Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 19.3
HIDUP ADALAH PERJUANGAN




“Sekarang makanlah sarapan dengan baik, sahabat-sahabatku.
Karena setelah ini kita akan berbagi makan malam di neraka.”
- Leonidas Raja Sparta






Sebelum lanjut, ada satu pertanyaan.

Apa itu lapangan Kuru?

Lapangan Kuru adalah tanah suci wangsa Kuru yang dalam bahasa lain disebut Kuruksethra atau Kurusetra. Tempat yang konon menjadi ajang pertempuran final antara dua kekuatan besar berkekuatan setara yaitu wadyabala Kurawa sebagai wangsa Kuru terakhir yang menjadi penguasa resmi Hastina dan saudara mereka Pandawa yang merasa merekalah yang lebih pantas menjadi penguasa yang sah. Meski bersaudara, pada akhirnya Kurawa dan Pandawa saling bunuh dan saling tindas demi tahta, demi kekuasaan absolut di kerajaan Hastinapura, tanah para dewa.

Kenapa perang dilaksanakan di lapangan Kuru? Karena konon jika gugur di tanah suci itu, maka dosa berat sekalipun akan dimaafkan oleh para dewa.

Mirip seperti yang terjadi di Babad Mahabharata, perebutan kekuasaan di kota juga saat ini bagaikan pertikaian antara Kurawa dan Pandawa, dengan wilayah di sekitar Museum Sang Pangeran sebagai lokasi Kurusetra. Dengan QZK dan JXG yang lagi-lagi menjadi sumbu utama pertikaian, dua kelompok berbeda wilayah dan adat yang seakan-akan memang ditakdirkan untuk selalu menjadi musuh bebuyutan.

Poros utara adalah QZK yang didukung oleh koalisinya dengan KRAd – sendirinya merupakan gabungan dari PSG dan RKZ. Kekuatan koalisi yang merupakan axis utara mungkin bukan pengejawantahan murni dari kekuatan Kurawa, tapi dengan dukungan para petarung dengan tingkatan A ke atas seperti om Janu, Ki Juru Martani, Bambang Jenggo, Ki Demang Undur-undur, dan Rahu Kala maka poros utara adalah kekuatan yang tidak boleh dipandang sebelah mata – mereka adalah kelompok los galacticos dengan kekuatan yang sedang berada di top of the game. Satu hal lagi yang mengerikan dari poros utara – kemampuan, kekuatan, dan pasukan sebenarnya dari sang arsitek kekacauan Ki Juru Martani masih sangat misterius.

Poros selatan adalah JXG yang tengah digembosi kanan kiri sehingga hanya menyisakan kelompok utama Empat Anak Panah JXG dan Shinsengumi X. Keadaan bahkan tidak menjadi lebih baik setelah Empat Anak Panah kehilangan Ki Kadar yang entah bagaimana nasibnya dan Shinsengumi X yang sudah kehilangan tiga anggotanya. Beruntung ada kekuatan besar yang tengah datang untuk membantu – yang pertama hadir sudah tentu Dewi Uma dari Perguruan Kuburan Kuno, yang kedua adalah dipastikannya kehadiran sang pimpinan Pak Zein dan penasehat barunya Lek Suman yang dalam perjalanan ke selatan, yang ketiga adalah Tim Garangan pimpinan Kapten Ridwan sebagai kekuatan pengamanan kota yang diterjunkan resmi untuk menangani pertikaian antar geng, lalu Dinasti Baru yang akhirnya sudah memutuskan kelompok mana yang akan dibantu, dan terakhir… adalah kelompok para mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi.

Maka terjadilah pertempuran akbar kembali antara JXG versus QZK. Darah sudah tumpah, kepalan sudah dilontarkan, nyawa sudah melayang.

Terus-menerus didesak dan diserang, akhirnya… #selatanMelawan.





.::..::..::..::..::.





Joe Moxon menggosok bibirnya yang berdarah dengan punggung tangan.

Seringai mengerikan nampak dari wajahnya yang cengengesan dengan kurang ajarnya. Sesaat kemudian ia meludah ke tanah.

Cuh.

Ada potongan daging yang jatuh ke tanah. Ia baru saja menggigit sampai lepas bagian telinga dari salah satu anggota Shinsengumi X yang bernama Sanada. Sanada sedang mengguling-guling kesakitan di tanah setelah sebagian telinganya digigit oleh sang Bule Gila.

“Heheheh… kurang sayur kol. Biasanya aku makan daging anjing dengan sayur kol.” Seringai mengerikan sang jawara asal luar negeri itu membuat Fuuma, Miyamoto, dan Masamune bergidik, antara ketakutan, geram, sekaligus marah luar biasa. Mereka hendak menyelamatkan Sanada yang masih berada di bawah Mox.

“Kemampuan orang ini jauh lebih tinggi dari perkiraanku. Bagaimana bisa? Dia hanya anggota dari Empat Perisai QZK bukan?” bisik Masamune pada Fuuma dalam bahasa Jepang. “Seharusnya dia hanya memiliki kemampuan yang setara dengan Jagal, Ki Kadar, maupun Hantu. Yang seperti ini bukannya kemampuan tingkat A+? Dia lebih mengerikan dari Bambang Jenggo sekalipun.”

Mox tak berhenti begitu saja, ia menarik tangan Sanada. Mengangkatnya ke atas dengan satu tangan. Sanada meronta sebisa mungkin, ia memukul dengan satu tangan, menendang, melakukan apapun untuk menyelamatkan dirinya dari nasib mengerikan. Tapi semua percuma, Mox bagaikan alien predator yang dilahirkan hanya untuk menyiksa dan membunuh.

Masamune, Fuuma, dan Miyamoto yang mengkhawatirkan rekan mereka segera berlari ke depan untuk mengitari Mox. Mereka bergerak bersamaan dalam satu irama, menghunus pedang, dan menyerang ke depan bersama. Mox tertawa-tawa mengerikan. Pria bercelana pendek dan berbaju Hawaii itu sama sekali tidak peduli berapapun orang yang menyerangnya.

Ketiga pedang mengayun bersama.

Miyamoto yang di sebelah kiri terbelalak! Ia menarik pedangnya!

Mox ternyata menggunakan Sanada sebagai perisai! Ia mengayunkan pria yang dicengkeram lengannya itu ke kanan dan kiri sebagai penahan serangan.

Tidak hanya Miyamoto, Masamune, dan Fuuma sama-sama menarik kembali pedang mereka.

Mox tertawa terbahak-bahak. Ia kembali menyeringai mengerikan. Pria bertubuh besar itu mengedipkan mata. “I’m the best at what I do, and what I do is killing all of you.”

Melihat ketiga anggota SSX mundur, Mox melancarkan aksinya. Ia memutar lengan Sanada. Tentu saja pemuda itu berteriak-teriak kesakitan karena lengannya diputar ke arah yang salah.

“Haaaaaaaaaarhhhhhhhhhhhggghhhh! Haaaaaaaaaarrrrghhh!”

Tapi Mox tidak peduli.

Krgh!

“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrgghhh!”

Tulang siku Sanada patah hingga menembus kulitnya. Ia berteriak kencang karena kesakitan luar biasa. Mox melempar Sanada ke bawah dan menginjak tempurung lututnya.

Krgghhhhhhh!

“Eaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrgghhh!”

Lutut itu kini melesak ke dalam, mengubah posisi kaki Sanada yang seharusnya siku menjorok ke luar menjadi siku menjorok ke dalam. Pria Jepang itu berteriak-teriak kesakitan tanpa henti. Ketiga temannya bingung apa yang harus dilakukan.

“Iblis! Kelakuanmu bagaikan iblis!!” Miyamoto menerjang ke depan. Dia sudah gelap mata menyaksikan sahabatnya diperlakukan seperti mainan oleh Mox. Pedangnya berkelebat dengan cepat, mencoba menyerang tangan sang Bule Gila yang masih memegang lengan Sanada.

Mox merunduk dan membanting Sanada ke arah lain, pria Jepang itu lantas diinjak kepalanya untuk mengunci badan. Sang Bule Gila mengambil pedang Sanada yang masih tergeletak di tanah dan memutar badan untuk menangkis serangan Miyamoto.

Jarak mereka semakin dekat.

Shrrrgh! Shhrg!

Ada garis darah di udara.

Miyamoto mendarat di tanah setelah melompat melalui Mox. Ia menancapkan pedangnya ke tanah dan menunduk. Baju Mox sobek dan darah mengucur dari segaris alur pedang di badannya. Mox menengadah dan jatuh terduduk.

Untuk pertama kalinya pria bule itu terengah-engah.

“Mi-Miyamoto-san…” Sanada yang sudah lemah dan tergeletak di tanah mengulurkan tangannya ke arah Miyamoto yang berdiri membelakangi dirinya dan Mox.

Masamune dan Fuuma terdiam dengan mulut menganga. Apa yang terjadi? Apakah mereka menang? Miyamoto berhasil melukai Mox?

“Hahahahahahah! Hahahahahahaah!”

Mox berdiri kembali dengan gagah. Pedang Sanada yang terjatuh diambilnya kembali. Pedang itu sudah berlumuran darah. Ia memutar pedang itu dan…

Sblp.

Pedang itu ditancapkan di pelipis Sanada perlahan-lahan, Sanada berteriak kesakitan untuk beberapa saat lamanya, sampai akhirnya pedang itu tembus dan mengakhiri penderitaannya. Untuk selama-lamanya.

“Sanadaaaaaaaa!!” Fuuma dan Masamune berteriak kencang. Mereka sama-sama menggila melihat kawan mereka mengalami nasib yang begitu tragis.

Mox mencabut pedang yang menancap di kepala Sanada dengan kakinya menahan kepala pemuda Jepang itu supaya bisa menariknya dengan mudah. Setelah lepas dari kepala Sanada, Ia melumuri senjata yang teramat tajam itu dengan Ki dan mengayunkannya.

Kepala Sanada lepas dari tubuhnya dengan satu sabetan sekuat tenaga. Tiga kepala SSX sudah terbilang. Mox telah memenuhi janjinya pada om Janu. Ia menendang kepala itu supaya jadi satu dengan kepala mendiang Nohara dan Matsu.

Fuuma dan Masamune hendak menerjang ke depan tapi ada satu kejadian yang menahan mereka. Saat melirik ke samping, mereka melihat kepala Miyamoto juga terjatuh dan lepas dari badannya. Mox mengedipkan mata ke dua orang SSX yang tersisa. Ternyata saat beradu pedang tadi, Mox berhasil memenggal kepala Miyamoto dengan kecepatan ayunan pedang. Setelah kepalanya jatuh, tubuh Miyamoto juga roboh ke tanah.

“Mi-Miyamoto…”

“Tidak mungkin… dia pemain pedang terbaik kita.”

Fuuma dan Masamune terbata-bata. Mereka dengan geram berteriak kencang, hendak menyerang Mox dengan sisa kemampuan yang ada. Mati pun tak apa. Kalaupun mereka mati, setidaknya mereka mati di medan perang, berhadapan dengan lawan berat untuk mempertahankan harga diri mereka.

Mox menggeleng kepala, “Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Kalian ingin balas dendam bukan? Stupid. Aku jelas-jelas lebih unggul dari kalian. Kalau kalian berdua menyerangku, itu artinya kalian hanya mengantarkan nyawa. Konyol itu namanya. Seperti aku bilang tadi – stupid. Mau mati konyol? Go ahead, have a go. Try me if you dare. Jujur aku hanya membutuhkan tiga kepala anggota SSX dan aku sudah mendapatkannya. Satu lagi kudapatkan sebagai bonus. Jadi kuanggap pekerjaanku sudah tuntas. Aku tidak akan menyerang kalian kecuali kalian menyerangku duluan. Ahhahahahahah.”

Fuuma dan Masamune sangat geram, tapi kenyataan memang pahit ditelan.

“Kalian lihat sendiri rekan kalian si Miyamoto. Dia mengantarkan nyawa setelah…” Mox mengerutkan dahi saat melihat mayat lawan yang baru saja dipenggalnya. Ia menggaruk-garuk rambutnya. “Funny. Kayaknya ada sesuatu yang hilang. Something is missing.”

Fuuma dan Masamune menengok ke arah di mana tubuh Miyamoto berada. Mereka akhirnya menyadari apa yang dimaksud Mox.

Pedang Miyamoto. Pedang itu tidak ada lagi di sisi sang almarhum.

Shkrrrrrgh.

“Haaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhhkkkk!”

Mox jatuh terduduk sekali lagi, kali ini karena punggungnya sobek tersayat benda tajam. Darah mengucur di punggung si Bule Gila. Ia menengok ke belakang dan menjumpai orang yang baru saja membokongnya dengan pedang milik Miyamoto.

Fuuma dan Masamune ikut tertegun.

“Joe Moxon. Tidak akan ada lagi nyawa melayang karena ulahmu,” Orang yang baru datang menghunjukkan pedang ke arah Mox. “Sekarang giliranku, bedebah. Aku yang akan memenggal kepalamu.”

Mox jelas mengenal siapa yang baru saja menyayat punggungnya itu. Lawan yang amat ia kenal luar dalam. Seorang punggawa JXG mumpuni yang kemampuannya juga mengerikan.

“Sulaiman Seno. Jagal. The Butcher,” Mox menyeringai. “Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ada banyak hal yang sepertinya harus kita selesaikan bukan?

Sang Jagal hanya mencibir.

“Masih awet muda saja, Seno.” Mox mengayunkan pedang Sanada.

“Kamu tambah tua, Mox.” Sang Jagal mengayunkan pedang Miyamoto. “Orang bule memang cepat tua.”

Trnnnngkkkk!!

Keduanya menerjang ke depan bersamaan dan bertemu di tengah. Pedang mereka menyilang, saling mendorong untuk bertahan. Wajah Mox dan Jagal sama-sama mendekat, sampai-sampai napas mereka terasa di wajah masing-masing.

“Aku pikir kamu membusuk di penjara, Mox.”

“Aku pikir sampeyan juga begitu, Seno.” Mox menendang badan Jagal, memberikan jarak di antara mereka. “Salah satu alasanku kembali bergabung dengan Bos Janu, adalah untuk menghadapimu. Yo, Butcher! Kita sampai mati malam ini!”

Keduanya kembali bersiap dengan kuda-kuda dan pedang di tangan. Fuuma dan Masamune mensejajari Sulaiman Seno. Ketiganya sama-sama punya dendam terhadap Mox sang Bule Gila.

“Tiga lawan satu? Hahahahahha. Bring it on!” Mox tertawa. Ia mengedip ke arah Seno, “Akan kutunjukkan sesuatu khusus untukmu, Seno. Sesuatu yang spesial. Kalian juga boleh lihat kalau mau.”

Mox menyalakan Ki-nya. Tenaga dalam itu terus menerus menanjak, menanjak, menanjak, dan semakin menanjak. Di belakang Mox bagaikan muncul seekor burung berapi yang melebarkan sayap, seekor Phoenix. Burung itu terbang ke atas dan lenyap di angkasa. Sungguh pertunjukan manifestasi kekuatan secara astral yang menakjubkan. Terangnya bagaikan meledak lalu redup hilang begitu saja. Sulaiman Seno yang merasakan Ki itu geram menatap Mox.

Tidak mungkin.

Tenaga dalam Mox sangat besar, terlalu besar bahkan. Dia bisa melebihi Empat Anak Panah JXG dan Empat Perisai QZK. Kekuatannya mungkin bahkan setanding dengan mendiang Joko Gunar. Tapi karena Mox tadi tidak terlihat ngotot, tenaga dalamnya yang asli pasti lebih besar lagi. Bagaimana dia bisa menjelma menjadi monster seperti ini? Bagaimana dia bisa menjadi sangat kuat?

“Aahhhh, segarnya setelah bermandikan Ki,” Mox terkekeh. “Bagaimana menurutmu, Seno? Lumayan kan? Not bad, eh? Quite proud of it myself. Hahahahahah.”

“Ki bukanlah segalanya. Bagaimana cara menggunakannya lebih penting.”

“Oh ya ya, filosofi itu ya? It’s not about the weapon, it’s about the man behind the gun. Hahahah. Akan aku berikan bukti kalau aku sangat-sangat mampu menggunakannya. Hahahahahah.” Mox melumuri pedangnya dengan tenaga dalam, ia lalu memutar-mutarnya dengan sangat terampil. Bagaikan sehari-hari menggunakan pedang. Sembari petentengan, ia menyandarkan pedang itu di pundaknya. Mox lantas mengayunkan jemari untuk mengundang maju ketiga lawannya.

“Jadi… kapan kalian akan menyerangku? Sudah ditungguin nih sedari tadi.”

Jagal dan kedua anggota SSX berteriak kencang, mereka menerjang ke depan.





.::..::..::..::..::.





“Istirahat… kita butuh… istirahat…”

Usagi yang banyak mengeluarkan darah terengah-engah saat dibawa Naoko pergi meninggalkan jalan utama. Mereka melewati satu jalan setapak yang hanya muat dilalui oleh satu motor. Untuk sampai ke tempat mereka berada, harus melalui beberapa rumah berjajar yang berbatasan langsung dengan rel kereta api.

“Pergilah… kamu pergilah… selamatkan dirimu… aku masih sanggup bertahan… kamu masih bisa selamat dari tempat ini…” Usagi mengernyit kesakitan, seluruh lukanya menganga terbuka dan ia hampir tenggelam ke dalam ketidaksadaran. Jika itu terjadi, bisa jadi ini adalah momen terakhirnya di muka bumi. Setidaknya, dia ingin menyelamatkan Naoko.

Naoko masih melelehkan air mata saat membawa Usagi. “Tidak bisa, Kak Usagi. Kita harus pergi lebih jauh. Kita harus pergi ke rumah sakit. Aku tidak mungkin membiarkanmu seperti ini… kita sudah kehilangan Kak Nohara, Kak Matsu… aku tidak bisa…”

“Berhenti dulu… berhenti dulu…”

Naoko menyandarkan Usagi di tembok sebuah rumah. Jalanan setapak yang mereka lalui terlihat sepi, mereka cukup aman di sini. Usagi yang terengah-engah menarik secarik kertas dari dalam bajunya, ia menyelipkan kertas itu ke tangan Naoko. Naoko melihatnya, seperti kartu nama yang berisikan alamat.

“Jika.. jika aku tidak selamat… pergilah pulang ke Jepang… temui master Miyagi dan sampaikan salam dari kami yang gugur. Sampaikan pada beliau bahwa kami semua telah menuntaskan tugas dengan baik sesuai dengan perintah beliau untuk mengabdi pada Zein-sama. Beliau akan memahami apa yang terjadi dan mengajarkanmu semuanya.” Dengan menggunakan sisa-sisa napas yang tersisa, Usagi mulai bicara sembari mengelus pipi Naoko, “Nao-chan, kamu adik angkat yang sangat baik. Miyagi-sensei akan membimbingmu dan membantumu menjalani hari-hari ke depan di saat kami semua…”

“Tidak… tidak… tidak… aku tidak rela kalian semua pergi. Aku satu-satunya yang belum pernah menemui Miyagi-sensei. Selama ini aku belajar dari kalian para kakak, aku tidak ingin pulang sendiri, aku ingin bersama kalian. Sehidup semati.”

“Naoko… jangan bodoh… aku…”

Usagi menghentikan kalimatnya. Ia mengernyitkan mata. Seperti ada sesuatu yang membuatnya waspada. Gadis yang masih terluka itu mendengus kesal. Ia lantas berdiri tiba-tiba dan mendorong Naoko ke belakangnya.

Dari kegelapan jalan setapak yang tadinya mereka lalui, muncul satu sosok berpedang di bawah hujan yang turun makin deras. Ia mengenakan pakaian dan topeng seperti sesosok ninja. Mata pria bertopeng itu menyorot tajam ke arah dua gadis yang sedang lemah. Ia mengayunkan pedangnya dengan beringas, lalu berhenti di tengah jalan dan mulai memasang kuda-kuda. Dalam hening dan tanpa kata, ia bersiap untuk menyerang mereka.

Usagi ikut memasang kuda-kuda.

“Ka-Kak Hanzo?” Naoko mendelik, “Kak Usagi! Bukankah itu Kak Ha…”

“Pedang pendekmu, Naoko.”

Naoko memberikan pedangnya pada Usagi. Pedang itu pendek dan ringkas, tapi kuat dan kokoh.

Usagi menarik pedang pendek milik Naoko dari sarungnya lalu memutar-mutarnya seperti masih sigap dan siap sedia – tak sedikitpun menunjukkan luka, “Nao-chan, bersiaplah untuk melarikan diri. Aku sudah tak bisa mengeluarkan Ki, tapi aku masih sanggup bertarung dengan pedang. Aku tak akan bisa bertahan lama, saat aku menahannya, kamu pergi dari sini.”

Usagi mengayunkan pedang yang ia pegang untuk membentuk lingkaran pertahanan. Gadis jelita itu mengamati pedang sang ninja, ada bekas darah. Dia sudah membunuh seseorang. Siapakah seseorang itu? Usagi ngeri membayangkan rekan-rekan mereka di JXG telah menemui ajal di tangan si ninja.

Sang ninja meloncat, ia mengayunkan pedangnya dengan beringas.

Benturan dua bilah pedang yang teramat kuat dan kencang menghasilkan satu percikan yang bagaikan kembang api. Keduanya melontarkan serangan bergantian. Denting suara pedang memecahkan hening malam. Meski lemah, Usagi tak mudah menyerah apalagi mengaku kalah. Napasnya sudah satu dua, darahnya tak bisa dibendung. Nyawanya hanya tinggal seujung kuku. Ia mencoba melindungi Naoko sebisa mungkin sekuat tenaga yang tersisa.

“Naoko! Pergilah! Aku akan menahannya! Pergi!”

“Ta… tapi… kenapa Kak Hanzo menyerang kita? Kenapa…”

“PERGI!”

Satu ayunan pedang sang Ninja begitu kencangnya. Usagi yang sudah teramat lemah tak bisa mengimbangi. Ia jatuh terjerembab ke bawah, Hanzo mengayunkan pedangnya hendak menghabisi Usagi yang sudah sangat kepayahan.

Naoko tidak terima. Dengan instingnya gadis itu melejit ke depan dan mengibaskan kaki untuk menendang kepala Hanzo. Tapi sang ninja berhasil mundur dengan lincah, saat ia mengayunkan pedang kaki Naoko sudah ditarik. Tendangan Naoko tak mengenai sasaran, pedang sang ninja juga gagal.

Gadis itu segera menghampiri Usagi.

“Kak!”

Usagi terengah-engah di pelukan sang gadis muda.

“Naoko… aku belum pernah menuntaskan pembelajaran ilmu pedang kepadamu. Ma-maafkan aku… kamu mungkin bukan lawannya, pergilah cepat. Biarkan aku melindungimu sebagai wujud baktiku pada Zein-sama dan Miyagi-Sensei.”

“Tidak! Ka-Kak Usagi… tidak boleh ada korban lagi… tidak boleh ada…”

“Tinggalkan aku. Tidak apa-apa. Sekarang saatnya kita hadapi lawan kita sampai mati. Lebih baik terbunuh saat bertarung daripada mati setelah menyerah. Kita adalah Shinsengumi X. Kita adalah prajurit JXG!”

Hanzo mendengus mendengar percakapan itu. Ia yang masih bungkam seribu bahasa kembali mempersiapkan pedangnya. Tidak perlu berlama-lama mendengarkan percakapan yang ngalor-ngidul tidak karuan! Ia berteriak kencang, menandakan bahwa ia sudah tidak akan main-main lagi.

“Naoko! Pergilah kamu! Pergi!” Usagi mendorong Naoko meskipun gadis itu meronta ingin membantu Usagi. “PERGI!”

“Tidak mau! Tidak! Kak Usagi sendiri yang bilang! Lebih baik mati saat bertarung!” Naoko berdiri dengan tegap di hadapan Hanzo, “Aku tidak tahu kenapa Kak Hanzo menyerang kita. Aku tidak tahu apa alasannya sehingga dia menyeberang ke KRAd dan QZK, tapi aku tidak akan membiarkan kak Usagi sendirian di sini! Kita berjuang bersama, mati bersama!”

“Nao…”

Shrt! Shrt!

Tiba-tiba saja sekelebat bayangan muncul dari kanan dan kiri Hanzo, ada pedang yang menyambar begitu cepatnya. Hanzo tersayat di bagian dada, membuatnya berteriak kesakitan dan melangkah mundur sembari melindungi wajahnya sendiri dengan pedang.

Saat mundur beberapa langkah ke belakang, ia baru membuka mata. Ada luka sayat di pelipisnya yang bocor. Darah mulai mengucur. Siapa yang telah menyerang Hanzo? Ninja itu menggeram hebat dan kembali berteriak penuh amarah.

Seorang laki-laki berpedang muncul di hadapan Hanzo, di antara sang pengkhianat dan kedua gadis SSX. Baik Naoko maupun Usagi sama-sama terkejut melihat kehadiran laki-laki yang baru saja muncul. Mereka saling berpandangan.

Bagaimana mungkin… ada dua Hanzo?

Pria berpedang yang muncul ternyata mengenakan pakaian biru gelap ala ninja dan topeng yang sama dengan Hanzo yang menyerang Usagi dan Naoko. Tapi kalau “Hanzo” baru saja menyerang Usagi dan Naoko, jadi… siapa yang baru datang? Siapa yang siapa? Yang mana yang Hanzo?

Usagi mengumpat dalam hati, kenapa ia jadi tidak bisa membaca Ki? Tapi saat melirik ke arah Naoko, Usagi tersenyum. Naoko sepertinya sudah paham siapa yang mana.

Pria pelindung Naoko dan Usagi mengayunkan pedang dengan lihai, seakan-akan membentuk lingkaran perisai pelindung. Persis seperti apa yang tadi dilakukan oleh Usagi. Ia berucap dalam bahasa Jepang, “Berhati-hatilah kalian berdua, dia bukan aku. Dia peniru yang menggunakan pakaian dan topengku. Kage memberikan laporan, orang ini baru saja mencelakai Ki Kadar, entah beliau hidup atau mati.”

“Horyaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Hanzo palsu menerjang ke depan, pedangnya ganas melingkar-lingkar, diayun ke kanan dan kiri, mencari celah untuk masuk ke pertahanan Hanzo asli. Tentu saja yang original jauh lebih unggul daripada sang imitator. Setiap serangan pedangnya selalu berhasil ditahan dengan sempurna oleh pertahanan Hanzo asli. Sampai suatu ketika jarak mereka teramat dekat.

Sembari menahan pedang sang imitator, Hanzo asli mengait kaki kanan si palsu, dan langsung menghentakkan serangan tapak tangan ke dada.

Bkkkhh!

Hanzo palsu terguling ke belakang, tidak sakit memang, tapi cukup membuat pertahanannya terbuka. Ia lengah dengan positioning. Hanzo asli memutar pedang dengan cekatan, memegangnya secara backward, dan mengayunkannya ke atas.

“Haaaargh!”

‘Hanzo’ berteriak kesal ketika merasakan sakit di wajahnya, ia mundur tertatih. Ada garis tipis bekas pedang yang membelah topeng dan menunjukkan wajahnya. Ia menginjak-injak tanah dengan geram seperti seorang anak kecil. Rupanya pedang Hanzo tadi sempat masuk dan membelah topeng ‘Hanzo’ sehingga membuka penyamarannya.

Topeng ‘Hanzo’ terlepas dan muncul wajah seseorang yang mungkin asing bagi yang tidak mengenalnya, namun tidak untuk Usagi dan Hanzo asli. Gadis yang tengah terluka itu mendesis geram saat mengenali wajah sang penyerang, ia geram sekaligus bertanya-tanya. “Di-dia Handoko Hamdani! Mantan tangan kanan Ki Kadar! Kenapa bisa dia berubah menjadi Kak Hanzo?”

“Aku sendiri juga tidak tahu, entah darimana juga dia mendapatkan pakaian dan topeng yang mirip denganku,” Hanzo bersiap dengan kuda-kuda. Dia kembali berucap pada Naoko dan Usagi, “Bersiaplah kalian berdua. Aku rasa dia sedang tidak menjadi dirinya sendiri. Pandangan matanya kosong, dia hanya menggeram tanpa berbicara, bertingkah laku secara kaku, tapi gerakannya brutal dan sengit. Kalian tahu apa itu artinya kan?”

“Dia sudah dijadikan zombie.” bisik Naoko perlahan. “Ada yang mencuci otak pria itu dan menjadikannya orang yang tidak lagi punya kesadaran sendiri. Dia menghipnotisnya, membuatnya mengikuti perintah sang pencuci otak.”

“Dia sudah dihipnotis atau dicuci otak,” Usagi terengah-engah memberikan kesimpulan.

Hanzo mengangguk, “Sepertinya begitu.”

Usagi tiba-tiba saja terjatuh.

“Kak Usagi!” Naoko terkejut dan buru-buru menghampiri Usagi yang lemas di sampingnya. Napas gadis itu semakin pendek, satu-dua. Naoko semakin khawatir. “Kak Hanzo! Kak Usagi terluka dan kehilangan banyak darah, aku tidak yakin dia bisa bertahan lebih lama lagi kalau seperti ini terus. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.”

“Aku akan mengatasi Handoko Hamdani. Kamu bawa dia pergi dari sini.”

Blp!

Satu pisau mendarat di depan Usagi.

“Kalian tidak akan pergi kemana-mana. Kalian akan tetap di sini dan akan mati di sini.” Satu suara terdengar dari atas. Sosok yang melemparkan pisau mendarat di antara Hanzo asli dan kedua gadis SSX. Pria itu berkepala gundul dengan cukuran yang tidak rapi. Wajahnya tegas, keras, dan penuh amarah.

Naoko, Usagi, dan Hanzo menatap sosok yang baru saja datang.

“Sepertinya… akan ada lagi anggota SSX yang mati sia-sia malam ini.” Pemuda yang baru saja datang tersenyum sinis saat menatap Hanzo, Usagi dan Naoko. Ia memainkan pisau-pisaunya dengan lihai. Dengan satu lompatan yang ringan ia berdiri sejajar dengan Handoko Hamdani. “Lagi-lagi kita berdua yang harus meladeni JXG, Mas.”

Usagi mendesis geram dalam rasa sakitnya. “Pa-Pasat…”

Usagi memejamkan mata. Pingsan.

Ia tak sadarkan diri.





.::..::..::..::..::.





Museum sang Pangeran.

Halaman dalam.

Dewi Uma terbang mengitari lokasi dengan ilmu ringan tubuh papan atasnya, sesekali sang dewi mendarat sejenak di tembok, atau di tiang lampu yang tinggi. Wanita yang masih sangat cantik itu menikmati house tour dari rumah kuno yang dulunya merupakan tempat tinggal seorang pangeran dari keluarga bangsawan dan keturunan keraton. Meski seorang pangeran, tokoh ini sangat berjasa dan mendukung perjuangan nasib pribumi di bawah pemerintahan orang-orang asing yang menguasai negeri.

“Tempat ini masih terlihat asli – sayang agak kurang terawat, tapi wajar saja.”

Ucap sang dewi yang ternyata tidak sendirian di halaman dalam Museum Sang Pangeran.

“Sejak 1825 sampai dengan 1830, Sang Pangeran memimpin pasukan melawan penjajah. Dengan gagah berani melawan pasukan yang jumlahnya jauh lebih besar dengan melakukan taktik gerilya.” ujar Ki Juru Martani sambil berkacak pinggang, ia melangkah ditemani tongkatnya sembari melihat-lihat suasana Museum Sang Pangeran. Hanya ada dia dan Dewi Uma di halaman dalam museum itu, pasukan yang lain tak berani memasuki rumah yang dianggap sakral. “Berawal dari ketidakadilan penjajah yang seenak wudelnya sendiri menempatkan patok penanda wilayah dan penetapan pajak yang semena-mena, sang Pangeran menjelma menjadi musuh yang sulit ditundukkan bagi para penjajah. Hanya melalui kelicikan dan perjanjian palsu-lah sang Pangeran akhirnya berhasil ditangkap dan perlawanannya usai.”

“Ki Sanak sangat berwawasan dalam sejarah dan juga mawas. Saya bisa menyimak sejarah yang njenengan uraikan dengan jelas. Sayang njenengan mengenakan topeng dengan rapi sehingga saya tidak dapat melihat wajah anda yang sejati.” Dewi Uma tersenyum, “Beberapa dari kami adalah keturunan para pengikut beliau yang sempat bermarkas di Gua Welarong. Tapi saya yakin anda tidak perlu tahu itu karena seorang pria yang bersembunyi di balik topeng di hadapan seorang wanita tidak pantas ditolong. Anda hanyalah pecundang yang mengaku-aku sebagai jawara - dasar pembohong.”

Ki Juru Martani tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya serak dan tak nyaman didengarkan.

Sembari membenahi topengnya yang sedikit miring. Ki Juru Martani menatap Dewi Uma yang bertengger di atas sebuah gerbang dengan santai, “Saya tak pernah mengaku sebagai seorang jawara, saya tidak perlu ditolong, dan saya tidak bohong. Sejatinya saya hanyalah pengamat sejarah, peran saya tak lebih dan tak kurang hanyalah sebagai penasehat. Tapi selayaknya manusia biasa yang bisa risih dengan keadaan sekitar, saya beradaptasi dengan keadaan. Ketika ada kejadian yang menurut saya tak pantas masuk dalam sejarah – maka akan saya hancurkan sejarah itu dan menggantikannya dengan yang lebih layak – yang sesuai dengan kenyataan dan logika. Semua karena tuntutan jaman yang terus maju dan membutuhkan kestabilan. Pembeda bukan berarti benar atau salah, tapi sesuai logika.”

“Sesuai logika? Huh. Kebaikan akan juara, kebenaran akan terwujud, bagaimanapun logikanya.”

“Itu harapan palsu yang disebarkan oleh mereka yang kalah tarung tapi menang perang. Sudah terbukti bahwa penjajah yang kuat akan menindas pribumi yang lemah – suka tidak suka kenyataannya seperti itu. Banyak beredar hipotesis bahwa kebenaran akan menang pada akhirnya, tentu saja pernyataan seperti itu sebenarnya lemah, ngawur, dan kekanakan. Tidak ada kebaikan pasti menang di dunia nyata.

“Dunia tidak berjalan seperti itu. Ini bukan tentang benar atau salah, ini tentang siapa yang lebih kuat. Jika basis kita berpikir adalah kenyataan di lapangan maka hukum rimba yang seharusnya kita jadikan pegangan, sejak dulu hingga sekarang - yang kuatlah yang akan menang. Silakan kalau njenengan bisa membuktikan ucapan saya ini salah, tapi saya yakin seratus persen jika kenyataan akan sejalan dengan logika, bukan berdasarkan mimpi atau harapan.”

“Sang Pangeran berharap dan bermimpi, bahwa suatu saat kelak pribumi selayaknya berhak atas negeri sendiri, di atas tanah yang gemah ripah loh jinawi. Bukankah itu sudah terwujud saat ini? Itu adalah hasil dari harapan dan mimpi. Kalau tidak setuju mengenai itu, njenengan memang njelehi.”

“Jika kita kembali ke jamannya sang Pangeran maka dipastikan mau berjuang berapa tahun pun tidak akan menang. Semua orang salah paham mengira kita ini ampuh dan sakti, padahal penjajah akan selalu menemukan cara untuk menaklukkan perlawanan, termasuk perlawanan dari pasukan Sang Pangeran. Pertarungan melawan sang Pangeran bisa molor sampai lima tahun karena pihak gerilyawan tentunya lebih menguasai medan dan serangan sporadis sempat membuat frustasi penjajah, tapi sesungguhnya penangkapan hanyalah tinggal menunggu waktu saja.”

“Ki Sanak, rasa-rasanya kita tidak sejalan. Sang Pangeran memimpin pasukan dengan gagah berani meskipun dengan apa-adanya kekuatan. Kekuatan perang beliau memang jauh lebih lemah dibandingkan para penjajah, tapi bukan berarti harus menyerah tanpa perlawanan dan pasrah. Ini tentang sikap dan jiwa merdeka, tentang proses dan bukan tentang hasil akhir semata. Bukankah demikian adanya?”

“Apapun perangnya, berapa lama pun pertarungannya, sebanyak apapun korbannya… hanya satu hasil akhirnya. Sejarah dunia akan ditulis oleh para pemenang, Kemenangan diraih bukan oleh yang paling benar dan berhati mulia, tapi siapa yang lebih kuat – kuat itu menang dengan cara apapun yang digunakan untuk meraih kemenangan itu.”

Dewi Uma mencibir tapi kemudian mengangguk. “Sejarah ditulis oleh para pemenang. Saya setuju dengan yang satu itu.”

“Akhirnya kita sepaham mengenai satu hal, wahai penghuni Kuburan Kuno.” Ki Juru Martani terdengar terkekeh di balik topeng, “awalnya saya tidak mengenali Kanjeng Putri. Tapi sekarang akhirnya saya paham siapa yang tengah saya lawan.”

Dewi Uma tersenyum, “Jadi sekarang sudah tahu? Mari laju dan maju kita beradu. Biar kemenangan ditentukan oleh waktu.”

“Baiklah. Mari kita buktikan saja. Saya akan tunjukkan apa yang saya bisa.”

Ki Juru Martani menancapkan tongkatnya di tanah. Dia lalu berbisik-bisik mengucapkan mantra, lalu memutar tangannya di depan dada, seakan-akan sedang menggeser sebuah puzzle raksasa tak kasat mata yang ada di depannya searah jarum jam.

Girap-girap Amuk Ratu Bhumi,” bisik pria tua misterius itu.

Tiba-tiba saja tanah di sekitar pijakan tongkat bergetar hebat.

Dari bawah tanah tetiba saja muncul satu tangan raksasa dengan lima jari yang menyeruak dari dalam tanah, ke atas, terus ke atas, kelima jari terbuka dengan bentuk seperti hendak mencengkeram. Satu tangan maha besar berwarna gelap yang menyeramkan. Tentu saja pemandangan ini hanya bisa disaksikan oleh mereka yang memiliki Ki dan tenaga dalam saja.

Tangan apa itu? Tangan genderuwo?

Dewi Uma mendelik menyaksikan pemandangan yang ia saksikan. Sungguh aneh dan mengerikan jurus yang dikuasai oleh Ki Juru Martani - sang tokoh misterius di balik topeng klana merahnya. Ini seperti meminta tolong pada salah satu wangsa supranatural untuk membantunya menaklukkan lawan.

“Edan, bukankah ini ilmu hitam? Njenengan berani-beraninya menggunakan ilmu seperti ini menjelang malam! Kualat nanti! Karma akan mendatangi!”

Ki Juru Martani mengangkat satu tangannya ke atas dalam posisi jemari terbuka. Seketika tangan raksasa itu juga melakukan hal yang sama. “Hitam atau putih itu hanyalah masalah perspektif. Keduanya ada di satu koin yang sama.”

Sesaat kemudian Dewi Uma tertawa mengerikan, cekikikan dengan suara yang dalam dan berat, “Kalau begitu saya juga akan menggunakan sesuatu yang mirip, terutama jika lawan menggunakan ilmu setinggi langit yang membuat hati ketap-ketip.”

Ki Juru Martani hanya terkekeh, saat tangan kanannya digerakkan ke arah Dewi Uma, tangan misterius raksasa nan mengerikan itu mengikuti gerakan si topeng klana merah dan mulai menyerang posisi Dewi Uma.

Sang Kanjeng Putri terbang melintasi angkasa, dari satu posisi ke posisi lain, menclok sana menclok sini. Tangan raksasa itu terus saja mengejar, beruntung kelincahan sang pimpinan Perguruan Kuburan Kuno melebihi kecepatan tangan raksasa yang dikendalikan Ki Juru Martani.

Pria misterius itu tak berhenti sampai di situ saja. Tidak cukup hanya dengan tangan hitam raksasa, Ia juga membuka telapak tangan kirinya, menyulam sesuatu di udara, lalu menyentakkannya ke atas berulang-ulang kali ke arah Dewi Uma.

Gaduh Banaspati.’

Boom! Boom! Boom! Boom!

Dewi Uma menghindar kesana kemari tanpa mampu dikejar oleh siapapun. Bola-bola api energi yang cukup besar dilontarkan oleh Ki Juru Martani. Tapi tak ada satupun yang berhasil mengenainya.

“Sudah? Cuma begitu saja tuntas sudah?” Ledek Dewi Uma. Ia berputar dengan anggun di udara, bak memutari langit dan melontarkan sesuatu ke arah sang arsitek kehancuran. Lontaran itu disertai dengan garis merah di udara.

Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp!

Ki Juru Martani menggeser tubuhnya ke samping kanan, kiri, kanan, kiri, lalu kanan lagi, untuk menghindar dari serangan benda tajam yang dilontarkan oleh Dewi Uma. Meski mampu melukai serangan itu bukanlah berasal benda tajam, serangan itu dilontarkan oleh Dewi Uma menggunakan selendang.

Karena Ki Juru Martani bergeser dengan gerakan halus, ujung selendang yang digelontorkan oleh Dewi Uma berulang-ulang kali hanya menyambar tanah kosong. Setiap sambaran menyisakan ceruk yang cukup dalam. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau selendang itu mengenai sang arsitek kekacauan.

Ki Juru Martani mengernyit, ia merasakan sedikit perih di lengan. Ada sisi lengannya yang tersayat.

Bukannya geram, Ki Juru Martani malah tertawa kecil. Tangan kanannya digerakkan ke atas untuk sekali lagi menyerang sang Kanjeng Ratu.

Hfah!

Satu sentakan energi meluncur.

Dengan mudahnya Dewi Uma terbang menghindar. Ki Juru Martani tak berhenti, ia menggerakkan jemari. Tangan raksasa hitam yang tadinya terdiam di sebelah kanan kini bergerak ke arah kiri, ke arah posisi sebuah lampu taman yang dijadikan pijakan oleh sang dewi.

Dewi Uma mendengus remeh. Tangan raksasa ini memang menyeramkan, tapi mudah sekali dihindari karena lamban. Saat itulah tiba-tiba saja ada gelap menimpanya.

Dewi Uma melirik ke belakang.

Di sana sudah ada tangan raksasa kedua!

“Setan alas penghuni Alas Rengkat! Babo-babo keparat! Jebakan yang sangat cepat!”

Dewi Uma memaki. Ia mencoba melompat sekali lagi, tapi kedua tangan raksasa di kanan dan di kirinya mengatup dengan cepat, jauh lebih cepat dari perkiraan semula! Kedua tangan genderuwo itu memenjara Dewi Uma yang tak bisa ke kanan dan kiri. Tapi bukankah dia masih bisa ke depan dan belakang? Sang Kanjeng Ratu memutar badan dengan gemulai ke belakang.

Sblaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakghhh!

Tubuh Dewi Uma tersambar satu tamparan kencang yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tubuh pimpinan Perguruan Kuburan Kuno itu terjatuh berdebam berulang di tanah. Bagai raket tenis menghantam bola. Kesakitan mungkin tidak, tapi lebih ke malu karena gengsi.

Dengan anggun Dewi Uma kembali berdiri. Ia memiringkan kepala dan menatap Ki Juru Martani dengan pandangan seduktif. Dengan lincah Dewi Uma melompat ke langit kembali, jumawa seperti tak kurang suatu apa.

“Luar biasa, hebat tak bisa berkata-kata. Untuk pertama kalinya ada yang berhasil menjatuhkan saya dengan tapak raksasa. Njenengan punya kemampuan yang unik, Ki Sanak. Rasanya sakit dan kecewa dengan kemampuan sendiri, dijatuhkan semudah itu tapi apa daya memang sedang tidak mampu menjaga diri.” Dewi Uma kembali mengudara. Ia memutar-mutar selendangnya di udara. “Tapi tidak akan terjadi lagi, yang seperti tadi hanya akan terjadi sekali. Mari kita ulangi lagi.”

“Oh ya? Hanya sekali?”

Ki Juru Martani menggerakkan kedua tangannya. Kali ini dua tangan raksasa muncul dari sisi kanan dan kiri Dewi Uma yang tengah berdiri di atas sebuah pagar. Dewi Uma memutar badannya bak gasing, ketika menegok kembali ke arah Ki Juru Martani, wajah ayunya sudah berubah menjadi sosok yang sama sekali berbeda.

Wajah jelita wanita yang baru saja tampil anggun itu berubah menjadi wajah mengerikan nan hitam legam bagaikan tengkorak yang hangus karena gosong. Hanya nampak putih di soket matanya, tanpa pupil dan tanpa iris. Ketika bibirnya terbuka, barisan gigi-gigi tajam berjajar dengan lidah panjang berujung cabang. Rambutnya mengembang ibarat ijuk. Wanita berparas mengerikan itu mendesis. Tangan-tangan sang dewi pun berubah menjadi hitam dengan kuku yang bertambah panjang dan semakin tajam, seperti memiliki cakar.

Jurus yang tadi dipertontonkan oleh sang Kanjeng Ratu di Tarung Antar Wakil kembali muncul.

“Nah ini yang ditunggu-tunggu,” Ki Juru Martani tersenyum dan menyiapkan kuda-kuda, “Luar biasa memang ilmu kanuragan Seratpati Setro Gondomayit. Mengerikan sekaligus menakjubkan, jurus yang membuatku merinding tapi juga ingin mempelajarinya. Mari kita lihat keampuhannya.”

Swsh!

Secara tiba-tiba saja, Dewi Uma sudah berdiri di samping Ki Juru Martani. Saat wanita berparas mengerikan itu mengibaskan tangan, lima cakaran merobek jubah yang dikenakan si Topeng Klana Merah. Ki Juru Martani terbang ke belakang dengan halus untuk menghindar. Ia mengaktifkan pertahanannya.

Pria misterius itu kembali memutar tangan, ia menepukkan kedua tangannya secara horizontal, seperti sedang menepuk nyamuk di udara. Seketika tangan raksasa hitam legam yang ia kendalikan mengayun dengan kecepatan tinggi ke arah bawah!

Blaaaaaaaaaaaaaaam!!

Kecepatan Kanjeng Putri menyelamatkannya dari tepukan tangan raksasa. Wanita berparas mengerikan itu melontarkan diri ke depan dan berputar bak gasing, menyeberang langsung ke arah Ki Juru Martani. Dua tangan lurus ke depan, lidah menjulur. Selendangnya bagaikan pedang yang menyerang ke berbagai arah kemanapun Ki Juru Martani melangkah.

Ki Juru Martani berhenti mundur dan berkomat-kamit, ia membentangkan tangannya ke dua arah. Bagaikan jarum jam yang sedang menunjuk ke arah dua dan tujuh. Menghadang serangan menjadi sangat penting karena Kanjeng Putri versi memedi ternyata sangat buas dan sigap, didukung pula oleh kecepatannya yang di atas rata-rata. Tapi bukan berarti sang Topeng Klana Merah tanpa solusi.

Terlihat dari penguasaan dirinya yang tenang, Ki Juru Martani sepertinya sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Ia punya perisai.

Obong Alengka.”

Pria misterius itu meningkatkan Ki-nya, di sekujur tubuhnya seperti ada nyala api berwarna merah menyala dengan lidah api yang tak tentu arah, melalap sekujur tubuh Ki Juru Martani yang kini bagaikan terbakar total. Hanya terlihat mata yang putih dan gigi berderet menyeringai menyeramkan.

Kanjeng Putri yang sedang berubah ke wujud mengerikan tentu tak menghiraukan perubahan itu. Ia terus saja menerjang ke depan, hendak menembus perisai energi berapi yang dipertontonkan. Karena Ki Juru Martani masih belum selesai merapal jurusnya, ia bergeser untuk menghindar. Serangan sang pimpinan Kuburan Kuno dihindari dengan gerakan ringan.

Kanjeng Putri meraung kepanasan kala tangannya menyentuh perisai energi berapi.

Saat itulah Ki Juru Martani menyadari adanya celah, Ia merangkai sesuatu dengan cekatan di udara, kedua tangan genderuwo hitam yang masih mewujud merangkai satu bola api raksasa.

Gaduh Banaspati.”

Sang arsitek kekacauan mengayunkan dua jemari ke bawah. Bola api raksasa itu terbang ke arah Dewi Uma dengan kecepatan tinggi.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Benturan besar terjadi dengan suara memekakkan telinga, cahaya terang yang meluas, dan menggoncang tanah yang dipijak. Bagaikan gempa bumi lokal, tanah pun bergetar.

Saat cahaya surut menjadi gelap, satu lekukan besar menghitam terbentuk di halaman dalam Museum Sang Pangeran. Asap membumbung tinggi dari lekukan hitam itu.

Ki Juru Martani yang masih ditelan api energi terbang dengan ringan ke arah lekukan hitam. Ia tersenyum saat kenyataan yang ia temui sesuai dengan kenyataannya. Ia menengadah, di atas – sang Kanjeng Putri masih sehat tanpa kurang suatu apa dalam wujud jelitanya, dilindungi oleh energi pelindung yang menyelimutinya seperti selimut.

“Heheheh. Sudah kuduga serangan tadi tidak akan berarti apa-apa bagi jawara seperti Dewi Uma,” Ki Juru Martani terkekeh sembari mematikan perisai energi berapi, ia mempersilahkan Dewi Uma turun di hadapannya, “Mari kita lanjutkan adu ilmu kanuragannya. Ini akan semakin seru.”

“Tentu saja. Njenengan sepertinya punya banyak rahasia. Akan jadi seru untuk mengurai rahasia itu satu persatu. Dewi Uma akan jadi yang pertama, yang membuka Topeng Klana,” Dewi Uma perlahan-lahan kembali berubah bentuk menjadi menyeramkan. Ia mendarat tepat di depan Ki Juru Martani. Ia meraung bagaikan makhluk buas yang ganas.

“Silakan saja kalau bisa…”

Dewi Uma meraung dan menerjang ke depan.





.::..::..::..::..::.





Di sebuah tempat yang entah di mana.

Jun dan X memasuki sebuah lorong bersama-sama.

Lorong itu kecil, lembab, dan pengap. Panjang dan gelap.

Tak jauh di belakang mereka, sang penembak meriam Dinasti Baru – Mardiyono alias Yono ikut berderap. Ketiganya bergerak bersama dalam hening, menandak, mengendap-endap. Mencoba mengaburkan diri dalam kesepian malam dan hujan yang semakin deras di malam senyap dengan sigap. Entah apa yang hendak diungkap.

Saat ini ketiganya sedang berada di sebuah rumah yang mungkin bahkan tidak ada dalam peta. Ketiganya memiliki misi khusus.

“Di sini tidak ada sinyal,” gerutu Yono. “Aku tidak bisa memberikan kabar pada bos BMW.”

Jun tertawa renyah. “Makanya jangan mengikuti kami diam-diam. Aku bisa membaca Ki njenengan dari jarak jauh meskipun itu nyalanya kecil sekali. Kalau ingin mengawasi tinggal bilang saja, justru kami ajak bareng.”

X seperti tidak nyaman saat masuk ke dalam lorong yang gelap itu. “Ada yang aneh di sini.”

Jun mengangguk, entah kedua rekannya saat ini bisa melihat anggukannya atau tidak. “Ki kita meredup. Sengaja dibikin seperti itu untuk penjagaan lorong ini. Kemungkinan ada cagak bebandan, kemungkinan lain ditempatkan pusaka yang tak kalah powerful.”

“Supranatural?”

“Bisa saja kan? Ayolah. Masa kamu takut.” Jun menepuk pundak sang partner.

“Tidak takut. Hanya tidak nyaman.”

Lorong itu memiliki tangga turun yang cukup curam dan dalam. Butuh kecermatan untuk tidak melepaskan satu tingkatan dari pandangan. Sangat mudah terselip dan tergelincir di sini, sehingga membutuhkan kecermatan. Lokasi itu mirip bangunan gua Jepang, semakin lama semakin dalam jauh ke bawah tanah. Penglihatan mereka bertiga hanya sejauh lampu yang menyala remang-remang terpajang di dinding lorong.

Wardiyono menepuk-nepuk ponselnya ke telapak tangan. “Sinyal sialan!”

Jun menempatkan jari telunjuknya di bibir, ia berbisik. “Diam, tenang, dan jangan nyalakan Ki kalian. Siapapun atau apapun yang ada di sini, pasti sesuatu yang sangat penting karena ditempatkan di tempat yang sedemikian rahasia.”

“Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?” tanya X dalam bisiknya. “Kalau ini rahasia kenapa bisa bocor ke telingamu?”

“Namanya juga Jun. Informasi adalah sahabat.”

“Jiah. Dasar wikipedia.”

Lorong yang mirip gua Jepang itu berkelok-kelok dan akhirnya ada nyala yang lebih terang. Mereka masuk ke bagian lorong yang melebar dan lebih luas. Di tempat itu ada satu pintu besi yang kokoh di satu sisi dinding. Di tengah pintu, ada lubang kecil segaris untuk mengintip ke dalam.

Jun menandak mendekat dan mengintip ke dalam.

Ia terkejut.

Pintu itu merupakan pintu sebuah kamar, tapi suasana di dalam sangat nyaman dan terang, sangat berbeda dengan suasana lorong yang menyeramkan. Di dalam sana bagaikan ruangan hotel yang lengkap dan serba ada. Jun mengerutkan kening – yang lebih mengejutkan lagi, seperti ada seseorang di dalam ruangan itu.

“Jun,” bisik X perlahan. Ia menemukan sesuatu.

Jun dan Yono mendekatinya.

Di samping pintu besi, ada sebuah pintu lain dengan jarak sekitar dua meter. Tak terlihat karena menyaru dengan warna dinding lorong. Satu-satunya pertanda bahwa di situ ada pintu adalah keberadaan sebuah kenop pintu dan lubang kunci.

Jun mencoba membuka pintu itu.

Jglk. Jglk.

“Terkunci,” pemuda berpakaian serba putih itu menggeleng pada dua orang yang lain.

“Sini,” Yono menunduk, melirik ke lubang pintu, dan mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Seperti sebatang kawat kecil. Ia mulai memasukkan kawat itu ke dalam lubang kunci dan mulai beraksi. Diputar-putarnya kawat itu ke kanan kiri sembari memutar kenop… dan…

Pintu pun terbuka.

Ruangan itu tidak begitu besar, tapi ada beberapa perangkat monitor lengkap. Seperti sebuah ruang pengawas. Jun, X, dan Yono masuk ke dalam. Monitor-monitor itu menyala, Menyajikan sebuah pemandangan ruangan yang sangat luas dari berbagai macam sudut. Ini bukan sembarang ruang, ini ruang pengawas.

“Ini… ruangan di sebelah?” tanya X.

“Sepertinya begitu,” Jun mulai memperhatikan tayangan demi tayangan. Ia terpaku saat menyaksikan satu layar.

Ada seorang gadis di ruangan sebelah.

Ia seorang diri di dalam ruangan. Duduk termangu dalam diam di tepi pembaringan, menatap ke layar televisi yang ada di hadapannya. Gadis itu berambut hitam panjang lurus dengan rambut yang dikuncir kuda, wajahnya yang ayu rupawan terlihat capek dan kelelahan, perutnya membesar seperti sedang hamil tua. Ia mengganti-ganti channel televisi dengan bosan sembari mengelus-elus perutnya.

Terlihat gadis itu kemudian mengenakan kerudung.

Gotcha. Di sini dia rupanya.”

“Siapa cewek itu?” bisik Yono yang kebingungan saat menyaksikan monitor. “Kenapa dia disekap di sini? Apa yang telah dilakukannya sampai-sampai QZK tega menyekap cewek yang tengah hamil di lokasi antah berantah begini?”

“Gadis itu adalah kunci, Mas,” bisik Jun. “Dia adalah kunci kesuksesan Aliansi dalam menaklukkan KRAd dan QZK. Jika dia bebas maka akan ada keuntungan besar yang didapatkan Aliansi – terutama efek bagi sang pimpinan Aliansi. Hal itu yang ditakutkan oleh QZK. Itu sebabnya QZK menyekap cewek itu di sini dan itu juga sebabnya kita harus membebaskan dia.”

Jun melirik ke samping monitor. Di sana ada kunci yang tergantung. Buru-buru ia mengambilnya dan dengan cepat melangkah ke luar ruang pengawas, menghampiri pintu besi.

Yono tak jauh di belakangnya, “Ha? Sebentar sebentar… ini semua berhubungan dengan Aliansi? Dengan pimpinan Aliansi? Memangnya apa hubungan mereka? Siapa cewek itu?”

“Jadi Mas Yono… sebenarnya cewek itu adalah…”

Ucapan sang pemuda terhenti.

Tiba-tiba saja tangan X yang teramat besar mencengkeram sisi samping kepala Jun. Dengan kecepatan sangat tinggi, X menghempaskan kepala Jun ke tembok.

Jboooooooooooooooomm!

Tidak cukup hanya sekali. X mengulanginya lagi, dengan hempasan kencang, kepala Jun yang tak sempat melawan ditarik dan dibenturkan berkali-kali.

Jbooooommm! Jbooooommm! Jbooooommm! Jbooooommm! Jbooooommm!

Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali.

Darah muncrat dari robekan pelipis Jun. Tubuh pemuda itu lunglai ke bawah tanpa daya. Tulang kepalanya mungkin retak karena kerasnya X menghantamkan kepala Jun ke tembok. Serangan X yang sangat tiba-tiba dan tanpa tenaga dalam jelas tidak disangka-sangka oleh Jun dan Yono.

Mardiyono menatap sosok tinggi besar yang tengah menyeringai di depannya dengan mata terbelalak. Luka silang berbentuk X di wajah pria itu pun menjadi semakin mengerikan. “A—Apa yang kamu lakukan? Dia sahabatmu sendiri bukan? Dia bersamamu sejak awal bukan? Ke-kenapa kamu membunuhnya?”

X menjilat darah Jun yang menetes di jari-jari tangannya, lalu membuangnya sambil meludah.

Cuh.

“Sekali QZK, selamanya QZK. Pengkhianat pantas mati,” bisik X. Ia menyepak kepala Jun yang ternyata masih megap-megap.

Jbuaaaaaaakghhh!

Tubuh pemuda berambut perak itu terlempar dan terguling. Ia tak lagi bergerak. Darah mengalir dari wajahnya. X melangkah perlahan dan menginjak kepala Jun, berulang-ulang kali sampai lengket sepatunya oleh darah Jun.

Jjbuuuughhhkkkhh! Jjbuuuughhhkkkhh! Jjbuuuughhhkkkhh! Jjbuuuughhhkkkhh!

Lampu lorong tempat mereka berada tiba-tiba saja padam.

Mardiyono yang kebingungan dengan kejadian di depannya tahu bahwa ini semua ternyata adalah jebakan yang sudah disiapkan untuk Jun dan dirinya! Ia mulai panik dan bersiap memutar arah untuk melarikan diri.

Boooogkkkhhhh!

Dengan kecepatan tinggi X menyodok dagu Yono yang tidak sigap. Pria itu terlontar ke atas. Begitu dada Yono ada di hadapan X, pemuda bertubuh raksasa iu langsung mendaratkan tiga pukulan penghancur dengan kecepatan tinggi.

Jbooooommm! Jbooooommm! Jbooooommm!

Mardiyono terlontar ke belakang dan jatuh berdebam. Ia terguling-guling dengan kesakitan. Seperti ada tulang rusuknya yang remuk oleh pukulan dari X tadi. Kepalan si bangsat itu bagaikan palu godam. Deras dan menghunjam.

“Aaaaaaaaarrghhhh! Siaalaaaaaannn!!! Kampreeet!! Kampreeeet!!! Kam…”

Jjbuuuughhhkkkhh! Jjbuuuughhhkkkhh! Jjbuuuughhhkkkhh! Jjbuuuughhhkkkhh!

X menginjak kepala Yono berulang-ulang kali, menendang rusuk dan perutnya, juga selangkangannya. Pria itu bahkan tak sempat berteriak karena serangan berulang-ulang dari X begitu cepat, kencang, dan brutal. Gelapnya lorong menambah panik dan lemahnya Yono.

Gadis di dalam ruangan sekap melirik ke arah pintu besi.

Ia seperti mendengar sesuatu.

Tapi tidak mungkin.

Semua ruangan di sini kedap suara.

Dia kembali memindah-mindah channel dengan bosan sambil mengelus-elus perut. Tanpa sadar bibir gadis itu bergerak. Lirih di bibirnya terucap nyanyian sendu. Ada tetes air mata mengalir di pipinya. Tetes air mata yang meyakinkan semuanya akan baik-baik saja. Ia ingin segera berjumpa dengan sang buah hati yang sudah dinanti-nanti.

Nyanyian sendu yang ia dendangkan sedikit menghiburnya, atau mungkin menghibur sang jabang bayi yang sedang dikandungnya. Yang manapun itu, dia merasa jauh lebih tenang.

Tak lelo-lelo lelo ledung.
Cup menengo, anakku cah bagus.
Anakku, seng bagus rupane.
Yen nangis ndak ilang baguse.
Tak gadang biso urip mulyo,
dadiyo satria utomo,
ngeluhurke asmane wong tua.
Dadiyo pendekaring bangsa
…”

Terdengar suara air mengguyur toilet. Tak lama kemudian muncul sesosok pria keluar dari dalam kamar mandi. Ia tersenyum lembut saat menyaksikan wanita itu mendendangkan lagu nina bobok untuk sang jabang bayi yang belum lahir.

“Suaramu memang merdu sayang…”

Saat mendekat, pria itu menyaksikan tetes air mata di pipi sang wanita berparas indah itu.

“Lho? Kok kamu menangis?” pria itu mengambil tissue beberapa helai, lalu dengan lembut menghapus derai air mata di pipi sang dara. Ia mengerutkan kening karena khawatir. “Kenapa?”

“Tidak tahu, Mas.” Gadis itu tersenyum. “Entah kenapa tiba-tiba saja aku jadi sangat sedih, padahal tidak ada apa-apa. Mungkin karena dia sudah mau lahir, jadi aku terbawa perasaan.”

“Begitu ya. Yakin kamu tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa, Mas. Jangan khawatir. Doakan saja kami berdua sehat.”

Pria itu merangkul sang kekasih dengan erat, lalu mengecup dahinya. “Tenanglah. Kamu akan baik-baik saja. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu. Besok kita akan pindah ke tempat yang lebih baik. Kamu dan aku bisa hidup dengan tenang di sana, demikian juga dengan anak kita… kita akan tinggal di lereng gunung, ditemani suasana pedesaan yang tenteram dan damai, jauh dari segala hiruk pikuk kota. Persis seperti apa yang kita dambakan selama ini.”

Gadis itu tersenyum. Ia menengadah dan menatap paras tampan sang pria. “Itu yang aku harapkan.”

Ia lalu mengelus pipi pria itu.

“Aku sayang kamu, Mas. Selalu sayang kamu. Dulu, sekarang, dan esok aku akan selalu sayang sama kamu.” Ia mengecup bibir sang pria dengan lembut. Perlahan dan sebentar saja namun sudah cukup menyatakan betapa besar kasih sayangnya pada sang kekasih. “Jangan pernah tinggalin aku ya. Aku tidak tahu aku harus bagaimana tanpamu.”

Pria itu membenahi rambut yang terselip keluar di dahi dan pipi sang wanita jelita, menelusupkannya ke dalam kerudung untuk merapikannya.

“Tidak pernah. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu.”

Sekali lagi keduanya berpagutan, kali ini lebih lama. Keduanya memejamkan mata dan saling memeluk dengan hangat tubuh pasangan. Bibir mereka saling mengelus.

Di luar ruangan yang temaram, di lorong yang gelap dan pengap, X masih terus menjalankan aksinya. Menendang kepala, badan, dan seluruh tubuh Yono.

Saat itu Yono sendiri sudah tak sadarkan diri. Ia sudah tak lagi siuman dan bersimbah darah. Kesadarannya perlahan-lahan menuju kegelapan.

Tapi X masih belum berhenti dan tetap beringas.

Tetap ganas.

Tetap buas.

Sampai tuntas.





.::..::..::..::..::.





Pertarungan besar benar-benar tak terhindarkan. Dua kubu saling serang dengan segenap kekuatan. Bala bantuan datang untuk kedua belah pihak dari seluruh penjuru kota. Museum Sang Pangeran jadi saksi gegap gempita malam itu, betapa QZK dan JXG saling jual dan beli serangan. QZK sedikit lebih unggul karena mereka sepertinya memang sudah bersiap untuk membabi-buta. Korban berjatuhan, masyarakat sekitar mulai melarikan diri dari rumah. Keadaan sama sekali tidak kondusif dan tidak aman. Kekacauan dimana-mana.

Tim Garangan yang diterjunkan langsung menutup semua jalan keluar dari Museum Sang Pangeran pada bentang parameter tertentu untuk menangkap para begundal yang rusuh dan mengacak-acak kemanan. Hujan turun semakin deras, tubuh demi tubuh bergelimpangan dari kedua belah pihak.

“Seraaaaaaaaaaang!!”

“Hajaaaaaaaaaaaarr!!”

“Bunuuuuuuh!!”

Tangan kosong, senjata, semua digunakan. Rakyat jelata jadi korban. Teriakan, cacimaki, jeritan, marah, kesakitan, penuh amarah, semangat membara, semua ada. Di jalan keluar sisi utara, tepat di depan soto Pak Saleh, sepuluh orang anggota JXG lari tunggang langgang. Mereka adalah pemuda-pemuda yang masih terlalu hijau dan ketakutan melihat teman-teman mereka dibantai.

“Lari! Cepat! Kita harus lari! Kita bisa mati!” komando salah satu di antara sepuluh pemuda itu.

Kesepuluh orang itu berlari tak kenal tenaga, semua dipacu.

Tapi sebuah mobil van warna hitam berhenti menghadang mereka. Mereka bersepuluh terkesiap. Mobil siapa ini? Pintu mobil terbuka, entah dari mana, dua orang tiba-tiba saja muncul untuk menyambut orang yang keluar dari dalam mobil van hitam itu.

“Rama. Rey. Bagaimana situasinya?”

Tiga orang turun dari mobil. Rahu Kala, sang sopir Pak Mangku, dan tentunya om Janu.

Kesepuluh pemuda yang tadinya hendak lari berbalik arah menuju gang kecil. “Lari! Lari! Itu pentolan QZK!! Lari kalau tidak mau mati!!”

Om Janu mendengus, ia mengayunkan tangan ke depan dan menjentikkan jarinya. Kekuatan Ki dahsyat tiba-tiba saja muncul. Kesepuluh orang yang lari semuanya jatuh terjerembab ke aspal. “Rey. Rama. Habisi mereka. Jangan sisakan satupun anggota JXG hidup.”

Kedua pemuda itu tersenyum, Reynaldi menekuk kepalanya ke kanan dan kiri. “Ahahaha. Baiklah. Kita berpesta malam ini.”

Om Janu melangkahkan kakinya ke arena pertempuran. Baru beberapa langkah berjalan, di kejauhan sudah terdengar deru gaduh puluhan sepeda motor yang hendak menuju ke tempat itu. Sang pemimpin QZK itu melirik ke arah Rahu Kala. Sang Dewa Iblis sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Pria bongsor itu melangkah dengan tegap ke tengah jalan.

“Sudah tahu kan siapa yang datang? Jangan biarkan siapapun masuk ke arena. Tutup akses apapun taruhannya,” om Janu menepuk pundak Rahu Kala, “aku percaya padamu, Rahu.”

Rahu tidak menjawab. Dia hanya mendengus dan tersenyum sadis.

Malam masih panjang. Hujan tambah deras. Geledek terus bertalu.

Kesepuluh orang yang tadi hendak melarikan diri, tidak selamat malam itu. Nama-nama mereka akan diumumkan sebagai korban yang tewas di tragedi berdarah QZK vs JXG.

Semakin banyak korban berjatuhan.

Siapa lagi berikutnya?







BAGIAN 19.3 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 20


Next : Winter is Coming.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd