Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karma.Masa Lalu

Chapter 40

"Kalian dengar?" tanya Wulan kepada dua preman yang menoleh menyambut kehadiran Satria.

"Baik, Kang. Kami tunggu...!" jawab ke dua preman yang mengerti situasi yang sedang mereka hadapi. Sandiwara yang sebenarnya membuat mereka bingung.

Wulan tersenyum menyambut kedatangan Satria yang ditunggunya sejak tadi. Kecemburuan berusaha disembunyikan serapat mungkin. Percuma kalau rasa cemburu ditunjukkannya terang terangan, hanya akan menjauhkan Satria darinya. Saat ini yang harus dilakukannya adalah menawah hati Satria agar benar benar bisa menerima kehadirannya dan memcintainya.

"Kamu dari mana saja, kok baru pulang sekarang?" tanya Wulan sambil mencium tangan Satria. Kebiasaan yang mulai dilakukannya sejak mengetahui hubungan Satria dan Syifa.

"Kan tadi aku bilang ada temen yang kena musibah, ayahnya meninggal karena kecelakaan." jawab Satria sambil memberinya kecupan pada pipinya yang halus.

"Iya, lupa." jawab Wulan menyembunyikan rasa curiganya serapat mungkin.

"Bu...!" Satria mencium tangan ibunya yang berdiri mematung melihat semua adegan itu.

Wulan segera menggandeng tangan Satria masuk ke dalam toko melewati beberapa pembeli menuju ke tangga. Wulan ingin Satria langsung mandi agar tidak ada bau wanita lain yang menempel di tubuhnya.

"Langsung mandi_ ya..! Badan kamu bau keringat..!" kata Wulan. Bukan bau keringat Satria yang mengusiknya, karena bau keringat Satria justru membuatnya bergairah. Bau wanita lain yang menempel di tubuh Satria membuatnya cemburu.

"Tumben langsung nyuruh mandi..!" kata Satria menggoda Wulan sambil menyuruh Wupan naek lebih dulu karena tidak mungkin mereka naek tangga yang kecil berbarengan.

"Ko tumben..?" tanya Wulan mulai menaiki tangga. Pantatnya yang besar dan bulat bergerak menggoda Satria. Bukan hanya Satria, tapi setiap pria yang melihatnya pasti akan tergoda.

"Iya, biasanya aku pulang langsung kamu telanjangin." jawab Satria yang tergoda meremas pantat Wulan yang tepat berada di hadapannya. Sekal, empuk dan hangat.

"Pengen, ya..?" goda Wulan menaikkan roknya yang lebar mempertontonkan pantanya yang putih mulus tanpa cacat. Entah kenapa birahinya bangkit tidak terkendali membayangkan Satria menggumuli wanita lain, padahal selama ini dia begitu cemburu dan marah.

Wulan mendesah lirih saat Satria meremas pantantanya dan jarinya menyentuh memeknya yang tersembunyi di balik celana dalam. Lendir memeknya sudah membasahi celana dalamnya yang putih dan tipis. Wulan mempercepat langkahnya menuju kamar berusaha menyingkirkan fantasi liarnya untuk bercumbu di tangga seperti di film film porno.

Sampai kamar keinginan Wulan untuk menyuruh Satria mandi hilang begitu saja. Gairahnya sudah mencapai puncaknya apa lagi membayangkan Satria bercumbu dengan wanita lain. Perasaan yang sama saat Satria melakukan dengan Ratih dan Wulan mulai menyadari ada kelaianan pada orientasi sexnya. Kenapa dia justru semakin bergairah membayangkan Satria bergumul dengan wanita lain.

Wulan menarik tangan Satria ke ranjang yang spreinya berwarna pink. Sprei yang hampir setiap hari digantinya karena ternoda oleh lelehan pejuh dan lendir memeknya. Hampir setiap malam mereka bercumbu dan berpacu birahi, mungkin karena usia perkawinan mereka yang baru seumur jagung membuat mereka begitu bergairah dan tidak melewatkan malam begitu saja tanpa bergumul.

"Aku mau mandi dulu, Say...!" kata Satria yang jatuh terduduk di pinggir ranjang.

"Gak usah..!" jawab Wulan singkat. Tangannya berusaha membuka kaos Satria. Sekilas dia mencium bau parfum yang agak tajam, parfum murahan yang menempel di baju Satria dan yang pasti itu bukan parfum yang biasa yang dipakainya.

"Tapi...!" Satria gelisah dan tidak meneruskan perkataannya. Wulan sudah melumat bibirnya dengan bernafsu. Nafsunya semakin memuncak saat membayangkan bibir Satria mengulum bibir wanita lain. Wulan berusaha menemukan rasa yang berbeda dari bibir Satria. Rasa dari bibir wanita lain yang menempel. Tapi usahanya sia sia, yang dirasakan hanyalah rasa bibir Satria yang terasa has karena bau asap rokok.

"Kamu kok nafsu amat?" tanya Satria heran merasakan gairah Wulan yang terasa berbeda.


"Emang gak boleh aku nafsu sama suami sendiri?" tanya Wulan berbisik. Perlahan lidahnya menjilati telinga Satria. Nafsunya memang berbeda dengan malam malam sebelumnya. Apa yang dirasakannya saat ini sama dengan yang dirasakan saat Satria melakukan ritual dengan Ratih, bahkan rasanya sekarang ini lebih dahsyat dari pada di Gunung Kemukus. Wulan semakin tidak bisa mengendalikan dirinya saat melihat bercak merah yang samar di leher Satria, itu pasti bekas cupangan wanita lain. Seingatnya dia tidak pernah meninggalkan bekas cupangan di leher Satria.

"Kamu habis ngentot sama Syifa, ya?" bisik Wulan, hatinya berdesir saat menyebut nama Syifa. Rasa cemburu, marah dan gairah yang bercampur menjadi satu dan lebih dari semua yang dirasakan, memeknya berkedut kencang menimbulkan sensasi geli dan nikmat saat lendir mengalir membasahi celana dalamnya.

"Ngomong apa, sich..?" tanya Satria berusaha menutupi apa yang telah dilakukannya.

Wulan tertawa geli saat Satria meremas payudaranya dengan lembut. Payudaranya berubah menjadi sangat sensitif. Tidak masalah Satria mau mengakuinya atau tidak. Wulan mendorong Satria rebah. Tanpa beranjak dari tempatnya, Wulan membuka seluruh pakaiannya tanpa ada yang tersisa.

"Ngaku aja, kamu habis ngentot sama Syifa , kan?" tanya Wulan dengan penekanan pada nama, Syifa. Rasa cemburu membuatnya mendapatkan sensasi dahysat yang baru disadarinya sekarang. Sensasi dahsyat yang juga dialaminya saat Satria ritual dengan Ratih.

"Akkkku...!" Wulan melumat bibir Satria menghentikan perkataan Satria. Dia tidak mau gairah Satria hilang hanya karena mengakui perbuatannya. Dia menginginkan Satria tetap menjadi pejantan tangguh yang mampu membawanya ke puncak orgasne terus menerus.

Wulan tidak memberi kesempatan Satria merasa bersalah atas perbuatannya. Wulan turun dari ranjang dan membuka celana jeans Satria tanpa kesulitan menariknya lepas berikut celana dalam yang mengukung kontol Satria yang masih setengah tegang. Wulan membelainya dengan lembut. Diciumnya batang kontol yang setengah tertidur mencari bau memek wanita lain. Wulan sangat berharap dapat menemukannya walau mungkin sudah memudar. Sia sia apa yang dilakukannya, Wulan tidak bisa menumakan bau memek wanita lain. Bau yang mungkin saja sudah hilang terbawa air sabun dan keringat Satria.

Wulan merasa sangat yakin, kontol Satria baru saja masuk ke memek wanita lain dan wanita itu adalah Syifa. Dengan penuh kecemburuan, Wulan melahap kontol Satria berusaha membersihkan kontol Satria dari lendir memek Syifa yang bisa saja masih menempel walau baunya sudah hilang.

"Ennnak, Say....!" Satria merintih nikmat mendapatkan sepongan Wulan yang sangat mahir. Kontolnya dengan cepat tegang hingga batas maksimal membuat Wulan bersorak dalam hati mengagumi keperkasaan kontol Satria.

Wulan semakin bernafsu mengeluarkan semua kemampuannya untuk memberikan rasa nikmat kepada Satria dan pada sisi lainnya dia sangat menikmati sensasi mencari lendir memek Syifa yang menempel. Membersihkannya hingga tidak ada lagi yang tersisa walau sekecil apapun. Hingga dia merasa yakin tidak ada lagi lendir memek Syifa di batang kontol Satria.

Wulan beralir ke peler Satria, pasti akan ada lendir memek Syifa dibagian kulit yang mengkerut. Dengan telaten Wulan menjilatinya tanpa ada bagian yang terlewat. Bahkan jilatannya mendekati lobang anus Satria yang menggelinjang nikmat. Tanpa rasa jijik Wulan menjilati lubang anus Satria, mungkin saja lendir memek Syifa sampai pada bagian itu.

"Say, jangan jilatin anusku. Jijik...!" kata Satria berusaha mengangkat punggulnya berusaha menghindari lidah Wulan pada anusnya tapi percuma, Wulan semakin asik menjilati anusnya dengan bernafsu.

Setelah yakin tidak ada lagi lendir memek Syifa yang menempel, Wulan berjongkok di atas kontol Satria yang berdiri tegak. Diraihnya batang kontol Satria agar tepat pada lobang memeknya. Perlahan pinggulnya turun membuat kepala kontol Satria mulai terbenam dalam jepitan memeknya yang sangat basah. Tidak perlu lagi Satria mencumbunya agar memeknya siap menerima penetrasi, karena birahinya sudah mencapai puncaknya.

"Och, ennnak kontol kamu, Say...!" rintih Wulan menerima kehadiran kontol Satria pada lobang memeknya. Terbenam membelah hingga bagian terdalam.

"Memek kamu panas amat...! Nikmaylt sekali..!" kata Satria meraih payudara Wulan yang menggantung indah. Meremasnya dengan lembut. Payudara yang sebentar lagi akan menyimpan cadangan ASI untuk calon anak mereka.

"Gara gara ngebayangin kamu ngentot sama Syifa, kali. Makqnya memekku jadi panas." goda Wulan sambil menggerakkan pinggulnya memompa kontol Satria.

"Kok, bisa..?" tanya Satria heran.

"Tuhkan benar, kamu habis ngentot dengan Syfa..!" kata Wulan tersenyum senang karena tebakannya benar dan itu benar benar membuatnya mengalami sensasi yang belum pernah dirasakannya. Hanya dalam waktu yang sangat singkat dia meraih orgasme pertamanya yang luar biasa dahsyat. Pinggulnya terhujam ke bawah, memeknya meremas kontol Satria diiringi sengatan dahsyat yang membawanya ke puseran orgasme.

"Say.....akkkku kelllluar....!" Wulan menjerit tanpa mampu menahan volume suaranya yang mengagetkan Lastri yang sedang melintas di kamarnya. Pintu kamar yang sedikit terbuka memaksa Lastri mengintip ke dalam, lalu perlahan menutup pintu kamar rapat rapat setelah melihat apa yang terjadi di dalam kamar.

"Gila, enak banget Say. ...!" kata Wulan setelah badai orgasme yang dialaminya reda. Badai orgasme terdahsyat yang pernah dialaminya.

*******

Syifa membuka seluruh pakaiannya di kamar mandi. Dia harus mandi zunub dan ikut mengaji di hadapan mayat ayahnya yang terbujur kaku di depan membaur dengan para pelayat yang datang dan ikut mengaji. Baru besok ayahnya akan di kubur. Tidak mungkin ayahnya di kubur pada malam ini juga.

Syifa membuka BHnya, ada bercak merah di payudaranya yang putih mulus. Bekas cupangan Satria. Bercak yang terlihat indah dan membuat Syifa berlama lama memperhatikannya. Syifa meraba bercak merah di payudaranya. Bibirnya tersenyum mengingat kejadian di kamar penginapan, momen yang membuatnya bahagia.

Astaghfirullah... Di depan ada mayat ayahnya, kenapa dia justru asik memperhatikan bercak merah di dadanya. Kenapa dia tidak berduka sedikpun dengan kematian ayahnya? Apakah karena kenangan buruk yang melekat sejak dia kecil. Seingatnya tidak pernah sedikitpun ayahnya memperlakukan dia dan ibunya dengan lembut. Hanya cacian dan pukulan yang selalu mereka terima. Tapi ayahnya sudah terbujur kaku, tidak adakah rasa duka walau hanya sedikit. Syifa menarik nafas panjang.

Syifa segera membuka celana dalamnya. Setidaknya dia harus memperlihatkan rasa dukanya di hadapan para pelayat dengan mengaji di samping jasad ayahnya.

Perhatiannya tertuju ke celana dalamnya, pada bercak noda pejuh Satria yang berbaur dengan lendir memeknya yang sudah mengering. Syifa memang belum mencuci memeknya setelah berhubungan sex dengan Satria dan berharap pejuh Satria membuahi rahimnya.

Syifa mencium bercak pejuh pada celana dalamnya. Menciumnya berulang ulang memenuhi ringga dadanya. Dia ingin ada sperma yang membuahi indung telurnya. Dia inggin mengandung anak pria yang dicintainya dan berharap Satria akan menikahinya.

"Syifa, kamu gak apa apa?" tanya Ibunya dari luar kamar mandi. Suaranya terdengar hawatir.

"Gak apa apa, Bu..!" jawab Syifa yang buru buru memasukkan celana dalamnya ke bagian terbawah tumpukan baju kotorny agar tidak terlihat oleh ibunya.

"Buruan kamu keluar, sudah banyak orang yang datang." kata Ibunya mengingatkan.

"Iya, Bu...!" jawab Syifa mengambil gayung dan mulai menyiramkan air ke tubuhnya yang terasak lengket. Air membasahi tubuhnya dan menghapus sisa sisa keringat Satria yang menempel pada tubuhnya. Kalau saja dia tidak sedang berkabung, ingin rasanya Syifa membiarkan sisa sisa keringat Satria tetap menempel pada tubuhnya. Walau untuk itu dia akan melewati waktu shalat.

Syifa menghentikan guyuran air pada tubuhnya. Suara speaker dari masjid mengumumkan berita duka, tapi ini bukan pengumuman kematian ayahnya karrna kematiannya sudah diumumkan tadi.

"Telah meninggal dunia saudara Dewo pada usia 23 tahun...", Syifa terkejut seperti tidak percaya mendengar kematian Dewo tetangganya yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumahnya. Tetangga yang memberi rekaman videonya ke Syifa. Aneh, kematiannya terasa sangat mendadak seperti kematian ayahnya.

Syifa mandi dengan terburu buru, dia ingin tahu penyebab kematian Dewo. Berarti ada dua orang yang mati saat hampir bersamaan.

"Syifa, kamu dengar pengumuman dari masjid?" tanya ibunya dari luar kamar mandi.

"Dengar, Bu. Dewo meninggal karena apa? Sepertinya dia gak sakit..?" jawab Syifa sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang dibawanya.

"Kecelakaan, motornya ditabrak mobil..!" jawab ibunya membuat Syifa terkejut. Ada yang janggal di sini, tiga kecelakaan yang merenggut nyawa orang orang yang mempunyai kaitan dengannya. Pertama, Irfan, ayahnya dan sekarang Dewo. Orang orang yang mengetahui dirinya yang sudah ternoda.

Syifa memakai baju yang dibawanya ke kamar mandi. Apa kematian ke tiga orang itu bukanlah sebuah kecelakaan murni, tapi sebuah pembunuhan yang dibuat sedemikian rupa seperti sebuah kecelakaan? Syifa merasa seluruhnya merinding, takut dengan apa yang dipikirkannya.

******

Lilis tersenyum geli membayangkan wajah Dina dan Eko yang pucat melihatnya kehadirannya. Perwira muda yang cemerlang dalam pendidikan Akedemisnya, sayang dia masih terlalu hijau. Harusnya pemuda itu bersedia di tempatkan di Mabes untuk mendapatkan pelatihan pelatihan lebih intensif sebelum di tempatkan di garda terdepan. Anak itu terlalu muda untuk langsung terjun di garda terdepan apa lagi harus menghadapinya yang sudah sangat berpengalaman di dunia bawah ini. Anak itu akan hancur sebelum waktunya, kecuali orang itu kembali muncul untuk menyelamatkan anaknya yang masih hijau. Ya, dia pasti akan datang, hanya tinggal menunggu waktunya tiba.

Pikirannya beralih ke Dina, entah bagaimana caranya gadis itu berjenalan dengan Eko, hal yang seharusnya dihindari. Tapi justru hal ini semakin membuat rencananya berjalan lancar. Tidak perlu rencana B yang sudah dipersiapkannya. Kehadiran Dina justru membuat rencananya berjalan mulus. Sebuah situasi yang sangat menguntungkannya. Situasi yang diluar rencananya. Walau dia juga harus memberi perlindungan ekstra untuk Dina, tapi itu bukan masalah sulit.

Lilis tersenyum senang rencananya mulai berjalan, membayangkan orang itu yang pasti jengkel kalau mengetahui dirinya masih hidup. masih hidup.

Orang itu pasti sudah tahu dia masih hidup dan berkeliaran bebas. Orang itu pasti sudah menyiapkan rencana untuk mengabisinya, tapi yang membuatnya heran kenapa orang itu belum bergerak. Hal ini justru membuatnya semakin waspada. Dia seperti sedang menghadapi bayang bayang. Terlihat, tapi tidak berwujud.

Lilis menyenderkan punggungnya pada sofa, matanya terpejam berusaha melemaskan seluruh otot tubuhnya seperti kebiasaannya saat berpikir keras. Menebak arah pergerakkan orang itu. Buntu, karena orang itu belum bergerak bahkan sepertinya dia menunggunya bergerak lebih dahulu. Menunggu celah yang tepat untuk menghancurkannya.

Lilis menarik nafas panjang, sudah jam 20:30 tapi suaminya belum juga datang. Padahal dia selalu tepat waktu menemuinnya di sini, di tempat persembunyiannya di sebuah perkampungan padat penduduk. Bukan tanpa alasab Lilis bersembunyian yang padat penduduk, tempat ini menjadi sebuah bebteng alami yang akan melindunginya dari orang yang berniat mencelakainya. Di sekeliling rumah persembunyiannya adalah rumah para anak buahnya yang paling loyal.

Tok tok tok.... Tok. Sebuah ketukan yang sangat dikenal membuat Lilis tersenyum. Gairahnya bangkit. Ya, dia benar benar sangat membutuhkun orang itu. Dia ingin mencumbu setiap bagian tubuh pria itu, nenghirup bau tubuhnya yang selalu membuatnya bahagia. Lilis membuka pintu perlahan. Jalu berdiri tegak di ambang pintu.

"Maaf, aku telat..!" kata Jalu sambil berjalan masuk dan menutup pintu.

Lilis bangun dari duduknya, tangannya terentang lebar menyambut kedatangan pria yang sangat dicintainya. Entah kenapa sejak mengenal Jalu perasaannya tidak pernah berkurang sedikitpun bahkan semakin hari rasa cintanya semakin besar. Entah pelet apa yang dimiliki Jalu sehingga dia tidak pernah mampu berpaling ke pria lain.

"Kamu dari mana saja. Say?" tanya Lilis sambil mengalungkan tangannya di leher Jalu.

"Kamu ingat Rini anak Codet?" tanya Jalu, tangannya memeluk pinggang Lilis yang ramping, tubuh Lilis tidak berubah sejak mereka bertemu di Gunung Kemukus. Tubuh yang tetap terjaga.

"Tentu saja, A Ujang ketemu dengan Rini?" tanya Lilis antusias dan tidak bisa menyembunyikan rasa cemburu yang membayang di wajahnya.

"Ya, aku bertemu tidak sengaja di RS. Suaminya tewas karena kecelakaan." jawab Jalu. Wajahnya terlihat datar seperti membicarakan sesuatu yang tidak penting, tapi mata Lilis yang jeli bisa melihat sesuatu yang tersembunyi dari wajah Jalu. Dia sudah sangat hafal dengan karakter Jalu dan semua kebiasaan yang paling kecil sekalipun tidak akan pernah lepas dari perhatiannya. Tapi Lilis tidak pernah secara terang terangan menanyakannya secara langsung. Dia tidak mau membuat Jalu merasa tidak nyaman, dia akan menyelidikinya secara diam diam seperti kebiasaannya selama ini.

*******

"Ada kabar apa?" tanya Desy pada pria yang duduk dihadapannya yang sedang asik menyantap ayam bakarnya menggunakan tangan. Tangannya melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, 20:30. Berarti dia sudah berada di Cafe ini selama 20 menit, pas.

"Anak itu tidak bisa datang sekarang." kata pria bertampang sangar sambil duduk di kursi berhadapan dengan Desy yang tetap makan seolah kehadirannya tidak berarti sama sekali.

"Kenapa?" tanya Desy, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Dingin menyembunyikan dendam yang tumbuh puluhan tahun sejak ayah dan ibunya terbunuh dengan cara yang tragis. Dendam yang menjadikannya seorang polisi briliant. Dendam yang sampai kini belum berhasil dibalasnya. Sabar, waktunya akan segera tiba. Ya, tidak lama lagi pembunuh ayah dan ibunya akan segera menyusul ke dua orang tuanya.

"Entahlah, tapi besok dia berjanji akan datang." kata orang itu tenang.

"Mau pesan apa, Pak?" tanya pelayan yang sudah berdiri di samping meja mereka dengan membawa menu.

"Tidak, aku sudah selesai." jawab Desy. Sebuah isyarat yang jelas jelas ditujukan kepada pria yang duduk di hadapannya untuk segera pergi. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan oleh mereka.

"Aku permisi, dulu." kata pria itu bangkit dari kursinya tanpa menunggu jawaban dari Desy, dia berjapan kekuar cafe. Kalimat yang diucapkan kepada pelayan cafe sudah jelas menunjukkan dia sudah tidak dibutuhkan lagi.

Desy meneruskan makannya dengan tenang. Pikirannya tertuju pada Satria, suami dari Wulan. Keponakan Jalu.

********

Keesokan harinya Desy duduk di Cafe yang sama, pada jam yang sama. Menunggu orang yang sama.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd