Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KASIH TAK SAMPAI (Cinta Rumit STW, mahmud, binor, abegeh, beda kasta, beda usia, beda dunia)

Bimabet
***

Malam sudah jatuh ketika kami akhirnya berpakaian. Mang Dudung yang datang terlambat merasa gembira karena aku mau pun cici tidak memarahinya. Malah memberinya tip 20 ribu rupiah setelah dia membelikan 30 tusuk sate kambing di angkringan ujung jalan. Tanpa banyak bicara, aku dan cici menghabiskan sate kambing tersebut untuk mengganti energi kami yang telah terkuras tadi. Sebelum pulang duluan, Cici sempat mengecup pipiku dan mengucapkan selamat malam.

Aku duduk sambil minum kopi yang dibuatkan mang Dudung selama beberapa jam sambil mengisap beberapa batang kretek, menunggu lututku kembali normal dan tidak lemas lagi.

***

Aku pulang larut sekali. Sekitar pukul setengah satu pagi. Tiba di rumah, mbak Harni dan Rani tengah mengobrol sambil nonton televisi. Aku menyapa mereka sebentar sebelum aku membantingkan tubuhku di atas kasur dan langsung ngorok.
Zzz… zzzz …. Zzzz…

***

Alexander Indra Sungkono adalah pengusaha yang sangat ulet. Dia telah terjun sebagai pengusaha sejak sangat muda sekali. Usianya kini sudah mencapai 65 tahun. Selama 40 tahun hidupnya, dia telah bergelut dengan berbagai jenis usaha. Namun akhirnya dia fokus pada usaha jasa sekuriti, celaning service dan kontraktor pemeliharaan gedung kantor.

Usahanya terbilang stabil dan cukup sukses. Dia merekrut dan melatih orang untuk dijadikan Satpam dan menyebarkannya ke sejumlah instansi pemerintah dan swasta. Dia juga menyediakan jasa petugas cleaning service yang banyak tersebar di sejumlah korporasi dan instansi pemerintah. Dalam menjalankan usahanya, dia dibantu oleh tiga orang anaknya yang semuanya perempuan. Ketiga anaknya adalah Leoni, Linda dan Lani. Semua menantunya juga terlibat dalam perusahaan Pak Alex kecuali Antoni Julianto, suaminya Leoni.

Pada awalnya Pak Alex sangat membanggakan menantunya yang satu ini. Sebab walau pun Antoni tidak bisa dibilang memiliki wajah yang jelek, namun ia memiliki gaya bicara yang sangat memikat. Kemampuan bersosialisasi yang luwes hingga memiliki koneksi yang banyak dan luas. Selama satu periode, Antoni pernah terpilih menjadi anggota DPRD. Namun karena sifatnya yang oportunis, Antoni sering berpindah partai yang buntutnya dia tak terpilih kembali sebagai anggota DPRD periode berikutnya. Selain itu, Antoni juga pernah terjerat kasus korupsi dana Bansos serta melakukan penipuan seleksi Calon Pegawai Negri Sipil, yang sekarang berubah menjadi Aparatur Sipil Negara. Tapi bagi Pak Alex itu soal kecil. Bahkan ketika Antoni terciduk selingkuh dengan sesama anggota partai, Pak Alex memaafkannya. Lima tahun yang lalu, Pak Alex bahkan memberi Antoni modal untuk membuka usaha konveksi. Usaha itu, walau pun keuntungannya tidak begitu besar dan seringkali fluktuatif, namun perputaran modal berjalan baik dan lancar.

Namun sejak setahun yang lalu, ketika Antoni mulai keranjingan judi online, Pak Alex mulai geram dan marah. Namun bagiku justru sebaliknya. Aku yang fresh graduate sarjana ekonomi, dipercaya sepenuhnya oleh Antoni untuk mengurus perusahaan dengan 20 orang pekerja ini. Aku mengurus produksi hingga penggajian. Beruntung bagiku, dengan bermodalkan sedikit ilmu yang kudapat di perguruan tinggi dan kerja keras yang pantang menyerah, aku bisa mendapat banyak pelajaran di perusahaan ini. Aku merasa, walau pun gajiku hanya UMR, namun perusahaan ini telah mendidik aku ilmu lain yang lebih tinggi. Seakan-akan, di perusahaan ini, aku justru sedang melanjutkan kuliah S2.

Namun kecanduan judi online Antoni akhirnya berdampak juga pada perusahaan yang dimodali mertuanya ini. Mula-mula dia pinjam 5 juta, lalu 10 juta… lama-lama dia pinjam puluhan juta yang menyedeot keuntungan perusahaan dan membuat gaji karyawan sering telat.
Puncak dari semuanya adalah ketika ada tagihan dari pabrik kain di Tangerang sebesar 350 juta ke Pak Alex. Maka terjadilah pertengkaran hebat itu.

***

Pagi itu aku masuk kesiangan. Tiba di kantor, Pak Alex dan 3 anak perempuannya serta 2 orang menantunya tengah membagikan sarapan gratis kepada para pegawai. Lututku masih agak ngilu saat melangkah ke ruangan kerja dan ikut sarapan walau tadi di rumah sudah sarapan bubur ayam yang dibelikan Rani.

Setelah sarapan bareng selesai, Pak Alex mengumpulkan seluruh karyawan dan memberitahu bahwa perusahaan ini akan dijual karena telah dianggap bangkrut.

Aku merasa shock dan tertekan. Walau Pak Alex mengatakan bahwa semua karyawan akan diberi pesangon 3 bulan gaji namun aku merasa sedih mengingat perusahaan ini telah memberi banyak hal kepadaku. Tak lama setelah pengumuman Pak Alex, notaris datang mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan hukum dan undang-undang ketenagakerjaan.

Saat itu, aku sekilas menatap Ci Leoni yang sengaja menghindar dari tatapanku. Dia pulang lebih dulu bahkan saat pertemuan belum selesai.

***

Aku pulang siang. Tiba di rumah, aku menemukan Rani dan teman-temannya tengah belajar bersama di halaman belakang. Rani tampak kaget dan kikuk.
“Maafkan Om.” Katanya.
“Gapapa. Kalian lagi ngapain?”
“Lagi belajar bersama Om.” Kata salah seorang teman Rani.
“Belajar bersama?” aku mengernyitkan kening. Mereka kemudian menjelaskan bahwa mereka kini melanjutkan ke persamaan SMP berupa kejar Paket B.

Setelah mendengar penjelasan itu aku menjadi sangat kagum dengan semangat juang cewek-cewek ini.
“Kalian hebat.” Kataku dengan tulus, “tidak banyak perempuan yang sudah putus sekolah masih memiliki semangat untuk terus belajar melanjutkan pendidikan…” kataku sambil berpikir bahwa cewek-cewek ini adalah lulusan SD semua. Ah, sial. Pak RT sudah mengakaliku dengan mengatakan bahwa Rani tidak lulus SMA.
“Tentu saja.” Kataku dalam hati, “bagaimana mungkin dia lulus SMA sedangkan SMP aja belum.”
Sial! Pak eR Te, Pak eR Te.
Aku kemudian pergi ke dapur dan menjerang air untuk menyeduh kopi. Rani datang menyusul dan mengatakan, “biar saya yang bikin, Om.”
“Ga usah. Kamu belajar aja sama temen-temen kamu.”

Sebelum pergi ke halaman belakang, Rani sempat menatapku dengan tatapan yang aneh. Namun lembut. Selesai menyeduh kopi, aku pergi ke ruang tengah dan menyalakan laptop untuk membuat curiculum vitae yang baru. Saat sedang mengetik, Nita, salah seorang teman Rani datang mendekatiku dan bertanya, “apa bener Om kerja di perusahaan konveksi sebagai menejer?” Tanpa disuruh dia lalu duduk di depanku.
“Kata siapa.” Kataku.
“Rani yang bilang.”
“Bener sih, tapi itu cuma perusahaan kecil.”
“Kalau ada lowongan, boleh dong Popon dimasukan kerja.” Mendadak teman Rani yang lain yang bernama Popon datang dari arah halaman belakang.
“Aku juga Om.” Kata teman Rani yang bernama Elis. “Aku dulu pernah kerja di pabrik karung. Aku punya pengalaman.”
“Saya juga Om.” Kata Ria ikut nyambung.

Aku tertawa kecil, “sebelum kalian saya masukkan kerja, tentu saya akan mendahulukan Rani dulu.” Kataku.

Terdengar suara “huuuu” berbarengan. Mendadak suasana di rumahku menjadi ceria dan riang dengan tingkah para cewek ini. Pada saat itu mereka mendadak punya usul untuk ngerujak. Dengan paksaan ala cewek-cewek abg, mereka mengompasku patungan 20 ribu.

Selesai membuat CV, aku rebahan di kamar dan tertidur. Sekitar pukul setengah tiga sore, Rani membangunkanku.

“Om ada tamu.” Katanya. Aku buru-buru bangun dan terkejut menyaksikan Cici Leoni sedang duduk di sofa bututku.
“Kita perlu bicara.” Katanya dengan suara lembut, “tapi tidak di sini, soalnya adik-adik kamu banyak dan berisik.” Katanya.

Adik-adikku? Ah, Cici salah paham, kataku dalam hati. Tapi sudahlah, bodo amat.

***

Cici membawaku ke sebuah kafe yang tersembunyi namun asri dan cozy di kawasan Jaksel. Walau kafe itu terlihat kecil dan tertutup dari luar, namun ternyata tempat parkirnya sangat luas di belakang gedung. Cukup banyak orang mengantri untuk masuk. Aku agak ragu melihat antrian yang cukup panjang itu, untunglah sebelumnya ternyata Cici sudah memesan tempat di lantai 3. Jadi kami hanya tinggal menuju resepsionis, memesan menu dan melangkah menaiki tangga yang ramah lutut.

Sepanjang perjalanan di mobil tadi, Cici tidak banyak bicara. Tapi dia sedikit bercerita bahwa sebelumnya dia sudah lama memperhatikan aku, sejak aku diterima kerja oleh Pak Antoni yang sangat suka dipanggil tuan. Tuan Antoni. Secara diam-diam dia menyukai aku. Tapi ceritanya hanya sebentar dan sekilas. Meski begitu, aku merasa tersanjung mendengarnya. Dia juga mengatakan, saat dia dibopong oleh aku, dia merasa terangsang. Aku juga merasakan hal yang sama.

Tiba di meja yang nyaman dan romantis, kulihat langit Jakarta Selatan demikian cerah. Awan putih bergumpal-gumpal seperti kapas yang diremas-remas dan dilemparkan ke langit lalu melayang dibawa angin. Saat aku melihat langit, Cici justru tak berhenti menatapku.
“Kamu ganteng.” Katanya.
“Cici juga cantik.” Jawabku. Cici kulihat tersenyum kecut dan ekspresinya menunjukkan dia tidak menerima pujianku.
“Kain gombal bau busuk yang sudah teramat basi dan menjemukan.” Katanya dengan nada datar, “hidungku pesek, mataku sipit, wajahku lebar…”
“Tapi cici memiliki mata bening yang polos dan indah.” Kataku, “bibir cici tipis dan senyumnya manis… saya tidak akan berhenti menciumi Cici setiap hari sampai kiamat… kurang dua hari.”

Kali ini Cici tersenyum tulus. Tapi dia tidak mempedulikan ucapanku.

“Kemarin kami sekeluarga berkumpul membicarakan perusahaan konveksi ini… kami memutuskan menjualnya karena Antoni ternyata punya banyak utang di mana-mana… Papi telah menghubungi beberapa rekannya dan menyelenggarakan tender singkat, perusahaan itu terjual senilai 15 milyar…”
“Termasuk asset gedung dan kliennya?” tanyaku menyela. Cici mengangguk. Aku mengkerut dan segera pikiranku bekerja merenungkan sesuatu… mulai besok, aku harus berburu lowongan kerja baru.
Dia menatapku lembut.
“Kamu kelihatan khawatir.” Katanya.
“Tidak, biasa saja.”
“Adik-adikmu banyak ya? Kamu harus menghidupi mereka kan?”

Aku terdiam. Tak berminat menjelaskan apa pun untuk merubah pemikiran Cici. Biarlah Cici berpikir seperti apa yang ingin dipikirkannya. Pada saat itu, makanan pesanan telah tiba. Sebuah menu spesial yang sangat lezat, yang seharusnya bisa kunikmati dengan seluruh syaraf-syaraf kenikmatan di lidahku. Tapi pikiranku menari-nari tidak karuan, membuatku seperti seorang anak kecil yang dipaksa ibunya memakan sayuran.

Sambil makan, Cici bercerita tentang kehidupan rumah tangganya dengan Antoni. Mereka tak memiliki kehidupan sex yang sehat dan baik.

“Tapi itu bukan karena Antoni.” Katanya, “kata dokter, aku ini…” wajahnya tampak berubah, “kering dan punya penyakit frigid.”
“Mustahil!” kataku dengan nada agak keras, “kemarin… kemarin Cici sangat… sangat… bersemangat dan ke luar banyak…”

Ia tersenyum kecil. Tangannya berhenti menyuap dan sepasang matanya menatapku dengan sangat lembut dan mesra.
“Kemarin adalah pengalaman pertama yang sangat indah… tapi…”
“Tapi apa, Ci?”
“Kemarin Cici pulang dulu ke rumah… merenung… cici merasakan bagaimana pelukan kamu saat membopong cici, terasa murni dan hangat… dan kamu juga terangsang… itulah yang cici renungkan… Antoni sudah sering selingkuh… berkali-kali… lalu cici memutuskan untuk meminum obat perangsang… dan menemui kamu… seumur hidup cici belum pernah merasakan itu…”

Aku menghela nafa berat.

“Jangan salah paham Jarwo… cici menyukai apa yang kamu lakukan pada cici dan cici ingin mengulanginya setiap hari… tapi perbedaan usia kita sangatlah jauh… kamu paling baru 23 atau 24… sedangkan cici sudah 40… usia cici hampir dua kali lipat usia kamu… kita tidak bisa menjalin hubungan lebih serius.”
“Tapi… kemarin saya ngecrot di dalam… kalau cici hamil gimana?”
“Kalau cici hamil tentu saja Papi akan membuat pesta perayaan… tapi kemungkinan besar papi akan membunuh kamu kalau dia tahu kamu bapaknya… dia tidak boleh tahu. Selama lima belas tahun pernikahan, Antoni berkali-kali melakukannya… tapi cici tidak pernah hamil.”

Aku terdiam memberengut.

“Papi tidak akan bisa menerima anaknya dihamili orang miskin…”
“Aku tidak miskin!”
”Jarwo dengerin dulu.” Katanya dengan lembut, “kamu jangan begitu… faktanya kamu memang orang tak punya.”
“Aku memang orang tak punya!” kataku dengan geram, “tak punya orangtua, tak punya harta benda yang banyak… bahkan punya nenek satu-satunya pun sudah meninggal 6 bulan yang lalu… aku memang tak punya apa-apa. Tapi aku punya kemauan keras… aku lulus kuliah juga karena kemauanku yang keras… aku ulet, pantang menyerah… suatu hari nanti aku juga akan punya usahaku sendiri…”

Mendadak Cici Leoni bangkit dari duduknya. Dia berdiri dan melangkah mendekatiku dan memelukku. Mencium ubun-ubunku dengan penuh kasih sayang. Dia berkata dengan lembut, “cici tahu, kamu memang memiliki sesuatu yang keras.”

Aku tengadah, menatap mulutnya yang tersungging kecil.

“Dan cici sangat menyukainya.” Katanya lagi. Dia kembali duduk ke kursinya. Lalu dia bertanya, “kamu menyukainya juga kan?”
“Menyukai apa?” kataku balik bertanya.
“Kamu pasti sudah pengalaman.”
“Pengalaman apa?”
“Kamu punya pacar enggak?”

Aku menggelengkan kepala.

“Itu bagus. Jadi enggak akan ada yang cemburu sama cici.”
Aku menyuap makananku dengan malas dan pelahan. Mencoba menghabiskannya karena semua makanan ini sudah dibeli Cici dengan harga mahal.
“Kamu pengen lagi enggak?”
“Enggak, Ci. Sudah cukup kenyang.”
“Bukan itu…” kata Cici, “kali ini cici tidak akan minum obat perangsang.”
“Sebetulnya saya juga menyukai cici… waktu cici sering mampir ke kantor konveksi…saya sering curi-curi lihat cici…”
“Cici suka waktu dijilatin… rasanya gimana gitu.” Dia tertawa kecil, “pengen lagi deehhh..”
“Mungkin seminggu atau dua minggu lagi, Ci. Saya juga pengen koq.”
“Itu kelamaan, minggu depan cici mau ke Surabaya. Papi buka cabang perusahaan baru di sana.”
“Yaah…” keluhku. “Sekarang saya kan pengangguran Ci, pikiran saya masih mumet buat cari kerjaan.”
“O, jadi itu yang bikin kamu khawatir.”
“Ya I yalah, Ci. Tabungan saya masih sedikit, belum bisa dipake buat modal usaha… saya harus kerja dulu jadi orang gajian sebelum nanti menjadi orang yang menggaji.”
“Kamu udah ngelamar ke mana aja?”
“Belum ke mana-mana, soalnya baru tadi siang bikin CV baru.”
Cici tersenyum lebar, “kalau soal kerjaan kamu jangan khawatir.”
“Cici mau masukin Jarwo ke perusahaan Pak Alex ya.”

Dia menggelengkan kepala sambil tetap tersenyum.

“Kita naik ke lantai 4 yuk.” Kata Cici sambil bangkit berdiri, “ayuk!” Ajaknya lagi. Dia menarik tanganku dan membawaku ke sebuah pintu warna coklat yang agak tersembunyi, setelah masuk, cici mengunci pintu lalu melangkah ke sebuah tangga kecil melingkar yang terbuat dari besi. Tiba di lantai 4, ternyata itu adalah sebuah paviliun kecil yang asri dengan langit terbuka dan kota Jakarta sebagai pemandangannya.

Aku mengikuti Cici berdiri di dekat jendela.

“Indah kan?” kata Cici. Dia melepas blazer dan menyampirkannya di sandaran kursi sofa yang panjang.
“Ya, memang indah.”
“Tadi pagi Cici ketemu sama Theresia… bekas teman kuliah waktu di Harvard, dia masih sangat muda dan bapaknya kaya banget, punya banyak bisnis yang nilainya gede banget… Tere adalah CEO (Chief Executive Officer) alias Direktur Utama Bank Pan Asia… perusahaannya sedang melakukan rekruitmen karyawan baru… o ya, perusahaan konveksi itu dia yang beli.”
“Terus?”
“Cici bilang sama dia, sebaiknya dia mempertahankan pegawai lama…”
“Wah, bagus Ci. Saya sama temen-temen enggak jadi pengangguran dong.” Kataku senang.
“Tapi dia enggak setuju.”
“Yaaahhh…”
“Theresia itu orangnya hebat loh. Dia adalah lulusan Harvard jurusan manajemen sumber daya manusia dengan nilai tinggi, sedangkan Cici enggak bisa selesai dan kena DO, soalnya susah banget. Dia sangat jeli melihat orang. Dia mempelajari berkas kamu secara selintas dari arsip perusahaan. Dia lalu meminta Cici agar menyuruh kamu ikut rekruitmen yang dia selenggarakan…katanya sih kamu punya potensi.”
“Cici serius?” aku berkata dengan setengah berteriak.

Cici tertawa.

“Masa cici bohong, kamu punya adik banyak, tanggunganmu besar. Ga mungkin cici biarkan kamu jadi pengangguran.”

Aku langsung memeluknya dan menciuminya tanpa henti sambil mengucapkan terimakasih. Kali ini Cici membalas ciumanku dengan gairah yang meletup-letup. Sambil berciuman kami mengambil posisi duduk di kursi sofa. Sambil menciumi telinga dan lehernya, aku menerebos masuk ke dalam hem biru telur asinnya dan meraup toketnya yang kecil dan lembek, memelintir putingnya dengan jempol dan telunjuk secara lembut.

Paviliun ini tidak begitu luas, hanya sekira 2,5 meter kali 3 meter. Dindingnya terbuat dari kayu-kayu reng yang disusun kotak-kotak kecil ukuran 20 X 20 cm, sementara kotak besar berukuran 50 X 50 cm itu berfungsi mirip seperti jendela. Dari dalam paviliun, kita bisa berbaring menatap langit luas dengan nyaman di sore hari. Kalau siang kemungkinan panas dan silau.

Aku sibuk menciumi leher cici yang putih sambil terus menstimulasi nenennya, tanpa aku sadari tahu-tahu Cici sudah melepaskan celana dalamnya dan menarik rok spannya hingga naik ke perut.

“Udah…” katanya dengan agak terengah, “sekarang giliran ini.” Berkata begitu dia melepaskan diri dariku dan mendorong dadaku agar menjauh. Dia lalu duduk menyandar ke sofa dengan kedua paha dan betisnya membuka lebar, memperlihatkan memek tipisnya yang merekah. Aku langsung berjongkok dan mengunyah itilnya yang tersembunyi. Memamah dengan asik liang memeknya dengan lidah hingga ia menggerinjal-gerinjal sambil menjambak rambutku dengan keras.

Saat liang memeknya kutusuk-tusuk dengan ujung lidahku, kudengar suara erangan Cici yang mirip seperti orang menangis terisak-isak. Saat itu, aku baru menyadari perbedaan menjilat memek Cici kemarin dan sekarang. Kalau kemarin, aku tak merasakan ada lendir yang ke luar dari liang memeknya. Tapi sekarang beda. Aku bisa merasakan lendirnya yang agak asin.

“Udaaahhh…” katanya dengan nada serak.

Aku cepat berdiri dan melepaskan ikat pinggangku. Lalu menurunkan celana panjangku dan celana dalam sekaligus. Setelah melepaskan sepatu, aku menarik celana panjang dan celana dalamku ke luar dari kakiku dan melemparkannya ke sudut ruangan.

Tapi karena sofa itu rendah, aku terpaksa berdiri di atas lututku untuk menempelkan kepala kontolku pada liang memek Cici. Lalu aku mencecabkannya.
“Aahh.” Desis Cici. Ternyata tidak sesulit kemarin. Kini kontol masuk menyelonong ke dalam liang memeknya, sayangnya ketika aku menggenjot kontolku, gerakanku kurang bebas karena aku berdiri dengan lutut. Meski aku merasa gerakan genjotan pencoblosan memeknya kurang mantap, namun ternyata Cici sangat menyukainya. Pelahan memeknya mengeluarkan lendir kenikmatan berwarna putih yang kental seperti bulir-bulir nasi.

Selama hampir 10 menit aku fokus mengewe cici dengan cara seperti itu sampai cici menjerit kecil dan memuntahkan lendir putih yang lebih cair, yang menetes jatuh ke lantai paviliun. Saat itu aku baru merasakan lututku agak sakit. Jadi aku menarik kontolku yang batangnya dipenuhi lendir cici. Aku berdiri dan mengusap lututku yang ditempeli beberapa batu kecil sebesar biji pasir.

“Masih pengen…” kata Cici, sedikit merengek. Dia mengira aku sudah selesai.
“Emang cici masih kuat?”
“Tadi ngewenya ga dalem.” Katanya manja.
“Ya udah sekarang nungging.” Kataku.
“Ga mau, nanti masuk ke anus kayak Antoni.” Katanya, “sambil duduk aja, cici di atas.”
“Boleh.” Kataku, “tapi kalau cici kecapean jangan nyesel ya.” Aku lalu duduk di sofa dan menyandar. Kurentangkan secara lurus kedua kakiku agar Cici leluasa menduduki. Sebelum kakinya naik ke atas sofa, Cici menatap kontolku dengan tak berkedip selama hampir 30 detik.

Saat dia berdiri di tubir sofa dan mengangkangiku, aku melihat memeknya yang kelihatannya seperti terengah-engah. Aku menahan kontolku agar tetap berdiri saat Cici mendudukinya.

“Aakkhhh…” desahnya merasa nikmat saat dia mengubur kontolku ke dalam liang memeknya. Kedua tangannya mengalung di leherku dan aku menyangga pantatnya yang tipis dengan kedua telapak tanganku untuk membantu Cici melakukan genjotan naik turun.

Cici mengewe kontolku seperti tak mengenal bosan atau cape. Tubuhnya memantul-mantul dan pantatnya memukul-mukul pahaku. Ia tak berhenti-berhenti mengeluarkan suara “oah” dan “ouh” sambil meringis kenikmatan. Setelah selama hampir 20 menit berlangsung, kurasakan pantatnya basah oleh keringat. Tapi mataku dapat secara langsung melihat butir-butir keringat bercucuran di leher dan dadanya.

Seluruh tubuh cici benar-benar basah bersimbah keringat.

Saat itu aku hampir menyerah. Aku sudah tak kuat ingin ngecrot. Namun posisi duduk seperti itu cukup menguntungkanku untuk menahan semprotan pejuh yang ingin meledak. Pada saat aku akan meminta Cici untuk berhenti, secara mendadak dia menghentikan gerakannya. Dia menekan memeknya hingga buah pelirku seakan ingin dijejalkannya juga ke dalam memeknya. Kedua tangannya memelukku dengan keras seakan-akan dia ingin mencekikku.
“Jarwoooooo….!!!!” dia menjeritkan namaku dengan jeritan yang sangat keras. Tahu-tahu kurasakan sebuah letupan hangat terasa di pahaku.

Ceprot! Ceprot! Ceprot! Memeknya terasa berdenyat-denyut yang menstimulasi kontolku untuk memuncratkan pejuh.

“Cici….arrrrrgggkhhhhhhh….” Aku menggeram. Seketika kurasakan lututku berdecit saat mulut kontolku menyemburkan pejuh dengan sangat keras.

Srrrrrrrrr….crot…. Srrrrrr…. Crot… crot…crot…crot…crot…

Ya, ampun, aku menyemprot berulang-ulang di dalam memeknya, “semoga dia tidak hamil.” Harapku dalam hati.

Cici terkulai dalam pelukanku. Pipinya yang putih kini memerah dan nafasnya sejenak memburu. Dia diam tak bergerak dalam pelukan selama hampir 10 menit. Aku tak ingin mengganggu kenikmatannya. Kupejamkan mata menikmati sisa-sisa kelezatan ewean yang baru saja kulakukan bersama cici.
Ternyata saat itu kami sama-sama tidak sadar jika kami tertidur sambil duduk di kursi sofa itu. Tertidur sekira 30 menit lamanya. Cici terjaga duluan. Ciumannya membuatku terbangun.

Dia tertawa dengan wajah sumringah saat berdiri melepaskan kontolku dari jepitan liang memeknya.

“Duh, enak banget.” Katanya sambil duduk di sisiku, “tapi cici jadi lapar lagi.”
“Sama.” Kataku.
“Tapi cici harus pulang sebelum malam… kamu pulang sendiri naik taksi aja ya?”
“Yaaahhh…” keluhku.
“Gapapa kan?”
“Gapapa.”
“Besok kamu ke Jakpus ya nemui Tere.”
“Pasti dong.”
“Ayuk, kita pulang sekarang.”

Setelah berpakaian, kami turun ke lantai 3 dan bekas makanan di meja belum dibereskan. Aku meminum sisa jus jeruk yang masih setengah gelas lagi. Lumayan untuk menghilangkan haus.

***​
(BERSAMBUNG)


BACA LANJUTANNYA>>>
<<<SEBELUMNYA
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd