Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kegagahan Ayah Mertua

Di Dalam Sarung

Hari-hari berikutnya aku masih tidak bisa menjauhkan bayangan ayah mertua di otakku. Sebenarnya ini sangat mengganggu. Aku takut makin tidak bisa membendung rasa inginku. Apalagi sampai terbawa mimpi dan suamiku mengetahuinya. Lagipula rasa inginku juga tidak mungkin terjadi. Dia adalah ayah mertuaku. Bagaimana mungkin aku bisa merasakan kontolnya? Ayah mertuaku juga tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan padaku. Aku harus bisa melupakan dan menghilangkan rasa inginku ini.

Suatu hari, badanku sedang demam dan kepalaku pusing. Aku tidak kuat untuk bangun dan hanya istirahat di tempat tidur. Suamiku harus bekerja dan berangkat pagi. Sedangkan anakku dijaga oleh ayahku. Pada siang hari, ayah tiba-tiba datang ke kamar dan bertanya apakah aku ingin makan.

“Biar ayah beli di warung saja ya?”

“Ga usah, Yah.” jawabku.

“Kamu belum makan mulai pagi,” kata ayah. “Lagian Iwan juga nitipin kamu ke ayah.”

“Rizal ke mana ya?” Aku bertanya anakku.

“Dia nonton TV di depan.”

Sebenarnya aku agak sungkan diperlakukan seperti itu oleh ayah mertuaku. Seharusnya aku yang melayaninya sebagai menantunya. Tapi aku benar-benar lemah dan tak bisa apa-apa. Maka aku mengiyakan saja kemauan ayahnya itu. Lagian aku memang benar-benar belum makan mulai pagi karena tidak ada nafsu.

Tidak lama, ayah sudah datang ke kamar dan membawa sebungkus makanan. Lengkap dengan piring sebagai alasnya. Dia mencari kursi dan diletakkan di samping tempat tidurku untuk ia duduki.

“Kamu bisa makan sendiri?” tanya ayah.

“Bisa yah,” jawabku. Aku coba untuk bangun untuk menegakkan badan. Tapi rasanya aku tidak kuat. Ayah mengetahuinya maka ayah membantuku untuk menegakkan badanku.

“Sini biar ayah yang suapin.”

Aku kaget mendengar ucapan ayah. Belum pernah aku disuapin oleh ayah mertuaku sendiri. Mana mungkin aku melakukannya? Aku pun langsung menolaknya.

“Ga usah, Yah. Aku bisa sendiri kok.”

“Keadaanmu lemah gitu kok,” kata ayah. “Gapapa. Ayah udah anggep kamu kayak anak ayah sendiri. Jadi ga usah malu.”

Aku hanya diam mendengar ucapan ayah. Ada perasaan terharu juga saat ayah mengucapkannya. Mendengar itu, mana mungkin aku bisa menaruh hasrat seksual pada ayah. Dia sudah mengatakan bahwa aku sudah seperti anaknya sendiri karena aku adalah istri dari Iwan.

Akan tetapi, sepertinya dugaanku salah. Selama ayah mendulangku, sesekali aku memergoki ayah melirik ke arah dadaku. Dan aku baru menyadari bahwa aku lupa menutup kancing atas dari dasterku. Tampaklah sedikit belahan dadaku. Maka aku langsung segera menutup kancing bajuku. Tanpa diduga, ada pemadangan yang benar-benar mengganggu aku.

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya.

Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah.

Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran kontol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. Kontol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang kontol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule.

Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung kontol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Nafasku menjadi berat. Tanganku hanya diam saja menggenggam kontol ayah. Entah kenapa aku jadi bingung dan takut. Ini sama sekali di luar dugaanku. Sebenarnya aku ingin mengocok kontolnya tapi aku tidak berani. Ini adalah hal yang salah. Aku takut semakin meminta lebih. Maka segera aku menarik tanganku keluar dari sarung ayah. Aku belum berani untuk melangkah lebih jauh.

Kami berdua langsung canggung. Ayah menundukkan kepalanya dan langsung minta maaf. Dia langsung keluar dari kamarku. Aku terdiam sambil membayangkan apa yang baru saja terjadi.

Aku menceritakan kejadian itu pada sahabatku, Vita. Vita tidak menyangka bahwa kejadian seperti itu bisa terjadi.

“Beneran?”

“Iya, Say. Aku beneran ga nyangka.”

“Fix sudah kalo gitu.” katanya.

“Apanya yang fix?”

“Ayah mertuamu itu, juga punya hasrat seks yang sama.”

“Maksudmu dia juga bernafsu ke aku?”

“Iyalah, say,” kata Vita. “Kalo ngga, ga mungkin dia ngaceng lihat belahan dadamu.”

Aku mulai kepikiran dengan ucapan Vita. Apa benar ayah mertuaku punya hasrat seksual kepadaku? Seperti aku pada dia? Kalau iya, apakah mungkin akan berlanjut pada tahap yang lebih? Ah, aku tidak ingin memikirkannya. Kejadian itu sudah cukup membuatku bingung dan takut.

Saat aku sudah membaik dari sakitku, saat aku sedang memasak, ayahku tiba-tiba menghampiriku.

“Rin,” sapa Ayah.

“Iya, Yah?” jawabku.

Semenjak kejadian kemarin, kami memang menjadi canggung. Kami tidak saling bertegur sapa. Bahkan aku sering menghindari momen di mana ada ayah di situ.

“Soal kejadian kemarin, ayah minta maaf. Ayah bener-bener khilaf. Ga seharunya ayah bersikap kaya gitu.”

“Udahlah, yah. Ga usah dibahas lagi.”

“Iya, tapi ayah merasa sungkan dan malu sama kamu, Rin.”

“Udah terjadi kok, Yah. Jangan dipikiran terus. Ririn paham kok ayah sebagai pria yang masih punya hasrat.”

“Tapi kamu maafin ayah, kan?”

“Iya, Yah,” jawabku. “Lagian kan cuma pegang doang.”

Deg!

Astaga. Cuma? Kenapa aku bilang seperti itu? Kenapa aku seolah mengatakan itu adalah hal yang biasa? Aku tidak bisa mengontrol omonganku. Mendengar itu ayah seperti sedikit berpikir. Entah apa yang dia pikirkan, aku tidak tahu.

“Makasih, Rin.” Jawab ayah. Dia langsung meninggalkanku sendiri di dapur.

Bersambung~
 
Di Dalam Sarung

Hari-hari berikutnya aku masih tidak bisa menjauhkan bayangan ayah mertua di otakku. Sebenarnya ini sangat mengganggu. Aku takut makin tidak bisa membendung rasa inginku. Apalagi sampai terbawa mimpi dan suamiku mengetahuinya. Lagipula rasa inginku juga tidak mungkin terjadi. Dia adalah ayah mertuaku. Bagaimana mungkin aku bisa merasakan kontolnya? Ayah mertuaku juga tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan padaku. Aku harus bisa melupakan dan menghilangkan rasa inginku ini.

Suatu hari, badanku sedang demam dan kepalaku pusing. Aku tidak kuat untuk bangun dan hanya istirahat di tempat tidur. Suamiku harus bekerja dan berangkat pagi. Sedangkan anakku dijaga oleh ayahku. Pada siang hari, ayah tiba-tiba datang ke kamar dan bertanya apakah aku ingin makan.

“Biar ayah beli di warung saja ya?”

“Ga usah, Yah.” jawabku.

“Kamu belum makan mulai pagi,” kata ayah. “Lagian Iwan juga nitipin kamu ke ayah.”

“Rizal ke mana ya?” Aku bertanya anakku.

“Dia nonton TV di depan.”

Sebenarnya aku agak sungkan diperlakukan seperti itu oleh ayah mertuaku. Seharusnya aku yang melayaninya sebagai menantunya. Tapi aku benar-benar lemah dan tak bisa apa-apa. Maka aku mengiyakan saja kemauan ayahnya itu. Lagian aku memang benar-benar belum makan mulai pagi karena tidak ada nafsu.

Tidak lama, ayah sudah datang ke kamar dan membawa sebungkus makanan. Lengkap dengan piring sebagai alasnya. Dia mencari kursi dan diletakkan di samping tempat tidurku untuk ia duduki.

“Kamu bisa makan sendiri?” tanya ayah.

“Bisa yah,” jawabku. Aku coba untuk bangun untuk menegakkan badan. Tapi rasanya aku tidak kuat. Ayah mengetahuinya maka ayah membantuku untuk menegakkan badanku.

“Sini biar ayah yang suapin.”

Aku kaget mendengar ucapan ayah. Belum pernah aku disuapin oleh ayah mertuaku sendiri. Mana mungkin aku melakukannya? Aku pun langsung menolaknya.

“Ga usah, Yah. Aku bisa sendiri kok.”

“Keadaanmu lemah gitu kok,” kata ayah. “Gapapa. Ayah udah anggep kamu kayak anak ayah sendiri. Jadi ga usah malu.”

Aku hanya diam mendengar ucapan ayah. Ada perasaan terharu juga saat ayah mengucapkannya. Mendengar itu, mana mungkin aku bisa menaruh hasrat seksual pada ayah. Dia sudah mengatakan bahwa aku sudah seperti anaknya sendiri karena aku adalah istri dari Iwan.

Akan tetapi, sepertinya dugaanku salah. Selama ayah mendulangku, sesekali aku memergoki ayah melirik ke arah dadaku. Dan aku baru menyadari bahwa aku lupa menutup kancing atas dari dasterku. Tampaklah sedikit belahan dadaku. Maka aku langsung segera menutup kancing bajuku. Tanpa diduga, ada pemadangan yang benar-benar mengganggu aku.

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya.

Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah.

Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran kontol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. Kontol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang kontol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule.

Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung kontol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Nafasku menjadi berat. Tanganku hanya diam saja menggenggam kontol ayah. Entah kenapa aku jadi bingung dan takut. Ini sama sekali di luar dugaanku. Sebenarnya aku ingin mengocok kontolnya tapi aku tidak berani. Ini adalah hal yang salah. Aku takut semakin meminta lebih. Maka segera aku menarik tanganku keluar dari sarung ayah. Aku belum berani untuk melangkah lebih jauh.

Kami berdua langsung canggung. Ayah menundukkan kepalanya dan langsung minta maaf. Dia langsung keluar dari kamarku. Aku terdiam sambil membayangkan apa yang baru saja terjadi.

Aku menceritakan kejadian itu pada sahabatku, Vita. Vita tidak menyangka bahwa kejadian seperti itu bisa terjadi.

“Beneran?”

“Iya, Say. Aku beneran ga nyangka.”

“Fix sudah kalo gitu.” katanya.

“Apanya yang fix?”

“Ayah mertuamu itu, juga punya hasrat seks yang sama.”

“Maksudmu dia juga bernafsu ke aku?”

“Iyalah, say,” kata Vita. “Kalo ngga, ga mungkin dia ngaceng lihat belahan dadamu.”

Aku mulai kepikiran dengan ucapan Vita. Apa benar ayah mertuaku punya hasrat seksual kepadaku? Seperti aku pada dia? Kalau iya, apakah mungkin akan berlanjut pada tahap yang lebih? Ah, aku tidak ingin memikirkannya. Kejadian itu sudah cukup membuatku bingung dan takut.

Saat aku sudah membaik dari sakitku, saat aku sedang memasak, ayahku tiba-tiba menghampiriku.

“Rin,” sapa Ayah.

“Iya, Yah?” jawabku.

Semenjak kejadian kemarin, kami memang menjadi canggung. Kami tidak saling bertegur sapa. Bahkan aku sering menghindari momen di mana ada ayah di situ.

“Soal kejadian kemarin, ayah minta maaf. Ayah bener-bener khilaf. Ga seharunya ayah bersikap kaya gitu.”

“Udahlah, yah. Ga usah dibahas lagi.”

“Iya, tapi ayah merasa sungkan dan malu sama kamu, Rin.”

“Udah terjadi kok, Yah. Jangan dipikiran terus. Ririn paham kok ayah sebagai pria yang masih punya hasrat.”

“Tapi kamu maafin ayah, kan?”

“Iya, Yah,” jawabku. “Lagian kan cuma pegang doang.”

Deg!

Astaga. Cuma? Kenapa aku bilang seperti itu? Kenapa aku seolah mengatakan itu adalah hal yang biasa? Aku tidak bisa mengontrol omonganku. Mendengar itu ayah seperti sedikit berpikir. Entah apa yang dia pikirkan, aku tidak tahu.

“Makasih, Rin.” Jawab ayah. Dia langsung meninggalkanku sendiri di dapur.

Bersambung~
Monggo dinikmati, hu. Update terbaru. Untuk update berikutnya mungkin agak lama karena mau mudik dulu. Wkwkwk.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd