Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK

Sekedar iseng nanya. Siapa cewek yang kira-kira paling tepat buat Nanto menurut suhu?

  • Asty. Pokoknya Asty. Ga ada yang laen. Asty, aku padamu.

    Votes: 104 32,1%
  • Hanna. Ni cewek kayaknya potensial. Bisa lah.

    Votes: 76 23,5%
  • Kinan. Udah paling bener sih. Single, adem, available kapan aja.

    Votes: 166 51,2%
  • Nuke. Ada bibit-bibit nih, siapa tau, ye kan.

    Votes: 15 4,6%
  • Ara. Karena CLBK, Cerita Lama Bikin Konak.

    Votes: 10 3,1%
  • Eva. Bad girl are the best. Yang nakal begini kadang gemesin.

    Votes: 8 2,5%
  • Rania. Biar sekalian ancur ceritanya. Huahahahaha.

    Votes: 6 1,9%
  • Dinda. Siap-siap diamuk Amar dan Deka.

    Votes: 4 1,2%
  • Nggak semua. Ada pilihan lain nggak? Cari yang baru lah.

    Votes: 29 9,0%

  • Total voters
    324
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 16
SATU HATI






Persahabatan adalah satu-satunya pengikat yang akan menyatukan dunia.
- Woodrow T. Wilson




Matahari bersinar teramat terang, panas bagai arang menyala dan menantang, debu lari berkejaran terbang, jalanan meranggas dengan gersang. Di depan pertokoan Casaguava yang lengang, bukannya senyap terbias panas justru tersaji medan perang.

Bian menatap angkasa. Kulitnya yang sudah kecoklatan terasa semakin terbakar, codetnya yang memanjang di pipi kiri bagaikan terukir ulang, wajahnya sembab dan bengkak, darah mengucur dari bibir dan hidungnya, lengannya biru-biru, kakinya kaku bagai tak dapat digerakkan. Napas yang sudah kembang kempis dan keringat mengucur deras membuat hari makin terasa tak karuan. Mungkin begini rasanya jadi dendeng panggang.

Pemuda itu mendengus – antara menghempas kesal sekaligus mengeluarkan ingus yang bercampur darah.

Bangsat! Dia sudah benar-benar kepayahan.

Bian terkapar tak berdaya di halaman parkir dekat kompleks pertokoan Casaguava. Kebetulan ruko-ruko di tempat itu masih sepi dan belum disewa, sehingga tidak banyak yang menyaksikannya babak belur.

Pemuda itupun berusaha bangkit, perlahan-lahan.

Jingan!

Sakit sekali rasanya sekujur badan, susah sekali berdiri, duduk pun hanya dapat dilakukannya setelah berusaha dengan susah payah. Dia butuh waktu lebih lama untuk bisa memulihkan diri kalau begini caranya.

Tapi ia masih sempat terkekeh saat duduk sambil menahan sakit. Cuh! Bian membuang ludah dan menghapus darah yang menetes dari bibirnya yang pecah dengan punggung tangan. Memandang sekitar, ia masih bisa tertawa. Mampus kalian semua! Cari gara-gara saja!

Di sekeliling si rambut mohawk, bergeletakan para anggota geng PSG yang juga sudah tak berdaya. Habis mereka dihajar Bian. Meski sudah beramai-ramai, rupanya mereka tak berhasil menaklukkan sang petinggi Patnem itu. Kepalan tangan Bian memang ga ada lawan.

Jingan! Siapa yang menyuruh mereka menyerangnya? Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa dia tiba-tiba dikeroyok zombie-zombie PSG begini? Bian merogoh ke kantong celananya dengan lengan yang linu. Bangsat! Mau ambil hape aja nyut-nyutan! Munyuuuuuuuuk!

Bian makin mengumpat dalam hati ketika tahu layar ponselnya retak. Pasti gara-gara berulangkali kena tendang waktu bertarung tadi. Dia mencoba membuka lockscreen yang dikunci menggunakan pattern. Ah masih bisa. Bian membuka grup WhatsApp geng Patnem dan matanya terbelalak karena sudah ribut sekali permintaan minta tolong dari segala penjuru. Satu persatu anggota papan atas dan petinggi Patnem sedang diburu PSG!! Apa-apaan ini!!? Memangnya ada kejadian apa?

Terdengar suara motor berderu.

Bian memicingkan mata melihat ke arah jauh, beberapa orang dengan rambut pelangi datang dengan motor mereka. Wassu! Nambah meneh!? Tambah lagi rombongan sirkus kampret ini?! Dari neraka mana sih mereka? Tubuhnya sudah terlalu payah, secara logika dia tidak akan dapat melawan mereka dalam hand to hand combat, bisa mati kalau begini caranya. Siapa yang dapat ia mintai tolong? Tidak mungkin orang-orang Patnem, mereka juga sedang berhadapan dengan masalah mereka sendiri.

Hanya satu orang yang ia tahu bisa menolongnya. Bian buru-buru mengetik pesan di WhatsApp untuk seseorang sebelum orang-orang PSG datang dan menghajarnya.

Casaguava. Kode Bravo.

Hanya pada Roy – saudara kembarnya, dia bisa berharap.

Dengan susah payah Bian berdiri, menatap beberapa orang yang datang dengan wajah garang yang semakin geram melihat rekan-rekan mereka bergeletakan.

Pemuda berambut mohawk itu melihat satu persatu anggota PSG yang datang dan langsung mengepung. Si rambut mohawk pun terkekeh. “Ada pesan terakhir buat mak kalian?”

Sautan berikutnya hanyalah teriakan dan gemuruh kemarahan.





.::..::..::..::.





Lapangan basket di samping UTD memang sangat pas dijadikan gelanggang tarung. Tidak jauh dari jalan raya, tapi juga memiliki lapangan kedua yang tersembunyi dari pandangan publik, lahannya luas, dan dikitari oleh pepohonan rindang yang bisa digunakan sebagai tempat berteduh. Lapangan ini sebenarnya digunakan sebagai lapangan cadangan oleh pihak kampus dan dibuka untuk fasilitas olahraga masyarakat di sekitar UTD. Namun karena jalan ke lokasinya masih belum seluruhnya diaspal dan sering becek atau berdebu maka jarang digunakan secara resmi, alhasil tempat ini bagai lokasi tak bertuan yang sering digunakan sebagai lokasi tarung gladiator para jagoan kampus.

Selain tarung gladiator, ajang lain yang juga sering diselenggarakan di tempat ini adalah Tarung Para Wakil yang menjadi ajang penentuan nasib sebuah kelompok. Saat ini ajang tersebut diselenggarakan antara Sonoz dari Unzakha dan DoP dari UAL.

Kedua pihak yang berseteru menempati posisi di sisi kanan dan kiri lapangan, masing-masing bersorak-sorai saling memberikan semangat pada wakilnya, tak lupa juga menghina lawan untuk mengendurkan nyali. Keduanya membawa massa yang besar, menabuh genderang, dan bahkan meniup terompet bak menonton acara sepakbola atau bulutangkis. Yel-yel terdengar dari sisi kanan dan kiri lapangan.

“Sekali DoP Beraksi, 10 Sonoz dihabisi. Tebas kepala Sonoz, jadikan pupuk kompos.”

“Sonoz yang terhebat, semua bakal dibabat! 10 orang de-o-pe, digiling jadi tempe!”

Tabuhan genderang bak musik yang mengiringi teriakan dan semangat kedua kubu.

Ableh Ndaho sang pimpinan Talatawon hadir sebagai wasit dari UTD. Ia segera mempertemukan kedua pimpinan, Rao dan Simon. “Siapa yang akan kalian jadikan wakil di tiga pertarungan? Sudah ada kesepakatan dengan anggota kelompok?”

Simon mengangguk, Rao juga.

“Aku mengajukan Roni di pertandingan pertama, Abi di pertandingan kedua, dan aku sendiri di pertandingan ketiga.” Kata Simon dengan yakin, dia sudah tahu siapa yang akan turun sejak sampai di tempat ini. “Kita akan bersenang-senang di ajang ini, Rao.”

“Baahahhaaha... santuuuuuuy, Dab. Aku mengajukan...” Rao melirik ke arah kelompok para kapten dan jendralnya. Ia melihat tangan dua orang terangkat, ia juga melihat kedua jenderalnya menganggukkan kepala. “Aku mengajukan Remon di tarung pertama, Don Bravo di tarung kedua, dan tentunya aku ingin sparring dengan Simon di pertandingan ketiga. Hahahaa...”

“Silahkan bersalaman jika sudah deal.” Kata Ableh kemudian.

Simon mengajukan tangan yang disambut oleh jabat tangan erat oleh Rao. “May the best team win, Rao.”

Rao hanya menjawab dengan seringai bak serigala, dia berbalik arah dan kembali ke rombongan DoP dengan santainya.

Pertarungan yang mengumpulkan massa dua kubu yang berseteru seperti ini tentu saja bakal jadi kisruh luar biasa kalau penyelenggara tidak siap, Talatawon yang menjadi tuan rumah adalah sebuah tim besar yang sangat handal menangani Tarung Antar Wakil dan Tarung Gladiator. Mereka memiliki anggota-anggota tangguh yang setelah lulus dari UTD pun biasanya langsung direkrut menjadi anggota geng legendaris QZK yang berjaya di wilayah utara kota. Saat ini Talatawon menjaga semua pintu keluar, pintu menuju kampus, dan bergerombol tersebar di beberapa titik untuk mengantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Singkatnya kisruh boleh, tapi lakukan di luar UTD dan jangan menyentuh satu pun anggota Talatawon.

Oppa menggelengkan kepala ke arah Rikson yang berdiri di sebelahnya, dia menyatakan ketidaksetujuannya dengan keputusan Rao dan para jendral mengenai pemilihan wakil. “kenapa Remon dan Don Bravo yang turun? Kenapa bukan kalian berdua?”

Rikson tersenyum, giginya yang parkir tidak beraturan tidak indah diceritakan. “bayangkan jika Tarung Para Wakil ini bubar dan terjadi tawur massal yang bikin porak poranda. Siapa di antara kita yang akan dapat mengatasi kekuatan jenderal-jenderal Sonoz yang masih berdiri tegap sekaligus memimpin anak-anak supaya terarah dan jangan sampai kocar-kacir?”

“Begitu ya.”

“Rao mempertimbangkan hal-hal sampai ke detail. Itu pula pasti yang dipikirkan oleh Simon. Lihat saja yang turun dari kelompok mereka. Roni adalah korlap muda berbakat dan Abi adalah anjing Simon yang paling setia. Tapi keduanya bukan yang terhebat dari Sonoz. Jadi Simon memilih keduanya turun juga untuk mengantisipasi hal-hal buruk terjadi.”

Oppa mengangguk. Sesaat kemudian ia kembali melirik Rikson, “lalu kenapa Remon dan Don dari kami berempat?”

“Nanti akan aku ceritakan.”

Rikson meletakkan telunjuknya di mulut dan menunjuk ke arah arena. Remon sudah turun ke tengah lapangan dan berhadapan dengan Roni si rambut gondrong warna hijau yang mengenakan bandana. Massa berteriak-teriak menggila.

Tarung Para Wakil, dimulai.





.::..::..::..::.





Bian terkekeh. Sudah. Habis sudah.

Dengan badan tidak karuan dan napas tersengal-sengal, si rambut mohawk tergeletak tanpa daya di hadapan tujuh orang pemuda PSG yang berangasan. Mereka baru saja menghajarnya hingga tak mampu menggerakkan badan. Kedatangan gelombang kedua pasukan PSG memang tak bisa dihadangnya. Pemuda itu sudah terlalu kewalahan. Ia memejamkan mata. Kalau memang harus mati sekarang ya sudahlah. Bisa apa dia?

Cuh.

Ludah salah seorang anggota PSG mampir ke wajah Bian. Blekok! Badak! Sapi! Kalau saja dia bisa berdiri! Huff... hehehe... mengangkat badan saja sudah terlalu berat. Begini banget ya rasanya jadi pesakitan?

“Ternyata hanya begini saja kemampuan petinggi Patnem? Kalau bisanya cuma begini doang ga usah sok-sokan klitih lah.” Kata salah seorang anggota PSG yang kumisnya kayak Chaplin. Dia mengambil ponsel dan memencet nomor. Cukup lama sebelum terdengar suara terima. Si kumis Chaplin bicara pelan, “Bang Gunar? Target B sudah kena. Mau dibawa kemana?”

Orang itu mendengarkan perintah sang komandan. Dia mengayunkan tangan dan menunjuk dua orang, lalu membuat kode dengan jarinya supaya kedua orang itu mengangkat tubuh Bian.“Baik, Bang, Siap laksanakan. Siap... siap...”

Dua orang anggota PSG langsung menuruti komando dari si kumis Chaplin. Satu di kanan, satu di kiri, masing-masing memanggul lengan Bian yang meringis kesakitan berulang saat tubuhnya diangkat paksa.

Telpon diututup.

“Gimana Bang?” tanya salah satu dari pengangkat Bian.

“Kita bawa dia ke Mabes. Bang Gunar mau interogasi mereka dulu sebelum habisin Patnem sampai tuntas. Mungkin mau cari tahu siapa saja orang-orang yang sudah sok-sokan klitih tempo hari. Sudah tahu anggotanya dikit, cuma lulusan anak SMA, gabung kesana-sini demi cari massa, eh kok gegayaan pake acara ngerampok orang segala macem. Belum pernah dicipok bogemnya Bang Gunar sih. Kocar-kacir kan kalian sekarang? Udah! Bawa dia!”

Kedua pengangkat tubuh Bian pun mengangguk. Mereka berjalan sambil tertatih-tatih menuju motor karena harus membawa Bian. Si rambut mohawk itu sendiri sudah tidak berdaya dan hanya menurut saja ketika digelandang menuju motor.

“Gara-gara salah target klitih, sekarang kelompok kalian dihancurkan Bang Gunar sampai ludes tak tersisa. Makanya jangan aneh-aneh. Mampus kan sekarang?” ledek sang pemanggul lengan yang di samping kiri.

Bian gusar, apaan sih dari tadi ngomongin salah target klitih melulu? Jambret kan maksudnya? Ngerampok orang? Setahu dia Patnem tidak pernah melakukan hal seperti itu! Mereka memang geng motor, tapi hanya mengumpulkan uang dari jaga parkir dan toilet di sekitaran tempat wisata dan gerbang masuk Kalipenyu, itupun hasilnya sebagian sering mereka sumbangkan ke Panti Asuhan sebagai wujud toleransi karena sebagian dari mereka berasal dari sana.

Justru Patnem-lah yang sering menghentikan aksi klitih dari geng-geng motor kecil lain di seputaran Kalipenyu. Jangan-jangan ini semua diakibatkan oleh kesalahpahaman saja? Patnem dihabisi sampai rata dengan tanah gara-gara salah paham?

Bangsat! Mungkinkah ada yang keji memfitnah Patnem?

Siapa?





.::..::..::..::.





Roni dan Remon berhadapan. Dua wakil dari Sonoz dan DoP. Yang satu kapten paling disegani di DoP, yang satu lagi harapan baru paling cerah dari Sonoz. Saling tatap dengan tajam, saling mengukur kekuatan, saling mengincar sasaran di tubuh lawan. Jarak yang hanya sekitar dua setengah meter menjadi satu-satunya rentang yang memisahkan keduanya.

“Jadi kamu orangnya? Begundal bangsat yang gebukin Jo tempo hari?” Kata Remon sambil menatap tajam ke arah Roni. “Kalian menghajar Jo seperti gebukin tikus di tengah jalan. Pabu sacilad.”

Si gondrong berambut hijau itu menatap balik ke arah Remon. “Ya itu aku. Masalah buat kamu?”

Mantep tenan gayamu, Nyuk. Jo itu anak buahku. Siapapun yang menyakiti dia, berarti cari mati melawanku.”

Roni hanya mencibir dan mengangkat bahu. “Tidak ada masalah. Ayo wae.”

“Aku bakal menguburmu hari ini, cah. Kasihan ibumu sudah membesarkan begundal tae kocheng macam kamu. Diharapkan jadi tukang insinyur, malah mung dadi kopet panganan lele.”

Swooosh!

Rasah kakehan lambe, su.”

Dengan sekali lompat Roni sudah berada di depan Remon, ia mengirimkan pukulan straight kencang yang dengan mudah dihindari oleh Remon yang sudah sangat berpengalaman. Roni terkejut karena dia gagal memberikan element of surprise ke Remon, kapten DoP itu pun tersenyum jumawa karena dia sudah menyiapkan hook kanan sejak awal.

Bletaaaakggghhhh!

Tanpa sempat melindungi diri, wajah Roni menerima hook langsung dari Remon. Tubuhnya terhempas ke belakang. Ia masih sanggup berdiri, tapi limbung. Bangsat. Roni menyapu bagian sakit dari pipinya yang tadi terkena pukulan. Tidak cuma banyak bacot, Remon ternyata juga punya kemampuan yang tidak main-ma...

Brgh.

Mata Roni terbelalak, tiba-tiba saja kakinya terjatuh sebelah tanpa bisa ia kendalikan, ia luruh sampai bertongkat lutut karena reflek. I-inikah efek dari kencangnya hantaman Remon tadi? Bangsaaat!

Pendukung DoP berteriak-teriak menggila, lolongan serigala bergema.

Remon melangkah pelan ke arah Roni, ia berkacak pinggang, mengangkat kepalan, mengeluarkan ibu jari dan membalikkan jempol itu ke bawah. “Cuma segitu aja? Blas ra mantep! BANGUN!!!”

“Ghhhhkk!” wajah penuh rasa benci dari Roni muncul mengerikan, si gondrong hijau itu mulai berkeringat. Remon ya? Orang ini rupanya tidak hanya banyak bacot, tapi juga menyimpan senjata mematikan di kepalannya. Pantas saja kepalanya besar melembung kayak balon.

Surya dan Bondan yang menjadi anak buah Remon berteriak kencang dengan bangganya. Bondan tersenyum lebar dan berulangkali menganggukkan kepala, “beda kelas! Beda level! Beda semuanya!”

Remon tersenyum lebar.

Bghhhhhkkk!!

Dengan kecepatan yang luar biasa, Roni menubruk Remon di bagian perutnya. Kakinya dengan kencang melaju ke depan. Lutut siap dihantamkan ke kemaluan sang lawan.

Tapi itu angan-angan saja. Remon sudah terlebih dahulu mengirimkan lututnya ke perut Roni.

Bghhhhhkkk!!

“Gaaaaaahhhhh!” Roni terhenyak saat perutnya bagai disepak mesin bor hingga berlubang saking kerasnya lutut sang lawan.

Bletaaaghhhhhkkk!!

Tidak itu saja! Remon kembali melakukan serangan dengan menghantam bagian belakang kepala Roni sekuat tenaga! Korlap Sonoz itu pun luruh ke bawah, tubuhnya terkulai.

Tapi dia tidak jatuh. Tangannya kencang menapak tanah dan menggunakannya sebagai tumpuan bak pegas untuk kembali berdiri. Remon terkejut, tapi tidak sempat bereaksi. Dalam sepersekian detik, tangan Roni yang digunakan untuk melindungi kepala dilemparkan ke atas dengan gaya backhand.

Bghhhhhkkk!!

Remon terlempar ke belakang dan jatuh ke tanah dengan rahang bawah meradang dan bibir pecah berdarah.

Massa DoP seketika senyap, bahkan orang-orang Sonoz pun terheran-heran dalam diam, sebelum akhirnya mereka menggila dan berteriak-teriak semangat karena Roni membalikkan keadaan.

Roni berjalan mendekat, Remon yang tadinya terjatuh langsung merubah posisi, ia meringkuk duduk bertongkat lutut dengan tangan menyilang melindungi kepala. Roni menatap kapten DoP itu dengan mata nyalang.

Roni mencibir, ia menjulurkan kepalan ke depan, mengeluarkan jempol dan membaliknya ke bawah. “Masa cuma segitu saja? BANGUUUN!!!”

Remon terkekeh sambil menyapu darah di bibirnya, “hehehehe... jauh lebih lumayan dari tadi. Ini baru mantep.”

Roni berlari ke depan dengan kecepatan tinggi, ia mengayunkan kakinya sekuat tenaga.

Remon berusaha melindungi kepala, namun sepertinya itu tidak cukup kuat untuk menghadang sepakan dari Roni. Tendangannya meluncur deras menembus blokade lengan Remon dan menghajar kepala sang kapten DoP.

Kraaakkghh!! Bkkkghhkkkkkk!!

Kepala Remon bagai copot dari lehernya saat pelipisnya tersambar. Kepalanya terhempas ke samping dengan suara yang mengerikan dan jatuh berdebam ke dataran dengan tubuh terkulai lemas. Bibirnya mengeluarkan darah yang mengucur bercampur air liur yang makin tak terkendali.

Kembali Roni maju ke depan untuk menyepak kepala Remon.

Tiba-tiba terdengar teriakan.

“RONI!”

Roni terhenyak dan tersadar dari nafsu membunuhnya yang buas. Hanya satu orang yang sanggup membuatnya kembali ke dunia nyata dengan satu teriakan. Ia menatap ke arah Simon yang baru saja memanggilnya. Komandan tertinggi Sonoz itu menggelengkan kepala sambil tersenyum.

Roni melirik ke bawah dan melihat Remon sudah tak berdaya.

Si rambut hijau mengangguk pada Simon dan akhirnya melemaskan badan.

Ableh Ndaho menghitung dari satu sampai sepuluh. Tak ada gerakan apapun dari Remon.

Roni menengadah sembari memejamkan mata, menikmati sinar mentari, dia menang.

Surya dan Bondan yang menatap kejadian itu bergetar hebat tak percaya. Remon sang kapten mereka yang berangasan... dikalahkan begitu saja oleh pemuda menyeramkan itu. Tangan mereka terkepal dengan gemas, tapi tentu saja mereka hanya bisa menahan diri.

Roni mengangkat kepalan ke langit yang langsung disambut teriakan membahana kelompok Sonoz. Kemenangan pertama, mereka dapatkan dengan mudah! Siapa sangka kapten DoP selembek ini?

Roni langsung diangkat di pundak salah satu cecunguk Sonoz dan mereka berteriak-teriak gembira. Satu kemenangan! Satu modal sudah di tangan! Roni memang salah satu golden boy paling cemerlang di generasi ini dan kemenangannya atas Remon seakan menahbiskan dirinya sebagai andalan Sonoz!

Simon mengangkat jempol seakan bangga dengan kemampuan Roni, ia melirik ke arah Rao yang ternyata masih tetap tertawa-tawa sembari memainkan hape, seakan tidak peduli dengan kekalahan Remon.

Apakah dia sadar dengan posisi DoP saat ini? Sekali lagi DoP kalah, maka mereka berdua tidak akan bertarung karena Sonoz sudah langsung menang dengan kedudukan dua kosong.

Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Rao? Batin Simon dalam hatinya.

Apa yang akan kamu lakukan jika DoP langsung kalah?





.::..::..::..::.





Bian digelandang menuju motor oleh dua orang cecunguk PSG. Rencananya sih simpel saja.

Satu orang duduk di depan menjadi joki yang akan mengendarai motor menuju markas besar PSG, Bian diletakkan di tengah dengan tangan ditelikung ke belakang, dan satu orang lagi tentunya yang mengunci tangan Bian akan duduk di belakang. Begitu saja. Simpel kan rencananya? Tapi belum sampai ketiganya naik ke motor untuk menjalankan rencana simpel itu, terdengar teriakan kencang yang menghentikan mereka.

“Lepaaaaaaaaaaaasss!”

Bletaaaaaakkkgh!

Si Joki yang seharusnya duduk di depan tersungkur dengan wajah bengap! Panas terasa di rahang hadir dari sebuah pukulan kencang. Ia berguling-guling karena kesakitan.

Bkggghh!!

Pria yang seharusnya duduk di belakang tersungkur setelah disambar lengan yang sangat besar! Tidak ada kata dan teriakan sempat terucap karena tubuhnya kemudian melayang akibat tendangan keras ke dada.

Bian jatuh tersungkur setelah dua pemanggulnya disingkirkan. Beberapa bayangan datang melindunginya. Kaget, si rambut mohawk pun mencoba menatap sosok-sosok yang datang membantu. Satu... dua... tiga...

Tiga orang?

Heh? Ini mereka? Mereka benar-benar datang?

Ya! Mereka benar sudah datang!

Andai saja mampu, dia akan berteriak hore. Hore.

Hageng, Deka, dan Roy sudah hadir melindungi Bian. Ketiganya membantu si rambut mohawk berdiri.

Kumis Chaplin menatap ketiga orang yang baru datang. Siapa lagi mereka ini? Orang-orang Patnem-kah? Kalau iya, berarti mereka harus dihajar sampai jadi debu. Ia bertepuk tangan dua kali untuk mendapatkan perhatian seluruh anggota PSG yang ada di sana. Setelah semuanya tegak berdiri, ia mengayunkan dua telunjuknya ke depan ke arah empat sahabat.

“Serang.” Ucapnya pelan.

Para anggota PSG mengaum kencang. Bagai kuda pacuan selepas bendera start digoyang, semuanya berderap maju dengan ganas. Masing-masing menetapkan target dari empat sasaran.

Hageng, Deka, dan Roy berteriak bersamaan. Peduli setan jika pukulan datang menghantam, peduli setan jika mereka jatuh berdebam, peduli setan jika sakit meradang. Siapapun yang menyakiti Bian harus dihajar sampai tuntas. Rawe rawe rantas!

Bahkan Bian yang berdiri sempoyongan masih tidak mau menyerah, demi apa dia mau mengaku kalah? Selama hayat masih dikandung badan! Malang-malang putung!

“Hrmph!”

Bian mendengus kencang, mengeluarkan darah kental dari hidung. Masih. Ia masih sanggup kok! Kalau perlu sampai mati juga ia layani! Mengikuti gerak ketiga kawannya yang maju menerjang lawan, Bian berjalan maju meski dengan kaki yang sudah tidak lagi bisa seimbang.

Jbooogkkkhh!

Satu pukulan masuk ke rahang Bian. Hampir saja kesadarannya terenggut dari jiwa. Babi guling, babun buntel, badak bodol! Setan alaaaaas!!! Tangan kanan Bian maju dengan cepat untuk menangkap pergelangan tangan sang lawan yang terkejut karena ia dikunci oleh si rambut mohawk!

Hook kiri Bian melesat dengan kencang, dilepaskan sekuat tenaga.

Modyaaarooooo, kopeeeeeettt!!!”

Bledaaaaaaaghhhkkkk!!

Lawan Bian tak punya kesempatan, kepalanya dihantam sekuat tenaga. Ia terjerembab ke bawah dengan kepala membentur paving block. Matanya terpejam dan ia pusing bukan kepalang. Saat membuka mata ia melihat tapak sepatu besar menghampiri wajahnya.

Bdaaaghhh!

Lawan tak lagi bergerak, Bian pun berlalu. Huff... Huff... Bian kembang kempis mengatur napas, ia berjalan sempoyongan ke depan. Satu sudah kena, mana lagi badak buntung yang mau coba-coba? Tidak peduli seperti apa kondisi badannya saat ini, pokoknya maju terus!

Roy tersenyum melihat saudara kembarnya ternyata masih menyimpan asa. Si rambut coklat pun mengangkat kakinya sebelah sampai dada dengan ringan, lalu merentangkannya ke arah tiga lawan yang mendekati Roy. “Ayo maju gaes. Ambil kamera kalau perlu. Yang berikut ini lumayan kalau mau diviralkan.”

Setaaaaaaaaan! Ngece buangeeeet wong siji iki! Menghina banget orang satu ini!

Dua orang maju bersamaan, dua orang itu pula yang langsung tersambar kecepatan kaki Roy yang tak terlihat. Mereka jatuh dengan pelipis berdenyut dan memar. Ka-kakinya cepat sekali! Gerakannya tidak terlihat! Hanya seperti bayangan kabur yang keras bagaikan lumpang besi.

Beberapa kawanan lain pun mulai ragu-ragu untuk maju ke arah Roy. Takut tersambar.

Tapi alih-alih berhadapan dengan Roy, sambaran lengan bak monster justru menyambangi leher dan dada mereka dari samping dengan teramat cepat dan kuat.

Bgghkkkkk! Bgghkkkkk! Bgghkkkkk!

Tiga orang langsung terkapar dengan serangan clothesline dari Hageng! Si raksasa itu berhenti mendadak seperti mobil ngesot setelah menyambar. “Bahahahahaha! Majuuuuuuuu! Ziapa lagi? Majuuuu!?”

SI kumis Chaplin geram. “Zeraaaang! Eh... Seraaaaang!” Kampret! Kenapa jadi latah! Anak buahnya yang tadinya siap-siap menyerang akhirnya malah berhenti dan tertawa cekikikan dulu.

Hageng, Deka dan Roy bersiap untuk maju, tapi tangan Bian menghentikan mereka sesaat. “Hageng, Deka, kalian harus tag-team berdua buat nanganin si kumis Jojon itu. Dia licin banget kayak sabun coli. Kalau cuma ngurusin kroco aku dan Roy masih mampu.”

Ketiga sahabat saling berpandangan. Yakin nih? Dengan kondisi begitu Bian masih bisa?

Roy mengangguk, “hajar dia gaes, liat mukanya aja udah sepet. Kumis kotak sama sisinya bikin geli. Yang lain biar aku sama si bego ini yang habisin. Bian nyawanya sembilan, kayak kocheng oren.”

Hageng dan Deka saling berpandangan dan mengangguk. Keempatnya pun mengambil posisi dan sasaran masing-masing.





.::..::..::..::.





Don Bravo Dededaka bukanlah orang yang suka berlama-lama dan bertele-tele. Kalau memang tugasnya adalah menggebuk orang, maka dia akan melakukannya sesegera mungkin dan secepat-cepatnya. Salah satu keunggulan Don Bravo? Dia hampir tidak pernah gagal menunaikan tugas. Demikian juga Abi sang korlap Sonoz yang dipercaya oleh Simon untuk melawan Don Bravo, dia ingin tugasnya kali ini dituntaskan secepatnya – tentunya dengan meraih kemenangan.

“Aku di sini hadir untuk menuntaskan masalah.” Kata Abi, ia menatap Don dengan tatapan nyalang, ingin segera menghabisi, sekarang juga, saat ini juga. “Jadi ayo cepat maju dan kita selesaikan ini semua tanpa perlu basa basi. Aku akan mengalahkanmu supaya Sonoz langsung menang dua kosong.”

“Hahahahahaha. Ya... ya... mimpi ya... hahaha.” Don Bravo tertawa tanpa banyak ambil peduli. Dia sibuk memakan bengkuang segar yang baru saja ia beli dari tukang rujak di depan UTD. Mulutnya terus saja mengunyah seakan-akan dia tidak peduli siapa yang saat ini sedang berhadapan dengannya.

Si rambut jigrak Don Bravo Dededaka bukanlah orang yang suka berlama-lama dan bertele-tele, kecuali kalau ketemu bengkuang, apalagi yang sesegar ini. Bengkuang dicocolin ke bumbu pedes campur garem jan wes koyo makanan yang dihidangkan langsung oleh chef Renatta.

Oppa menggeleng kepala berulang dan menarik napas panjang melihat rekan sesama kapten-nya malah makan bengkuang di tengah arena. “Si bodoh itu... cih!”

“Santai saja, Oppa.” Kata Rikson yang berdiri di samping Oppa, selain Rikson, Kori juga ada di sana. “Tadi kami memilih Remon untuk maju karena kami mencurigai dia bekerja sama dengan orang-orang Sonoz.”

Oppa memalingkan kepala untuk menatap sang jenderal kepercayaan Rao. Ia meneguk ludah mendengar kalimat yang diucapkan Rikson. “Mencurigai Remon?”

“Rao mendapatkan info kalau di jajaran kapten DoP ada pengkhianat. Info ini info legit dari mata-mata yang ada di Sonoz – info yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hoax. Hehehe. Bukan Sonoz saja yang punya telik sandi. Rao memerintahkan aku dan Kori untuk mencari siapa bajingan itu dan orang yang menempati urutan pertama kecurigaan kami adalah Remon. Bisa kita lihat dari aksinya: tindakan gegabah memicu perang dengan melakukan tindakan vandalisme ke Sonoz – yang jelas tanpa ada perintah langsung dari Rao, dan tadi kita lihat dia kalah terlalu mudah saat melawan Roni.”

Oppa kembali menatap arena. “Jadi, Remon...?”

“Oh satu lagi.”

“Apa itu?”

“Dengan berbincang begini bukan berarti kami tidak mencurigaimu, Oppa. Kami memantaumu. Kami memantau kalian berempat.”

Oppa mendengus. “Jiwa ragaku untuk DoP.”

Rikson hanya tersenyum. “Kita lihat saja nanti. Sekarang fokus kita ke laga ini.”

Di tengah arena, Abi mulai tidak sabar dan berlari maju menyerang Don. Tubuhnya yang pendek dan gempal membuat Abi sering dijuluki Abi Bogel, namun itu tidak berarti tinjunya tidak berbahaya dan gerakannya tidak lincah. Gebrakan berbahayanya yang teramat cepat membuat Don yang bermalasan harus membayar mahal.

Pukulannya masuk dengan telak ke rahang Don Bravo, melemparkan tubuh sang kapten ke kiri. Don terjerembab ke tanah tanpa bisa mengelak. Bungkus bengkuangnya terlempar dan mulutnya yang tadi mengunyah berhamburan berantakan.

Aku ki lagi mangaaaaan e, suuuuu! Rujaaaaak bengkuaaaangkuuu!!! Wassuuuuu!!”

Don berdiri dengan wajah penuh amarah, jika ada satu hal yang membuatnya muntab, hal itu adalah ada orang yang mengganggunya saat makan bengkuang.

Rao terkekeh melihat Don Bravo berang, ia melirik ke arah Simon. Nah... nah... kalian sendiri yang meminta kami melepaskan anjing gila.

Don Bravo bangkit dengan satu lompatan salto ke depan. Tidak nampak sakit di wajahnya, raut wajahnya berubah serius. Ada bekas-bekas bengkuang di sekitar mulut. Melihat lawannya bangkit, Abi tidak lama-lama berdiri, ia mencoba menyerang sekali lagi. Si bogel berseru kencang sembari berlari.

Don Bravo sudah bersiap, ia melakukan tendangan berputar pendek untuk menyerang kepala Abi. Tapi Abi juga tidak bodoh, ia menunduk ke bawah dan bagaikan menggunakan roller skate, ia meluncur deras sejajar paha Don. Kaki Abi lantas sekuat tenaga dikaitkan ke kaki Don yang digunakan sebagai penopang saat melakukan tendangan berputar.

Kekuatan kaki si bogel jelas lebih besar dibandingkan kaki Don Bravo yang digunakan untuk menopang. Don lagi-lagi salah langkah karena bertindak ceroboh, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan pada pertarungan-pertarungannya sebelum ini.

Tubuh Don berdebam jatuh di tanah untuk kedua kalinya. Kali ini Abi tidak lantas menunggu lebih lama lagi. Ia segera berdiri dan mencoba menyepak kepala Don.

Swooosh!

Luput!

Don Bravo sudah bergeser dengan berguling cepat, menghindari sepakan kaki sang punggawa Sonoz. Ia kembali melakukan salto untuk berdiri, tentu saja kali ini dia tidak gegabah melakukan tendangan berputar lagi. “Dua kali wes cukup yo, Dab.”

Abi tidak menanggapi, ia berderap maju untuk kembali menyerang!

Wuuuts!

Tapi si bogel kemudian dikejutkan dengan gerakan cepat Don Bravo yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapan Abi! Jingaaaaaaan! Bagaimana mungkin dia bisa bergerak secepat ini?! Adu kecepatan pukulan pun tak bisa dihindarkan, baik Abi maupun Don sama-sama melontarkan pukulan kencang!

Jbgggkkkhhh!!

Buuuoooggkkkhhhhhh!!


Kepalan Don Bravo bersarang di rahang Abi sementara bogem mentah si bogel menyeruak masuk ke pinggang si pemakan bengkuang. Keduanya terlempar terkena hempasan pukulan masing-masing. Don yang lebih tinggi menggunakan kakinya untuk kokoh menapak supaya tidak benar-benar terjatuh ke tanah, sedangkan Abi yang wajahnya terkena sengatan langsung ambruk ke tanah.

Tentu saja pukulan itu tidak cukup untuk meruntuhkan semangat si bogel. Abi menggulingkan badan ke samping supaya tidak disambar serangan susulan oleh Don. Ketika posisinya sudah agak lumayan, dia kembali bangkit dan...

Don tiba-tiba saja sudah kembali berada di depan matanya! Cepat sekali! Tangan Abi secara reflek meluncurkan pukulan ke wajah Don! Namun dengan cekatan si rambut jigrak menghantam lengan Abi.

Bammm! Baaaam!!

Pertama kiri, lalu kanan! Dua serangan beruntung dari si bogel berhasil dikandaskan oleh Don. Kapten DoP berambut jigrak itupun lantas terkekeh senang, “maaf, Beb. Sepertinya kita harus LDR-an.”

Buuuooooggkkhhhhhh!

Tendangan Don kencang menyeruak masuk ke dada Abi, melemparkan tubuh si bogel itu hampir dua meter ke belakang. Raung kesakitan terdengar seperti lolongan.

Jingaaaaaaaan! Abi semakin penasaran, dia terengah-engah merasakan panas di dada. Apakah ini karena kondisinya tidak seratus persen? Sebelum turun melawan Don Bravo hari ini dia sudah harus bertarung melawan Hageng saat masih di Unzakha. Tenaganya jelas berkurang banyak. Uh... kenapa Simon memilih dia sebagai wakil Sonoz?

Abi mencoba bangkit dan lagi-lagi dia dikejutkan oleh kedatangan Don Bravo yang teramat cepat! Sang kapten DoP sudah hadir di depan mata! Tentu saja tidak mau terjerembab ke lubang yang sama, menyilangkan lengan di depan wajah untuk melindungi diri.

Bddppp! Bdddppp!!

Berhasil! Dua serangan beruntun dari tangan Don menemui tembok penghalang yang dibuat oleh Abi. Kaki kuat Abi menendang kaki Don yang terlalu maju ke depan. Si rambut jigrak terkejut dan langsung kehilangan keseimbangan!

Peluang terbuka!

Bammm! Baaaam!! Bammm! Baaaam!!

Pukulan Abi silih berganti masuk ke wajah Don Bravo. Kiri! Kanan! kiri! Kanan! Wajah Don bagaikan samsak yang menjadi sasaran hantaman dari sang punggawa Sonoz. Begitu kencangnya pukulan Abi sampai-sampai bibir sang pemakan bengkuang pecah dan berdarah. Don pun harus mundur teratur beberapa langkah untuk menghindari serangan beruntun dari Abi.

Abi tidak ingin membuang peluang emas, si bogel kembali merangsek masuk ke area pertahanan sang lawan dengan pukulan beruntun. Don sendiri jelas tidak mau kembali kecolongan, kali ini giliran dia yang menyilangkan tangan untuk memasang perlindungan di depan wajah. Wajah Abi yang sejak awal pertarungan muram, perlahan-lahan berubah menjadi cerah seiring posisinya yang berada di atas angin.

Usai melepaskan pukulan beruntun, Abi kembali berhasil menyarangkan tendangan ke lutut Don yang lagi-lagi tidak fokus. Kaki Don terlontar ke belakang seiring tendangan Abi, tubuhnya terjerembab ke depan, dan Abi pun bersiap meluncurkan pukulan keras pamungkasnya, jemari tangan kanan membentuk kepalan, lalu ditarik ke belakang.

“Bubar dapur-mu, Dab.” Ucap Abi sambil mengerahkan kekuatan penuh pada kepalannya yang diluncurkan bak rudal balistik ke arah wajah si rambut jigrak.

Dbbb!

Abi terbelalak! Kepalannya dicengkeram kencang oleh jemari tangan kiri Don Bravo yang tak bisa dilepaskannya! Ba-bagaimana mungkin dengan posisi yang tadinya sudah tak seimbang bisa menangkap kepalannya yang dilontarkan sekuat tenaga? O-orang ini...

Abi melirik ke bawah dan melihat kaki sang lawan sudah menapak kencang di tanah.

“Dapurku masih ngebul.” Don Bravo meringis dengan senyumnya yang berdarah. “Kalau mau adu pukul, cari lawan yang seimbang lain kali. Level kita beda.”

Bletaaaakkghhhhh!

Tangan kanan Don Bravo menerjang wajah Abi tanpa bisa dihalangi karena teramat cepat! Tubuh si bogel melayang ke belakang, namun Don Bravo belum selesai. Ia mengejar ke depan, melompat dan satu tendangan kencang disarangkan ke dada sang lawan!

Abi terlontar semakin jauh dan jatuh terguling-guling.

Don Bravo hanya melihat wajah sang lawan dari jarak jauh dengan jumawa.

Abi berusaha bangkit dengan wajah yang juga sudah berdarah-darah. Bentuk hidungnya terlihat berbeda dari sebelumnya dengan darah melalui lubang kiri. Ketika ia berusaha berdiri, kakinya mengkhianatinya karena lemas dan ia kembali terjatuh. Geram wajahnya melihat Don hanya mendongak dan menatapnya tanpa melakukan apapun. Meremehkan!

Sekali lagi Abi berusaha bangkit, sekuat tenaga ia berusaha menegakkan kaki. Goyang dan tak bisa seimbang, tapi demi apa dia mau menyerah kalah.

“Maju, bangsat!” desisnya penuh amarah. Mulutnya terkatup dan giginya menggemeretak dengan gemas.

Don Bravo menggelengkan kepala, sekali lagi ia menunjukkan kecepatan luar biasa dengan berada tiba-tiba di depan Abi.

“Kamu seharusnya tahu apa yang lebih baik untuk diri kamu sendiri, Dab. Bahkan seekor kucing tahu kapan saatnya dia harus meringkuk dan berlindung dari serangan lawan yang lebih hebat.” Kata Don Bravo.

Kaki Abi yang lemas digerakkan ke depan untuk menendang lutut sang lawan sekali lagi. Tentu saja dengan kekuatan yang apa adanya dia tak akan mampu meruntuhkan kokohnya kaki Don Bravo kali ini.

“Sudah cukup.” Don Bravo melepaskan satu pukulan kencang ke sisi kiri wajah Abi. Punggawa Sonoz itu buru-buru mengangkat lengan untuk melindungi diri, tapi terlambat.

Baaaammmm!

Abi jatuh berdebam. Matanya terpejam.

Ableh Ndaho sang wasit mulai menghitung dari satu sampai sepuluh menggunakan pengeras suara, tujuh detik berlalu dengan menegangkan.

“...delapan! Sembilan! Sepuluh!”

Don Bravo mengangkat tangan terkepal diiringi sorak-sorai anggota DoP yang berhasil menyamakan kedudukan dengan Sonoz. Teriakan lolongan serigala khas DoP terdengar membahana. Tabuhan genderang, terompet kemenangan, dan gebukan tong terdengar.

Di sudut yang khusus, Rao tersenyum sambil mengangkat minuman kaleng sodanya sambil melirik ke arah sudut khusus di seberang tempat Simon berada. Simon mengangguk sambil tersenyum dan mengangkat kaleng minumannya juga.

Dengan kondisi satu-satu, maka pertemuan Simon dan Rao tak terhindarkan.

Next fight! Pemuncak gunung menjulang melawan sang hyena gila.





.::..::..::..::.





Deka dan Hageng berhadapan langsung dengan si kumis Chaplin, mereka melakukan tag-team karena orang satu ini ulet banget kata Bian. Menurut si rambut mohawk, jika hanya sendiri-sendiri, baik Deka maupun Hageng tidak akan dapat menundukkannya. Ya sudah, sementara Roy dan Bian mengatasi lawan-lawan kroco, Deka dan Hageng bekerja sama untuk menuntaskan si Chaplin dengan cepat.

“Nah... nah... kalian pikir kalian dapat mengalahkanku dengan mudah gara-gara penampilanku yang berkumis lucu ini?” Chaplin tertawa dengan kekeh yang tidak nyaman didengar. Suaranya parau dan kekehannya serak seperti ada riak yang rindu untuk dimuntahkan. “Pecundang seperti kalian mana mungkin tahu pengalaman tarungku! Ayo majuuu! Coba kalian rasakan tinju yang...”

Sepi.

“...tinju yang...”

Sepi.

Kampret! Dicuekin!

Deka dan Hageng tidak mempedulikan apa yang diucapkan si Chaplin, mereka malah sibuk berbincang-bincang tidak jelas. Persis apa yang sering mereka lakukan bertahun-tahun yang lalu.

“Kalau berdua zeperti ini aku meraza kita mirip Goku dan Vegeta, Ndez. Hahaha.” Kata Hageng sambil bercanda, “aku Goku-nya.”

“Aku Batman.”

“Bah! Gimana biza? Ini Goku zama Vegeta, ga ada Batman!”

“Ya udah cari contoh lain. Misalnya... aku Shaggy, kamu Scooby-Doo.”

“Bah! Itu malah lebih kacau lagi! Ga ada yang lebih keren?”

“Err... Malih dan Bolot?”

“Halah.”

“Donal Bebek dan Miki Tikus?”

Ndez... zeriuz?”

Si kumis Chaplin tidak tahan lagi. Ia merasa disepelekan oleh duet konyol itu. “Sampai kapan kalian mau ngobrol terus, setaaaaan?”

“Heh! Ini mazalah zeriuz! Kami zedang mencari jatidiri!” Hageng berteriak membalas si Chaplin. “Zudah kamu di zitu zaja dulu! Kami pazti ke zitu!”

SI Kumis Chaplin tentu saja tidak mau diperintah begitu saja. Dia berlari kencang ke arah Hageng dan Deka yang masih terus berbincang tidak jelas. Dengan satu lompatan, si Chaplin terbang tinggi sembari mengirim satu pukulan ke arah Hageng.

Sang monster sadar Chaplin datang dengan satu lompatan berbahaya. Hageng tak mengelak, dia justru mengirim serangan balik dengan pukulan tangan kiri.

Bledaaaam!

Si Chaplin yang sadar datangnya pukulan Hageng terpaksa menghentikan pukulan dan mengubahnya menjadi pertahanan dengan menyilangkan lengan. Si Chaplin terhentak mundur dengan satu pukulan keras Hageng, saat kembali menapak tanah kakinya terseret mundur di paving block saking kerasnya hantaman sang monster.

Deka menyusul dengan lompatan yang hampir mirip dengan yang tadi dilakukan si Chaplin, ia juga mengirimkan tendangan kencang dari udara.

Tapi si kumis Chaplin dapat menghindar dengan mudah dari serangan Deka, hanya dengan beringsut ke samping. Siku tangannya lantas deras mendorong Deka menjauh ke kanan.

Hageng menyusul kemudian, ia melakukan tubrukan sembari berlari kencang! Gerakan ini populer dengan nama spear atau shoulder block takedown, gerakan populer dunia gulat di mana seorang penyerang berlari kencang, melompat sejajar dengan tanah dan memanfaatkan bahu untuk melakukan serangan tackle kencang ke bagian tengah tubuh lawan. Gerakan cepat ini biasanya memaksa lawan ambruk dengan perut bagai diseruduk badak.

Tapi itu biasanya.

Serangan Hageng yang bak serangan seekor badak itu ternyata dapat dengan mudah dihindari oleh si kumis Chaplin. Sebelum mencapai ke area pertahanannya, si kumis Chaplin menggunakan satu tangan untuk melakukan salto ke samping kanan dan mampu menghindar. Hageng pun menabrak tong sampah plastik yang langsung buyar berantakan.

Melihat lawan berhasil lolos, Deka kembali menyerang dengan pukulan bertubi ke arah si kumis Chaplin.

Jab! Straight! Straight! Jab! Hook!

Dpp! Dpp! Dpp! Dpp! Dpp!


Tapi semua pukulannya berhasil ditepis oleh si kumis Chaplin dengan mudahnya. Deka mengernyit, pantas saja Bian bilang orang ini bukan kaleng-kaleng. Meski penampilannya lucu tapi ternyata dia cukup ulet dan licin seperti belut dilumuri sabun.

Hageng sudah bersiap lari ke depan untuk kembali menyerang, namun Deka merentangkan tangan menghalanginya.

“Hati-hati, Nyuk. Dia bukan kroco biasa.”

“Memang. Licin banget.”

Si kumis Chaplin tertawa setelah melihat Deka dan Hageng wajahnya berubah serius. “Nah... nah... sekarang baru kalian sadar kan? Aku ini memiliki kecepatan yang...”

Sepi.

“...kecepatan yang...”

Masih sepi.

Wassuuuuuuuu! Dicuekin lagi?!

“Omong-omong soal licin masih ingat ga si Bella anak IPS 2? Aduh itu jidatnya jenong licin beut, ya?” tanya Deka sambil tersenyum geli.

“Bahahahaha. Mazih ingat zaja zoal zi Bella yang maniz tapi jenong. Ingat tidak waktu Bian nembak dia tapi langzung ditolak? Padahal zudah habiz-habizan pake pomade, pake parfum, bawa bunga, kita iringi gitar bebarengan? Bahahaha. Habiznya nembak kok paz si Bella makan gorengan di kantin zama temen-temennya. Tidak romantiz!! Yang ada malah kezedak itu zi Bella.”

“Hahahaha... iya-iya... terus itu, gayanya dia pinjem buku catetan Bella? Trus masukin surat cintah pas balikin bukunya? Hahaha.”

“Bahahahhahahah... mana zuratnya jatuh pula ketahuan Pak Domi. Mampus tuh si Bian disuruh bacain di depan kelaz. Bahahaha.”

“Hoooooooi! Jingaaaaaaaaannn!! Munyuuuuuuuuuk!! Sampai kapan kalian mau ngremehin aku, hah!?” Si kumis Chaplin berlari kencang menyerang Deka, kakinya lurus menyambar dan menyapu kaki.

Deka melompat tinggi dengan tangan bertumpu di pundak Hageng. Ia lalu memutar badan kembali ke bawah bak pegas, berputar kencang sembari mengirimkan tendangan ke punggung si Chaplin. Lagi-lagi si belut itu bergerak lincah. Ia kembali memanfaatkan kelenturan tubuhnya untuk menggeliat ke sisi jauh dari kedua sahabat. Tendangan Deka hanya mengenai ruang kosong.

“Sompret! Gagal lagi!” desis Deka.

Si kumis Chaplin berdiri berkacak pinggang, ia tersenyum menatap Deka dan Hageng yang kesal. Dengan jumawa si punggawa PSG itu mengangkat lengan dan mengayunkan jari telunjuknya. Dua orang cecunguk PSG tiba-tiba saja menyergap Deka dan Hageng bersamaan.

Hageng menangkap penyerangnya dengan satu tangan yang mencengkeram leher, begitu terkunci, kepalanya melaju kencang melakukan headbutt!

Satu! Bdgggkkkhh!

Hageng menarik kepalanya ke belakang. Lalu sekali lagi dihantamkannya ke depan dengan cepat dan kencang.

Dua! Bdgggkkkhh!

Sekali lagi! Tarik... hantaaaaaam!!

Tiga! Bdgggkkkhh!

Sang lawan kliyengan ga karuan, terkapar dengan memegang kepala yang pusing tujuh keliling.

Di sampingnya, Deka bertahan dari pukulan bertubi-tubi sang kroco yang menyerang membabi-buta. Ia menepis berulang menggunakan lengannya yang bergerak lincah. Satu pukulan straight dari sang lawan berhasil dielakkan. Serangan itu justru dimanfaatkan oleh Deka! Ia mengunci lengan sang lawan, mengaitnya dengan lengan kiri dan menarik maju sang lawan yang terkejut.

Deka menjambak rambut sang lawan dengan tangan kanan dan mendorongnya ke arah bawah. Dengkul Deka pun menyambut wajah si rambut pelangi dengan kerasnya!

Bdddgggkkkhh!

Kepala lawan Deka terlontar ke belakang, pemuda itu pun lantas menyusul serangannya dengan satu sabetan kencang dengan sisi telapak tangan ke leher lawan!

Hkkkgghhhhhhhhh!

Tubuh sang lawan luruh ke tanah, ambruk sambil menggeliat kesakitan dengan memegang leher yang sesak.

Si kumis Chaplin bertepuk tangan melihat Deka dan Hageng mengatasi dua anak buahnya. Kedua sahabat kembali berdiri bersampingan, tidak ada lagi canda tawa, keduanya memasang kuda-kuda.

“Nah begini dong dari tadi.” kata si Chaplin dengan senyuman lebar, ia mengangkat telapak tangannya ke depan wajah dan menggerakkan jari-jarinya ke dalam. “Ayo maju.”

Deka mendengus setarikan nafas dan menerjang ke depan.





.::..::..::..::.





Terdengar suara cekakak-cekikik dari pojok teduh di bawah pohon rindang yang ada di tempat parkir di samping Pasargede. Dua gadis muda sedang bercanda.

Kinan Larasati datang mendekat ke dua gadis yang sedang tertawa cekikikan itu. Wajah gadis itu terlihat lesu, terutama karena Nuke sahabat karibnya lagi-lagi tidak hadir untuk mengajar anak-anak. Beberapa anak jalanan bermain-main ceria di sekeliling mereka sembari menunggu sang guru hadir – kalau tetap tidak datang sampai waktu yang ditetapkan, maka Kinan yang akan menggantikan.

“Dia tidak datang lagi?” tanya salah seorang cewek yang baru saja tertawa.

Kinan menggeleng, ia mencoba mengamati siapa tahu bisa membantu apapun yang sedang dikerjakan oleh kedua temannya. Tapi kedua cewek yang baru saja tertawa itu sepertinya sudah hampir menuntaskan pekerjaan mereka mengemasi barang-barang yang digunakan untuk belajar mengajar.

“Memangnya ada apa ya? Jarang banget lho si Nuke melewatkan waktu buat mengajar anak-anak. Malah dia yang biasanya datang paling awal, paling rajin.” Tanya anggota K3S yang bernama Dewi. Dia sedang mengemasi barang-barang yang tadi digunakan untuk mengajar anak-anak jalanan. Kinan duduk di samping kanan Dewi, sementara ada juga Via yang duduk di samping kiri Dewi.

“Ga tau juga, dia ga ngasih kabar. Tapi emang kapan itu dia sempat pamit dan izin tidak bisa datang. Ga ngira kalau bakal selama ini.” Kinan pun membantu seadanya pekerjaan Via dan Dewi, sesekali ia menatap sedih ke anak-anak yang sedang bermain, mereka pasti akan kecewa kalau tahu Nuke tidak datang lagi. Nuke dekat sekali dengan anak-anak ini, bahkan dia sekalipun masih belum sanggup mencapai level kedekatan seperti Nuke yang bagaikan kakak mereka.

Terdengar cekakak-cekikik dari samping.

“Heh. Apaan sih kalian berdua? Perasaan dari tadi ketawa-ketiwi melulu.” Kinan memutar kepala dan menatap kedua temannya dengan tatapan heran.

Kedua kawannya tidak berhenti ketawa.

“Kita lagi seneng nih, ada berita seru kalau temen kita ada yang lagi seneng juga. Denger-denger... denger-denger lho ya, bisa fakta bisa hoax. Denger-denger kemarin ada yang habis bahagia banget.” Goda Dewi sambil menowel pundak Kinan. “Denger-denger ada yang happy banget abis kenalan sama cowok.”

“Idih, apaan sih.” Wajah Kinan berubah memerah. Ia menunduk malu sambil mencoba berpura-pura fokus merapikan pastel anak-anak yang sebenarnya sudah rapi sejak tadi.

“Kenalan pas ujan-ujan lho, Wi. Gimana ga romantis.” Kata Via sambil tertawa geli. “Aku denger gosip ini dari si Tania.”

“Uh... ganteng ga cowoknya?”

“Ganteng dong, makanya bikin dia berbunga-bunga. Kapan lagi doi kenalan sama cowok? Baru ini kan sekali-sekalinya.”

“Duh, gimana nih nasib Mas Angga?”

“Aduduh. Gimana ya? Habis Mas Angga kelamaan sih! Ga buruan nembak!”

Wajah Kinan merah bak steak digoreng sampai well done. Tania memang paling ga bisa dikunci mulut embernya, pasti dia yang cerita ke Via dan Dewi. Jadi nyesel dia kemarin curhat.

“Kaliaaaan...!”

Kinan membalikkan badan dengan wajah yang campur aduk antara malu, marah, senang, tapi juga bingung harus berbuat apa. Dewi dan Via langsung mendekat dan menempel ke Kinan yang pasrah tak berdaya.

“Ceritaaa dong Kinaaaaan.”

“Cerita! Cerita! Cerita!”

Karena wajahnya makin memerah seperti tomat segar, Kinan pun menutupnya dengan kedua telapak tangannya. Suaranya redam di antara kalimat yang terucap lirih, “Cerita apa coba?”

“Memangnya bener ya kamu kenalan sama cowok ganteng gitu pas ujan-ujan? Kok berani sih? Tumben banget.” tanya Via sembari memeluk lengan kiri Kinan. “Kamu kan biasanya agak-agak pasif sama cowok, kalau sama cewek emang ember.”

Kinan membuka telapak tangannya. “Ish, siapa yang ember? Bukan kali ini aja kok, aku udah sering...”

“Tapi ganteng kaaaan yang ini?” goda Dewi dari sisi kanan.

Kinan mengangguk malu-malu.

“Cieeeeeeee.”

“Cieeeeeeeeeeehehehehee.”

“Hus! Hus! Kalian jangan keras-keras lah! Ga enak ini kan di...”

“Terus... terus... dia anak mana?”

“Kalian janjian ketemuan lagi ga?”

“Kenalan doaaaaang! Ish, kalian bener-bener deh. Kan kita memang harus nyari temen sebanyak-banyaknya. Siapa tahu bisa jadi temen dan bantuin K3S. Gitu doang tujuannya. Jangan kepikiran yang enggak-enggak lah.”

“Jadi kalian janjian?”

Wajah Kinan kembali memerah saat mengangguk. “Tapi...! Tapi cuma ajakin kalau dia tertarik lihat kegiatan kita. Bukan janjian apa-apa. Belum tentu dia mau kesini.”

“Cieeeeeeee.”

“Cieeeeeeeeeeehehehehee.”

“Kaliaaaaaaan!”

“Kinan.” Suara seorang pemuda menghentikan godaan Via dan Dewi pada Kinan. Si cantik berhijab itu menengok ke arah suara dan langsung berdiri saat seorang pemuda berpakaian rapi tersenyum manis. Namanya Angga Nugraha – salah satu bintang di K3S. Angga adalah seorang mahasiswa yang berprestasi, masuk ke BEM, masuk ke tim atletik kampus, berkacamata, bertubuh tegap, tinggi, potongan rambut rapi, dan taat beribadah. Husband material-lah. “Kasihan kalau anak-anak menunggu lebih lama lagi, apa tidak sebaiknya kita mulai saja sesinya? Seperti kemarin, kamu yang gantiin Nuke kan? Nanti aku bantu.”

“Eh iya, Kak Angga. Siap! Ya udah kita mulai saja.” Kinan tersenyum manis. Ia pun berlari menemui anak-anak dan mengajak mereka berkumpul untuk memulai belajar.

Angga hanya menatap Kinan dari kejauhan dengan senyum, matanya tak pernah lepas dari sosok sang dara jelita. Siapa yang tidak akan terbius oleh bidadari secantik dan sebaik Kinan? Seakan sadar ia sedang terpesona, Angga terkesiap lalu menengok ke belakang dan berucap pada kedua gadis yang ada di situ, “Dewi, Via, aku bantuin Kinan dulu ya.”

“Iya, Kak. Seperti biasa ya?”

“Siap, Kak Angga.”

Angga pun berlalu.

Via cekikikan sambil berbisik ke Dewi, “bentar lagi ada yang patah hati nih.”

“Haduuuuh. Jangan sampai lah. Rebahlah ke bahuku Mas Angga. Rebahlah!” kata Dewi sambil bercanda juga karena ia sesungguhnya juga sudah punya pasangan.

Kembali terdengar suara cekakak-cekikik.





.::..::..::..::.





Kondisi tidak juga membaik. Si kumis Chaplin lumayan tangguh, serangan gabungan dari Deka dan Hageng masih tidak dapat menyentuhnya. Bian sudah kepayahan dan beberapa kali jadi sasaran hantaman lawan. Roy terpaksa berbagi tugas menyerang satu dua lawan sembari bertahan dan melindungi Bian. Meski sudah berempat, mereka masih belum bisa mengatasi lawan.

Keempat sekawan mundur bersamaan, sementara si kumis Chaplin mengumpulkan kawan-kawannya untuk mengepung. Yang kuat berdiri bersamanya, yang sudah teler dipinggirkan. Tidak perlu jadi jenius untuk tahu yang mana saat ini yang sedang berada di atas angin.

“Bagaimana?” Deka terengah-engah. “Masih sanggup?”

Roy menggeleng, “aku sih masih bisa bertahan, Ndes. Tapi Bian jelas harus segera dibawa ke rumah sakit. Kondisinya lumayan parah.”

“Jangan sembarangan, Dab. Aku masih kuat berdiri. Selama aku masih kuat berdiri, berarti masih cukup kuat kalau disuruh mukul badak buntung, kerbau kudisan, macan koplo, dan blekok jereng kayak mereka ini.” Kata Bian ketus sambil menunjuk satu persatu anggota PSG yang masih berdiri di depan mereka.

“Oh gitu ya? Dasar babun bodol! Kamu ini dibilangin suruh istirahat ya istirahat aja. Kenapa malah bangun begini.” Roy geleng-geleng kepala memikirkan keselamatan kembarannya. Terdengar suara deru motor datang, hal itu otomatis membuat Roy melirik ke arah muasal suara. “Gelombang ketiga datang. Cecunguk-cecunguk kudisan ini pasti sempat ngabarin ke Bos mereka buat nambahin bala bantuan sewaktu kita lengah tadi.”

“Ditambah orang-orang yang kembali bangun, jumlah mereka zekitar dua puluhan lebih. Apakah kita zanggup?” Hageng mendengus. Untuk pertama kalinya dia tidak tersenyum.

“Bangsat! Gak ada habisnya! Wassssuuuuu!” kata Bian sambil mendengus kesal melihat serombongan lagi cecunguk berambut warna-warni datang, sekuat apapun mereka kalau gelombangnya terus datang silih berganti – pasti lama-lama bakal takluk juga. “Mereka cuma butuh aku. Biarkan aku ikut mereka, kalian tidak usah ikut campur!”

Bian akan merasa bersalah kalau Roy, Deka, dan Hageng sampai kenapa-kenapa. Gila sih, berapa banyak regu penyergap yang diturunkan PSG hari ini? Sudah tiga gelombang pasukan datang hanya untuk menangkap dirinya seorang. Kalau ini juga diterapkan ke petinggi Patnem lain, tidak akan ada yang selamat dari semua serangan. Patnem bakal habis ditumpas, kekuatan mereka jelas tidak sebanding. PSG punya anggota yang tiga bahkan empat kali lipat lebih banyak dari Patnem. Dari gelombang serangan yang datang, orang-orang ini benar-benar berniat menghabisi Patnem sampai tuntas hari ini. Payahnya... tanpa alasan yang jelas!

“Mana bisa begitu, Nyuk. Tangan tak akan bisa dikepalkan kalau lima jari tak lengkap.” Deka menatap sengit ke arah rombongan yang datang. Mata dan kepalan disiapkan, dia tidak mau jujur mengakui kalau kalimat Bian ada benarnya. Kampret! Sampai kapan gelombang penyerang datang? Ga akan ada selesainya kalau begini terus! Solusinya memang hanya satu. Habisi berapapun yang ada sekarang dan sesegera mungkin meninggalkan neraka ini sebelum bala bantuan baru datang!

“Zompret! Nambah teruz kayak kucing kebagian nazi teri!” bahkan Hageng pun mulai menggerutu.

Satu persatu anggota PSG yang datang turun dari motor dan berjalan ke arah Si Kumis Chaplin. Delapan orang yang baru datang berdiri sejajar dengan rapi di belakang sang komandan lapangan.

Si kumis Chaplin pun maju dan tertawa sinis, “Nah datang lagi kan? Kalian pikir kami cuma segini saja pasukannya? Jangan bikin kami tertawa geli, kekuatan PSG tidak dapat disamakan dengan geng kampung macam Patnem! Pasukan kami berkali-kali lipat lebih banyak!”

Kalimat si kumis Chaplin memang ada benarnya. PSG adalah geng preman kota yang jaringannya luas dan menyebar, Patnem yang hanya kelompok kecil tidak pernah dapat bersaing. Pesaing PSG mungkin hanya geng legendaris seperti JXG, QZK, dan Dinasti Baru.

Satu persatu anggota PSG yang tadinya tergeletak mulai bangkit. Sebagian dari mereka masih tergeletak karena kondisinya parah. Empat lawan dua puluh. Empat? Tiga setengah mungkin lebih tepat, karena yang satu tinggal sentil juga pasti roboh. Bisa apa mereka sekarang?

Si kumis Chaplin terkekeh. Saatnya pembantaian. “Ayooo! Semuaaa! Kita...”

“PERMISI!!!!”

Tiba-tiba terdengar teriakan kencang dari satu motor yang menderu masuk ke tempat yang sudah sangat ramai dengan tubuh-tubuh bergelimpangan. Si kumis Chaplin dan kawan-kawannya mau tak mau menengok ke arah motor yang barusan datang dengan serampangan.

Tanpa mempedulikan kerumunan PSG, Motor itu terus melaju sampai ke posisi ruko tutup di dekat Deka dan kawan-kawan berada. Helm di buka dan satu sosok wajah tampan tersenyum lebar.

“Belum selesai kan dangdutannya? Mau ikutan nyawer.”

Hageng tersenyum lebar sembari menahan mewek dengan mata berkaca-kaca, Roy memejamkan mata dan menunduk sambil menahan kegembiraan – betapa ia merindukan saat-saat seperti ini, Bian mendengus dan mengangguk penuh keyakinan, dan Deka mengepalkan tangannya erat. Sekarang baru seimbang! Anjing mereka yang paling gila sudah hadir di arena!

Nanto sudah datang.

Si bengal melepas helm dan meletakkannya di atas jok, ia juga melepas dasi hitamnya dan melingkarkannya di atas spion motor. Setelah itu sembari menggulung bagian lengan baju putihnya, Nanto mengambil posisi di depan keempat kawan lamanya, membelakangi mereka.

Kumis Chaplin dan kawan-kawannya menatap Nanto dengan pandangan heran, siapa lagi cecunguk yang satu ini? Cari mati juga rupanya? Lima lawan dua puluh sudah jelas hasilnya! Mau nambah satu orang tidak akan mengubah apapun!

Tapi Nanto tidak perlu panjang kali lebar, tidak perlu penjelasan.

Siapapun yang menantang sahabatnya, akan jadi lawan.

“Sudah cukup main-mainnya, ya.” Nanto menggemeretakkan jemari dengan menangkupkan tangan lalu menekuk kepala ke kanan dan ke kiri. Di belakangnya Deka, Roy, Bian, dan Hageng berdiri berjajar sambil tersenyum sinis dengan rasa percaya diri meningkat dahsyat. Masing-masing sudah menetapkan target. Nanto menatap si kumis Chaplin dengan pandangan mata tajamnya.

“Lima jari sudah bersatu. Saatnya kepalan diayunkan.”





BAGIAN 16 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 17
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd