Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA KEMBANG KOMPLEKS (collab with @killertomato)

PART 4: OPEN HOUSE

“Sayang, cepet atuh dandannya. Tadi aku yang disuruh cepet-cepet mandi, sekarang malah kamu yang dandannya lama. Gimana sih?” Teriak Raka dari ruang tamu rumahnya. Pria itu beringsut di depan kaca yang ada di sana untuk sekali lagi memperhatikan penampilannya.

Tak seperti biasanya, di hari Sabtu ini pria itu telah mengenakan kaos polo warna biru dongker serta celana panjang, dari outfit yang ia kenakan sepertinya Ia akan menghadiri sebuah acara. Padahal kalau weekend atau di hari libur begini dia biasanya hanya memilih rebahan di sofa dengan kaos oblong dan celana pendek atau sarung, sambil nonton Netflix di televisi atau bermain game mobile. Maklum saja sih, setelah sibuk bekerja selama lima hari penuh dari pagi sampai ke sore, nine to five, lelah dan penat tentu biasa. Setiap orang tentu perlu waktu beristirahat saat akhir pekan tiba.

“Iya, Kang. Sabar ih. Kayak mau ketemu siapa aja,” teriak sang istri dari dalam kamar.

“Lah kamu itu yang mau ketemu siapa? Aku hitung sudah hampir setengah jam kamu bersiap-siap, tapi belum selesai juga,” balas Raka menggerutu. Namun tidak terdengar lagi jawaban dari dalam kamar.

Sekitar lima menit kemudian, pintu kamar akhirnya terbuka. Dari dalamnya, keluar seorang perempuan cantik dengan hijab panjang berwarna merah muda dan gamis dengan warna senada. Busana tersebut seperti menonjolkan kulitnya yang putih dan wajahnya yang cerah.

“Hmm, kira-kira terlalu berlebihan nggak ya, Kang?” Tanya perempuan tersebut.

Raka pun memandang ke arah tubuh sang istri mulai dari ujung kepala hingga kaki, mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang tengah berdiri di hadapannya. Mereka memang telah menjadi suami istri sekitar dua tahun lamanya, setelah berpacaran dalam waktu yang relatif sama. Tetapi, tetap saja Raka selalu dibuat terpana akan kemolekan tubuh pujaan hatinya tersebut.

“Ngg... Nggak sih.”

“Terus kenapa bengong gitu ngeliat akunya?”

“Kamu... Cantik...”

“Ihh, dasar Akang tukang gombal.”

MEIF4GZ_t.png


Raka tidak menjawab kata-kata istrinya tersebut, dan hanya berjalan mendekat ke arahnya. Ketika mereka berdua telah begitu dekat, ia langsung merengkuh pinggul sang istri dan menarik tubuh indahnya. Dengan gerakan cepat, pria itu menghujamkan bibirnya demi mengecup sang istri, sembari menjulurkan lidahnya untuk memulas bibir sensual tersebut.

“Kk... Kaanng...”

“Kenapa, Rizka sayang? Nggak suka dikecup sama Akang?”

“Bu... Bukan begitu. Cuma kaget aja.”

“Akang nggak kuat lihat tubuh seksi kamu. Termasuk yang ini neh, yang tetap saja menggiurkan meski kamu sudah tutup dengan jilbab panjang kamu,” ujar Raka sambil mengusap-usap gundukan payudara di dada istrinya. Ukurannya memang tidak terlalu besar, tapi terasa pas di genggaman sang pria setiap kali ia menyentuhnya.

Sebagai istri yang penurut, Rizka tentu membiarkan saja tubuhnya digerayangi oleh sang suami. Ia jelas bahagia bisa membuat pria pujaan hatinya tersebut merasa bergairah setiap kali melihat tubuh indahnya. Bukankah kemesraan seperti itu merupakan bibit-bibit kelanggengan sebuah rumah tangga? Namun, ia tetap merasa sedikit gelisah dengan pelukan tersebut.

“Jangan kenceng-kenceng peluknya, atuh Kang. Nanti baju aku lecek. Kita kan mau ke open house di rumahnya Pak Jay dan Bu Gina,” ujar Rizka.

“Iya, sebentar saja kok. Aku kan kangen sama kamu,” jawab Raka sambil terus mengecup-ngecup pipi sang istri yang sepertinya hanya dilapisi dengan make up tipis. Sementara itu, tangannya juga turut menggerayangi bokong perempuan seksi itu yang masih tertutup rapat oleh gamis. Rizka sendiri turut membalas dengan mengalungkan tangannya di leher sang suami.

“Ngg... Untung Akang nggak kayak suami Mbak Rima yang suka tugas ke luar kota. Bisa-bisa nanti kangennya membludak, hehehe.”

“Yang ada aku jadi nggak tahan buat cepet-cepet pulang dan ngentotin kamu, Sayang.”

“Idih, Akang. Ngomongnya jorok pisan...”

Rizka pun jadi teringat akan peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu, saat rumahnya didatangi oleh tiga orang yang baru ia kenal saat itu. Mereka bertiga mengajukan tawaran yang cukup menarik, meski dengan beberapa syarat yang terbilang berat. Rizka memang telah memberitahukan hal tersebut kepada Raka, tetapi sang suami hanya menjawab akan pikir-pikir dulu. Setelah itu, Rizka belum sempat menanyakan kembali bagaimana keputusan akhir suaminya tersebut.

“Kamu kok sepertinya lagi mikirin sesuatu, Neng. Cerita dong sama Akang,” tanya Raka saat melihat gelagat bahwa istrinya sedikit gundah saat berada di pelukannya. “Lagi nggak pengen dipeluk sama Akang?”

“Nggak, Kang. Masa iya aku nggak suka dipeluk sih.”

“Terus kenapa?”

“Nanti aja deh, Kang. Nggak penting kok.”

“Lah, kalau nggak penting ya langsung ngomong aja. Daripada kamu pendam-pendam terus begitu.”

Rizka sempat berpikir sejenak apakah ini waktu yang tepat untuk mengkonfirmasi keputusan sang suami. Namun sepertinya suasana hati Raka sedang dalam kondisi yang baik. Karena itu, ia pun memberanikan diri untuk bertanya.

“Itu lho, Kang. Soal yang kemarin aku ditawari jadi talent video channel YouTube salah satu influencer muda. Menurut Akang bagaimana? Apa aku perlu menerima tawaran tersebut?”

“Oh, yang itu. Kamunya bagaimana, Neng? Tertarik?”

“Ya, kalau aku sih tertarik aja. Menurut Akang gimana baiknya?”

“Tertarik karena apanya? Bukan karena si Rhoma Wedhus itu kan? hehehe...”

“Ya nggak lah, Kang. Aku udah punya suami seganteng dan semacho kamu, mana mungkin tertarik sama cowok begajulan dan bau ketek kayak dia.”

“Hahaa...”

“Aku cuma tertarik karena sepertinya tawaran ini bisa membuka pengalaman baru. Siapa tahu setelah sukses menjadi talent di video-videonya Rhoma, aku bisa solo karier jadi influencer gitu.”

“Hmm, dari dulu memang Akang sudah melihat bahwa kamu punya ketertarikan tersendiri di dunia hiburan. Benar kan?”

Rizka hanya mengangguk. Tentu bukan alasan kalau ia sejak remaja sudah mencoba untuk mengikuti kompetisi bakat dan kecantikan seperti Mojang Jajaka di kota asalnya. Sayangnya, ia tidak sampai ke tahap lanjutan, sehingga namanya pun tidak terlalu dikenal oleh masyarakat.

“Kalau aku sih prinsipnya, kalau kamu memang suka dan tertarik, ya silakan saja kamu lakukan,” ujar Raka dengan lembut.

“Beneran, Kang?” Tanya Rizka seperti tidak yakin.

“Iya, lah. Akang kan bukan cowok kolot yang cuma mau istrinya tetap di rumah nungguin suami doang. Yang kalau pulang kerja istrinya nggak boleh makan dulu sebelum suaminya makan. Kalau kamu mau beraktivitas di luar, apalagi kalau itu menghasilkan sesuatu, ya silakan saja.”

“Tapi, soal kontrak yang setengah tahun itu bagaimana Kang? Yang aku tidak boleh membuka jati diri yang sebenarnya, dan tidak boleh hamil.”

“Nggak masalah juga. Kita kan bukan orang terkenal, jadi sepertinya tidak akan ada yang kenal. Lagipula kamu belum ada tanda-tanda akan hamil juga kan?”

“Iya sih. Tapi...”

“Tapi apa lagi, Neng?”

“Kita akan tetep gituan kan?”

“Ya iya lah. Emangnya Neng mau kita berhenti? hehehe.”

“Bukan begitu. Tapi kalau kita kelepasan, terus aku malah jadi hamil, bagaimana?”

“Ya tinggal kita bayar aja penaltinya. Atau minta mereka bikin cerita kalau tiba-tiba si Rhoma itu yang bikin kamu hamil. Hahaa...”

“Ihh, Akang mah. Amit-amit jabang bayi,” ujar Rizka sambil mengelus-elus perutnya yang rata. Melihat wajah dari sang Youtuber saat bertemu kemarin saja perempuan tersebut sudah merasa jijik. Apalagi bila nanti sampai bersetubuh dan hamil oleh pria seperti itu. Mungkin rasanya mirip dengan masuk ke ceruk terdalam di neraka jahanam.

“Yang penting, si Rhoma itu nggak akan pegang-pegang ini kan, Sayang?” Tanya Raka sambil meremas-remas payudara Rizka yang berukuran sedang.

“Nggghhh... Akaaaanngg... Geli, Kang,” desah Rizka yang kini telah melabuhkan kepalanya di pundak sang suami.

“Jawab dong. Kamu mau toket kamu dipegang-pegang sama Rhoma?”

“Ng-Nggak mau, Kang. Rizka cuma mau toket Rizka dipegang sama Kang Raka. Ngghhh...”

“Yakin? Kalau dia maksa bagaimana? hehehe...”

“Hmmpphh... Akang, mah. Kalau diremas-remas terus begini, nanti Neng jadi pengen.”

“Pengen apa?”

“Pengen dientot Akang. Ahhhh... Udah Kang, berangkat dulu yuuukkk.”

Sang suami hanya tertawa. Ia tampak senang bisa mengerjai sang istri yang langsung naik birahinya hanya dengan diremas-remah buah dadanya seperti itu. Rama memang sudah hafal betul teknik-teknik yang dibutuhkan untuk merangsang istrinya yang molek tersebut.

“Iya deh. Tapi sebelum itu cium dulu dong,” ujar Rama yang langsung disambut dengan bibir indah sang istri. “Aku sayang kamu, Neng Rizka.”

“Aku juga sayang kamu, Kang Raka.”

“Kita jalan ke rumah Pak Jay dan Bu Gina sekarang yuk. Biar nanti bisa cepet pulang,” ujar Raka.

“Iya, Kang.”

Dalam hati, Rizka sebenarnya masih ingin berlama-lama bermesraan dengan sang suami. Namun ia berusaha menahan diri, karena mereka berdua tentu punya banyak kesempatan untuk bisa terus bermesraan berdua, setelah pulang dari acara di rumah tetangga baru mereka tersebut. Mumpung belum diberi momongan oleh Yang Maha Kuasa.

Namun anehnya, Rizka merasakan sensasi yang aneh saat Raka menyebut-nyebut nama Rhoma di tengah-tengah percumbuan mereka. Seperti ada api yang terpantik ketika nama Youtuber berparas buruk rupa itu muncul saat mereka berdua tengah saling memberikan rangsangan.

“Apa ya yang akan terjadi apabila Rhoma memaksa untuk menyentuh tubuhku? Duhh, semoga saja tidak sampai sejauh itu,” pikir Rizka.


***​


Setelah selesai bersiap-siap, pasangan suami istri tersebut langsung berjalan keluar rumah dan mengunci pintu. Rizka sempat memandang ke arah kediaman Rima yang berada tepat di sebelah rumah mereka, yang saat ini tampak begitu sepi. Hanya ada sebuah tempat jemuran yang terbuat dari aluminium berdiri di area carpool yang biasanya diisi oleh mobil pemilik rumah tersebut. Pintu dan gorden jendelanya pun tampak tertutup rapat.

“Hmm, mungkin Mbak Rima sudah berangkat duluan dengan Radja,” pikir Rizka dalam hati.

Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan menuju rumah Jay dan Gina yang berada di bagian depan kompleks tersebut. Namun tanpa diduga, sang suami yang tengah menggandeng tangannya justru menyapa seorang pria tua yang berada tepat di seberang rumah Rima.

“Selamat pagi, Pak Rebo,” ujar Raka dengan sopan.

Pria tua yang disapa tersebut hanya menatap Raka tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia lalu melengos dan justru melanjutkan aktivitasnya menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi oleh daun-daun kering. Ia seperti tidak peduli dengan kehadiran dua orang tetangganya tersebut.

“Hisshh... Ngapain sih Akang panggil-panggil dia,” bisik Rizka pelan. Ia tentu tidak mau suaranya terdengar oleh pria tua yang berada sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdua berdiri saat ini.

“Ya kan menyapa tetangga, Neng. Nggak ada salahnya kan?” Jawab Raka dengan suara yang tidak kalah pelan.

“Akang nggak tahu ya? Pak Rebo itu terkenal seram tahu. Kata orang-orang dia suka memelihara hantu.”

“Masa iya?”

“Kata orang-orang sih begitu. Akang mau kalau nanti aku kena jampi-jampi sama dia?”

“Duh, ya jangan dong. Sudah susah-susah dapetin cewek secantik kamu, masa musti direbut sama pria tua bangka kayak gitu.”

“Makanya, nggak usah banyak ngobrol sama dia. Ngeri.”

“Memangnya kamu mau sama dia? Hahaa...”

“Ihh, Akang ngomong apa sih...” jawab Rizka ketus.

“Tapi aku bingung deh. Memangnya dia nggak diundang sama Pak Jay dan Bu Gina? Bukannya semua warga diundang ya?”

“Harusnya sih semua penghuni kompleks ini diundang. Tapi kata Pak RT, Pak Rebo memang tidak pernah datang kalau ada acara apa pun di lingkungan sini.”

“Oh. Orangnya tertutup banget ya.”

“Iya, Kang. Tapi anehnya, kemarin dia sempat keluar rumah dan mendatangi Mbak Rima. Dia bahkan sempet-sempetnya kasih kue ke Mbak Rima. Enak lagi kuenya.”

“Mbak Rima yang rumahnya di sebelah kita ini?”

“Iya, Kang. Memangnya Mbak Rima mana lagi? Mana suami Mbak Rima lagi tugas di luar kota pula.”

“Wah, kamu harus ingetin tuh, atau lapor Pak RT supaya nggak terjadi apa-apa.”

“Iya. Nanti aku kasih tahu Mbak Rima juga deh. Supaya lebih hati-hati.”

“Ngomong-ngomong, kamu tahu dari mana kalau kuenya enak?”

“Kan kemarin aku cobain waktu main ke rumah Mbak Rima.”

“Waduh, kamu juga harus hati-hati tuh. Jangan-jangan di kue itu ada peletnya, hii...”

“Akang ini apaan sih,” ujar Rizka sambil memukul-mukul lengan sang suami dengan manja.

Dengan suasana hati yang ceria, mereka berdua pun melanjutkan perjalanan ke arah rumah Jay dan Gina. Tangan keduanya saling bertaut, seperti tidak ingin ada seorang pun yang memisahkan kebersamaan mereka.

Keduanya tidak tahu bahwa dari arah belakang, mata seorang pria tua yang tadi tengah fokus menyapu daun kering, justru tengah tertuju ke arah pasangan tersebut. Tepatnya ke arah sang perempuan yang tubuhnya begitu bahenol dan montok, sehingga mengundang nafsu setiap lelaki yang memandangnya. Apalagi bila disuguhkan dengan goyangan pinggul dan bokong yang tetap jelas terlihat keseksiannya meski tertutup gamis panjang.

Namun hal itu hanya berlangsung sebentar, karena pandangan sang pria langsung beralih ke arah tempat jemuran yang berada tepat di seberang rumahnya. Ia memandang ke arah sekeliling, dan melihat situasi kompleks tersebut kini tengah sepi. Sebagian besar penghuninya memang sedang berada di rumah nomor 6, tempat penghuni baru bernama Jay dan Gina sedang mengadakan sebuah acara open house. Karena itu, sang pria pun memberanikan diri untuk menyeberangi jalan dan masuk ke area car port rumah tetangganya tersebut.

Setiap penghuni Cluster Kembang Cempaka sebenarnya mempunyai tempat khusus untuk menjemur pakaian di halaman belakang rumah. Karena itu, tempat jemuran yang berada di depan rumah nomor 14 tersebut memang terlihat seperti salah lokasi. Dan setahu sang pria tua tersebut, ini adalah kali pertama penghuninya meletakkan tempat jemuran di posisi tersebut.

Bagaimana dia bisa tahu? Karena selama ini ia memang punya kebiasaan mengawasi para tetangga dari balik jendela rumahnya. Ia sempat merasa bosan saat kompleks tersebut masih begitu sepi tak berpenghuni. Namun ketika rumah-rumah di depannya mulai terisi, ia pun jadi sedikit bersemangat. Apalagi saat ia tahu bahwa perempuan-perempuan yang menjadi penghuni baru di Cluster Kembang Cempaka itu mempunyai paras yang luar biasa ayu.

Saat sang pria tua telah begitu dekat dengan tempat jemuran yang ia tuju, terlihat sebuah benda spesial tengah tergantung di sana. Jantungnya berdegup, karena tidak seharusnya ia melihat benda yang bersifat pribadi tersebut. Benda tersebut berbentuk segitiga, berwarna merah muda, dengan renda-renda yang membuat teksturnya tambah menarik.

Pria tua tersebut akhirnya memberanikan diri untuk menyentuhnya secara langsung. Kainnya terasa begitu halus dan lembut, meski sudah kehilangan kehangatan alaminya setelah melalui proses pencucian. Namun ia pun jadi membayangkan apabila benda tersebut dikenakan oleh sang pemilik rumah yang baru mempunyai seorang anak tersebut. Apalagi kalau ia diizinkan untuk melihat pemandangan itu secara langsung.

Tepat di sebelahnya, sang pria tua juga melihat sebuah kain penutup buah dada yang sepertinya merupakan satu kesatuan dengan benda spesial yang baru saja ia sentuh. Warna dan motif rendanya pun serupa. Namun ukurannya terkesan lebih besar dari perempuan pada umumnya, termasuk mantan istri sang pria yang sudah lama meninggal. Meski sudah cukup renta, pria tersebut tetap tertegun akan pemandangan sensual tersebut.

Tanpa sadar, memandang kedua benda tersebut saja sudah membuat selangkangannya menjadi terisi penuh. Ia pun bergumam dalam hati.

“Kok bisa ya, perempuan alim dan berjilbab seperti Rima mempunyai pakaian dalam yang seksi seperti ini? Ia juga berani betul menjemur keduanya di muka umum. Apakah dia memang ingin menunjukkannya kepada orang lain?”


***​


Di hari Sabtu ini, rumah nomor 6 di Cluster Kembang Cempaka memang telah dipenuhi belasan orang. Mayoritas adalah penghuni lain di kompleks tersebut, sedangkan sisanya adalah rekan kerja sang pemilik rumah. Terlihat pasangan Jay dan Gina, yang tampak mengenakan pakaian serba putih, sedang berbagi tugas untuk menyapa seluruh tamu undangan.

“Jadi ini yang lo bilang karya pelukis kondang Jim-Bong itu?” Ujar seorang perempuan paruh baya yang sedang menatap ke arah lukisan keluarga Gina. Seperti biasa, rambut panjangnya yang indah tergerai bebas, menampakkan pesona tersendiri di usianya yang sudah tidak lagi muda.

“Jae-Boom,” koreksi temannya yang mengenakan jilbab, dengan nada suara yang ketus. Dari raut wajahnya tampak ketidaksukaan saat mendengar cara rekannya itu menyebut nama sang pelukis, “Nama orang diganti-ganti seenak sendiri.”

“Iya, apalah itu. Aku kan pelupa.”

Gina hanya tersenyum melihat kelakuan kedua sahabatnya di geng Cilukba tersebut. Ia tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengajak kedua perempuan yang selama ini selalu berada disisinya dalam suka dan duka untuk mengunjungi rumah barunya ini. Ia tentu bangga hasil kerja kerasnya selama ini dengan suami, bisa membuatnya memiliki rumah di kawasan yang cukup berkelas ini.

MEIF4GS_t.png


MEIF4HH_t.png


MEIF4GL_t.png


“Ngomong-ngomong suami lo di mana, Sis? Kok dari tadi nggak kelihatan?” Tanya Tuti, perempuan yang tadi salah menyebut nama pembuat lukisan indah yang tergantung di dinding rumah Gina.

“Hmm, iya juga. Di mana ya Appa Jay?” Gina memandang ke sekeliling ruang tamu yang sebenarnya tidak terlalu besar tersebut. Akhirnya, ia menemukan sang suami tercinta sedang berdiri di teras rumah. Ia bisa melihat jelas ke arahnya karena jendela yang membatasi bagian luar dan dalam rumah sudah dibuka lebar-lebar, agar terasa lega. “Ahh, itu dia ada di sana sedang ngobrol dengan tamu-tamu.”

“Eh, say. Lo kenal sama perempuan berjilbab yang lagi sama suami lo itu, Gin?”

Gina pun coba mengenali sosok yang sedang bersama dengan Jay, seorang perempuan berjilbab dengan gamis panjang berwarna krem, yang tengah menggendong anak kecil berusia beberapa bulan. Mereka berdua tampak tengah saling melempar senyuman, seperti sedang mengobrol tentang sesuatu yang menyenangkan.

“Nggak kenal, sih. Kayaknya dia salah satu penghuni kompleks ini deh,” jawab Gina.

“Hati-hati lo, Gin. Kalau nggak dijagain, nanti suami lo bisa diambil sama itu ibu-ibu muda. Cantik banget. Kelihatannya kalem dan imut, senyumnya merekah ramah. Yang begitu itu kesukaan om-om.”

“Ngomong apa sih lo, Tut!”

“Lagian coba lo perhatiin deh. Ibu muda kayak gitu kok datang ke sini sendiri? Nggak sama suaminya? Apa jangan-jangan dia janda? Wah, lebih bahaya lagi kalau gitu.”

Bila diperhatikan, perempuan yang tengah menimang bayinya tersebut memang seperti datang sendirian ke rumah Jay dan Gina. Tidak ada seorang pun pria yang berada di dekatnya untuk membantu memomong sang bayi. Apa jangan-jangan benar apa yang dikatakan Tuti barusan.

“Mungkin suaminya baru keliling juga? Udah aaahh. Lagian nggak mungkin Appa Jay itu selingkuh. Dia itu udah tergila-gila banget sama gue,” ujar Gina percaya diri.

“Ya, jaman sekarang apa sih yang nggak mungkin. Yang udah nikah aja masih bisa cerai, Gin.”

“Dan setelah cerai, bisa pacaran sama brondong. Gitu ya, Tut?” Kini giliran Lita, satu-satunya perempuan yang mengenakan jilbab di geng Cilukba, menyela obrolan. Ia tampak masih dendam karena rekannya itu salah menyebut nama Jae-Boom. Padahal kesalahan itu sebenarnya wajar-wajar saja dan tidak teramat fatal, tapi entah kenapa Lita terlihat panas.

Tuti tampak kaget mendengar kata-kata tersebut. “Maksud lo apa sih, Lit?”

“Nggak usah mungkir, deh. Kayak gue nggak lihat aja lo pergi sama siapa kemarin abis kita ketemu, wee,” lanjut Lita yang langsung membuat sahabatnya tersebut terdiam seribu bahasa.

Gina hanya tersenyum melihat perdebatan Tuti dan Lita tersebut. Namun di saat yang sama, ia sebenarnya merasa sedikit terganggu dengan kehadiran perempuan yang sedang mengobrol dengan suaminya tersebut. Terlebih setelah dikompori oleh kata-kata rekannya sesama dosen tadi.

Usia perempuan yang sedang bersama suaminya itu sepertinya lebih muda, belum sampai 30 tahun. Payudaranya pun masih tampak segar meski baru saja melahirkan. Anehnya, perut tempatnya mengandung sang jabang bayi terlihat sudah mengempis dengan cepat. Padahal Gina saja perlu waktu yang cukup lama untuk kembali ke bentuk tubuh ideal setelah melahirkan ketiga anaknya.

Pasangan Gina dan Jay dipertemukan lebih dari dua dekade lalu akibat pertemanan Gina dengan adik Jay yang bernama Jihan Haryadi. Seringnya Gina bertamu ke rumah Jihan membuat ia jadi dekat dengan sang kakak. Alhasil, Jay yang merasa sudah cukup mapan dengan pekerjaannya, langsung meminang Gina meski perempuan tersebut masih berada di bangku kuliah. Pernikahan pun berlangsung tepat setelah Gina menjalani wisuda, dan anak pertama mereka yang bernama Shani lahir sembilan bulan kemudian.

Hubungan dekat dengan keluarga sang suami, membuat Gina mengetahui kepribadian Jay luar dalam. Dari sang adik, perempuan tersebut jadi memahami bahwa suaminya itu merupakan sosok yang sedikit tertutup, meski sikap cerewetnya seringkali muncul apabila sudah merasa nyaman dengan lawan bicaranya. Itulah mengapa pria tersebut sering mendapat kesulitan apabila ingin mendekati lawan jenis. Ia bahkan baru mengajak Gina mengobrol setelah kedatangan perempuan tersebut untuk kesekian kali ke rumahnya.

Itulah mengapa Gina yakin bahwa setelah lebih dari 20 tahun menjalani pernikahan, Jay bukanlah tipe pria yang suka menjalin kedekatan atau bahkan berselingkuh dengan perempuan lain. Bila iya, Gina pasti akan mengetahui gelagatnya. Namun dalam hati perempuan tersebut sempat berpikir, apakah waktu pernikahan mereka yang cukup panjang telah menimbulkan perasaan bosan di hati sang suami, seperti yang sempat sesekali dirasakan oleh Gina?

“Ahh, mikir apa aku ini? Ngapain juga dengerin kata-kata Tuti? Dari dulu kan Appa Jay selalu setia sama aku, dan nggak pernah neko-neko. Dia pasti hanya bersikap sopan di hadapan tetangga baru kami. Tidak lebih,” batin Gina.

Dia masih terus mengamati Jay yang terlihat santai berbincang dengan Rima.


***​


“Wah, ramai juga ya Kang,” ujar Rizka begitu ia dan Raka sampai di depan kediaman Jay dan Gina.

“Iya. Sepertinya yang di teras itu yang punya rumah deh,” jawab sang suami sambil menunjuk seorang pria yang mengenakan kemeja berwarna putih.

“Yang sedang ngobrol sama Mbak Rima? Kok Akang bisa tahu?”

“Kayaknya pernah lihat dia waktu pulang kerja. Selalu rapi dan bersih, benar-benar Papa muda yang menarik. Meski anaknya sudah gede-gede masih terlihat sehat dan atletis, sepertinya hobi olahraga juga. Setiap minggu pagi sering bawa raket tenis entah kemana. Kadang sama istrinya, kadang sendiri.”

“Ooh, begitu.”

“Jadi enaknya kita bagaimana neh, biar bisa cepat pulang.”

“Mau pisah aja? Biar bisa lebih cepat kenalan sama semua tamu?” Tanya Rizka.

“Boleh juga. Kalau begitu aku langsung ke halaman belakang ya,” jawab Raka.

“Oke, aku mau ambil minum dulu deh di ruang tamu.”

Mereka berdua pun langsung memasuki rumah tersebut, dan memisahkan diri begitu sampai di dalam. Raka langsung menembus kerumunan menuju bagian belakang rumah, yang luasnya cukup mirip dengan rumah mereka berdua. Bedanya, rumah tersebut sepertinya sudah dibangun lagi di sana-sini, sehingga mempunyai lebih banyak ruangan. Sedangkan Rizka yang merasa haus langsung bergerak ke meja panjang yang digunakan untuk meletakkan snack dan minuman di ruang tamu.

Selain Rizka, ada seorang pemuda yang juga tengah mengambil minuman di sana. Meski usianya jauh di bawah Rizka, namun pria tersebut mempunyai postur jangkung, sehingga lebih tinggi dari sang perempuan. Di lehernya terkalung headset gaming nirkabel yang terkadang menyala biru dan merah.

“Lagi ambil minuman juga?” Sapa perempuan cantik berusia 27 tahun tersebut coba mengawali obrolan.

“Eh, iya Mbak,” ujar sang pria muda sambil tersenyum. Pria itu tampak kaget ketika disapa seperti itu. Sejak pindah ke rumah baru ini, ia memang tidak pernah berkenalan dengan siapa pun. Apalagi ketika ia membalikkan badan, sosok yang menyapanya ternyata mempunyai paras yang cantik bagaikan bidadari.

“Perkenalkan, saya Rizka,” ujar perempuan berjilbab panjang itu sambil mengulurkan tangannya, yang langsung disambut oleh sang remaja. “Saya tinggal di kompleks ini juga, rumah nomor 16.”

“Salam kenal, Mbak Rizka. Saya Revan, anaknya Appa Jay dan Omma Gina,” jawab sang remaja itu dengan sedikit gugup karena ia tak menyangka ada seorang bidadari akan menyapanya, sungguh kecantikan Rizka membuatnya takjub. “Ya-yang mengadakan acara ini…”

Dalam hati, pemuda tersebut mengagumi kulit tangan Rizka yang terasa begitu halus di genggamannya. Selama ini, ia memang tidak pernah mempunyai hubungan dengan lawan jenis, sehingga tidak punya pengalaman yang banyak dalam menghadapi perempuan. Namun dibanding beberapa temannya di sekolah, perempuan dewasa seperti Rizka terkesan punya aura berbeda yang membuat tubuhnya sedikit menghangat.

Di saat yang sama, pandangan Rizka menangkap lukisan keluarga yang tergantung di ruang tamu tersebut. Terlihat ada lima orang anggota keluarga yang berdiri di sana. Selain Gina dan Jay, tampak ada dua orang perempuan muda lain yang sepertinya berusia lebih tua daripada Revan.

“Berarti kamu anak ketiga ya? Benar tidak?”

Revan pun melihat Rizka melirik ke arah lukisan tersebut, lalu tersenyum. “Betul, Mbak Rizka. Saya punya dua orang kakak, Kak Shani dan Kak Ayu. Seperti yang Mbak bisa lihat di lukisan itu.”

“Oh gitu, lalu mereka sekarang ada di mana?”

“Kak Shani sudah kembali ke kost, kuliahnya cukup jauh dari sini jadi dia memilih untuk tinggal di kost. Kalau Kak Ayu sepertinya ada di halaman belakang, lagi bantu-bantu membereskan meja prasmanan,” jawab Revan. “Mbak Rizka sendiri ke sini sama siapa?”

“Sama suami. Tapi dia langsung nyelonong ke halaman belakang tadi. Nanti kalau ketemu aku kenalin deh, hehehe.”

“Hahaa. Boleh... Boleh...”

“Kamu sekarang kelas berapa?” Tanya Rizka penasaran.

“Kelas 3 SMA, Mbak.”

“Wah, sebentar lagi lulus dong?”

“Iya neh.”

“Rencana mau ambil jurusan apa nanti kalau kuliah?”

“Masih belum tahu. Mungkin mau ambil Sosiologi atau Antropologi kayak Omma.”

“Memangnya Mama kamu kerja sebagai apa?” Rizka yang memang tidak terlalu fasih menggunakan istilah-istilah Korea Selatan, akhirnya lebih memilih untuk kembali menggunakan istilah Bahasa Indonesia.

“Omma dosen, Mbak. Di Universitas Jaya Abadi.”

“Owalah, Kampus Ungu ya?”

“Mbak Rizka tahu?”

“Ya jelas tahu lah. Siapa sih di ibu kota yang nggak tahu kampus bonafide itu, hehehe. Kamu mau kuliah di sana juga dong nanti?”

“Rencananya pengen coba ikut tes kampus negeri dulu, seperti Kak Shani. Tapi kalau gagal, ya mungkin mau coba ke UJA juga.”

“Iya, lah. Pasti gampang masuk situ kalau Mamanya dosen, hehehe.”

“Mbak Rizka bisa saja.”

Mereka berdua yang tadinya hanya ingin mengambil minuman malah terlibat obrolan yang seru. Keduanya memang seperti bingung ingin berbincang dengan siapa di acara tersebut, karena tidak begitu mengenal banyak tamu yang datang. Karena itu, begitu ada lawan bicara yang seru, keduanya pun tidak menyia-nyiakan waktu untuk memperpanjang pembicaraan.


***​


Di saat yang sama, suami Rizka tampak sedang melihat-lihat meja prasmanan yang masih begitu rapih, seperti belum terjamah sama sekali. Karena itu, ia pun jadi segan untuk menyentuh makanan tersebut. Bukan karena apa-apa, dia merasa rikuh jika menjadi yang pertama untuk mencoba, kesannya agak kurang nyaman.

“Sudah lapar ya, Om? hehehe,” tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan dari arah belakang.

Raka kemudian berbalik dan langsung berhadapan dengan seorang remaja berusia 19 yang tampak cantik dengan gaun selutut berwarna biru muda. Hal tersebut membuat pria tersebut menjadi tambah canggung.

MEIF4HG_t.png


“Eh, nggak kok. Cuma lagi lihat-lihat saja,” jawab Raka mengelak. Ia tentu merasa malu apabila ketahuan sedang melihat-melihat meja prasmanan sebelum waktu makan tiba.

“Kalau lapar juga nggak apa-apa kok, Om. Aku juga sudah lapar. Tapi sepertinya tamu-tamu yang lain tidak akan mulai kalau belum ada yang mendahului.”

“Hmm, sepertinya begitu. Namanya juga orang Indonesia ya, suka malu-malu kucing.”

“Hihihihi, betul banget. Oh iya kenalkan, Om. Aku Ayu, anak pemilik rumah ini. Kalau Om siapa?”

“Saya Raka. Dari rumah nomor 16,” tanggap Raka sambil menyambut uluran tangan Ayu.

Dalam hati, suami Rizka tersebut memuji kecantikan remaja berkulit putih yang tengah berdiri di hadapannya. Wajahnya terlihat begitu mirip dengan anggota sebuah grup idol yang begitu terkenal di tanah air. Aroma harum pun menyeruak dari tubuhnya yang seksi, membuat naluri kelelakiannya menggelegak. Namun tentu saja, Raka masih punya akal sehat untuk tidak menunjukkannya di muka umum.

Jaga dirimu, Raka. Jangan tunjukkan iblismu di hadapan orang-orang ini. Batin pria itu.

Di depan istrinya, Raka memang selalu tampil sebagai suami yang alim dan bertanggung jawab. Namun pria tersebut sebenarnya punya nafsu yang sering tidak terkendali, sehingga tidak merasa cukup dengan pelayanan sang istri di rumah. Karena itu, pria tersebut pun beberapa kali berhubungan badan dengan perempuan lain, baik pekerja seks yang ia bayar untuk pelayanan mereka, atau kenalannya di kota lain. Dengan lihai, ia menyembunyikan semuanya dari sang istri yang sebenarnya memiliki kecantikan bak bidadari kayangan.

Sebenarnya, salah satu alasan mengapa mereka berdua hijrah ke Cluster Kembang Cempaka adalah untuk menghindari kejaran dari salah satu selingkuhan Raka di lingkungan rumah mereka sebelumnya. Pasangan selingkuhnya tersebut sudah mulai merongrong Raka untuk memberikan “uang jajan” dan mengancam akan memberitahukannya kepada Rizka. Tentu saja Raka tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Ia pindah diam-diam dan memilih lokasi yang tidak akan diketahui oleh pasangannya.

Itulah mengapa kehadiran remaja cantik seperti Ayu merupakan sesuatu yang seperti membangkitkan dahaga akan kepuasan yang sudah lama tidak ia rasakan. Namun ia tahu bahwa mendekati remaja muda tersebut adalah hal yang mustahil. Ia datang dari keluarga berkelas, yang tentu tidak akan mau begitu saja memberikan tubuhnya untuk dijamah oleh Raka. Bila tebakannya benar, Ayu mungkin juga masih menjaga keperawanannya. Akan sulit tentunya mendekati gadis jelita ini.

“Kamu sudah kuliah?” Tanya Raka.

“Baru mau masuk. Kemarin coba masuk Perguruan Tinggi Negeri, tapi gagal. Sekarang lagi coba cari kampus swasta,” jawab Ayu dengan senyumnya yang manis.

“Oh gitu, semangat ya. Pasti dapatlah kalau swasta. Mama dosen, kemampuan Papa kamu juga pasti mumpuni, sepertinya jalan akan terbuka kalau memilih kampus swasta yang kamu inginkan.”

“Iya, kata Appa aku tinggal pilih saja mau masuk kampus yang mana,” dalam keluarga Jay dan Gina, ketiga anak mereka memang sering memanggil orang tua dengan sebutan ayah dan ibu asal Korea Selatan. Ini bermula ketika Jay dan Gina sempat tinggal di sana dan membuat channel Youtube dengan segmentasi keluarga.

Krruukk... Krruukk...

Tiba-tiba terdengar bunyi aneh yang berasal dari perut Raka. Suara tersebut begitu kencang, sehingga tidak mungkin luput dari telinga Ayu. Perempuan muda itu pun tertawa.

“Mending kita mulai aja, Om. Dari pada nanti nggak ada yang makan, hehehe,” ujar Ayu sambil mengambil piring dan centong nasi dari meja prasmanan, ia memberikan satu piring pada Raka. Dengan sopan, ia sama sekali tidak menyinggung tentang suara keroncongan yang baru saja terdengar, khawatir membuat Raka jadi tambah canggung.

Raka pun kagum akan kedewasaan perempuan muda di hadapannya, dan ikut mengambil makanan di belakang anak kedua Jay dan Gina tersebut. Mereka pun melanjutkan obrolan sambil menyantap makanan. Dan benar saja, begitu mereka berdua mengambil makanan, para tamu lain pun ikut melakukan hal yang sama.


***​


Sebuah sedan mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah Jay dan Gina. Dua orang pria keluar dari dalam kendaraan tersebut, dan langsung menuju ke arah teras.

“Kamu yakin ini benar rumah teman kamu itu, Bay?” Tanya salah satu pria yang bertubuh lebih pendek, tetapi dengan perut yang lebih buncit.

“Menurut alamat yang dikasih ke aku sih sudah tepat. Menurut satpam di depan tadi memang benar kan kalau ini adalah Cluster Kembang Cempaka? Nomor rumahnya juga benar,” jawab pria satunya yang bernama lengkap Bayu Sadewa tersebut.

“Oke. Sekedar memastikan, Bay. Jangan sampai kita sudah pede masuk ke dalam, eh ternyata salah pesta, hahaa.”

“Hahaha, nggak lah. Coba aku telepon dulu temanku ini,” ujar Bayu. Ia pun langsung mengambil ponsel dari kantung celananya, dan menghubungi sebuah nomor.

Setelah mendengar beberapa kali nada dering, panggilan telepon itu pun tersambung.

“Halo... Gue sudah di depan neh.”

“...”

“Iya. Rumah nomor 6 di Cluster Kembang Cempaka, kan?”

“...”

“Oke, gue tunggu di depan.”

Bayu pun menutup sambungan telepon tersebut, dan mengacungkan jempol ke arah rekannya yang berperut buncit. Keduanya tampak lega karena tidak sedang salah alamat.

“Haloooooo, Bay! Apa kabar?”

Dari dalam rumah, muncul sepasang pria dan wanita yang saling bergandengan tangan, menghampiri Bayu dan rekannya di dekat teras rumahnya. Awalnya sang pria menampakkan senyum ceria ketika melihat sosok Bayu. Namun raut wajahnya langsung berubah begitu melihat pria yang berada di sebelahnya.

Jay mengerutkan kening saat menatap wajah itu, “Ka-kamu? Lho, ini Gandi kan?”

“Jay?”

“Eh?” Kepala Bayu beralih dengan cepat dari Jay ke Gandi dan dari Gandi ke Jay, “Jadi... Kalian saling kenal?” tanya Bayu dengan kebingungan.

“Bukan kenal lagi. Kami teman kuliah,” jawab Jay dengan datar.

“Iya, ‘teman’...” jawab Gandi dengan nada yang sedikit sinis, meski tidak disadari oleh yang lainnya.

“Oh. Jadi nggak apa-apa dong kalau gue ajak Gandi ke sini. Sorry banget ya kalau dadakan.”

“I-Iya, nggak apa-apa...” Jawab Jay pasrah. Ia tentu tidak bisa menolak kedatangan Gandi yang sudah sampai di depan rumahnya. Ia pasti akan dianggap tidak sopan bila hal itu terjadi.

Bayu, yang merupakan teman dekat Jay di kantor, akhirnya bercerita bahwa hari ini ia ada janji untuk main golf dengan mitra bisnisnya yang bernama Gandi. Karena undangan untuk menghadiri acara open house di rumah Jay datang mendadak, ia pun tidak sempat membatalkan janji bermain golf tersebut. Alhasil, Bayu berinisiatif untuk mengajak Gandi ikut menghadiri pesta kecil-kecilan di rumah Jay setelah permainan mereka selesai, tanpa memberitahukan pada Gandi siapa tuan rumah acara yang akan mereka datangi.

“Tadi Bayu cuma bilang kalau mau mampir ke rumah teman kantornya. Tapi aku tidak tahu bahwa yang dimaksud itu adalah kamu, Jay,” lanjut Gandi.

“Iya. Tidak masalah kok. Sudah lama juga ya kita tidak bertemu,” jawab Jay.

“Sepertinya sudah sejak lulus kuliah kita tidak saling jumpa.”

“Sepertinya begitu...”

Bayu menyadari bahwa suasana di hadapannya sedikit canggung. Ia tidak tahu ada hubungan apa antara Jay dan Gandi, tapi sepertinya mereka berdua tidak terlalu antusias dengan pertemuan ini. Ia pun mengambil inisiatif untuk mengalihkan pembicaraan.

“Halo, Gina,” sapa Bayu pada perempuan yang sedari tadi menggandeng lengan Jay.

“Halo juga, Mas Bayu,” jawab Gina sambil menyambut uluran tangan rekan kerja suaminya tersebut. Mereka memang sudah sering bertemu karena Jay dan Bayu memang terbilang cukup akrab di dalam maupun luar kantor.

Secara reflek, Gina pun turut menyalami tangan Gandi, pria pendek berperut buncit yang baru kali ini ia temui. Meski sang suami mengatakan bahwa mereka ternyata adalah teman kuliah, tapi seingat Gina ia tidak pernah mendengar nama Gandi dari mulut suaminya. Dalam hati, ia pun jadi bertanya-tanya ada apa sebenarnya di balik hubungan mereka.

“Pasti sudah lapar kan habis main golf. Langsung masuk aja yuk Mas Bayu dan Pak Gandi, sudah ada makanan kok di belakang,” ajak Gina dengan ramah. Meski sudah berusia paruh baya, kecantikan sang dosen manis tersebut masih bisa terlihat dengan jelas.

“Wah, kalau soal makan mah kita siap saja,” jawab Bayu yang langsung menarik tangan Jay untuk masuk ke dalam. Mereka berdua pun langsung larut dalam pembicaraan mengenai urusan pekerjaan, meninggalkan Gina dan Gandi yang masih tertinggal di belakang.

“Kebiasaan deh, kalau udah ngobrol soal kerjaan, pasti lupa semuanya,” ujar Gina sambil menggelengkan kepalanya, “Maafkan suami saya ya, Pak Gandi.”

“Iya. Tidak masalah kok. Oh iya, siapa tadi namanya? Gina?”

“Iya, betul sekali, Pak,” Dalam hati Gina bertanya-tanya apakah sosok bernama Gandi ini sempat datang di pernikahan dirinya dengan Jay, karena sepengetahuan dia ada beberapa teman kuliah Jay yang hadir saat itu. Kalau iya, mengapa Gandi ini tidak mengingat namanya? “Ayo silakan masuk, Pak.”

“Baik, silakan Bu Gina duluan,” ujar Gandi mempersilakan. Perempuan pemilik rumah tersebut pun menurut.

Tanpa diketahui oleh sang dosen, pria yang berjalan di belakangnya tengah menatap tubuh indahnya dengan pandangan tajam penuh arti. Ada nuansa birahi ditambah kebencian yang mendalam dari sorot mata tersebut. Meski baru kali ini bertemu dengan Gina, pria tersebut langsung mempunyai rencana busuk terhadap perempuan itu.

“Aku tidak akan pernah bisa memaafkan kamu, Jay, atas apa yang pernah kamu lakukan saat kita kuliah dulu. Mungkin kamu mengira bahwa aku sudah melupakannya. Tidak. Aku tidak akan pernah melupakannya. Karena dirimu, keluargaku yang sempurna jadi hancur berantakan. Aku tidak pernah mengira akan mendapatkan kesempatan seperti ini, pasti akan kumanfaatkan sebaik-baiknya,” gumam Gandi dalam hati.


***​


Saat orang tua dan adik-adiknya tengah mengadakan pesta di rumah, Shani Devara justru sedang pusing di dalam kamar kosnya. Ia sedang berpikir keras mengenai hal yang sebenarnya bukan sesuatu yang seharusnya ia pikirkan, karena tidak berkaitan langsung dengan kehidupan pribadi maupun akademiknya di kampus. Namun entah kenapa, Shani merasa gelisah apabila tidak segera menceritakan masalah ini kepada orang lain.

Ia dididik oleh orang tuanya untuk menjadi gadis yang peduli pada orang lain, selalu meluruskan hal-hal yang tadinya bengkok. Gadis muda jelita itu tidak bisa tidur, ia hanya berbaring tanpa bisa memejamkan mata sedetikpun..

Setelah berguling-guling ke kanan dan kiri di atas ranjang selama hampir sejam, ia pun memutuskan untuk menghubungi seorang pria yang paling ia percaya. Semoga saja ia bisa menemukan sebuah jalan keluar setelah berbicara dengan pria tersebut.

MEIF4HJ_t.png


“Halo, Mas Iwan,” sapa Shani lewat microphone ponselnya.

“Halo, Shani. Ada apa? Kok tumben nelpon siang-siang begini?” Jawab seorang pria yang berada di ujung sambungan.

“Hmm, nggak ada apa-apa sih. Pengin telepon aja. Memangnya nggak boleh?”

“Ya boleh dong. Kangen ya? Hehehe.”

“Ihh, pede banget.”

“Kalau iya juga nggak apa-apa kok.”

“Males ahh kalau diledek terus. Aku tutup saja ya kalau gitu.”

“Eh, jangan dong cantik. Aku kan suka denger suara merdu kamu ini, hehehe.”

“Gombal.”

“Hahaha. Ya udah, kalau ada yang pengen kamu tanyakan, langsung bilang aja.”

“Hmm, jadi gini Mas...”

“Gimana gimana?”

“Kalau menurut Mas Iwan nih, sejauh mana kita harus mencampuri urusan orang lain kalau kita menjadi satu-satunya pihak yang mengetahui tentang sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang itu?”

“Hah? Begitu amat ya pertanyaannya? Kenapa tiba-tiba nanya begitu? Konteksnya apa dulu ini?”

“Udah jawab aja secara umum,” buru Shani yang mulai tidak sabar. Ia ingin kegelisahan yang ia rasakan selama beberapa waktu terakhir ini lekas hilang dan mendapatkan solusi, bukannya malah menambah masalah baru dengan menceritakannya kepada Mas Iwan.

“Oke... Oke... Aku jawab umum saja ya kalau begitu.”

“Iya.”

“Menurutku, kamu harus bisa memilah apakah apa yang terjadi kepada orang lain itu bisa berakibat fatal atau tidak apabila dibiarkan. Maksudnya, apakah hal itu bisa mengganggu keamanan atau kesehatan fisik atau mental dari orang tersebut. Misalnya ada orang yang punya penyakit klepto, atau tendensi bunuh diri, ini contoh ya. Apabila iya, mungkin perlu juga kamu ikut campur di sana. Tapi kalau cuma nemu duit dua puluh ribu di jalan terus dipakai buat jajan soto, aku juga pernah begitu.”

Pikiran Shani pun melayang ke waktu saat ia menghampiri kamar kos Mbak Marni, dengan maksud meminta sabun mandi. Tanpa diduga, ia justru melihat perempuan yang sehari-hari berprofesi sebagai SPG tersebut tengah ditindih oleh seorang pria yang ia ketahui adalah suami dari Kak Citra, pemilik kos tersebut.

Mereka berdua tengah beradu nafsu, mendengus dengan napas yang memburu, dengan tubuh yang sudah sama-sama tanpa busana. Keduanya sangat bergairah menjemput birahi, dan sepertinya hampir mendekati puncak kenikmatan saat Shani tidak sengaja melihat.

Sebagai gadis yang selalu mengikuti norma agama dan kesopanan di masyarakat, Shani memang sama sekali belum pernah menonton film porno. Namun sebagai seorang remaja, ia tentu pernah menonton beberapa film hollywood yang menampilkan adegan dewasa di dalamnya. Karena itu, ia paham betul apa yang tengah ia lihat.

“Ahh, enak banget Mas Joko... kontol Mas gede banget, sampai mentok ke ujung memek aku,” terdengar desahan binal dari Mbak Marni. Perempuan tersebut sepertinya tidak malu-malu untuk berteriak sedikit kencang karena merasa semua penghuni kos sedang tidak berada di kamar mereka masing-masing.

“Memek kamu juga enak, Marni. Rapet banget. Lebih enak ngentot sama kamu dibanding sama Citra. Nghhh.”

“Tapi bagaimana kalau nanti Mbak Citra tahu, Mas? Ahhh... “

“Ya tinggal aku ceraikan saja dia nanti. Kosan ini kan sebenarnya warisan dari orang tuaku, dia hanya bantu mengelola saja.”

“Kalau sudah cerai, lalu Mas Joko maunya sama siapa? hehehe...”

“Maunya ngentotin kamu tiap hari, Marni. Ahhh,” ujar Mas Joko sambil mengecup-ngecup leher sang perempuan yang tengah ia tindih di atas ranjang dengan liar.

Setelah itu, Shani memang langsung pergi meninggalkan kamar tersebut, dan kembali ke kamarnya. Namun ia tentu tahu apa yang terjadi setelah kepergiannya tersebut, dan pikirannya langsung tertuju pada Kak Citra, sang pemilik kos yang ia tempati saat ini.

Shani jelas tidak tahu sudah berapa kali Mas Joko dan Mbak Marni melakukan tindakan tercela tersebut di belakang Kak Citra. Shani pun merasa ia bisa menghentikan kegilaan itu bila memberitahukannya kepada Kak Citra. Karena apabila dibiarkan, misalnya jika Mbak Marni sampai hamil anak dari Mas Joko, bisa jadi sesuatu yang buruk justru menimpa Kak Citra.

Dia tahu dia tidak bisa membiarkan orang lain menderita.

“Aku tentu tidak boleh membiarkan hal ini terjadi lebih jauh lagi,” pikir Shani dalam hati. Tekadnya pun makin bulat, tentang apa yang harus ia lakukan setelah ini.

“Shan…? Shani…? Kamu masih di sana? Jangan-jangan pingsan? Shan? Shani?”

Suara Iwan yang masih tersambung dengannya di telepon seperti membangunkan Shani dari lamunannya. Kesadarannya pun mendadak kembali ke tempatnya semula.

“Ma-Masih, Mas.”

“Kirain kamu kenapa kenapa. Kok tiba-tiba diam?”

“Aku baik-baik saja kok, Mas. Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Aku pamit dulu ya.”

“Nanti malam jadi ketemu kan?”

“Insya Allah, Mas.”

“Oke, deh. See you.”

“Sampai ketemu, Mas.”

Setelah menutup telepon, Shani langsung beranjak keluar dari kamar dengan pakaian andalannya, kaos tipis lengan pendek dan celana pendek yang hanya menutup setengah paha. Perlahan, ia menembus deretan kamar kos yang tampak sepi, dan berjalan menuju tempat Kak Citra yang berada di bagian depan bangunan kos tersebut.

Tokk... Tokk...

Begitu sampai di tempat yang ia tuju, Shani langsung mengetuk pintu dengan perlahan. Jantungnya terasa berdebar lebih cepat dari biasa, sedangkan aliran darahnya seperti mengalir deras menuju kepala. Gadis muda itu sempat berpikir untuk mengurungkan niatnya, tetapi pintu tempat tinggal Kak Citra telah terlebih dahulu terbuka.

Tidak ada lagi jalan mundur. Hanya bisa maju dan lebih maju lagi.

“Eh, kamu Shani. Ada yang bisa dibantu, Nduk?”

“Hmm... Boleh aku masuk, Kak? Ada sesuatu yang harus aku sampaikan ke Kak Citra.”

“Boleh dong. Yuk sini...” Ujar Citra sambil memberikan ruang bagi mahasiswi muda tersebut untuk memasuki tempat tinggalnya.

Sebagai pemilik kos, Citra memang mengubah susunan ruangan di dalam rumah berukuran besar tersebut. Setelah membagi sebagian besar area rumah menjadi kamar-kamar berukuran kecil, tersisa area yang tidak terlalu besar untuk tempatnya tidur di malam hari, dapur, serta ruangan untuk menerima tamu. Di situlah tempat Shani berada saat ini. Ruangan tersebut tampak sepi, dan tidak terdengar suara sedikit pun.

“Sendirian saja, Kak?” Tanya Shani begitu ia duduk di lantai yang berada di kamar Citra.

“Iya. Mas Joko lagi ada proyek, jadi sudah jalan keluar dari pagi.”

“Ohh...”

“Jadi... Ada perlu apa Shani?”

“Hmm... Aku pengen menyampaikan sesuatu yang mungkin penting untuk diketahui Kakak. Tapi Kak Citra janji ya untuk tidak bersikap berlebihan setelahnya. Jujur aku takut kalau kenapa-kenapa nantinya setelah ini…”

“Duh, jadi penasaran. Memangnya mau cerita apa sih Shani?”

“Janji dulu...” Paksa Shani. Citra akhirnya mengangguk dengan terpaksa.

“Iya... Iya... Kakak janji. Jadi kamu mau ngomong apa, Nduk?”

“Beberapa waktu lalu, aku melihat sesuatu di kamar Mbak Marni.”

“Melihat apa? Hantu? Kan memang ada di tempat ini. Sudah sering Kakak cerita. Hehehe...” ujar Citra dengan nada bercanda.

Shani jadi penasaran apakah sang pemilik kos itu masih akan mempunyai selera humor seperti itu, ketika ia selesai menyampaikan apa yang ia lihat kemarin.

“Bukan dong, Kak Citra.”

“Lalu apa?”

“Aku melihat Mbak Marni... sedang bersetubuh dengan seseorang.”

“Ha? Oalaaaah, si Marni lagi-lagi bertindak mesum di kamar kosan dia ya? Biasa dia mah. Nanti Kak Citra peringatkan deh biar nggak sembarangan bawa cowok ke kamar. Emang nih si Marni kebiasaan.”

“Masalahnya yang bersetubuh dengan Mbak Marni itu...”

“Hmm...?”

“Mas Joko.”

Citra sontak terdiam. Ia yang tadinya masih bisa bercanda dengan lepas, kini seperti tersambar petir. Matanya menatap Shani dengan nanar, seolah masih berharap kalau apa yang dikatakan salah satu penghuni kos yang ia miliki tersebut bukanlah kenyataan. Ia terdiam beberapa saat seperti mengatur napas, hati, dan pikiran yang tidak kunjung sinkron. Setelah terdiam cukup lama dengan bibir yang tidak berhenti bergetar, Citra meneguk ludah.

“Kamu yakin, Nduk?” suaranya parau, beda dengan nada canda yang sebelumnya.

“Yakin. Kalau tidak yakin, aku tidak akan berani datang ke sini dan cerita sama Kak Citra.”

Sang pemilik kos tentu tahu bahwa Shani merupakan seorang mahasiswi yang cerdas. Ia tentu paham betul segala hal yang ia lihat. Citra juga tahu sifat gadis yang saat ini berada di hadapannya. Tidak mungkin Shani berbohong untuk hal seserius itu.

Dalam hati, Citra sebenarnya tahu kalau suaminya punya kebiasaan main perempuan sebelum mereka menikah. Namun ia tidak menyangka bahwa Mas Joko ternyata masih melakukan hal nista tersebut, bahkan bersama penghuni kos yang mereka miliki. Terlebih lagi dengan Marni yang memang sudah terkenal sering gonta-ganti pasangan.

“Kak Citra? Kakak nggak kenapa-kenapa kan?” Tanya Shani yang merasa khawatir akan sikap Citra yang tiba-tiba seperti tak bisa mengeluarkan suara.

“Hmm, berita ini jelas mengagetkan. Kakak butuh waktu untuk mencerna informasi ini. Tapi terima kasih informasinya, Nduk. Kakak jadi paham akan situasi sebenarnya yang sedang kakak jalani.” suara Citra ditekan supaya tidak menunjukkan emosinya yang begitu meluap.

“Semoga Kak Citra bisa menghadapi masalah ini dengan hati dan pikiran yang tenang ya. Maaf kalau informasi ini jadi mengganggu hubungan Kakak dengan Mas Joko, tapi aku tidak bisa membiarkan Kakak disakiti begitu saja.”

Ingin rasanya Shani memeluk tubuh Citra, dan mengingatkan perempuan yang lebih tua dari dirinya tersebut agar tidak melakukan hal-hal aneh yang bisa membahayakan dirinya. Namun Shani merasa sungkan karena usianya yang masih terlalu muda.

“Iya, Shani. Kamu tenang saja. Kakak akan baik-baik saja kok.”

“Baguslah. Kalau begitu, aku bisa tenang.”

“Ya sudah. Kamu kembali saja ke kamar, biar bisa belajar lagi untuk semester pendek.”

“Baiklah. Sehat-sehat ya Kak Citra,” ujar Shani sambil pergi meninggalkan pemilik kos tempat tinggalnya tersebut.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd