Ada sebuah taman kecil asri penuh bunga warna-warni dikelilingi satu-dua pasang kupu-kupu putih kuning. Letaknya tak jauh dari kamar tempat Kino berbaring menunggu kesembuhannya. Dari jendela kamar itu, sebenarnya Kino bisa melongok ke taman, tetapi dengan tubuh lemah dan kepala dibalut perban, ia tidak bisa banyak bergerak. Hanya saja, Kino bisa mencium kesegaran datang setiap kali angin berhembus dari arah taman.
Di taman itu pula kini duduk Alma dan Trista, pada sebuah bangku kayu bercat putih, di bawah satu-satunya pohon di taman kecil itu: sebuah pohon sengon yang tampaknya sudah berusia panjang, dengan daun amat lebat menciptakan keteduhan.
Ini hari ke-9 sejak Kino lolos dari maut, dan kali kedua Alma datang ke kota B untuk menjenguknya. Ini pula perjumpaan kedua Alma dengan wanita cantik mempesona yang ternyata kekasih Kino itu. Pada pertemuan pertama, keduanya tak banyak bercakap, selain karena masih tegang menunggu nasib Kino, juga karena memang tak banyak waktu untuk bercakap-cakap.
Tadinya, Alma hendak memanggilnya “mbak”, walau dari raut dan penampilan Alma yakin wanita cantik ini seusia dengannya. Tetapi ia tidak jadi menggunakan sebutan itu. Ternyata Alma benar, usia mereka tak jauh berpaut, karena Trista cuma lebih dahulu lahir 5 bulan dari Alma. Menurut Trista,
“Aku hanya lebih dahulu menikah; itu pun karena desakan keluarga….” Terus terang, pertamakali mereka berjumpa, Alma terusik oleh rasa cemburu. Hatinya sempat bergelora dan menyergah-marah,
“Pantas Kino melupakanku!”. Tetapi kemudian, setelah mendengar cerita perjumpaan Kino dan Trista, gadis itu seperti diguyur air sejuk yang memadamkan kecemburuannya. Dari cerita itu, Alma justru menyimpulkan: Kino berjumpa Trista pada saat yang bersamaan dengan dirinya sendiri membina hubungan kasih dengan Devan. So… who’s sorry now?
“Aku terpikat oleh senyum dan sinar matanya yang tulus, Alma…,” kata Trista ketika mereka mulai duduk berdua, setelah makan siang dua mangkok bakso di kantin rumah sakit.
Alma menunduk, memandangi rumput yang rebah diinjaknya… Hmm, “senyum dan sinar mata”… gumamnya dalam hati. Aku sendiri tak pernah bisa membayangkan Kino tanpa senyumnya yang tulus itu. Atau Kino tanpa sinar matanya yang tajam sekaligus membelai kalbu itu…. Pemuda itu memikat wanita dengan keduanya. Aku tak bisa berbantahan tentang yang satu ini!
“Aku juga yang menjeratnya dengan kenikmatan…,” bisik Trista nyaris tak terdengar. Alma mengangkat mukanya, menengok memandang wanita di sampingnya yang kini menunduk memainkan saputangan di pangkuannya.
“Maksudmu?” tanya Alma, lalu segera menyesal karena terlalu cepat bertanya! Kenapa, sih, tidak berpikir dulu sebelum bertanya! sergah hati kecilnya. Tris mengangkat mukanya, dan kedua wanita cantik belia itu saling berpandangan, bertukar sapa lewat rasa-jiwa yang tak kasat mata. Lalu Tris berucap pelan,
“Aku berhubungan badan dengannya, … memberikan sesuatu yang terlalu berlebihan kepadanya.” Alma terperangah. Tris sendiri heran kenapa ia begitu ingin berterusterang kepada gadis yang -secara tak langsung- ia ketahui adalah bekas pacar Kino. Apakah karena mereka “senasib”, mencintai seseorang yang sedang sial terbaring di ranjang rumahsakit itu?
“Kami terlalu banyak melakukannya dalam emosi yang berlebihan..,” ucap Tris lagi, kini tak terbendung, seperti ingin menumpah-ruahkan semua kisah hidupnya ke hadapan Alma. Baru kali ini ia memiliki keberanian-keyakinan untuk mengisahkan kasih-masyuknya kepada orang lain. Bahkan Ibunya sendiri tidak pernah tahu sejauh ini!
“Itu mungkin semua salahku…, aku biarkan dia melakukannya tanpa banyak penolakan,” kata Tris sambil memainkan saputangan,
“Tetapi, bagaimana aku bisa menolaknya?… Aku tak pernah punya daya untuk itu, Alma…. Dia begitu memikatku lahir-batin, sehingga aku tak pernah bisa memisahkan yang mana kenikmatan yang mana kecintaan!”
Alma terdiam, terpesona mendengar kata-kata lancar mengalir dari bibir Trista yang agak bergetar itu, “Aku tak bisa tak ingin bercinta setiap kali bertemu dengannya. Bahkan dalam mimpi pun aku ingin bercinta dengannya… Aku tak tahu apa yang melanda diriku, tidak pagi tidak pula siang, kami melakukannya berkali-kali… Aku seperti tak punya apa-apa lagi selain keinginan berdua dan bercinta dengannya.”
Sepasang kupu-kupu terbang dekat sekali di kepala Trista yang menggeleng-gelengkan pelan sambil berdesah,
“Pernah aku mencoba tidak bertemu dengannya…, cuma dua hari, Alma… Aku tidak tahan lagi; aku cari dia di kampus atau di tempatnya kost. Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?”
Alma tidak tahu harus berkata apa, tetapi mulutnya sudah berucap,
“Aku mengerti…” dan setelah mengucapkannya, lagi-lagi Alma mengumpat dalam hati: apa yang kau mengerti!?
Tris tersenyum lembut. Alma terpesona oleh senyum itu, karena seluruh wajah Tris ikut tersenyum, terutama matanya yang indah itu memberi guratan semakin tegas pada senyumnya. Lalu Alma mendengar ucapan Tris seperti memantulkan ucapan hatinya,
“Apa yang kamu mengerti?” Alma tersenyum kikuk dan mengakui kecerobohannya.
“Tidak… aku hanya pura-pura mengerti. Aku hanya mencoba untuk mengerti…” katanya sambil menunduk.
“Aku sendiri masih terus mencoba untuk mengerti..,” kata Trista, ikut menunduk memandangi rumput.
Kedua wanita belia itu kini sama-sama mengayun-ayunkan kaki mereka, seperti sepasang bandul jam dinding yang sedang menata waktu.
“Kamu tidak hamil…,” tiba-tiba Alma sudah berkata begitu, dan tidak ada nada jelas di sana: apakah ini pertanyaan atau pernyataan. Alma sendiri memang ingin mengucapkan kalimat itu, tetapi tak begitu yakin, untuk apa ia mengucapkannya.
“Aku hampir hamil,” ucap Trista.
“Kamu tidak menggugurkannya!” sergah Alma sambil memandang Tris lekat-lekat. Ini juga kalimat yang tidak jelas: mengucapkan tuduhan atau menyampaikan kelegaan?
Trista menggeleng sambil tetap menunduk, sambil berucap pelan,
“Dua hari yang lalu aku mens… padahal sudah terlambat hampir tiga minggu.”
“Uhhh…,” Alma menghempaskan nafasnya kuat-kuat, setelah tadi menahannya, menunggu jawaban Trista.
“Aku juga kalut, ketika mendengar Kino kecelakaan, sementara juga tiba-tiba sadar sudah terlambat datang-bulan. Aku pikir, aku akan mengandung dan Kino akan menjadi ayah di liang kubur,” bisik Trista.
Alma menghela nafas dalam-dalam. Betapa hebatnya segala yang terjadi dengan Kino, pikirnya. Pemuda itu hampir tewas dan hampir jadi Ayah!
“Kami terlalu ceroboh…,” desah Trista,
“Terlalu naif.”
“Kalian saling mencintai…,” sahut Alma. Wahai, banyak sekali kalimat Alma yang bernada tak jelas seperti ini, karena kalimat terbaru ini pun tak terlalu jelas, apakah bermaksud memuji atau justru menyalahkan.
Apakah “saling mencintai” itu baik, jika disandingkan dengan kecerobohan dan kenaifan? Atau apakah kecerobohan -dan terutama kenaifan- adalah bagian tak terelakkan dari cinta? Trista tertawa kecil dengan tawanya yang mempesona itu.
“Kami mungkin terlalu muda untuk itu…. Maksudku, untuk “cinta” itu…”
“Tetapi kalian memang saling mencintai, bukan?” desak Alma, dan untuk kesekian-kalinya ia merasa tolol. Pertanyaan macam apa ini? Bloon bener gua! sergah hati kecilnya. Trista mengangkat mukanya, memandang Alma lekat-lekat. Alma pun menatap wanita di sampingnya. Keduanya tahu-tahu sudah tertawa dengan lepas!…
Keduanya secara bersamaan melihat ada keriangan di pertanyaan yang maha-bloon itu!
Lalu, setelah selesai tertawa, Trista berkata serius,
“Setelah kejadian ini… Setelah melihat tubuhnya penuh darah dan tergeletak tak berdaya.. Aku jadi takut sekali mengakui cinta itu, Alma. Aku bahkan berpikir, cintaku yang sangat tulus dan sangat indah itulah yang memicu bencana ini. … Aku sampai berkesimpulan, cinta itu benar-benar pedang dengan dua mata yang tajam. Cintaku itu begitu mempesona, tetapi….” Trista terdiam. Alma menunggu akhir kalimat itu. Rasanya lama sekali.
“Begitu mempesona, tetapi begitu mengerikan…,” desah Trista. Ada sedikit airmata terselaput di kedua bola matanya….