Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JALAK v4

Abis war ticket coldplay, ini waktunya nunggu mas nanto
 
Akhirnya.... yang ditunggu siap release juga nih...
 
Terakhir diubah:
PROLOG
TERBANG




“Hidup itu sederhana, kita yang membuatnya sulit.”
- Confucius






Baiklah, mari kita mulai.

Semua kisah diawali dan diakhiri oleh suatu pemikiran.

Pemikiran yang bersandar pada pondasi logika dan perasaan. Pemikiran yang sejatinya berasal dari karya dan karsa yang tak perlu diterjemahkan apakah itu hasil dari imajinasi liar ataukah bilur padanan yang terstruktur. Pada dasarnya, ketika semua telah diatur, semestinya bisa tersalur meskipun kadang dengan sedikit tarik ulur.

Bahkan ketika keadaan sudah di luar kendali, tetap akan ada pemikiran yang tersusun oleh dasar-dasar logika, sehingga semua yang belum tertata akhirnya bisa berhadapan dan bersemuka. Pemikiran yang akan membedah, menelaah, dan menerbitkan solusi jika muncul masalah, menjamin terbangunnya algoritma pemecah secara alamiah, walaupun kadang tak tentu arah dan justru membuatnya bertambah parah.

Singkatnya, pemikiran adalah awal mula. Setelah dijalankan dengan gemilang, kadang ada saja masalah yang menjadi penghalang. Jika pun hal semacam itu terjadi, tidak perlu kecil hati, karena pasti akan ada solusi, entah sekarang atau nanti.

Misi penyelamatan di kandang lawan, bukanlah perkara yang mudah direncanakan dan ditentukan hasilnya. Secara umum memang hanya akan ada dua luaran yang terjadi jika misi dilaksanakan. Berhasil atau gagal. Masalahnya adalah serapi apapun rencananya, kadang hasilnya sangat random. Jika berhasil menyelamatkan target maka akan dianggap menjadi pahlawan, sedangkan kalau gagal akan jadi manusia buangan. Sukses akan menjadi prestasi, namun jika sebaliknya yang terjadi maka akan luluh lantak lenyap ditelan bumi.

Jadi, ketika misi gagal dilaksanakan dan kita berada dalam kondisi dipojokkan oleh kekuatan lawan, apa yang sebaiknya dilakukan? Harapan untuk hidup mungkin hanya dapat diraih dengan melakukan satu hal yang dianggap pengecut tetapi sesungguhnya harus dilakukan oleh seseorang dengan logika yang berjalan secara normal.

Tindakan itu adalah melarikan diri.

Meskipun dianggap sebagai tindakan pengecut, melarikan diri merupakan penyelamatan yang sangat mendasar untuk bertahan hidup dan boleh percaya boleh tidak membutuhkan kemampuan khusus. Tidak semua orang akan berhasil saat melarikan diri, timing dan knowledge jadi bekal. Analogi melarikan diri secara positif adalah menunda menyeberang sungai yang deras dengan mempersiapkan rakit yang lebih baik dan kuat.

Jadi, melarikan diri itu sulit.

Melarikan diri itu sulit kalau waktunya tidak tepat.

Melarikan diri itu jauh lebih sulit kalau waktunya tidak tepat dan kita tidak mengenal medan.

Melarikan diri itu jadi jauh lebih sulit kalau waktunya tidak tepat, kita tidak mengenal medan, dan harus membawa seseorang untuk diselamatkan.

Melarikan diri itu akan menjadi jauh lebih sulit lagi kalau waktunya tidak tepat, kita tidak mengenal medan, dan harus membawa seorang wanita yang kondisinya kurang baik untuk diselamatkan.

Melarikan diri itu akan menjadi sangat sangat sulit kalau waktunya tidak tepat, kita tidak mengenal medan, dan harus membawa seorang wanita yang kondisinya kurang baik, karena selain sedang hamil, dia juga menderita kelainan di ingatan dan kesadarannya entah karena pengaruh apa.

Itulah yang sedang dilakukan oleh Raden Junaedi alias Jun di sebuah tempat nun jauh di antah berantah.

Sebuah tempat, yang jauh dari pertikaian berdarah antar kelompok di kota, di sebuah lokasi yang lebih mirip hutan karena masih banyak pohon mengitari, tebing dan jurang memagari, binatang liar berkeliaran bebas, dan tanaman tumbuh asri. Meski singup pun terkesan angker di kala malam, di tempat itu tengah ramai karena terjadi perburuan terhadap seorang laki-laki yang berpakaian serba putih, dan berambut perak.

Pria yang kini sedang berdiri melindungi seorang wanita hamil yang tengah kebingungan. Dia berlari menjauh dari pusat pertikaian dengan penuh kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan dan tanpa terdeteksi oleh siapapun, ia meninggalkan tiga wanita berpakaian serba kuning yang sedang berhadapan dengan sang pimpinan lawan yang pakaiannya ibarat bangsawan. Ketiga wanita yang turun dari langit itu konon datang dari Perguruan Kuburan Kuno.

Jun terengah-engah dan menghapus peluh di dahinya. Tangannya yang menggandeng sang wanita hamil kencang mengikat tak ingin lepas.

“Hhhh… hhh… kita sudah berlari sangat jauh, tidak bisakah beristirahat sebentar?” tanya wanita hamil itu dengan wajah yang sudah sangat kepayahan, “aku tidak yakin aku sanggup berlari lebih jauh lagi dari ini. Berikan aku waktu untuk beristirahat.”

Jun meneguk ludah, sejauh apapun mereka lari, orang-orang di belakang mereka pasti akan dapat mengejar. Terlebih lagi sang bangsawan yang sepertinya punya ilmu kanuragan berlebih, pria bangsawan itu akan dengan mudah mengejar mereka. Jun melirik ke kanan dan kiri, waspada, berjaga, dan mencoba awas di tengah gelapnya malam. Meskipun gelap mengitari, tapi karena sedari tadi mereka berjalan menembus hutan dalam kondisi seperti ini, mata pun lama-lama menjadi seperti menjadi terbiasa.

Jun melirik ke arah sang wanita hamil, wajahnya terlihat sangat lelah. Dia tidak akan bisa memaksakan sang wanita ini untuk terus berlari. Tentunya akan sangat berbahaya untuk janin yang ia kandung. Tambah repot nanti urusannya.

Jun akhirnya mengangguk, “baiklah kalau begitu. Kita beristirahat dulu.”

Sang pemuda berambut perak itu terus meningkatkan kewaspadaan dengan tidak mengaktifkan Ki-nya. Karena kalau itu yang terjadi, keberadaannya akan sangat mudah terdeteksi. Ia menempatkan diri di posisi yang aman dan tersembunyi secara awam, di balik rerimbun pepohonan lebat dan semak belukar tinggi, sedikit turun di tanah yang berceruk.

Mudah-mudahan sedikit banyak lokasi ini bisa menyembunyikan posisi mereka. Untuk beberapa saat lamanya mereka berdua tenang dan tak bergerak, terutama saat satu dua pasukan lawan lewat. Jun mengatur napas dan terus bersiaga. Malam ini sangat dingin dan kondisi masih belum aman. Mereka sebenarnya tak boleh berlama-lama di sini.

“Rambut perak, mau sembunyi kayak apapun, tak ada tempat yang aman di gunung ini.”

Jun jelas terkejut! Siapa yang baru saja berbicara kepadanya?

Suaranya terdengar dalam, berat, namun juga lembut. Sungguh sial! Baru juga bersembunyi, sudah ada yang menemukan mereka berdua! Jun melirik ke arah sang wanita hamil yang ternyata terlelap karena kelelahan yang amat sangat. Jun harus mati-matian mempertahankan perempuan ini hidup-hidup. Bukan hal yang mudah tentunya, tapi Jun tidak punya pilihan.

Karena pemuda itu sudah terlanjur terekspos, dia pun berbicara dengan sedikit keras, “Siapa dan di mana kamu berada!? Tunjukkan wujudmu! Kamu manusia atau siluman?”

“Hahahahah, pertanyaan macam apa pula itu!? Ya jelas-jelas aku ini manusia biasa saja! Bajingak, moso ya dikira wewe gombel? Bhuauahahahah.” sesosok pria turun dari atas pepohonan lebat dengan gerakan ringan yang menunjukkan ia punya ilmu kanuragan yang cukup lumayan.

Jun sedikit tenang karena sosok itu bukan genderuwo ataupun kunti, hanya seorang pemuda biasa saja. Ia jad tidak tenang karena tidak tahu siapa orang ini. Apakah dia termasuk kelompok si bangsawan? Tapi tidak mungkin, pakaiannya terkesan asal-asalan, tidak mungkin orang ini termasuk ke dalam rombongan si bangsawan.

Pria itu masih muda meski wajahnya agak boros dengan jenggot tipis yang dipotong tidak rapi, usianya mungkin sekitar 20an. Ia mengenakan kaos putih bertuliskan Flash Gordon yang dilapisi oleh jaket jeans biru muda termakan usia. Sang gelandangan juga mengenakan celana jeans bolong di lutut, sepatu kanvas bertali, dan topi warna biru dan merah yang diputar ke belakang. Selain itu, satu hal yang cukup unik adalah ia menggendong ransel gitar warna hitam dengan lambang sayap putih sebagai hiasan.

Tubuh pria itu sedang-sedang saja, tidak terlalu kekar, tidak gemuk dan tidak kurus. Sekilas lihat, dia mirip seorang hobo – seorang gelandangan pengembara yang tak memiliki rumah. Rambut panjangnya yang berwarna coklat gelap diikat ke belakang.

Sang gelandangan berkacak pinggang sembari cengengesan, “Rambut perak. Kamu berada di wilayah yang salah, di waktu yang salah untuk melakukan hal yang salah. Kalau aku jadi kamu, aku akan berdoa tanpa henti karena sudah melarikan kekasih Raden Sanjaya. Kalau sudah ada maunya, pria itu akan melakukannya sepenuh hati tanpa berhenti. Itu artinya, Raden Sanjaya akan mengerahkan pasukan untuk memburumu sampai dapat. Dia tidak akan menurunkan kewaspadaannya sampai beberapa hari ke depan, bisa lepas dari pengawasannya saja sudah sangat untung,” ujar sang gelandangan. “Singkat cerita, kalau begini-begini saja, kamu tidak akan selamat.”

Jun masih tetap waspada, dia tidak percaya apapun omongan orang yang tak dikenalnya, “Lalu apa maumu? Kamu mau menyerahkan kami pada pria itu? Enak saja. Langkahi dulu mayatku!”

Sang gelandangan tertawa dan menggelengkan kepala, “Weladalah. Serius? Apa tidak ada tantangan yang lebih mudah? Hahahaha. Aku bisa saja langsung membunuhmu atau malah menyerahkanmu hidup-hidup pada Raden Sanjaya, tapi sayangnya aku bukan orang seperti itu. Hahahaha. Haeh. Njelehi. Aku benci diriku sendiri karena sebenarnya aku bisa mendapatkan uang dengan mudah kalau melakukan itu ya. Ngene iki nek wong bodo. Tapi yah sudahlah… memang kamu beruntung aku ini orang baik-baik.”

Orang itu melangkah menuju Jun.

Jun mengerutkan kening, apa maksudnya sih orang ini? Mau tidak mau dia terpaksa menyalakan tenaga dalamnya, Ki si rambut perak pun perlahan-lahan meningkat. Dia tidak mau berspekulasi tentang orang ini. Dia sudah cukup muak dengan segala pengkhianatan dari orang-orang dekat.

Tapi pria gelandangan itu justru cuek dan berjalan melewati Jun yang masih bersiaga. Dia terkejut ketika melihat mata sang gelandangan seperti berubah menjadi putih semua dan seakan-akan mengeluarkan cahaya. Sang gelandangan tertawa ringan.

“Tidak perlu memasang kuda-kuda, hahahaha. Tenang saja, seperti sudah aku bilang, aku tidak akan melawanmu.” Sang gelandangan menunjuk ke arah gelap, “Lihat rimbun pepohonan di sana, ada sepuluh orang di balik pohon di sana, dan di sana. Mereka muncul karena sudah membaca Ki-mu dan akan segera berlari kemari. Kalau tidak bergegas, mereka akan menangkapmu dan perempuan hamil itu. Tapi tenang saja, aku yang akan menghadang mereka, kamu bisa membawa wanita hamil itu pergi dari sini. Raden Sanjaya sendiri sedang tertahan oleh cewek-cewek dari Perguruan Kuburan Kuno, dia tidak mungkin kemari dengan cepat.”

Jun tertegun. Kok orang ini tahu semuanya?

Sang gelandangan tersenyum, matanya yang putih masih mengeluarkan cahaya dengan pendar kebiruan. Jun tidak bisa membaca Ki-nya. Bagaimana mungkin? Apakah disembunyikan dengan cara tertentu? Itu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dengan Ki cukup tinggi.

Jun mendengus karena akhirnya mau tak mau ia harus percaya, pemuda itupun membantu sang perempuan hamil yang sudah mulai terbangun dari istrirahat sejenaknya. Dia menengok ke arah sang gelandangan.

“Aku percaya padamu. Terima kasih banyak telah membantu kami. Siapa namamu? Lain kali jika bertemu, akan kubalas kebaikanmu. Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih.”

“Hahahaha. Tidak perlu. Anggap saja pertemuan ini yang pertama dan terakhir. Mudah-mudahan kita tidak akan bertemu lagi.”

“Anggap saja kita akan bertemu suatu saat nanti.”

Sang gelandangan menarik ransel gitarnya dan mengeluarkan isinya. Jun mengerutkan kening, itu bukan gitar, itu alat musik yang berbeda, bagian bawahnya berbentuk bulat tanpa lubang. Seperti pan penggorengan yang dipasang pada pancang. Itu alat musik yang disebut Banjo, biasanya dimainkan oleh koboi-koboi di Amrik sana.

Sang gelandangan menyeringai, “Sebut saja namaku Budi, heheh. Aku tidak akan berlama-lama, jadi segeralah kabur dari sini.”

Nama yang disebutkan jelas bukan nama sebenarnya. Sang gelandang tertawa-tawa sembari menarik sesuatu dari dalam kantong celananya, ia melemparkannya pada Jun.

Saat menangkapnya, Jun pun terkejut!

Kunci mobil.

“A-apa!?” Jun terbata-bata tidak menyangka akan ada orang tak dikenal yang akan melakukan ini. Perbuatan baik yang muncul secara makbedunduk dari seseorang yang justru terlihat seperti seorang gelandangan. “Ini kan kunci mobil?”

“Yang pasti itu bukan kunci inggris, bhuahahahahah. Buat apa kunci inggris? Buat nggetok kepala orang? Hahahaha ada-ada saja. Sudah pakai saja. Mobilnya ada tidak jauh dari sini, ke arah sana,” sang gelandangan menunjuk ke barat daya, “Ada satu pondok di sana, dengan garasi bambu di belakang rumah. Jangan masuk ke pondoknya, sudah aku pasang banyak jebakan. Masuk saja ke garasinya. Di sana ada mobil dengan bensin yang terisi penuh. Pakai saja. Setelah memakainya, tinggalkan saja mobil itu di parkiran mall, hotel, atau apartemen. Tidak perlu diambil. Heheheh.”

“Te-terima kasih, tapi darimana kamu tahu kami butuh mobil untuk pergi dari tempat ini?”

“Aku tidak menyiapkan mobil itu untuk kalian.”

Jun terkejut dan menatap sang gelandangan penolong, bukankah itu artinya dia menyiapkan mobil itu untuk dirinya sendiri dan memilih memberikannya pada Jun dan si wanita hamil? Kenapa bisa begitu percaya padahal baru berjumpa untuk kali pertama? Ini mobil lho, bukan otopet.

“Siapa namamu? Aku tahu Budi pasti bukan nama aslimu. Dari mana kamu tahu kami dalam bahaya? Siapa yang mengutusmu? Kenapa menolong kami? Apa agendamu?”

Weladalah. Piye toh? Kok malah kebanyakan pertanyaan. Gek ndang pergi sana!”

“Namamu! Aku tidak akan pergi sebelum kau sebutkan namamu!”

“Sudah kubilang namaku Budi!”

Mbelgedhes!

“Hahaha.” Sang gelandangan tertawa lagi, “Ya ya ya, sebenarnya tidak penting siapa namaku, aku hanyalah debu yang terbuang dari sisa-sisa trah Nagajawa. Trah yang bahkan sudah tak lagi dikenal oleh orang-orang di Jawadwipa. Bhuahahahha, nasib nasib. Ah sudah ya, begitu saja pengenalannya. Ada pasukan yang harus kuhadang. Sepuluh di sini, sepuluh di sana, sepuluh di sono. Banyak juga yang mencari kalian. Titi dj kalian berdua. Semoga kita tidak bertemu lagi.”

Sang gelandangan melesat ke depan dengan mengayunkan-ayunkan alat musiknya, bagaikan dewa petir yang mempersiapkan palu raksasanya. Dengan satu lompatan ia sudah berhasil menempuh jarak jauh mendekati para lawan. Gerakannya begitu ringan dan anggun, saat mengeluarkan Ki yang tak terdeteksi itu, sang gelandangan bagaikan diselimuti oleh cahaya putih berpendar biru di sekujur badan.

Bledaaaaaaaaaaaaaam!

Saat sang gelandangan mengayunkan Banjo-nya ke tanah, terjadi gempa bumi kecil yang menyebabkan beberapa pohon besar tumbang dan para anggota pasukan lawan terjatuh. Beberapa ayunan lagi dan para lawan kocar-kacir melarikan diri.

Tak mau berlama-lama, Jun memilih untuk membawa sang perempuan hamil pergi, meninggalkan pria gelandangan itu sendirian untuk menghadapi pasukan sang bangsawan. Dia hanya sekali menengok ke belakang saat melihat secara semu di batas mata, ada kilatan berwarna biru berkejap sesaat lalu padam.

Ketika melihat ke belakang, Jun mendapati sang gelandangan sudah lenyap namun tawanya masih terdengar. DI kejauhan, sepuluh orang terkapar tak berdaya di atas tanah. Lalu terjadi hempasan tenaga dalam hebat dan sepuluh orang lawan terlontar jauh sebelum jatuh berdebam.

Siapa dia sebenarnya?

Batin Jun bergejolak.





.::..::..::..::..::.





Ketukan demi ketukan di tuts keyboard terdengar lembut tapi cepat. Jemari lentik yang tengah bekerja seperti sudah hapal harus kemana tanpa perlu melihat, begitu anggunnya gerakan itu hingga seakan-akan terlihat sedang menari sementara mata mengikuti kemana kursor di layar bergerak dan berhenti.

Satu paragraf selesai, coba dibaca dulu.

Mata Nanto berkedap-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan gelapnya ruang sempit yang kini harus ia akui sebagai kamarnya. Ia menggeliatkan badan, merentangkan setiap urat pegal di badan hingga semua aliran darah lancar – atau setidaknya itu yang ia inginkan. Yang jelas ia selalu lebih merasa nyaman di setiap kali setelah menggeliat.

“Hmm…”

Bagaimana penempatan nama Nanto?

Kesannya kurang cocok ditaruh di awal banget. Tombol backspace diketuk beberapa kali dari belakang nama Nanto, lalu diubah menjadi Jalak Harnanto.

Hanna tersenyum setelah mengedit naskahnya. Semua kisah ini memang bermula dari Nanto, jadi sebaiknya diketik nama lengkapnya di awal.

Jemari lentik Hanna lantas bergerak dengan lincah di atas keyboard, mengetikkan kata demi kata yang semula hanya terjalin dalam benaknya untuk mewujud ke dalam kesatuan rangkaian kisah yang ia munculkan di layar monitor laptopnya. Gadis itu mencoba mengingat-ingat semua cerita yang pernah diceritakan oleh sumber utama inspirasinya, seorang pemuda yang begitu dekat di hatinya. Ia tersenyum saat merapikan paragraf dan membaca ulang apa yang telah ia ketik.

Ia puas membacanya, bagaikan rangkaian kata yang secara tepat muncul dengan tiba-tiba. Mungkin inilah yang disebut magic. Di saat yang tepat, tanpa aba-aba, tanpa prakata, tanpa sandiwara, tiba-tiba saja rangkaian kata itu muncul tanpa terkendali, mengerucut menjadi kesatuan cerita yang lengkap dan berstruktur.

Hanna melirik ke arah jam dinding. Sudah jam tiga pagi dan dia harus mempersiapkan diri untuk kuliah esok pagi. Dia baru pindah ke sini, jadi tidak baik rasanya kalau belum-belum sudah sering membolos. Apalagi dia ingin mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Dia harus bisa membuktikannya kepada keluarga bahwa dia bisa melakukannya.

Gadis itu menguap lebar.

Tiba-tiba saja seseorang mengecup ubun-ubunnya dengan lembut.

Can’t sleep? Tidak bisa tidur, schatje? Sudah jam berapa ini? Jam tiga?”

Seorang pria datang dan memeluk Hanna dari belakang, satu tangannya melingkar di pinggang dan satu lagi merangkul bahu gadis jelita itu. Logat bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sang pria sama-sama kurang lancar dan terdengar lucu dengan aksen asing, mungkin baru beberapa bulan dia belajar menguasai kedua bahasa itu.

“Kamu kenapa belum tidur juga?” tanya Hanna yang masih berusaha mengetik beberapa paragraf tambahan, “Memangnya pagi ini tidak bekerja? Tidurlah.”

Wakker, eenzaam, en hongerig. Terbangun, kesepian, dan kelaparan,” pria itu terkekeh, “pantas saja tidak ada di ranjang, rupanya kamu di sini.”

“Mau aku bikinin coklat hangat?”

Nee. Bedankt. Sudah minum air putih. Aku sangat mengantuk banget. Mau tidur lagi. Kamu juga butuh istirahat, schatje.”

Hanna tersenyum dan mengecup pipi pria itu, “Tidurlah. Hari ini sangat melelahkan. Dua hari ini sangat melelahkan. Apalagi dengan semua yang kita lakukan tadi malam….”

Pria itu tertawa, “Hahaha. Enak kan? Makanya kalau dibilangin itu percaya. Dulu kamu menolak, sekarang ketagihan. Hahaaha.”

Hanna menyeringai nakal, “Ih apaan sih. Sudah sana. Tidur. Aku mau mengetik ini dulu.”

Pria itu mengangguk. Ia berbalik arah dan berjalan menuju pintu. Tapi tiba-tiba saja dia berhenti, menengok ke punggung Hanna yang masih terus mengetik, “Novel yang sedang kamu buat itu. Apa judulnya?”

“Jalak.”

Orang itu mengerutkan kening, “Jalak? Wat is Jalak?”

“Nama kekas…” Hanna tiba-tiba saja berhenti, lalu kembali mencoba fokus pada ketikannya, “Some kind of a bird. Sejenis burung.”

“Burung? Seperti elang? Eagles? Atau… gagak? Crows?”

Bukan bukan. Jalak itu lebih kecil, apa sih bahasa Inggrisnya? Err… starlings? Biasanya warnanya hitam dan sangat ceriwis, suaranya bagus.”

“Ah, starling? De spreeuw,” pria itu mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh Hanna, “Begitu rupanya. Tapi kenapa mengambil judul Jalak? Ada hubungannya dengan burung? Diangkat dari kisah nyata? Is it based on true story?

Pertanyaan itu membuat Hanna terdiam sesaat, lalu tersenyum dan mengangguk meski tidak membalikkan wajah untuk menatap sang pria, “Mungkin. Ini hanya cerita fiksi biasa saja kok. Kisah nyatanya mungkin hanya beberapa persen saja.”

“Si Jalak ini… nama orang yang menjadi inspirasi? Apakah si Jalak ini bisa ditemui? Bisakah aku menemuinya?”

Hanna mendesah panjang dan menggeleng, “Tidak bisa. Tidak untuk saat ini. Entah kapan bisa bertemu kembali dengannya, mungkin tidak akan pernah lagi.”

Ada suara tercekat di nada ucapan Hanna, pria itu tidak perlu menjadi orang cerdas untuk mengetahui kalau apa yang ditulis Hanna sangatlah personal, dia tidak ingin menggali lebih dalam ke arah sana, pertanyaan pun dibelokkan, “Mau diterbitkan? Mungkin aku bisa bantu. Aku kenal beberapa boek uitgever - penerbitan buku. Selesaikan saja separuh dulu, setelah disetujui baru dikirim.”

“Entahlah. Sepertinya belum sebegitunya. Sampai saat ini hanya hobi saja, hanya ingin menulis karena hobi. Jadi mau di-keep untuk sendiri dulu saja.”

Sang pria mengangguk, lalu meninggalkan Hanna sendirian.

Gadis itu menghela napas, lalu menatap kata Jalak di ujung atas ketikannya. Ia memblok kata itu, membesarkan fontnya menjadi 18 point, dan menebalkannya dengan menekan tombol B di bagian atas aplikasi editing-nya. Entah kenapa tiba-tiba saja ada segaris air mata nostalgia yang turun di pipinya. Ia menempatkan kursornya di bagian bawah judul dan mulai mengetik satu quote yang sangat ia sukai dari penulis buku the Lord of the Rings.

“Yang perlu kita putuskan, adalah apa yang akan kita lakukan, di sisa waktu yang kita miliki.”

Tiba-tiba saja Hanna sesunggukan, air matanya mengalir semakin deras. Gadis itu tahu, ketika dia berdoa untuk turunnya hujan, dia juga harus berhadapan dengan lumpur yang menggenang di tanah. Ada balance dalam dunia ini, ada yin dan ada yang. Ada perjumpaan, ada perpisahan.

Ada keseimbangan.

Be safe, anak bengal. Terbanglah tinggi.” Hanna meletakkan telapak tangannya di monitor dengan mata berkaca-kaca, “hanya ini yang bisa kulakukan untukmu saat ini.”





.::..::..::..::..::.





Di suatu tempat.

Debu-debu mulai terhisap hujan, luruh ke tanah, berbaur dengan lumpur. Debu-debu yang dibawa oleh angin. Debu-debu dari Gunung Menjulang yang tengah menunjukkan amarahnya atas kelakuan para anak manusia.

Dua pria kini tengah berdiri di atap sebuah ruko yang letaknya tepat berada di sisi jalan besar, lokasi yang sebenarnya cukup jauh dari Museum sang Pangeran. Keduanya berhasil mencapai tempat ini setelah bertukar ilmu kanuragan beberapa saat lamanya.

Nanto menatap ke arah jauh, ke Gunung Menjulang yang tiba-tiba saja bergetar hebat dan batuk. Pemuda itu menggemeretakkan gigi. Suasana tidak akan menjadi lebih baik dengan apa yang terjadi. Tapi setidaknya peristiwa semacam ini bisa meredam sejenak panas akibat perang saudara yang tengah berlangsung tanpa henti.

Ki Juru Martani mengait tangan di belakang badan, “Sudah ada pertanda dari langit, pertarungan hari ini kita hentikan dulu. Kita tunda sampai di lain hari. Bagaimana menurutmu, bocah?”

Nanto menatap tajam ke arah sang lawan, “Sekarang atau esok, kemanapun njenengan pergi, akan kukejar sampai dapat. Tidak akan ada kolong lincak manapun di dunia ini yang bisa dijadikan tempat sembunyi. Tarik pasukan dan pulanglah ke kota sebelah.”

Ki Juru Martani menyeringai, “Kok jadi ngatur? Memangnya kamu siapa? Bocah yang baru naik kelas tak tahu adat dengan menyuruh-nyuruh orang tua! Awas kualat mati muda kamu nanti.”

Nanto tak bergeming, “Perang ini sudah terlalu lama dan korban sudah terlalu banyak. Sudahi pertarungan, tarik pasukan, dan masing-masing kita pulang untuk menghadapi masalah Gunung Menjulang. Bukankah itu sudah menjawab kenapa perang ini harus dihentikan? Ada yang jauh lebih penting dan urgent untuk dihadapi saat ini.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk, “Aku sepakat denganmu, bocah. Bahkan langit pun sudah bicara. Sudah saatnya kita akhiri pertarungan ini.”

Pria tua itu lantas mengeluarkan alat aneh berbentuk gading gajah yang melengkung dari dalam saku baju yang ia kenakan. Ia meniupnya dan terdengar suara siulan gagah melengking tinggi di langit malam. Suatu pertanda bagi Koalisi QZK dan KRAd untuk menyudahi pertarungan.

Ki Juru Martani menatap si Bengal, “Sudah kutarik semua pasukan kami, saatnya pergi dari medan perang ini. Sayang sekali pertarungan kita berakhir anti klimaks, bocah. Aku yakin seharusnya bisa lebih daripada yang tadi kita tunjukkan.”

Nanto tersenyum dan mengedipkan mata, “Seharusnya. Njenengan beruntung pertarungan kita berakhir imbang.”

Ki Juru Martani tertawa, “Bocah sombong. Baru naik kelas sudah sombong. Baiklah! Kita wujudkan saja pertarungan akbar kita! Satu lawan satu! Siapapun yang menang dalam adu tarung itu harus menyingkir untuk selama-lamanya dari kota dan dihapus ilmu kanuragannya oleh sang pemenang! Bagaimana? Berani tidak?”

Sebuah tantangan paripurna yang mengerikan, tapi Nanto justru bersidekap dengan tenang, ia menatap tajam sang pria tua, “Tidak masalah. Sebutkan saja tempat, tanggal, dan jam berapanya. Aku akan datang. Ingat baik-baik, ini satu lawan satu. Tidak perlu membawa pasukan. Aku tidak ingin peperangan seperti hari ini terjadi lagi.”

Ki Juru Martani manggut-manggut, dia seperti menghitung sesuatu dengan jari-jemarinya. Mungkin menghitung weton, “Kita tidak boleh menganggap remeh amarah Gunung Menjulang dan efek-efeknya dalam hari-hari ke depan, sehingga tidak perlu terburu-buru bertarung. Hari terbaik yang memungkinkan adalah tanggal terakhir enam bulan lagi, saat matahari terbit, di pelataran Candi Ratu Boro.”

“Sepakat. Tidak ada masalah.”

Ki Juru Martani mengacungkan jempolnya, pria tua itu lantas berdehem, “Ada tiga hal lagi yang harus kita perbincangkan.”

“Apa itu?”

“Yang pertama, NDA atau Negeri di Awan – sebuah pasukan bawah tanah besar di negeri ini sudah mulai masuk ke kota ini. Mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka mau, yaitu penguasaan wilayah di bawah satu wakil mereka. Aku tidak tahu apakah kamu sudah mendengar tentang hal ini, tapi ancaman NDA bukan main-main. Aku ditunjuk NDA untuk menyapu bersih semua penguasa wilayah saat ini, sesuatu yang sejalan dengan mimpiku untuk menyatukan pecahnya kerajaan lama menjadi satu wilayah penguasaan kembali. Aku harap kamu tidak menghalangiku sampai waktu pertarungan kita ditentukan.”

Nanto menyeringai, “Mana ada yang seperti itu. Aku akan berdiri terdepan menjadi penghalang paling ngotot yang akan mencegah njenengan menguasai sejengkal pun wilayah kota.”

“Janu kita anggap sudah lemah posisinya, koalisi KRAd dan QZK jelas-jelas menjadi penguasa utara kota. Secara formal, legal, dan bawah tanah pun NDA sudah bergerak masuk ke kota. Kamu mau bilang apalagi, bocah? Kamu tidak akan bisa menghalangi kami. Aku adalah Penguasa Bengawan dari Kelompok Bengawan dan BMW adalah Penguasa Benteng Selatan dari Kelompok Benteng Selatan. Kamu tidak lebih dari penguasa pot kaktus di teras kontrakan.”

“Tidak peduli siapapun kalian, kota ini adalah milik warganya yang berhak hidup tenang dan damai. Jadi maju saja, seperti yang tadi aku bilang, aku yang akan berdiri terdepan menghalangi kalian semua.”

Ki Juru Martani tertawa sembari menggelengkan kepala, “Dasar kepala batu. Baiklah kalau itu maumu, aku mengalah. Kita lakukan gencatan senjata selama enam bulan karena tengah terjadi bencana. Enam bulan lagi, genderang perang kita tabuh. Siapapun yang melanggar perjanjian ini akan dipotong jari jemarinya sesuai bulan yang tersisa dalam perjanjian!”

“Sepakat.”

“Tadi yang pertama, sekarang yang kedua.”

“Silakan.”

“Omong-omong mengenai Janu, aku akan mencarinya dan mencabut nyawanya perlahan-lahan, dia tidak akan mati dengan tenang atau dengan mudah, orang yang telah mengkhianatiku akan menderita,” wajah Ki Juru Martani berubah menjadi sangat serius dan kejam, “Kamu sebaiknya tidak menghalangiku, bocah. Aku tahu dia keluarga, tapi dia bajingan luar dalam.”

“Itu tergantung siapa yang akan mendapatkannya terlebih dahulu. Aku juga berhak menghancurkan om Janu dengan kedua tanganku sendiri. Dendamku jauh lebih besar dari urusan kalian. Aku yang akan mendapatkannya dan menghancurkannya. Urusan Trah Watulanang adalah urusan Trah Watulanang.”

“Siapapun yang menghancurkan Janu akan menjadi penguasa utara, itu sudah menjadi rahasia umum,” ujar Ki Juru Martani, “tapi KRAd sudah bergabung menjadi satu kelompok besar yaitu Kelompok Bengawan. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi di utara, sebentar lagi QZK akan hangus. Kami yang akan menjadi penguasa utara.”

“Aliansi tidak akan bergeming. Kami akan menjaga wilayah utara jika QZK invalid.”

“Kita tentukan saja enam bulan lagi.”

“Baiklah. Lalu apa hal yang ketiga?”

“Gencatan senjata Koalisi dan Aliansi tidak berhubungan dengan Koalisi lawan JXG. Kami juga akan merebut selatan, setidaknya sebelum keduluan Dinasti Baru. NDA menghendaki semua anggotanya berprestasi. Kami harus menunjukkan siapa yang terbaik, aku harus jadi lebih baik dari Penguasa Benteng Selatan.”

Nada.

Bisikan dalam batin Nanto membuatnya terdiam sesaat, tapi kemudian ia tegas berucap pada sang lawan, “Tidak. Aliansi akan menjaga seluruh kota. Bukan hanya utara, tengah, atau selatan saja. Semuanya. Kami akan beraliansi dengan JXG dan akan membantu mereka. Seperti yang terjadi malam ini.”

Terdengar suara menggelegar kembali di utara.

Baik Nanto maupun Ki Juru Martani sama-sama menengok ke arah yang sama. Sepertinya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kota ini akan segera disebutkan menjadi berita utama di seluruh negeri karena bencana yang terjadi.

Keduanya saling bertatapan satu sama lain, saling mengangguk, lalu meloncat dan terbang ke arah yang berbeda. Keduanya melesat sehembusan angin.

Tiba-tiba saja tak terlihat.





.::..::..::..::..::.





Berita ledakan Gunung Menjulang jelas menjadi berita nasional, muncul di breaking news semua acara berita di televisi, menjadi trending topic di semua media sosial, menjadi bahan pembicaraan mereka yang pagi itu berangkat untuk berdoa di tempat ibadah ataupun tadinya hendak menuju pasar. Semua ditunda demi mengetahui perkembangan lebih lanjut dan keputusan pemerintah setempat.

Di suatu tempat yang cukup jauh dari kota dan Gunung Menjulang tapi sering terkena dampak hujan abu, seorang wanita berparas jelita dan bertubuh indah berulang kali menekan tombol telpon tapi tidak ada jawaban, telponnya tidak diangkat. Pesan teks saja tidak dijawab, apalagi hubungan telepon. Wanita itu gelisah dan khawatir, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia kesal sekali.

“Dasar kaleng sarden, nyebelin banget ih!” ujarnya penuh kekesalan. Kesal tapi juga takut, “kamu lagi di mana sih? Kamu lagi ngapain? Aku khawatir banget tahu…! Jawab kek telponnya!”

Perempuan berparas cantik yang sehari-harinya berkerudung itu mondar-mandir di ruang tamu rumah kontrakannya. Kontrakan sederhana yang cukupan untuk sang janda dan keluarganya. Tubuhnya yang indah dan seksi dibungkus oleh daster nyaman dari pasar yang gagal menyembunyikan dadanya yang sentosa dan molek.

Wanita itu adalah Asty, salah satu kekasih si Bengal yang saat ini tinggal di salah satu kota kecil dekat kampung si Bengal. Ia mengajar di sekolah dan hidup sederhana jauh dari kota besar. Pagi sudah menjelang, sebentar lagi matahari terbit, tapi kabar tidak juga muncul. Kemana si Bengal sebenarnya? Asty benar-benar tidak bisa tidur memikirkan nasib sang kekasih.

“Ayolaaaah, jawab, jawab, jawab…”

Dkkgh. Dkkgh. Dkkgh.

Asty hampir meloncat karena kaget. Ada yang mengetuk pintu depan rumah kontrakannya? Jam berapa ini? Kok tidak tahu waktu bertamu jam segini? Siapa? A-atau jangan-jangan si Bengal datang ke sini? Terdengar ucapan salam lirih dari luar. Sepertinya bukan suara si Bengal. Lalu siapa itu? Apakah berniat jahat?

Asty mengenakan kerudungnya, lalu beranjak ke bagian depan.

Dkkgh. Dkkgh. Dkkgh.

Kembali terdengar ucapan salam lirih dari luar. Siapa ya? Daripada bertanya-tanya, lebih baik dibuka saja tapi dengan hati-hati. Asty membawa penggorengan di tangan kirinya, siap untuk dipukulkan ke orang di depan pintu seandainya dia berniat jahat.

Pintu perlahan-lahan dibuka. “Ya? Siapa ya?” tanya Asty dengan sopan dan lirih. Dia tidak ingin membangunkan anak-anaknya yang tengah terlelap di kamar dengan keributan yang tidak perlu.

“To… tolong… aku…”

Asty mengerutkan kening. Suara seorang wanita? Tapi dia tidak ingin melepaskan kewaspadaan, dia sudah banyak makan asam garam soal serangan mendadak.

“Ya? Siapa kamu? Kenapa datang ke sini?”

Saat membuka pintu, Asty menjumpai seorang wanita muda berkerudung yang tengah berkeringat deras. Wajahnya pucat pasi dan terlihat lelah. Asty mengerutkan kening, wajah itu seperti tidak asing. Ia melirk ke luar, ke arah jalan kampung. Sepi senyap. Tidak ada siapa-siapa. Apakah wanita muda ini jalan ke sini sendirian?

“As… Asty kan?”

Lho, kok dia kenal dengan sang janda muda? Ia pun bertanya-tanya, “Kamu siapa? Apa maumu?”

“A-aku Kinan. Kinan-nya mas Nanto.”

“KINAN!?”

Bagaimana bisa dia tahu tempat ini? Bagaimana dia datang ke sini? Kenapa dia sendirian? Apa yang telah terjadi? Kenapa ke tempat Asty?

Lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Kinan ambruk pingsan di hadapan Asty sebelum sempat mengucapkan lebih banyak kata. Asty terbelalak dan menutup mulutnya karena tidak ingin menjerit. Ia jelas kaget bukan kepalang, apalagi saat melihat ternyata perempuan itu tengah hamil besar.

“Kinan? Kinan!? Kinaaaan!?”





.::..::..::..::..::.





Tara Intan Kitamura adalah nama gadis yang saat ini berkedip-kedip matanya di tengah kamar tidur yang lampunya diredupkan. Pandangan matanya masih blur ketika ia melirik ke arah jam meja digital berbentuk kucing robot berwarna biru dari masa depan. Waktu masih berdetak di sekitar pukul dua pagi. Bukan jam produktif untuk melakukan apapun.

“Jam berapa ini?”

Satu pertanyaan melayang di udara.

Tara melirik seorang dara yang sedang duduk di window-seat, kursi yang menempel di jendela, tempat yang berupa pembaringan kecil yang nyaman digunakan sembari menikmati pemandangan. Malam itu tidak ada pemandangan apapun yang bisa dinikmati kecuali pemandangan kota saat malam. Gedung-gedung gelap dengan neon yang menyala redup di sisi-sisi tertentu. Gadis itu yang menanyakan jam kepada Tara.

“Jam dua,” jawab Tara, “tidak bisa tidur?”

“Tidak. Aku tidak bisa tidur, sudah mencoba bagaimanapun caranya, termasuk menghitung domba lompat pagar.” Wajah jelita Nada menengok ke arah Tara. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, lingkar mata panda, menandakan kalau Nada sudah tidak tidur sejak beberapa lama. Meski lampu ruangan redup, tapi Tara bisa melihat betapa lelahnya sang dara jelita itu.

Tara tidak berusaha menghakimi, ia melirik ke arah meja di depan Nada. Ada ponsel teronggok di sana. Tara pun hanya tersenyum lembut, “Kenapa?”

“Ada yang sedang terjadi di kota asalku dan itu membuatku khawatir setengah mati. Khawatir pada keluargaku, pada Ayah, pada teman, pada karyawan, pada semua orang yang selama ini ada di dekatku. Aku juga khawatir…” Nada mengelus perutnya, “…pada ayah anak dalam kandunganku ini.”

“Berdoalah bahwa semua baik-baik saja. Tidak ada yang bisa kamu lakukan saat ini kecuali berdoa. Pertama kamu sangat jauh, kedua kamu di sini untuk melindungimu dari semua hal yang terjadi di sana,” Tara membungkus tubuh indahnya dengan selimut, ia berdiri dan melangkahkan kaki jenjangnya ke arah Nada. Tara menepuk pundak sang dara, “Hime, keberadaanmu di sini adalah untuk menyembunyikanmu dari semua bahaya yang mungkin mengancam di kota asal, jadi untuk saat ini tidak baik mencari tahu apa yang terjadi di sana. Aku dan kawan-kawan lain akan memastikan kamu aman. Aku dan segenap Shinsengumi XI yang berada di negeri ini akan melindungimu, kami sudah bersumpah pada Zein-sama.”

“Tara… aku tidak bermaksud…”

Tara tersenyum dan duduk di samping Nada. Ia membenahi rambutnya yang terjatuh menutup mata.

Hime, tenanglah. Tugas kami sekarang adalah untuk mengabdikan diri kami pada keselamatanmu. Apalagi aku dapat kesempatan untuk menjadi roommate kamu juga. Keuntungan ganda kan ya, bisa melanjutkan sekolah dan menetap di tempat ini untuk menjadi sahabatmu. Zein-sama sangat baik dengan mengijinkanku tinggal di sini. Aku dan teman-teman tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu.”

Nada tersenyum dan mengangguk. Tara mengelus perut Nada.

By the way, Hime. Kamu terlihat semakin cantik akhir-akhir ini. Orang bilang kalau calon mama-nya semakin cantik tanpa perlu bersolek, itu tandanya yang lahir nanti anak perempuan. Hihihi. Kalau nanti anakmu perempuan, mau kamu kasih nama apa?”

Nada mendongak menatap langit malam, ada bintang yang tiba-tiba saja bergerak pancarannya, melintasi langit dengan ekor yang terbiaskan di belakang, seperti seekor kecebong yang menyelami alur di angkasa raya. Mungkin itulah yang disebut bintang jatuh? Fenomena alam yang konon akan mengabulkan permintaan siapapun yang menyaksikannya? Mungkin hanya takhayul yang tidak jelas juntrungan.

Tapi… tidak ada salahnya mencoba bukan?

Si jelita itu pun tersenyum, wajah imut keturunan Jepang-nya tercenung, ia merenung sesaat sebelum memberikan jawaban. Mungkin melamun, mungkin berdoa. Tapi ia terpaku pada sesuatu. Pada sebuah nama. Sudah siapkah ia dengan nama? Ya jelas belum. Jangankan nama, jenis kelaminnya saja belum ketahuan. Kalaupun bicara nama, Ia harus menanyakan dulu dengan ayah sang jabang bayi nanti enaknya diberi nama siapa.

Tapi…

Tapi siapa yang menyangka? Siapa yang menyangka bahwa di usianya yang semuda ini dia harus memikirkan nama seorang calon jabang bayi?

Lucu juga bagaimana ia bisa sampai di titik ini, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bagaimana dia akhirnya akan menentukan nama seorang anak yang tengah ia kandung. Seorang anak dari laki-laki yang beberapa bulan lalu belum dikenalnya. Laki-laki yang kini justru mengisi hatinya.

Lucu.

Lalu bagaimana menjawab pertanyaan Tara?

Sebenarnya bisa saja Nada menjawab dengan satu kalimat sederhana, bahwa dia belum punya jawaban, bahwa janinnya bahkan masih terlalu kecil untuk diberikan nama penanda, bahwa dia belum berkonsultasi dengan ayah anaknya.

Tapi… tapi entah kenapa seperti ada suara yang berbisik kepadanya dari balik kabut batinnya yang terdalam. Sesuatu yang seakan sudah pasti ditentukan bahkan sebelum jamannya datang, nama yang sudah terucap di bibir bahkan sebelum harapan disematkan pada kehadiran. Nama yang sudah terucap di bibir seperti penanda satu kedatangan.

Nada dengan sejuk menjawab.

“Aira.”





PROLOG SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 1
 

Similar threads

Balasan
9.293
Dilihat
2.026.409
Balasan
9.805
Dilihat
1.797.404
  • Locked
  • Poll
CERBUNG - TAMAT JALAK
Balasan
6.446
Dilihat
2.625.337
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd