Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Joni (berkah jadi sopir dadakan)

Desertpearl

Kakak Semprot
Daftar
14 Jun 2017
Post
161
Like diterima
4.307
Bimabet
Lebaran kali ini terasa aneh bagiku. Karena bapakku sekarang tak lagi berada di rumah. Setahun setelah ibu berpulang, bapak menikah lagi dengan janda tanpa anak.

Kalau rumahnya dekat sih tak jadi masalah. Ini terbentang jarak yang sangat jauh. Tapi ya sudahlah. Tujuan pertamaku adalah pulang ke kampung halaman. Ada embak yang menempati rumah kami. Jadi, dari jakarta aku langsung masuk tol trans jawa, dan langsung joss ke jawa timur.

"Weh. Bejo beneran punya mobil sekarang"

Begitulah komentar embakku, saat aku tiba di rumah. Tak kuhiraukan komentar itu. Aku langsung sungkem padanya. Karena sudah malam takbir. Begitu juga ke kakak iparku. Mereka itu pengantin baru, dan belum dikaruniai anak.

Tak ada yang spesial di rumah ini, selain kehebohan para tetangga, karena aku mampu membeli mobil. Ya, aku memang orang paling tidak diunggulkan di kampungku.

Tak lain dan tak bukan karena kenakalanku di masa remaja. Lulus sekolahpun dibilang hanya karena belas kasihan gurunya. Saking malasnya aku sekolah.

Kerja juga, sebelumnya aku juga hanya menjadi supir travel. Karena aku tidak punya koneksi, dan tidak punya pengetahuan tentang dunia pabrik.

Tiga tahun menjadi sopir travel, memberikanku banyak sekali kenalan dari berbagai macam profesi. Sehingga aku memberanikan diri merantau ke jakarta, mengadu nasib di dunia industri.

Dan ternyata memang ada rejekiku di sana. Tanpa bersuara, aku mengumpulkan uang gajiku sebagai sopir pabrik. Walau dibilang kecil, tapi jauh lebih besar daripada gaji sopir travel.

Dan tanpa diketahui orang rumah, aku berhasil membeli sebuah mobil. Xenia lama memang. Tapi lumayan sehat untuk dibawa perjalanan jauh. Dan itu tidak termasuk sebuah rumah, yang aku beli kredit sejak tiga tahun yang lalu.

"Kamu kok udah beres beres jon, mau kemana?"

Suara seorang wanita mengejutkanku. Wanita paling cantik di lingkunganku. Hanya dia yang memanggilku secara benar. Karena dia pernah menjadi pacarku.

"Mau lebaran ke bapak dulu, San. Kalo nggak dari sekarang,takutnya nggak keburu. Macet sih"

"Mana ada. Kan udah pada mudik"

"Tiga kali puasa tiga kali lebaran aku nganterin orang mudik. Udah apal aku"

"Ciaa. Yang mantan supir travel. Masih inget aja" komentar santi.

Aku terkesiap mendengar komentarnya. Aku jadi teringat bagaimana dia meninggalkanku hanya karena aku sopir travel. Berbeda dengan cowok yang mendekatinya waktu itu.

"Loh San, kamu nggak ikut keluargamu?"

Suara mbak citra menyentakkan lamunanku.

"Enggak, mbak. Capek aku, seharian jadi babu" jawab santi.

"Kok gitu jawabnya?" Tanyaku.

"Haih. Banyak yang kamu lewatin, tiga tahun ini" jawab santi lesu.

"Ya. Termasuk kawinnya bapakku" gumamku.

"Ya udah, sini yuk! Aku masak rendang. Cobain deh!" Ajak mbak citra.

Santipun menatapku sesaat. Dia seperti canggung denganku. Aku menganggukkan kepalaku ekali, tanda memberi dia ijin. Diapun masuk ke dalam rumah, sedangkan aku lanjut menata bawaanku di bagasi mobil.

Tahu bulat digoreng dadakan...

Ponselku tiba-tiba berbunyi. Sejenak aku merasa aneh. Juragan travel tempat dulu ku bekerja yang menelepon. Memang, dia sudah tahu akan kepulanganku. Termasuk kepulanganku dengan membawa mobil.

Masa mau minta traktiran?

Aku terima panggilan itu. Rupanya mantan juraganku itu mau minta tolong. Ada penumpang arah cilacap bagian selatan, sedangkan hari ini, penumpang yang ada hanya menuju purworejo dan kebumen.

Aku yang sudah ketahuan mau lebaran ke tempat ibu sambungku di cilacap, dimintai tolong untuk membawa satu penumpang ini. Tentu saja ku keberatan. Karena aku ingin bersantai selama perjalanan. Membawa penumpang, artinya juga bertanggung jawab atas ketepatan waktunya.

Sempat aku sarankan untuk dibatalkan saja. Tapi rupanya, penumpang itu memohon-mohon untuk diantarkan. Bahkan mau jika yang mengantarkan dia adalah mobil rekanan travel itu.

Mau tak mau, mengingat jasa besar mantan juraganku itu, aku tak bisa menolaknya. Aku janjikan, akan menjemputnya sesuai jam keberangkatan hari ini, yaitu jam tiga sore
 
"Hemm. Namanya cewek, kalo urusan duit, nggak inget waktu. Orang masih hari H lebaran, main terima orderan aja. Besok, kek. Penumpangnya juga, mau aja sih? Udah dimahalin, berangkatnya jam tiga sore. Hoki banget si juragan" gumamku.

Akupun masuk ke dalam rumah. Aku ingin mandi dan pamitan. Kulihat kakak iparku tergeletak tanpa baju di depan tivi. Pasti kegerahan sehabis keliling tadi.

Saat aku hendak ke dapur, aku mendengar kakakku sedang berbincang dengan santi. Aku menunda langkahku.

"Joni sekarang udah sukses ya, mbak" komentar santi.

"Iya. Embak pikir dia cuman nggaya aja, bawa mobil. Nggak tahunya beneran. Ya syukurlah. Embak ikut seneng liatnya. Bangga tahu nggak sih" jawab kakakku.

"Hemm. Beda banget sama mas agung. Kebiasaan disubsidi ortunya. Giliran dilepas, malah nggak jelas"

"Nggak jelas gimana?" Tanya mbak citra.

"Ya mbak liat aja! Sejak toko orang tuanya kolaps, dia jadi kayak nggak punya visi. Kerja aja milih milih. Kalo nggak kantoran, nggak mau. Dapet kerja kantoran, gaji standar, ngedumel mulu. Lha aku, dicurhatin gitu, bisa apa mbak? Malah ilfeel jadinya. Mending Joni dulu. Nggak pernah nolak kerjaan" jawab santi panjang lebar.

Aku sempat mendengar mbak citra tergelak. Untuk beberapa saat, tidak ada kata diantara mereka.

"Iya, mbak. Dulu aku emang mata duitan. Tapi setelah tahu rasanya nyari duit sendiri, dan mas agung malah kaya gitu, nyesel ku, mbak. Mendingan sama joni. Beda di seragam doang. Hasil nyupir travel juga sepantar sama orang kantoran"

"Penyesalan emang suka datang belakangan" komentar mbak citra.

"Iya, mbak. Diemnya Joni tuh, yang suka keinget. Nggak pernah ngeluh kalo ketemu sama aku tuh mbak"

"Ati ati kalo ngomong! Kalo Joni balik jafi sopir travel lagi, gimana?" Tanya mbak citra.

"Kalo dia tetep jadi Joni yang pendiem, nggak pernah ngeluh, aku terima, mbak. Daripada tiap hari denger orang ngedumel. Dipikir yang pusing cuman dia? Aku juga pusing, mbak. Punya ipar malah ngejadiin aku babu. Dirumahku sendiri lagi"

Entah mengapa ku jadi merasa senang, mendengar penuturan santi. Ternyata, selain mobilku, masih ada hal lain dari diriku yang sukses menyita perhatiannya.

"Sabar, San! Kalo butuh bantuan tinggal ke sini. Orang sebelahan, juga"

"Iya, mbak. Makasih banget ya mbak, embak suka nolongin Santi. Jujur, santi malu, mbak"

"Malu kenapa?"

"Ya, kan santi pernah nyakitin perasaan Joni" jawab Santi.

"Namanya juga pacaran, San. Kalo nggak gitu, si Joni juga nggak bakal nekat ngadu nasib ke jakarta"

"Maksudnya, mbak?"

"Nggak" jawab mbak citra singkat.

"Aku nggak ngomongin buruknya.
Cuman emang momen dia nekat itu, ya abis putus dari kamu. Bukan berarti aku masalahin sikap kamu" lanjut mbak Citra.

Aku yakin, sedang terjadi kecanggungan antara mereka berdua. Aku berniat untuk mencairkan suasana. Tapi belum ketemu ide.

"Mbak. Boleh nanya nggak?"

Suara santi menarik perhatianku.

"Apa?"

"Eem. Si Joni, " santi menggantung kalimatnya.

Aku jadi menemukan sebuah ide. Aku ambil ponselku, dan menempelkannya di telingaku. Akupun bersiap berjalan ke belakang.

"Apa dia masih benci sama aku, mbak?" Lanjutnya.

"Enggak"

Graaakk

Praang

Terdengar suara meja beradu dengan sesuatu, setelah aku berkata 'enggak', sehingga piring di atasnya juga ikut beradu dengan sendok dan garpu.

"Nggak sempet, lah"

Aku terus berjalan ke kamar mandi, dengan hanya menoleh sesaat. Dan terlihat sajah Santi memerah dan tegang. Aku menutup pintu kamar mandi dengan masih berpura pura menelepon.

"Tuh. Udah dijawab"

Terdengar suara mbak Citra sambil cekikikan. Aku pastinya tak tahu, bagaimana reaksi Santi.

"Ih, mbak. Tadi itu si Joni ngobrol di telepon, kan?"

Kali ini suara santi yang terdengar. Walau dia tertawa juga, tapi ada nada khawatir dan juga malu dalam suaranya.

"Ha ha ha. Hayoloh. Kenapa bisa tegang begitu?" Goda mbak Citra.

"Aaaa..... Sumpah aku kaget banget tahu, mbak. Kira-kira denger nggak ya, obrolan kita?"

"Ya nggak tahu" jawab mbak Citra
 
"Lagian kalo tahu, kenapa?" Lanjut mbak Citra.

"Aku malu mbak, sama kondisiku sekarang. Berasa kemakan sama omongan sendiri"

"Udah! Joni bukan tipe pendendam. Dia pasti biasa aja sama kamu. Yang lebih parah aja dimaafin kok"

"Ya. Semoga si joni maafin aku"

Aku tertegun mendengar ucapan Santi. Entah apa maksudnya berkata demikian.

Mungkin karena lelah dengan sikap si Agung, mungkin juga lelah dengan kakak iparnya. Wajar juga sih, kalau dia teringat masa lalu dan berharap balik lagi sama aku. Akupun mandi.

"Udah mau berangkat, dek?" Tanya mbak Citra.

"Iya, mbak" jawabku.

"Kenapa nggak besok aja? Embak masih kangen tahu"

"Justru biar bisa balik lagi ke sini, mbak. Belum tentu juga aku kerasan di sana"

"Heem. Ya"

"Kok lemes gitu?"

"Enggak. Sedih aja. Embak berasa anak ayam keilangan induk, tahu"

"Iya. Aku juga. Berasa jadi mie ayam kehilangan mangkok" sahutku.

"Hempf. Tukang mie ayamnya mabok. Ha ha ha"

Santi tertawa mendengar peribahasaku. Mbak Citrapun tertawa, sekalipun dengan mencubiti lenganku. Karena ucapan seriusnya ku balas dengan candaan.

"Serius nih, mau berangkat sekarang?" Tanya mbak Citra lagi.

"Iya, mbak. Tadi mbak Sofi minta tolong aku buat bawa penumpangnya juga, satu"

"Ha, kemana?"

"Cilacap"

"Kok mau? Kan kamu bukan sopirnya Sofi lagi?"

"Ya udah sih, mbak. Cuman satu orang ini. Lumayan buat beli bensin"

"Hem. Karena itu, ya? Kamu nggak bisa nolak, ya?"

"Ya, mbak tahu sendiri lah, sejarah mbak Sofi dengan kita" jawabku.
Mbak Citra tidak segera menjawab. Dia menatapku lekat sekali.

"Hemm. Iya, deh" jawab mbak Citra, akhirnya.

"Rumahku tetep di sini, mbak" kataku, sembari memberikannya sebuah kecupan di keningnya.

Aku meninggalkannya berdua dengan Santi. Aku masuk kamar, berganti pakaian, dan bersiap-siap dengan perlengkapan tempurku.

Tak lama kemudian, aku pamitan dan melajukan mobilku. Santi masih nampak canggung saat ku melambaikan tanganku.

Di perjalanan menuju kantor travel, tempat dimana dulu aku pernah bekerja, dua mobil membunyikan klaksonnya.

Ternyata dua unit utama telah berangkat. Berarti tinggal satu penumpang lagi yang tersisa.

Aku parkir di dekat cucian mobil. Tak banyak berubah, setelah tiga tahun ku tinggal. Sebagian besar masih sama. Bahkan coretan tanganku di shelter mikrobus pun masih terlihat dengan jelas.

Aku jelek? Emang.

Aku kere? Tunggu dulu!

Jelek itu kodrat

Kere itu takdir yang bisa dirubah.

Tunggu tiga tahun lagi! Aku beli mulut manismu.

"Hei"

Aku tersentak mendengar suara panggilan. Ternyata mbak Sofi yang menegurku.

"Bener-bener kamu, ya? Kalo udah sakit hati, beneran tirakat" komentarnya.

Aku hanya tersenyum saja. Perasaanku bercampur aduk, antara marah, ingin mengumpat, karena ingat sebab mengapa aku menuliskan kata-kata itu.

Tapi juga sedih, saat teringat ucapan Santi tadi. Akupun hanya bisa sungkem dan berlebaran dengan mantan juraganku itu.

"Mana penumpangnya, mbak?" Tanyaku.

"Itu, lagi nelpon" jawab mbak Sofi. Dia menunjuk ke wanita yang berdiri di pinggir jalan.

"Dia kenapa, mbak?" Tanyaku iseng.

Bukan sekedar iseng. Aku bertanya demikian, karena aku melihat wanita itu seperti sedang marah-marah dan sedih.

"Di blangko nggak ada pertanyaan tentang itu"

"Hempf"

Sebuah jawaban yang menggelikan buatku.

"Jadi ku nggak nanya soal itu" lanjut mbak Sofi.

"Oke"

Aku menatapnya sambil tersenyum. Dia juga tersenyum padaku. Poni itu, masih ada saja. Jadi seperti Dita Karang. Tapi dengan versi yang lebih gendutan.

"Ngopi dulu yuk, sambil ngomongin fee sama uang jalan!" Ajak mbak Sofi.

"Siap juragan" jawabku.

Aku mengikuti langkah kaki mbak sofi. Masih seperti dulu. Bokongnya masih tetap dia balut dengan celana jeans ketat, sehingga masih tampak bulat menggoda.

Sebenarnya aku pernah ada afair sama mbak sofi. Tapi itu hanya sekali. Quicky, saat dia kesal, tak dipuaskan suaminya.

Hanya sekali itu aja. Rupiah darinya, jauh lebih berharga buatku, daripada godaan syahwatnya.

Cukup lama aku menanti penumpang itu selesai menelepon. Sampai aku sempat digoda mbak Sofi juga.

Kalau saja dia tidak segera muncul, mungkin aku sudah mengulangi lagi, apa yang pernah aku rasakan dulu.

Dengan sedikit basa-basi aku memeriksa kebenaran data penumpang yang aku pegang. Dan wanita itu mengonfirmasi kebenaran data itu.

Langsung aja aku angkut dia ke mobilku. Mbak Sofi tampak kecewa, dan memberikan kode gemas padaku. Aku tertawa kecil melihat kode itu.

Di awal perjalanan, wanita itu kembali menelepon. Entah dengan siapa. Aku memakai headsetku dan memutar musik. Karena aku berpikir, tak seharusnya aku mendengar apa yang dibicarakan penumpang. Terlebih penumpang ini memilih untuk duduk di sebelahku.

Dua kota telah terlewati, dan telepon wanita itu belum juga selesai. Aku jadi bingung saja, apa yang dia bicarakan sampai bisa ngobrol begitu lamanya? Tapi, bensin yang menipis, membuatku menegurnya. Karena aku mau masuk ke pom bensin.
Beruntung dia mengerti dan mau mematikan sambungan teleponnya.

Saat aku mengisi bensin, wanita itu menurunkan kaca jendela. Dia sempat menatapku. Kuberikan seulas senyum untuk menghormatinya. Dia juga ikut tersenyum. Manis juga dia kalau tersenyum. Mana aslinya memang cantik.

Rambut sepundaknya berkibar dibelai angin sepoi. Dia membuka jaketnya. Tampaklah dadanya yang kecil, namun putih. Belahan leher model V rendah, menyuguhkan kemulusan dadanya. Walah belum sampai pada gunungannya. Pinggangnya ramping, dan kaki yang jenjang, menambah daya tariknya.

"Maaf mbak ya?" Kataku saat memasuki mobil kembali. Dia menoleh.

"Full tank ini tadi" lanjutku.

"Iya, mas. Nggak papa" jawabnya. Senyum itu kembali merekah.

Semuanya akan baik-baik saja, kalau masih bisa tersenyum. Begitu pikirku.

"Silakan mbak, kalo mau nelpon lagi" kataku, saat kita sudah keluar ari area SPBU.

"Huufftt. Udah bosen kali dia, denger curhatan aku" jawabnya.

"Oh"

Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Dia sempat menoleh padaku, namun aku terlanjur menatap ke depan.

"Jadi kepo nih mbak. Dari masih di kantor tadi, kayaknya dari hati banget curhatnya. Kalo boleh nanya nih, embak lagi ada masalah apa, mbak?"

Aku mencoba peruntungan membuka percakapan. Barangkali dia berkenan menjawab. Perjalanan masih panjang. Kalau ada cewek cantik yang menemani ngobrol, pasti tidak akan mengantuk.

"Masnya sih, dari tadi dengerin musik mulu. Jadi nggak tahu, kan" jawabnya. Sontak aku menoleh padanya.

"Ya nggak sopan dong, nguping pembicaraan orang" kilahku. Tanpa aku duga, dia tersenyum padaku. Gigi gingsulnya menambahi manis wajahnya.

"Panjang dong, kalo harus cerita dari awal" komentarnya.

"He he. Kalo embak nggak berkenan juga nggak papa. Aku cuman sekedar mastiin, kalo embak baik-baik aja"

"Duh, senengnya, ada yang merhatiin"

Dia malah berkomentar tentang perhatian. Apa jangan-jangan dia lagi kurang perhatian?

"Mana ada cowok yang nggak mau merhatiin embak?" Selorohku.

"Suamiku" jawabnya. Singkat, padat, dan sukses membuat aku menoleh lagi.

"Aku pikir, godaan terbesar laki-laki itu cuman wanita. Nyatanya ada yang lebih menarik daripada wanita. Bahkan bugilku juga udah nggak cukup menggoda"

"Buset. Embak bugil di hadapan suami embak, suami embak nggak tergoda? Apaan tuh, godaan lainnya?" Seruku tak percaya.

"Judi" jawabnya singkat.

"Judi?"

"Ya. Aneh, kan?"

"Tunggu-tunggu! Suami mbak Shella tukang judi? Judi yang di mana? Perasaan udah nggak ada tempat judi besar deh"

"Di kota sebelah, mas. Tadinya kan aku mudiknya ke kota sebelah, ke tempat suamiku" sahutnya.

Aku mengangguk-angguk mengerti. Memang di kota sebelah masih ada tempat judi besar.

"Emang sih, soal duit dia nggak pernah kurang ngasihnya. Bahkan pada iri sama aku. Tapi kebutuhan hidup kan bukan cuman duit. Ya nggak, mas?" Tanya shella.

"Emang apa lagi mbak? Kalo sehari sejuta sih, apa aja bisa dibeli kali"

"Ya nggak semuanya bisa dibeli mas. Namanya cewek kan cuman boleh punya suami satu. Kalo minta sama yang lain, sekalipun nggak pake duit, namanya kan selingkuh"

"Oh"

Aku paham sekarang. Dia sedang membicarakan urusan birahi. Aku jadi bingung harus menanggapinya bagaimana.

"Yang punya nafsu kan nggak cuman laki-laki. Perempuan juga punya. Nggak salah kan, seorang istri nyamperin suaminya, minta dipuasin?"

"Ya yang bener emang gitu" komentarku.

"Nah, iya kan? Okelah, emang dia kerjaannya judi, bisa ngasih uang belanja banyak. Tapi urusan batin kan juga harus dipikir. Temennya aja banyak yang sange liat aku. Masa dianya malah ngentengin"

"Ngentengin gimana?"

"Udah, kocok aja pake dildo! Sama aja" jawabnya.

"Ha?"

Aku terkejut mendengar jawabannya. Bisa seenteng itu dia bicara vulgar.

"Emang, dia beliin banyak banget dildo. Tapi masa iya, punya suami, tapi pakenya karet mulu? Lagian dengan perut buncit begini, pengennya dimanjain"

Perhatianku tersita dengan kata buncit itu. Memang perutnya tidak rata, tapi bukan seperti orang yang doyan minum.

"Maaf mbak. Mbak Shella hamil?" Tanyaku.

"Iya, mas. Mau jalan tujuh bulan"

"Welah" komentarku pendek.

"Makanya. Aku tuh pengen banget kaya yang lain. Perut dielus-elus, dimanja-manja, diciumin, dijilatin, disodokin, deh. Tinggal nungging aja dia di ranjang. Dapet sekali juga udah seneng, mas"

Aku bingung lagi, bagaimana menanggapi curhatan vulgar semacam ini. Kalau ku tanggapi vulgar, takutnya dikata kurang ajar, tapi akunya juga sudah nyut nyutan.

"Udah jauh-jauh disamperin, boro-boro dienakin, disentuh juga enggak. Aku curhat ke mertua, malah aku dikata-katain. Mana omongannya nyampe ke keluargaku, lagi. Kan malu aku, mas. Makanya aku kesel banget dari tadi tuh"

Aku hanya manggut-manggut saja. Urusan seks aku bingung menanggapi, ditambah lagi urusan rumah tangga.
 
Terakhir diubah:
Cerita bagus nih, bikin tenda di mari Hu, siapa tau bisa tamat nih cerita, biar ada bacaan lagi..
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd