Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 23
ARJUNA




“Jangan takut akan kehebatan (seseorang):
beberapa terlahir hebat,
beberapa berhasil mencapai kehebatan tersebut,
dan beberapa memiliki kehebatan yang diwariskan pada mereka.
- William Shakespeare




.:: SEBELUMNYA



Semilir sendu angin yang mengalun di tepian malam, mendirikan bulu kuduk meremang bagai rasa takut yang menjuntai mengucapkan salam. Kala terdengar jejak kepak sayap di kegelapan, terkelindan satu pertanyaan, siapakah dia yang berjalan di angkasa nan senyap? Siapa yang terbang di atas sampan nirmana semu bersayap, yang cahayanya berkerlip dan berkerlap? Siapa yang duduk di kereta khayalan nan mengangkasa dengan bertahap, menjelajah malam disertai napas menderu dan kaki yang terus berderap?

Siapa yang mendengar semilir sendu sang bayu? Mendarat seakan tak perlu, bersinggah hanya sambil lalu. Lalu kembali mengangkasa setelah sesaat menyapa. Menyapa hanyalah salam yang menghempas dan menyapu, seakan memeluk tapi ternyata hanyalah ilusi masa lalu. Masa lalu yang ada atau tiada, siapa yang tahu? Apa yang nyata dan apa yang halu?

Mungkin saat itu semua pandangan disamarkan dan semua pendengaran dikaburkan. Semua tak nampak karena terkecoh oleh hembusan angin malam. Sehingga tidak ada satupun yang sadar dan dapat melihat dalam kelam, pemandangan magis di langit yang temaram, bagai fantasi yang tersulam.

Tiga dara terbang melintas hutan, mengarungi langit malam nan kelam, menembus hujan, gerimis, dan mendung yang menggantung mengaburkan bayangan rembulan. Gerak mereka lembut dan anggun, dengan gerakan tangan bagai menari meski tanpa musik mengalun, tangan-tangan lentik mereka menggerakkan selendang ke kanan dan kiri, seolah tengah mendayung di sendang yang menghanyutkan, di atas sampan nan perlahan berayun, padahal ketiganya tengah mengerahkan ilmu meringankan tubuh seiring nyanyian angin yang mendayu, yang membawa mereka mengarungi langit tanpa terlihat oleh siapapun. Meloncat dan memindahkan pijakan dari dahan, ranting, dan daun.

Sri Rani alias Kemuning yang terdepan – dara yang mengenakan sabuk berwarna kuning, disusul oleh Sri Widuri yang mengenakan sabuk warna biru, dan yang terakhir Sri Andari yang mengenakan sabuk berwarna merah. Ketiga gadis itu memiliki paras cantik yang cantik luar biasa meski hanya berhias ala kadarnya, ketiganya juga bertubuh indah dengan lekuk tubuh yang membuat iri semua wanita, selain itu ketiganya berkulit seputih pualam dan harum mewangi sepanjang malam.

Saat mencapai satu lokasi, ketiga dara itu terhenti. Di depan mereka kini terdapat jalan setapak dengan pohon besar yang bercabang tiga yang terjalin di hadapan ketiganya. Kemuning berdiri di posisi terpisah dari Andari dan Widuri. Ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

Suasana gelap dan gerimis tidak membantu.

“Mbakyu Kemuning, kita sudah sangat jauh. Apakah lokasi yang disampaikan oleh Nyai Dorogapit itu benar ada di sini? Jika lokasi yang kita tuju sudah benar, yang mana dari ketiga jalur ini yang harus kita tempuh?” tanya Sri Andari yang merupakan dara paling muda dari ketiga bidadari, ia menyapu peluh sebesar biji jagung yang mengaliri dahi, kelelahan terbayang di wajahnya “Kita tidak menemukan apa-apa sejak tadi. Kita sudah menghindari kerumunan dan keramaian, masuk ke hutan, dan menjelajah kesana kemari. Tapi aku mulai ragu. Apakah Mbakyu yakin dengan lokasinya? Atau jangan-jangan… kita tersesat?”

Rani pun menengok ke kanan dan kiri. Dia juga bingung harus menjawab apa. Meskipun bertanggung-jawab atas kedua adik seperguruannya sekaligus menemukan lokasi yang diusulkan oleh Nyai Dorogapit, tapi gadis yang juga akrab dipanggil dengan nama Kemuning itu tanpa disadari sepertinya telah membawa adik-adik seperguruannya tersesat dan salah jalan. Maklum saja, terakhir kali ia keluar dari markas Perguruan Kuburan Kuno sudah sangat lama, dan dia tidak hapal dengan suasana kota.

Tapi ia hanya mendengus dan melirik ke arah Andari dengan pandangan mata sinis. Ego senior mengungkung dirinya, ia tidak ingin terlihat bodoh di hadapan yunior, meskipun apa yang dikatakan Andari ada benarnya.

“Kenapa bertanya, Andari? Apakah kamu meragukan kemampuanku dan beranggapan kalau kita bertiga tersesat? Memangnya kenapa kalau kita tersesat? Kamu takut? Ingin pulang saja?” Kemuning membalikkan pertanyaan dengan nada datar, seakan tersesat pun tak menjadi masalah. Walau nampak dingin, tapi Kemuning adalah dara mandiri dan tangguh yang siap untuk bertanggungjawab penuh jika Nyai Dorogapit ataupun Kanjeng Putri marah besar pada mereka bertiga nantinya, sesungguhnya dia sangat menyayangi yunior-yuniornya termasuk Widuri dan Andari.

Adalah Rani yang akan menanggung akibatnya kalau mereka bertiga dihukum dan siap berkorban demi Widuri dan Andari. Meskipun terkesan sinis dan superior.

Widuri menyenggol lengan Andari dengan siku tangannya.

“Ah… ti-tidak, Mbakyu Kemuning. Hanya saja… hanya saja aku bertanya-tanya mengenai lokasi tepat dari tujuan kita. Apakah sudah benar sesuai yang disampaikan Nyai Dorogapit atau tidak, Aku yakin mbakyu Kemuning jauh lebih memahami,” Andari meneguk ludah dengan ketakutan.

Dara jelita berambut panjang itu menundukkan wajah karena takut. Di Perguruan Kuburan Kuno, senioritas sangat dipertimbangkan, dan Rani yang murid langsung dari Nyai Dorogapit jelas memiliki wibawa sebagai salah satu yang tertua.

Kemuning menghela napas panjang. “Maafkan aku, Andari. Aku tidak bermaksud untuk meremehkan pertanyaanmu. Lokasinya tidak salah, jadi kita tidak tersesat. Aku hanya sedikit lupa – ke arah mana tujuan kita dari tiga percabangan ini.”

Ketiga bidadari itu berdiri dengan gamang di depan jalur percabangan. Pilih yang mana untuk ke tujuan mereka?

“Mungkinkah kita memanggil Nyai Dorogapit? Apakah jarak kita sudah jauh dari perguruan?” tanya Widuri, “Mungkin bisa kita undang beliau untuk datang dengan memasang tanda asap.”

“Tidak bisa. Bom asap justru akan mendatangkan orang-orang yang tidak menyukai Perguruan Kuburan Kuno,” Kemuning menggeleng, “Orang-orang seperti itu pasti memahami cara kita memberikan kabar pada para tetua. Akan sangat berbahaya menggunakan panduan asap jika tidak benar-benar kondisi berbahaya. Meskipun nama perguruan kita sudah lama hilang ditelan jaman, tapi masih banyak yang mengenal dan mengetahui keberadaan kita. ”

Andari dan Widuri menganggukkan kepala.

“Benar sekali. Akan berbahaya jika gerak gerik kalian diketahui banyak orang. Nyai Dorogapit tidak akan setuju kalian menggunakan bom asap jika tidak benar-benar membutuhkan. Aku juga tidak akan menyarankan.”

Kemuning terbelalak. Dia mundur ke belakang untuk bergabung dengan Widuri dan Andari. Siapa yang baru saja menimpali apa yang dia ucapkan? Dara jelita yang rambut panjangnya sampai ke punggung itu langsung bersiaga. Matanya yang runcing menatap ke depan dengan tajam. Tiba-tiba saja tempat itu terasa makin terang. Awalnya hanya ada lampu kecil yang menjadi penanda jalan setapak yang kemungkinan digunakan oleh warga yang membutuhkan.

Seorang pria tua turun dari langit dengan anggun, seorang tetua dengan janggut panjang. Usianya tak tertebak, auranya memenuhi ruang bebas dengan penuh, menekan Ki dari ketiga dara dengan sangat dominan. Hanya dengan sekali lihat, Kemuning paham betapa mengerikannya kekuatan sang pria tua yang gerakannya anggun di hadapan mereka ini.

“Sepertinya njenengan paham sekali siapa kami. Tapi kami masih belum paham siapa njenengan, Tetua. Jika diperkenankan, bolehkah kami bertanya siapa anda?” tanya Kemuning sembari memberikan kode kepada kedua adik seperguruannya untuk mundur. Orang yang tiba-tiba saja menemui mereka bertiga dan paham siapa mereka dengan mudah bukanlah orang yang bisa dipandang sebelah mata.

Sang pria tua tersenyum dan mengangguk sembari mengelus-elus janggut panjangnya yang berwarna putih, wajahnya adem dan menenangkan, tapi Kemuning tidak ingin tenggelam pada tipu-daya dari siapapun. Gadis jelita itupun bersiaga.

“Namaku sudah ditelan jaman, tidak akan ada pentingnya disebutkan. Aku dahulu pernah memiliki keluarga dan perguruan, tapi karena pengkhianatan… semuanya hilang. Aku tak akan bisa mati dengan tenang jika tak menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan di masaku.”

Nada suara sang pria tua sempat turun sejenak menandakan keengganannya bercerita, ceritanya terasa mengambang. Tidak hanya ceritanya, sang pria tua itu ternyata tidak turun ke bawah dan menjejak tanah. Dengan hebatnya dia terus melayang di hadapan ketiga dara jelita.

“Setidaknya sebutan supaya kami bisa memanggil anda, Tetua.”

“Panggil saja aku sang Angin.”

“Eyang Angin.”

Sang pria tua yang terbang dengan santainya itu tersenyum pada ketiga dara. “Kalian adalah utusan Nyai Dorogapit yang ditugaskan untuk membantu menuntaskan pertikaian di tengah kota. Tapi sadarilah bahwa jika kalian melakukan tugas itu sekarang, maka tidak akan ada pertikaian yang usai. Yang ada justru kehancuran yang datang lebih cepat dari seharusnya. Jangan lakukan.”

“Kami hanya mengikuti perintah dari Nyai.”

“Aku memahaminya. Oleh karena itu aku sampaikan kepada kalian bahwa saat ini sudah ada seorang pemuda yang akan menyelesaikan pertikaian di sana dan menjadi pembeda dan penentu akhir perang. Tenanglah dan berpikir dengan kepala jernih. Aku tidak akan memaksa dan menyerang kalian, ikut atau tidaknya kalian menanggapi ocehanku, itu adalah keli”

Kemuning menatap kedua adiknya satu-persatu. Mereka juga kebingungan. Batin Kemuning sebagai wakil dari para gadis itu pun berkecamuk. Bagaimana ini?

“Sekarang aku memohon kepada kalian bertiga untuk melakukan hal lain yang tidak kalah pentingnya,” Tetua Angin berucap tegas.

Ketiga dara Perguruan Kuburan Kuno saling berpandangan. Dari mana tetua ini mengetahui perihal Nyai Dorogapit? Keberadaan mereka jelas-jelas bukan sesuatu yang diketahui oleh banyak orang, terlebih mengenai Nyai Dorogapit.

Pria tua itu kembali tersenyum bijak saat menyaksikan Kemuning, Andari, dan Widuri kebingungan, “Ya, aku mengetahui banyak hal.”

“Mohon maaf jika kami lancang, wahai Tetua Angin nan bijak,” Sri Kemuning menjura dengan hormat, wanita jelita itu mengucapkan kata demi kata dengan hati-hati. Ada bagian dari intonasinya menggunakan dialek yang cukup kental yang menandakan bahwa ia berasal dari pesisir pantai utara. “Siapakah gerangan anda? Kenapa anda mengenal kami dan tahu apa yang harus kami kerjakan?”

“Nyai Dorogapit adalah salah satu nama tenar di dunia persilatan yang mengundurkan diri sejak masa lampau demi mengabdi pada Perguruan Kuburan Kuno. Nyai Dorogapit bukan nama, tapi julukan. Julukan yang diturunkan dari generasi ke generasi kepada juru kunci Perguruan Kuburan Kuno. Siapapun yang menjadi Nyai Dorogapit, akan menjadi guru sejati yang menurunkan berbagai kecakapan bagi para dara berilmu tinggi. Bukankah demikian?”

“Benar sekali.”

“Jika aku jadi kalian, aku tidak akan menuju ke selatan atau barat laut. Aku akan menuju ke timur laut. Di sana akan ada kejadian yang berkenan bagi kalian. Akan ada seorang dara yang kelak menjadi Nyai Dorogapit selanjutnya.”

Ketiga dara jelita saling berpandangan. Nyai Dorogapit selanjutnya? Siapa sebenarnya orang ini? Selain mengenal mereka, secara aneh dia juga mampu memahami bagaimana cara kerja pengangkatan guru dan perawat mereka dari masa ke masa. Calon pengganti Nyai Dorogapit… seseorang yang akan mendapatkan julukan…

Sang Tetua seperti dapat membaca pikiran Kemuning, dia tersenyum dan “…Putri Rembulan.”





.::..::..::..::.





.:: SEKARANG



Jenggo meraung buas…

Baik Rogo maupun Hantu lantas bersiaga. Mereka tahu apa itu artinya. Hikayat Pemuja Malam telah terlaksana.

…tapi ternyata hanya sesaat saja. Tiba-tiba saja Bambang Jenggo kembali berubah menjadi sosok normal tak sampai satu menit kemudian.

Sang Raja Para Anjing tertawa puas melihat dua orang yang kini berhadapan dengannya ternyata bersiap-siap dengan wajah tegang karena mereka mengira akan berhadapan dengan Hikayat Pemuja Malam. Jenggo pun terbahak-bahak melihat keduanya sudah memasang kuda-kuda. Dua orang punggawa dari Empat Anak Panah JXG yang sebenarnya tidak boleh dianggap main-main. Tapi di hadapan Bambang Jenggo bisa apa sih mereka? Mereka pun dipermalukan sang Raja Para Anjing.

“Kena kalian aku prank. Wuuuahahahahahaha,” ujar Jenggo.

Rogo mendengus, sementara Hantu justru ikut tertawa-tawa. “Wihihihi…”

Jenggo mengamati mereka berdua, rencana busuk QZK dan KRAd telah berjalan dengan sempurna. Mereka sudah memperkirakan bagaimana akan menghadapi semua pasukan khusus JXG. Dengan ini, Jenggo akan menjadi pamungkasnya.

Empat Anak Panah JXG adalah para senopati yang telah invalid. QZK dan KRAd sudah memilah pasukan, siapa saja dari Koalisi mereka yang sanggup menghadapi Empat Anak Panah yang merupakan batas treshold tertinggi kemapanan JXG. Tanpa mereka JXG akan punah. Plan A, Plan B, Plan C semuanya sudah diperkirakan.

Jagal adalah pilar yang paling kokoh dan brutal. Tapi bagaimana jika akhirnya berhadapan dengan Mox? Jagal tidak akan pernah menduga mesin pembunuh seperti sang Bule Gila. Kemampuan Mox jauh lebih dahsyat dari yang diperkirakan banyak orang sebelumnya. Setelah melanglang buana keluar negeri, Mox kembali sebagai petarung level atas. Entah siapa gurunya dan ilmu kanuragan apa saja yang ia kuasai sekarang, tidak ada yang bisa memperkirakan. Salah satu ilmunya – Dimensi Pasir Hisap atau Drijfzand Dimensie sangat mengerikan dan mampu melumpuhkan banyak orang sekaligus.

Ki Kadar akan berhadapan dengan mantan muridnya yang sudah dicuci otak sehingga lupa segalanya. Dengan cerdas Koalisi menyamarkan Hamdani sebagai Hanzo. Kalau semua lancar, Empat Anak Panah JXG akan musnah malam ini juga seperti halnya Shinsengumi X. Pasukan khusus dari JXG akan dihancurkan luar dalam.

Rencana berjalan sempurna. Kini, Empat Anak Panah hanya tinggal menyisakan dua orang lagi dan penyelesaian keduanya menjadi tugas Bambang Jenggo.

Di sebelah kiri ada Hantu sang mayat hidup, manusia janggal nan unik yang tidak bisa ditebak kemampuan dan tindak-tanduknya. Semua orang menganggapnya sebagai seorang ODGJ, tapi juga pembunuh berdarah dingin. Tampak tak ada ekspresi yang pasti, Hantu kini justru tengah berdiri dengan badan bagian atas bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Senyum mautnya melebar dengan mata yang membesar karena semangat saat bertemu sang Raja Para Anjing.

Di sebelah kanan, ada manusia raksasa berkekuatan super yang kemampuannya masih tanda tanya, Rogo sang Barakuda. Keduanya adalah monster petarung yang tangguh dan teruji. Tapi konon jika bisa menaklukkan Hantu, seharusnya bisa mengalahkan Rogo yang hanya mengandalkan brute power, dari keempat Anak Panah, Rogo dinilai yang paling mudah ditaklukkan.

Jenggo pun memulai psy-war.

“Kalian berdua tidak akan pernah bisa mengalahkan aku. Tidak kalau aku sedang on fire. Wuahahaha.” Jenggo tertawa terbahak-bahak sembari menggoyang lengannya. Tubuhnya yang gempal tersengal-sengal seakan mentertawakan sesuatu yang lucunya mengguncang bumi dan nirwana.

“Wahahahahahahah!!” Hantu ikut tertawa. Ia menyeringai. Hantu tahu sekali kalau apa yang tadi dilakukan oleh Bambang Jenggo bukanlah prank. Ia sebenarnya kepayahan. Kekekuatan Ki-nya sedang naik turun karena kelelahan setelah melawan Jagal, sang wanita misterius Dewi Uma, dan selanjutnya pasukan JXG – sebelum akhirnya sampai di posisi tempat Hantu dan Rogo berada. Kekuatan Ki-nya masih belum cukup untuk men-jumpstart Hikayat Pemuja Malam.

Tapi… apakah itu hanya kamuflase saja? Hanya taktik sialan belaka?

Rogo melangkah maju. Si tubuh besar itu mendengus. Ia mempersiapkan dua kepalannya di depan wajah bak seorang boxer, Ia siap menyergap kapan saja Jenggo memutuskan untuk maju. “Terlalu banyak bicara, Raja Anjing. Ayo kita buktikan saja.”

“Hohoho. Sudah tidak sabar mati ya, Rogo? Baiklah. Kalau yang sekarang beneran.”

Bambang Jenggo terkekeh-kekeh, ia menyalakan Ki-nya, lalu bergumam seperti mengucapkan mantra. Sejenak kemudian, penampilannya berubah. Ia merunduk dan berjalan ke depan dengan tangan dan kaki bersamaan, seperti seekor binatang berkaki empat.

Wajahnya mengkerut dengan alis tebal yang nyaris menyatu. Gigi-gigi taringnya seperti semakin tajam, memanjang, dan meruncing, dengus napas yang bau, dan air liur kental lengket yang seakan tak berhenti mengalir. Punggungnya membesar, dengan pundak yang makin kokoh. Kuku-kuku jarinya ikut meruncing seiring jari yang memanjang. Ia mendengus-dengus seperti seekor binatang buas yang senang karena bertemu mangsa.

“Hrrrrrrrghhh…”

Tak ada lagi suara manusia dari erangan yang muncul dari bibir sang Raja Para Anjing. Suara itu menunjukkan kalau Ia telah menjelma menjadi sosok buas yang bukan lagi seperti manusia biasa.

“Hroaaaaaaaaaaaarghhh!”

Jenggo melesat ke depan dengan kecepatan tinggi! Tujuannya ke arah Rogo!

“Rogo.”

Bisikan pelan terdengar dari sang Hantu. Pria ganjil itu sudah menebak arah serangan Jenggo. Tapi entah kenapa dia justru melesat ke atas. Bukan ke samping, ke depan, ataupun ke belakang, tiba-tiba saja Hantu terbang lurus ke atas! Tubuhnya yang kerempeng melengkung saat telah mencapai titik tertinggi lompatannya. Dengan anggun Hantu berputar dan bagaikan peluru kendali, dia melesat ke bawah dengan kecepatan tinggi sembari melontarkan tendangan dengan dua kaki!

Jenggo yang sudah bukan Jenggo tak memperhatikan lawannya yang ganjil. Tujuannya adalah Rogo!

Dari keempat Anak Panah JXG, banyak yang bilang kalau Rogo adalah yang paling lemah. Tapi itu kan konon, konon Rogo disebut yang paling lemah karena tidak ada yang pernah melihat ia meledak. Kekuatannya tidak terdeteksi. Apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan bias oleh ketiga kawannya yang lain yang jauh lebih eksplosif. Dia bukan Hantu yang gerakannya misterius dan mematikan, bukan Jagal yang brutal dan grasa-grusu, dia juga bukan Ki Kadar yang penuh perhitungan.

Tapi tidak semua orang tahu kenapa Rogo yang rahang bawahnya lebih maju dari rahang atas itu masuk ke jajaran Empat Anak Panah.

“Hroaaaaaaaaaaaarghhh!”

Cakar-cakar maut Jenggo berhasil dihindari Rogo yang mundur beberapa langkah ke belakang, Jenggo tak mau kalah, dia melompat ke depan bagaikan seekor cheetah menubruk pelanduk. Lompatan anggun yang pasti akan mengenai Rogo kemanapun dia melesat. Tangan Jenggo mengayun, tiga garis sabetan muncul di dada Rogo. Tiga garis yang lantas mengeluarkan darah.

Rogo memang sengaja melambatkan gerakannya. Ia sengaja membiarkan Jenggo menyerangnya. Ia sengaja mengundang Jenggo datang. Ia sengaja memancing Jenggo, supaya Hantu bisa lolos dari fokus sang lawan.

Tapi hal itu membuat ia tidak sengaja terkena sabetan Jenggo yang sudah memasuki Hikayat Pemuja Malam-nya. Rogo mengernyit nyeri karena kesakitan, ia mundur beberapa langkah ke belakang secara reflek. Jenggo menyerang lagi ke depan. Rogo kian terdesak.

“Bangsat! Sekaraaaaaaaaaang!” teriak Rogo dengan geram.

Saat itulah kaki Hantu menghunjam ke bawah!

Bledaaaaagkhhhhhhhhhhkkkk!

Kena? Tidak.

Jenggo berhasil menghindar dari serangan Hantu dengan mudahnya, ia memutar tubuhnya bak spiral ke samping dengan elakan setengah lingkaran. Posisinya kini justru berada di belakang Rogo setelah gerak lincahnya membantu si Raja Para Anjing lolos dari serangan si Hantu. Hantu sendiri hanya berhasil menghancurkan pinggiran parit.

Berhasil lolos dari Hantu dan menempati posisi yang bagus, tangan Jenggo pun terayun dengan satu serangan cepat. Ia meraung keras, “Hroaaaaaaaarrghh!”

Shrrrggg! Shhhhrgggg!

Dua serangan mencabik punggung Rogo! Empat sayatan menyilang dari kanan atas ke kiri bawah dan dari kiri atas ke kanan bawah tercipta. Darah pun meleleh.

Pria bertubuh besar itupun mengerang kesakitan, ia tertatih ke depan. Jenggo meloncat turun, menggunakan tangan kiri untuk menumpu, menekuk kaki, dan meloncat ke depan! Dua kakinya disentakkan tepat di punggung Rogo yang tengah terluka sayat.

Jbkkkkkkkkkkghh!

“Haaaaaaaargh!” Rogo berteriak kesakitan. Pria bongsor itu pun terjerembab ke depan, ia rubuh tepat di sebuah kubangan air hujan. Hantu yang gagal meremukkan tubuh Jenggo meloncat ke atas atap sebuah rumah.

“Heheheh… heheheheh… Hahahahahahah! Ahahahahahah!” Bambang Jenggo tertawa terbahak-bahak, dalam sekejap ia sudah kembali ke wujud normalnya. “Beginikah kekuatan kalian? Hanya sebegini saja? Tidak heran koalisi KRAd dan QZK jauh lebih unggul malam ini! Huaauuahahaahah. Cuma sekali serang sudah berhasil. Yang satu tepar, yang satu lagi kabur. Menjijikkan kalian berdua! Mana itu yang namanya Empat Anak Panah JXG? Memalukan!”

Hantu ikut tertawa. Dia justru lebih terpingkal-pingkal dibandingkan Jenggo.

Sang Raja Para Anjing pun tertegun, dia geleng-geleng kepala sambil terkekeh, “Dasar wong edyan!”

Oh hoho. Ada sesuatu yang tidak kamu pahami, Jenggo. Sesuatu yang di luar nalarmu yang kurang piknik itu,” ujar Hantu dengan kata, pelafalan, dan ucapan yang jelas, walaupun sambil terus terkekeh-kekeh. Sesuatu yang tidak pernah ditunjukkan Hantu pada siapapun sebelumnya. Jenggo pun terkejut sembari mengernyitkan dahi saat menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

Hantu kembali tertawa terbahak-bahak.

“Woy! Apanya yang lucu!! Tidak ada yang lucu!!” Jenggo mulai geram.

“Menurutmu… jika kemampuan kami berdua lemah, kenapa kami dipilih menjadi Empat Anak Panah JXG? Menurutmu… apa yang membuat kami diminta melindungi JXG? Mengherankan bukan? Apakah kami sebenarnya benar-benar lemah atau sesungguhnya tidak lemah? Lemah atau berlagak lemah? Benar-benar lemah ataukah menunjukkan kelemahan karena ada yang disembunyikan? Ada sesuatu yang bahkan kamu pun masih belum paham, Jenggo. Itu karena kamu terlalu sibuk mengurus para anjingmu.”

“Ngomong ngalor-ngidul ga jelas! Wahahahah! Dasar wong edyan!”

“Jenggo oh Jenggo…” Hantu menari dansa di atas atap, meski sendirian, ia seperti seakan-akan berdansa dengan seorang perempuan, “Tahukah kamu kalau Rogo dijuluki Barakuda sebenarnya semata-mata hanya karena penampilannya? Karena rahang bawahnya lebih maju dibandingkan rahang atas? Tahukah kamu tentang itu?”

“Ya tahu lah…! Aku kan…” Jenggo seakan-akan baru menyadari sesuatu. “Hkkkghhh..!”

Boom! Boom! Boom!

Tak disangka tak dinyana, tiba-tiba saja dada Jenggo seperti meledak tiga kali. Ia merasa dipukul tapi tak ada seorang pun yang berada di dekatnya!! Jenggo mundur beberapa langkah ke belakang. Lalu sekali lagi ia melotot.

Apa yang barusan!?

Boom! Boom! Boom!

Punggungnya kini yang menjadi sasaran. Jenggo jatuh terjerembab ke depan, tubuh besarnya ambruk menangkup bumi!!

“Hrrrghhhhhhh!! Phuaaaaaaaaaaaaahhh!!” Saat mulutnya terbuka, Jenggo memuntahkan banyak darah. Punggawa KRAd itu terengah-engah dan mulai berkeringat dingin. Sesak sekali dadanya. Pukulan itu begitu kencang, cepat, dan tak terduga! Menohok hingga ke posisi yang tidak menguntungkannya. Jenggo mendongak. Ia mencoba menatap ke arah Hantu. Tapi sang pembunuh berdarah dingin itu sudah tak lagi berada di sana.

“Si… sial.”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Dari posisi atas, dua kaki Hantu menghunjam ke ubun-ubun sang Raja Para Anjing, dengan tendangan ganda, Hantu menginjak dan menenggelamkan kepala Jenggo ke tanah dalam-dalam! Beruntung Jenggo tidak menghunjam aspal yang hanya tinggal beberapa senti saja jaraknya. Mulut Jenggo yang terbuka langsung menelan tanah yang becek karena hujan. Tubuhnya bergetar beberapa kali sebelum terdiam sesaat kemudian.

Hantu meloncat dengan salto dan berdiri di samping Rogo yang masih tertelungkup di atas kubangan air.

“Bangunlah, Rogo. Sudah kubalas dia. Hekekekeke…” Hantu tertawa-tawa sembari bergoyang sendiri lagi, “tapi awas. Bahaya itu masih ada. Dia masih bernyawa.”

”Puaaaaaaaah!” Bambang Jenggo bangkit sembari meludahkan tanah. Wajahnya kotor. “Ternyata ketahuan. Sialan. Apa yang tadi menyerangku? Kok bisa-bisanya…”

Bambang Jenggo terdiam sejenak, Ia mengerutkan kening. Tangannya yang kotor lantas masuk ke mulutnya sendiri. Tangan itu bergetar dan menarik sesuatu dari dalam mulut. Ternyata ada seekor katak kecil yang masuk ke dalam mulut karena serangan Hantu barusan. “Puaaawhh!”

Katak itu meloncat-loncat dan berteriak trauma.

Jenggo meludahkan darah dan satu gigi tanggal. Ia menatap Hantu yang masih saja tertawa-tawa dan bergoyang-goyang aneh. Sang Raja Para Anjing kembali bersiap dengan perlahan-lahan meledakkan tenaga dalamnya. “Brengsek! Mampus kalian sekarang! Kalian pikir dengan siapa kalian berhadapan!? Wuahahahahah. Kalian tidak akan bisa melawaaa… Hggggkkkh!”

Boom! Boom! Boom!

Sekali lagi serangan menyambar pimpinan KRAd itu. Kali ini Jenggo terjerembab ke belakang, tubuhnya berdebam ke tanah. Begitu kerasnya Jenggo terjatuh sampai-sampai tanah pun ikut bergetar. Bukan rasa sakit yang membuat wajah Bambang Jenggo kini memerah, tapi lebih ke rasa terkejut.

Siapa sebenarnya yang tengah melawan dia dengan jurus yang ajaib begini? Hantu dan Rogo tidak berada di posisi yang dekat dengannya. Apakah salah satu dari mereka berdua ataukah ada orang lain lagi? Jadi siapa yang melontarkan pukulan?

Rogo berdiri di hadapan Bambang Jenggo. Seakan-akan menantang, pria bertubuh besar itu mengepalkan tinju kanannya ke muka Jenggo. lalu mengembangkan kepalan tangannya itu sehingga mekar membentuk telapak tangan yang terbuka lebar tepat di depan muka sang lawan.

Jenggo dengan kesal melontarkan satu pukulan dahsyat berlapiskan Ki ke arah Rogo. “Modyaaaaaar!”

Krgh!

Jenggo terkejut. Pukulannya bak terhenti di udara.

Kenapa…? Saat Jenggo melihat ke depan Rogo bahkan tidak melakukan apa-apa, dia diam saja seperti semula. Tenang dan diam di posisinya dengan telapak tangan terbuka ke arah Jenggo. Sang Raja Para Anjing sungguh sangat terkejut.

Apakah semua ini ulah… Rogo?

Hantu yang sedang tertawa-tawa, tiba-tiba saja meloncat untuk berdiri di samping Rogo. “Guk.”

Boom! Boom! Boom! Boom! Boom!

Boom! Boom! Boom! Boom! Boom!

Boom! Boom! Boom! Boom! Boom!


Bambang Jenggo terhantam berulang oleh serangan pukulan tak kasat mata yang menghajar wajah dan dadanya. Pertama dada kanan, lalu wajah kiri, lalu dada kiri, wajah kanan, wajah kiri lagi. Berulang-ulang dan diulang-ulang. Berkali-kali dan berkali-kali. Muka dan badan sang Raja Para Anjing bengap-bengap oleh luka memar dan lebam. Semua diakhiri dengan terkaparnya Jenggo sekali lagi, ia jatuh ke dalam parit lebar. Tubuhnya yang gempal setengah tenggelam di air comberan, bergabung dengan cairan hitam lengket yang tidak jelas apa saja substansinya.

Sementara Jenggo yang terkapar masih tidak tahu ia dipukul berkali-kali oleh entah apa dan oleh siapa, Rogo sang Barakuda dan Hantu tetap berdiri tegap di posisi semula. Mereka menyaksikan pimpinan KRAd itu roboh.

Sang Raja Para Anjing amblas ke dalam parit yang kotor, basah, dan berlumpur itu. Tak berdaya. Kawanan kodok kabur karena takut tergencet.

“Heheheheh… sobatku Jenggo,” bisik Hantu kepada angin yang berhembus ke arah sang lawan. Sudah tentu Jenggo yang sedang mandi dengan para kodok tidak akan bisa mendengar bisikan itu. Hantu tersenyum mengerikan. “Seandainya saja engkau mengenal baik siapa sebenarnya Rogo sang Barakuda. Buahahahahahahahahaaa…”

Hantu tertawa terbahak-bahak.

Jurus yang dimiliki oleh Rogo memang unik dan menarik, Tinju Magis dan Kubah Kolosal. Jurus serangan dan pertahanan yang diciptakan oleh Biksu Tanpa Nama dari Tibet yang pernah lama menetap di tanah air. Rogo adalah murid dari biksu tersebut, seorang pria misterius berilmu kanuragan tinggi yang merupakan salah seorang sahabat Pak Zein.

Pimpinan JXG itu memang memiliki rekanan dari berbagai negara.

Rogo dulunya adalah seorang anak yatim piatu yang sehari-hari bekerja sebagai penjual tissue di perempatan. Dia tidak mengenyam pendidikan secara normal dan memilih mencari uang di jalanan demi kelangsungan hidupnya. Pak Zein bertemu dengannya saat menyaksikan Rogo remaja melindungi seorang kakek penjual gulali yang hendak dihajar warga karena dituding mencuri. Dengan berani Rogo melindungi orang tua itu seorang diri, tanpa peduli apakah penjual gulali itu benar atau salah. Rogo remaja sudah bertindak sesuai intuisinya.

Akhirnya pencuri itu benar tertangkap dan sesuai intuisi Rogo, pelakunya bukan sang penjual gulali. Pencuri itu salah satu warga yang sempat menuding dan memukul si kakek. Sang pencuri asli tertangkap setelah pak Zein yang kala itu hanya lewat akhirnya turun tangan.

Melihat kehidupannya yang begitu keras, Pak Zein akhirnya menarik Rogo sebagai salah satu anak buahnya, membantu pendidikan Rogo, dan akhirnya mengirimkannya untuk bekerja sebagai tukang kebun sang Biksu Tanpa Nama yang menetap di wilayah Selatan kala itu.

Biksu Tanpa Nama yang puas dengan hasil kerja Rogo yang tidak hanya sebagai tukang kebun tapi juga membantu biksu itu dalam banyak hal, akhirnya memberikannya hadiah berupa berbagai ilmu kanuragan, contohnya seperti yang malam ini dipertontonkan.

Hantu sendiri baru melihat Rogo mengeluarkan kemampuan ilmu kanuragannya itu sekarang. Sesuatu yang wajar karena memang baru-baru ini saja Rogo menyempurnakan kedua jurus aneh ini secara lengkap. Entah kenapa butuh waktu yang sangat lama bagi Rogo untuk menguasai ilmu kanuragannya secara sempurna.

Sang pria ganjil pun memukul pundak sang sahabat, “bagus sekali! Hahhahaha… hihihi… ilmu kanuragan macam apa yang kamu miliki itu?”

“Entahlah. Pokoknya ya begitu saja.”

Hantu mencibir, “Tapi kenapa kamu mengeluarkan ilmumu itu sekarang? Bukankah kamu simpan untuk saat yang tepat? Apakah sekarang saat yang tepat? Kalau kamu keluarkan sekarang akan menghilangkan efek kejut dan…”

Tiba-tiba terdengar raungan binatang buas. Baik Rogo maupun Hantu mundur beberapa langkah ke belakang. Mereka saling pandang.

Apa yang baru saja terdengar? Suara dari mana itu?

Jelas itu rhetorical question, pertanyaan retoris, pertanyaan yang tidak perlu ada dijawab karena sudah pasti tahu apa kunci jawabannya. Keduanya tahu siapa yang mereka hadapi dan apa yang bisa dia lakukan. Keduanya bersiap dengan kuda-kuda masing-masing.

Sesosok tubuh berperut buncit merangkak keluar dari dalam parit yang kotor. Ki-nya tiba-tiba saja menghebat, menerbangkan benda-benda kecil dalam jarak radius tertentu. Pria berperut buncit itu lantas melesat ke atas, lalu melompat ke depan Rogo dan Hantu dengan langkah yang anggun, giginya bergemeretak ribut, “Aku tidak tahu apa yang kalian lakukan, aku tidak paham ilmu kanuragan apa yang kalian gunakan, tapi aku tak peduli. Saat ini pertarungan antara kalian berdua melawanku dilanjutkan kembali. Dua point sudah kalian dapatkan. Tapi point berikutnya.. akan menjadi milikku!!”

“Cih.” Rogo mendengus.

Hantu geleng-geleng kepala sambil tertawa-tawa dan menjulurkan lidah.

“Hehehe. Huahahahhauahuwhahahah…” Jenggo tertawa-tawa. Pria bertubuh besar itu berhadapan dengan sang Hantu, “Rindu dendam akan selalu menyertai jalan kita berdua. Bukankah begitu, Hantu?”

Hantu bergoyang-goyang tidak jelas. Dia santai menanggapi semua ucapan dari Jenggo. Senyumannya melebar, ia tidak peduli apapun yang diucapkan sang Raja Para Anjing.

“Aku yakin banyak hal yang harus kamu lakukan untuk menuntaskan dendam pribadimu, Hantu. Dan malam ini kalian sudah unggul dua kosong dariku. Tapi jangan salah… tidak ada yang bisa tetap bertahan terutama jika melawan Bambang Jenggo. Malam ini kalian beruntung, karena akan kuperkenalkan kalian berdua pada sebuah lagu romansa yang didendangkan dari balik dinding neraka. Sebuah cerita. Sebuah hikayat… tentang malam.”

Jbooooooooooom!!

Ki milik Bambang Jenggo meledak hebat. Tenaga dalamnya menghembuskan apapun yang berada dalam radius lima meter darinya. Pohon-pohon bergetar hebat, daun-daun rontok dari dahannya, dan debu-debu berterbangan.





.::..::..::..::.





Deka, Rao, Simon, Amar Barok, dan Hageng melongo melihat kehadiran seseorang.

Seseorang yang datang menggunakan sebuah motor Kawasaki Ninja. Sebuah motor yang kini berhenti dengan santainya di tengah jalan.

Pengendaranya adalah seorang wanita yang mengenakan jumpsuit hitam ketat yang mempertontonkan lekuk-lekuk tubuh indahnya, ia juga mengenakan helm full face hitam sehingga tak dapat dikenali siapa dia sebenarnya. Dari sosoknya yang penuh percaya diri memamerkan keindahan tubuhnya, diperkirakan wanita ini sepertinya seorang gadis muda yang sedang ranum-ranumnya.

Si seksi itu memarkirkan motor di tengah jalan, tidak peduli ada siapa saja di sana, dia dengan yakinnya turun dari motor dan duduk bersandar di jok motornya sembari menyilangkan kaki dan bersidekap. Adalah dia yang baru saja membawa seorang pembeda ke tengah medan perang antar geng yang tengah berkecamuk dan penuh darah.

Siapa dia?

Entahlah. Masih belum diketahui secara pasti siapa dia sebenarnya.

Sungguh aneh tentunya melihat ada seorang wanita seperti dia yang tiba-tiba saja hadir di tengah peperangan antara QZK dan JXG tanpa peduli siapa kawan dan siapa lawan dengan kepercayaan diri sangat tinggi. Pemandangan yang tidak saja aneh, tapi juga unik.

Tapi malam itu bukan saatnya bagi sang perempuan seksi yang baru datang itu untuk menjadi pusat perhatian. Malam itu adalah saat bagi sosok yang baru saja dia hadirkan. Sosok yang justru tertinggal jauh di belakang, sosok seorang pemuda yang berjalan dengan tenang.

Tertinggal di kejauhan, menyusul keberadaan motor yang baru saja datang, sosok itu melangkah tanpa mengenal takut. Aura Ki besar dan menyeramkan keluar dari tubuh pemuda itu, bagaikan lidah api yang menyala tanpa henti, bagaikan api abadi yang tidak mengenal kapan akan padam.

Rahu Kala sang Dewa Iblis yang berusaha mengenali penyerangnya mencoba untuk bangkit meski kesusahan untuk bisa berdiri. Dia hanya bisa duduk di tengah jalan, jauh dari posisinya semula berada. Tubuhnya gemetar karena serangan yang baru saja menghantamnya terasa begitu dahsyat. Andai saja dia bukan Rahu Kala, bisa-bisa dia sudah jadi almarhum. Padahal pukulan itu dilontarkan hanya sekali pukul dan dari jarak yang teramat jauh.

“Heheh…” Rahu Kala menyeringai, ia meludahkan darah kotor di mulut.

Dalam hatinya ia sangat gembira, “Ini yang aku cari-cari. Musuh yang sanggup menjatuhkan aku. Bukan kroco-kroco kelas teri yang bisa diinjak dengan mudah. Inilah lawan yang sepadan. Bukan bedebah mudah pasrah dan gampang menyerah. Ini yang aku tunggu, orang yang tidak akan mempan oleh Dimensi Pasir Hisap-ku. Bagus! Datanglah! Akan kuhadapi kamu, bedebah bangsat! Kubuktikan siapa Rahu Kala!”

Sang Dewa Iblis memejamkan mata, bersila, menautkan dua telapak tangan dengan formasi teratai. Ia mengeluarkan Ki yang langsung menyelimuti diri bak kepompong. Energi pembaharu menelan tubuh Rahu, menetralkan, meringankan, menenangkan, dan menyembuhkan.

Pemuda yang baru saja datang tidak peduli pada apa yang dilakukan oleh Rahu. Dia justru menghampiri kelima orang yang tadinya jatuh bangun saat berhadapan dengan Rahu Kala. Pemuda yang baru saja datang itu, tentu saja adalah Jalak Harnanto alias Nanto si Bengal, pimpinan Aliansi dan Lima Jari. Penguasa terakhir Nawalapatra 18 Serat Naga, pewaris keajaiban Trah Watulanang.

“Bukannya tarung malah pada tiduran ini gimana?” Nanto menyeringai saat bertemu dengan kelima kawan-kawannya.

Munyuk!” Rao tertawa dan mencoba berdiri meski tubuhnya doyong kesana kemari. Di sampingnya, Amar Barok dan Simon menghela napas lega. Dia yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Berdasarkan kekuatan yang dimiliki, Nanto adalah anomali, sang pembeda yang akan menjadi katalis dalam perang kali ini. Bukan anggota JXG dan bukan pula berasal dari QZK, tapi akan menjadi indikator penentu arah bagaimana perang akan dirampungkan.

Deka dan Hageng tersenyum tulus untuk pertamakalinya sejak terjun dalam perang melawan Rahu Kala. Mereka tahu si bocah bengal ini pasti tidak akan pernah ketinggalan kalau ada pertarungan akbar, apalagi yang melibatkan Aliansi. Bukan masalah datang atau tidak, hanya masalah kapan.

Melihat kondisi teman-temannya, Nanto memejamkan mata dan berbisik-bisik, mengucapkan beberapa patah kata mantra dari deretan gerbang kanuragan Kidung Sandhyakala. Dengan menggerakkan tangan ke depan perlahan, si Bengal menyebarkan Ki-nya sejauh posisi kelima sahabat. ia menyalurkan tenaga penyembuhan ke kelima sahabatnya itu. Aura Ki hangat pun menyebar, seakan-akan menambal kelemahan yang ada pada kelima orang yang tengah kesakitan setelah berhadapan dengan Sang Dewa Iblis. Tentu sebaran Ki dari Nanto tidak dengan serta merta menyembuhkan mereka secara utuh, tapi setidaknya mampu menentramkan Ki dan mengembalikan potensi yang dimiliki masing-masing.

Sang perempuan berhelm mendekati Nanto, keduanya memisahkan diri dari kelima sahabat. Nanto dan perempuan itu berbincang-bincang dalam bisik.

“Untuk sementara cukup sudah tugasku. Perintah untukku hanya mengantarkanmu ke tempat ini. Mudah-mudahan tidak terlambat, karena jika terlambat – maka akan tersisa satu kekuatan yang berkuasa dan jika itu terjadi maka akan ada imbalance. Kekuatan di kota ini menjadi timpang. Itu hal yang tidak diinginkan oleh semua orang, termasuk you-know-who,” kata sang dara jelita.

“Begitu ya.”

“Memang begitu. Jika memerlukan sesuatu, hubungi aku.” Gadis itu mengeluarkan satu ponsel feature phone Siemons C45 dan memberikannya kepada Nanto. “Gunakan itu untuk menghubungiku. Satu-satunya nomer yang ada di kontak adalah nomerku, semua aman dan bebas sadap.”

Wanita yang menyembunyikan wajahnya dalam helm itu pun berbalik menuju ke motornya. Berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Erika,” Nanto mendekat ke sang gadis dan bertanya, “Kamu tidak ikut masuk ke dalam? Akan ada pesta kembang api yang meriah malam ini. Pestanya bahkan belum dimulai, kenapa kamu sudah pergi?”

Gadis itu hanya melambaikan tangan tanpa menengok ke belakang. Ia kemudian mengencangkan sarung tangannya. “To be or not to be. That is the question. Aku ada ataupun tidak ada nantinya, hanya aku yang tahu, dan itu bukan keputusan ataupun perintah darimu. Itu adalah wewenang dari…”

“Aku tidak akan menyuruhmu melakukan apapun. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu,” Nanto mendekat ke arah sang dara, “Kalau ini semua usai, bagaimana kalau kita minum kopi sejenak dan berbincang-bincang sembari santai menikmati pemandangan hadirnya senja? Kita punya banyak yang harus dibicarakan… aku punya banyak pertanyaan.”

Untung saja cewek itu mengenakan helm, sehingga tidak terlihat kalau saat ini dia sedang tersenyum. “Jangan berharap terlalu banyak. Sampai jumpa lagi, Jalak Harnanto.”

“Sampai jumpa lagi.”

Keduanya sama-sama berbalik dan menuju ke arah yang berbeda. Erika menuju ke motornya dan langsung pergi tanpa pamit dengan yang lain.

Sedangkan Nanto kini menghadapi kelima temannya, ia melirik ke arah kejauhan. Ia melihat Rahu Kala sedang duduk bersila dan bersemedi di tengah jalan. Sebenarnya agak mengkhawatirkan jika ia mampu bangkit kembali setelah tadi dihajar tanpa ampun oleh satu serangan Nanto. Dia harus cepat, ini saatnya mereka masuk ke arena setelah Rahu Kala dinonaktifkan.

“Aku yang akan berdiri di sini untuk memastikan dia tidak lagi menjadi ancaman, setelah itu baru aku masuk ke dalam,” ujar Nanto sambil menunjuk Rahu Kala dengan dagunya. Si Bengal berdiri dengan tegap dan bersidekap, kharisma aura yang dipancarkan membuat tenang kelima anggota Aliansi yang berkumpul mengitarinya. Kelimanya menyadari, ada sesuatu yang berbeda dari Nanto, sesuatu yang membuat mereka percaya dan merasa jauh lebih tenang.

Si Bengal bertanya kembali. “Bagaimana situasinya?”

“Agak kacau, heheh. Tapi sepertinya itu memang kebiasaan kita bukan? Berhadapan dengan yang kacau-kacau,” Rao meringis. “3GB dan KRAd. Aku akan mencari mereka. Belum tuntas rasanya kemarin bertempur dengan mereka. Kali ini aku akan menghabisi ketiganya, aku juga akan menghancurkan punggawa-punggawa KRAd yang ada.”

“Aku akan menemani dia.” Simon menunjuk Rao dengan jempolnya, “Si gemblung ini butuh dukungan tenaga berlebih karena 3GB pasti akan dilindungi oleh Aswin dan Ajo. Dia tidak akan bisa melawan mereka sendirian.”

“Enak saja! Kamu pikir aku masih seperti yang dulu? Kekekke… mau coba? Kunyuk dari Unzakha sok-sokan berani berdiri sejajar dengan DoP. Mimpi!”

Wassuuu! Merendahkan sekali sampeyan, Nyuk! Boleh saja! Sekarangpun boleh!”

Nanto mengangguk dan tersenyum melihat rivalitas keduanya masih terjaga dengan baik, Ia pun menepuk bahu Rao dan Simon tiga kali secara bersamaan. “Baiklah. Maju kalian berdua! Jaga satu sama lain.”

Rao dan Simon sama-sama mengangguk dan bergegas pergi melalui satu jalur menuju ke arena melalui jalur yang telah terbuka.

Robohnya Rahu Kala dan kepergian Agus Lodang mengakibatkan bobolnya pintu penjagaan utara, hal itu membuat QZK kocar-kacir, karena kini pasukan Aliansi masuk bak air bah.

“Aku dan Deka punya dendam yang harus kami tuntaskan dengan Bambang Jenggo,” ujar Amar Barok yang menjura di hadapan Nanto, ia lalu melirik ke arah sang adik. “Begitu kan, Kun?”

Deka mengangguk. Ia dan kakaknya masing-masing menepuk pundak si Bengal.

“Aku percayakan semua padamu, Nyuk. Sebentar lagi Rahu Kala akan bangun dan hanya kamu yang sanggup menghancurkannya sampai tuntas seorang diri. Saat ini kami tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk masuk dan mencari bedebah itu. Hidup atau mati, akan kami cari dia sampai dapat. Demi semua yang telah menimpa Din… demi semua yang telah terjadi.”

Ada kegetiran di nada suara Deka. Suara seseorang yang mati-matian menahan luapnya dendam.

Nanto mengangguk, Deka mempercayainya, dia mempercayai Deka. Di dunia ini, hanya Deka yang rasa-rasanya sanggup berperan sebagai deputi terbaik seorang Jalak Harnanto. “Baiklah. Pergilah kalian berdua. Cari bedebah itu sampai dapat. Kita akan berkumpul lagi di sini.”

Amar Barok dan sang adik berlari menuju ke arah pasukan QZK yang kini kewalahan menghadapi Rao dan Simon Sebastian. Mereka masuk melalui sisi yang berbeda karena ingin langsung mencari sang Raja Para Anjing.

Nanto menengok ke bawah, “Hageng.”

“Boz.”

Hageng yang tadinya berdiri di samping Nanto, kini duduk bersila. Sama seperti Rahu Kala, Hageng sepertinya sedang berusaha memulihkan diri meskipun tidak memejamkan mata dan nampak lebih kuat dari seharusnya. Nanto menyusul dan duduk bersila di samping sang T-Rex.

Si Bengal menengok ke samping, dia tersenyum lebar,“Aku bangga sama kamu, kekuatan kamu melesat jauh lebih hebat sekarang.”

“Biaza zaja. Kamu malah jadi monzter, Boz.” Hageng mendengus.

“Kamu punya potensi untuk menjadi petarung kelas A pertama dari Lima Jari. Gunakanlah kesempatan itu, pastikan kamu tidak merasa kecewa pada diri sendiri, ataupun menganggap dirimu tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik. Kepercayaan dirimu harus lebih ditingkatkan, sobat lama.”

Rasa kehilangan orang yang gagal dilindungi membuat Hageng menjadi pribadi yang dingin dan getir. Dua kali ia ditinggalkan orang-orang yang berharga baginya. Entah apakah ia akan benar-benar sembuh dari kesedihan yang mengukungnya. Tapi dia tahu apa yang dimaksud oleh si Bengal. Hageng mengangguk. Tidak janji, tapi dia akan mencoba.

“Ada masalah dengan Ki-mu. Sepertinya belum begitu bebas lepasannya,” ujar si Bengal.

“Namanya juga pemula. Aku mazih belum biza menguazainya dengan zempurna, entah karena aku yang bodoh atau memang juruzku tidak zehebat zeharuznya.” Hageng mengangkat pundaknya. Ia nampak tidak peduli pada dirinya sendiri. “Mungkin memang aku tidak bakal biza zehebat yang lain.”

“Kamu selalu hebat bagi kami,” Nanto tersenyum, tangannya diletakkan di pundak sang sahabat. “Ilmu kanuragan itu seni. Seni yang akan melindungi sekaligus menjadikan kita senjata. Bagaimana format dan besarannya, itu tergantung pada diri kita sendiri. Kita yang mengolah, kita yang merawat, kita yang mewujudkan. Tiap orang beda-beda alur dan alirnya, tidak akan ada yang sama. Kita diciptakan berbeda, dan karena input dari masing-masing kita berbeda, maka kita akan menciptakan output yang berbeda pula. Ki-mu bukan bermasalah karena kamu tidak mampu, kamu hanya belum menemukan arus yang tepat yang selaras.”

Hageng memejamkan mata.

Tangan Nanto ternyata menyalurkan energi yang membuka katup air bah dalam diri Hageng. Tubuh pemuda bongsor itu langsung bergetar dengan hebat. Keduanya terdiam sejenak saat Nanto membagi kemampuannya pada Hageng hingga akhirnya selesai.

Keduanya pun bangkit dan saling bertatap-tatapan.

“Zebenarnya tidak perlu. Terima kazih, Boz.” Hageng berkaca-kaca. Dia selalu menghormati si Bengal. Bahkan sampai saat ini, rasa hormatnya semakin bertambah.

“Kamu itu saudaraku, tidak usah dipikirkan.”

“Bangzat itu zudah berdiri.” Hageng mendengus saat menatap Nanto. “Kamu tidak mazuk zaja, Nyuk? Ada begundal-begundal yang jauh lebih bangzat di dalam daripada munyuk zatu ini. Biar aku yang akan menghadapinya. Kalaupun aku mati, zetidaknya sekali dalam hidup aku menjadi berarti.”

Nanto menatap tajam mata Hageng, “Ora, Bos. Tidak. Tidak akan ada yang mati lagi malam ini. Tidak selama aku berada di sini. Lima Jari harus tetap berjumlah lima. Aku akan menghadapi dia dulu sebelum masuk ke dalam.”

“Aku juga.” Hageng tak bergeming, ia berdiri gagah di samping si Bengal. “Tidak akan kubiarkan kamu zendirian.”

Keduanya berjalan tanpa takut ke arah sang Dewa Iblis.

“Bwahahahahah. Sudah ganda nyawa kalian rupanya!” Rahu Kala terbahak-bahak menyaksikan Nanto dan Hageng berjalan berdampingan menuju ke arahnya, ia tidak tampak seperti orang yang baru saja terlempar sangat jauh. Wajahnya tetap bengis dan mengerikan. Salah satu kedahsyatan dari sang Dewa Iblis adalah dia tidak kenal rasa takut dan kata mundur. Dia akan selalu bangkit jika ada tantangan. “Ora wedi mati? Masa iya mau mengunjungi neraka malam ini juga? Tapi kalau kalian bersedia, aku bisa menjadi pengantar kematian yang manis. Jangan harap mati dengan tenang ya, ini akan sedikit menyakitkan.”

Nanto terdiam sembari terus menyalakan Ki dengan stabil, Hageng meliriknya. Ki milik si Bengal sudah berubah auranya, dia sama sekali tidak mengenali siapa sahabatnya itu sekarang. Tidak hanya lebih percaya diri, Nanto juga lebih tenang dalam bersikap. Ada perubahan besar yang tidak dapat dijelaskan. Berdiri di sini, di sampingnya, Hageng yang tak lagi pernah tersenyum itu akhirnya tersenyum. Dia bangga pada si Bengal. Memang aneh rasanya punya perasaan seperti itu, tapi Hageng jujur. Dia bangga pada sang sahabat.

Ki milik Nanto menyala lembut, steady dan stabil. Tak goyah oleh apapun ancaman yang dilontarkan sang Dewa Iblis. Akhirnya si Bengal berdiri di hadapan Rahu Kala, tak bergeming, bersikap tenang, sopan, dan mengumbar tersenyum.

“Apakah ada yang ingin kamu sampaikan, Rahu?”

Rahu Kala mendengus, ia juga tersenyum. “Banyak.”

“Sampaikanlah sekarang.”

Rahu Kala menatap langit malam yang mulai terang. Entah karena magis kehadiran si Bengal atau memang sudah waktunya sang rembulan kembali bertahta di singgasana angkasa. Pria yang bertubuh raksasa itu tiba-tiba berdendang di angkuhnya relung malam.

Polahe wong Jowo koyo gabah den interi, endi sing bener endi sing sejati, poro topo podho ora wani, podho wedi ngajarake piwulang adi, salah-salah anemahi pati. Banjir bandang ono ngendi-endi, gunung njeblug tan anjarwani, tan ngimpeni. Gethinge kepathi-pathi marang pandhita kang oleh pati geni, margo wedi kapiyak wadine sopo siro sing sayekti. Selet-selete yen mbhesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dhewo wolu, angasto manggalaning ratu.

Bakal ono dhewo ngejawantah, apengawak manungsa, apasurya pindho Bethoro Kresno, awatak Bolodhewo, agegaman Trisulo wedho, jinejer wolak-waliking zaman, wong nyileh ambhalekake, wong utang ambhayar, utang nyawa bhayar nyowo, utang wirang nyaur wirang.”

Sang Dewa Iblis menunjuk ke arah Nanto.

Kowe. Kamukah orang yang ditunggu?”

Hageng kebingungan saat mendengar dendangan dan tudingan sang Dewa Iblis itu. Ia pun mendekat ke arah si Bengal, “Bro, yang baruzan artinya apa?”

Nanto hanya tersenyum.

“Aku biza Bahaza Jawa. Tapi ya tidak zebegitunya amat.”

“Yang satu ini tidak perlu diterjemahkan, sobat. Untuk sekali ini tidak perlu diterjemahkan.” Nanto menepuk pundak sang T-Rex. Pemuda itu mendekat ke arah Rahu Kala. “Orang itu datang tanpa dundang tanpa ada yang mencari. Tapi maaf, sepertinya njenengan salah orang. Aku bukan orang yang dimaksud. Bapak-bapak tua bertopeng Klana yang sedang bertarung di dalam sana juga bukan orang yang dimaksud.”

Rahu Kala menatap Nanto dengan bengis. Ia menyalakan Ki-nya.

Boooom!

Hempasan tenaga hebat meledak, melingkar, dan menyebar. Hageng sampai terdesak mundur beberapa langkah ke belakang hanya karena sentakan energi yang keluar dari sang Dewa Iblis. Ini bahkan sebelum pria hebat itu menunjukkan kemampuan sebenarnya. Ini baru aura, belum yang lain-lain lagi. Hageng terengah-engah dan menatap tak percaya pada Rahu. Beberapa menit sebelumnya, pria ini seperti hancur oleh hantaman jarak jauh dari Nanto. Sekarang ia sudah kembali pulih? Menakjubkan dan mengerikan. Jurus penyembuhan macam apa yang dia kuasai?

Kaki-kaki sang T-Rex tak bisa dikendalikan, terus terseret mundur. Pemuda bertubuh bongsor itu geram, bukannya dia juga punya Ki? Masa iya harus menyerah kalah begitu saja dari jeroan wedhus satu itu? Hageng memejamkan mata sejenak, fokus pada dirinya sendiri. Ia menarik napas, melepaskannya, dan membuka mata.

Ia meledakkan Ki-nya sendiri.

Boooom!

Hageng mengokohkan kakinya, menghentak bumi, menancapkan keberadaannya di depan sang Dewa Iblis dan Nanto. Seakan-akan menyatakan kepada siapapun, bahwa dia eksis dan siap menghadapi siapapun. Ki yang dikeluarkan Hageng memang tidak cukup untuk menelan balik aura Ki milik sang Dewa Iblis, tapi setidaknya cukup untuk bertahan.

Nanto mengangguk dan mengacungkan jempol, tanda dia puas dengan perkembangan Hageng.

Bahkan Rahu pun meringis. “Hebat juga kamu, Bocah. Sedikit lagi dan kamu akan mencapai Level A.”

“Rahu,” desis Nanto. “Lawanmu bukan dia, tapi aku.”

Rahu Kala terkesiap.

Wajah si Bengal tiba-tiba berubah menjadi serius. Saat itu juga terjadi ledakan. Bagai ada kilat yang menyambar di tengah turunnya hujan gerimis, ada kelebat sinar dari atas langit yang menghunjam ke bumi, tepat ke posisi di mana Nanto berdiri. Suara gelegar dentuman petir yang menyambar nyaring terdengar.

Kraaaaakkkakkkaaboooooooooom!!

Baik Rahu Kala maupun Hageng terjengkang ke belakang hampir lima meter jaraknya dari posisi mereka semula. Meski tak sampai menimbulkan luka, keduanya terkaget-kaget dengan pertunjukan aura dari sang naga. Ki milik Hageng dan Rahu Kala langsung padam.

Hageng berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang kotor. “Azem. Lain kali kalau mau begitu, kabar-kabar dulu. Aku perziapan menjauh darimu.”

“Hehehe.” Nanto meringis.

Si Bengal dan sang T-Rex kini menghadap ke arah sang Dewa Iblis. Pria bertubuh besar itu menatap Nanto dengan geram, tubuhnya terlihat gemetar. Jika mengenal Rahu Kala, itu artinya dia sedang sangat excited dengan kemungkinan berhadapan dengan orang yang secara kemampuan jauh lebih mengerikan daripada dirinya sendiri.

Tapi Rahu kala adalah seorang loose cannon. Apapun tindakannya, tidak ada yang tahu dan tidak ada yang menerka.

Tiba-tiba saja Rahu Kala menjura dan berlutut di hadapan si Bengal.

“Kuucapkan selamat, wahai pemuda. Tidak pernah kuduga dalam hidupku yang sementara di dunia fana ini bahwa aku masih diberikan kesempatan untuk menyaksikan kemunculan sang pewaris tahta Naga - dia yang menguasai ilmu pilih tanding Nawalapatra 18 Serat Naga. Jurus yang pernah menjadi legenda dan mitos sebagai kemampuan paripurna dari pendekar Bara. Hari ini, saya – Rahu Kala, mengaku kalah di hadapan sang Raja Naga. Kelak kita akan bertemu kembali dalam laga penentuan yang lain. Ijinkan saya mengambil kesempatan ini untuk menantang sang Naga pada kesempatan di lain waktu. Ijinkan saya untuk belajar dari kekurangan terlebih dahulu dan kelak akan berhadapan kembali dengan kekuatan yang lebih sepadan. Semoga sang Naga berkenan.”

Nanto bersidekap.

Ny… Nyuk…” Hageng melotot. Dia sama sekali tidak mengira adegan ini akan terjadi di depannya. Ini sudah di luar nalar! “A-apa-apaan ini!? Ini Rahu Kala lho! Ini lawan yang luar biaza medeni! Maza iya dia mau menyerah begitu zaja? Kamu tidak khawatir kalau dia nanti…”

Nanto tahu apa yang harus dilakukan, ia mengangguk ke arah Hageng dan mengayunkan tangannya pertanda meminta sang sahabat untuk tetap tenang. Hageng memahami kode dari si Bengal, ia pun menyingkir ke belakang.

Nanto menepuk pundak Rahu Kala. “Berdirilah.”

Sendiko.”

Rahu Kala berdiri di hadapan si Bengal, tapi ia kini menundukkan wajahnya. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba sangat berubah seperti itu. Seperti ada percikan kenyataan yang membuat semangat perlawanan sang Dewa Iblis turun jauh.

Tapi Nanto tahu sekarang bukan saatnya untuk menjatuhkan Rahu, tapi mengajukan satu pertanyaan penting baginya.

“Aku hanya akan menjawab tantanganmu jika kamu menjawab pertanyaanku. Apa yang membuatmu bergabung dengan koalisi Ki Juru Martani dan om Janu, Rahu?” tanya si Bengal saat ia dan sang Dewa Iblis kini sudah kembali berdiri sejajar dan saling berhadapan. “Orang seperti njenengan yang memiliki kemampuan A++ seharusnya tidak menghamba pada mereka yang kekuatannya setara atau hanya unggul sedikit, seorang Rahu Kala seharusnya tidak menghamba kepada siapa-siapa..”

Rahu Kala mengangguk. “Apa yang telah dilakukan oleh Pak Zein bertahun-tahun lalu pada Trah Kala adalah penyebab gesernya keberpihakan, Raja Naga. Aku tidak ingin menghamba pada siapapun dan sampai saat ini keberadaanku hanyalah membantu menghancurkan JXG, tapi aku bukan pembantu. Aku tidak pernah bersumpah menyatakan setia pada QZK, KRAd, ataupun Koalisi mereka. Aku adalah Rahu Kala dan Rahu Kala berdiri sendiri di medan laga. Rahu Kala hanya ingin menjadi Rahu Kala yang lebih kuat dari siapapun.”

Nanto terdiam, pemicu keberingasan Rahu adalah apa yang terjadi pada Trah Kala? Mungkinkah seorang Pak Zein pernah berlaku jahat dengan mencelakai Trah Kala? Apakah itu menjadikan dia seorang culas seperti halnya om Janu? Apakah benar seperti itu? Entah kenapa Nanto ragu. ia pun menatap Rahu yang berdiri dengan tegar.

“Baiklah. Kalau begitu aku akan memberikanmu tawaran, Rahu. Nyatakan keberpihakanmu kepada Aliansi, hanya malam ini saja,” ujar si Bengal. Wajahnya sangat serius, “Aku tidak yakin dan tidak tahu apa yang telah terjadi pada Trah Kala, tapi akan kucari tahu apakah benar Pak Zein yang melakukan apa yang kau perkirakan bertahun-tahun yang lalu pada keluargamu, ataukah ada tangan-tangan lain yang menyebabkan itu semua terjadi. Siapapun yang bersalah, Pak Zein atau yang lain, kita cari keadilan malam ini.”

Rahu mendengus, tapi kemudian tersenyum.

“Sudah saya sampaikan, saya tidak pernah akan bersumpah setia pada siapapun. Rahu Kala adalah Rahu Kala. Bebas melangkah kemanapun saya mau,” sang Dewa Iblis mengangkat kepalannya ke udara. “Tapi demi keadilan yang dibutakan. BAIKLAH!”

Rahu menggenggam kepalannya lalu menggunakannya untuk menghantam tanah.

Jboooooom!

Tanah itu langsung berlubang lebar. Sang Dewa Iblis tertawa terbahak-bahak dan berteriak pada langit, “MALAM INI RAHU KALA BERDIRI SEJAJAR DENGAN SANG RAJA NAGA!”

Hageng melongo, mulutnya menganga. Sang T-Rex pun meneguk ludah. Ini serius? Ini beneran? Rahu Kala!? Orang yang paling mengerikan yang pernah melangkah di muka bumi, orang yang menjadi momok menakutkan bagi semua yang melawannya, sang boogeyman, sang bête noire – orang yang dibenci oleh semua orang!

Weladalah. Tidak apa-apa nih, yang begini?

“Baiklah. Mari kita tuntaskan perang ini,” Nanto mengayunkan tangan pada sahabatnya. “Ayo Hageng. Sekarang kita jalan.”

Hageng mengangguk. Tanpa takut Ia berjalan terlebih dahulu di depan, mendahului Rahu Kala yang kemudian tersenyum di belakang Hageng. Entah kenapa, Rahu seperti terbebas dari belenggu yang mencengkeramnya. Orang-orang QZK terkejut saat melihat Rahu Kala berjalan bersama lawan mereka.

“Rahu! Rahu!! Pengkhianat! Kenapa sekarang kamu malah bergabung dengan mereka!!”

“Siaaaalaaaaan!! Rahuuuu!”

Munyuuuuuuukkk!!”

Wassuuuuuuuuuu!!”

Jingaaaaaaaaaan!!”

Sang Dewa Iblis menyeringai. Ia menghentakkan tangan ke depan.

Booooom!

Barisan pertahanan QZK terpental ke belakang, sepuluh orang terkapar terkena hempasan tenaga dalam yang ia sentakkan dari jarak jauh. Hageng berjalan melewati kesepuluh orang yang tengah kesakitan, sementara kawan-kawan mereka kabur tak tahu kemana.

Setelah itu Rahu Kala yang berjalan dengan santai dan angkuh. Ia menyeringai pada orang-orang yang telah dijatuhkan. Pengkhianat? Bukan. Dia bukan pengkhianat, sejak awal dia tak pernah menyatakan untuk setia.

Tapi orang-orang yang sedang kesakitan itu justru terkejut pada sosok yang dengan tenang berjalan di belakang Rahu.

Sosok yang Ki-nya justru paling kecil dibandingkan Rahu dan Hageng.

Yang tidak mengenal pun menjadi bertanya-tanya. Siapa dia? Siapa pemuda yang baru saja datang? Kenapa dia begitu percaya diri?

Sesaat kemudian, ketiga orang itu merobohkan puluhan anggota QZK dan membuka pertahanan utara. Sesuatu yang disaksikan dengan penuh senyum oleh seorang wanita yang mengenakan helm dan jumpsuit warna hitam dari kejauhan.

“Nanto… si Bengal yang menjadi pembeda.”

Bisik gadis itu di tengah gerimis.







BAGIAN 23 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 24


Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mohon kesediaannya untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan nggarap tugas. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah (di signature). Terima kasih sebelumnya.
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd