Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Keluarga, sebuah kebersamaan (TAMAT)

***

Terimakasih buat semua pembaca atas banyak kritik dan sarannya. Semoga kedepan lebih baik lagi. Kembali saya sampaikan cerita ini hanya cerita receh dan sederhana, saya harap anda tak sampai mengernyitkan dahi untuk mengerti jalan ceritanya. Untuk yang tidak suka alur cerita ini saya mohon maaf sebesarnya.

***

Post 7

(POV Airin)


Malam itu adalah titik awal buat kami bertiga. Kak Amira, kak Arfan dan aku untuk sepakat merahasiakan apa yang telah kami perbuat bersama. Jangan sampai mama tahu, itu yang ada dalam pembicaraan kami, tapi entah kenapa aku punya firasat kalau tinggal menunggu waktu saja buat mama untuk tahu semuanya.

“Yang penting kita saling terbuka.. apalagi kalau ada masalah..” ucap kak Arfan.

“Iya kak...” balasku menatapnya.

“Iya, kamu bener Fan.. kita harus lebih terbuka...” kata kak Amira dengan senyum mesumnya.

Kami saudara kandung bertiga tengah duduk di ruang tengah rumah kami dengan telanjang bulat semua. Tadi malam aku tertidur setelah om Julian meremasi payudaraku, namun karena mendengar suara desahan dan jeritan dari lantai bawah akhirnya aku ingin tahu juga. Tapi ternyata yang ketemui saat itu adalah kak Arfan yang tengah bersetubuh dengan kak Amira. Suatu pemandangan yang janggal dan langka.

Berarti kak Arfan selain pernah ngentot denganku, dia juga sudah pernah ngentot dengan kak Amira. Enakan dia nih, bisa nikmatin memek semua perempuan di rumah ini. Eh, kakak laki-lakiku itu apa pernah bersetubuh dengan mama yah? Sepertinya sih belum, mungkin juga dia gak bakal berani mendekati mama.

“Udah ya.. kakak ke kamar mandi dulu, mau bersih-bersih.. kalian lanjut aja..” kak Amira kemudian berdiri. Kulihat cara berdirinya masih agak lemah, mungkin tenaganya terkuras karena orgasmenya.

“Ehh.. enggak kak.. ntar pagi aku diajak sama om Julian buat melihat kerjaannya...” kak Arfan menimpali.

“Yaudah... kita istirahat aja...” saran kak Amira kemudian.

Kakak perempuanku yang cantik itu kemudian berjalan pelan menuju kamar mandi di lantai bawah. Tempatnya bersebelahan dengan ruangan dapur.

“Dek.. kakak mau tidur nih, kamu mau disini sendirian?” tanya kak Arfan yang sudah berjalan beberapa langkah dariku.

“Hah!? Eh.. eh.. enggak lah kak.. aku ikut..” kataku langsung berlari mengejar kak Arfan.

“Dek.. Mau tidur bareng kakak ngga?”

“Wahh.. mau dong kak...”

***

Matahari pagi dengan sinar yang menerobos jendela mampu memaksaku untuk bangun dari tidurku yang nyenyak. Awal-awal aku agak kaget, karena biasanya kamarku tak terkena cahaya pagi, namun setelah beberapa saat kemudian aku baru ingat kalau aku tadi malam tidur di kamar kak Arfan.

Aku bangung tidur dengan tubuh tanpa busana seperti biasanya. Jam di atas meja sudah menampilkan angka 08:05. Kuamati sekitarku baik-baik, tak kudapati adanya kak Arfan, namun selembar Sticky Note warna kuning di pinggir meja memberiku informasi dimana keberadaan kakakku itu.

“Kakak pergi sama om Julian, sore sudah pulang, hari ini mbak Wati tidak datang, kamu bikin mie instan aja. Kalau ada apa-apa langsung hubungi kakak”

Begitulah pesan kak Arfan dalam sticky note itu. Jaman sudah digital masih saja pakai cara lama kantoran. Tapi itu efektif dan murah meriah, tak membutuhkan pulsa atau listrik untuk menghidupkannya.

Dengan langkah gontai aku coba mencari air minum. Biasanya di kamar kak Arfan ada tapi pagi itu tinggal botol kosongnya. Akupun pergi cek di kamarku tapi nihil juga. Akhirnya aku dengan berat hati turun ke lantai bawah. Aku cuek saja dengan ketelanjanganku ini karena aku perkirakan di rumah tak ada siapa-siapa. Begitu sampai di depan kulkas langsung saja kuambil sebotol air dingin dan kuminum sepuasnya.

“Baru bangun ya dek....” suara kak Amira mengagetkanku, aku kira dia sudah pergi.

“Ehh, iya kak... capek nih...” balasku.

Kulihat kak Amira menutupi gulungan rambutnya dengan selembar handuk. Mungkin dia baru selesai mandi dan keramas. Tubuhnya yang belum tertutup apa-apa membuat pandanganku jelas melihat bulir-bulir air jatuh dari badannya. Sudah kembali terlihat segar dan cantik kakak perempuanku ini.

“Kak... aku pergi mandi dulu yah...”

“Oke dekk... yang bersih ya, hihi..” balasnya centil.

Kutinggalkan saja kak Amira yang masih duduk santai di depan meja makan sambil melihat layar smartphone-nya.

Setelah selesai dengan rutinitasku mandi dan berpakaian serapi mungkin, aku kembali menuju ke lantai bawah. Pagi itu aku memakai celana bahan warna hitam dengan atasan blouse lengan panjang warna coklat muda. Tak lupa dipadu dengan jilbab warna cream untuk menutupi bagian leher dan kepala. Kontras banget dengan keseharianku di rumah yang lebih senang tak pakai apa-apa. Hihi.

Hari ini sebenarnya aku berencana pergi ke rumah Ella, teman SMA ku dulu yang sekarang beda tempat kuliah. Itulah kenapa jarang sekali aku ketemu dengannya.

“Kaakk... aku pergi ke rumah Ella...” teriakku dari depan pintu kamar kak Amira.

“Iyaaa... naik apa kamu?” balasnya tanpa membuka pintu.

“Pake motor kak....”

Aku kemudian menuju ke pintu depan untuk segera berankat, namun begitu aku akan membuka pintu aku mendengar suara laki-laki dari balik pagar.

“Misiii... paket.... neng Amira..!!”

Aku langsung balik badan dan kuketok kamar kakak perempuanku.

“Kaakk.. ada paketan tuh.. buat kakak...”

“Iya...” kak Amira dengan cepat membuka pintu kamarnya. Langsung saja mataku menangkap tubuh kak Amira yang memakai tanktop longgar warna abu-abu dan hotpants warna hitam. Seksi banget kakak perempuanku itu.

“Eh kakk.. masak keluar pake itu?” tanyaku agak kaget dengan kelakuannya.

“gapapa.. udah biasa kok...” jawab kak Amira enteng.

aku terdiam dengan jawaban dari kakakku seperti itu. Akupun ikut keluar rumah dan menemui orang yang mengantar paketan tadi.

“Buat neng Amira..”

“Iya pak... yuk masuk aja dulu..” balas kakakku.

Aneh banget kakakku, berani sekali dia ngajak masuk bapak-bapak pengantar paket itu. Ketika aku bertatap muka dengan kurir itu juga ada gelagat aneh yang kutemui. Pandangannya seperti ingin menelanjangi tubuhku, pasti dia itu laki-laki mesum.

“Eh.. ini adiknya neng Amira yah?” tanya kurir itu pada kakakku.

“Iya..cantik kan pak? Hihihi....”

Aku tak menggubris apa yang mereka bicarakan. Aku langsung mengeluarkan motor matic warna hitam dari garasi rumahku. Sebenarnya rumah Ella itu dekat, masih satu kompleks perumahan dengan tempat tinggalku, tapi karena beda blok akhirnya kalau pergi ke sana harus memutar melewati ujung gang.

Hanya dalam waktu dua menit aku sudah sampai di depan rumah Ella. Kulihat pintu depan tertutup rapat tapi pagarnya tidak dikunci. Aku langsung memasukkan motor matic yang tadi kupakai dan kuparkir di depan pintu garasi. Begitu kurasa aman kemudian kutinggalkan untuk mengetok pintu rumah tempat tinggalnya.

“Siapa yaa??” tanya suara dari balik pintu.

“Airin tante...” jawabku, aku yakin suara itu adalah suara tante Santi, mamanya Ella. Ketika pintu di buka dugaanku tadi benar adanya.

“Ehh.. tumben? Ayo masuk...sini..” ucap tante Santi ramah.

“Iya te.. permisi...”

Saat mamanya Ella tadi membuka pintu, aku sedikit heran dibuatnya. Tante Santi saat itu hanya memakai selembar handuk yang dililitkan di tubuhnya.

“Tante mau mandi ya?” tanyaku iseng.

“Ehh.. enggak.. tadi habis dipijit...”

“Wahh.. terapisnya datengin darimana te?”

“Hihi... itu.. terapisnya papanya Ella sendiri kok..”

“Ohh.. Om Aji ada di rumah?”

“Iya, kebetulan besok tanggal merah, jadi ikut nambah ga masuk kantor sehari” jawab tante Santi.

Kuperhatikan saat tante Santi duduk di kursi depanku beberapa kali handuknya terbuka pada celaha pahanya. Beberapa kali itu juga memek tembem mamanya Ella itu terlihat olehku. Aku yakin dibalik handuk itu dia ga pake daleman apa-apa. Ugh, masak tante Santi mau menggodaku juga? Gak lah, gila apa!?

“Ella ada di rumah juga kan te? Aku chat ga dibales-bales sih dari tadi”

“Ada kok...ada... tuh di belakang, bentar tante panggilin...”

Tante Santi kemudian beranjak pergi menuju ke dalam rumahnya. Sambil menunggu akupun melihat-lihat foto yang terpajang di dinding ruang tamu itu. Sebagai anak tunggal, Ella begitu dimanja sama orang tuanya. Apapun yang dia minta pasti di kasih sama papanya. Namun begitu Ella tak pernah minta macam-macam, karena aku tahu dia anaknya suka hal-hal sederhana.

“Airin... kamu ke belakang aja yah.. Ella masih dipijitin papanya..” ucap tante Santi yang datang tiba-tiba, atau mungkin aku yang tak mengetahuinya.

“Ehh.. i-iya te.. makasih...”

“Ruangannya yang ada di ujung, deket halaman belakang” ujar mamanya Ella sambil menunjuk arah belakang rumahnya.

Setelah mendapat ijin yang punya rumah akupun dengan langkah biasa berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh tante Santi tadi. Memang aku sering ke rumah Ella dulu pas masih sekolah SMA, namun itu sudah lama. Sekarang ini timbul perasaan canggung lagi untuk masuk ke dalam rumahnya.

Dalam beberapa langkah aku sudah sampai di depan sebuah ruangan yang temboknya dari kaca tebal macam bilik ATM. Ruangan itu tidak terlalu lebar namun lega, mungkin ukurannya sekitar 3X3 meter. Di dalamnya ada sebuah tempat tidur sempit yang cukup untuk satu orang saja dan di sebelahnya ada meja kecil tempat menaruh minyak atau barang kecil lainnya. Juga ada sebuah kursi di dekat meja dengan jarak sekitar 1,5 meter dari tempat tidurnya.

Aku agak kaget pada siapa yang ada di dalam ruangan itu. Kuhentikan langkahku saat mataku bisa melihat kejadian di balik dinding kaca ruangan itu. Betapa membuatku ternganga saat kulihat Ella tengah tidur tengkurap tanpa busana. Sedangkan di sampingnya berdiri papanya yang cuma memakai celana dalam saja. Ahh, kegilaan apalagi sih ini!?

Tatapan mataku mengarah pada gerakan tangan Om Aji yang membalurkan minyak ke seluruh bagian belakang tubuh Ella. Dari yang aku lihat sepertinya Ella merasa nyaman banget dengan perlakuan papanya. Tangan om Aji begitu lihai menari-nari di permukaan kulit Ella seakan dia memang benar-benar seorang terapis.

“Masuk aja Rin.. itu lho Ella masih dipijit sama papanya...” suara tante Santi yang tiba-tiba muncul di belakangku hampir membuatku melompat kaget.

“I-iiya tante...” balasku gugup, kini jantungku berdetak semakin kencang.

“Ella... ini ada Airin...”

“Iya ma.. suruh masuk aja...” balas Ella dari dalam ruangan.

Dengan perlahan dan hati-hati aku masuk ke dalam ruangan itu. Ella yang masih tiduran tengkurap menoleh ke arahku sambil tersenyum.

“Sorry ya Rin, aku masih dibuat enak nih sama papa, hihihi...” ucap Ella.

“Iya deh El.. lanjut aja, tadi aku ke sini mau ngajak kamu makan di luar...” balasku.

“Hemmm.. bentar deh kalo gitu... biar papa puas dulu...” ujar Ella lagi.

Apa sih maksudnya biar papa puas? Aku ga ngerti banget deh omongannya Ella. Kulihat om Aji cuma senyum-senyum saja mendengar ucapan anak semata wayangnya itu.

“Iya Rin.. kamu duduk aja dulu... ntar ikutan dipijit kayak Ella.. mau kan!?” kata om Aji sambil tersenyum mesum-mesum gimana gitu.

“Emmm.. engga deh om... hehe.. aku ga biasa dipijit...” jawabku menghindar.

Sambil menunggu Ella di pijit sama papanya, aku duduk di kursi sebelah mereka. Dari tempat itu aku bisa melihat dengan jelas gerakan tangan om Aji pada beberapa bagian tubuh Ella. Sebenarnya kalau diperhatikan perbuatan mereka sepertinya biasa saja. Ella dan papanya kan memang muhrim, jadi bebas mau nyentuh bagian tubuh mana saja.

“Nungging ya sayang...” perintah om Aji kemudian.

Ella yang tadinya tengkurap kini menungging di hadapan papanya. Sepertinya temanku itu sudah tak punya malu lagi padaku. Bagian dada dan kepalanya masih di atas bantal, jadilah pantat Ella menjulang memamerkan lobar pengeluaran dan celah memeknya.

“Lihat nih Rin.. bagian ini harus sering di kasih sentuhan..” ujar om Aji saat mengelus pinggiran lobang pantat Ella dengan jarinya.

“Ohh.. gitu ya om..” balasku sambil pura-pura men-scroll layar ponselku. Mataku sedikit menangkap gundukan di balik celana dalam om Aji semakin besar saja.

Kulit Ella yang kuning langsat itu nampak sekali mengkilat karena banyaknya minyak yang dibalurkan pada tubuhnya. Kuperhatikan dia sangat menikmati apa yang tengah dilakukan papanya, terbukti dengan matanya yang terpejam dan mulutnya yang mendesah-desah keenakan.

“Nahh... bagian ini juga harus sering dikasih pijatan seperti ini Rin...” lanjut om Aji yang kini mengurut pinggiran vagina Ella yang tampak tembem itu. Kedua jempol tangannya mengurut pinggiran memek anak perempuannya itu dari arah pantat menuju ke selangkangan.

“Aahhhhh....” pekik Ella tiba-tiba, mungkin clitorisnya tersenggol jari papanya.

“Hehehe.. El.. ada temanmu itu lho.. kok pake mendesah enak gitu?” goda om Aji pada anaknya.

“Ahh.. Airin, dia ga bakalan buka rahasiaa kok pa..” balas Ella. Ucapan temanku itu langsung disusul senyuman dari om Aji.

Aku masih saja berusaha santai melihat kelakuan papa dengan anak perempuannya itu. Sepertinya aku harus mencari alasan supaya aku bisa pergi dari sini tanpa mereka curigai. Mungkin kalau aku di sini terus bakal ikutan tergoda juga, apalagi celah memekku rasanya sudah berdenyut-denyut minta dipuasi.

“Airin mau minum apa?” tiba-tiba tante Santi masuk ke dalam ruangan.

“Ehh.. engga tante.. makasih.. lagi diet nih, hihi...” balasku.

Setelah sempat menawari aku minuman, tante Santi ikutan duduk di sampingku. Dia melihat perlakuan om Aji pada Ella sambil ikutan mengomentarinya. Ugh, kacau juga nih keluarga teman gua.

Tanpa bisa aku bayangkan sebelumnya, om Aji dengan santainya membuka celana dalam warna hitam yang sedari tadi dipakainya. Aku tersentak dan ternganga, hanya saja aku berusaha santai dan tidak terbawa suasana. Meskipun jantungku berdegub kencang saat kulihat batang penis papanya Ella sudah tegak mengacung sempurna.

“Balik badanmu sayang....” perintah om Aji pada anaknya lagi.

Ella langsung saja menuruti perintah papanya, dia membalikkan badannya hingga sekarang posisinya tidur telentang dengan kedua kaki di tekuk di atas perutnya. Setelah itu om Aji mendekatkan batang penisnya pada pangkal paha Ella. Ahh.. masak sih om Aji beneran mau ngentor sama Ella??

Rupanya tinggi tempat tidur yang dipakai untuk pijat itu berdasar pada tinggi badan om Aji. Itulah kenapa posisi batang penis om Aji tepat pada celah kemaluan Ella. Dengan sedikit menarik tubuh Ella agak ke pinggir tempat tidur, om Aji kini mulai memajukan penisnya menuju celah vagina anaknya itu.

“Tenang... ga dimasukin kok Rin... hehe..” ujar om Aji yang seakan mengerti tanda tanya dalam pikiranku.

“Apa om!? Ohhh.. itu, hahaha..” balasku kebingungan. Aku kini berada pada persimpangan rasa, rasa penasaran, rasa jengah, rasa takut dan yang jelas rasa horni juga.

“Ini buat menstimulasi syaraf pada celah kemaluan, sekalian pake kontol biar manteb rasanya... hahaha...” kata om Aji vulgar.

“Hehe.. iya Rin.. jangan disangka yang bukan-bukan yaa...” imbuh tante Santi di sebelahku.

Heran juga aku sama mamanya Ella ini. Dia begitu tenang dan santai melihat suami dan anak perempuannya telanjang bersama. Bahkan kini suaminya sedang menggesekkan penisnya pada celah vagina anaknya. Kadang kulihat matanya juga berbinar bahagia melihat itu semua, ahh.. jadi menduga yang enggak-enggak nih.

Om Aji terus meggesekkan batang penisnya pada permukaan celah vagina Ella. Tangannya memegang kedua kaki anaknya yang dia sandarkan pada pundak kirinya. Kalau dari samping memang terlihat om Aji benar-benar menyetubuhi Ella. Memang bukan kali ini saja mereka melakukannya, atau mungkin mereka sudah terbiasa?

Ella yang mendapat gesekan pada celah kewanitaannya hanya bisa terpejam menikmati rangsangan itu. Kedua tangannya kemudian dia pakai untuk menahan payudaranya yang bergoyang-goyang karena gonjotan om Aji. Aku merasa sedikit bangga karena kulihat ukuran buah dada Ella tak sebesar punyaku. Namun begitu bentuknya tetap bulat dan sekel, dengan puting susu tegak mencuat warna coklat muda.

“Aaahhhhh... papa...emmhhh...” mulut Ella mulai bersuara.

Aku hanya bisa kembali ternganga saat kusadari batang penis om Aji ternyata masuk ke dalam liang senggama Ella. Rupanya desahan dari temanku tadi menandai kenjantanan papanya menerobos celah memeknya. Aku kembali berusaha tidak terpana. Sempat aku menoleh ke tante Santi yang ada di sebelahku namun ternyata tak ada reaksi darinya. Aneh.

“Ehh.. emm.. El.. aku pulang duluan yah.. ada kak Amira yang cari kunci rumah..” ujarku pada Ella. Namun pandangan mataku tak beralih dari penis om Aji yang keluar masuk mengocok lobang kemaluan anak perempuannya.

“Aahhh.. iya.. ahh.. Rinn... ntar sore...aajjjaaahhhh...” balas Ella sambil terus mendesah.

“Om.. tante.. aku pulang dulu yah..” pamitku pada kedua orang tua Ella.

“Iya Rin... ga usah tante antar yah.. bisa kan?” balas tante Santi

“Eh... iya te.. makasih”

Bergegas aku menuju pintu depan rumah Ella. Desiran darahku semakin terasa, belum lagi memekku yang sudah basah pun ikut berdenyut semakin menyiksa. Aku harus segera keluar dari rumah ini, aku harus segera keluar dari godaan ini. Aku harus kuat!!

Bersyukur akhirnya aku bisa sampai di rumah. Kumasukkan motor matic yang tadi aku pakai menuju ke dalam garasi lagi. Sambil berjalan aku jadi berpikir, ternyata di luar sana benar-benar ada perilaku Incest yang terjadi. Bahkan perilaku itu dilakukan oleh keluarga temanku sendiri, anak dengan orang tuanya. Tak bisa aku menghakimi kelakuan sesorang, karena kita sama-sama mencari jalan kebenaran pada akhinya. Aku juga berpikir tentang kelakuanku dan kak Arfan, betul dia kakak kandungku, tapi masih berani entot-entotan juga. Untungnya papa sudah tiada, aku tak bia membayangkan kalau aku bersetubuh dengan papaku sendiri, Ugh.. jadi merinding akunya.

Saat masuk ke dalam rumah dan melewati ruang tengah, mataku melihat sepasang laki-perempuan tengah duduk bermesraan. Aku betul-betul tak menyangka kak Amira ada main sama bapak-bapak kurir paket tadi. Aku jadi menduga, jangan-jangan memang seleranya kak Amira itu bapak-bapak.

Aku melewati mereka sambil sedikit tersenyum. Tak enak juga kalau berjalan di depan orang lain dengan muka cemberut. Kak Amira biasa saja, dia masih duduk menyender pada pundak bapak kurir itu, tak terganggu pada kehadiranku. Sebaliknya bapak pengantar paket itu menatap lekat padaku. Seakan ingin menikmatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku jadi risih dibuatnya. Langsung saja aku naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarku.

Tok.. Tok.. Tok... suara ketukan pada pintu kamarku tak berselang lama setelah aku masuk.

“Iya kak.. ada apa?” tanyaku pada kak Amira yang kini sudah di depan pintu.

“Dekk... tolongin kakak dong...” ucap kak Amira melangkah mendekatiku.

“Apaan sih kak !?”

“Gini.. kamu tau kan bapak kurir paket tadi? Dia punya foto telanjang kakak..” ucap kak Amira lirih, seumur-umur baru kali itu lihat kakak perempuanku memelas di hadapanku.

“Ohh... trus dia maunya apa kak?” tanyaku setelah mengerti arah pembicaraan kak Amira.

“Emmm.. dia pengen ngentotin kamu...”

“Hah !? kurang ajar !!” teriakku.

“Pliissss... kamu jangan marah gitu dong dekk... bantu kakak yah... yah..” mohon kak Amira lagi.

“Kakak ini gimana sih? masak adeknya dikasih sama bandot tua gitu!?” protesku lagi.

“Yaah adekkk... tolongin kakak kali ini aja, ntar kamu minta apa aja kakak kasih deh...” rayu kak Amira padaku.

Aku tak habis pikir pada kelakuan kakak perempuanku itu. Dia bermain terlalu dekat dengan bahaya, akhirnya dia kena celaka juga. Mungkin kali ini saja sebagai saudara aku akan menolongnya.

“Hemmm... oke deh kak... ayo kita ke bawah..” ajakku.

“Yuk dekk.. hihi..” balas kak Amira, kini dia bisa tertawa centil lagi.

Tubuhku masih berbalut pakaian yang aku gunakan untuk pergi ke rumah Ella tadi, hanya saja sekarang aku tak memakai hijab.

“Waahhh... akhirnya mau juga... sini neng manis..” ucap bapak kurir paket itu kurang ajar.

“Ishh.. apaan sih pak? Ga jelas banget deh...” balasku.

“sekarang waktunya kamu berbakti sama kakak kamu.. hahaha..”

“Aku sih mau aja pak... tapi sekarang sebelum lanjut, kasih Hpnya bapak.. biar kak Amira periksa..” aku coba menawar situasi ini.

“Eitt.. tunggu dulu.. kamu harus lepas baju dulu, baru bapak kasih...” ujar bapak itu lagi.

Dengan terpaksa aku mulai melepas kancing blouse yang kupakai. Setelah pakaian warna coklat muda itu lepas dari tubuhku langsung saja payudaraku yang montok menggantung itu terpampang dengan jelas. Bapak kurir paket itu semakin melongo melihat kemolekan tubuhku saat kulepaskan juga celana bahan yang menutupi tubuh bagian bawahku.

“Wah..wahh... binal juga nih adeknya.. kemana-mana ga pake daleman ternyata...” ucap bapak kurir paket yang kini semakin terpana melihat tubuh telanjangku.

Memang dari tadi pagi berangkat keluar aku sudah tak memakai bra dan celana dalam. Kadang sering aku lakukan kalau lagi keluar tapi tak terlalu jauh dari rumah. Sensasinya itu asik banget kalau pergi dengan baju terutup tapi gak pake daleman. Hihi.

“kak Mira...” panggilku sambil menunjuk ke Hp bapak itu.

Bapak pengantar paket tadi sekarang ikutan menurunkan celananya, tapi tak sampai lepas. Dia kemudian memberi kode padaku untuk mendekat, akupun menurutinya.

“Mantab benar nih susu..” pujinya saat aku sudah duduk di pangkuannya dengan payudaraku menghadap mukanya.

“Emmhhhh.. nih pak nyusu dulu...” kusodorkan saja puting susuku sebelah kanan pada mulutnya dan langsung dia kenyot dengan rakus.

Sambil buah dadaku di kerjai laki-laki itu, pelan-pelan kugoyangkan pinggulku hingga membuat belahan memekku mengelus-elus batang penisnya.

“Aahhhh... terusin pakk.. ahhh..” desahku, sebenarnya aku hanya pura-pura saja buat menggodanya.

“Aduhh.. sial.. bisa keluar duluan nih “ gumamnya.

Kugoyangkan terus pinggulku supaya belahan memekku mengelus batang penisnya. Aku yakin laki-laki itu tak akan bertahan lama, aku bisa tahu dari gelagatnya.

“Aahhhh... kurang ajaar.... aaahhh...” teriak laki-laki itu dibarengi dengan menyemprotnya cairan spermanya. Akupun terus menggoyang pinggulku.

“Yaahhhh.. kok udah ngecrot duluan sih pak?? Aku aja belum apa-apa...” protesku.

“Hah.. hahh... hahh..” lelaki itu masih mencoba mengatur nafasnya.

Aku kemudian beranjak berdiri dari pangkuannya. Perut dan depan vaginaku belepotan cairan putih kental yang tak lain adalah sperma bapak itu tadi.

“Mangkanya pak.. kalo punya kontol kecil trus gampang ngecrot kayak gitu ga usah sok-sokan deh...” ejekku sambil menatap sinis pada laki-laki di depanku.

“Hihihi...” kak Amira ikutan ketawa mendengarnya.

“Udah belum kak?” tanyaku yang dijawab dengan tanda jempol tangan kanannya.

“Aku harap ini yang terakhir bapak ketemu kak Amira, ga usah coba-coba lagi deh... tapi kalo bapak masih maksa trus pake acara ngancem segala... aku pastikan bapak sekeluarga akan menyesal sampai anak cucu bapak....“ ujarku dengan nada mengancam.

Tak kuhiraukan lagi bapak kurir paket yang hanya bengong di depanku. Aku langsung naik ke lantai atas dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Sisanya kuserahkan kak Amira untuk menyelesaikannya.

***
Bersambung lagi ya Gaes ^_^
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd