Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KISAH DESI, SI PRIMADONA KAMPUNG

Ada Serigala Lain (Lagi)

***

Suatu keputusan diambil oleh Rohman dan Pak Burhan: membawa Bu Sulastri pulang. Keputusan itu diambil lantaran tidak ada perkembangan yang dialami oleh Bu Sulastri. Ia masih tetap tak bisa bicara dan susah bergerak. Dokter juga menjelaskan bahwa kondisinya memang susah untuk kembali pulih. Akhirnya Rohman dan bapaknya memilih untuk membawa Bu Sulastri pulang saja. Daripada berada di rumah sakit, bayar biayanya yang mahal, tapi tak ada hasil.

Karena Bu Sulastri sudah ada di rumah, semua orang pun kini juga berkumpul di sana. Rohman, Desi, Pak Burhan, Jumi, dan Sapto. Rumah itu kembali ramai.

Yang bertugas menjaga Bu Sulastri biasanya bergantian. Kalau pagi hari, Pak Burhanlah yang menjaga istrinya itu. Sementara yang lain sibuk dengan tugas masing-masing. Jumi mencuci dan memasak. Desi membantu Jumi memasak. Rohman mengurus bisnisnya dan kadang ke kebun kopi. Sapto membersihkan halaman dan kadang membantu Rohman di kebun. Jika semua tugas sudah selesai, barulah mereka gantian menjaga Bu Sulastri. Kadang Jumi atau Desi.

Peristiwa itu membuat Pak Burhan dan Sapto kesulitan untuk mendapatkan momen berdua dengan Desi. Apalagi Pak Burhan sudah tidak sabar menagih janji Desi yang mengatakan bahwa akan melayaninya jika sudah ada di rumah. Dia terus mencari cara agar bisa punya waktu berdua dengan Desi.

***

Suatu hari Rohman meminta tolong pada Desi untuk pergi ke rumah temannya, Abdul. Ia disuruh menyampaikan berkas padanya.

“Kamu nanti ke rumah Abdul ya? Yang dulu pernah nganter jamu ke sini. Kamu tolong sampaikan ini ke dia.” kata Rohman sambil menunjukkan amplop coklat.

“Kok aku, Mas?”

“Aku sedang ada urusan lain. Bisnis kopi kita. Tidak bisa ditunda.”

“Ini apa?” tanya Desi.

“Itu berkas. Isinya tentang kerja sama antara aku dan Abdul.”

“Aku sama siapa ke sana, Mas?”

“Minta antar Sapto saja.”

“Baiklah.” sahut Desi. “Ini cuma nganter saja kan?”

“Iya.”

“Aku tidak tahu rumah Abdul, Mas.”

“Nanti aku kirim alamatnya.”

Desi pun berangkat ke rumah Abdul diantar oleh Sapto. Selama di perjalanan, Desi tak banyak bicara. Sebenarnya dalam perjalanan itu Desi pasrah pada keadaan. Kemungkinan besar Sapto akan membawa dia ke suatu tempat lagi.

“Mbak, kenapa bukan Mas Rohman yang nganter?” tanya Sapto sambil menyetir.

“Ada urusan lain.”

“Wah, kalo gini aku kan punya waktu berdua sama Mbak Desi. Hehehe.” Jawab Sapto. Desi dima saja tak menjawab apa pun.

Selama di dalam mobil, Sapto sering menggoda Desi. Tangannya tidak fokus menyetir. Sesekali tangan kirinya meraih paha Desi dan mengelus-elus. Bahkan juga meraih dada Desi.

“Sap, kamu fokus dong.”

“Gimana bisa fokus kalo ada bidadari di samping saya, mbak? Hehehe.”

Desi pun akhirnya hanya membiarkan sopirnya itu menyentuh-nyentuh terus bagian tubuhnya.

“Mbak, kocokin dong?”

“Hah?! Kamu gila apa ya? Kalo kamu gak fokus dan nabrak gimana?”

“Ngga akan kok, mbak.”

“Ngga. Kamu fokus aja.”

“Daripada meraba-raba Mbak Desi, tambah ga fokus kan?”

Ah, cowok hidung belang memang pandai untuk menggombal. Desi akhirnya menuruti permintaan Sapto. Dia menghadap ke arah Sapto yang sedang menyetir. Tangannya lalu meraih selangkangan Sapto. Awalnya Desi mengelus-elus selangkangan itu. Desi merasa bahwa di balik selangkangan itu kontol Sapto sudah mulai menegang. Desi pun lalu membuka resleting celana yang digunakan Sapto. Sapto coba membantunya dengan tak mengurangi fokusnya pada kemudinya. Sampai akhirnya celana itu sudah turun ke bawah dan kontol Sapto sudah terlihat. Desi pun mulai mengocoknya.

“Duh, mbak. Enak banget.” kata Sapto. Desi tak merespon ucapannya. Desi terus saja mengocok. Kontol Sapto terasa makin mengeras di tangannya.

Sapto berusaha untuk tetap fokus pada kemudi di tengah nikmatnya kocokan yang diberikan oleh tangan Desi. Sayangnya, belum sampai dia pada orgasme, Desi mengejutkannya bahwa mereka sudah sampai di rumah Abdul.

“Ini rumahnya?! Gede banget.”

“Mbak, nanggung nih.”

“Udah, Sap. Kita udah sampe nih.”

“Habis ini dilanjut ya?”

“Iya.”

Mendengar jawaban majikannya itu Sapto merasa gembira. Desi tanpa sadar telah berjanji pada Sapto untuk memberikan pelayanannya lagi.

Rumah Abdul memang sangat besar. Maklum, menurut suaminya, dia adalah orang kaya. Pagarnya tinggi. Khas perumahan orang-orang keturunan Arab. Desi turun dari mobil membawa amplop titipan suaminya. Sementara Sapto menunggu di mobil.

Desi menekan tombol bel di dekat pintu gerbang. Tak lama seorang pria, yang sepertinya adalah pembantunya, muncul dan membuka gerbang.

“Selamat siang,” sapa Desi. “Pak Abdul ada?”

“Ada.”

“Saya ingin bertemu.”

“Oh, iya. Mari silakan masuk.”

Desi pun masuk ke dalam rumah. Halaman rumah itu sangat luas dan ditanami rumput hingga semua tampak hijau. Ada beberapa tanaman juga yang diletakkan di halaman itu. Terdapat jalan setapak dari arah gerbang menuju pintu rumah. Pembantu itu membuka pintu rumah dan mempersilakan Desi masuk.

“Langsung ke samping saja, mbak. Tadi Mas Abdul pesan kalo ada tamu disuruh langsung ke samping saja.”

Desi mengangguk saja. Desi mengikuti pria itu menuju samping rumah. Ternyata di sana ada sebuah kolam renang. Dari kejauhan sepertinya ada yang sedang berenang di sana. Pembantu itu lalu mempersilakan Desi duduk di sebuah kursi di tepi kolam.

“Duduk di sini dulu, Mbak. Oh ya, mau minum apa?”

“Apa aja deh.”

Pria itu lalu memanggil Abdul di kolam renang dan memberitahu bahwa tamunya sudah datang. Rupanya Abdul yang sedang berenang saat itu. Tak lama kemudian Abdul muncul dan segera naik ke permukaan. Pemandangan yang tersaji sungguh mengejutkan Desi: Abdul berjalan ke arah Desi dengan bertelanjang dada hanya mengenakan celana renang saja.

“Astaga.” gumam Desi.

Dari tempat duduknya, Desi bisa melihat badan Abdul yang kekar. Dadanya dipenuhi dengan bulu lebat. Butir-butir air yang menempel membuat badannya makin tampak gagah. Tapi yang paling menarik perhatian Desi adalah tonjolan di balik celana renangnya. Celana renang yang digunakan bukan celana renang biasa, melainkan model brief sehingga makin tampak seksilah Abdul. Desi seolah tak ingin berpaling untuk memperhatikan tonjolan itu. Tapi tak mungkin itu ia lakukan.

“Hai. Saya kira yang datang Rohman,” sapa Abdul.

Abdul lalu mengambil handuk di sandaran kursi. Dari jarak dekat, semua pemandangan tadi tampak jelas. Apalagi tonjolan yang paling menarik perhatiannya itu. Desi sebisa mungkin bersikap agar tak diketahui oleh Abdul. Abdul bukannya menggunakan handuknya untuk menutupi bagian tubuhnya, malah tetap meletakkan handuk di kursi dan tubuhnya dibiarkan bugil. Abdul lalu duduk di depan Desi.

“Oh ya, ini titipan suami saya.” Desi menyerahkan amplop coklat itu. Rohman menerimanya. Ia lalu mengecek amplop itu. Melihat dan membaca isinya.

“Baik.” kata Abdul.

Lalu pria yang sepertinya adalah pembantu Abdul datang membawa segelas minuman. Sayangnya saat hendak menaruh di meja, kaki pria itu tersandung salah satu kaki kursi hingga minuman yang dibawanya tumpah dan mengenai baju Desi.

“Kamu gimana sih?” seru Abdul.

“Maaf, Mas. Saya ga sengaja. Biar saya ambilkan yang baru.” Pria itu buru-buru kembali ke dalam.

“Tidak usah. Saya balik saja kalo gitu.”

“Jangan. Ganti baju dulu saja.”

“Tidak usah, Mas.”

“Jangan, mbak. Minumannya itu manis nanti lengket di badan. Ga enak. Lagian baju mbak warnanya putih. Banyak noda merahnya deh gara-gara minuman itu.

“Biar saya ganti baju di rumah saja nanti.”

“Udah gapapa kok. Yuk ke dalam. Saya ada baju adik saya. Sepertinya pas.”

Entah kenapa Desi merasa Abdul ini pria yang bertanggung jawab dan perhatian. Bahkan untuk hal yang sepele seperti ini. Abdul melangkah ke dalam dan Desi mengikuti di belakangnya. Dari arah belakang Desi bisa melihat betapa bidangnya punggung Abdul dan bongkahan pantatnya yang kencang dan kuat.

Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Sepertinya itu kamar milik Abdul. Kamarnya sangat luas. Fasilitas di dalam sangat lengkap: TV, lemari baju, lemari buku, kulkas, kamar mandi, dan segenap peralatan elektronik lain.

“Tunggu sebentar ya.”

Abdul tampak mencari-cari di sebuah lemari. Tak lama kemudian, ini menemukan sebuah baju dengan model sama, gaun kasual, dan menyerahkan pada saya.

“Ini dicoba dulu.” Abdul menyerahkan baju itu pada dan menunjukkan kamar mandi untuk tempat menggantinya.

Desi meletakkan tasnya di tempat tidur lalu masuk ke dalam kamar mandi. Kamar mandinya mewah sekali. Besar. Dan bersih pula. Ia melepaskan baju yang ia kenakan dan segera memakai baju dari Abdul. Setelah selesai, Desi kembali keluar kamar mandi. Saat keluar, dia kembali dikejutkan dengan pemandangan di depannya: Abdul sedang melepaskan CD renangnya.

“Astaga!” seru Desi begitu melihatnya.

Entah Abdul sengaja atau tidak, sampai di tak menyadari Desi yang baru saja keluar dari kamar mandi. Desi bisa melihat bongkahan pantat Abdul dari arah belakang dan sekilas ujung kontolnya yang menggantung di antara kedua pahanya.

Desi diam terpaku dan tak tahu harus berbuat apa. Dia takut untuk bersuara. Dia juga takut disangka memerhatikan Abdul apabila hanya diam saja. Simalakama. Namun tiba-tiba Abdul menyadari bahwa Desi berada di depan pintu kamar mandi.

“Eh, Mbak Desi.” kata Abdul. Desi berusaha memalingkan wajah agar tak melihat Abdul.

“Maaf, Mas.” kata Desi.

“Kenapa minta maaf, mbak?”

Bukannya melanjutkan mengganti pakaian, Abdul malah berjalan ke arah Desi dengan bertelanjang penuh. Sekilas Desi melihat seluruh bentuk badannya terutama bagian selangkangannya. Dada Desi makin berdegup. Apa yang akan Abdul lakukan? Desi memalingkan wajah agar tak terus melihatnya.

Abdul lalu berdiri di depan Desi. “Mbak, kenapa malu gitu? Santai saja.”

Abdul memegang bahu Desi seolah ingin memberikan ketenangan padanya. “Coba lihat saya.”

Awalnya Desi menolak. Tetapi Abdul memaksa memalingkan wajahnya dan Desi pun kini menatap wajah Abdul. Mereka saling berhadapan. Betapa tampannya pria ini, pikir Desi. Selain tubuhnya yang kekar dia juga punya wajah yang tampan.

“Mbak ga usah malu. Toh mbak sudah pernah lihat punya suami kan?” kata Abdul. Desi tak menjawab apa-apa. Sebenarnya takt ahu harus menjawab apa.

Dia kebingungan. Jika menatap terus pada wajah Abdul, dia merasa malu. Jika menunduk, dia akan melihat selangkangannya. Sedangkan jika berpaling, ia merasa tak mengindahkan permintaan Abdul.

Tiba-tiba di tengah kebingungannya, Abdul malah mendaratkan kecupan pada bibir Desi. Cup. Pelan tapi terasa mesra sekali. Desi kaget dengan sikap Abdul itu. Semuanya serba tiba-tiba. Dan yang tak kalah mengejutkan, dia meraih tangan Desi dan menuntunnya ke selangkangannya. Abdul mengarahkan tangan Desi untuk menggenggam kontolnya.

Desi tambah kaget. Dia melihat ke arah selangkangan Abdul dan terasa tangannya kini sudah menggenggam kontol Sapto. Desi menatap lagi wajah Abdul dan tampak heran. Abdul sendiri hanya tersenyum. Tampan sekali.

Kontol Abdul mulai terasa mengeras di tangan Desi. Dari ukurannya Desi bisa menembak bahwa sangat besar. Belum tegang sepenuhnya saja sudah sebegitu besarnya. Apalagi bila tegang nanti. Kemudian Abdul kembali mendaratkan ciuman di bibir Desi. Kali ini ciumannya panjang dan mulai berusaha untuk melumat bibir Desi. Desi yang masih kaget belum bisa membalas ciuman Abdul.

“Kenapa?” tanya Abdul yang sepertinya paham dengan sikap Desi.

“Apa yang kita lakukan?”

“Nikmati saja, sayang.” Dada Desi berdesir saat Abdul mengucapkan kalimat itu.

Abdul kembali mencium bibir Desi. Digigitnya bibir bawah Desi dan langsung ia lumat. Desi semula masih diam saja. Tapi lama kelamaan ia mulai mengikuti ritme ciuman Abdul. Perlahan ia juga mulai membalas ciuman Abdul. Tangan Abdul membimbing tangan Desi yang berada di selangkangannya untuk mengocok kontolnya. Desi mengikuti arahan dari Abdul itu. Ia merasakan kontol Abdul makin membesar di genggaman tangannya.

“Besar sekali,” seru Desi dalam hatinya.

Tangan Abdul yang lain meraih dada Desi dan mulai meremasnya. Keduanya kini telah memasuki gerbang birahi masing-masing. Hanya tinggal menunggu seberapa jauh mereka akan melangkah.

Tak puas dengan ciuman di bibir, Abdul menurunkan ciumannya ke leher Desi. Betapa luar biasa sensasi yang ia rasakan begitu mulut Abdul mulai menyusuri leher jenjangnya. Wajah Abdul yang dipenuhi cambang menimbulkan sensasi nikmat luar biasa pada Desi.

Desi merasa kontol Abdul sudah sangat menegang. Ia menunduk ke selangkangan Abdul. Gila. Benar-benar besar kontolnya. Jauh lebih besar daripada milik tiga lelaki yang pernah tidur dengan Desi. Apalagi di pangkal pahanya ditumbuhi jembut yang lebat dan bulu-bulu tipis di kedua pahanya.

Tangan Abdul kemudian mengangkat gaun bagian bawah Desi. Ia angkat terus sampai paha Desi terlihat. Desi tak tahu apa yang akan ia lakukan. Ternyata tangan Abdul coba meraih selangkangan Desi. Tapi tiba-tiba handphone Desi berbunyi. Mereka berdua langsung menghentikan cumbuan mereka.

“Halo. Ada apa, Sap?” tanya Desi.

“Mbak belum selesai?”

“Belum. Sebentar lagi.”

“Saya ditelpon Pak Burhan. Disuruh cepat balik.”

“Baiklah. Tunggu ya.”

Handphone dimatikan. Desi lalu mengutarakan pada Abdul bahwa dia harus segera pulang.

“Baiklah. Terima kasih.”

Desi pun lalu keluar kamar setelah mengambil tasnya dan segera pergi. Tapi dalam hatinya ia tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya karena percumbuan singkatnya dengan Abdul meski hanya sekadar ciuman biasa. Tapi yang paling tak bisa ia lupakan adalah wajah tampan Abdul dan badannya yang kekar. Terutama kontolnya yang super gagah. Sebenarnya ia agak sedikit kecewa karena tak sampai tuntas. Tapi ia berharap suatu saat bisa terulang lagi.

Desi pun pulang ke rumah. Janji pada Sapto pun batal dilaksanakan karena mereka harus segera sampai.

“Mbak, bajunya kok ganti?” tanya Sapto.

“Ee—iya. Tadi kena tumpahan minuman.”

***

Sesampainya di rumah, Rohman masih belum kembali. Desi langsung menuju kamarnya dan segera mengganti bajunya. Setelah mengganti baju, ia mencoba mengambil HP di tasnya. Saat dibuka, ternyata ada sebuah kartu nama. Desi melihat kartu nama itu dan yang tertera di sana adalah nama Abdul.

“Kapan Abdul menaruhnya?” tanya Desi dalam hatinya. Di kartu nama itu juga ada nomor HP si Abdul.

Ia lalu berbaring di tempat tidur. Pikirannya terbawa pada Abdul. Ia membayangkan bagaimana seandainya tadi tak ada yang menghentikan. Mungkin akan lebih jauh dari sekadar ciuman. Tanpa terasa Desi sudah masuk ke dalam selangkangannya sendiri. Ia mulai memaikan memeknya dengan jarinya. Percumbuan yang tidak tuntas tadi menyisakan gelombang birahi baru bagi Desi. Kini birahinya bangkit saat membayangkan Abdul. Ia masih ingat betul bagaimana tadi tangannya tak mampu menggenggam kontol Abdul yang super besar.

Sambil tetap memainkan memeknya, Desi membayangkan bagaimana jika ia digagahi oleh kontol milik Abdul itu. Ah, pasti akan nikmat sekali.

“Aasshhh…..aahhhsss….” Desi mendesah saat jarinya bermain-main di klitorisnya. Tangan Desi yang lain meraih payudaranya untuk ia remas-remas sendiri.

Saat asik dengan masturbasinya, tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.

“Sini bapak bantu, Sayang.”

Desi langsung terperanjat. Di depannya bapak mertuanya sudah berdiri. Desi heran bagaimana Pak Burhan bisa masuk padahal pintunya sudah ia kunci.

“Jangan heran. Ini rumah bapak. Bapak bisa masuk ke mana saja.” jawan Pak Burhan sambil menyeringai.

Pak Burhan menghampiri Desi yang duduk di tepi ranjang. “Kamu pengin ya? Kenapa ngga bilang bapak?”

Pak Burhan mendorong Desi untuk tidur. Desi mencoba menolak. Tapi Pak Burhan tak mau kalah dari menantunya itu. Ia terus coba mendorong Desi untuk terlentang. Sampai akhirnya si menantu sudah berada di bawah tindihannya.

“Pak, udah. Nanti ada Mas Rohman.”

“Suamimu masih pergi.”

“Ada Jumi dan Sapto, Pak.”

“Mereka ga akan tahu kok, sayang “

Pak Burhan meraih bibir Desi dengan bibirnya. Desi berusaha memalingkan wajahnya. Pak Burhan tak kalah cerdik. Ia pegangi wajah Desi dengan kuat hingga Desi tak bisa memalingkan wajahnya lagi. Ia pun bisa bebas menciumi bibir Desi.

“Mmmpphhh….mmmppphh….” Desi tetap berusaha untuk menolak.

Tangan Pak Burhan turun ke selangkangan Desi dan mencari titik kelemahan Desi. Ia masuk ke dalam CD-nya dan menemukan memeknya sudah basah. Pak Burhan pun kembali memainkan memek Desi dengan tangannya.

“Mmpphh….aahhhh….paakkk….” Desi mulai mendesah.

Pak Burhan terus saja bermain-main di memek Desi. Jarinya memainkan klitoris Desi dan membuat menantunya itu menggelinjang. Jari tengahnya juga coba masuk ke dalam memeknya.

“Aahhh….paakkk…aashh…” desah Desi terus. Barangkali Desi memang harus berpasrah diri.

Untungnya, tiba-tiba Rohman datang. Klakson mobilnya terdengar. Pak Burhan langsung bangkit dan segera ke luar dari kamar Desi. Desi pun segera memperbaiki baju dan rambutnya yang berantakan. Lalu ia menyambut suaminya di luar. Selangkangannya masih basah.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Wadoooh masalahnya desi udah dirangsang berapa kali dan ga pernah selesai.. bakal meledak tuh.. hekekek

Thx hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd