimkan pesan di grup Lima Jari. Ia membuka aplikasi pesan itu. Ia melihat ada yang share peta.

“Museum… Sang Pangeran? Itu kan ada di…” bisik si Bengal pada diri sendiri.

Hageng mengirimkan pesan.

Roy mengirimkan pesan.

Bian mengirimkan pesan.

Deka mengirimkan pesan.

Satu persatu mengirimkan pesan. Dari percakapan yang terkumpul terbentuk satu cerita utuh. Malam ini, QZK dan KRAd berkonsentrasi di tiga lokasi. Pertemuan Trah Watulanang, rumah sekap, dan Tarung Antar Wakil. Dari ketiga lokasi itu, pertarungan kemudian mengerucut ke satu posisi terakhir.

Semua anggota Lima Jari mengakhiri pesan dengan satu kata.

Satu hashtag.

#SelatanMelawan

Nanto langsung paham maksudnya. Om Janu dan komplotannya dari QZK maupun KRAd pasti tengah melakukan serangan ke wilayah JXG. JXG tentunya sedang bertahan mati-matian melawan gempuran dua kelompok haus darah sekaligus. Ini kesempatan untuk memukul mundur QZK dan KRAd yang sudah gelap mata. Ini kesempatan untuk menghadapi Ki Juru Martani dan om Janu dan mencari tahu keberadaan Kinan. Om Janu tak akan mengira Nanto datang setelah apa yang terjadi di Trah Watulanang, pimpinan QZK itu pasti mengira Nanto tengah kelelahan dan tak akan bisa membantu.

Dinasti Baru dan Tim Garangan juga tengah menuju ke selatan.

Si Bengal menyeringai. Sekarang saatnya.

“Maaf, Om Darno, Tante Susan, Pakdhe Wira. Ada sesuatu yang membuat konsentrasi saya buyar barusan. Ada sesuatu yang harus saya lakukan sekarang juga.”

Dengan satu lompatan, pemuda itu menghampiri sang penjaga hotel yang tengah membagikan teh hangat kepada para anggota keluarga Trah Watulanang yang sedang duduk-duduk santai.

“Mas.”

“Iya?” sang penjaga hotel sebenarnya kaget karena Nanto tiba-tiba saja hadir di sampingnya. Ia harus berusaha keras agar nampan teh-nya tidak oleh dan jatuh, “Ada yang bisa saya bantu?”

Si Bengal menyeringai, “Ada motor yang bisa saya pinjam?”





BAGIAN 19.2 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 19.3
 
Terakhir diubah:
Ngapain nungguin cerita yang gak bermutu gini, hadeh
Cieee... si paling komen nongol lagi.
Tapi betul sih.

Cerita apa ini tidak ada kontol nusuk-nusuk, memek megap-megap,
Tidak ada adegan kontol ngaceng, lonte ngentot, dan jilbaber ngewe!??
Ra mutu!! Njijiki! TS-nya pensiun aja!! Nulis ga becus!!
Cerita itu ya banyakin ngentotnya! Ga kebanyakan bacot begini!!
Adegan ngewe harusnya lebih banyak!! Ini malah bacotnya kebanyakan!!
Ngapain ditungguin? Hadeeeeeh!!
Ga pada paham semua!
Ini tu cerita ga mutu!
Wagu! Jijik! Hueeek!
.
.
.
.
.
Tapi... ra peduli je aku, su.
Nek tak teruske yo kowe arep ngopo? Heheh.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd