Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 25
TERBAIK TERBAIK




Semua begitu cepat berlalu,
dan apa yang sudah berlalu tak mungkin bisa diraih lagi.
Betapa indahnya kenangan masa lalu,
tapi kenangan akan lenyap bersama debu sang waktu,
dan hari-hari esok masih belum menentu,
hari-hari sekarang inilah sesungguhnya milikku,
maka aku tak boleh menyia-nyiakannya.”

- S.Tidjab




Sulaiman Seno mengejapkan mata.

Dia masih hidup rupanya.

Pria berjuluk jagal yang menjadi eksekutor dan punggawa JXG itu seperti terlahir kembali di tengah gerimis berdarah yang kian anyir. Malam pekat itu adalah malam mengerikan yang menjadi saksi sendu hilangnya nyawa banyak anak manusia. Anak manusia yang dilahirkan dengan susah payah, yang dilatih menahun untuk menempa diri menghadapi kerasnya kehidupan, tapi ternyata berlalu dengan demikian mudahnya di tepian harapan, hilang lenyap hanya meninggalkan nama, tak ada lagi asa, tanpa ada lagi yang bisa membawa ke ranah terjanjikan.

Jagal bisa jadi adalah salah satu yang beruntung.

Dia masih hidup, masih bernyawa, masih bernapas, dan masih bisa melihat kedua tangannya menggenggam dengan erat. Pria dewasa itu sedang terduduk di tepian jalan, bersandar pada pagar beton, menyaksikan dua kubu saling bertukar ilmu.

Jagal mencoba menelaah di mana dia berada. Ah ya.

Ini adalah pos penjagaan selatan yang dijaga ketat oleh Koalisi QZK dan KRAd. Sedangkan pihak yang hendak melaluinya adalah Dinasti Baru yang datang dengan kekuatan besar. Sang old biker BMW datang dengan andalannya, Empat Belati Dinasti Baru.

Di sisi lain ada Mox si Bule Gila dan Razan sang Hannibal yang datang dengan pasukan Sambergeni.

Jagal mendengus. Dia teringat bagaimana Mox berhasil mengalahkannya karena kelengahan dan kelelahan, tapi namanya bukan Sulaiman Seno kalau dia akan menyerah kalah semudah itu. Tidak. Jelas tidak. Dia tidak akan menyerah semudah itu. Dia tidak akan dengan mudah dihancurkan, siapapun lawannya.

Dijatuhkan? Ya bangkit lagi. Dikalahkan? Ya lawan lagi.

Jagal berdiri dengan goyah. Kakinya seperti enggan menapak dengan benar, tubuhnya lunglai sesaat sebelum akhirnya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri. Jagal menarik dan mengeluarkan hembusan yang masuk sedikit demi sedikit, mengatur saluran pernapasan agar mampu berputar secara normal seperti seharusnya. Penguasaan Kidung Sandhyakala membutuhkan pengaturan pernapasan yang berimbang atau balance.

Sejenak kemudian Jagal mengernyitkan dahi, alis tebalnya seperti menyatu menjadi satu. Ia menyadari sesuatu yang mustahil terjadi tapi kejadian. Kekuatannya… kenapa terasa seperti pulih sedikit demi sedikit dan kembali laksana semula tanpa susah payah ia perlu menggali Ki?

Jagal mendongak dan menatap para punggawa Dinasti Baru yang saat ini tengah berdiri tegak menatap Mox dan Hannibal Razan sementara para anggota kedua kubu beradu hantam.

Ki yang tiba-tiba mencuat kembali setelah habis-habisan, jelas bukan bagian dari ilmu kanuragan yang ia pelajari. Apa yang terjadi? Apakah ada yang menyembuhkannya?

Ia melirik ke arah Empat Belati dari Dinasti Baru.

Apakah di antara mereka… ada yang punya Ki jenis penyembuh? Siapa? Yang mana? Derita luka yang ia alami bagaikan terbalut oleh elixir kehidupan yang membasuh semua derita. Sudah pasti ulah Ki jenis penyembuh. Tapa laku macam apa yang telah dialami pemilik Ki jenis penyembuh ini? Tumbal semacam apa yang telah ia korbankan?

Ki jenis penyembuh adalah kemampuan digdaya yang jarang diinginkan oleh seorang petarung. Kenapa? Karena meskipun efeknya dahsyat karena bisa sesaat menyembuhkan Ki, tapi kekuatan semacam ini membutuhkan tumbal yang tidak main-main. Ilmu yang jika gagal diunduh maka akan menghasilkan daya balik yang mematikan. Umur sang pemilik akan menjadi lebih pendek dari seharusnya.

Jagal mengernyit kembali, tangannya meremas dada saat Ia merasakan bangkitnya gejolak Ki yang menggelora dalam dirinya. Dia akhirnya memahami, kembalinya kekuatannya ini bukan dari para anggota Dinasti Baru. Ini berasal dari dirinya sendiri. Ia memutar dan menggerakkan tangannya, benar-benar terasa ringan! Ada Ki yang berlari-lari memenuhi rongga-rongga tubuhnya bagaikan kijang yang saling mengejar di tepian sabana.

Bajingan.

Jagal menatap ke arah Mox.

Jadi begitu rupanya. Semua ini ulahnya.

Ketika si bangsat itu menghajar dirinya, Mox menanamkan cengkraman tenaga dalam untuk menekan dan membungkus Ki dari sang Jagal. Daya linuwih yang disebut Dimensi Pasir Hisap, ilmu kanuragan yang sanggup menekan Ki milik lawan. Ilmu digdaya dengan satu prasyarat, si pengguna harus memiliki Ki yang lebih tinggi daripada Ki milik sang lawan. Jadi sekian lama tadi, Jagal dihabisi dan dipermalukan karena kemampuan Ki-nya ditekan.

Satu fakta yang tidak ia sukai muncul.

Joe Moxon punya Ki yang lebih tinggi darinya.

Kini saat Mox melepas cengkraman Dimensi Pasir Hisap darinya, kekuatan Jagal yang memang sukar dibendung dan terus menerus digenjot kembali lagi membanjir, memenuhi setiap rongga tubuhnya dengan tenaga. Jagal mendengus kesal karena telah dipermainkan bak seorang pecundang. Dia melangkah ke depan dengan rasa kesal.

Sebenarnya pertarungan pasukan Sambergeni dan pasukan Dinasti Baru berlangsung seimbang. Keduanya saling baku hantam dengan kekuatan yang sama. Memang korban berjatuhan, tapi masih setara jumlah dan kekuatannya. Pertarungan ini masih akan berlangsung cukup lama.

Sulaiman Seno tahu, untuk bisa menyelesaikan ini semua dengan cepat, dia harus melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sesuatu yang ia simpan rapat-rapat bertahun-tahun, sesuatu yang harus dilepaskan saat ini juga sebelum semuanya terlambat.

Sejak dulu Joe Moxon selalu menjadi ancaman, tapi saat ini dia jauh lebih mengerikan. Kekuatannya berlipat ganda dan kemampuannya jauh meningkat setelah bertahun-tahun melanglang buana di luar negeri. Dia jelas lebih kuat dari Jagal dan Empat Anak Panah JXG, jauh lebih powerful dari Tiga Gentho dari Bondomanan, sepertinya jauh lebih kuat dari Empat Belati Dinasti Baru, dan dia mungkin yang terkuat di antara Empat Perisai QZK.

Kekuatan seadanya tidak cukup.

Kemampuan secukupnya dari Kidung Sandhyakala tidak akan cukup. Sudah terbukti tadi Jagal digilas habis-habisan dan dipermalukan. Tidak boleh terjadi lagi, Jagal adalah Jagal. Sulaiman Seno adalah pemburu, bukan mangsa. Pria gagah itu pun berdiri, membuka bajunya yang sudah compang-camping. Ia membiarkan dadanya terbuka, dan mulai mengerahkan Ki-nya untuk membungkus tubuh secara keseluruhan.

Seno mengamati bagaimana Hannibal Razan dan rekan-rekannya mencoba menghalau pasukan Dinasti Baru agar tidak bisa masuk ke arena, sementara Mox hanya terkekeh-kekeh sambil bersidekap di belakang mereka.

Ada jarak antara Mox dan pasukan Hannibal Razan.

Ada jarak. Satu lompatan cukup.

Ini saatnya. Ini kesempatan. Ini saatnya mengeluarkan ilmu simpanan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Untuk itu dia harus mengerahkan seluruh Ki yang ia miliki. Sang Jagal tahu ini adalah saatnya merapal kehadiran ilmu merah yang terlarang. Ilmu yang ia kuasai tapi berusaha ia simpan sampai saat-saat terakhir.

Jagal merunduk, duduk bersimpuh dengan satu kaki tegak. Ia mengusap-usapkan telapak tangannya ke tanah sembari memejamkan mata dan mengucapkan beberapa patah kata mantra. Setelahnya ia berdiri dan memutar-mutar telapak tangannya. Kekuatan Ki yang menyelimuti tubuhnya lama-lama terasa hangat, begitu hangatnya hingga semakin panas, makin lama makin panas.

Tubuhnya bagaikan berselimut api ketika rapalan diucapkan dengan tegas, “Jagad iro jagad geni, langit iro langit geni. Segoro iro, segoro geni. Siro ratuning geni. Siro angwasaning lakune geni.”

Tempat di sekitar Jagal berdiri ikut bergetar, debu-debu seperti terbang mengelilinginya. Kekuatan Ki di dalam tubuhnya bagaikan tergeser, katup yang sebelumnya mengalirkan tenaga dalam penyokong Kidung Sandhyakala dialihkan dan ditutup, digantikan oleh keran lain yang mengalirkan Ki nan panas juga ganas. Ki yang menyakiti siapapun penggunanya, Ajian Segoro Geni.

Lidah api menyeliputi tubuh Sulaiman Seno. Ia berlari kencang dan meloncat, saat terbang bagaikan ada api yang ikut menemani dan melontarkan tubuhnya.

Ia turun tepat di antara Joe Moxon dan pasukan Hannibal Razan. Pasukan yang ironisnya disebut pasukan Sambergeni.

Krkkkhhh-aaa-boooom!!

Mox dan pasukan Razan terpisah. Di tengah-tengah mereka kini ada Sulaiman Seno – Sang Jagal yang dalam pandangan mata yang memiliki tenaga dalam, kini tengah diselimuti oleh api yang menyala-nyala di sekujur tubuhnya.

Mox terkekeh, masih hidup orang ini? Luar biasa. Seperti kucing saja punya sembilan nyawa. Api apa yang dikendalikanya? Ilmu kanuragan apa yang dimilikinya? Di hadapannya masih tersisa dua prajurit QZK. Mox mendorong keduanya untuk maju. Tidak perlu turun tangan dulu. Ia ingin melihat seperti apa kekuatan Jagal sekarang.

Dua orang yang didorong oleh Mox mau tak mau berlari ke depan untuk menjemput sang Jagal. Keduanya kebetulan membawa parang. Mereka berteriak kencang mencoba membabat sang pria yang baru saja hadir di depan. Sudah barang tentu keduanya tidak dapat melihat nyala api yang sedang menyelimuti sang Jagal.

Brdaaappp! Bdddrrraaaap!

Sebelum keduanya sampai di posisi Seno, pria itu sudah meloncat ke depan terlebih dahulu. Ia menepis tangan kedua cecunguk yang memegang parang, membuat mereka meringis kesakitan. Dua hantaman telapak tangan Jagal pun mendarat di dada keduanya, menimbulkan bekas hitam yang membakar baju dan tembus ke dada.

Keduanya berteriak kesakitan dan diterbangkan ke belakang hampir lima meter jaraknya, salah satunya terbang melewati Mox dari sisi kiri, dan satu lagi dari sisi kanan.

Sulaiman Seno mendengus ke arah si Bule Gila yang menatapnya dengan angkuh, Jagal sama sekali tak peduli dengan apapun pendapat sang lawan, saat ini, saatnya pembalasan, “Mox. Bagaimana kalau kita masuk ke ronde kedua? Sepertinya pertarungan kita belumlah usai. Bagaimana menurutmu?”

Mox cengengesan, “Bring it on, pizza gosong.”

Jagal meraung dan menyerang.





.::..::..::..::.





Simon Sebastian sang Pemuncak Gunung Menjulang dan Rao sang Hyena Gila adalah wujud nyata dari dua orang rival abadi yang selalu saling berseteru, tapi juga saling menghormati kemampuan masing-masing. Simon selalu ingin menjadi lebih kuat karena dia berharap bisa melebihi kemampuan Rao dan begitu juga sebaliknya. Tapi saat bertemu dengan Nanto, keduanya menjadi pesaing yang sehat yang berdiri di kubu yang sama.

Saat ini keduanya tengah berada di sebuah tanah lapang yang dikelilingi oleh tiang-tiang pancang yang biasa digunakan untuk perlombaan burung. Di sebelah tanah lapang itu sendiri terdapat kawasan makam yang sunyi.

Rao dan Simon berdiri bersebelahan. Di depan mereka, sekitar tujuh meter jaraknya, berdirilah lawan yang sejak awal diincar oleh sang Hyena Gila, Tiga Gentho dari Bondomanan – Udet, Grago, dan Yosan.

“Sepertinya ini pertempuran kita yang kesekian kalinya,” ujar Rao. Dia terkekeh-kekeh seperti biasa, layaknya seekor Hyena, “ayo. Serang aku lagi. Aku layani kalian.”

Ketiga lawan sang Hyena Gila bergerak serentak, mengikuti skenario strategi yang sebenarnya sudah diketahui oleh Rao. Hyena Gila melihat hal ini dengan senyum merendahkan, merasa bahwa lawannya bodoh karena masih menggunakan gerakan yang sama dalam melawannya. Hyena Gila menggelengkan kepala karena tidak percaya lawan-lawannya berharap strategi ini masih efektif dalam melawan dirinya.

Yosan berencana untuk menjebak Hyena Gila dengan tepat.

Dalam hitungan detik, Yosan mempersiapkan diri dan mengangkat kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka. Ia membaca mantra dengan sungguh-sungguh dan tatapannya penuh dengan kebencian pada Hyena Gila.

Rao yang sudah hapal betul rumusnya berjalan namun berhenti. Ia hanya tersenyum saat tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Semua persendian terasa kaku dan lemas, dan segala tenaga yang sudah dihimpun hilang tak berbekas, sepertinya sudah ada peningkatan kemampuan dalam diri Yosan.

Dengan satu sentakan badan, Rao dapat melepaskan diri dari sergapan Yosan, pria itu pun mundur dan bergabung dengan kedua kawannya yang lain, yaitu Grago dan Udet.

“Tidak bisa, kita harus cari cara lain untuk mengalahkannya,” ujar Udet sambil menggeleng, “Kita tidak boleh kalah lagi. Kali ini kita harus benar-benar bisa membunuhnya.”

Grago dan Yosan mengangguk tanda setuju.

Di sisi lain, Rao didatangi oleh Simon.

“Bagaimana? Kok lama bener?” tanya Simon tidak sabar, “Bisa tidak mengalahkan mereka?”

Dua orang prajurit KRAd tiba-tiba saja berlari ke arah Simon, menyerangnya dengan pemukul kayu. Saat jarak sudah hampir satu meter, Simon meloncat ke depan untuk memangkas jarak dan dengan mudah sang Pemuncak Gunung Menjulang menghindar dari serangan kedua orang cecunguk itu. Dia meliuk dengan ringan dan melontarkan dua kali hantaman ke wajah masing-masing lawan.

Jbbbkgh! Jbbbkgh! Jbbbkgh! Jbbbkgh!

Kedua orang penyerang Simon langsung terkapar tak berdaya.

Rao mendengus saat menyaksikan kemampuan Simon, “Wes tah, meneng ae. Memangnya aku apaan? Pasti bisa lah mengatasi ketiga orang wedhus brengsek ini.”

Asuuuuuuuuuw!!”

Udet, Grago, dan Yosan yang mendengar ejekan Rao jelas tidak terima. Meski sebelumnya mereka pernah dihajar oleh Rao, tapi mereka tetap optimis mampu mengalahkannya. Udet terengah-engah, ia mulai khawatir akan keselamatan mereka bertiga karena berhadapan dengan dua lawan mumpuni dengan kondisi badan yang tidak prima. Saat ini mereka sedang berada di titik terendah kekuatan, karena kelelahan dan kepayahan.

Plan B,” ucapnya.

Baik Yosan maupun Grago mengangguk. Mereka melakukan kuda-kuda. Plan B adalah variasi kombinasi serangan kedua dari Tiga Gentho Bondomanan. Serangan pertama adalah tembakan jarak jauh dari Yosan, serangan kedua adalah sergapan Grago dari samping, dan serangan ketiga adalah serangan frontal dari depan, yang jika masuk – maka Yosan akan mengunci tubuh sang lawan dengan kekuatannya. Ketiga serangan ini dilakukan secara terpadu dan tersinkronisasi dalam satu harmoni. Sesuatu yang telah mereka latih secara berulang-ulang.

Plan B ini gagal mereka eksekusi saat berhadapan terakhir kali dengan Rao. Bagaimana sekarang setelah mereka belajar menguasainya dengan lebih sempurna?

Boooom! Boom!

Grago dan Udet melesat sesuai tugas masing-masing. Yosan terdiam sejenak, lalu menatap Rao dengan pandangan ganas. Ia menggerak-gerakkan tangannya sebelum akhirnya menghentakkan kedua tangannya itu ke depan.

Kraaaakkkka-booom!

Tiga pancang roboh ke arah Rao! Pemuda itu pun bergerak dan beringsut menghindar dari ketiga pancang yang tercabut dari tanah, Simon yang melihat aksi 3GB langsung ikut membantu. Dengan Pukulan Geledek ia hentakkan ketiga pancang itu ke arah sebaliknya, kembali ke arah Yosan!

Kraaaakkkka-booom!

Yosan yang terkejut mundur ke belakang beberapa langkah untuk menghindari jatuhnya pancang. Rao yang melihat hal itu justru memanfaatkannya. Ia meloncat dan menjadikan pancang-pancang yang terjatuh itu sebagai pijakan untuk dinaiki. Sang Hyena Gila terbang ke atas dan memutar badan, pukulannya terlontar, ia mengincar Yosan.

“Modyaaaaaaaaaaar!”

Udet berlari ke depan dan meloncat tinggi, ia meninggalkan Yosan untuk menyambut sang Hyena! Pukulannya terlontar ke depan. Pada saat bersamaan, Rao juga melontarkan pukulannya.

Jboookgh! Jboookgh!

Pukulan Rao masuk sebagaimana pukulan Udet juga mendarat di wajah lawan. Kerasnya pukulan membuat baik Udet maupun Rao masing-masing terpental ke belakang, tapi pada saat itu juga Grago terbang dari samping dan mengincar punggung sang Hyena.

Jboooooooooooogkhh!!

Dua kaki Grago menghajar punggung Rao! Sang Hyena Gila terpental dan menabrak dua pancang yang langsung terjatuh ke samping. Tapi sejenak kemudan ia bangkit dan langsung berdiri dengan terkekeh-kekeh. Simon geleng kepala sembari tersenyum.

Rao bertepuk tangan, “Sudah? Begitu saja? Kupikir akan jadi seperti apa jurus yang kalian keluarkan setelah selama ini kita tidak berjumpa. Ternyata tidak ada bedanya. Aku bertepuk tangan karena tahu kalian pasti sudah berlatih sangat lama. Sayang tidak ada gunanya. Aku akan tetap memenangkan pertarungan ini.”

“Bajingan! Kali ini akan kusedot tenagamu sampai bijimu meledug, bangsat busuk! Tidak ada yang akan selamat saat berhadapan dengan 3GB!” kata Udet yang diakhiri dengan satu teriakan kencang, “YOSAAAAN! SEKARAAAANG!”

Kraaaaakaaaa-booooooooooooom!

Yosan meledakkan energi tenaga dalamnya. Tembakan Ki terpusat terlontar dari kedua tangannya, ia mengincar tubuh Rao. Tapi tiba-tiba saja, ada dua tangan yang berbalur Ki menghadang tembakan tenaga dalam itu. Dua telapak terbuka yang tertaut di bagian pergelangan tangan. tembakan Ki dari Yosan, dihadangnya!

Simon melindungi Rao!

Udet yang mengatur serangan jelas jadi sangat kesal, “Siaaaaaaal! Aku akan…”

Hpppphhhh!

Tangan Rao tiba-tiba saja sudah mencengkeram dan membungkam mulut Udet.

“Hrrrmppph!?” Udet terbelalak, CELAKAAA!? SEPERTI INI LAGI!?

Rasanya seperti dejavu, pada pertempuran terakhir melawan Rao, hal seperti inilah yang terjadi, Rao bergerak dengan sangat cepat dan membungkam mulut Udet sebelum ia sempat melakukan apapun. Siapa yang mengira akan terulang kembali? Luar biasa memang, kekuatan dan kecepatan Rao telah berlipat ganda.

“Bagaimana rasanya menjadi pecundang?” kata Rao sembari menyeringai, “kali ini akan kutuntaskan apa yang sebelumnya tertunda kalian supaya tidak lagi seenaknya mengganggu orang! Darah Nuke mengalir di tangan kalian. Akan kupastikan kalian menderita sebelum mati!”

Seperti sebelumnya, Udet meronta-ronta karena mulutnya dicengkeram dengan satu tangan oleh Rao, sementara tangan lain mencekik lehernya. Ya, Rao jadi sangat kuat, cengkramannya kencang mengunci! Udet tidak akan tinggal diam! Kembali Ia membalas dengan menancapkan cengkramannya di pergelangan tangan Rao, kejadian yang hampir sama terjadi lagi. Ia hendak menyedot tenaga dalam Rao!

Yosan mencoba membantu Udet, ia menghunjukkan telapak tangan dan membukanya sekali lagi. Dia sudah belajar dari kesalahan sebelumnya. Dia tidak akan berada di jarak yang dekat dengan Rao, terakhir kali bertemu, Yosan dapat dikejar oleh kecepatan Rao yang tidak manusiawi. Ia juga menggunakan pancang-pancang sebagai pelindung. Yosan bersiap untuk menyerang kembali dari jarak jauh.

Sayang Yosan melupakan satu hal.

Simon Sebastian.

Yosan terbelalak saat teringat keberadaan sang Pemuncak Gunung Menjulang! Celaka. Satu hantaman berbalut Ki meledak di samping Yosan, hantaman kencang masuk ke sisi wajah, membongkar tulang pipinya yang langsung retak.

Jbbbkkkkkkkhhhhkkhggg!

Yosan terbang dan terbanting berulang-ulang di tanah hingga jarak lima meter dari posisi semula. Pukulan Geledek memang tiada banding. Yosan yang masih bertahan memuntahkan darah, ia mencoba berdiri meskipun oleng.

“Sebaiknya kamu tetap di situ saja,” kata Simon. Kepalan tangan berbalut Ki terlontar. Yosan bahkan tak sempat berteriak.

Jbbbooooooooooooom!

Wajah Yosan terhantam oleh pukulan kencang dari tangan Simon hingga kepalanya terbenam di tanah berlumpur. Simon menengok ke arah Rao. Rao menatap Simon dan mengangguk, ia mencekik Udet yang sudah hampir pingsan tak sadarkan diri.

Simon paham apa maksudnya, Ia menatap ke arah Yosan. “Kamu telah membuat orang yang aku kagumi sekaligus aku benci menderita. Bajingan busuk, tidak boleh ada yang mencelakainya kecuali orang itu aku sendiri. Paham kamu!? Paham kalian!?”

Jbbbooooooooooooom! Jbbbooooooooooooom! Jbbbooooooooooooom!

Pukulan Geledek dari jarak dekat dilontarkan ke wajah Yosan yang makin lama makin tenggelam. Ia benar-benar sudah tak berdaya, wajahnya porak poranda dibongkar Simon, rahangnya geser, giginya rontok, hidungnya bengkok.

“Shhsshddh… cckppp… aakk… menyrrhhh…”

“Memangnya aku peduli?”

Jbbbooooooooooooom! Jbbbooooooooooooom! Jbbbooooooooooooom!

Tubuh Yosan mengejang sesaat sampai akhirnya terhenti. Entah dia sudah mati ataukah masih hidup.

Menyaksikan sahabatnya tak berdaya, Udet meronta tanpa hasil. Ia justru makin sesak napas karena cekikan di lehernya.

Rao menatapnya dengan keji, “Bagaimana? Bagaimana rasanya menyaksikan orang yang dekat denganmu menderita? Jangan khawatir, aku akan membuatmu merasakan hal yang sama.”

Rao melepaskan cekikannya di leher dan mulut Udet. Pria itu pun langsung mundur tertatih sembari memegang lehernya yang sakit. Ia mencoba lari meski tahu itu tak mungkin. Tapi ia tahu, Grago masih segar dan mampu mengakhiri kedua lawan ini.

“Grrrghhhooo…!!” usaha Udet untuk bicara sia-sia.

Tapi Grago paham apa maksudnya. Pria berjuluk Tupai Terbang itu bergerak dengan lincah dan dengan cepat di udara, ia sekali lagi mendarat di belakang Rao. Begitu jaraknya tepat dan tak bisa terdeteksi, Grago maju dan meloncat dengan melemparkan kedua kakinya secara lurus ke arah punggung Rao.

Tiba-tiba saja Rao berbalik sembari menyeringai dan tertawa dengan aneh, “Halo.”

Jbkkkggkghhhhh!! Jbkkkggkghhhhh!! Krghhhhhkkkhhh! Krghhhhhkkkhhh!

Kedua tangan Rao menangkap kaki Grago, menghantamnya dua kali, lalu membengkokkannya ke arah yang impossible. Grago melotot kesakitan! Tapi Rao sudah terlanjur gelap mata. Kaki Grago menekuk ke arah yang salah! Tulang-tulangnya sampai keluar menembus daging dan kulit kaki!

Grago berteriak kesakitan setengah mati. Rao memutar badannya dan melemparkan Grago ke comberan.

Udet kembali berteriak ngeri melihat kondisi Grago. Ia mencoba berlari untuk menyelamatkan sang kawan. Rao menghunjukkan dua jari tepat ke posisi kepala Udet.

Jbbhhhh! Jbbhhhh!

“Huuuuuuuuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrghhhhhh!”

Teriakan kengerian terdengar. Darah mengucur deras dari bagian tubuh Udet yang sebelumnya menjadi lokasi bola matanya berada. Ia berteriak-teriak kesakitan dan tak tahu harus kemana. Rao masih belum berhenti, ia meraih tangan Udet dari belakang, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menjejak punggung sang lawan. Dengan begitu, Rao menekuk tangan Udet ke arah yang tidak semestinya.

Krghhhhhkkkhhh! Krghhhhhkkkhhh!

“Hiyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrghhhhhh!”

Tangan pria punggawa 3GB itu patah tak beraturan. Ia pun terjerembab ke depan. Rao meloncat dan memutar badan di udara. Ia sekali lagi mengincar punggung Udet. Kakinya meluncur ke bawah dengan deras bak rudal.

Jbooooooooooommm! Jbkkkkkkkkkkkghhhh! Krghhhhhkkkhhh!

Tulang punggung pria itu kini terbelah menjadi dua.

“Hrrrrghhhhhh!”

Udet pingsan seketika, ia tak kuasa menahan rasa sakit yang dideritanya.

Rao mendengus-dengus, dua lawannya berakhir dengan tragis dan mengenaskan. Mereka masih hidup tapi sepertinya berharap kalau mati akan jadi nasib yang lebih baik.

Simon menatap tak percaya melihat kesadisan Rao, inikah akibat dari penguasaan tiga sosok astral dalam tubuhnya? Rao menjadi monster yang tak kenal ampun. Seharusnya cukup dilumpuhkan saja, tidak perlu disiksa seperti ini. Tapi mungkin ini karena orang-orang biadab ini menjadi penyebab kematian kekasih Rao dan dia tidak dapat membalas dendam langsung pada Joko Gunar. Simon hanya berharap mudah-mudahan Rao masih bisa sadar dan melepas ketiga sosok yang kini ada di dalam tubuhnya.

“Raaaaoooooo!”

Terdengar suara teriakan dari atas atap.

“Naiklah kamu kemari! Kamu juga Simon! Hadapi kami! Kami yang kamu cari!”

Simon melangkah perlahan untuk berdiri di samping Rao, menatap atap yang menjadi lokasi keberadaan dua orang punggawa KRAd.

“Hrmph. Geer sekali. Memangnya siapa yang mencari mereka?” Rao mendengus.

Simon Sebastian tersenyum, “Jangan bilang kamu takut menghadapi mereka berdua, curut.”

“Heh, siapa yang kamu panggil curut, babi guling?” Rao meludah ke samping. Sang Hyena Gila terkekeh mengerikan, “Kekekeke, sejak kapan seorang Rao takut menghadapi lawannya? Kalah menang itu biasa. Yang tidak biasa adalah memelihara tiga setan dalam tubuhnya dan baik-baik saja.”

“Itu yang baru mau aku ledek. Kamu benar-benar Hyena yang gila. Kamu tidak akan hidup tenang dengan memelihara mereka di dalam tubuhmu, Rao. Kamu akan mati mengenaskan. Bukankah sudah banyak cerita tentang itu?”

“Lantas kenapa?” Rao membantah lagi, “Hidup mati itu sudah pasti. Mau matinya seperti apa bukan urusan kita, yang penting selama hidup sudah berusaha.”

“Baguslah kalau tahu. jadi jangan sia-siakan hidupmu dengan cara seperti ini. Setiap nyawa itu berharga, kalau ingin jadi juara, bukan seperti itu caranya. Kamu tahu yang lebih baik, Rao. Lepaskanlah biadab-biadab itu dari badanmu dan pada akhirnya nanti lawan aku dengan cara yang lebih elegan.”

Tch, menggurui di tengah perang. Kamu seharusnya jadi pemimpin agama saja, bedebah,” Rao mendengus dan kembali terkekeh, “Sejak awal aku bukan orang baik, aku hanyalah preman penguasa kampus yang isinya penuh bajingan. Aku hanyalah pucuk pohon dari ranting yang dihuni pemuda-pemuda tersesat yang memberontak tanpa sebab. Banyak yang ingin aku mati – terutama mereka yang pernah aku bully. Jadi mati pun tak masalah bagiku, kenapa harus merecokiku dengan pemikiranmu yang terlalu bersih, bededah?”

“Almarhum kekasihmu tidak akan pernah menginginkan kamu menjadi seperti ini.”

“Jangan bawa-bawa dia lagi. Dia sudah mati dan aku masih hidup, sudah titik sampai di situ saja.” Rao menyeringai, ia menatap Simon dengan bola mata yang tiba-tiba saja berubah menguning seperti seekor kucing, “sekali lagi kamu menyebut tentang hal itu, aku kucabut tengkorakmu dari tubuh dengan tangan kosong, Simon Sebastian.”

Suara Rao seperti bukan suaranya sendiri, terdengar jauh dan ganda. Siapapun pengisi tubuhnya, mereka tidak ingin merasakan nyeri hati seperti yang dirasakan Rao. Bahkan itupun menyakitkan mereka dan membuat sosok-sosok yang mengisi tubuhnya menjadi tidak nyaman.

Simon harus mengusir mereka dari dalam tubuh Rao. Bagaimanapun caranya.

“Dengar, curut…”

“Woy! Sudah belum kalian? Kami sudah menunggu di sini. Mau dilanjut atau mundur saja?” Teriakan itu terdengar dari atas atap sebuah rumah yang ada di selatan kedua pimpinan geng kampus. Yang tengah berdiri di atas rumah dengan jumawa adalah Aswin dan Ajo, dua anak mendiang pimpinan kelompok preman yang berjuluk PSG.

Tanpa menunggu banyak waktu, Rao langsung meloncat ke atas. Beberapa meter saja jaraknya dari kedua orang yang tengah mengisi baterai Ki mereka. Aura hebat terbaca dari ketiga orang yang tengah berdiri di atas atap itu.

“Aku tak akan pernah bisa membalas dendam pada ayah kalian yang sudah mampus, jadi rasa-rasanya mendidik kalian harus kulakukan supaya tidak mengikuti jejaknya. Akan kubikin kalian cacat supaya tahu bagaimana rasanya menjadi korban.”

“Kurang ajaaaar! Preman kampus sepertimu bisa apa melawan penguasa kota seperti kami? Dalam darah kami mengalir wibawa seorang pemenang seperti Joko Gunar!” Aswin gusar mendengar Rao meledek sang ayah. Dia memang yang berangasan di antara kedua saudara. “Sebut nama ayahku dengan tidak hormat sekali lagi dan kucabut lidahmu dengan paksa!”

Tch. Wibawa? Yang ada juga wibawa maling kancut,” Rao menambahkan, dia mencoba menelaah seperti apa kekuatan kedua saudara yang tiba-tiba saja naik daun setelah kematian si raja kodok. Dia memang berniat membuat Aswin dan Ajo merasa nyaman dengan ocehannya.

Ajo yang lebih tenang dan lebih bijak tahu apa yang tengah dilakukan Rao, dia hanya tersenyum menyeringai sembari maju ke depan Aswin dan memalangkan tangan di depan sang saudara, mencegahnya maju sebelum waktunya. Ajo tahu mereka harus memacu Ki terlebih dahulu baru menghadapi Rao yang tengah on fire, seperti apapun track record Rao, mereka tidak boleh gegabah.

“Jelek-jelek begitu dia bapak kami. Jadi jangan sembarang menyebut nama almarhum.”

“Bajingan ya bajingan, hidup atau mati tetap saja bajingan,” Rao meludah ke samping. Ia membalas seringai Ajo dengan senyum yang tak kalah culas, sekali lagi terdengar suara ganda dari mulutnya, “Tidak perlu membahas yang sudah jadi makanan belatung. Kalian mau menyusulnya? Mau mati kapan? Sekarang atau nanti?”

“BEDEBAAAAAAAH!” Aswin meraung, Ki-nya meledak.

Ajo mencengkeram baju Aswin supaya tidak maju dengan gegabah. Ki-nya juga meningkat dengan pesat. “Dendam dibalas dendam, tidak akan ada akhirnya. Apa yang terjadi pada ayah kami, adalah murni karena kesalahannya. Kami tidak akan melakukan hal yang sama. Kami akan mengambil alih wilayah selatan yang menjadi milik PSG kembali seperti sebelumnya.”

“Memangnya aku peduli?” Rao mencibir.

Ajo kembali menyeringai, “Sepertinya justru kamu satu-satunya yang peduli. Temanmu sudah lari terbirit-birit karena tahu berhadapan dengan kami.”

Heh? Rao melirik ke bawah. Benar saja, Simon tak ada di mana-mana. Kemana si tengik satu itu ketika dibutuhkan? Tadi saja omongannya sok iyes, sekarang malah lenyap. Memang anak Sonoz tidak ada yang beres.

“Aku tidak butuh dia untuk menuntaskan kalian berdua. Maju!” Rao memasang kuda-kuda.

Aswin dan Ajo kini berdiri sejajar di atas atap. Ketiganya mulai menjajaki Ki masing-masing, memindai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mereka seakan tidak peduli kemana Simon pergi secara tiba-tiba.

Ketiganya memang tidak tahu kemana Simon pergi, pemuda itu tengah berlari kencang sembari memegang handphone-nya. Ia menuju ke suatu arah yang ditunjukkan G-Maps. Alasannya? Simon baru saja menerima attachment di WhatsApp-nya, attachment berupa gambar yang menunjukkan sosok Ara yang tengah dilucuti bajunya. Di bawah gambar itu ada perintah bagi Simon untuk menuju ke suatu tempat.

Dia harus bergegas untuk menyelamatkan Ara.

Simon mengikuti jalan tikus berkelok-kelok yang ia sendiri tidak tahu akan sampai di mana. Sesekali ia bertemu dengan anggota JXG dan QZK yang bertarung, atau ada yang bersembunyi. Saat ini bukan saat yang tepat untuk mengkonfrontasi siapapun, Simon pun memilih untuk menghindar dan melesat pergi. Dia benar-benar berlari menuju titik pertemuan yang telah ditentukan, agak di luar dari posisi pertarungan besar terjadi, menuju ke arah timur.

Sampai kemudian sampailah dia di sebuah lokasi.

Tempat yang sepertinya benar-benar terbebas dari banyak orang, entah kenapa tidak ada yang bertarung ke arah ini. Simon berada di depan warung sembako yang rolling door gulung atasnya sudah setengah terbuka. Terengah-engah karena memacu diri, Simon melangkah perlahan masuk ke dalam warung sembako itu. Karena badannya cukup tinggi, Simon harus merunduk cukup dalam untuk bisa melewati rolling door.

Di dalam suasana gelap, tapi ia bisa melihat seseorang duduk di tengah ruangan. Sang Pemuncak Gunung Menjulang tidak mengenali Ki yang ia amati dari sosok yang ada di dalam ruangan itu, tapi ia cukup terkejut melihat di dalam ruangan itu – tepatnya di sisi kiri dan kanan, sudah bergeletakan tubuh-tubuh tak bernyawa.

Pantas saja lokasi ini sepi, rupanya ada orang ini yang menjaga dan membabat siapapun yang datang. Tapi siapa dia?

Simon sih tidak peduli, fokusnya hanya satu, “Di mana Ara? Di mana dia? Apa yang kalian inginkan?”

“Heheheh,” Pria itu memegang sebuah tongkat besi yang panjang dan diketuk-ketukkan ke bawah. Tindakan yang membuat Simon semakin gusar, “berangasan, pemberani, nekat, dan tidak takut apapun. Sungguh pemuda yang berpotensi mengguncang dunia. Pantas saja kakakmu juga menakuti potensimu, Simon Sebastian.”

“Kakak… bajingan. ini semua ulahnya? Ini tidak ada hubungannya dengan Ara! Bebaskan dia! Akulah yang kalian cari kan? Apa yang kalian inginkan!? Akan kulakukan apapun yang kalian mau asal bebaskan dia!”

Dari balik kegelapan muncul suara tepuk tangan. “Hebat banget kamu. Baru kenal saja sudah berkorban seperti ini, sedangkan aku? Jadi ibu anakmu tapi tidak pernah kau pedulikan.”

Metta Kurniasih muncul di hadapan Simon.

“Cih. Kamu lagi,” Simon mendengus, “Jangan bilang kalau ide mencelakakan Ara adalah idemu. Dasar wanita iblis.”

Metta tertawa, “Aku yang disalahkan? Kan ini semua ulahmu. Punya anak tapi tidak pernah digubris, dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja seakan-akan cuma onggokan daging makanan anjing. Kamulah yang iblis, Simon. Iblis se-iblis-iblisnya. Tes DNA pun kamu tidak berani, malu, atau jijik mengakuiku sebagai ibu anakmu? Masih tidak mau mengakuinya?”

Simon menyeringai, “Sudahlah, tidak usah banyak basa-basi. Ulah busukmu ini tidak ada gunanya. Apapun maumu akan kuturuti asal kau bebaskan Ara. Jadi cepat saja, aku tidak ingin berlama-lama. Di belakang sana masih ada perang dan aku harus membantu perjuangan teman-temanku.”

“Hahahaha. Mana bisa begitu?”

Metta melangkah pelan lalu berdiri di belakang orang yang duduk di tengah ruangan. Ia memijat-mijat pundaknya seolah-olah orang di tengah ruangan itu adalah orang yang penting untuknya.

Saat itu Simon baru menyadari kalau orang itu ternyata menggunakan kacamata hitam, gelap-gelapan begini menggunakan kacamata hitam? Hmm… menggunakan tongkat, gelap-gelapan pakai kacamata hitam. Orang ini… tunanetra?

“Kamu mau gadis itu bebas?” tanya sang pria buta.

“Ya.”

Metta melemparkan sesuatu ke depan Simon, sesuatu yang berbunyi nyaring saat jatuh di hadapan sang Pemuncak Gunung Menjulang. Simon menatap benda itu, lalu menatap Metta dengan pandangan mata tak percaya, “Pisau?”

Sang pria buta mengangguk sementara Metta menatap Simon dengan senyum sinisnya. Pria buta itu mengetuk-ngetuk lantai dengan tongkatnya sembari mengelus-elus dagunya yang tak berjenggot, “Permintaan kami simpel saja untukmu… bunuh pemimpin-pemimpin Aliansi. Bawa kepala mereka padaku, maka kami akan melepaskan kekasihmu, dan kalian berdua dapat hidup sejahtera berdua selamanya sampai ajal tiba. Heheheh.”

“Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa mengkhianati…”

“Bisa saja. Kamu justru paling jago soal itu,” Metta mencibir, “Kamu mengkhianati cintaku, mendekati gadis lain, dan meninggalkan anakmu sendiri.”

“Aku tidak pernah mengakui anak yang…”

“Jangan khawatir!” sergah Metta mencegah Simon berbicara, “aku tidak akan menuntut apa-apa lagi darimu. Anak ini akan tumbuh tanpa ayah, aku tidak membutuhkanmu, bedebah. Balasannya sekarang kamu akan melihat kekasihmu menderita.”

“Melihat atau mendengar?” tanya sang pria buta sambil tersenyum aneh.

“Oh iya,” Metta tersenyum. ia mengeluarkan satu benda dari kantong celana jeans yang ia kenakan, ia memencet satu tombol dan tiba-tiba saja ada sebuah speaker yang menyala.

Apa yang kalian lakukan!? Jangaaaaan! Lepaskaaaan akuuu!! Lepaskaaaan!

“Kenal suara ini, Papa Simon?” Metta mengedipkan mata.

Simon menggemeretakkan giginya, pria yang biasanya tenang dan penuh perhitungan itu mulai gelisah mendengar suara Ara yang menjerit-jerit tak karuan. Wajahnya memerah karena emosi, tidak biasanya ini terjadi karena Simon dikenal tenang dan bijak dalam bertindak, tapi ternyata bisa juga dipicu oleh ketidakberdayaannya melindungi Ara.

“Lepaskan dia atau kalian akan menyesal telah membuatku marah.” Simon menundukkan kepala, jurus Pukulan Geledek sudah disulut di genggaman tangannya. Tubuhnya menyala karena Ki-nya meledak-ledak bagaikan listrik yang disiram air.

Tapi kegeraman Simon tidak membuat sang pria buta takut, ia malah bangkit dari duduknya dan melangkah menuju sang Pemuncak Gunung Menjulang.

“Kami tidak akan pernah mencelakaimu, Simon. Kami tidak pernah ingin kamu menderita. Karena kamu adalah aset yang berharga sekaligus penerus dari kejayaan Kelompok Bengawan. Jadi jangan takut dan jangan marah. Laksanakan saja tugas dari kami sebagai baktimu sebagai putra sejati dari penguasa Bengawan.”

Simon menengadah. “Ngalor ngidul. Apa maksudmu?”

“Ayahmu belum memberitahumu? Hahaha. Akan jadi sangat lucu kalau kamu baru pertama kali ini tahu. Tapi ya memang begini adanya, kondisinya terlampau kacau,” Sang pria buta tertawa dan geleng-geleng kepala, “Simon Sebastian, kamu bukan putra kandung ayahmu. Kamu dilahirkan dari rahim ibumu, tapi bukan dari benih ayahmu. Ayah kandungmu adalah orang yang berbeda. Ayahmu adalah sang Penguasa Bengawan.”

“Omong kosong!”

Sang pria buta tertawa terbahak-bahak. Simon yang emosi mulai kebingungan, apa yang dimaksud orang ini? Tapi dia paham betul, nasib Ara jauh lebih penting. Pemuda itu pun menggenjot diri, meloncat ke depan, dan mulai meledakkan Pukulan Geledek.

Metta pun berteriak kencang, “OM!!”

Sang pria buta melaju ke depan, bersamaan dengan Simon yang melontarkan hantamannya. Pria buta itu dengan mudahnya berkelit dari Pukulan Geledek yang melaju dengan kencang ke arahnya. Ia menunduk, bergeser ke samping, memutar badan, dan berkelit seolah-olah ada mata di punggung, di tangan, dan di tengkuknya. Tangan pria itu bergerak dengan sangat cepat – tongkat bajanya bergerak menyambar.

Jbbkgh! Jbbkgh! Jbbkgh! Jbbkgh!

Dua kali hantaman itu mengenai lutut Simon, dua kali mengenai lengan. Simon jelas tidak terduduk dengan mudah oleh pukulan itu meski cukup telak terkena. Pemuda itu mundur ke belakang dan mengatur napas. Tapi saat itu juga sang pria buta menyabetkan tongkat bajanya. Simon terkejut karena jangkauan sang pria buta menjadi lebih jauh.

“Hraaaaaaaaaarghhhh!”

Simon juga tak kalah garang, ia mencoba meraih tongkat baja sang pria buta, dan menguncinya. Berhasil! Pukulan Geledek meledak kembali! Hantaman Simon melesat begitu ia berhasil mengunci posisi tongkat baja.

Jbooooooooom!

Pukulan Simon berhasil mengenai sasaran meskipun berhasil ditahan dengan kedua tangan yang disilangkan. Sang pria buta bagaikan diterbangkan mundur dengan kekuatan hantaman sang Pemuncak Gunung Menjulang. Hempasan pukulan Simon memang dahsyat, tapi seharusnya jauh lebih dashyat lagi. itu artinya sang pria buta punya pertahanan yang cukup mumpuni.

Kaki pria buta itu berputar.

Kokoh memijak.

Badannya dengan halus terhenti di posisi semula, dekat dengan kursi, dekat dengan Metta. Pria buta itu kembali duduk dan bertepuk tangan. “Luar biasa, seperti yang sudah kuduga dari keturunan sang Penguasa Kelompok Bengawan. Kemampuanmu sudah luar biasa meskipun masih dapat dikembangkan lagi. Jika bergabung dengan Kelompok Bengawan, aku yakin kamu akan dapat menjadi lebih hebat lagi. Kamu bisa menjadi wakil kami di Negeri di Awan.”

Simon menggemeretakkan gigi, “Bodo amat. Aku tidak tahu yang kamu maksud dan aku tidak peduli. Saat ini hanya ada satu hal yang aku pedulikan. Bebaskan Ara sekarang juga!”

Simon melangkah maju dengan gagah. Pukulan Geledek kembali dipersiapkan.

Tapi alih-alih mengambil kuda-kuda, sang pria buta malah duduk kembali.

Metta memijat pundak sang pria buta yang kembali duduk di kursi di tengah ruangan. Pria itu sendiri kini menyilangkan kaki, ia menyorongkan tangan ke depan dan tiba-tiba saja tongkat bajanya kembali ke tangan.

Simon terhenti sejenak.

Pria buta itu duduk dengan santai sembari menggelengkan kepala, “Simon Sebastian, jangan salah paham. Sejatinya kami tidak mungkin dan tidak ingin mencelakaimu tapi kami harus melakukan cara ini karena kami tahu dengan cara normal kami tidak akan mendapatkan perhatianmu. Sesungguhnya kami ingin kamu sadar bahwa kamu adalah aset penting bagi kami. Kamu adalah harapan kembalinya kejayaan Kelompok Bengawan di negeri kita. Ada satu Ilmu kanuragan mumpuni yang butuh kehadiranmu, karena hanya keturunan sang Penguasa Bengawan yang mampu mendapatkannya.”

“Ngomong apa sih dari tadi bengawan bengiwin, opo ra jelas. Aku tidak peduli! Aku…”

“Simon Sebastian. Kamu adalah keturunan sah dari pimpinan Kelompok Bengawan, bagian dari Negeri di Awan. Putra bungsu dari pria berjuluk Ki Juru Martani.”

“Hah!?”





.::..::..::..::.





Mimpi apa para anggota QZK dan KRAd malam itu?

Setelah pertarungan sengit dengan JXG, pasukan koalisi QZK dan KRAd mengira mereka berada di atas angin. Bagaimana tidak? Jatuhnya para punggawa JXG membuat sang lawan hanya tinggal sehembusan napas. QZK dan KRAd sudah jelas akan melangkah keluar dari pertempuran besar ini sebagai pemenang. Lagipula bisa apa lagi JXG? Toh semua petingginya sudah kaput.

Secara fakta hanya tinggal Pak Zein yang didukung Dewi Uma yang masih bertahan. Empat Anak Panah JXG dan Shinsengumi X hancur lebur. Dengan begitu runtuhnya kejayaan JXG benar-benar di depan mata, QZK dan KRAd terlalu digdaya.

Itu yang diperkirakan akan terjadi, dan hal itu yang sepertinya menjadi kenyataan.

Tapi ternyata tidak demikian jalan ceritanya. Tidak semulus itu kemenangan lantas akan mereka raih. Tidak semudah itu mereka mendapatkan angin. Karena saat ini ada kekuatan dari utara yang mengubah semuanya.

Kekuatan yang datang secara tiba-tiba untuk menghancurkan harapan QZK dan KRAd.

Tiga orang pria yang tengah memasuki arena adalah penyebab perubahan yang pertama, merekalah yang kemudian menjadi pembeda. Tiga sosok pria gagah yang sama-sama mengerikan berjalan dengan tenang masuk ke gelanggang.

Rahu Kala sang Dewa Iblis dan Hageng sang T-Rex berjalan bersama di trotoar jalan yang berbeda. Rahu di tepi kiri, Hageng di sisi kanan, keduanya melangkah dengan yakin sembari menyebarkan Ki yang auranya memabukkan. Mereka berdua saja sebenarnya sudah sangat menakutkan, tapi sosok yang lebih mengerikan saat itu jelas bukan mereka.

Sosok yang mengerikan itu adalah seorang pemuda yang berjalan di belakang mereka, sosok yang justru tak menampakkan aura Ki. Pemuda yang berjalan dengan sangat tenang dan penuh percaya diri tanpa sekalipun melepas kewaspadaan, padahal tidak ada satu orang pun yang tahu seberapa besar kemampuannya, seberapa besar Ki yang ia miliki, atau apa saja jurus yang ia kuasai. Dulunya dia sering dipanggil dengan sebutan si Bengal, akhir-akhir ini dia baru saja mendapat julukan baru.

Dia adalah sang Raja Naga.

Namanya? Jalak Harnanto.

Pewaris terbaru dan mungkin terakhir dari ilmu kanuragan yang lama menghilang ditelan jaman, Nawalapatra 18 Serat Naga. Salah satu rangkaian jurus pilih tanding yang tak satu di antara seribu mampu menguasainya. Jurus yang didambakan banyak orang tapi hanya bisa dikuasai oleh orang yang benar-benar pilihan, baik dari segi darah maupun tingkat kemampuan.

Rahu Kala, Hageng, dan si Bengal.

Pertahanan utara QZK dan KRAd kocar-kacir karena ketiga orang ini.

Berkali-kali pasukan QZK mencoba menghadang mereka, tapi tak ada yang sanggup menahan laju kedatangan ketiga pendukung Aliansi. Ketiganya merangsek menembus pertahanan QZK dan KRAd bak mobil panser yang meskipun melaju pelan, tapi sanggup melindas apapun di depan.

“Pertahankan posisi kalian! Jangan mundur! Jangan lari! Mereka juga manusia biasa! Serang bersama-sama! Bunuh mereka!” teriak seorang punggawa QZK yang menjadi penghadang.

Saat itu, sang penghadang yang tiba-tiba saja hadir untuk memimpin pasukan pertahanan adalah Muge Monster, salah satu dari Empat Perisai QZK. Dia memilih menjadi penjaga utama, karena kalau bukan dia, lalu siapa lagi?

Tubuh besarnya bagaikan raksasa di antara pasukan QZK pimpinannya dan anggota KRAd yang juga ikut berjajar.

Muge Monster menghentak tanah.

Boooom!

Ubin teras warung soto tempatnya duduk langsung pecah membentuk lingkaran retak. Pria itu melangkah dan berdiri dengan jumawa di tengah jalan. Bersiap menghadapi Rahu Kala, Hageng, dan si Bengal sendirian.

Dengan berani sang punggawa QZK itu menunjuk ke arah ketiganya.

“CUKUP SAMPAI DI SITU SAJA!”

Suaranya kencang membuat daratan seakan ikut bergetar. Pasukan QZK dan KRAd berjajar di sisi sang punggawa yang juga dikenal sebagai salah satu Perisai QZK itu. Pria bertubuh besar itu mempersiapkan kemampuannya, Ia tidak akan mudah ditundukkan begitu saja tanpa perlawanan. Tidak selama hayat masih dikandung badan!

“Aku tidak peduli siapa kalian! Truk tronton, Rahu Kala, Raja Naga, hingga sampai ke raja negeri Majapahit sekalipun aku tidak peduli! Siapapun yang melangkah lebih jauh lagi… akan menghadapi amukan QZK!” Muge menggemeretakkan gigi dan menatap ketiga orang yang berjalan ke arah Museum sang Pangeran, “…dan aku tidak pernah main-main.”

Mendengarkan ucapan itu Hageng hanya mendengus, ia lalu menatap ke arah Rahu Kala. Rahu Kala mencibir sembari mengangkat pundaknya. Ia tidak peduli. Hageng mengangguk, ia juga sama sekali tidak peduli. Keduanya menatap pasukan penghadang, lalu kembali melangkah bersamaan.

Muge jelas terhina. Ia pun berteriak kencang, “PANAAAAAAAAH!”

Dari atas atap rumah-rumah yang berjajar kini bermunculan pasukan QZK dengan persenjataan panah terhunus. Mereka langsung mengincar kepala tiga orang yang tengah melangkah.

“Kalian pikir kami tidak siap? Kami sudah merencanakan semuanya dengan matang,” Muge Monster mendesis, “kami akan membunuh siapapun yang akan melewati tempat ini. Pikirkan semuanya masak-masak!”

Kembali Hageng mendengus kesal. Di seberangnya, Rahu Kala berdecak kecewa, “Cuma begini saja? Kupikir tadi kalian sudah bersiap lebih daripada ini. Untung saja aku berpindah haluan ke kelompok mereka.”

“Pengkhianat!!” Muge geram.

Rahu Kala dan Hageng sama-sama memasang kuda-kuda untuk bersiap. Mereka mengawasi setiap ujung panah yang siap meluncur. Hawa Ki yang mereka berdua keluarkan bahkan bisa menggetarkan tanah tempat mereka berada.

Nanto yang kemudian masuk di antara Hageng dan Rahu Kala hanya berdiri dengan tenang dan memasukkan tangan ke saku celana. Ia menunduk dan tersenyum, “Mereka hanya mengikuti perintah. Lumpuhkan tapi jangan bunuh satupun. Tunjukkan kalau kita lebih baik daripada mereka.”

Hageng dan Rahu Kala saling berpandangan, mereka lalu menatap Nanto dan mengangguk. Kedua pria gagah itu melangkah ke arah yang berlawanan. Hageng ke kanan, Rahu ke kiri, sementara Nanto terbang ke arah Muge Monster.

“BEDEBAAAAAAAHHH!!”

Muge Monster berteriak kencang dan menyerang Nanto. Pria bertubuh besar itu mengerang dan mengamuk. Ia berlari kencang, bak seekor badak yang menerjang pelanduk. Tapi meskipun tahu ia diserang, Nanto tak bergeming, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dan ia masih menundukkan kepalanya seakan-akan tak peduli ada yang sebentar lagi akan menerjang.

Di sisi kanan, Hageng meloncat ke atap melalui tumpukan bata yang dijajar ke atas di salah satu rumah. Ia bisa mencapai jarak yang tinggi hanya dalam beberapa kali lompatan.

Satu persatu anggota QZK pemegang panah menembak ke arahnya. Sang T-Rex kembali mendengus-dengus. Bagai banteng ketaton – seekor banteng yang terluka, dia merangsek ke depan. Meski pemuda itu bertubuh bongsor tapi ia tak mengalami kesulitan berarti untuk menghindar dari serangan panah yang diluncurkan oleh pasukannya Muge. Dengan sigap Hageng meloncat ke rangka atap untuk menghindari bagian yang rapuh.

Genteng demi genteng luruh ke tanah. Hageng terus melaju. Mengelak ke kanan, Hageng menemui seorang mangsa. Ia mengibaskan tangan.

Bledaaaaakgh!

Orang itu jatuh ke bawah tanpa ada perlawanan berarti. Ia jatuh ke tumpukan genteng yang ada di bawah. Serangan tak berhenti, panah-panah meluncur ke arah Hageng.

Cekatan, sang T-Rex mengelak ke kiri, posisi lawan lain langsung terekspos. Dua orang sekaligus berada di depannya. Hageng mengaum dan mencengkeram leher masing-masing lawan. Mereka yang bahkan tak tahu petarung seperti apa itu Hageng langsung menjadi korban. Hageng yang sekarang tidak hanya massive, tapi juga brutal, dan cepat. Leher mereka dicekik oleh sang T-Rex, masing-masing dengan satu tangan. Mereka meronta tapi tak berdaya. Hageng meloncat dari atap sembari membawa kedua lawannya ke bawah!

Bruaaaaaaaaaaaaaaaaaaakghhhh!

Bertiga, mereka jatuh ke tumpukan genteng yang sama. Kedua lawan Hageng langsung pingsan karena terhempas di tumpukan. Hageng berdiri dan meraung keras, bagaikan seekor beruang yang ganas, bagai T-Rex yang dengan brutal memangsa puas.

Bppkkgh! Bppkgh! Bppkkgh!

Hujan panah mendera. Tapi tak satupun dari panah itu dapat mengenai sang T-Rex. Ada semacam kubah pelindung yang membuat panah-panah itu patah sebelum sampai. Hageng menengok ke samping, Nanto ternyata tengah menghunjukkan telapak tangannya ke arah sang T-Rex, dialah yang telah melakukannya, melindungi Hageng dengan Kidung Sandhyakala, dengan kubah energi yang luar biasa kokoh.

Hageng kembali meloncat ke arah dinding pagar, lalu kembali naik ke atas atap dengan cekatan. Para pemanah ketakutan. Mereka lari tunggang langgang, ada yang lompat, ada yang berlari dan terjerembab, ada yang pasrah karena Hageng sudah terlalu dekat dengan mereka. Satu persatu pemanah dihajar oleh sang T-Rex yang tak lagi peduli. Beruntunglah mereka yang selamat.

Nanto masih menundukkan kepala dan memejamkan mata, tanda bahwa dia sebenarnya tak melihat apa yang terjadi.

“Hroaaaaaaaaaaaaaarghhh!”

Muge Monster berada tepat di depan si Bengal yang masih saja melindungi Hageng. Pukulannya melesat tepat ke arah kepala Nanto!

Hggkkkhhh!

Saat itulah ada lengan besar menyambar leher Muge, lalu dengan satu lontaran kencang melemparkan tubuh sang raksasa QZK itu ke belakang dengan mudahnya. Muge terbanting beberapa kali ke tanah sembari terguling-guling karena sambaran itu.

Ia menggelepar di tanah karena sakit di leher yang tertohok. Muge meloncat bangkit karena kesal, geram, malu, sekaligus gusar. Ia terbatuk-batuk karena tak sanggup bernapas dengan normal. Ia memegang lehernya, menatap nanar ke depan.

“Rhhhhww Kkkkl…” suaranya serak dan ia masih terus terbatuk-batuk.

Rahu berdiri di depan si Bengal.

“Pergilah, Raja Naga. Jalanmu sudah kubuka. Lawan sejatimu ada di Museum sang Pangeran. Aku yakin kamu pasti tahu tempatnya. Berhati-hatilah karena mereka sudah menunggumu,” ujar Rahu Kala dengan tegas, “Aku pasti bisa mengatasi semua kroco-kroco ini. Jangan khawatirkan juga dengan temanmu, aku yang akan menjaganya.”

“Aku percayakan semua kepadamu, Rahu,” ucap Nanto sembari mengangkat kepalanya.

“Siap laksanakan.”

“NANTOOOOOOO!!” teriak Hageng dari atas atap, “MAJU NYUUUUUUK! HANCURKAN MEREKAAA!!”

Pemuda bongsor itu tengah mengempit kepala seorang anggota pasukan QZK. Hantaman demi hantaman diluncurkan Hageng ke kepala sang prajurit yang makin lama makin tak berdaya. Ia lalu membalik kepala itu dan meloncat ke bawah sembari terbang membawa sang lawan. Tubuh yang sudah tak berdaya itu ambruk ke bawah, menimpa tumpukan genteng yang sudah tak karuan karena berulang-ulang digunakan sebagai landasan.

Bruaaaaaaaaaaaaakghhh!!

Seperti yang lain, orang itu pingsan. Hageng berdiri dan menepuk-nepuk celananya. Ia lalu mengangkat kepalan tangannya ke atas.

Nanto akhirnya menganggukkan kepalanya pada Hageng. Ia mengangkat jempolnya, dan dalam satu kedipan mata, si Bengal lenyap dari hadapan Hageng dan Rahu Kala.

Tak berapa lama kemudian, ada raungan suara binatang yang belum pernah terdengar sebelumnya di angkasa.

Kedua pria itu tersenyum.

The end is the beginning is the end.





BAGIAN 25 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 26


Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mohon kesediaannya untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan nonton bola. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya.
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd