Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 27
RESTU BUMI




“Jangan memikirkan apa yang sudah terjadi.
Pikirkan saja apa yang belum terjadi.
Apa yang sudah terjadi, biar mengendap sebagai pengalaman hidup,
karena pengalaman adalah guru kita yang paling sempurna
.”
- S.Tidjab





Raungan naga di langit malam membuat semua orang terkejut.

Suara raungan binatang yang asing itu membuat orang-orang yang berada di Museum Sang Pangeran mendongak ke atas. Di atas mereka kini, terbaca aura Ki yang tak terbayangkan. Siapa yang datang? Apakah benar dia adalah sang pembeda?

Saat itulah Sang Raja Naga turun.

Krrrakakkkkaaaaaabooooooooooooooooooom!!

Bumi bergoyang ketika ia datang, angin berhembus dengan kencang.

Adalah Jalak Harnanto alias si Bengal, pemuda yang diperkirakan menjadi sang pembeda – pimpinan yang bukan dari dua poros utama, pimpinan aliansi, pewaris terakhir Nawalapatra 18 Serat Naga, penguasa sah Kidung Sandhyakala, dan keturunan terpilih Trah Watulanang yang telah hadir di arena.

Ia mendarat tepat di antara om Janu yang tengah menghunuskan keris di leher Pak Zein dan Ki Demang Undur-undur yang tengah mencengkeram kepala Dewi Uma. Tempatnya mendarat kini menjadi concrete block yang membentuk lingkaran retak.

Om Janu menatap Nanto dengan geram. Sial. Bocah ini lagi, datang hanya untuk mengacaukan rencananya saja! Untungnya dia sudah siap dengan segala macam kemungkinan. Termasuk dengan menyekap kekasih si Bengal. Meskipun begitu dia tetap harus…

Om Janu tercekat saat teringat sesuatu. Sial! Dia lengah!

Tepat pada saat itu, tiba-tiba saja ada getaran hebat yang menggoyahkan gedung-gedung dan tanah tempat mereka berpijak. Getaran yang membuat retakan hebat di tembok yang kokoh dan meruntuhkan yang rapuh. Ini bukan karena kedatangan sosok yang mendarat di tengah mereka, getaran ini ditimbulkan oleh sosok yang ia pikir sudah mampus, sosok yang sebelumnya ada di antara mereka.

Om Janu mendesis kesal saat sadar apa yang terjadi, “Keparat! Lek Sumaaaaaaaaan!! Di mana kauuu!?”

Buru-buru Ia melepaskan tubuh Pak Zein yang sudah lemah dan berlari kencang ke arah sosok yang roboh di pendopo, tapi terlambat, hanya dalam sekejapan mata tepat sebelum om Janu menghampiri, sosok itu lenyap dari pandangan.

Getaran hebat yang ditimbulkan oleh peningkatan Ki menimbulkan gempa kecil yang mengguncang tempat di sekeliling pertarungan mereka. Aura tenaga dalam hebat yang mampu menggetarkan keempat Cagak Bebandan yang dipasang itu terus menggerus, seakan melawan mesti tak mampu mencabutnya dari tanah.

“Lek Sumaaaaaaaaan! Pertahankan kerisnyaaaaa!” teriak om Janu yang masih terus berlari ke arah pendopo.

Lek Suman yang terjatuh karena gempa kecil tadi langsung terkesiap kaget, ia lantas mencoba berdiri dan bergegas menuju Cagak Bebandan terdekat yang sebelumnya selalu ia ubah-ubah posisinya untuk menundukkan Pak Zein dan Ki Juru Martani. Tapi pria sepuh itu terlampau lambat dengan gerakannya yang terbatas, karena kakinya sudah tak lagi normal dan tubuhnya pun tak lagi muda. Dua dari empat keris Cagak Bebandan yang ditancapkan oleh Lek Suman jatuh karena retakan yang tiba-tiba muncul di tanah!

Retakan yang sama juga menjatuhkan Lek Suman untuk kesekian kalinya, pria tua itu pun menatap khawatir ke arena, ia menengadah. Ia merasa kalah dan salah. Ia meneguk ludah saat menyaksikan dua kerisnya jatuh ke tanah. Ce-celaka! Ia terlambat sudah.

Hanya beberapa detik setelah dua keris sakti mandraguna itu jatuh, ada bayangan yang menangkup tubuh tua Lek Suman. Terkejut, pria tua itu tak berani menengok, apakah ada orang di sebelahnya? Apakah tokoh yang ia takutkan hadir di sampingnya? Meski jantungnya hampir copot, tapi Lek Suman penasaran. Ia pun menengok ke samping dengan takut-takut.

“Ja-jabang bayi!” Lek Suman terlompat saking kagetnya.

Benar kan? Tiba-tiba saja sudah ada sesosok pria yang berdiri di sampingnya.

“Lek Sumaaaaaaaaaaaaaaan!! Lari!!” terdengar teriakan om Janu dari kejauhan. Teriakan yang mungkin akan menjadi hal terakhir yang akan ia dengar sebelum si bayangan mengakhiri hidupnya.

“Sa-saya tidak…” Lek Suman gemetar dan ketakutan. Ia menggelengkan kepala. Matanya berulang kali terkena tetesan gerimis sehingga terkejap-kejap dan hanya dapat melihat sosok itu dengan pandangan yang kabur. Pria tua itu sungguh ketakutan melihat siapa yang berdiri di dekatnya, “Ki… Ki Juru Martani… aku… saya… aku tidak berniat untuk… ini semua perintah dari…”

“Kamu beruntung aku masih membutuhkanmu.”

Bletaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakgkkkkkkkkkkkkkhhh!

Tubuh Lek Suman terpelanting jauh setelah terpental terkena sapuan punggung tangan yang menampar wajahnya. Tubuh pria tua itu terguling-guling puluhan meter jaraknya dari posisi semula. Ia terjatuh dan tidak segera kembali bangkit. Bibirnya monyong karena kerasnya tamparan, beberapa giginya tanggal dan darah mengucur dari hidung dan mulutnya.

“Hrrrmmppphhh… hkkkghhh…” Lek Suman mencoba membenahi wajahnya yang rusak tanpa hasil. Belum tuntas ia mengerang kesakitan, tiba-tiba saja ada telapak kaki yang melayang ke wajahnya, Lek Suman mencoba berteriak, tapi mulutnya penuh oleh rasa sakit, “Haaaaaaarrmmmmmpphh!”

Jbkkkkkkghh! Jbkkkkkkkkghhhh!

Bdetaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakgkkkkkkkkkkkkkhhh!


Pria tua itu kembali terguling-guling jauh dari posisinya semula. Dua kali tendangan ke dada dan wajah sang pria tua menghempaskan tubuhnya lebih jauh lagi. Lek Suman sudah jelas pingsan jika tidak mati. Tubuh tuanya lunglai tak bergerak lagi.

Penyerangnya pun pun mengalihkan perhatiannya ke pendopo, di sana berdiri sang pengacau.

“Heheh. Bagaimana rasanya jika rencanamu menjadi berantakan seperti ini, wahai Janu? Merasa putus asa? Putus harapan? Sudah seharusnya.” ucap sosok yang tak lain dan tak bukan adalah Ki Juru Martani. Ia berdiri tegap dan tenang, seolah-olah tak terluka sedikitpun padahal tadi sempat ditusuk berulang oleh keris yang ia berikan pada om Janu.

Om Janu menggemeretakkan gigi dengan geram, Ia tidak mungkin berharap banyak pada Lek Suman sekarang, Cagak Bebandan tak akan bisa digunakan untuk sementara waktu sampai nanti Lek Suman siuman. Tapi itu pasti akan memakan waktu lama. Saatnya menggunakan senjata rahasianya yang lain, “Ki Demaaaaaaaaaaang! Kamu hadapi Nanto, aku hadapi Ki Juru Martani!”

Ki Demang Undur-undur bangkit dan melepaskan cengkramannya dari kepala Dewi Uma yang sudah tak bergerak lagi. Dia belum sempat menuntaskan jurus mematikan dari ilmu kanuragan Cakar Tengkorak Tulang Putih-nya dan melubangi kepala sang pimpinan Perguruan Kuburan Kuno, karena Om Janu sudah memanggilnya. Menghadapi sang Raja Naga? Jelas urusan ini pasti lebih penting.

“Siap! Saya akan…”

Kssssssshh…” suara desahan seperti ular terdengar.

Ki Demang Undur-undur tertegun, ia merasa bulu kuduknya merinding. Suara itu… apakah berasal dari belakang? Ia pun membalik badan.

Ki Demang Undur-undur terbelalak kaget! Dewi Uma berdiri di hadapannya tanpa kurang suatu apa tapi dengan wajah yang teramat berbeda. Dengan mata berwarna kuning dan wajah yang sudah sama sekali berubah, tak nampak lagi wajah cantiknya. Apa yang semula manis, kini hanya menyisakan wajah yang mirip seperti mayat hidup, mirip tengkorak! Wajah Dewi Uma terlihat pucat pasi dengan kulit teramat putih, tulang pipinya terlihat begitu keras dan kaku karena kurusnya tubuh dan wajah sang sosok yang lebih mirip seekor siluman!

Sbrrrrppppppp! Sbrrrrppppppp! Sbrrrrppppppp!

Dewi Uma tiga kali menghentakkan lengan dan darah pun mengucur di sela-sela pakaian sang dukun yang hancur karena tersayat. Dewi Uma kembali tersenyum dengan wajahnya yang mengerikan dan mendesis-desis seperti seekor ular. Perwujudannya lebih menyerupai siluman ketimbang seorang dewi. Sang dukun geram antara terkejut, kaget, takut, dan juga marah.

Hsssss… hssssss…,” Dewi Uma kembali menyerang ke depan dengan kedua tangannya yang bagaikan memanjang dan membentuk cakar.

Ki Demang Undur-undur mundur beberapa langkah ke belakang karena tak kuasa menatap kengerian di hadapannya. Tahu begini tadi dia lebih cepat meremukkan tulang tengkorak sang Pemimpin Perguruan Kuburan Kuno! Kurang ajar, kenapa semua tidak berjalan sesuai dengan rencana?

“Si-sial!”

Ki Demang Undur-undur mulai menggerakkan tangannya dan menggeram dahsyat, ia membungkuk, satu tangan menyentuh tanah, satu tangan lagi menghentak langit. Sang dukun terus menerus memutar tangannya yang menghunjuk langit disertai dengan rapalan berulang yang tak henti-hentinya ia bisikkan ke langit malam.

Raja Tapak Kekal Karsa, masuklah ke dalam ragaku. Hinggapi sanubariku, rasuki batinku, jadikan aku sebagai kereta perangmu. Hadapi lawanku seperti kau hadapi lawanmu, sudahi lawanku seperti kemenangan yang selalu kau raih di masa jayamu. Bangkitlah wahai Raja Tapak Kekal Karsa. Bangkitlah dan berikan kemenangan untukku!

Wujud sang dukun perlahan-lahan berubah, punuknya menebal, rahangnya melebar, tangannya menjadi lebih bulat dan kekar, giginya membentuk taring-taring panjang, matanya membulat kuning dengan kulit mata yang berubah menjadi gelap. Ia berteriak kencang, tapi tidak pantas disebut berteriak karena yang keluar dari mulut Ki Demang Undur-undur lebih mirip raungan yang mengerikan.

Raungan itu dibalas oleh jerit Dewi Uma yang juga menampilkan sosok yang mengerikan. Keduanya saling bertukar raungan dan jeritan berulang, seperti dua ekor binatang yang tengah menggertak satu sama lain. Seperti dinosaurus bertemu dinosaurus, singa bertemu singa, gorila bertemu gorila.

Tak perlu berlama-lama, keduanya langsung melompat dan menubruk satu sama lain, cakar bertemu cengkraman, taring bertemu taring. Sayatan di sana-sini pun terjadi, baju Ki Demang Undur-undur mulai tercabik-cabik saat tangan tajam Dewi Uma menyerang dengan membabi-buta. Dari segi kecepatan dan gerak lincah, Dewi Uma lebih unggul dari sang dukun. Perih dan kesakitan, Ki Demang mundur beberapa langkah dan meraung, ia lalu bersiap saat Dewi Uma merangsek maju, memang ia kalah dalam hal kecepatan, tapi bagaimana jika ini pertarungan tenaga?

Kaki Ki Demang Undur-undur menjejak ke depan, ke arah perut Dewi Uma. Tapi kaki sang dukun tak pernah sampai, kena pun tidak. Selendang-selendang Dewi Uma yang dikenakan bergerak bagaikan ular yang menari ditiup seruling, bergerak tak menentu bagai punya jiwa. Mereka bergerak ke depan dan melindungi badan sang pemilik, melingkari dan mengunci kaki Ki Demang bagaikan ular Anaconda yang buas dan mengikatnya.

“Hsssss… selamat menikmati Tarian Selendang Ular, wahai sang pria kegelapan,” Tawa Dewi Uma yang tak nyaman didengar pun membahana, bagaikan seorang nenek tertawa, melengking tinggi dan membahana, mengerikan, dan membuat bulu kuduk berdiri.

Tapi tentu saja tak semudah itu Ki Demang Undur-undur akan dikalahkan. Dengan cekatan ia memutar tubuh sehingga ikatan Tarian Selendang Ular sang Dewi tak dapat kencang mengikat. Bagaikan bor yang berputar ke arah lawan jarum jam dan ditarik mundur, sang dukun pun lolos dari sergapan Tarian Selendang Ular. Ia berguling di tanah untuk mengambil posisi yang lebih tepat guna menghadapi Dewi Uma.

Tapi Dewi Uma hanya tersenyum sinis, bibirnya yang melebar dengan lidah menjulur-julur terlihat sangat menyeramkan. “Hsssssssssss…”

Dewi Uma melangkah mendekat ke arah Ki Demang, selendang-selendangnya bergerak ke sana kemari ibarat menari. Sembilan selendang yang menegak membuat sosok sang dewi bagaikan seekor gumiho, rubah berekor sembilan, bedanya adalah ekor-ekor Dewi Uma ini menegak tajam bagaikan pisau yang siap memotong apapun. Ki Demang Undur-undur sudah merasakan cakar sang Dewi, dia tidak ingin menambah rasa nyeri ditubuhnya dengan menghadapi langsung selendang yang mengerikan itu. Sang dukun pun merapal jurus ilmu kanuragan yang ia kuasai.

Tapak Kekal Penghancur Dermaga!

Suara Ki Demang Undur-undur terdengar ganda, bukan seperti manusia normal. Tubuhnya sudah menjadi inang bagi sosok gelap bernama Karsa yang berjuluk Raja Tapak Kekal. Ketika Ki Demang menyorongkan telapak tangannya ke depan, saat itu pula gempuran tenaga dalam dahsyat membentuk telapak tangan raksasa berhembus kencang dari posisinya ke arah sang Dewi.

Tubuh Dewi Uma langsung terbang tersapu begitu telapak tangan raksasa menerpa. Tubuhnya melayang tak tentu arah bagaikan kapas, namun tak sampai kehilangan kendali atas diri sendiri. Selendang-selendangnya menggamit pancang, batang pohon, pagar, pokoknya apapun yang masih berdiri tegak. Hasilnya, Dewi Uma masih dapat berdiri tegap tanpa terjatuh.

Tapak Kekal Pencabik Daging!

Ki Demang mengeluarkan jurus yang berbeda. Kali ini ia menggunakan sisi telapak tangan untuk mencoba memutus selendang yang mengait sebuah batang pohon. Tapi belum sampai tangannya menyerang selendang itu, sebuah tenaga dalam besar lain menghampiri sang dukun!

Sblmmmmmmmmmm!

Ki Demang Undur-undur terkena telak dan terdesak mundur karena tidak siap menerima serangan mendadak itu. Tubuhnya terguling-guling di tanah, bahkan sampai terbanting-banting karena ternyata hempasan tenaga dalam yang mengenainya cukup kencang dan kuat. Ki Demang pun terengah-engah menatap langit saat ia akhirnya terkapar. Siapa yang telah menyerangnya?

Ia mencoba bangkit tapi rasanya sulit sekali, badannya remuk redam. dan langsung terkejut!

Di samping Dewi Uma kini berdiri… Pak Zein!

Pak Zein yang berdiri tegap meraih tangan Dewi Uma dan melindunginya dengan pancaran tenaga dalam yang terasa hingga sampai ke posisi di mana Ki Demang saat ini berada.

Ki Demang jelas terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak menyangka! Bagaimana bisa Pak Zein bangkit dari luka-luka yang ia derita setelah ditusuk berulang-ulang oleh Bos Janu!? Bagaimana bisa? Padahal rencana di balik rencana mereka sudah dieksekusi dengan baik! Sekarang rencana itu hancur berantakan!

Ki Demang Undur-undur mulai khawatir dengan posisinya sekarang. Ia gagal membunuh Dewi Uma, dan Pak Zein ternyata bangkit kembali. Ini bukan hal main-main. Bagaimana bisa Pak Zein tidak mati!?





.::..::..::..::.





Sebenarnya, beberapa saat yang lalu…

Pak Zein memang sudah hampir menghembuskan napas terakhirnya ketika tiba-tiba ada sosok yang menghampirinya. Sosok itu menyalurkan tenaga dalam dengan menerapkan totokan di tubuh Pak Zein untuk menahan darah dan menetralisir luka yang terbuka di tubuh sang Pimpinan JXG. Meski tak seutuhnya sembuh dan tertutup, setidaknya laju darah yang mengalir bisa diatasi sementara. Sosok itu lantas menggunakan beberapa selendang milik Dewi Uma yang ada di dekat Pak Zein untuk mengikat luka-luka itu lebih kencang.

“Ka-kamu…”

Sosok yang ternyata adalah Nanto itu tersenyum dan mengangguk pada Pak Zein, “Mohon maaf jika saya lancang. Bapak sekarang bisa menyalurkan tenaga penyembuh yang ada pada ilmu kanuragan Bapak untuk menekan peradangan dan luka yang ada.”

“Aku tidak membutuhkan bantuanmu! Pemuda berandalan! Kamu telah menyakiti putriku! Kamu telah menyakiti Nada! Kamu yang telah membuat dia menderita dan…”

“Memang saya akui saya salah, Pak,” ucap Nanto sembari terus membagi tenaga dalam penyembuhnya pada Pak Zein yang makin lama makin segar, “Saya sebenarnya dalam pengaruh hipnotis dan obat bius saat melakukan perbuatan tercela pada Nada saat itu, saya tahu itu tak termaafkan. Jadi sekarang saya minta maaf sebesar-besarnya kepada Bapak jika apa yang saya lakukan telah menyakiti Bapak dan juga Nada.”

“Menyingkir dariku! Aku tidak butuh bantuan seorang…”

Nanto mengangguk, “Silakan hajar saya setelah ini semua selesai, saya akan menerima apapun hukuman saya, bahkan jika Bapak ingin membunuh saya sekalipun. Ta-tapi sebelumnya saya ingin menyadarkan Bapak bahwa saat ini saya jadi benar-benar sayang dan ingin melindungi Nada, sebagaimana Nada juga sayang pada saya. Saya ingin bertanggung jawab atas anak yang dia kandung dan…”

Pak Zein melotot! “Ba-bajingan! Bajingan kamu! Bajingaaaaaaan!”

Plaaaaaaaaaaaaaaaakghhhh!

Kerasnya tamparan Pak Zein membuat wajah Nanto sampai merah dan tubuhnya terpelanting jatuh. Dia memang sengaja tidak melindungi diri dengan Ki ataupun membalas serangan itu. Setelah terjatuh, buru-buru Nanto bangkit dan menghampiri Pak Zein yang masih lemah, kembali Nanto membagi tenaga dalamnya yang entah kenapa terasa cocok sekali dengan tenaga dalam berbasis ilmu kanuragan Inti Angin Sakti yang dikuasai oleh Pak Zein. Karena cocok, tenaga dalam si Bengal bisa menyatu lebih cepat dan membantu penyaluran penyembuhan sekaligus melancarkan arus Ki dalam tubuh Pak Zein.

Terdengar suara ledakan dari jarak yang tak begitu jauh.

Keduanya menyaksikan tubuh om Janu terpental dan terguling-guling di tanah karena sambaran tenaga yang sangat besar dari Ki Juru Martani yang rupa-rupanya sedang marah besar kepada sang Pimpinan QZK yang penuh tipu daya itu.

Nanto pun berpaling pada Pak Zein, “Saya ada urusan di sana yang harus saya selesaikan, Pak. Tapi sekali lagi… mohon maafkan saya jika saya telah menyakiti perasaan Bapak. Saat ini saya sungguh-sungguh sayang pada Nada, jadi jika Bapak mengijinkan dan semua ini telah usai… saya ingin bertanggung jawab dengan menikahi Nada seijin Bapak. Mohon berikan jawaban saya setelah saya menyelesaikan urusan saya dan Bapak kembali sembuh. Nada pasti akan sangat sedih jika Bapak terluka, saya tidak akan membiarkan itu terjadi.”

“Ka-kamu! Aku tidak akan pernah…”

Nanto melesat pergi sebelum Pak Zein menyebutkan sumpah serapahnya. Ia meninggalkan Pak Zein dengan memberikan tenaga dalam yang begitu besar pada sang pimpinan JXG. Pak Zein memanfaatkan tenaga dalam itu untuk menutup sementara luka-lukanya dengan selubung tenaga dalam sekaligus menyelamatkan Dewi Uma.

Kini, setelah menyelamatkan Pak Zein, Nanto bergegas menuju ke arena pertarungan antara Ki Juru Martani dan Om Janu.

Dengan satu lompatan salto yang teramat halus, Nanto berdiri dengan tegap di antara kedua sosok yang tengah berseteru itu. Ki Juru Martani berdiri dengan jumawa dan berkacak pinggang, sementara om Janu terkapar di tanah dan terkekeh-kekeh.

“Bagus… bagus sekali! Pertarungan jadi segitiga sekarang. Thriple threat. Hahahaha, Nanto! Kamu datang di saat yang tidak tepat, cah bagus! Tadinya aku hampir menang. Sial sekali kenapa kamu harus datang. Ahahhaahah. Uhuuuukghh!” Darah muncrat dari bibir Om Janu, ia terbatuk dan membuang darah yang tersisa ke tanah. Posisinya masih duduk tak jauh dari si Bengal dan Ki Juru Martani.

“Siapa bilang segitiga?” Nanto menyeringai. “The enemy of your enemy is a friend. Kalau saya tidak salah kutip artinya musuh dari musuhmu adalah teman. Bukan demikian Ki Juru Martani?”

Ki Juru Martani terbang dan berdiri di samping si Bengal, “Betul sekali bocah. Untuk saat ini, marilah kita kesampingkan dulu urusan kita – karena ada bedebah yang harus kita berangus. Dia bajingan luar dalam busuknya. Tak pantas menjadi manusia!”

Om Janu terbelalak melihat Nanto dan Ki Juru Martani malah berdiri sejajar. Dengan amarah besar dia mengumpulkan Ki dan menghempaskan tenaga dalamnya ke depan! Kidung Sandhyakala berkumandang!

Jblaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Hempasan tenaga dalam itu menghantam satu atap rumah di kejauhan dan langsung merobohkannya. Nanto menghindar ke kiri dan Ki Juru Martani ke kanan. Keduanya lantas melesat ke depan bersamaan dalam satu rangkaian serangan seirama yang entah bagaimana bisa mereka lakukan meski belum pernah beradu ilmu sebelumnya.

Om Janu mendengus kesal, ia bangkit berdiri dengan satu loncatan, dan menghimpun Ki. Ia melapisi dirinya dengan segenap tenaga dalam yang ada, membentuk perlindungan dalam wujud bubble energi bulat yang menaungi tubuhnya.

Terdengar raungan sang Raja Naga, satu hempasan tenaga dalam memukul pertahanan Om Janu. Tubuh pria itu terbanting ke samping karena kuatnya tenaga dalam yang dilepas si Bengal! Tapi bulatan gelembung perlindungannya masih kokoh bertahan dari gempuran! Kembali Om Janu bangkit dan berlari mencari tempat perlindungan yang lebih baik. Ia menemukan pendopo yang berada di luar area Museum Sang Pangeran! Kesanalah ia menuju!

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!

Tubuh Om Janu melayang disambar tenaga dalam si Bengal sekali lagi. Ia terguling-guling namun berhasil masuk ke dalam pendopo. Pria itu pun menghimpun Ki untuk melancarkan serangan balasan, tapi belum sampai ia berhasil melakukannya, dua tangan raksasa berwarna hitam yang muncul dari dalam tanah menepuk pendopo tempatnya berlindung!

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!

Pendopo itu bergetar hebat tapi masih kokoh berdiri berkat tenaga dalam sang pimpinan QZK. Gigi Om Janu bergemeretak geram, kenapa tiba-tiba Ki Juru Martani dan Nanto bersatu!? Sial benar dia harus menghadapi keduanya sekaligus! Dengan kumpulan bola energi yang dihimpun dari tenaga dalamnya, Om Janu melontarkan serangan ke arah si Bengal!

Bdddddmmmm!

Tch!” dengan mudahnya Nanto menepis serangan itu, tapi om Janu tak berhenti, serangan itu datang lagi dan lagi dan lagi!

Bdddddmmmm! Bdddddmmmm! Bdddddmmmm!

“Serangan seperti itu tak akan mempan untuk menghadapiku, Om! Mau sampai kapan melontarkannya? Menghabis-habiskan tenaga saja! Ayolah, jangan bertarung seperti seorang amatiran! Om Janu bisa lebih hebat daripda ini! Kidung Sandhyakala jauh lebih ampuh daripada lontaran tembakan tenaga yang monoton seperti ini!” Nanto melompat-lompat dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan untuk menghindari serangan Om Janu sekaligus mencoba memompa emosi sang lawan, sesekali ia harus menepis tembakan tenaga dalam itu karena sangat dekat dengannya. Dikata tidak mempan memang tidak mempan, tapi terkena sekali saja lontaran tenaga dalam itu, bisa gosong terbakar!

Bdddddmmmm! Bdddddmmmm! Bdddddmmmm!

Tak ada satupun lontaran energi om Janu yang mengenai si Bengal. Pria itu pun mendesis geram, “Bocah dungu! Kamu sama sekali tidak tahu apa itu strategi!”

Bruaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakghhhhhhh!

Atap pendopo tempat om Janu berlindung mulai robek karena dibuka paksa oleh dua tangan raksasa yang muncul dari dalam tanah. Pimpinan QZK itu pun menghela napas, ia menyorongkan tenaga dalamnya ke atas.

Bdddddmmmm! Bdddddmmmm!

Kedua tangan raksasa itu mundur karena terkena sambaran tenaga dalam Om Janu. Tapi dari sisi kiri kemudian menyeruak pukulan tangan kosong yang tak disangka-sangka.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaakghhhhh!

Om Janu tersungkur, ia sama sekali tidak mengira akan ada yang berhasil masuk ke dalam area pertahanannya tanpa terdeteksi! Itu artinya siapapun yang memukulnya sama sekali tidak menggunakan tenaga Ki!

Nanto berdiri di samping kirinya, wajahnya terlihat memerah karena menahan emosi, kedua kepalan tangannya digenggam teramat erat, “Berdiri, Om! Berdirilah! Ijinkan aku menghajarmu dengan kedua tanganku ini – bukan dengan tenaga dalam seperti pengecut, bukan dengan ilmu kanuragan antah berantah. BERDIRI!”

“Heheh. Baiklah.” Om Janu berdiri, tapi pada saat yang bersamaan ia melontarkan tenaga dalam ke arah si Bengal! Sekali licik akan selamanya licik. Sejak tadi ia memang banyak sekali menghimpun tenaga dalam yang dikelompokkan ke dalam kantong-kantong energi, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh om Janu seorang. Kantong-kantong energi ini kemudian dilontarkan bergantian saat dibutuhkan.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaammmmmhhhhh!

Nanto menyilangkan tangan di depan wajah, sambaran tenaga dalam itu mendorongnya ke belakang beberapa meter jaraknya. Tak sampai menghanguskan lengan memang, tapi cukup menyengat dan membuat Nanto kehilangan momentum.

Om Janu melompat, memutar badan, dan mengeluarkan tendangan berputar.

Bledaaaaaaaaakghhh!

Serangan itu menyengat pertahanan Nanto yang baru saja mengangkat lengan untuk melindungi wajah bagian kirinya, ia sampai mundur dua langkah ke belakang karena kuatnya tendangan sang pimpinan QZK. Begitu Om Janu turun ke bawah, Nanto melepaskan dua pukulan beruntun ke arah dada dan perut, Om Janu berhasil menepisnya dengan cekatan.

Keduanya mundur hingga jarak keduanya hanya berkisar dua meter.

Nanto dan Om Janu saling bertatapan, keduanya lantas mengucapkan barisan kata yang sama, “Angkara gung ing angga anggung gumulung.”

Keduanya berteriak kencang bagaikan dua monster yang sama-sama saling menantang dan sama-sama melontarkan kepalan berselimut Ki. Ledakan pertemuan kedua pukulan pun terjadi tanpa bisa dihindari. Kemanapun melangkah, kepalan itu akan selalu mengikuti.

Hantaman Om Janu dibalas oleh Nanto.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!

Baik si Bengal maupun om Janu sama-sama terlontar keluar dari pendopo, tapi tak sampai terjatuh. Mereka mengambil posisi tegap sekuat tenaga, lalu berlari ke pendopo bersama-sama. Sampai di dalam, keduanya langsung bertukar pukulan dengan kecepatan tinggi!

Serangan ke kanan, kiri, kanan lagi, atas, bawah, kiri, bawah, kiri.

Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh!

Setiap pukulan yang dilepaskan Om Janu seakan-akan mampu dibaca oleh Nanto dan begitu juga sebaliknya. Tukar menukar pukulan terjadi berulang dan bergantian. Setiap kali Nanto melepaskan hantaman, selalu bisa ditepis oleh sang pemimpin QZK. Sebaliknya setiap kali Om Janu melontarkan serangan, Nanto selalu bisa menghindar. Keduanya memanfaatkan Gerbang Kewaspadaan pada Kidung Sandhyakala untuk mengetahui arah serangan lawan.

Sekali lagi serangan ke kanan, kiri, kanan lagi, atas, bawah, kiri, bawah, kiri.

Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh!

Semua dimentahkan.

Penggunaan ilmu kanuragan yang sama membuat keduanya seimbang, tentu saja Om Janu menjadi geram, “Bangsat. Sombong sekali kau tidak menghadapiku dengan Nawalapatra 18 Serat Naga! Kamu pikir kamu mampu mengalahkanku?” desis Om Janu, “Keluarkan ilmumu, bocah brengsek! Kamu anak kemarin sore mau menghinaku seperti apalagi!?”

“Tidak perlu mengeluarkan jurus apapun. Aku tidak punya rasa simpati setinggi itu untuk menggunakan ilmu pamungkas terhormat demi mengalahkan seorang pembunuh yang tega membantai keluarga sendiri,” Nanto dengan tenang menjawab, ia sama sekali tak merasa lelah meski Om Janu mulai kegerahan dan keringatnya mengalir deras. Nanto bagaikan air yang mengalir, mengikuti irama permainan Om Janu dan menggunakan jurus yang sama untuk meledeknya.

“Tidak mengeluarkan jurus pamungkas? Kamu menghinaku seperti seekor anjing, Nanto. Kamu sudah tahu konsekuensinya,” Om Janu melingkupi tubuhnya dengan Ki yang membanjir, kilat-kilat menyelimuti tubuhnya karena besaran Ki yang menyelimuti. Seluruh tubuhnya kini bagaikan baterai yang menyala terkena sambaran listrik, “Kamu sudah mencetak sertifikat kematianmu sendiri sekaligus kekasihmu. Ucapkan selamat tinggal pada Kinan. Kamu tak akan bertemu dengannya lagi seumur hidupmu.”

Kabooooooooooooooom!

Di depan Om Janu, Nanto melakukan hal yang sama sepertinya. Dalam waktu singkat si Bengal menyelimuti tubuhnya dengan energi Ki yang menyala-nyala bagaikan selimut tembok baja berlistrik yang tak kasat mata, “Aku akan menemukannya dan aku akan menyelamatkannya.”

Kraaaaaaaaaakkkaaaaaaaaabbboooooooooooom!

Belum usai kedua anggota Trah Watulanang itu bercakap-cakap, guncangan besar terjadi. Atap pendopo kini rusak sepenuhnya, dibuka melebar oleh tangan-tangan hitam raksasa yang diperintah oleh Ki Juru Martani yang mendekat ke arena pertarungan. Tentu saja dia tidak akan tinggal diam menyaksikan pertarungan Nanto dan Om Janu. Luka-luka yang tadi dia derita karena ditusuk oleh Om Janu seakan menghilang setelah ia beristirahat dan bersemedi sebentar.

Melihat kehadiran Ki Juru Martani, petir dan kilat yang menyambar-nyambar di tubuh om Janu bagaikan ular listrik makin menyala-nyala. “Begitu rupanya. Kalian berdua mau melawanku berbarengan? Majulah,” suara om Janu bagaikan nada suara robot yang berganda, “aku sudah tak peduli siapa lawan dan siapa kawan.”

Wajah Om Janu mulai menghitam dengan garis kuning menggaris dari batas kening ke bawah rahang baik di sisi kanan dan kiri. Entah apa yang dilakukan oleh Om Janu, yang jelas ia sudah menyampurkan Kidung Sandhyakala dengan ilmu kanuragan lain yang jauh sangat mumpuni.

Ki Juru Martani mendengus ia menegakkan tangan ke atas, “Gaduh Banaspati.”

Tangan raksasa di atas pendopo terayun dan tiba-tiba saja bola api raksasa luruh layaknya asteroid turun menghantam bumi!

Kraaaaaaaaaakkkaaaaaaaaabbboooooooooooom!

Om Janu meloncat menghindar dari ledakan besar yang menghancurkan pendopo. Ia bersalto ke atas dan memutar badan dengan kecepatan tinggi, membentuk bola kilat di angkasa. Kilat-kilat itu menyambar kemana-mana seperti bunga-bunga alat las yang bertemu dengan besi, teriakan sang pimpinan QZK pun membahana, “Hraaaaaaaaaaaarrghh!”

Booooooooom! Boooooooooom! Boooooooom! Booooooooooooooom!

Kemanapun kilat menyambar, terjadi ledakan. Pohon terbakar, tiang roboh, tembok rubuh, pendopo runtuh. Entah jurus apa yang tengah dipertontonkan oleh sang pimpinan QZK itu, yang jelas itu bukan lagi Kidung Sandhyakala murni.

Nanto berlari kesana-kemari karena dikejar oleh kilat dari bola energi tempat Om Janu berada. Ia meloncat dari batu ke tembok, ke pohon, dan ke atap. Kemanapun asal bisa menghindar. Cepatnya serangan sambaran kilat dari Om Janu membuatnya tidak bisa menarik napas barang sekejap saja. Tidak jauh dari si Bengal, Ki Juru Martani juga melakukan hal yang sama, dia mencoba menghindar dari kilat-kilat yang menyambar. Kedua tangan raksasa di atas Om Janu saling menyilangkan jemari, membentuk kaitan kepalan tangan, lalu menghantam bola api energi yang merupakan perwujudan pertahanan dari Om Janu.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Bola tenaga itu luruh ke tanah dan pecah berkeping-keping tapi Om Janu tidak ada di dalamnya. Pemimpin QZK itu sudah berpindah posisi, jauh di dekat sebuah area pemakaman, berdiri santai di atas sebuah nisan berkubah. Nanto melirik ke arah Ki Juru Martani. Ki Juru Martani melirik ke arah si Bengal, keduanya sama-sama mengangguk, lalu berlari ke arah Om Janu. Ki Juru Martani lebih tepat dikatakan terbang daripada berlari karena ia menggunakan ringan tubuhnya yang papan atas untuk mencapai posisi di mana Om Janu berada.

Om Janu mendengus, ia sudah mempersiapkan diri, ia menghimpun tenaga dalam yang sangat massive, melindungi dirinya dalam satu gelembung energi listrik besar. Kidung Sandhyakala bergabung dengan ilmu kanuragan yang tak dikenal.

“Hrrrrrrrrrrraaaaaaarrrghhh!”

Sambaran listrik menyambar ke depan, cahaya zigzag mengincar siapapun yang ada di jalurnya. Nanto mengambil jalur darat sementara Ki Juru Martani dari udara. Keduanya mencoba menghindari sapuan jalur sambaran energi dari Om Janu.

Ki Juru Martani melaju dengan kencang sembari merapal jurus berikutnya, “Wahai Datuk Kumbang, kirimkan padaku sepuluh perwiramu.”

Raungan menghebat terdengar di gelap malam, raungan yang bertubi-tubi yang tidak hanya muncul dari sosok tapi dari sepuluh ekor binatang buas haus darah yang menggeram dan menggerus, mencari mangsa selanjutnya. Bau anyir menyebar, sepuluh sosok siluman harimau muncul, berlari kencang bersamaan dengan terbangnya Ki Juru Martani ke arah Om Janu.

Sementara tak jauh di sampingnya, Nanto yang sedang berlari meraung kencang, tubuhnya diselimuti oleh tenaga listrik yang menyambar-nyambar di sekujur badan. Ia meloncat ke atas, membentuk busur yang mengarah ke Om Janu. Gelembung energi berlistrik di sekitar sang Pimpinan QZK bagaikan benteng yang tak tertembus, tapi demi apa Nanto tidak akan mencoba menghancurkannya! Ia mengangkat telapak tangan ke angkasa, bagaikan menarik petir dari langit, dan melemparkannya ke arah gelembung energi pelindung Om Janu!

Brakakakakkaakakaboooooooooooooooooooom!!

Benturan energi dahsyat terjadi, Om Janu mengernyit, ia terdesak mundur bahkan hampir terjatuh dari posisinya sekarang di atas kubah nisan. Kakinya gemetar karena desakan energi dari si Bengal, tapi ia tetap bertahan. Gelembung itu tetap tak tergoyahkan. Sepuluh harimau siluman menyerang gelembung yang sama, tapi mereka terpental, begitu juga dengan tangan raksasa sang Tanpa Wajah andalan Ki Juru Martani. Saat menghantam gelembung energi Om Janu, pria pemimpin wilayah utara itu memang terdesak, tapi tak luruh ke bawah. Gelembungnya dengan dahsyat melindungi.

Brakakakakkaakakaboooooooooooooooooooom!!

Ledakan besar terjadi di sekitar gelembung, nisan-nisan berhamburan, ceruk dalam terbentuk. Bagaikan hasil terjangan nuklir yang membentuk di sekitar sang Pimpinan QZK. Om Janu sendiri sedang terengah-engah karena mencoba menggunakan tenaga yang teramat besar untuk bertahan, ia tahu tak bisa seperti ini terus. Kini saatnya untuk menyerang balik!

“Hraaaaaaaaaaaaaarrghhh!”

Om Janu yang wajahnya sudah menghitam menjadi semakin hitam, sementara garis kuning yang menggaris dari kening ke bagian rahangnya makin tebal dan makin menyala. Ia melompat ke bawah, dan menghentak tanah.

Brrrrrrrrrrrwaaaaaaaagggghhhhhhhhhhhh! Brrrrrrrrrrrwaaaaaaaagggghhhhhhhhhhhh!

Bagaikan torpedo, dua hempasan tenaga dalam besar melesat menyusur tanah. Kedua serangan itu mengarah ke dua tujuan. Satu ke si Bengal, satu lagi ke Ki Juru Martani. Keduanya melompat ke atas secara reflek. Dengan mudah serangan itu dihindari oleh Ki Juru Martani dan si Bengal, tapi ternyata tidak hanya menyusur tanah, bola api energi muncul menyeruak ke atas dari dalam tanah dan langsung menyergap Ki Juru Martani dan si Bengal yang terpaksa hanya bisa bertahan.

Boooooooooom! Boooooooooooooooooom!

Ledakan terjadi. Kedua sasaran Om Janu menerima serangan dengan gagah dan tak kurang suatu apa meski terlempar ke belakang cukup jauh. Mereka berdua mendarat kembali dengan ringan dengan posisi sejajar.

Ki Juru Martani mengelus-elus salah satu harimau astralnya, sembari melirik ke arah si Bengal, “Ada-ada saja jurus Om kamu yang satu itu. Lama-lama aku jadi kesal juga menghadapinya, terlalu bertele-tele dan tidak ada juntrungannya. Jurus yang digunakan Janu adalah hasil dari latihan Ilmu Pengubah Otot. Itu sebabnya wajahnya berubah menjadi hitam dengan garis kuning. Kamu mengenalinya? Tidak? Ya sudah tidak usah dipikirkan. Jadi, bagaimana menurutmu, Nanto? Apakah kamu juga lelah menghadapi yang beginian? Tadinya kupikir dia punya ilmu kanuragan yang lebih mumpuni, tapi ternyata hanya begini saja. Lelah sekali rasanya, kalau kamu bagaimana?”

“Yeah. Lelah sih tidak, lebih ke jengkel sekali dengan pengecut satu ini,” Nanto mendengus, “Bagaimana kalau kita sudahi saja? Aku ingin merobek-robek gelembung pelindungnya. Setelah itu baru aku menghadapi njenengan, Ki Juru Martani.”

Pakdhe Wid tersenyum culas, “Bagus sekali semangatmu, Nanto. Bagus sekali. Itu yang aku suka dari anak muda. Tenang saja, akan kulayani maumu setelah menghabisi bedebah satu ini.”

“Baiklah.”

Brrrruaaaaaaaakghhh!

Sesosok tubuh terguling-guling di hadapan Ki Juru Martani dan si Bengal. Tubuh yang sudah lunglai tak berdaya dengan asap yang keluar dari sekujur badan. Kesadaran sosok itu diyakini sudah hilang – meski belum mati, tapi sudah sekarat. Mulutnya terbuka lebar dan menghitam seperti gosong, seperti baru saja dipaksa menelan sentakan tenaga dalam. Tubuh itu… adalah tubuh sang dukun hitam – Ki Demang Undur-undur.

Di antara Nanto dan Pakdhe Wid, kini berdiri sosok lain yang tak kalah jumawa, Pak Zein yang sudah tak mempedulikan luka-lukanya sendiri dan tentunya Dewi Uma besertanya. Pimpinan JXG itu melirik ke arah Nanto dan Ki Juru Martani, “Aku tak mau ketinggalan. Janu harus menjawab semua kekacauan yang selama ini dia timbulkan. Ini saatnya menuntaskan.”

Keempat tokoh jawara itu berdiri sejajar menantang Om Janu yang geram sekali saat melihat Ki Demang Undur-undur sudah takluk di tangan Pak Zein dan Dewi Uma. Beginilah kalau lengah, seluruh rencananya hancur berantakan. Sekarang apa-apaan ini? Satu lawan empat?

Om Janu meludah, mereka mau mengeroyoknya? Dia ladeni!

Mereka berlima segera memasang kuda-kuda.





.::..::..::..::.





Sementara itu, tak jauh dari arena.

di sebuah gang yang gelap dan kecil, dua sosok laki-laki menyaksikan jalannya pertarungan dari kejauhan. Mereka berdua sengaja bersembunyi dan tidak mengaktifkan Ki supaya tidak terdeteksi. Kedua orang itu menyamarkan wajah mereka di bayangan gedung yang gelap gulita tanpa cahaya penerangan.

Njenengan tidak kesana? Bukankah ini alasan njenengan memilih untuk masuk ke arena? Untuk menemui pimpinan-pimpinan yang lain?” tanya salah seorang di antara dua dengan berbisik-bisik, “Njenengan tidak ingin bergabung dengan kekuatan besar itu? Bukankah njenengan juga punya daya linuwih?”

Bintoro Muji Wiguno alias BMW tersenyum dan menyilangkan jemari di depan bibir, pertanda ia meminta sang lawan bicara untuk tidak terlampau cerewet dan menanyakan hal yang tidak perlu ditanyakan, sang preman berpakaian biker itu tersenyum, “Sudah diam dulu saja, aku mau lihat seberapa jauh kekuatan mereka semua. Kamu berjaga saja di sekitar sini dan pastikan suasana aman. Paham, Komandan Wira Sakti? Teman-teman yang baru datang dari luar kota langsung saja dikerahkan untuk mengawal dan menyelamatkan Ki Juru Martani seandainya nanti terluka. Tak boleh ada yang bisa menyentuhnya, paham? Aku percayakan parameter tempat ini padamu.”

“Paham sekali, Penguasa Benteng Selatan.”

Senyuman licik melebar di bibir Om BMW yang mengelus-elus jenggotnya dan tetap fokus ke arena pertempuran.





.::..::..::..::.





Kembali ke arena, empat lawan satu sudah jadi issue utama.

Ki Juru Martani berteriak kencang, “SEKARAAAAAAAAAAAANG! SERAAAAAAAAAANG!”

Entah sejak kapan tiba-tiba Ki Juru Martani menjadi pimpinan keempat lawan Om Janu, tapi itulah yang terjadi. Keempatnya bergerak bersamaan sementara Om Janu melebarkan kawasan gelembung pertahanannya. Ia bersiap karena sudah pasti keempat lawan itu lebih dari mampu untuk membongkar gelembung pertahanannya.

Inti Angin Sakti! Angin Cadas Menggempur Karang!” Pak Zein terbang tinggi dan menyerang dari bagian atas.

Gaduh Banaspati!” Ki Juru Martani mengayunkan tangan dan rangkaian bola api energi teramat besar dilontarkan oleh kedua tangan raksasa yang berada di belakang tubuhnya.

“Tchiiaaaaaaaaaaaaaaa!! Tarian Selendang Ular!” Dewi Uma merubah wajahnya menjadi tengkorak dan terbang ke depan dengan memanfaatkan selendang-selendangnya untuk membongkar pertahanan Om Janu.

Angkara gung ing angga anggung gumulung!” Nanto menjadi yang terakhir berucap.

Keempatnya melaju bersamaan. Meski tak menggunakan Nawalapatra 18 Serat Naga, tapi ada raungan naga di langit malam. Bersamaan dengan Ki Juru Martani, berlari pula kesepuluh harimau dan si Tanpa Wajah – genderuwo peliharaannya. Pak Zein membentuk angin topan beliung dahsyat yang menyerang dari atas tanpa ampun. Semua selendang pencabik milik Dewi Uma bergerak haus darah.

Kablaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam! Blaaaaaaaaaaaaaaam!! Boooooooooom!! Boooooom!!

Serangan dahsyat bola api energi raksasa dari Ki Juru Martani mengguncang bumi, membuat Om Janu tak dapat lagi berpijak dengan normal. Bagaikan monster yang mengamuk dan gelap mata, Pak Zein berhasil membuka celah di gelembung energi Om Janu. Ketiga rekannya masuk melalui celah itu dan menggempur Om Janu.

Mereka yang melihat tak akan mempercayai mata, saat ketiga lawan mendekat ke arah sang pusat kekacauan, dan tiba-tiba saja ledakan besar terjad i.

Brakakakakkaakakaboooooooooooooooooooom!!

Krakakakakkaakakaboooooooooooooooooooom!!

Krakakakakkaakakaboooooooooooooooooooom!!


Debu-debu berterbangan, angin putih beliung menyebar dan meniup jalanan dengan enggan. Sesaat kemudian senyap, diam, tenang, tak ada suara sekecil apapun. Tak ada yang nampak kecuali kabut debu pekat yang menyesakkan tenggorokan.

Hampir beberapa detik berlalu, tanpa ada teriakan, tanpa ada erang kesakitan, tanpa ada suara satupun. Ceruk teramat lebar terbentuk karena benturan energi kelima petarung yang mengeluarkan kedashyatan mereka, ceruk di tanah yang hampir ratusan meter lebarnya. Ceruk yang menggambarkan kekuatan besar para jawara.

Adalah Dewi Uma yang pertama kali terlihat bangkit di antara debu-debu yang mulai menyingsing. Ia melihat ke arah jauh dan mulai mencari-cari. Akhirnya ia menemukan apa yang ia cari.

Pak Zein dan om Janu sama-sama tergeletak tak lagi bergerak. Keduanya masih tetap bernafas dan keduanya masih tetap menunjukkan tanda-tanda kehidupan, tapi siapakah di antara mereka berdua yang mampu kembali bangkit dan menuntaskan pertarungan?

Dewi Uma yang terluka mencoba mendekat ke arah sang pimpinan JXG dengan merangkak perlahan. Wanita yang terus mengeluarkan darah dari bibirnya itu sudah terluka dalam dan sudah kepayahan. Tapi rasa pedulinya pada Pak Zein membuatnya berusaha keras menuju ke arah sang pria yang juga sudah tergeletak itu.

“Ma… Mas…” Dewi Uma mengulurkan tangan.

Pak Zein mengulurkan tangannya dan tersenyum, “Aku tidak apa-apa.”

Sang Dewi pun tersenyum dan luruh ke dalam pelukan sang idaman dengan satu hentakan tenaga yang mungkin menjadi sisa kekuatan terakhir yang ia punya, ia gunakan tenaga terakhirnya bukan untuk melawan musuh yang ada, tapi untuk bersatu dengan pria yang ia cinta. Wanita jelita itu mencoba menutup darah masih mengucur di tubuh Pak Zein dengan kedua tangannya sembari memeluk sang jantung hati.

Di sisi lain, Om Janu masih tergeletak, entah tak sadarkan diri ataukah sedang menghimpun tenaga. Ada sesosok tangan yang mencoba menarik tubuhnya untuk meninggalkan arena, tangan yang mencoba menyelamatkannya.

Yang jelas malam itu, peta kekuatan di kota sudah berubah.





.::..::..::..::..::.





“KI JURU MARTANI!”

Ki Juru Martani yang rupanya sedang duduk dengan santai di salah satu pendopo yang tersisa dan tengah mengamati interaksi antara Pak Zein dan Om Janu dari kejauhan akhirnya menengok ke satu arah. Ada Ki yang terbaca dari arah itu, Ki dengan kekuatan yang sebenarnya tidak besar, namun stabil dan terjaga rapi. Siapapun orang ini, dia mampu menyembunyikan aura Ki-nya yang asli. Ki-nya ditekan hingga seakan-akan tidak memabukkan walau sesungguhnya tidak manusiawi.

Sang pria tua langsung excited karena ia tentunya bisa menebak siapa orang yang memanggilnya.

“Kupikir kemana saja, Raja Naga. Sudah kutunggu-tunggu.”

Dari balik debu yang menggumpal tertiup angin basah oleh hujan gerimis, sesosok pemuda melangkah tenang memasuki area pertahanan sang arsitek kekacauan. Dia bahkan tak gentar melihat apa yang baru saja ditunjukkan oleh Om Janu, Dewi Uma, dan Pak Zein.

Pemuda itu hanya mengincar satu orang saja, “Ki Juru Martani. Akhirnya sekarang kita bisa bertemu secara langsung dan bertatapan face to face. Selama ini anda malu-malu kalau ingin saya temui. Entah itu pakai topeng, dari jarak jauh, atau karena hal-hal lain.”

Ki Juru Martani tersenyum, “Aku punya alasan sendiri, Nanto cah bagus.”

Dari semua arena pertarungan yang tersaji malam itu antara QZK dan KRAd melawan JXG dan Aliansi, podium utama akhirnya mengerucut pada dua sosok yang saling berhadapan saat ini. Dua pentolan berkekuatan dahyat yang memang ditakdirkan untuk bersua.

Di sekeliling mereka kini terhampar kekacauan. Apa yang sebelumnya merupakan Museum Sang Pangeran nan agung, kini hanya tersisa tanah lapang yang becek dan basah, dengan gedung-gedung roboh, dan pohon-pohon yang berjajar tumbang terbengkalai. Hujan terus menderai, genangan tak terhitung, kubangan terbentuk semenjana. Hawa dingin malam bercampur dengan panasnya arena pertarungan.

Adalah Raden Yama Widura alias Pakdhe Wid, pria dengan banyak julukan, sang arsitek kekacauan, pimpinan koalisi QZK dan Krad yang sering disebut dengan nama panggilan Ki Juru Martani, pimpinan dari Kelompok Bengawan dari kota seberang sehingga dijuluki Penguasa Bengawan.

Dialah yang akan berhadapan langsung dengan pimpinan Aliansi yaitu si Bengal - Jalak Harnanto.

Pertemuan keduanya memang tak terelakkan dan harus terjadi.

Keduanya sudah saling mengenal dan sama-sama saling mengetahui kalau lawan mereka bukanlah kelas teri. Ki Juru Martani sudah sejak lama dan dengan berbagai cara berusaha mencegah bangkitnya kekuatan dalam diri Nanto, tapi sepertinya tidak ada yang bisa menghentikan bangkitnya sang Raja Naga. Mau tak mau dialah yang harus turun tangan langsung untuk menghentikan si Bengal.

Nanto sendiri juga sudah berusaha meningkatkan kemampuannya agar setara dengan para pimpinan kelompok besar. Hasilnya kini terlihat bahwa si Bengal sudah memiliki bekal kekuatan untuk membuktikan kemampuannya. Apa yang ditakdirkan untuknya tengah dijalani. Dalam usianya yang masih sangat muda, Nanto adalah seorang anomali dan pembeda.

“Ki Juru Martani,” Nanto melangkah ke depan untuk menghadapi sang musuh utama, yang tak lain dan tak bukan adalah Raden Yama Widura, pakdhe dari Deka sahabatnya, “Sudah sejak lama menjadi pertanyaan besar yang tidak kunjung ada jawabannya. Pertanyaan besarnya adalah… kenapa? Kenapa melakukan semua ini? Kenapa semua rencana berlapis-lapis ini? Untuk apa sebenarnya njenengan melakukan semua tindakan busuk ini? Korban nyawa tak bersalah telah berjatuhan. Bahkan ketika saya kini mengetahui jati diri njenengan, saya tambah bingung. Kenapa begitu tega? Keponakan-keponakan njenengan sendiri juga telah menjadi korban ambisi. Ini tidak main-main lagi dan saya tidak paham jalan pikiran njenengan. Untuk apa semua ini terjadi? Kemewahan? Sudah dimiliki. Kekayaan? Tidak diperlukan lagi. Kekuasaan? Njenengan sudah punya. Jadi apa? Buat apa dan kenapa?”

Ki Juru Martani tersenyum, “Apa dan kenapa. Dua pertanyaan besar yang bisa dijawab panjang lebar tapi bisa juga pendek, atau bahkan tidak perlu kujawab sama sekali. Kami pikir apakah kamu merasa berhak mengetahuinya?”

“Sebenarnya sih aku tidak peduli, tapi rasanya aku berhak tahu. Setidaknya aku paham kenapa ini semua hal tidak masuk akal ini terjadi.”

“Hahahaha. Sungguh rasa ingin tahu itu adalah hal yang baik. Otak kita jadi teruji untuk membaca kejadian berdasarkan logika, berdasarkan pengetahuan. Kalau bukan kita sendiri yang menyediakan kamus pengetahuan itu, lalu siapa lagi? Hahahaha. Baiklah. Rasanya tidak ada yang perlu dirahasiakan sekarang. Kamu mau tahu yang sesungguhnya, bocah?”

“Ya.”

“Jawabannya adalah karena sejarah.”

“Sejarah?”

“Sejarah. Tentu kamu tahu kalau sejarah ditulis oleh para pemenang,” Ki Juru Martani tersenyum melihat Nanto mendengarnya dengan sungguh-sungguh, “Kenyataan perang dan fakta seringkali dibelokkan dan saat ini terjadi pembelokan sejarah yang sudah berlangsung secara bertahun-tahun secara keterlaluan, anak-anak sekarang tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dulu kala di Jawadwipa. Padahal pendiri negara kita sudah menegaskan, jasmerah – jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi tidak banyak yang memahaminya.

“Jadi sudah jelas bahwa sejarah harus dikembalikan ke jalurnya yang tepat agar Jawadwipa tak ditelan angkara murka. Pernah diramalkan oleh para filsuf di masa lalu, bahwa jika tidak eling lan waspada, maka Jawa akan terbelah. Ramalan itu menjadi kasunyatan. Jawadwipa terbelah-belah dan terbagi. Karena itu sudah terjadi, maka sewajibnya dikembalikan ke tatanan yang semula. Meskipun untuk itu semua yang tadinya terbelah harus dihancurkan terlebih dahulu untuk membentuk tatanan yang sepadan dan dibangkitkan menjadi lebih agung di era baru.”

“Tidak paham.”

“Wajar saja. Kamu kan bocah bau kencur. Mana paham kamu dengan sejarah. Mana paham kamu dengan kejayaan masa lalu yang dibelokkan menjadi kehancuran. Inilah kenapa perlu membangun kembali Nagari Jawadwipa yang sejati.”

“Mohon dijelaskan. Kita punya banyak waktu.”

Ki Juru Martani tertawa sembari melangkah ke satu-satunya pendopo yang masih berdiri tegak di tengah kekacauan yang mengukung kedua petarung utama Koalisi dan Aliansi itu.

“Bertahun-tahun lalu… atau bahkan ratusan tahun yang lalu, tersebutlah sebuah kerajaan besar yang dibangun dengan perjuangan, strategi, tenaga, keringat, air mata dan darah. Kerajaan besar yang memperoleh kejayaan dengan jalan yang tak mudah, namun mampu tumbuh dan berkembang dengan indah. Kerajaan yang bercita-cita menyatukan tanah Jawa dalam satu tarikan napas, dalam satu helaan bahasa, dalam satu aliran budaya, dan dalam satu pemerintahan yang agung, luhur, dan penuh berkah.” Ki Juru Martani duduk di dalam pendopo, ia menunduk seakan-akan menceritakan sebuah kisah yang menyedihkan, “Begitu besarnya kerajaan ini sehingga kejayaannya bahkan sampai ke telinga para raja dari seberang lautan dan membuat jerih semua lawan. Kerajaan ini begitu terkenal, populer, disegani, adil, dan makmur. Memiliki para panglima yang sakti mandraguna sehingga mampu menumpas semua pemberontakan. Singkat cerita, kerajaan itu adalah sebuah utopia yang mewujud secara natural dengan tatanan yang adiluhung.

“Tapi jika ada awal maka sudah pasti ada akhir. Masa kejayaan kerajaan besar itu tak lama. Semua kehidupan yang indah seketika berubah ketika kaum penjajah dari benua seberang datang, para dedemit berkulit putih yang datang dari Eropa dengan kekuatan besar yang mampu menerapkan taktik adu domba dengan liciknya, mengubah kawan menjadi lawan, mengubah saudara menjadi bencana.

“Kerajaan yang semula hebat ini pun tercerai-berai karena taktik busuk yang menghancurkannya dari dalam. Melalui sebuah taktik yang diprakarsai oleh para penjajah, perebutan kekuasaan terjadi karena hasutan. Diawali dari perang melawan pemberontak, terbitlah perang yang tak dikehendaki karena para punggawa keraajaan gagal memahami apa arti keikhlasan dan persatuan, hanya demi ego dalam sanubari. Sayang sungguh sayang. Perang pun berkobar, saudara melawan saudara, adik melawan kakak, paman melawan keponakan.

“Kerajaan yang semula besar dan bersatu, pada akhirnya terbelah menjadi empat bagian. Darah yang terbagi menjadi empat bagaikan daun semanggi, agetih catur semanggen. Bersamaan dengan itu, mimpi mempersatukan Jawadwipa ke dalam satu bendera, hancur sudah. Pusat pemerintahan Kartanagari ditinggalkan, dipindahkan ke kawasan lain karena dinilai sudah tidak mewakili jiwa kerajaan yang terbarukan. Mereka yang memisahkan diri membentuk kerajaan dan kadipaten sendiri yang masing-masing berdaulat secara mutlak. Budaya, bahasa, pemerintahan, semua terpisah dan terkelompokkan masing-masing.

“Semua bermula dan bermuara dari mangkatnya sang raja yang meninggal karena racun, yang entah siapa pelakunya. Tapi ketika tahta kemudian diberikan ke anak sulung yang menjadi boneka para penjajah, sepertinya jalur pembunuhan itu sudah terkuak bukan? Anak kedua dan ketiga pun memberontak, merasa bahwa tahta tidak pantas disematkan kepada seorang boneka. Tapi para penjajah sudah mencengkeram tahta. Anak ketiga dibuang ke negeri orang dan tak akan pernah kembali pulang, anak kedua luruh ketika diberikan tahta baru dan daerah kekuasaan. Ketiga pangeran sudah tak lagi punya kuasa. Satu-satunya yang masih melawan adalah putra anak ketiga, tokoh berjuluk Pangeran Samberjiwo. Pejuang besar yang punya prinsip kuat saat melawan penjajah: tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Mati satu, mati semua. Pasukannya tak pernah takut mati.

“Karena para pemilik tahta sudah dibongkar oleh janji penjajah, negeri yang besar pun dibelah. Kekuasaan terpisah karena satu perjanjian berdarah. Perjanjian Jayanti dan Perjanjian Benerpitu, dua perjanjian pembagi wilayah kekuasaan yang pada akhirnya berujung pada agetih catur semanggen. Hancurnya kerajaan menjadi empat wilayah yang bertahan hingga saat ini.”

“Rupanya begitu. Semua ini terjadi hanya gara-gara tukang gali artefak gagal move on,” Nanto manggut-manggut, ia pernah mendengar perihal ini dari kakeknya saat di desa. Asal muasal kenapa kota yang ia cintai dikenal sebagai daerah yang di-istimewakan dan apa hubungan antar keraton, “tapi apa urusannya itu semua dengan kita? Kita sudah hidup di jaman enak, semua sudah tertata, sudah jaman merdeka. Kota ini bukan lagi tanah perdikan, kita bukan pihak yang menentukan…”

Ki Juru Martani menggebrak meja di sampingnya, untuk pertama kalinya ia terlihat sangat emosi, “Kamu memang bukan penentu! Kamu cuma cecunguk kecil yang harus manut ketika dicucuk hidungnya! Kastamu beda dengan kami! Kami adalah para penerus keluarga kerajaan yang sah yang telah tersingkirkan! Saat terjadi pemberontakan demi pemberontakan hingga geger pecinan, leluhurku Pangeran Samberjiwo berjuang tanpa kenal lelah, membasmi lawan demi kerajaan, meski tak berbalas jasa apalagi penghormatan, tapi beliau berjuang tanpa pamrih untuk kerajaan. Beliau adalah putra sah dari pangeran yang terbuang, keturunan resmi raja yang semena-mena diasingkan ke negeri antah berantah hanya karena menantang para penjajah.

“Leluhurku tak gentar dan terus melawan tanpa lelah, bahkan berani melawan Kanjeng Sunan dan Ngarso Dalem – paman-pamannya sendiri. Ketika kedua pamannya akhirnya menjual diri demi tahta dan berbagi daerah kekuasaan pemberian penjajah, Leluhur Samberjiwo terus menentang dan terus meradang sampai akhirnya secara de facto, leluhur Samberjiwo diakui sebagai raja penguasa yang ketiga. Leluhur Samberjiwo akhirnya memperoleh hak meskipun hanya mendapatkan tanah dan gelar kadipaten, adipati yang setara dengan raja. Mereka bahkan tak berani menjadikannya raja di tanah sempalan karena takut rakyatnya akan meradang.”

“Dijelaskan tapi kok aku masih bingung,” Nanto garuk-garuk kepala, “Untung saja di pelajaran sejarah aku pernah belajar siapa itu Pangeran Samberjiwo. Sepak terjang Pangeran Samberjiwo memang mengagumkan. Seorang pahlawan dan petarung sejati. Aku juga pernah mendengar cerita tentang beliau dari kakek.”

Ki Juru Martani terkekeh, “Sepertinya kakekmu orang yang mengerti sejarah, karena nama Pangeran Samberjiwo tidak lagi setenar Kanjeng Sunan atau Ngarso Dalem. Nama beliau kini tak lebih dari fakta sejarah tanpa wilayah. Seorang pahlawan besar yang tak mendapatkan kehormatan selayaknya. Seorang besar yang dijatuhkan ke kasta terendah karena pengkhianatan orang-orang terdekatnya. Kami para keturunan beliau tentu sakit hati dan tak bisa membiarkan itu terjadi. Demi nama baik dan nama besar Pangeran Samberjiwo, penguasaan wilayah harus dikembalikan kepada yang berhak seperti sedia kala. Kita tidak bisa lagi membentuk kerajaan di dalam negeri yang sudah berdaulat, tapi kita bisa mulai dengan pengambilalihan kekuasaan wilayah secara bawah tanah.”

“Begitu rupanya.”

Ki Juru Martani tersenyum, pria tua itu membuka Ki-nya yang menyala dahsyat. Seluruh bumi seakan-akan bergetar menyambut kekuatan yang dimunculkan. Luka-luka yang ditimbulkan oleh tusukan om Janu sudah lenyap menghilang oleh Ki penyembuh paripurna yang dimilikinya. Anyaman api berwarna kuning dan merah menyala silih berganti menyelimuti tubuhnya.

Begitu hebat aura Ki yang sedang diperagakan oleh pria tua itu sehingga Ia sampai mengangkasa sembari terkekeh-kekeh menatap ke bawah – ke arah si Bengal. Tubuh Ki Juru Martani yang sudah dilalap api mendarat di atas atap satu-satunya pendopo joglo asli yang tersisa di Museum Sang Pangeran. Tangannya dihunjukkan ke depan, jari jemarinya ditarik ke dalam berulang, seperti mengundang dan menantang.

“Cerita sudah usai. Saatnya menuntaskan bab yang terlalu panjang ini,” ujar Ki Juru Martani, “Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep wayah atekane warsa, kepetung jaman perdikan, musna bali marang ingsun, nagari madeg sawiji. Saatnya menagih janji sesuai datangnya jaman baru. Majulah wahai sang pewaris tahta Naga.”

Sang Penguasa Bengawan yang sudah tak lagi memakai topeng itu tersenyum di balik lidah api yang menelannya, “Demi kejayaan leluhur Samberjiwo, aku ingin menjajal kekuatan sang Raja Naga.”

Nanto menyeringai. Dia naik ke atap pendopo yang sama dengan satu lompatan ringan. Keduanya berhadapan satu sama lain dengan jarak hanya sekitar tiga meter. Si Bengal menghempaskan tangannya ke samping. Bersamaan dengan itu, satu tenaga besar terlontar keluar dari tubuhnya. Hempasan debu-debu yang terkena sentakan tenaganya bertebaran dengan jarak hampir lima meter menjauh, membentuk satu lingkaran besar pada tanah hingga berceruk cukup dalam, yang bahkan hingga mengenai Ki Juru Martani. Meski hingga saat ini tidak nampak sedikitpun aura dari dirinya, tapi keluar arus besar dari dalam tubuhnya.

Ki Juru Martani tetap berdiri kokoh saat dihempas oleh tenaga dalam si Bengal. Tak bergeming seolah tak banyak pengaruh yang terjadi.

Drrrt.

Sebaliknya dengan bangunan tempat mereka berada. Terasa goyangan hebat di pendopo yang sudah mulai goyah. Soko guru yang awalnya kokoh menahan atap mulai terbanting ke kanan dan kiri.

Nanto menghembuskan napas perlahan, bibirnya berkomat-kamit, “Geni dadi sucining jagad, dewa sang hyang girinata dadi raja, gagamaning naga kinarya dewa.”

Saat itu, seperti ada energi listrik mengelilinginya, menggetarkan pendopo yang tiang-tiangnya mulai ringkih. Atap yang dinaiki oleh si Bengal dan lawannya kian mengerikan kondisinya. Keduanya paham, sebentar lagi atap pendopo itu akan runtuh karena tak akan kuat menahan kekuatan dua orang yang sama-sama overpowered.

Ki Juru Martani mengangkat kedua tangan ke atas dan di belakangnya tiba-tiba saja muncul dua tangan besar berwarna hitam yang seakan-akan muncul dari dalam tanah. Kekuatan yang tidak main-main diperagakan oleh sang pengendali pasukan genderuwo. Tanpa menguasai Kidung Sandhyakala sekalipun Ki Juru Martani adalah seorang manusia berkekuatan monster yang telah berlatih ilmu kanuragan selama beberapa dasawarsa. Dia bukanlah lawan kelas teri yang akan jatuh sekali tiup.

Nanto mengatur pernapasan, ia tahu ia tidak bisa meremehkan lawan yang saat ini ada di hadapannya. Inilah lawan paripurna bagi si Bengal. Lawan mengerikan dan berpengalaman yang bisa berhadapan dengannya secara mano-a-mano menggunakan ilmu kanuragan. Ia harus berhati-hati dan menakar setiap keluaran energi yang akan ia gunakan, kuncinya adalah efektif dan efisien, bukan membabi-buta. Atur strategi, bukan memburu ambisi.

“Bagaimana, Raja Naga? Ada yang ingin kamu sampaikan terlebih dahulu sebelum kita saling bunuh?” Ki Juru Martani lantas tertawa. Suaranya tak lagi seperti suara manusia, seperti ada nada ganda dalam ucapan-ucapannya.

Nanto tidak menjawab. Ia hanya meringis dan mengangkat satu tangan ke atas. Telapak tangannya terbuka seakan menadah turunnya hujan.

Krakaaaaaboooooooooom!

Petir yang turun dari atas langit tiba-tiba saja menyambar ke bawah tepat ke posisi di mana si Bengal berada! Tubuhnya kini diselubungi oleh selimut pendar biru seperti listrik yang menyambar-nyambar tak kenal ruang dan waktu, menceruat keluar dari tubuh sang pemuda bagaikan ular-ular yang setiap saat akan memangsa mereka yang berani mendekat.

Lidah api lawan sengatan listrik. Merah lawan biru.

Mau tak mau Ki Juru Martani mengangguk-angguk kagum melihat kemampuan si Bengal, satu-satunya orang yang mungkin mengejar kemampuannya adalah pemuda jadah tempe satu ini. Betapa pekatnya dunia ini oleh segala hal yang menggelikan.

Belum selesai Ki Juru Martani berdecak kagum sekaligus penasaran, tiba-tiba saja terdengar raungan kencang seekor binatang buas di atas langit. Awan gelap terbuka membuat lingkaran besar seperti ada tornado yang membuka tirai surga. Nanto menghunjukkan kelima jarinya ke arah Ki Juru Martani.

“Ki Juru Martani... ijinkan saya memanggil njenengan dengan nama yang telah anda sematkan pada diri njenengan itu dan bukan dengan nama lain.”

“Tidak masalah.”

“Ada beberapa hal yang sepertinya salah dimengerti yang perlu diluruskan. Yang pertama adalah njenengan salah mengira kalau kota ini akan tunduk di bawah kekuasaan njenengan hanya karena perkara sentimen yang sudah kadaluwarsa. Ini sama aja kayak simbah-simbah gagal move-on. Urusan jaman kereta lempung kok dibawa-bawa ke jaman sekarang. Jaman sudah berubah, era modern sudah berjalan. Lebih baik jalani apa yang ada secara ikhlas legowo dan mendapatkan kedamaian hati daripada mendendam sesuatu yang bahkan tidak lagi menjadi masalah. Kerajaan ini kerajaan itu, halah mbelgedes! Lihatlah rakyat yang sudah hidup tenang dan damai tanpa perlu melihat awal terjadinya bubrah nagari menjadi agetih catur semanggen,” Nanto berucap lantang, “Kedua, setelah akhirnya saya tahu siapa njenengan, apa yang njenengan inginkan, dan apa yang njenengan incar maka saya justru menjadi semakin simpati pada para korban. Mereka terluka bahkan gugur hanya gara-gara keinginan semu seorang simbah-simbah halu. Mereka harus diberikan keadilan, harus diberikan pembalasan yang setimpal. Mohon maaf saya tidak habis pikir dengan alasan-alasan yang njenengan kemukakan itu, tidak masuk di pikiran saya yang memang masih bocah ini.”

“Memang masih bocah!!”

“Siapapun saya, saya tetap tidak bisa membiarkan njenengan semena-mena. Jangan pernah main-main dengan kota ini, Ki Juru Martani. Jangan main-main dan jangan pernah coba-coba. Kalau njenengan mencoba menghancurkannya, maka harus berhadapan dengan saya. Nama saya Jalak Harnanto dan saya yang akan berdiri terdepan dan menjadi benteng pertahanan yang pertama. Mau menguasai kota ini? Lewati dulu mayat saya. Akan saya lindungi kota ini dengan segenap tenaga, dengan segenap kekuatan yang saya punya, dengan segenap jiwa dan raga, dengan sisa napas yang ada.”

Selesai Nanto mengucapkan kalimat-kalimatnya, raungan terdengar dari atas langit, wajah seekor naga raksasa mewujud di balik awan gelap yang terus merintikkan hujan. Naga yang menggeliat dengan perkasa di atas angkasa.

Itu semua tak membuat Ki Juru Martani jerih. Dia memang terpukau, tapi tidak takut sedikitpun. Tekadnya sudah bulat, “Heheh. Berani-beraninya kamu menantang darah pangeran, bocah. Cuma dengan berbekal Kidung Sandhyakala sombongnya sudah selangit. Aku bahkan tidak yakin kamu akan bisa bertahan hidup menahan kekuatan besar di dalam tubuhmu yang ringkih itu. Lagipula salah besar jika mengira Kidung Sandhyakala dan Nawalapatra 18 Serat Naga adalah jurus paripurna paling maha digdaya. Masih banyak ilmu kanuragan di luar sana yang setara. Kamu ingin menjadi benteng terakhir? Baiklah. Kuwujudkan keinginanmu untuk mati demi kotamu. Akan kujebol bentengmu itu dengan kekuatan paripurna sesungguhnya.”

Nanto tersenyum, ia menggenggam jari-jemarinya sehingga berbentuk seperti kepalan tangan. Energi elektrik besar berkumpul di kepalan tangannya, membentuk satu bola sinar raksasa berwarna biru berselimutkan tenaga listrik yang makin lama makin membesar.

Ki Juru Martani mendengus dan pada saat bersamaan melakukan hal yang sama, membentuk satu bola sinar api yang membulat dan kian membesar.

Dua kekuatan besar akan segera bertemu, si Bengal dan sang lawan dari kota sebelah. Nanto sebenarnya tidak tahu apakah kemampuan yang ia miliki akan cukup untuk menghadapi sang lawan yang sakti mandraguna dan punya banyak taktik di otaknya, tapi dia akan siap dengan apapun yang ia punya, “Ki Juru Martani, sudah terlalu lama rasanya ini semua berlangsung. Mari kita tuntaskan saja cerita kita.”

“Mari.”

Kedua orang itu maju ke depan, keduanya menjejakkan kaki ke atap pendopo, mereka sama-sama melompat dan berjumpa di udara, sama-sama melontarkan kepalan berselimut energi. Pendopo itu pun bergoyang sangat keras dan roboh seketika, hancur berdebam ke bawah dengan empat soko guru yang hancur jadi debu.

Tenaga Ki menyala-nyala dahsyat, menimbulkan retakan di angkasa, benturan petir bertalu, bagaikan genderang perang yang ditabuh setiap beberapa menit berlalu.

Pertarungan dua ksatria bola sinar energi terjadi.

Ledakan besar mengudara di angkasa.

Ledakan cahaya yang membutakan mata dan suara benturan yang memekakkan telinga.

Ledakan yang terjadi membuyarkan arena, meleburkan apa yang ada. Kedua sosok petarung tak nampak. Debu bertebaran kemana-mana. Pondok, panggung, pendopo, rumah, dan bangsal kini rata dengan tanah. Bangunan bersejarah yang dilindungi jaman itu hancur karena ulah manusia yang tak bertanggung jawab. Entah apakah masih bisa dipugar kembali.

Dua sosok manusia saling berpegangan tangan sambil mencengkeram pohon yang masih kokoh berdiri mencoba bertahan dari hempasan tenaga dalam hebat yang terjadi. Mereka bagaikan berusaha bertahan di tengah semburan puting beliung yang menerpa. Mereka adalah Pak Zein dan Dewi Uma.

Keduanya langsung menengok ke kanan kiri saat debu-debu luruh ke tanah, kebingungan mencari kedua sosok yang sebelumnya mengadu tenaga. Kemana perginya Nanto dan Ki Juru Martani? Kenapa mereka tiba-tiba tidak nampak? Tidak mungkin kan keduanya lebur jadi debu begitu saja? Ilmu kanuragan setinggi mereka seharusnya mampu bertahan.

“Ke-ke mana dia? Kemana calon suami Nada? Aku tidak boleh membiarkannya terluka! Nada akan hancur hatinya!” Pak Zein terlihat khawatir, Dewi Uma berusaha menenangkannya meski ia sendiri juga tidak tahu kemana perginya si Bengal dan Ki Juru Martani.

“Ma-Mas… aku yakin…”

Belum selesai kata-kata menenangkan diucapkan oleh sang Dewi, sesuatu terjadi.

Ada getaran, getaran yang kian lama kian kencang terasa. Getaran yang tidak kunjung berhenti, getaran yang terus terjadi dan makin menggerus daya cengkeram kaki ke tanah. Manusia-manusia yang tengah berdiri berjatuhan. Getaran ini terlampau kencang untuk ditimbulkan oleh tenaga manusia, sekuat apapun dia. Ini bukan buah karya si Bengal ataupun Ki Juru Martani.

Ini mahakarya Baginda Yang Agung penguasa semesta dan isinya.

Tembok-tembok yang tadinya retak kini roboh, pohon-pohon bergoyang terlalu keras dari seharusnya hingga tumbang. Rumah-rumah rebah, kubah kolong pun kalah. Jatuhlah yang goyah, tunduklah yang patah. Banjir darah dan pertukaran amarah ternyata hanyalah awal dari musibah.

Wajah Pak Zein terlihat tegang saat melihat ke arah jauh dengan menggunakan tenaga Ki yang ia miliki. Ia dan Dewi Uma saling berpandangan saat mereka berdua menyadari sesuatu. Pimpinan JXG itu pun mendesis, “Gunung Menjulang.”

Dewi Uma mengangguk, “I-itu…”

Tangan sang Dewi menunjuk ke arah utara.

Suasana memang gelap, mendung, dan hujan. Tapi di saat yang bersamaan, dengan menggunakan Ki yang dimiliki - keduanya dapat melihat jelas ke utara. Langit di bagian utara begitu terangnya karena terjadi sesuatu di sana. Sesuatu yang berwarna kemerahan di puncak Gunung nan maha agung. Dilihat dari jarak jauh hanya akan terlihat seperti bintik, tapi jika dilihat dari jarak yang lebih normal, akan terlihat lontaran-lontaran api mendaki.

Ujung gunung yang begitu agung itu terihat memerah, nampak bahkan dari kejauhan dengan mata batin sejati, nampak dari jarak ratusan kilometer.

Merah itu adalah pertanda, bahwa sang Gunung Menjulang tengah menunjukkan amarahnya.

Suara ledakan keras terdengar, lebih keras dari apapun. Guncangan makin menghebat, gempa bumi dahsyat terjadi. Gedung-gedung kokoh runtuh, jalanan aspal retak terbuka, pohon-pohon bertumbangan, angin kencang menggelora, air beriak tak ingin diam. Binatang-binatang berteriak dan berlari menjauh dari arah utara. Hujan abu mulai terjadi, hujan batu turut menyertai.

Bisa apa manusia, kalau alam sudah turut serta? Bisa apa kita, kalau alam telah berkehendak? Hari itu, adalah hari di mana Gunung Menjulang tiba-tiba turut berbicara.

Ada yang mengamuk di sana.

Ada panik di utara.





JALAK v3
SELESAI.


Sampai jumpa lagi di JALAK v4.


Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mohon kesediaannya untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan nonton bola, atau sekedar mau ngasih THR. Hahaha. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd