Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karma.Masa Lalu

Bimabet
Chapter 12 Kerinduan Seorang Ayah

"Kamu ini, ibu baru pulang malah marah marah..!" Lastri tertawa sambil memeluk Satria yang berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Percis seperti ayahnya, emosinya selalu tergambar jelas di wajahnya. Mungkin itu salah satu kemiripan yang mereka miliki selain hidung dan matanya.

"Masuk dulu, A..!" Lastri mempersilahkan Jalu masuk sambil menuntun Satria agar menyingkir dari ambang pintu agar Jalu bisa masuk.

"Eh, iyya..!" Jalu tersadar dari keterpanaannya melihat Satria. Berusaha mencari kemiripan dengan dirinya. Mungkin mata dan hidungnya.

Rumah yang sederhana, tidak ada kursi di ruang tamu apa lagi sofa empuk untuk menerima tamu. Hanya ada karpet yang mulai lusuh warnanya. Jalu duduk bersila di atas karpet. Sama seperti dulu saat bertamu ke kontrakan Lastri.

Satria ikut duduk bersila dihadapan Jalu, matanya tidak pernah lepas menatap Jalu, seperti sebuah tantangan terbuka. Tantangan untuk lawannya.

"Kalian di sini ngontrak apa rumah sendiri?" tanya Jalu karena tidak tahu apa yang harus dipbrolkan. Setidaknya obrolan pembuka ini busa digunakan untuk mencairkan suasana yang terasa kaku. Apa lagi Satria terus menatapnya seperti seorang musuh.

"Rumah sendiri, Lastri sudah sepuluh tahun tinggal di sini. Sejak kami pindah dari Kendal, Jawa Tengah." kata Lastri.

"Rumah ini tidak akan dijual buat ngelunasin hutang kami ke kamu..! Aku akan bayar semua utang ibu dengan mencicilnya." kata Satria meneruskan ucapan ibunya. Satria merasa Jalu menginginkan rumah ini sebagai bayaran hutang hutang ibunya. Kenapa ibunya tidak bilang mereka ngontrak.

"Hei, aku ke sini bukan untuk hutang piutang. Aku mengenal ibumu jauh sebelum kamu lahir. Hahaha, kamu lucu sekali, Satria..!" Jalu tertawa untuk meredakan kecurigaan pemuda yang duduk di hadapannya. Apa Lastri tidak pernah bercerita bahwa dia adalah ayahnya? Setidaknya dia bisa memperlihatkan photo dirinya ke Satria. Entah kenapa Jalu merasa sakit, hatinya seperti teriris sembilu anak laki laki satu satunya tidak mengenal ayahnya.

"Baguslah, anda tidak perlu hawatir hutang hutang kami pasti akan saya bayar lunas. Saya janji, janji seorang lelaki yang pantang mengingkari janji." kata Satria mengulurkan tangan mengajak bersalaman ke Jalu.

"Tentu aku percaya janjimu. Apa ibumu tidak pernah bercerita tentang aku?" tanya Jalu sambil menjabat tangan anaknya dengan erat. Tentu anak ini akan menuruni sifatnya yang tidak pernah mengingkari janji. Tanpa sadar Jalu tersenyum, senyum yang timbul dari dasar hatinya karena mulai melihat kemiripan yang ada pada sifat Satria walau sebenarnya Jalu belum bisa membuktikan apa Satria selalu menepati janjinya atau tidak. Entah kenapa dia bisa bahagia.

"Kamu kok sudah pulang, Sat?" tanya Lastri mengalihkan perhatian Satria yang sedang menatapnya. Tatapan yang sangat dimengertinya, naluri seorang ibu yang membuatnya tahu arti tatapan itu.

"Iya, malam ini Satria nginep di Toko lagi, Bu. Soalnya semalam ada preman yang mau macem macem, jadi beberapa malam Satria nginap di Toko." kata Satria menjelaskan.

"Kamu jangan berantem lagi, Sat...!" kata Lastri hawatir. Jangan sampai Satria kembali masuk penjara, itu adalah kenangan terburuk dalam hidupnya belum lagi cibiran tetangga.

"Enggak, Bu. Satria nginep ditemenin Security...!" jawab Satria berbohong untuk menenangkan hati Ibunya. Kadang bohong diperlukan pada saat saat tertentu, setidaknya akan membuat ibunya lebih tenang.

"Syukurlah, ibu cuma berpesan, selesaikan semuanya dengan cara baik baik, kalai tidak ada pilihan dan untuk membela diri baru kamu boleh menggunakan kepalan tanganmu. Ya udah, kamu berangkat sekarang." kata Lastri menyuruh Satria segera pergi. Jangan sampai Jalu mengungkit masa lalunya di depan Satria, belum saatnya Satria tahu apa lagi langsung dari mulut orang lain. Satria harus tahu dari mulutnya sendiri, mulut ibunya.

"Iya Bu, Satria pergi dulu." Satria mencium tangan ibunya. Tanpa menoleh ke arah Jalu, Satria berdiri.

"Kamu gak pamitan ke Om Jalu!" sebuah perintah dari Lastri dan Satria sangat hafal dengan nada suara ibunya itu.

Satria terpaksa mencium tangan Jalu demi menyenangkan hati ibunya dan juga menunjukan kepada pria yang ternyata bernama Jalu bahwa ibunya bisa mendidik anak. Anak yang santun dan menghormati orang yang lebih tua. Lucu, padahal awal pertemuan mereka diawali sumpah serapah dan diahiri dengan kepalan tangan.

Jalu menatap kepergian Satria, Jalu merasakan hatinya terasa sakit, Lastri memperkenalkan dirinya dengan sebutan om, bukan ayah seperti yang sangat ingin didengarnya. Jalu sangat berharap Satria memanggilnya ayah. Tapi hal itu seperti menjadi sebuah mimpi yang akan sirna saat dirinya terbangun.

"Kenapa harus hawatir, dia anak lelaki dan masih muda. Wajar kalau dia sering menyelesaikan masalah dengan kepalan tangan.." kata Jalu berusaha menenagkan Lastri yang terlihat gelisah melepas kepergian Satria hingga hilang ditikungan.

"Kamu tidak tahu apa apa tentang anakku. Pulanglah, aku ingin istirahat...!" Lastri menyuruh Jalu pulang.

Jalu ingin menolak untuk pulang, masih banyak hal yang ingin diketahuinya tentang Satria. Jalu benar benar ingin mengetahuinya, tapi pikirannya berubah saat melihat tatapan mata Lastri. Mata yang begitu banyak menyimpan penderitaan. Jalu menarik nafas panjang, masih banyak waktu untuknya bertanya tentang Satria yang jelas waktu itu bukan sekarang.

"Baiklah, aku pulang.!" kata Jalu mengalah. Dia akan kembali lagi untuk menemui Lastri tanpa takut wanita itu akan kembali menghilang. Karena dia sudah memerintahkan anak buahnya untuk mengawasi Lastri dan juga Satria.

********

24 tahun silam :

Duka masih menyelimuti rumah Pak Tris setelah seminggu kematian Pak Tris yang tragis, terbunuh oleh Japra. Jalu menyesal kenapa dia dan penduduk kampung tidak bisa menangkap Japra hidup atau mati. Bajingan itu bisa meloloskan diri dengan mudah.

Jalu mengurung diri di kamar ayahnya, memeriksa isi brankas yang hanya berisi emas batangan dan sebuah kotak besi yang berisi surat surat cinta ayahnya Gobang untuk ibunya. Ratusan lembar surat yang tidak pernah sampai ke tangan ibunya. Sekeras apapun dia mencari petunjuk, tidak ada petunjuk sama sekali.

"Mas...!" suara Marni membuyarkan konsentrasi Jalu. Jalu segera membereskan surat surat cinta ayahnya.

"Masuk, gak dikonci..!" kata Jalu setelah semua surat telah masuk ke dalam kotak besi.

Marni masuk dengan membawa segelas kopi dan kendi berisi air putih lengkap dengan jajanan pasar. Wajah cantiknya terlihat sembab karena menangisi kematian ayahnya yang tragis, walau Pak Tris bukanlah ayah kandungnya. Tapi Marni tidak mengetahuinya. Tidak ada yang tahu kalau Marni adalah anak ayahku.

"Ada apa, Mar?" pertanyaan yang terasa janggal setelah mengetahui Marni adalah adik satu ayah. Sungguh gila, menggauli adik sendiri.

"Marni berencana untuk pindah ke Bogor dan memulai hidup baru di sana." Marni menjawab dengan wajah tertunduk.

"Kalau kamu pindah ke Bogor, suami dan ibumu bagaimana?" tanya Satria heean. Tidak mungkin dia menampung Marni dan anaknya. Atau menikahi Marni, dia adalah adik satu ayah dan masih mempunyai suami.

"Mas Yanti yang ngajak Marni pindah ke Bogor dan buka usaha di sana dengab Masnya Mas Yanto yang sudah sukses di sana." kata Marni menjelaskan. Kesedihan masih membayang jelas di matanya.

"Lalu ibumu?" tanya Jalu heran. Jarak Bogor dan Gunung Kemukus itu sangat jauh. Meninggalkan Bu Tris tinggal sendirian di sini bukan pilihan yang baik. Tapi kewajiban seorang isttri adalah ikut ke manapun suaminya pergi.

"Ibu tidak mau ikut. Marni minta tolong Mas Ujang ngebujuk ibu supaya mau ikut ke Bogor." kata Marni. Ahirnya Jalu mengerti maksud Marni menemuinya.

Jalu menyanggupi membujuk Bu Tris, namun seperti halnya Marni, jalu gagal membujuknya. Rumah ini terlalu berharga untuk ditinggalkan. Banyak kenangan yang akan tetap bersamanya hingga ahir hayatnya. Sebuah alasan yang menurut Jalu mengada ada.

Gagal membujuk Bu Tris untuk ikut pindah ke Bogor dengan Marni, keesokan harinya Jalu memutuskan untuk pulang. Sekalian membantu Marni mencari kontrakan untuk mereka tinggal. Lagi pula tidak ada lagi yang bisa dilakukannya di Gunung Kemukus. Semua petunjuk tentang berkas ataupun brankas yang konon dicari Japra dan beberapa sindikat besar. Entah apa isi berkas yang sangat berharga itu sehingga setelah belasan tahun mereka masih mencarinya.


Pak, sudah sampai.!" supir menyadarkan lamunannya. Mobil sudah terparkir di sebuah ruko yang menjual perlengkapan bayi. Baru saja pintu mobil terbuka, Wulan sudah berdiri di depan pintu mobil menyambut kedatangannya.

"Pakde, ko baru datang?" tanya Wulan mencium tangan Jalu yang dipanggilnya Pakde. Pria yang menjadi pengganti ayahnya yang meninggal saat usianya 6 tahun.

"Gimana, toko kamu sudah semakin ramai rupanya..!" tanya Jalu tersenyum senang melihat Toko yang dipenuhi pengunjung dan juga peralatan yang dijual semakin bayak jenisnya. Sebagai seorang pengusaha, Jalu langsung tahu.

"Alhamdulillah, Pakde. Pakde sudah 7 bulan gak pernah ke sini jadi gak tau kemajuan usaha Wulan.!" kata Wulan manja sambil menggandeng tangan Jalu memasuki tokonya yang sedang ramai.

Tiba tiba Jalu terkejut berpapasan dengan Satria yang sedang mengangkat barang dari Gudang, mereka saling bertatapan. Sama sama terkejut, dunja begitu sempit sehingga mereka kembali bertemu di tempat ini.

"Satria, kamu kerja di sini? " tanya Jalu berusaha mencairkan suasana yang terasa kaku. Rupanya Satria bekerja di toko milik Wulan. Bagus, ada banyak kesempatan untuk lebih mengenal anaknya. Jalu tersenyum bahagia.

"Iya, aku kerja di sini!" jawab Satria kaku. Dalam beberapa hari ini sudah 3 kali bertemu dengan orang yang sama. Apa dunia ini terlalu sempit. Satria heran melihat Wulan yang begitu manja menggandeng Jalu. Apa Jalu ayahnya Wulan? Tapi menurut Teh Sri Wulan sudah yatim piatu.

"Pakdhe kenal Satria?" tanya Wulan heran.

"Satria ini anaknya teman Pakde." kata Jalu menerangkan. Matanya menatap wajah Satria dengan senyum, senyum seorang ayah untuk anaknya.

Satria segera meneruskan pekerjaannya mengambil stock barang yang sudah habis, harus segera selesai karena jam 4 dia sudah janjian dengan Asysyifa. Sekarang sudah jam setengah empat, masih bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.

*******

"Kamu tidak boleh berhubungan dengan anak brengsek itu...!" kata kata ayahnya kembali terngiang di telinga Syifa. Hatinya benar benar sedih tidak boleh berdekatan dengan pria yang dicintainya. Pria pertama yang mengisi hatinya.

Tidak, Syifa tidak mau dipisahkan dengan pria yang dicintainya. Apapun akan dilakukannya untuk bisa selalu bersama dengan pria yang dicintainya. Termasuk hamil, agar ayahnya bisa menerima Satria. Ya, mungkin satu satunya cara agar ayahnya mau menerima Satria. Dia harus hamil oleh Satria.

Untuk bisa hamil oleh Satria, Syifa bertekad untuk menyerahkan keperawananya untuk Satria agar benih benih Satria membuahi rahimnya. Wajah Syifa menjadi panas membayangkannya. Jantungnya berdegup kencang antara takut dan tekad untuk melakukannya. Bagaimana kalau pria itu ternyata menolaknya? Atau pria itu tidak pernah mencintainya.

Sesaat Syifa ragu dengan keputusannya menyerahkan keperawanannya. Bagaimana kalau setelah dia hamil Satria justru lari dari tanggung jawab? Bukankah itu artinya bencana.

Saat Syifa mulai ragu dengan keputusannya, Satria muncul di hadapannya dengan sepeda motor kesayangannya.

"Yu, Syifa.!" Satria memberikan helm ke Syifa. Entah kenapa setiap kali berdekatan dengan Syifa, pembendaharaan katanya menyusut drastis.

Syifa tersenyum memakai helm dan segera naik ke boncengan Satria dengan posisi mengangkang. Celana panjang yang digunakannya memungkinkan Syifa duduk seperti ini. Untuk pertama kali sejak sering dibonceng Satria, Syifa memeluk pinggang Satria.

"Kkt.....ta ke man...na..!" tanya Satria gugup saat Syifa memeluknya erat. Tubuh sintal Syifa menempel pada punggungnya, sehingga Satria bisa merasakan kehangatan tubuh Syifa dan kekenyalan payudaranya. Semua itu begitu terasa karena Satria tidak memakai jaket, hanya memakai kaos.

"Ke rumah temen, Syifa..!" kata Syifa. Wajahnya terasa panas. Malu karena kenekatannya memeluk Satria. Entah setan dari mana yang membuatnya jadi agresif.

Satria menjalankan motornya pelan, menikmati momen terindah dalam hidupnya. Apakah ini sebuah tanda bahwa Syifa mencintainya juga sepertu dirinya yang mencintai Syifa. Momen indah seperti ini selalu saja membuat waktu berjalan cepat bahkan teramat cepat. Mereka sudah sampai di tempat yang dituju. Sebuah rumah berpagar rendah yang terletak di perumahan menengah.

Syifa turun dan mengambil kunci dari tasnya, lalu membuka pintu pagar. Satria memasukkan motornya. Syifa kembali mengunci pintu pagar lalu membuka pintu rumah menyuruh Satria masuk.

"Kok gak ada orang?" tanya Satria heran sambil duduk di sofa empuk ruang tamu.

"Ortu Shelly lagi pulang kampung. Syifa disuruh nemenin Shelly sampai ortunya pulang. Shelly pulangnya malam, makanya Syifa ngajak kamu ke sini, Syifa takut sendirian." kata Syifa tidak berani menatap wajah Satria, tekadnya sudah bulat untuk menyerahkan keperawanannya ke pria yang dicintainya ini apapun resikonya.

Syifa masuk ke dapur meninggalkan Satria di ruang tamu. Di dapur Syifa membuat kopi yang dicampur dengan serbuk yang kata Shelly adalah obat perangsang. Sisa obat perangsang dimasukkan ke dalam Teh Manis untuk dirinya sendiri. Dengan cara ini bisa menghilangkan rasa malunya dan juga rasa sakit saat selaput daranya sobek oleh terjangan kontol Satria.

Tangan Syifa agak gemetar saat membawa minuman ke ruang tamu. Syifa menarik nafas panjang berusaha mengumpulkan keteguhan tekadnya. Rencana ini sudah dipersiapkan secara matang dengan sahabatnya Shelly. Shelly juga yang menyiapkan rumahnya dan juga mencari obat perangsang untuk mereka berdua. Jadi tidak ada alasan untuk mundu. Apa lagi Shelly juga sudah menyiapkan kamera untuk merekam adengan sex antara dirinya dengan Satria, rekaman itu akan digunakan kalau Satria tidak mau bertanggung jawab, mereka akan mengancam untuk melaporkannya ke polisi. Rencana yang benar benar matang.

Sampai di ruang tamu ternyata Shelly sudah pulang membuat Syifa sedikit kecewa, kenapa Shelly justru pulang. Bukankah sesuai rencana Shelly akan pulang malam.

"Sorry, Syifa. Ada yang ketinggalan." kata Shelly yang mengerti arti tatapan Syifa.

"Gue haus nich, lu bikin lagi ya..!" kata Shelly yang mengambil es teh manis milik Syifa. Rupanya dia dengan rencana yang sudah disusun, dalam sekejap es teh manis sudah habis diminumnya.

******

"Pakdhe pulang dulu, ya...!" kata Jalu berpamitan ke Wulan. Sebuah pesan WA dari Lilis yang menyuruhnya segera pulang membuat Jalu menahan diri untuk berhenti mengorek keterangan tentang Satria. Ada sesuatu yang lebih penting menunggunya di rumah.

"Iya Pakdhe, sering sering dateng ke sini ya!" Wulan mengantar Jalu hingga ke mobilnya.

Tentu saja Jalu akan semakin sering datang ke toko ini karena ada Satria. Magnet yang akan selalu menariknya datang hingga suatu waktu anak itu akan memanggilnya ayah.

Sepanjang perjalanan pulang pikiran Jalu hanya tertuju ke Satria. Semuanya seperti tidak berarti lagi, bahkan WA dari Lilis yang menyuruhnya pulang tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari Satria. Anak laki laki satu satunya yang akan meneruskan dinastinya di dunia hitam. Bahkan bayang bayang Japra ikut memudar.

Sampai di rumah sudah menunggu seorang polisi muda berpangkat Inspektur dua. Jalu menatap polisi muda itu dengan heran. Selama berkecimpung di dunia hitam, Polisi sudah menjadi bagian dari hidupnya, tapi biasanya dia menghadapi perwira menengah, bukan seorang perwira muda yang baru lulus pendidikan seperti yang ada di hadapannya.

Polisi itu berdiri mengajaknya bersalaman. Jalu membaca nama polisi muda yang ada di dadanya. Eko Prakoso J.

Bersambung gan.
.
 
Bimabet
Semakin banyak kisah yang terungkap, tokoh-tokoh lama juga mulai bermunculan.
Thx updatenya hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd