BAGIAN 29
DEMI KITA
Sekuntum mawar akan menjadi kebunku. Seorang sahabat sejati akan menjadi duniaku.
- Leo Buscaglia
Mengapa begitu banyak orang memuji indahnya pagi? Karena pagi menandakan hadirnya harapan baru, terbitnya impian baru, lajunya kesempatan baru, tempaan destinasi baru, menapakkan kaki di pijakan yang baru, atau hanya sekedar melangkah di tempat tapi mewujudkan sesuatu yang baru. Mungkin saja kita tidak beranjak beringsut dari tempat kita semula berada, tapi ada perubahan dalam diri untuk menjadi seseorang yang baru. Semua bisa dimulai sejak mata terbuka kala pagi menjelang. Itu sebabnya pujian untuk pagi selalu terbilang.
Sang surya bahkan belum beranjak dari tempatnya menyelimuti diri dengan kelambu langit gelap gulita bertaburkan bintang gemintang yang membentang dari satu ujung langit ke ujung langit lain, tapi Nanto sudah mulai bangkit dari tidur malamnya. Ia sudah membuka mata dan menggeliat – merentangkan tangan ke kanan dan ke kiri, menikmati hari, menghirup udara pagi, membasahi jemari dengan embun pagi.
Dengan celana pendek, kaus oblong, sepatu sneaker rombeng kesayangan, dan earphone menempel di telinga, si bengal memulai olahraga paginya. Ia bangun lebih pagi hari ini akibat tersadarkan dan terekspos oleh apa yang bahkan ia sendiri tak menyadari – ia bahkan tidak tidur terlalu lama malam tadi... setelah pulang dengan dijemput dan diantarkan oleh Deka, Nanto balik ke rumah dan langsung ambruk ke pembaringan untuk beberapa jam.
Kejadian dengan Dinasti Baru bagaikan air dingin yang deras mengucur di kepalanya.
Bahwa dia masih belum cukup baik.
Kini ia sudah menggerakkan badan untuk berolahraga. Ya, Nanto harus kembali fit, kembali prima, kembali berada di status kemampuannya saat berada di desa.
Pindah ke kota melenakannya sesaat, jajaran gadis-gadis yang mengerubungi membuatnya lupa. Namun pertarungan semalam menyadarkannya bahwa stamina yang empot-empotan sama sekali tidak cocok untuk seorang tokoh utama.
Kaki-kaki kokoh Nanto menjejak bumi saat berlari, menelusuri jalan-jalan komplek perumahan, lalu menjelajah jalanan dusun di lingkar luar, naik turun tangga di ruang bebas, masuk ke taman, melewati ruang terbuka. Semua ia lakukan meski hari masih gelap dan lampu jalan masih lah menyala pendar. Hanya sendiri ia menguji diri.