Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karma.Masa Lalu

Chapter 14

Tapi Eko adalah seorang perwira muda lulusan 10 besar akpol terbaik. Apa lagi sejak kecil dia sudah dipersiapkan oleh ibunya untuk menjadi seorang perwira tangguh yang siap menghadapi setiap situasi sesulit apapun. Reflek Eko menangkis tendangan Satria tanpa beranjak dari tempatnya.

"Sabar dulu, aku justru menolong ibumu yang jatuh pingsan." Eko berkata tenang.

Ketenangan Eko berhasil mempengaruhi jiwa Satria yang sedang marah karena melihat ibunya pingsan sementara ada seorang polisi yang duduk di hadapan ibunya. Dirinya terlalu ceroboh dalam bertindak dan hal ini pulalah yang membuatnya masuk penjara. Satria memandang polisi muda itu yang berdiri perlahan dan mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Ragu, Satria menyambut uluran tangannya. Mereka bersalaman erat.

"Satria, apa yang kamu lakulan Nak? " suara Lastri terdengar lemah. Penuh dengan kepedihan.

Reflek Satria dan Eko berpaling ke arah Lastri yang sudah sadar. Hampir berbarengan mereka duduk dihadapan Lastri yang berusaha duduk walau kondisi tubuhnya masih lemah akibat jiwanya yang terguncang.

"Satria tidak melakukan apa apa, Bu...!" Satria mencium tangan ibunya. Otaknya berpikir keras apa yang sebentar terjadi. Satria menoleh ke arah Eko yang duduk di sampingnya. Apa mungkin kedatangan Eko yang membuat ibunya jatuh pingsan? Seragam polisi membuat ibunya berpikir macam macam.

"Kenapa ada polisi nyari kamu?" tanya Lastri tidak percaya. Sudah jelas ada seorang polisi berseragam yang datang ke rumah, pasti untuk mencari Satria. Entah apa yang sudah dilakukan anaknya sehingga seorang polisi datang mencarinya malam malam begini.

"Saya ke sini bukan mencari Satria, Bu..!" potong Eko setelah menyadari situasi yang menyebabkan Lastri pingsan karena menyangka dia datang untuk menangkap Satrua.

"Saya datang mencari Bu Lastri..!" kata Eko menatap Lastri yang masih tergolek lemah. Cantik sekali bibinya, penderitaan tidak mampu merampas kecantikannya. Usianya baru 42, tapi sudah mengalami penderitaan yang panjang yang tidak setiap orang mampu menanggungnya. Waniita yang kuat, pikir Eko dengan rasa kagum.

"Ada apa nyari, saya? Saya tidak melakukan apa apa!" kata Lastri kaget. Tubuhnya kembali pulih setelah tahu Satria tidak berbuat macam macam seperti yang ditakuti.Lastri duduk dengan kaki yang diselonjorkan.

"Saya Eko, anak Kompol Heny Sukowati...!" kata Eko menatap Lastri, berusaha membaca ekspresi wajahnya.

"Ka...ka..mu anak, Mbak Heny...?" tanya Lastri kaget. Lastri menatap wajah Eko berusaha mencari kemiripan dengan wajah kakaknya. Lastri menggeleng, karena tidak menekan kemiripannya.

"Benar, Saya anak Heny Sukowati putri Mbah Karjo dan Mbah Tukiyem dari Semarang." Eko dengan lancar menyebutkan nama orang tua Lastri.

Lastri terpaku mendengar ke dua nama orang tuanya disebut. Orang tua yang sudah 26 tahun tidak pernah ditemuinya. Matanya berkaca, perlahan turun jatuh ke pipinya.

"Mbahmu sehat...?" tanya Lastri tidak berani menyebut nama orang tua yang sudah mengusirnya karena menganggap dirinya hanyalah aib bagi keluarga. Berbeda dengan Mbaknya Heny yang dianggap sebagai orang yang sudah mengangkat derajat orang tuanya.

"Alhamdulillah Mbah sehat, mereka sering cerita tentang Bulek Lastri, mereka kangen dengan Bulek dan mereka sangat menyesali perbuatan mereka mengusir Bulek Lastri..?" kata Eko sambil memijiti betis Lastri.

"Ini anak Bulek Lastri, namanya Satria. Satria ini kakak sepupu kamu anaknya Bude Heny, Mbak Ibu." kata Lastri menunjuk ke arah Satria. Lastri tersenyum anak dan keponakannya bersalaman saling memperkenalkan diri. Ahirnya Satria bisa mengenal saudaranya. Lastri tersenyum bahagia.

********

Satria terpaku melepas kepergian Eko. Ada sesuatu yang mengusiknya dari ucapan pemuda itu tentang nama panjang ibunya, Heny Sukowati. Sukowati, bukankah itu tato yang tertulis di belakan telinga Rani. Apakah tulisan tato yang dimaksud adalah Heny bukan nama seperti yang disangka olehnya. Sukowati nama daerah di Gemolong.

Mengenai tato yang tertulis di bagian tubuh rahasia Rani dan Rini, Jalu masih ingat dengan jelas semuanya. Karena Jalu sengaja menulisnya agar tidak melupakannya dan menganggapnya sebagai sebuah petunjuk yang sangat berharga. Lalu ke mana Rani dan Rini, mereka hilang seperti ditelan bumi.

Lalu kenapa ayahnya menemui Lastri? Apakah ini ada kaitannya dengan brankas yang sedang dicari waktu itu. Lalu berkas apa yang dititipkan ayahnya ke Lastri dan kemudian diberikan ke Heny?

24 tahun silam.

Jalu marah saat tahu Lastri menghilang meninggalkan sebuah surat untuknya. Surat yang dikirim melalu pos. Bukan uang yang dibawa lari yang membuatnya marah, tapi kecurigaannya bahwa Lastri terlibat dalam rencana yang hampir membuatnya tewas. Tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya. Siapa kawan maupun lawan.

"Jangan terlalu dipikirin, A. Mendingan A Ujang urus kios dulu sampai situasinya kembali tenang." kata Lilis melihat kemarahan Jalu. Belum pernah Lilis melihat Jalu semarah ini. Jalu yang dikenalnya lugu dan selalu ragu mengambil keputusan. Mungkin situasi seperti ini bisa merubahnya.

"Kita tutup saja Kiosnya, Lis..!" kata Jalu. Entah ide dari mana untuk menutup kios. Jalu hanya berpikir untuk menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya.

"Kios tidak boleh tutup, A Ujang ke kios dulu. Periksa stock barang yang kosomg, nanti Lilis kirim stock barang yang kurang." kata Lilis. Kios harus yetap buka. Ini modal untuk masa depan mereka kalau ingin keluar dari bisnis lendir peninggalan Pak Budi. Lagi pula cara berpikir Jalu yang sederhana lebih cocok untuk mengurus kios.

Jalu mengalah dan selalu mengalah dengan argumen Lilis yang selalu benar. Jalu berpamitan ke Ningsih dan Lilis untuk pergi ke kios, kali ini Jalu tidak menolak ditemani dua orang jawara yang menurut Lilis mumpuni ilmu bela diri dan kemampuan bertarung jalanannya.

Sampai pasar, Jalu membuka kios yang sudah tutup sejak seminggu yang lalu setelah menghilangnya Lastri. Berpedoman pada buku catatan yang ditinggalkan Lastri, Jalu tidak mengalami kesulitan untuk menghitung stock barang yang berkurang, semuanya sudah tercatat apa saja yang harus dibelinya.

Gadis yang cerdas dan sangat teliti, semuanya tercatat dengan rapih. Sayang, kenapa Lastri harus melarikan diri? Bukankah Lilis dan dia sudah memaafkan tindakannya. Apa karena uang atau jangan jangan ada orang yang mau melenyapkan dia karena tahu banyak? Bukankah ayahnya datang menemui Lastri yang justru membuatnya dalam posisi yang berbahaya? Jalu terduduk lemas saat memikirkan hal itu.

Saat Jalu terduduk lesu memikirkan Lastri, Heny datang menemuinya. Ke dua pengawalnya tidak berusaha menghalangi kedatangan Heny yang kelihatan tidak berbahaya. Bagaimana mungkin seorang wanita cantik yang lemah gemulai bukanlah sebuah ancaman yang akan membahayakan Jalu.

"Aku ingin bicara...!" kata Heny tanpa basa basi.

"Mau bicara apa?" tanya Jalu curiga. Sejak mengetahui bahwa Heny adalah seorang polis yang sedang menyamar. Jalu merasa perlu menjaga jarak.

"Kita cari tempat yang aman...!" kata Heny dengan wajah serius.

Jalu ragu untuk mengikuti kemauan Heny yang menurutnya aneh. Belum pernah Heny secara terang terangan mencarinya. Apa lagi mengajaknya bicara di sebuah tempat aman. Apa temat ini tidak aman.

"Ayolah, aku hanya ingin bertanya tentang.Lastri..! Kita tidak mungkin bicara di tempat seramai ini." kata Heny memaksa. Heny mengajak Jalu ke rumah kontrakannya.

"Kalian tidak perlu ikut, kang Jalu akan aman bersamaku..!" Heny memandang ke dua yang bersamaku.

Ke dua orang itu terlihat ragu, mereka enggan meninggalkan Jalu begitu saja. Tugas mereka adalah memastikan Jalu aman walau harus mengorbankan nyawa mereka sendiri seperti pesan mendiang Gobang. Ya mereka adalah orang orang yang sangat loyal kepada Gobang karena merasa berhutang budi. Itu yang mengikat mereka.

"Gobang mengenalku, kalian juga tentu sudah mengenalku..!" kata Heny membuat Jalu terkejut. Wanita misterius yang berdiri di sampingnya ternyata mengenal ayahnya.

Ke dua orang itu ragu, mereka memandang Jalu menunggu perintah apa yang harus mereka lakukan. Jalu memahami situasi sulit mereka.

"Kalian boleh mengawasiku dari jauh, jangan mendekat." kata Jalu mengambil keputusan. Kenapa harus takut dengan seorang polisi yang sedang menyamar, dia tidak akan membahayakan jiwanya. Apa lagi Jalu merasa tidak pernah berbuat kriminal, dia hanya terseret dalam sebuah lingkaran yang tidak dimengertinya.

Jalu dan Heny naik motor Jalu sementara ke dua orang itu mengikutinya dari kejauhan dengan mengendarai dua buah motor lainnya. Ternyata Heny tidak mengajaknya ke rumah kontrakan seperti yang dikatakannya tadi. Heny mengajak Jalu ke sebuah penginapan di luar kota Bogor, sudah masuk Kabupaten Bogor.

"Katamu kita ke kontrakan, kenapa kamu mengajakku ke sini?" tanya Jalu heran.

"Di sini kita bisa bicara lebih leluasa." kata Heny menggandeng Jalu memasuki penginapan. Setelah membayar di meja resepsionis dan mendapatkan kunci, mereka masuk kamar yang sudah ditentukan resepsionis.

"Kita mau bicara apa?" tanya Jalu setelah masuk kamar.

"Kamu tahu ke mana Lastri pergi?" tanya Heny yang duduk di kursi menghadap ke arah Jalu yang duduk di atas spring bed.

"Aku tidak tahu." jawab Jalu tenang. Mereka hanya bicara berdua di kamar, tapi situasinya sangat berbeda. Selama ini mereka tidak pernah banyak bicara. Mereka hanya melampiaskan nafsu saat bertemu.

"Kamu bilang tidak tahu? Kalian bertemu di kontrakan, lalu Lilis dan orang orangnya datang. Setelah kejadia itu malamnya Lastri menghilang. Mustahil kamu tidak tahu di mana adikku!" kata Heny sambil menggebrak meja di sampingnya. Wajahnya marah karena marah.

"Aku benar benar tidak tahu.!" Jalu berteriak jengkel karena Heny hanya ingin mendengar jawaban seperti yang diinginkannya. Padahal dia benar benar tidak tahu ke mana Lastri pergi.

"Baik, kalau kamu tidak tahu. Lalu kenapa Lastri pergi setelah bertemu dengan kalian? Apa yang kalian lakukan terhadap adikku?" tanya Heny mengganti topik yang sebenarnya sama.

"Karena dia mengambil uangku sebesar 32 juta." entah ide dari mana Jalu menyinggung masalah uang yang dibawa kabur oleh Lastri untuk menghindari introgasi Heny. Kalau saja Jalu belum mengetahui Heny seorang polisi yang sedang menyamar, mungkin Jalu tidak merasa tertekan seperti sekarang.

Sekarang Jalu merasa tertekan oleh pertanyaan yang dilontarkan Heny. Jalu merasa ini bukanlah pertanyaan. Ini sebuah interogasi yang dilakukan polisi yerhadap tersangka. Dan Jalu terlalu hijau untuk menghadapi situasi seperti ini. Suasana tegang berangsur mencair saat pintu kamar diketuk seseorang.

"Buka pintunya..!" kata Heny dingin. Tangannya masuk ke dalam tas, entah apa yang diambilnya. Jalu tidak memperhatikannya.

Jalu mengangkat bahu, pasti pelayan kamar yang mengantar minuman. Ternyata bukan, saat pintu terbuka Jalu melompat mundur dan memasang kuda kuda siap bertarung karena orang yang berada di balik pintu adalah orang yang telah menikamnya hingga hampir tewas.

Belum sempat Jalu melayangkan tinju ke orang yang sudah menikamnya, Heny berdiri menodongkan pistol ke arahnya.

"Diam di tempat atau peluru ini akan menembus kepalamu...!" gertak Heny.

Jalu terkejut, belum pernah seumur hidupnya sebuah pistol mengarah ke arahnya. Apakah hari ini adalah ahir hidupnya? Bayang bayang kematian kembali menghampiri membuat sekujur tubuhnya menjadi dingin. Jalu menarik nafas panjang berusaha mengusir rasa takutnya. Sudqh saatnya rasa takut pergi dari hatinya. Rasa takut yang membuatnya menjadi lemah.

"Ada apa ?" tanya Heny kepada orang yang baru masuk. Orang yang menikam Jalu hingga koma.


Suara dering hp pribadi yang hanya diketahui keluarga membuyarkan lamunan Jalu. Panggilan yang tidak mungkin diabaikannya..
Bisa saja itu dari salah satu anaknya dan Jalu sangat akrab dengan semua anaknya. Dia adalah figur ayah yang baik untuk anak anaknya. Dari Wulan, ada apa dengan keponakannya ini. Tidak mungkin dia menelpon malam malam kalau tidak ada urusan sangat penting.

"Ada apa, Lan?" tanya Jalu hawatir. Sejak kematian ke dua orang tua Wulan, Jalu merasa dirinya sebagai pengganti orang tua buat Wulan.

"Simbah sakit keras...!" kata Wulan dari seberang telepon.

Jalu hanya menarik nafas panjang. Tentu saja dia mengenal orang yang dimaksud Simbah oleh Wulan. Wanita tua yang dulu menjadi pelayan ayahnya atau mungkin lebih tepat gundik ayahnya sehingga dari wanita itu ayahnya mempunyai seorang anak perempuan.

"Kamu mau ke rumah Mbahmu malam ini? Pakdhe kirim orang buat ngantar kamu. Pakdhe nanti nyusul setelah semua urusan Pakdhe selesai." kata Jalu. Bukan hal yang sulit buat mengirim supir berikut mobil yang akan mengantar Wulan ke tempat Mbahnya. Hei, kenapa tidak menyuruh Wulan untuk minta Satria menemaninya. Bukankah itu bagus untuk melakukan napak tilas kakek dan ayahnya ke tempat itu.

"Kamu minta ditemani Satria, dia bisa bantu bantu kamu selama di rumah Mbahmu. Toko kamu tutup untuk sementara waktu." kata Jalu bangga dengan ide cemerlangnya mengusulkan Satria ke rumah Mbahnya Wulan. Melakukan napak tilas yang pernah dilakukan kakek dan ayahnya.

******

Satria tidak terlalu tertarik kedatangan Eko, perasaannya biasa saja. Toch selama ini dia hanya punya seorang ibu tanpa pernah tahu dari mana ibunya berasal. Punya saudara berapa, siapa nama kakek dan neneknya, semua dianggapnya tidak berarti. Satu satunya rahasia yang ingin diketahuinya adalah siapa ayahnya. Hingga detik ini ibunya tidak pernah memberi tahu siapa nama ayahnya.

"Kamu kerja di mana, Sat?" tanya Eko membuyarkan lamunan Satria.

"Pelayan Toko." kata Satria singkat. Pelayan toko, tentu tidak akan dipandang sebelah mata oleh saudara sepupunya ini yang sukses menjadi perwira muda kepolisian dan mempunyai seorang ibu yang juga perwira kepolisian. Apalah artinya seorang pelayan toko dan ibunya yang hanya seorang buruh pabrik garmen yang berulang kali harus dirumahkan karena kontraknya habis.

Ada setitik harapan yang masih menyala di hati Satria, sekarang dia sudah menguasai sebuah daerah dengan sepuluh orang anak buah yang memunguti uang keamanan yang harus disetor ke dirinya, walau Satria sendiri harus kembali menyisihkan sebagian kecil uang itu untuk seseorang yang diatasny. Tapi dari hasil uang keamanan yang diterimanya masih tersisa cukup banyak. Melebihi penghasilannya bekerja di Toko. Uang itu akan ditabungnya sehingga suatu saat kelak dia akan memiliki sebuah Toko.

"Pelayan Toko juga pekerjaan halal, suatu saat kamu pasti sukses." kata Eko sambil menepuk pundak Satria. Reflek Satria menyingkirkan tangan Eko dari pundaknya.

"Aku tidak butuh nasehatmu..!" kata Satria ketus. Satria lahir sebagai anak harimau yang hanya mengenal ibunya. Sejak kecil orang selalu mengejeknya sebagai anak haram, membuatnya semakin terkucil dan cara satu satunya bertahan dari ejekan mereka adalah kepalan tangannya. Kepalan tangan yang dilatihnya dengan melihat pertandingan tinju di TV. Gerakan paling mudah yang bisa dia pelajari tanpa seorang guru, hanya mengandalkan sebuah buku teori bertinju yang diambilnya dari sebuah perpustakaan.

Lalu Satria membuat sebuah samsak dari ban bekas mobil yang diisi dengan pasir lalu di gantung di sebuah pohon. Untuk menggantung samsak itu butuh perjuangab yang tidak mudah untuk anak berusia 10 tahun seperti dirinya. Mulai saat itu Satria berlatih mengasah tinjunya.

Satria belajar secara otodidak, melatih kekuatan tinju dan kekuatan tubuhnya seperti petunjuk dari buku tentang tinju. Untung dia mempunyai bakat alami, bakat seorang petarung sehingga dia tudak mengalami kesulitan berlatih.

"Assalam mu" alaikum..!" suara seorang wanita mengucapkan salam.

"Wa 'alaikum salam." ibunya menjawab dan menyuruh Satria membuka pintu.

Satria terkejut melihat tamu yang datang ternyata Wulan. Kenapa Wulan tidak menelpon atau setidaknya mengirim pesan sperti yang biasa dilakukannya.

"Ada apa, Lan?" tanya Satria yang belum reda rasa terkejutnya.

"Aku mau minta tolong ke kamu. Nenekku sedang sakit keras di kampung, aku mau kamu nemani aku ke kampungku. Please...!" Wulan memohon dengan wajah memelas.

Satria sebenarnya ingin menolak, tetapi melihat wajah Wulan yang memelas. Satria berubah pikiran, tidak ada salahnya menemani Wulan ke kampungnya. Wulan selain bosnya, dia juga wanita pertama yang memperkenalkannya dengan kenikmatan sex yang selama ini hanya bisa dihayalkannya. Sedangkan untuk jajan, Satria tidak mempunyai keberanian sama sekali.

"Satria, kok temannya gak diajak masu" Lastri bertanya dari dalam.

"Iya, Bu. Masuk dulu, Lan. Sekalian pamitan sama ibuku." kata Satria. Satria memperkenalkan Wulan sebagai pemilik Toko tempatnya bekerja ke Ibunya dan juga maksud kedatangannya.

"Iya, ibu ijinkan. Hati hati di jalan." kata Lastri memberi ijin. Satria segera berkemas lalu pergi setelah mencium tangan ibunya.

"Kita naik apa?" tanya Satria saat mereka berjalan menyusuri gang yang menuju jalan raya.

"Naik mobil Pakdheku..!" kata Wulan sambil memegang tangan Satria. Hatinya bahagia akan menghabiskan waktu beberapa hari dengan Satria. Wulan akan mengenalkan Satria sebagai calon suaminya ke Mbahnya di desa.

"Aku gak bisa nyupir..?"kata Jalu. Apa Wulan yang akan menyupiri mobil hingga desanya? Di mana desa neneknya Wulan, sepertinya Wulan tidak menyebutkan nama desanya dan kenapa dia tidak bertanya. Bahkan ibunyapun tidak bertanya ke mana anak semata wayangnya akan diculik untuk beberapa hari.

" Hei, monyet...!" sebuah suara membentak Satria yang baru saja sampai jalan raya.

Satria terkejut begitu mengetahui siapa yang membentaknya. Ayahnya Syifa, kenapa orang ini tiba tiba muncul di hadapannya. Bahaya, Satria tidak mau mencari masalah dengan ayahnya Syifa, itu akan merugikan dirinya sendiri. Akan semakin sulit mendekati Syifa.

Dulu dia pernah menghajar ayah Syifa hingga babak belur. Tindakan yang sangat disesalinya sampai sekarang membuatnya kesulitan mendapatkan Syifa. Andai saja waktu itu dia tidak menghajar ayah Syifa, mungkin Syifa saat ini sudah menjadi miliknya.

Satria tidak berani menatap wajah ayahnya Syifa, bahkan kalaupun pria paruh baya itu memukulinya, dia tidak akan melawan.

Bersambung gan..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd