Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 22
MANUSIA BIASA




“Kalau kalian ingin menembak, sekaranglah saatnya.
Kita semua ingin berada di tempat lain saat ini.
Tapi inilah yang kita lakukan, inilah siapa kita.
Mau hidup sia-sia atau mati demi sesuatu?
Pilih.”
- John Rambo



Bruaaaaaaaaaaaaagkkkkh!


Dinding depan tempat tinggal Sang Pangeran yang kini dijadikan museum, hancur berantakan dan ambruk ke depan – ke arah halaman parkir dan lapangan tenis. Ruang dan halaman di dalam Sasana Wiratanda yang dulunya begitu sendu, anggun, klasik, dan nostalgik, kini terlihat dan terbuka untuk siapapun. Persis seperti yang terjadi puluhan tahun yang lalu saat sang Pangeran menghancurkan tembok samping rumahnya untuk melarikan diri dari kejaran penjajah.

Bersamaan dengan hancurnya tembok itu, sosok Dewi Uma juga terlontar keluar.

Wanita cantik itu mengerang kesakitan di antara reruntuhan tembok, tubuhnya terasa remuk redam usai dilemparkan oleh tangan gaib raksasa milik Ki Juru Martani. Sosok pria tua bertongkat itu sendiri duduk di atas atap pendopo yang jaraknya cukup jauh dari sang wanita jelita.

Njenengan tidak akan pernah bisa mengalahkanku dengan hanya separuh kekuatan, Kanjeng Putri,” ledek Ki Juru Martani, “Berhenti bermain-main dan keluarkan seluruh kekuatanmu. Aku melawanmu dengan hormat, tidak ingin mempermalukan ataupun menghinamu. Tapi saat ini kamu melakukannya sendiri. Kamu tidak hormat pada dirimu sendiri dengan mengurangi kekuatanmu saat berhadapan dengan seseorang yang jauh lebih hebat daripadamu. Ayolah… kamu menguasai lebih daripada sekedar semua ini.”

“Heheh…” Dewi Uma berdiri dengan perlahan dan anggun. Ia membersihkan baju putihnya yang kotor dengan beberapa tepukan ringan, “Tak diduga tak disangka, setelah beberapa kali bertukar laga. Rupa-rupanya njenengan akhirnya memahaminya. Nyatanya memang belum kukeluarkan seluruh kekuatan dan tenaga.”

Ki Juru Martani mendengus, “Sudah kuduga seperti itu. Tunjukkan kemampuanmu!”

Dewi Uma tersenyum sinis. Ki-nya meluas dengan penuh kekuatan. Imbasnya adalah hembusan angin kencang sejauh sepuluh meter jaraknya dari sang empunya tenaga. Sang Dewi tengah menghimpun kekuatan besar yang akan segera dibentangkan di arena Sasana Wiratanda, museum yang dulunya merupakan rumah Sang Pangeran.

Dewi Uma menyampirkan selendang yang terikat pada sabuk dan pakaiannya ke belakang.

“Berhati-hatilah dengan apa yang njenengan inginkan, lagipula… wanita lemah sepertiku bisa apa sih?”

Tiba-tiba saja selendang Dewi Uma menyebar menjadi sembilan bagian, menyeruak dari belakang bagaikan ekor yang memanjang. Masing-masing mengular dan memanjang, baga sembilan pedang tajam yang teramat tangkas.

Wajah jelita wanita itu pun kembali berubah menjadi wajah mengerikan yang hitam legam bagaikan tengkorak yang hangus karena gosong. Hanya terlihat semburat putih di soket matanya, tanpa pupil dan tanpa iris. Ketika bibirnya terbuka, barisan gigi-gigi tajam berjajar dengan lidah panjang dengan ujung bercabang yang mendesis. Tangan-tangan wanita itu pun berubah menjadi hitam dengan kuku yang memanjang.

Di bawah hujan, sosok itu makin terlihat mengerikan.

“Apa-apaan ini? Apakah ini Kitsune? Ataukah Gumiho? Wangun jan wangun tenan. Mengubah selendang menjadi senjata yang mirip sembilan ekor rubah. Ilmu kanuragan yang ajaib dan atraktif,” Ki Juru Martani yang gemar menjajal jurus-jurus baru menjadi penasaran dengan ilmu kanuragan yang diperlihatkan oleh Dewi Uma, “Sungguh menarik sekali. Ijinkan saya menjajalnya.”

“Tentu saja,” desis Dewi Uma sambil terkekeh mengerikan. Selendangnya melesat dan menyerang.

Pria bertopeng Klana Merah itu pun melompat kesana kemari untuk menghindari sambaran selendang yang tajam bagaikan pisau. Selendang itu mengayun dengan satu sayatan buas, mampu memotong dengan kuat apapun yang menghalang. Tiang demi tiang, batang pohon, kayu, semua terbelah oleh sambaran tajam selendang sang dewi.

Boom! Boom! Boom! Boom! Boom! Boom! Boom! Boom! Boom!

Ki Juru Martani berhasil mengelak dan menghindari serangan dari Dewi Uma dengan memanfaatkan kecepatan dan kelihaiannya mendarat di posisi manapun dan kapanpun. Sampai pada akhirnya ia berdiri terpojok dengan punggung tersudut ke tembok. Ki Juru Martani menghadap ke depan dengan berani tanpa melakukan kuda-kuda apapun. Ia hanya mengetukkan kakinya ke tanah beberapa kali.

Dewi Uma yang wajahnya sudah berubah menjadi seperti tengkorak gosong tersenyum menyeringai mengerikan, lidahnya keluar dan menjulur-julur sesekali seperti ular sementara kesembilan selendang di belakangnya bergerak-gerak menari. Suaranya terdengar mengerikan, “Mengapa pasrah? Sudah menyerah?”

“Ilmu kanuragan yang luar biasa. Njenengan mampu merubah selendang menjadi senjata yang tajam bagaikan pisau, konsep yang unik dengan menggabungkannya dengan legenda rubah ekor sembilan. Penggunaan konsep yang meskipun tidak orisinal tapi fungsional, sungguh sangat menarik. Kuacungkan jempol,” Ki Juru Martani bertepuk tangan meski dalam ucapannya ada penekanan seperti sindiran.

“Raaaaaaaaaaaaaawwwrr!” Dewi Uma meraung dan mengamuk kembali. Kesembilan selendang menyerang ke depan untuk memotong-motong tubuh Ki Juru Martani.

Brkggghh! Brkggghh! Brkggghh! Brkggghh! Brkggghh!

Serangan itu menemui ruang kosong. Tiba-tiba saja sang pria bertopeng Klana Merah sudah tak ada lagi di posisinya, lenyap tak terlihat. Tapi Dewi Uma mampu merasakan aura sang lawan. Ia mendongak. Ki Juru Martani melompat ke atas dan mendarat di atas tangan genderuwo hitam yang ia panggil. Karena penampakan sosok astral itu hanya berupa energi, Ki Juru Martani melompat kembali ke atap salah satu pendopo yang menempel di tembok luar.

Ki Juru Martani berbisik perlahan, “Girap-girap Amuk Ratu Bhumi.”

Kedua tangan hitam raksasa yang muncul di samping si Topeng Klana Merah bergerak ke kanan dan ke kiri, seakan memberikan ruang di tengah. Dari ruang tersisa antara tangan kanan dan kiri muncul kepala dan badan raksasa yang menyeruak ke atas, tak ada wajah dan rambut normal di kepala raksasa yang muncul, hanya hitam kelam membulat yang terlihat. Kini sudah setengah badan dari sosok raksasa yang tingginya menjulang ke atas muncul di hadapan Dewi Uma. Dengan munculnya setengah badan, gerakan kedua tangan menjadi lebih leluasa dan itu jelas sangat merepotkan sang dewi karena setiap saat kedua tangan itu bisa saja menyerangnya.

Ki Juru Martani turun ke bawah dan langsung berlutut, tangannya menyentuh tanah sementara ia menatap ke arah sang Dewi. Sang Topeng Klana Merah mengucapkan beberapa rapalan dalam bisikan yang disampaikan kepada angin malam. Tangan pria itu mengusap-usap tanah yang becek seolah tengah mengelus-elus sesuatu.

Dewi Uma memiringkan kepalanya, mempertanyakan apa yang dilakukan oleh sang lawan, tapi dia juga tahu tak boleh berlama-lama menunggu karena setiap saat bisa saja akan muncul sesuatu yang akan membahayakan dirinya.

“Raaaaaaaaaaaaaawrrrrr!” Sang Dewi meloncat dan mengudara, mengembangkan kesembilan selendang dan melontarkannya ke depan.

Tapi ilmu kanuragan Obong Alengka muncul kembali secara tiba-tiba, mengubah Ki Juru Martani menjadi lidah api raksasa yang tak tertembus, membuatnya menjadi sehitam arang dengan semburat putih di mata saja. Selendang-selendang Dewi Uma tak mampu menembus pertahanan api luar biasa dari sang Topeng Klana Merah.

“Cih,” Dewi Uma mengumpat perlahan. Tapi dia bukan tanpa akal, wanita jelita yang wajahnya kini laksana tengkorak hitam itu mengumpulkan Ki yang lebih besar untuk menyerang Ki Juru Martani dan menembus pertahanan api-nya. Dewi Uma tahu dia bisa melakukannya.

Ki Juru Martani juga tahu bahaya yang dikumandangkan oleh sang dewi, itu sebabnya dia buru-buru merapal jurus yang selanjutnya. “Wahai Datuk Kumbang, kirimkan padaku sepuluh perwiramu.”

Terdengar raungan menghebat di malam yang hujannya seakan menangisi jatuhnya para korban di peperangan yang tak tentu juntrungannya. Raungan itu tidak hanya satu, tapi dua, tiga, empat, hingga sepuluh kali terdengar. Raungan binatang buas yang haus darah dan ingin memangsa. Bau anyir tercium di sekeliling Dewi Uma, menandakan bahaya sebentar lagi datang untuk menyergapnya.

Dewi Uma mengernyitkan dahi dan mundur ke belakang, memberikan jarak antara dirinya dan Ki Juru Martani. Apa lagi yang dilakukan bedebah bertopeng itu sekarang? Aura Ki yang keluar dari si Topeng Klana Merah sungguh sangat mengerikan saat ini. Besarannya naik turun, tak tentu. Penguasaan Ki Juru Martani atas Ki sungguh sangat menakjubkan, dia seperti sudah tahu bagaimana membuka, menutup, memanggil, dan menyembunyikan Ki dengan kemampuan yang tarafnya sudah sangat tinggi. Dewi Uma semakin menyadari betapa mengerikannya lawan kali ini.

“Untuk melawan sembilan, diperlukan sepuluh,” ucap Ki Juru Martani, suaranya terdengar seperti meremehkan. Ada kekehan pelan di sana, memperdengarkan suara tawa yang terpendam dari balik topeng, “perkenalkan kawan-kawanku… mereka datang untuk menyambut kehebatan njenengan.”

Tepat di samping kanan dan kiri Ki Juru Martani yang masih terus berlutut untuk mengelus-elus bumi, muncul dari kegelapan sepuluh sosok siluman harimau besar yang meraung-raung dengan ganasnya. Kesepuluhnya berjalan anggun seakan-akan muncul dari pintu astral yang dibuka. Tubuh mereka teramat besar dan kokoh, nampak seperti nyata meskipun tak terlihat oleh mata yang tak mampu mengamatinya. Dewi Uma yang berilmu tinggi tentu saja mampu melihat kesepuluh makhluk yang meraung-raung bersamaan itu. Ki Juru Martani berdiri dan mengelus-elus salah satu dari kesepuluh harimau yang kini ada di sisinya. Harimau itu memiliki jambul khas yang unik.

Hewan siluman itu menatap Dewi Uma dengan pandangan buas, seolah ingin melahap sang wanita yang sebenarnya juga berwujud mengerikan.

Dewi Uma mendesis bagai ular, ia melaju ke depan dengan kecepatan tinggi. Satu harimau meloncat dari kanan hendak menyerang, salah satu selendangnya beraksi. Tapi alih-alih melukai, sang harimau mampu berkelit dan menggigit selendang sang dewi dan menguncinya. Begitu salah satu dari mereka berhasil mengunci selendang Dewi Uma, sembilan yang lain pun bergerak menyerang bersamaan.

Kekacauan pun terjadi.

Kedelapan selendang yang tersisa mencoba menyerang para harimau dan melindungi sang Kanjeng Putri Perguruan Kuburan Kuno, tapi masing-masing harimau itu mampu berkelit dengan cara sendiri-sendiri dan menggigit ujung selendang yang kini tak berdaya dalam kuncian taring.

Dewi Uma terjebak.

Kesembilan selendangnya kini dikunci oleh sembilan harimau, dibentangkan ke sembilan penjuru. Harimau-harimau itu tak main-main saat menggigit dan menarik selendang. Semuanya membentang dan menarik, loncat ke atas atap, lari menjauh, naik ke atas pohon, masuk ke dalam sumur, semuanya dilakukan untuk menarik selendang hingga ke kuncian terakhir.

Dewi Uma terpaksa mendarat dan dengan geram terdiam, kuku-kuku tajamnya memanjang, lidahnya terus mendesis.

Harimau kesepuluh berjalan mengitarinya, harimau yang berjambul. Dewi Uma terpaksa memutar-mutar badan untuk mengawasi sang harimau. Tangannya mencoba menjangkau ke depan, cakarnya mencoba melukai sang harimau, tapi tak kena.

Gaduh Banaspati.” Terdengar Ki Juru Martani mengucapkan mantra.

Dewi Uma mengumpat karena dia baru saja teringat sesuatu.

Wanita berwajah tengkorak itu mendongak, tepat di atas mereka – kedua tangan raksasa si genderuwo tanpa wajah ternyata telah selesai memilin bola api energi, ia menarik mekar bola api energi itu untuk membentuk tiga bola api energi yang lebih kecil. Meskipun lebih kecil, tapi ukuran ketiga bola api energi baru masih tetap besar. Tiga bola api raksasa yang baru berukuran sebesar kira-kira satu kuda dewasa.

Si Tanpa Wajah menjentikkan jari di bola api energi yang pertama.

Dewi Uma segera menyilangkan tangan di depan wajah karena ia tidak dapat lepas dari posisinya yang terkunci. Ia segera dikelilingi oleh lingkaran pelindung yang tak kasat mata. Pertahanan sang Dewi nampak seperti bola gelembung transparan yang melindunginya hingga jarak dua meter jauhnya.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Ledakan terjadi, tubuh Dewi Uma terdesak ke bawah sehingga membentuk ceruk yang meretakkan tidak saja aspal tapi juga concrete-block yang disusun rapi di depan gerbang Sasana Wiratanda. Ceruk melingkar berukuran empat meter tercipta seketika. Tanah yang dipijak Dewi Uma seperti luruh ke bawah.

Si Tanpa Wajah menjentikkan jemarinya. Bola api energi kedua meluncur.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Dewi Uma semakin tenggelam ketika gelombang besar energi api menghantamnya. Ceruk tanah yang terbentuk kini semakin dalam. Gigi-gigi tajamnya bergemeretak sementara wajah tengkoraknya yang mengerikan perlahan-lahan berubah menjadi normal saat gelembung pelindungnya mulai mengecil. Wanita cantik itu menatap ke depan, keringatnya deras mengucur. Si harimau jambul menggeram-geram di luar gelembung yang tersisa.

Reroncen Kembang Wuludemit.”

Terdengar suara berbisik namun jelas terdengar di sanubari.

Dewi Uma terbelalak, ia menatap ke atas. Tepat berada di atasnya, Ki Juru Martani terbang dan memutar-mutar sesuatu di tangannya. Apa yang mewujud di tangan Ki Juru Martani mirip seperti cemeti energi berwarna biru. Dengan satu lecutan, cemeti itu menjulur panjang hingga mencapai posisi Dewi Uma, bahkan melebihi. Seberapa jauhpun, cemeti itu sepertinya sanggup mencapainya.

Ctrrrrrrr!

Gelembung energi pelindung Dewi Uma bergetar hebat saat ditampar oleh cemeti biru Ki Juru Martani. Sang Kanjeng Putri merasa terheran-heran dengan banyaknya ilmu kanuragan yang dikuasai oleh sang lawan. Dia harus mengakui kehebatan si pria bertopeng Klana Merah. Orang satu ini benar-benar raja diraja dalam hal perbendaharaan ilmu.

Ctrrrrrrr! Ctrrrrrrr! Ctrrrrrrr!

Krtkkkkkghh!


Tiga kali cambuk dilecutkan, kondisi gelembung pelindung Dewi Uma makin mengkerut, bahkan kemudian suara nyaring terdengar karena retakan demi retakan bergabung – tanda bahwa gelembung itu akan segera pecah.

Tapi Dewi Uma adalah Dewi Uma. Wanita jelita itu malah tersenyum. “Tak diduga tak disangka, njenengan ternyata sangat luar biasa. Beruntungnya saya, ada yang hadir dan menyapa.”

Bredaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakghhh!

Gelembung pelindung Dewi Uma pecah.

Si Tanpa Wajah menjentikkan jemarinya. Bola api energi ketiga meluncur.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Bagaikan seluncur nuklir mengenai sasaran, ledakan hebat kembali terjadi, luas ceruk semakin lebar dan semakin dalam, debu tebal bertebaran ke sana kemari, menutup pandangan dari ceruk yang melingkar dan turun hingga hampir satu meter ke bawah.

Sang harimau berjambul meraung, disusul oleh kawan-kawannya yang mengaum buas. Ki Juru Martani turun ke bawah dengan anggun, matanya masih terus memicing ke depan. Cemetinya masih terus dilecutkan berulang.

Dia sebenarnya tidak percaya Dewi Uma akan kalah begitu saja. Dia tak akan percaya pada apapun, tidak sampai ia melihat mayatnya.

Ctrrrrrrr!

Ki Juru Martani melecutkan sekali lagi cemeti energi biru-nya ke depan. Ke arah debu-debu tebal menggunung yang seakan-akan tiada berhenti mengudara. Basahnya air hujan yang turun deras seakan tak membuat debu-debu itu segera sirna, tetap tebal, tetap pekat.

Ki Juru Martani tertegun saat menyadari sesuatu. Serangan cemetinya tak mengenai siapapun. Tidak ada apa-apa di dalam debu! Itu artinya tidak ada Dewi Uma!

Ctrrrrrrr!

Sekali lagi Ki Juru Martani melontarkan cemeti energinya ke arah gumpalan debu tebal yang menggunung bagaikan wedhus gembel menuruni Gunung Menjulang. Lagi-lagi tak menemui sasaran, Ki Juru Martani makin curiga. Ia menarik cemeti energinya untuk…

Sppphhh!

Ki Juru Martani terkejut, cemeti itu tak kembali, dan lebur di udara. Seolah-olah ada yang mematikan katup energi sehingga cemeti energi itu sirna di pandangan. Semilirnya udara malam ditambah hujan yang kian deras membuat suasana semakin malam kian dingin. Sejuknya angin sepoi-sepoi berhembus ringan di tengah hujan mendirikan bulu kuduk siapapun yang ada di sana. Suasana sungguh sangat angker saat itu, seperti ada sesuatu yang berbeda yang hadir tapi tak kasat mata.

Pria bertopeng klana merah itupun tersenyum karena ia menyadari apa yang terjadi. Ki Juru Martani menjentikkan jari – dan dalam sekejap penampakan si Tanpa Wajah dan kesepuluh perwira harimau lenyap dari pandangan. Pria itu pun berjalan ke arah pendopo, berlindung dari hujan dan duduk di sebuah kursi lipat merah, ia bersidekap dan menundukkan kepala dengan badan diarahkan ke arah debu-debu yang belum juga sirna.

“Sudah saya tunggu-tunggu kehadiran anda. Silakan, saya tunggu di sini.”

Debu-debu yang tadinya tebal menggumpal mendadak berputar dengan poros di tengah, menyusut dan mengudara membentuk segitiga kerucut yang kian lama kian menghilang. Menyurutnya debu-debu yang menjadi pelindung keberadaan Dewi Uma itu kini menyisakan kehadiran satu sosok gagah yang berdiri bersebelahan dengan sang Dewi.

Dewi Uma ternyata tetap sehat tak kurang suatu apa. Masih tetap cantik, menarik, dan anggun dengan kain putih yang kini sedikit basah dan kotor. Hanya ada satu perbedaan yang teramat kentara. Wanita berumur yang masih tetap jelita itu menunduk dengan wajah memerah karena malu. Sungguh sangat kontras dengan apa yang sejak tadi dilakukan. Rasa malu itu mungkin muncul karena kini tangan kanannya tengah digandeng oleh seseorang yang berdiri didepannya.

Seorang pria yang juga sudah berumur dan sedikit kurus berdiri dengan gagah menggandeng Dewi Uma. Ia hadir dengan pakaian turtle neck warna hitam, celana jeans slim-fit, dan sepatu Neo Balance. Rambutnya yang sudah mulai jarang tersisir rapi dengan potongan sangat tipis sementara kacamata yang bertengger di hidungnya membuat penampilannya kian sophisticated, Ia terlihat terpelajar sekaligus mengintimidasi. Karena siapapun yang melihatnya sudah langsung paham kalau kehadirannya di sini tidak untuk bermain-main. Dia sedang sangat serius. Begitu seriusnya sehingga kalau diamati, bisa terlihat bercak-bercak darah di tangan kanannya. Darah yang jelas bukan darah sang pemilik tangan.

“Ki Juru Martani,” sebut sang pria di depan Dewi Uma.

“Bapak Nazaruddin Zein,” ucap Ki Juru Martani yang kini mendongak ke depan. Topengnya terlihat mengerikan dengan senyum yang kaku dan sangat mengancam.

Kedua orang yang sedang berhadapan itu sedang menimbang-nimbang kekuatan dan aura masing-masing lawan, mencoba memperkirakan jurus dan ilmu kanuragan yang bisa dipanggil sebelum akhirnya berjumpa dalam pertarungan yang sesungguhnya.

“Ilmu kanuragan anda membuat saya kagum, Pak Zein. Anda memang seorang pemimpin sejati yang kekuatan dan kebijaksanaannya tak lekang oleh jaman. Semoga selalu sehat dan diberikan berkah hingga akhir waktu.”

“Terima kasih doanya, Ki Juru Martani. Tapi… ayolah… kenapa menggunakan topeng? Kenapa harus repot-repot begitu? Kita sudah saling kenal bukan? Ternyata njenengan yang selama ini memegang peranan sebagai sosok misterius yang membuat kota ini gonjang-ganjing. Setelah bertatap muka seperti ini barulah saya paham siapa njenengan.”

“Saya ini pemalu, Pak Zein. Begitu malunya saya sehingga saya memaksa diri ini untuk mengenakan topeng sebagai penutup wajah. Heheheh.”

“Malu dari tindakan pengecut karena bergerak di belakang orang lain?”

“Lebih tepatnya malu karena saya tidak bisa memberikan utopia bagi warga masyarakat yang selama ini menderita karena telah menjadi korban dari pertarungan tanpa juntrungan dari kelompok-kelompok yang berseteru di kota ini. Saya malu kalau sebagai manusia gagal menyelamatkan rakyat kecil dari keganasan kelompok-kelompok yang berkuasa.”

“Bukankah itu alasan yang dibuat-buat saja? Rakyat menderita itu rakyat yang mana? Selama ini semua baik-baik saja. Wajar kalau ada satu dua masalah jalanan, toh perseteruan bisa diselesaikan dengan mudah tanpa perlu melibatkan banyak orang yang akan menjadi korban sia-sia,” Pak Zein menggandeng Dewi Uma yang tiba-tiba saja diam seribu bahasa dan menurut kemanapun Pak Zein membawanya. Mereka masuk ke dalam pendopo tempat Ki Juru Martani berada, berlindung dari hujan, “Saat ini semuanya sudah lebih dari itu, lebih dari sekedar salah paham. Nyawa telah melayang, dendam lama dikaburkan oleh dendam baru. Bukankah ini yang namanya membuat rakyat menderita? Karena ambisi njenengan, rakyat sekitar tempat ini telah menjadi korban.”

Jer basuki mawa beya. Untuk mendapatkan kejayaan, dibutuhkan pengorbanan.”

“Pelunasan ambisi berdalih utopia adalah satu alasan yang konyol. Begitu konyolnya sehingga saya dan JXG tidak akan mengijinkan hal seperti itu terjadi. Yang lebih konyol lagi adalah… njenengan bahkan bukan warga kota ini.”

“Tapi aku warga kota ini.”

Terdengar satu suara menyambung percakapan antara Ki Juru Martani dan Pak Zein. Seorang pria datang dan langsung masuk ke dalam pendopo. Ia tidak mengeluarkan aura Ki apapun, dia berjalan dengan santai tanpa takut dan tanpa peduli. Meski sudah berumur tapi badannya terlihat bugar, sehat, tegap, dan berotot seperti layaknya anak muda yang setiap minggu masuk ke gym.

Satu hal mencolok dari pria yang baru saja masuk ke dalam pendopo… adalah bahwa dia juga mengenakan Topeng Klana Merah.

“Janu,” desis Pak Zein menahan emosi.

“Apa kabar, Mas Zein?” terdengar kekehan om Janu dari balik topeng, “boleh ya saya menumpang meneduh di sini? Hujannya agak deres.”

Di samping om Janu, berdiri pria lain yang tak asing. Ia memakai pakaian hitam dengan aksesoris klenik, seperti tongkat akar kayu, kalung, cincin akik, ikat kepala, gelang akar, dan sabuk ber-pocket. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Ki Demang Undur-undur. Dia hanya diam saja dan mengikuti kemanapun om Janu melangkah.

Pak Zein tidak mempedulikan sosok itu, dia fokus pada om Janu, “Mau menumpang berteduh di sini? Tidak pernah ada yang melarang, tapi apakah kalian sudah kulonuwun pada juru kunci Sasana Wiratanda? Beliau bukan orang yang ramah jika menyangkut kerusakan tempat sakral ini. Di selatan, tempat ini adalah tempat yang diagung-agungkan. Sebaiknya kita tidak bersikap kurang ajar.”

“Mengenai Mbah Juru Kunci njenenengan tenang saja. Sudah kami cek, beliau kebetulan sedang tidak ada di tempat. Kami sudah memastikannya,” om Janu terkekeh lagi, entah nasib apa yang menimpa sang juru kunci Sasana Wiratanda. Sepertinya bukan nasib baik, “Tapi cukup mengagumkan lho. Padahal sudah diberikan pembatas di dua jalur utama, tapi kok ya njenengan bisa lolos masuk ke sini tanpa banyak kesulitan. Tapi itu wajar saja karena njenengan toh yang empunya wilayah, betul atau tidak, Mas Zein?”

“Betul sekali. Kalian semua telah berlaku kurang ajar terhadap tuan rumah. Menurutmu, orang-orang yang melanggar wilayah seperti itu perlu dihukum atau tidak, Janu?”

“Oh jelas perlu. Perlu sekali. Orang-orang yang kurang ajar harus dihukum,” om Janu menyeringai di balik topeng, “Silakan hukum saja… kalau bisa. Heheh.”

Di satu sisi ada Pak Zein yang menggandeng Dewi Uma, di sisi lain ada Topeng Klana Merah kembar – Ki Juru Martani dan om Janu, serta Ki Demang Undur-undur.

Suasana menghangat dalam arti yang sangat negatif di dalam pendopo.

Siapapun tahu apa yang akan segera terjadi di tempat itu.

Hujan turun semakin deras.





.::..::..::..::.





Ki Kadar terengah-engah dibopong oleh seseorang yang membawanya sampai ke sudut sebuah rumah yang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya. Sang pembopong mendudukkan pria sepuh itu dan mulai menyalurkan tenaga dalamnya, memberikan energi booster untuk menghidupkan Ki dalam tubuh Ki Kadar, memberikannya energi untuk tetap memantik cahaya kehidupan yang sempat redup hampir padam.

Aliran Ki menyapu kelelahan dan arus jahat di dalam tubuh Ki Kadar, membuatnya hangat dan lebih bertenaga.

Ki Kadar terbatuk-batuk, ia muntah darah.

“Cukup… sudah cukup… sudah tidak bisa lagi.” ia menepuk paha sang penolong yang saat ini tengah menyalurkan tenaga dalam kepadanya, “Terima kasih, Kage. Tapi aku sudah terlalu letih, luka-luka di tubuhku ini juga sangat parah, aku tidak mungkin bisa bertarung lagi. Sepertinya hari ini akan menjadi hari terakhir bagiku hidup di dunia.”

Kage menggelengkan kepala. Ia menunjuk-nunjuk dirinya sendiri, lalu membuka telapak tangan, menyentuhkan telapak itu ke dada Ki Kadar, dan menunjuk-nunjuk sang pria sepuh yang dihormati.

“Heheheh. Terima kasih, tapi tidak perlu. Percuma saja kalau tenagamu kau bagi untukku. Tidak ada untungnya. Simpanlah tenagamu, Kage. Kamu lebih membutuhkannya dari aku. Pertarungan di luar sana masih berlangsung, bantulah saudara-saudaramu, bantulah JXG bertahan atau bahkan memenangkan perang kali ini,” Ki Kadar menepuk-nepuk pundak sang ninja.

Kage menunduk.

“Janganlah bersedih,” Ki Kadar menarik napas panjang, “kamu tahu kan yang tadi bukan Hanzo?”

Kage mengangguk.

“Tolong kalau bertemu dengan muridku itu… kamu sadarkan dia sebisanya. Jika tidak bisa… bunuhlah dia sebelum dia menyakiti orang lain tapi dengan cara yang paling tidak menyakitkan, kumohon jangan biarkan dia menderita. Hamdani yang sebenar-benarnya adalah murid yang sangat aku banggakan. Dia tidak akan pernah menyakiti siapapun. Dia juga tidak akan pernah melawanku. Sayang sungguh sayang dia jauh ke tangan yang salah.”

Kage mengangkat pundaknya.

“Kenapa? Kenapa orang-orang itu mengubah Hamdani menjadi robot mereka? Alasan yang sama kenapa Lek Suman selalu menjadi kunci dalam setiap pertarungan. Dia satu-satunya orang selain Lek Suman yang mampu mengoperasikan ajian untuk mengaktifkan fungsi sesungguhnya dari cagak bebandan. Kenapa dan bagaimana dia bisa melakukannya… itu cerita yang lain lagi…”

Kage menunduk. Ki Kadar menyentuhkan jemarinya di dada sang ninja, menunjuk ke jantungnya.

“Kamu pemuda yang baik, Kage. Kamu punya hati dan punya nurani. Meskipun ilmu kanuraganmu tak sehebat yang lain – tapi kamu selalu bisa lepas dari situasi apapun tanpa terlihat, bisa lolos tanpa terdeteksi. Selalu. Karena kamu adalah kage – bayangan. Kalau kamu kelak pulang kembali ke kampungmu, kamu bisa membuktikan pada orang-orang di sana bahwa Kage yang sekarang adalah Kage yang berbeda, Kage yang tak bisa lagi mereka bully seenaknya hanya karena bisu.” Ki Kadar terkekeh, tapi kemudian kembali terbatuk. Riak yang ia keluarkan bercampur dengan darah yang menghitam, waktunya sudah tak banyak.

Kage langsung gelisah melihatnya, tapi Ki Kadar tersenyum dan menepuk pundak sang ninja. “Tenang saja, aku tidak apa-apa. Seperti kata pepatah… hidup dengan pedang, mati pun dengan pedang. Aku hidup karena ilmu kanuragan, mati juga karena ilmu kanuragan.”

Kage masih nampak kebingungan, dia kecewa pada dirinya sendiri karena tak bisa merawat luka Ki Kadar yang fatal dengan baik. Dia kecewa pada dirinya sendiri.

“Buka topengmu, Kage. Aku ingin melihatmu untuk terakhir kalinya…”

Kage menurut.

Wajah seorang pemuda Jepang muncul di hadapan Ki Kadar. Wajahnya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, bahkan cenderung tampan untuk ukuran pria asing. Seperti anggota Shinsengumi X yang lain, usianya masih sangat muda, tapi kemampuannya sudah luar biasa. Secara stealth, Kage adalah yang terbaik – secara ilmu kanuragan, Kage bahkan berada jauh di bawah Hanzo.

“Kamu tidak perlu minder dengan kemampuan kamu. Kamu hanya perlu berlatih, berlatih, dan berlatih. Selama ini kamu berhasil menghindar dari orang-orang yang mem-bully dirimu. Kini saatnya kamu menolong mereka yang membutuhkan bantuanmu. Gunakan ilmu kanuragan dan kemampuanmu untuk menjadi bayangan sebagai jurus terhebat yang kamu miliki. Jika kamu terus berlatih, jangankan Shinsengumi X, kamu bahkan bisa menggantikanku sebagai anggota Empat Anak Panah JXG. Aku tidak perlu menjadi orang yang jenius untuk tahu bahwa kamu punya potensial.”

Kage menggeleng kepala.

“Kage… diamlah sejenak, cah bagus.” Ki Kadar memejamkan mata. Ia menyentuh pundak sang ninja. Kage pun merasakan ada kehangatan dalam tubuhnya. Sesaat ia terdiam saja, namun setelah beberapa waktu berlalu dan ia terlena, barulah Kage menyadari apa yang terjadi.

Ki Kadar memindahkan tenaga terakhirnya ke tubuh Kage.

Sang ninja mulai meronta karena tidak ingin Ki Kadar menyalurkan tenaganya ke dalam tubuh Kage. Tapi sekuat apapun Kage meronta, ia tak bisa melepaskan diri dari tangan Ki Kadar yang kuat mencengkeram pundaknya.

Tidak hanya tenaga dalam, Ki Kadar juga menyalurkan seluruh saripati ilmu yang ia pelajari melalui transfer tenaga yang ia lakukan. Ia menyadari waktunya sudah tiba, lebih baik tenaga dalam yang sudah ia latih sejak muda diberikan kepada pemuda yang berbakat ini daripada hilang ditelan masa. Seorang pemuda seperti Kage pasti mampu memanfaatkannya dengan baik.

Kage berkaca-kaca, ia merasa tak berhak, merasa hina, dan merasa kalah karena tak mampu menyelamatkan Ki Kadar. Ia justru merasa dirinya tak pantas menerima apapun yang diberikan oleh sang guru JXG itu. Tubuh pemuda itu pun bergetar.

Setelah beberapa waktu berjalan, Ki Kadar mendongak, ia menatap wajah Kage, dan tersenyum teramat tulus. Sesaat kemudian kepala Ki Kadar jatuh di dada sang ninja.

Kage berteriak dalam kesunyian.

Untuk beberapa saat lamanya Kage terdiam, ia menidurkan tubuh Ki Kadar yang masih hangat dalam posisi terbaik. Pemuda itu kemudian bersimpuh di hadapan Ki Kadar, dan memberikan penghormatan terakhirnya. Dia berjanji akan memanfaatkan tenaga pemberian Ki Kadar untuk tujuan yang lebih baik. Dia berjanji akan menyelamatkan Hamdani – atau membunuhnya dengan teknik yang tidak akan menyakitinya sesuai wejangan dari Ki Kadar.

Kage berdiri dan berjalan cepat ke arah jendela sembari menutup kembali topengnya. Ia membuka jendela belakang rumah, menengok ke halaman belakang dan melihat adanya tangga untuk menuju ke ruang jemur dan tempat toren air. Kage melirik ke arah Ki Kadar sekali, lalu naik ke atas untuk mencari jalur kereta api.

Ia dan teman-teman dari Shinsengumi X sudah berjanji kalau jalur evakuasi yang akan mereka gunakan untuk melarikan diri adalah jalur yang di seberang rel kereta api. Jadi kesanalah dia harus pergi supaya dapat bertemu dengan kawan-kawannya. Untuk itu dia harus mencari lokasi itu dari posisi atas. Kage segera bergegas menuju ke lantai yang digunakan untuk menjemur pakaian.

Tak butuh waktu lama bagi Kage untuk menemukan lokasi yang ia tuju. Dengan gerakan ringan yang tak terdeteksi siapapun, Kage meloncat dari rumah ke rumah, toko ke toko, ruko ke ruko, atap ke atap, semua dilakukan untuk mencapai posisi tujuan yaitu jalur rel kereta api. Dengan satu salto bertenaga ia melompati rel kereta api dengan mudahnya dan langsung menyeberang ke sisi yang lain. Kage berlari kembali untuk menuju ke gang yang direncanakan sebagai jalur evakuasi Shinsengumi X.

Hari ini Kage merasa lebih segar, kekuatannya seperti bertambah berkali-kali lipat, lompatannya jadi bisa lebih jauh dan lebih mudah tanpa menguras banyak tenaga. Jadi seperti ini rasanya memiliki kekuatan super. Selama ini kemampuannya hanya lenyap seperti bayangan dan bergerak tanpa terdeteksi, ilmu yang berguna untuk menjadi mata-mata, mencuri, atau bersembunyi. Tapi tak berguna untuk melindungi siapapun. Ia sekarang jadi bisa seperti ini… semua berkat Ki Kadar.

Kage menyesal sekali tidak berani menyerang Hanzo gadungan yang ternyata melukai Ki Kadar secara fatal. Andai saja kemampuannya lebih tinggi, mungkin Kage bisa menghentikan peristiwa naas itu terjadi. Tapi karena dia terlambat bertindak dan mengira bahwa itu adalah Hanzo, Kage bingung harus berbuat apa. Dia merasa bersalah sekali ternyata hal itu membuat Ki Kadar mangkat.

Kage benci terlihat seperti pengecut dan paling benci menjadi pengecut. Mulai sekarang dia akan berubah, dia tidak peduli lagi nyawa sendiri asal bisa menyelamatkan orang lain terlebih dahulu.

Sang ninja tidak akan mengira bahwa ia akan segera berjumpa dengan situasi sedemikian.

Saat berbelok usai menyusuri gang demi gang, tiba-tiba saja ia bertemu dengan dua kelompok yang sedang saling berhadapan. Secara naluri sebagai ninja, Kage bersembunyi dengan menyelip ke sudut gelap. Siapa mereka? Kage memberanikan diri mengintip. Ia terbelalak.

Membelakanginya, ada dua orang. Si Hanzo gadungan alias Handoko Hamdani dan Pasat yang berdiri tegap di sebelahnya. Sementara di seberang sana ada Hanzo, Naoko, dan Usagi yang sepertinya pingsan. Itu teman-temannya! Tapi mana yang lain? Kenapa Hanzo asli ada di sini? Hanzo yang asli tak akan meninggalkan saudara-saudara mereka untuk kabur seorang diri! Biasanya dia menjadi yang terakhir datang jika ada apa-apa.

Pasti ada sesuatu yang terjadi. Apakah Shinsengumi X sudah… habis? Kage menggemeretakkan gigi dengan geram. Kenyataan seperti itu tak terpikirkan olehnya hingga saat ini.

Hal yang ditakutkan terjadi di gang yang lebarnya hanya sekitar dua sampai tiga meter.

Hamdani berteriak kencang atau lebih tepat disebut meraung. Bagai binatang buas yang kelaparan, dia berlari ke depan. Mulut terbuka lebar dengan air liur yang menetes-netes. Hanzo mencoba menghadang dengan ayunan pedang, tapi Hamdani dengan lincahnya meloncat ke samping. Memanfaatkan tembok, pria yang terhipnotis itu menjejakkan kaki ke sisi kiri, berjalan dua langkah menyusuri tembok vertikal, dan melalui Hanzo yang dengan lihainya mengayunkan senjata memenuhi ruang.

Hamdani secara luar biasa melewati hadangan Hanzo. Dengan memanfaatkan posisi, Hamdani kini berada di belakang Hanzo, saling memunggungi. Hamdani mengulurkan tangan ke belakang, dan menarik kepala sang pimpinan Shinsengumi X ke bawah.

Brakkkkghhh!

Tubuh Hanzo luruh ke jalan. Bagian belakang Kepala dihentakkan terlebih dahulu. Begitu cepatnya kejadian itu sehingga sebelum Naoko ataupun yang lain bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi, Hamdani sudah beraksi. Hanzo yang kesakitan mencoba bergulir ke samping, tapi Hamdani bergerak lebih cepat, ia menendang kepala sang pimpinan Shinsengumi X.

Bletaaaaaakghh! Bletaaaaaakghh! Bletaaaaaakghh! Bletaaaaaakghh! Bledaaaaaakghh!

Kepala Hanzo tersambar berulang-ulang kali. Tendangan yang terakhir begitu kerasnya sehingga tubuhnya sampai terlempar dan terlontar ke tembok di samping.

Brrrkghhh!

Hanzo luruh ke bawah dan terkapar. Pandangannya langsung berkunang-kunang, kesadarannya keluar masuk. Ia tergeletak di tengah jalan, mencoba dengan susah payah untuk kembali berdiri, karena kepalanya pusing bukan kepalang usai ditendang sangat keras oleh Hamdani.

Hamdani sendiri langsung memanfaatkan kelengahan Hanzo untuk menyerang Naoko yang tengah melindungi Usagi yang sudah pingsan. Naoko bersiap menghadang dengan segenap kekuatan. Tapi sekali lagi, Hamdani sanggup menghindar sekaligus langsung menyarangkan serangannya. Pria itu bergerak dengan sangat lincah, cepat dan cekatan, tidak peduli apapun yang dilakukan lawan dia akan melakukan counter. Hamdani mampu bergerak dengan bebas, dia menunjukkan kemampuan tanpa mempedulikan konsekuensi gerakan, semua dapat dilakukan karena ia tak sadar.

Setelah menghindari serangan Naoko, Hamdani berkelit ke bawah, tangan kanannya ditarik mundur sedikit, lalu dilontarkan ke depan dengan sekuat tenaga.

Bledaaaaaammmnnn! Bledaaaakghhh!

Tubuh Naoko terbang ke belakang. Kepalanya terantuk ujung tembok dan ia jatuh ke depan dengan wajah terlebih dahulu. Wajah Naoko langsung terpapar concrete block. Gadis itu mengerang kesakitan dengan posisi tengkurap.

Hamdani mengangkat kakinya ke atas, tumit terlebih dahulu meluncur ke bawah. Dalam satu sambaran, ia akan meremukkan tulang tengkorak kepala Naoko.

Brrrkghhhhh!

Naoko selamat.

Justru Hamdani ambruk ke belakang.

Ada seseorang yang menubruknya dari depan dengan satu spears kencang. Hamdani meronta. Hanya perlu satu tendangan untuk mementalkan sosok yang baru saja menubruk dan hendak meremuk tulang-tulang rusuknya. Sosok itu jatuh terguling-guling.

Sosok itu ternyata adalah Usagi yang sempat tersadar sesaat. Ia kini sudah sangat kesusahan untuk bergerak. Ia sudah sangat kepayahan. Usagi pasrah menerima nasib. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah. Ia tahu ia sudah mendekati akhir. Tubuhnya berdiri dengan gemetar, darah mengucur tak henti. Ia bergoyang sempoyongan ke kanan dan kiri. Matanya sayup-sayup.

Hamdani yang sempat ambruk meloncat ke depan dan berdiri dengan dua kaki kokohnya, menancapkan diri di posisi. Ia meraung penuh amarah. Pria yang kini bagaikan zombie itu membentuk angin yang mewujud seperti kerucut padat di telapak tangannya, seperti kumparan yang terus berputar-putar, seperti mata bor yang siap meluncur.

Hamdani mengayunkannya ke depan. Kerucut padat berpendar itu melaju kencang hendak menusuk dada Usagi yang berdiri gamang. Serangan untuk menyudahi nasib sang dara jelita.

Hanzo terbelalak saat menyadari jurus apa yang tengah digunakan oleh sang lawan, itu Tanduk Angin Sakti! Jika terkena akan fatal akibatnya! Dengan kecepatan tinggi Hanzo melontarkan tubuh ke depan untuk memotong lengan Hamdani dengan pedangnya.

Tapi itu tidak terjadi. Ayunan pedang Hanzo meleset. Hamdani dengan cekatan beringsut ke samping. Sungguh mengherankan memang kemampuan tinggi Hamdani yang meningkat pesat justru setelah dia kehilangan kesadarannya.

Kaki Hamdani melayang ke wajah Hanzo, mendorongnya ke dinding tembok di samping mereka.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaakghhhh!!

Kepala Hanzo kembali terantuk, dia ambruk ke samping.

Sblp.

Tanduk Angin Sakti menemui mangsanya.

Usagi yang terengah-engah sudah tidak mampu berkata-kata. Ia ambruk ke belakang.

Tapi sebelum ambruk ia masih sempat melihat seseorang melindunginya. Seseorang yang kini berdiri dengan punggung tertancap serangan sang zombie. Dia menghalangi laju Tanduk Angin Sakti dari Hamdani agar tidak mengenai Usagi.

Darah mengucur dari orang yang baru saja berdiri di antara Hamdani dan Usagi. Orang itu membungkuk untuk membelai rambut dan pipi sang dara. Ada banyak cerita di antara mereka yang belum sempat rampung diceritakan. Cerita tentang sebuah pertemuan dan perpisahan, tentang loyalitas dan pengkhianatan. Tentang kasih yang tak bisa berlanjut, meski hati sudah sama-sama tertaut. Tentang cinta sederhana. Tapi itu adalah sebuah cerita untuk lain waktu.

“Kamu tidak apa-apa kan? Syukurlah…” Orang itu adalah Pasat. Dia tersenyum pada Usagi, “ca-carilah pertolongan. Kamu butuh pengobatan dan…”

Pasat ambruk di samping Usagi. Punggungnya berlubang ditembus Tanduk Angin Sakti yang sudah ditarik mundur oleh Hamdani. Posisi Pasat bersebelahan dengan Usagi, keduanya saling berpandangan. Darah membasahi jalanan. Pemuda itu terengah-engah menahan rasa sakitnya. Ia menggenggam tangan Usagi, dingin terasa.

Usagi menarik tangannya dari genggaman tangan Pasat dan menggunakannya untuk mengelus pipi sang pemuda. Usagi sudah tak mampu lagi mengucapkan kata, lukanya teramat parah. Usagi memejamkan mata dan tenggelam dalam pingsan untuk kali kedua. Tangannya yang lemas luruh ke bawah.

“Jangan! JANGAN!! JANGAAAANN!!!” Pasat meradang.

Ia mencoba bergeser untuk memastikan nasib dara jelita yang terkapar di sampingnya. Pasat menyentuh nadi Usagi. Pemuda itu mendengus-dengus, keringatnya deras menuruni dahi, ia menatap ke arah Hamdani dengan penuh amarah.

“Apa yang telah kamu lakukan…? APA YANG TELAH KAMU LAKUKAN!? SADARLAAAH BANGSAAAT!!”

Bledaaaaaaaaaaaaaakghhh!!

Luncuran tendangan kaki Hamdani menghentikan emosi Pasat, pemuda yang tengah emosi itu disambar kepalanya dengan tendangan kaki yang ganas yang membuat Pasat terlempar jauh dan jatuh terguling-guling ke dalam parit.

Hamdani meraung kencang, wajahnya kembali terlihat buas.

Ia tidak lagi mempedulikan Pasat, Usagi, ataupun Naoko, dan memilih menengok ke belakang, ke arah Hanzo. Hanzo yang kepalanya masih sangat pusing kembali berdiri dengan sempoyongan, sekuat tenaga pemuda itu mengayunkan pedang ke depan. Membentuk huruf X di udara, membangun pertahanan. Kenapa Hamdani bisa sekuat ini? Aneh sekali. Hanzo terheran-heran dengan kemampuan sang lawan. Apakah karena saat ini Hamdani bertarung tanpa pikiran? Apakah karena dia telah berubah menjadi zombie yang tak kenal rasa sakit sehingga dia bisa jauh lebih bebas dan buas?

Hanzo tidak akan sempat memikirkan jawaban pertanyaannya itu.

Hamdani menyorongkan telapak tangannya ke depan.

Fbooom!

Tubuh Hanzo terlempar dan terseret ke belakang karena dorongan hempasan tenaga dalam, ia terguling-guling, celananya robek-robek karena hempasan. Ia terlontar sampai jarak sepuluh meter sebelum terhenti terseret karena… karena ada seseorang yang menahan tubuhnya!

Ada aura Ki yang tiba-tiba saja meningkat sangat besar.

Hanzo menengok ke samping. Ia menjumpai sosok yang sangat ia kenal.

“Ka-Kage…!?”

Kage tak menjawab. Ia melesat ke depan. Ia tak ingin lagi selamanya bersembunyi dalam kegelapan. Kegelapan bukanlah tempat sembunyi karena menjadi pengecut! Kegelapan adalah senjatanya! Kage berlari kencang. Ia meloncat ke kanan dan kiri memanfaatkan tembok, kegelapan, dan hujan yang turun deras. Keberadaannya tak nampak di pandangan karena gelapnya suasana.

Hamdani mendengus-dengus, ia kembali meraung. Sebenarnya Hamdani bukan zombie yang tak memiliki pikiran, dia hanya sudah dicuci otak sehingga bekerja bagaikan cyborg, bagaikan manusia mesin. Hamdani memejamkan mata untuk memantau gerakan sang ninja.

Tapak-tapak kaki Kage yang meloncat-loncat terdengar oleh Hamdani. Pria itu menggerakkan kepalanya ke kanan, ke kiri, kanan, kiri, tengah, atas, kanan, kiri, kanan. Hamdani menggerakkan kepalanya mengikuti gerakan Kage.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaakghhhh!

Tubuh Hamdani terlempar dan terbanting ke samping. Ia terguling-guling. Hamdani berhenti dalam pose berlutut. Ia terheran-heran mengapa ia tidak dapat memantau gerakan Kage yang sebelumnya sudah terbaca. Belum sempat berdiri telapak tangan Kage sudah mendarat di wajahnya. Kage mendorong kepala Hamdani ke belakang, merobohkan tubuhnya, dan menghentakkannya ke jalanan.

Jbbbbkghkkkkgghh! Jbbbbkghkkkkgghh! Jbbbbkghkkkkgghh! Jbbbbkghkkkkgghh!

Berulang kali Kage menghentakkan kepala Hamdani ke bawah. Belakang kepala sang zombie dihantamkan ke jalanan yang keras. Luka terbuka, darah pun mengucur. Tapi Hamdani bukannya tanpa solusi. Ia kembali membuktikan kemampuannya. Ia mencekik leher Kage dan membanting tubuh pemuda itu ke samping.

Bruuuuaaakghhhkkkhh!

Kage yang terbanting langsung bangkit dan terbang ke atas untuk berdiri di atap sebuah rumah sambil terengah-engah, dia masih belum paham benar cara memanfaatkan energi berlimpah yang diwariskan oleh Ki Kadar. Tapi setidaknya dia sudah menunjukkan potensinya. Kini dia harus menundukkan Hamdani sebelum saudara-saudaranya terbunuh.

Hamdani sendiri tengah mendengus-dengus. Ada sesuatu yang sepertinya hilang… tapi apa? Hamdani meraung marah saat menyadari Naoko dan Usagi sudah tak ada lagi di tempat semula.

Naoko ternyata sudah membawa Usagi pergi ke ujung jalan.

Hamdani berlari dengan kencang untuk mengejar keduanya. Kage dan Hanzo yang menyadari apa yang terjadi ikut berlari kencang. Pasat yang masih pingsan tenggelam di parit, darahnya mengalir melalui air comberan dan tumpahan hujan.

Naoko panik saat menyadari Hamdani mampu meringkas jarak antara mereka dengan kecepatan yang mustahil dibayangkan jika tidak melihatnya secara langsung.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Tubuh Hamdani terbang ke belakang. Wajahnya berceruk seperti terkena hantaman sangat keras. Ia bahkan sampai memejamkan mata karena kencangnya pukulan yang tiba-tiba saja hinggap. Begitu kencang dan hebatnya pukulan itu sampai-sampai Hamdani terbang melewati Kage dan Hanzo sekaligus. Ia jatuh terguling-guling, terlempar ke atas, dan jatuh kembali ke bawah.

Kage berhenti mendadak. Ia menggunakan tembok di depannya untuk memantul dan langsung meloncat ke belakang untuk mengejar Hamdani.

Di depan gang, di hadapan Naoko dan Usagi, ada seorang pemuda yang berdiri dengan gagah. Ia menengok ke arah Naoko dengan wajah khawatir. Naoko menatap orang yang lagi-lagi telah menyelamatkannya untuk kesekian kali. Mata gadis itu berkaca-kaca.

“Kamu tidak apa-apa?”

Naoko menggeleng dan mengeluarkan airmata, “Kemana saja kamu? Aku sudah menunggumu.”

Tentu saja itu ungkapan kerinduan, karena keduanya tidak pernah menjanjikan apapun satu sama lain. Sang pemuda tersenyum, “Tenang saja. setelah ini aku tidak akan kemana-mana.”

Keberadaan Naoko dan Usagi memancing pasukan lawan yang dipimpin oleh Agus Lodang. Pemuda itu pun berdiri dan melindungi kedua dara dengan tubuhnya.

Bian telah hadir di arena.





.::..::..::..::.





Booom! Boooooom! Boooooom! Booooom!!

Ledakan demi ledakan terjadi. Serangan beruntun mengenai sang Dewa Iblis Rahu Kala yang berdiri tegap tak bergeming di tengah jalan. Pertahanan prima ia pertontonkan kepada semua penyerangnya.

“Sudah? Begitu saja serangan kalian?”

Lima orang pemuda perkasa dengan kemampuan mereka yang telah meningkat pesat mencoba menantang sang Dewa Iblis, tapi sejauh ini mereka berhadapan dengan tembok tak tergoyahkan. Serangan-serangan yang dibangun oleh Simon Sebastian sang Pemuncak Gunung Menjulang, Rao sang Hyena Gila, Amar Barok sang Panglima Singa Emas, Deka si Gondes, dan Hageng sang T-Rex tidak berhasil menembus pertahanan prima sang Dewa Iblis.

“Sial… orang ini terbuat dari apa sih?” Amar Barok yang baru saja terlempar jauh berjalan ke depan dengan gagah berani.

Satu tangan menyentuh bahu Amar, menghentikan langkahnya.

Amar melirik ke samping. Ada Simon dan Rao berdiri di sana.

Simon berbisik, “Mas Amar merasakan ada yang aneh tidak dari Rahu Kala? Kita seperti dikunci di tempat ini, dalam area lingkar pertahanannya yang seputar dan sekitar lima meter, bentuknya melingkar dengan pusat pada si Rahu. Kita tidak dapat keluar, selalu terjaga dalam area itu tanpa sadar. Kita juga tidak dapat mengeluarkan Ki kita dengan sempurna. Masa iya Ki kita hanya seperti memiliki kekuatan kelas D saja. Terasa ada yang menekan tenaga kita dengan hebatnya.”

“Bedebah bangsat itu diam-diam telah menjebak kita. Apa yang dilakukannya mirip seperti apa yang dilakukan salah satu kacuk Tiga Gentho dari Bondomanan. Aku pernah merasakannya,” Rao cekikikan, menertawakan dirinya sendiri yang seperti orang bodoh, “Dia sedang mempermainkan kita seperti tikus dalam perangkap. Ki hebatnya menekan Ki kita seperti katup Wifi yang ditutup dan dibatasi aksesnya. Bajingan memang.”

Amar akhirnya menyadarinya. Kedua orang ini memang cerdas dalam pertarungan, keduanya selain punya insting natural juga punya pengalaman dalam mengamati keadaan.

“Hla… kalian tidak usah berbisik-bisik. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang kalian bicarakan, Hahahaha. Ternyata ketahuan juga ya. Padahal sudah diam-diam aku lakukan.” Rahu Kala berucap kencang. Kelima pemuda di hadapannya berdiri dengan tegap. Masing-masing dari mereka mengambil posisi lima arah mata angin, menghadap ke tengah, mengincar Rahu Kala. “Penasaran? Aku jelaskan saja ya. Aku menyebutnya Dimensi Pasir Hisap – ilmu kanuragan baru yang aku pelajari yang digunakan dengan menyebarkan tekanan Ki pada ukuran area pertahanan lebih kurang lima meter. Dengan jurus ini aku bisa menjebak lawan seperti fungsi sarang laba-laba dan menekan Ki yang mereka miliki hingga ke level minimal. Jurus ini tidak berlaku untuk lawan yang kuat atau setara. Kalau kalian terjebak, itu artinya Ki kalian masih jauh di bawahku. Hahaha. Lumayan bukan? Tidak perlu Cagak Bebandan, tapi menghabiskan Ki cukup banyak.”

Dimensi Pasir Hisap,” Deka menggemeretakkan gigi, sungguh gemas rasanya dia dipermainkan oleh sang Dewa Iblis. Orang yang benar-benar licik. “Pantas saja aku tidak bisa mengeluarkan Ki-ku. Sial! Ada-ada saja caranya menjebak kita!”

“Terjebak? Cih,” Hageng melangkah maju, ia seperti tidak peduli, “Kita mazih biza berjalan dengan normal dan menggunakan kepalan. Aku tidak peduli, aku tetap akan menghajarnya dengan ataupun tanpa tenaga Ki.”

“Tangan kosong? Baiklah. Tanpa Ki,” Deka menengok ke arah Amar, Simon, dan Rao. Mereka bertiga juga mengangguk. “Tangan kosong.”

“Bagus sekali! Kalian mau menyerangku dengan tangan kosong ya? Tidak memakai tenaga dalam? Hahaha… nekat sekali. Tapi ayolah! Aku terima-terima saja tantangan kalian!” Rahu Kala bertepuk tangan. Sang Dewa Iblis memang tak pernah menolak bertarung.

“MAJU!” lantang Amar Barok berucap memberikan komando.

Kelima pemuda bergerak bersamaan, menyerang dari lima arah. Tanpa Ki, tanpa tenaga dalam, tanpa apapun. Mereka tidak peduli. Nekat? Biar saja.

Rahu Kala tidak menghindar, dia bahkan terus bergerak dengan gerakan ringan dan anggun, menghindar dari kepalan kelima jagoan muda yang menyerangnya. Seolah-olah dirinya adalah bulu kapas yang terbang ditiup angin. Tak tersentuh.

Hageng tidak akan membiarkan itu terjadi.

Sang T-Rex melakukan serangan spears kencang ke Rahu Kala. Dia berlari kencang ke depan, lalu meloncat dan menubruk bagian perut dengan sentakan bahu yang kokoh. Menerbangkan tubuh sang Dewa Iblis ke belakang. Rahu Kala yang tersentak tak mengira kekuatan Hageng mampu menerbangkannya. Ia menggunakan siku lengannya untuk menghantam punggung Hageng.

Sang T-Rex berteriak kesakitan dan jatuh ke bawah.

Tapi serangan tentu tak berhenti begitu saja. Tubuh Rahu Kala yang terlontar menjadi sasaran tendangan Rao. Dengan kekuatan ekstra, Rao yang sudah terbiasa bertarung tanpa Ki tak masalah menghadapi Rahu Kala. Tendangan beruntun dilontarkan tiga kali. Tiga kali pula sepakannya menghajar kepala sang Dewa Iblis.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Tapi tendangan Rao tidak bisa menjatuhkan Rahu Kala, kepala pria perkasa itu sama sekali tak bergeming. Dengan satu hantaman, justru Rahu yang mampu menyingkirkan kaki Rao. Kaki sang Hyena Gila laksana dipukul oleh besi baja tepat di tulang keringnya. Rao terpelintir ke bawah. Kaki Rahu Kala beraksi. Dengan satu jejakan dari belakang, kepala Rao disodok ke aspal.

Jbooooookghhhh!

Kepala Rao bagai dilesakkan ke dalam aspal yang sama sekali tidak empuk.

Jbkkkkkkkkkkkkghh! Jbkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkghhhh!

Serangan ganda menyusul tak lama setelah Rahu menenggelamkan Rao. Satu tendangan ganda ke wajah muncul dari sisi kiri, satu lagi serangan ke tulang rusuk masuk dari sisi kanan. Keduanya masuk bersamaan. Kali ini Rahu merasakannya hingga ia tertatih mundur ke belakang. Deka dan Amar Barok mundur untuk memasang kuda-kuda kembali, lalu tanpa terlalu lama memijakkan kaki ke bawah, keduanya melejit ke depan. Amar di kiri dan Deka di kanan.

Badai pukulan terjadi.

Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh!

Setiap pukulan Amar ditahan oleh tangan kiri Rahu, demikian pula tangan kanannya menahan serangan pukulan dari Deka. Rahu Kala kehilangan keseimbangan ketika kakinya tersangkut sesuatu. Sesuatu yang ternyata adalah kaki Rao yang mengaitnya.

Rahu jatuh dengan posisi terlentang.

Melihat sang lawan terkapar, kelima pemuda bergerak bersamaan dengan kecepatan tinggi. Mereka meloncat dan menghunjamkan sambaran kaki ganda ke bawah. Amar Barok ke kepala, Rao ke kaki, Deka ke tangan kanan, Simon ke tangan kiri, dan Hageng ke bagian selangkangan. Gerak loncatan mereka bagaikan irama indah yang seirama dan senada, bersamaan dengan gelegar guntur yang membahana di angkasa.

Boooooom! Booom! Boooooom! Boooooom! Booooom!!

Lima injakan kaki ganda mengendai sasaran. Rahu Kala benar-benar tak bisa mengelak kali ini. Seluruh tubuhnya jadi sasaran. Sang Dewa Iblis meraung kencang, ia memutar kakinya ke atas bak baling-baling helikopter. Kelima pemuda tersambar dan terlontar ke lima penjuru. Rahu melompat ke depan dan berpijak dengan kokoh pada dua kaki.

Ia melesat ke arah Amar Barok dan langsung memegang wajahnya dengan setangkup tangan kokoh. Amar yang tak siap diserang mencoba meronta tapi tak bisa lepas dari genggaman tangan Rahu Kala. Dengan mudahnya sang Dewa Iblis membanting tubuh dan kepala Amar ke aspal.

Jbuaaaaaaaaaakghhhh!

Panglima Singa Emas bagaikan diremuk kepalanya oleh Rahu. Deka yang melihat itu langsung menyerang dengan mencoba menubruk tubuh sang Dewa Iblis. Tapi alih-alih bisa masuk kedalam pertahanannya, Rahu Kala dengan mudah menyepak kepala Deka, membuat pemuda itu terpelanting dan terguling-guling ke samping.

Bledaaaaaaaaaaaaaakghhhhhh!

Tumit Rao menghajar kepala Rahu Kala. Sang Dewa Iblis pun jatuh sampai berlutut. Tapi tak lama, ia meloncat ke atas dan menghajar dagu Rao dengan satu kepalan.

Bledaaaaaaaaaaaaaakghhhhhh!

Rao mencelat dipukul setelak itu dari depan. Sang Hyena Gila terlontar ke belakang dengan kesadaran mulai menghilang. Ia jatuh berdebam di aspal dan terguling-guling hingga akhirnya berhenti dan terdiam dalam pingsan.

Simon, Deka dan Hageng belum menyerah. Mereka menyerang bersamaan sekali lagi. Simon yang sadar Ki-nya masih tersisa walaupun seadanya mulai menghimpun tenaga dalam. Deka mengerahkan kekuatan untuk memegang dan mengunci tangan kanan Rahu, sementara Hageng mengunci kaki. Simon yang memegang tangan kiri Rahu melejitkan kepalannya yang sudah berbalut Ki.

Itu adalah Pukulan Geledek.

Bledaaaaaaaaaaaaaammmhhhhh!

Rahu Kala tergeser sedikit, kepalanya terpelanting ke kanan karena pukulan dari Simon. Sang Dewa Iblis memutar badan dengan cepat, Simon tak bisa bertahan, demikian juga Hageng. Mereka terlepas dari pegangan masing-masing. Hanya tinggal Deka yang mampu mengunci tangan kanan Rahu. Tapi tak lama. Rahu mendorong kepalanya ke arah kepala Deka!

Head butt!

Bledaaaaaaakkkghhh!


Deka terjatuh dengan pandangan berkunang-kunang dan pusing tujuh keliling. Satu sepakan kaki Rahu ke pelipis tak bisa ia hindari.

Bledaaaaaaakkkghhh!

Deka terseret di tanah hingga ujung jerat Dimensi Pasir Hisap. Ia terkapar tak berdaya dengan kesadaran keluar masuk. Deka memaki dirinya sendiri dalam hati karena tak mampu berlatih lebih baik untuk membalas kematian om Tarjo pada Rahu Kala. Ia gegabah karena belum sehat seratus persen saat terjun ke perang kali ini.

Rahu Kala tertawa-tawa, semua lawannya terkapar tak berdaya.

Dia berjalan mendekati Hageng dan menjerat lehernya dalam genggaman tangan. Ia meremas leher raksasa sang T-Rex, mencekiknya dengan tangan kanan, dan mengangkat tubuh tinggi besar Hageng yang ternyata masih kalah besar dari sang Dewa Iblis.

“Ada kemampuan yang masih belum kamu keluarkan. Beruntung aku menekan Ki-mu. Itu menjadikan kamu berbahaya. Saatnya mati terlebih dahulu.”

Hageng meronta-ronta, ia mencoba menyalakan Ki ataupun melepaskan cengkraman tangan Rahu Kala pada lehernya, tapi sia-sia belaka. Ki-nya tidak dapat diledakkan dan Sang Dewa Iblis masih jauh lebih kuat daripada dirinya.

“HAGEEEENG!” Simon Sebastian berteriak kencang.

Dengan penuh khawatir dia melesat ke depan, menyalakan Ki sekuat yang bisa, dan Pukulan Geledek pun dilontarkan. Tangan kanan Sang Pemuncak Gunung Menjulang melejit ke depan, mencoba menyerang wajah Rahu Kala.

Hpp.

Tangan kiri Rahu Kala menangkap hantaman Simon dengan mudahnya. Bisa apa Pukulan Geledek dengan Ki yang minimal? Rahu memutar tangan Simon ke kiri, membuatnya berteriak kesakitan dan menggemeretakkan gigi dengan geram. Tubuh Simon terpelintir ke kiri.

Hageng melihat kesempatan. Kakinya diangkat bersamaan secara vertikal dan dijejakkan ke dada Rahu Kala dengan satu tangan bertumpu lengan sang penyerang.

Lagi-lagi tidak ada efek apapun.

Sang Dewa Iblis tersenyum.

Tangan kirinya berpindah dengan cepat ke leher Simon. Kini ia berhasil mencekik kedua penguasa Pukulan Geledek. Simon di kiri dan Hageng di kanan. Dengan satu loncatan, ia membawa kedua pria bertubuh besar itu ke atas, lalu dibenamkan ke aspal dengan satu hempasan kencang.

Bledmmmmbhhhhhhh!!

Punggung Simon dan Hageng terasa hancur lebur saat tubuh mereka dibanting ke jalanan. Sungguh ironis. Jurus ini namanya chokeslam, jurus yang dulu sering digunakan Hageng saat masih menggunakan teknik gulat bebas ala WWE. Kini ia dan Simon sama-sama tergeletak di bawah kaki pria yang terlalu perkasa bahkan untuk mereka berdua.

Rahu Kala berdiri dengan perkasa, kelima pemuda gagal menembus pertahanannya. Rahu Kala memperhatikan tangannya yang kokoh perkasa, ia mengangguk-angguk. Luar biasa sekali jurus yang diajarkan oleh Mox kepadanya ini. Dimensi Pasir Hisap. Darimana pula si Bule Gila memperoleh jurus sehebat ini?

Terdengar suara di kejauhan.

Rahu Kala tertegun. Ia memicingkan mata ke cakrawala.

Seperti… ada cahaya? Cahaya kecil dari jarak yang sangat jauh yang terlihat seperti cahaya lampu petromak. Mungkin kalau diperkirakan secara hiperbola, jaraknya hampir setengah kilometer karena masih jauh sekali dari posisinya sekarang, secara umum Rahu Kala berada di tengah jalanan yang landai dan lurus tak berkelok hingga hampir satu kilometer sehingga dapat melihatnya.

Setelah mengamati, Rahu Kala baru menyadari. Cahaya itu ternyata bergerak mendekat menuju ke arahnya. Rahu Kala mendengus, lampu motor? Anggota Dinasti Baru lagikah yang tengah…

Rahu Kala terbelalak. Mulutnya terbuka lebar. Tubuhnya gemetar, Keringatnya menetes deras. Tiba-tiba saja, cahaya kecil itu melesat ke arahnya dengan sangat kencang dan membawa kekuatan teramat besar, cahaya yang tadinya terlihat kecil makin lama makin besar dengan kecepatan dewa. Cahaya itu berukuran lebih besar dari tubuhnya yang sudah besar, mungkin lima kali lipat besarnya dari tubuh besar sang Dewa Iblis.

Tapi bukan cahaya itu sendiri yang membuat Rahu terkejut, tapi wujud yang ditampilkannya. Rahu Kala tak mempercayai pandangannya.

Cahaya itu ternyata adalah perwujudan kepala seekor ular naga dengan ekor teramat panjang yang makin lama makin mendekat. Bagai raksasa yang bebas bergerak dengan kecepatan tinggi, sang naga berkelak-kelok menyusuri lebarnya ruas jalanan. Makin lama makin dekat, mulut sang naga terbuka lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajam dan buas yang siap melahapnya kapan saja. Naga itu meraung-raung dengan ganasnya, memperdengarkan suara yang belum pernah terdengar sebelumnya.

Rahu membuka ilmu kanuragan, jurus pertahanan solid yang sejak tadi dipertontonkan kali ini dimunculkan kembali dan diperkuat. Ia menyilangkan tangan di depan wajah, berlindung dari kekuatan hebat yang akan…

Bledaaaaaaammmmmbhhhhhhhhhhhhkkkghhh!!!

Serangan naga itu menembus pertahanan Rahu, mengenainya bagaikan ledakan bom dengan suara yang memekakkan telinga. Rahu Kala terhempas ke belakang hampir belasan meter. Tubuhnya terseret di aspal. Ia terjatuh, terbanting, terhempas, terpapar, dan terantuk aspal berulang-ulang kali. Rusuknya terasa remuk bagai disambar oleh kapal tanker raksasa.

Begitu kencang dan hebatnya serangan itu sampai-sampai saat ini Rahu Kala terkapar tak berdaya di bawah derasnya hujan, seluruh tubuhnya nyeri, linu, dan lebam.

“A-aura itu…” bisik sang Dewa Iblis lemah. Tubuhnya panas seperti terbakar. Ia mencoba duduk karena untuk berdiri membutuhkan waktu, “Aura itu…”

Raungan binatang buas yang belum pernah ia dengar sebelumnya kembali terdengar membahana di bawah derasnya hujan yang turun. Rahu Kala sadar, lawan yang sesungguhnya sebentar lagi akan sampai di arena. Lawan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang yang ingin menjajal ilmu kanuragan paripurna. Lawan yang ia tunggu-tunggu. Lawan yang bisa membuatnya gentar.

Rahu Kala memperhatikan tangan kanannya. Masih bergetar sampai sekarang. Bergetar tanpa bisa ia hentikan, tanpa bisa ia kendalikan.

Ia harus berdiri. Ia harus berdiri untuk menyambutnya!

Rahu tahu pasti siapa yang telah hadir.





BAGIAN 22 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 23


Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mohon kesediaannya untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan nonton Piala Dunia. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd