Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JALAK v4

BAGIAN 1
KU INGIN






“Hari terpenting dalam hidupmu,
adalah hari di saat kamu dilahirkan,
dan hari di saat kamu menyadari kenapa.”
- Mark Twain






.:: SEBULAN KEMUDIAN



Hageng berdiri dengan tegap.

Tangannya menggenggam tongkat kayu. Ia memutar-mutar tongkat itu dengan gerakan memutar, kadang dipelintir, kadang seakan dilemparkan ke atas sebelum ditangkap kembali dalam jangkauan. Tubuhnya bergerak mengikuti arah hembusan angin, mengikuti - bukan menghindari, mengarungi arus bukan melawannya. Menahan ego dan emosi, mengikuti perasaan dan indera sejati, menerima alam, mengikuti alam, menjadi alam.

“Maju.” Sang lawan berucap pelan namun tegas.

Hageng mengangguk. Ia menusukkan tongkat itu ke bumi, menyerong, menatap lawan dengan pandangan mata tajam. Satu tangannya erat mencengkeram bo staff. Hageng menendang tongkat itu hingga dapat dicengkeram erat dengan dua kepalan menghadap ke bawah.

Melihat kesiapan Hageng, sang lawan maju ke depan dengan gerakan cepat, luncuran tongkat mengincar bagian tengah Hageng dengan sabetan setengah lingkaran.

Bkkkkk!

Pertemuan dua tongkat bo staff berselimut Ki menimbulkan ledakan energi. Tidak besar, tapi cukup membuat gentar. Hageng menghembuskan napas dan mundur perlahan dengan sejajar, tongkatnya masih terus bergetar. Bagaikan koreografi yang pas selaras, ia menurunkan tongkatnya ke bawah setelah sebelumnya ke atas, sejurus dengan badan. Ia melakukannya dengan sadar dan fokus yang menyebar.

Bkkkkk!

Hageng kembali berhasil menahan serangan yang mirip seperti sebelumnya, tapi dari bawah, serangan yang membentuk gerakan setengah lingkaran. Sang lawan kini sudah mundur, sekitar tiga langkah ke belakang. Dengan sigap ia memindahkan posisi tongkat dari tengah ke samping, serangan akan menjadi lebih gencar dengan posisi ini. Sang lawan memutar-mutar tongkat dengan bentuk lingkaran penuh. Dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri.

Hageng mundur dan bersiap. Dia masih dalam posisi yin yang defensif, menanti serangan dari posisi yang yang agresif.

Serangan datang. Gempuran bak air bah yang tanpa kompromi menyerang penuh tenaga. Tidak hanya tenaga mentah, tapi juga disertai dengan tenaga Ki – yang menyebabkan tiap hentakan akan lebih terasa. Hempasan tongkat datang dari segala penjuru.

Hageng mengernyit pahit saat serangan datang, beberapa kali ia berhasil menahan, beberapa kali pula tangannya tersambar, lalu badannya, lalu kakinya. Ia masih kokoh berdiri karena tekad. Hageng dipaksa melangkah mundur beberapa kali. Sang penyerang mundur beberapa langkah ke belakang, mencoba memberikan kesempatan pada sang T-Rex.

“Cih. Menyebalkan. Ada yang mengganggu pikiranmu kan? Terlalu sering tanganmu terkena sambaranku. Ini bukan sekalinya kita berlatih, ini sudah yang kesekian kalinya dan aku lelah. Sudah kubilang, fokus pada serangan, rasakan dengan hati – bukan mata telanjang. Kamu tidak akan bisa melihat arah serangan jika fokusmu masih mentah. Ini adalah cara bagaimana kamu bisa melatih keseimbangan sekaligus penempatan serang balik, semua hanya jika kamu mampu melatih fokus” ujar pria yang tengah menyerang Hageng, “Sekarang coba kita ulangi serangan tadi. Kalau masih juga tidak bisa menyerap apa yang kuajarkan, lebih baik mati saja kamu.”

Hageng mengangguk tanpa banyak cakap. Sekali lagi, dua bo staff berputar dan dihentakkan ke bumi. Kedua orang menyamping. Pandangan mata tajam saling bertemu. Tangan kiri Hageng erat mencengkeram ujung tongkat.

“Maju!”

Kaki tegap menghentak, Hageng menendang bagian bawah tongkatnya ke depan. Kini kedua tangannya mencengkeram erat batang bo staff. Sang lawan tidak lagi melakukan serangan perlahan, ia melaju dengan kencang, setengah lingkaran sabetan meluncur.

Btaaaaaaakgh!

Hageng mampu menahannya.

Sebelumnya bukan perkara yang susah baginya untuk menahan serangan, yang susah adalah fokus dan konsentrasi yang mudah terbuang. Tapi kali ini Hageng butuh waktu lebih untuk bertahan, karena serangan yang dilancarkan jauh lebih bertenaga. Sang lawan memutar bo staff yang digunakan, dari semula serangan setengah lingkaran kembali sesuai arah jarum jam, lalu membentuk satu lingkaran sempurna menyamping dan menyerang dari bawah.

Hageng meloncat mundur, kaki merenggang. Ia menurunkan bo staff sejajar badan.

Btaaaaaaakgh!

Hageng berhasil menahannya, meski begitu, tubuhnya melayang ke belakang. Ia meloncat ke belakang dengan satu rotasi seiring hentakan tenaga dari serangan. Tongkatnya diluncurkan ke tanah bagaikan rem yang menahan laju. Hageng sukses melakukannya. Tidak serta merta dengan mendarat lantas semuanya berakhir. Hageng tahu sang lawan pasti akan menyerang. Itu sebabnya dia juga melakukan hal yang sama. Hageng menarik tongkat ke belakang, mengumpulkan tenaga, dan mengayunkannya ke depan setelah mendapatkan momentum.

Btaaaaaaakgh!

Dua serangan beradu di udara, dua tongkat bertemu. Hageng terengah-engah dengan upayanya. Selama ini dia selalu mengandalkan tenaga mentah untuk bertarung jarak dekat dengan menggunakan teknik gulat, kali ini dia belajar bagaimana pengendalian diri karena harus menggunakan tongkat untuk bertempur.

Sang lawan mnundur sejenak dan menarik tongkatnya, lalu dengan kecepatan tinggi ia melesakkannya ke depan. Teknik sang lawan disebut thrust – tusukan. Caranya menyerang Hageng, bagaikan seorang atlit bilyar yang mengincar banyak lubang di dada.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Hageng melindungi diri dengan tongkatnya. Kali ini semua serangan itu bisa dimentahkannya dengan mudah, sang lawan tersenyum senang, karena memang inilah yang dia incar. Inilah yang diperintahkan padanya.

“Tidak buruk, bocah bongsor. Mesinmu sudah mulai panas.”

Serangan berikutnya bukan serangan sederhana dan parsial seperti sebelumnya. Tongkat diputar dengan kecepatan tinggi oleh sang lawan, melingkar-lingkar membentuk cahaya blur yang tidak terdeteksi dengan mudah mana ujungnya. Hageng benar-benar harus fokus dengan serangan yang kali ini mengincarnya. Tidak mudah menghadapinya. Kedua tangan lawan memegang bergantian tongkat yang diputar itu.

Hageng mendengus, ia memutar-mutar bo staff-nya juga dengan kecepatan tinggi sembari bergerak mundur.

Keduanya lantas menarik tongkat ke belakang kepala, masing-masing menempatkan diri di posisi. Kaki tegap menancap di sisi kanan kiri. Kedua tongkat itu sama-sama melesat ke depan dengan ayunan setengah lingkaran di atas kepala.

Btaaaaaaakgh!

Pertemuan tongkat terjadi, seimbang.

Tidak. Sang lawan lebih kuat. Ia mendorong tongkat Hageng ke bawah kiri, memelintir tubuhnya ke samping. Tubuh Hageng bagaikan tenggelam dalam arus serangan. Melihat Hageng sudah kehilangan keseimbangan, tongkat sang bergerak ke atas, berputar melawan arus arah yang sebelumnya. Kecepatan tongkat itu mengerikan, seakan ia mampu memenggal kepala sang T-Rex. Hageng tak akan sempat menahan serangan itu dengan tongkatnya. Ia menurunkan badan. Sang lawan sudah memperkirakan itu, serangan bo-staff-nya mengincar ke bawah dengan cepatnya.

Hageng fokus, tepat di saat tongkat sang lawan datang, ia meloncat. Kakinya menjejak tanah di belakang.

Serangan itu terhindar.

Tapi seperti sebelumnya, ada thrust masuk. Serangan ini bisa melubangi kepala Hageng jika gagal dihindari, dan Hageng tak bisa menghindar, kakinya menyilang tak kokoh. Hageng mengangkat tongkatnya.

Btaaaaaaakgh!

Di saat-saat terakhir serangan itu berhasil diblokir oleh sang T-Rex.

Kedua orang yang tengah berlatih mundur teratur.

“Heheh. Luar biasa,” Sang lawan memuji Hageng. Dia dan sang T-Rex sama-sama menjura, menunjukkan hormat mereka untuk menyelesaikan latihan.

Lawan Hageng itu melontarkan tongkat ke arah Hageng.

Hageng menerimanya dan sempat mundur beberapa langkah karena ternyata tongkat itu disertai dengan tenaga Ki. Hageng menatap sengit pada sang lawan.

“Heheh. Perintah yang aku terima adalah untuk melatihmu meningkatkan kemampuan. Dari segi fokus mulai ada peningkatan, tapi masih belum sempurna betul. Kita akan bertemu lagi besok, beristirahatlah. Besok kita coba dengan tangan kosong. Fokus, bocah. Fokus.”

Sang lawan berlalu dengan santai, melenggang dengan tenang sembari mendendangkan satu gendhing jawa yang tak dikenal Hageng. Dalam beberapa kedipan mata, sosok itu berpindah-pindah dengan cepatnya. Sekali kedip tiga meter, kedip kedua sepuluh meter, kedipan ketiga lima belas meter, kedipan keempat dan kelima sosok itu sudah mulai hilang dari pandangan.

Hageng meletakkan kedua bo staff di tempat khusus.

Seorang gadis berkerudung tertatih-tatih mengenakan kruk, ia mendekat ke arah Hageng, mengeluarkan handuk kecil, dan mengelap keringat sang pemuda.

“Capek?”

Hageng tersenyum sedikit dan mengangguk. Ia memegang jemari gadis itu dengan perlahan. Pandangan mata sang T-Rex berubah menjadi lembut. Sang dara menatap wajah pria bongsor yang gundul itu dengan kekhawatiran.

“Latihanmu lancar kan? Setidaknya begitu yang aku lihat tadi. Pelatih yang mengerikan.”

Hageng menatap ke arah kepergian sang lawan.

“Dia dilahirkan zeperti itu. Dia membentuk dirinya zendiri zeperti itu. Jika zuatu zaat bertemu dengannya, jauhi dan zama zekali jangan didekati. Dia zangat berbahaya.”

“Mendekatinya? Ogah banget. Eh, siapa sih namanya?”

“Rahu. Rahu Kala.”





.::..::..::..::..::.





Bibir beradu, napas memburu, seakan berpacu, meski tanpa pemburu. Lelah terlupakan saat nikmat menghentak. Lebih ingin beradu bersatu berpadu, semua masalah pun menjadi semenjana, terselubungi oleh kirab persona, terbiaskan pesona. Dua anak manusia berpelukan dalam rasa yang terjaga dan birahi yang terselenggara, memadu kasih menjalin asmara.

Di dalam satu kamar sepasang anak manusia berlainan jenis memadu kasih. Gaya konvensional, pria di atas, wanita di bawah. Pria menandai, wanita mewadahi. Sang pemuda memacu birahinya di atas seorang tubuh wanita jelita, manis, dan bertubuh indah. Dulu mereka perjaka dan ibu muda, kini mereka jadi satu tanpa memikirkan status apalagi usia.

Sembari menghentak-hentakkan pinggulnya, telapak tangan Roy bergerilya di atas payudara Rania, ia meremas dan sesekali memilin puting susu sang bidadari. Keduanya sangat begitu menikmati permainan cinta mereka, seakan mereka sudah tidak lagi peduli dengan suasana apapun di luar sana, tidak peduli apapun yang menunggu dan mengganggu. Yang mereka inginkan saat ini hanya sebuah kepuasaan batin yang hanya bisa diraih bersama, obat terampuh dari pasangan terkasih.

“Mas Roy... aahkk... terus sayang... aaahkk...” Lenguh Rania, tubuhnya yang bermandikan keringat terhentak-hentak menerima setiap sodokan kasar batang kejantanan Roy yang berada di atas tubuhnya.

Tangan pemuda itu membelai rambut kekasihnya, ia menatap wajah Rania yang tampak memerah. Cantik, jelita, manis, merona.

“Nikmat sekali... sssttt... mmmhh… aku tidak akan pernah bosan melakukan ini, sayang,” racau Roy, pemuda itu senang karena bisa menyetubuhi tubuh indah itu kapanpun dia mau. Sekarang Rania memang miliknya dan hanya akan menjadi miliknya.

"Dasar... nakal… tapi aku suka." Lirih manja Rania.

Roy memanggut bibir sang bidadarinya itu, melumatnya sembari menjejalkan lidahnya ke dalam mulut Rania yang dengan gesit membelit lidah Roy, menyedotnya, menyeruputnya, menikmatinya. Rania bahka dengan rela menelan air liur Roy yang memenuhi rongga mulutnya. Mereka berciuman sangat liar dan panas.

Telapak tangan Roy makin liar bergerilya diatas payudara Rania yang ranum. Ia memainkan putingnya yang telah membesar dan mengencang. Jemari Roy bermain memberinya stimulasi, kenikmatan tak terperi, rasa yang memang dicari, bikin setengah di bumi setengah lagi terbang tinggi. Rasa yang membuat birahi Rania kian terbakar.

Bkkh. Bkkh. Bkkh. Bkkh. Bkkh. Bkkh. Bkkh.

Suara yang ditimbulkan oleh pinggul Roy yang menghentak-hentak selangkangan Rania terdengar, suara kecipak basah batang kejantanan Roy yang menembus liang kewanitaan Rania terdengar juga semakin nyaring. Suara yang muncul seiring dengan kecepatan pinggul Roy yang bergoyang maju mundur, maju mundur menyodok-nyodok liang cinta sang bidadari jelita yang sudah sangat basah.

Begitu keras dan cepatnya serangan Roy, Rania dibuatnya makin kelimpungan tak tahu harus bagaimana. Wanita berparas indah itu sudah tidak sanggup lagi, wajahnya menunjukkan nafsunya, mulutnya terbuka lebar, tangannya mencengkeram pundak Roy, suaranya makin tak menentu. Dorongan nafsunya kian tak tertahankan.

Sampai suatu ketika.

Tubuh Rania melejit dan melenting ke atas lalu ke bawah, kedua betisnya menegang dan pantatnya terangkat tinggi.

“A-aku sudah keluar, Maaaass! Punya aku sudah keluaaar,” Jerit Rania, matanya memutih dan wajah cantiknya memerah. Ia menegang dan ketika terasa desakan cairan membasahi liang cintanya, tubuh Rania kembali luruh dalam pelukan sang kekasih.

Untuk beberapa saat lamanya Roy membiarkan batang kejantanannya tetap di dalam kemaluan sang kekasih hati, dengan senyum lembut Roy membiarkan Rania menikmati masa-masa orgasmenya.

Suasana yang tadinya di penuhi suara-suara erotis perlahan luruh dalam hening. Roy terpaku diam memandangi wajah cantik Rania yang bermandikan keringat. Entah kenapa ada kepuasan tersendiri setiap kali Roy berhasil membuat kekasihnya itu tergolek lemas setelah bermain cinta dengannya.

Berbanding terbalik dengan Roy.

"Hhh… hhh… hhh. Kamu belum bisa keluar, Mas?" tanya Rania yang meringkuk dalam pelukan.

Roy menarik kemaluannya perlahan dan berbaring di samping Rania. Ia melakukannya sembari memeluk pinggang ramping sang bidadari.

"Tidak apa-apa. Yang penting kamu senang, aku pun senang," ujar Roy, sembari menatap lembut mata Rania.

Rania terengah-engah saat tenggelam di pelukan Roy. Pelukan hangat yang hari ini masih terasa berbeda, masih terasa asing dan gamang. Roy sudah beberapa kali bermain cinta tidak menikmati dan terasa jauh. Rania sedikit banyak merasa bersalah.

“Masih belum bisa tenang ya, Mas?”

Roy menggeleng sembari menikmati keindahan wajah Rania yang ia dekap, “Sebelum ia ditemukan, aku tak akan pernah bisa tenang. Hidupku hancur saat ini.”

Rania mengangguk, “Aku paham.” Wanita berparas manis itu mengecup pipi sang pujaan hati, “Kita pasti akan menemukannya. Dia seorang petarung, tidak akan semudah itu lenyap ditelan bumi. Dia pasti akan kembali.”

“Iya… mudah-mudahan saja.”

Rania tersenyum, mungkin hanya waktu yang bisa menenangkan Roy saat ini, dia butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan dan kembali ke track semua, “Ehm. Aku mandi sebentar ya. Mas mau mandi bareng?”

Roy menggeleng.

“Oke deh. Sebentar ya, Mas.”

“He’em.”

Sepeninggal Rania yang lantas melangkah pergi meninggalkan Roy di pembaringan, pemuda itu duduk di tepian ranjang, sendiri, tercenung, dan merenung.

Roy menatap wajahnya di cermin.

Pantas tidak?

Pantas tidak ia bersenang-senang dengan Rania sementara Bian sedang berada entah di mana? Pantas tidak ia bermain cinta sementara Bian mungkin sedang meregang nyawa? Sudah berhari-hari pasukan Aliansi membantunya mencari di mana Bian berada tapi tak kunjung ditemukan.

Sakit sekali rasanya dada Roy. Sesak sekali rasanya. Sungguh sangat sesak.

Sungguh sangat…

Pemuda itu terengah-engah dalam keterkejutan.

Bukan karena ia baru saja bermain cinta dengan Rania. Ia terengah-engah karena tegang, takut, tapi juga excited. Roy seperti melihat hantu di dalam cermin. Meski terdiam tanpa kata, wajah di dalam cermin itu perlahan-lahan berubah – tidak lagi menyerupai sosok Roy yang asli. Sudut bibirnya meninggi sementara mulutnya merenggang membentuk senyum lebar tak terbayangkan. Senyum yang lebar, bahkan teramat lebar. Lebarnya ujung bibir yang tersenyum itu bahkan teramat dekat dengan mata dan lebih tinggi dari hidung.

Apa yang terjadi? Kenapa wajah Roy berbeda dengan yang ada di cermin? Ia bagaikan menatap sosok penampakan makhluk mengerikan yang tengah menyeringai.

Apa kabar, sobat.”

“Bajingan. Keluar dari tubuhku…!” desis Roy dengan geram. Entah bagaimana sosok astral itu bisa merasuk ke dalam dirinya saat terjadi peperangan di sekitar Museum Sang Pangeran. Entah bagaimana ia bisa menyeberang dari dalam tubuh Reynaldi yang sudah kepayahan ke dalam diri Roy yang kemudian lantas pingsan.

Walah ngapain kok aku mesti keluar? Haa mbok wegah! Justru aku yang akan membuatmu terpenjara selama-lamanya bersamaku. Aku akan menggantikanmu di saat-saat tertentu, di saat kamu tak sadar. Aku akan menggantikanmu saat tiba waktunya nanti... akan kumakan jiwamu dan kugantikan dirimu seutuhnya. Hehehehe.”

“Be-bedebah.”

Memek Rania sempit juga ya. Enak sekali menyetubuhinya tadi. Aku mau lagi ah sehabis ini. Biasanya wangi dan mulus banget tubuhnya sehabis mandi.”

“KURANG AJAAAAAAR!!”

Praaaaaaaaaaaaaaang!

Roy melemparkan lampu tidur di samping ke arah cermin. Tentu saja cermin itu langsung hancur berkeping-keping diterjang lampu tidur yang sudah berselimut Ki. Roy terengah-engah dan mendengus kesal. Ia berdiri dengan gamang. Ingin rasanya ia membuka dadanya sendiri dan menarik keluar sosok astral yang kini menghuni badannya.

Tapi tentu saja itu tidak mungkin.

Ia menatap ke arah pecahan kaca. Di sana… di pecahan itu… masih terlihat wajahnya sendiri yang berubah menyeramkan dan menyeringai.

“Maaas!?” Rania nongol di pintu, “Kenapa? Apa yang…!? Astaga! Cerminnya! Apa yang terjadi, Mas?”

“Tidak apa-apa,” Roy melihat sosok di cermin itu menjilat bibir dengan menjijikkan, “tidak apa-apa sayang, semua baik-baik saja. Hanya kecelakaan kecil saja.”

“Kecelakaan kecil? Kecelakaan kecil apanya! Bisa-bisanya cermin itu sampai hancur? Duuuh, kamu ini. Ya udah beresin dulu kaca yang pecah. Takutnya nanti ada yang lewat dan kena pecahannya.”

“Iya. setelah ini kubersihin. Aku sedang…”

“Setelah ini?”

“Sekarang. Kubersihkan sekarang.”

Rania mengangguk dan kembali ke dapur untuk melanjutkan masakannya.

Hehehe. Sungguh wanita yang indah dan menggiurkan. Lezat sekali tubuhnya. Aku akan menyetubuhinya setelah ini.”

“Bangsat. Pergilah dari tubuhku! Pergi!”

Hahahaha. Satu-satunya jalan untuk menghilangkanku adalah dengan membunuh dirimu sendiri. Tapi itu pun hanya akan membuatku berpindah lagi. Kamu tidak akan bisa lepas dariku.

“Aku tidak akan terpengaruh olehmu. Aku bukan Reynaldi sang durjana busuk itu.”

Masa? Kenyataan sebaliknya yang terjadi. Akulah yang telah melepaskan Agus Lodang dari incaranmu saat perang sebulan yang lalu. Aku yang menahan tubuhmu yang ingin mencari Bian yang tenggelam. Aku sudah bisa mengendalikan tubuhmu dan kamu tidak bisa berbuat apa-apa saat aku menginginkannya. Akulah yang akan menguasai tubuhmu dan Rania akan menjadi milikku. Siang dan malam akan kugenjot tubuh indah itu dan tidak ada satupun yang bisa menghalangiku. Aku akan meneruskan darah trah Suro melalui si cantik itu.”

“Bajingan!”

Roy ingin merobohkan tembok rasanya, tapi dia tahu dia harus menekan segala macam amarah yang menggelegak di dalam tubuhnya. Ini tidak akan jadi baik-baik saja.

Ini tidak baik-baik saja.

“Mas, bisa ambilin handuk? Ketinggalan di jemuran,” terdengar suara Rania memanggil dari kamar mandi.

Wajah Roy berubah.

Ia menyeringai.





.::..::..::..::..::.





“Bang? Mau pergi kemana, Bang?”

Logat Bani yang khas luar jawa terdengar unik di telinga sang pemuda yang tengah melangkah menuju pintu keluar. Sang pemuda tidak menjawab, melirik pun tidak. Bani lantas berdiri dan berlari kecil untuk menghadang sang pemuda.

“Mungkin aku terlihat hanya bisa bersimpati, Bang. Tapi sesungguhnya sedikit banyak aku juga bisa merasakan apa yang Abang rasakan, kalau saja ada yang bisa aku…”

Orang di hadapan Rabbani Rahman terdiam. Ia meletakkan ransel besar yang sedang ia bawa. Ia menatap Bani dengan pandangan mata tajam.

Bruaaaaaaaaaaaaaaaaaakgh!

Satu meja kayu di samping Rabbani terbelah menjadi dua dengan mudahnya, dengan satu hantaman kencang di bagian tengah. Bani tahu betapa kokoh meja itu sebelumnya, karena terbuat dari kayu yang tidak sekedar papan.

Bani menjadi terbengong-bengong menghadapi kejadian di depannya.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa yang harus ia lakukan untuk menenangkan?

Rabbani meneguk ludah yang kelu.

Sepertinya dia salah berucap.

Pemuda yang mengenakan kemeja flanel kotak-kotak abu dengan kaos putih, celana jeans robek-robek di lutut, dan sepatu kets putih merk adibos itu tentu saja bingung. Bagaimana ia harus menghadapi situasi yang tengah ia dapatkan? Apa solusinya? Dia sebenarnya bertugas untuk menenangkan sang kawan, tapi jangankan tenang, ia mungkin justru menambah perkara. Dia baru saja mengucapkan sesuatu yang dia sendiri tahu itu salah. Sial, sepertinya dia akan mendapatkan banyak masalah setelah ini.

Bani menggaruk-garuk rambut cepaknya yang tidak gatal. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Rabbani Rahman bukanlah anggota Lima Jari, tapi pemuda yang kini kuliah di Unzakha itu merupakan salah satu kawan lama dari kelima anggota Lima Jari karena dulu pernah satu sekolah dengan mereka, adik kelas tepatnya. Pemuda yang gemar mengenakan headband sport ikat warna putih itu juga baru saja bergabung dengan Aliansi, beberapa hari setelah pertempuran besar di sekitar Museum Sang Pangeran.

Dia mengira karena dulu mereka saling mengenal, dia akan diterima dengan hangat. Salah besar. Kini dia justru harus merasakan amukan salah satu anggotanya.

Baru sebulan bergabung dengan Aliansi, di samping Bani kini sudah ada satu meja yang terbelah.

“KAMU TAHU RASANYA!!?? YAKIN KAMU TAHU RASANYA!?”

Deka membentak Bani, wajahnya keras dan memerah, matanya melotot. Ia menggebrak meja tak bersalah yang kini terbelah menjadi dua. Tubuhnya menegang dengan urat yang bertonjolan, tangannya menunjuk-nunjuk ke depan, “Kamu pikir kamu tahu apa yang aku rasakan?”

“Bang… sudah bang. Maksudku tadi…”

“Bagaimana mungkin kamu tahu apa yang kurasakan?! Kakakku dibunuh di depan mataku sendiri! Mantan tunanganku diculik oleh lawan dan kini tergolek di rumah sakit! Sahabatku hilang saat perang, entah hidup atau mati! Pakdhe-ku ternyata adalah musuh utama kita yang hendak menghancurkan kota, dan musuh besar yang telah membunuh guruku kini menjadi rekan orang yang paling aku percaya! Kamu tahu apa yang aku rasakan? Tidak mungkin bisa. TIDAK MUNGKIN BISA!”

“Bang… sabar… sabar… aku tahu ini pasti sulit, aku yakin pasti sulit sekali. Tapi kita harus tetap tenang dan mencoba mencari cara untuk tetap fokus, karena…” Rabbani bingung harus mengatakan apa. Dia anggota baru dan belum-belum sudah harus mendengarkan keluhan salah satu petinggi Aliansi – salah satu yang biasanya tenang dan berpikiran dingin, kini menjelma menjadi penuh amarah tak terhentikan. Dari kelima anggota Lima Jari, biasanya Deka yang berkepala dingin – kini ia jadi sosok yang sebaliknya. Tapi itu wajar saja dengan semua kejadian yang menimpanya secara beruntun.

“Tetap tenang!?? Kamu sudah gila!? Bagaimana aku bisa tenang dengan semua yang menimpaku tadi? Ah sudahlah! Kesabaranku toh sudah habis! Persetan dengan semua ini! Persetan dengan Aliansi! Persetan dengan perebutan wilayah! Persetan dengan semuanya!” Deka berdiri dan mendengus penuh emosi, napasnya bahkan bisa terdengar dari posisi tempat Bani berdiri, “Aku akan mencari bedebah bajingan bernama Bambang Jenggo itu, dengan ataupun tanpa bantuan Lima Jari dan Aliansi! Aku akan mencincang tubuhnya sampai menjadi ratusan bagian dan akan aku sebar di tengah kawanan anjing buduk.”

“Bang…”

Sang kawan mencoba meraih lengan Deka, tapi pemuda itu menyentakkannya dengan galak.

“Bilang ke Nanto. Aku keluar dari Lima Jari dan Aliansi,” Deka melangkah menuju pintu gerbang keluar dari markas sementara Aliansi, “Aku tidak akan menemui kalian sebelum aku berhasil membunuh Bambang Jenggo dan sesudah si bajingan Rahu Kala itu menyingkir dari Aliansi.”

Aura Ki Deka menyala kencang, ilmu kanuragannya menggelegak harus darah, disiram oleh bensin berupa emosi. Tidak mungkin mendekatinya saat ini. Pemuda itu pun berhenti mencegah kepergian Deka dari hadapannya, dia pun berbicara setengah kencang agar Deka mendengar.

Dia tidak boleh terlambat, jika sampai Deka pergi gara-gara ucapannya, Bani akan merasa sangat bersalah. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menghentikan kepergian pemuda itu. “Bang Deka! Tunggu! Bang! Dengarkan aku dulu!”

Deka berhenti melangkah. Ia tidak menengok ke belakang tapi mendengarkan.

“Bang. Kemanapun kamu pergi, Bang... Aliansi dan Lima Jari adalah rumahmu. Kami akan selalu ada untukmu, kapanpun dan dimanapun, Aliansi dan Lima Jari adalah darahmu. Tempatmu itu ada di sini, bukan di tempat lain. Kamu harus kembali. Kamu tidak boleh sendiri menghadapi semua ini. Kami pasti akan selalu mendukungmu, selalu ada untukmu. Aku bukan Lima Jari, tapi aku tahu apa arti kalian satu sama lain, apa arti persahabatan tanpa syarat yang sesungguhnya. Karena kalianlah aku datang. Persahabatan kalian adalah sesuatu yang aku inginkan sehingga aku datang kemari dan bergabung dengan kalian – orang-orang yang aku kagumi.”

Deka menengok ke belakang, dia menunduk, dan sedikit bergumam. Seolah-olah sedang bersumpah serapah karena lelah menghadapi seorang anak kecil yang minta ini itu tanpa berhenti. Ia menatap ke arah Bani dengan sorot mata tajam.

“Bani… menurutmu kami ini apa? Segerombolan anak SMA? Segerombolan preman yang kurang kerjaan malakin duit di samping toilet sekolah? Gerombolan tukang demo yang kerjaannya hanya nyari nasi bungkus? Kalau hanya mau keren-kerenan saja sudah bukan jamannya. Kita sudah bukan bocil lagi yang kesana kemari bergerombol, lari nyeruduk ke sana ke sini tidak jelas. Kenapa kamu memilih bergabung dengan kelompok preman kuliahan seperti kami? Seharusnya kamu belajar saja dengan tenang dan main game di rumah. Hidupku akan tenang dan nyaman. Kenapa justru membuang nyawa dengan bergabung bersama Aliansi?”

Bani terdiam.

“Apakah kamu silau dengan kemampuan kami saat ini? Apakah kamu ingin mencapai tahap ilmu kanuragan tinggi kami? Apakah kamu berharap mendapatkan seorang guru di sini?” Deka geleng-geleng kepala, melanjutkan, “Kebenaran itu pahit, Bani. Asal kamu tahu saja, kami bukan sedang bersenang-senang. Keberhasilan yang dituju anggota kelompok Lima Jari bukanlah keberhasilan yang biasa-biasa saja. Untuk bisa bersama atau menjadi seperti kami membutuhkan banyak pengorbanan. Masing-masing dari kami harus melalui perjalanan yang penuh tantangan. Jalan yang kami lalui adalah jalan pribadi, bersifat personal, dan berbeda-beda setiap orangnya. Jalan kami bisa menjadi jalan yang sepi, bisa menjadi jalan yang susah, bisa menjadi jalan yang berat. Jalan yang tidak dilakukan dengan mengikuti orang lain. Mereka yang mengikuti orang lain, hanya akan menjadi bebek pengikut barisan yang tidak akan memahami kemampuan dan potensi dirinya sendiri.”

Bani menatap Deka dengan gamang.

Deka melambaikan tangannya, “Jangan ikuti kami. Ikuti petunjuk dari dalam hati. Mau apa kamu, mau jadi apa kamu, mau ngapain kamu ke depan nanti, itu urusan pribadimu. Kamulah penentu jalan hidupmu sendiri. Paham?”

“Paham, Bang.”

Deka mengangguk, ia melangkah pergi dengan langkah yakin. “Sekarang aku pergi. Ada jalan hidup yang harus kujalani sendiri. Sampaikan pada Nanto, aku tak akan kembali. Aku keluar dari Aliansi dan Lima Jari. Jangan mengejar dan jangan mencari. Selamat tinggal.”

Ia mengambil ranselnya dan meninggalkan Bani seorang diri.

Kebingungan dalam diam.

Termenung dalam diam.





.::..::..::..::..::.





“Bagaimana menurutmu?”

“Ehm… enak.”

“Enak?”

“Enak. Tidak kalah dengan pisang goreng Kopi Klothak yang ramai di bawah kaki Gunung Menjulang. Tempat itu kan populer dengan pisang gorengnya yang enak sekali. Bahkan sampai antri-antri hanya untuk menikmati nasi sayur lodeh dan pisang goreng. Pisang goreng yang saya makan ini, sebelas dua belas dengan pisang goreng di sana.”

“Gimana sih kamu ini!? Aku tidak bicara mengenai pisang gorengnya! Aku bicara mengenai kota ini.”

“Euh iya… ma-maaf. Saya pikir tadi menanyakan tentang pisang goreng yang barusaja saya makan.”

“Aku ulangi lagi. Mungkin tadi kamu fokus makan pisang goreng itu jadi tidak mendengar apa yang aku sampaikan. Jadi kamu sudah paham kalau kota ini milik kita bersama, harus dijaga dan dipelihara agar tetap pada jalannya, mengikuti arus jaman, tapi tetap berpegang pada sejarah dan budaya, apakah kamu setuju?”

“Setuju.”

“Kota ini sudah berjalan dengan baik dan tanpa ontran-ontran selama ratusan tahun di bawah kepemimpinan keluarga keraton, tidak perlu digubah dan diubah. Pihak-pihak yang hendak menghancurkan tatanan yang ada harus diberangus dan dimusnahkan. Mudah-mudahan kamu juga setuju mengenai hal ini.”

“Setuju juga.”

Secangkir teh nasgitel – panas legi kentel - diletakkan di atas meja kaca bundar yang disangga oleh jalinan kerajinan rotan berulir. Di atas meja itu terdapat dua cangkir teh, sepiring sukun dan pisang goreng yang hangat.

“Dengan begini kedua kelompok kita bisa menjalin kerjasama untuk selanjutnya mempertahankan kota dari serangan dari berbagai penjuru. Kita tidak boleh lagi tercerai-berai dan harus bersatu padu, lawan mulai berdatangan dari dalam dan luar kota. Apakah kamu juga sepakat dengan pernyataan itu?”

“Sepakat.”

“Untuk sementara waktu, JXG akan mendukung Aliansi dan begitu pula sebaliknya.”

“Setuju. Memang itu yang saya inginkan,” Nanto berdehem, “Saya mohon maaf kalau di pertemuan-pertemuan sebelumnya saya pernah berlaku lancang atau tidak hormat. Ini semua karena kita semua sedang berada dalam keadaan kalut dan tidak tahu harus berbuat apa. Semua terjadi sangat mendadak dan kita tidak sempat mengatur hati, pikiran dan emosi. Saya mohon maaf atas semua yang telah saya lakukan baik sadar maupun tidak sadar yang menimbulkan kerugian lahir batin bagi keluarga Bapak.”

Nanto si Bengal menundukkan kepala dengan hormat di depan sesepuh kota yang ia hormati – Nazaruddin Zein, salah satu pemimpin besar kelompok yang masih berkuasa di kota sekaligus calon kakek dari anaknya yang tengah dikandung Nada. “Saya juga menyatakan penyesalan atas semua yang telah terjadi karena…”

“Sudah sudah…,” Pak Zein mengayunkan tangan, pria bertubuh kurus yang mengenakan baju turtle neck warna hitam dan celana jeans itu membenahi kacamata yang ia kenakan untuk mengamati wajah pemuda yang tengah duduk di hadapannya, “Bukan itu hal yang ingin aku dengar hari ini. Apa yang terjadi memang karena tipu daya dan rekayasa dari Ki Juru Martani dan si Janu bedebah itu. Kita tidak boleh kalah dengan keadaan dan membalikkan keunggulan mereka.”

“Tentu saja.”

“Minum dulu, Nanto.”

Si Bengal mengangguk, ia mengambil cangkir teh yang sudah disajikan dan menyeruputnya sedikit. Rasa hangat membasahi tenggorokannya yang kering. Ia memandang ke arah jauh, ke Gunung Menjulang yang sudah mulai mereda amarahnya. Hujan abu sudah tak lagi sesering beberapa minggu sebelumnya. Evakuasi yang dilakukan pemerintah dan keraton dilakukan tepat waktu meski ada beberapa korban yang gugur.

Pak Zein menatap ke arah Gunung Menjulang yang perkasa, “Perang besar yang terjadi sebulan lalu sangat merugikan. JXG telah kehilangan banyak anggota, banyak nyawa menjadi korban. Tidak ada lagi Empat Anak Panah, hanya tersisa si Jagal seorang yang masih bertahan. Hantu entah berada di mana, aku tidak berharap ia akan kembali ke JXG.”

“Pihak Kelompok Bengawan menyampaikan bahwa mereka tidak akan menyerang hingga setengah tahun ke depan – atau lima bulan lagi tepatnya. Saya berharap mereka menepati janji.”

Pak Zein manggut-manggut. “Mereka pasti akan menepati janji. Ki Juru Martani memang bangsat dan biadab, tapi dia tetap punya prinsip ksatria yang dijaga. Tidak demikian halnya dengan Janu dan antek-anteknya. Kelicikan mereka luar dalam, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Untuk saat ini kita beruntung punya lawan yang memiliki kehormatan tinggi.”

“Kami akan melacak di mana om Janu berada dan seberapa besar kekuatan QZK yang tersisa.”

Pak Zein mengangguk-angguk, “Semua ini kesalahan Janu dan ambisinya. Jangan salahkan QZK. Aku berharap QZK masih akan tetap berdiri dengan struktur kepimimpinan yang berbeda, menggantikan Janu dan kawan-kawannya dengan orang-orang baru. Kota ini butuh keseimbangan, di mana ada JXG, di situ ada QZK. Kelompok kami seperti yin dan yang, keduanya memang tidak bisa bersatu, tapi seharusnya bisa melengkapi.”

“Begitu rupanya.”

“Baik JXG maupun QZK sedang ada kekosongan di banyak posisi, kedua kelompok ini tidak akan bisa bertahan dengan kondisi yang ada. Dengan situasi itu, Dinasti Baru menjadi yang terkuat ditambah dengan ancaman dari Kelompok Bengawan.”

“Sebenarnya bagaimana fungsi Kelompok Bengawan dan Kelompok Benteng Selatan ini?”

“Negeri di Awan adalah satu kelompok besar yang sudah mekar sejak jaman penjajahan Belanda. Dulu mereka bergerak secara bergerilya untuk menghadapi musuh, begitupula di jaman Jepang, mereka adalah pejuang-pejuang amatir yang berlandaskan pada kenasionalan, tidak hanya di satu wilayah, tapi menyebar ke seluruh penjuru negeri,” Pak Zein menjelaskan, “Kekuatan mereka terus berkembang hingga pecahnya Perang Revolusi. Ketika itu orang-orang lama yang disinyalir tergerus napas komunis digantikan oleh orang-orang baru, pergantian kekuatan dilakukan secara paksa. Sejak saat itulah Negeri di Awan menjadi tak terdeteksi dan bergerak secara underground, melakukan banyak kegiatan preman. Ada tapi tak diakui, jahat tapi dilindungi. Oleh siapa? Entahlah, tidak ada yang tahu, dan kita tidak perlu tahu. Di era reformasi mereka berevolusi meski tetap kuat dan menyebar, memiliki cabang di tiap penjuru negeri dengan istilah Kelompok A dan B yang tiap kelompok dipimpin oleh satu orang yang disebut Penguasa, seperti halnya keberadaan Penguasa Bengawan dan Penguasa Benteng Selatan.”

“Astaga. Saya tak pernah mengira kekuatan mereka sedemikian besarnya. Apakah para Penguasa ini merupakan pimpinan dari NdA?”

“Bukan. Sejak jaman penjajahan, Negeri di Awan selalu dipimpin oleh dua belas orang misterius yang berganti-ganti di tiap generasi. Tidak ada yang tahu bagaimana kursi keduabelas orang itu diganti kecuali oleh mereka sendiri. Kadang keduabelas kursi itu diisi oleh orang-orang penting, di lain waktu oleh orang yang tak pernah kita perkirakan sama sekali tapi sebenarnya memiliki kejeniusan tinggi. Kedua belas orang ini yang mengatur kinerja dan gerak tiap-tiap kelompok supaya tetap aman dan tidak saling tumpang tindih. Merekalah para pengatur di balik layar, mereka adalah para penghuni Olympus – para dewa.”

“Olympic?”

“Bukan. Itu merk furniture.”

“Oh.” Nanto garuk-garuk kepala.

Pak Zein geleng-geleng. “Ternyata kemampuan ilmu kanuragan tidak berbanding lurus dengan kecerdasan ya.”

“Sepertinya begitu, Pak. Saya memang agak lemot.”

Cah gemblung.”

“Sebenarnya… sebenarnya, ada satu hal lagi yang sepertinya harus kita bicarakan, jika saya boleh minta ijin untuk bicara dan memberikan pertanyaan.”

“Apa itu?”

“Karena Aliansi dan JXG sudah bergabung, kita harus merancang pertemuan dengan om BMW selaku pimpinan Dinasti Baru yang ternyata pula adalah Penguasa Benteng Selatan. Saat ini, tidak ada yang lebih kuat di kota selain Dinasti Baru. JXG dilemahkan perang dan QZK sedang diburu habis-habisan oleh semua kelompok. Hanya Dinasti Baru yang harus dikhawatirkan saat ini, perjanjian kita dengan Penguasa Bengawan, bukan Penguasa Benteng Selatan.”

“Setuju. Atur saja. BMW harus menjawab banyak pertanyaan. Bedebah itu ternyata jauh lebih licik dari yang aku bayangkan. Siapa menyangka dia berafiliasi pada NdA.”

“Baik. Aliansi akan segera mengaturnya. Kami akan cari tempat dan tanggal yang baik.”

Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel berdering. Kedua orang itu saling melirik ke handphone masing-masing yang terletak di atas meja. Entah kenapa, mereka berdua memiliki ringtone standar yang serupa, kalau saja Nada hadir, ia pasti akan tertawa terbahak-bahak. Ternyata ponsel si Bengal. Nanto menatap ke arah Pak Zein yang mengangguk mengiyakan, memberi ijin pada si Bengal untuk mengangkat teleponnya.

Si Bengal menekan tombol terima dan menyandarkan ponsel itu ke telinganya.

“Ya, Bani? Ada apa? Aku sedang ada pertemuan. Tidak bisa diganggu gugat karena… situasi? Situasi apa? Ngomong apa sih kamu? Ngomong pelan-pelan, jangan terburu-buru, aku tidak paham apa yang kamu bicarakan. Kamu itu mau cerita apa? Situasi gawat apa yang…?” Nanto terdiam sejenak untuk mendengarkan Rabbani bercerita, ia terdiam dan meghela napas, Nanto meletakkan tangannya di dahi, “Begitu rupanya. Jangan khawatir, aku yang akan menyelesaikan masalah itu. Oke. Oke. Yak. Terima kasih infonya, Bani.”

Nanto menutup telepon dan meletakkannya di atas meja.

“Masalah di internal?”

Nanto mengangguk, “Sesuatu… atau seseorang sepertinya membutuhkan penjelasan mengenai beberapa kebijakan. Saya akan menemuinya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jangan khawatir.”

Pak Zein menghela napas, “Sepertinya sudah cukup kita membicarakan mengenai pertarungan dan perebutan wilayah, kamu juga ada masalah yang harus diselesaikan di kelompok. Akan ada waktunya nanti kita bicara mengenai perlawanan terhadap musuh di forum yang lebih besar.

“Baik.”

“Terutama sekali sebenarnya ada pertanyaan yang lebih penting yang ingin kuajukan padamu. Pertanyaan yang mungkin sudah sejak lama menggangguku. Jadi, Nanto… menurutmu, bagaimana putriku?”

Nanto meneguk ludah, salah jawaban bisa saja tiba-tiba suasana yang tenang dan sudah kondusif ini akan berubah menjadi neraka, “Me-menurut saya?”

“Iya. Bagaimana menurutmu?”

“Menurut saya… ehm… euh…” Nanto takut salah menjawab, “Nada adalah gadis yang baik, cerdas, ceria, punya wawasan luas, tegas, dan tahu mana yang baik dan benar serta mana yang salah… tapi…”

“Tapi apa? Apakah dia tidak cantik menurutmu?”

Gawat. “Sa-sangat cantik. Nada sangat cantik.”

“Apakah dia tidak pintar?”

“Sangat pintar dan cerdas. Persis seperti…”

“Seperti siapa?”

“Se-seperti Papa-nya.” Nanto tidak biasa menjilat, tapi kali ini dia harus melakukannya. Ya bagaimana lagi, namanya juga sedang diinterogasi.

Pak Zein mendengus, “Jadi kenapa kamu sepertinya masih keberatan untuk bersama dengannya? Apakah menurutmu dia tidak pantas menjadi istrimu? Apakah kamu merasa sudah jumawa sehingga anakku tidak pantas menjadi pendamping hidupmu?”

“Eh… ehmm…,” lagi-lagi Nanto meneguk ludah, “Bukan seperti itu, Pak. Sudah pernah saya sampaikan sebelumnya bahwa saya akan bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada Nada. Saya tidak akan kabur dari tugas dan tanggung jawab saya untuk memperbaiki kesalahan terutama karena saya adalah orang yang telah memberikan penderitaan pada Nada. Saya tidak ingin bayi itu lahir tanpa ayah. Saya akan menikahi Nada jika diijinkan oleh Nada dan Bapak.”

“Menikahinya? Kamu yakin?”

“Saya yakin.”

Mbelgedhes. Kabarnya kamu punya banyak kekasih. Aku sudah dengar berita tentang itu dari segala penjuru. Ini peringatan untukmu! Aku tidak ingin anakku dipermainkan buaya darat!”

Nanto mengeluarkan napas panjang dengan berat. Gawat. Wedhus. Munyuk soro! Siapa yang sudah membocorkan rahasia ini?

“Saya tidak tahu informasi itu apakah akan berpengaruh pada… maksud saya… Saya tidak ingin membuat Nada menderita untuk membesarkan bayi itu seorang diri, sehingga saya memastikan untuk menikahinya karena…”

“Karena kamu merasa kasihan? Jangan main-main!” Pak Zein mendelik, “Aku tidak suka anakku dikasihani! Kami tidak butuh itu! Aku sama sekali tidak berminat pada laki-laki plin-plan yang hanya akan menduakan dan mengesampingkan putriku terkasih demi perempuan lain. Seorang ayah mana yang tak akan hancur hatinya menyerahkan putri yang amat dijaga dan disayangnya pada seorang laki-laki buaya yang hanya akan memilih perempuan lain saat ada kesempatan?”

“A-anu…”

“Berapa kekasih yang kamu punya?”

“Sa-saya bisa jelaskan…”

Pak Zein mengangkat tangannya, menandakan supaya Nanto sebaiknya berhenti bicara. Itu pula yang dilakukan si Bengal, dia berhenti bicara. Pemuda itu pun menutup mulutnya. Menjadi seorang Raja Naga ternyata tidak lantas membuatnya menjadi lihai dalam hal percintaan dan asmara. Nanto menundukkan kepala. Gawat, gawat. Ini jauh lebih gawat daripada adu kanuragan dengan Ki Juru Martani.

Pak Zein menghardik si Bengal, “Sudah cukup. Aku tidak peduli berapa kekasih yang akan kau nikahi atau berapa wanita yang akan kau hamili. Nada harus jadi yang pertama dan menjadi prioritas utama. Perut anakku tercinta sudah terlanjur membesar karena ulahmu, jadi aku tidak mau buang waktu lebih lama lagi. Tatap mataku dan tuturkan apa niat kedatanganmu kemari! Ucapkan dengan benar dan jangan sampai mengulang dua kali!”

Pak Zein mengulurkan tangannya.

Nanto terkejut. Tubuhnya terloncat kecil di kursi, dia langsung menatap mata Pak Zein – pimpinan tertinggi JXG yang kini berdiri tegap dan menatapnya dengan tegas. Nanto akhirnya ikut berdiri. Mereka saling tatap, serius berhadapan satu sama lain.

Nanto berdehem dan membalas uluran tangan dari Pak Zein. Ia menatap ayah Nada itu dengan tatapan mata tajam.

“Mohon maaf jika saya berlaku lancang. Kedatangan saya kemari hari ini selain untuk menjalin silaturahmi dan menghaturkan hormat pada panjenengan, juga untuk secara resmi melamar Nada, putri Bapak dalam jalinan pernikahan. Saya berjanji sesuai dengan kapasitas saya sebagai seorang laki-laki untuk selalu melindungi, mengayomi, menjaga, dan memberikan semua kebutuhan Nada nantinya. Lamaran ini berlaku untuk waktu-waktu ke depan, tidak hanya sekarang atau beberapa bulan ini, tapi mungkin juga beberapa tahun mendatang. Mungkin saya bisa mengikat Nada dalam jalinan pertunangan terlebih dahulu.”

Keduanya lantas terdiam, saling mengamati satu sama lain.

Pak Zein mendengus dan tersenyum sinis, “Kamu masih kuliah, juga belum bekerja. Dengan cara apa kamu akan memenuhi kebutuhan Nada? Manusia hidup itu butuh sandang, papan, pangan. Bagaimana caramu memberikan semua itu? Tidak hanya Nada, tapi juga anak kalian nanti?”

“Se-setelah kuliah nanti saya akan segera mencari kerja tetap. Untuk sementara ini saya akan mencari pekerjaan sambilan supaya ada pemasukan. Saya berjanji kelak Nada dan anak kami akan…”

“Haish! Kelamaan! Setelah kuliah? Keburu jabang-bayinya mbrojol!” gertak Pak Zein, “Aku hanya akan mau menikahkan Nada pada laki-laki yang mapan. Aku tidak ingin masa depan anakku hancur karena menikah dengan orang yang tiap hari hanya bisa makan nasi kecap lauk garam.”

Nanto mengangguk, “Betul. Saya juga setuju. Itu sebabnya setelah kuliah nanti…”

“Sudah kubilang kelamaan!”

Nanto menunduk.

“Duduk!”

Perintah Pak Zein yang juga duduk kembali. Nanto menurut saja. Pak Zein mengambil satu kartu nama dari kantog bajunya dan menggeser satu kartu nama itu di atas meja. Nanto tak berani melirik, bernapas saja dia tidak berani. Mungkin secara ilmu kanuragan si Bengal sejajar atau bahkan di atas Pak Zein sekalipun, tapi kalau sudah ngomongin soal Nada, dia tidak berani macam-macam.

“Ambil kartu nama itu. Kamu masuk mulai besok senin, pekerjaannya seperti apa lihat saja besok. Aku tidak akan menerima kata tidak. Aku yang akan membiayai semuanya. Pimpinan perusahaan itu kenalan lamaku. Kamu akan aman di sana dengan gaji yang lumayan. Jangan buang kesempatan demi hal-hal konyol yang akan membuat Nada kecewa. Bekerjalah yang rajin. Ini demi anak dan cucuku. Dua bulan lagi Nada akan pulang untuk berlibur, kalian menikah saat itu.”

Nanto bengong.





.::..::..::..::..::.





.:: DI SEBUAH TEMPAT



“Kita dikhianati. Bajingan-bajingan itu mengkhianati kita. Mereka semua mengkhianati kita. Mereka semua bajingan.”

Om Janu dengan geram duduk di bawah lampu yang temaram di sebuah ruangan gelap yang seakan-akan tidak pernah menikmati sinar matahari. Ia duduk di sebuah kursi kayu yang lapuk dimakan usia. Di hadapannya terpampang dinding hijau berlumut yang dipenuhi foto. Di setiap foto ada paku dan benang-benang wol yang terikat dan terbentang dari ujung ke ujung, seakan menandai hubungan dari satu foto ke foto lain.

Di belakang om Janu, berdiri dua orang sesepuh yang dengan setia ikut dengannya dan seorang pemuda yang ternyata berafiliasi dengannya.

“Hotel ini tidak aman, karena berada di tengah-tengah kota. Aku tidak nyaman di sini. Kita harus mencari tempat yang lebih aman,” Rama menggerutu dengan gelisah, berulangkali ia mengintip melalui jendela yang tirainya tertutup rapat, “ide siapa sih yang dengan bodohnya mengusulkan supaya kita bersembunyi di Pasar Bunga? Maksudnya apa? Daripada mencari tempat aman lebih baik tinggal di sini dan ngewe lonthe-lonthe?”

Ki Demang Undur-undur dan Pak Mangku saling bertatapan. Mereka melirik ke arah Om Janu.

Dengan sorotan mata tajam, Om Janu menatap ke arah Rama. “Usulan ini dariku.”

Rama meneguk ludah, “Oh.”

“Tempat persembunyian paling aman adalah tempat persembunyian yang terletak di depan hidung mereka sendiri. Orang-orang bodoh itu tidak akan mengira aku mengambil persembunyian justru di wilayahnya JXG.”

“Be-begitu rupanya. Maaf atas kesalahan saya, Pimpinan.” Rama menunduk malu dan ketakutan.

Om Janu tersenyum, “Tidak perlu minta maaf. Justru aku yang seharusnya meminta maaf karena gara-gara kegagalan rencanaku kita terjebak di kolong Untuk sementara memang kita akan mendekam dalam kegelapan, tapi setelah usai semua masalah, aku akan membawa kita semua kembali ke bawah cahaya mentari.”

Ketiga orang yang bersama Om Janu mengangguk, mereka percaya om Janu bisa melakukannya. Om Janu menatap sang sopir setia.

“Pak Mangku, bagaimana kondisi istri dan kedua anakku?”

“Mereka aman, meski berada di bawah lindungan – atau lebih tepatnya penjagaan - ekstra dari Aliansi dan JXG. Meski terkungkung tapi mereka bertiga sehat tanpa kurang suatu apa.”

“Kasihan mereka bertiga,” Om Janu mengayunkan tangannya, “rawat mereka baik-baik, Erina. Untuk sementara perintah untukmu adalah berdiri di sisi mereka dan menjaga ketiganya. Kalau ada apa-apa, bilang saja ke aku.”

Dari dalam kegelapan, sang sekretaris seksi muncul dengan langkah perlahan. Gadis itu mengenakan topi untuk menutup wajah, serta baju dan celana olahraga ketat berwarna gelap yang memperlihatkan keindahan lekuk tubuhnya. Wajah indahnya terlihat sederhana dengan dandanan apa adanya.

“Siap, Pimpinan.”

“Aku juga butuh kamu menghubungiku untuk update semua yang terjadi di luar sana. Bagaimana kondisi Empat Perisai? Apakah semua sudah bisa dihubungi dan bersiap untuk perang berikutnya? Apakah… mereka sudah menyatakan setia?”

“Syam, Muge, dan Agus Lodang sudah membalas. Mereka bersumpah setia dan sedia berkumpul kapanpun Pimpinan menghendaki, Mox… saya tidak tahu di mana si Bule Gila saat ini berada,” jawab Erina.

“Bule edan itu…,” Om Janu mendengus, “tenang saja. Kalau dia berani-berani macam-macam aku punya kartu as untuk menghadapinya.”

“Saya… tidak bisa berlama-lama di sana. Akan ada orang yang curiga nanti,” Erina gugup berucap.

“Tentu saja. Gunakan jalan bawah tanah hotel ini seperti biasa. Tembusannya di Pasar Pothak tidak akan terlalu kentara.”

Erina mengangguk, dia mendekat ke arah om Janu, dan menatap pria tua itu dengan khawatir. Erina memijat pundak sang pimpinan, “Ha… hati-hati. Saya tidak ingin Pimpinan kenapa-kenapa. Saya khawatir sekali…”

Om Janu tersenyum, “Kamu juga. Berhati-hatilah.”

Erina mengangguk dan merunduk ke arah Om Janu. Wajah mereka sangat dekat. Keduanya berciuman. Bibir beradu dengan bibir. Tangan Om Janu memeluk tubuh seksi sang perempuan muda itu. Menjelajah tiap sudut keelokan tubuhnya.

Ciuman mereka akhirnya terlepas.

“Saya pamit dulu.”

Om Janu mengangguk sembari mengelus wajah Erina, “Kembalilah esok lusa. Aku butuh kamu. Kenakan lingerie yang dulu pernah aku belikan untukmu.”

Erina tersenyum dan mengangguk. Ia kembali hilang ditelan kegelapan. Om Janu kembali hanya bertiga dengan Ki Demang Undur-undur, Pak Mangku, dan Rama.

“Mox ada kemungkinan bergabung dengan kelompok lain,” ujar Pak Mangku. Ia melepas foto Mox dari tembok, dan meletakkannya di bagian yang dikotak merah.

“Tidak perlu khawatir, seperti yang aku bilang – bahkan orang seperti dia pun punya kelemahan. Kalau dia tak bersama kita, dia akan berhadangan dengan kita. Jadi kita harus menghadapi dia. Sama seperti kita harus menghadapi yang lain. QZK tetap akan menjadi QZK.”

Hrrrr…”

Ada suara tak jauh dari posisi om Janu.

Pria tua itu buru-buru berdiri, ia melangkah menuju ke kamar.

Di sana, di sebuah pembaringan, tergeletak Reynaldi yang sudah tak bisa apa-apa lagi. Mulutnya terbuka lebar, air liur menetes deras, tubuhnya lumpuh dengan semua tulang patah. Kesadarannya masih ada meski tubuhnya sudah tak lagi bisa dikomando. Air mata sang durjana menetes deras. Ia mencoba berbicara tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman tak jelas.

Om Janu menepuk pundak adiknya dengan wajah penuh amarah. Wajah yang sama sekali berbeda dari yang selama ini ia tunjukkan pada semua orang.

“Tenanglah… Rey. Mereka semua akan membayarnya. Mereka semua akan merasakan pembalasan keluarga kita. Aku akan menyembuhkanmu, aku tahu bagaimana mengembalikan kesehatanmu seperti semula. Tapi untuk itu… kita harus tahu di mana posisi Kolam Pemandian Segoro Gajah di Gunung Pendem yang bisa menyembuhkan fisikmu, lalu dengan darah terakhir legasi dari sang tokoh legendaris Kakek Segala Obat... aku akan menjadikanmu hidup abadi… seperti Ramaparasu.”

Om Janu menyuntikkan obat penenang ke lengan Reynaldi dan ia pun terlelap kembali. Kondisinya sudah sangat parah dengan tulang dan persendian hancur. Sepertinya tidak ada lagi harapan.

Rama mengerutkan kening, ia berbisik pada Ki Demang Undur-undur, “Darah terakhir Kakek Segala Obat? Benarkah itu sedemikian manjurnya?”

Ki Demang mengangguk, “Kamu pikir darimana Bambang Jenggo menjelma menjadi orang yang sedemikian jago? Bajingan memang dia dengan sengaja menyembunyikan kekuatannya. Tapi tak mengapa, kita akan membalas semuanya. Pada Nanto dan Aliansi, pada pak Zein dan JXG, pada BMW dan Dinasti Baru, dan pada Ki Juru Martani dan komplotan Bengawannya. QZK akan bangkit kembali.”

“Pak Mangku,” panggil om Janu.

“Siap. Sendhiko dhawuh.”

“Bagaimana kabar one man army corps kita? Apakah sudah disiapkan? Sudah sebulan lebih kamu melakukan praktekmu. Apakah bisa akhirnya dia digunakan?”

Pak Mangku tersenyum, “Sebentar lagi, sebentar lagi akan siap.”

Om Janu mengangguk puas. “Kamu memang tidak pernah gagal. Tunjukkan padaku. Panggil dia kemari.”

Pak Mangku bersiul pelan, sebuah lagu Jawa terdengar disenandungkan. Siulan itu sebenarnya sangat lirih, bahkan cenderung terdengar seperti bisikan saja. Entah lagu apa itu karena senandung Pak Mangku pun seperti tak begitu jelas.

Om Janu, Ki Demang Undur-undur, dan Rama memperhatikan dengan seksama. Apa yang terjadi setelah ini?

Terdengar suara ketukan di pintu.

Om Janu melirik ke arah Pak Mangku. Pak Mangku mengangguk.

“Rama, bukakan,” perintah Om Janu.

Rama segera bergegas.

Ia membuka pintu. Seorang pria dengan baju dan helm motor serba hitam melangkah ke dalam. Orang yang misterius itu mendekat dan menjura pada Pak Mangku dan Om Janu.

“Siap. Saya siap menerima perintah,” ujar sang pria berhelm.

“Bagus sekali,” Om Janu mengangguk puas. “Buka helm dan sebutkan siapa namamu dan apa tujuanmu datang ke sini?”

“Siap. Buka helm.”

Orang itu membuka helmnya, seorang pemuda dengan rambut cepak muncul. Pandangan matanya gelap dan kosong tanpa isi. Ia terlihat mengerikan dengan tampilan yang galak dan garang. Aura gelap muncul dari sang pemuda berhelm. Inilah sosok monster baru terbitan QZK, sosok yang sepertinya akan menjadi pengubah pentas di kota.

“Siap. Saya datang untuk menerima perintah membunuh semua anggota Lima Jari. Nama kode tempur saya adalah XD Tujuh unit Pembunuh Naga. Saya tidak memiliki nama asli.”

“Heheh. Pembunuh Naga? Weleh. Sungguh appropriate. Julukan yang cocok sekali,” om Janu tertawa. “Baiklah, XD Tujuh. Kami akan carikan nama asli yang cocok untukmu. Nama yang lebih sesuai dengan karaktermu. Untuk sementara akan kupanggil kau dengan nama XD Tujuh. Setuju?”

“Siap laksanakan.”

Rama dan Ki Demang Undur-undur dengan saling berpandangan. Kali ini mereka tersenyum menyeringai. Mereka semua tahu pasti, kalau pemuda yang saat ini menjura adalah salah satu orang yang mereka selamatkan dalam peperangan sebulan yang lalu. Seseorang yang kini menjadi salah satu aset penting bagi mereka berkat andil dari Pak Mangku yang sekali lagi berhasil dalam tugasnya. Berhasil menembus pertahaan sang pemuda.

Pemuda bernama Bian.





BAGIAN 1 SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2


Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mohon kesediaannya untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan nonton pilem. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya.
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Balasan
9.293
Dilihat
2.026.423
Balasan
9.805
Dilihat
1.797.421
  • Locked
  • Poll
CERBUNG - TAMAT JALAK
Balasan
6.446
Dilihat
2.625.357
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd