“Kamu harus cerita!” sentak Tris sambil meraih sapu tangan dari tas yang masih tergantung di bahunya. Dengan cekatan dibasahinya sapu tangan itu dengan cologne yang tahu-tahu sudah keluar pula dari dalam tas. Lalu diusapnya bagian yang lebam. Kino meringis merasakan sedikit pedih bercampur segar dan harum.
“Cerita sambil berdiri?” tanya Kino berusaha melucu.
“Ngga lucu!” sergah Tris sambil menyerahkan sapu tangan ke Kino dan memasukkan botol cologne kembali ke tasnya.
“Ayo ke kamar,” ajak Kino sambil mendahului melangkah dan memegangi sapu tangan di hidungnya.
Tris segera mengikuti, memegang erat pergelangan kekasihnya seperti orang yang takut tersesat di rimba belantara.
Di kamar, Kino duduk di dipan dan bercerita panjang lebar tentang para sahabatnya. Tris duduk di sebelahnya, sambil terus memegangi pergelangan tangan Kino. Sebagian dari cerita pemuda itu pernah disampaikan sewaktu para sahabatnya tiba-tiba muncul di villa beberapa waktu yang lalu. Tetapi cerita itu cuma generalisasi sepintas. Tris tetap menyangka, para sahabatnya itu memang kebetulan lewat di villa mereka. Sekarang, semuanya mulai terbuka. Peristiwa terakhir, termasuk penamparan Rima dan perkelahiannya dengan Ridwan, diceritakan secara terinci. Tris terdiam, tidak memotong atau berkomentar sedikit pun. Tetapi matanya tak lepas dari muka Kino, bagai hendak menemukan makna yang lebih dalam di balik kata-kata yang berhamburan lancar keluar dari mulut pemuda pujaannya itu.
“Aku menyesal sekali…,” ucap Kino pelan di ujung cerita. Dihelanya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
“Kenapa kamu baru cerita sekarang?” tanya Tris setelah sejenak terdiam.
“Aku tak mau membuatmu risau,” jawab Kino sambil memandang kekasihnya. Ia selalu senang memandang wajah di sampingnya itu, karena dari situ ia selalu mendapat kekuatan.
“Tetapi sekarang kamu membuatku benar-benar risau..,” bisik Tris sambil membalas tatapan Kino.
Kedua pandangan mereka terjalin-jalin bagai benang-benang sutra tak kasat mata, membentuk berlembar-lembar hamparan rasa sayang yang membuat keduanya merasa sangat-sangat dekat lahir dan batin, luar dan dalam, berujud maupun abstrak.
“Maafkan aku..,” ucap Kino pelan dan penuh permohonan. Air mata tahu-tahu sudah merebak di mata Tris. Dengan kedua tangan dipegangnya wajah Kino, lalu diciuminya dengan penuh perasaan sambil berbisik berulang-ulang,
“Aku yang harus minta maaf…” Kino diam, membiarkan bidadarinya menciumi pipi, mata, dahi, dagu, bibir.. bahkah juga hidungnya yang entah kenapa kini tidak sakit sama sekali!
“Seharusnya aku sudah mengusirmu di pasar swalayan itu…,” bisik Tris sambil tersenyum, tetapi air mata sudah jatuh berderai di pipinya yang licin bak pualam walau tanpa pupur.
Kino tetap diam, memandangi wajah yang tersenyum sekaligus menangis itu. Air mata itu bagai sepasang jeram bening di tengah hutan asri yang sering ia kunjungi sebagai pencinta alam. Kedua mata Tris yang indah itu bagai telaga luas di mana air berlimpah-ruah menjadi sungai-sungai besar maupun kecil, membawa berliter-liter kehidupan untuk disebarkan di seantero bumi. Sesungguhnyalah wajah cantik yang selalu menghiasi mimpinya itu adalah salah satu wujud pertiwi. Sesungguhnyalah wajah teduh yang selalu menghibur gundahnya itu adalah pelabuhan tempat ia bisa melabuhkan semua cintanya.
“Seharusnya tak kubiarkan kamu menciumku di kebun teh itu…,” bisik Tris lagi sambil mencium sudut mulut kekasihnya, sambil terus menangis pula walau tanpa sedu sedan.
Kino merebahkan tubuhnya di dipan, membawa serta tubuh kekasihnya yang terasa ringan sekali bagai segumpal kapas halus. Mereka berpelukan mesra dan Tris menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, membiarkan air mata membasahi t-shirt biru tua berisi lambang kampus kebanggaan.
“Seharusnya tak kubiarkan kamu datang ke villa itu…,” desah Tris.
Kino menggulingkan tubuhnya ke kanan. Tris rebah di sampingnya, terlentang dengan kedua tangan terentang di atas kepala, dengan rambut terurai indah beralas seprai putih bersih, dengan mata masih basah oleh airmata, tetapi dengan senyum sangat manis yang tak pernah lekang dari bibirnya. Kino menelusuri bibir itu dengan ujung jarinya, berhenti di lesung pipit yang muncul setiap kali Tris tersenyum. Melingkar-lingkar di sana dengan lembut…
“Kenapa kamu cantik sekali?” tanya Kino memotong kata-kata Tris, dan wanita itu tertawa kecil mendengar pertanyaan yang tidak kontekstual sama sekali!
“Karena kamu buta, Kino…,” jawab Tris sambil menggigit jari Kino yang melintas di depan bibirnya.
“… dan tuli…,” sambung Kino, teringat ucapan sahabatnya.
“Dan nakal..,” ujar Tris lagi sambil mengusap rambut pemuda pujaannya, menjambaknya dengan bercanda.
“Nakal seperti ini…,” kata Kino sambil menunduk dan menciumi leher Tris yang jenjang, membuat wanita itu menjerit kaget dan tertawa kecil kegelian.
“Lebih nakal dari itu!” sergah Tris sambil berusaha menghindar tetapi tidak sungguh-sungguh.
“Nakal seperti ini…,” kata Kino sambil menunduk lebih kebawah, menelusupkan mukanya di antara belahan bukit kenyal indah yang terpampang menggairahkan di balik baju tipis Tris, membuat wanita itu menggelinjang dan tertawa lebih keras.
Air mata telah berhenti mengalir. Secepat datangnya, secepat itu pula perginya. Betapa menakjubkannya cinta itu, bukan?
Kino membuka kancing-kancing di depan payudara kekasihnya. Tidaklah sulit melakukan yang satu ini, karena kancing itu tampaknya sengaja dibuat untuk mudah dibuka. Sebentar saja telah terpampang pemandangan indah menakjubkan, putih mulus tanpa cela, tersangga be-ha yang seperti kewalahan menampung gelembung daging menggairahkan itu.
“Kino!” jerit Tris seperti orang yang kaget melihat rumahnya kebakaran, tetapi wanita itu diam saja, bahkan membiarkan Kino dengan cekatan melepas kait di depan beha, membebaskan sepasang bukit indah yang menantang itu.
“Ohhh..!” Tris mengerang keras, campuran antara kaget dan senang, ketika salah satu puting susunya tahu-tahu sudah terasa hangat dikulum di mulut kekasihnya.
Kino memainkan lidahnya di puting yang tegak kenyal menggairahkan itu. Setiap gerakan lidahnya membuat Tris menggelinjang gelisah. Tangan wanita itu mencengkram rambut pemuda pujaannya yang mulai gondrong itu. Tidak ada penolakan dari tangan itu, melainkan sebaliknya ada ajakan untuk lebih bergairah lagi.
“Mmmmh…,” Tris mendesah, memiringkan tubuh bagian atasnya agar Kino bisa lebih leluasa memainkan mulutnya di seluruh permukaan payudaranya.
Serbuan kenikmatan segera menyebar di seluruh tubuhnya. Kali ini kenikmatan itu bahkan terasa lebih indah, karena baru saja hati wanita ini terasa remuk-redam mendengar cerita pemuda pujaannya. Dari rasa sedih yang sangat dalam, kini muncul rasa nikmat yang tak kalah dalamnya, menelusup ke sela-sela setiap bagian paling rahasia di tubuhnya. Inilah sebentuk kekontrasan yang menakjubkan, bagai api dan es … fire and ice … Kekontrasan yang memberikan nuansa lebih tegas pada setiap noktah kenikmatan di tubuh Tris. Kekontrasan yang menyediakan ruang-relung kontemplasi untuk lebih menghargai setiap getar birahi. Sehingga percumbuan tidak cuma bertemunya dua permukaan kulit. Percumbuan adalah pertemuan dua hati.
Kino menjelajahi seluruh bukit indah di dada kekasihnya, bagai seorang pengembara yang tersesat tetapi menyukai ketersesatan itu. Bagai seorang yang dahaga tetapi tak ingin melepas dahaga itu. Harum semerbak bukit dan lembah cinta di dada itu, dan Kino selalu senang berlama-lama bermain di sana, sambil menyimak degup jantung sang kekasih yang semakin lama semakin jelas terdengar. Berdentam-dentam seperti tabuhan drum sebuah marching band. Betapa asyik rasanya mendengar irama jantung kehidupan kekasih, sambil memagut-magut bagian yang sensitif, membangkitkan gairah menjadi kobaran api. Terlebih-lebih lagi, betapa asyik rasanya memberikan begitu banyak kenikmatan kepada seseorang yang menyerahkan dirinya secara sukarela.
Tris mengerang manja, mendesah-desah gelisah. Sekujur tubuhnya terasa penuh dengan keinginan yang mendesak-desak. Tidak hanya dadanya,… Tris ingin lebih dari sekedar itu. Ia memang ingin bercinta, sekarang juga, di tempat ini juga. Apa pun risikonya, ia ingin sekali bercinta siang ini. Maka diraihnya tangan Kino yang masih bebas, dibawanya ke atas perutnya, dan memohonlah ia lewat erangan dan desahan … please my love… touch me there….
Kino tentu paham semua gerakan birahi kekasihnya. Paham semua petunjuk paling samar sekalipun. Ia sudah sangat paham apa yang disukai Tris kala bercinta: yakni sebuah usapan lembut di perut yang perlahan-lahan menuju ke bawah, menyelinap di antara dua pahanya yang bagai pualam pahatan maestro Italia, dilanjutkan dengan penjelajahan nakal di kanal cinta di bawah sana yang mulai terkuak mengundang sentuhan penuh pengertian.
Maka itulah yang kini dilakukan Kino dengan ketrampilan yang terbina lewat percumbuan demi percumbuan. Pertama-tama Kino mengusap-usap lembut permukaan perut kekasihnya, seperti hendak ikut merasakan gerak gejolak gairah di dalam tubuh Tris. Lalu, perlahan-lahan tangan Kino turun, menelusup ke balik celana dalam nilon tipis berwarna putih bersih itu….. dan Tris pun mengerang nikmat … membuka dirinya sebisa mungkin, membiarkan gerakannya menjadi liar dan penuh keterusterangan. Ayo, kekasih… telusuri liang cintaku, telusupi dan gerayangi dengan jari-jarimu yang kukuh sekaligus penuh perasaan itu. Oooh… getarkan segera senar kecapi birahiku, sentuh dengan ujung jarimu yang piawai. Mainkan segera musik cinta kita.
“Oooooh…,” Tris mengerang sambil memejamkan mata erat-erat dan mencengkram seprai kuat-kuat dengan kedua tangannya. Dua kenikmatan sekaligus meletup di tubuhnya, karena secara berbarengan Kino mengisap-menyedot puting payudaranya sambil menggelitik-mengutik tonjolan kecil di celah atas kewanitaannya. Serasa ada berjuta-juta kembang api meledak menimbulkan percikan birahi yang dengan cepat membakar seluruh tubuhnya.
Apalagi Kino tidak berhenti, melainkan makin cepat mengurut-menelusup di bawah sana, dan mengisap-menyedot di puncak payudara. Sesekali jari Kino menelusup kebawah, menyelinap lembut di antara bibir-bibir di bawah sana, mengambil basah di sana untuk dibawa keatas menjadi pelicin-pelumas. Berkali-kali Kino melakukan ini dengan penuh perasaan, mengirimkan kenikmatan demi kenikmatan kepada kekasihnya. Membuat Tris mengerang-erang berkepanjangan, merasakan sebentuk orgasme awal tercipta di dasar pinggulnya. Ia menggelinjang dan membuka kedua pahanya lebih lebar lagi, mengundang Kino untuk menjelajah lebih dalam lagi.
Tetapi, sebelum Kino sempat bergerak masuk lebih jauh, Tris tak bisa menahan ledakan puncak kenikmatan…, menggelepar kuat, dan mengerang panjang ..
“aaaaaaaaaaaah..” … sambil mencengkram seprai kuat-kuat dan melentingkan tubuhnya. Kino membiarkan bidadarinya menikmati orgasmenya, melepaskan isapan di puting payudaranya, dan mengalihkan tangannya ke pinggul Tris. Diciuminya wajah kekasihnya yang tampak semburat memerah-jambu dan tegang berkonsentrasi menikmati puncak birahi. Wajah itu semakin cantik dan semakin bersinar tatkala orgasme; merupakan pemandangan paling indah dalam sebuah percumbuan. Merupakan episode paling menegangkan sekaligus paling dramatis dan indah. Tanpa keindahan seperti ini, pastilah percumbuan itu akan terasa hambar. Bagai sebuah kebun yang cuma berisi rumput tanpa bunga.
Tris membuka matanya setelah segalanya mereda. Ditemukannya sepasang mata Kino memandang lembut dan dekat sekali. Susah payah Tris mengatur nafasnya yang masih memburu.
“Huuh…,” desah Tris sambil tersenyum manja di sela nafasnya yang mulai teratur tetapi masih agak tersengal,
“Bagaimana aku bisa mengusirmu, kalau begini..”
“Apakah cuma karena itu?” tanya Kino sambil mengusap-usap pinggul Tris. Mata Tris berbinar nakal,
“Bukan karena itu…,” katanya.
“Karena apa?” sergah Kino.
“Buka dulu baju dan celanamu, nanti aku jawab…,” kata Tris sambil tertawa kecil. Kino terbahak, lalu dengan bergairah menciumi leher, pipi, bibir, mata, hidung… semua permukaan wajah Tris. Percintaan mereka semakin lama semakin menggairahkan, tidak cuma berisi birahi dan kasih, tetapi juga penuh canda dan permainan-permainan kecil. Seperti kali ini, Tris meminta Kino tidur terlentang setelah keduanya telanjang bulat.
“Jangan bergerak…,” bisik Tris sambil bergerak mengangkangi pinggul Kino. Gerakannya gemulai, seperti seorang penari yang sedang menyiapkan gerakan pembukaan. Dengan takjub Kino memandang tubuh telanjang yang serba indah menggairahkan itu terpampang bebas di mukanya.
Lalu Tris melakukan beberapa gerakan yang tak terlalu kentara karena mata Kino terpaku menatap tubuh indah kekasihnya. Tahu-tahu Kino merasakan kejantanannya seperti menyelinap diam-diam ke liang lembab licin yang bagai memiliki indera tersendiri …. Tahu-tahu kegairahan terbangkit membuat batang-kenyal-liat itu perlahan-lahan menjadi kokoh di dalam sana.
“Jangan bergerak…,” bisik Tris lagi ketika Kino menggelinjang merasakan nikmat yang mulai terbangkit di bawah sana.
Lalu bidadari cantik dengan tubuh sempurna itu memulai tarian kahyangannya, dan Kino menikmati semua itu dengan diam, berbaring terlentang memandang Tris yang sudah agak berkeringat itu bergerak naik turun perlahan dan teratur… Wajahnya tampak kembali memerah-muda, matanya penuh sinar gairah sekaligus kelembutan, terbuka menatap mata Kino tanpa berkejap…
Bibirnya yang basah kini agak terbuka, dan nafasnya mulai memburu… Kedua bukit kenyal tegak menjulang di dadanya, berguncang-guncang sedikit seirama gerakan tubuh pemiliknya…
“Ohhhh..,” Tris mendesah, dan tangannya bertelektekan keras di dada Kino yang bidang, bertopang mencari penguatan di sana.
Gerakannya semakin cepat, tetapi ia juga terkadang berhenti manakala ia memutar pinggulnya selagi kejantanan Kino terbenam dalam-dalam. Pada saat seperti itu, Tris memejamkan mata erat-erat, dan merintih-rintih nikmat …. dan Kino merasakan denyut-denyut halus di bawah sana, di sepanjang batang-kenyal-pejal yang semakin lama semakin tegang saja.
Lalu ia bergerak turun-naik lagi. Membuka matanya lagi, yang kini mulai meredup seperti hendak menutup, tetapi dengan sinar birahi yang semakin tajam. Kino menatap mata itu, dan seketika terjalin lagi sebuah rasa kasih sayang di antara mereka, menjadi bumbu penyedap utama dari percumbuan ini.
Gerakan Tris kini semakin erotis, diselingi gelinjang gemulai. Tubuh bagian bawah wanita ini melakukan manuver-manuver menakjubkan… terkadang maju-mundur dalam gerakan lembut penuh perasaan… terkadang naik-turun dengan gairah yang liar. Terkadang berputar-putar perlahan, sehingga Kino merasakan kejantanannya mengusap-mengurut dinding-dinding kenyal yang hangat dan basah dan berdenyut itu.
Suara-suara seksi mulai terdengar dari tempat kedua tubuh mereka bertaut-berpilin… berdecap ramai menyelingi derit-derak dipan, di antara rintihan dan desah. Tris seperti sedang trance, dengan wajah sumringah berkonsentrasi pada pencapaian tujuan yang mulai tampak di ufuk percumbuan mereka.
Ia seperti sedang menunggu dengan penuh ketakjuban datangnya serbuan kenikmatan maksimal yang tak bisa tertahankan oleh tembok baja sekalipun.
Kino mengangkat kedua tangannya, tak tahan berdiam diri melihat kekasihnya menarikan tarian erotis yang menggairahkan itu. Dijamahnya lembut kedua payudara Tris yang bergerak-gerak seirama tubuhnya.
Perlahan diputar-putarkannya kedua telapak tangan di atas kedua puting yang telah tampak membesar dan tegak-kenyal itu. Si pemilik kedua bukit indah itu pun merasakan setiap usapan bagai tambahan pasok kenikmatan yang memicu letupan-letupan birahi baru sepanjang tubuhnya. Akibat usapan-usapan itu, puncak birahi Tris kini tinggal beberapa langkah lagi.
“Aaah.. aku …,” Tris berucap terputus-putus oleh erangannya sendiri,”..ah,.. aku tidak…aaah, tahan… Kino…” Kino mengerti.
Cepat diraihnya pinggul Tris dengan kedua tangannya. Lalu dengan energik pemuda itu membantu gerakan wanita pujaannya. Naik turun dengan cepat. Berputar-putar kekiri kekanan…
“Oooooh…” Tris mengerang… Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar …..
“Aaaaah…” Tris mendesah sambil menengadah dan memejamkan mata…. Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lagi ….
“Mmmmmmmmmm…” Tris mengerang panjang. Naik turun lagi… lagi…. lagi… dan lagi. Kedua payudaranya berguncang-guncang indah sekaligus menggairahkan. Ingin rasanya Kino meremas kedua bukit menggemaskan itu, kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membantu gerakan Tris. Lalu Tris benar-benar tak tahan lagi, … ia menjerit-jerit kecil..,
“Aah…aaah…aaah…” dalam interval pendek, dengan tubuh berguncang-guncang dan gerakan turun-naik yang tidak lagi teratur. Gerakan-gerakan menjadi sangat liar, tak terkendali. Lalu setelah beberapa saat, gerakan itu ditutup dengan erangan panjang
“Aaaaaaaaaaaaah…”… wanita ini mencapai orgasmenya yang kedua di atas tubuh kekasihnya. Menggelepar-gelepar ia dalam posisi terduduk-terhenyak dipegangi oleh Kino agar tidak terlempar ke luar ranjang. Pemuda itu merasakan kejantanannya seperti disedot kuat-kuat oleh sebuah liang sempit kenyal yang berdenyut-denyut liar. Cukup lama Tris menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya, sebelum akhirnya terengah-engah dan membuka matanya bagai seseorang yang baru bangun dari mimpi menggairahkan. Kedua matanya bersinar terang penuh kepuasan dan kebahagian. Belum pernah rasanya Kino melihat mata yang begitu ekspresif.
“Ohhhh…,” akhirnya Tris bisa mendesahkan ucapannya sambil masih agak terengah,
“Bagaimana aku bisa mengusirmu, kalau begini…” Kino tertawa mendengar pengakuan polos itu. Dia tahu, Tris cuma mendramatisir cintanya, seakan-akan gairah-gairah seksual ini sematalah yang mengikat cinta mereka. Dia tahu, wanita ini menghadapi berbagai penghalang untuk bisa bercinta seperti ini. Entah apa saja yang sudah dikorbankan wanita ini untuk bisa bertemu dan bercinta dengannya. Percumbuan ini hanyalah pelampiasan paling mendesak untuk melepaskan diri dari berbagai ketegangan dan tekanan risiko yang dihadapinya. Betapa mulianya wanita ini bagi Kino.
Kino meraih tubuh kekasihnya, merebahkannya di atas tubuhnya. Trista mengerang manja, meluruskan kakinya dan membiarkan dirinya melintang di atas tubuh pemuda pujaannya. Rasanya damai sekali dunia ini sehabis percintaan menggebu-gebu. Pelukan Kino bagai sebuah pelindung raksasa yang mampu mengusir segala nestapa dan gundah dan gulana dan risau. Setelah beberapa menit, Trista mengangkat mukanya dan berkata,
“Sekarang giliran kamu…,” bisiknya. Kino tersenyum lembut. Ia ternyata tak terlalu memusingkan gilirannya. Siang ini ia merasa hanya ingin kelembutan dan kasih.
“Tidak mau?” tanya Tris melihat Kino tak bereaksi dan cuma tersenyum-senyum. Kino menggeleng.
“Betul-betul tidak mau?” Kino menggeleng lagi.
“Coba. Apa betul kamu tidak mau…,” kata Tris sambil tersenyum nakal.
Dan sebelum Kino bisa bilang apa-apa, bidadarinya sudah meluncur turun…. lalu ada gerakan-gerakan di bawah sana dan… Hei! … Kino terlonjak ketika merasakan kejantanannya masuk ke rongga basah dan hangat …. ia menengok ke bawah, tetapi pandangannya terhalang oleh kepala Trista. Ia berusaha lagi,… tetapi akhirnya tak berdaya… tergeletak membiarkan kekasihnya melakukan sesuatu yang selama ini tak terbayangkan.
Betapa sungguh tak berdayanya Kino yang tadi mengatakan “tidak mau” tetapi kini tergeletak diam dengan nafas semakin lama semakin memburu. Ia merasakan sedotan, isapan, jilatan… susul-menyusul silih berganti. Kejantanannya serasa semakin menegang, semakin geli-menggelisahkan.. semakin tegak dan mengeras. Lalu lagi: merasakan sedotan, isapan, jilatan… susul-menyusul silih berganti… semakin lama semakin membuat dirinya melambung-lambung di angkasa kenikmatan. Tinggi dan tinggi…. semakin tinggi…. sampai akhirnya ia merasa harus melepaskan semua desakan yang terkumpul. Dengan erangan panjang, Kino memulai pendakian ke puncak asmara.
Sesaat sebelum ledakan pamungkas itu… aaah… tiba-tiba Trista menghentikan kegiatannya, lalu cepat-cepat kembali ke posisi mengangkangi tubuh Kino. Cepat sekali kejantanan Kino tenggelam sampai ke pangkalnya di liang kewanitaan Tris. Cepat sekali pula wanita itu menaik-turunkan lagi badannya dan ……….. tanpa dapat ditahan lagi, Kino meregang kejang lalu melepaskan semburan-semburan kenikmatan puncaknya!
Rasanya lama sekali Kino memuncrat-muncratkan seluruh cairan cintanya kedalam tubuh kekasihnya. Rasanya banyak sekali yang tumpah ruah melimpah-limpah sampai tak tertampung dan mengalir keluar kembali bagai lahar panas turun dari puncak gunung yang mengamuk. Tris tersenyum ketika Kino akhirnya berhasil membuka matanya.
“Jangan sekali-kali bilang ‘tidak mau’ lagi…,” bisik Tris sambil mencubit hidung Kino. Kino mengeluh dalam hati. Mengapa aku selalu kalah olehnya? Sungguh permainan yang tidak adil!
Dan di luar terdengar hujan mulai turun. Bahkan tak lama kemudian, badai datang seperti sepasukan tentara menyerbu dengan suara yang gemuruh. Musim badai telah tiba…