Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Jalan nan terjal

Status
Please reply by conversation.
JNT






Part 27


hZo9fhz.jpg




Masih di rumah Herni.


Seonggok tubuh bugil Herni tampak pasrah menerima genjotan mantan suaminya, sebuah rasa yang tertahan mereka curahkan dengan memadu hasrat, peluh yang membasahi tubuh menjadi sajian yang menggugah syahwat mereka berdua.



“ Uuugh.... Aku kangen goyanganmu ini dek, “



Ceracau Danu yang sedang di tunggangi Herni, Herni sendiri tak membalas racauan Danu ia fokus dengan gerakannya, ia meliuk-liuk mencari titik nikmatnya sendiri.

Hingga akhirnya ia menyerah, ia turun dari tubuh Danu dan langsung memosisikan dirinya, ia pun menungging.



“ Nu, sodok dari belakang ya, aku bentar lagi nih... “



Ucap Herni, tak menunggu lama Danu pun segera memosisikan diri di belakang Herni,



Blees...



“Uuugh”



Lenguhnya bersamaan.


“Sodok yang kenceng Nu... Ayo... “



“Hu um dek.... “



Plok


Plok


Plok



Suara benturan bokong Herni dan selangkangan Danu begitu nyaring, itu karna Danu menuruti keinginan Herni. Genjotan yang tanpa perhitungan membuat Danu kewalahan sendiri, ia tau kalau mantan istrinya memiliki nafsu sex yang lumayan besar, niat hati ingin membuat Herni bertekuk lutut menerima gempuran darinya pun kandas, nafasnya memburu dan gerakannya mulai melambat.



Plop.



“ Iiih... Kok di lepas sih Nu... “



“ Tempikmu ngga berubah dek, aku ndak kuat kelamaan gitu, malah aku yang mau keluar nih”



“Ish.... Ya dah Sinih”



Herni segera mengangkangi tubuh telanjang Danu, ia genggam batang kejantanannya dan memasukkan ke liang nonoknya.


“Eeemh... “



Lenguh Herni saat penis Danu amblas seluruhnya ke dalam liang nonoknya yang sudah basah, perlahan ia menggoyangkan pinggulnya, Lama-lama semakin cepat Herni menggoyang pinggulnya.



“Eeemh... Eeemh.... Nu... Dikit lagi... Iiih... Aaaaaach... “



“ Uuugh.... Aku mau juga deekh... Uuugh.... “



Dalam waktu yang bersamaan kedua insan itu menumpahkan cairannya, Herni langsung mengangkat tubuhnya, cairan kental pun meleleh keluar dari lubang nonoknya, Herni bekerja cukup keras untuk mencapai orgasmenya sendiri dan ia pun kelelahan. Akhirnya Herni merebahkan diri di dalam pelukan Danu, cukup lama hingga ia tertidur pulas dalam pelukan Danu.


Danu sendiri tak bisa memejamkan mata, terlalu lama ia tak merasakan kehangatan tubuh Herni, malam ini ia tak ingin hanya sekali menggauli mantan istrinya sendiri, kalau perlu sampai pagi ia ingin menggaulinya.



Posisi tidur Herni yang miring dengan kedua kaki yang tertekuk membuat nonoknya terlihat menyembul dari belakang, hal itu membuat hasrat sex Danu kembali bergelora, ia beringsut kesamping tepatnya di belakang Herni, penisnya yang sudah menegang setelah beberapa jam beristirahat kini sudah siap untuk melakukan penetrasi.
Ujung penisnya terselip diantara celah nonok Herni, namun ia kesulitan untuk memasuki terlalu dalam. Herni yang terbangun dan merasakan nonoknya sedang di kerjai Danu pun mengangkat satu pahanya, jarinya ia basahi dengan ludahnya sendiri lalu di oleskan di celah vagina dan kepala penis Danu.




Blees...


“Uuugh.... Makasih sayang... “


Ucap Danu,



“ Pelan Nu, biar basah dulu”



“Hu um. “


Lalu dengan perlahan Danu memaju mundurkan pinggulnya, bibirnya mencucup belakang telinga Herni.



“Iiiih.... Eeegh... “



Lenguh Herni kegelian, vaginanya merespon cepat perlakuan Danu, merasa cukup vagina pasangannya telah siap, Danu pun merojok dari belakang dengan kecepatan maksimal, satu tangan di pinggang dan satu lagi memegang pundak Herni membuat kocokkannya semakin kuat, kali ini Herni harus menerima gelombang kenikmatan yang kedua kalinya, Danu tau hal itu, ia pun sudah tak tahan lagi, ia langsung merubah posisi Herni, kakinya di kangkangkan lebar dan di tekan keatas hingga menyentuh payudaranya.



Slep...



“Uuugh... “



Lenguh Danu dan ia langsung menggenjot Herni dengan buas, tak peduli lagi Herni merintih kenikmatan yang Danu kejar ialah kenikmatannya sendiri yang sudah mendekati akhir.


Kecipak beradunya kelamin kian nyaring namun hal itu tak berlangsung lama, Danu menghentikan gerakannya dan mengejat beberapa kali hingga akhirnya cairan di penisnya tertumpah habis di dalam vagina Herni. Danu hendak mencabut penisnya namun di tahan oleh Herni.



“ Iiih... Dikit lagi Nu? Jangan di cabut iiih... “



Danu diam tak menjawab, ia sudah terlalu lelah, sia-sia Herni meminta penis Danu perlahan mulai mengkerut dan akhirnya terlepas dengan sendirinya. Dan mereka pun tidur berpelukan tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.





Minggu pagi setelah menyelesaikan dua babak persenggamaan dengan Dara, sekali di lakukan di kamar Ian dan satu kali lagi di kamar mandi saat mereka mandi bersama, Ian duduk di kursi teras rumah itu, di temani secangkir kopi hitam kesukaannya, sedangkan Dara masih sibuk di dapur, tentu setelah merapikan dirinya.
Pak Yanto sang kepala keluarga masih lelap dalam tidurnya.




Tepat jam tujuh pagi Bambang, pakliknya Ian datang menggunakan sepeda motornya, Ian yang berada di teras segera membukakan pintu pagar dan mencium buku tangan pakliknya dan mempersilahkan masuk.



“Bentar njih lik, tak bikinin kopi dulu njih, “



“ Ndak usah repot An? Segera laksanakan ha ha ha”



Ucap Bambang sambil mencandai Ian, lalu Ian pun segera menuju dapur.



“ Emh eehm.... Yang mau ketemu pacar semangat bener?”



Ucap Dara dan yang pasti ucapan itu membuat Ian salah tingkah.



“Apa sih ay? “



“ Bilang aja iya si yang? “



“ Sheetz! Ada paklik, Trus juga bapak kalau udah bangun piye, Ngawur kamu ah ay, aku mau bikin kopi ya? “



“ Eh iyo to, udah datang? “



“ Udah, tuh di luar. “



Jawab Ian sambil berjalan hendak mengambil gelas.



‘ Ish... Aku ngga di anggap, masa mau bikin kopi sendiri sih yang? “



Ucapnya pelan.


“ Ngga capek? “


Ucap Ian sambil memeluk Dara dari belakang.



“ Ndak kok, nih peluk-peluk kalau ketahuan repot lho? “



Ucap Dara sambil tersenyum, Ian pun hendak melepas pelukannya, namun tangan Dara mencegahnya agar Ian tak melepaskan pelukannya.



“ Jangan lama-lama di sananya ya? “



“ Iya ay? Ini beneran mau bikinin kopi? “



“ Iya lah, masa kamu yang bikinin sih? “



“Ya dah aku tak keluar deh, ndak enak nih he he he”



Dara melepaskan genggaman tangannya, ia tersenyum membiarkan kekasihnya berjalan keluar.



“ Lho.... Endi kopine.... Hadeeh.... Lama tak kira bikinin kopi le... Le”



“ He he mau di bikinin sama mbak Dara lik, sabar njih he he”



“ Wes wes, “



Ucap Bambang sambil geleng kepala, tak lama setelah itu Dara datang membawa secangkir kopi untuk Bambang.



“ Walah mbak, jadi ngrepotin ini he he”



“ Ndak apa-apa mas, dari pada Ian yang bikinin ntar kacau rasanya Hi Hi Hi “



“Emh.... “



Dehem Ian melirik Dara, namun Dara cuek tak menanggapi Ian.



“ Mas Yanto kemana mbak? Kok ndak ada, “



Ucap Bambang,



“ Masih tidur mas, ntar tak bangunin dulu njih, “



“ Ndak usah mbak, ganggu nanti he he”



“ Memang begitu kalau minggu mas, apa lagi ngga ada acara, yo wes betah di kamar he he, eh Iyo mas, itu ponakannya bilang in jangan kelamaan di kampungnya ya? “



Ucap Dara sambil tersenyum dan melirik Ian.



“ Ooo siap mbak he he”



“ Yo wis tak tinggal dulu njih? “



Ucap Dara dan di balas anggukan kepala oleh Bambang.



Setengah jam berlalu pak Yanto sudah bangun dan menemani Bambang di teras rumahnya, sedangkan Ian tengah sibuk di dalam kamarnya, bukan untuk merapikan barang yang akan di bawa karna memang Ian berencana tak membawa apa-apa, Ian malah sibuk bermesraan dengan Dara, pintunya sedikit terbuka agar dapat memantau jika ada yang datang, Dara sendiri seolah enggan melepas kepergian Ian.



Di pinggiran ranjang ia duduk di pangkuan Ian dan tangannya bergelayut di leher pemuda itu,



“ Yang? Boleh ndak aku minta sesuatu, “



“ Boleh, apa ay? “



“Eeem.... Janji jangan lama-lama ya? “


Cup


Ian mengecup kening Dara lalu membelai rambutnya yang tergerai.



“ Ndak akan lama ay? “


“ Janji?”


“ Iya? Ya udah, udah siang ini, dah yuk”



Sejenak mereka berpandangan ciuman panjang pun terjadi, seolah enggan melepaskan bibir antara keduanya.



“ Dah yuk? “



Ucap Ian kemudian, Dara mengikuti langkah Ian, sedangkan pak Yanto dan Bambang masih asik bercerita di teras rumahnya.



Setelah berpamitan kepada tuan rumah Ian dan Bambang pun berangkat, pagi menjelang siang suasana jalan tampak lengang, hingga di perempatan jalan barulah antrean kendaraan terjadi, Ian yang membonceng melambaikan tangan menahan kendaraan lain agar mendapat jalan.



Namun naas tangannya menyenggol pengemudi lain, Ian berniat meminta maaf, namun saat Ian menengok dan saling berpandangan.



“ Mas Ian? “



Ucap wanita yang tak lain adalah Herni itu tampak kaget, begitu juga dengan Ian, lalu ia melihat si pengemudi.



“ Cie.... “



Ucap Ian meledek Danu.



“ Apa sih mas? “



Ucap Herni,



“ Baik-baik ya bos, jangan di lepas lo ya?



Ucap Ian lagi.



“ Mau kemana cuk. “



Ucap Danu.



“ Ke Boyolali, napa mau ikut? He he”



“ Mas mau pulang? “



Ucap Herni yang memang sudah tau kampung Ian. Jalanan yang agak padat kini sudah mulai lancar, Bambang yang mengendarai motor pun menoleh dan mengangguk, karna mau melanjutkan perjalanan, Ian pun segera menjawab Herni.



“ Hu um, ya dah baik-baik ya dek? “



Ucap Ian lagi, setelah itu kendaraan kembali melaju.






Jam sebelas siang di musim kemarau Ian dan pakliknya melewati jalan kecil yang langsung tembus di belakang rumah sang kakek, jalan pintas yang pernah Ian lewati bersama Asti dulu, di samping lebih cepat juga tak ada warga yang tau kalau mereka pulang.



Dua orang tua menyambut kedatangan anak dan cucunya dengan suka cita, tak seperti biasanya, kali ini mereka datang bersamaan.



“ Ada angin apa ini Mbang? “



Ucap sang kakek.
Sedangkan Ian langsung mengikuti neneknya di dapur.



“ Pripun mbah, sehat? “



“ Alhamdulillah le? Seperti yang kamu lihat ini to? “



“ Sehat terus njih mbah?”



Sang nenek pun tersenyum dan mengusap kepala Ian, begitu teduh dan nyaman perlakuannya.



Seketika Ian teringat akan ibunya, mata Ian mengembang, bulir air matanya pun tak bisa lagi tertahan, Ian menangis tersedu di hadapan sang nenek.


“ Kenopo le? “


“ Ibu mbah? Hiks”



Sang nenek menatap cucunya, sangat jarang cucunya menangis, namun ia tak heran, pasti Ian sudah menemui ibunya dan pasti ada sesuatu yang membuat cucunya seperti itu.



“ Yo wes ayo ke depan le, kita bicarakan sama mbahmu dan paklikmu yo? “



Ian mengangguk dan mengusap air matanya, lalu mengikuti langkah sang nenek.


Bambang yang melihat mata sembab Ian pun angkat bicara.



“ Halah... Jagoane mbah Prawiro kok lembek to iki... “



“ Wes ndak usah terlalu di pikir le? Ngalor sana biar adem”



Sang kakek menimpali, tentu yang ia maksud adalah Asti.


Ian pun tersenyum kepada kakeknya, memang Ian ingin kesana, karna dari dulu hanya Asti lah yang menjadi tempat berkeluh kesah Ian.



“Assalamualaikum... “



Ucap salam Ian saat sampai di rumah Asti, sontak penghuni rumah di buat terkejut oleh kedatangan Ian, Asti dan bapaknya sedang berada di ruang depan, sedang ibunya masih sibuk di dapur.



“ Lah... Kapan datangnya An? Sini masuk”



Ucap bapaknya Asti.



“ Baru aja paklik, he he”



Ucap Ian sembari berjalan masuk ke dalam rumah dan duduk di sebelah Asti,



“ Opo.... Mesam mesem, “



Goda Ian ke Asti.



“Mbuh! Ngapain pulang he? Setahun sekalian ae baru pulang”



Ucap Asti cemberut.



“ Hadeeh rame ini, ya wis sing tua minggir ae, “



Seloroh bapaknya Asti.



“ Teng pundi paklik? “



Tanya Ian basa basi.



“ Madang he he, wis lanjut, paling sebentar lagi berantem kok kalian itu “



Jawabnya sambil berlalu menuju dapur.



“Sehat An? “



Ucap Ibu Asti dari dapur,



“ Alhamdulillah Bulik? “



Jawab Ian, kini tinggal Ian dan Asti saja di ruang depan, sedangkan adik Asti tertidur pulas di depan televisi.



“ Di luar ae mas, panas di dalam nih, “



“Ayuk”



Jawab Ian singkat, lalu mereka berjalan menuju sungai yang sudah mengering karna musim kemarau, di sungai kering dan setiap sisinya di tumbuhi pohon bambu membuat sinar matahari tak mampu menembus rimbunnya dedaunan di sana, semilir angin menerpa dua insan yang sedang melepas rindu itu.



“ Tumben mas sudah pulang, “


“ Hu um, kangen kamu aku mbul”


“ Iiih? Ngga mau ah di panggil mbul, “


“ He he kangen manggil itu aku tuh”


“ Bodo ah, pokoknya ngga mau! “


“Iya iya...? “


Ucap Ian sembari menjembel pipi Asti.


“ Ntar ada yang lihat lo masku? “



“ Biarin, kangen kok, “


“ Di sayang dong? “


“ Sini”


Ucap Ian, posisi sungai yang agak menjorok membuat keberadaan mereka tak terlihat dari rumah Asti, apalagi posisi duduk mereka terhalang pohon bambu yang rindang, membuat Ian berani meraih tubuh Asti dan memeluknya.


“ Mas kapan bawa aku ke kota mas? Adek pengen kerja ih, “


“Nanti ya? Kamu mau ngga kalau jaga toko, “



“ Apa aja yang penting ngga jauh dari mas. “


“ Yo wes nanti tak beresin dulu tempatnya ya? Biar bisa di gunakan buat toko “



“ Maksudnya mas punya tempat buat usaha? “



“ Eladalah... Duite sopo dek? “



“ La itu tadi ngomonge gitu kok”



“ Ndak, gini lho dek? Bos mas itu sebenarnya nyuruh mas buat ngerapiin rukonya, nah rukonya ini nanti buat buka toko, kalau pacarku yang galak ini mau... Nanti ya tak rapi in tempatnya, gitu lo? “



“ Ish... Galak-galak juga di cariin kok, he he Trus, Trus... “



“ Ya kan mau buka toko biar adek ada kerjaan disana, kalau ndak mau ya mas ndak jadilah ngrapiinnya “



“ Iiih? Mau masku? Ayok berangkat, sekarang besok atau.... Eemmmh”



Ian yang melihat tingkah gadisnya menjadi gemas sendiri, mau tak mau Ian harus menyumpal gadisnya dengan lumatan bibirnya,


Seketika Asti pun terdiam, matanya mengerjap indah dan meladeni lumatan kekasih yang setiap saat ia nantikan itu.


“ Eeemh Eeemh.... “


Cpak!



Lumatan bibir yang cukup lama pun terlepas.


“ Iih... Nakal banget sih? Basah ni ah, “



Ian pun terkekeh melihat Asti berjalan cepat menuju rumahnya untuk membersihkan bagian tubuhnya yang terasa basah.


Tak lama ia datang lagi membawa segelas kopi untuk Ian.


“ Awas ya, ndak boleh nakal lagi lo mas? Bikin basah aja, geli tau? “



“ Apa deh, orang musim kemarau begini kok dek? “



“ Au ah! Nakal. “



Jawab Asti cemberut, lalu Asti menyandarkan tubuhnya di tubuh Ian.


“Mas? Kakinya lurus in apa mas? “


“ Kenapa deh dek “


“ Lurus in aaah. “


“ Ga berubah, Tetep aja nggemesin kamu tuh, “



Sambil geleng kepala Ian merubah posisi duduknya, setelah itu gadisnya beringsut, kepalanya tepat bersandar di paha Ian, ia tak peduli kalau tempat itu tanpa alas sekali pun.


“ Oey... Kotor itu... Haduh.... “


Ucap Ian, sambil mencoba mengangkat kepala kekasihnya.



“ Lah? Kan aku yang rebahan, bukan mas? Terus masalahnya di mana mas? “



“ Wes Angel... Angel, “



Ucap Ian sambil mengusap mukanya sendiri.



“Lo? Kok mengusap muka, habis doa ya mas, “



“ Iya doa in kamu biar sadar, he he”



“Emang aku kesurupan? “



“ Au deh, he he”



Setelah itu Ian mau pun Asti terdiam, Ian mengambil bungkusan rokok di sakit celananya, lalu ia cabut sebatang dan menyulutnya, setelah itu ia ambil gelas yang berisikan kopi hitam kesukaannya, Asti sendiri tangannya mulai usil, ia tak peduli keadaan sekelilingnya, jari tangannya mulai meraba bagian sensitif Ian, walaupun terhalang celana jeans tetap saja membuatnya berdesir.



“ Dek? Jangan mancing ah”


“Mancing opo? “


“Ish... Kamu tuh, tu kan? Nanti ada yang lihat lo dek? “



Tegur Ian saat Asti mulai menurunkan resleting celananya.



Keluarin dikit aja sih mas, adek penasaran terus sama ini nih, “



Ucap Asti sambil menunjuk kepala penis Ian dan menyentuhnya. Semakin lama sentuhan Asti semakin nakal dan penis Ian pun semakin menegang, bukan hanya kepala penis saja yang tersembul kini batangnya pun sudah ikut menyembul, melihat itu Asti semakin gemas saja, ia mendekatkan bibirnya dan tangannya menggenggam batang penis Ian.



“ Mas lihat sekeliling ya? “




Slup


Slup


“ Heem... “


Balas Ian yang sudah mulai konak dan khawatir, bagaimana tidak. Posisi mereka hanya terhalang pohon bambu yang menggerombol dan sungai yang agak menjorok, tentu jika ada yang melintas di sekitaran akan melihat keberadaan Ian.


Saking asyiknya Asti sampai tak menghiraukan muka pengen dari kekasihnya, Ian sering kali memejamkan matanya manakala Asti menyedot kuat ujung penisnya.


“Eeemh.... Dek? Udah sayang..... “


Asti tak menghentikan kulumannya hanya matanya saja yang menatap Ian dengan penuh kemenangan.


Slup


Slup


Slup


“Uuugh... Dek.... Udah aah, “


Ucap Ian sembari menahan kepala Asti agar berhenti mengulum penisnya.



Plop.


Asti melepaskan kulumannya, ia menyunggingkan senyum kemenangan telah sukses mengerjai Ian.


“Kapok.... Hi Hi Hi “



“Awas kamu ya? Iiiigh.... “


Ucap Ian sambil mencubit hidung kekasihnya.


“ Kayak bakso he he he”



“ Apa deh, “



“Ini nih? “



Jawabnya sembari menunjuk penis Ian yang sudah kembali ke asalnya.



“ Ish... Ntar kebablasan lo dek? “



“ He he yo ndak toh, masa mau gitu an disini sih”



Jawab Asti, tak lama terdengar kumandang azan, kedua insan itu pun beranjak meninggalkan lokasi duduk mereka, dan pulang ke rumah masing-masing.
Tiba di rumah Ian bertemu dengan pakde Darto yang berprofesi sebagai tukang bangunan, ia sedang mengobrol serius dengan paklik Bambang dan kakeknya.


“ Sini le, “



Panggil sang kakek.


“ Njih mbah, “


Lalu Ian pun menghampirinya.


“ Pakde Darto ini yang kasih alamat ibumu, coba kamu jelaskan tempat atau tanda apa biar di samakkan sama pakde Darto. “



Lalu Ian pun menjelaskan lokasi tempat yang ia datangi.


Pakde Darto mendengarkan dengan seksama, tak ada yang salah kalau menurut ciri-ciri lokasi yang di jelaskan Ian.



“ Piye To? “



Ucap kakek,



“ Leres kang, sama persis kok. “


“Ooo yo wis, matur suwun ya To? “


“Njih kang”



Tak lama setelah itu setelah makan siang bersama Darto pun pamit, tinggal Ian, kakek neneknya dan Bambang.



“ Mbang, nanti kalau kamu ada waktu kamu saja yang kesana ya? Bapak sama makmu ndak tenang kalau kayak begini, susah payah Ian kita besarkan lha kok ibunya malah seperti itu, “



“Njih pak, “



Jawab Bambang.


“Assalamualaikum... “


Ucap salam gadis yang tak lain Asti itu.


“ Waalaikumsalam... “



Jawab mereka hampir bersamaan, Obrolan pun berganti topik, sekedar obrolan ringan dan sedikit menyinggung hubungan Ian dan Asti, Asti tampak tersipu menanggapi hal itu.



“ Lho ya... Ini anak kalau udah kayak gini ini udah minta di nikahin ini pak, jangan lama-lama lah ha ha ha”


Ucap Bambang kepada bapaknya,



“ Lho Piye to Mbang, harusnya kamu yang nembung (minta) ke orang tuanya Asti to? “


Ucap kakeknya.



Lalu mereka pun tertawa, kecuali Asti yang masih saja menunduk dan tersipu malu.








Malam hari selepas isya di jembatan.



“ Mas di rumah nanti lama ndak, “


“ Ndak sih, kenapa? “


“Ndak Apa-apa sih he he, “


“ Katanya mau ikut kesana, makanya mas mau buru-buru biar cepat jadi tu nanti tokonya, ya to? “


“ Hu um, ndak sabar pengen cari duit sendiri he he”


“Hem... Mosok sih, “


“ Iyo... Mas? Ish... Mesti pikiran mas nih macam-macam, “


“ E iya, kamu siap mas lamar ndak, “


“ Em.... Siap ndak ya? He he”


“ Heeuh... Tapi nanti deh ya? Mas mau kumpulin biaya dulu, mas ndak mau ngrepotin simbah ah, kasihan mereka. “


“ nah.... Itu adek setuju mas, he he”



“lagi pula mas masih ada ganjalan kok dek, “


“ apa tu mas? “


“ Aku pernah ke tempat ibu lo dek, tapi.... “


“ ih moso sih? “


“ Hu um, mas punya adik cewek juga lo dek”


“ Ih kok ngga di ajak pulang? “


“ lah gimana mau ngajak pulang, wong aku sampai sana langsung di usir sama ibu kok”


“ lah? Kok bisa, “


“ndak tau ah, ini pulang kan juga karna itu kalau ndak salah, “


“ Ooo gitu? Mas yang sabar, inget yo mas? Mau gimana pun sejahat apa pun tetap aja itu ibunya mas, ndak boleh dendam yo masku? “



“Hu um, makasih yo? Tapi sakit sih dek, he he”


“sini peluk aku mas biar ndak gitu sakit “


Ian pun tersenyum lalu Ian memeluk Asti dan membenamkan kepala Asti di dadanya.


Gemerisik dedaunan yang tertiup angin malam membuat suasana begitu romantis, kedua insan yang di mabuk asmara itu tak ada hentinya berbincang, selalu ada bahan untuk bercerita, kali ini Ian benar-benar mengontrol dirinya, Ian tak mau kejadian yang dulu terulang lagi dengan gadis yang sedari kecil menemani harinya.




Malam saat Ian meninggalkan rumah.



“ Mbang sepertinya kamu harus menemui mbakmu, itu jalan satu-satunya mbang, kasihan Ian, seandainya anak itu tidak tau sama sekali bapak malah tenang, tapi kalau sudah begini apa boleh buat kita harus selesaikan mbang, “



“Njih pak, nanti kalau saya susah senggang waktunya saya akan kesana sendiri pak”



“ Ian ndak di ajak sekalian? “



“ Bapak ini kayak ndak tau Ian saja pak, la kalau mbak Padmi cerita semua di depan anaknya dan kebetulan sama dengan kecurigaan kita apa ndak bikin Ian murka to pak, “



“ Heeuh... Iyo yo? Yo wis, kamu atur aja, bapak tau anak itu diam tapi sejatinya juga mikir mbang, “



“ Yo pasti lah pak, njih mpun nanti tak urus, sukur-sukur mbakyu mau ikut pulang bareng nanti, nyuwun pandongane(doa) mawon njih pak”



Pak Prawiro pun mengangguk, setelah itu mereka terdiam, pikiran Bambang melayang mengulang memori sebelum keponakan semata wayangnya itu lahir.






Kilas balik dua puluh satu tahun silam



Bambang kecil baru saja pulang sekolah, tak seperti biasanya, biasanya selesai mencari pakan ternak atau pun kayu bakar sang kakak langsung sibuk di dapur, tapi kali ini ia tak melihat keberadaan sang kakak.



Bambang kecil pun berinisiatif mencari sang kakak, tentu ia tau di mana biasanya sang kakak pergi.
Hutan sebelah selatan yang tak jauh dari rumahnya menjadi tujuan Bambang, sepanjang jalan setapak hutan itu Bambang telusuri.
Hingga akhirnya ia bertemu dengan pemuda yang biasa ia temui di lingkungan kantor kelurahan, dan terakhir dua minggu lalu datang ke rumah, Bambang yang tak tahu menahu urusan orang tua tak mau ambil pusing, yang ia tau waktu pemuda itu datang, sang kakak terlihat marah kepada pemuda itu.



Pemuda itu tersenyum aneh melihat Bambang, niat hati ingin bertanya hilang seketika melihat ai pemuda bertingkah seperti itu.
Bambang pun melanjutkan perjalanan, tak jauh dari tempat ia bertemu si pemuda Bambang menemukan selendang yang biasa kakaknya pakai untuk menggendong kayu mau pun pakan ternak.


“ Ah, pasti mbakyu ndak jauh dari sini, mbak.... Mbak e.... “



Teriak Bambang kecil, namun tak ada jawaban. Berulang kali ia memanggilnya namun tak ada hasil sama sekali, Bambang tak putus asa, ia terus berjalan menyusuri jalan setapak itu, tampak keranjang yang biasa sang kakak pakai terguling dengan rumput yang sudah berceceran di sekitarnya.


Bambang kecil mulai resah, kemana gerangan sang kakak berada, kenapa barang bawaannya tercerai berai di tempat yang berbeda.



“Mbak!!! Mbakyu.... “



Teriaknya berulang-ulang, namun lagi-lagi tak ada jawaban, sekian lama Bambang berjalan mondar-mandir di sekitar keranjang akhirnya ia kelelahan, ia duduk di sebelah ranjang, tak lama setelah itu ia melihat sang kakak, ia berjalan tertatih membawa selendang miliknya.


Setelah dekat Bambang kecil melihat kakaknya dengan seksama, wajah kakaknya tampak pucat dan terlihat luka lebam di pelipis dan pipinya pun tampak membiru.



“ Mbak kenapa? “


Sang kakak tak menjawab, tatapannya kosong, Bambang kecil merasa iba melihat keadaan sang kakak, ia menangis tersedu apa lagi kakaknya tak sanggup mengangkat keranjang yang isinya saja sudah tak penuh.



“Mbak? Biar Bambang yang bawa ya? “



Ucap Bambang, Lagi-lagi sang kakak tak menjawab.
Untung lah Bambang memiliki tenaga yang lumayan kuat.
Kakak beradik itu pulang tanpa sepatah kata pun, sang kakak berjalan terlebih dahulu sedangkan Bambang mengikutinya, sekuat kuatnya tenaga Bambang ia tetaplah anak umur sebelas tahunan yang masih sangat terbatas daya tahan tenaganya, ia berjalan terseok memanggul beban di pundaknya, sedangkan sang kakak tak menengok sedikit pun, ia terus berjalan dan hal itu membuat Bambang tertinggal jauh dari kakaknya.



Bahkan sampai di rumah pun kakaknya tetap diam, ia langsung mengurung diri di kamar, sesekali terdengar isak tangisnya itu pun tak lama langsung diam lagi.



“ Nduk?... Kamu kenapa? “



Panggil pak Prawiro sang ayah, namun sia-sia. Tak ada jawaban sedikit pun.



Dua hari berlalu anak gadis pak Prawiro akhirnya mau bicara dengan sang ibu, lukanya sudah mulai membaik, lebam di wajahnya pun sudah mulai samar.


Hanya dengan sang ibu ia mau bicara masalah yang ia hadapi, ia tau karakter sang ayah, ia tak mau ada kekisruhan.


“ Bu? Maaf boleh Padmi berangkat ke kota bu? “



“ Kenapa nduk? Mukamu kenapa? “


“ Jatuh bu? Boleh ya bu? “



“ Mau apa ke kota to nduk? “



“ Mau kerja bu? Boleh ya bu? “



“ Buat apa? Ibu sama bapak masih mampu menghidupi kalian berdua kok, “



Ucap sang ibu, tapi Padmi muda tetap kekeuh, ia merengek terus menerus hingga akhirnya sang ibu membicarakan hal itu kepada Prawiro suaminya.



Akhirnya seminggu setelah itu Padmi pergi, ia membawa bekal yang lumayan untuk menopang hidupnya yang belum jelas akan pergi kemana, herannya orang tuanya melepaskannya, karna Padmi beralasan takut kepada pemuda yang ingin melamarnya. Oleh karena itu ia di beri bekal yang lebih oleh pak Prawiro, dengan harapan anak gadisnya tak terlantar di kota sana.



Ibarat memasak, nasi telah menjadi bubur, Bambang kecil baru cerita kejadian yang sebenarnya setelah sang kakak pergi.


Sebulan dua bulan tak ada kabar, hingga delapan bulan lebih Padmi baru pulang dengan fisik yang berbeda, perutnya membuncit besar bahkan sudah hampir tiba waktunya melahirkan, tak sampai sebulan ia pulang, seorang bayi lelaki lahir tepat selepas magrib, proses kelahirannya hanya di bantu oleh seorang dukun beranak, proses kelahiran yang lumayan lama, pasalnya bayi laki-laki itu terlahir dengan leher yang terbelit ari-ari.



Haru pilu, karna kelahirannya tanpa seorang ayah dan tak tau siapa ayahnya, sedangkan Padmi kekeuh tak mau memberi tau siapa ayah dari si jabang bayi.



Dua bulan berlalu Padmi kembali pamit untuk bekerja ia beralasan tak mungkin membiayai anaknya dengan mengandalkan orang tuanya. Dan ia pun pergi.



Hari berlalu, kabar pun tak terdengar. Harapan tinggal harapan, setahun dua tahun, sampai Iantono tumbuh besar Padmi tak pernah kembali lagi. Hingga saat ini hanya Ian lah yang melihat sosoknya di ibu kota sana.














Bersambung
 
Terimakasih atas update ceritanya suhu @qthi
Waduh ternyata Ian lahir karena dulu Ibunya di rudapaksa, pantesan mungkin benci sama Ian karena pasti akan mengingatkan atas kejadian tsb..
Tp ya gmn yak? Masak tega lepas tangan gitu jg Ibunya?
Siapa itu orang kota yg memperkosa Padmi?
Penasaran saat nanti Asti ikut kerja ke kota, apa bisa akur sama Dara?
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd