Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Sik dap....tak golek gepengan kr rica2 Sikk....muantabbbb....siapp pancallll
 
Ancukk tenan...ngenteni update jalak koyo ngenteni jilbob sblah omahhh....hahaha...Jian ngangeni critane
 
BAGIAN 20
MAHAMERU




“Seni berperang itu sederhana.
Cari musuhmu, kejar dia, habisi dia.
Setelah selesai, lanjutkan yang berikutnya.”

- Ulysses S. Grant





Nanto menggerutu.

Tau begini mending tadi jalan kaki saja.

Mungkin bahkan bisa sampai lebih cepat dari seharusnya.

Beginilah kalau dapat sewa motor yang setengah-setengah, sejak awal digunakan motor bodong yang ia sewa memang sudah bermasalah. Motor itu disewa dari tukang antar galon air di samping tempat penginapan. Karena kondisi, tidak ada pilihan lain – motor itu satu-satunya kendaraan yang bisa disewa dan digunakan.

Masalah pertama adalah jalannya lambat banget. Tidak bisa digeber dengan kencang. Lajunya paling banter 40 km per jam. Bisa-bisa sampai di lokasi semua pertempuran sudah tuntas. Pantesan si tukang galon kelihatannya ikhlas banget nyewain motor sewaktu dikasih uang segepok oleh om Darno.

Tapi ya sudahlah, namanya juga sewa motor dadakan. Masa ya protes. Sudah untung dia bisa dapat kendaraan.

Tapi kemudian masuk ke permasalahan yang kedua.

Awalnya memang hanya masalah akselerasi yang kurang maksimal dalam presentasi, ya tidak apa-apa biar lambat asal selamat yang jadi tumpuan filosofi. Jadi perihal itu masih bisa dipahami dan dimengerti, toh namanya motor bodong, jelas tidak ada tautan kualitas dalam portfolio, dan jelas tidak mumpuni. Tapi kemudian masalah engineering yang jadi klausa harakiri. Giliran sudah sampai di bunderan samsat, motornya mogok, mesinnya mati. Memang sial, mau ngebut saja masih terkena distorsi.

Motor bodong mendadak berhenti. Entah busi, entah aki, entah karburator, entah bagian mana lagi dari motor. Tiba-tiba saja ngadat, mungkin ada yang kotor.

Pokoknya mogok. Diam teronggok.

Nanto tidak akan sempat memeriksa motor itu kalau mengingat jam yang cepat berlalu. Hujan juga semakin deras menderu, seperti akan sangat makan waktu.

Si Bengal mendorong motor bebek bodong yang tadinya ia kendarai masuki ke teras sebuah toko yang sudah tutup. Di sana sudah ada sepasang muda mudi yang tengah mengobrol sembari menunggu hujan reda. Obrolan mereka terhenti saat Nanto dan motornya datang, tapi kemudian berlanjut kembali karena sepertinya percakapan mereka seru.

Di samping mereka ada seorang bapak penjaja krupuk opak yang dagangannya masih utuh di dalam keranjang sepedanya. Bapak itu duduk selonjor dengan lelah. Entah sudah berapa kilometer yang sudah ditempuh sang Bapak hingga malam tiba. Penjaja seperti dia hanya kenal satu rumus, pantang pulang sebelum kosong isi keranjang.

Tak jauh dari sang bapak penjaja opak ada seorang ibu-ibu yang tak melepas helmnya, ia memegang erat tas jinjing bermerk Gucci yang tentunya dibeli di Pasargede. Berulangkali ia mendesah tak sabar menunggu hujan reda. Meski tak melepas helm, nampak wajah lelahnya. Mungkin sang Ibu sudah tak sabar bertemu dengan buah hatinya, mungkin sang Ibu sudah tak sabar beristirahat di rumahnya, mungkin saja sang Ibu ingin sekedar meluruskan kaki usai hari yang berat dan tak henti bekerja.

Lalu di sebelahnya lagi ada seorang pria yang hanya jongkok santai sembari menikmati rokoknya dengan pede. Dia memainkan ponselnya dengan satu tangan tanpa mempedulikan apapun.

Semua pandangan mereka ke depan, ke arah hujan, menanti. Kadang menatap ke atas, berharap. Kadang juga melirik ke kanan atau ke kiri, penasaran.

Bersama merekalah Nanto sekarang, menunggu hujan reda di sebuah teras toko di tengah kota. Tak jauh dari kantor samsat di belakang stasiun kereta.

Kok ya ada-ada saja.

Kalau begini kapan sampainya? Apa ya si Bengal mesti jalan kaki? Ninggalin motor pesen ojek online? Ada bengkel tidak ya di dekat sini? Kalaupun ada ini sudah lewat jam malam, kemungkinan sudah banyak yang tutup. Nanto juga kurang hapal bengkel-bengkel motor di daerah sini.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala si Bengal sementara waktu terus berjalan dan hujan semakin deras.

Sebenarnya jarak ke lokasi pertempuran tidak terlalu jauh dari tempatnya sekarang berada. Samsat ke kanan, lalu turun ke kiri di bawah jembatan kereta api, belok kanan di perempatan, menyeberangi jembatan, lalu naik ke kanan.

Tidak jauh. Kalau dia mengerahkan kemampuan dengan membuka gerbang kecepatan, sepertinya masih memungkinkan. Baiklah, dia akan berjalan ke sana. Dia tidak boleh menunggu lebih lama lagi. Dia harus melakukan perhitungan dengan dua orang yang menyebabkan semua ini terjadi.

Terutama sekali satu SMS yang membuatnya menjadi geram dan geregetan. SMS itu adalah alasan kenapa dia harus ke sana, alasan kenapa Nanto harus hadir di perang QZK vs JXG.

Berhati-hatilah, nyuk. Ada dua orang memerankan tokoh wayang yang sama. Topeng Klana Merah sebenarnya adalah dua sosok yang berbeda yang bergantian peran saat dibutuhkan. Keduanya sudah kamu temui, satu adalah Bos Janu, satu lagi berjuluk Ki Juru Martani. Keduanya sekarang sedang mengincar selatan.”

Om Janu dan Ki Juru Martani. Ki Juru Martani dan Om Janu. Nanto mulai paham sekarang.

Mereka berdua… mereka telah mempermainkannya!

Keduanya ternyata memainkan peran sebagai satu orang yang sama, sebagai seorang pria dengan Topeng Klana Merah. Entah kapan saja keduanya bergantian peran. Untung saja ada yang memberitahunya mengenai wayang yang dimainkan oleh kedua orang licik itu. Tangan si Bengal digenggam erat dengan geram.

Si Bengal membuka aplikasi pesan singkat dan mengabarkan pada om Darno kalau motornya mogok di ruko-ruko dekat bunderan samsat. Ia akan meninggalkan motor itu di tepi teras ruko dan meminta sang tukang galon untuk mengambilnya. Ia meminta maaf karena harus meninggalkan motor itu di jalan. Hujan yang deras mulai turun saat itu, tapi si Bengal sudah tidak peduli.

Saat itulah si Bengal seperti mendengar suara di antara rintik derasnya hujan.

“…Nanto. Mas Nanto.”

Ada yang memanggilnya? Nanto celingukan. Tidak ada siapa-siapa.

Ah, paling-paling ada yang namanya sama. Siapa yang memanggil dan mengenali dia di tempat ini? Yang tahu dia ada di sini saja tidak ada. Bahkan anggota trah Watulanang pun tidak tahu di mana posisinya. Jadi panggilan itu pasti antara halusinasi, mimpi, atau khayalan semata… atau setidaknya ada yang memanggil orang dengan nama yang sama.

“…Mas Nanto!”

Suara itu terdengar kian dekat. Sepertinya suara seorang wanita. Nanto tetap diam sembari memainkan ponselnya, berbalas pesan dengan om Darno untuk memberikan lokasi di mana motornya berada. Dia sendiri sudah bersiap untuk melangkah menembus hujan.

“Mas Nanto!! Dengar tidak sih dipanggil sedari tadi!?” suara cewek itu hanya berjarak satu meter darinya.

Nanto mendongak. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis yang mengenakan pakaian jumpsuit ketat serba hitam di samping motor Kawasaki Ninja. Apa yang dikenakannya cukup nyaman memperlihatkan lekuk tubuh indahnya dan sepertinya anti air. Gadis itu mengenakan helm full-face sehingga si Bengal tidak dapat melihat wajahnya. Motor itu masih menderu-deru sehingga gadis itu harus setengah berteriak memanggil.

Nanto mengerutkan kening.

Gadis itu sekali lagi memanggil. “Mas Nanto.”

Nanto tak berkedip. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu menunjuk ke dirinya sendiri. Ini beneran kan ya? Cewek berjaket dan bercelana hitam di depannya itu memanggil namanya?

“Iya sampeyan Mas Nanto, kan?”

Cewek itu akhirnya memutar kunci motor untuk mematikannya dan berlari kecil ke samping si Bengal. Ia membuka helm full-face yang ia kenakan, sesaat kemudian rambut panjang indahnya tergerai lepas. Gadis itu pun mengibaskan rambutnya, menunjukkan wajah jelita yang rasa-rasanya belum pernah dilihat oleh si Bengal sebelumnya, atau sudah pernah tapi dia lupa.

Belum pernah lihat atau sudah ya? Wajahnya sih sedikit familiar. Rambut indah sang dara jelita harum semerbak mewangi di malam yang dingin.

Bajilak, kok ayu men? Anake sopo meneh iki, jon?

Pemuda cuek yang jongkok tak jauh dari Nanto melirik ke arah sang dara dan mengagumi kecantikannya, termasuk si bapak-bapak penjual opak. Gadis itu memang sungguh menebarkan pesona yang berbeda, misterius dan menggoda.

“Mas Nanto. Maaf kalau tiba-tiba saja. Aku tahu siapa Mas Nanto dan mau kemana sekarang. Jangan tanya bagaimana aku bisa menemukan Mas, panjang ceritanya. Pokoknya aku tahu saja. Lokasi perang JXG dan QZK ada di depan Museum Sang Pangeran, aku bisa mengantarkan Mas, JXG sangat membutuhkan bantuan saat ini. Harap ikut aku sekarang juga, Mas.”

Loh… loh! Sebentar-sebentar… ini kan kejutan mak jegagig yang datang secara mak bedunduk! Darimana pula si dhenok ini tahu posisinya? Darimana asalnya? Dia kawan atau lawan? Kenapa dia harus percaya? Ini sedang perang lho. Siapa pula gadis ini?

Nanto pun segera membanjiri gadis jelita itu dengan pertanyaan, “Bagaimana kamu bisa tahu namaku? Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini? Bagaimana kamu bisa tahu motorku mogok dan…”

“Sudah aku bilang jangan banyak bertanya, Mas. Pokoknya aku tahu. Nanti akan ada penjelasannya tapi tidak sekarang. Waktu kita terbatas dan keadaan sedang sangat genting. Kehadiran Mas Nanto sedang dinantikan.”

Gadis itu membalikkan badan dan membungkuk tepat di depan si Bengal, menampilkan celana hitam super ketat membungkus bulat pantat indah yang membuat jakun sang pemuda naik turun. Pantat itu begitu apik, bulat membulat, mulus menggiurkan.

Tapi… wedhus! Ini bukan saat yang tepat untuk ngaceng, jon!

Gadis itu membuka tas ransel yang ia bawa dan mengeluarkan satu stel jas hujan atas bawah. “Pakai ini, Mas. Kita tidak boleh buang waktu lagi. Kehadiran Mas Nanto akan sangat membantu mengubah angin pertarungan. QZK dan KRad akan menghancurkan JXG, Dinasti Baru, Aliansi, dan Tim Garangan sekaligus kalau Mas Nanto terlambat datang. Gabungan pasukan QZK dan KRAd terlalu kuat, bahkan saat ini ada pergerakan sepasukan besar bala bantuan datang dari kota lain untuk membantu QZK.”

Si Bengal semakin mengerutkan kening.

Sebenarnya gadis itu memang benar, ini bukan saatnya bermalas-malasan dan memikirkan hal-hal lain. Dia harus fokus ke perang yang tengah terjadi. Untuk saat ini, si Bengal rasa-rasanya bisa percaya pada sang gadis. Kalaupun tidak, dia harus menyiapkan diri untuk segala konsekuensi. Nanto akhirnya mengangguk dan mengenakan jas hujan yang diberikan.

Sembari memakai jas hujan itu, si Bengal mulai bertanya-tanya.

“Baiklah. Aku akan ikut denganmu,” ujar Nanto yang mulai serius, “Tapi sebelum kita berangkat, bisakah dijelaskan siapa sebenarnya kamu? Aku tidak mengenalimu dan kita sepertinya belum pernah bertemu. Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Bagaimana kamu bisa mengenaliku, tahu di mana aku berada, dan tahu aku dibutuhkan? Setidaknya berikan aku satu petunjuk supaya aku benar-benar yakin kalau kamu bisa dipercaya.”

Gadis itu menatap Nanto dengan tatapan mata tajam. Ia seperti menimbang-nimbang sesuatu. Tapi tak lama kemudian ia mendesah dan mengambil sesuatu dari dalam kantong jaketnya. Gadis itu mengeluarkan sebuah lencana berlambang. Mirip lencana polisi, tapi bukan. Lencana itu dihiasi oleh lambang tameng berwarna merah yang dikelilingi oleh ornamen emas bersayap dan tulisan jawa di tengahnya. Itu jelas bukan lambang kepolisian, itu lambang yang sangat dikenali si Bengal, sebuah coat-of-arms.

Nanto melotot melihatnya, “P-Pra…?!”

Sebelum Nanto melengkapi kalimatnya gadis itu menutup mulut sang pemuda dengan telapak tangannya, “Betul. Tapi jangan disebutkan,” gadis itu melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang di sekitar mereka yang memperhatikan apa yang dirinya dan Nanto bincangkan, “Terlalu banyak yang tidak perlu tahu di sekitar kita sekarang. Pahami tapi diam dan jangan disebutkan.”

Nanto melotot saat menyadari gadis itu ada di pihak mana.

“Apakah kalian pikir pihak kami akan diam saja dengan semua ontran-ontran ini? Enak saja.” Dara jelita berparas jelita berambut indah itu melepaskan tangannya dari mulut si Bengal dan tersenyum. “Kalau pernah melihatku, barangkali itu karena Mas Nanto pernah bertemu dengan kembaranku.”

“Kembaranmu?” Nanto makin bingung.

Dengan langkah yakin gadis jelita itu pun berjalan menuju motornya. Gadis itu membalikkan separuh badan ke arah si Bengal dan mengedipkan mata. Ia kembali mengenakan helm full-face-nya tapi membiarkan kacanya terbuka. Ia melemparkan satu helm lagi pada si Bengal.

“Erika, namaku Erika.”





.::..::..::..::..::.





Sblk! Bkgh! Bugkkkhh! Brkgh! Bkkkkghh! Sblk!

Kecepatan yang mengagumkan ditunjukkan oleh seorang pria di pertarungan akbar tak jauh dari Museum Sang Pangeran. Memilih pertarungan di area pemakaman, pria dari JXG itu meladeni serangan dari beberapa orang lawan sekaligus. Saat ini, tiga orang roboh di sekitar pria itu, masing-masing bersimbah darah dengan luka menganga – entah karena apa. Tidak ada yang dapat melihat serangan cepatnya.

“Huff… huff… huff…”

Seorang pemuda merangkak menjauh dari arena pekuburan, kakinya yang terluka sudah tak karuan, tulangnya berbelok ke arah yang salah. Dia menarik dirinya sendiri untuk keluar dari arena pembantaian. Dengan melata dan merangkak sebisanya. Beruntung sang punggawa JXG tidak mengejarnya.

Orang yang baru saja membengkokkan kakinya malah berdiri dengan tenang di atas sebuah nisan. Terkekeh-kekeh menatap langit, membuka mulutnya untuk menampung air hujan. Meskipun nisan kayu itu rapuh, tapi sang pria JXG terlihat tak akan jatuh. Itu pasti karena tingkat ilmu kanuragan yang sudah jauh.

Pria yang sesungguhnya terlihat ganjil itu bergoyang-goyang tak tentu. Wajahnya seperti tersenyum meski ia terdiam, sayatan luka mengerikan di wajah membuatnya nampak bagaikan sosok mengerikan di tengah pemakaman. Jubah panjang yang ia kenakan memang basah, tapi sesekali berkibar diterpa angin hujan. Di tangannya nampak menetes darah dari korban-korbannya.

Bukannya memburu musuh, pria di atas nisan itu justru bernyanyi dengan suara yang parau.

“Rindu lukisan mata suratan.
Hatimu nan merindu.
Rindu bayangan nan meliputi.
Paras sari wajahmu.

Mengapa membisu seribu kata.
Mengapa mendusta seribu bahasa.
Mungkinkah bulan merindukan kumbang.
Dapatkah kumbang mencapai rembulan.”


Orang yang sedang bernyanyi itu, tentu saja – adalah pria ganjil berjuluk Hantu, sang punggawa JXG, salah satu dari Empat Anak Panah. Pembunuh berdarah dingin yang konon tak memiliki emosi dan mengalami gangguan mental. Pria dengan pikiran dan kemampuan yang susah ditebak.

Tangan Hantu bergerak menghentakkan tenaga ke bawah. Satu pancang kayu terlontar ke atas tepat ke tangan sang pria ganjil. Ia memegangnya erat, lalu melontarkannya ke atas. Sesuai dengan efek gerak parabola dalam ilmu fisika, pancang kayu itu melengkung ke bawah usai dilontarkan ke atas.

Ujung lancipnya menuju ke bawah.

Menghunjam lurus tepat di atas kepala orang yang sedang merangkak.

Sblp!

Tubuh sang korban mengejang sesaat sebelum berhenti selama-lamanya. Satu nyawa lagi direnggut sang pembunuh tanpa emosi.

Hantu kembali bergoyang-goyang sembari terkekeh-kekeh. Beberapa orang prajurit QZK yang tadinya memburu Hantu saling berpandangan, mereka pun lari terbirit-birit tak lama kemudian. Mau dikeroyok berapa orang pun, butuh seorang petarung kelas A untuk menundukkan sang pria ganjil.

“Sudah senang-senangnya? Kita harus segera mencari Jagal dan Ki Kadar, membantu mereka menghabisi sisa-sisa anggota QZK sebelum semakin banyak yang datang. Shinsengumi X tengah dibantai di dekat jalur keluar selatan. Hanya kita berempat harapan melawan QZK dan KRAd.”

Hantu membalik badan ke belakang, menatap Rogo sang Barakuda yang hanya mengenakan singlet bersimbah darah. Kedua bertatapan dengan pandangan yang tidak dapat dijelaskan. Ia lalu tersenyum, bukan menyeringai seperti biasanya.

Hantu tersenyum lembut.

“Tenanglah. Semua akan baik-baik saja.”

“Hantu?” Rogo terkejut saat mendengarkan suara Hantu yang tak parau. Ia berbicara dengan nada bicara selayaknya manusia normal yang sehat mental dan jiwanya.

“Ssst…” Hantu meletakkan jari telunjuk di bibir. Tanda meminta Rogo untuk diam saja. Ia memejamkan mata dan membuka mulut, kembali membiarkan air hujan langsung masuk ke mulutnya yang cacat karena lebih lebar dari seharusnya. Setelah itu pria ganjil itu menyeka mulutnya dan kembali menatap Rogo sang Barakuda. “Hari yang menyenangkan untuk membantai para bajingan. Aku tidak peduli apakah mereka JXG, QZK, KRAd, PSG, RKZ, Dinasti Baru, Aliansi, atau bahkan yang lain lagi. Aku akan membunuh mereka semua. Mereka harus bertanggungjawab untuk kematian istriku, mereka harus bertanggungjawab untuk hancurnya hidupku, mereka harus bertanggungjawab pada dendam yang membuatku tetap hidup sampai saat ini.”

Rogo mendesah, “Kamu sudah sembuh?”

“Mungkin,” Hantu kemudian terkekeh dan menjilat bibirnya sendiri, “mungkin juga tidak. Mungkin selama ini aku hanya tidak membuka jati diri, mungkin selama ini aku mengelabui semua orang, atau mungkin memang aku baru saja sadar dari tidur panjang.”

“Kenapa berpura-pura gila?” Rogo mendengus. Dia bersiap dengan segala kemungkinan. Hantu adalah manusia yang ganjil, normal atau tidak normal dia tetaplah makhluk yang punya sejuta pemikiran aneh. Rogo tahu orang-orang seperti Hantu bisa saja terlihat normal saat ini dan berubah menjadi gila sedetik kemudian.

“Aku akan membunuh mereka semua, Rogo. Siapapun orangnya, aku yang akan membunuhnya. Janu, Zein, BMW, Jenggo. Semua pentolan utama adalah kunci. Tanpa mereka, perang tidak akan berlangsung, hidup kita akan damai. Kalau ada yang sanggup menuntaskan perang ini sekali untuk selamanya, itu adalah aku – sang Hantu. Benar kan? Kalian mau aku menjadi hantu pembunuh berdarah dingin kan? Sekarang kalian mendapatkannya. Seutuhnya. Aku akan menjadi hantu yang kalian inginkan. Lebih dari itu, aku yang akan menjadi hakim, juri, dan algojo. Heheheh.”

“Kamu sudah gila.”

“Memang. Tidak mungkin kamu baru sadar sekarang kan? Bukankah sejak dulu aku selalu gila,” Hantu tertawa-tawa, “Tapi ayolah… kamu juga punya pemikiran yang sama seperti aku bukan, Rogo? Tanpa adanya para pemimpin yang bajingan itu, kota ini akan lebih tenang dan damai. Kota benar-benar menjadi milik warganya. Tidak perlu takut pada kelompok-kelompok geng yang merajalela menjadi musuh dalam selimut dan momok masyarakat. Sudah saatnya tatanan seperti yang sekarang diubah dan dikembalikan pada masyarakat yang lebih berhak. Hahahahaha.”

Ngomong opo seh. Dasar wong ra cetho. Aku hanya akan menanyakan satu hal saja, Hantu! Jadi kamu akan meninggalkan kami? Begitu saja? Sekarang juga? Di tengah peperangan yang masih berlangsung?” Rogo menatap Hantu dengan tajam, “Apakah dalam hati kecilmu tidak ada sedikitpun rasa bersalah meninggalkan JXG yang tengah dibantai oleh QZK dan KRAd? Apakah kamu akan meninggalkan mereka yang selama ini bersamamu, berbagi makan di satu meja, selalu mendukung dan menghormatimu. Kalau memang kamu tidak gila, seharusnya kamu punya nurani. Apakah kamu tega?”

“Tega? Menanyakan tega kok sama aku. Aku hanya seorang pembunuh, Rogo. Tanganku belepotan darah. Aku akan bersalah kemanapun aku melangkah. Mungkin memang lebih baik aku meninggalkan kalian. Aku yang akan menanggung bebannya. Carilah pengganti posisiku di JXG. Mulai sekarang, tidak ada lagi Hantu di Empat Anak Panah. Aku adalah seekor burung yang terbang bebas di angkasa,” Hantu mengepakkan tangannya seperti burung.

“Bedebah! Kamu tidak akan semudah itu pergi dari JXG, Hantu.” Rogo mengeluarkan energi Ki-nya untuk memperluas ruang pertahanan. Hantu adalah petarung bertipe aggresor, kalau dia berniat menyerang, dia akan menyerang. Dia bersiap meskipun Rogo tahu sekali Hantu tidak akan menyerangnya. “Setelah semua yang Pak Zein lakukan untukmu! Setelah semua yang kamu lalui! Setelah Pak Zein mengangkatmu dari keterpurukan, mengembalikan kehormatanmu, bahkan menjadikanmu tokoh yang ditakuti! Inikah balasanmu terhadap beliau?”

Rogo menghentakkan tenaga dalamnya. Aura tenganya menghempas bagaikan angin kencang hingga membentuk satu parameter lingkaran beberapa meter di sekelilingnya, kehebatan tenaga itu jelas tidak main-main. Rogo sang Barakuda adalah komandan pilih tanding dari pasukan Pak Zein. Para prajurit QZK yang hendak menyerang pun memilih kabur melihat hempasan tenaga Rogo yang menjatuhkan beberapa nisan. Para prajurit yang tak sempat lari terkena hempasan aura itu dan bergelimpangan jatuh. Ilmu kanuragan sang Barakuda memang prima. Mereka semua ketakutan.

“Kamu tidak akan bisa kabur dariku, Hantu.” Rogo sang Barakuda menjejakkan kakinya ke bawah, membentuk tapak raksasa yang tenggelam makin dalam ke tanah. Air hujan yang turun memberikan kesegaran bagi sang Barakuda.

“Aku tidak akan pergi kemana-mana, heheheh. Justru sedang menunggu kehadiran orang yang di sana,” Sang pria ganjil hanya terkekeh-kekeh. Ia lalu menunjuk ke satu arah. Ke ujung kuburan. Ada bayangan hitam besar di sana.

Rogo membaca Ki pria yang baru saja datang. Perasaannya langsung tidak enak, Ia meludah ke tanah. Ki ini lebih besar dari yang tersirat. Bukan pria sembarangan.

“Nah-nah… ada apa ini? Sesama saudara kok berantem, pamali tau,” tiba-tiba saja terdengar suara dari ujung kuburan. Satu sosok pria melompat-lompat dari satu nisan ke nisan lain dengan ringannya. Seakan-akan dia tidak ingin kakinya menjejak tanah pemakaman yang mulai becek. Gerakannya begitu ringan padahal tubuhnya amat tambun, “Rogo sang Barakuda dan Hantu. Apa kabar kalian? Selamat datang di akhir dunia.”

Rogo bersiap dengan kuda-kuda. Aura tenaga dalamnya semakin menanjak. Kepalan tangannya makin kencang menggenggam.

Kali ini Hantu terbang dan berdiri dengan santai di nisan kayu yang berada di sebelah Rogo.

“Mari kita bekerja bersama untuk terakhir kalinya, Hantu.”

Hantu tidak menjawab, dia hanya menggoyang-goyangkan badan dengan mengerikan, menatap ke depan dengan pandangan mata tajam. Aura Ki-nya tidak terbaca. Dia malah menyanyi dalam senandung pelan.

“Rindu katakan rindu usah kau
malu karena asmara.
Risau engkau risau Dik Aku pun,
maklum maksud tak sampai
.

Rindu hatimu, akupun demikian.
Rindu sudah nasib untung di badan...”


“Apa kabar kalian? Mudah-mudahan sehat-sehat saja sebelum aku bunuh malam ini, haahahah.” Pria yang baru saja datang tertawa-tawa dengan keji tanpa mengindahkan nyanyian si gila, “Mari adu ilmu kalian dengan Hikayat Pemuja Malam milik Raja Para Anjing. Mana yang lebih unggul? Hahahahahahah.”

“Bedebah bangsat, akhirnya bertemu juga denganmu.” Rogo meludah ke tanah. Ia menggoyangkan kedua lengannya, menyiapkan kepalan.

Sang Barakuda melompat tinggi sepenuh tenaga.

Hantu tertawa-tawa. Ia tiba-tiba saja juga meloncat tapi hanya di tempat. Uniknya dalam sekali lompat ia kemudian membalik badan, satu tangan menapak nisan, kaki di udara. Setelah tubuhnya menjulang vertikal secara terbalik, kakinya dibentangkan, lalu ditekuk dengan telapak menghadap ke atas.

Kini kedua tangan Hantu menggenggam erat nisan.

Tiba-tiba saja Rogo mendarat tepat di telapak kaki Hantu. Dengan memutar badan, Hantu melontarkan tubuh kawannya ke depan seperti melemparkan cannonball.

Kabooooooom!!

Serangan ganda meledak. Kekuatan Rogo ditambah dengan lontaran dari Hantu. Cannonball berkekuatan ganda. Kedua lengan Rogo lurus ke depan, membentuk garis lurus bagaikan anak panah.

Sang Raja Para Anjing meraung, dia bersiap dengan pertahanan.

Hikayat Pemuja Malam. Pemuja Hantu Penunggu Ladang.” Jenggo menyepakkan kakinya ke tanah, membentuk satu putaran setengah lingkaran. Wajahnya yang gempal berubah menirus dan mengecil, matanya kini menjadi gelap total, rambutnya terlihat acak-acakan seperti ijuk orang-orangan sawah. Tangan kanan dan kiri melambai-lambai seperti pancang kayu tertiup angin. Bagi yang tak melihat, jurus ini terlihat unik. Bagi yang bisa melihat – di depan Jenggo kini seperti ada tembok tanah yang mencuat dari bawah.

Jarak sudah tak lagi jadi pembatas, keduanya kini sudah sangat dekat, Rogo dengan kecepatan tinggi bertemu dengan Bambang Jenggo. Rogo mengangkat kedua lengannya dan bagaikan menabuh genderang, ia mengayunkannya ke depan sekuat tenaga.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Pertemuan dua kekuatan terjadi.

Rogo terlempar mundur saat kepalan kedua tangannya membentur tembok yang dibangun oleh Jenggo. Ia terlontar hampir membentuk satu lingkaran penuh. Bahkan ketika sudah menyentuh tanah, ia tetap terseret mundur ke belakang karena kuatnya hempasan dari Jenggo.

Rogo menundukkan badan dan menancapkan kedua tangannya ke tanah becek, menggunakannya sebagai kait untuk menahan tubuh. Ia terseret mundur tapi masih terkendali. Seketika di tanah tercipta jalur yang terbuat dari tarikan jemari Rogo sang Barakuda. Pria dengan bibir bawah lebih maju dibandingkan bibir atas itu mendongak, mengangkat kepalanya.

Jenggo sudah berada tepat di depan wajahnya, masih dengan wujud yang sama. Kedua tangan Jenggo yang bak pancang kayu melontarkan pukulan ke arah Rogo dengan gerakan unik yang kaku. Rogo pun mengangkat kedua tangannya sebagai pelindung untuk menutup wajah. Rogo terkecoh. Itu jurus tipuan. Karena justru kaki Jenggo-lah yang terangkat untuk menghentak dadanya.

Booooom!

Tubuh Rogo tersentak ke belakang dan jatuh terguling-guling menimpa beberapa makam dan menghancurkan beberapa nisan yang terbuat dari kayu. Ia baru berhenti setelah terjatuh di sebuah kubangan lumpur.

Jenggo terbang mengejar ke depan.

Ia terhenti oleh satu gerakan tendangan berputar ke arahnya.

Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh!

Lima tendangan beruntun ditahan oleh satu lengan. Jenggo meraung kesakitan dan mundur beberapa langkah ke belakang. Serangan itu menyelamatkan Rogo yang kini terengah-engah dan mencoba bangkit, tapi tak seberapa efektif untuk menundukkan sang Raja Para Anjing.

Tentu saja tendangan itu berasal dari sang pria ganjil, Hantu.

Meski tak berhasil melukai – Hantu dan Rogo tetap beruntung, karena Bambang Jenggo tetap terdesak mundur karena terkejut dengan serangan mendadak. Pria gempal itu lalu meraung kencang dengan kesal, ia merubah wujud lagi.

Rogo mendengus.

Hantu terkekeh-kekeh.

Langit berpendar terang saat satu geledek menyambar angkasa.

Raungan kembali terdengar. Bagaikan membelah diri, Jenggo melesat ke dua arah dengan kecepatan tinggi tanpa terdeteksi. Untuk seseorang bertubuh gempal, hal itu jelas mengerikan sekaligus menakjubkan. Ledakan energi terjadi, tiba-tiba saja kekuatan dan kecepatan Jenggo meningkat drastis. Mengejutkan Rogo dan membuat Hantu tertegun. Keduanya mencoba beralih dari posisi masing-masing, tapi terlambat.

Bledaaaaaakghhh! Bledaaaaaaaaaaaaakghhh!

Rogo dan Hantu sama-sama terpental ke belakang. Keduanya terguling-guling bermandikan lumpur. Baju keduanya robek-robek karena terseret dan tersangkut apapun yang ada di jalur mereka. Nisan, batu makam, ranting pohon, akar kamboja, semuanya tiba-tiba saja menjadi penghalang.

Baik Rogo maupun Hantu mengeraskan jemari, membentuk cakar, memperkuatnya dengan Ki, lalu mencengkeram tanah. Mereka memang terseret dan terbanting-banting, tapi cakar mereka mampu menahan derasnya hempasan tubuh mereka.

Keduanya akhirnya berhasil berhenti setelah terpental cukup jauh dari Bambang Jenggo. Baik Rogo maupun Hantu membungkuk dan menatap ke depan. Keduanya masing-masing membanjiri tubuh mereka dengan Ki. Pertarungan malam ini masih jauh dari usai.

Sang Raja Para Anjing kembali berubah bentuk, matanya memerah, tubuhnya membesar, otot-ototnya mengeras, rambutnya tak beraturan. Ia mendengus-dengus, mulutnya terbuka, air liur menetes-netes tak beraturan, gigi-gigi menyeringai tajam, lidah menjulur panjang ke arah tak tentu.

Hantu terkekeh-kekeh. Ia menyukai ini.

Rogo mendengus. Ia sama sekali tak menyukai ini.

Bambang Jenggo meraung di tengah malam.





.::..::..::..::..::.





Rahu Kala berkacak pinggang di tengah jalan raya yang luas.

Kondisi sepi tanpa ada satu pun kendaraan melintas. Pihak kepolisian sepertinya sudah menutup jalan dari arah selatan maupun utara.

Jalan raya itu memiliki sebuah jalan berkelok yang bercabang. Jika masuk dari arah utara hendak ke Museum Sang Pangeran, maka setelah pompa bensin pilih jalan yang kanan, ke arah Soto Pak Saleh masuk terus ke kanan. Jika hendak ke arah kantor Badan Pemeriksa Keuangan, maka memilih jalan yang sebelah kiri.

Rahu Kala berdiri tepat sebelum percabangan.

Berkacak pinggang, cengengesan, tak peduli ada puluhan motor yang datang ke arahnya dengan suara menderu dari arah utara. Sang Dewa Iblis bukannya tidak siaga. Dia sudah memindai dan saat ini tidak membaca adanya orang dengan Ki yang besar dari arah rombongan pemotor yang mendatanginya. Berdasarkan apa yang dia telaah, mereka semua bisa ditangani dengan mudah. Itu sebabnya dia berdiri di tengah jalan dengan penuh percaya diri.

“Apakah anda bisa mengatasi mereka, wahai Dewa Iblis?” tanya Muge Monster yang berdiri di sebelahnya. Muge, Syam, dan Agus Lodang yang meninggalkan arena pertempuran di rumah sekap kini sudah sampai di kawasan Museum Sang Pangeran untuk memberikan back-up. Mereka juga menyiagakan pasukan. Dengan kehadiran mereka, kekuatan QZK dan KRAd sudah berlipat ganda karena om Janu dan rombongan dari Trah Watulanang juga sudah datang.

Syam dan Agus Lodang masuk ke arena, sementara Muge berjaga di luar bersama dengan Rahu Kala. Muge ditugaskan memimpin pasukan penghadang.

Rahu tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sang punggawa Perisai QZK. Tapi pria bertubuh raksasa itu melirik ke arah Muge dengan pandangan meremehkan. Apakah selama ini Muge tinggal di gua terpencil? Tidak tahukah dia bagaimana kekuatan Rahu Kala yang sebenarnya?

Baiklah. Dibuktikan saja kalau begitu.

Jarak antara mereka berdua dengan rombongan bermotor masih cukup jauh, tapi terlihat kalau kawanan yang datang tak mengurangi kecepatan. Rahu berdiri di tengah jalan raya. Ia menghunjukkan kedua lengannya ke depan dan memutarnya berlawanan dengan arah jarum jam. Sang Dewa Iblis kemudian membuka telapak tangan, menautkan ujung terbawah telapak kanan dan kiri, lalu menarik mundur perlahan kedua telapak tangan itu hingga sebatas sebelah kanan pinggang.

Ada Ki besar yang terkumpul di sana, tangannya menangkup dan saat terbuka, kekuatannya menjadi satu kesatuan energi yang maha hebat. Siapapun yang saat itu berada di dekat Rahu Kala akan merasakan getaran yang makin lama makin menguat, getaran yang bahkan terasa di aspal jalanan yang saat itu menjadi alas mereka berdiri bagaikan gempa bumi lokal. Muge bahkan merasa dia harus mundur daripada berada di dekat Rahu Kala.

Muge Monster menatap sang Dewa Iblis dengan pandangan tak percaya. Orang ini benar-benar… benar-benar mengerikan! Sang Dewa Iblis tak bergeming sampai kemudian terdengar suara dari mulutnya.

Tch!

Rahu Kala mengayunkan kedua telapak-tangannya ke depan. Ayunan itu menghempaskan energi Ki yang tak terkira besarannya. Tenaga super meledak dari kedua tangan Rahu Kala, menerjang rombongan motor terdepan yang saat ini melaju kencang ke arahnya.

Kaboooooooooom!

Rombongan motor itu langsung porak poranda tanpa ada bisa menyadari apa yang baru saja menerpa. Beberapa motor jatuh seketika. Ada yang terlempar ke belakang, ada yang terguling, ada yang terguncang hebat, ada yang terhempas bagaikan menabrak sebuah dinding baja. Untung sebagian masih mampu menghindar dari terjangan Ki sang Dewa Iblis.

Sekali serang dan seketika rombongan yang datang langsung kacau balau.

Rahu Kala terkekeh, dia menghapus bibirnya dengan punggung tangan, lalu berjalan maju ke depan dengan langkah ringan, dia tidak ingin hanya diam. Dia ingin membunuh. Kedua tangannya berselimut tenaga dalam ekstra, pertahanan ketat membungkus tubuh raksasanya. Meski di malam yang sama dia sempat bersinggungan dengan Nanto, tak nampak tanda-tanda luka yang membuatnya lemah.

Melihat kehebatan Rahu Kala membuat Muge tersenyum culas di kejauhan. Mereka punya senjata rahasia yang bahkan bakal merepotkan pimpinan Dinasti Baru sekalipun.

Muge pun segera mengatur pasukankan lagi, membagi mereka menjadi beberapa lapis, berjaga di kanan dan kiri jalan raya yang cukup lebar. Siapapun yang datang, mereka harus bersiap untuk menghadapi pasukan QZK lipat ganda.

Tiba-tiba saja.

Terdengar deru sepeda motor yang memisahkan diri dari rombongan.

Satu cahaya merah berkelebat dari arah satu motor yang datang. Cahaya merah itu terbang dengan kecepatan tinggi, melesat tanpa peduli, dari arah kanan, melompat dari satu atap ruko ke genteng rumah orang. Lompatannya jauh dan tak terdeteksi. Dia menghindar dari tengah jalan dan konfrontasi langsung dengan Rahu Kala.

Cahaya merah itu berkelebat ke arah pasukan yang dipimpin oleh Muge. Satu persatu dari anggota QZK dalam pasukan itu tiba-tiba saja terlontar ke belakang, ke samping, ke depan, dan jatuh terguling-guling dengan kepala terkena sepakan teramat kencang.

Muge terkejut melihatnya.

Dia tidak mengira akan ada yang datang dengan secepat itu dari jarak sejauh itu.

“Bersiap semuanyaaaaa! Mundur semuanyaaaa! Perkuat barisaaan! Mundur! Halangi mereka masuk gang ke Museum!!” Muge berteriak dan meminta pasukan menambah lapisan sekaligus bergerak ke belakang untuk bertahan.

Cahaya merah itu mendarat dengan perkasa di depan pasukan Muge.

Cahaya merah itu adalah seorang pemuda berkacamata berjaket merah. Wajahnya mengeras dan kepalan tangannya tergenggam kencang di tangan. Energi Ki yang keluar dari dalam tubuhnya bagaikan dinamit yang meledak-ledak, tidak tentu, tidak pasti, dan tidak bisa ditakar dengan mudah seberapa besar kekuatan sebenarnya dari si cahaya merah.

Cahaya merah itu tentunya adalah Roy – sang pengendara angin, anggota Lima Jari, dan punggawa Aliansi. Dia baru saja menjatuhkan beberapa anggota pasukan QZK dengan tendangan mautnya.

Rahu Kala melihatnya, ia hendak bergerak menyergap sang cahaya merah itu ketika tiba-tiba saja ada raungan yang menerjang posisinya.

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrr!

Jurus Raungan Singa Emas. Tak perlu jadi jenius untuk tahu siapa yang datang menyerang.

Rahu menyilangkan kedua tangan di depan wajah, bukan karena dia takut serangan itu akan melukainya. Raungan Singa Emas dari jarak jauh tak akan bisa menembus pertahanan sang Dewa Iblis yang prima. Dia bertahan karena dia ingin bertarung. Lagipula Rahu bukan pengecut, dia hanya bermain taktis, dan menunggu serangan datang lebih dekat lagi. Pertarungan jarak jauh tidak disukainya.

Serangan jarak jauh itu bagaikan hembusan angin yang menyejukkan bagi sang Dewa Iblis, bukan hempasan mematikan. Kaki Rahu Kala kokoh bertahan di jalanan, bagaikan pancang yang kencang menancap. Ia hanya tersenyum saat menerima hempasan dari Raungan Singa Emas yang bahkan tak membuatnya bergeming.

Beberapa motor mendekat, ada yang pengendaranya membawa rantai panjang, ada yang membawa kayu berpaku. Motor-motor itu menderu kencang ke arah sang Dewa Iblis. Rahu sudah siap dengan semua kemungkinan, tapi dari semua kemungkinan yang ada - Ia hanya tertawa.

Rantai besi dilontarkan bak cambuk. Dengan kecepatan motor yang tinggi, cambuk besi yang dilontarkan itu seakan-akan sanggup membelah batang pohon. Kecepatan ditambah kekuatan, akan jadi sangat mematikan.

Seharusnya.

Sbprb!

Lecutan rantai besi melingkar di tangan sang Dewa Iblis!

Tangan Rahu Kala dibentangkan ke atas, rantai itu melilit lengannya, motor berputar-putar mengitari, hendak menjebak dan menjatuhkan tubuh sang monster. Tapi Rahu Kala tak bergeming, ia hanya berdiri tegap dan mengeluarkan erangan bengis.

Dengan kekuatan hebat dalam sekali sentakan, Rahu Kala menarik rantai itu!

Bruaaaaaakghhh!

Sang pengendara motor yang berharap rantai besinya sanggup mengoyak tubuh sang lawan harus kecewa, karena justru dialah yang kini terjatuh di aspal di depan sang monster nan mengerikan! Lagipula apa yang diharapkan oleh seorang kroco saat berhadapan dengan seorang Dewa Iblis?

Sang pemuda pelontar rantai ditarik dengan kencang menyusur aspal!

Rahu mengangkat sebelah kakinya, dan dengan satu kekuatan Ki hebat membungkus, kaki itu dihunjamkan ke bawah dengan mengerikan ke arah kepala sang lawan! Pemuda itu berteriak ngeri.

Blaaaaaaaamn!

Pemuda rantai berhasil ditarik ke belakang tepat waktu. Seandainya tidak, kepalanya akan amblas dipecah oleh kaki baja Rahu Kala. Sang Dewa Iblis berteriak kesal, ia melaju ke depan mengejar sang pemuda rantai dan kawannya yang menarik ia menjauh.

Belum sampai mendekat, kayu berpaku sudah menyambut wajah Rahu.

Meski bongsor, Rahu Kala punya kecepatan tinggi yang mengerikan, ia turun ke bawah, merunduk, membuat kayu berpaku itu melewati bagian atas kepalanya dengan presisi. Tangan Rahu mengepalkan tangan kanan yang kemudian dilontarkan ke samping kiri.

Bledaaaaaaaaaaaaaam!!

Sang pemegang kayu mencelat jauh dari posisinya, terhentak ke arah belakang tanpa sempat melihat apa yang baru saja menghantamnya. Ia jatuh berdebam dan terguling-guling ke arah beberapa anggota QZK yang langsung mengerumuni dan menginjak-injaknya bagai sekawanan zombie bertemu mangsa. Dia tidak akan selamat malam ini.

Entah dari lapis pengendara motor ke berapa, seorang pria melompat dari jarak jauh, menyiapkan kepalan, berteriak kencang, dan langsung menghempaskan bogem mentah berselimutkan Ki ke arah Rahu Kala.

Yang satu ini jelas bukan petarung kacangan seperti sebelum-sebelumnya. Kroco yang ini kroco yang sok linuwih. Rahu mendengus dan menyiapkan telapak tangan untuk menyambut hantaman yang dilontarkan.

Booooom!

Rahu tersenyum, hanya dengan satu tangan, ia berhasil menahan serangan itu.

Tidak itu saja.

Sang Dewa Iblis memutar setengah badan dan menjalarkan energi ke telapak tangannya. Ia mementalkan tubuh sang pelompat yang baru saya menyerang. Tapi penyerang itu tidak lantas terlempar begitu saja, ia memutar badan di udara bak gasing dan mendarat dengan sempurna di depan Rahu Kala. Dia memang berbeda.

Penyerang itu adalah seorang pemuda. Seorang pemuda yang terlihat lelah, marah, dan penuh sumpah serapah. Dia kroco yang berbeda. Ki-nya naik turun tak menentu, tanda ia sebenarnya belum sepenuhnya menguasai apa yang dia gunakan. Ada tanda-tanda campuran ilmu hitam juga dalam pattern Ki yang digunakan.

Pemuda itu bukan seorang asing.

Sang Dewa Iblis mengenali pemuda di hadapannya, mereka pernah bertemu sebelumnya, dan sang Rahu juga pernah menghajarnya habis-habisan. Rahu pun terkekeh.

“Kamu lagi,” Rahu Kala melontarkan ludahnya ke kanan, “masih belum puas disiksa? Butuh berapa kali lagi mencoba sebelum kucabut nyawamu? Sudah untung kemarin kamu selamat, kenapa sekarang malah mengantarkan nyawa? Mau menyusul si bencong?”

“Bangsat bongsor! Jangan berani-berani mengucapkan hal buruk tentang guru sejatiku,” Deka melangkah dengan berani di depan Rahu Kala. Ia menyiapkan tenaga dalam sesuai ajaran om Tarjo. Ia menunjuk ke arah sang lawan, “Rahu Kala, meski kamu yang menutup jalan. Kami tetap akan menembusmu. Aku akan menembusmu. Lihat saja nanti.”

“Bhuahahahahahahahahhaa… bagaikan kodok merindukan rembulan.” Rahu Kala tertawa cekakakan, “bisa apa kamu sendirian?”

“Tenang saja, Kun.” Satu tangan menepuk pundak Deka, seorang pria berambut gondrong melepas jaket jeans-nya. Dia mengenakan singlet hitam yang sudah kotor, pria gagah dan tampan itu melirik ke arah Rahu Kala. “Jangan jumawa, sesepuh. Dia tidak sendirian. Ada aku.”

Di samping Deka muncul Amar Barok - sang Panglima Singa Emas mensejajarinya. Kakak beradik penguasa ilmu kanuragan tinggi itu bersanding.

“Jangan lupakan kami juga.”

Dua motor berhenti, dua orang turun. Simon Sebastian sang pemuncak gunung menjulang menyusul, begitu juga Rao sang Hyena gila. Simon langsung menyiapkan jurus andalannya, tangan kanannya menyala bagaikan terbakar energi Ki.

“Hehehheeh, Rahu Kala – orang yang konon titisan Dewa Iblis,” tawa Rao tidak enak didengar, “Dewa iblis kok diperintah pimpinan QZK, Dewa Iblis kok tunduk sama seorang penasehat culas bertopeng. Yang seharusnya memimpin sebagai petinggi, malah diperintah sebagai bawahan. Apalah arti kekuatan kalau dungu dan punya otak udang.”

Rahu Kala mendengus, lalu tersenyum. “Ngomong apalagi kalian bocah-bocah prengus? Sok tau aja kalian ini. Biar aksi saja yang bicara.”

“Ada fozil bicara zoal prenguz.” Rombongan itu ditutup dengan Hageng yang berjalan santai ke depan sang Dewa Iblis..

Mereka berlima langsung memasang kuda-kuda. Lima sejajar melawan sang angkara murka.

Satu lawan lima. Lima lawan satu. Rahu Kala sang Dewa Iblis menghadapi perlawanan Aliansi – Amar Barok, Deka, Hageng, Rao, dan Simon.

Mereka berlima tahu, kalau mereka tak bisa membuka garda terdepan yang dijaga oleh Rahu Kala, maka pasukan Dinasti Baru dan Aliansi tak akan pernah bisa masuk ke area pertempuran di depan Museum Sang Pangeran. Tugas mereka adalah seberat-beratnya tugas. Mampukah mereka berlima melakukannya?

Sementara itu tak jauh dari posisi Rahu Kala versus Aliansi, Om Kimpling dari rombongan Dinasti Baru membagi pasukannya. Mereka jelas tidak akan pernah bisa mengalahkan Rahu Kala, berhadapan dengan sang Dewa Iblis sama saja artinya seperti setor nyawa. Tapi mereka tetap bisa berguna, mereka ditugaskan merangsek dan adu tempur dengan pasukan penghadangnya Muge sang Monster yang ada di sisi kanan dan kiri Rahu Kala.

Saat Om Kimpling membagi pasukan Dinasti Baru, di sebelahnya berdiri dua sosok kakak beradik yang kini tampil garang. Salah satunya adalah sang cahaya merah yang tadi membuat kocar kacir kubu lawan. Satunya lagi?

Bian dan Roy berdiri di samping om Kimpling, kedua adik kakak kembar itu saling dukung membantu.

“Awas jangan gegabah, pasukan lawan punya seabrek letnan kawakan,” ujar Om Kimpling pada si kembar. “Terutama sekali awasi Muge sang Monster. Dia tidak disebut monster tanpa sebab. Dia taktis, cerdik, dan punya ilmu kanuragan dan kemampuan di atas rata-rata. Itu sebabnya dia terpilih sebagai salah satu dari Empat Perisai."

“Siap Om.” Bian menganggukkan kepala.

Muge yang melihat kehadiran om Kimpling jelas marah dan kecewa.

“OM KIMPLING! Kenapa ikut turun kemari? Ini bukan persoalannya Dinasti Baru! Ini antara QZK dan JXG! Ngapain kalian ikut-ikutan?” teriak Muge mencoba mencari penjelasan, sebenarnya dia tidak peduli apapun urusan Dinasti Baru. “Apakah ini berarti Dinasti Baru sudah ingin punah di tangan kami?”

Om Kimpling menyalakan tenaga dalamnya. “Tidak perlu banyak bicara, Muge! Kalian tukang bikin kisruh kota! Dasar brengsek! Punya kota yang adem ayem kok tidak bersyukur! Bukannya dijaga malah bikin ribut melulu! Sudahlah! Ini waktunya Dinasti Baru yang akan menjalankan perintah membantu Ngarso Dalem mengamankan kota! Sudah saatnya Dinasti Baru menjadi yang utama!”

Roy dan Bian saling berpandangan, menjadi yang utama?

Apakah ini artinya mereka berdua membantu Dinasti Baru untuk mengalahkan JXG dan QZK yang sama-sama sedang saling bertempur demi kekuasaan semata? Di satu sisi jelas bukan itu yang mereka inginkan, tapi di sisi lain mereka sangat membutuhkan kekuatan Dinasti Baru untuk menghadapi QZK dan KRAd yang sangat kuat.

Kalimat itu menyadarkan si Kembar. Untuk saat ini, mereka bersatu karena mereka memiliki lawan yang sama. Tapi di lain kesempatan, bisa jadi Aliansi akan berseberangan dengan Dinasti Baru.

Roy dan Bian tidak sempat berpikir lebih jauh lagi karena sesaat kemudian pasukan QZK merangsek ke depan untuk menyerang mereka.

Bian masih terdiam ketika Roy meliriknya.

Roy memukul bahu sang kembaran perlahan, “Tidak usah dipikirkan. Yang penting kita lewati saja hari ini dengan sekuat tenaga. Tidak perlu ikut campur memikirkan politik, itu bukan urusan kita setidaknya untuk saat ini. Urusan kita adalah menghancurkan pertahanan QZK untuk bisa masuk ke dalam.”

Bian mengangguk. Sesaat kemudian ia melihat sesuatu di kejauhan, Bian memicingkan mata. Bukankah itu… itu kan… Bian melihat seorang gadis di kejauhan. Gadis yang sepertinya ia kenali. “Aku harus ke sana. Ada sesuatu yang…”

Roy mengangguk tanpa menunggu Bian menyelesaikan kalimatnya. Keduanya tahu apa yang harus dilakukan. Bian melesat ke arah kiri, sedangkan Roy ke kanan.

Roy kembali meloncat untuk naik ke atas atap sebuah rumah sampai kemudian langkahnya terhenti. Di hadapannya kini ada sesosok pria yang menunjukkan kekuatan Ki teramat besar. Pria itu bukan pria sembarangan, mereka sudah pernah bertemu sebelumnya.

“Kamu lagi kamu lagi. Beruntung sekali dulu aku tidak serius jadi kamu masih bisa hidup sekarang,” ujar pria yang menghadang Roy, “tapi sudah diberi hidup pun masih tetap bodoh. Kenapa malah sekarang menyerahkan nyawa? Masih belum puas mandi racun?”

Ada asap hitam keluar dari sang penghadang, imbas dari energi ilmu hitam yang tengah dikerahkan. Tangan sang penghadang berubah menjadi hitam. Itu adalah ilmu yang paling dikuasai oleh sang Durjana, musuh bebuyutan Roy. Cakar Tangan Hitam.

“Reynaldi,” desis Roy penuh dendam.

Rey menunjuk ke arah Roy. “Malam ini kita tuntaskan.”

“Setuju.”

“Malam ini kita tentukan siapa yang berhak meniduri Rania selanjutnya. Siapapun yang menang akan mengebiri yang kalah,” Reynaldi tertawa-tawa dengan aturan yang ia ciptakan. Ia jumawa dan menganggap Roy bukan apa-apa. Tapi sejenak kemudian ia terdiam, saat menyadari besarnya energi Ki dari Roy yang terus menanjak naik. Wajahnya mengeras dan ia pun mengumpat, “Bangsat.”

Roy mendengus, justru bagus ia tadi dihina oleh sang Durjana. Kemarahannya adalah bensin yang membakar ilmu kanuragannya, Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah. “Kenapa jadi terdiam? Ayo berkicau lagi.”

Rey kembali menyeringai, ia menyiapkan kuda-kuda, “Ah tidak. Aku hanya membayangkan kontolku keluar masuk di memek istrimu. Pasti dia jarang sekali dipuaskan pria lemah seperti kamu. Aku yakin Rania pasti ingin dikasari di ranjang seperti dulu ketika dia melenguh-lenguh nikmat sewaktu aku perkosa. Aku tidak akan pernah melupakan rona wajahnya sewaktu kontolku yang besar masuk dan keluar lubang vaginanya yang saat itu masih rapat… saat itu masih rapat, sekarang pasti sudah lebar sekali ya? Hahaha… maaf kontolku benar-benar besar… memek Rania pasti jadi menyesuaikan dengan…”

Roy geram. Ia benar-benar marah, tenaga Ki-nya menghebat. “Satu kata lagi, bajingan. Satu kata lagi. Aku tidak akan segan-segan.”

Reynaldi tertawa, “Kenapa harus takut? Kenapa harus takut pada seorang pria yang wanitanya sudah pernah aku gauli… berulang-ulang kali? Hahahahahaha. Kamu ini sudah puas meski hanya menerima bekas kont…”

Reynaldi sungguh gegabah. Belum selesai ia mengucapkan kata, tiba-tiba saja Roy sudah berada di hadapannya. Secepat kedipan mata. Kaki Roy melesat membentuk satu lingkaran besar, mengincar kepala sang Durjana.

Bledaaaaaaaaaaaakghhhhhhh!

Ketika kaki Roy hampir mengenai wajah Reynaldi, pria brengsek itu menyilangkan kedua tangannya. Pertahanan ilmu hitam yang dikuasai Rey juga bukan ilmu abal-abal. Pertemuan kedua tenaga hebat menyebabkan benturan yang tak kuasa ditahan oleh atap genting berumur.

Bruaaaaaaaaaaaaaaakghhhhh! Bruaaaaaaaaaaaaaaakghhhhh!

Kedua petarung jatuh ke dalam rumah tua yang sudah dikosongkan penghuninya. Mereka amblas menembus plafon, jatuh ke dalam pawon. Beruntung atap rumah itu tidak terlalu tinggi dan kedua petarung dilindungi oleh ilmu yang mumpuni.

Bruaaaaaaaaaaaaaaakghhhhh! Bruaaaaaaaaaaaaaaakghhhhh!

Roy mengerang kesakitan karena ia jatuh berdebam menghantam lantai. Tulang-tulangnya terasa lolos dari tubuhnya. Ada sesuatu yang… celaka! Saat membuka mata, ia baru menyadari kalau lehernya sudah dilingkari oleh telapak tangan Reynaldi. Satu telapak tangan lagi sedang mencengkeram dadanya.

“Ada alasannya kenapa orang bodoh semakin bodoh dan orang pintar semakin pintar,” ledek Reynaldi.

Roy merasa tenaganya disedot oleh Cakar Tangan Hitam.

Ia hendak berteriak tapi lehernya terjepit.

Ruang pawon yang gelap jadi semakin gelap.

Gelap.





.::..::..::..::..::.





Di sebuah warung gudeg yang tersembunyi di belakang ruko-ruko yang berjajar di depan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri, tepat di seberang selokan besar. Kapten Ridwan menyempatkan mampir untuk menemui seseorang.

Percakapan terjadi diiringi lagu keroncong yang memanjakan telinga dengan suguhan teh nasgitel dan nasi gudeg telur suwir ayam dengan tahu
. Sebenarnya ada beberapa orang yang juga duduk di meja yang sama, tapi percakapan serius berlangsung antara Kapten Ri dan sang sosok agung.

“Tentang situasi saat ini, tentang peperangan yang terjadi antara dua geng besar,” Kapten Ridwan menatap sosok agung di hadapannya dengan hormat, “Bagaimana menurut njenengan?”

“Kekacauan tentu saja tidak dapat didiamkan begitu saja. Harus ada yang menetralisir dan mengakhiri pertempuran demi menyelamatkan banyak jiwa, tapi ada aspek-aspek yang juga harus dipertimbangkan mengenai pertarungan yang menentukan kuasa wilayah dua geng terbesar di kota, aspek politik misalnya. Saya paham sampeyan ingin menegakkan keadilan sebagai pihak otoritas. Namun dengan kekuatan yang saat ini terbatas maka tidak memungkinkan untuk memaksakan diri menggunakan kekuatan. Solusinya? Harus pintar memainkan strategi.

“Kita telaah saja, yang sedang bertarung adalah kelompok-kelompok yang meresahkan warga kota. Bagaimana cara menetralisirnya? Membiarkan mereka menghancurkan satu sama lain. Semakin banyak kekuatan mereka berkurang, semakin baik bagi kita. Pemenang pertarungan memang akan menguasai kota sepenuhnya, tapi bukankah lebih baik memecah dan menggemboskan kekuatan besar itu sedari awal – karena toh hanya akan tersisa satu kelompok saja.

“Gunakan taktik yang paling efektif jika berhadapan dengan banyak musuh, taktik seperti yang digagas oleh Christiaan Snouck Hurgronje untuk VOC. Teknik ini sebenarnya sudah pernah disebutkan dalam buku L’Arte Della Guerra-nya Nicolo Macchiavelli yang menyarankan seorang kapten untuk memecahbelah pasukan musuh dengan segala daya upaya. Teknik yang diadopsi dari prakata Phillip II Macedonia, Julius Caesar, bahkan Napoleon Bonaparte yang menggunakan teknik yang serupa.”


Teknik tersebut tentu saja adalah Divide et impera. Divide and conquer. Pecah belah dan kuasai.

Percakapan itu terus menerus mengiang di pikiran sang Kapten.

Berulang-ulang dalam benaknya.

Kapten Ri mendesah, dia harus fokus.

Dengan masih terbayang percakapan yang terjadi antara dirinya dan seseorang yang teramat penting di kota, Kapten Ridwan Danuri memasuki lokasi yang dijadikan markas sementara bagi Tim Garangan. Dia sudah diberikan authority penuh untuk mengatasi masalah geng di wilayah kota. Begitu masuk, beberapa orang perwira telah menunggu.

“Bagaimana situasinya?” tanya Kapten Ri sembari mengamati peta yang dibentangkan di atas meja.

“Peperangan sudah berlangsung dan dua kubu saling mendesak. Menurut laporan di lapangan hingga saat ini pertarungan telah menyebar ke segala penjuru tapi gabungan QZK dan KRAd masih lebih unggul dibandingkan JXG yang kocar-kacir tanpa pemimpin. Korban meninggal sudah berjatuhan. Di jalur utama sisi utara, Rahu Kala dan Muge Monster menghadang pasukan Aliansi yang datang dengan sebagian anggota Dinasti Baru. Di jalur selatan, dari arah Jalan Wiratanda ada Hannibal Razan dan pasukannya dari Sambergeni bersiaga penuh memastikan tidak ada yang masuk ataupun keluar. Setelah mereka ada salah satu dari Empat Perisai QZK di sekitar perempatan Wiratanda, kalau tidak salah namanya Mox. Kita tidak tahu di mana para penggede geng yang lain berada. Terutama keberadaan Ki Juru Martani, Bambang Jenggo, Empat Anak Panah JXG dan Empat Perisai QZK.”

Kapten Ri memeriksa jabaran lokasi pada peta yang digelar di atas meja kayu sederhana yang biasanya digunakan oleh Restoran Wat Pho – satu restoran masakan Thailand untuk keluarga.

Tim Garangan menggunakan restoran itu sebagai headquarter sementara untuk mengantisipasi perang yang tengah berlangsung antara QZK dan JXG. Beberapa jajaran ikut bergabung dengan sang komandan Tim Garangan melihat ke peta.

“Kita sudah menutup pertigaan BPK di sisi selatan dan pertigaan Jati Kelana di utara. Masyarakat kita evakuasi sebisa mungkin dengan menyiagakan semua Ketua RT dan RW setempat. Warga harus melalui jalan tikus karena jalan utama digunakan untuk pertarungan. Jalur Jalan Wiratanda dari arah Rumah Sakit Lendira Husada akan menjadi akses untuk kendaraan gas air mata yang sudah disiagakan,” lapor salah seorang anggota tim Garangan – Ipda I Made Madya, sembari menandai peta yang digelar.

Kapten Ri menunjuk ke arah gedung BPK yang terdapat di peta dan tak jauh dari Restoran Wat Pho, “Halaman depan tempat ini cukup luas untuk mendirikan shelter-shelter sementara. Di sana juga ada lapangan tenis yang cukup lebar dan luas di belakang gedung. Kantor BPK bisa kita jadikan tempat untuk sementara menampung masyarakat yang khawatir, perketat penjagaan di gedung itu. Pagari jalanan ke penampungan dengan bis kota, truk, dan kendaraan besar lain.”

“Lokasi alternatif lain?” tanya Ipda Made.

“Lokasi penampungan lain di selatan adalah SMP Negeri di depan Rumah Sakit Lendira Husada, buka kelas-kelas dan ambil kasur dari Rumah Sakit jika dibutuhkan. Sedangkan di utara kita akan menggunakan gedung BLPT. Pastikan pasokan obat-obatan, makanan, dan minuman mengalir tanpa henti.”

“Siap Kapten.”

“Apakah kita tidak akan turun ke perang, Kapten? Bukankah itu namanya memberikan jalan bagi hukum rimba untuk berjalan liar?” tanya anggota lain – Iptu Suranto. Dia seperti tidak sabar untuk beraksi. “Mereka semua ini geng yang harus kita babat habis, bukan dibiarkan bertarung seperti ini. Tugas kita adalah menegakkan keadilan di kota ini.”

“Pemikiran itu benar, tapi saat ini jumlah anggota tim Garangan sangat terbatas, kita tidak bisa memaksa pasukan kita untuk bertarung habis-habisan, kita harus menunggu saat yang tepat dengan cerdas. Pasukan dari teritori lain sedang dikirimkan terutama dari akademi dengan mempertimbangkan angkatan bersenjata jika dibutuhkan. Itu semua butuh waktu, kita butuh solusi cepat.”

“Siap Kapten.”

“Mungkin kalian pikir kita bergerak lambat dan pasrah, tapi saat ini harus dipahami seperti apa kemampuan petarung kelas A yang sedang turun di perang itu. Mereka semua mengerikan dan tak segan-segan membunuh. Untuk bisa meringkus mereka harus dipastikan kekuatan para petarung telah turun ke level terbawah saat kita bergerak. Kalau saat ini percuma saja kita bertarung karena itu sama saja mengantarkan nyawa, lebih baik menyelamatkan yang bisa kita selamatkan. Itu lebih efektif. Sedangkan untuk yang sedang bertarung, sementara kita percayakan pada kekuatan penyeimbang, Dinasti Baru - mereka sudah bekerjasama dengan kita. Inilah yang dinamakan teknik adu domba. Kita masuk saat mereka semua telah lemah.

“Fokus kita adalah bertahan di sini dan mempertahankan jalur dari perang yang melebar, tahan siapapun anggota geng yang hendak melalui garis pertahanan sampai aku memastikan siapa yang boleh lolos dan siapa yang tidak. Kalau mereka bersikeras, tembak di tempat. Lakukan ini baik di sisi utara maupun selatan, baik di pertigaan BPK ataupun di Jati Kelana.”

“Siap Kapten.”

“Ipda Made – kamu yang memastikan pasokan obat-obatan, makanan, dan minuman ke shelter di utara maupun selatan. Bagi pasukan untuk melakukan pengumpulan dan pembagian supply bahan.”

“Siap Kapten.”

“Iptu Suranto - bawa pasukanmu untuk masuk ke jalan-jalan tikus guna menyelamatkan masyarakat yang melarikan diri. Utamakan wanita, anak-anak, dan orang tua. Bawa persenjataan lengkap. Selalu siaga penuh. Tembak siapapun yang tidak kooperatif. Jangan sampai terdeteksi oleh para petarung dari pihak manapun.”

“Siap Kapten.”

“Hafiz, kamu sebagai deputiku berjaga di jalur utara, sedangkan aku akan tetap di sini, di selatan. Shinta sedang dalam perjalanan, tapi dia akan bersamamu setelah ia datang nanti.”

“Siap Kapten. Bagaimana dengan Rama, Kapten? Ditengarai dia sudah berada di pihak QZK dan saat ini berada di pertarungan. Apa yang akan kita lakukan seandainya dia muncul?”

“Tidak ada ampun,” Kapten Ridwan menggemeretakkan giginya, wajahnya terlihat geram dan emosi setiap kali ada yang menyebutkan nama Rama, “Anggota yang mengkhianati masyarakat tidak boleh dibiarkan begitu saja. Tangkap dan bawa dia ke hadapanku. Hidup atau mati.”

“Siap.”





.::..::..::..::..::.





X mengejapkan mata sekali.

Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Akhirnya ia tersadar, kepalanya pusing sekali. Di mana dia berada? Ruangan tempatnya berada sekarang seperti ruang monitor. Apa yang terjadi setelah dia membunuh Jun dan Yono tadi?

Kenapa tiba-tiba…

X merasakan tubuhnya tak dapat bergerak! Ia terikat erat di sebuah kursi!

X mencoba meronta tapi percuma.

Ia mencoba menyalakan Ki tapi kembali terasa percuma.

Siapa yang mengikatnya? Bagaimana mungkin dia bisa terikat?

Pkk.

“Sudah bangun? Bagus.” Jun menepuk kepala X.

X terbelalak, dia benar-benar terkejut.

Di sebelah Jun, Mardiyono sang penembak meriam bersidekap. Dia juga sehat-sehat saja!

X terkesiap! A-apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah tadi dia sudah membunuh mereka? Kenapa sekarang keduanya bisa sehat tanpa kurang suatu apa? Apa yang telah terjadi? Bajingan! X mencoba meronta sekali lagi tapi dia benar-benar tak berdaya, ikatannya sangat kencang.

Jun tersenyum sembari menghapus darah di pinggir bibir dengan punggung tangan. Ia menarik sesuatu dari dalam saku celananya. Satu ponsel merk Noki@ lawas, sebuah feature phone – masih belum smartphone, ponsel yang tidak akan mudah terdeteksi. “Oalah X… X… kadal kok dikadalin. Kalian pikir hanya kalian saja yang punya kejutan? Aku sudah tahu semuanya dan baru saja aku mengirimkan berita ke Om BMW dan Nanto mengenai kebusukan rencana QZK dan KRAd.”

X menatap ‘sahabat’-nya itu dengan geram. Bangsat!

“Bos Janu akan membuat hidupmu sengsara setelah ini, Jun. Kamu tidak akan bisa lolos dari QZK kemanapun kamu pergi. Kamu tahu itu kan?” ancaman X diucapkan tanpa emosi, tapi penuh penekanan yang membuat Yono merinding mendengarnya.

Tapi Jun justru mencibir, “Bos Janu atau Ki Juru Martani? Yang mana sebenarnya bos tertinggi kalian?”

X menyeringai.

“Rencana kalian hebat dan sempurna, aku sempat terkecoh dengan keberadaan dua Ki Juru Martani, tapi akhirnya aku paham mana yang mana dan siapa yang siapa. Bodoh kalau kalian mengira hanya kalian yang berhasil menyusupkan mata-mata ke kubu lawan. Kalian pikir kami tidak bisa melakukannya? Hehehhe. Bagaimana rasanya instant karma?” Jun berjongkok di depan X sembari menyeringai lebar. “Aku sempat kaget saat mendapatkan informasi bahwa di dua tempat ada dua Topeng Klana Merah. Tapi semua jadi make sense. Mereka berdua sering bergantian peran. Mereka berdua adalah rencana matang yang tengah dijalankan.”

“Baiklah, kamu menang, Jun. Bagaimana kamu melakukannya? Bagaimana aku bisa tiba-tiba berada di sini? Apa yang telah kamu lakukan terhadapku?”

“Bagaimana lagi? Hipnotis. Aku memberikan kesadaran palsu untukmu. Saat kamu pingsan, kamu berpikir kamu telah membunuhku dan Yono – padahal justru kamu yang tengah terkapar terkena gendam-ku. Sesuatu yang telah kutanamkan sejak lama ke alam bawah sadarmu.”

Jadi sejak awal X sudah terkena hipnotis…?

X menunduk, ia tersenyum, “Masuk akal.” Pria gundul itu menengadah, “luar biasa. Aku sama sekali tidak menyangka kamu mampu melakukan hal seperti ini, Jun. Kamu memang penuh kejutan.”

Yono mengedipkan mata pada X, “Bosmu main hipnotis dan menggunakannya untuk mengacaukan hidup banyak orang. Aku hanya membalas apa yang dia lakukan, sobat lama. Jadi bagaimana rasanya dihipnotis? Apa yang baru saja kamu lihat? Heheh.”

X menggerakkan badan, tapi dia tak bisa bangun dari kursi. Ia diikat dengan sangat erat. Ia meronta dan meronta.

“Percuma saja,” Jun mengetukkan jarinya di pelipis dahi sendiri, “ada kalanya ini harus digunakan sebelum menggunakan ini,” Jun menunjuk otot lengannya, “Aku telah memastikan ilmu hipnotis itu juga meniadakan kemampuanmu untuk mengaktifkan Ki, jadi percuma saja melakukan apapun. Saat ini kamu hanya seperti sapi yang diikat sebelum disembelih.”

X menatap Jun dan Yono bergantian, geleng kepala, kemudian tertawa.

Ia lalu menundukkan wajah dan mengangguk berulang. “Baiklah. Baiklah. Kalian menang. Kalian menang. Kamu menang Jun, kamu menang.” X menyeringai, “Tapi pertarungan baru dimulai sobat lama. Saat ini perang besar telah dimulai. Di selatan sedang ada upacara pembumihangusan JXG dan kalian tidak akan sanggup berbuat apa-apa. Lokasi kita terlalu jauh dari perang di selatan.”

“Siapa bilang? Sekarang saja kami sudah menghancurkan rencana QZK dan KRAd melalui dirimu,” ujar Jun. “Kami akan menghancurkan rencana QZK dan KRAd satu persatu. Sepetak demi sepetak. Sejengkal demi sejengkal.”

“Saat nanti kita bertemu kembali, aku akan menjadi musuhmu, sobat lama.”

“Pede amat, siapa yang bilang hari ini kamu bisa lolos?” Jun mencibir, “aku akan memastikan kamu tak akan bisa kemana-mana, X. Ikatanku kuat, hipnotisku rapi, semua terkendali.”

“Sejak kapan?” X bertanya, “sejak kapan kamu menghipnotisku?”

“Sejak kita keluar dari ruangan monitor. Sayang sekali ya, X? Aku sebenarnya sudah tahu kamu berniat mengkhianatiku. Mas Mardiyono juga sudah memperingatkanku melalui perintah Bos BMW dan memberikan aku ponsel ini untuk menghubungi Nanto. Nanto sudah kuberikan semua informasi mengenai sosok Ki Juru Martani yang asli.”

Yono menyeringai karena merasa telah berkontribusi. X hanya mendengus.

Jun melanjutkan, “Aku tahu kamu akan bergerak, tapi tidak tahu kapan. Ketika kita bersama-sama melihat monitor, aku mengamati pantulan bayanganmu di layar yang gelap, kamu terlihat tidak tertarik dengan tayangan dan memilih memperhatikan situasi di luar. Itu artinya ruangan ini tidak menarik untukmu, artinya pula, ini bukan pertama kalinya kamu ada di sini. Aku langsung tahu itulah kesempatan terakhir bagiku untuk bergerak.”

X mendengus, “Bagaimana caranya kamu menguasai ilmu hipnotis? Aku tahu kamu menguasai banyak ilmu, tapi kalau ilmu hipnotis rasa-rasanya baru sekarang aku lihat. Selama ini aku tidak pernah melihatmu belajar ilmu seperti ini darimanapun.”

“Menurutmu dari mana?” Jun tersenyum, “Ya jelas berkat Gatraganda, sudah kubilang aku ini pencuri ilmu. Aku sudah tahu Pak Mangku bukan hanya sekedar seorang supir. Dia adalah orang di samping Bos Janu yang selama ini melakukan tindakan kotor untuknya. Dia punya ilmu kanuragan mumpuni tapi tidak teramat istimewa sepengetahuanku, dia dipertahankan Bos Janu karena punya sesuatu yang berbeda – ilmu hipnotis berbalut Ki yang cukup ampuh.”

“Begitu rupanya. Sejak kapan kamu melakukannya?”

“Sejak kita melakukan latih tarung, saat itu aku sudah mencurigaimu. Kamu mengira pukulanku tidak sesuai dengan ekspektasimu, padahal pukulanku sudah sesuai dengan proporsi. Aku menghantammu dengan gendam. Memasukkanmu ke dalam kuasaku.”

“Ternyata seperti itu,” X tersenyum, “Selamat. Aku terkecoh.”

Jun dan Yono saling mengangguk, saatnya mereka berdua pergi. “Selamat tinggal, X. mudah-mudahan kelak kita tidak akan bertemu kembali.”

X hanya mendengus.

Jun dan Yono keluar dari ruang monitor, menutupnya. Mereka lalu segera menuju ke pintu yang satu lagi. Pintu menuju ruangan yang diamati oleh ruangan monitor. Kali ini mereka memiliki kunci yang tepat.

Pintu dibuka. Ada bau harum mewangi yang tercium.

Jun dan Yono saling berpandangan, apa yang ada di dalam? Jun melangkah masuk dan perlahan-lahan berjalan menyusuri ruangan. Dia bersiaga, menyiapkan Ki dan kewaspadaan. Mardiyono berjaga di pintu depan, memastikan semua aman.

“Ada orang di sini?” tanya Jun sopan, dia tidak ingin mengagetkan siapapun yang ada di dalam.

Seorang wanita hamil berkerudung meringkuk ketakutan di ujung pembaringan. Wajahnya pucat pasi melihat kedatangan dua orang yang tidak dikenal, terlebih lagi si Jun berpenampilan cukup unik dengan rambut perak dan pakaian serba putih.

“Si-siapa kalian?”

“Tenanglah, kami bukan musuh dan bukan lawan. Kami tidak akan menyakitimu,” Jun maju perlahan-lahan, dia tidak ingin membuat wanita itu panik, “Kami ingin membawamu keluar dari sini. Mau kan keluar dari tempat ini?”

Wanita hamil itu menunduk dengan takut-takut, berulang kali ia melirik ke arah toilet.

Jun mengerutkan kening. Apakah itu seperti kode? Ada seseorang di dalam toilet yang tertutup? Dengan menandak tanpa suara, Jun melangkah ke samping ruangan. Langkahnya tak bersuara.

Tangan pemuda berambut perak itu pun meraih handle pintu toilet.

Ia membukanya perlahan-lahan.

Kosong.

“Tidak ada siapa-siapa di sini,” ujar Jun sambil melongok ke dalam toilet. Ia meraba-raba dinding ke kanan dan ke kiri. “Tenanglah, kami akan menyelamatkanmu. Kami akan membawamu keluar.”

Wanita berkerudung yang tengah hamil itu mengangguk. Wajahnya menunjukkan kelegaan yang luar biasa. Jun dan Yono pun segera membawa serta perempuan itu bersama mereka.

Menit demi menit berlalu.

Entah sudah berapa lama sejak kepergian Jun, Yono, dan sang perempuan – pintu toilet terbuka perlahan. Ada dinding yang terbuka di dalam toilet, seperti sebuah pintu rahasia yang tergeser. Seorang pria berjalan perlahan, mengamati ruangan. Tidak ada siapapun di dalam ruangan?

Ia bergegas ke depan dan melihat pintu telah terbuka.

“Bangsat.”

Pria itu pun berlari menuju ruang monitor. Ia mendapati X terikat dan mulutnya disumpal.

Pria itu mengambil ponselnya, membuka layar, membuka kontak, mencari satu nomor. Ia menekan tanda panggil. Saat panggilannya diangkat, ia langsung berucap, “Ada yang berulah. Paket sudah lepas. Kuulangi, paket sudah lepas.”

Pria itu pun kemudian menutup ponsel dan membuka ikatan X. X menggoyang-goyangkan tangan dan kaki yang pegal karena terikat.

“Terima kasih,” X menjura.

“Jangan berterima kasih. Katakan satu alasan yang tepat kenapa aku tidak perlu membunuhmu saat ini juga.”

“Maaf saya gegabah,” ujar X. “Tapi mereka pasti belum begitu jauh.”

“Seberapa lama?”

“Hitungan menit,” kata X.

“Mudah-mudahan masih bisa terkejar,” Pria itu mendesah, ia membuka satu locker di ujung ruangan monitor, mengambil sebuah topeng, lalu mengenakannya. “Berani-beraninya mereka melakukan hal seperti ini di depan hidungku. Aku tak akan membiarkan wanitaku diambil begitu saja. Memangnya mereka pikir siapa wanita itu? Seenaknya saja mereka culik.”

Pria itu memakai Topeng Panji berwarna putih.

“Bagaimana orang-orang itu bisa sampai di tempat ini? Aku sudah menyembunyikan ruangan ini sejak lama. Siapa yang membocorkan lokasi tempat ini pada mereka?”

“Maaf, tentang hal itu saya tidak tahu. Saat saya tahu kami masuk ke tempat ini, saya langsung berniat untuk menyergap mereka tapi saya gagal. Ini semua karena kelengahan saya,” ujar X. “Seandainya saja saya tidak lengah, maka mereka sudah bisa saya antisipasi sejak awal.”

“Ya sudahlah,” pria itu bersiap dengan mengenakan jubah berwarna hitam, “Ikut aku, X. Kita kejar mereka. Akan kubunuh siapapun yang menyentuh wanitaku.”

X menjura.

Terdengar bunyi dering telepon. Topeng Panji mengangkatnya. “Ya? Ada apa sekarang?”

Terdengar suara setengah berteriak di ujung sana. Kemungkinan dari ajang perang yang tengah berlangsung. Si Topeng Panji mendesah, “Siapa yang minta?”

Terdengar jawaban menyebutkan nama yang tidak terdengar oleh X.

“Baiklah. Kirimkan pasukan yang telah siaga, ikuti prosedur sesuai dengan perjanjian kita. Karena sudah ada perang, sekalian saja kita menaklukkan kota sebelah,” kata Topeng Panji. Ia pun menutup telponnya dan menggemeretakkan gigi. “Bangsat-bangsat di kota sebelah tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Kirim pasukan kita!”

X menundukkan kepala dan tersenyum tanpa sepengetahuan Topeng Panji.

Another one bites the dust.





.::..::..::..::..::.





Yon Papilon yang datang bersama rombongan Mugianto alias Muge Monster dipercaya untuk memimpin sebelas orang anggota QZK masuk ke arena pertempuran. Karena baru datang dan masih fresh, tenaga mereka jauh lebih segar daripada anggota JXG yang sebelumnya sudah bertarung habis-habisan.

Bagaikan mesin panser, pasukan yang dipimpin Yon melaju seakan tak ada lawan.

Yon berhasil menyingkirkan anggota-anggota JXG yang ia lewati dengan mudahnya. Beberapa orang yang ada di jalur mereka jatuh bergelimpangan, darah tertumpah dengan derasnya. Yon bekerja dengan efektif, tanpa perlu banyak kata, ia membuktikan dengan lebih banyak aksi. Siapapun yang menghadang, dibabat tanpa permisi. Anggota JXG yang kian menipis, tak ada yang sanggup mengatasi.

Dengan seringai maut, Yon membabi-buta menghabisi satu persatu lawan yang datang, membuka jalan bagi lebih banyak lagi pasukan di belakangnya. Kesebelas anggota QZK yang dibawanya pun jumawa, karena amukan mereka tak ada duanya.

“Bunuh semua!! Hahahahah!! Bunuh semuanyaaaaaaaaa!!”

Teriakan-teriakan terdengar dari kesebelas pasukan Yon, merasa tak ada yang dapat menghalangi langkah tegap mereka. Tidak ada yang dapat menghentikan, termasuk seorang korban yang ditinggalkan kawan-kawannya karena terluka. Ia bersandar di sebuah tembok rumah di tepi jalan. Dari tatonya terlihat kalau dia anggota JXG.

Malang ia bertemu Yon dan kelompoknya.

Anggota JXG yang usianya belasan itu gemetar ketakutan melihat kedatangan Yon dan kawan-kawannya, ia mencoba meminta ampun, kakinya sudah berbelok tak wajar, tulang tempurung lutut remuk dihajar entah siapa. Sembari mengernyit ketakutan ia memohon, “A-ampuni saya, Kak. Saya tidak akan melawan lagi… ampuni saya. Ampun… saya tidak akan… hmphhhh!!”

Jblopppppppppbbbb! Jblopppppppppbbbb! Jblopppppppppbbbb!

Kepala pemuda itu hancur dihajar derap rantai motor yang dibawa oleh kesebelas anggota Yon. Mereka menyerang bersama, menghujani sang pemuda malang di bawah derasnya hujan.

No mercy.

Sejak tadi rantai motor yang mereka bawa, diayunkan berulang-ulang, menyambar apa yang melalui. Baik itu pasukan lawan ataupun rakyat jelata yang nasib sialnya menghampiri. Mereka tak punya rasa takut, mereka merasa mampu menundukkan semua lawan dalam tempo cepat dan seketika. Seperti saat ini misalnya, wajah pemuda yang tadi minta ampun itu, kini sudah hancur lebur dengan otak terburai. Kesebelas orang itu memang tanpa ampun dan tak pandang bulu.

No mercy.

Tapi mereka lupa sesuatu. Saat itu hanya butuh satu kilat di bawah hujan yang kian deras.

Satu kilat yang membutakan mata di atas langit kota, satu kilat yang bertahta di angkasa, menyebarkan cahaya, menggelegar dan mengguruh, mengagetkan dan menggaduh. Kilat yang membuat siapapun mengedipkan mata karena cahaya terang yang menjalar di langit malam.

Hanya butuh satu kali mengedipkan mata, hanya sekali saja. Yon mengedipkan mata karena reflek saat terjadinya gelegar petir menyambar.

Saat Yon membuka mata kembali, kesepuluh anggotanya telah roboh tanpa kata, entah pingsan atau kehilangan nyawa seketika. Sepuluh orang. Mereka tergeletak di tanah dengan luka menganga di dada. Tanpa ucapan, tanpa erangan, tanpa suara.

Dari sebelas, hanya tersisa satu orang saja. Orang kesebelas berteriak-teriak panik saat melihat teman-temannya. “A-apa yang terjadi!? Kenapa tiba-tiba mereka seperti ini!? Apa yang terjadi!? APA YANG TERJADI!?”

“Aku juga tidak tahu. Tenanglah, aku akan mencoba mencari tahu,” Yon mencoba berpikir logis, tapi sesaat kemudian ia menyadari, ada gerak dalam gelap di belakang mereka. Ia mencoba memperingatkan dengan berteriak, tapi suaranya tercekat, tak mau keluar. Sampai akhirnya…

“Awaaaaass!!”

Krgkh!

Terlambat.

Leher pria kesebelas tiba-tiba berputar secara mustahil. Ia tewas seketika dengan kepala terlepas dari tulang penyangga dengan paksa. Tubuhnya ambruk ke depan sudah tanpa nyawa. Sebelas orang roboh di depan mata Yon. Mata pria berjuluk Papilon itu terbelalak saat menyadari siapa yang datang. Ia sama sekali tak menyangka!

Tapi pria yang datang tak ambil pusing dengan keterkejutan Yon. Ia membuka telapak tangannya ke depan dengan gerakan ringan. Ada gelombang angin memutar membentuk pusaran dari telapak tangannya yang terbuka. Pusaran yang menghunjam ke depan, membentuk seperti pedang yang keras dan tajam. Sesuatu yang di luar akal sehat tapi mewujud di depan Yon.

Sesuatu yang…

Slbp.

Pusaran angin membentuk pedang itu menghunjam kepala Yon tanpa bisa dihentikan, menembus hingga ke belakang, membentuk ceruk ke dalam. Darah bercucuran deras, wajah Yon tak lagi bisa dikenali dengan luka menganga.

Tanduk Angin Sakti,” bisik pria di hadapan Yon. Ia melepas energinya, angin di telapak tangannya pun menghilang.

Yon jatuh berdebam tanpa nyawa dan tanpa wajah.

Pak Zein telah hadir.





BAGIAN 20 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 21
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd