Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Smoga lekas sembuh, suhu Killertomato..
Update cerita memang penting, tp kesehatan suhu sangat sangat sangat jauh lebih penting..
Semangat suhu...
 
BAGIAN 24
SEBELUM KAU TERLELAP




“Kita tentunya tidak ingin ditarik pergi begitu saja
dari masa-masa yang paling menyenangkan;
Kita akan pergi, sebagai tanda terima kasih,
sebagai pilar, atau sebagai legenda.”

- Robert Louis Stevenson





Boooooooom!


Ledakan hebat terjadi. Dinding pagar yang tersusun dari bata hancur dan luruh ke tanah tanpa bisa bertahan lebih lama. Tuntas sudah tugasnya menjadi penjaga batas antara jalan beraspal dan halaman rumah tempat tinggal. Pagar itu memang sudah lama tegak, meski entah telah berapa dasawarsa. Pagar itu sudah lama tak beranjak, entah berapa generasi lamanya.

Wajar saja jika kini telah rapuh, karena berdiri pun hanya sebagai syarat pembatas penurut dawuh. Yang awalnya dulu selalu gagah tanpa pernah bersimpuh, sekarang runtuh dan luruh. Goyah karena kisruh, lalu terbunuh gaduh.

Yang awalnya kokoh tak lebur, sekarang hancur lungsur.

Untung saja masyarakat penghuni kawasan sekitar sudah mengungsi ke tempat yang aman, sehingga korban pun tak berjatuhan ketika terjadi pertempuran yang menghancurkan lahan. Rumah demi rumah yang hancur semakin banyak dan menyebar. Kerugian massive jelas terbayangkan dan tak terhitungkan, biayanya entah apa kabar.

Boooooooom!

Sekali lagi.

Ledakan pukulan dari Rogo menghajar dinding bata hingga roboh berantakan, hancur lebur bagaikan bubur. Tapi sasaran utama sang Barakuda tentunya bukan dinding pagar, melainkan sang Raja Para Anjing. Sialnya bagi Rogo, Lawannya yang bertubuh tambun itu sudah menggeser badannya ke sisi yang lain sehingga aman sentosa selamat tak kurang suatu apa.

Rogo tidak mau berhenti begitu saja tentunya. Ia menggerakkan kakinya bagaikan Muhammad Ali, mencoba bergerak efektif sebagai boxer, melayang seperti kupu-kupu dan menyengat bagaikan lebah. Tangannya di letakkan di depan wajah, melindungi muka.

“Awas Rogo. Minggir sedikit.”

Pundaknya ditepuk. Rogo mundur empat langkah dalam satu lompatan. Usai menepuk Rogo, Hantu memanfaatkannya bahu sang partner sebagai landasan untuk melontarkan tubuh ke atas. Dinding di samping mereka tingginya sampai lima meter ke atas. Itulah kenapa Hantu meminta Rogo beringsut. Pria ganjil berwajah mengerikan itu pun menjejakkan kakinya ke dinding tembok dan seakan-akan berlari kencang ke arah Jenggo dengan posisi miring sembilan puluh derajat.

Satu tendangan dilontarkan dari posisi unik itu.

Jenggo mendongak dan meraung menatap Hantu yang akhirnya tepat berada di atasnya. Hantu tak gentar meski berhadapan dengan Jenggo yang wajahnya tak karuan dan masih dalam wujud binatangnya. Hujan turun meski tidak sederas sebelumnya. Ketika Jenggo membuka mulut untuk mengaum, air pun tumpah ke dalam.

Tendangan Hantu ke wajah Jenggo berhasil ditepis dengan satu tangan.

Hantu lantas melompat, memutar diri, dan mengayunkan tangannya ke atas dengan telapak tangan terbuka. Bibirnya yang dipaksa tersenyum lebar oleh luka permanen itu mendesis lirih, “Sewu lading kasebar ing angkasa.”

Tiba-tiba saja terdengar gemuruh dari dari atas.

Jenggo mendongak – seperti ada kabut yang tiba-tiba muncul di atas mereka, tapi dia tahu kabut itu bukanlah kabut nyata. Kabut itu kabut mistis yang disebarkan oleh aura unggul seorang petarung tingkat A. Karena di sini hanya ada dia, Hantu, dan Rogo, tak perlu menebak siapa yang telah beraksi.

Hanya ada satu orang yang mungkin memiliki kemampuan tingkat A.

Tak seberapa lama kemudian turun pendar bercahaya dari sebalik kabut. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh… lama kelamaan tak terhitung seberapa banyak pendar cahaya itu berbaris di angkasa. Masing-masing membentuk jalur ke bawah bagaikan sinar mentari menembus awan tebal menyinari bumi usai hujan turun dari langit.

Ilmu kanuragan ini adalah ilmu kanuragan langka yang tak satu di antara seribu orang menguasai. Jenggo berhadapan dengan ilmu kanuragan klasik.

Hantu menyeringai, “Sewu lading nyuduk bumi.”

Jenggo yang menyadari datangnya bahaya langsung berlari menghindari pendar cahaya. Ia menggunakan tangan dan kaki untuk berlari bagaikan binatang berkaki empat, gerakannya sangat cepat meskipun tidak seperti layaknya manusia, mirip seekor cheetah yang berlari kencang. Ia melompat dari bangunan ke bangunan. Tapi pendar sinar yang dilontarkan dari langit itu jauh lebih cepat.

Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp!

Dari setiap pendar cahaya yang jatuh dari langit itu, seakan-akan sejurus pisau energi menghunjam ke bawah di setiap pendarnya. Jenggo yang melalui beberapa pendar sinar cahaya, terkena tusukan beberapa kali. Badannya tersentak-sentak ke bawah dan akhirnya terjerembab di tanah berlumpur. Ia meraung kesakitan dan menjerit-jerit dengan lenguhan seekor binatang buas. Manifestasi energi berbentuk pisau itu sama saja menyakitkannya dengan pisau sungguhan.

Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp! Sblp!

Sekali lagi pisau-pisau energi seukuran telapak tangan menghunjam ke bawah dan menancap berulang di punggung Jenggo.

“Hraaaaaaaaaaaaaaaaarghh!” Bambang Jenggo kembali berguling-guling di lumpur karena kesakitan. Tapi bagaikan babi hutan nan buas yang menubruk kesana kemari asalkan lolos dari maut, Jenggo kembali mencoba bangkit dan berlari.

“Mau kemana? Kenapa buru-buru?” Rogo sudah menghadang tepat di depan Jenggo. “Tidak secepat itu, bangsat. Kita masih ada urusan untuk diselesaikan.”

Rogo memutar badannya ke samping, lalu dalam satu lecutan ia menghentakkan tenaga dalamnya ke depan. Posisinya bahkan belum terlalu dekat dengan Jenggo, tapi seperti ada badai Ki yang menghempas ke depan dengan kecepatan tinggi.

Jenggo yang terkejut meraung marah.

Tapi badai ledakan energi yang dihempaskan oleh Rogo berubah menjadi badai pukulan tak kasat mata. Itulah jurus andalan sang petarung, Tinju Magis.

Bkkhkkk! Bkkhkkk! Bkkhkkk! Bkkhkkk! Bkkhkkk!

Tubuh Jenggo tersenggal-senggal terkena hamparan pukulan beruntun. Tapi berbeda dengan saat-saat tadi, kali ini sesekali Jenggo berhasil menepis serangan, meski tetap ada yang masuk menerjangnya. Mulutnya menyeringai dan matanya berkilat-kilat. Jenggo bertahan tanpa terjatuh.

Hantu naik ke atas atap untuk menambah asupan serangan. Ia berlari mendekat ke arah Jenggo dan Rogo. Tapi saat Hantu meloncat ke atas atap, alih-alih berlari dia hanya tertegun dan berdiri terdiam. Seperti ada sesuatu yang mengganggu konsentrasinya.

Ia tertawa-tawa seperti biasa.

Lalu membalik badan.

Di sana sekarang ada sosok gelap yang mengenakan pakaian berlapis-lapis.

Sosok misterius itu tiba-tiba saja datang di hadapan Hantu. Pakaiannya carut marut, seperti kain yang ditumpuk-tumpuk untuk menutupi identitas diri, tubuhnya pendek dan perawakannya kecil. Dia bukan seseorang yang pernah ditemui Hantu sebelumnya. Tidak dapat ditebak apakah dia pria atau wanita.

Datang entah dari mana dan tahu-tahu saja ada.

Hantu bergoyang-goyang, dia melirik ke arah Rogo yang masih bertempur melawan Jenggo di bawah sana, lalu menatap ke arah sosok misterius.

“Kamuuuu… apa yang kamu mauuuu!? Kamu bukan dari kelompok manapun.”

“Bukan. Tapi aku tahu sesuatu yang kamu tidak tahu. Kamu ingin menemui anakmu? Kamu ingin tahu apa yang sejatinya terjadi pada anakmu? Aku tahu semuanya. Aku tahu dengan pasti di mana dan bagaimana nasibnya. Tapi tidak ada yang gratis di dunia ini. Sebagai balasannya, kamu harus membantuku menghabisi seseorang dan itu harus dilakukan sekarang. Tidak bisa menunda lebih lama lagi,” sosok yang mengenakan masker hitam itu menatap Hantu dengan pandangan mata tajam, bukan pandangan mata main-main, Hantu tahu itu serius, meski dia tidak bisa menebak apakah sosok ini laki-laki atau perempuan, bahkan suaranya pun tidak dapat ditebak. “Ikut aku sekarang dan akan kuberikan informasi di mana anakmu berada, atau jangan ikuti aku dan kamu akan kehilangan informasi mengenai anakmu untuk selama-lamanya. Pilihannya ada padamu.”

Sang sosok bermasker hitam berlari dan meloncat-loncat dari satu atap rumah ke atap rumah lain bak seorang atlet parkour. Ilmu meringankan tubuhnya jelas kelas wahid. Tentu saja kemampuan Hantu tak akan kalah jika dibandingkan orang seperti itu. Ia melirik ke bawah, ke arah Rogo yang kewalahan menghadapi Bambang Jenggo sendirian.

Ia menunduk, lalu tertawa terbahak-bahak, ada tetes air mata saat Hantu tertawa, “Sungguh kejam dunia ini. Kejam sekali. Kejam. Maafkan aku, Rogo. Kamu teman yang baik dan aku teman yang buruk. Suatu saat nanti, mudah-mudahan kita bertemu kembali di kekekalan masa.”

Hantu melesat mengikuti sang sosok bermasker.

Rogo tertegun melihat Hantu pergi begitu saja.

“Yungalah, malah ditinggal sendiri. Bwahahahahahah,” Bambang Jenggo memanfaatkan momentum, “Kamu tidak akan pernah menang melawanku sendirian, sobat. Sudahlah. Akhiri saja pertarungan ini. Buat apa berlama-lama? Kita hanya menunda kematianmu saja. Pilih mana? Mati sekarang dengan tenang, atau mati nanti tapi tersiksa?”

“Bedebaaaaaaaaaaaah!!” Rogo mengamuk kembali. Ia marah pada Hantu dan semua ia lampiaskan pada Jenggo. Kenapa tiba-tiba Hantu meninggalkannya? Kemana kesetiakawanan yang selama ini mereka jalin? Apakah dia sama sekali tidak memandang dirinya? Apakah Hantu membiarkan saja dirinya untuk dibantai sang Raja Para Anjing?

“Oooh, Rogo,” Bambang Jenggo terkekeh. Dia menggoyangkan tangan, dan dalam sekejap wajahnya berubah. Ada garis-garis hitam di bawah matanya, rambutnya seakan menjadi lebih panjang, memanjang, dan terus memanjang. Wajahnya memucat, giginya meruncing dan menghitam, matanya berubah menjadi kuning kemerahan, “Kita punya urusan yang harus diselesaikan bukan? Mari kita selesaikan. Aku akan membunuhmu. Dengan kejam, keji, dan tak beraturan. Akan kupotong-potong tubuhmu, kuiris dagingmu, dan akan kumakan dengan bumbu sate. Waahahahhaah. Kuperkenalkan, Hikayat Pemuja Malam, pemuja Hantu Tanpa Punggung.”

Rogo terkesiap, tentu saja ia terkejut dengan perubahan wujud Jenggo. Yang seperti ini belum pernah ia lihat sebelumnya.

Skaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaawwkk!!

Jenggo menjerit kencang. Rogo terpaksa menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangan, ia menatap Jenggo dengan penuh rasa geram, heran, kagum, tapi juga jijik. Ada berapa banyak lagi sih ilmu kanuragan yang ia miliki?

Jenggo meloncat ke depan dan cakarnya yang tajam menyerang menyilang membentuk huruf X. Rogo harus berulang kali menghindar dan memanfaatkan Kubah Kolosal miliknya. Gila memang orang di depannya ini, berkali-kali jatuh tapi selalu bangkit lebih kuat dan lebih kuat lagi.

Jenggo memang sosok yang mengerikan, melebihi dari apa yang ia tunjukkan di muka. Orang-orang yang tidak mengenalnya hanya melihat sosok pria buncit dengan wajah bodoh, tapi dia justru perwujudan iblis yang berjalan di muka bumi. Kemampuan hebat, otak licik, dan niat culas.

Rogo tahu. Kini menjadi tugasnya untuk menghancurkan iblis.

Ia berteriak kencang.

Serangan Tinju Magis menggelora. Puluhan kepalan menerjang ke depan tanpa ampun, menyerang tubuh Jenggo yang menanti. Tapi setiap tinju yang kali ini ditebarkan oleh Rogo berhasil dihindari oleh Jenggo dengan mudahnya. Mata sang Raja Para Anjing yang telah berubah itu berkilat-kilat seperti menemukan sesuatu.

Rogo tak percaya dengan apa yang dia lihat. Bagaimana mungkin si bedebah ini sanggup melihat serangan yang tak nampak!?

“Sudah bisa kubongkar rahasiamu, Rogo. Namanya tinju magis. Tapi itu sejatinya bukan tinju,” ucap Bambang Jenggo dalam wujud dan suara anehnya, suara pria itu terdengar seperti nada ganda – dari suaranya sendiri dan sosok lain. Tubuhnya makin kurus dan makin kurus, hingga tulang-tulang pipinya semakin terlihat, wujudnya makin tak beraturan. “Benar begitu bukan?”

Rogo tidak peduli, ia meledakkan Tinju Magis sekali lagi. Yang tadi pasti hanya kebetulan! Saat itu pula, Jenggo kembali berhasil menghindari serangan dari Rogo.

Sialan! Bukan kebetulan!

“Serangan tenaga dalam yang disentakkan dari beberapa bagian tubuh. Mengagumkan, tapi kekuatannya tidak sedahsyat yang kuperkirakan. Kamu terlalu tegang dan stress. Gerakanmu mudah terbaca seperti seorang pemula. Kenapa? Karena ditinggal si Hantu? Buhuhu… sedihnya hatiku. Kalau tidak bisa mandiri, kamu bukan petarung, Rogo. Kamu hanya parasit. Tanpa Hantu, kamu bukan apa-apa bagiku…” Jenggo meloncat ke depan dan meluncurkan serangannya.

Rogo mengaktifkan Kubah Kolos...

Grbkh!

Cakar Jenggo sudah mencekik lehernya, satu cakar lain mendarat dan mencengkeram ulu hatinya. Suara Jenggo berubah lagi, kali ini wujudnya lebih menyeramkan, suaranya pun semakin aneh, semakin berganda. “Tterrlambaaattt… ggerakkanmuuu sudahhh terbacaaaa… Ppemujja Hantuu Penccabik…”

Cakar Jenggo beraksi, cakar tangan kanan menggorok leher Rogo, dan cakar tangan kiri merobek dada sang pria.

Sbrrrrrt!! Sbrrrrrrrrrtt!

Rogo terhuyung-huyung saat Jenggo melepaskan cakarnya. Leher dan dadanya terbuka oleh luka menganga, darah mengucur deras. Pria gagah itu jatuh terduduk, lalu berdiri tegak, lalu terjatuh kembali ke bawah. Rogo berusaha keras berdiri meski sangat susah rasanya.

Tenggorokan Rogo sang Barakuda menggelegak.

Ia tenggelam dalam darahnya sendiri yang meluap-luap di mulut, nyawa hanya tinggal sepenjemputan. Dia sudah kalah telak dari Bambang Jenggo dan si Hantu sudah tak lagi nampak di manapun. Rogo tahu, ajal sedang dalam perjalanan.

Mati dia hari ini.

Air hujan yang masih menetes turun mungkin menjadi satu-satunya hal yang akan ia ingat di ujung ajal. Dia tersenyum. Setidaknya dia sudah berusaha.

Rogo ambruk ke depan berdebam ke tanah yang berlumpur.

Bambang Jenggo menyeringai melihat sang lawan sudah meregang nyawa, ia menepuk-nepuk tangan di kain celana yang sudah basah kuyup, “Ayolah. Masa cuma sebegini saja JXG? Siapa lagi berikutnya?”

Angin berhembus.

Jantung Jenggo seperti ditabuh. Ada aura Ki yang datang ke arahnya. Dari dua sisi jalan di sampingnya.

“Ronde kedua, Raja Anjing!” terdengar suara teriakan.

Ronde kedua? Memangnya kapan ronde pertama? Jenggo menengok ke samping. Dua orang pria datang dengan gagah siap menantang sang Raja Para Anjing.

Dari sisi kiri, Deka.

Dari sisi kanan, Amar Barok.

Jenggo mendengus kecewa. “Yaelah. Masa dua kecoak ini lagi? Aku sudah pernah menghadapi mereka berdua dan menang telak tanpa bersusah payah. Apa tidak ada lawan yang lebih berat? Mereka tidak ada apa-apanya! Bahkan cewek yang mereka perebutkan saja sudah aku perawani. Hahahahak.” Jenggo menunjuk ke arah Deka dan Amar Barok bergantian, “Ada urusan apa Aliansi turun ke perang ini? Kalian mau bantuin JXG? Bodoh sekali. JXG sudah tuntas! Ganda ya nyali kalian berdua sampai-sampai mau melawanku…? Memangnya bisa ap…”

Kaboooooooooooooooom!

“Hkkkkkkkkghhhh!” tangan Jenggo mencengkeram pergelangan tangan yang tiba-tiba saja mencekiknya.

Deka melesat ke depan dengan kecepatan tinggi sementara sang kakak sibuk merapal jurus andalan. Si Gondes mencengkeram leher Jenggo dengan seketika, mencekik dan mendorongnya ke belakang dengan kecepatan tinggi. Deka meledak bak cannonball, melejit dengan loncatan super kencang. Ia menghantamkan punggung dan bagian belakang kepala Bambang Jenggo ke dinding rumah.

Bruaaaakghhhh!

Jenggo kesakitan, saat ia membuka mata, wajah Deka tiba-tiba berubah menjadi sangat legam mengkilap dengan mata putih dan gigi runcing.

Ini… ilmu hitam?

Jenggo tak sempat berpikir banyak. Dia harus melawan! Pria berperut buncit itu menekuk kakinya ke dalam dan mencoba menjejakkannya ke arah si Gondes. Tapi belum sampai ia melakukannya, Deka sudah menghunjamkan kepalan berulang-ulang kali ke wajah sang Raja Para Anjing.

Jboom! Jboom! Jboom! Jboom! Jboom! Jboom! Jboom! Jboom!

Tiap hempasan pukulan begitu keras menghajar wajah Jenggo sehingga suaranya terdengar bagaikan dentuman. Deka tidak main-main dan tidak ingin mengakhiri pertarungannya dengan Bambang Jenggo terlalu lama. Dia harus membunuh bajingan ini sekali untuk selamanya secepat-cepatnya! Setiap hempasan pukulan dilakukan dengan terus mendorong tubuh Jenggo ke belakang, menghajar tembok, pohon, dinding, apapun yang menghalang.

Tubuh pria buncit itu terhempas-hempas berulang kali.

“Hngggkhhhhhh!” Raja Para Anjing menggeram.

Jenggo merunduk, tangannya disilangkan ke samping di bawah tangan kiri Deka yang masih mencengkeram leher, lalu ia memutar badan dengan kecepatan dan kekuatan yang setara dengan Deka.

Jenggo mengaum. “Hroaaaaaaaaaaaaaarrrrhhhhgghh!”

Tubuhnya tiba-tiba saja berubah membesar dan jauh lebih berotot. Mata Raja Para Anjing itu melotot, membulat, dan memerah. Deka yang melihat dari jarak dekat bisa melihat ada semburat garis-garis yang membentuk tali-temali saling mengikat mengisi ruang putih di sudut-sudut mata sang lawan. Siapapun yang memandang akan langsung nyiut nyalinya menatap perubahan fisik Bambang Jenggo.

Inilah kedigdayaan ilmu kanuragan Hikayat Pemuja Malam. Tidak hanya mengisi tubuh dengan sosok-sosok yang ampuh, tapi juga meningkatkan kemampuan.

Tapi omong-omong soal wujud mengerikan, bukankah Deka juga tidak sedang dalam wujud yang biasa-biasa saja?

“Groaaaaaaaaaaaarghhhh!” Deka meningkatkan Ki-nya.

Deka terus menghantamkan Jenggo ke tembok demi tembok sampai akhirnya mencapai batas terakhir, tembok yang membatasi perumahan warga dan parit selokan selebar dan sedalam dua meter yang membentang.

Ledakan pertemuan Ki dari dua sosok yang sama-sama memiliki ilmu hitam dan mendapatkan khasiat dari darah ajaib keturunan tokoh legendaris Kakek Segala Obat akhirnya bertemu. Mau adu ilmu hitam? Boleh saja! Deka masih ingat betul apa yang diucapkan mendiang om Tarjo kepadanya.

Jika tidak bisa dihilangkan, lebih baik dikuasai, lalu dimanfaatkan.

Jenggo punya memedi di tubuhnya? Deka juga.

Saat ini, dia punya satu sosok di dalam tubuhnya! Meski hanya satu, tapi sosok yang turun kepadanya dari laku yang ia lakukan di bawah bimbingan sesat Ki Demang Undur-undur itu cukup kuat. Tadinya Deka akan ditelan oleh sosok yang menaungi. Tapi berkat om Tarjo, keadaan kini berbalik.

Pertemuan kepalan demi kepalan terjadi, dua manusia yang menjadi vessel bagi makhluk-makhluk yang haus kemenangan itu merangsek menuju tembok terakhir.

Jbooooooom!

Pukulan dari Jenggo masuk dengan telak ke wajah Deka. Pemuda itu goyah, tapi wajah hitamnya marah. Ia berteriak kencang. Begitupun Jenggo yang membalas teriakannya. Tangan Deka masih terus mencekik leher Bambang Jenggo tapi dia tidak bisa mendorongnya lagi.

Kaki Jenggo teguh berpijak ke tanah.

Tembok terakhir itu hanya lima langkah ke belakang saja.

Deka meraung kencang dan terus mendorong, tapi tetap tak membuat posisi Jenggo bergeming. Hikayat Pemuja Malam bukanlah ilmu kanuragan kelas teri asin.

“Kuuuuuuuuuun! Minggir!!”

Teriakan dari belakang menyadarkan Deka. Ia melepaskan cengkramannya di leher Jenggo dan melompat ke samping. Deka masuk ke halaman pekarangan rumah orang, sementara di belakangnya suara raungan kencang membahana.

Seketika itu juga ada hembusan kencang bagaikan truk tronton menyergap sang Raja Para Anjing!

Bdbooooooooooooommm!

Ulu hati pria berperut tambun itu langsung tertohok sampai-sampai terlihat cekungan ke dalam di badannya berbentuk lingkaran terpusat. “HNGKKKKKKKGHHH!!”

Tubuh Jenggo terhempas ke belakang, menabrak tembok yang langsung runtuh. Jenggo terjungkal dan jatuh ke dalam parit yang dalam. Tubuhnya tenggelam ke dalam air. Ia bahkan tak sempat berganti wujud dengan Hikayat Pemuja Malam-nya. Pertarungan dengan lawan-lawan yang hebat berturut-turut membuat Jenggo makin kewalahan, kini ia mulai merasakan lelah yang kian merangsek.

Deka yang sudah kembali ke wujud semula berlari ke arah tembok yang runtuh. Demikian juga Amar Barok yang baru saja menghempaskan serangannya. Dia berdiri di sebelah Deka.

“Terlihat?” tanya Deka.

Amar Barok tidak menjawab, tapi tiba-tiba saja dia berlari kecil ke belakang, lalu melakukan sprint kencang ke depan dan melompat setinggi mungkin. Di sebelah parit ada tembok tinggi. Mustahil dia mau menyeberang ke sana dan memang bukan itu tujuannya. Amar menghentakkan kakinya ke tembok di seberang parit dan memanfaatkan gaya pegas untuk memutar badan ke bawah.

Bboooooooooooooooomsssshhh!

“Heaaaaaaaaaaaa!!”

Kaki Amar menghunjam ke bawah, tepat ke bagian tengah parit yang tiba-tiba saja membentuk pusaran air kencang. Tepat ke tengah pusaran itulah tendangan Amar ditujukan.

Booooomsssh!

Tendangan Amar tidak mencapai sasaran, entah kenapa sebelum mencapai titik tengah pusaran, ada kekuatan yang bagaikan kubah pelindung mementalkannya ke atas. Ini tidak akan berakhir baik. Amar memutar badan kembali di udara lalu membalik badan. Kali ini kepalanya yang ada di bawah. Tiba-tiba saja Amar menarik wajahnya, membuka mulut, dan meraung dengan kencang.

“Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrr!!”

Pusaran air tersibak ke semua penjuru, ada yang bahkan sampai terlontar ke atas dan kesamping. Meskipun hanya sesaat, tapi saat air itu tersibak dan bagian dasar dari parit terlihat, sosok Bambang Jenggo ternyata tengah bersila dan memainkan tangannya untuk membentuk tarian bunga teratai.

Amar Barok yang turun dengan kecepatan tinggi menarik tangannya ke belakang, lalu menghunjamkannya ke bawah. Di bawah, Bambang Jenggo menyadari serangan itu. Ia membuka mata, menatap ke atas, dan memandang ke arah Amar Barok dengan mata merah.

“Hroaaaaaaaaaarghhh!”

Suara binatang keluar dari mulut sang Raja Para Anjing, ia melontarkan telapak tangannya ke atas untuk menemui kepalan tangan Amar Barok. Ki melawan Ki, tenaga dalam melawan tenaga dalam. Koalisi melawan Aliansi. Raja Para Anjing melawan Panglima Singa Emas. Pertarungan para jenderal.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Tubuh Amar Barok terlontar ke belakang, ia tenggelam ke dalam parit yang dalam di depan Jenggo. Sementara itu parit yang diduduki oleh Jenggo retak karena hempasan tenaga dari kedua kekuatan. Jenggo berteriak menuntut kemenangan, tapi sesaat kemudian ia tersadar, jari tengahnya patah karena pertarungan telapak tangan barusan.

Pria yang wujudnya bak binatang itu mendengus-dengus gusar, ia menatap nanar ke depan. Jenggo atau perwujudan yang menunggangi Jenggo meraung dengan kekuatan penuh.

Deka menyadari apa yang dilakukan kakaknya, ia menengok ke kanan dan kiri, sebelum akhirnya menemukan sesuatu. Sekali lagi dengan kecepatan tinggi, Deka mencapai benda yang ia temukan sembari merubah bentuk menjadi wajah hitam. Dengan merubah wujud, Deka meningkatkan kekuatannya berkali-kali lipat.

Yang diambil Deka, berasal dari sebuah garasi rumah. Dua velg mobil. Deka mengambil velg itu, menjinjingnya dua buah dengan tangan kanan dan kiri. Ia melontarkan satu ke arah Amar Barok. “Mas Amaaaaar!”

Amar yang terbenam di parit paham apa yang akan dilakukan oleh sang adik. Ia bangkit dan langsung meloncat untuk mengambil velg yang dilempar oleh Deka. Jenggo tentu saja tidak ingin rangkaian serangan apik itu terjadi. Ia terbang untuk mencegat velg itu sampai ke tangan sang Panglima Singa Emas. Tangannya menyeruak ke atas untuk menggapai ‘senjata’ yang dilontarkan oleh Deka.

Hpp!

Posisinya yang menguntungkan membuat Jenggo unggul. Tangannya berhasil meraih velg. Ia mengaum buas di udara dan tertawa-tawa.

Heads up,” ucap Deka dengan suara yang bukan suaranya.

Jenggo melotot.

Jbuaaaaaaaaaaaaaakghhhh!

Wajahnya dihantam velg yang tidak dilemparkan oleh si Gondes. Adegan tadi adalah rekayasa untuk mengelabui Jenggo. Deka sudah tahu kalau lemparannya ke Amar sudah pasti bakal ditangkap oleh Jenggo, itu sebabnya saat Raja Para Anjing lengah, dia berlari ke depan dengan cepat dan mengayunkan velg yang ia pegang sendiri.

Hasilnya kini Jenggo terjatuh kembali ke parit dengan sangat keras. Deburan air keruh berombak mengamuk bagaikan seekor gajah tercebur kolam. Kepala Jenggo yang terpapar velg langsung memerah dan memar. Ia megap-megap mencoba mencari udara saat tenggelam, wujudnya kembali seperti Jenggo semula.

“Asuuuw! Asyuuuuuuuuuww!! Asyuuuuuuuuuu!! Jingaaaaaaaaaaaaaaaaan!!” Jenggo gusar.

Tapi baik Amar Barok maupun Deka sama sekali tidak ada niat untuk mengasihani dan memberinya kesempatan untuk beristirahat barang sedetik pun.

Sang Panglima Singa Emas berlari ke depan dan terjun ke parit yang sama dengan Jenggo. Ia langsung menelikung sang lawan dari belakang, menautkan tangan, dan mengunci leher Jenggo dengan lengannya. “Anjing sepertimu… sudah sepantasnya mati di selokan!”

Amar Barok mencekik leher Bambang Jenggo. Bedebah itu pun meronta, ia mencoba memukulkan apa saja ke belakang, baik itu siku tangan, kaki, lengan, apapun yang bisa menghentikan Amar Barok, tapi tak ada yang berhasil. Amar masih tetap lebih kuat dan kokoh.

Jenggo memejamkan mata, ia berubah menjadi tenang.

Tapi Amar tahu, justru inilah saat yang paling berbahaya, Jenggo hendak berubah kembali dengan memanfaatkan Hikayat Pemuja Malam. Dia akan mengeluarkan wujud demi wujud sosok yang ada di dalam tubuhnya.

“Kuuuun!”

Deka masuk ke dalam parit, wajahnya kembali berubah menjadi hitam, dengan geram dia berteriak pada Jenggo, “Tidak akan kuijinkaaaaaan!!”

Kedua tangan Deka mengait bagian belakang kepala Jenggo. Ia lalu menarik kepala bedebah itu, dan menenggelamkannya ke dalam air parit yang teramat kotor dan keruh. Tubuh Jenggo meronta-ronta kembali. Rapalannya belum selesai tapi kini lehernya dicekik dan kepalanya didorong ke dalam air. Tangan Jenggo menggapai-gapai, mencoba menarik dan memukul, tapi kedua kakak beradik menguncinya. Gelembung-gelembung air terlihat ramai.

Jenggo megap-megap.

Riak-riak air membesar saat si tubuh tambun meronta.

Lalu sepi.

Lalu terdiam.

Perlahan-lahan lingkaran demi lingkaran yang terbentuk di permukaan air mereda. Sosok yang meronta tidak lagi bergerak. Deka dan Amar Barok yang mencekik dan mencelupkan kepala Jenggo ke dalam air terengah-engah tanpa bergeming.

Suara teriakan dan jeritan masih terjadi, tapi bukan di sini. Pertarungan di luar sana belum selesai. Di sini sepi. Apakah yang di sini sudah selesai?

Deka mengerutkan kening. Apakah benar-benar sudah rampung? Ia melirik kakaknya.

Amar Barok mendengus dan menggeleng.

Belum.

Ini belum selesai.

Ini masih jauh dari selesai.

“Berhati-hatilah. Orang ini punya seribu tipu daya,” ujar Amar Barok. Dia sama sekali tidak melepaskan cekikan lengannya di leher Bambang Jenggo. “Jangan kau lepaskan dulu. Benamkan terus kepalanya di air. Jaga jangan sampai ada gerakan sekecil apapun. Kamu tahu sendiri bagaimana dulu Jenggo mengelabui kita berdua sewaktu pertempuran di gudang.”

Deka mengangguk, keringatnya mengalir deras.

Tiba-tiba saja.

Gelembung-gelembung air bermunculan, air yang tadinya tenang kini beriak, getaran demi getaran terasa. Deka dan Amar Barok saling berpandangan. Ternyata benar, meski sudah cukup lama dibenamkan di air yang teramat keruh, Bambang Jenggo masih juga belum mati. Kini tubuhnya bahkan terasa hangat, makin lama makin hangat hingga panas pun terasa.

“Mas?”

“Sial!”

Baik Deka maupun Amar Barok akhirnya merasakan perubahan hebat di arena mereka. Amar makin kencang mencekik leher Jenggo, Deka juga terus mendorong dan membenamkan kepala sang lawan ke dalam air. Tapi tetap saja perubahan itu makin menjadi-jadi.

Deka yang sejak tadi keringatan karena mencoba menahan gerakan Bambang Jenggo kini matanya terbelalak. Sungguh panas rasanya di dalam air! Apa yang terjadi? Apakah sedemikian hebatnya aura Jenggo sampai-sampai dia bisa merebus mereka semua?

“Hrooooooaaaaaaaaaaaaarghhh!”

Jbooooooooooooom! Jboooooooooooooooom! Jboooooooooooooom!

Deka dan Amar Barok terlempar ke belakang, parit yang menjadi tempat mereka mengunci Bambang Jenggo meledak hebat. Airnya tumpah keluar, membasahi halaman rumah warga. Deka terlempar jauh hingga menyeberangi jembatan yang tak jauh dari posisi mereka, dan tenggelam di parit yang lebih dalam lagi. Amar Barok terhempas menubruk satu gerobak bakso yang kosong. Gerobak itu terbalik dan kaca-kacanya pecah berantakan. Amar terguling-guling di teras kios bakso.

Dari dalam parit, Bambang Jenggo keluar secara perlahan dan terlihat sangat segar meski teramat berbeda, tubuhnya terlihat aneh dengan kulit bersemu biru. Wajahnya pun makin menyeramkan dengan sekeliling mata yang menghitam disertai seringai senyuman lebar. Tubuhnya seperti berpendar, sesekali ada getaran yang membuat kepalanya tiba-tiba saja menjadi sangat banyak.

Pria itu basah, kotor, dan bau. Tapi tak bisa dipungkiri, aura Ki yang keluar dari dalam tubuhnya justru semakin besar dan menghebat. Jenggo terkekeh-kekeh, ia melihat-lihat lengannya sendiri yang kini berwarna kebiruan. Bukan seperti lebam, lebih seperti pendar.

“Jadi seperti ini rasanya menjadi dewa. Hahaha… hahahahahahaa… hahahahahaahaha!”

Bambang Jenggo sudah mengira dia akan kelelahan setelah berturut-turut melawan Jagal, Dewi Uma, pasukan JXG, Hantu dan Rogo sang Barakuda, dilanjut sekarang Amar Barok dan Deka. Dia bahkan kesulitan merapal Hikayat Pemuja Malam.

Tapi siapa yang menyangka gabungan darah suci legendaris keturunan Kakek Segala Obat dan ilmu kanuragan pilih tanding miliknya menghasilkan sesuatu yang di luar dugaan. Ia berhasil menembus level berikutnya dari keterbatasan sebelumnya, sesuatu yang belum benar-benar ia kuasai dengan sempurna sampai saat ini.

Hikayat Pemuja Malam tingkat Rahvana.

Jenggo menekuk kepalanya ke kanan dan kiri lalu menggoyang kepalan tangannya. Dia terlihat segar, terlalu segar daripada seharusnya. Tingkat Rahvana tidak hanya me-recharge energi Jenggo, tapi juga membenahi semua luka luar yang ia alami. Amar Barok dan Deka yang basah kuyup menepi dari parit dan mulai berdiri di sisi kanan dan kiri Bambang Jenggo.

“Bangsat! Padahal sudah lama sekali di dalam air! Kok ya tidak mati-mati!” Deka mengumpat.

“Bwahahahahaha! Kalian mau membunuhku? Silakan saja. Aku ingin tahu bagaimana caranya kalian membunuh seorang dewa! Hahahahahahaah!! Aku akan membuktikan pada kalian, seperti apa sebenarnya kekuatan seorang Bambang Jenggo! Buwaahahahahahaha. Jangan meremehkan!” Jenggo menebarkan aura Ki-nya dengan sengaja. Sesuai dengan bualannya, Ki milik sang Raja Para Anjing bertambah berkali-kali lipat.

Deka mendesis sengit, selain menyebalkan dan berhati busuk, orang ini benar-benar susah matinya. Dulu bapak ibunya Jenggo ngidam apa sih ya? Si Gondes memejamkan mata dan merapal ilmu kanuragan, wajahnya berubah menjadi hitam kembali. “Entah kamu itu Smurf atau Avatar karena tiba-tiba saja menjadi biru, aku tidak akan peduli. Yang jelas hari ini kamu harus mati di tanganku, atau namaku bukan Deka!”

“Namamu kan memang bukan Deka. Itu panggilan.” Amar Barok menimpali di kejauhan.

“Bukan begitu konsepnya, Maaaas!” Deka menepuk kepala, “Ini ceritanya lagi mengancam. Jangan dipenggal-penggal dong. Jadinya antiklimaks kan!”

“Bwahahahahahah… kupikir hanya aku saja yang konyol, ternyata kalian juga sama saja. Ya sudah biar kutunjukkan pada kalian apa bedanya Jenggo yang tadi dan Jenggo yang sekarang!” Bambang Jenggo menyusuri jalan setapak di sisi-sisi parit. Ketika sampai di bagian yang cukup lebar, dia memejamkan mata dan membungkuk.

“Kuuuun! Jangan biarkan dia berubah!” Amar Barok berlari ke arah Jenggo.

Deka yang sesungguhnya justru penasaran dengan wujud Jenggo tersadar dari kebodohannya. Dengan membiarkan sang Raja Para Anjing naik level, itu artinya membuat repot diri sendiri. “Wedhuuuuus!

Booooooooooom!

Terlambat.

Hempasan tenaga dalam Bambang Jenggo melemparkan tubuh Amar Barok dan Deka yang sebelumnya berlari ke arahnya menjadi kembali menjauh darinya. Tapi keduanya mampu mendarat di tepian parit. Deka menyerang dengan kecepatan tinggi, demikian juga dengan Amar Barok.

Pendar sepuluh kepala Jenggo mewujud sesekali.

Kepalan tangan Amar Barok menyeruak masuk, mencoba menghantam dada sang lawan. Di sisi lain, tendangan Deka juga mengincar kepala Jenggo. Dua serangan sekaligus dalam setarikan napas. Tapi keduanya dibuat terkejut ketika tidak hanya kepala Jenggo saja yang tiba-tiba mewujud menjadi sepuluh, demikian pula tangannya yang berpendar menjadi sepuluh pasang.

Tentu saja itu tidak nyata, itu hanya manifestasi tenaga dan kecepatan tingkat tinggi.

Tapi tetap saja serangan Deka dan Amar Barok gagal menemui sasaran, tangan Jenggo mampu menahan kedua serangan itu dan memutar hempasan tenaga mereka ke arah sebaliknya.

Bgoooom! Bgoooooooom!

Baik Deka maupun Amar Barok sama-sama terlontar. Kedua pemuda itu sekali lagi tenggelam ke parit, sementara Jenggo sekali lagi berubah menjadi sosok biru berwajah sepuluh. Wajah Jenggo yang sebelumnya amat dikenali kini berpendar dan blur, berganti ke kanan kiri dari satu wajah ke wajah lain. Ia tenggelam dalam peran kepribadian yang tidak menentu.

“Kampreeet!” Deka mengumpat dengan gusar dan memukul-mukul permukaan peceren. Dia benci sekali berkali-kali harus mandi air kotor. Kenapa bisa sih orang satu ini terus menerus hidup dan bertahan? Bagaimana cara membunuhnya? Kenapa susah sekali?

Apa yang kamu lakukan?

Eh?

Deka tertegun sesaat.

Siapa yang baru saja bicara? Ia mendengarnya dengan jelas tapi itu bukan suara Jenggo apalagi Amar Barok. Itu suara orang lain!

“Si-siapa yang…?”

Waktu seperti terhenti sesaat ketika Deka mengajak bicara suara yang mendengung di telinganya. Tidak ada yang bergerak sama sekali. Bahkan air hujan yang masih turun pun terhenti, terdiam di udara.

Apa yang sebenarnya kamu lakukan, bocah bodoh? Kamu sudah memanggilku berulang-ulang kali, tapi tidak memanfaatkan kekuatanku secara penuh untuk melawannya. Sekarang terlambat sudah. Dia sudah berubah menjadi wujud tingkat tinggi. Kekuatanku yang sekarang tidak akan mampu melawannya. Kamu mau memanggilku lagi? Memangnya kamu bisa meningkatkan kemampuanku?

Deka geram, “Bajingan! Kamu seharusnya sudah tidak muncul lagi ke permukaan! Aku sudah menekanmu! Aku sudah membuatmu menjadi budakku! Kamu seharusnya mengikuti semua perkataanku! Aku akan membuatmu mampu melawan sosok itu. Dengan ilmu yang diberikan om Tarjo, aku akan…”

Cih. Pemalas yang tidak mempelajari pemberian berharga seorang guru yang telah mempertaruhkan nyawa tidak berhak memberikan alasan yang tidak bermutu. Ya terserah saja, panggil aku. Tapi aku malas meladeninya.”

“Bedebaaaah! Kamu itu ada di dalam tubuhku. Kalau aku mati, kamu juga mati, bangsat!”

Tidak masalah. Aku sudah tidak hidup, kenapa takut mati?

Kampret. Iya juga ya.

Deka menarik napas panjang, “Apa yang kamu inginkan? Aku harus membunuhnya sebelum dia membuat masalah lagi ke depannya. Kalau dengan kekuatan yang sekarang tidak bisa, lalu bagaimana? Apa yang sebaiknya dilakukan?”

Kamu nanya aku bertanya-tanya. Memangnya sudah dicoba melepaskan kekuatanku yang maksimal? Belum kan? Seharusnya sejak tadi kamu melakukannya.”

“Sudah terlambat.”

Makanya.”

“Ya sudah kalau begitu. Sekarang apa yang kamu inginkan? Apa lagi yang bisa kamu lakukan?”

Berikan aku tumbal. Berikan aku energi yang cukup untuk melawannya.”

“Enak saja! Itu artinya aku sama saja dengan pengguna ilmu hitam lain! Tidak mau! Aku sudah menekanmu jadi cara bicaramu seperti ini, biasanya kamu memaksa mencari tumbal, tapi karena sekarang kamu tidak bisa melakukannya jadi kamu dengan licik meminta. Kalau memberikanmu tumbal, kamu akan mbalelo dan memakan jiwaku.”

Mana ada seperti itu. Jiwamu tidak enak.”

Mbelgedes. Kamu bohong kan? Tetap akan dimakan bukan?”

Iya.”

“Sialaaaaaan! Jadi harus bagaimana aku melawannya? Berikan solusi! Jangan malah nambah-nambah bikin pusing! Waktunya sudah hampir berjalan dan keadaan sedang genting! Bantu aku sekarang! Jangan malah ngajakin ngomong ngalor ngidul tidak penting!”

Mana aku tahu solusinya bagaimana. Itu kan urusanmu. Dia baru saja merubah wujudnya menjadi sosok Rahvana. Itu jelas sangat menakjubkan, aku saja yang cuma wewujud begini jadi gentar, apalagi kamu yang cupu. Kenapa aku gentar? Lha memangnya siapa aku? Dia Ravana sedangkan aku hanyalah seorang petani yang kemana-mana bawa cangkul untuk menggarap kebun punya orang. Petani lawan Ravana. Yang benar saja. Daripada repot-repot lebih baik menyerah saja, Bocah. Kita tidak akan menang.”

“Oke begini saja, Kakek cangkul…”

Bocah kurang ajar. Aku bukan Kakek cangkul!!

“Nenek gayung?”

Guooobloooooo…”

“Masa bodoh siapapun kamu aku tidak peduli! Berikan aku seluruh kekuatanmu dan akan kita buktikan siapa yang lebih kuat. Rahvana atau kakek-kakek tukang cangkul kebun orang.”

Ya sudah. Sekali ini kita genjot sampai tuntas, kita – bukan cuma aku saja! Jangan main-main lagi. Gunakan kekuatanku dengan sungguh-sungguh. Ini yang terakhir kalinya antara aku, kau, dan dia.”

“Tidak usah sok romantis, dedemit bangsat.”

Daripada mengumpat lebih baik berkonsentrasi.”

Deka memejamkan mata, memainkan tangan. Merubah yang datang menjadi yang pergi dan merumuskan kekerasan menjadi kelembutan. Dari kelembutan hadir pengaturan, dari ketenangan menjadi keharusan. Pemuda itu seperti merasa ada tangan-tangan om Tarjo yang membantunya menggerakkan tangan dan meluruskan niat. Ini kuda-kuda yang seakan-akan bukan dia lakukan sendiri.

Apakah sosok yang mengajaknya berdebat adalah om Tarjo? Mungkin saja. Tapi sekarang bukan saatnya berbincang. Harus fokus. Apa saja yang sudah ia pelajari dari kitab ilmu kanuragan tanpa nama dari om Tarjo? Deka terdiam dalam kekekalan sejenak masa yang ia punya, sesuatu yang tidak ia duga ada. Ketika dunia seakan berhenti sebentar untuknya, waktunya untuk memahami apa yang telah diberikan om Tarjo kepadanya dan bagaimana memanfaatkannya sembari menggabungkannya dengan apa yang ia miliki.

Pertama, bengkok dan lurus.

Identifikasi dan definisi ‘membengkokkan’ ataupun ‘meluruskan’ pada ilmu kanuragan sejatinya seirama pada gerakan natural untuk menekuk atau meluruskan lengan dan kaki, tanpa harus menjurus ke patahan yang sebenarnya. Meluruskan berarti meregangkan, tapi tidak sampai pada titik harus sampai ke ujung kontrol lengan. Sendi-sendi masih harus dibiarkan bekerja secara natural. Ini adalah ekstensi dari penjiwaan bahwa seseorang tidak seharusnya bekerja berlebihan atau terlalu berambisi mendapatkan hasil yang besar saat melalui celah yang sempit, jadi sebaiknya menyesuaikan target dengan kemampuan. Sedangkan pada sisi lain, tidaklah tabu untuk menjadi ‘bengkok’ atau fleksibel ketika tubuh menghendaki saat berhadapan dengan seorang lawan, akan tetapi harus diingat bahwa selama fleksibel, kesungguhan inti jiwa tidak boleh tergoyahkan.

Kedua, lambat atau cepat.

Pada pelatihan olah tubuh dan pikiran, latihan sebaiknya dilakukan dengan gerakan yang pelan dan santai untuk bisa mempelajari bagaimana kendali tubuh sebenarnya berfungsi, atau dengan kata lain – ini adalah saat ketika kita harus mengenali tubuh sendiri. Teknik ini tepat untuk mengatur pembelajaran pernapasan sekaligus mengatur tingkat detak jantung yang sesuai. Ketika seseorang memahami proses yang berlangsung dalam tubuhnya, apa yang menyebabkan gerakan lambat, apa yang membuatnya cepat, apa yang membuatnya salah langkah, dan apa yang kurang dilakukan, maka semua akan dapat diperbaiki dan dialihkan menjadi keunggulan. Dengan pemahaman diri, seluruh laku yang keliru atau tidak efektif dapat dikurangi.

Ketiga, tenang menghadapi keterburuan.

Apa yang dimaksud tenang menghadapi keterburuan? Ketenangan yang diciptakan karena persiapan. Apapun dasar seni bela diri yang dikuasai, entah itu silat, tarung drajat, jiu-jitsu, aikido, ataupun tai-chi, semua dibangun dengan dasar optimalisasi manfaat, penguasaan waktu, dan penggunaan energi lawan untuk keuntungan pribadi. Brain over brutes, sebelum bertarung dengan otot, gunakanlah otak. Ketika persiapan prima, maka ketenangan melanda. Tidak khawatir akan keterdesakan atau situasi yang mengharuskan tindakan terburu-buru.

Keempat, kelembutan mengatasi kekerasan.

Lembut bukan berarti bersikap lunak terhadap kekerasan yang menghadang, tapi menguasai tubuh secara presisi agar dapat mengontrolnya dengan baik saat berhadapan dengan lawan dan mampu memberikan counter yang sesuai. Lembut dalam arti memahami, bukan dalam arti lemah dan kekurangan. Secara prinsip harus disadari bahwa penggunaan kekerasan untuk menangkal serangan lawan kadang bisa dihindari, terlebih saat menghadapi lawan yang jauh lebih kuat secara fisik. Idenya adalah untuk mengalihkan serangan lawan sedemikian rupa, sehingga kelembutan bisa mengubah kekuatan yang dimiliki lawan untuk berbalik melawan dirinya sendiri. Untuk bisa melakukan hal itu, pikiran dan tubuh sebaiknya bergerak secara harmonis dalam penerapan teknik pertahanan dan serangan balik yang benar.

Deka membuka matanya! Semuanya berlangsung lebih cepat sekarang.

Jenggo berlari ke depan, ke arah Amar. Tapi sentakan Raungan Singa Emas menghentikan langkahnya. Tepat di depan wajah Jenggo, Amar membuka mulutnya.

“Roaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!”

Jenggo tertahan dan memejamkan mata, dia seperti dihantam badai. Tubuhnya seharusnya terlontar ke belakang. Tapi tidak, dia tetap bertahan. Tangannya yang membentuk cakar mencengkeram tanah. Kesepuluh kepala Jenggo mengaum, tangannya yang bak gurita menyebarkan angkara. Serangan beruntun diledakkan ke arah Amar Barok.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Sang Panglima Singa Emas tak bergeming, berapa kali pun serangan itu mengenai tubuhnya, Amar Barok hanya terseret beberapa senti saja dari pertahanannya.

Sang Raja Para Anjing mengaum, ia menarik kedua tangannya ke belakang. Lalu dengan satu sentakan kencang ke depan ia menghembuskan tenaga dalam yang begitu kencangnya! “Vinaash shaashvat hai.”

Bdooooooooooooooooooooooom!

Kali ini Amar Barok terdorong menjauh. Tubuhnya terseret, tapi mirip seperti yang tadi dilakukan Jenggo, Amar Barok juga mencengkeram tanah dan ia berhasil bertahan.

Deka tiba-tiba saja hadir di sisi Jenggo, si Gondes datang dengan Ki yang sudah dihimpun. Ia memegang pergelangan tangan Jenggo, “Kalau kamu kasar, maka aku akan lembut.”

Satu tangan mengunci lengan Jenggo, satu cakar hitam menyeruak masuk dan menancap di dada sang Raja Para Anjing. Jenggo sekali lagi mengaum kesakitan. Kesepuluh wajahnya yang berpendar semua menatap Deka dengan geram. Ia pun mencoba menubruk sang pemuda!

Tapi Deka tetap tenang.

Dengan satu hentakan ia justru berhasil mengangkat dan membanting tubuh Jenggo!

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaamn!

Jenggo terbanting dan melongo. Ba-bagaimana bisa? Tapi ia meloncat dan melihat Deka masih belum beringsut dari posisi semula. Sekali lagi Jenggo mencoba menubruk Deka.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaamn!

Sekali lagi Deka mencoba membantingnya.

Andai saja semudah itu, tapi sayangnya tidak.

Kali ini kaki Jenggo memutar, ia berhasil menyambar kaki Deka. Deka yang tak menduga sang lawan memiliki tingkat kecerdasan, kecepatan, dan kelihaian tinggi pun terjatuh berdebam ke belakang. Jenggo meloncat berdiri dan langsung menyepak tubuh Deka!

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaamn!

Tubuh Deka terseret menyusuri tanah, ia sampai di tempat di mana Amar Barok berada. Deka mengernyit kesakitan, tapi Amar Barok sudah menariknya supaya berdiri.

“Banguuuuun! Ini masih belum selesai!”

Deka mengumpat dan bangkit, “Taek ancene wong siji ki. Kok yo ra mati-mati…”

Pertarungan masih jauh dari usai.

Bambang Jenggo menyeringai. Ia menyeruduk ke depan bagaikan banteng buas yang amarah melihat warna merah. Amar Barok meloncat ke samping untuk menghindar.

Wujud Jenggo berubah kembali, seperti ada tanduk mencuat di atas dahinya, rahangnya pun berubah menjadi lebih kotak dari sebelumnya. Gigi-gigi bawah mendadak menonjol dengan taring bawah makin meruncing. Punggung Jenggo membungkuk tapi bahunya membesar. Perwujudannya seperti seekor monster.

Ia melaju di atas atap.

Amar Barok dan Deka meloncat ke atas. Mereka bersiap di atap yang sama. Amar membuka mulutnya, mengaum dengan kencang.

“Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarr!”

Atap langsung amburadul. Gentingnya jatuh dan berantakan, kocar-kacir kesana kemari. Hanya menyisakan rangka-rangka tulang.

Jenggo mengibaskan tangannya untuk menghempaskan genting yang bertebaran ke arahnya, seolah mengenyahkan laron. Deka melaju ke sisi kiri, ia menginjakkan kaki di tulang atap sebagai tumpuan, lalu bersiap menerima serangan sang Raja Para Anjing yang melaju ke arahnya.

Jenggo menghunjamkan pukulannya ke Deka. Dengan cekatan Deka menggunakan kedua tangannya, ia menerima pukulan itu, memutar badan, memutar lengan, dan memutar tangan sang lawan. Kelembutan mengalahkan kekerasan. Jenggo terhenyak, entah bagaimana tiba-tiba tubuhnya terlempar ke atas, lalu terhenyak ke bawah menembus beberapa tulang atap yang rapuh! Dengan mudahnya ia dibanting oleh Deka!

Bambang Jenggo berteriak kesetanan dan kesakitan saat badannya berulang kali terpapar sisi-sisi lemari dan meja kursi. Sang Raja Para Anjing jatuh berdebam di ubin dengan bahu tangan yang sudah berbelok, entah berapa meter ia jatuh dari atas atap. Pria gemuk itu menggeliat-geliat kesakitan sembari memegang bahunya dengan terus mengumpat.

“Bajingaaaaaakkk!! Wasuuuuuww!!”

Deka dan Amar Barok loncat ke bawah. Deka langsung meloncat dan salto begitu sampai di bawah, ia menggunakan momentum untuk mengambil kesempatan. Tubuhnya terbalik, kaki di atas, tangan di bawah. Tangannya memutar seperti bor. Ulu hati sang Raja Para Anjing tertohok. Jenggo terbelalak kesakitan!

“Ahaaaaaaaaakghh!”

Tangan kanannya yang masih sehat segera bergerak dengan cepat, ia menggunakan sisa tenaga yang ada. Serangan yang tidak mungkin dihindari Deka. Jenggo berteriak, “Modyaaaaaaaaarr!”

Pukulannya telak ke sisi wajah Deka.

Jbuaaaaaaaaaaaaakghhh!

Si Gondes terlempar beberapa meter ke samping, setelah terguling berkali-kali, Deka kembali bangkit. Beruntung ia tidak apa-apa… ataukah ini bukan keberuntungan? Bukan. Ini bukan keberuntungan, ini pertahanan tingkat tinggi yang ia pergunakan. Namanya? Perisai Genta Emas. Sakit memang terasa, tapi tak ada kerusakan tercipta.

Susah payah Jenggo berusaha bangkit. Tapi baru saja ia bisa duduk, ada kaki ganda menyerang dadanya.

Jbuaaaaaaaaaaaaaakghhh!

Jenggo terlempar ke belakang menembus dinding yang rapuh dan langsung ambruk. Amar Barok berdiri dengan perkasa. Sekali lagi ia bersiap dan auman pun membahana.

“Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!”

Bruaaaaaaaaaaaaghhhkk!!

Tembok yang dilubangi Jenggo kini ambruk total ke arah sang Raja Para Anjing.

Sesaat kemudian, semua tenang.

Hening.

Deka dan Amar Barok sama-sama terengah-engah karena menyerang tanpa henti beberapa kali. Mereka menarik dan menghembuskan napas dengan teratur. Keduanya saling berpandangan. Amar menggoyangkan kepala ke samping, ke arah tembok yang hancur. Deka mengangguk. Mereka berdua lantas melangkah bersama-sama dengan hati-hati.

Mereka tidak pernah bisa mempercayai Jenggo. Dia mirip kucing, punya sembilan nyawa.

Berhati-hati sekali keduanya melangkah ke depan. Suasana gelap dan berantakan. Debu-debu berterbangan kemana-mana, tidak ada yang bisa mempermudah penglihatan mereka, keduanya harus terbiasa melihat di dalam gelap.

Tangan Amar Barok menghentikan langkah Deka. Keduanya terdiam sesaat. Sayup-sayup terdengar suara, seperti erangan, bisikan, ataupun rapalan. Yang jelas sangat-sangat lirih.

Vinaash shaashvat hai.”

Amar tahu apa arti dari kalimat itu, ia berbisik pada Deka, “Kehancuran adalah abadi.”

Jbooooooooom! Jbooooooooooooooommmm!!

Dua bongkahan besar tembok melayang di udara! Satu ke arah Deka, satu lagi ke arah Amar Barok. Keduanya mundur teratur dan mencoba bertahan. Tapi kemanapun mereka pergi, bongkahan besar tembok itu menyertai. Seakan tidak ingin berhenti, meskipun hanya sesaat. Keduanya pun berhenti dan menggunakan tenaga mereka untuk menepis dan menghancurkan bongkahan tembok itu.

Amar menyadari sesuatu saat melihat sosok biru gemerlap di dalam kegelapan. Buru-buru dia berteriak kencang, “Kuuuuun! Awaaaaaas! Dia sudah kembali ke wujud Rahvana!”

Amar Barok benar, sosok Jenggo kembali ke wujud Rahvana yang biru, besar, dan menyeramkan. Ia meloncat ke depan dengan cekatan. Lalu menyusur ke bawah bak sedang berseluncur di atas ubin yang kasar dan hancur. Sekali sabet, Deka yang tidak menyangka pun terjatuh. Telapak tangan kiri Jenggo mencekik leher Deka yang langsung mengaktifkan Perisai Genta Emas-nya. Kesepuluh wajah Jenggo menyeringai.

Hpph! Jenggo lebih cepat daripada Deka. Sebelum Perisai Genta Emas aktif, tangan Jenggo sudah menangkup leher sang pemuda.

“Ddi ddlaaalaaam ssini…” Suara Jenggo tidak lagi suara manusia, ada semacam suara ganda yang menyertai ucapannya. “Ttitikk kemmatiaaaaanmmuuu ddi ddalaaaaammm sinniii!”

Deka meronta-ronta saat Jenggo mencekiknya. Ia mencoba menjejakkan kedua kakinya ke dada Jenggo, tapi pria bertubuh biru itu tak bergeming. Deka juga menyadari kalau bahu Jenggo yang tadi seperti berbelok, sekarang sudah pulih seperti semula.

“Hraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrhhhhhh!!” Amar Barok meloncat ke atas sangat tinggi dan menghunjamkan kedua kakinya ke bawah, tepat ke kepala Jenggo!

Jenggo melepas cekikannya pada Deka dan bergulir mundur ke belakang. Tendangan Amar Barok mengenai ruang kosong. Hanya tersisa ceruk retak akibat pendaratan sang Panglima Singa Emas. Amar tidak lantas diam, ia mengejar Jenggo sementara Deka terbatuk-batuk.

Kedua tangan Jenggo dan Amar Barok saling bertukar pukulan.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Dpphh! Dpphh! Dpphh! Dpphh! Dpphh! Dpphh!


Pukulan beradu, kepalan lawan tangkisan. Hantaman lawan tepisan. Yang dijual dibeli, yang dilontarkan dikembalikan. Amar mendesak Jenggo ke belakang dengan serangan beeruntunnya, dia tak ingin memberi jeda pada sang lawan.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Dpphh! Dpphh! Dpphh! Dpphh! Dpphh! Dpphh!


Keduanya beradu pukulan tanpa henti, baik Jenggo maupun Amar sama-sama tak ingin mengalah dan tak ingin memberi kesempatan pada lawan untuk beristirahat. Napas menjadi sesak, lelah tak tertahankan. Rangkaian serangan silih berganti dan keduanya sama terampil dan kuatnya.

Jenggo menarik lengannya dan tak sampai satu detik kemudian meluncurkannya sekuat tenaga.

Jbooooooooooom!

Amar menyilangkan tangan dan mengaktifkan Perisai Genta Emas. Ia tertatih mundur tapi masih tetap bertahan tanpa kesulitan karena pertahanannya yang prima. Tiba-tiba saja beberapa pasang mata di kepala Jenggo yang berpendar sepuluh mengedip pada Amar Barok.

“Ttitikk kemmatiaaaaanmmuuu ddi sinniii!”

Jenggo menepis tangan kiri Amar Barok ke atas, lalu dengan sodokan runcing jari jemari yang kokoh, ia menghunjam bagian bawah ketiak sang Panglima Singa Emas.

“Haaaaaaaaaaarghhh!” Amar Barok berteriak kesakitan. Seperti ada kaca yang pecah dalam dirinya, gurat semburat merah menyebar di matanya.

Bambang Jenggo telah menemukan kelemahannya. Perisai Genta Emas-nya… musnah.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Pukulan demi pukulan Jenggo menghajar dada Amar Barok, pria gagah itu tersengal-sengal ke belakang. Darah pun mengucur dari bibirnya. Wajahnya menjadi pucat.

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Wajah Amar menjadi sasaran berikutnya. Tangan gurita Jenggo mengamuk, ia menghajar kepala Amar tanpa ampun. Sampai kemudian…

“Hkkkkkkkkkkkghhhh!”

Tubuh Jenggo diterjang Deka yang wajahnya sudah berubah menjadi hitam, leher sang Raja Para Anjing dicekik dengan teramat kuat dan tangannya dikunci ke belakang, kedua tangan Deka juga berubah menjadi hitam. Deka mendorong Jenggo hingga keduanya bersandar ke tembok yang lumayan kokoh dan tak mudah diterjang. Tembok itu tidak runtuh. Keduanya bertahan selama beberapa saat.

Jenggo mencoba meronta, ia mengaum ganas.

Tapi entah bagaimana Deka berhasil menahannya. Jenggo kembali memberontak, tapi tak ada hasil. Dia benar-benar sudah terkunci.

Amar terengah-engah sembari melangkah ke tepian parit melalui tembok yang sudah bolong.

Sial! Titik kematiannya telah dibongkar Jenggo, ia tidak akan bisa mengaktifkan Perisai Genta Emas untuk sementara waktu, bahkan setidaknya dibutuhkan waktu 2x24 jam untuk memulihkan kondisi dan mengembalikan titik kematian. Sekarang semuanya tergantung dari Deka. Mampukah ia sendirian menaklukkan sang Raja Para Anjing?

Dia harus mundur dan berusaha memulihkan diri baru…

Tidak.

Jelas tidak begini caranya.

Demi apa dia membiarkan sang adik berjuang sendiri? Kakak macam apa itu!?

Amar Barok geram, meski jurus pertahanannya buyar, setidaknya ia masih menyimpan ilmu kanuragan Singa Emas warisan keluarga. Ia kembali menghimpun tenaga dalam yang hilang. Amar pun memperingatkan Deka yang masih mencekik Bambang Jenggo, “Jangan lepaskan dia! Leburkan tubuhnya jadi debu! Perhatikan setiap gerak-gerik bajingan itu dengan hati-hati! Otaknya dipenuhi siasat! Orang-orang seperti Bambang Jenggo tidak patut dikasihani… dia harus dibunuh secepatnya saat ada kesempatan. Lakukanlah!”

Jenggo menyeringai. Wajahnya sudah kembali seperti semula. Ia mengedipkan mata pada Deka, “Tepat sekali. Bunuh saja aku sebelum semuanya terlambat. Kalau tidak, aku yang akan membunuh kalian, dan aku tidak akan segan-segan. Kalau kamu tidak cepat-cepat mengambil momentummu, aku yang akan berbalik memanfaatkannya.”

Deka memutar tangannya. Cekikan cakarnya di leher Jenggo menguat, “Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal, Jenggo. Mudah-mudahan kamu dilahirkan kembali sebagai biji unta. Ini semua untuk Adin…”

Sblp.

“Aaaaarghh!”

Semuanya terkejut.

Deka melotot saat menyaksikan pemandangan yang tidak ia duga akan terjadi. Pemandangan yang terjadi pada Amar Barok.

Seringai Jenggo melebar. Sang Raja Para Anjing tiba-tiba saja berubah menjadi sosok mengerikan, dua tonjolan menyeruak di dahinya. Ia mengaum dan mendorong tubuh Deka yang lantas terjatuh karena terbagi perhatiannya.

Lepas dari Deka, Bambang Jenggo meloncat ke atas, dan berlari di tulang-tulang atap tanpa terhentikan oleh siapapun. Ia berlari kencang ke arah posisi di mana Amar Barok berada.

“Ma-Mas Amar?” Deka tertegun saat menatap sang kakak. Ia berusaha berdiri.

Di dada Amar Barok kini telah tembus sebilah pedang yang menusuk dari belakang. Sang Panglima Singa Emas itu menunduk ke bawah untuk menyaksikan bilah pedang panjang yang telah menembus punggung hingga ke dadanya. Pedang itu belepotan darahnya sendiri. Ia mendongak, menatap ke arah Deka hendak mengucapkan kata, tapi tak ada yang bisa keluar dari mulutnya. Darah menggelegak memenuhi mulutnya. Paru-parunya telah hancur.

Jenggo terkekeh dan meloncat sekali lagi ke bawah. Dengan mudah ia mencekal Amar.

Bambang Jenggo kini memegang kepala pria gagah itu dengan kedua tangannya, Sang Raja Para Anjing berbisik ke telinga Amar Barok yang hanya bisa mengerang, darah terus mengucur di dada dan bibir Amar Barok, Jenggo menepuk-nepuk kepala sang Panglima Singa Emas, “Aku bilang juga apa. Kalau kalian tidak membunuhku, aku yang akan membunuh kalian. Sekarang terbukti kan? Semuanya terlambat.”

Pedang panjang itu ditarik ke belakang.

Tubuh Amar lunglai ke depan. kepalanya ada di cengkraman sang Raja Para Anjing. Di belakang Amar, berdiri seorang pria yang memegang pedang panjang mirip samurai, ia berpakaian seperti pasukan khusus kepolisian.

Namanya? Rama.

“Kamu datang di saat yang tepat, bocah.”

“Demi Guru, apapun akan aku lakukan.”

“Heheheh. Murid edan.”

Deka selama ini mengira semua akan baik-baik saja. Aliansi akan selalu baik-baik saja. Lima Jari akan baik-baik saja. Dia dan Amar akan baik-baik saja.

Deka akhirnya tersadar.

Tidak selamanya semua akan baik-baik saja. Tidak selamanya sebuah kisah akan berakhir dengan happy ending. Tidak selamanya.

“Mas Amaaaaaaaaaaaarrr!” Deka yang tersadar berlari mencoba menyelamatkan kakak kandungnya yang sedang dalam bahaya. Rama melaju ke depan, ia mengayunkan pedangnya untuk membelah tubuh Deka. Pemuda itu mampu menghindari sabetan pedang Rama dengan mudahnya. Ia berlari menuju Jenggo sekuat tenaga. “Jangaaaaaaaaaan!! Kubunuuuhh kaauuuuuu!!!”

Amar memandang ke arah Deka, ia tak mampu bicara, bibirnya hanya menyunggingkan senyum. Senyum yang berlumuran darah.

Jenggo mengedipkan mata pada Deka, ia memutar tangannya tanpa ampun. Leher Amar tersentak.

Kraaaaakgh.





.::..::..::..::..::.





.:: SEMENTARA ITU



Di suatu tempat yang jauh dari lokasi pertarungan, di suatu tempat yang aman dari semua gangguan dan malapetaka yang menimpa para petarung.

Seorang gadis muda duduk memeluk kakinya sembari menatap hujan yang turun dari balik jendela kamarnya. Kebetulan sekali tempat tidurnya ada di samping jendela sehingga ia bisa menyaksikan pemandangan halaman yang tengah diguyur hujan. Jika dilihat dari samping perempuan yang masih muda ini seakan-akan hanya mengenakan sweater rajut warna merah muda saja padahal ia juga mengenakan celana yang teramat pendek dan seksi hingga menunjukkan keindahan kaki jenjangnya.

Pikiran gadis itu sedang melantur kemana-mana. Pertemuannya dengan wanita aneh yang mengaku pernah dihamili oleh Simon membuat perasaannya kacau balau. Tapi perjumpaan itu justru menyadarkannya, karena dia jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya Simon?

Apakah pria yang telah menjadi tambatan hatinya itu bukan sosok yang dia jumpai sehari-harinya? Apakah ada kenyataan yang lebih gelap di balik sosok sang Simon Sebastian yang terlalu sempurna sebagai seorang pria? Gagah, ganteng, tajir, berhati lembut, setia kawan, peduli teman, dan berilmu tinggi. Bukankah itu red flag?

Apa yang disembunyikan oleh Simon? Apa sebenarnya yang dia lakukan di balik eksteriornya yang mempesona? Siapa sebenarnya dia? Apakah dia mahasiswa biasa-biasa saja? Ataukah ada sesuatu yang lebih sinister di balik itu?

Ara merinding, bulu-bulu halus di lengannya menegak. Ternyata setelah sekian lama, dia masih belum mengenal siapa itu Simon. Ara melirik ke arah sebuah frame photo yang dia ambil bertahun-tahun lalu saat masih SMA tapi baru akhir-akhir ini dia pajang kembali di meja rias. Foto saat ia masih akrab dengan Lima Jari. Kebetulan di sebelahnya ada foto dirinya dan Simon saat mereka berdua pacaran dan iseng-iseng masuk ke satu photobooth.

Pandangan gadis itu terarah pada satu sosok yang ada di foto lamanya, lalu ia melirik foto Simon, lalu kembali ke foto lamanya. Bagaimana sih ini? Kenapa dia jadi deg-degan begini? Ataukah… ataukah dia berharap kalau sosok Simon adalah si Bengal?

Seperti ketika dia juga pernah berharap kalau Deka adalah sosok si Bengal? Selama berpikir, Ara terdiam dan tenggelam dalam lamunannya.

Apakah dia akan benar-benar lepas dari sosok si Bengal? Mungkin tidak. Siapa yang bisa melupakan cinta pertama? Tapi bukankah semua sudah berakhir? Masa iya dia tidak bisa move-on? Apalagi Simon adalah sosok yang… terlalu sempurna.

Red flag.

Argh. Bikin pusing saja!

Setelah beberapa saat sunyi, terdengar suara ketukan lembut di pintu kamarnya.

“Ara sayang, masih bangun?”

Lampu kamarnya masih menyala. Sudah pasti ketahuan kalau dia belum tidur. Ara yang tak bisa tidur pun membalas, “Masih, Ma.”

Ara bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ke arah pintu. Ia membuka pintunya, mendapati sosok seorang wanita berdiri di hadapannya.

“Ada apa ya, Ma?”

“Itu lho… di depan ada tamu nyariin kamu. Sudah jam segini, hujan-hujan pula. Kok ya tetep nekat itu orang. Kira-kira enaknya Mama usir atau bagaimana?”

“Memangnya siapa, Ma? Suruh pulang saja kalau tidak kenal.”

“Tapi mereka mendesak. Katanya penting banget. Urusannya sama pihak yang berwajib. Mama kok jadi takut dengerinnya. Coba deh kamu lihat dulu.”

“Ck.” Ara mendesah lelah, “Ya udah, Ma. Ara pakai celana panjang dulu.”

Sang Mama mengangguk.

Tak berapa lama kemudian, Ara pun menemui tamu yang masih duduk di teras depan rumahnya. Tentu saja mereka tak boleh masuk ke dalam. Ara sempat melirik ke arah jam dinding, memang sudah cukup malam. Terlalu malam untuk bertamu ke rumah orang. Mereka sebaiknya punya alasan yang cukup untuk mengganggu harinya.

Ada dua orang. Dua orang yang tak ia kenali. Mereka berpakaian sangat rapi, ini pasti bukan urusan polisi. Ini masalah yang lain lagi. Tapi jelas ini bukan urusan main-main.

“Ya? Ada perlu apa ya?”

“Dengan Mbak Tiara Maharani?”

“Betul. Saya sendiri. Mohon maaf kalian siapa? Apa tidak bisa urusan ini ditunda besok saja? Sudah terlalu malam dan saya sudah sangat lelah.”

Kedua orang itu saling berpandangan, mereka pun sama-sama mengangguk. Tapi bukan anggukan ke arah Ara atau anggukan ke arah satu sama lain. Mereka mengangguk ke arah satu mobil hitam yang sedang parkir di depan rumah Ara. Tak lama kemudian pintu pun dibuka dari dalam muncul satu sosok pria tampan yang mengenakan jas rapi. Sang sopir tergopoh-gopoh berlari kecil untuk memayunginya. Mereka berdua lantas berjalan perlahan menuju teras rumah Ara.

Ara mengerutkan kening, ia seperti mengenal pria itu?

Itu kan…?

“Selama malam, Ara.”

“Se-selamat malam… Mas Alex?”

Alexander Arden tersenyum, dia menganggukkan kepala dan tiga orang yang tadinya berdiri bersama Ara dan memayunginya lantas menyingkir menjauh.

“Pinter banget, tidak kuduga kamu mengenaliku, Ara.”

“A-ada keperluan apa datang kesini malam-malam, Mas Alex? Apakah tidak bisa ditunda besok?”

“Tidak. Ini penting sekali, menyangkut hidup dan mati. Baik hidup matinya Simon, hidup matinya Papa kami, juga hidup matinya Seraphim Corps, perusahaan kami.”

Ara pun meneguk ludah, ia tidak mengira masalahnya akan menjadi sangat serius, “A-astaga. Apa yang bisa saya bantu, Mas?”

“Saat ini, tahukah Ara apa yang sedang dilakukan Simon?”

“Be-berkumpul dengan teman-teman Aliansi?”

“Dia sedang perang di selatan, membantu Aliansi melawan Koalisi utara. Nyawanya jelas sedang terancam. Saat mendengar kabar itu, Papa kami terkena penyakit jantung. Beliau koma di rumah sakit.”

Ara melotot dan harus menutup mulutnya supaya tidak kaget karena terkejut. “A-astaga!!”

“Kami harus membawa Simon kembali sekarang juga. Untuk itu kami butuh bantuanmu, hanya kamu yang sanggup meyakinkan dia supaya kembali ke rumah. Selain karena Papa sakit, kami juga takut Simon akan terlibat dengan pihak kepolisian dan itu membahayakan perusahaan kami. Dia CEO kami.”

Ara makin kebingungan. “Ba-baik… kalau begitu saya kemas-kemas dahulu dan…”

“Maaf, kita tidak bisa melakukannya. Semakin lama kita membuang waktu, semakin berbahaya kondisi yang dihadapi. Kita harus pergi sekarang juga.”

Ara hendak menimpali dengan satu balasan, tapi dia tahu itu tidak akan menyelesaikan apapun. Ia pun mengangguk. Ia berlari ke dalam, memberitahu jika ada keperluan penting kepada orangtuanya yang sebetulnya protes, dan segera bergegas kembali ke Alex.

Alex pun meminta salah satu pengawalnya memayungi Ara ke mobil mewahnya. Alex dan Ara duduk di kursi belakang mobil mewah itu berdua. Sementara satu pengawal menjadi sopir, dan dua pengawal lain mengendarai mobil yang berbeda.

Mama Ara hanya bisa menepuk dada sedih melihat buah hatinya pergi malam-malam dengan rombongan yang tidak dikenal. Beliau hanya bisa menyaksikan dari balik jendela rumah dengan khawatir. Doa diucapkan tanpa henti untuk sang putri terkasih.

“Kemana kita, Pak Alex?” tanya sang sopir.

“Langsung saja.”

“Langsung ke selatan? Bukankah ada blokade polisi di sana? Kita tidak akan bisa masuk melalui jalur manapun.”

“Kita lewat jalur perempatan Morita ke selatan, tapi jangan gegabah untuk masuk terlalu dalam. Kita harus menunggu pasukan yang datang dari arah ringroad. Bersama dengan mereka nanti kita baru masuk ke selatan.”

Ara jelas terkejut. Lho? Kok menunggu pasukan? Bukankah katanya semakin lama membuang waktu, semakin berbahaya kondisi yang dihadapi oleh Simon? Kenapa jadi malah menunggu?

“Ma-maaf, Mas Alex. Kok kita malah menunggu ya? Mas Simon sedang membutuhkan bantuan kita bukan? Kita harus segera menariknya dari sana. Pasukan yang ditunggu ini pasukan apa?”

“Oh tidak tidak… kita memang akan ke selatan, Ara. Tapi tidak untuk menjemput Simon. Sementara yang lain bunuh-bunuhan, kita justru akan bersenang-senang. Tahukah kamu? Seraphim Corps punya dua kepala. Yang satu saat ini ada yang sedang tergeletak sakit karena jantung dan yang satu lagi sedang cari mati. Aku tidak tahu lagi dengan apa yang dipikirkan adikku itu, entah apa yang sedang ada di otaknya. Hidup enak tapi malah maunya susah. Berbeda denganku, aku tetap ingin hidup untuk menikmati semuanya dan mendapatkan semuanya. Oh ya. Aku akan sangat menikmati hari ini. Terlebih lagi dengan cara memaksa Simon melakukan sesuatu dengan kamu sebagai umpannya, itu namanya icing on the cake.”

“Ma-maksud Mas Alex?”

Satu saputangan putih membekap mulut Ara. Bau menyengat terasa. Gadis itu mencoba meronta, tapi sia-sia saja. tubuhnya langsung lunglai dan gadis itu pun pingsan seketika.

Ara ambruk di pangkuan Alex.

“Cih. Bodoh sekali. Mudah percaya dengan orang lain.” Alex mendorong kepala Ara hingga gadis itu tersungkur ke bawah, ia membuang kain biusnya ke tong sampah kecil. Alex pun segera memerintah sang sopir, “Pak Ho, nanti cari tempat yang sepi dan kondisinya aman, pindahkan gadis ini ke bagasi. Aku tidak ingin dia mengotori mobilku. Jangan lupa diikat erat-erat. Aku paling malas ada yang gedor-gedor di bagasi seperti tempo hari.”

“Siap, Pak Alex.” Sopir itu mengangguk, “Di mana kita akan menunggu pasukan yang datang?”

“Jalan saja ke perempatan Morita, lalu ke selatan. Di sana ada hotel. Sudah ada orang-orang menunggu, mereka mengadakan pertemuan. Kita akan kesana.”

“Siap, Pak Alex.”

“Mudah-mudahan pertemuannya masih berlangsung. Aku ingin mengajukan penawaran dan aku ingin mereka menyaksikan apa yang aku lakukan. Sudah saatnya mereka menetapkan aku menjadi anggota dan menjadi bagian dari mereka.”

“Lalu gadis ini?”

“Gadis ini adalah tumbalnya. Karena apa yang akan kita lakukan akan sangat tergantung pada Simon Sebastian, adikku tercinta. Untuk mendapatkan Simon, kita butuh hal-hal yang dia anggap penting. Gadis ini salah satunya.” Alex mendesah, lalu menggelengkan kepala, “Tidak bisa membiarkan seorang Simon bergerak bebas menguasai Seraphim Corps. Dia tidak pantas. Aku sudah melaksanakan tugasku. Aku ingin upahku.”

“Apakah penyakit yang diderita oleh Pak Jendro juga…”

“Sudah saatnya kita umumkan kepada dunia siapa kita. Jadi ya… aku harus melakukan apa yang harus dilakukan. Penyakit itu bisa dipercepat karena tidak akan membantu jika memiliki pimpinan yang invalid. Benar kan? Pasukan pun sudah disiapkan dari kota sebelah, sebentar lagi mereka datang dan melakukan invasi,” Alex tersenyum. “Ada seseorang yang selalu bicara konsep tentang kehancuran. Dia selalu mengutip kalimat latin, ordo ab chao. out of chaos, comes order. Dari kekacauan, lahir keteraturan. Orang-orang bilang itu kalimat dari Nietzsche, padahal aslinya jauh lebih tua.”

“Hehehe, saya ndak paham, Pak Alex.”

Intinya, gadis sialan ini akan menjadi kunci menaklukkan Simon dan kawan-kawannya. Kalau dari skenario yang telah disusun, semua faksi-faksi yang menentang kita nantinya juga bakal carut marut sehingga pasukan dari luar kota akan dengan mudah masuk ke dalam. Dengan begitu tujuan semula akan tercapai.”

“Wah, jadi ini semua permainan strategi ya, Pak Alex?”

“Hanya permainan orang-orang di mimbar atas, Pak Ho. Itu sebabnya mereka harus melihat apa yang akan aku lakukan dan melihat pengorbanan yang aku persembahkan. Akan kubuat mereka tak bisa menolakku. Mereka harus mau merekrutku menjadi anggota resmi. Heheheh.”

“Wah, saya tidak paham soal anggota-anggotaan nih, Pak Alex. Tapi yakin nih tidak apa-apa cerita semua ini sama saya? Bukankah ini rahasia?”

“Saya percaya sama Pak Ho.”

“Tapi tadi Pak Alex bilang ada orang-orang di mimbar atas?” Pak Ho mengernyit bingung, “maksudnya bekingan pejabat gitu, Pak Alex? Polisi berpangkat tinggi, orang DRPD, atau dari pemerintah pusat begitu?”

“Heheh. Bukan bukan... ya sebenarnya negara ini jauh lebih kompleks dari sekedar tatanan yang terlihat di depan mata, Pak Ho. Tapi ya kita tidak perlu mengurus negara. Sudah ada yang mengurusi itu, tidak perlu terlalu melebar kemana-mana. Kita urus yang lokal-lokal saja. Kota ini saja misalnya. Kota ini adalah kota yang nyaman, tenang, dan jadi dambaan untuk menghabiskan sisa masa – tapi di sisi lain, kota ini tidak bisa meningkatkan taraf hidup rakyatnya dengan baik. Kita tahu kota ini punya UMR rendah, lowongan pekerjaan layak yang langka, dan pemerintah yang asal pokoknya,” Alex mengelus-elus cincin akik berwarna hijau yang ada di jarinya, “Tapi daripada ngomongin masalah politik, kita ngobrol masalah yang lain saja… tahukah Pak Ho kalau di atas awan itu ada sebuah tempat di mana kedamaian menjadi istananya?”

“Wah, jangan-jangan khayangan? Hahahaha? Banyak bidadari dong?”

“Heheheehe. Tenang saja, Pak Ho. Kalau saya mengunjungi istana itu, akan saya ajak Pak Ho ikut serta. Pokoknya tenang, diam, dan ikuti saja apa yang saya perintahkan. Biarkan skenario bergulir secara apa-adanya. Apa yang kita tanam saat ini, akan kita panen di kemudian hari. Setuju, Pak?”

Pak Ho terkekeh, “Hahaha, jujur saya tidak paham apa-apa. Jadi terserah Pak Alex saja.”

Mobil itu pun melaju menyusuri jalanan malam yang sedikit lengang. Sesekali terdengar sirene polisi membahana menuju ke selatan. Mereka pasti menuju ke perang besar. Untung saja mobil Alex berlawanan arah dengan mereka. Alex hanya tersenyum saat menikmati pemandangan di tepi jalan.

Satu demi satu kartu domino sudah dijatuhkan. Efeknya benar-benar sesuai dengan rencana. Luar biasa orang itu memang, semua tepat berlangsung seperti apa yang dia ucapkan. Kini domino berikutnya sudah dijatuhkan. Hanya tinggal menunggu di titik akhir.

Alexander Arden membatin dalam hati.

Saatnya meletakkan satu domino tambahan di posisi yang tepat, maka semua keberuntungan akan runtuh ke arahnya. Semua yang ia impikan, semua yang ia idam-idamkan. Seraphim Corps, Sera Finance, semuanya. Semua akan menjadi miliknya dan pria yang ia cintai.

Alex mengambil suatu kotak dari bawah jok, dia tidak ingin kotak itu tersentuh oleh Ara yang masih pingsan di bawahnya. Dengan hati-hati Alex membuka kotak dan mengeluarkan dua barang dari dalamnya. Ia memastikan Pak Ho tidak melihatnya. Barang yang pertama… adalah sebilah pisau tajam.

Saat mereka berhenti nanti dan setelah Ara diamankan di bagasi dengan kondisi terikat, Alex harus menghabisi nyawa Pak Ho.

Mau bagaimana lagi? Collateral damage. Nyawa yang tidak sengaja melayang karena kejadian insidentil. Alex harus secretive dalam bergerak. Setelah membunuh Pak Ho, ia juga harus membunuh kedua penjaganya yang sekarang di mobil lain. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Mendengar terlalu banyak ada resikonya.

Alex menyelipkan pisaunya ke tempat yang aman. Ukurannya kecil hingga bisa dimanfaatkan dengan baik.

Barang kedua yang diambil Alex dari kotak adalah… sebuah topeng berwarna hijau. Topeng yang dia harapkan akan segera diresmikan sebagai miliknya.

Topeng Panji Hijau.





BAGIAN 24 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 25



Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mohon kesediaannya untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan nggarap tugas. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd