Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Jalan nan terjal

Status
Please reply by conversation.
Jalan nan terjal

oJ3Id1T.jpg

Part 15






Iantono





Siang hari di dalam bus terasa panas untung perjalananku sudah mendekati terminal kecil di daerahku sendiri, tak lama kemudian.

Juwangi Juwangi.... Terakhir ayo mas mbakyu pakde budhe... Persiapan persiapan... Jangan ada yang tertinggal ya?... Ucap kondektur yang di perjalanan tadi sempat ku beri sebatang rokok, aku segera turun dari bus sedang itu.

Degh!!!

Asu!!...

Modar aku! Segera kubenahi topiku agak ke bawah, dan ku pakai slayerku untuk menutupi mulut, jelas tujuanku agar tak ketahuan mereka yang sedang nongkrong di warung kopi tempatku dulu mengintai mangsaku, aku segera naik ojek dan segera meluncur ke tujuanku.

Naas benar-benar naas sampai di pertigaan jalan raya yang menghubungkan jalan besar menuju kampungku, pas pertigaan ku lihat dua motor seperti mengikuti perjalananku, ku lirik ke kanan dan salah satu di antara mereka aku ingat betul, dia si bopeng yang ku hajar tanpa perlawanan waktu itu.


Asu!!...

Perang! Aku harus melawan mereka, terserah mereka mau menghentikan aku di mana aku tak peduli yang jelas aku harus melawan keempat begundal itu, dan aku yakin tukang ojek yang aku tumpangi ini juga ikut mengeroyok aku, baiklah! Lima orang sekaligus, aku harus gunakan akal ngga mungkin aku melawan secara frontal kelima orang itu, ku jamin aku babak belur oleh mereka.

Motor yang ku tumpangi terus melaju aku yakin dia tak tau kalau teman-temannya sedang mengejarku, sampai di pertigaan jalan menuju dukuh langen lokasi yang pas waktu bopeng tak berdaya karna serangan mendadakku, dan sekarang dia menghentikan di sini juga. Aku tak mau bertele-tele, ketika motor berhenti aku langsung melompat turun dan kutendang motornya, satu lawan tak siap dan kupastikan kakinya pincang karna tertimpa motornya.
Ku pasang kuda-kuda satu tangan mengepal dan satu terbuka sekedar melemaskan sendi agar gerakanku tak terlalu kaku nantinya.



Bajingan!!...


Teriak salah satu dari mereka, dua orang sekaligus menyerang dengan tinjunya.


Plak!!..


Bugh!

Satu ku tangkis lengannya dan satu lagi sempoyongan terkena tinjuku yang tepat mengenai pipi, aku segera maju. Otomatis aku berada di belakang mereka, kesempatan buatku lawan yang sempoyongan segera ku tendang dari belakang.


Bruuugh!!...


Satu tumbang!


Bugh!!...


Kini aku yang terhuyung ke depan, aku lengah karna masih ada dua orang yang belum menyerangku, sebisa mungkin aku menghindari kepungan mereka, maka aku segera melompat ke samping, yah minimal semua lawan ada di depan mataku, untung salah satu di antara mereka menolong temannya yang tertimpa motor, coba kalau mereka langsung menyekapku dari belakang tamatlah riwayatku, dan yang menendangku barusan tak lain adalah si bopeng.

Lagi, ku pasang kuda-kuda kedua tanganku bergantian mengepal dan membuka, yah... Aku mencari celah tentunya.


“ Modar kau cuk!!! “


Ucap si Bopeng.


“Bha ha ha... Bangga kalian yang Cuma bisa main keroyok hah!!... Menjijikkan! Cuiih!... “



Balasku dengan sedikit menghina mereka, lalu kedua tangan Bopeng di rentangkan tandanya semua temannya dilarang maju, heem.... Tersinggung dia mue he he he...


“Bangsat kau anak muda! Lawan aku kalau kamu mampu!!! Hiaaat.... “


Dengan cepat si Bopeng merangsek ke depan dengan cepat pula aku melakukan perlawanan, pertama kakinya lah yang ku incar, aku menghindar ke samping langsung ku layangkan tendangan bawah tepat di bagian belakang dengkul kakinya, teruslah terbawa emosi kau begundal maka aku akan dengan mudah menjatuhkanmu, ucapku dalam hati.


Bruuugh!...


Bopeng jatuh dengan satu dengkul yang menapak di tanah dengan cepat ia berbalik dan menyerangku lagi, syuut... Dengan sigap aku menghindari pukulannya,


Begh!!!


Ku manfaatkan pukulan tanpa sasaran darinya sehingga dengan mudah jari tangan yang ku tekuk mengenai ketiaknya, Bopeng pun meringis kesakitan.


“Asu!!!.... Hiaaat... “



Kini kakinya mencoba menendangku, tapi percuma aku sudah terlalu siap menghadapinya, ya tentu untuk ukuran satu orang aku sangat siap, entah kalau mereka semua langsung menyerangku.


Plaak!!!...


Kaki beradu tapi tendanganku lebih ke atas tepat mengenai tulang keringnya, otomatis kakinya tertahan ke bawah dan langsung menapak ke tanah, saat berdiri pun si Bopeng sudah mulai goyang, Kurasa tulang keringnya terasa ngilu. Tak ada lagi kesempatan,


Hiaaat....

Bugh!!...

Bugh!!...

Blaam!...


Terakhir kepalan tinjuku telak mengenai dagunya yang menyebabkan si Bopeng harus rela terjengkang dan terkapar,


“Hooy!..... Seraaaang.... “


Teriak salah satu diantara mereka berempat,
Aku yang sudah siap lagi-lagi memasang kuda-kuda,


Wuuus...

Tap!...

Tap!..

Dua pukulan kuhalau dan satu pukulan berhasil mendarat ke salah satu dari mereka, lagi serangan kedua pun mampu ku tepis dengan sedikit menghindar, ku tendang lawan yang paling dekat denganku,


Bugh!!....

“Aargh!!!... Bangsaaat!... “


Satu lagi lawanku tersungkur,


Buuugh!...


Tendangan telak mengenai pinggangku, Aku terhuyung ke samping untung aku tak terjatuh, segera ku jaga jarak, pengendara motor yang memboncengku terlihat yang paling lemah, dari jalannya saja dia pincang ho ho ho... Dia berikutnya pikirku.


Aku terus bergerak dan terus mencari celah siapa yang paling lemah, satu diantara empat sudah terjatuh, itu artinya tinggal tiga yang masih berdiri tegak, aku terus bergerak sedikit demi sedikit aku mendekat, yap! Mereka terpancing oleh gerakanku.


Syuuut...


Plaak!


Pukulan ku tangkis dan sia-sia,
Aku terus bergerak ke kiri dan ke kanan, tujuanku adalah si pincang, setelah kurasa pas sasaran segera ku layangkan tinjuku, dia menghindar dan itu yang kutunggu, kakiku dengan cepat menghajar paha si pincang.


Beeegh!!...


Aaargh!....


Dia terhuyung dan meringis kesakitan, sayang satu temannya sudah siap menyerangku dan yang lainnya pun sudah siap walaupun dengan berbagai expresi kesakitan yang mereka rasakan, aku fokus ke depan ke arah mereka berempat.


Bugh!!!....

Aaargh!!!

Blaam!...


Aku tersungkur ke depan dan aku mencoba segera bangkit, namun naas. Bopeng dan kawan-kawan segera meringkusku tanpa memberi ruang gerak lagi dan menjadikanku bulan-bulanan mereka,


Bag bugh!

Bag bugh!


Itulah yang terjadi, aku hanya bisa meringkuk menerima setiap tendangan, tidak! Aku harus memakai akal agar bisa lolos dari siksaan mereka, aku diam tangan yang tadinya kugunakan untuk melindungi mukaku kini kubuka, seolah aku sudah tak sadarkan diri.


Looos...

Aku pasrah hanya ada sedikit kesempatan itu pun kalau mereka tak berniat membunuhku, kupejamkan mata dan tak mengaduh di setiap tendangan dan injakan yang kuterima, aku tengkurap dengan kedua tangan menggelepar tapi tetap saja mereka menghujani dengan tendangannya, oh.... Seperti inikah rasanya di keroyok begundal lor?


Semoga, semoga aku masih bisa merasakan dinginnya angin malam di kampung halamanku dengan nyawa yang masih bersemayam diragaku tentunya, bukan dinginnya tanah di liang kubur sana. Disaat seperti ini aku ingat kedua orang tua yang sudah mengasuhku, dalam hati kusebut nama kakekku dan memohon maaf atas segala kesalahan, aku pasrah karna melawan pun percuma saja.


Tiba-tiba terdengar suara seseorang dan ku yakin itu bukan dari salah satu dari mereka berlima,


“Hoy!.. Banci peli cilik! Beraninya keroyokan kalian! Awas ya!... “


Teriak orang itu, tak lama lima begundal itu berhenti menendangku. Beberapa menit berlalu suara motor menderu artinya mereka pergi dari sini, kemudian suara langkah seseorang mendekatiku.


“Mas, mas! Bangun hoy!... “


Kudengar orang yang memanggilku tapi ragaku terasa remuk rejam, untuk membuka mata saja terasa sangat berat bahkan saat tubuhku dibalik pun aku tak bisa berbuat apa-apa, ah... Beberapa kali pipiku ditampar barulah aku mampu mengerjapkan mataku, ah.... Anak muda seumuran denganku, lalu anak muda itu menanyaiku.


“Nama sampean siapa mas, orang mana? “


“Iantono mas, “


Jawabku lemah

“Dari? “

Tanyanya lagi


“Djati montong “

Jawabku lagi, kemudian pemuda itu memapahku menuju selatan ke dukuh langen, aku yakin itu tempat tinggalnya.



“ loh Ar itu siapa? “


Tiba-tiba suara wanita memanggil pemuda yang memapahku
Sejenak aku berpandangan degan gadis muda itu, yah... Aku mengenalnya dan Yanti menyebut namaku, pemuda yang di panggil Ar itu bengong melihatnya, apalagi Yanti mengikuti dan meminta untuk merawatku.

Aryo nama pemuda itu (baca Aryo Mbalelo di kampung sebelah, mue he he)

Dia geleng kepala melihat tingkah Yanti yang selalu mepet kepadaku, Yanti yang penasaran ingin tahu siapa yang mengeroyokku terus saja menanyaiku, akhirnya ku jelaskan juga dari awal masalah hingga terjadinya pengeroyokan.


Dan dia mengajakku ke rumah Panji karna menurutnya saat ini aku lebih aman di rumah Panji, memang benar yang dikatakan Yanti terlalu riskan kalau aku pulang ke rumah dengan kondisi seperti ini, rasa sakit memang sudah tak begitu terasa tapi luka lebam di sana sini yang ku jamin membuat kakek dan nenekku cemas apalagi kalau Asti tau, hem.... Habis aku.


Aku tak menyangka rumah panji lumayan besar untuk ukuran rumah di desa, dan ternyata Yanti sudah biasa datang kesini bahkan dengan orang tuanya saja Yanti sudah kenal, tanpa sungkan Yanti meminta izin menginap untukku berikut Yanti sendiri dan yang membuatku tak habis pikir dia bilang aku ini pasangannya.


Hadeeh.... Kupikir rasa penasaran dia dulu sudah hilang ternyata masih ingat saja dia, ah bodo amatlah. Malam ini kami bertiga duduk di teras rumah Panji, orang yang pernah duel denganku didepan mata gadis yang sekarang berada di sampingku, sebenarnya aku juga tak begitu respect dengan keduanya tapi malam ini mereka menjelaskan tujuan mereka tanpa harus memancing emosiku, maka semua yang di bicarakan bisa aku cerna dengan baik, apalagi sekarang aku sudah benar-benar berurusan dengan orang-orang utara yang Notabene masih daerahku sendiri.


Panji tersenyum lebar dia menjabat tanganku dan meminta agar aku tak sungkan meminta bantuan jika nanti suatu saat mereka para begundal Utara menyerangku, roda memang terus berputar, dulu dia yang memintaku untuk bergabung sekarang akulah yang mau tak mau harus meminta bantuannya, hadeeh...


Malam semakin larut Yanti yang sudah beberapa kali menguap memberi kode kepada Panji, dengan kerlingan matanya sudah cukup membuat Panji mengerti.


“Dah masuk yo, Hati-hati broo jangan sampai patah ya? Tuh Yanti udah ngebet kayaknya ha ha... “


Seloroh Panji sambil menepuk pundakku,


“Ih.... Mas Panji nih berisik deh! Ngga kok mas tenang aja aku ngga nggigit kok hi hi hi... “


Ah... Aku di kelilingi orang gila ini, baiklah mungkin aku juga harus mengikuti kegilaan mereka mue he he...

Benar saja aku tidur se kamar dengan Yanti, didalam kamar Yanti langsung memelukku.


“ Mas? Sudah lama loh aku pengen berduaan kayak begini sama kamu? “


“Laah... Kok bisa, kan kita ngga pernah dekat Yan? “


“Ngga tau, sejak pertama ketemu aku naksir sama mas Ian”


“Terus? Aku punya pacar loh... “


“Iya tau, kan aku naksir aja ngga minta kamu pacari mas? Boleh kan? “


“Hadeeh.... Terserah lah”


“Asiiik... Terserah aku kan? “


Cup!

Tanpa sungkan Yanti mencium pipiku tangannya langsung bergerilya turun dan turun sampai ke pangkal pahaku, lalu di buka resleting celanaku dan digenggam batang penisku yang langsung bereaksi setengah tegang itu, Yanti tersenyum memandangku matanya berbinar tak tampak mata ngantuk disana.

Ah... asem! Modus ngantuk doang, ucapku dalam hati.


“Mas... Pegang susuku dong... “

Tak kujawab perkataannya, aku lelaki normal sudah pasti terpancing oleh tingkah nakal Yanti aku tak perlu lagi pura-pura bodoh menghadapinya, ku angkat kaos yang ia kenakan, segera kuremas bongkahan payudaranya dari bawah.

Yanti mendesah pelan, bibirnya menyerbu bibirku dan adu lidah pun tak terelakkan, sentuhan demi sentuhan hingga pergumulan panjang tanpa rasa cinta itu pun terjadi, mengalir dalam irama nafsu birahi yang menggelora, hanya desahan pelan dan rintihan yang tertahan agar tak terdengar si empunya rumah, tapi tak menyusutkan semangat birahi kami berdua, bentuk nonok yang agak bergelambir namun tak mengurangi legitnya jepitan di batangku menjadi sensasi tersendiri buatku.

Aku yakin Yanti sudah sangat berpengalaman soal sex bahkan Herni yang sudah pernah menikah pun kurasa kalah dengannya, melihat dari setiap gerakan yang ia lakukan sangat luwes, belum lagi empot ayamnya yang setiap saat mengancam jebolnya pertahananku, itu sudah cukup membuktikan kehebatannya, sungguh luar biasa gadis yang umurnya ku taksir lebih tua dariku ini.

Beberapa kali terpaksa harus ku angkat bokongnya agar lepas dari jepitan nonoknya, yap! Posisi WOT memudahkan Yanti mengatur sendiri ritme goyangannya sedangkan aku cukup diam saja sambil memainkan payudaranya yang berguncang mengikuti irama goyangan tubuh Yanti, di tambah lagi sunggingan senyum dan mata sayunya tak pernah lepas menatapku, entah berapa lama kami memacu birahi, yang jelas malam ini aku di buat luar biasa lelah olehnya.

Sementara itu pagi hari di terminal yang bersebelahan dengan pasar kecamatan tempat dimana Iantono turun dari bus kemarin siang, sekelompok orang dan salah satunya Iwan sedang membicarakan kejadian kemarin, tentu hal itu membuat Iwan senang, dan tanpa mereka sadari seorang wanita hamil mendengar percakapan mereka, Indriani mendengar semuanya tapi ia tak ingin apa yang ia dengar di ketahui oleh suaminya, ia lebih memilih menjauh agar tak ketahuan.


Tentu Indriani bahagia Ian sudah kembali, tapi disisi lain ia mendengar ayah dari bayi yang masih dalam kandungannya di lukai oleh teman-teman suaminya dan itu cukup membuat matanya mengembang, ia harus bisa menahan tangisnya dan ia tau apa yang harus ia lakukan.


Untung saja posisinya ada di balik terpal yang terpampang di samping warung, tak mungkin keberadaannya di ketahui oleh mereka, sedikit banyak Indriani tau apa yang sudah direncanakan oleh suami dan teman-temannya itu sejak lama, tak heran kalau Indriani memilih menghindari percakapan barusan.


Sampai di rumah setelah menaruh barang belanjaan Indriani segera pergi ke tempat Asti, tanpa sepengetahuan Iwan tentunya.

Dok!
Dok!
Dok!


Tak lama pintu pun terbuka, senyum Asti menyambut tamunya,


“Ngga masak bu? “


Ledek Asti, namun raut wajahnya seketika berubah, Asti mengernyitkan dahi melihat Indriani yang murung.


“Kenapa to In?”

“Mas Ian apa kabar As? Dia ada di rumahkan? “



Asti tampak kaget di tanyai seperti itu.


“Laah?... Emang pulang? “


“Loh... Emang belum kesini? “


Asti tak menjawab, ia hanya menggeleng.
Biasanya Ian langsung datang ke rumahnya kalau pulang, maka timbul rasa penasaran Asti.


“Ayo kita kesana”


Asti menarik tangan Indriani dan mereka pun segera menuju rumah Iantono.


“Mas?... Mas Ian.... “


Panggil Asti, pagi ini kebetulan kakek Ian sudah pulang dari ladang, ia menemui Asti dan sang kakek kaget melihat keberadaan Indriani yang tiba-tiba muncul di rumahnya.


“Loh.... kamu to nduk... Ada apa kok manggil Ian to? “


Kakek melihat Indriani lalu melihat ke Asti.


“ Mas Ian masih tidur to mbah? “


Jawab Asti.



“Loh yo ndak tau to? Anaknya kan belum pulang to nduk, aneh-aneh aja kamu ini. “



Mendengar jawaban sang kakek seketika mata Indriani nanar, Jelas pikirannya kemana-mana, Indriani bersandar di tiang teras rumah sang kakek. Hal itu membuat Asti cepat berpikir, yah Asti gadis yang cerdas ia tau sahabatnya sedang bersedih, sudah pasti ada sesuatu yang ia tau.


“Nggih mpun mbah, kulo pamit. “


Asti pun mengajak Indriani pulang ke rumahnya.


“Duduk dulu In”


Ucapnya tegas, sedangkan Indriani sendiri sudah tak mampu menahan tangisnya.



“ada apa ini In? Apa yang kamu tau soal mas Ian sih? “


“hiiks... Mas Ian As, mas Ian... Kita harus cari dia As? “


“cari gimana?.... Ada apa In?...“


“tadi aku dengar kemarin mas Ian berkelahi As? “


“kemarin? Ngawur kamu ah! “


“aku dengar sendiri As? Aku takut mas Ian kenapa-napa hiks... “



Asti yang sedari tenang kini mulai gelisah, Ian dikeroyok kemarin dan sampai sekarang orangnya ngga ada dirumah, matanya mengembang bulir air mata tak lagi sanggup ia tahan, kedua wanita yang sama-sama merindukan Ian itu kini menangis bersama.



“In? Kamu pulang dulu gih... Biar nanti aku sama teman-teman mas Ian yang pergi mencari mas Ian, kamu diam aja di rumah ya? Ingat jangan terlalu banyak mikir jaga kesehatanmu aja ya? “


“tapi As”


“Dah Nurut aja ya? Untung tadi kamu ngga cerita di depan kakek kasihan kalau kakek sampai tau In?... “


“iya ya udah aku pulang ya? “


Indriani pun pamit, lagian ngga mungkin ia ikut berjalan menyusuri hutan.


Siang itu Bayu, Indra, Aris dan Heru pergi menyusuri hutan mereka mencari jejak keberadaan Ian, dari ujung sampai ujung sekitar dua kilo meter jarak antara jalan besar sampai jalan desa yang mereka lewati tak sedikit pun jejak yang mereka dapatkan, lalu mereka pun kembali menuju ke perkampungan, tepat di tempat Ian menendang motor ojek yang di tumpanginya Bayu mencurigai tanah yang basah oleh tumpahan bensin.



“Ndes! “


Teriaknya,


“Piye Bay... “


“Tumpahan bensin ndes! Ayo cari disekitar sini aja. “



Keempat pemuda itu pun segera berpencar di antara semak belukar dan rimbunnya pepohonan menjadi sasaran pencarian mereka, dari arah selatan sebuah motor melaju pelan melewati terjalnya jalan bebatuan, membuat keempat pemuda itu menghentikan pencariannya, Bayu yang pertama kali keluar di jalan melihat kearah datangnya motor.



“Hoy!..... Bajindul..... “



Teriakan Bayu membuat ketiga temannya keluar dari hutan, sedangkan si pengendara motor berhenti tepat di depan Bayu.


“ hoy Bay... Ngapain kalian disini... “


“Ah telek lah An, tak pikir kamu modar di keroyok makanya kita kesini nyariin, “


Jawaban Bayu membuat Iantono mengernyitkan dahi, ia kaget kenapa mereka tau masalah itu?



“ cuk! Dari mana kalian tau aku di keroyok oey.... “


“Asti yang bilang cuk! “


Aris pun menjawab pertanyaan Ian, lalu ia ceritakan semua yang Asti ceritakan. Saat itu juga enam pemuda mengadakan rapat mendadak, mereka sadar sesuatu yang besar akan segera terjadi.
Iantono hanyalah pemicu saja sedangkan perselisihan sesungguhnya memang sudah terjadi sejak lama, dan menurut kabar yang ada orang-orang utara sudah mengetahui kalau teman-teman Ian berada di kelompok yang berseberangan dengan kelompok utara.

Ian sesungguhnya tak tau apa-apa, masalahnya adalah masalah pribadi dia dengan Iwan, maka dari itu Ian membuka omongan, jelas Ian ngga mau masalahnya kemana-mana, apalagi melibatkan banyak orang.


“cuk! Gini aja, kalau boleh masalah ini jangan sampai melebar lah ya? “


“ngga melebar piye to? “


Ucap Panji, Panji adalah salah satu telik sandi dari pihak selatan melalui Yanti beberapa informasi bisa ia dapatkan dari Utara.
Ia tau persis rencana orang-orang utara, Bahkan dia tau kalau Zaenal juga mulai mendekati pihak Utara, tapi ia tak tau ada maksud apa Zaenal bertindak seperti itu. Bisa jadi pengeroyokan kemarin pun Zaenal sudah mengetahuinya.



“maksudnya jangan sampai ada keributan besar Nji? Ya cukup kita ajalah yang tau masalah ini”


“lihat nanti aja An, tapi fillingku mereka tak akan bertindak sampai disini saja, aku yakin mereka akan kembali lagi. “



“ya wis gampang itu, aku udah siap kok”



“Siap ajur? He he he... “


“ajur sama mbak wulan ya Her? He he... “



Jawab Heru, kemudian ditimpali oleh Aris, Heru yang merasa ada hubungan dengan Wulan hanya geleng kepala saja.


Panji yang niatnya mengantar Ian pulang akhirnya pulang lagi ke rumahnya, kemudian mereka berlima pulang menyusuri jalan sebelah selatan yang langsung tembus ke rumahnya Ian, Lagi-lagi Ian berpesan kalau kepulangannya jangan sampai Indriani tau, terutama Heru yang rumahnya bertetangga dengan Indriani, Ian ngga mau menambah masalah lagi.


Siang menjelang sore rumah Ian mendadak ramai, kini lima pemuda berikut Asti sedang asik bersendau gurau di ruang depan.


“ heeeuh.... Garing bener nih tenggorokan “


Celetuk salah satu dari mereka, kemudian di susul yang lainnya,


“Nanti kalau pulang bawa istri lah An biar ada yang bikinin kopi he he he”


“Walah iyo, lupa aku ha ha... Sik tak bikinin ya? Lho... Kalian ngga puasa to ndes...“



Jawab Ian dan ke empat temannya menggeleng, yah tak satu pun dari mereka yang puasa , Asti sendiri malah ikut menimpali,



“Sekalian yo mas, aku teh manis aja yo? “



“His.... Kamu aja yang bikin gih Mbul, udah lama aku ngga nyicipin kopi bikinanmu, he he... “



Jawab Ian dan di amini oleh yang lainnya.


Sore itu tak ada yang mereka bahas, seolah tak pernah terjadi sesuatu, yah karna mereka khususnya Ian tak ingin kakek neneknya tau apa yang terjadi dengan Ian.

Malamnya Ian duduk berdua di balai bambu depan rumah Asti, Ian baru tau kalau yang memberi informasi ke Asti adalah Indriani,


“Loh... Berarti dia tau aku pulang dong Mbul? “


“Ya tau lah mas? Palingan besok juga kesini dianya? “


“aduh.... “


“ Kenapa toh? Kesini lo bukan ke rumah mas Ian? “


“Yakin? “


“Ngga sih he he”


“hu.... Eh Mbul kamu sudah punya gandengan belum sih, kok kayaknya anteng aja”


“Kenapa mau daftar? Tak ambilin kertas dulu ya? biar tak tulis sekalian he he... “


“Wow lah... cah gemblung! Mbuh ah”



Malam berlalu suara cuitan burung membangunkan tidur lelap pemuda yang semalam begadang bersama Asti itu, secangkir kopi hitam sudah ada di meja, Ian segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak ada yang berubah masih seperti dulu saat ia tinggalkan, sepi tanpa penghuni di waktu pagi, secangkir kopi yang sudah mulai dingin dan kepulan asap rokok menemani paginya, dengan segudang pikiran dan kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi, bukan suatu ketakutan buat diri seorang Iantono, tapi kekhawatiran tentang orang di sekelilingnya. Dan satu hal yang masih mengganjal, kenapa Zaenal memintanya pulang ditambah lagi dengan ucapan Panji kemarin, tentu menjadi satu pertanyaan besar buat Ian, Semua masih abu-abu.
Hem..... Lebih baik aku ke tempat mas Zaenal, gumam Ian sendiri.



Dok!
Dok!
Dok!

"Mas?... Mas Ian?... "









Bersambung...
Matur nuwun om
Di tunggu next update om
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd