Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Saking sukanya sama kisahnya @killertomato... mlh jadi keliatan seakan-akan memaksa suhu @killertomato untuk segera merampungkan cerita ini....
Maafkan suhu.... semoga tetap diberikan kesehatan, kelancaran di RL panjenengan... 🙏🙏🙏
Bukan memaksa,,tapi mengharapkan segera.. :Peace: .
Sehat beserta keluarga nya kang mas Subes..rizkinya berlimpah dan RL nya lancar jaya..
Aamiin
 
BAGIAN 21
LARUT






“Saudara-saudaraku, apa yang kita lakukan dalam hidup,
bergema dalam keabadian.”
- Maximus Decimus Meridius, Gladiator






Hujan tapi panas.

Deras tapi gerah.

Suasana di selatan tak kunjung berubah.

Tetap mencekam dengan genangan banjir darah.

Museum Sang Pangeran bukanlah tempat yang bisa diakses dari mana saja karena posisinya berada di tengah pemukiman. Jalan menuju ke tempat yang selain dikenal dengan nama Museum Sang Pangeran juga sering disebut dengan istilah Sasana Wiratanda itu secara umum hanya bisa diakses melalui dua jalur, jalur jalan pemukiman utara dan jalur jalan pemukiman selatan.

Jalur utara adalah jalur yang lebih dekat dengan jalan raya, sedangkan untuk masuk dari jalur selatan masih harus berkelok-kelok menyusuri pemukiman warga. Kedua jalur itu biasanya padat masyarakat. Tapi kini keduanya sepi oleh rakyat dan tengah dijaga ketat.

Kenapa?

Karena Sasana Wiratanda yang sesungguhnya sakral, kini menjadi saksi bisu berlangsungnya pertempuran antara aliansi selatan dan koalisi utara. Dua pihak yang saling menjatuhkan demi tahta dan hegemoni nan sesungguhnya semu. Perang berlangsung di depan dan di dalam Museum Sang Pangeran yang dulunya ditinggali oleh sang pahlawan yang sangat dihormati, sang pecinta damai yang memilih mengalah dan berdiplomasi daripada membuang nyawa percuma, meski kemudian ia dikhianati, dicurangi, dan diasingkan ke lokasi terjauh di muka bumi.

Sayang sekali kini tempat damai yang sejatinya agung itu menjadi ajang pertarungan dan perang.

Perang yang menjadi pertanda perebutan tahta kelompok geng terbesar di kota. Siapa yang menang, akan menjadi pemimpin. Perang yang sesungguhnya bisa dihindari jika kedua kubu sama-sama menahan diri dan tidak mengumbar ego. Sayang sungguh sayang, genderang perang sudah terlanjur berkumandang. Sayang sungguh sayang, nyawa sudah terlanjur melayang.

Saat perang pecah, koalisi QZK dan KRAd langsung menutup dua jalur utama menuju Museum Sang Pangeran. Jalur utara dijaga oleh Rahu Kala sang Dewa Iblis dengan pasukan yang dipimpin oleh Muge Monster – salah satu dari Empat Perisai QZK. Sedangkan jalur selatan dijaga oleh divisi tempur QZK yang berjuluk Pasukan Sambergeni, pasukan haus darah yang dipimpin oleh kapten divisi tempur QZK - Hannibal Razan. Di dekat pintu penjagaan utama Razan dan kawan-kawan dari Sambergeni, terdapat area yang menjadi ajang pembantaian Shinsengumi X oleh Joe Moxon.

Razan dan kawan-kawannya dari Sambergeni membangun roadblock atau penghalang di tengah jalan dengan memasang tong-tong sampah kaleng besar dan dua kursi kayu panjang secara malang melintang. Tong itu diisi dengan benda apapun yang mereka temukan, lalu dibakar. Lampu jalan dan rumah yang sengaja dipadamkan membuat tempat itu bagai desa mati. Satu-satunya sumber penerangan adalah mekarnya tong oleh nyala api.

Kalau ada orang yang datang ke arah roadblock tersebut, itu sama saja dengan mengantar nyawa.

Hannibal Razan berdiri dengan tegap sambil mengendus-endus udara.

Pria gagah itu menyilangkan tangan di depan dada, menatap ke arah jalanan yang sunyi senyap tanpa suara. Ia mencium sesuatu di udara, selain asap dan anyir yang merajalela. Ada sesuatu di luar sana, ada seseorang yang datang tanpa kabar berita, ada petunjuk dari angin yang sayup-sayup berhembus merenda angkasa.

Hannibal Razan memiliki indera penciuman super tajam, jika para pengguna Ki sanggup membaca aura, Razan bahkan sanggup mencium keberadaan mereka dari jarak yang jauh sekalipun hanya dengan mencium bau yang khas. Itu adalah salah satu keistimewaannya.

Setelah beberapa saat, pria gagah itu akhirnya menyadari siapa yang hadir.

“Akhirnya datang juga,” Razan menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu mengencangkan sarung tangan yang ia kenakan. Razan lantas membalikkan badan dan mengayunkan tangan, menyiagakan belasan pasukan Sambergeni dan anggota gabungan KRAd x QZK yang jumlahnya juga belasan, “Ayo berdiri! Bersiaplah kalian semua! Tempat sempit ini akan jadi neraka jahanam.”

Sang Kapten berdiri di tengah jalan, menantang para lawan, jumawa di bawah hujan.

Penampilan Razan sangat mengintimidasi siapapun dan memang sudah sepantasnya seperti itu mengingat jabatannya sebagai punggawa QZK. Rambutnya dipotong rapi ala marinir - ia memang suka berpenampilan seperti seorang tentara. Seperti pakaian yang ia kenakan saat ini pun nampak seperti pakaian militer dengan motif loreng-loreng. Alis tebal mengerucut membentuk satu alur bagaikan jembatan penghubung antar pulau di dahinya yang lebar. Alis tebal itu menambah jantan wajahnya yang keras, kerah baju diangkat tinggi seperti sosok legenda bola Eric Cantona, tubuhnya yang gagah dan berotot makin mengembang seiring meningkatnya Ki yang ia tingkatkan secara perlahan.

“Mereka datang,” bisik Razan.

Ia mempersiapkan kedua tangannya, menyalurkan tenaga ke dua telapak tangan. Memutar-mutar lengan sembari mengucapkan beberapa bait rapalan. Hannibal Razan memicingkan mata, seakan mengincar sesuatu di kejauhan. Tenaga yang telah dikumpulkan akhirnya dihempaskan ke depan dengan kencang, hempasan satu kekuatan tenaga dalam besar.

Tetuko Amuk Angkoro!

Bledaaaaaaaaaaaaaaam!

Kekuatan hempasan tenaga dalam Hannibal Razan sudah pasti bukan tenaga dalam yang main-main. Hanya dengan begitu saja, tong-tong sampah yang kosong terguling, pohon bergoyang teramat kencang hingga ada yang tercerabut dari akarnya, papan dan tiang yang ringkih tumbang berdentang. Tenaga dalam itu melesat hingga jarak yang cukup jauh dari posisi di mana Razan berada.

Seekor kucing oren yang berlari ke arah yang salah ikut terbang terbawa arus tenaga dalam. Ia menjerit-jerit saat berada di udara, berteriak mengeong ketakutan, nasib tak tentu karena keempat kakinya tak dapat berpijak. Pagar dengan ujung tajam di belakang sudah menghadang, kucing itu melesat tepat ke arah ujung yang ibarat tombak, tubuh lemahnya akan segera menjadi sate…

…dan kucing itu pun selamat.

Tubuhnya dipeluk dengan lembut oleh satu lengan yang hangat, tangan besar yang mengelus-elus kepala sang kucing yang kemudian diletakkan ke aspal. Kucing yang ketakutan itu segera melarikan diri saat ia sudah berada di tanah kembali. Tak ingin mendekat ke area pertarungan.

Tak hanya melindungi si kucing, suatu tembok energi berlistrik tak kasat mata berbentuk kubah kini perlahan-lahan mendekat ke arah Razan, seakan mengikuti gerak seseorang yang berjalan ke depan. Tembok energi berlistrik itu melindungi siapapun dari serangan tenaga dalam sang kapten Sambergeni yang dihempaskan begitu saja seakan tak ada arti.

Razan mengernyitkan dahi. Tembok energi berlistrik yang bisa menahan kekuatannya jelas sangat powerful. Tidak hanya mampu menahan tenaga dalam yang ia lontarkan, tenaga dalam yang mampu mengeluarkan kubah pelindung sedahsyat itu bahkan mampu melindungi orang-orang yang bergerak bersamaan di belakangnya.

Yang datang bukan hanya satu orang.

Yang datang satu pasukan.

Kapten Sambergeni itu memutar tangan dengan gerakan yang lebih lebar, gerakan itu membuat gelombang aura dahsyat berkumpul di sekitarnya, angin terhisap, udara tergerus, getaran hebat pun terjadi, tanah bak berguncang di sekitar Razan dan pasukannya.

Pria gagah itu tahu kubah pelindung yang mendatanginya tak akan dapat ditembus dengan mudah, tapi dia tak akan berhenti berusaha segampang itu. Menyerah tidak ada dalam kamusnya. Ia dipanggil dengan sebutan Hannibal bukan tanpa alasan, sebutan itu digunakan Razan dengan bangga karena ia sangat mengagumi sosok sang jenderal perang asal Kartago yang mampu merepotkan kedigdayaan Kekaisaran Romawi di era Perang Punisia.

Razan membuka telapak tangannya ke depan dada, ia merapal sekali lagi ilmu kanuragan yang ia dalami. “Tetuko Amuk Angkoro!

Jblaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaamnnnn!

Gelombang energi besar yang dilepaskan Razan melesat ke depan, menghantam kubah pelindung yang makin dekat. Tenaga dalam Razan kali ini tiga kali lipat lebih hebat dari yang sebelumnya! Hempasan tenagannya bahkan mampu merobohkan beberapa tembok pagar ringkih yang terbentuk oleh susunan satu bata.

Jalan Wiratanda yang tadinya gelap gulita sesaat kemudian menjadi terang karena beberapa lampu jalanan tiba-tiba saja menyala.

Suasana terlihat kacau balau, rumah-rumah di pinggir jalan sudah tak karuan. Pagar hancur, dinding jebol, kaca pecah, pintu remuk, tubuh bergelimpangan. Tapi semua itu tak ada artinya bagi Razan yang saat ini tubuhnya bergetar hebat – antara kagum, gentar, marah, tapi juga penasaran luar biasa.

Serangan tiga kali lipatnya ternyata tetap tak mampu menembus dinding kubah pelindung tembok energi berlistrik yang begitu kokohnya. Ini bukan hanya lain ilmu kanuragan, ini lain level.

Seseorang di dalam kubah menjentikkan jari. Seketika tenaga dalam meluncur ke arah satu tong kaleng sampah yang ukurannya besar. Ajaib, tong itu melayang hanya dengan satu sentilan tenaga dalam. Melayang ke arah Hannibal Razan.

“Bedebah!” Razan menggeram marah karena merasa diremehkan, “YANG SEPERTI INI HANYA MAINAN UNTUKKU!”

Ia menarik tangan kanannya ke belakang, lalu melayangkannya ke depan dengan bungkus Ki hebat, seperti peluru kendali yang melesat menuju sasaran. Hantaman Razan meledak tepat mengenai tong yang jaraknya hanya beberapa sentimeter dari wajahnya.

Bledaaaaaaaaaaammmm!

Tong kaleng pun jatuh berdentang dengan hebat di aspal, terguling-guling ke arah kubah pelindung yang tiba-tiba saja berhenti di tengah jalan. Satu kaki bersepatu boot hitam menghentikan laju tong kaleng yang tengah menggelinding, kaki milik seorang pria berumur yang kemudian bertepuk tangan.

“Hannibal Razan. Luar biasa jurus Pukulan Pelebur Sukma-mu. Sepertinya sudah naik ke level yang mumpuni, aku ucapkan selamat,” pria yang bertepuk tangan terkekeh-kekeh. “Sudah lama sekali rasanya kita tidak bersua, sayang sekali harus berjumpa dalam suasana yang seperti ini.”

Cih. Mumpuni apanya – batin sang Kapten, sejak tadi Razan bahkan tak bisa menembus kubah pelindung yang begitu pekat energinya. Tapi pria gagah pimpinan Sambergeni itu tetap berlaku hormat, dia menjura kepada sang pria yang ada di hadapannya.

Pria itu berambut gondrong berombak ala anggota band tahun 80an, rambutnya berwarna campuran coklat, hitam, dan putihnya uban. Kumis dan goatee-nya tebal menghias wajah, tubuhnya kencang dan kekar meski tak lagi muda. Pria itu mengenakan dandanan ala biker dengan jaket dan celana jeans serta kaos hitam berlogo Guns’n’Roses. Tubuhnya gempal dengan otot-otot yang terlihat kokoh.

Razan tersenyum, tentu saja. Sudah pasti orang ini tidak akan diam saja melihat pertempuran antara QZK dan JXG. Seorang oportunis sejati sampai akhir.

“Tetua. Prana Pasopati memang luar biasa tangguh. Sulit sekali ditembus,” ujar Razan dengan sopan.

Sang pria di hadapan Razan tersenyum, tak salah lagi, dia adalah salah satu dari tiga teratas di kota ini. Pria yang namanya konon identik dengan kelicikan, kecurangan, dan penikmat kesempatan.

Nama lengkapnya Bintoro Muji Wiguno. Nama panggilannya BMW. Dia adalah pimpinan tertinggi kelompok Dinasti Baru.

Di belakang om BMW, muncul empat sosok yang tak kalah menyeramkan. Tak perlu diperkenalkan karena Razan mengenali mereka semua, Empat Belati Dinasti Baru.

Yang pertama adalah seorang pria berkulit sawo matang dengan rahang kotak dan rambut acak-acakan yang mengenakan jaket kulit coklat dengan kerah berbulu. Seperti seorang pemburu, ia ia mengenakan celana khaki dan topi rimba berwarna coklat. Nama pria yang matanya terlihat ngantuk dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Jemmi Besouw alias Jebe Si Pisau Terbang. Pimpinan Empat Belati dan jendral pasukan Dinasti Baru.

Yang kedua adalah sosok mengerikan yang wajahnya rusak penuh luka jahit dan matanya yang satu ditutup kain. Pria ganjil itu bernama Jilson Megantara yang bersenjatakan badik lengkung bertitel Kuku Raptor. Jangan sekali-sekali memanggilnya dengan julukan Jilmek kecuali ingin usus terburai.

Lanjut ke orang ketiga. Langsing, tinggi, kurus, cepat, gesit, dan cekatan – adalah atribut yang dimiliki oleh sang belati ketiga – QB Qartubi. Pria yang mengandalkan ilmu ringan tubuh dan kecepatan. Salah satu penguasa ilmu kanuragan Inti Angin Sakti. Mantan murid Pak Zein dan adik seperguruan mendiang Pak Pos. Tidak seperti kedua orang dari JXG itu, QB sangat buas dan haus darah karena berulangkali dikhianati baik oleh QZK maupun JXG.

Lalu yang terakhir… adalah yang paling misterius… Subotai. Entah bagaimana kemampuannya dan entah bagaimana penampilan aslinya. Konon dialah yang menjadi pengganti Amar Barok di Dinasti Baru, sudah pasti ia memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. Konon juga dia bahkan mampu melewati kemampuan Jebe sebagai Jenderal Empat Belati. Subotai tak pernah melepas masker wajah dan hoodie yang dikenakan, tubuhnya kekar bak body builder dengan bagian atas jauh lebih kekar dan berotot daripada pinggang ke bawah. Kulitnya yang gelap khas timur nampak dari lengan kekarnya yang dipertontonkan oleh rompi kutungnya. Ada yang bilang dia berasal dari Timur Tengah, daratan India, atau Mongolia.

“Dinasti Baru,” Hannibal Razan tersenyum, “Kalian memang oportunis sejati. Tidak bisa diam saja melihat kami bertarung.”

“Heheheh. Begitulah.” Om BMW terkekeh, “Sayang sekali angin kemenangan kalian akan terhenti sekarang, Razan. Tidak ada yang akan bisa didapatkan QZK hari ini. Kami akan bergabung dengan JXG untuk menghentikan kalian.”

“Setelah itu kalian akan mengkhianati JXG. Kenapa aku tidak heran. Dinasti Baru memang brengsek.”

“Hahahahahaha.” Om BMW mengedipkan mata. Ia bersidekap, pasukan di belakang pria itu entah berapa jumlahnya, seperti banyak sekali jika dibandingkan pasukan yang ada di samping Razan. “Bergabunglah dengan kami, Razan. Aku tahu kamu tidak sebusuk orang-orang KRAd dan QZK yang lain. Kesetiaanmu ditempatkan di posisi yang salah. Kamu akan lebih berkembang jika bergabung dengan Dinasti Baru. Wes toh, kamu minggir saja dan beri jalan pada kami. Jangan jadi martir untuk hal yang konyol. Semuanya akan baik-baik saja dan jauh lebih sedikit nyawa yang akan melayang.”

“Mohon maaf jika berkesan kurang ajar, Tetua. Tapi njenengan juga sama saja busuknya, bukan?” Hannibal Razan memutar lengannya sekali lagi, dia sudah menyalakan Ki-nya sedari tadi. “Setidaknya saya punya pendirian.”

Tangan Razan berhenti berputar tepat di depan dada, telapak tangannya menghadap ke arah pasukan Dinasti Baru. Tubuh pria gagah itu bergetar hebat karena ia sudah menahan besaran Ki sejak tadi, Ki yang kini siap diledakkan.

“Sebelumnya mohon maaf jika saya bersikap kurang ajar,” ucap Razan, “Tetuko Amuk Angkoro.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!

Sekali lagi kubah tembok berlistrik melindungi bagian depan pasukan Dinasti Baru, hantaman kekuatan besar Razan hanya mampu menggetarkannya, tak bisa menembus tembok energi yang dibangun dengan kokoh oleh Prana Pasopati. Tapi Razan tak berhenti, dengan segenap kekuatan, ia terus menerjangkan tenaga dalamnya ke depan!

Untuk kali ini Om BMW mengernyit, kaki kirinya mundur selangkah. Tenaga dalam yang dikerahkan oleh Razan benar-benar dahsyat. Dia sudah siap bertarung mati-matian rupanya.

Subotai tiba-tiba saja menyelinap ke samping Om BMW, ia memutar lengannya searah jarum jam, lalu membentuk teratai di depan tubuh dengan telapak tangan menghadap ke arah Razan. Lingkaran Ki besar tercipta di telapak tangannya.

Sibuk menerjangkan hempasan tenaga dalam membuat Razan hanya bisa sesekali melirik ke arah Subo, tapi apa yang terjadi selanjutnya membuat mulutnya menganga lebar. Ilmu kanuragan yang sedang digunakan Subo… itu adalah…

Pria misterius berkulit gelap dan bertubuh kekar itu menghentakkan tangannya ke depan.

Tetuko Amuk Angkoro.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Seketika hempasan tenaga dalam Subo menyambar pasukan yang ada di samping Razan. Mereka kocar-kacir dan terbang saat tersambar terjangan. Beberapa orang langsung terbanting dan pingsan sementara beberapa lain terhampar tembok dan pagar rumah warga. Tulang-tulang patah dan bengkok tak tentu arah.

Razan menarik tangannya, menghentikan terjangan tenaga yang ia umbar tanpa hasil untuk membongkar pertahanan Prana Pasopati. Ia benar-benar terkejut mengetahui ada orang yang juga menguasai ilmu kanuragan Pukulan Pelebur Sukma yang salah satu andalannya adalah terjangan tenaga dalam Tetuko Amuk Angkoro.

Saat melirik ke samping kanan dan kiri, sang kapten tersadar pasukannya kini hanya tersisa tiga perempat dari sebelumnya. Razan mengumpat. Sial. Ia terjebak. Kakinya mundur beberapa langkah ke belakang secara reflek.

Bersamaan dengan itu, Om BMW dan keempat belatinya merangsek ke depan. Sang pimpinan masih terkekeh, “Bagaimana, Razan? Kamu masih kuberi kesempatan untuk berpindah ke pihak kami. Masihkah kamu ragu? Apakah kamu tetap mau mati konyol demi kelompok yang bahkan…”

Sesuatu dilempar ke udara dari arah belakang Razan, melewatinya, dan jatuh ke arah Om BMW yang terkejut. Jebe langsung memasang diri di hadapan sang pimpinan, ia mengaktifkan Ki dan tenaga dalam Perisai Genta Emas-nya.

Bruaaaaaaakghhhhh!

Perisai Jebe berhasil, sesuatu itu terbanting ke arah kiri.

Sesuatu yang ternyata tubuh manusia yang teramat lemas.

Jebe mendengus, beruntung tubuh lemas itu tidak sampai mengenai junjungannya, beruntung karena kemudian ia berhasil menghempaskan tubuh itu ke samping dan menghantamkannya ke tembok. Jebe melirik ke arah Subotai, tidak hanya Subo saja yang bisa pamer ilmu kanuragan.

Tapi perhatian sang bos tidak mengarah pada Subo ataupun Jebe. Om BMW mengernyitkan dahi… tubuh lemas yang baru saja dilontarkan itu…

“Jagal!?”

Benar saja. Tubuh lemas itu ternyata milik sang punggawa JXG. Sulaiman Seno tergeletak tak berdaya di samping tembok. Tubuhnya lemas dan penuh luka, napasnya kembang kempis. Ia masih hidup tapi seperti kehabisan tenaga. QB mendekat dan memastikan luka yang diderita Jagal. Ia mengangguk pada sang pimpinan.

“Masih hidup,” desis pria itu.

“Hrraaaaghhhhhkkkhhh!” Jagal memuntahkan darah. Ia terengah-engah dengan wajah sangat kesakitan dan mata terpejam. QB dan teman-temannya terheran-heran. Apa yang telah terjadi padanya!? Siapa yang sanggup melakukan ini pada seorang Sulaiman Seno?

Blaaaaaaam!

Seseorang meloncat tinggi dan turun berdebam di hadapan Razan dan para tetua Dinasti Baru. Pendaratannya membuat tanah bergetar. Ia membawa dua kepala yang sudah terpenggal dan melemparkannya ke kotak pembuangan warga seolah-olah sampah. Dengan santainya ia berkacak pinggang.

Howdy folks! Apakah aku ketinggalan sesuatu? Sepertinya ada pesta di sini ya? Wah kalau begitu aku datang tak diundang, pulang tak diantar.” Mox menyeringai lebar terhadap Om BMW dan para anggota Empat Belati, “Wah wah… sudah ada tamu undangan rupanya. Kenapa tidak bilang-bilang kalau ada tamu, Kapten Razan? Kita seharusnya menyambut mereka dengan gegap gempita. Mana confetti-nya?”

Razan mendengus.

Mox cengengesan menatap rombongan Dinasti Baru yang baru hadir, “Welcome to hell, gentlemen. Welcome to your end of days.”

QB yang baru saja memeriksa tubuh Jagal langsung berdiri dan menggemeretakkan gigi. Kalau tidak dihalangi Jebe yang tiba-tiba saja ada di depan QB, pria langsing itu sudah pasti akan langsung melesat menyerang si bule gila.

Jebe sudah mengantisipasi gerakan sang rekan, kalau Jagal saja kepayahan, entah apa yang bisa dilakukan QB saat ini. Mox yang sekarang terlihat tidak seperti Mox yang dulu. Jebe menggelengkan kepala, “Mox… kamu lagi, kamu lagi. Kalau ada kekacauan, kamu selalu hadir. Bukannya kamu sudah dideportasi?”

Mox mengedipkan mata.

Razan tersenyum, angin pertarungan ternyata masih tak tentu arah. Koalisi QZK tak perlu gentar, mereka masih punya banyak monster di arsenal mereka. Salah satunya adalah kehadiran si bule gila satu ini. Siapa pemenang perang kali ini masih belum jelas.

Masih banyak apakah dan akankah.

Yang jelas, malam ini dia dan Mox akan membantai pasukan Dinasti Baru.

Hujan turun semakin deras.





.::..::..::..::.





Raden Junaedi melompati parit sambil menggandeng sang dara berkerudung yang tubuh hamilnya membuatnya susah berjalan dengan cepat. Pria berpakaian putih dan berambut perak itu pun mencoba mencari celah dan jalan yang kemungkinan masih aman sekaligus nyaman untuk perempuan yang sedang ia selamatkan.

Tentu saja itu bukan hal yang mudah.

Di belakang mereka berdua, anggota Dinasti Baru yang bernama Mardiyono selain ikut berlari juga berjaga-jaga sekaligus terus memaksa Jun dan sang perempuan berkerudung untuk berjalan dengan lebih cepat.

Dari posisi mereka sebelumnya, Jun dan Yono memilih untuk menaiki bukit setelah keluar dari gua, karena di sebalik bukit ada beberapa desa berpenghuni dan jalan menuju jalan raya utama. Lokasi mereka berada sekarang memang di tengah-tengah tanah yang seperti tak bertuan, dikelilingi oleh hutan belantara di perbatasan kota, di lereng gunung. Menaiki bukit jelas lebih sulit daripada berlari turun, tapi menuruni bukit akan memudahkan lawan untuk mengejar – selain itu kawasan berpenghuni juga lebih jauh.

“Su-sudah jauhkah kita? A-aku lelah sekali…” sang perempuan jelita terengah-engah lelah. Wajar karena dia sudah disekap cukup lama dan kehamilannya sudah sangat besar, tentunya ia tak terbiasa dengan rencana penyelamatan Jun yang butuh banyak tenaga. Kesadarannya juga keluar masuk seakan-akan dia dipenjara oleh pikirannya sendiri.

“Bagaimana, Jun?” tanya Yono dengan penuh kewaspadaan, “track-nya terlalu berat untuk kita bertiga. Apakah kita harus mencari jalan alternatif?”

Jun menatap wanita jelita berkerudung itu dengan wajah yang bersimbah peluh dan keringat. Ia menggeleng pada Yono. “Tidak bisa, kita tidak berhenti sekarang. Jarak kita masih belum aman dari para penjaga. Posisi kita masih belum terlampau jauh dari titik awal. Aku bahkan bisa mendeteksi adanya pengguna Ki dengan aura tenaga dalam luar biasa besar tengah berkeliling hutan untuk mengejar kita. Mau tidak mau, suka tidak suka, kuat tidak kuat, kita harus terus berjalan.”

Yono melirik ke arah sang perempuan hamil, “Bagaimana, kamu kuat kan? Jangan khawatir, kami berdua akan melindungimu. Tapi kamu harus kuat mendaki bukit, setelah ini kita akan…”

“A-aku tidak tahu… aku tidak tahu…” perempuan jelita itu menggeleng kepala. “Aku tidak kuat lagi…”

Jun menarik napas panjang, ini tidak akan mudah.

Yono melirik ke kanan dan kiri dengan gelisah, Ia memperhatikan jalur yang mereka tempuh, lebatnya hutan yang harus mereka lalui, dan cahaya di kejauhan yang menandakan tempat pemukiman. “Tidak bisa. Ini tidak akan bisa kita lakukan dengan kecepatan kita seperti sekarang. Kita dapat mencapai posisi kita dengan mudah.”

“Memang.” Jun setuju.

“Hanya ada satu cara, Jun… dan aku yakin kamu juga sudah tahu apa itu.”

Jun mengangguk, ia dan Yono bertatap-tatapan.

“Para pengejar berjumlah cukup banyak, aura mereka bisa terbaca sampai sini,” Yono melanjutkan lagi, “Tidak bisa tidak, Kita harus berpencar. Setidaknya itu bisa mengelabui pengejar. Mereka masih belum hapal aura kita, sudah pasti para pemburu tidak tahu yang mana yang harus dikejar jika kita menyebar. Cewek ini toh tidak menyebarkan aura. Aku bisa menjadi distraksi.”

Jun menatap Yono dengan tatapan kecewa – kecewa pada dirinya sendiri yang meremehkan jalur yang telah ia pilih, tapi dia tahu apa yang diusulkan oleh anggota Dinasti Baru itu benar adanya. Itu adalah satu cara untuk meringankan beban dan mengelabui musuh. Meski resikonya juga besar sekali.

“Meski sebentar, tapi aku senang bekerja sama denganmu, Mas.” Jun mengulurkan tangan. Entah apakah mereka berdua bisa bertemu kembali atau tidak, “Jangan mati. Aku akan menunggumu di angkringan Kopi Areng di utara stasiun.”

Yono mendengus dan tersenyum, kedua tangan mereka bersalaman dengan hangat, seperti sahabat yang baru saja bertemu namun harus berpisah, “Tetaplah menjadi bajingan, Jun.”

Pria itu melesat meninggalkan Jun dan wanita berkerudung.

“Di-dia pergi?” wanita berkerudung yang duduk di atas batu melihat kepergian Yono dengan kebingungan, entah kenapa perempuan itu kemudian terlihat panik, “Kenapa dia pergi? Kemana dia? Apakah aku akan ditinggal di sini? Apakah kamu juga akan pergi?”

Sikapnya yang aneh membuat Jun sadar kalau wanita ini masih dalam pengaruh pengubah mental yang kental. Wanita ini sudah jatuh ke dalam trance hipnotis yang teramat mendalam, apa yang nyata dan apa yang tidak bakal sulit dipahami olehnya. Jun mungkin bisa menyembuhkannya, tapi tidak di sini dan tidak sekarang.

Sekarang saatnya pergi dari sini.

Pemuda itu mengulurkan tangan, “Aku tidak akan pergi. Yuk, saatnya kita pergi dari sini. Mas-mu sudah menunggu.”

Wanita itu mendongak untuk menatap Jun dan mengangguk. Ia menerima uluran tangan sang pemuda dan berdiri untuk mengikuti kemana dia pergi. Keduanya tak butuh waktu lama untuk lenyap dalam gelap, bersekutu dengan waktu, demi menjelajah daerah dengan tak tentu arah.

Sementara itu Mardiyono sengaja sesekali menyalakan Ki sembari bergerak zigzag menyusuri hutan untuk mengelabui lawan. Dia mencoba menjauhkan lawan dari posisi Jun dan si wanita berkerudung agar tak semudah itu ditemui.

Sampai akhirnya dia mencapai ujung hutan – sebuah tebing curam.

Terengah-engah, Mardiyono berhenti sembari membungkukkan badan sementara tangan memegang lutut. Ia menghapus peluh di dahinya. Sepertinya sudah cukup jauh ia lari menjauhkan lawan dari posisi Jun. Kini saatnya dia mencari cara untuk menyelamatkan diri sendiri… kalau kembali lewat hutan jelas tidak mungkin, naik ke bukit sama saja percuma, turun ke bawah, tebing ini sangat curam, dengan tekukan hampir sembilan puluh derajat. Di bawah sana memang ada sungai, tapi dia ragu apakah sungai itu cukup dalam.

Untung dia terbiasa melihat di dalam gelap, sehingga semua itu bisa ia saksikan dengan mudah. Tentunya dibantu pula untuk rembulan yang bercahaya terang malam ini.

Ah, di sebelah kirinya ada akar yang mengular sampai ke paparan tanah yang bisa digunakan untuk turun ke bawah. Lebih baik ke sana saja. Yono segera berlari menuju ke akar pohon itu. Mudah-mudahan Jun dan si cewek berkerudung juga bisa menyelamatkan diri seperti dirinya, karena lawan yang mereka hadapi sangat berbahaya.

Boooom!

Pohon yang dituju oleh Yono tumbang ke bawah oleh satu serangan dari jarak jauh. Pria itu pun mundur dengan satu lompatan ke belakang. Ia membalikkan badan.

Tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan satu orang pria yang mengenakan pakaian serba hitam beserta belasan pasukan yang mengenakan pakaian seragam coklat hitam. Cahaya obor yang mereka bawa menjadi penerang penjelas. Sang pemimpin mengenakan ikat kepala berwarna coklat. Wajah brewok dan bibir ndower meneguhkan sosok sang pria yang kini menatap Yono dengan pandangan mata tajam.

“Kamu pikir bisa lolos begitu saja?”

Suara itu begitu berat dan mengerikan, serak-serak basah.

Yono bersiap dan menyalakan Ki. Satu orang melawan banyak. Seperti ini ya rasanya di-gangbang. Apakah hidupnya akan berakhir hari ini? Bodo amat lah. Yang penting dia sudah berjuang sesuai porsinya. Ia tersenyum.

Junsemua ada di tanganmu sekarang.

“Sudahi basa-basi tidak perlumu. Maju saja. Kita sama-sama tahu apa yang akan terjadi sekarang,” ucap Yono dengan garang.

Si ikat kepala coklat mengayunkan tangan, pasukannya mengepung Yono dalam formasi lingkaran. Pria itu mengambil handy talky dari dalam kantong saku di pinggangnya. Ia memencet tombol bicara, “Bos. Alvin Jagger di sini. Aku menemukan salah satunya. Bos benar, yang menyalakan Ki hanyalah decoy. Yang membawa lari Nyonya sudah pasti naik ke bukit.”

Yono mendesis kecewa. Sialan. Mereka tahu.

Tak lama kemudian terdengar suara bergemeresek dari HT yang sama yang dipegang pria yang konon bernama Alvin Jagger itu. Dia bahkan dengan santai membiarkan Yono mendengarkan apa yang terucap dari HT.

Aku sudah hampir sampai. Habisi saja dia. Jadikan makanan babi.”

“Siap, Bos.” Alvin tersenyum sembari menatap Yono dan menyimpan kembali HT-nya, “Kamu sudah dengar sendiri apa perintah Bos-ku. Tak ada peluang bagimu untuk hidup. Sudah berdoa untuk yang terakhir kalinya?”

“Bedebah… heheheh. Kalian bersiap juga ya, karena aku tidak akan menyerah semudah itu. Siapkan kuping kalian, aku suka berteriak kalau sedang bertarung,” Yono menyeringai, ia mempersiapkan diri. Pasukan yang mengelilinginya terlihat serius dan haus darah, mereka bukan pasukan main-main. Dia harus bergerak lebih cekatan dan berpikir lebih cepat kalau ingin selamat. “Raaaaaaaaaarrrrgh!”

Yono meloncat dan menyerang orang yang di belakangnya. Tendangan kakinya masuk ke dagu sang prajurit.

Jbooougkkhh!

Prajurit itu terlontar ke belakang dengan wajah mendongak karena dagunya tersentak.

Yono tidak berhenti, ia memutar badan. Kakinya disiapkan. Gerakannya membentuk setengah lingkaran. Lawan tak mampu mengatasi. Dua orang lagi tersambar, mereka roboh ke belakang dengan dagu terpapar tendangan hebat.

Jbooougkkhh! Jbooougkkhh!

Yono menggunakan tubuh pria kedua untuk mementalkan dirinya ke atas. Ia meloncat dengan satu salto tinggi untuk melepaskan diri dari lingkaran kepungan pasukan coklat hitam. Mendarat di belakang satu orang lain, Yono menggunakan siku tangannya untuk menghentak punggung anggota pasukan keempat dan kelima.

Jbooougkkhh! Jbooougkkhh!

Dua orang sekaligus berhasil dirobohkan. Satu berhasil menuntaskan lima. Tidak buruk untuk seorang pria seperti dia bukan? Lima memang sudah jatuh, tapi masih ada belasan lain. Bisakah dia melakukannya?

Jbuaaaaaaaaaaakghhhhhh!

Mardiyono melotot.

Tubuhnya terbang ke belakang.

Satu tendangan ke bagian dada menghentak badan membuatnya terpental. Dia tidak sanggup meraih satu orang pun sebagai penahan. Yono terlempar melebihi tepian.

Alvin Jagger berdiri dengan teguh sembari menarik kakinya.

Yono jatuh ke jurang.

Hanya teriakan yang terdengar. Awalnya keras, lalu senyap.

Tapi Alvin Jagger tidak diam saja, ia menunjuk ke beberapa orang di antara pasukan yang tersisa, “Kamu, kamu, dan kamu. Bawa dua tiga teman untuk melakukan pencarian ke bawah. Pastikan ada mayat orang itu. Kalau tidak ada mayat di bawah sana, cari sampai dapat!”

Ketiga orang yang ditunjuk mengangguk.

Alvin kembali mengambil HT dan menghubungi sang pimpinan.

“Tugas telah dijalankan. Apakah perlu kami kirim pasukan ke atas bukit?”

Terdengar bunyi bergemeresak sebelum akhirnya terdengar balasan.

Tidak perlu. Aku sudah menemukan mereka.”

Alvin Jagger tersenyum.

Dia pantas untuk tersenyum karena saat ini posisi Jun dan sang wanita berkerudung sudah benar-benar terekspos oleh si Topeng Panji. Pria yang merasa kecolongan karena pasangannya dibebaskan oleh Jun dan Mardiyono. Entah bagaimana caranya dia berhasil menyusul bahkan melalui Jun sehingga kali ini Topeng Panji sudah menunggu Jun dan wanita berkerudung.

Ia berdiri dengan tenang di atas bukit, duduk di atas sebuah batu sembari membawa sebuah seruling bambu berwarna hijau. Sosoknya yang mengenakan jubah tampak mengerikan saat ujung jubahnya berkibar ditiup angin.

Jun mendengus kesal karena ternyata jalur yang ia tempuh dapat dibaca oleh sang lawan. Ia berusaha melindungi sang wanita berkerudung.

Pria itu mengulurkan tangannya yang ditujukan pada sang perempuan, “Sayang… kenapa kamu pergi meninggalkanku untuk pergi bersama orang itu? Dia tidak dapat dipercaya. Dia jahat. Kamu hanya akan menderita jika ikut dengannya. Apalagi dengan kondisimu saat ini, istirahat sajalah bersamaku, jangan terlalu lelah. Ayo sayang… kembalilah padaku…”

Wanita berkerudung itu nampak bingung, dia melangkah ke depan. “A-aku tidak tahu apa yang aku…”

Pergelangan tangannya dipegang oleh Jun. “Jangan. Dia bukan pasanganmu yang sesungguhnya. Dia membuatmu mengira kamulah pasangannya dengan hipnotis. Tetaplah bersamaku, aku akan melindungimu.”

“Jangan menuduh yang tidak-tidak!” Topeng Panji menunjuk Jun dengan ujung seruling bambunya. “Kamu yang melakukan hipnotis dan membawanya pergi dariku! Siapa kamu!? Kenapa kamu menculik kekasihku!? Apa maumu? Dia harus minum obat karena sakit! Jangan main-main kamu!”

Sang wanita berkerudung menatap ke arah Jun dan mulai gelisah, ia memberontak. Wanita jelita itu menatap Topeng Panji. Benar juga, ia sudah sangat sering melihat si Topeng Panji tapi belum pernah bertemu Jun. Kenapa ia tiba-tiba saja mengikuti kemanapun Jun pergi!? Pasti ia dihipnotis!

“Le-lepaskan aku! Aku mau kembali padanya!”

“Maaf, aku tidak bisa melepaskanmu. Ini demi kamu sendiri, aku tidak bisa membuatmu percaya, tapi aku sebenarnya ingin menyelamatkanmu,” Jun makin erat memegang pergelangan tangan sang perempuan yang hebat meronta.

“Maaaaaaasss! Toloooong akuuuuuuu!!” Wanita berkerudung itu berteriak-teriak panik dan hendak berlari pada si Topeng Panji, tapi Jun tidak melepaskannya.

“LEPASKAN DIA!” Topeng Panji berdiri dengan tegap di atas batu. Wajah topeng yang putih bersih tapi kaku menatap Jun dengan mengerikan. “AKU ULANGI SEKALI LAGI. LE-PAS-KAN DI-A.”

“Dia bukan milikmu!”

Aura Ki si Topeng Panji menyala. Daun-daun kering dan rerumputan di sekitar batu tempatnya berada menyebar membentuk lingkaran yang makin lama makin membesar. Kekuatannya bergetar meretakkan tanah. Meski gelap, tapi sinar rembulan makin membuat sosok si Topeng Panji kian mengerikan.

Jun geregetan. Ia menggemeretakkan gigi. Dia tidak tahu seperti apa kekuatan si Topeng Panji, tapi sepertinya dia bukan abal-abal. Mampukah dia mengatasinya sekaligus menyelamatkan wanita ini?

Topeng Panji terdengar emosi, “DIA MILIKKU!”

Usai berteriak marah, Si Topeng Panji menaikkan topengnya, meletakkan ujung lubang seruling di mulut dan mulai meniupkan nada-nada unik yang tak nyaman didengarkan. Siulan musik seruling itu pelan tapi terkesan singup dan menyentak jauh ke dalam jantung. Meremas-remas perasaan dalam remangnya malam di bawah sinar rembulan.

Nguuuuuuuuuuuuuuuuuuuung.

Telinga Jun seperti diserbu ribuan lebah.

“Haaaaaaarrrrrkghhhhhh!!”

Jun ambruk ke bawah sembari mencoba menutup telinga dengan mata terbelalak, kakinya menendang-nendang karena tubuhnya serasa dijajah dan diinjak-injak oleh jutaan arwah yang marah. Anehnya wanita berkerudung di sampingnya seperti tak apa-apa mendengar nada-nada mengerikan itu. Konsentrasi Jun buyar bukan main, dia bahkan tak sanggup menyalakan Ki karena hancurnya pemusatan perhatian. Dia hanya sanggup menutup telinga dengan perasaan tak karuan.

“Haaaaaaaaaaaaarghhhh!”

Jun memutar-mutar badan di tanah, seakan-akan hal itu akan membuat suara seruling itu lenyap seketika. Namun alih-alih mampu melepaskan dirinya dari jeratan seruling Si Topeng Panji, telinganya justru makin nyeri hingga membuatnya teramat pusing. Dia terus berteriak-teriak kesakitan.

Sang perempuan berkerudung berlari untuk berlindung pada si Topeng Panji. Tapi Si Topeng Panji melemparkan sesuatu ke tangan sang wanita jelita.

Pisau.

Si Topeng Panji menunjuk ke arah Jun yang tengah kesakitan, lalu mengangkat tangannya dengan posisi menggenggam, dan berulang kali menurunkannya ke bawah. Dia jelas-jelas ingin sang perempuan menusuk Jun sampai mati. Wanita berkerudung itu mengangguk. Ia mendekati Jun dan mengangkat pisaunya.

Sblp!

Sblp!

Sblp!


Tiga serangan menghentikan ulah sang wanita berkerudung. Serangan pertama menjatuhkan pisau yang dibawanya sementara serangan kedua mendorong lembut tubuh hamilnya hingga terduduk. Si Topeng Panji terkejut melihat serangan yang menjatuhkan kekasihnya itu. Begitu terkejutnya sampai-sampai dia tidak melihat serangan ketiga menyentak tangan sehingga serulingnya tergeser, menghentikan permainannya yang sudah hampir membunuh Jun.

Si Topeng Panji mendongak.

Tiga serangan itu berasal dari atas!

Ia melihat tiga sosok turun dari langit.

Tiga sosok itu adalah tiga orang dewi jelita yang berpakaian serba kuning turun dari angkasa, begitu cerahnya pakaian yang mereka kenakan sehingga nampak bagaikan kunang-kunang mengitari rembulan. Meskipun nampak cerah, ketiga mahadewi itu sebenarnya hanya mengenakan pakaian sederhana dengan kemben dan balutan selendang-selendang tipis nan rapi membungkus tubuh indah mereka. Pakaian mereka kembar senada meski penampilan dan wajah cantik mereka berbeda. Rambut panjang digelung sebagian untuk menyisakan bagian panjang di sisi yang berbeda.

Ketiganya turun di hadapan si Topeng Panji dengan gerakan nan anggun, berdiri tegap di antara pria yang tengah terbakar angkara murka itu dan sang kekasih yang tadinya sudah siap membunuh Jun. Sang ksatria berambut perak sendiri terbengong-bengong menyaksikan kehadiran ketiga dewi. Siapa lagi mereka ini? Datang dari mana mereka? Bagaimana mungkin mereka bisa sampai di tempat yang seperti antah berantah ini?

Ketiga mahadewi berpakaian kuning tiba-tiba saja berlutut di hadapan sang wanita berkerudung, mereka menghunjukkan tangan mereka seperti memberi hormat. Bersamaan, ketiga wanita berpakaian kuning itu pun berucap.

“Salam hormat kami pada Putri Rembulan.”

Jun melotot.

Loh… loh… kok Putri Rembulan? Putri Rembulan sopo meneh ikih!? Jun yang tadinya kesakitan merangkak ke belakang. Ia menatap tak percaya pada ketiga dewi dan wanita berkerudung yang semakin nampak kebingungan.

Jun mengumpat dalam hati.

Wedhus!

Siapa sebenarnya wanita berkerudung itu? Jangan-jangan justru Jun yang sebenarnya salah orang? Jangan-jangan wanita berkerudung itu bukanlah orang yang dia cari? Jangan-jangan wanita jelita berkerudung itu sesungguhnya benar kekasih dari si Topeng Panji? Jangan-jangan dia dan Mardiyono mempertaruhkan nyawa mereka untuk orang yang salah? Jangan-jangan justru merekalah yang sebenarnya sedang menculik kekasih orang dan bukan sebaliknya?

Apakah ini gara-gara X yang dengan licik menjebak mereka ke orang yang salah? Sialan! Sialan!

“Kalian bertiga adalah murid dari Perguruan Kuburan Kuno bukan?” Si Topeng Panji menyebutkan nama perguruan yang telah lama dianggap punah. Ada aura Ki yang membesar dari sosoknya. Ki yang jauh lebih hebat dari yang Jun perkirakan. “Kalian masuk ke wilayah kekuasaanku tanpa ijin. Berani-beraninya kalian.”

Jun meneguk ludah. Perguruan Kuburan Kuno? Wajahnya pucat dan keringatnya deras mengalir. Bisa gawat urusannya kalau kejadiannya seperti yang ia khawatirkan.

Bagaimana kalau dia salah telah mencampuri urusan orang dan kesalahannya cukup fatal?

Gawaaaat gawat.





.::..::..::..::.





Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Tubuh Reynaldi terlempar ke atas secara tiba-tiba. Tubuhnya terhempas ke atas karena sodokan tenaga dalam dari orang yang sebelumnya ia serang.

Ledakan tenaga dari Roy membuat sang Durjana yang tak siap terdorong ke atas hingga menembus langit-langit pawon. Terpapar kayu, eternit, dan genting, Reynaldi memejamkan mata menahan rasa sakit saat punggungnya terhentak-hentak. Beberapa saat kemudian ia terhenti di udara, sang Durjana lantas menghempaskan tenaga dalam sembari membuka telapak tangan ke bawah, menahan diri agar tak terjatuh dengan tragis, tenaga yang sama disentakkan untuk mendorongnya ke arah sudut aman dan jauh dari Roy.

Sang Durjana memilih berdiri di atas tiang yang kokoh dan tinggi di samping rumah. Ia mengumpat sembari menatap tajam ke arah Sang Pengendara Angin, hujan membasahi wajahnya yang penuh emosi. “Bangsaaaaaaaaat! Kok bisa kamu sekuat itu!?”

Reynaldi menarik satu tangannya ke pinggang dan bersiap meluncur ke bawah untuk menyarangkan pukulan ke arah Roy. Aura Ki ilmu hitam nan lebat menghujani tubuh sang Durjana, kedua tangan berikut jari jemarinya berubah menjadi hitam dan tajam. Senyumnya terlihat menyeringai mengerikan. Reynaldi yang sesungguhnya berkulit cerah dan bersih kini berubah sama sekali menjadi hitam, gelap, legam, pekat, kelam, dan basah.

“Jurus bedebah yang mengerikan. Cengkraman Cakar Hitam. Demi apapun aku harus mampu melenyapkan jurus itu dari muka bumi,” ucap Roy sembari bersiap dengan kepala menatap ke atas.

Kemarahan sang Pengendara Angin lama-lama meningkat saat mengingat apa saja yang telah dilakukan sang Durjana kepada Rania istrinya, peristiwa pembunuhan ibu Rania, dan sakit yang diderita anak Rania. Belum lagi kengerian dan trauma yang diderita teman-teman yang lain. Laki-laki di hadapan Roy tidak pantas dibiarkan hidup.

“Sepertinya kamu sudah punya sesuatu,” Reynaldi menyeringai menyeramkan. Wujud wajahnya kini kabur dan hampir digantikan wajah yang menghitam. Ilmu kanuragan sesat yang ia kuasai makin menjadi-jadi, “akan sangat menyenangkan menyedot tenagamu sampai habis dan membiarkanmu mati membusuk di sini.”

Roy tidak menjawab, tapi urat-urat yang terlihat di leher dan kepalanya memastikan kalau ia geram setengah mati. Sang Pengendara Angin membentuk energi berlebih dalam dirinya ketika kemarahan mewujud, Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah berubah menjadi Malam Amarah Berkabut Air Mata Darah.

Roy mengangkasa, lompatannya tinggi hingga ia mendarat di satu kayu yang tak jauh dari posisi Reynaldi. Keduanya saling bertatap-tatapan. Bagaikan sirkus dan akrobat, satu berdiri stabil di atas balok kayu pancang, yang satu lagi di tiang yang tak jauh posisinya. Masing-masing berada di sisi yang berlawanan.

“Malam ini hujan dan ramai ya,” tubuh Reynaldi memancarkan aura kegelapan yang sangat kuat. Hingga saat ini entah sudah berapa orang yang menjadi korban keganasan jurus mautnya. Kekuatannya sudah tak dapat lagi diprediksi karena makin menghebat dengan banyaknya tumbal, “dulu aku teringat pernah menggenjot tubuh kekasihmu yang molek itu di saat hujan lebat. Memang saat itu suasana sepi, tapi desahan, erangan, dan suara kecipak kecipuk kontolku yang keluar masuk di memek kekasihmu menjadikannya ramai. Apalagi sewaktu kutampar-tampar pantatnya yang bulat itu. Duh jadi kangen ingin menjilat-jilat tubuhnya lagi.”

Roy tidak menjawab, dia hanya terdiam sembari menatap Reynaldi. Matanya tajam menatap ke depan, seolah tanpa ampun ingin mengakhiri hidup sang Durjana hanya dengan tatapan mata.

Seandainya saja hanya dengan menatap kita sanggup mengiris-iris tubuh seseorang.

“Tidak seru kalau kita hanya diam saja,” Reynaldi meringis. Giginya seperti berubah menjadi panjang dan tajam, “majulah kawan lama. Ayo kita nikmati hari terakhirmu di dunia ini.”

Roy mengangguk.

Ia melompat ke depan dengan gerakan ringan. Bak rudal antar benua, Roy melaju teramat kencang, kaki di depan. Tapi ia tidak mengincar Reynaldi, ia mengincar tiang yang tengah dipijak oleh sang Durjana. Tak pelak lagi tiang besi itu bergoyang kencang karena tendangan hebat yang dilakukan oleh Roy. Reynaldi pun melompat ke atap rumah untuk menghindari Roy dan memposisikan dirinya di lokasi yang jauh lebih stabil. Ia berpijak di rangka rumah yang atap pawonnya sudah hancur, hanya terlihat rangka kayu malang melintang tanpa genting. Hanya tinggal gording, reng, dan kaso saja.

Roy melesat memanfaatkan gaya pegas untuk mengejar di mana Reynaldi berada.

Keduanya bertemu di atap rumah. Cakar maut bertemu kaki secepat kilat. Adu pukulan dan tendangan terjadi. Silih berganti, saling mengincar lawan. Kaki mereka beringsut dari satu posisi ke posisi lain, dengan tepat menginjak rangka atap.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Tidak ada yang bisa menembus pertahanan lawan yang prima, keduanya mencari celah yang tak ada. Reynaldi buas menggempur bagian dada, tapi juga mahir bertahan dari incaran kaki maut Roy yang seolah menyerang tiada jeda. Rentetan tendangan membuat lengannya berulang kali harus menghadang. Tapi begitu ada kesempatan, cakarnya selalu mengincar bagian vital.

Badai tendangan dilontarkan oleh Roy, dia sebenarnya tak ingin memberikan celah pada sang Durjana, tapi bedebah satu itu amat mahir sekarang sehingga tidak mudah mencari kelemahan dalam pertahanannya yang sekarang jauh lebih mumpuni. Roy pintar memijak rangka kayu, kakinya melesat berulang dalam satu simphony indah rangkaian serangan. Gerakannya selaras dengan kekuatan, tak mudah melakukannya dengan hanya mengandalkan kecepatan. Stamina dan napas harus benar-benar dijaga agar stabil dan tahan lama.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Kanan. Kiri. Tengah. Atas. Kanan. Kanan. Kiri. Tengah. Kiri. Bawah.

Keduanya sama-sama kuat, itu kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Tiap kali kaki Roy menerjang, lengan Reynaldi sudah menghadang. Tiap kali cakar sang Durjana hendak bersarang, sang Pengendara Angin sudah mengelak dengan gerakan ringan.

Reynaldi mencoba cara lain. Ia melompat ke depan dengan mengayunkan tangannya membentuk seperempat lingkaran ke depan, menyerang pijakan sang lawan. Roy otomatis melesat ke belakang, memanfaatkan panjang rangka reng kayu yang tersisa. Kaki lincah Roy memastikan posisinya stabil dengan menginjak tepat di pertemuan reng dan kaso. Tapi itulah yang diincar oleh Reynaldi. Ia menghajar kayu-kayu yang mulai lapuk dan membuat atap yang sudah berlubang menjadi kian terbuka lebar. Genting demi genting rontok dan pecah berantakan ke dalam pawon.

Gempuran Reynaldi kian menggila, ia terus menyerang pijakan Roy.

Kayu-kayu luruh ke bawah menimpa isi rumah yang makin berantakan. Pertarungan kedua pemuda itu makin menghancurkan kuda-kuda atap yang sudah tua dan tak lagi mampu menahan beban. Getar dan goyangan makin terasa, genting-genting jatuh hanya karena gesekan ringan. Suasana menjadi sangat ramai dengan benda-benda yang jatuh. Kapan saja, atap rumah itu bisa roboh.

Hal itu tak menghentikan pertarungan di atas atap.

Kaki Roy masih terus menggempur Reynaldi sebagaimana tangan sang Durjana mencari celah untuk menyambar dada sang lawan. Keringat dan peluh mulai bercucuran, mereka seimbang dan tak mampu mencari kelemahan yang lain. Pukulan dan tendangan yang tadinya dilontarkan dengan melompat, kini mulai mendekat.

Hempasan hantaman dan sodokan kaki dari kedua petarung berlangsung makin kencang, menggetarkan kuda-kuda atap yang tak berhenti bergetar. Ki yang dikeluarkan kedua pemuda itu makin menghebat seiring gempuran yang tak kunjung berhenti. Reynaldi dan Roy saling tukar pukul dan tendang meski tak ada yang mampu menembus pertahanan satu sama lain. Keringat dan deru napas berpacu.

Pukulan dan tendangan kembali beradu.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Kanan. Kanan. Kiri. Tengah. Kiri. Bawah. Kanan. Kiri. Tengah. Atas.

Roy berteriak kencang, “Gek ndang modaroooooo!!

Jbkkghhhhhhh! Jbb! Jbb!

Roy melesatkan tiga tendangan sekaligus. Dua berhasil dihindari, satu berhasil ditepis. Tapi saat ditepis Reynaldi dengan menggunakan lengan, Roy memanfaatkannya sebagai pelontar. Ia menjejakkan kaki ke lengan Reynaldi, melompat tinggi, melakukan beberapa kali putaran salto di udara, dan menghunjamkan dua kaki ke bawah dengan kecepatan tinggi bagaikan putaran bor yang kencang dan tajam.

Reynaldi kesal sekali, ia tak menyangka Cengkraman Cakar Hitam-nya bisa ditandingi oleh jurus tendangan yang tak ada henti-hentinya dari Roy. Si kacamata itu sanggup mengirimkan serangan beruntun dengan sepakan yang seakan-akan tidak ada akhirnya. Kini ia bahkan menyerang dari atas dengan dua kaki sekaligus!

Reynaldi menyiapkan kedua lengannya di depan wajah. Lengan itu disilangkan dan diangkat untuk melindungi kepala sekaligus menahan serangan Roy.

Broooouuuuuuuuukhhhhhgghhhhhkkkk!

“Hraaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrghh!”

Roy akhirnya mampu membenamkan kakinya di lengan Reynaldi melalui satu tendangan ganda yang disertai dengan putaran badan. Sang Durjana berteriak kesakitan. Ia mencoba menyalurkan tenaga dalam ilmu hitam untuk melindungi diri.

Hasilnya adalah pertemuan dua tenaga teramat besar.

Hasilnya adalah atap yang tak mampu bertahan.

Hasilnya adalah mereka berdua jatuh ke kembali ke dalam rumah, beserta dengan bagian-bagian atap yang ikut runtuh, beserta dengan genting, gording, reng, kaso, tembok rapuh, hingga ke kuda-kuda atap yang roboh dan remuk.

Seharusnya mereka berdua terkubur dalam lautan reruntuhan.

Tapi tidak.

Terdengar bunyi berderak yang kencang, dua sosok berdiri tak jauh satu sama lain.

Yang satu menyeringai dengan wajah hitam penuh debu dengan tangan yang siap mencengkeram, yang satu lagi mengangkat kaki ke hingga lututnya menyentuh dada. Ia memalingkan wajah ke samping, tapi ujung matanya bagaikan ujung pelatuk yang siap meletuskan peluru kapan saja.

“Kesalahan pertamamu hari ini adalah terus memprovokasiku supaya marah. Padahal kamu tidak akan suka kalau aku sudah marah, bajingan. Apalagi aku sedang sangat marah sekali padamu.” desis Roy dengan geram. Wajahnya memerah menahan emosi. “Aku selalu marah jika melihat wajahmu. Hari ini akan kukebiri kemaluanmu yang seperti terong busuk itu.”

“Hraaaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhh!” Sang Durjana yang pertama kali maju.

Roy sudah siap. Sang Pengendara Angin itu melesat ke depan.

Jbooookgh!

Kaki Roy menghempaskan tangan Reynaldi.

Jboooooookghhkk!

Tendangan kedua masuk ke dada Rey! Pemuda durjana itu melotot! Ba-bagaimana bisa? Bukankah tadi mereka seimbang? Kenapa sekarang dia bisa…?!

Jboooooookghhkk! Jboooooookghhkk! Jboooooookghhkk! Jboooooookghhkk!

Dia tidak sempat berpikir terlampau lama. Empat tendangan beruntun masuk dan menghentak-hentak tubuhnya hingga terlempar-lempar ke belakang. Tembok demi tembok yang sudah sangat retak hancur saat tubuh sang Durjana yang ditendang berulang menabraknya.

Tapi bahkan itupun belum cukup. Roy meloncat ke depan dengan satu kaki berpijak kencang ke lantai yang sudah retak. Satu kaki lagi berkibar bagaikan bendera yang kokoh. Setiap kali diayun, ujung kaki Roy menampar wajah Reynaldi dengan teramat kencang.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Wajah Reynaldi yang hitam bercampur debu kini memerah karena darah mulai mengucur, memar mulai membekas. Wajahnya bagai dilontarkan ke kanan kiri tanpa bisa dihentikan. Giginya terlepas, hidungnya bocor, bibirnya hancur, matanya sembab.

Reynaldi berdiri dengan tubuh lunglai, ia bahkan seperti tak sanggup mengangkat tangannya.

Roy mundur selangkah lalu meloncat-loncat seperti Bruce Lee, lalu menepuk hidungnya dengan jempol. Sang Pengendara Angin melompat ke depan dengan satu kekuatan penuh, dan melepaskan tendangan penuh Ki ke arah dada sang Durjana.

Jblaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam! Bruaaaaaaaaaaaaakghhhh!

Tubuh Reynaldi terbang ke belakang tanpa bisa melawan. Ia terhampar ke tembok rapuh yang langsung ambruk ke belakang. Roy tidak semudah itu melepas sang Durjana yang telah berulang kali membuat kekasihnya menderita. Ia meloncat ke depan dengan sepenuh tenaga, mencapai posisi di mana Reynaldi roboh dan mengerang kesakitan.

Roy memutar badan, lalu menghunjamkan kakinya ke bawah dengan salto setengah putaran bagaikan cambuk. Kaki Roy yang bagaikan palu baja menghantam tulang kering kaki Reynaldi.

Jbkgh! Krghhhkkk!

“Hraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrgh!” Reynaldi berteriak kesakitan saat tulang kakinya seakan remuk. Kaki kiri pria brengsek itu kini bengkok, berubah ke sisi yang salah. Tubuh bagian atasnya sampai maju ke atas karena sakitnya. Tangan kiri sang Durjana secara reflek melaju untuk menghantam Roy.

Tapi, kecepatan Roy jauh lebih meningkat dari sebelumnya. Ia menghindar ke samping dengan cekatan dan mengaitkan kakinya ke lengan sang durjana. Kakinya melingkari lengan sang lawan bagaikan ular sebelum kemudian tubuhnya memutar bagaikan gasing. Tangan Reynaldi diputar bersamaan melawan arah jarum jam.

Krghhhkkk!

“Hraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrgh!” kembali Reynaldi berteriak kesakitan karena tulang lengannya lolos dari posisi asli.

Tangan dan kakinya kini sudah bengkok tak menentu.

Reynaldi berteriak-teriak. Tangan dan kakinya sudah tak bisa lagi digerakkan, sudah remuk dan patah, sudah hancur dan lumpuh. Sang Durjana meraung-raung dan mengumpat.

“BAJINGAAAAAAAN!! WASUUUUUUU!!! HAAAAAAAAARGHHHHH!! KUBUNUHHHHHH KAUUUU!!!”

Roy mendengus dan meludah ke wajah sang Durjana, “Demi semua orang yang sudah kau sakiti dan kau bunuh, akan kubuat kamu menyesal pernah dilahirkan. Akan kupatahkan satu persatu tulangmu.”

“BUNUHHHH SAJA AAKUUUUUUU!!” Reynaldi berguling-guling di tanah, namun tak bisa meronta dari injakan kaki Roy di dadanya. Ia bagaikan sedang dikunci oleh besi baja ribuan ton.

“Enak saja. Tidak akan kubiarkan kamu mati dengan mudah.” Roy mencibir.

Sang Pengendara Angin menjejakkan kakinya ke dada Reynaldi, lalu melompat tinggi ke atas dengan satu gerakan anggun, ia melecutkan dirinya di udara, kaki memutar dari bawah, ke atas, lalu ke bawah lagi dalam satu putaran – sementara kepalanya berada di posisi yang stabil. Kedua kaki Roy menghunjam ke bawah dengan kecepatan tinggi. Tangan kanan Reynaldi jadi sasarannya.

Blaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Kaki-kaki Roy menembus ubin rumah, melubangi dengan bentuk telapak sepatu. Tapi tubuh Reynaldi sudah tak lagi berada di sana. Bedebah sialan itu sudah lenyap. Dengan geram Roy menengok ke kanan dan kiri, ke depan dan belakang.

Bagaimana dia bisa lolos? Tangan dan kakinya sudah dilumpuhkan!! Siapa yang menyelamatkan bedebah satu itu?

Satu potongan reruntuhan melayang ke arah Roy. Swwssh.

Brkkkkghhhh!

Dengan mudah Roy menendang lepasan tembok itu ke samping. Siapa yang melemparkan potongan reruntuhan itu? Sosoknya seperti ada di belakang reruntuhan, dari bagian gelap yang berdebu tebal. Roy mendengus dan maju ke depan. Apakah di sana ada orang yang telah menolong Reynaldi?

Roy berjaga-jaga dan tidak melangkah terlalu jauh ke bagian reruntuhan yang membentuk ruang gelap. Selain tidak aman, dia tidak tahu siapa yang ada di sana.

“Sudah kubilang… siapapun tidak akan suka kalau aku marah. Jadi kuharap siapapun kamu… kamu tidak melindungi bedebah durjana itu.” Roy menyiapkan kuda-kudanya, menyalakan Ki, dan menghimpunnya. Satu pertanyaan masih tetap mengganggu benaknya. Siapa yang telah menyelamatkan Reynaldi? Kenapa dia tidak bisa merasakan aura Ki-nya?

“Heheh.”

Suara kekehan terdengar dari sudut nan gelap di hadapan Roy. Pemuda itu mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang di antara dirinya dan siapapun yang ada di dalam ruang gelap. Dia memilih berjaga-jaga daripada gegabah menyerang, walaupun untuk itu dia harus mematikan momentum amarahnya. Bukan karena dia ragu-ragu atau tidak percaya diri, lebih ke berhati-hati.

“Heheheheheheh.”

Sosok itu akhirnya keluar dari kegelapan. Sosoknya hitam mengerikan, mata memerah, lidah menjulur-julur keluar panjang, air liur menetes-netes, mulutnya menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang panjang dan tajam. Wajahnya yang ganjil bak monster membuat penampilannya kian mendirikan bulu kuduk.

Sosok itu menyeret kaki kirinya dengan tangan yang tergantung-gantung tak bisa digerakkan. Tak salah lagi… dia masih tetap Reynaldi. Tapi sesuatu telah mengubahnya menjadi seperti ini.

“Kamu pikir kamu sudah menang? Heheheh. Coba berpikir ulang… patah tulang tak masalah bagiku – hanya tinggal menyedot saripati jiwa dari beberapa orang akan menyembuhkanku, tapi aku yakin kamu tidak akan pernah paham apa yang aku ceritakan, karena kita datang dari dunia yang berbeda,” bahkan suara Reynaldi pun berubah. Lebih serak dan terkesan ada nada ganda. Seperti bukan dia yang sedang berbicara, mata sang Durjana yang memerah berkilat-kilat, aura gelapnya kian pekat menjalar-jalar keluar dari tubuh. “Akulah malaikat pencabut nyawa, yang akan menghancurkan senadi jiwa. Datanglah padaku… dan akan kurebut juga tubuhmu. Akan kumakan jiwamu, akan kugantikan keberadaanmu, tak akan ada yang tahu, bahwa aku telah bersemayam dalam dirimu. Heheh.”

Ini akibat ilmu hitam, batin Roy dalam hati, sosok pemberi ilmu hitam yang tadinya bersemayam dalam jiwa telah mengambil alih tubuh Rey, menjadi yang lebih utama. Kemanusiaannya direnggut dan digantikan oleh monster yang tak kenal rasa sakit. Sosok mengerikan yang sepertinya bisa memindahkan diri ke tubuh lain.

“Aku akan memindahkan diriku pada dirimu, meninggalkan tubuh cacat ini. Menjadikanmu ruang batin baruku… aku tahu seperti apa wajah istrimu yang cantik dan bertubuh molek itu… biarkan aku yang akan menidurinya mulai sekarang. Biarkan aku yang memberikan dia keturunan yang akan menyebarkan ilmuku. Tenang saja, teman-temanmu tidak akan pernah tahu… bahwa aku… akan bersemayam dalam dirimu… kamu tidak akan terkalahkan. Bagaimana penawaranku…?”

Meski sudah digantikan, tapi masih ada sisa-sisa sang Durjana dalam sosok itu. Bisakah Roy mengalahkan sosok Reynaldi yang seperti ini? Reynaldi atau siapapun dia sekarang.

“Apa-apaan kamu ini, bajingan!?” Roy mundur selangkah dan mengambil kuda-kuda. “Jangan menjadi badut, Rey! Kesadaranmu sudah digantikan! Sadar kamu!”

“Hahahahahahahah… kamu pikir Reynaldi ingin kembali? Justru dia yang memohon padaku untuk menghilangkan rasa sakitnya dan membunuhmu. Tapi aku tahu sebaliknya… dia sudah cacat dan kamu masih segar. Dia butuh aku untuk bisa hebat, sementara kamu lebih bugar. Aku membutuhkan tubuhmu untuk membawaku ke tempat yang lebih baik di masa depan… memberikan aku ruang untuk menyebarkan ilmu hitamku. Dengan dan tanpa kamu setujui… akan kurebut tubuhmu.”

“Bajingan… siapa kamu!?”

“Namaku sebenarnya tidak penting diingat, hanyalah masa lalu yang menyalahi kodrat. Tapi satu yang perlu diingat, kemampuanku bisa membuatmu hebat atau menjadi mayat. Pilih yang tepat, atau menjadi cacat,” Reynaldi tertawa mengerikan, mulutnya terbuka lebih lebar dari seharusnya, seakan-akan sobek.

Sialan.

Ini bukan masalah bisa atau tidak. Ini harus bisa tanpa ada kata tetapi. Nasib banyak orang akan tergantung pada Roy. Jika ia melepaskan sosok ini keluar sana, akan lebih banyak lagi yang direnggut nyawanya.

Dia harus bisa mengalahkannya.

“Aku tidak peduli kamu setan, hantu, atau pencabut nyawa sekalipun. Malam ini adalah malam terakhir bagimu,” Roy menggerakkan kakinya untuk membentuk pertahanan di depan dada.

“Heheheh… bagus sekali,” Reynaldi kembali menyeringai mengerikan, “Aku tahu ilmu kanuragan baru yang engkau gunakan berintikan pada keberingasan amarah. Semakin kau mengumbar angkara murka semakin kau menjadi hebat. Tapi ada sesuatu yang perlu kau ketahui… tidak ada kekuatan hebat di dunia ini yang tanpa pengorbanan. Tahukah kamu? Semakin kamu mengumbar tenaga, semakin kamu akan mandul. Sungguh kasihan istrimu yang jelita. Kalau kamu nantinya mandul… biar aku saja yang mengelus-elus tubuh telanjangnya tiap malam, heheheh.”

“BEDEBAH!” Roy terbelalak. Bagaimana sosok yang mengambil-alih tubuh Reynaldi itu bisa tahu kalau ada kelemahan dalam ilmu kanuragannya yang dia sendiri belum memahaminya? Roy tidak tahan lagi, dia menendang satu batu yang berselimutkan remukan dinding berukuran bolasepak. Batu itu melejit dengan kencang ke arah sang lawan.

Brakkkkghh!

Hanya dalam satu cengkraman, batu itu hancur jadi debu.

Reynaldi menyeringai, “Kamu sekarang berhadapan dengan dewa, anak muda. Bersiaplah untuk menyerahkan tubuhmu. Jangan khawatir, kalaupun kamu mandul akan kugantikan kamu memberikan anak untuk Rania. Hahaha…”

“Dasar tahi kuda! Siapa yang bilang kamu akan bisa terus hidup sampai esok tiba!?” maki Roy sembari memasang kuda-kuda. Dia sungguh sangat gemas pada sang wewujud di hadapannya, “Malam ini juga kukembalikan kau ke neraka.”

Sosok di depan Roy tertawa, “Tadi kamu menanyakan namaku, bukan? Namaku Suro. Panggil aku Ki Suro.”

Hujan turun semakin deras.







BAGIAN 21 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 22


Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis dan akan selalu gratis di forum ini, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mohon kesediaannya untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan nonton Piala Dunia. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd