Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Kepompong yang berubah menjadi kupu kupu?

Dandeliondarkside

Suka Semprot
Daftar
11 Aug 2019
Post
9
Like diterima
3
Bimabet
Bagaimana ketika pasanganmu, orang yang kamu sayangi tiba2 mengutarakan mau jual diri di akhir sesi bercinta kalian? Kaget kah? Marah kah? Sedih kah? Atau...biasa saja?

Ini terjadi padaku.

"Sayang, kamu ga pengin jual aku?" tanyaku ketika kami selesai berpeluh bersama mengeluarkan birahi dan rasa rindu yang memuncak. Kami sedang berpelukan saat itu.

Lelakiku langsung spontan mengangkat wajahku hingga dia bisa melihat dengan jelas ekspresi dan sorot mataku saat itu. Dia berusaha mencari jawaban di sana apakah aku serius atau bercanda dengan ucapanku tadi.

"Aku serius." kataku mantap meskipun tetap kentara getaran dari suaraku karena berusaha menahan air mata yang siap meluncur dari mataku.

Lelakiku menghela nafas panjang, "karena uang apa buat sensasi aja?"

Aku memeluknya erat. Aku benamkan wajahku dalam-dalam di dadanya yang putih dan bidang. Aku tidak bisa menahan air mataku lebih lama lagi. Aku sesenggukan.

"Aku butuh uang." lirihku.

Lelakiku berusaha menarik tubuhku dari pelukannya tapi aku tetap bertahan dalam pelukannya. Aku menangis lebih keras. Dia berusaha menenangkanku dengan mengelus punggung dan mengecup dahiku berulang ulang.

"Pasti ada jalan." kata katanya terus diulang entah untuk menyakinkanku atau menyakinkan dirinya sendiri.

Hubunganku dan lelakiku ini sudah lama sekali, entah sudah tahun yang keberapa kami bersama. Sayang, posisiku hanya sebagai simpanannya saja. Dia lelaki beristri. Dan aku bersamanya bukan alasan materi tapi karena memang aku terlalu mencintainya. Aku bukan wanita yang mudah meminta ini itu dari pasangannya, selagi aku mampu dan bisa sendiri aku usahakan sendiri. Lelakiku ini baik, pengertian tanpa aku minta pun tiba tiba dia memberiku hadiah hadiah tapi tentu saja pos keuangannya lebih banyak dialokasikan untuk keluarganya dan aku memaklumi itu.

Aku wanita biasa, bercinta hanya dengan orang yang berlabel "kekasih", berani eksperimen dan memiliki sensasi bercinta luar biasa baru aku rasakan ketika bersama lelaki beristri ini. Dia maniak dan hyper dan aku mengikuti polanya. Jadi ketika aku mengajukan proposal padanya untuk jual diri, dia mengira aku hanya mencari kesenangan dan sensasi seks yang baru. Alasanku sungguh bukan itu. Aku benar benar sedang butuh uang untuk melunasi beberapa pinjaman. Aku tidak tahu harus dengan cara apa lagi mendapatkan uang banyak dengan waktu cepat. Lelakiku bisa membantu tapi masih kurang banyak untuk menutup semua hutangku.

Lelakiku masih berusaha mencari jalan lain ketika aku sudah memulai tes pasar dan sekaligus tes mentalku di sebuah aplikasi chat. Aku sudah berani menjawab beberapa chat yang menanyakan tarif tapi seperti biasa endingnya hanya sebatas modus. Dalam hati aku mengucapkan syukur ketika gagal itu artinya aku tidak harus bercinta dengan laki laki yang baru dikenal. Entah masih semacam pergulatan batin apakah aku akan benar benar terjun di dunia seperti itu tapi aku butuh uang secepatnya. Apakah aman? Apakah nyaman? Apakah rasanya akan sama ketika bercinta dengan orientasi materi dengan orientasi wujud sayang?

Lelakiku menangis nun jauh di sana karena merasa tidak berguna dan berdaya sebagai pendampingku. Tapi aku berusaha menguatkan dirinya sekaligus menguatkan diriku sendiri, asal dia tetap bersamaku hubungan kita akan seperti biasa dan aku bisa melalui jalan ini dengan lancar--hanya sampai pinjamanku lunas semua. Aku bukannya menutup mata karena sedikit banyak keputusanku akan merubahnya, merubahku dan merubah hubungan kami. Tapi bukankah pilihan hidup selalu penuh dengan resiko? Apa aku egois jika aku tetap memintanya tetap mencintaiku? Hidupku hanya ingin dicintai. Olehnya. Hanya ingin dicintai oleh lelakiku, apakah permintaanku terlalu berlebihan?

Hingga hari ini aku masih maju mundur. Masih banyak ketakutan yang berputar di otakku. Sedangkan waktu terus berjalan tidak peduli apakah aku masih bisa sanggup menghadapi hari atau tidak. Kadang aku merasa sendiri, tapi aku tahu di sana lelakiku pun tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan nasibku. Dan itu sudah cukup menghiburku sejauh ini.
 
Pagi ini aku menerima chat dari lelakiku. Dia pasrah untuk melepasku melanjutkan keputusanku. Aku tahu dia chat seperti itu sambil berusaha menahan isaknya, sesak yang bergemuruh di dadanya. Tapi dia memang sedang tidak berdaya. Responku? Aku tidak tahu bagaimana perasaanku sesungguhnya. Tapi aku cukup mengenali diriku sendiri, ketika aku sudah yakin maka aku siap menjalaninya, tak peduli nanti apa yang akan aku hadapi setelahnya.

Klien pertamaku ternyata adik kelasku saat di SMA.

"Mba serius?" tanyanya begitu kami bertemu.

Ah ya, awalnya aku tidak tahu dia adek kelasku. Aku menemukannya dari aplikasi chat, dia menyapaku duluan kami ngobrol ngobrol soal tarif dan semacamnya lalu janjian ketemu dulu sebelum deal. Dan ternyata dia mengenaliku.

"Baguuusss...baru open job langsung ketemu yang kenal, apa kabar kalau nantinya aku jadi terkenal sebagai wanita seperti ini, bisa bisa keluargaku tahu sebelum aku selesai dengan pinjamanku! Gawaattt!!!" kataku dalam hati.

Aku grogi. Jelas grogi meskipun aku berusaha menyembunyikan sebisa mungkin. Jantungku bergemuruh hebat, aku ketakutan setengah mati. Tapi aku pikir aku dan dia sama sama kepergok di hal yang sama, setidaknya mungkin dia masih bisa menjaga rahasiaku. Dan jujur aku tidak mengenalinya meskipun dia kekeuh bilang dia adek kelasku, dia kenal aku. Tapi dia menyebut nama asliku, teman teman angkatanku, jadi sudah aku mati kutu di depannya.

"Serius, kenapa?" tanyaku dengan jutek. Aku ingin segera lari dari tempat pertemuan kami.

"Kenapa e, mba sampai kaya gini?" tanyanya iba. Entah betul iba atau hanya sekedar drama.

"Butuh duit, sekarang apa2 mahal." jawabku sekenanya. "Jadi ga?" tanyaku gusar.

"Mba butuh berapa sih, sini aku pinjemin aja."

Aku menatapnya sekilas lalu menunduk.

"Butuh banyak, dan aku ga mau nutup hutang dengan hutang yang lain."

Lama kami saling terdiam, aku makin tidak sabar untuk segera angkat kaki dari hadapannya.

Aku mendengar helaan nafas panjangnya.

"Ok, aku jadi."

Aku menghela nafasku yang tertahan. Lega karena aku akan dapat uang karena ini titik cerah keluar dari masalahku sekaligus sedih karena pada akhirnya aku harus menjalani ini.

"Ok, kapan?" tanyaku meyakinkan keseriusannya.

Dia tergelak, "ga usah buru buru, mba..."

Mukaku memerah.

"Bodohnya aku..." pekikku dalam hati.

"Mba butuh banget uangnya segera ya?" dia menghisap rokoknya dalam dalam lalu menghembuskannya.

Aku mengangguk perlahan.

"Gini deh, mba. Aku kasih uangnya dulu deh, mainnya kapan kapan ga masalah." katanya sambil mematikan rokoknya dalam asbak. "Tanggal berapa butuhnya?"

"Aku bukan hutang kan?" tanyaku.

"Bukan, mba, aku mau main sama mba."

"Sebelum tanggal 22."

"Ok, aku kasih sebelum tanggal 22 ya, share no ya?"

Aku menyebutkan nomorku, "ini beneran kan?"

Dia tersenyum sambil bangkit dari kursinya, "nanti aku kabarin. Aku pergi dulu, mba."

Dan dua hari selanjutnya, adek kelasku itu menghubungiku. Hanya pertanyaan basa basi, lagi di mana lagi ngapain.

"Kamu ngajak main sekarang?" tembakku.

Terdengar suara tawa terbahak bahak di di ujung telepon, "Ga...cuman pengin telp aja ko."

"Ohhh...soalnya klo iya aku mau ngasih tau kalau aku lagi tanggal merah." kataku merasa tidak enak.

"Oh, ya gpp wong aku telp sekarang cuman pengin telp."

"Eh sorry, blh jujur ga? Semisal nih sebelum tanggal 22 aku blum selesai kan kita belum bisa main, kamu kasih uangnya dulu ga apa apa?"

"Kalem aja, gampang itu, kan aku dah janji kasih uangnya dulu ke kamu, main mah gampang bisa diatur jadwalnya. Tapiii...kalau sewaktu waktu aku panggil kamu harus siap ya?"

"Hmmm, oke." jawabku.

"Ya udah nanti aku kabarin kapan kamu bisa ambil uangnya." dan dia menutup telpnya.

Entah kenapa Tuhan sedang sebercanda ini padaku, entah aku harus bersyukur atau tidak karena saat tanggal sudah mepet malah aku harus kedatangan tamu bulanan, tapi aku masih diberi pertolongan lewat adek kelasku itu. Dan bersamaan dengan semua itu, lelakiku entah kenapa tiba tiba menjadi sosok yang dingin. Di saat aku butuh support, ternyata aku harus memberi support untuknya. Aku tahu perubahan sikapnya adalah karena aku sudah membuatnya terluka dan kecewa dengan keputusanku. Aku merusak egonya sebagai seorang laki laki. Tapi sungguh aku tidak punya pilihan lain. Aku di saat harus menerima laki laki asing dalam tubuhku, aku juga harus menyakinkan lelakiku bahwa harapanku hubungan kami akan tetap sama. Dia akan mencintaiku sama seperti biasanya, sama seperti seakan tidak terjadi apapun dalam perubahan hidupku. Tapi itu mungkin hanya terjadi dalam imajinasiku. Dia berubah dan aku harus mengakuinya.

"Nanti sore kita ketemu ya, ambil uangnya." adek kelasku mengirimkan sebuah pesan.

"Aku merasa bukan laki-laki lagi, ga bisa bantu wanitanya ketika dalam kesulitan." lelakiku juga mengirimkan sebuah pesan yang membuat luluh lantah hatiku.

Kata kata apapun yang aku sampaikan kepada lelakiku seperti tidak masuk di telinganya. Aku belum berhasil menyakinkan hatinya. Mungkin lelakiku hanya butuh waktu. Aku hanya butuh kekuatan untuk memberi energi padaku menghadapi semua masalah yang seakan langsung ditumpahkan padaku saat itu juga.
 
Aku menemui adek kelasku di kantornya. Kantornya sepi saat itu karena sudah cukup sore. Kami duduk berhadapan.

"Ini uangnya, 500 sesuai kesepakatan, aku kasih bonus 100 deh." katanya sambil memberikan selembar demi selembar uang berwarna merah.

"Beneran?" tanyaku tak yakin sambil menerima pemberiannya.

"Hu um." dia tersenyum

"Trus mau main kapan?" tanyaku tanpa basa basi.

Adek kelasku tergelak, "boleh trial dulu ga, cium ya?" dia berdiri hendak meraihku, aku reflek menghindar.

Lalu kami berdua terlihat canggung. Sejurus kemudian adek kelasku tersenyum lalu kembali ke kursinya, "denger ya, udah deh kamu jangan punya pikiran mau jual diri lagi. Itu uang aku kasih. Kita ga perlu main."

"Hah?" aku melongo.

"Beneran...ambil aja uangnya, masukin tas."

"Aku kan dah bilang aku ga mau hutang..." protesku.

"Bukan, ini bukan hutang, tenang aja. Ini aku ikhlas km pakai aja. Ga usah dikembaliin. Cuman aku minta satu aja sama kamu, jangan berpikiran soal jual diri. Aku tahu kamu bukan cewe gitu, yang bisa bercinta karena uang. Kalau kamu butuh uang ke sini aja, kalau aku ada ya aku bantuin kalo lagi ga ada pasti aku bilang jujur ko."

Aku merenung. Mencerna kata demi kata yang dia ucapkan.

"Tapiii...aku mau sesuai omonganku. Istilahnya ada uang ya ada barang." kataku ragu.

Adek kelasku mencoba meraih tanganku, lagi lagi reflekku adalah menghindar.

Dia tersenyum mengejek, "yakin mau jualan, dipegang tangannya aja ga mau, gimana mau main?"

Aku terperangah.

"Udaaah, bawa uangnya." adek kelasku mencoba menyakinkanku lagi.

Aku masih terdiam. Aku gigit bibir bawahku, tak berani menatap matanya. Dia mencoba meraih lagi tanganku, aku menghindar lagi.

Dia tergelak merasa senang karena sudah berhasil menggodaku.

Aku menghela nafas, mencoba memberanikan diri menatap matanya dengan serius, "Ga! Ini ga sesuai kesepakatan di awal. Aku ga enak bawa uang orang gitu aja. Hutang aku ga mau tapi aku juga ga mau model kaya gini."

Dia balas menatapku, mencoba melihat kesungguhanku. Aku berusaha bertahan menatap matanya untuk menunjukkan keseriusan kata-kataku.

"Ok, kalau itu maumu, biar kamu ga kepikiran terus, aku cuman minta kamu cium pipi." ujarnya sambil menepuk pipinya dengan telunjuknya." sorot matanya terlihat bahwa dia hanya ingin menggodaku.

Aku sebenarnya merasa tertantang dengan godaannya, karena aku ingin sesuai dengan ucapanku, komitmen dengan apa yang sudah aku niatkan.

"Iii...yak!" jawabku.

Adek kelasku terlihat sedikit terperanjat lalu sedetik kemudian berusaha untuk bersikap senormal mungkin, "Deal. Ok, sini..." pipinya disodorkan padaku.

Aku ragu untuk berdiri.

"Ayo tanggung jawab..." batinku memaksa.

Aku berjalan mendekatinya dengan perlahan. Adek kelasku masih menyodorkan pipinya.

"Tutup mata, jangan lihat." rengekku

Dia langsung tertawa keras, "ko aku jadi merinding yaa?"

Aku cemberut, "jadi ga?"

"Iya iya, jadi." dia menyodorkan pipinya lagi

"Tutup mata..."

"Iyaaa, udah, cepetan..." terlihat adek kelasku sudah tidak sabar.

Aku menutup mataku saat mendekat ke pipinya. Aku mencium pipinya ringan, sangat ringan dan sekilas tanpa kecupan hanya sekedar menempelkan bibir---lebih tepatnya hidung pada pipinya lalu aku segera menjauh.

"Udah, gitu aja? Ko ga kerasa?"

"Udah kan?" aku malah balik bertanya.

"Iya, udah ko. Cuman godain kamu aja."

Aku sedikit manyun, "pulang ya?"

Dia berdiri, tiba tiba berhasil meraih tanganku dan aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya, dia tetap bertahan, "dingin banget tanganmu." lalu mengecup tanganku sekilas kemudian melepaskannya. Hatiku berdegup kencang. Kami sama sama salah tingkah dan saling membuang muka.

"Aku pulang."

"Iya, hati hati ya."

Aku mendapatkan uang yang aku butuhkan tapi hatiku kosong karena lelakiku tidak menghubungiku, hanya membaca pesanku tanpa membalasnya.

Malam harinya, adek kelasku menghubungiku. Dia mengajakku makan siang besok. Aku tidak langsung mengiyakan.

"Sama boleh ga aku minta ciuman yang hot?" tanyanya

Aku terbahak, "kan tadi dah deal uangnya cmn diganti cium pipi?" tanyaku dengan nada bercanda.

"Iya yang itu udah, tenang aja. Aku mau nambah..."

"Kamu penasaran apa gimana sih? Segitunya..." ledekku

"Iyaa nih."

"Berani berapa?" sebenarnya aku hanya menggodanya tapi dia menyebutkan sebuah nominal.

Aku bingung mau merespon apa.

"Ya? Ya?"

"Liat besok deh."

Besok siangnya kami makan siang di restoran yang cukup private. Laki laki kalau ada maunya memang berani usaha semaksimal mungkin dan menggampangkan soal materi. Kami makan, becanda, ngobrol dari hati ke hati sesekali menjurus. Tapi tak ada sentuhan fisik sedikit pun saat itu. Tubuhku memang bersamanya, tapi hati dan pikiranku terbang bersama lelakiku yang tak juga kunjung menghubungiku atau setidaknya membalas pesanku.

"Sayang, apa kamu sedang menghukumku saat ini??" batinku menjerit

Aku sangat emosi hari ini. Kamu ingat kan sayang, aku nympho, emosi berlebihan membuatku haus akan seks? Membuatku mencari pelarian dengan seks. Benarkah kamu tega membuatku seperti ini dan mencari pelarian dengan orang lain? Benarkah itu yang kamu inginkan? Sedangkan aku di sini berusaha keras untuk menahan nymphoku tidak kambuh, itulah kenapa aku mengirimkan pesan kasar kepadamu malam ini tapi kenapa kamu masih tidak bergeming?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd