Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Tanda2 suhu killertomato mau ksh the nich🤭🙏,ditunggu updatenya suhu bwt penikmat cerita jalak
 
Mohon teguran momod buat suhu killertomato, kalau update cerita ini mohon sadarkan beliau kalau ini forum bokep jadi mana cerita ss nya. Nitip salam buat Bu Asty
 
BAGIAN 26
SAYAP-SAYAP PATAH




“Kita jangan melarikan diri dari masalah yang selalu mengalir datang.
Masalah atau tantangan, harus kita jadikan sahabat dalam mengarungi
hidup yang penuh teka-teki ini.
Hidup tenang, damai, di mana tak ada masalah,
tak ada tantangan, tak ada apa-apa,
justru bukan hidup namanya
.”
- S.Tidjab





Ada banyak sekali upacara adat yang masih diadakan di kawasan Keraton, ada upacara siraman pusoko dan labuhan yang diadakan setiap tanggal-tanggal tertentu, ada upacara sekaten, grebeg atau gunungan yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat, ada upacara tumplak wajik yang dilakukan secara turun temurun dari raja ke raja.

Ada juga upacara-upacara tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap pemimpin keraton tanpa boleh menolak sesuai apa yang dulu pernah disyaratkan oleh Panembahan Prabu.

Salah satunya upacara semacam itu adalah tradisi tapa dalem yang merupakan niatan bertapa sang pemimpin dalam kondisi secluded di sebuah ruangan gelap ditemani lilin berjumlah ganjil dan segelas air putih untuk mendoakan dan mencari solusi terhadap ontran-ontran atau situasi yang tak menentu yang terjadi di kota. Melihat kondisi malam ini Ngarso Dalem pun memutuskan untuk masuk ke dalam ruang khusus di Bangsal Alit untuk melakukan tapa dalem sebagai laku prihatin dan mencoba menjernihkan pikiran agar mendapatkan solusi yang bijak.

Malam sudah teramat larut, tidak banyak abdi dalem yang berada di lingkungan keraton.

Satu-satunya orang yang masih tinggal untuk mengurus sesaji yang ditempatkan di saka guru Bangsal Alit adalah salah satu tetua dari barisan Abdi Dalem Utama Keraton yang berjuluk Raden Ramapati. Seorang pria sepuh berpakaian khas adat dengan blangkon tua yang selalu dikenakannya kemana-mana. Pria ini adalah penasehat utama Ngarso Dalem sekaligus orang paling penting di ajaran Abdi Dalem Utama.

Secara penampilan, ia terlihat lemah meski cukup sehat. Tubuhnya kurus dengan kulit sawo matang dan rambut yang mulai memutih. Semua rambutnya sudah memutih atau keperakan termasuk alis tebal berjuntai, jenggot panjang, dan kumis yang menghiasi paras keriputnya. Ia memang sudah cukup lama mengabdi, bahkan sejak masih kecil sebagai nayogo atau pemain gamelan.

Sang Ramapati berdoa di hadapan dua tampah tumpengan dengan segala macem ubo-rampe atau lauk pauk yang menyertai.

Suasana cukup senyap, hanya ada suara jangkrik di sana-sini sehingga sedikit apapun suara terdengar, hal itu menjadi sangat kentara.

“Selamat malam, Raden Ramapati. Hamba memberi hormat.”

Seorang wanita cantik hadir di belakang Ramapati. Ia mengenakan pakaian kebaya sederhana dengan jarik batik yang meskipun tidak selengkap seharusnya tapi cukup rapi dikenakan, di dalam keraton memang pria dan wanita harus mengenakan pakaian adat. Sembari menjura terhadap Ramapati, wanita muda berparas cantik dengan rambut digelung itu langsung menuturkan maksud kedatangannya. “Ada laporan dari adik kembar hamba yang terjun di gelanggang prahara, sekiranya Raden Ramapati sudi mendengar.”

“Laporannya apa?” dengan tenang Ramapati berucap, ia sama sekali tak berbalik. Masih tetap bersila dan memejamkan mata, dengan telapak tangan bertemu di depan dada.

“Pertempuran mulai mendekati babak akhir dengan keunggulan untuk sementara dimiliki oleh koalisi kelompok utara yaitu QZK dan KRAd. Sesuai petunjuk Ngarso Dalem – kami juga telah menunaikan tugas untuk mengantarkan pemuda yang diminta Ngarso Dalem ke gelanggang untuk menjadi sang pembeda.”

“Apakah benar dia menjadi pembeda? Adik kembarmu masih di sana? Amankah kamu sampai di sini?”

“Adik hamba masih berada di sana sebagai pengamat. Sementara saya meninggalkan pimpinan utara sejenak untuk memberikan laporan ke Raden Ramapati. Untuk saat ini masih belum terlihat kiprah lengkap dari sang pembeda ini. Kami akan memberikan laporan lanjutan jika memang sudah ada aksi yang terjadi nantinya.”

“Lalu apa lagi?”

“Laporan lain saya dapatkan dari telik sandi yang kita sematkan ke kota sebelah, pasukan Kelompok Bengawan yang didukung Negeri di Awan ditengarai sudah memasuki kota dari bermacam-macam arah. Salah satunya mendekati arena pertempuran. Gerakan mereka masuk ke kota ini seirama seakan-akan satu komando. Saya meyakini perintah seperti ini hanya mungkin dilakukan oleh seorang pimpinan besar seperti Ki Juru Martani.”

“Hrmph. Dia lagi dia lagi,” sang Ramapati mendengus sembari membuka mata. Kehadiran Ki Juru Martani ternyata masih nyata, pimpinan Kelompok Bengawan itu adalah ancaman yang cukup serius. Meski sudah membuka mata, tapi sang Ramapati masih belum menengok ke belakang, “Lanjutkan kiprahmu. Kembalilah ke sisi sang penguasa utara jika diperlukan. Aku yang akan menyampaikan padamu nanti apa keputusan dan tindakan Ngarso Dalem mengenai masuknya pasukan kota sebelah jika beliau telah selesai melakukan tapa dalem.”

“Sendiko dhawuh.”

“Ada berita apalagi?”

“Lebih ke pertanyaan, jika saya diijinkan untuk mengajukannya.”

“Apa pertanyaanmu?”

“Korban telah bertumbangan di gelanggang pertempuran, rakyat juga ketakutan dan mempertanyakan sikap pemerintah terhadap prahara yang tengah terjadi. Apakah tidak sebaiknya kita juga bergerak dan segera mengambil keputusan untuk…”

Raden Ramapati mengangkat satu tangannya dan saat itu juga sang gadis terdiam, “Cukup. Tidak perlu campur tangan untuk penentuan keputusan dari Keraton. Sejak kemarin keputusan dan sikap keraton telah diambil, kita tidak akan ikut campur urusan kelompok yang bertikai. Ngarso Dalem dan jajaran atas memiliki alasan atas keputusan ini. Kami sudah mempertimbangkan banyak hal dengan hasil akhir adalah mengijinkan pertemuan kedua kelompok terjadi dan membiarkan mereka menentukan sendiri hasil akhirnya.”

Sang perempuan cantik seperti tidak puas, “tapi banyak nyawa melayang malam ini, Raden. Bukankah ini tugas kita sebagai…”

“Kalau aku bilang cukup ya cukup, tidak perlu disela dan tidak perlu ditanyakan mengapa. Kamu diminta untuk menjalankan tugas, bukan mempertanyakannya,” Raden Ramapati melanjutkan, ia mendesah. “Wajar kalau kamu berpikiran seperti itu. Tapi percayalah, Ngarso Dalem itu bisa weruh sak durunge winarah. Jadi jangan dipertanyakan keputusannya.”

“Mohon maaf atas kelancangan hamba.”

“Pergilah. Lanjutkan tugasmu.”

“Sendiko dhawuh, sang Ramapati.”

Dengan dua tapak kaki ke belakang, gadis cantik itu melesat pergi meninggalkan sang Ramapati. Ringan tubuhnya ternyata cukup pilih tanding karena hanya sekejap kemudian, ia sudah tak lagi nampak.

Pria tua itu mengangguk-angguk saat mencoba mencerna satu persatu laporan dari sang gadis yang kini sudah tak lagi ada di belakangnya. Ramapati kembali bersikap sempurna dan mencoba tenggelam dalam doa di hadapan beberapa tampah sesaji yang terhampar di depan soko guru. Malam ini suasana Bangsal Alit sangat sepi dan singup, hanya ada suara jangkrik, kodok, dan beberapa derap kaki prajurit melakukan patroli malam yang terdengar.

Beberapa waktu lamanya Ramapati masuk ke dalam pusaran keterpusatan, ia tidak bisa lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Ia terlelap untuk sesaat. Rasa diri dan manusianya mengambil alih kesadaran.

Detik demi detik waktu pun berlalu, Ramapati tenggelam dalam ketidaksadaran sampai ada satu suara memanggilnya.

“Kamu masih di sini, Ramapati?”

Pria tua yang tengah duduk bersila di tengah pendopo itu pun terkesiap bangun karena sempat tenggelam dalam angan beberapa saat lamanya. Ia menatap ke depan untuk mencoba mengenali sosok yang hadir karena matanya buram. Ia cukup terkejut saat kemudian sadar siapa yang berdiri di depannya.

“Ngarso dalem?”

Pria tua bernama Ramapati itu mengejapkan mata tak percaya ketika melihat sang junjungan telah berada di pendopo. Bukankah itu artinya beliau sudah melepaskan tapa-nya? Kok sudah keluar secepat ini?

Pria tua itu melihat ke jam dinding yang terpajang di salah satu tiang penyangga atap pendopo. Waktu belum menunjukkan pagi. Benar kan? Ini artinya lebih awal dari jadwal waktu!? Tidak lumrah ini terjadi. Meski sang junjungan tidak terlihat tergesa tapi tetap saja ini di luar kebiasaan. Saat melakukan tapa kusuk, Kanjeng Sinuhun biasanya baru akan keluar setelah pintu diketuk oleh Gusti Kanjeng Ratu di esok pagi tepat saat subuh, saat matahari terbit, atau ketika jam pukul enam berdentang.

Yang jelas bukan di tengah malam seperti ini, bukan ketika tapa baru berjalan beberapa jam lamanya, dan bukan karena gangguan dari luar. Apa yang gerangan merubah kebiasaan itu?

Ramapati melirik ke arah pintu tempat tapa yang masih terbuka lebar. Kenapa sepertinya ada bau wangi bunga yang begitu menyengat dan…

Pria tua itu langsung terkesiap!

Ia melihat bayangan seorang wanita melesat keluar dari dalam ruang yang terbuka di belakang Kanjeng Sinuhun. Yang membuatnya kaget adalah bayangan wanita itu jelas bukan perwujudan manusia biasa, tubuhnya mengambang dan terbang, bukan berjalan menapak tanah. Wanita itu terlihat seperti penghuni keraton yang bersandang lengkap dengan aksesoris mahkota emas menghias rambut panjang indahnya yang tergerai. Busananya serba hijau dengan selendang yang menggelora bagai tertiup angin saat sosok itu berlalu. Wajahnya walau sekilas terlihat begitu cantik mempesona namun membuat bulu kuduk merinding, ia tersenyum pada Ramapati meski hanya sekedip saja kemudian menghilang entah kemana.

Ramapati yang tengah bersila langsung terlompat mundur saat melihat sosok itu.

“I-itu…”

“Paman Ramapati.”

Cahaya lampu yang terang menyinari sosok sang pimpinan yang berjalan ke depan bagaikan siluet keemasan, menghapuskan bayangan wanita yang baru saja hadir dari benak Ramapati. Senyum sang pimpinan yang lembut terlambang pada wajahnya yang menatap Ramapati dengan ketenangan yang tak tergambarkan. Pemimpin yang amat dihormati itu mengayunkan tangan dan sang tetua pun mendatanginya, melupakan sejenak kehadiran sosok astral gaib yang membuatnya takjub sekaligus ketakutan.

“Si-sinuhun. Hormat saya pada Paduka. Saya terkejut karena tidak seperti biasanya Paduka keluar lebih awal saat tapa dalem.”

“Paman Ramapati. Kebetulan sekali engkau masih di sini. Ada sesuatu yang hendak aku sampaikan dan perintahkan kepadamu.”

“Sembah sendiko. Apa yang Paduka perintahkan, hamba akan laksanakan.”

“Kumpulkan seluruh dharmaputra, saptaprabhu, dan abdi dalem utama. Ada yang harus segera dirapatkan dengan mereka saat ini juga. Kita akan segera menghadapi kisruh yang teramat besar yang harus ditangani sedini mungkin. Ini masalah hidup dan mati banyak orang.”

Sekali lagi ini adalah sebuah permintaan yang aneh dan unik, malam-malam begini Ramapati diminta untuk mengumpulkan para pejabat keraton dan abdi dalem utama? Tentu saja hal tersebut di luar kebiasaaan sang junjungan. Tentunya Ngarso Dalem menyaksikan sesuatu yang mengerikan dalam pertapaannya sehingga keluar untuk menemui Ramapati hanya beberapa jam setelah masuk ke dalam ruangan.

“Sembah sendiko. Tapi… ada apakah gerangan sampai kita harus mengumpulkan seluruh abdi dalem? Kekacauan apakah yang Paduka saksikan dalam pertapaan? Kengerian apakah yang terjadi?”

“Yang pasti akan ada peristiwa besar. Pastikan mereka yang aku panggil untuk bersiap karena apa yang terjadi akan menggemparkan kota kita dan wilayah di sekitarnya. Kita tidak mungkin menolaknya karena saat ini telah berlangsung apa yang ditakutkan dan kita tidak akan mampu menahannya. Tapi kita bisa bersiap, kita harus membantu rakyat,” ucap sang raja dengan kalimat perlahan, “nanti saja kuceritakan berbarengan dengan yang lain supaya tidak mengulang-ulang pemahaman.”

Sang pimpinan itu pun menyilangkan tangan di belakang sembari menatap ke arah jauh yang gelap dan mendung. Hanya ada guntur bersahut-sahutan di langit malam dan hujan yang seakan tidak kunjung reda.

“Banyak sekali yang terjadi hanya dalam semalam. Malam yang sudah kacau ini pun akan segera bertambah gempar. Laksanakan perintahku, Ramapati. Kita tidak punya banyak waktu.”

“Sendiko!”





.::..::..::..::.





Bian berdiri dengan mengangkat kedua tangannya di depan wajah, pose seorang boxer yang amat dihapalnya. Sekali lagi ia harus berhadapan dengan Agus Lodang, sang punggawa dari QZK. Seorang yang digdaya, yang seperti ini tak mudah dikalahkan apalagi hanya dengan bekal permen ment0s. Tapi demi permen ment0s itu, Bian bersedia melakukan apapun.

Selain anggota Perisai QZK itu ada pula Handoko Hamdani yang sepertinya sudah hilang ingatan. Pria itu jadi linglung, tak tahu siapa dia, tak tahu siapa lawan, tak tahu siapa kawan, tapi tetap saja menakutkan.

Bian mendengus melihat lawan-lawannya.

Ia melirik ke arah Hanzo dan Kage yang ada di sebelahnya, “Salah satu dari kalian sebaiknya membawa Naoko dan Usagi pergi dari sini. Mereka sudah sangat kepayahan dan hampir kehabisan darah, mereka juga tidak akan mungkin bisa bertahan melawan si Linglung dan Agus Lodang. Aku yang akan menghadapi mereka.”

Hanzo mengerutkan kening, tapi Ia paham. Orang yang baru datang ini pasti ingin melindungi Naoko dan Usagi. Kage juga setuju kalau kedua kawannya dari Shinsengumi X harus diselamatkan, tapi dia tak bisa membiarkan Handoko Hamdani kembali menggila, orang itu harus dilumpuhkan saat ini juga sebelum menimbulkan kekacauan lain karena itu adalah titah terakhir dari sang guru, Ki Kadar.

“Grmbl. Setan alas. Kenapa aku juga jadi harus repot,” seseorang bangkit dari selokan. Tubuhnya berdarah-darah dan kotor karena air comberan, untung saja air hujan yang masih terus turun membantu membasuh kotoran dari tubuhnya. Pasat yang baru saja berdiri langsung terkejut melihat dirinya berada di antara pelindung Naoko dan Usagi.

Keempat pemuda saling berpandangan satu sama lain - Pasat, Bian, Hanzo, dan Kage.

“Baiklah lawan kita dua, yang harus diselamatkan juga ada dua, aku akan memastikan Naoko dan Usagi sampai di tempat yang aman, aku tidak akan menyerah sampai mereka berdua benar-benar selamat. Kage, kuserahkan Handoko Hamdani kepadamu,” ujar Hanzo yang langsung dibalas dengan anggukan kepala sang anggota SSX. Ia lantas menunjuk ke arah Pasat, “kamu akan membantuku menyelamatkan Usagi keluar dari neraka ini, sementara aku membawa menolong Naoko. Bagaimana?”

Pasat menatap Bian, “baiklah. Kita bagi dua – dua.”

“Aku juga tidak masalah,” ucap Bian sambil melirik ke arah Naoko yang menatapnya khawatir, “asalkan Naoko selamat aku tidak akan protes pada kondisi apapun.”

Naoko menghampiri Bian dan mengelus pipinya, gadis itu meneteskan air mata, tangannya bergetar saat menyentuh pipi sang pemuda, “Aku tidak peduli apapun pokoknya kamu harus selamat. Aku tidak peduli bagaimanapun hasil akhir perang ini – hanya satu yang aku pedulikan, pokoknya kamu harus selamat.”

“Naoko…”

“Janji? Aku lebih baik mati berjuang di sampingmu sekarang daripada harus hidup menderita tanpa kehadiranmu di dunia ini.”

Bian juga ikut gemetar, tangannya menggenggam tangan Naoko yang masih berada di pipinya. Ia mendorong kening Naoko dengan keningnya sendiri, Bian berbisik lirih, “Tapi aku tak bisa berjanji… aku tidak tahu apakah aku mampu…”

“JANJI DULU! AKU TIDAK MAU PERGI KALAU KAMU TIDAK BERJANJI!” Naoko hampir berteriak kencang, “Pokoknya kamu harus hidup. Itu saja permintaanku! Lari kalau kamu tidak bisa bertahan. Kamu harus hidup, tahu!? Aku hanya pengen kamu hidup. Kakak-kakakku sudah mati, semua sudah mati… kamu harus hidup! Hanya kamu… hanya kamu saja… hanya kamu harapanku…”

Bian menggeleng, “Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa…”

“Tanyakan pertanyaan itu. Sekarang. Aku tahu kamu ingin menanyakannya. Aku tahu sekali.”

“Pertanyaan ap-… oh?” Bian meneguk ludah dan gelagapan, “Se-Sekarang? Di tengah perang begini? Ya kali! Waktunya jelas tidak tepat, Naoko. Aku tidak bisa…”

“Tanyakan saja! Cepat! Kita tidak punya banyak waktu!”

“Naoko… menurutku…”

“TANYAKAN!”

Bian menghela napas, ia mengalah pada gadis yang kondisinya parah itu, “Naoko… maukah kamu jadi pacarku?”

Banjir air mata Naoko semakin deras, “Berjanjilah… tetap hidup dan temui aku di Pantai Selatan tempat kita pertama kali bertemu. Aku akan menunggumu di sana setiap hari. Setiap hari sampai kamu datang. Aku akan menjawab pertanyaanmu itu kelak kalau kamu datang, tapi berjanjilah untuk tetap hidup dan datang padaku.”

Bian berkaca-kaca, “baiklah. Aku berjanji…”

Hanzo menepuk pundak Naoko, “kita harus pergi.”

Naoko melepaskan diri dari Bian, matanya menatap tajam sang pemuda, “Kamu sudah berjanji. Harus ditepati. Aku akan menunggumu.”

Bian mengangguk. Tangan keduanya masih terus terkait sampai kemudian benar-benar lepas dengan lembut ketika jarak mulai memisahkan.

Pasat membopong Usagi, sementara Hanzo menolong Naoko. Keempat orang itu melesat pergi meninggalkan arena, ke arah pos penjagaan utara yang kini sudah terbuka karena diobrak-abrik oleh Hageng, Rahu Kala, dan Nanto. Meninggalkan Bian dan Kage berdua melawan gabungan kekuatan Handoko Hamdani, Agus Lodang, dan pasukannya.

Agus Lodang bertepuk tangan, ia menatap Bian dengan pandangan tajam, “Jangan bilang aku tidak baik hati. Aku telah mengijinkan kekasihmu dan kawan-kawannya pergi dengan selamat, bangsat kecil. Tapi sengaja kulakukan itu karena hari ini adalah hari terakhir kamu bisa melihatnya. JXG sudah habis, mereka bisa dengan mudah kami lacak. Kamu… kamu adalah ikan besar yang ingin aku pancing. Kamu dan si ninja laknat satu itu.”

Bian terkekeh, “Membiarkan mereka pergi? Ah yang bener. Kamu sebenarnya hanya sedang memindai kekuatan kami – bukan membiarkan mereka pergi. Gang ini terlalu sempit untuk bisa bertarung dengan mengandalkan jumlah, jadi kamu sedang mengatur strategi,” Bian membentangkan tangan untuk menunjukkan kondisi lokasi tempat mereka saling berhadapan. Sebuah gang yang lebarnya hanya cukup dilalui untuk dua sepeda motor saja. Mobil tidak akan bisa masuk ke gang tempat mereka berada tanpa terperosok ke dalam selokan di kiri kanan, “Kamu ingin menghentikan momentum, mengatur arus serangan, melihat posisi penempatan landasan, dan lokasi-lokasinya. Jangan bohong lah, karena aku juga baru saja melakukan hal yang sama.”

Agus menyeringai, “Kamu kenapa mencari mati? Kami hendak menghancurkan JXG, bukan kelompokmu. Kenapa malah datang? Gara-gara cewek Jepang tadi? Kalau cuma gara-gara seorang wanita itu artinya masih belum dewasa. Kuberi satu wejangan gratis. Wanita itu datang dan pergi seenak wudel, buat apa dipertahankan? Cari saja yang lain kalau yang ini mati. Tidak masalah kan? Itulah enaknya jadi laki-laki. Kalau dia mati kenapa memangnya? Apa ya kamu tidak bisa ngaceng kalau tidak sama yang ini? Itu bodoh namanya. Pengen banget ngerasain meki Jepang? Yang bau gudeg lebih legit.”

Bian mencibir, “Yang ini berbeda.” Pemuda itu mengeluarkan sebungkus ment0s dari dalam kantong celananya, lalu memakan satu butir. Ia menawarkannya pada Kage yang menggelengkan kepala. Perhatian Bian kembali pada Agus Lodang, “Aku tidak akan menjustifikasi dan tidak perlu menjelaskan apa-apa padamu, wahai tukang las. Jadi sudahlah, percakapan ini terlalu banyak basa basi ra genah, ra penting, ra mutu, dan ga ada juntrungannya. Ayolah maju saja. Aku dan si Suneo bertopeng ninja satu ini akan melawanmu. Kalau jantan maju sendiri, kalau pengecut – korbankan pasukanmu yang tidak bersalah.”

Agus Lodang menyeringai dengan dingin untuk sesaat, “Tidak bersalah? Mereka punya satu kesalahan, mereka percaya kepadaku tanpa pamrih. Kami adalah QZK, kami sudah menjalankan sumpah setia. Kamu di sisi lain, tidak punya siapa-siapa. Sudah waktunya kamu sadari itu.”

Pria itu lantas mengayunkan tangan dan dua baris pasukannya menerjang ke depan ke arah di mana Kage dan Bian berada.

Gang sempit yang tadinya sepi itu segera menjadi arena yang jauh lebih hiruk pikuk. Kage di kiri, Bian di kanan.

Kondisi gang yang sempit membuat keduanya tahu kondisi tidak memungkinkan untuk bertarung melawan banyak orang secara bersamaan, hal itu merugikan sekaligus juga menguntungkan karena akan memungkinkan mereka bergerak lebih cepat dan fokus pada satu demi satu lawan yang datang dan tidak main keroyokan.

“Shazaaaaaaaaaam!!” Bian berteriak dan ia melaju, bersamanya Kage juga melesat ke depan.

Di depan Bian ada empat orang yang berdiri berdesak-desakan. Masing-masing membawa senjata, ada pisau, ada parang, ada palu. Satu persatu mereka pun maju. Yang terdepan adalah si parang, Bian tahu target pertamanya adalah melenyapkan senjata si bajingan.

“Modyaaaaaaaaar!” teriak si parang. Ia menyabetkan senjatanya.

Bian tidak mengelak dan membiarkan ayunan itu jatuh ke arahnya, tapi tepat sebelum masuk ke area pertahanannya, Bian menangkis tangan kanan sang lawan yang mengayunkan parang sekaligus menguncinya. Dengan kecepatan tinggi Bian menyodokkan siku tangan ke bagian bawah lengan si parang berkali-kali.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Enam serangan beruntun dilakukan, sang lawan tersengal-sengal kesakitan. Parangnya jatuh. Kaki Bian menyepak parang itu ke belakang. Dengan cepat satu serangan ala backhand dilakukan untuk menyempurnakan gempuran. Kepalan tangan Bian menghajar kepala sang lawan hingga tubuhnya berputar dan terlempar ke samping, jatuh ke dalam selokan.

Selesai satu lawan, datang yang kedua yang juga membawa parang. Kali ini Bian bergerak lebih cepat. Ia maju untuk mematikan momentum sang lawan. Langkah kaki awkward yang dilakukan sukses membuat lawan menjadi kagok. Dengan cekatan Bian memutar tangan si parang kedua, menjatuhkan parangnya, berputar badan lagi, dan menghajar kepala bagian belakang sang lawan dengan siku tangannya.

Jbkkkkkkkghhh!

Lawan kedua Bian terjerembab.

Lawan ketiga dan keempat datang hampir bersamaan. Bian memilih lawan yang kanan yang membawa pisau. Ia kembali menahan serangan lawan dengan tangan kirinya sebelum si pisau sempat menusuk. Bian lantas mengunci pergelangan tangan si pisau dengan mengangkat tangan itu ke atas. Kali ini Bian menyerang secara frontal. Ia menghantam dada si pisau berulang dengan hantaman super yang membuat dada sang lawan tersengal-sengal.

Saat itulah lawan berikutnya datang, tak menunggu lawan dari sisi kiri, Bian melontarkan tendangan dengan kecepatan tinggi sebelum lawan yang membawa palu sempat menyerang. Tangan pembawa palu disentakkan ke dalam sehingga mengenai tubuh sang lawan sendiri.

Bkghhh!

Begitu sang lawan kaget dan mundur karena kesakitan, tendangan beruntun Bian melesat.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Kepala, dagu, dahi, dada, perut, dan pinggul sang pembawa palu tersambar tendangan Bian. Lawan itupun jatuh ke jalanan.

Bian kembali ke pembawa pisau, ia menyodokkan sisi tangannya ke leher sang lawan.

Bkghhh!

“Hgkkkkkhgg!”

Lawan itu juga terjerembab jatuh dengan sangat kesakitan sembari memegang lehernya.

Baik Bian maupun Kage lantas merangsek ke depan dan menjatuhkan lawan demi lawan. Kage dengan kecepatan geraknya yang lincah memiliki dasar ilmu bela diri yang kuat dan kokoh, ia bahkan tak memerlukan Ki untuk menjatuhkan lawan demi lawan. Kemampuannya mengelak dari serangan sudah sangat mumpuni, ditambah dengan gerakan kaki dan tangan yang cepat dan kuat. Lawan tak akan tahu apa yang menyambar dan melumpuhkannya karena kecepatan gerakan Kage.

Satu orang merangsek ke depan, tujuannya adalah sang Ninja.

Pukulan lawan melesat, Kage dengan sigap menundukkan badan, mengait kaki, dan ketika lawan jatuh, ia melontarkan tendangan keras yang mampu melemparkan tubuh sang lawan mundur dan langsung mengenai tiga lawan di belakangnya. Mereka berempat ambruk bersamaan. Kage meloncat tinggi, ia turun dengan cepat dan menghentak dada dua di antaranya, lalu meloncat lagi, dan menghentak lagi ke arah dada dua lawan yang lain.

Keempatnya langsung mengerang tak berdaya.

Kage yang sudah melumpuhkan empat lawan tentunya tidak berhenti, ia melompat tinggi dan naik ke pagar sebuah rumah. kakinya hanya menapak pada satu garis tembok yang tak sampai dua puluh lima sentimeter lebarnya. Dengan cekatan ia berlari ke depan. Lawan-lawan berlompatan ke atas, ada yang mencoba menjatuhkan Kage dari depan, dari samping, juga dari bawah. Tapi tak ada satupun yang berhasil. Mereka semua disambar oleh serangan sang Ninja. Begitupula di bawah, Bian dengan perkasa menghajar satu persatu lawan yang datang kepadanya. Tubuh demi tubuh bergelimpangan, tak ada yang sampai mati, tapi tubuh pasukan Agus Lodang benar-benar sudah tak mampu diangkat lagi, rasa sakitnya berlipat ganda, seperti diterjang dua ekor kuda.

“Bodoh semua! Masa harus aku yang turun tangan!?” Agus menghentakkan kaki ke bawah, “menyingkir semuanya!!”

Pasukan QZK pimpinan Agus segera beralih ke pinggir gang dan memberikan jalan di tengah supaya sang jendral bisa melaju ke arah Bian. Pada saat bersamaan, Handoko Hamdani melirik ke arah Kage dan meloncat ke atas pagar. Ia berlari ke depan sembari mendorong pasukan QZK yang menghalangi, bahkan sampai mereka terjatuh. Ia tidak peduli siapa kawan siapa lawan. Di atas pagar yang lurus membentang sepanjang gang, Handoko Hamdani akhirnya berhadapan langsung dengan Kage. Sementara di bawah, Agus Lodang kembali berhadapan dengan Bian.

Kage dan Handoko tidak banyak bercakap dan mengucapkan basa-basi karena keduanya memang tidak bisa melakukannya. Percakapan dilakukan dengan menggelar kuda-kuda ilmu bela diri yang dikuasai, Kage melenturkan tubuhnya dan menekuk tubuh ke bawah, sementara Handoko ternyata juga melakukan hal yang sama. Ilmu bela diri dan ilmu kanuragan keduanya sama-sama berasal dari Ki Kadar, bagaimana perbedaan di antara keduanya?

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!


Kage dan Handoko sama-sama maju ke depan, keduanya langsung bertukar pukulan. Hantaman dan tendangan dilontarkan, tapi sama-sama tidak ada yang masuk. Keduanya mampu menangkis serangan seakan-akan sadar gerakan apa yang akan dilontarkan oleh sang lawan selanjutnya.

Kage meloncat ke belakang dengan memanfaatkan sempitnya pagar. Dengan satu tangan ia melakukan putaran, lalu menggoyang badan dan memutar tendangan bawah. Handoko mundur beberapa langkah ke belakang tiap kali sepakan Kage dilontarkan. Ia mencoba menginjak kaki Kage tapi tak bisa mengenainya sekalipun, karena kaki Kage ditarik secepat dilontarkan.

Handoko mundur dan berteriak kencang karena kesal. Ia bersiap, menghembuskan napas, dan mulai menendang dengan serangan beruntun ke bawah.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Setiap tendangannya menghajar pagar hingga terkikis. Dengan begitu, opsi penempatan kaki menjadi terbatas. Handoko Hamdani memang kehilangan kesadaran sebagai seorang Handoko, tapi dia tetap cerdas dalam bertarung dan tak ada ampun. Kage juga tahu hal itu, dia harus turun ke bawah pagar atau meladeni pertarungan jarak dekat dengan Handoko.

Kage menanti momentum. Handoko sekali lagi menendang ke bawah untuk merontokkan pagar.

Momentum yang dicari datang.

Saat tendangan sekali lagi dilontarkan oleh Handoko, saat itulah dia lengah. Kage yang posisinya tengah merunduk langsung meloncat ke depan, ke arah Handoko. Menubruknya dengan gerakan spear ala pegulat. Handoko tersentak ke belakang. Mereka berdua pun jatuh ke samping kiri, ke arah sebuah halaman kosong yang ada di samping pagar, keduanya terguling-guling ke bawah, terkena beton, terkena tanah, terkena akar, sampah, dan lain-ain.

Mereka berdua jatuh lebih dalam lagi ke sambungan selokan berukuran lebar.

Baik Kage dan Handoko sama-sama lenyap ditelan air.

Kembali ke gang sempit, Bian berhadapan dengan Agus Lodang.

“Halo, Om Agus. Sehat? Wajahnya kok agak pucat? Hehehe. Masuk angin ya? Sering-sering minum wedang jahe, sekoteng atau secang, Om. Lumayan buat hangat-hangat badan kalau sedang kurang sehat. Menambah imun tubuh,” ucap Bian tanpa rasa takut.

Sang jendral QZK menatap Bian dengan tatapan tajam, “Kamu lagi kamu lagi. Mana topengmu, berandal kecil? Dulu sudah pernah kubilang bukan? Ada kalanya seseorang harus tahu kapan saatnya bicara dan kapan terlalu banyak bicara. Sejak awal kamu sudah tahu ini bukan masalahmu, bukan masalah kelompok Aliansi. Ini masalah JXG melawan QZK. Tapi kalian dengan konyolnya malah menerjunkan diri ke sini, ke tengah perang. Semua hal ada konsekuensinya. Kamu akan merasakannya. Sangat merasakannya.”

“Kalo dipikir-pikir iya juga sih, pimpinan kami agak ada masalah dengan persepsi,” ujar Bian sembari bercanda, “menurutnya kalian kelompok apa namanya tadi… Qozek sama Kratingdong? Ya itulah ya. Apapun nama kalian aku tidak peduli. Pokoknya menurut pimpinan kami, kalian adalah gerombolan berandal kurang piknik yang kerjaannya cuma rebutan wilayah yang bahkan bukan milik kalian, apa-apaan. Bodohnya kalian.”

“Bodoh? Coba apakah ini juga bodoh,” Agus Lodang dengan santai memompa tangan dan dari kedua telapaknya terbaca aura Ki panas yang menyala-nyala bagaikan api. Ia mengedipkan mata ke arah Bian dan mendorong tangannya ke depan, “Gaduh Banaspati.”

“Wedhus! Kok sekarang keluarin itunyaaaaa!! Harusnya agak nanti laaaaah!” kutuk Bian.

Booooom! Booooooooooom!

“Wedhus. Wedhus. Wedhus.”

Bian terpaksa melompat dua kali ke belakang dengan salto yang dipaksakan karena hebatnya serangan sang lawan. Jalan kecil gang yang disusun dengan concrete block langsung hancur di beberapa bagian karena serangan tenaga dalam sang jendral QZK. Tentu saja Agus Lodang tidak berhenti begitu saja, ia terus melanjutkan serangannya.

Booooom! Booooooooooom!

“Wedhus. Wedhus. Wedhus,” Bian mundur karena serangan Agus Lodang yang tiada henti, “Bang udah bang! Duhaduh. Wedhus. Wedhus. Wedhus.”

Booooom! Booooooooooom! Booooom! Booooooooooom! Booooom! Booooooooooom!

Kondisi gang semakin kacau, tembok-tembok runtuh berserakan, beton selokan hancur, semua hal yang tadinya ada di depan Bian sekarang lenyap tak berbekas. Pilihannya cuma satu, hanya satu saja. Dia harus bisa menyelamatkan diri atau gosong jadi ayam panggang. Kekuatan Agus Lodang memang gila, dia sanggup menguasai arah gerakan, serangan, dan tembakan bola api energi yang dia produksi dengan tenaga Ki-nya. Kemampuan itu membuat Bian tak bisa berlari dengan leluasa karena ibarat setan banaspati, bola-bola api dari Agus Lodang sanggup mengejar.

Dua bola api energi muncul dari telapak tangan Agus Lodang, lalu dua lagi, dan dua lagi. Enam bola api sekaligus bertebaran di angkasa. Ia mengibarkan keenamnya secara bersamaan, mencoba mengincar Bian.

“Ancene kampret sampeyan. Ya sudah. Harus dikeluarkan sekarang,” Bian tahu apa yang harus dia lakukan untuk bisa menyeimbangi gertakan sang lawan yang tidak main-main. Bibir si Bandel pun bergerak secara reflek, komat-kamit membisikkan rapalan sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata magisnya, “Hikayat Pemuja Langit.”

Pemuda bandel itu memejamkan mata, menyilangkan tangan di depan wajah, lalu menggerakkan telapak tangannya dengan kecepatan tinggi mengikuti langkah-langkah yang sudah dia pelajari sebelumnya. Kali ini gerakan Bian seperti menarik sesuatu dari angkasa dan membantingnya ke tanah. Sebagai ilmu kanuragan, Hikayat Pemuja Langit mempunyai beberapa bukaan yang disebut rekatan, tiap rekatan berfungsi seperti gerbang di Kidung Sandhyakala, dan setiap rekatan memiliki cara buka masing-masing.

Usai melakukan ritual, Bian merasakan aliran Ki mulai mengalir ke seluruh sendi-sendi dalam tubuhnya. Rasanya bukan main. Setiap sendinya bagaikan ditusuk-tusuk jarum dan dialiri oleh listrik ribuan watt yang menyengat beberapa detik sekali. Sakit, nylekit, tapi juga menyuntiknya dengan energi berkelebihan. Dengan cepat tenaga dalam dahsyat membanjiri setiap sendi dan nadinya. Si Bandel membuka mata dan berbisik perlahan, “Rekatan kedua, Pemuja Ki Lawang Bledheg.”

Brakaaaaaaaaabooooooooom!

Ada cahaya kilat yang tiba-tiba saja menyambar Bian. Dia lantas berlari, meloncat ke tembok sebelah kanan, menggunakannya sebagai tumpuan, lalu melompat ke tembok kiri, ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri. Setelah cukup tinggi Bian menangkap dua bola api yang tak sempat digerakkan oleh Agus Lodang, dan melontarkannya ke arah sang punggawa QZK.

Boooom! Booooom!

Agus Lodang mengernyit marah saat menghindar dengan mundur ke belakang dua kali, bisa-bisanya Bian memanfaatkan energi yang sudah ia keluarkan dengan untuk melawannya sendiri! Bocah setan alas! Tangan Agus bergerak menangkup, dua bola api di kanan dan kiri Bian yang kini sudah turun ke bawah langsung menghunjam ke arah si Bandel.

Agus Lodang terus menerus mengayunkan kedua tangannya secara bersamaan, dua bola api energi itu dihentakkan ke depan, lalu ke belakang, lalu ke depan lagi, seakan-akan bermain-main. Bagaikan lidah api yang membakar dari dua corong tak kasat mata, menyerang dari dua arah yang berbeda, dan menerjang ke depan secara bergantian. Serangan ganda dengan kecepatan tinggi, siap membakar sampai hangus sang lawan.

Kedua tangan Agus Lodang beraksi mengendalikan kedua bola api energi dengan gerakan yang tak tentu agar tak tertebak oleh Bian. Gerak kedua bola api energi itu tidak lurus ke depan, melainkan zigzag sesuai keinginannya. Tak ada kesempatan bagi Bian untuk menghentikan bola api itu sekarang. Kemanapun dia melangkah, kedua bola api energi mengikuti.

Swsssshhh!! Swsssshhh!!

Tapi bukannya takut, Bian malah terkekeh. Dia pun mengucapkan beberapa patah kata, “Gandrik! Kulo niki putune Ki Lawang Bledheg!”

Bian melesat bagaikan sinar yang pendar, Agus Lodang bahkan tidak mampu mengikuti pergerakan Bian yang sekonyong-konyong menghilang dari pandangan! Ketika dia sadar, Agus terkejut! Bian dengan mudahnya sudah menangkap dua bola api yang sejak tadi dikendalikannya, turun ke bawah, lalu menelan kedua bola api itu bagaikan makan dimsum!

“Agak pedes rasanya. Kebanyakan merica,” ujar si Bandel Bian sembari cengengesan.

Agus Lodang melotot sesaat lalu berlari ke depan sembari membentuk satu tombak imaginer yang muncul secara tiba-tiba di tangan kanannya! “Tombak Gunung Geni!”

Bian melihatnya. Ia memutar kaki, meluruskan badan, dan mencoba bertahan. Dia tahu dengan jarak dan ruang gerak yang sempit, dia tidak akan bisa menghindar. Serangan ini jelas harus ia terima. Apalagi dia tidak akan sempat merapal rekatan Hikayat Pemuja Langit berikutnya, karena Agus sudah ada di depan mata!

“Modyaaaaaaaaaaaaaar!”

Agus Lodang melemparkan tombak itu ke depan sembari masih tetap memegang ujungnya. Serangan itu jelas tak bisa dihindari oleh si Bandel. Dia pun menyilangkan tangan di depan dada, mencoba bertahan sebisa mungkin.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Tombak energi Agus Lodang menghantam pertahanan seadanya dari Bian yang tak kuasa menahan dan terlempar ke belakang dengan sengatan maha dahsyat. Ia terpental ke tembok dan terjerembab ke depan, tubuh Bian pun tersungkur.

Agus Lodang masih belum berhenti. Ia mengayunkan tangannya ke bawah, dua bola api yang masih ada di atas pun menghunjam ke bawah dengan kecepatan tinggi!

Booooooooom! Booooooooooooooom!

Tepat pada saat-saat krusial, Bian berhasil melontarkan tubuhnya yang terjatuh ke belakang sehingga ia kembali terpapar tembok yang sudah retak. Kedua bola energi itu meretakkan tempatnya terjatuh sebelumnya, menimbulkan ceruk-ceruk yang dalam. Bian terengah dan kembali bersiap. Posisinya tidak bagus, ia kini tertahan oleh tembok di belakang.

Celakanya, Agus Lodang sudah ada tepat di depannya.

“Tombak Gunung Geni!”

Bian terbelalak! Satu tombak energi seakan-akan mengenai dada kirinya, tembus hingga ke punggung! Rasanya nyeri dan sakit sekali, tidak hanya seperti ditusuk, tapi juga bagai dibakar. Inilah gunanya pengalaman bertarung. Meskipun memiliki kemampuan yang mungkin mumpuni, tapi Bian masih butuh banyak pengalaman. Dia belum bisa meladeni seorang jendral seperti Agus Lodang dengan perlawanan yang secara setara sempurna.

“Haaaaaargh!” darah keluar dari mulut Bian. Ia tersentak dan tersengal. Tubuhnya makin lemah, pondasi kekuatannya turun drastis.

Tendangan Agus Lodang meluncur ke dada Bian, sekaligus untuk mencabut tombak energi yang tengah menancap.

Jbuuuuuuuooooookkkkkkkkkgh!

Bian disentakkan ke belakang tanpa bisa melawan. Ia hanya memejamkan mata menahan nyeri karena sakit teramat sangat di dada. Tembok di belakangnya yang sudah retak kini tak lagi kuat menahan. Pemuda itu ambruk ke belakang bersama dengan tembok yang runtuh ke selokan lebar atau sungai buatan yang lebar dan dalam yang tengah mengalir deras bersamaan dengan hujan yang turun.

Tubuh Bian lenyap tenggelam.

Agus Lodang meluncurkan tombaknya ke bawah.

Bledaaaaaaaaaaaaaam!

Air selokan pun beriak membentuk lingkaran. Tombak energi itu menancap di tengah-tengah. Tapi karena keruh dan deras, tak ada tanda-tanda keberadaan Bian. Agus Lodang pun mendengus kesal. Bian pasti belum mati. Ia mengayunkan tangan pada anak-anak buahnya yang langsung bergegas datang.

“Periksa dan telusuri selokan ini! Pastikan bocah sialan itu mati!”

Tak perlu menunggu perintah kedua kalinya, pasukan QZK pun segera menuruti perintah sang atasan. Mereka memeriksa parit, selokan, dan sungai buatan. Memastikan Bian tewas atau setidaknya pingsan. Ada yang sampai turun menceburkan diri ke selokan, ada yang mengais-ais tepian, ada yang menelusuri panjangnya sungai buatan.

Agus Lodang sendiri merasakan Ki milik si Bandel perlahan-lahan meredup. Kalaupun dia tidak tewas, kondisinya pasti sudah kepayahan. Dia harus berhasil menemukannya sampai dapat dan mengakhiri perseteruan mereka berdua!

“Terus cari sampai dapat!”

Aura Ki milik Bian perlahan-lahan menghilang dan akhirnya lenyap. Agus Lodang mendesah kecewa, tapi dia tak akan percaya begitu saja sampai dia benar-benar menyaksikan tubuh si Bandel itu sungguh sudah menjadi mayat di depan matanya.

“Tidak mungkin. Bedebah seperti dia tidak akan mati semudah ini. Cari terus! Aku tidak peduli kalian mencari kemana! Cari terus sampai dapat!”

Geram sekali rasanya Agus Lodang sampai-sampai dia tidak menyadari ada tenaga Ki lain yang muncul saat itu. Pendar aura tenaga Ki asing yang muncul dari seseorang yang tengah nangkring di atas tembok yang belum runtuh.

Saat menyadarinya, Agus terkesiap dan menengok ke atas.

“Mencari seseorang?” sosok itu lantas berdiri berkacak pinggang sembari menyeringai mengerikan, “Heheh. Mungkin aku bisa membantu. Aku dan dia punya keterkaitan yang cukup kocak.”

Agus mengedipkan mata di tengah terawang cahaya lampu yang remang. Wajah sosok yang baru hadir itu sekilas mirip dengan Bian. Tapi tidak mungkin rasanya. Karena keduanya memiliki style yang berbeda dan mengenakan pakaian yang berbeda. Dia jelas bukan Bian. Agus Lodang mendengus kesal, Aura tenaga Ki ini… terasa sangat menyesakkan dan membuat mual. Apakah ini ilmu hitam?

Yang baru datang itu jelas bukan Bian, tapi saudara kembarnya.

Sang Pengendara Angin tengah berdiri di atas tembok sembari menatap Agus Lodang dengan sorot mata yang tajam.





.::..::..::..::.





Pak Zein dan Dewi Uma berdiri berdampingan, keduanya dengan tegas menatap ke arah Ki Juru Martani, Om Janu, dan Ki Demang Undur-Undur. Suasana bagian depan Museum Sang Pangeran kini sudah porak poranda, adu ilmu kanuragan antara Dewi Uma dan Ki Juru Martani menjadi penyebabnya.

“Rasa-rasanya kita tidak perlu banyak bicara, kita atur saja posisi. Siapa yang hidup, dia yang menang. Setuju kalian semua?” ancam Pak Zein pada sang lawan. Berapapun lawannya dia tidak peduli.

“Kenapa begitu yakin, sahabat lama?” Om Janu menyeringai, “ini tiga lawan dua lho. Kami bertiga punya kemampuan yang tidak main-main lho. Yakin bakal bisa menang?”

Pak Zein mendengus dan tersenyum, “Sama sepertimu – aku juga sudah memperkirakan kalau kalian akan bertarung dengan curang. Meski bodoh begini kalau dibandingkan bapak-bapak sekalian, setidaknya aku juga telah mempersiapkan strategi sebelum melangkah ke pendopo ini.”

Ki Demang Undur-undur yang berdiri di samping Om Janu menggeram bagaikan hewan buas, pria berpakaian ganjil serba hitam dengan kalung yang tersusun dari tulang belulang itu menekuk-nekuk telapak tangannya, “Ada sesuatu yang terjadi. Aku tidak bisa merasakan Ki-ku. Hilang lenyap begitu saja.”

Om Janu melotot. Ia kemudian menggelengkan kepala sembari tersenyum saat menatap Pak Zein, “Jadi begitu rupanya? Hahahaha… sekali bajingan akan selamanya menjadi bajingan. Rupanya sudah bersiap sebelum datang ke sini ya? Hahahahaha.”

Pak Zein tersenyum, Dewi Uma makin senang.

“Cagak bebandan,” ucap Ki Juru Martani sembari kembali duduk dengan santai. Tidak terlihat kekhawatiran sedikitpun pada gerak-gerik pria bertopeng Klana Merah itu.

“Benar sekali. Untuk menundukkan kalian bertiga, aku tidak memerlukan tenaga Ki. Aku hanya memerlukan kedua hal ini,” Pak Zein menghunjukkan kedua kepalan tangannya, “Demi mereka yang gugur malam ini. Demi semua orang yang terluka parah malam ini. Ini adalah bayaranku terhadap mereka. Akan kupertahankan selatan dengan jiwa dan darah.”

Ki Demang Undur-undur geram sembari menggemeretakkan gigi dan menunjuk dengan kesal ke arah Pak Zein! “Dasar bedebah! Kamu mau bertindak curang ya!?”

“Curang? Definisi curang agak sedikit rancu dan ambigu bukan? Maling kok meneriaki maling. Kalian ini memang aneh-aneh orangnya.”

“Rasakan ini, keparat!”

Dukun Ilmu Hitam itu berlari ke depan untuk merangsek dan menghajar Pak Zein dengan kepalan tangannya yang besar dan kokoh. Tapi sebelum sampai ke posisi sang lawan, kaki Dewi Uma sudah mengaitnya.

Jbuuuugh!

Ki Demang Undur-undur jatuh terjerembab ke ubin pendopo yang keras.

“Siaaaaal!”

Rahang sang dukun ilmu hitam terantuk ubin yang keras, ada darah mengucur. Tapi sesungguhnya bukan sakit yang ia pikirkan, melainkan rasa malu. Ki Demang Undur-undur menatap Dewi Uma dengan tatapan keji, “Di akhir hari ini, akan kumakan dagingmu, Mamah cantik.”

“Silakan saja kalau bisa,” ucap sang Pemimpin Perguruan Kuburan Kuno.

Om Janu yang lama terdiam akhirnya melihat satu sosok di kejauhan yang makin lama makin dekat, pemimpin QZK itu tertawa saat melihat sosok yang baru datang.

“Bajingan. Ternyata ini ulah Lek Suman.”

Lek Suman berdiri jauh di luar pendopo, menyeringai dengan licik, “Bagaimana Pak Zein? Kita lanjutkan tidak?”

“Lanjutkan, Lek!” ucap Pak Zein sambil menatap ke arah om Janu dan Ki Juru Martani.

Dengan kecepatan kaki yang tinggi meski tanpa menggunakan Ki, Pak Zein langsung merangsek ke arah Ki Juru Martani tanpa bisa dihadang oleh siapapun. Kepalan demi kepalan dilontarkan ke arah sang lawan yang datang dari kota seberang. Sebisa mungkin Ki Juru Martani lantas mencoba menghindar dari rentetan serangan sang Pimpinan JXG.

Kanan. Kiri. Lurus. Kanan. Kanan. Kiri. Kiri. Kanan. Atas. Bawah.

Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh!

Kraaaaakgh!


Topeng Klana Merah pecah dihantam oleh Pak Zein.

“Cukup sudah!” Ki Juru Martani menghunjukkan tangan ke arah Pak Zein.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Tubuh Pak Zein terpental hingga punggungnya terpapar satu tiang, dua tiang, tiga tiang. Tulang rusuknya terasa nyeri karena terhantam tiang demi tiang bekali-kali, tubuhnya terus melayang dan baru terhenti saat jatuh terguling. Dewi Uma yang terkejut tidak mau hanya diam. Dia mencoba menyelamatkan Pak Zein. Dengan merapal serangan, Dewi Uma mencoba mengeluarkan ilmu kanuragan, tapi ternyata tidak ada apapun yang muncul, bahkan Ki-pun tidak ada.

Bukankah tadi Ki Juru Martani bisa menggunakan Ki? Kenapa dia sekarang tidak bisa? Dewi Uma menatap telapak tangannya sendiri. Tidak mungkin kan ini terjadi? Kenapa bisa terjadi? Apa yang terjadi? Kenapa Ki Juru Martani bisa menembus Cagak Bebandan sedangkan dia tidak bisa menge…

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Kini giliran tubuh Dewi Uma yang terbang. Ia melayang menjauh dan jatuh berdebam di ubin Pendopo. Sekali, dua kali, tiga kali. Tubuh sang Dewi lunglai ditelan geliat. Remuk redam rasanya dihantam dari jarak teramat dekat.

Pak Zein mencoba berdiri, tapi tak bisa. Ia tak bisa menolong. “Ba-bagaimana bisa… kalian…”

“Hehehehe… hahahahaha…” om Janu tertawa, “lain kali kalau minta tolong, pastikan orang itu bisa kalian percaya. Mana mungkin orang seculas dia bisa kalian jadikan penasehat. Yang ada jadi kacau begini kan?”

Pak Zein melirik ke samping, ke arah jauh. Di sana Lek Suman cengengesan sembari berjalan ke arah om Janu.

“Kenapa… kenapa kok…”

Akhirnya Pimpinan JXG itu sadar apa yang terjadi. Lek Suman telah memainkan parameter Cagak Bebandan sehingga ada orang-orang yang tadinya terkurung jadi terbuka sesuai kehendaknya. “Ku-kurang ajar! Aku sudah mempercayaimu! Aku sudah mencoba memberikan nilai positif untukmu! Ini balasanmu!?”

Lek Suman hanya cekikikan tanpa menjawab. ia berdiri di samping sang pimpinan QZK dan mengedipkan mata kepada Pak Zein, “Maaf kalau selama ini aku seperti menipu njenengan, Pak Zein. Tapi sebenar-benarnya setiaku hanya untuk Pak Janu. Hekekekekeke. Bagaimana menurut njenengan, Pak? Seru kan? Hekekeke. Datang sudah gagah, yakin bisa berhadapan dengan tiga orang sekaligus, tapi kalah justru karena hal yang tidak diduga-duga! Sungguh memalukan! Antiklimaks ini namanya! Hekekekekekeke.”

“Bedebah! Bedebah kamuuuu! Bangsaaaaat!” Pak Zein mencoba berdiri.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Sekali lagi tembakan tenaga Ki membahana, kali ini dari om Janu. Tubuh Pak Zein terlempar lagi ke belakang dan terpapar tiang pendopo. Tulang punggungnya bagai hampir ditekuk di udara.

Bledaaaakghhh!

Pak Zein kembali jatuh luruh tanpa daya. Om Janu bahkan lantas berhasil menotok syarafnya, membuat Pak Zein bagaikan orang lumpuh yang tanpa daya. Ki Demang Undur-undur melakukan hal yang sama pada Dewi Uma.

“Lek Suman, kembali jaga Cagak Bebandan-mu! Atur parameter-nya supaya hanya kami yang bisa membuka Ki,” perintah om Janu. “Pastikan semua sesuai rencana yang sudah kita atur bersama sejak jauh-jauh hari!”

“Siaaaaap! Hekekekeek. Saya sih selalu siap,” Lek Suman mengedipkan mata pada Pak Zein, “Saya pamit dulu ya. Wkekekekeek.” Karena element of surprise-nya sudah berhasil, Lek Suman segera lari kembali ke posnya.

Pak Zein dan Dewi Uma hanya bisa menahan geram.

Ki Juru Martani tertawa kecil melihat perkembangan yang terjadi. Rupa-rupanya mereka bahkan tidak perlu mengeluarkan jurus apapun untuk membunuh Pak Zein sang pimpinan JXG. Ki Juru Martani pun menghunus keris yang ternyata sejak tadi dibawanya. “Keris ini bernama Setan Obong, Janu. Kupinjamkan kepadamu untuk menuntaskan musuh bebuyutanmu.”

“Keris Setan Obong?”

“Keris terkutuk ini dulunya adalah milik Raden Suto, hasil rampasan dari Ki Haryo Penangkas, yang ketika pada suatu ketika terkena sayatan tombak lawan sehingga robek perutnya dan terburai ususnya. Usus itu lantas dililitkan di Keris ini dan justru menyebabkan kematiannya sendiri. Lebih jauh lagi aku yakin kamu pasti paham sejarah Keris magis ini,” Ki Juru Martani memberikan sebuah keris yang terlihat agung dan penuh dengan aura magis pada keseluruhan desainnya, “Siapapn yang terkena sayatan Setan Obong, akan merasa terbakar hebat.”

Om Janu menerima keris itu dan tersenyum pada sang pemimpin Koalisi, “Terima kasih banyak, Ki Juru Martani.” Tanpa berlama-lama, Om Janu melangkah mendatangi Pak Zein yang sudah tak berdaya, “Sudah saatnya kita berpisah, sahabat lama. Tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali perubahan. Kehidupan kita yang panjang itu kan cuma sekedar mampir minum wedang rondhe.”

“Ba-bajingan… heheh,” Pak Zein tersenyum sinis, “lakukan saja. Jangan banyak ngomong ra genah, Janu. Itu bukan gayamu.”

“Makanya.”

Dewi Uma yang jaraknya agak jauh dari Pak Zein menggelengkan kepala. Dia tidak ingin terjadi hal yang buruk pada pria yang menjadi idolanya itu, tapi sepertinya apa yang ia takutkan akan segera terjadi dan ia tidak akan bisa menghentikannya. Wanita yang terluka itu mencoba merangkak, mulutnya terbuka, ia mencoba berteriak, tapi tak satupun kalimat terucap dari mulutnya.

Sblp. Sblp. Sblp.

Om Janu tidak main-main. Ia menusukkan keris itu ke perut Pak Zein. Keris itu dibenamkan, lalu ditarik. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Pak Zein pun roboh.

“TIDAAAAAAAAAAAAK!!!” Akhirnya teriakan ngeri itu pun membahana.

Dewi Uma berteriak melihat sang idaman hati roboh bagaikan tiada bernyawa, orang yang selama ini ia idam-idamkan untuk bertemu ternyata dihancurkan di depan matanya dengan ditikam dendam. Om Janu mendengus dan meninggalkan Pak Zein, ia berdiri kembali di samping Ki Demang Undur-undur sementara Pak Zein ditarik menjauh oleh Dewi Uma ke tepi pendopo untuk bersandar di salah satu tiang. Sambil tersengal-sengal Pak Zein membiarkan Dewi Uma berusaha melilit dan menutup luka terbuka di perutnya dengan selendang yang digunakan.

“Kenapa…!?” Dewi Uma menatap om Janu dengan tatapan mata penuh kebencian, “KENAPA!?”

“Tenang saja, aku tidak mengenai bagian-bagian vitalnya. Setidaknya sampai beberapa jam ke depan, dia akan baik-baik saja, kecuali mati karena kehabisan darah,” Om Janu mengedipkan mata pada Dewi Uma. “Itu yang aku harapkan. Orang seperti dia harus mati perlahan-lahan. Tapi kalau bisa selamat dari luka-luka itu ya ajaib.”

Dewi Uma menatap galak ke arah Om Janu, “Bedebah bajingan! Sok baik kamu!”

“Su-sudahlah… dia memang selalu begitu…” sergah Pak Zein, pria itu justru menatap sang arsitek kekacauan, bukan om Janu, ia menatap wajah di balik topeng yang kini terlihat karena pecahnya Topeng Klana Merah itu. “Ka-kamu… adalah Penguasa Bengawan. Kenapa tidak dibuka saja topeng busukmu itu…? Percuma bersembunyi,” tunjuk Pak Zein pada Ki Juru Martani, “topengmu sudah kuhancurkan.”

“Hahaha! Benar sekali,” Ki Juru Martani tertawa, Topeng Klana Merah-nya memang telah pecah separuh. Untuk apa dipertahankan lagi kalau memang wajahnya sudah terlihat? Ia pun melepas topeng itu perlahan-lahan dan meletakkannya dengan penuh hormat di meja yang terletak di samping tempatnya berdiri.

“Sudah saatnya dilepas memang. Toh Kelompok Bengawan sudah masuk ke kota ini. Saatnya mengambil alih apa yang sudah menjadi hak kami.”

“Hrh. Sudah saatnya apaan. Da-dari dulu aku juga sudah tahu siapa njenengan, misteri yang mudah sekali ditebak bukanlah misteri. Pe-pertanyaannya bukan siapa, tapi… tapi me-mengapa.” ujar Pak Zein. Ia terengah-engah. Napasnya satu dua. Rasa nyeri di perut menjadikannya sangat lemah. Lukanya lebih parah dari yang terlihat.

“Ma-Mas… jangan banyak bicara, nanti lukamu akan bertambah parah, a-aku tidak…”

“Pasangan yang serasi,” sindir om Janu.

Ki Juru Martani mengangguk dan tertawa. Ia lalu menggerakkan tangannya ke depan. Sentakan energi besar dilontarkan. Tubuh Pak Zein dan Dewi Uma yang sebenarnya sudah lunglai langsung tersentak ke belakang. Tiang yang jadi sandaran patah jadi dua, membuat kedua orang itu terbang bagaikan bulu kemoceng yang melayang tak tentu, sebelum kemudian terbanting ke bawah dengan menyesakkan karena tak mampu berbuat banyak. Darah keluar dari mulut sang pimpinan JXG dan Perguruan Kuburan Kuno saat mereka mendarat dengan menyakitkan di atas tanah. Luka di perut Pak Zein kian parah.

Om Janu tersenyum dan berdiri di belakang Ki Juru Martani, di samping sang pimpinan QZK, Ki Demang Undur-undur manggut-manggut tak tentu.

“Sahabatku sekalian, Janu dan Ki Demang. Teman-temanku tercinta, Dewi Uma dan Pak Zein. Malam ini, mari kita sama-sama menjadi saksi bersatunya kota ini di bawah satu genggaman kekuatan. Bergabunglah denganku membentuk formasi baru dan kita susun utopia.”

Pak Zein mencoba duduk meski sangat kesusahan, ia menatap ke Ki Juru Martani.

“Hghhkkhhh… cerdas, culas, dan kurang waras. Raden Yama Widura sang Penguasa Bengawan, pimpinan Kelompok Bengawan, bagian dari Negeri di Awan… dia yang berjuluk sang arsitek kekacauan… Ki Juru Martani,” desis Pak Zein, “sayang aku tidak bisa menghentikanmu hari ini. Tapi kamu akan membayar semua kekacauan ini dengan nyawamu. Dengan nyawa keluarga dan pengikut-pengikutmu. Karena akan ada seseorang yang menjadi pembeda yang…”

“Mungkin saja,” ujar Ki Juru Martani memotong ucapan Pak Zein, “tapi sebelum sang pembeda itu hadir aku sudah mempersiapkan satu hal yang akan menghentikan langkahnya. Dia pasti akan…”

Sblp.

Keris Setan Obong ditusukkan ke pinggul Ki Juru Martani. Dengan terkejut sang Penguasa Bengawan menengok ke belakang, ke arah orang yang baru saja membenamkan keris ke bagian belakang tubuhnya.

Om Janu hanya menyeringai, “Bagaimana? Terasa terbakar tidak?”

Ki Juru Martani menjauh dengan tertatih, rasanya nyeri dan sakit sekali, tapi ia tak sanggup menjangkau keris seakan-akan karena posisinya sangat sulit dijangkau, padahal itu karena tangannya mulai terkena efek, “Ka-kau… ba-bajingan…”

“Kalau saja tidak ada Cagak Bebandan, hal ini tidak mungkin dilakukan. Sekarang tanpa Ki, kita semua setara, Raden Widura.”

Ki Juru Martani mencoba menyentakkan Ki tapi tidak ada yang keluar dari tangannya, ia melirik ke arah jauh, sosok Lek Suman kembali nampak. Rupa-rupanya sejak tadi ia memainkan parameter dan mencari kesempatan untuk mengubah posisi Cagak Bebandan untuk membantu om Janu dan hanya om Janu seorang! Kini gilirannya yang terjebak!

“Aku sudah memperkirakan yang seperti ini akan terjadi, jadi terima kasih pada Lek Suman yang telah menjadi kunci dari semuanya, rencana berhasil dieksekusi. Kami sudah merencanakan ini jauh-jauh hari,” ujar om Janu sambil menyeringai sadis pada sang Penguasa Bengawan. Ki Juru Martani ambruk di depan tubuhnya, lunglai tak berdaya, Ia menatap om Janu tak percaya, Om Janu jongkok di depan Ki Juru Martani, menjambak rambutnya. Keduanya saling bertatapan dengan sejuta rasa. Om Janu pun melanjutkan lagi, “Aku memang ingin menyatukan kota ini di bawah satu tampuk kekuasaan, tapi itu bukan di tangan njenengan yang datang dari luar kota, rasa-rasanya hal itu tidak akan jadi natural. Lebih baik tampuk kepemimpinan itu jatuh ke tanganku. Enak saja datang-datang kok minta jatah.”

“Ja-Janu… kamu…” Ki Juru Martani mendesis marah tanpa daya.

“QZK lebih berhak daripada Kelompok Bengawan dari kota seberang. Bukankah demikian, Pak Zein?” teriak sang pimpinan QZK pada sang rival abadi.

Pak Zein hanya menjawab dengan dengusan perlahan. Siapa yang memperkirakan hal ini akan terjadi? Semua kenyataan dibolak-balik oleh keadaan.

Om Janu menatap dan dengan tanpa ampun. mencabut keris yang ia tancapkan di pinggul Raden Yama Widura alias Pakdhe Wid. Ki Juru Martani berteriak kesakitan saat Om Janu mencabutnya. Tapi Om Janu tidak berhenti begitu saja, ia lalu menancapkannya kembali, lalu cabut, tancap, cabut, tancap. Berulang-ulang di punggung Ki Juru Martani. Hanya teriakan kesakitan yang terdengar dari sang Penguasa Bengawan yang kini telah terluka.

Darahnya mengucur deras. Ki Juru Martani ambruk di tengah-tengah pendopo. Sang pria mahadewa jadi pesakitan tanpa daya. Seluruh kuasanya menjadi fana beginilah ternyata tidak menjadi apa-apa, beginilah rupanya menjadi orang yang kalah digdaya.

Om Janu berjalan ke arah Pak Zein dan menendangnya tepat di perutnya yang terluka.

Jbkkkkgh!

Pak Zein mengernyit kesakitan dan meringkuk. Pimpinan QZK itu pun lantas menjambak rambut Pak Zein yang sudah lunglai dari belakang, dan mendongakkan kepalanya. Om Janu menempatkan keris di leher sang seteru abadi. “Sahabat lama, aku tahu nyawamu hanya tinggal hitungan jam saja, jadi aku ingin kamu menyaksikan ini. Kita akan sama-sama menjadi saksi keindahan kehidupan,” om Janu melirik ke arah Ki Demang dan menganggukkan kepala.

Melihat kode dari om Janu, Ki Demang Undur-undur pun berjalan dengan tenang ke arah Dewi Uma dan memegang kepala wanita yang sudah lemah itu. Ki Demang lantas mencengkeram kepala sang Dewi dan menancapkan jari jemarinya. Jurus Cakar Tengkorak Tulang Putih pun beraksi, Ki Demang membenamkan cengkramannya ke dalam tengkorak sang pimpinan Perguruan Kuburan Kuno. Bagaikan bor yang panas menggerus, jurus itu membentuk lima titik lubang di tengkorak sang korban. Semuanya dilakukan dengan sangat perlahan, sehingga sangat-sangat menyakitkan.

“Ihihihik. Sayang sekali mamah cantik, malam ini kamu hanya akan tinggal nama, dan tak akan banyak yang bisa mengenangmu,” ucap Ki Demang Undur-undur, “Akan kularungkan kapal kertas untukmu di laut selatan sebagai tanda kenangan hubungan kita yang meskipun cuma sekedipan mata tapi terasa sangat berarti. Untuk mengenang kehidupanmu, akan kumakan dagingmu sebagai tanda rasa cintaku padamu.”

Cengkraman itu makin dalam membenam, meretakkan yang telah rapuh.

Krrrrghhhhh!! Krrrrghhhhh!! Krrrrghhhhh!! Krrrrghhhhh!! Krrrrghhhhh!!

“Hraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhh!”

Teriakan menyayat sang Dewi terdengar di relung malam. Pak Zein ikut berteriak penuh penyesalan dan kekesalan melihat wanita yang sangat berarti baginya itu dihancurkan oleh sang lawan. Pemimpin JXG itu bagaikan tak mampu berbuat apa-apa. Teriakan sang Dewi tidak berlangsung lama karena kemudian tubuhnya luruh ke tanah.

Lalu sunyi.

Lalu senyap.

Lalu gelap.

Lalu tenang.

Lalu diam.

Lalu muncul cahaya di angkasa.

Lalu terdengar raungan seekor naga.





BAGIAN 26 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN TERAKHIR JALAK V3


Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mohon kesediaannya untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan nonton bola. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd