Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JALAK v4

BAGIAN 2
NAKAL




“Dunia nyata adalah tempat monster yang sebenarnya,”
- Rick Riordan






Mari bicara tentang akhir.

Setiap awal mempunyai akhir, every beginning has an end.

Kalimat yang kedengarannya klise? Memang. Tapi sekali lagi disampaikan tanpa perlu diingatkan, bahwa di setiap perjumpaan, pasti ada perpisahan. Apapun yang diawali oleh alpha, akan diakhiri oleh omega.

One way or another. Kisah ini kemungkinan besar akan menjadi pondasi dari akhir semacam itu - atau lebih tepatnya ini adalah permulaan dari suatu akhir dan suatu akhir akan menyelesaikan sebuah awal mula.

Permulaan dari akhir sebuah kisah ini sejatinya juga hanya merupakan reroncen kecil dari rangkaian bunga rampai yang harus diulir lepas satu-persatu tanpa merusak keseluruhan bingkai keindahan. Sungguh nyaman, indah, dan menyenangkan menikmati alur nan mengalir. Tapi yang terikat tetap harus dilepas, yang terselaput tetap harus dikupas. Satu persatu rangkaian harus diurai dan dilepaskan dari sekatan penuh tali ikatan sampai indahnya benar-benar berakhir menjadi pungkasan.

Mbulet? Membingungkan? Ya memang. Agak terkesan mbulet tapi ya memang begitulah keadaannya. Tidak perlu dipikirkan sampai menjadi pusing. Seperti yang tadi sudah dinyatakan, ini adalah awal mula dari akhir salah satu bunga rampai.

Mari kita mulai dengan suatu hari.

Suatu hari, malam tiba seakan lebih cepat. Gelap malam datang bahkan di kala jam biasanya belum mengijinkan. Matahari undur diri lebih awal dari jadwal regulernya seperti seorang karyawan yang buru-buru pulang bahkan sebelum mesin absensi mencetak waktu pulang.

Hari yang tidak nyaman biasanya akan menjadi penanda akan terjadi sesuatu yang buruk.

Kisah ini dimulai dari sebuah rumah mewah di kawasan utara kota - sebuah rumah yang saat ini berada dalam jangkauan lindungan Aliansi dan JXG. Seperti yang sudah diketahui umum, sebulan setelah perang besar dan pengkhianatan om Janu pada Koalisi QZK - KRAd, QZK kini menjadi buruan semua kelompok dan lepas dari kekuasaannya atas wilayah utara, namun masih aktif dengan metode gerilya dan tetap menjadi ancaman.

Rumah yang berada di kawasan utara itu adalah sebuah rumah yang tak hanya besar tapi juga memiliki halaman nan luas, lokasinya sendiri tak jauh dari ruas jalan utama menuju Kalipenyu tak jauh dari kebun buah naga. Rumah megah yang luas di dalam dan di luar itu memiliki halaman indah dengan kebun menghijau yang hampir memenuhi lahan seluas dua hektar, termasuk dengan beberapa pohon besar yang sudah bertahun-tahun usianya. Rumah itu sendiri dibangun dengan tema fusion atau bercampur dari gaya rumah bernuansa Eropa dengan sedikit racikan Jawa.

Malam itu, ada beberapa orang yang berjaga, sebagian besar merupakan anggota pasukan dari JXG, sebagian lagi anggota dari Aliansi. Di dalam rumah, suasana tak semenarik yang terlihat. Meski berkesan sejuk tapi terkesan bagaikan penjara yang mengungkung penghuninya. Rumah yang nyaman, aman, dan mewah itu terkesan kosong, hampa, senyap, sepi, dan penuh intimidasi. Ditambah pembatasan kegiatan bagi penghuninya yang makin nyata keberadaan mereka adalah tahanan rumah lengkap dengan berbagai bentuk larangan aktivitas.

Tidak nampaknya, ini memang penjara.

Setidaknya demikian rasanya bagi seorang wanita berwajah anggun yang sedang duduk di windows-seat dan menatap ke arah keluar jendela, dengan tangan menopang dagu. Usia wanita itu masih sebenarnya sudah berkepala tiga, tapi wajahnya yang amat cantik tak menggambarkan kehidupan kesehariannya mengurus dua orang anak yang menjelang dewasa – yah walaupun memang kedua anak itu bukanlah anak kandungnya, tapi anak bawaan dari sang suami, dia sendiri masih belum memiliki momongan kandung.

Wanita jelita itu menikah dengan suami yang usianya jauh lebih tua saat ia masih sangat muda dan langsung didapuk menjadi ibu dari dua orang anak. Hal itu tidak pernah menjadi masalah karena sang suami begitu menyayangi keluarga dan selalu memberikan yang terbaik untuk dirinya dan anak-anak. Suaminya mendukungnya di dalam dan di luar rumah, seperti membuatkan jaringan bisnis usaha batik yang ternyata lumayan sukses.

Sayang, saat ini semua kegiatan bisnis mereka tidak bisa dipantau, karena ketika sang suami tertimpa masalah besar dan menjadi buronan nomor satu di kota, wanita jelita itu hanya bisa mengamati usaha batiknya dari jarak jauh dan hanya bisa sesekali – itupun tanpa meninggalkan rumah.

Nama wanita jelita itu adalah Haryani Sri Ningsih atau sering dipanggil Aryani. Seorang wanita Jawa yang sangat anggun dan molek di usianya yang sudah matang. Dia bukan wanita sembarangan, gerakan dan caranya berpakaian membuat Aryani dikenal sebagai salah satu warga elite di kota. Kecantikan khas gadis ningrat tersirat dari sosoknya yang memang keturunan dari salah satu abdi dalem keraton.

“Papah belum pulang ya, Bunda? Kenapa sih? Ada apa sebenarnya?”

Dahlia atau Lia alias si bungsu sangat senang menggelayut manja di lengan sang bunda, suatu keseharian yang juga dinikmati oleh Aryani. Lia masih bersekolah di sekolah dasar – jarak usianya agak jauh dengan Tara, sang kakak yang sudah SMA.

Meski tidak melahirkan keduanya, tapi Tara dan Lia adalah kebanggaan Aryani - sang bunda tiri yang wajahnya masih sangat cantik itu. Saat dipersunting suaminya yang pengusaha, Aryani adalah seorang model dan finalis kejuaraan kecantikan tingkat nasional. Wajah dan tubuh yang selalu terawat dengan berbagai jamu dan olahraga membuat wanita elite itu tetap cantik dan bertubuh indah di usianya yang sekarang.

Saat menikah, Aryani sudah harus merawat Tara dan Lia seperti layaknya anak sendiri setelah ibu kandung mereka meninggal karena penyakit yang dideritanya. Aryani tak keberatan karena memang dia menyukai anak-anak. Beruntung tidak ada masalah antara Aryani dan mendiang istri tua sang suami. Mereka berdua sangat akrab dan berhubungan baik, bahkan sang istri tua sudah menganggap Aryani sebagai adik dan mempercayakan suami dan anak-anaknya kepadanya.

Aryani mengelus rambut sang bocah kecil yang panjangnya sebahu, “Kenapa memangnya menanyakan itu? Adek kangen ya? Papah kamu sedang sibuk bekerja, Nak. Ada banyak sekali yang harus dikerjakan sehingga tak bisa pulang menemui kita. Kita sudah biasa seperti ini, bukan? Sebelumnya juga pernah sekali waktu Papah tidak bisa menemui kita sampai berbulan-bulan lamanya. Tidak apa-apa, bersabarlah dan berdoa semoga Papah kalian pulang lebih cepat untuk bertemu kita.”

“Yaaaah, beda dong, Bunda. Waktu itu kan Adek masih kecil. Masih belum tahu apa-apa. Jadi tidak paham kalau Papah perginya lama, kalau sekarang Adek sudah paham. Kalau pergi lama kan biasanya bisa nitip oleh-oleh. Hihihi.”

“Oalah, jadi itu tujuannya kamu menanyakan kemana Papah pergi? Supaya bisa nitip oleh-oleh? Nanti Bunda sampaikan kalau Papah menghubungi, oke?”

“Tuh kan, Bunda bisa menghubungi Papah, tapi Adek tidak. Sekarang Adek beneran kangen sama Papah. Kira-kira Papah pulang kapan ya, Bunda? Adek bosen di rumah terus. Pengen jalan-jalan ke luar negeri lagi seperti dulu.”

“Cih. Bocil seperti kamu tahu apa. Papah tidak akan pulang! Papah berbuat jahat dan diburu banyak orang. Itu sebabnya kita sekarang dipenjara! Semua gara-gara Papah!”

Aryani kaget saat mendengar suara ketus Tara yang duduk di kursi tamu tak jauh dari windows-seat tempatnya dan Lia berada. Tara masih terus membaca buku dengan wajah cemberut. Ketusnya Tara dan pernyataannya yang mengejutkan membuat Lia langsung merengek pada sang bunda.

“Bunda! Tuh Kakak jahat banget! Masa Papah dibilang jahat!”

“Tara! Jangan begitu dong, jangan bikin adik kamu jadi seperti ini, jangan bikin masalah.” Aryani merengut dan memarahi anak sulungnya, wanita jelita itu membungkuk dan memeluk Lia sembari mengelus-elus rambutnya, “Udah sayang, kamu tidak perlu dengerin kakak Tara. Kakak sebenarnya juga kangen sama Papah. Sana naik dulu ke kamar, main dulu, atau baca buku. Kalau Adek mau belajar juga bisa. Ada pekerjaan rumah kan?”

Kondisi keluarga Aryani yang bagaikan tahanan membuat Tara dan Lia mau tidak mau harus homeschooling, jika nekat sekolah maka nyawa mereka akan menjadi taruhannya karena pasti akan banyak yang mengincar kedua anak ini di jalanan. Homeschooling adalah jawaban tepat untuk saat ini.

“Kakak bohong terus! Kakak jelek, weeeek.” Lia berlari ke atas dengan menaiki tangga melingkar sembari menjulurkan lidahnya.

“Siapa yang bohong?! Itu kenyataan! Dasar bocil!” Tara berteriak kencang dengan emosi.

Lia sudah meninggalkan ruang tamu, meninggalkan Aryani dan Tara sendirian. Dengan langkah anggun Aryani duduk di samping sang putri sulung di ruang tamu. Ibu tiri jelita itu kini berganti mengelus rambut panjang Tara dengan penuh rasa sayang.

“Kakak…”

“Sebel!”

“Iya tidak apa-apa. Bunda tahu apa yang kamu rasakan. Tapi Adek kamu masih butuh waktu untuk memproses peristiwa ini, jangan membuat dia stress yang tidak perlu, karena itu akan menjadi beban untuk kita berdua.”

Tara cemberut dan terdiam.

“Dari mana kamu mendengarnya, sayang? Berita tentang Papah?” tanya Aryani lembut.

Tara masih tetap terdiam.

“Sudah sebulan kita tidak diijinkan mengakses internet dan televisi. Semua ponsel dan televisi kita disita, sumber informasi kita hanya dari Tante Erina dan buku-buku yang ada di perpustakaan Papah. Darimana kamu bisa mendapatkan kabar itu? Bunda yakin kamu dapat akses informasi dari sumber yang Bunda tidak tahu.”

“Dari Pak Heru.”

“Pak Heru? Guru homeschooling kamu? Kok bisa? Kamu nanya ke beliau?”

Tara menggeleng, “Tara diam-diam browsing pakai ponsel Pak Heru yang ketinggalan di meja belajar sewaktu Pak Heru ke kamar kecil.”

Aryani menghela napas dan tersenyum. Ia merangkul Tara dan mengecup dahinya.

“Tara kaget dan kesel banget sama Papah, sama Bunda, sama semua orang! Tara kecewa! Kenapa tidak ada yang menceritakan kejadian di luar sana? Kenapa hidup Tara jadi begini!? Tara pengen keluar rumah! Tidak mau dipenjara seperti ini!”

“Jadi… Kakak diam-diam lihat di ponselnya Pak Heru ya,” Aryani tersenyum, “Iya, berita itu benar. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, semua sudah kejadian, dan itu di luar jangkauan akal dan pikiran kita. Saat ini kita harus bersabar supaya keluarga kita tetap bisa utuh, Kak. Supaya Papah juga bisa kembali bersama kita. Tetap positive thinking dan tetap semangat. Setuju?”

Ada genangan air mata di pelupuk mata Tara, “Apa benar Papah sudah membunuh banyak orang, Bunda? Apakah Papah menyebabkan perang? Apa benar keluarga Trah Watulanang hampir dibantai oleh ulah Papah dan teman-temannya? Berita-berita online semua menyudutkan Papah. Kenapa, Bunda? Aku tidak mengerti kenapa Papah melakukannya! Papah orang baik! Kenapa mereka semua menuduh Papah!? Aku mau marah rasanya! Apalagi sekarang kita dipenjara!”

Aryani menghela napas panjang, “Benar sekali. Papah baik dan sayang sama kita, cukup itu saja yang kamu ingat. Kita tidak tahu kenyataannya, semua pasti ada alasannya. Jangan terpengaruh berita yang mengumbar keburukan Papah di luar sana, karena mereka tidak mengetahui betapa baiknya Papah ketika di rumah dan terhadap keluarga. Ingat baiknya, buang buruknya. Kamu anak baik, sayang. Papah pasti akan bangga sama kamu. Tetaplah menjadi seperti itu.”

“Iya, Bunda. Aku yakin sekali, jika Papah melakukan seperti yang diberitakan, pasti ada alasannya. Papah tidak mungkin berbuat keji.”

Terdengar suara hak sepatu melangkah di dekat ibu dan anak itu. Keduanya menengok ke arah pintu kaca secara bersamaan. Pintu kaca itu merupakan satu-satunya akses ke ruang kerja dan saat ini hanya satu orang yang diijinkan masuk ke sana. Saat pintu itu dibuka, sesosok wanita bertubuh indah melangkah ke ruang tamu. Ia mengenakan blazer dan pakaian ketat midi-dress yang menampilkan keindahan lekuk tubuhnya. Wajah cantiknya makin kentara ketika rambut panjangnya diikat model ponytail.

Aryani menyebutkan nama wanita yang baru saja datang, “Erina.”

Sekretaris pimpinan QZK itu pun tersenyum dan menunduk untuk memberikan hormat, Ia memegang map yang penuh dengan catatan, ia juga melambaikan tangan pada Tara, “Bu Aryani. Tara. Selamat malam. Sedang bersantai-santai sepertinya.”

Aryani berdiri dan mendekat ke arah Erina dengan tangan terlipat di depan dada, dari wajahnya terlihat bahwa ia khawatir tapi berusaha menyembunyikannya, “Apakah ada pesan dari suamiku? Bagaimana keadaannya? Apakah dia sehat-sehat saja?”

“Beliau sehat-sehat saja. Beliau juga menyampaikan salam untuk Ibu, Kakak, dan Adek. Beliau menyampaikan semoga kalian bertiga selalu diberikan kesehatan selama menjalani masa-masa yang berat ini.” Erina mencoba mengatur nada supaya sopan dan tenang. Dia tidak ingin keluarga Om Janu menjadi stress di tengah kondisi yang memaksa mereka untuk menjadi khawatir, “Sejujurnya beliau menitipkan kalian bertiga pada saya supaya mendapatkan pelayanan terbaik selama masa…”

“Tante Erina, sampai kapan kami disekap?” Tara berlari untuk protes. Dia berdiri dan berkacak pinggang di samping Aryani. “Aku bosan seperti ini! Mana Papah?! Kenapa Tante menyembunyikan Papah? Dia pasti marah kalau tahu kami disekap dan dipenjara seperti ini!”

“Tara! Nggak boleh begitu!” Aryani mendekap tubuh sang putri sulung, namun ia sedikit melirik ke arah Erina. Selama ini, hanya Erina yang menjadi penghubung keluarga Aryani dengan dunia luar dan khususnya dengan sang suami. Dia tidak boleh membuat Erina enggan mengunjungi mereka lagi, karena Aryani jelas haus akan info suaminya dan hanya Erina yang bisa memberikannya.

“Tapi Bunda…”

“Tara, kamu balik dulu ke kamarmu ya, Sayang. Biar Bunda yang bicara dengan Tante Erina.”

Tara langsung cemberut dan bersungut-sungut. Ia melangkah gontai menuju tangga melingkar ke lantai atas. Kamarnya berada tepat di seberang kamar Lia. Setelah hanya tinggal mereka bedua, barulah Aryani mempersilakan Erina duduk di sofa ruang tamu.

“Silakan duduk, ada yang perlu kita bicarakan,” ucap Aryani tanpa basa-basi.

“Siap, Ibu.”

Kedua wanita yang sama-sama berwajah jelita dan bertubuh indah itu duduk saling berhadapan dan saling bertatapan.

“Erina, anak-anak menderita. Berapa lama lagi kami harus hidup seperti ini? Kami bukan manusia gua. Cepat atau lambat, anak-anak akan tahu yang sebenarnya terjadi. Tara bahkan sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Papah-nya,” suara Aryani yang biasanya lembut kini berubah menjadi tegas, matanya yang indah menatap Erina dengan pandangan mata tajam, “bilang ke Mas Janu, sebaiknya ada keputusan yang cepat dan tepat. Entah apakah itu dia pulang ke rumah atau menyerahkan diri ke pihak yang berwajib. Jika memang dia bersalah mengaku saja salah, tapi jika benar jangan takut dalam bertindak yang benar.”

“Saya yakin Bapak sudah bertindak sesuai koridor yang beliau percaya aman. Saya mohon maaf tidak bisa terlalu banyak memberikan keterangan, Ibu. Tapi percayalah pada saya, Bapak sedang mencoba mencari solusi untuk mengeluarkan Ibu, Tara, dan Lia dari situasi yang tidak nyaman ini. Beliau juga sedang berusaha.”

“Begitu rupanya,” Aryani mendengus dan tersenyum sinis. Ia bersandar pada sofa dan kembali menyilangkan tangan di depan dada, “Kamu sendiri – pasti senang sekali ya? Bisa berduaan dengan suamiku tanpa gangguan. Selama ini aku yang menjadi penghalang kalian bertemu, sekarang tidak ada alasan lagi untuk menikmati hari-hari bersamanya.”

“Ibu, tidak sesimpel itu keadaanya. Kondisi Beliau…”

“Ah, sudahlah. Tidak perlu mencari alasan, Erina. Kamu tidak lebih dari sekedar lonte-nya Mas Janu yang jika bosan akan ditendang dan mencari yang lain. Seperti itu terus siklusnya, aku sudah hapal. Kamu bukan yang pertama, sayang. Apa kamu tidak kasihan pada dirimu sendiri? Masih muda, cantik, dan berbakat - tapi mengencani suami orang terang-terangan. Bagaimana rasanya menjadi pelakor? Betah ya?”

“Maaf, Ibu sepertinya salah paham. Saya tidak…”

“Salah paham!? Salah paham apa!?” Aryani berusaha menekan nada suaranya agar anak-anak di atas tidak mendengarnya, “Jangan meremehkan logikaku! Aku sudah tahu semuanya dan aku punya buktinya! Kau pikir aku selama ini diam karena tidak tahu? Aku diam karena aku mau melihat sejauh mana Mas Janu memuja dan menikmati tubuhmu. Dulu aku bisa saja menghancurkanmu tapi tidak pernah kulakukan karena aku tahu kamu hanyalah selingan. Dia akan selalu kembali padaku.”

Erina menunduk, “Ibu… percayalah bukan itu tujuan saya bekerja untuk beliau. Saya…”

Aryani menghela napas, “Sudahlah, apapun alasanmu aku tidak mau dengar. Seharusnya aku tidak melepaskan emosi seperti ini. Aku stress karena kondisi. Hanya kamu yang bisa memberikan informasi terakhir tentang Mas Janu, jadi mohon maaf atas yang barusan tadi.”

“Tidak perlu dikhawatirkan, Ibu. Jika ada salah saya akan…”

Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas.

Aryani dan Erina sama-sama saling menatap. Teriakan itu jelas dari lantai atas. Bukankah di atas sana ada anak-anak? Apa yang terjadi? Siapa yang berteriak?

Aryani langsung terlompat dari duduknya, “Tara!? Dahlia!? Kalian baik-baik saja?”

Wanita berparas jelita itu buru-buru meninggalkan Erina untuk menuju ke tangga berputar ke atas, satu fitur megah dari rumah mewah yang berukuran massive itu. Ia tak mempedulikan langkah, seakan melompat menaiki dua anak tangga sekaligus saat meloncat ke atas.

Erina menyusul tak lama setelah Aryani berlari.

Keduanya menyusuri tangga dengan cepat. Erina sudah melepaskan sepatunya yang memiliki hak tinggi dan tidak nyaman digunakan berlari. Ia dan Aryani sesaat melupakan semua percakapan mereka yang bertentangan sebelumnya. Keduanya kini bekerja sama untuk mencari tahu apa yang terjadi di lantai atas.

Siapa yang tadi berteriak?

Tara muncul di hadapan mereka. Gadis SMA itu berlari ke arah Aryani dan langsung memeluk sang bunda dengan gemetar hebat karena ketakutan. Ia ketakutan sambil terus menerus melirik ke arah kamarnya.

“Tara? Kenapa, Nak? Kenapa kamu, Sayang? Apa yang terjadi? Kamu yang tadi berteriak?” Aryani buru-buru memeluk erat anak tiri-nya. Gadis muda itu jelas sedang sangat ketakutan. Ia mengangguk dalam rasa takut yang mengungkungnya.

“A-ada seseorang di luar jendela. Di-dia melihat ke dalam dan tersenyum mengerikan.”

Erina mengerutkan kening melihat reaksi Tara yang ketakutan dan keterangan yang diberikan. Dengan perlahan-lahan sekretaris QZK itu masuk ke dalam kamar Tara.

Tidak ada apa-apa di sana.

Semua barang masih terlihat rapi, bersih, dan pada tempatnya. Bu Aryani dengan mahir mengajarkan Tara bagaimana merawat kamarnya, jadi semua benar-benar rapi. Yah, hampir semua. Ada seprei yang terlihat seperti baru saja digunakan oleh Tara jadi itu bisa dikecualikan.

Bagaimana dengan jendela?

Erina mengendap mendekat ke jendela, ia memeriksa. Jendela tertutup rapat meski tirai jendela yang tersibak. Slot kunci masih tetap di lokasinya. Ia melirik keluar jendela tanpa membukanya.

Di sana juga tidak ada apa-apa.

Jadi apa yang dilihat oleh Tara? Siapa yang dia maksud?

Jangan-jangan dia hanya berhalusinasi? Yang jelas saat ini Erina sama sekali tidak melihat apapun di luar. Wanita berparas jelita itu kembali ke lorong di mana Aryani tengah menenangkan si sulung. Aryani melirik ke arah Erina dan langsung dibalas gelengan kepala.

Tara melihat balasan dari Erina. Dia mengguncang lengan sang Bunda.

“Bunda! Aku tidak bohong! Tadi a-ada… di luar tadi ada orang! Dia menatapku lama! Di-dia berdiri di luar jendela lama sekali mengamati ke dalam. Orang itu tinggi besar, Bunda. Wajahnya pucat! Aku takut!”

“Sst… tenang… tenang…, ada Bunda dan Tante Erina di sini. Ayo minum dulu. Kamu tidak apa-apa, sayang. Mungkin itu hanya bayanganmu saja, mungkin hanya mimpi buruk. Lantai dua kita kan tinggi sekali, mana mungkin ada orang di luar sana. Ayo kita turun dulu dan ambil segelas air putih.”

Aryani berpandangan mata dengan Erina. Tatapan mata tajamnya menyiratkan perintah bagi sang sekretaris untuk melakukan pemeriksaan ulang. Erina langsung mengangguk.

Otak perempuan bertubuh indah itu berputar keras saat mendengar apa yang disampaikan oleh Tara. Clue-nya sudah jelas. Ada orang di luar kamar Tara yang melongok ke dalam cukup lama. Ia bertubuh tinggi besar dan bermuka pucat. Sesuatu yang tak terbayangkan. Bagaimana mungkin ada orang di luar jendela Tara sedangkan mereka ada di lantai dua? Bagaimana bisa dia mengamati kamar Tara? Dengan melayang di udara? Mustahil.

Jadi apa yang dilihat Tara?

Halusinasi? Atau mimpi mungkin? Erina meragukannya. Tara tidak akan setakut ini kalau itu hanya mimpi. Jelas juga bukan halusinasi karena Tara bukanlah gadis yang suka mengada-ada. Erina mengenal gadis itu dengan baik, Tara memiliki logika dan penalaran sang ayah. Dia tak mungkin berbohong – ada sesuatu di luar sana.

Memang hanya ada keterangan dari Tara sebagai sumber informasi dan itu masih harus diselidiki ulang dengan CCTV. Yang jelas ada yang mengganggu tidur Tara dan Erina yakin itu bukan memedi. Pertanyaannya adalah… siapa? Saat ini keluarga Bos Janu sedang dalam incaran lawan-lawan mereka. Keselamatan mereka berada di titik terendah, sehingga ia tidak boleh lengah sedikitpun.

Erina sebenarnya menyayangkan penjagaan dari Aliansi dan JXG yang terkesan minim dan seadanya. Tidak ada satu pun pembesar yang menjaga tempat ini padahal keluarga ini sedang berada dalam ancaman yang tidak main-main.

Dia tidak mungkin menghubungi Raden Ramapati untuk meminta bantuan penjagaan karena itu akan membongkar penyamarannya di QZK. Aliansi dan JXG juga tidak perlu tahu kalau ia sebenarnya adalah seorang agen dari keraton.

Erina masuk ke kamar dan membuka jendela yang tadi ditunjuk oleh Tara – jendela satu-satunya, berukuran besar, terlihat dari pembaringan, dan langsung mengarah ke luar. Jendela ini sesungguhnya jendela biasa saja, berfungsi seperti layaknya jendela, bukan jendela berbalkon, dan bukan jendela berornamen, hanya saja ukurannya memang besar dan berkesan mewah.

Erina melihat ke seberang jendela. Ada jarak cukup jauh antara jendela dan tembok pagar pembatas rumah, sekitar lima meter. Sejujurnya agak aneh kalau Tara bilang ada orang berdiri di sini, karena sepertinya tidak dimungkinkan untuk orang normal. Orang itu harus menggunakan tangga ataupun terbang untuk bisa lama mengamati ke dalam dari luar jendela. Konsep ‘terbang’ bukan hal susah untuk seseorang dengan Ki tinggi, tapi Erina tidak membaca ada jejak-jejak aura Ki di sekitar sini. Atau ada yang tersembunyi? Masih ambigu.

Lagipula di sela halaman di bawah jendela antara rumah ini dengan dinding tembok pembatas hanya ada rumput, jalan setapak yang tersusun dari barisan ubin, dan lampu taman bulat pendek di bawah sana. Tidak mungkin ada yang bisa berdiri atau terbang terlalu lama. Seberapa pun tinggi Ki-nya, orang itu tetap butuh landasan untuk menjejakkan kaki.

Erina mengerutkan kening.

Ia melihat sesuatu di tembok, tepat di bawah jendela. Sesuatu yang tipis terlihat, tidak nampak dengan jelas karena dari posisi vertikal.

Sebenarnya malam sudah gelap, tapi saat itu ia tetap bisa melihat karena adanya cahaya dari kamar dan lampu taman di bawah. Ada sesuatu di dinding di bawah jendela - ada bercak kotor berwarna hitam yang tipis sekali. Tak akan terlihat karena awalnya tersembunyi bayangan.

Ini… tapak kaki?

Orang itu… apakah dia menapakkan kaki di tembok rumah?

Bercak kotor di sisi bawah jendela itu jelas tapak kaki, siapapun dia yang ada di sini tadi, dia menjejakkan kakinya di sini. Gila. Siapa yang bisa melakukan ini? Spider-Man? Mustahil kan ada orang yang seperti itu di dunia ini?

Hanya orang dengan kemampuan tinggi yang…

Erina akhirnya menyadari sesuatu. Dia menarik ponsel dari kantong dan menghubungi beberapa rekan setelah memastikan Aryani dan Tara benar-benar sudah turun ke bawah, ia menghubungi satu kontak khusus. Wajahnya mulai terlihat panik.

Panggilan terjawab, “Ya?

“Ada security breach. Seseorang sepertinya berhasil menembus pertahanan yang sudah disusun berlapis di luar rumah. Pertahanan kalian adalah gabungan dari JXG maupun Aliansi, dua kelompok terbesar di utara saat ini. Bagaimana bisa ditembus dengan mudahnya? Mana pertanggungjawaban kalian? Kenapa menempatkan pertahanan kelas sampah di sini? Jangan main-main. Nyawa taruhannya. Kalau sampai terjadi apa-apa, tangan kalian yang akan berlumuran darah.”

Orang-orang yang kami tempatkan sudah yang terbaik.”

“Cih. Mereka yang terbaik? Pathetic. Mereka di sini adalah prajurit kelas rendah, kami butuh penjaga yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih kuat. Keluarga ini dalam bahaya besar karena menjadi target banyak orang. Jangan pernah meremehkan lawan. Seperti yang aku barusan bilang, ada security breach. Ada orang masuk.”

Kami akan selidiki. Ada lagi yang lain?

Erina mendesah kecewa, “Aku tahu Aliansi isinya cuma bocah, tapi mereka di JXG seharusnya paham kalau nyawa taruhannya di sini! Keluarga ini tak tahu apa-apa tentang kegiatan Bos Janu ataupun QZK. Mereka tak bersalah. Kalau sampai mereka kenapa-kenapa, maka aku akan melaporkan ini semua pada…”

Terdengar teriakan lagi.

Erina langsung menutup sambungan telponnya dan berlari dengan kencang menuju ke arah teriakan, ke arah kamar Dahlia yang berada di lantai atas dan tepat di depan kamar Tara. Erina mencoba membuka pintu Lia, tapi pintu kamar terkunci rapat.

Erina menggedor pintu sembari sesekali mencoba membuka handle, “Lia!? Adeek? Buka pintunya! Kenapa berteriak? Ada apa?”

Aryani dan Tara yang mendengar teriakan Dahlia sudah bergegas ke atas menyusul Erina. Teriakan dari dalam kamar kembali terdengar. Lia terdengar ketakutan dan histeris.

“Liaaaaa!?”

“Adeeeeeeeek!?”

Aryani mencoba membuka pintunya, tapi seperti yang telah dibuktikan oleh Erina, pintu itu tertutup rapat. Teriakan Lia masih terdengar dari luar, terdengar sesuatu pecah. Kaca? Cermin? Jendela? Sepertinya ada chaos di dalam.

Aryani makin khawatir, wanita berwajah jelita itu pun menggedor-gedor pintu sembari meneteskan air mata penuh frustasi, “Adeeeek! Buka pintunya, Adek!! Bunda tidak bisa masuuuuk! Adeeeeeek!!”

Erina bergegas ke kamar di samping kamar Lia. Pintu itu terkunci, ia lalu berlari ke kamar sampingnya, lalu ke kamar sampingnya. Ia mencoba satu demi satu pintu yang tertutup rapat. Gadis itu berpendapat kalau saja ia bisa keluar, kemungkinan ia bisa meloncat ke kamar Dahlia melalui jendela dan mengusir siapapun yang ada di dalam sana. Lantai atas rumah ini memang ada beberapa kamar sejajar dan berhadapan dengan luas yang setara.

Akhirnya Erina berhasil membuka pintu kamar keempat.

Bergegas gadis itu menuju jendela dan membukanya. Ia mengeluarkan kepala dan melongok melalui jendela ke arah kamar Dahlia. Ada semacam jejak aura hitam di sana.

Apakah ilmu hitam?

Jenis kanuragan apa yang terbaca olehnya ini? Sial, ia tidak mungkin melompat ke bawah karena jaraknya cukup tinggi. Ke samping juga tidak memungkinkan karena tidak ada pijakan. Siapapun orang yang masuk ke kamar Dahlia, dia pasti cukup lihai. Entah bagaimana ia naik ke atas hanya dengan beberapa kali memijak dinding vertikal.

Tunggu sebentar.

Tara tadi bilang apa? Tinggi besar dan bermuka pucat? Kemampuan ilmu kanuragan mengagumkan. Tinggi. Besar. Bermuka pucat. Wajah ngeri menaungi sang perempuan berparas jelita. Satu demi satu sosok yang ia kenal berpendar dalam benaknya dan sejak tadi ia butuh waktu beberapa saat untuk memproses keterangan itu, tapi kini satu wajah dan satu sosok mewujud dalam skema.

Celaka.

Erina langsung tahu siapa orangnya dan justru itu yang membuat situasi menjadi sangat berbahaya. Buru-buru ia mengambil ponselnya dan menghubungi satu kontak, ia setengah berlari.

Panggilan terjawab. “Ya? Ada apa? Kenapa kamu menghubungiku? Bukankah kita sudah berjanji untuk tidak…”

“Erika, dengarkan aku! Aku harus menggunakan saluran ini karena situasi urgent. Ada orang yang masuk ke rumah keluarga Bos Janu saat ini. Orang itu masih ada di sini dan aku tahu siapa dia, dia si monster dari kelas A+. Orang itu masuk ke kamar si kecil sekarang dan aku tidak tahu apakah bisa menghadapinya atau tidak. Kondisi benar-benar gawat, aku tahu sekali pasukan penjagaan dari JXG dan Aliansi tidak mumpuni dan tidak akan bisa menghadapinya. Aku ulang lagi, situasi gawat.”

Erika terdiam, tapi sejenak kemudian memberondong, “Secepatnya kukirim bantuan. Aku akan menghubungi Nanto. Pergi dari sana secepatnya! Ingat! Jangan berpikiran yang aneh-aneh dan melakukan hal yang berbahaya! Jangan bertindak sendirian! Keselamatan kita lebih penting dari apapun, jangan biarkan perasaan menghalangi. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Awas saja kalau sampai kamu aneh-aneh.

“Iya-iya! Aku tahu! Cepat! Jangan sampai dia lolos atau mencelakai bocah itu! Dia masih ada di dalam kamar Dahlia!” Erina masih mencoba melongok dari jendela untuk melihat ke arah kamar Dahlia. Lampu di sana sepertinya padam setelah menyala cukup lama. Erina tahu Dahlia tidak suka tidur di kamar yang gelap.

Oke. Tapi bantuan yang kukirim akan butuh waktu untuk sampai ke sana, untuk sementara biar orang-orang JXG dan Aliansi yang mengatasi dan mengulur waktu.”

Brakkkkkaaaaboom!!

Terdengar suara ledakan dari arah jauh, Erina menengok ke samping kanan, ke arah sebaliknya dari kamar Dahlia, ke arah pos yang sejatinya ada di depan gerbang masuk rumah, ke arah yang tertutup banyak pepohonan. Di sana, kini ada asap membumbung tinggi.

Sial!

Erina? Erina!! Suara apa itu!? Kamu tidak apa-apa kan!? Erinaaa!

“Aku masih di sini. Tapi aku melihat orang-orang di pos satpam sudah dinetralisir. Jelas ada pasukan musuh yang masuk ke dalam. Aku khawatir sebentar lagi pasukan itu akan menyerbu rumah utama. Erika, aku tidak bisa membuka rahasia keberadaan om Janu pada orang-orang ini, balance-nya akan hancur nanti.”

Sialan. Baik, aku paham. Stay alive, Erina. Bertahanlah.”

“Erika, kalau aku tidak bisa pulang ke rumah malam ini… sampaikan pada Mama dan Papa kalau aku sayang mereka. Aku juga sayang banget sama kamu, maafkan semua kesalahanku selama ini. Sampaikan pada Raden Ramapati kalau aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Mohonkan maaf aku tidak bisa menuntaskan tugas dengan baik.”

Jangan aneh-aneh kamu! Erina! Erinaaaaa!

Hubungan ditutup. Erina bergegas kembali ke pintu kamar Dahlia, Aryani dan Tara masih terus menggedor-gedor kamar gadis kecil itu. Air mata mereka berlinang dengan deras. Kondisi makin mencekam dan desperate.

“Jangan ambil adikkuuuu! Ambil saja akuuuu!” teriak Tara sembari menggedor-gedor pintu.

Terdengar tangisan dari balik pintu.

“Adeeeeek? Adeeeeekkk!!” Aryani makin panik.

Erina mencoba merasakan aura yang terbaca dari dalam kamar, ia tidak menyangka aura itu makin kencang terasa. Tenaga orang di kamar Dahlia bukanlah tenaga orang yang biasa-biasa saja. Erina mulai panik, dia memang punya ilmu kanuragan, tapi orang di dalam ruangan itu jauh lebih powerful. Terbukti ia mampu menghalangi Erina, Tara, dan Aryani membuka pintu dengan tenaga Ki-nya. Ya, pintu itu tidak dikunci tapi ditekan dengan tenaga Ki.

Untuk bisa menjebol pintu kamar Lia, Erina harus mengeluarkan tenaganya full power.

Gadis itu pun mempersiapkan kuda-kuda.

“Ibu, Kakak. Harap mundur sedikit, saya akan mencoba membukanya. Saya tidak yakin bisa karena energi di dalam menekan pintu dengan kuat adan rapat, tapi saya akan mencoba mendorongnya balik. Mudah-mudahan konsentrasi orang di dalam buyar,” ujar Erina dengan lembut. Aryani dan Tara pun mundur, Erina memanggil ilmu kanuragannya untuk hadir dengan merapal beberapa kalimat, tangannya lentur bergerak seperti menari, rangkaian tenaga terbentuk.

Sesaat kemudian, Erina melotot. Ia terkejut. Ia merasakan gejolak tenaga sangat besar dari dalam. Begitu besarnya sampai-sampai pintu dan tembok bergetar hebat.

Celaka.

Gadis itu membuyarkan rangkaian tenaganya sendiri dan memilih melompat ke samping sembari mendorong untuk melindungi Aryani dan Tara. Keduanya kebingungan karena Erina bertingkah laku aneh.

“Awaaaaas!”

Bruaaaaaaaaaaall!

Pintu kamar Dahlia terbang ke arah sebaliknya, tembus ke tempat di mana tadi Aryani dan Tara berdiri. Pintu itu bahkan sampai terbelah menjadi dua. Beruntung Erina sudah menyelamatkan Ibu dan anak yang kini ketakutan. Ketiganya terbaring di samping pintu yang sudah terbelah.

Erina berdiri sembari terengah-engah, “Maaf Kakak, Ibu… saya mendorong kalian karena merasakan serangan ini tadi. Sekarang kalian berdualah cepat lari. Situasi sudah semakin gawat. Turun ke kamar kerja Bapak, di belakang kursi ada action figure Tantan si wartawan berjambl. Putar action figure itu ke kiri, nanti akan terbuka pintu ke basement, ikuti jalan ke kiri, pergilah ke bunker dan buka pintu di sana. Ikuti terus jalan itu menuju rumah di belakang taman. Hati-hati.”

Langkah kaki terdengar melangkah dari dalam kamar. Suara teriakan Dahlia tak terdengar lagi.

“LARI!”

Erina membentak Aryani dan Tara yang langsung turun ke bawah untuk bersembunyi. Erina berdiri dan melindungi arah lari Aryani dan Tara degan menutup jalur ke tangga spiral. Bagusnya adalah mereka berlari ke bawah tanpa menunggu sosok itu keluar.

Sosok bertubuh tinggi besar dengan senyum menyeringai lebar keluar dari kamar Dahlia, ia mendendangkan lagu merdu dengan siulan santai. Sosok itu mengenakan pakaian Hawaii berwarna biru yang tak dikancingkan dan memamerkan badannya yang kekar. Pria itu memandang ke arah Erina dengan wajah yang tersenyum menghina sembari memiringkan kepala ke sisi kiri.

“Mox.”

Erina berkeringat dingin sembari mengambil kuda-kuda, orang ini jelas mimpi buruk baik secara penampilan ataupun perangai. Dia susah ditebak dan susah dicerna apa maunya, kini dia pasti sudah bergabung dengan pihak yang berseberangan dengan QZK, dan itu membuat keluarga Om Janu dalam bahaya besar.

Well Hello, Babe… heheheh. Kalau sudah jodoh memang tidak akan lari kemana. Tidak dulu tidak sekarang ketemunya selalu kamu di tempat ini,” Mox melirik ke kiri kanan dan tidak mendapati Aryani dan Tara, “Ck. Bodohnya. How stupid are you anyway? Percuma saja menyuruh mereka lari. Aku akan mudah menemukan istri dan anak si Janu bajingan tua itu. Hihihi. Hahahaaahaahaha!! Aku tahu blueprint rumah ini! Hahaha! Kemanapun mereka lari, aku tahu kemana harus mencari! Hahahaha! How about that, Erina?”

Erina mengatur napasnya sembari menatap Mox dengan tatapan mata tajam, “Apa yang kamu inginkan, pengkhianat? Kenapa datang ke sini? Ibu dan anak Bos Janu tak bersalah, jangan sakiti mereka. Aku tahu sekali kamu berniat buruk.”

“Heheheh.” Mox menyeringai, “Traitor eh? Are you accusing me as a traitor? Nah nah! Aku tidak akan menjadi traitor, I’m just following the steps of my own Boss! Hehehe. Berbicara tentang pengkhianat, siapa yang terlebih dahulu jadi pengkhianat? Yang jelas bukan aku karena aku hanya mengikuti jejak Janu bajingan yang mengkhianati perjanjian dengan Ki Juru Martani. Hahahaha!!”

“Aku tidak peduli! Apa yang kamu lakukan dengan Dahlia?”

Mox terkekeh. Ia menghentakkan tangan ke arah kamar, lalu mengayunkan jemarinya. Dari lubang bekas pintu yang sebelumnya jebol tiba-tiba saja muncul tubuh kecil Lia yang sudah tak sadarkan diri. Baju gadis kecil itu acak-acakan dan terbuka, ada lecet di beberapa bagian tubuhnya .

“Ba-bajingan! Apa yang kamu lakukan padanya, Mox?!! Apa yang telah kamu lakukaaaaan!?”

Tubuh Lia terbang ke arah Mox yang langsung menggendongnya di punggung. Mox tertawa-tawa melihat kemarahan Erina. “Apa yang aku lakukan? Kamu sudah lihat sendiri kan? Dia tidak apa-apa. Aku tidak melakukan apa-apa, haven’t done anything yet. Jadi untuk menghemat waktuku – to save our time - ceritakan saja kemana mereka pergi.”

“Aku tidak akan pernah…”

“Haiyah. Kelamaan. Kalau tidak cerita ya tidak apa-apa. Aku akan mecari sendiri.”

“Lepaskan bocah itu, Mox. Dia tidak bersalah, dia tidak tahu apa-apa.”

“Hehehehe, ayolah my beloved Erina. Tidak akan ada yang seperti itu. We both know where this is going, aku tidak akan melepaskan bocah ini selama aku tidak mendapatkan Ibu dan Kakaknya. Kamu sudah paham kalau mereka harus diserahkan pada Penguasa Benteng Selatan, dan dalam perintah itu tidak disebutkan hidup atau mati. Heheheh.”

“Bedebah kamu Mox!”

“Hahahhahaa, Erina oh Erina. Don’t tell me you are that naïve. Kamu kan tidak selugu itu,” Mox menyeringai, “Eh, tapi jujur lho. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat ini. Aku pikir kamu sudah menyingkir dari sisi Bos Janu tercinta kita. Hahahaha. Bagaimana nasibmu sekarang setelah bosmu menjadi buronan? Apakah masih jadi tukang sepongnya Bos? Hihihi… you damn dirty whore! Dasar lonte tidak tahu malu! Hari ini kamu kupastikan selamat, karena aku ingin kamu menyampaikan pesan kepadanya bajingan tua itu! Jika ingin istri dan anak-anaknya selamat, silakan datang sendirian ke Pasar Kolombia di jalan Kalipenyu besok!”

“Masalahmu dengan Bos Janu adalah masalahmu dengan beliau, bukan masalah dengan istri dan anak-anaknya. Lepaskan mereka, Mox. Ayolah, be a man.”

That’s where you’re wrong, dear. Mereka sudah terlibat sejak awal sejak dalam tubuh mereka mengalir darah Janu. They are the bargain.” Mox cengengesan, “Di situlah kamu membuat kesalahan, Erina sayang. Mereka adalah komoditi utamanya. Merekalah alat tukarnya. Merekalah yang akan membuat Bos Janu keluar dari persembunyian dan menyembah Penguasa Benteng Selatan.”

Erina mendengus kesal mendengar itu, “Sekali bajingan selamanya bajingan, Mox. Kamu adalah bajingannya bajingan saat ini.”

“Heheh. Memang. Tapi you know what? Akan kuberikan kamu spoiler, Erina. Aku sama sekali tidak berniat untuk menyerahkan komoditi-komoditi yang kudapatkan nanti dalam kondisi prima, karena mereka akan merasakan kehebatan my super long and huge dick. Bwahahahaha. Pasti Bos Janu akan marah besar jika tahu apa yang akan kulakukan pada istri dan anak-anaknya!! Bwhaahhahahaha. Hmm, membayangkan tubuh Aryani dan Tara saja aku sudah geli-geli basah, waahahah. Apakah rasanya sama dengan Dahl…”

“KURANG AJAR! BAJINGAAAAAN KAMUUUUUU!!”

Apa yang diucapkan Mox membuat Erina marah dan menangis. Air matanya berlinang karena khawatir dengan nasib Aryani dan anak-anak. Erina dengan marah menyerang ke depan, genggaman tangannnya sudah terbungkus energi Ki yang menyala ungu. Serangan beruntun pun diarahkan ke pria yang dengan seenak wudel-nya telah menghina keluarga om Janu itu. Luncuran hujan Tinju Meteor Ungu menyeberang dari posisi Erina ke arah Mox.

Dengan senyum sinis, Mox menghindar dan mencoba menyorongkan tangannya sebagai tameng dari Tinju Meteor Ungu-nya Erina.

Kanan. Kiri. Kanan. Kanan lagi. Kiri. Tengah. Kanan.

Bkkhh! Bkkhh! Bkkhh! Bkkhh! Bkkhh! Bkkhh! Bkkhh!

Hampir semua pukulan yang tidak dihindari dapat dihentikan di udara oleh Mox. Ia menahan serangan Erina hanya dengan memanfaatkan satu telapak tangan saja. Semua serangan sang sekretaris dengan mudahnya diluluhlantakkan. Erina memang tahu dirinya tidak akan mampu mengalahkan petarung kelas A, A+, atau bahkan mungkin A++ seperti Mox, tapi setidaknya dia memberikan waktu kepada Aryani dan Tara untuk melarikan diri.

Mox mundur selangkah untuk menarik napas dan menyeringai. Erina terus menggempur ke depan dan sang bule gila mampu bertahan dengan kokoh. Erina bahkan tidak mampu melukai atau mendorong Mox sedikitpun. Jangankan melukai, menyentuh saja tidak bisa.

Mox sebenarnya tahu apa maksud Erina menyerangnya.

“Heheh… sungguh saat berdedikasi. Tapi apa kamu pikir aku tidak dapat menemukan mereka? Ya really are one stupid hoe, aint’ya? Bodoh sekali kalau kamu mengira aku akan kehilangan jejak mereka gara-gara seranganmu ini. Heheh… Hahahahhaha!! Baiklah, aku harus cepat-cepat bergerak, takutnya komoditi keburu kabur, My Dear.” Satu tangan Mox menangkap dan mencengkeram pergelangan tangan Erina saat ia hendak menyarangkan tinjunya.

Mox mencibir, “Jurus hebat, tapi tinjumu lemah. Perbanyak berlatih kurangi kenthu. Oke?”

“Kurang aj…”

You are a hoe, and me…? I am Iron Hand.”

Jboooooooogkkkhhh!

“Ahaaaaaakghh!” Erina tersedak saat pukulan Mox melesat dan menghantam perutnya. Perempuan jelita itu merasakan perutnya bagaikan diaduk-aduk oleh sodokan palu godam raksasa. Airmata Erina langsung mengalir karena sakitnya satu pukulan oleh Mox. Tak satu suara keluar dari mulut Erina yang terbuka saking sakitnya.

Ia hanya berdiri di tempat dan lama kelamaan melengkung ke depan. Tulangnya berasa remuk redam dengan isi perut yang terkoyak. Sakit sekali rasanya. Erina terbelalak dengan mulut yang kaku terbuka, liur menetes tanda tak mampu menahan nyeri. Belum pernah rasanya ia dihajar dengan pukulan sekeras ini.

“Gimana? Susah gerak ya? Kasihan banget. Poor you, My Dear,” Mox merunduk sedikit, menurunkan Dahlia dari punggung dan menyandarkannya. Ia mengelus rambut Dahlia dan kembali mendekati Erina dengan seringai mengerikan, “Fun fun fun! Are you ready, Kids? Whooo lives in a bottle under the sea?”

Mox memeluk Erina yang saat ini kesakitan dalam tubuh yang kaku, wanita jelita itu bahkan tak bisa berucap dan bergerak banyak karena eratnya kekangan tubuh sang bule bajingan. Dengan santainya, Mox mengangkat tubuh Erina dan memeluknya dari belakang tanpa sang dara bisa berbuat apapun. Wanita cantik itu geram setengah mati tapi dia memang benar-benar berasa mati suri. Erina tak bisa menggerakkan satu pun sendinya.

Mox terkekeh saat memeluk dan mengunci perempuan itu dari belakang, satu tangannya melingkar di pinggang Erina, sementara tangan lain memeluk sembari meremas-remas dadanya yang sentosa, ugh – memang sungguh ranum dan kenyal susu sang dewi sekretaris pimpinan QZK ini.

“Wow. Ini baru namanya milky way! Ukurannya se-bima sakti!! Hahahaha,” Dengan satu dekapan erat yang penuh nafsu birahi membuncah, Mox memeluk Erina yang jauh lebih mungil darinya itu, kepala sang bule gila mendekat ke kepala Erina, bibirnya yang bau alkohol menempel di telinga sang bidadari jelita, “Jangan khawatir, aku tidak akan menyakitimu lebih daripada ini. I know how you feel. Aku tahu bagaimana rasanya tidak mampu berbuat apa-apa. Aku pernah merasakannya. Aku pernah berada di titik terbawah kehidupan. Jadi aku dengan tulus meminta maaf kalau tadi aku harus sedikit menyentil perutmu. Aku harus memastikan kamu mendengarkanku dan menghentikan seranganmu, Hehehe. Tapi seriously, buah dadamu benar-benar montok, whore.”

“Bbbajj… hnnngghhh!” Erina tak bisa bicara semudah tadi, semuanya terasa sakit digerakkan. ia memejamkan mata dan hanya bisa pasrah ketika buah dada indahnya terus menerus diremas oleh sang iblis, “Hnnnggghhh… lep… leppsss… lpppssskknnn…”

Erangan Erina adalah musik bagi sang Bule Gila.

“Susumu benar-benar deh, Erina. Heheheh, sialan nggak nahan. You damn dirty slut. Susumu indah, kenyal, besar, seksi, dan enak banget diremas. Your boobs are created for men. Sudah berapa kali si Janu tua itu meremas-remas tetekmu? Sudah berapa kali ia menyusu dan menghisap-hisap pentilmu? Heheh. Pasti sudah tak terhitung ya? Dasar pelacur, hahahah.” Mox menghina Erina yang kian kesal dan geram.

“Bbbbang… ssstt…!!!”

“Lho kok marah? Kenapa? Kamu tidak terima dibilang pelacur? Itu kan kenyataan? Bener kan? Memang beneran kamu melayani Bos Janu di ranjang. Sudah jadi rahasia umum kita-kita di QZK. Cantik tapi menjijikkan, aku tidak suka memek orang yang jual diri – semontok apapun susumu, kamu tidak pantas menerima kenikmatan dariku.”

“Hnnngghhh…” Kepala Erina bergerak sedikit saat Mox meremas payudaranya dengan sangat kencang.

“Untuk membuat Bos Janu keluar dari persembunyiannya, bukan kamu yang aku butuhkan. Itu sebabnya aku tidak ada minat sedikitpun buat ngentotin kamu. Tidak ada untungnya. Tapi… inilah saat yang tepat untuk melakukan sesuatu yang ekstrim. Dear Erina, I hope you prepare. Bersiaplah, ini akan jadi sedikit berisik.”

Sang Bule Gila akhirnya melepaskan tubuh Erina yang langsung duduk tersimpuh di bawah kaki sang lawan yang jumawa. Mox menghunjukkan tangannya ke samping, ke arah sebuah jendela besar yang jaraknya mungkin sepuluh meter jauhnya dari mereka. Kaca itu begitu besar dan kokoh. Tubuh sang Bule Gila bergetar hebat, menandakan ia sedang merapal ilmu kanuragan dan meningkatkan Ki dalam dirinya.

Mox menggeram dan tangannya seperti dihentakkan ke arah yang dituju. Kaca jendela itu pun akhirnya pecah berkeping-keping. Yang tadinya kaca besar, kini terbuka teramat lebar.

Erina mengernyitkan wajah karena kesakitan di kaki Sang Bule Gila. Apalagi yang hendak dilakukan oleh bajingan satu ini? Kenapa ia membuka jendela dan…

Oh tidak!

Tidaaaaak!


Erina membenci dirinya sendiri yang tak bisa bergerak, seperti kaku karena aliran darah di seluruh tubuhnya tidak bekerja dengan benar, ia mencoba segalanya. Ia sudah mencoba bergerak, memutar, ataupun berguling, semua ia lakukan tanpa bisa melepaskan diri dari ikatan aliran darah. Mox pasti menotoknya tadi.

Goodbye, girl. It’s been one hell of a ride. Hahahaha.”

Mox meninggalkan Erina dan melangkah menuju Dahlia.

Mox menarik tubuh mungil Dahlia dan dengan satu sentakan ia melemparkan bocah SD itu ke arah jendela yang sudah hancur berantakan. Tubuh gadis kecil yang sedang tak sadarkan diri itu bagaikan bola american football yang berputar dan meluncur kencang melewati jendela yang terbuka.

Mereka di lantai atas. Jarak jendela dengan halaman bawah cukup tinggi. Dahlia mungkin tidak akan selamat dari lemparan itu.

Bruaaaaaaaaaaaaaaaaaaakhhh!

Terdengar bunyi sesuatu yang sangat besar terjatuh.

Di tempat persembunyiannya, Aryani dan Tara sebenarnya tengah gemetar hebat saat melihat Mox memecahkan kaca besar di lantai atas – yang terlihat dari posisi mereka, tadinya mereka bahkan tak berani membayangkan apa yang terjadi pada Dahlia.

Aryani berusaha tegar, ia ingin sekali ke atas untuk menyelamatkan Dahlia, tapi di saat bersamaan ia harus memeluk dan melindungi Tara yang ketakutan dan tak berani lari ke kamar kerja sang suami. Aryani benci situasi ini, dia seakan hanya bisa pasrah. ia menangis dengan air mata yang turun deras, ia berharap sekali Erina sanggup menyelamatkan Dahlia.

Sampai kemudian berdua mereka melihat tubuh Dahlia terbang melewati kaca besar yang dipecahkan oleh Mox.

“Adeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek!!” Aryani melepaskan Tara dan berlari dari tempat persembunyiannya, mencoba mengejar Dahlia yang dilempar keluar.

“Heheh. Got you.”

Mox yang mengamati dari atas menyeringai dan langsung melompat ke bawah dengan kecepatan tinggi. Ia menutup arah lari Aryani. Istri om Janu yang masih terbilang muda itu pun terperanjat karena tiba-tiba saja di hadapannya ada sesosok pria keturunan asing bertubuh tinggi besar menghalangi jalannya. Aryani mengenal siapa pria itu.

“M-Mox!!”

Good evening, Ma’am. Ah ada Tara juga. Tambah manis saja.” Mox menjilat bibirnya.

“Erinaaaaa!! Tolooooong kami!!” Aryani berhenti berlari, ia menghalangi Mox mendekati Tara. Wajahnya pucat pasi karena khawatir sekaligus panik. Di luar sana, Dahlia pasti tengah meregang nyawa atau bahkan sudah tewas, di dalam – nyawa dan keselamatan Tara terancam. Bagaimana ini? “Mox! Please come to your senses. Kita pernah saling bantu, kamu pernah datang membantu kami saat membutuhkan dan kami juga selalu menolongmu saat diperlukan. Kenapa harus berakhir seperti ini? Dahlia… kenapa… apa yang telah kamu lakukan pada Dahlia!? APAAAA!?”

Mox terkekeh, “Aku hanya membantu mengurangi beban hidup, Ma’am. Dia kan bukan anak kandungmu. Hehehehe. Kenapa juga harus diperdebatkan seperti ini? Hiduplah nyaman seperti sebelum menikah dan jadi seorang ibu.”

“Bunda… aku takut… kami bukan anak kandung Bunda… Dahlia bukan… bukan…”

Aryani menengok ke arah Tara dengan penuh kekhawatiran, “Ja-jangan dengarkan dia, Tara! Jangan dengarkan orang brengsek ini! Tara dan Dahlia adalah anak Bunda! Ingat itu baik-baik!! Jangan dengarkan laki-laki jahat ini!”

Mox melompat tinggi, melewati Aryani, dan mendekati Tara dengan kecepatan tinggi. Ia berdiri di samping gadis muda itu, wajahnya menyeringai bengis. Tara mencoba berlari tapi Mox mampu menghentikan lajunya. Ia memegang lengan tara.

Aryani terkejut sampai matanya hampir copot! Tara dalam bahaya!

“Taraaaaaaaaaaaaaa!!”

Mox membungkuk memberi hormat pada Tara dan memperlihatkan wajah penuh penyesalan, “Maaf, princess. This will hurt. A lot.”

Jbuaaaaaaaaaaaaaaakghhh!

Tara melesat karena tendangan di dadanya, tubuh mungil gadis itu terbang ke belakang. Ia terjatuh dan terguling-guling sampai kemudian terhenti saat menghantam sebuah lemari buku. Lemari itu ambruk ke depan, mengenai tubuh Tara yang langsung menjerit kesakitan. Ia terhimpit lemari dan puluhan buku yang menimpanya.

“Taraaaaaaaaaaaaaa!!” Aryani histeris.

Wanita berwajah jelita itu sama sekali tak mengira keluarganya akan tertimpa musibah seperti ini. Di luar sana Dahlia entah seperti apa nasibnya, di dalam Tara remuk redam dianiaya oleh sang Bule biadab. Mox tersenyum melihat Tara, “Tunggu sebentar di sana, adik kecil cantik. Paman Mox akan segera datang dan kamu akan merasakan dunia yang berbeda setelah merasakan kenikmatan sejati. Wahahahahahah.”

Aryani yang menangis hebat berlari menghampiri Tara. Tapi baru beberapa langkah ia berlari, tangannya sudah dicengkeram erat oleh Mox. Aryani membentak sang Bule, “Bajingan kamu! Bangsat kamu, Mox! Berani-beraninya kamu menyakiti anakku! Aku tidak akan pernah me… hmmmpghhhh!”

Mox mencium dan melumat bibir Aryani yang tentu saja terkejut hebat dengan perlakuan sang Bule Gila kepadanya! Mox mendekatkan tubuh Aryani kepadanya. Ia mendekap erat tubuh istri om Janu itu, menyekapnya dalam pelukan hangat yang tidak diinginkan sama sekali. Begitu kencang pelukan Mox, Aryani tak bisa melepaskan diri sama sekali, bahkan kepalanya dipegang begitu erat sehingga ia dengan sangat terpaksa membiarkan bibirnya dilumat habis oleh Mox.

“Hrmmmmphh…!” Aryani mencoba melawan tanpa daya. Tubuh wanita cantik itu justru kemudian terbanting ke belakang dengan satu dorongan kencang oleh sang bule durjana.

Bdmnph!

Aryani mengerang kesakitan, kepalanya terantuk ubin marmer. Badannya juga tidak kalah sakitnya karena dibanting. Wanita jelita itu mengerang kesakitan.

“Sejak pertama kali berjumpa denganmu dulu, Ma’am… aku langsung jatuh cinta. You are the most loveliest and elegant woman yang pernah kujumpai sepanjang kehadiranku di negeri ini. Kecantikan yang klasik wanita keturunan berdarah campuran yang tidak hanya seksi tapi juga sangat mendukung suami dengan kemandirian dan kehebatan mengelola usaha,” Mox menyeringai, “Sayang sekali Bos Janu tidak menghargaimu sebagai istri dan malah memilih meniduri Erina setiap hari. Sayang sekali dia menyia-nyiakan wanita nan indah sepertimu. Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama, sayang.”

Mox mengelus pipi Aryani dan mengecupnya. Ia mengoles-oleskan bibirnya di pipi, dahi, hidung, wajah, dan bibir Aryani.

“Hmmmpphh! Hmmmpghh!! Aaaaaaahhh!!” Aryani memberontak tapi apalah dayanya dibandingkan seorang pria perkasa seperti Mox. “Bedebah! Lepaskan aku!! LEPASKAN!! LEPASKAAAAANN!!”

“Sekarang giliran kamu akan merasakan bagaimana pria sejati itu sebenarnya,” Mox mengedipkan mata ke arah Aryani yang semakin ngeri.

Dengan satu hentakan, Mox merobek baju Aryani – mempertontonkan buah dada sentosa yang ranum, putih, dan indah. Nah ini. Akhirnya dia bisa juga mencicipi tubuh indah wanita yang dulu menjadi majikan-nya. Siapa yang berani melirik Aryani saat om Janu masih jaya? Tidak ada satu orang pun. Kini? Mox akan menikmatinya.

Dia berhak menikmati tubuh Aryani.

Wanita jelita itu menangis dan berusaha menutup bagian dadanya, tapi Mox dengan mudah melepas tangan yang menutup dan menarik ke atas bra yang dipakai Aryani.

“Jangaaaaaaaaaan! Jangaaaaaan!! Hentikan!! Mooox! Jangan kurang ajaaar! Akuuu ini… aku…”

“Kamu tidak lebih dari sekedar perempuan jelita bertubuh indah, Ma’am. Hari ini kita akan menuju ke langit ke tujuh,” Mox merobek satu persatu pakaian yang dikenakan oleh Aryani sampai hanya tinggal menyisakan celana dalam saja. Mox menarik celana dalam itu turun, “Woooow! Masih sebagus ini memek kamu, Ma’am?”

Mox menyeringai, dia mulai bersiap untuk melucuti celananya sendiri. Dia geleng kepala melihat keindahan sang nyonya rumah yang satu ini. Sungguh seorang bidadari kelas elite. Kenapa Janu bajingan yang bodoh itu justru memilih pelacur seperti Erina?

Dia akan menikmati Aryani selama berjam-jam. Dia akan…

Dia…

Krrrrrrkkrk.

Dia mendengar sesuatu.

Seperti suara pintu. Pintu ruang depan yang terbuka perlahan.

Bunyinya seperti decit pintu di film-film horor, lama dan bergemeretak. Suasana rumah yang sudah senyap membuat telinga Mox menjadi sangat awas. Ibarat kata Ia bisa mendengar daun jatuh dari seberang rumah saking sepinya.

“Huh. Mengganggu saja,” Mox berdiri dan meninggalkan Aryani yang masih tergolek tak berdaya. Mox menotok jalan darah Aryani sehingga perempuan jelita itu benar-benar tak mampu bergerak meskipun masih sadar. Istri Om Janu itu sudah setengah telanjang dengan buah dada yang sempurna terbuka lebar. Puting payudaranya menegak menghunjuk ranum sementara celana dalamnya sudah ditarik turun sampai pergelangan kaki.

Air mata menetes di pipi Aryani yang bicara pun tak sanggup. Karena tak memiliki tenaga Ki, istri muda om Janu itu hanya dapat menangis deras tak sanggup membayangkan nasib malang Tara dan Dahlia. Meskipun anak tiri, Aryani sudah menganggap keduanya sebagai anak sendiri.

Dahlia kemungkinan mati dibunuh Mox dan Tara… Tara…

Aryani tak sanggup berkata-kata, rasanya ingin mati saja. Ia bahkan tak mempedulikan dirinya yang baru saja hendak diperkosa Mox, ia hanya memikirkan nasib Tara dan Dahlia yang malang. Ia merasa gagal melindungi mereka berdua. Bagaimana ia bisa menemui suaminya sekarang? Bagaimana ia bisa bertanggung jawab pada mendiang Mbakyu yang telah menitipkan kedua anak itu padanya? Ia telah gagal. Ini semua salahnya.

Tak jauh berbeda dari Aryani, Erina yang retak tulang rusuknya hanya bisa memejamkan mata di lantai atas. Ia juga tak bisa bergerak bebas karena totokan Mox. Hanya mata dan hidungnya yang dapat bekerja normal. Ia tak dapat bergerak dengan bebas, rasanya sakit sekali.

Setelah meninggalkan Aryani – Mox berjalan ke arah tangga menuju ke ruangan di bawah ruang tamu. Dia melongok ke lantai bawah yang terhubung dengan garasi, dari posisinya dia bisa melihat siapa yang baru saja masuk melalui pintu kecil di samping tempat penyimpanan mobil dan motor om Janu.

Ada langkah kaki – tapi tidak ada aura Ki.

Mox mendengus, ternyata cuma kroco saja.

Menyadari ada yang berusaha masuk ke dalam meskipun cuma orang yang tak memiliki Ki, Mox pun meloncat ke bawah dengan ringannya, dari tangga atas langsung ke bawah. Ia bersiap untuk menghadapi siapapun yang datang.

Apakah benar cuma kroco ataukah petarung kelas A++ yang hobi menyembunyikan aura Ki? Ataukah Bos Janu yang ditunggu-tunggu yang akhirnya datang? Mox sudah tak sabar lagi menyambut, ia meremas-remas kepalan tangannya. Kalau memang Bos Janu, pasti akan sangat seru memperkosa Tara dan Aryani tepat di depan mukanya. Mox menyeringai membayangkan rencananya itu.

Pintu benar-benar terbuka sekarang. Langkah kaki makin terdengar jelas. Pintu kayu itu terbuka ke kanan dan ke kiri, bagaikan gerbang yang terbuka untuk seseorang yang penting.

Di sana ada sesosok pria berpakaian serba hitam membopong seorang gadis kecil yang berlumuran darah.

Dahlia?

Benar. Gadis kecil itu adalah Dahlia yang selain berdarah-darah juga mengalami patah tulang parah. Ia tak sadarkan diri sejak terjatuh ketika dilemparkan oleh Mox keluar jendela, tapi saat ini dadanya masih naik turun dan beberapa luka terbuka telah diikat oleh sang pria berpakaian hitam. Dia jelas masih membutuhkan pertolongan medis.

Pria berpakaian hitam yang baru masuk itu sepertinya berhasil menolong sang gadis kecil untuk sementara waktu, tapi tetap harus membawanya ke rumah sakit. Kemungkinan besar ia juga menyalurkan tenaga ke sang gadis kecil untuk mempertahankan daya juangnya.

Si Bule Gila mengerutkan kening.

Siapa orang ini? Kenapa dia tidak takut dengan kehadiran Mox?

Siapapun dia, Mox berdecak kecewa.

Tidak saja ia gagal membunuh Dahlia, ia juga gagal memperkirakan kalau keluarga Bos Janu masih memiliki dewa penolong. Siapa dia? Apakah anggota QZK yang masih setia? Sepertinya semua anggota QZK sedang dalam persembunyian sekarang kecuali Erina. Sang Bule Gila pun menajamkan penglihatan, sejenak mencoba mengenali sosok yang wajahnya tersembunyi di balik gelap malam dan suasana yang temaram.

Who are you? What do you want?” tanya Mox.

Pria berpakaian hitam itu menurunkan sang dara di pojok ruangan. Ia memindai ruangan, mencari Tara dan Aryani yang tak nampak. Mungkin di lantai atas. Entah bagaimana nasib mereka sekarang. Ia butuh waktu lama untuk memastikan Dahlia baik-baik saja tadi, dan saat itu ia mendengar teriakan, jeritan dan tangisan dari dalam rumah. Ia tak bisa menolong semua orang – ia fokus pada Dahlia.

Sang pria misterius berdiri dengan tenang sembari bergoyang-goyang aneh, “Hei, muka pucat. Kekekekeek. Sejak dulu kamu memang bajingan.”

Ternyata tak butuh waktu lama bagi Mox sebelum ia kemudian menyadari siapa yang telah menolong Dahlia. Seorang pria ganjil, aneh, dan unik yang tak ada duanya di dunia ini. “Owalaaaaah kukira siapa,” Mox berteriak kegirangan, “Hahahhaah! HANTUUUUU! Apa kabar, Clown?”

Hantu menengadah dan menatap Mox dengan senyuman yang bukan senyuman. Ia tidak tersenyum tapi luka di pipinya membentuk senyum paksa, jadi dia terlihat seperti tersenyum. Tatapan matanya tajam ke arah sang Bule Gila.

Mox mengedipkan mata, “Kalau saja aku tahu kamu juga mengincar keluarga ini, seharusnya kita saling membantu. Kita bisa sama-sama memburu Janu bajingan itu secara bersama-sama. Tidak perlu repot-repot seperti ini, toh kamu lebih jago mengintimidasi daripada aku. Dengan begitu kan Kelompok Benteng Selatan bisa bekerja sama denganmu. Kamu bisa masuk kelompok kami. Heheheeeh.”

“Kekekkeekekek. Siapa juga yang mau masuk rombongan wedhus? Kekekekek.”

Mox menundukkan kepala dan tertawa sinis, “Aku tahu kamu berlagak gila, clown. Tapi sesungguhnya sangat cerdas di balik eksterior bodohmu itu. Kami sedang membangun kekuatan baru di kota ini yang akan lebih tangguh dari gabungan QZK dan JXG sekaligus. Diawali dari Dinasti Baru, kami menjelma menjadi Kelompok Benteng Selatan.”

“Kekekeke. Aku tidak peduli. Kalian siapa, mau kemana, mau ngapain. Sebenarnya aku tidak peduli. Beneran, sungguh. Kekekeke. Bodo amat dengan urusan politik. Tapi aku penasaran hebat. Ceritakan, muka pucat, kenapa kamu bergabung dengan mereka?”

“Ada cerita, Clown. Just by using bow and arrow - hanya dengan berbekal busur dan panah, Genghis - Sang Khan yang agung dari padang gersang Mongol berhasil menguasai hampir separuh bumi. Dialah pria terhebat sepanjang masa yang berhasil menaklukkan wilayah Pasifik sampai ke dataran Ukraina. Dia memiliki wilayah kekuasaan yang dua kali lebih luas dari jajahan Alexander the Great dan empat kali lebih besar dari wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Imagine that! Bayangkan! Hanya dengan busur dan panah, Clown. Tentunya kini jaman sudah berubah. Kini kita bicara ilmu kanuragan. Siapapun yang menguasai ilmu kanuragan paripurna, akan menjadi penguasa, memegang tampuk kekuasaan dan menguasai negeri ini – apalagi jika didukung oleh kelompok terbesar, Negeri di Awan,” ucap Mox panjang lebar. “Ikutlah denganku dan bergabung dengan Kelompok Benteng Selatan, Clown. Join us. Aku memilih kekuatan karena sejarah berpihak kepada sang pemenang. Semestinya kamu sudah tahu itu dan sepatutnya kamu bergabung bersama kami. Kita akan lebih kuat.”

Hantu mendengus dan menyeringai mengerikan, “Hikhikhikhik, aku tidak paham apa yang kamu bicarakan barusan, muka pucat. Kekeek. Ngalor ngidul ra mutu. Aku ra mudeng blas! Aku hanya paham satu hal. Satu hal yang membuatku tidak bisa memaafkanmu. Itu saja sudah membuatku muak dan benci padamu.”

“Oh?”

“Kamu telah berusaha mencelakai anakku dan aku tidak menerima itu.”

“Hah!?”

“KAMU BERUSAHA MEMBUNUH ANAKKU, BEDEBAAAAAAAAAH!”

“Haaaaahh!? Ngomong apaan sih, Clown? Apa maksudmu!? Anakmu?” Mox mengerutkan kening tanda kebingungan, “Anakmu yang mana?”

Hantu tidak menjawabnya. Ia terbang ke arah Mox dengan lejitan kencang, tubuhnya lentur mengudara bagaikan panah yang dilepaskan dari busurnya. Tubuh pria ganjil itu berputar kencang di udara yang hampir bagaikan berpilin seperti gasing. Mox langsung mengenalinya – itu adalah salah satu jurus dari ilmu kanuragan Inti Angin Sakti.

What the f

Mox mundur dua langkah ke belakang untuk memberikan jarak antara dirinya dan sang penyerang. Sepertinya Hantu lupa dan salah langkah mengeluarkan jurus yang sudah sangat ia kenal. Selain sinting rupanya si badut ini juga bodoh. Haahahaha. Stupid as stupid does. Apakah dia tidak tahu dengan mudah jurus seperti ini bisa ia tahan?! Lapisan pertahanan ganda dirapal oleh Mox. Meski tahu punya pertahanan prima, tapi tentu saja Mox tidak ingin main-main dengan Hantu, itu sebabnya ia menggunakan pertahanan berlapis.

Boooooooom!

Ledakan terjadi, pertemuan dua kepalan membahana.

Hantu terlempar ke belakang dan harus salto tiga kali lingkaran penuh baru berhasil mendarat dengan sempurna setelah pukulannya bertemu dengan pukulan sang Bule Gila. Mox sendiri terseret ke belakang dan harus mencengkeram ubin untuk bisa bertahan.

Walaupun ternyata hal itu gagal ia lakukan.

Sekuat apapun ia mencoba bertahan, hempasan tenaga Hantu mendorongnya mundur dengan kuatnya. Giginya bergemeretak mencoba menahan energi besar yang dihempaskan oleh sang Hantu sementara tubuhnya bergetar hebat. Tubuh raksasa Mox terguling beberapa kali dan ia terjerembab ke arah guci raksasa yang langsung pecah karena tertimpa tubuh sang Bule Gila. Beruntung Mox jatuh terduduk sehingga tidak terlampau malu dengan posisinya.

Sang Bule Gila terbelah antara kaget, kagum, dan marah – bukankah tadi dia sudah mengaktifkan ilmu kanuragannya? Bukankah Ki-nya sudah aktif? Bukankah ia sudah menerapkan pertahanan ganda? Kalau satu gagal, seharusnya satu lagi bisa bertahan. Pertahanan yang ditempatkan di batas terluar area pertahanan dan beberapa sentimeter di dalamnya. Kenapa dia bisa terlempar ke belakang?

Amazing, Clown. Amazing.”

Kenapa juga ia tidak bisa merasakan aura Ki dari sang Hantu yang kini tengah bergoyang-goyang dengan aneh itu? Apakah tadi dia tidak menggunakan Ki? Apakah serangan Hantu tadi…

Apakah…

Jangan-jangan…

Sial.

Mox akhirnya mulai memiliki gambaran tentang apa yang terjadi. Selain brengsek, bajingan, dan pengkhianat, Mox adalah seorang petarung yang taktis dan cerdas. Dia mengamati arena dan melihat apa keuntungan yang bisa dia dapatkan, jika sedang tidak di atas angin, dia akan mencari celah yang akan membawanya pada langkah kemenangan. Pria itu mendengus dan menghapus keringat di ujung hidung dengan punggung jari telunjuknya.

Si badut bangsat itu punya sesuatu yang jauh lebih besar dari senyuman brengseknya.

Untuk pertamakalinya Mox sadar.

Dia tidak bisa membaca Aura Ki milik Hantu bukan karena sang boogieman tak membakar tenaganya. Ini karena Hantu dengan sengaja menutup aura Ki-nya dengan kemampuan yang sangat tinggi. Begitu tinggi ilmu kanuragan pria ganjil itu sampai-sampai Ia mampu menghalangi orang memantau Ki-nya. Sekali lagi, ini adalah bukti kalau si badut bangsat itu punya sesuatu yang jauh lebih besar dari senyuman brengseknya.

Rupa-rupanya Mox tengah berhadapan dengan pria yang kemampuan ilmu kanuragannya berada di atas dirinya. SI bangsat Hantu itu selama ini menyembunyikan kemampuannya. Bisa jadi secara ilmu kanuragan dia tidak di bawah Pak Zein, bisa jadi selama ini sebenarnya dia setara dengan para pimpinan, bisa jadi dia sudah menembus level A+. Dikira cupu ternyata suhu.

“Hakhakhahahkahak. Mau berdiri saja di situ? Diam saja? Main apa kita? Siapa yang lebih lama melotot tanpa berkedip? Hakahakhahakha,” Hantu berdiri dengan goyangan anehnya. Ke kanan dan ke kiri seperti bambu bergoyang tertiup angin. Bagian bawah kokoh menopang, bagian atas perut bergerak tak tentu arah.

Mox berdiri dengan tegap. “Heheh. Setelah lama kita tak jumpa, clown. Sepertinya ada yang baru darimu. Ilmu kanuragan apa yang kamu gunakan sekarang? Aku tak bisa mengenalinya kecuali Inti Angin Sakti tadi.”

“Hakahkahkahakahak. Bukannya kamu yang punya fotografi momogi? Masa tidak mengenalinya? Aku kan orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Hakhahahakhak.”

“Hahahahahahahha, kupikir kamu lupa kalau aku punya andalan unik photographic memory. Tiap kali melihat jurus seseorang, aku bisa mengulang dan mencari kelemahannya. Kalau kamu menggunakan jurus yang tidak kukenal aku pasti langsung paham. Tenaga dalammu tadi mengejutkan, itu bukan bagian dari Inti Angin Sakti,” Sang Bule Gila nyengir, ia memiringkan kepalanya menatap Hantu. Tatapannya tajam menusuk, “Satu hal lagi yang sungguh aku tak paham. Kenapa kamu melakukan ini, Clown? Aku dengar you already left JXG dan sudah tidak termasuk ke dalam Empat Anak Panah JXG. Kalau sudah meninggalkan JXG, kenapa ada di sini? Kenapa sekarang? Kenapa masih berurusan dengan QZK? Apa yang membuatmu datang?”

“Hahahakhakhakhakha. Mengecewakan, mengecewakan. Hakahkahkaha. Kamu lupa banyak hal, muka pucat. Hakahahakhakaha. Kupikir kamu masih ingat. Jujur kamu membuatku kecewa karena ternyata tidak perhatian. Kenapa kamu tidak perhatian lagi padaku? Apakah ini karena penampilanku? Hakhakahkaha. Mungkin karena dulu kita masih sama-sama muda, bodoh, dan memalukan sehingga sekarang otak kita berusaha melupakan apa yang pernah kita lakukan di masa lampau. Kita kubur kenangan yang tak menyenangkan dan berusaha tak mengingatnya lagi. Bukan begitu? Dulu itu masa lampau, besok itu masa depan, sekarang itu masa iya sih. Hakahakhakhakha.”

“Apa maks…. Oh.” Mox menunduk, ia tersenyum lebar. “I see. Rupanya memang kamu datang karena urusan yang itu. Aku hanya make sure saja, ingin memastikan. Tapi ya sudah. I must warned you, Clown. Maju dan hadapi aku kalau mau menyusul istri dan anakmu mati percuma. Tahu tidak? Aku yang dulu membuang mayat istri dan bayi busukmu itu. Meskipun itu perintah dari atasanku, tapi…”

“Hakhahakahakhka. Persetan dengan masa lalu. Aku tidak mau dengar. Aku hanya mau menuntaskan cerita, bukan mendengar rekaman ulang. Lagipula aku tidak punya bakat apa-apa lagi selain mencabut nyawa. Jadi satu persatu bajingan yang telah menghancurkan hidupku harus mati, tidak bisa tidak. Lebih baik membunuh sampai tuntas daripada aku tetap terlibat dendam. Hakhahakahakhka,” saat berucap, air mata Hantu menetes tanpa bisa ia kendalikan. Rasa sakit di dada sang pria ganjil itu nyata adanya. Ia bisa saja hilang ingatan dan terganggu mentalnya, tapi rasa sakit itu tetap ada tanpa ia sadari, meskipun ia bilang sendiri tidak mau mengingat masa lalu, tapi masa lalu itu telah menyatu menjadikannya orang yang seperti saat ini.

Mox menyeringai.

Dia memang mengincar untuk bisa memancing kesedihan dalam diri sang lawan. Inilah yang sejak tadi ia tunggu. Salah satu keunggulan sekaligus kelemahan pada diri sang pria ganjil adalah perangai dan mentalnya, dia bukan mengada-ada gila tapi memang benar-benar secara mental terganggu meskipun sehari-harinya dia normal. Ketika ada dua emosi campur aduk dalam dirinya, Hantu akan kebingungan mencerna yang mana yang harus didalami. Hantu adalah manusia yang unik, tidak seratus persen gila, tapi juga tidak seratus persen waras.

Begitu melihat Hantu lengah, Mox bergerak dengan cepat. Secara cekatan ia melemparkan sesuatu ke sang pria ganjil. Saat itu Hantu terlihat diam kareana kebingungan. Ketika pria yang kebingungan itu mendongak, ia baru menyadari kalau semua sudah terlambat.

Tiga ledakan langsung membahana.

Krakakkakaboooooom! Kboooooooommm! Krkkhhboooooom!

Tiga bola energi meledak di udara.

Senyuman di bibir Mox berubah menjadi seringai geram. Bukannya senang ia justru menjadi gusar. Ketiga bola energi yang ia lontarkan itu meledak bahkan sebelum mencapai sasaran.

Masing-masing meledak di hadapan Hantu yang terkejut. Pria ganjil itu tetap tenang sambil bergoyang dan terkekeh-kekeh seakan-akan sudah tahu kalau Mox akan menyerang sekaligus tahu kalau tiga bola energi itu akan hancur sebelum sampai ke dirinya. ‘Kelengahan’ yang ia tunjukkan tadi adalah pancingan bagi sang bule gila untuk menyerang.

“Hahahakhakhakha. Ada yang nyerang nih. Cieeee,” sindir Hantu sambil tertawa.

Mox mendesis geram, tapi kemudian nyengir lebar. Mata Mox melirik ke kanan, ke kiri, ke seluruh penjuru arah mata angin. Ia pun segera mengayunkan tangan dan menunjuk ke beberapa arah. “Hohoho. Ada satu di situ, yang kedua ada di sana. Pantesaaaan! No wonder! Ternyata kamu dibantu oleh dua cecunguk lain. Pantas saja percaya diri. Keluar kalian berdua!”

Dengan lompatan ringan, dua orang lain hadir di depan Mox. Mereka bukan wajah baru – walau untuk Mox masih terlihat seperti dua orang yang masih sangat hijau. Kemampuan mereka masih ada jauh di bawah Hantu.

Yang pertama adalah seorang pemuda dengan rambut dicat warna coklat yang berdiri di samping kiri sang pria ganjil. Dia mengenakan topi snapback berwarna putih yang dipakai terbalik dengan moncong di belakang kepala. Tampilannya khas dengan kaos skater warna abu-abu dengan gambar Tony Eagle, sepatu V@ns hitam bergaris putih, dan celana jeans tiga perempat sampai ke lutut.

Dia adalah Pasat.

Yang kedua adalah seorang pemuda yang berwajah garang dengan rambut disisir ke atas ala preman-preman Jepang, jaket kulit warna hitam, kacamata hitam, kaos putih, celana jeans, dan rokok terselip di bibir. Untung tubuhnya tegap sehingga dia tidak keliru dikira anggota Changcuters yang rata-rata kerempeng. Pemuda itu adalah pimpinan dari gang kampus populer DoP dari kampus Universitas Amora Lamat.

Dia adalah Rao sang Hyena Gila.

Who in the blue world are you guys?! Kaum ikan dari Spongebob berani-beraninya menghalangiku. Kalau tidak salah kalian dari Aliansi kan? Bagaimana bisa kalian berdua bersama dengan Hantu? Apakah dia bergabung dengan Aliansi sekarang? Setahuku Hantu jadi free agent usai lepas dari JXG,” tanya Mox keheranan dengan berondongan pertanyaan, “Kalau aku sudah jelas sekarang bergabung dengan faksi Kelompok Benteng Selatan dari NdA. Keren kan? Swaaaag!

Rao terkekeh khas dengan tawa ala Hyena yang tak menyenangkan didengar, “Kekekeke, tumben sekali om Bule banyak cakap. Aku Rao dan benar sekali - aku berada di sini sebagai wakil dari Aliansi. Kemanapun Nanto memintaku pergi, di situ aku akan hadir. Ada panggilan gawat darurat dari penghuni rumah ini dan anggota Aliansi harus segera datang membantu.”

“Kalau aku berada di sini bukan karena Aliansi,” Pasat menyeringai menatap Mox, “Aku di sini karena mengikuti titah dari pimpinanku. Aku di sini untuk mengikuti perintah dari Pak Zein. Untuk membantu Aliansi dan JXG sebagai tambahan penjagaan di tempat ini. Sayang aku terlambat datang sehingga korban jatuh, tapi kamu tak akan kembali ke Benteng Selatan dengan selamat, Mox.”

“Atas perintah dari Pak Zein?” Mox bingung.

Pasat menyalakan Ki-nya yang langsung memancar kencang, “Namaku Pasat – perwakilan baru dari Anak Panah JXG.”

“Owalaaaaaah. Hahahahahah. Paham paham…” Mox mengangguk, tapi ini kan baru dua orang. Siapa yang menepis bola energi ketiga? Apakah musuh bebuyutannya dari JXG juga telah datang? Mox tidak peduli. Kedua orang yang datang ini toh kemampuannya masih belum setara dengannya. Ki-nya masih kelas cicak putus buntut.

Secara sikap Mox mungkin hampir sama seperti Hantu yang terlihat tak peduli dengan kedatangan Pasat dan Rao, pria ganjil itu masih saja berdiri dengan goyangan kanan kirinya yang unik dan aneh – dengan mata menatap tajam ke arah Mox. Ia tidak sedetik pun melepaskan tatapan tajam ke targetnya.

Mox paham itu.

Itu sebabnya ia meletakkan jemarinya ke bibir dan mulai bersiul teramat kencang. Tak lama kemudian, dari langit-langit masuk kelebat hitam berloncatan. Bagaikan ninja yang tiba-tiba saja hadir tanpa diketahui darimana mereka muncul dan darimana mereka berasal.

Booooom! Booooom! Booooom!

Tiga bayangan hadir di belakang Mox. Semuanya punya ilmu kanuragan.

Baik Pasat, Rao, maupun Hantu menyadari kehadiran aura Ki yang cukup besar dari ketiga orang yang baru datang. Siapa mereka? Ada banyak kemungkinan. Yang jelas, arena sebentar lagi akan tercipta di rumah besar yang mulai porak-poranda itu.

“Kita benar-benar akan bertarung ya? Tidak mau damai-damai saja nih? Hehehe. Ya sudah, aku sih yes.” Mox menyeringai lebar sembari meningkatkan Ki-nya yang makin lama makin meningkat jauh melebihi siapapun di ruangan itu. Mox terkekeh dan mengedipkan mata pada Hantu. Saat itu juga sang Bule Gila mengangkat tangan kanannya, ia mengayunkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke depan. Satu ucapan dikumandangkan.

Burn it down.”

Dari lantai atas, muncul satu bayangan lagi. Ia membawa sesuatu di tangannya. Galon minyak yang isinya sudah dituangkan di beberapa bagian di lantai atas. Bayangan itu melemparkan korek gas ke jalur minyak yang baru saja ia tuang.

Api pun berkobar.





BAGIAN 2 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3



Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, apalagi laptop juga mulai sering berulah. Mohon kesediaannya membantu menyambung nyawa di tanggal tua untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan bekerja. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya.
 

Similar threads

Balasan
9.293
Dilihat
2.026.638
Balasan
9.805
Dilihat
1.797.762
  • Locked
  • Poll
CERBUNG - TAMAT JALAK
Balasan
6.446
Dilihat
2.625.901
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd