Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JALAK v4

Sepenuhnya aku ingin apdetanmu..
Mendekap penuh harapan lanjut kisahmu..

Setulusnya akuu akan terus menunggu..
Menanti sebuah apdetan ikuti kisahmu..
 
BAGIAN 3
BISA SAJA






“Kita tidak bisa mengatur keadaan yang berada di luar kendali kita,
tapi kita selalu bisa memilih bagaimana kita menyikapinya.”
- Epictetus






.:: PADA SUATU KETIKA
.:: DI SEBUAH PEMAKAMAN




Pemakaman adalah tempat yang muram.

Jika ada lokasi yang tidak ada aura kebahagiaan, maka tempat itu adalah pemakaman. Tidak ada kebahagiaan yang bisa terpancar di sana, yang ada hanyalah memori akan kebahagiaan, atau penceritaan akan pencapaian fana pada sesuatu yang telah abadi. Kabar tentang apa yang seandainya, apa yang mungkin saja, dan apa yang sebenarnya terjadi.

Nanto mengenakan pakaian serba hitam, kacamata hitam, dan topi hitam siang itu, berjalan menyusuri jalan setapak di sebuah pemakaman yang ada di kawasan utara kota. Ia tak sendirian.

Dengan tenang dan lembut ia membimbing seorang gadis yang berjalan tertatih di sampingnya. Gadis itu mengenakan kruk karena kondisinya terlihat lemah. Ia sedang tidak baik-baik saja.

Gadis itu tidak sedih dengan kondisi badannya, dia bahkan terlihat tersenyum tipis karena digandeng oleh si Bengal, “Tumben banget kamu ngajakin aku.”

“Tidak boleh?”

“Boleh banget. Aku malah sangat bersyukur kamu masih inget sama orang semacam aku. Playboy kayak kamu kan ceweknya banyak, mana pernah inget sama yang tidak ada dalam radar incaran.”

Haish.” Dengan lembut Nanto menepuk dahi sang dara. Tentu saja hanya untuk main-main, “Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Kita ke sini untuk berziarah, bukan untuk bersenang-senang. Pelan-pelan jalannya, pake kruk begitu.”

Gadis itu masih tersenyum. Rasanya sudah lama sekali Nanto tidak memberikan perhatian sedalam itu padanya.

“Kenapa tiba-tiba kamu kepikiran ngajakin aku?”

“Aku butuh teman.”

“Temanmu kan banyak. Ketua Aliansi yang terhormat masa tidak punya teman?”

Wajah Nanto sedikit terlihat gelap, “Entah kenapa, semakin kita dewasa, semakin sedikit orang yang bisa disebut sebagai teman. Aku bahkan kehilangan sahabat-sahabatku yang sudah aku anggap sebagai saudara.”

Gadis itu – Ara – mengencangkan pegang tangannya pada si Bengal, “Kamu anggap aku apa? Bukan teman? Aku tidak kemana-mana. Aku tidak pernah kemana-mana. Kamu yang menjauh dariku.”

“Kamu lebih dari teman, Ra.”

Wajah Ara memerah. “Oh?”

“Kami selalu menganggapmu sebagai anggota keenam dari Lima Jari.”

“Oh.”

Ara menundukkan kepala. Dia mengira ada alasan lain yang lebih menggetarkan hati. Tapi itu pun sebenarnya sudah cukup.

Ara mendesah, “Setahuku Lima Jari sedang terpisah. Apa yang akan kamu lakukan di tengah situasi ini? Bukankah kalian sudah berjanji akan selalu bersama apapun kondisinya? Apa solusinya, wahai sang Raja Naga?”

“Apapun yang dibutuhkan untuk membuat Lima Jari kembali bersatu. Mereka sahabatku, aku tidak akan membiarkan terjadi hal-hal yang buruk terjadi pada mereka, ataupun kamu…” Nanto memberikan botol plastik minuman kemasan pada Ara yang terlihat kepanasan dan kehausan. Nanto menundukkan kepala, wajahnya tertutup oleh moncong topi yang ia kenakan, “Maafkan aku.”

“Maaf? Untuk apa? Tumben banget seorang Nanto bisa minta maaf,” Ara tersenyum sinis. Senyum yang membutuhkan segenap upaya karena tubuhnya terasa sangat sakit di sekujur tubuh.

“Semuanya. Semua masalah yang menimpamu, semua masalah yang tiba-tiba saja datang menghampirimu. Aku minta maaf. Aku tahu kamu tidak pantas mendapatkan semua masalah ini. Kamu begitu indah, lembut, dan baik. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini. Mungkin ada baiknya kamu mencari pria yang bukan berasal dari dunia gelap seperti kami-kami ini.”

Hrmph. Selalu saja memberikan petuah kalau semua sudah terlambat. Aing sudah kena hajar ini loh!”

Nanto tersenyum, ia menggerakkan tangannya untuk mengelus dahi Ara, memperbaiki poninya yang berantakan. Ara ikut tersenyum tangannya bergerak untuk menggenggam tangan Nanto, membuka jari-jemari si Bengal dan meletakkannya di pipinya.

“Ra…”

Sssh. Aku tahu hubungan kita tidak akan pernah berjalan dengan baik dan tidak akan pernah bisa seperti dulu, setidaknya ijinkan aku menjadi sedikit lebih akrab denganmu sekali ini saja.”

“Kamu kan sudah jadi kekasih…”

“Aku sudah tidak lagi menjadi kekasih siapapun. Tidak menjadi tunangan siapapun, tidak menjadi siapa-siapa lagi. Sebenarnya aku senang ketika kalian berlima menganggapku sebagai anggota keenam. Entah kenapa aku merasa bangga. Sayangnya, jika tidak ada Lima Jari, maka tidak akan ada jari keenam, tidak akan ada Ara. Kita harus mengembalikan Lima Jari pada jalurnya.”

“Masalahnya tidak semudah itu. Ada yang pergi, ada yang hilang, ada yang…”

“Tahukah kamu bagaimana aku bisa selamat dari penculikan? Simon. Dia mengalah dan menyerah. Dia bersumpah di hadapan orang-orang untuk meninggalkanku dan hal itu menyelamatkan aku dari siksaan kakaknya. Di hadapanku dan di depan mataku dia berjanji untuk membuatku bahagia - dengan cara meninggalkanku, mencampakkanku, memintaku pria lain yang lebih baik. Menurutmu itu menyenangkan? Itu membuatku seperti piala bergilir. Menjijikkan di mata orang.”

Nanto terdiam sesaat mendengar cerita Ara, “Dia tidak ingin kamu terluka, Ra. Hanya itu yang satu-satunya bisa ia lakukan. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisi itu.”

“Tidak. Itu hanya membuatku menyadari sesuatu.”

Nanto menengadah, “Apa itu?”

“Setelah selama ini kesana kemari, aku baru sadar kalau tidak ada satu orangpun yang bisa menjadi seorang Jalak Harnanto bagiku. Kamu hanya ada satu dan karena satu dan lain hal di luar kendaliku, aku sudah kehilanganmu. Mau kemanapun aku mencari, aku selalu berada di tempat yang salah dengan orang yang salah. Aku gagal ketika bersama Deka dan Simon bukanlah Nanto.”

Nanto hanya terdiam dan mendengarkan sembari membimbing Ara melalui jalan setapak di pemakaman yang siang itu terasa amat panas.

“Simon memang baik, dia berkorban demi kami berdua. Tapi seorang Nanto… Seorang Nanto yang asli akan menyelamatkanku tanpa menyerah pada orang-orang itu apapun alasannya. Dia akan tetap berusaha sampai titik darah penghabisan tanpa menyerah. Dia akan lebih baik memilih mati daripada harus menyerah.”

Cengkraman tangan Nanto di telapak tangan Ara makin kencang. Ribuan memory bersama mantan kekasihnya itu membanjir di benak.

“Yang gilanya… entah bagaimana caranya… apa yang diusahakannya akan berhasil dan kami berdua akan selamat dari masalah apapun. Dia sejago itu mencari pemecahan masalah dan mendapatkan solusi,” Ara balik meggenggam tangan Nanto dengan erat, “Itulah yang membedakan seorang Nanto dengan yang lain. Itulah yang membuatku jatuh cinta padamu, sakit karenamu, dan menderita karenamu. Karena entah bagaimana caranya, kamu selalu berhasil lolos dan menempatkan kartu domino yang tepat pada langkah selanjutnya. Sampai sekarang, aku masih menyayangimu…”

“Ara…” Nanto kembali menunduk, “Wanita yang kucintai selalu berakhir mengenaskan. Aku bahkan tidak tahu di mana Kinan berada sekarang. Aku tidak akan pernah bisa memberikan kebahagiaan kepada siapapun. Saat ini sedang ada peperangan di kota ini dan aku tidak akan bisa melindungi siapapun kapanpun.”

“Kalau ada satu hal yang sangat aku pahami tentangmu, adalah kemampuanmu untuk memberikan ketenangan dan kenyamanan pada wanita manapun yang dekat denganmu. Sialnya bagi kami, para wanita yang menyayangimu… kamu itu kemaruk memilih pasangan. Tidak puas hanya dengan satu pilihan saja. Kami harus menderita dengan membagi hati.”

Nanto tersenyum.

“Gitu aja nyengir, dasar kucing oren.”

Mereka makin dekat dengan makam yang akan mereka ziarahi, makam dari pahlawan Aliansi, salah satu jenderal terbaik yang pernah dikenal oleh si Bengal. Seorang pria sejati yang tidak akan menyerah pada keadaan dan sedia berkorban nyawa demi kepatuhan pada tugas dan rasa sayang pada keluarga.

“Makam Amar Barok ada di sebelah sana,” ujar Nanto lirih. Ada nada kesedihan di suaranya. Sayang sekali pria sejati seperti Amar Barok tidak panjang nyawa, dia benar-benar aset luar biasa bagi Aliansi yang selalu bisa diandalkan.”

“Dia sangat baik dan bijak.”

Makam yang mereka berdua sederhana karena usianya masih baru. Didepan makam tersebut, ternyata sudah berdiri dua orang yang kebetulan dikenal oleh Nanto dan Ara yang masih berjalan bergandengan.

Nanto sengaja menjaga jarak dengan orang yang tengah berdiri di depan makam. Dia tidak ingin menimbulkan keributan lebih dari seharusnya di tempat yang sakral.

“Deka.”

Orang yang ternyata adalah Deka itu berbalik dan sedikit terkejut melihat Nanto bergandengan dengan Ara, tapi dia lalu berdehem dan menggandeng gadis di sampingnya dengan erat. “Oh, kamu, Nyuk…”

Melihat Deka tengah menggandeng seorang gadis, Ara langsung tertunduk, tidak ingin menatap mantan tunangannya itu.

“Apa kalian…” Deka menunjuk Nanto dan Ara.

“Oh tidak, kami hanya ingin berziarah bersama saja,” jawab Nanto sambil tersenyum tipis, “sudah cukup lama kita tidak bertemu ya, Bro.”

“Cukup lama.” Deka tersenyum sinis, “hidupku jauh lebih tenang setelah tidak ada urusan apa-apa dengan Aliansi dan Lima Jari. Tidak ada emosi, tidak ada bahaya, tidak ada pertarungan hidup mati. Cuma menjalankan kuliah dengan santai.”

“Begitu ya…”

Nanto dan Ara tersenyum pada gadis yang digandeng Deka. Kalau tidak salah dia adalah satu dari sekian banyak anak buah dari Kapten Ri, namanya Shinta. Apakah dia dan Deka sudah menjalin hubungan? Baik Nanto ataupun Ara sama-sama segan untuk bertanya. Semenjak Deka meninggalkan Aliansi, hubungan mereka semua menjadi awkward alias canggung.

Ara mengulurkan tangan ke arah Shinta, “Hai. Aku Ara.”

“Mbak Ara. Saya Shinta,” Shinta melepas genggaman tangannya dengan Deka untuk menyalami Ara. Kedua wanita itu saling tersenyum satu sama lain.

Keempatnya lantas duduk di sisi-sisi makam Amar Barok dan mulai berdoa. Doa yang begitu dalam yang mereka persembahkan untuk kakak, saudara, teman, pemimpin, sahabat, dan seseorang yang sangat dekat.

Ketika doa itu rampung disampaikan, Ara dan Shinta berjalan bersama menuju halaman parkir sementara Deka dan Nanto tetap berdiri bersampingan di depan makam Amar Barok sembari menatap gunung menjulang di kejauhan.

“Ini tempat yang indah untuk peristirahat terakhirnya. Dia pasti sangat menyukainya,” ujar Deka dengan lembut. “Kakakku tidak suka terus terang padaku, tapi dia selalu melakukan yang terbaik untuk melindungi siapapun yang dekat dengannya. Bahkan kalau perlu sampai mengorbankan nyawa.”

Nanto mengangguk tanda setuju, “Amar Barok sangat eksepsional. Kita sangat kehilangan sosoknya. Seperti halnya kita juga kehilanganmu di Aliansi.”

Deka menatap Nanto dengan tatapan mata tajam, “Kamu tahu kan, aku tidak akan kembali ke sana lagi. Sudah cukup semua yang terjadi. Aku pensiun dari dunia seperti itu. Aku hanya akan menjadi mahasiswa biasa saja, hidup tenang, ”

“Aku tahu,” Nanto menghela napas, “mungkin memang itu jalan yang terbaik.”

Deka mengangkat pundaknya tanda tak peduli.

Nanto menggoyangkan kepalanya, “Cewek itu anak buah Kapten Ri. Tidak masalah untukmu? Atau kamu juga bergabung dengan Tim Garangan?”

“Tidak masalah apapun pekerjaannya. Apa yang terjadi di Tim Garangan bukan urusanku juga. Itu pekerjaan dia dan aku tidak mau ikut campur, seperti yang sudah aku bilang. Aku hanya ingin menjadi mahasiswa biasa saja.”

“Baiklah kalau begitu. Apa Ki Juru Martani sudah menemuimu?”

“Belum. Mungkin juga tidak. Kalau sampai menemuiku, maka dia harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya,” Deka menatap Nanto, “dunia kita berdua sudah berubah, Nyuk. Aku akan menjadi orang yang sama sekali asing bagi kalian. Aku tidak akan menjamah dunia persilatan lagi. Ilmu kanuragan yang sudah kupelajari tidak ingin aku umbar lagi. Kamu sudah menemukan orang-orang untuk mengganti Lima Jari, gunakan sebaik-baiknya.”

Sindiran Deka itu pasti tentang kehadiran Rahu Kala yang menjadi salah satu ‘teman’ Nanto akhir-akhir ini.

“Aku akan menantikanmu kembali, jika memang kelak kamu kembali. Lima Jari selalu jadi Lima Jari – tidak peduli apakah kita berpisah, pensiun atau tidak lagi bersama,” ucap Nanto dengan sendu. Dia tidak rela kehilangan seorang sahabat yang begitu berarti baginya.

Hrmph. Tidak. Aku tidak akan kembali.”

Nanto hanya tersenyum mendengar sanggahan dari Deka.

Suasana menjadi sunyi untuk beberapa saat.

Tapi masih ada satu masalah yang harus mereka perbincangkan. Mungkin jadi masalah terakhir yang akan dibicarakan oleh Deka dan Nanto bersama sebagai bagian dari Aliansi dan Lima Jari.

“Bagaimana tentang Bian?” tanya Deka.

Sedikit banyak, dia masih khawatir dengan nasib sang sahabat. Dia, Nanto, Hageng, Roy, dan Bian memang tak akan pernah benar-benar bisa lepas, mereka akan tetap saling memperhatikan.

“Masih belum bisa dipastikan di mana posisinya, tapi kita belum berhenti mencari dan berharap. Roy sebagai saudara kembarnya merasa kalau Bian masih hidup, intuisi saudara kembar biasanya benar, jadi aku anggap perasaan Roy itu benar. Aku hanya takut dia jatuh ke tangan lawan, ditawan, atau disandera entah di mana.”

“Bian itu punya banyak nyawa kayak kucing, aku juga yakin dia masih hidup,” ujar Deka sembari memasukkan tangannya ke dalam kantong celana, “Menurut informasi dari Shinta - Tim Garangan juga tengah mengerahkan pasukan untuk mencari keberadaan orang-orang yang hilang dari medan pertempuran tempo hari. Termasuk Bian, Mox, dan tentunya Om Janu.”

Nanto menepuk bahu Deka, “kamu benar-benar tidak mau kembali ke kami? Informasimu sangat dibutuhkan, Ndes. Kami membutuhkanmu. Aku membutuhkanmu.”

Deka menunduk dan menggeleng, “sudah cukup.”

Nanto menghela napas panjang.

“Amar Barok sudah memberikan jiwa dan raganya untuk Aliansi dan untuk kota ini. Mudah-mudahan itu cukup untuk mengimbangi ulah Pakdhe Wid yang justru menimbulkan kekacauan. Yah, pada intinya… darah keluarga kami sudah menetes terlalu banyak. Sudah cukup kami berkorban, Nyuk. Mas Amar yang terakhir.”

Nanto mengangguk, “Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, Ndes. Mudah-mudahan keputusanmu menjadi jalan yang terbaik untukmu.”

Deka tersenyum. Keduanya melangkah meninggalkan makam Amar Barok beriringan, tak lagi mengucapkan banyak kata.

Nyuk…” tiba-tiba saja Deka menghentikan Nanto sebelum mereka sampai di tempat parkir.

Nanto menoleh ke arah sang sahabat.

“Aku sudah terlalu jauh terpisah dari Ara. Tolong jaga dan rawat dia. Simon telah mencampakkan dia, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas bajingan satu itu. Aku hanya berharap Ara bahagia. Dia terlalu indah untuk disakiti lagi.”

Nanto tersenyum.

Keduanya menatap ke arah jauh, di sana Ara dan Shinta tengah berbincang-bincang. Entah sedang membicarakan apa.

Ara melirik ke arah Nanto.

Nanto menatap Ara.

Wajah Ara memerah.





.::..::..::..::..::.





.:: SEKARANG
.:: DI SEBUAH RUMAH MEWAH YANG TERBAKAR






Si jago merah berkobar menghanguskan sisi-sisi rumah. Tembok roboh, dinding terkoyak, panas membara membakar ruang demi ruang tanpa meninggalkan satu asa pun tersisa. Foto keluarga, meja makan bersama, kenangan yang pernah ada, semua terbakar. Api merajalela, tanpa ampun, tanpa berhenti, terus menyebar.

Entah kenapa, Sosok unik yang dijuluki Hantu justru melesat ke atas, mengejar bayangan yang baru saja membakar rumah Bos Janu, meninggalkan Pasat dan Rao di bawah untuk menghadapi Mox dan kawanannya.

“Kejar dia. Jangan biarkan dia menyelamatkan satupun keluarga Bos Janu,” desis Joe Moxon sang bule gila yang kini telah bergabung dengan kelompok Bengawan-nya Ki Juru Martani alias Pakdhe Wid.

Mendengar aba-aba itu, dua dari tiga bayangan di belakang Mox langsung bergerak ringkas mengejar sang Hantu. Mox kembali menyeringai, tanpa menatap ke belakang ia bertanya ke satu bayangan yang tersisa, “Kamu bisa mengatasi mereka kan? Aku juga akan mengejar orang aneh itu. Lawanku adalah si Hantu.”

“Tentu saja. Tidak masalah.” Bayangan itu maju untuk berdiri di samping sang bule gila. Tubuhnya tegap dengan beberapa pisau pendek tersemat di rompi biker-nya, rambutnya yang panjang diikat di belakang dengan menggunakan ikat karet gelang, kumisnya tebal dan lebat, mirip seperti alisnya yang juga cukup tebal. Selain kaos hitam bertuliskan seringai, dia juga mengenakan jaket dan celana jeans berwarna biru pucat.

Meski penampilannya sedikit berbeda dari sebelumnya, Pasat dan Rao langsung mengenali siapa dia. Pria itu bernama Jemmi Besouw tapi lebih sering dipanggil JB atau Jebe, sang Human Sniper - punggawa perdana dari Empat Belati Dinasti Baru.

“Nah begitu dong! Good boy. Kutitipkan mereka kepadamu, yah! Awas saja kalau sampai gagal. No mercy.”

“Jangan khawatir, Nyuk.”

Tanpa babibu lagi, Joe Moxon melesat untuk mengejar sang Hantu.

Pasat dan Rao saling berpandangan, menyadari apa yang terjadi. Mereka berdua diremehkan setelah kepergian Hantu. Tapi masalahnya sekarang, rombongan Mox mengejar Hantu dan mereka tahu pria berwatak ganjil itu mungkin membutuhkan bantuan.

Bayangan-bayangan di belakang Mox tadi sepertinya memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni, jika salah satunya saja adalah Jebe maka siapa dua yang lain? Belum lagi keberadaan Mox yang menyeramkan. Pasat dan Rao tahu kalau salah satu dari mereka harus membantu Hantu menghadapi Mox dan dua bayangan lain.

“Pergilah,” desis Rao sembari memposisikan dirinya tepat di depan Pasat, “biar aku yang menghadapi Jebe. Kamu pergi saja dan bantu Hantu. Aku tahu kamu ingin menemui dia. Lagipula di sini satu lawan satu, aku pasti bisa…”

Belum selesai Rao berbicara, Pasat sudah menyela. “Tapi bagaimana dengan…?”

Rao mendengus kesal, “Tapi apa? Kamu pikir aku ecek-ecek? Apa kamu juga mau meremehkan kemampuanku sama seperti mereka? Jangan khawatir. Sudah kubilang aku pasti bisa menghadapi dia.”

Pasat menatap Rao dengan ragu, tapi kemudian mengangguk dan dengan kemampuan ringan tubuh mumpuni pemuda itu langsung melesat menyusul Hantu, Mox dan para bayangan ke lantai atas yang mulai terbakar. Pasat hendak mencoba menghalangi niat mereka untuk mengeroyok Hantu.

Jujur, Pasat memang sempat meragukan kemampuan Rao yang akan menghadapi salah satu dari Empat Belati Dinasti Baru seorang diri, tapi Pasat tahu Rao punya sesuatu yang tidak dia ketahui.

Keputusan Pasat itu jelas meninggalkan dua orang saja di tengah ruangan, Jebe dan Rao. Sang Hyena Gila mendengus dan menggosok hidungnya dengan jempol, ia menyeringai saat menatap sang punggawa Dinasti Baru.

Keduanya saling menatap, saling mengukur kekuatan. Jebe tenang dan santai sembari mempersiapkan kepalan. Rao terkekeh-kekeh seperti biasa, menatap ke depan dengan pandangam mata tajam dan seringai seekor Hyena.

“Yakin mau bertarung jarak dekat? Julukanmu kan Human Sniper, ekekekek,” sindir Rao pada sang punggawa Dinasti Baru.

Cah gemblung. Kamu bodoh tidak mau dibantu oleh rekanmu, Nyuk. Apa kamu pikir kamu sanggup melawanku satu lawan satu? Wes dobel nyawamu berani sama aku?”

“Halah. Memangnya kowe ki sopo, Om? Mau melawanmu, Negeri di Awan, Dinasti Baru, Dinasti Lama, orang kadipaten, bocah akamsi, atau mau melawan prajurit keraton sekalipun sama saja. Namaku Rao dan aku tidak akan pernah minta tolong pada orang lain.”

Pancene bocah gemblung. Jangan bilang kalau aku tidak memperingatkanmu sebelumnya ya, bangsat. Nanti kalau sudah kepayahan sok-sokan playing victim.” Jebe tidak mau berlama-lama. Tangannya dengan cekatan menarik dua pisau kecil dan melemparkannya ke depan. Rao dengan mudah menghindari serangan itu.

Tapi memang Jebe sudah memperkirakan pergerakan dari sang Hyena. Kemana dia melangkah, dia sudah tahu dan sudah meletakkan target pada posisi. Tepat di mana Jebe menghendaki, kesanalah Rao melangkah. Saatnya merangsek ke depan!

Kaboooom!

Hentakan kakinya kencang menjejak lantai, tubuh si gondrong melesat mengincar sang Hyena Gila. Jebe menghentakkan pukulan demi pukulan yang bertubi bagaikan gattling gun untuk menyerbu pimpinan DoP itu.

Hantam, tarik, hantam, tarik, hantam, tarik.

Kiri, kanan, kiri, kanan.

Kepalan tangan Jebe silih berganti mengincar kepala Rao dengan letupan demi letupan yang seakan tanpa henti. Dengan mudahnya Rao menghindar dari serangan itu dengan terbang ke belakang dan menggeser posisi kepalanya dari sisi ke sisi, dari kanan ke kiri. Meski mampu menghindari serangan, Rao tetap saja mendengus kesal karena tidak diberi kesempatan oleh Jebe untuk menyerang balik.

Jebe menarik tangan kanannya ke belakang, Rao menirukan gerakannya dengan juga menarik lengan kanannya ke belakang. Jebe melesatkan pukulannya ke depan. Rao mengikuti langkah yang sama, kepalannya dilontarkan ke depan.

Blaaaadddddaaaaaam!

Pukulan keduanya bertemu. Tinju bertemu tinju. Hentakan keras menghempas tubuh keduanya ke belakang. Terseret kekuatan serangan masing-masing. Baik Jebe maupun Rao ternyata sama-sama memiliki Ki yang mumpuni.

Kedua pria itu tak berhenti untuk beristirahat, merenung, ataupun merancang strategi dengan mengulur waktu. Sama sekali tidak. Usai saling bertukar pukulan dan terhempas ke belakang, kini kaki mereka sama-sama menghentak lantai untuk menahan daya hempas, dan meloncat ke depan untuk kembali melemparkan pukulan.

Prinsipnya simpel saja. Sekarang atau tidak sama sekali.

Jebe tahu kalau ia memukul ke kiri, Rao akan kembali melengos ke kanan untuk menghindar, seperti sebelum-sebelumnya. Itu sebabnya kali ini dia melemparkan pukulan pengecoh. Kepalan tangan sang Human Sniper melesat dari kiri dengan kecepatan tinggi mengincar kepala Rao, dan seperti dugaannya, sang Hyena benar-benar bergerak ke kanan.

Jebe menyeringai. Kena kamu!

Tubuh Jebe beringsut dan bergetar, mengubah kekuatan dari kiri ke kanan, mengatur serangan dengan memindahkan energi dengan kecepatan dan ketepatan yang tak terbayangkan. Tangan kanan Jebe yang terkepal tiba-tiba saja diledakkan ke depan. Mengincar dada sang Hyena Gila.

Bdaaaaaaaaaaaaam! Bddddddddaaaam!

Pukulan itu masuk.

“Houghkkkkkkkkkkhh!” Rao mundur tiga langkah ke belakang dengan mulut berdarah. Seringai tak hilang dari bibirnya yang terus saja tersenyum lebar. Ia justru melirik ke depan dengan pandangan khas-nya dan mengedipkan mata ke arah sang punggawa Dinasti Baru.

“Hkkkkkkkkkghhhhh!”

Jebe tiba-tiba saja melotot sembari memegang dadanya yang nyeri dan mundur tiga langkah ke belakang! Seperti halnya Rao, ia juga mengeluarkan garis darah dari sela-sela bibirnya.

Pimpinan Empat Belati itu terkejut! Sangat terkejut!

Dia terkena pukulan?

Bagaimana mungkin…? Kapan? Kapan sang Hyena Gila menyerangnya? Kenapa ia tak menyadarinya? Bagaimana mungkin serangan itu bisa lolos dengan mudahnya!?

Tanpa disadari, pada saat pukulan Jebe bersarang di tubuh Rao, ternyata sang Hyena Gila juga berhasil meluncurkan pukulan yang serupa, tepat di dada sang Human Sniper. Keduanya kini sama-sama memegang dada sembari terengah-engah.

Si gondrong mendengus dan tersenyum. Ia meloncat ke depan, kakinya menjejak bergantian seperti sedang mengayuh sepeda di udara. Silih berganti menyerang Rao yang terdesak mundur ke belakang. Rao sendiri tidak serta merta menerima serangan itu dengan pasrah tentunya. Kepalan tangan dilontarkan juga dengan bergantian untuk menangkis setiap tendangan dari Jebe.

Tendangan terakhir Jebe dilepaskan.

Rao berteriak kencang, seakan-akan hendak menantang langit, sekali lagi tendangan itu ia tepis dengan kencang. Tapi kali ini Rao tidak berhenti, tangan kanannya menjulur untuk mencengkeram pergelangan kaki kiri Jebe, dan tangan kirinya menjulur untuk mencengkeram kaki kanan sang lawan. Hasilnya tangan Rao saling bersilang. Rao memutar tubuhnya dan mencoba membanting tubuh Jebe dengan putaran twist yang teremat kencang!

Hbbrrgh!

Rao berhasil membanting Jebe…

…atau setidaknya hampir.

Alih-alih terkapar, Jebe bangkit kembali begitu terbanting. Dengan cekatan pria itu menggunakan tangannya untuk menahan tubuh. Ia tak bisa dijatuhkan semudah itu. Rao mendengus kesal. Melihat sang lawan masih tegap berdiri, Rao pun memutar kedua kakinya di udara dan menghempaskannya ke bawah! Ke arah kepala Jebe!

Bkkkkkghhhh!

Jebe berhasil menahannya dengan pergelangan tangan. Kedua orang itu bertatapan mata dengan sengit. Tiba-tiba saja Jebe menarik pisau kecil dari salah satu saku rompinya dan mengibaskannya di kaki Rao. Rao terkejut dan melepaskan diri dari posisinya, menjauhi sang lawan. Selama dia berada dalam parameter pertahanan Jebe, dia dalam bahaya.

Tapi terlambat. Jebe jauh lebih digdaya.

Srrt!

“Haaaaaaaarghh! Wedhuuuus!”

Darah mengucur dari sela-sela celana Rao yang sobek.

Melihat serangan mencapai sasaran, Sang Human Sniper membabi-buta, dia melontarkan dua pisau berturut ke arah Rao sembari dengan cepat menarik dua pisau lain. Rao meloncat salto ke belakang tiga kali, melepaskan diri lontaran pisau Jebe.

Jbbbhh! Jbkghhh!

Satu pisau berhasil ia tendang, satu pisau lagi menancap di pundaknya.

“Haaaaaaaaaaarghhh!”

Rao tertatih ke belakang. Darahnya mengucur deras dari dua tempat. Tanpa disadari sang Hyena Gila, Jebe mendekat ke arahnya dan memutar tubuh dengan sangat cepat.

Tendangan berputar.

Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh!

Tendangan Jebe tiba-tiba saja terlontar di saat Rao tersambar di pundak. Tanpa ada kesempatan, Rao terdesak ke belakang dengan ketiga tendangan semuanya berhasil menghajar wajahnya. Pimpinan DoP itu terdorong mundur beberapa langkah ke belakang sementara si gondrong Jebe kembali berdiri dengan gagah.

Mung sak mono isomu, Nyuk? Cuma segitu saja kemampuanmu? Kamu tidak akan pernah bisa melawanku,” ledek Jebe.

Rao yang tengah terjerembab di lantai mencoba bangkit sembari terengah-engah. Dari kejauhan ia menatap Jebe. Jarak keduanya kini terpaut beberapa meter. Dengan tubuh yang terus mengalami pendarahan, Rao kembali memasang kuda-kuda.

“Masih mau? Nanti kamu mati, Nyuk. Eman-eman uripmu. Sayangi hidupmu yang cuma sekali itu,” kembali Jebe meledek Rao sembari mengeluarkan dua pisau dari rompinya.

Rao cekikikan dengan tawa khasnya yang tidak nyaman didengar, “Aku orangnya ngeyelan, Om. Lebih baik mencoba daripada tidak mencoba. Ya toh?”

Jebe geleng kepala. Tapi ia kemudian mengerutkan kening saat melihat kuda-kuda sang Hyena Gila. Si Gondrong itu terkejut dengan aksi kuda-kuda Rao yang unik.

Weleh-weleh. Edan kamu, Nyuk. Ini kan Shaori Fighting Style,” ucap Jebe kagum.

Rao hanya mendengus.

“Bajingan kelas rendah sepertimu dari mana bisa mempelajari ilmu pertarungan langka seperti Shaori? Sayang sekali ilmu olah tubuh yang menarik dan menakjubkan seperti ini jatuh ke tanganmu.”

Rao tidak menjawab dan tetap fokus.

“Pantesaaaaaan! Sedari tadi aku seperti mengenal jurus-jurus aneh yang kamu keluarkan. Itu semua berasal dari gaya pertarungan Shaori. Menarik sungguh menarik,” Jebe menyeringai sambil menatap tajam Rao, “Tapi sayang sekali, level kita jauh berbeda, sobat. Mau pakai gaya apapun kamu tidak akan bisa menang melawanku.”

Rao hanya mencibir, “jangan asal bacot. Kamu tidak tahu apa yang dapat aku lakukan dan apa yang tidak.”

Dari posisi seperti push up atau tengkurap, tubuh Rao menunduk sangat rendah, dagunya bahkan hampir menyentuh lantai, kedua tangan menopang badan dengan menekuk kokoh di kanan dan kiri. Kaki kiri ditekuk, sementara kaki kanan diangkat teramat tinggi hingga melengkung ke depan.

Jebe nyengir semakin lebar, “Shaori Scorpion Style. Mantep banget, Nyuk. Ternyata masih ada jurus klasik ini. Padahal kupikir sudah hampir punah. Bagus sekali masih ada yang mempertahankan sehingga bisa kujajal. Bersiaplah!”

Tanpa aba-aba dan hitungan satu dua tiga, Jebe berlari ke depan sembari melontarkan pisau. Kali ini dengan mudah Rao beringsut untuk menghindar. Kedua pisau itu terbanting di lantai.

Saat jarak antara dirinya dengan Rao sudah hampir separuh, sang Human Sniper melompat tinggi. Ia memutar badan di udara dan meluruskan kakinya, melakukan tendangan ke arah Rao.

Sang Hyena Gila tentunya tidak begitu saja menerima serangan itu. Ia menggeser tubuhnya bagaikan kalajengking yang bergerak horizontal ke arah kanan dan kiri secara luwes dengan satu kaki terangkat tinggi. Gerakan yang kaku tapi tegas itu membuat Jebe penasaran. Seperti apa pertahanan bocah ini sekarang?

Tendangan dari Jebe datang dan Rao melompat ke kiri dengan pose yang tak berubah.

Bkgggh!

Tendangan Jebe menemui ruang kosong, ia memutar tubuhnya untuk bersiap menghapi serangan. Saat itulah kaki Rao yang terangkat tinggi melejit dan menyerang ke arah sang Human Sniper. Jebe mundur dua langkah dengan lengan terangkat saling silang membentuk pertahanan.

Bkkkkghhhh! Bkkkkkghhhhhhh!

“Auuughhhh!”

Edan! Serangan kali ini lebih bertenaga, menyengat, dan sangat menyakitkan. Berbeda sekali dengan yang tadi. Tapi Jebe tak mau kalah, ia mengambil dua pisau lagi dan memainkannya di tangan kanan dan kiri. Dua kali kibasan dilakukan, mengancam ruang pertahanan Rao. Sang Hyena Gila mundur dua langkah ke belakang, mencoba mengacaukan ritme serangan dari sang lawan sambil tetap menjaga jarak.

Salah langkah sedikit, pisau akan menyambar.

Kedua pisau kecil di tangan Jebe mampu menjelma menjadi ancaman yang mengerikan, kedua pisau itu bagaikan binatang-binatang kecil yang hidup dan mampu menentukan pemikiran mereka sendiri untuk menyerang dengan ganas. Tidak ada yang pasti dari pergerakan kedua pisau itu, Rao harus benar-benar fokus untuk memperhatikannya.

Srrrt! Srrrrrt!

Dua sayatan mengiris kaki Rao yang langsung mengernyit kesakitan. Tapi memang itulah yang dia incar. Dengan cekatan kaki yang sejak tadi diangkat dijadikan umpan. Ketika Jebe menyerangnya, Rao menarik kaki yang bagaikan ekor kalajengking itu dan menghentakkan badannya ke atas.

Tinju dikepalkan, pukulan berselimut Ki disiapkan.

Bledaaaaaaaaaaaaaagkkkhhhh!

Tinju Rao masuk tepat di dagu Jebe.

Tubuh sang punggawa Dinasti Baru itu terlontar ke belakang mata yang berkunang-kunang dan kepala yang mendadak pusing. Ia terjerembab beberapa kali di lantai dan terguling-guling. Tubuh Jebe baru terhenti saat ia menabrak tembok rumah.

Rao terengah-engah dan jatuh terduduk. Darahnya masih mengucur.





.::..::..::..::..::.





.:: SEKARANG
.:: DI SUATU TEMPAT






Shinta mengejapkan mata.

Dia terbangun tapi masih enggan membuka mata.

Eh, tunggu sebentar. Ada yang aneh.

Terbangun? Kalau sekarang bangun, kapan tidurnya? Shinta merasa dia tidak pernah berniat tidur atau beristirahat di kamarnya semalam. Kenapa sekarang bisa tiba-tiba terbangun ya?

Shinta menekuk badannya ke kanan dan kiri. Entah kenapa terasa linu, pegal dan sakit di sekujur badan. Tidak nyaman rasanya. Kepalanya juga pusing sekali, begitu pusingnya sampai-sampai dia merasa tubuhnya tak stabil. Tangannya menggapai ke samping, ke arah meja tempat di mana dia biasa meletakkan kotak obat.

Shinta tidak menemukannya.

Kok bisa? Dia tidak pernah memindahkan kotak obat itu.

Meski terasa berat, Shinta memaksakan diri untuk membuka mata untuk mencari kotak obatnya. Kelopak matanya terasa lengket dan berat sekali. Akhirnya Shinta berhasil membuka matanya.

Saat membuka mata, barulah Shinta sadar. Dia tidak berada di ruangannya. Ini bukan kamarnya.

Shinta jadi gelisah. Ia menengok ke kanan dan kiri dengan perasaan yang tidak enak. Di mana dia? Kenapa dia bisa berada di sini?

Dia berada di ruangan serba putih. Tidak ada jendela, tidak ada lubang angin, tidak ada pintu - kecuali satu pintu besar di salah satu sudut. Tidak ada ornamen, tidak ada jam dinding, jam meja, atau kalender dan perangkat apapun yang menyatakan ini di mana, kapan, dan apa yang tengah dilakukan Shinta di dalam ruangan ini.

Apakah dia... diculik dan disekap?

Halo, cantik.”

Terdengar suara dari satu alat pengeras suara yang ada di ujung atas ruangan, alat yang sepertinya ditanam di tembok. Suara itu… bukankah itu suara Rama?

“Rama! Apa yang kamu lakukan padaku? Kenapa aku berada di tempat ini?” Shinta berteriak dan mencoba menghardik orang yang tengah berbicara kepadanya. Meski menyebutkan nama Rama, tapi Shinta masih tidak yakin siapa sebenarnya dia.

Cup cup cup. Jangan merajuk, cantik. Tapi merajuk pun kamu tetap cantik. Gemes ih. Bagaimana dengan kamarnya? Sejuk bukan? Tidak kalah dengan hotel bintang empat. Kamu nyaman di sana kan?”

“Kurang ajar!”

Sebelumnya, kamu yakin akan terus menerus memamerkan susu indahmu itu pada kami? Hahahaha. Benar-benar buah dada montok yang putih dan mulus, Neng. Hahahah.

Shinta terengah-engah, “EH!?”

Mata Shinta terbelalak.

Dia baru sadar kalau saat ini dia tengah telanjang bulat! Shinta tidak mengenakan sehelai pakaian pun! Siapa yang telah melucuti pakaiannya? Buru-buru gadis itu mencari sesuatu untuk menutupi ketelanjangannya.

Di pembaringan ada kain tipis yang tadi sepertinya digunakan untuk menyelimutinya. Ia mengambil selimut itu dan melilitkannya memutar seperti handuk. Selimut putih tipis itu ternyata hanya bisa dillitkan seadanya di tubuhnya yang indah. Selimut nan tipis itu gagal menutup keindahan tubuh Shinta karena saat ini keseksiannya terlihat menerawang.

Satu hal yang juga baru ia sadari adalah bahwa rambut kemaluannya telah dicukur habis sehingga bagian bawah tubuhnya benar-benar terlihat gundul seperti seorang gadis remaja.

Wajah Shinta memerah karena malu, “Ku-kurang ajar! Kalian telah melakukan tindakan tercela dan hina terhadap pihak yang berwajib! Berani-beraninya kalian…! Ini namanya pelecehan! Aku akan melaporkan kalian! Kalian akan dihukum dengan….”

Suuuushh. Ribut amat sih. Jadi orang itu yang pengertian akan kondisi dan situasi lah. Shinta… Shinta…” suara itu terdengar terkekeh meledek Shinta, “Polwan cantik, kamu itu sedang tidak berada dalam posisi untuk menawar dan meminta apapun dari kami. Kenapa? Ya jelas karena kamu sedang berada dalam kendali kami. Jangan ribut dan nikmati saja keasyikan hari ini. Setuju? Hahahahaha. Ikuti perintah kami dan mungkin saja kami akan membiarkanmu tetap hidup.

Terdengar suara mic ditutup.

Nikmati…!? Bangsat jahanam!

Darah Shinta mendidih mendengar ejekan Rama. Bajingan kurang ajar satu itu memang benar-benar cari masalah. Shinta harus segera keluar dari sini dan melapor pada Kapten Ri! Bagaimana caranya? Bagaimanapun caranya! Dia tidak ingin terjebak di tempat ini!

Tenaga Ki-nya tidak bisa menyala. Apakah ada cagak bebandan di ruangan ini? Mungkin sekali. Dia harus bisa melarikan diri tanpa menggunakan ilmu kanuragan.

Shinta berlari ke arah pintu dan menyentuhnya, merasakan ketebalannya.

Ia tertegun.

Tidak ada handle dan lubang kunci di sana. Hanya ada lubang kecil satu arah yang pasti digunakan orang di luar untuk mengintip ke dalam. Tidak mungkin mendobrak pintu yang sekokoh dan setebal itu.

Gadis itu pun segera memandang ke arah sekitarnya, apakah ada sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk melarikan diri dari ruangan ini? Shinta menyusuri sudut demi sudut ruangan itu dan mulai menyelidiki satu demi satu sisi ruang.

Sayang dia tidak menemukan apapun.

Di ruangan itu hanya ada toilet yang ditutup oleh tirai, lalu ada wastafel dengan cermin besar menutup sebagian dinding, dan selipat handuk di atas sebuah kardus, lengkap dengan pasta gigi dan sikatnya. Ada juga gelas dan piring plastik di dekat wastafel – mungkin digunakan untuk dia makan.

Ruangan ini sepertinya benar-benar disiapkan untuk menyandera seseorang. Ini adalah penjara. Siapa yang serepot ini membuat penjara?

Kalau ada yang unik dari kamar itu adalah bentuknya yang melingkar dan bukan persegi. Bagian atas ruangan berbentuk setengah bulatan dengan cembung ke atas di bagian plafon. Kenapa Shinta jadi teringat observatorium ya? Mungkin dari luar bentuk ruangan ini adalah semacam itu.

Perasaan tidak ada tempat seperti ini di kota. Apa jangan-jangan dia berada di kota lain? Tempat apa sih ini? Shinta meneguk ludah. Sungguh ia merasa tidak nyaman. Semakin ia panik, semakin ia tidak menemukan cara untuk melarikan diri.

Lagipula dia penasaran kenapa dia bisa terpenjara di sini.

Kenapa kok tiba-tiba saja bisa terbangun di tempat ini, di ruangan ini. Apa yang terjadi sebelumnya? Sudah berapa lama dia pingsan? Kenapa dia tidak bisa mengingat apa-apa? Lalu apakah… apakah… dia sudah dinodai oleh kawanan si Rama!?

Shinta menjadi tegang dan khawatir.

Buru-buru gadis itu pergi ke toilet, menutup tirai dengan rapat, dan mencoba memeriksa liang kewanitaannya. Apakah ada luka? Ada yang berbeda? Apakah ada darah? Jangan-jangan dia sudah diperkosa oleh suruhan Rama?

Gadis itu pun menjadi panik, dia tidak ingin mengecewakan Mas Deka dengan hal nista seperti ini. Dia tidak ingin menjadi korban rudapaksa oleh orang yang bahkan tidak dia kenali. Dia ingin mempersembahkan hal terindah yang ia jaga untuk sang kekasih yang sepertinya ingin memiliki hubungan yang serius dengannya itu.

Mas Deka! Dia harus bisa menghubungi Deka! Tapi bagaimana caranya?

Terdengar derik suara di atas. Lagi-lagi sang operator pengeras suara.

Heheheh. Gadis bodoh. Jangan khawatir, kami tidak melakukan apa-apa padamu. Yang melucuti pakaian dan mencukur rambut kemaluanmu juga prajurit wanita kami. Jadi tidak ada tangan-tangan pria nakal yang sudah menyentuhmu. Hehehe. Tenanglah, kamu tidak se-spesial itu buat kami. Heheheheh.”

“KURANG AJAR! KALAU BEGITU LEPASKAN AKU! KENAPA KALIAN MENAHANKU DI SINI? APA YANG KALIAN INGINKAN!? APA MAKSUD KALIAN!?”

Shussssh. Buat apa teriak-teriak? Ruanganmu itu kedap suara. Percuma berteriak karena tidak akan ada yang bisa menembusnya. Kenapa kami menahanmu? Ya karena kamu selain cantik, punya tubuh yang seksi. Hahahaha.”

“KU-KURA…”

Tidak tidak. Kami menahanmu karena untuk seorang polwan di bawah kepemimpinan Kapten Ri, kamu terlalu gegabah. Kalian itu jadi musuh bersama kami. Ketika kamu berjalan sendirian di siang bolong di tempat umum dengan penjagaan minimal di situlah kesempatan kami datang, hahahah. Kamu pikir kamu siapa? Wonder Woman? Sayang sekali, kamu lengah dan kami bisa menculikmu dengan mudahnya.”

Apakah seperti itu kejadiannya? Shinta mencoba mengingat-ingat.

Tidak.

Tidak semudah itu.

Dia memang sedang sendirian, tapi dia tidak sedang berjalan-jalan. Dia… dia… baru saja berolahraga bersama Deka dan sepulangnya dia diantar oleh sang kekasih ke mabes. Di mabes, Shinta mendapatkan oleh-oleh jamu dari Syifa, salah satu rekan di divisi lalu lintas.

Jamu itu sudah dituang ke dalam gelas. Jamu beras kencur yang…

Jamu…

Jangan-jangan… jamu itu!?

Tidak! Tidak!! Syifa!?

Shinta terbelalak saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini semua ulah Syifa…!? Apakah Syifa telah mengkhianatinya!? Apakah Syifa berhubungan dengan Rama dan kelompok penculiknya!? Syifa memasukkan obat tidur ke dalam jamu yang diberikannya pada Shinta?

Belum sempat Shinta berpikir dengan jernih, terdengar pintu dibuka dan menutup kembali. Lalu terdengar suara sepatu bot tentara melangkah di dalam ruangan. Sepertinya hanya satu orang saja.

Halo cantik. Ijinkan kuperkenalkan orang yang akan menjadi suamimu hari ini, dia akan menjadi pelanggan tetapmu sebagai lonthe. Dia akan memakai tubuhmu dan menjadi penikmat sejati keindahan tubuhmu. Kontolnya akan menjadi standar cetakan bentuk liang cintamu. Setelah ini, kamu akan sangat ketagihan sampai-sampai kamu tak akan bisa hidup tanpanya. Jadi silakan berkenalan dengannya, cantik.”

Ce-celaka!

Shinta benar-benar marah dan tak habis pikir. Itu benar-benar suara Rama kan? Kenapa dia bisa setega itu mengumpankan Shinta pada orang ini? Dengan takut-takut Shinta mengintip keluar tirai, ada orang duduk di kursi yang ada di tengah ruangan. Tapi karena ia duduk membelakangi Shinta, gadis itu tak dapat menebak siapa yang datang.

Apakah itu seorang pemuda? Ataukah seorang tua? Shinta meneguk ludah. Dia benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Keluarlah dari toilet, cantik. Dia tidak akan menggigitmu,” suara di pengeras suara itu terkekeh lagi, “setidaknya dia tidak akan menggigitmu sekarang. Tidak tahu kalau nanti saat kalian bercinta. Hahahaha.”

Shinta membuka tirai dan kembali mengenakan selimut sebagai pelindung dan penutup badan seadanya. Sejak tadi Shinta tidak menemukan di mana pakaiannya berada. Orang-orang bedebah ini sepertinya benar-benar ingin membuat dia telanjang sepanjang waktu. Mereka rupanya ingin secara total membuatnya malu bukan kepalang.

Shinta berjalan dengan berjingkat, ia mencoba mencari senjata yang bisa dipegang. Apapun iu.

Orang di tengah ruangan itu tiba-tiba berdiri dan membalikkan badan.

Shinta terhenyak! O-orang itu kan!? Bukankah itu…!?

Dia pernah melihatnya beberapa kali, pernah mengamatinya, pernah mengikutinya dari jarak jauh dan jarak dekat walaupun secara diam-diam. Shinta juga sedang dalam misi untuk mencari keberadaannya. Singkatnya – Shinta tahu siapa dia. Kenapa dia berada di sini dan mengenakan pakaian militer?

Shinta tidak mungkin salah. Dia mengenalinya.

“Bi-Bian!?”

XD Tujuh! Kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan! Kita sudah melakukan briefing! Tugasmu adalah menghamili gadis itu! Laksanakan!

“Siap laksanakan!”

Mulut Shinta menganga.

“Tu-tunggu dulu! Apa maksudnya menghamili!? APA MAKSUDNYA MENG-…” Shinta langsung panik.

Tanpa bisa bergerak dengan lincah karena hanya mengenakan selimut, Shinta ditangkap dengan mudahnya oleh sang pria. Pria yang diduga adalah Bian itu segera mengunci tubuh Shinta dan menelikungnya dengan mudah.

Entah kenapa Shinta tidak bisa mengeluarkan dan memancarkan Ki di ruangan ini sehingga dengan mudah pria itu bisa menetralkan perlawanan Shinta. Gadis itu tetap berusaha meronta-ronta sebisanya. Ia berteriak-teriak sembari meronta, menjejakkan kakinya kemana-mana, “Tunggu dulu! Bian! Ini aku! Kamu anggota Lima Jari! Anggota Aliansi! Bian! Biaaaan! Biaaaan! Aku ini kekasih Deka! Kamu ingat Deka kan!? Sadarlah! Ini bukan kamu! Ini bukan sifat kalian!!”

Apa yang terjadi pada Bian? Kenapa dia seperti tak peduli pada Shinta? Tak ada empati dan simpati seperti layaknya anggota Lima Jari yang lain? Apakah memang dia seperti ini ataukah ada sesuatu yang mengganggu benaknya?

Shinta mencoba meronta-ronta tanpa hasil, Bian sangat kuat dan kasar. Bian juga benar-benar diam tanpa peduli siapa gadis yang tengah ia bawa. Ia membopong dan membawa Shinta kembali ke pembaringan. Dengan kasar ia membanting tubuh gadis itu di sana. Wajah pemuda itu sama sekali tak menunjukkan perubahan ekspresi apapun.

Brrkghh!

“Ouughh!” Shinta memejamkan mata karena kesakitan saat tubuhnya dibanting oleh Bian. Saat itu juga, selimut pelindung tubuh Shinta ditarik oleh Bian, bahkan sampai robek!

“Tidaaaaaaaak!”

Tubuh telanjang Shinta kini benar-benar ada di depan mata sang pemuda yang tak banyak bicara itu.

“Jangaaaaaan! Jangan! Jangan! Jangan! Biaaaan!! Jangaaaan!”

XD Tujuh! Lakukan sekarang!

Shinta menggelengkan kepala, ia mulai panik. Bagaimana caranya menyelamatkan diri dari situasi semacam ini? Suasana akan jadi lebih kacau kalau sampai Bian benar-benar menyetubuhinya.

Apa yang akan Shinta sampaikan ke Deka nanti? Apa yang akan terjadi kalau sampai sahabat sang kekasih memperkosanya!?

Nah, nah. Aku ngiler banget ini lihat kemolekannya, kalau saja aku diijinkan, aku yang akan menidurinya. Kalau menurutmu bagaimana, XD Tujuh? Indah ya tubuhnya? Memang tubuhnya agak mungil tapi menggairahkan sekali bukan? Tubuh mulus dan indah seperti itu buat apa kalau tidak dientotin sampai puas? Pastikan kontolmu yang raksasa ditancapkan ke dalam memeknya sampai liang yang terdalam. Biar mampus calon suaminya yang punya kontol kecil! Dia tidak akan pernah bsa memuaskan si molek ini!

Shinta berkeringat deras, ini bahaya, ini bahaya.

“Hngggkkhhh!”

Dengan kasar Bian mengangkat dan mengunci kedua kaki jenjang Shinta ke atas, membuat bibir kemaluannya kini tepat berada di depan wajah Bian. Sang pemuda itu pun menurunkan kepalanya. Bibir Bian mulai menjilat dan menghisap pintu surgawi milik sang dara yang kini mencoba meronta sambil memukul-mukul Bian.

“Lepaskaaaaaan! Lepaskaaaaaaaan!! Ahaaaaaakghhh!! Ahhhh!! Aaahh!” Shinta benar-benar tak kuat merasakan jilatan lidah Bian di bibir kemaluannya yang sudah geli karena tanpa bulu, “Ahhhaaaagghhh! Ahhaaggghh!”

Tubuh, bibir, pikiran, mulut, dan mata Shinta sudah tidak lagi bisa fokus dan bertahan menahan serangan. Tubuhnya menggelinjang indah dengan kaki masih terus terangkat.

“Hmmmhhh… Bian! Sudah Bian! Aku tak tahan lagi! Aku bisa… bisa…”

Lanjutkan terus. Lanjutkan. Jangan berhenti. Ayo lakukan! Setubuhi terus sampai hamil!

Bian terus saja menjilat bibir surgawi liang cinta Shinta. Gadis itu hanya bisa meronta tanpa hasil karena kuatnya kuncian di kaki. Kaki jenjang yang kini dibuka terbentang menantang langit-langit karena diangkat sangat tinggi.

Tangan Bian tak hanya diam begitu saja. Ia meraih ke atas, ke arah dada Shinta, dan meremas buah dada kanannya dengan sangat kencang sehingga Shinta menjerit kesakitan!

“Aaaaaaaaaaarrrrghhh!”

Tepat saat itu, Bian membentuk jari kanannya bagaikan pistol dan menusukkan jemari itu ke dalam liang cinta sang dara!

“Hgkkkkkkkkkkghhhh!” Shinta terbelalak, lalu ia merasakan rasa sakit yang luar biasa kala ada jari telunjuk dan jari tengah membelah liang cintanya, “Aaaahaaaaaaarrrghhhh!”

Bian menarik jarinya, lalu menusukkannya, lalu menariknya, menusukkannya lagi. Begitu terus berulang-ulang. Shinta melemparkan kepalanya ke kanan dan kiri karena kesakitan. Ia mencoba menjambak dan memukul Bian, tapi semua tanpa hasil. Remasan di dada dan tusukan di liang cintanya makin menggila.

Tenang saja, cantik. Awalnya memang sakit. Tapi lama kelamaan akan terasa enak. Percayalah. XD Tujuh, buktikan kepadanya. Ayolah.”

“Jangaaaaaan!! Hentikaaaaaaaaan!! Ampuuuuun! Ampuuuuun!!”

Bian terus menerus mempermainkan Shinta yang berteriak-teriak. Pemuda itu lantas melepaskan Shinta, dan melucuti pakaiannya sendiri sementara sang dara meringkuk ketakutan.

Bian memeluk Shinta dari samping, mencium pipinya, dan mencium telinganya.

Shinta terengah-engah, keringatnya deras mengalir. Matanya terbelalak karena ketakutan. Kemudian ia berteriak sangat kencang.

Seperti ada sesuatu yang masuk menembus liang cintanya dalam-dalam.





.::..::..::..::..::.





.:: SEKARANG
.:: DI SISI LAIN RUMAH YANG TERBAKAR






Debu-debu berterbangan, asap membumbung tinggi.

Apa yang tadinya sebuah rumah mewah nan megah, kini menjadi reruntuhan tua yang tengah terlalap api. Sisi sejarah dan kenangan bagi siapapun yang pernah tinggal di sana hanya akan tersisa dalam kenangan yang ada di kepala. Tidak lagi bisa mewujud dalam kenyataan seperti sedia kala. Apa yang tadinya dikagumi, kini menjadi sosok memory yang ditangisi.

Beberapa tetangga yang menyadari kebakaran di rumah mewah itu memanggil pemadam kebakaran. Unit gerak cepat pemadam kebakaran kota memang sudah datang, tapi tak ada satu pun anggota yang bisa masuk ke rumah karena gerbang pintu depan terkunci rapat dan dijaga ketat. Pasukan berpakaian serba hitam yang berjaga di depan tidak membiarkan satu orang pun masuk ke dalam. Pasukan itu memastikan bahwa kebakaran tidak akan menjalar kemana-mana dan hanya akan terjadi di rumah yang dengan sengaja tengah dihancurkan untuk dibangun kembali.

Jadi, apapun yang terjadi di rumah mewah yang sedang terbakar, terjadilah.

Tetangga hanya bisa pasrah menatap khawatir, sementara anggota pemadam kebakaran yang dihalau berusaha memanggil pihak yang berwajib.

“Bagaimana keadaan di luar? Gerbang aman?”

Sejauh ini semua terkendali. Tetangga dan pemadam kebakaran sudah datang tapi bisa kami halau untuk sementara waktu. Kami tak akan bisa menahan mereka terlalu lama. Pihak yang berwajib pasti akan segera datang untuk membuka gerbang dengan paksa.”

Joe Moxon mendengus saat berbicara ke sebuah perangkat HT yang ia pegang, “Bertahanlah dulu. Aku akan segera menyelesaikan urusan di sini dengan cepat sesuai perintah Ki Juru Martani.”

Mengerti. Tapi mungkin kami hanya akan bisa menahan mereka selama lima belas sampai dua puluh menit maksimal.”

“Sudah lebih dari cukup.”

Baiklah.”

Hubungan itu tertutup dan Mox kembali menyusuri lorong-lorong rumah yang sudah mulai teramat panas karena api terus melalap ke sudut demi sudut.

Ia tak melihat Hantu – salah satu penghalang utamanya malam ini.

Mungkin dia sedang bertempur di tempat lain. Mox ingin segera membawa pergi dan menculik keluarga om Janu. Merekalah target utamanya malam ini. Untuk bisa memancing kemunculan sang musuh, istri dan anak om Janu harus disandera. Perintah Ki Juru Martani sudah pasti.

Mox tidak ingin gagal menjalankan tugas pertama yang diberikan oleh pimpinan barunya. Ki Juru Martani harus dihujani dengan keberhasilan, bukan kegagalan.

Sementara Mox menyisir rumah yang terbakar untuk mencari keluarga om Janu dan tidak menemui siapapun, pertanyaan demi pertanyaan perlahan-lahan mulai menyusuri isi kepala dan batinnya, membuat Mox gelisah. Kenapa mereka tidak ada di sini? Bukankah tadi mereka kepayahan dan lemas di daerah sekitar sini? Apakah mereka berhasil lari? Ataukah ada yang menyelamatkan mereka? Siapa yang telah menyelamatkan mereka? Apakah kawanan si Hantu sudah berhasil mengamankan istri dan anak-anak om Janu?

Dasar brengsek.

Tugas yang diberikan oleh Ki Juru Martani kepadanya terancam gagal dan Mox sangat tidak menyukai hal itu. Dia perfeksionis, semua tugas harus berhasil ia jalankan atau namanya bukan Joe Moxon!

Mox terdiam. Ia berdiri mematung dan memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi. Sang Bule Gila itu mencoba memindai lantai demi lantai, tanah demi tanah, jengkal demi jengkal rumah ini. Dia berusaha mencoba mencari tahu ada siapa saja dan berada di mana saja mereka.

Mox membuka mata.

Ada yang aneh. Kenapa api seperti diam tak bergerak? Kenapa tidak ada angin berhembus? Kenapa waktu sepertinya berhenti berdetak? Interesting. Weird, but interesting. Sungguh sangat aneh tapi menarik.

Seperti ada fenomena alam yang aneh. Ada tenaga yang teramat besar. Ki yang melebihi kapasitas maksimal daya pikirnya.

Untuk pertamakalinya hari ini, wajahnya tidak menunjukkan tampang penuh tawa. Ia menggemeretakkan gigi, seolah-olah ada kejadian serius yang sangat membutuhkan kendali pikirannya.

Ia mendengus kesal karena tak mampu mengendalikan situasi. Selain perfectionist, Mox juga seorang control freak. Dia harus mampu mengendalikan situasi, kapan pun, di manapun. Kalau dia tidak bisa melakukannya, dia merasa impoten.

Saat ini dia merasa seperti itu. Sudah jelas dia harus fokus untuk mendapatkan jawaban dari semua rasa tak nyaman yang ia rasakan saat ini. Ada sesuatu yang aneh. Sesuatu benar-benar membutuhkan perhatiannya secara terpusat, begitu seriusnya sampai dia harus memusatkan Ki dan terus menerus berkonsentrasi.

Ia memicingkan mata untuk melihat ke balik asap yang membumbung tinggi ke angkasa malam. Angin berhembus lembut menerpa wajahnya, membawa debu, abu, dan percikan bunga api.

“Ini…” Mox berbisik perlahan. Ia tak berkedip menatap langit. Ada cahaya terang di sana.

Lalu terdengar suara yang membahana. Suara keras itu datang dari angkasa dan turun menyambar bumi dengan kecepatan tinggi. Bagaikan cambuk cahaya raksasa. Bagaikan ledakan petir yang menghantam tanah. Bagaikan komet yang meluncur dari atas langit turun ke bawah

Apa yang

Mox tak bisa berkata-kata. Ia mencoba mengeluarkan Ki pelindung. Meteor yang menyambar tanah itu mengeluarkan hempasan angin yang sangat kencang.

Bangsat! Bola api raksasa!? Meteor!? Seriusan ini meteor!?

Mox terbelalak dan melompat untuk menghindar. Ia yang tadinya berada di lantai dua, kini kembali turun ke lantai satu. Guncangan kencang terjadi.

BrakkakkaaakkBooooooooooooom!

Bola api raksasa datang menghajar sisi tembok dan membuatnya runtuh. Yang sudah rapuh kian luruh. Munculnya bola api raksasa itu membuat bara yang membakar bukannya padam, tapi malah makin menghebat.

Bumi bergetar saat bola api raksasa itu menumbuk bangunan yang sudah terbakar. Pilar dan tiang dinding roboh, getaran hebat yang ditimbulkan suara memekakkan itu membuat rumah yang sudah mulai hancur kian tambah lebur. Ceruk melingkar dengan kedalaman sekitar setengah meter dan diameter cukup lebar tercetak di halaman rumah.

Itu bukan petir, bukan komet, bukan meteor, dan jelas bukan sihir.

Mox tentu saja berhasil menghindar. Ia terbang menjauh ke belakang dan mendarat ringan di dataran yang aman, jauh dari ceruk yang tercipta. Sebagian dari rumah yang terbakar masih terus terlahap api yang kian menghebat. Bagian samping dari rumah mewah itu sudah tak ada lagi, hanya tertinggal kekosongan besar.

Sang Bule Gila berdiri dengan tegap menantang maut yang datang.

Pria tinggi besar itu mendengus, apa-apaan yang baru saja terjadi? Kenapa tiba-tiba saja ada bola api yang meluncur ke rumah ini? Ki Juru Martani tidak pernah mengatakan apa-apa tentang ini. Jelas ini bukan ulah iseng sang arsitek kehancuran itu.

Menggelikan.

Mox tidak percaya mistis dan sihir, dia percaya logika, dia tahu semua hal di dunia ini bisa dijelaskan dengan akal sehat. Tapi saat ini dia bertanya-tanya apakah hal yang baru saja terjadi bisa diselaraskan dengan logikanya. Sang Bule Gila berdiri dengan tegap dan bersiap untuk meninggalkan bagian sisi rumah Om Janu yang kini hancur berantakan dan sudah mulai termakan lidah api yang kian menghebat.

Sebaiknya segera meninggalkan tempat ini. Ada sesuatu yang tidak beres, atau setidaknya ada sesuatu yang sedang berlangsung dan dia tidak menyukainya karena tidak tahu apa yang terjadi.

Sesuai perintah Ki Juru Martani, keluarga om Janu harus segera diamankan.

Mox berbalik dan mulai melangkah pergi.

Swssssh.

Angin berhembus membuat bulu kuduk Mox berdiri. Tidak biasanya dia seperti ini.

Kaki sang bule pun terhenti setelah beberapa langkah berjalan. Keningnya berkerut. Ia berdehem sembari memasang senyum seringai dan membalikkan badan ke arah tempat yang tadi tersambar petir. Sang Bule Gila mendengus kesal saat merasakan ada Ki yang menyala di tengah lautan api yang sedang melalap rumah. Ia mengepalkan tangannya, membuat tinju yang siap dihantamkan pada siapapun di sana.

Seumur-umur berkeliling dunia, dia belum pernah menemui hal semacam ini. Tidak di Jepang, tidak di Hong Kong, tidak di Siberia, tidak di pedalaman Amazon. Tidak ada tenaga Ki yang seunik ini.

Mox bersiaga.

Dari tengah asap yang tebal kini terbaca hadirnya Ki dari satu sosok yang berjalan tanpa ragu di antara lautan api, berjalan menuju ke arahnya. Tenang, santai, dan tanpa mengkhawatirkan apapun.

Entah kenapa tubuh Mox bergetar, terutama saat ia mendengar suara aneh yang terasa jauh namun dekat darinya. Suara itu mirip raungan seekor binatang yang belum pernah ia dengar sebelumnya, tapi sangat ia kenali di lubuk hati.

Suara binatang mistis yang hanya terdengar oleh pungguna Ki sejati. Padahal dia tidak percaya hal mistis.

Bangsat!

Padahal ia sudah berkeliling dunia, mulai dari dataran Aborigin hingga sampai ke puncak pegunungan Tibet. Tapi baru kali ini dia mendengar suara raungan seperti ini. Suara raungan binatang yang sepertinya sudah lama sekali tak muncul di bumi. Terdengar dekat dan akrab, namun jauh pada saat yang bersamaan. Megah, anggun, sekaligus mengerikan. Bukan suara yang biasa-biasa saja.

“Cih! And when I thought I could finally rest. Di saat aku pikir aku bisa istirahat, muncul yang beginian. Maju kamu!!” pancing Mox.

Tidak ada balasan apapun dari sosok yang berada di tengah kungkungan api.

“Begitu ya? Kamu suka panas-panasan di situ? Dasar babi panggang. Ya sudah! Ayo kita bakar dunia ini. Tonight, we dine in hell.”

Mox menghapus darah dari bibirnya. Dengan Ki dan ilmu kanuragan yang dimilikinya dia bisa menganggap dirinya memiliki kemampuan yang sama dengan Hantu atau para petinggi kelompok besar sekalipun.

Dia merasa jumawa.

Tapi sejumawa apapun dia, dia sama sekali tidak bisa menebak kemampuan orang yang sedang mandi api, kemampuan orang di depannya ini terbaca bagaikan ritual magis oleh sang Bule Gila. Baginya, mungkin hanya ada satu orang yang kemungkinan mampu menguasai ilmu seperti ini - dan salah satunya sudah jelas adalah Bos Janu – sang pimpinan QZK.

Jadi ini Bos Janu!?

Rupa-rupanya dia telah datang! Dia pasti hendak balas dendam terhadap perlakuan kawanan Ki Juru Martani terhadap rumah dan keluarganya. Dia sepertinya tidak gentar dengan apa yang telah dilakukan oleh Mox dan kawanannya.

Mox tersenyum.

Bule itu pun menengok ke kanan dan kiri. Mencari siapapun untuk dimangsa. Dia ingin menunjukkan pada sang lawan bahwa kehadirannya di tempat ini tidak untuk main-main. Dia adalah sang Penakluk, tugasnya adalah menaklukkan, termasuk Bos Janu sekalipun harus ia taklukkan.

Beruntung – atau kurang beruntung, di samping Mox, beberapa langkah darinya, ada salah satu anggota pasukan penjaga yang ditugaskan Aliansi yang terengah-engah dalam keadaan payah, matanya terpejam dan kondisinya mengkhawatirkan sambil memegang dada yang terluka. Ia terkapar tanpa bisa bergerak dengan tubuh tak karuan dan tulang patah hingga menembus kulit, tinggal menunggu waktu baginya untuk mati kehabisan darah. Entah siapa yang tengah melukainya.

Mox menyeringai. Ia mendekat ke arah sang pesakitan, mengangkat kaki, menyelumutinya dengan Ki, dan menghantamkan kakinya ke bawah dengan kekuatan super, meremuk kepala orang itu.

Brgggggggggggghhhhh!

Ada hembusan angin yang sangat kencang yang terasa olehnya dan kakinya pun menemui tempat kosong.

Mox melihat ke bawah. Orang itu sudah lenyap.

Ia menengok ke samping.

Orang yang hendak ia bunuh telah diselamatkan dan duduk di di tempat yang aman. Sepuluh meter jaraknya, tepat di bawah sebuah pohon, jauh dari rumah.

Mox meradang dan menyeringai sembari melirik ke kanan dan kiri, mencari siapa yang telah menyelamatkan orang itu. Ia tidak lagi merasakan Ki orang di tengah api, tapi ia lalu merasakan ada Ki besar di balik selubung kabut asap tebal.

“Hahaha! Welcome to the party, Boss Janu!! Lebih baik kau tunjukkan diri dan jangan bersembunyi di balik asap seperti seorang coward! Aku tidak akan berbaik hati hanya gara-gara kita pernah berada di bawah satu panji! Bukankah kita sudah berjanji untuk minum topi miring bersama? Wekekekeke.”

Om Janu tidak menjawab Mox.

Suara Mox berubah, wajahnya berubah menjadi lebih serius, “Bos Janu, aku akan membuatmu menyesal dulu kau pernah…”

Ada suara lembut hampir seperti bisikan sampai ke telinga Mox, “Sayang sekali. Sepertinya kamu salah orang. Aku bukan Bos Janu.”

Mox terkejut. Bukan Bos Janu!? Apakah itu Hantu!?

Orang yang datang sudah bisa menebak pemikiran Mox, “Aku bukan om Janu dan juga bukan Hantu.”

Who are you? Kalau bukan semuanya, lantas siapa kamu?”

“Aku adalah pembalasan. Aku akan membalaskan dendam semua orang yang hari ini kamu sakiti. Pembalasan dari orang-orang yang lemah dan tak mampu melawanmu.”

Dari balik asap tebal, muncul aura Ki yang begitu hebatnya sampai-sampai bisa menyibakkan asap.

Sesosok pria melangkah dengan tenang dengan tangan masuk ke dalam kantong celana jeans yang dikenakan. Ia mengenakan kaus putih dan kemeja flanel kotak-kotak warna merah hitam yang tidak dikancingkan. Pria itu masih muda dan terlihat sangat tenang ketika menatap tajam Mox.

Tangan kanan menangkup punggung tangan kiri, menekuk dan menggemeretakkan jari-jemarinya. Lalu bergantian, tangan kiri di atas tangan kanan.

Mox menyeringai sembari menjilat bibirnya sendiri. Akhirnya dia mengenali siapa yang datang. Akhirnya dia mengetahui siapa orang yang tadi berjalan di antara api yang berkobar dan asap yang membumbung tinggi. Dia adalah seorang pemuda yang kini menatap tajam ke arahnya.

Bibir Mox bergetar saat menyebutkan nama pemuda itu, “Jalak Harnanto…”

Booooom!

Booooooooooom!


Belum lagi sosok sang pemuda benar-benar ia hadapi, di depan Mox muncul dua orang yang tiba-tiba saja turun dari langit, mendarat bagaikan meteor menghantam bumi. Dua orang yang bertubuh besar dan kekar yang sama-sama memiliki ilmu kanuragan mumpuni di atas muka bumi. Mereka berdua bagaikan bodyguard yang tak mengijinkan Mox mendekati sang pimpinan selangkahpun, mereka adalah dua benteng kembar yang tak tergoyahkan.

Mox mengenal mereka – atau setidaknya pernah mendengar siapa mereka. Keberadaan keduanya mulai melegenda sebagai duet maut hulubalang kembar yang akan selalu menyertai kehadiran sang Raja Naga. Di sisi kiri ada Rahu Kala, di sisi kanan ada Hageng sang T-Rex.

Mox menyeringai. Dia tidak menyangka mereka bertiga akan datang.

“Ha! This is getting fun! Let’s go baddies, ayo kita lanjut.

Nanto tersenyum. Ia menggemeretakkan jari jemari tangan kiri dengan telapak tangan yang saling menangkup. Pemuda itu terlihat percaya diri.

“Mari lanjutkan.”





BAGIAN 3 SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4




Notes:
Cerita ini dibagikan secara gratis di forum ini dan akan selalu gratis, tapi untuk mengetiknya dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, apalagi kondisi badan juga mulai sering sakit-sakitan. Mohon kesediaannya membantu menyambung nyawa di tanggal tua untuk sekedar nyawer alias mentraktir kopi dan kacang untuk teman mengetik, editing, dan bekerja. Mau traktir kopi angkringan boleh, kopi starling boleh, kopi starbucks apalagi. Wwkwkkw. Link transfer saweran bisa dicek di bawah. Terima kasih sebelumnya
.
 
Terakhir diubah:
Tenkyu atas update ceritanya, @killertomato . Peta pertarungan berubah dibanding volume sebelumnya, siapa lawan siapa. Kenapa Nanto ke rumah Janu?

Dan bukannya Kinan diselamatkan ama Jun? Kok ga dikembalikan ke Nanto?
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Balasan
9.293
Dilihat
2.026.685
Balasan
9.805
Dilihat
1.797.807
  • Locked
  • Poll
CERBUNG - TAMAT JALAK
Balasan
6.446
Dilihat
2.625.957
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd