Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kisah Hidup Dokter Anak dan Sopir Ojol (True Story)

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
3

Grace menjadi dokter yang berkeliling ke daerah-daerah terpencil mengobati masyarakat miskin dan primitif selama enam tahun. Selama itu dia dikenal sebagai dokter yang piawai dan disukai masyarakat. Hingga akhirnya dia harus pulang karena ayahnya sudah sakit.

Ayah Grace kini tinggal di Ibukota mengikuti saudara Grace. Sesampainya di Ibukota, Grace mendedikasikan dirinya merawat ayahnya yang sakit. Setelah ayahnya sehat, Grace berniat menjadi relawan lagi tapi entah kenapa perilakunya berubah. Grace yang peringat jadi pendiam. Dia sering mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Sampai akhirnya ketika Ben datang berkunjung, dia dan ayah Grace menemukannya tidak bernyawa dengan urat nadi pergelangan tangan dipotong.

Cecil histeris mendengar kabar itu. Saat itu David sedang di Ibukota dan Cecil harus menyetir sendirian ke sana. Cecil menangis sambil menyetir dan harus berhenti beberapa kali di bahu jalan tol karena tubuhnya lemas. Ketika sampai di rumah sakit tempat Grace dibawa, Cecil harus dibopong turun dari mobil oleh Ben karena kakinya lemas. Tangisnya pecah sepanjang perjalanan menuju kamar jenazah. Cecil tidak bisa berdiri dan menangis di lantai.

Ketika jenazah Grace dimandikan, didandani dan dimasukkan ke dalam peti, Cecil menangis di samping peti jenazah selama satu hari penuh. Bahkan keluarga Grace tidak berani untuk mendekatinya. Cuma Ben yang duduk bersama Cecil hingga dia tertidur kelelahan.

Di pemakaman Grace, Cecil terus didampingi Ben dan istrinya. Tanpa Ben, Cecil pastilah sudah terjatuh lagi dan lagi. David tidak tampak batang hidungnya. Dia harus bekerja dan tidak bisa menemani Cecil.

Cecil tinggal bersama Ben dan istrinya selama dua hari di Ibukota. Di hari kedua, David menjemput Cecil dan membawanya punya ke Kota Kelahiran. Cecil tidak keluar dari kamar tidur selama tiga hari.

Setelah lebih tenang, Cecil mengatakan pada David kalau dia sudah bisa ditinggal. Maka, David yang mengambil cuti akhirnya bekerja lagi di Ibukota. Cecil juga mulai praktik lagi di rumah sakit.

Beberapa bulan kemudian, Cecil lupa kapan tepatnya, istri Ben - Alina - menelepon Cecil.

“Cil. Apa kabar?”

“Baik. Kamu gimana? Gimana Ben sama anak-anak?”

“Sehat. Cil. Maaf. Kamu bisa enggak ambil cuti dua atau tiga hari?”

“Kenapa memang?”

“Aku mau bicara sama kamu. Tapi enggak di Kota Kelahiran.”

“Di mana?”

“Di Bali.”

Cecil sempat bingung dengan permintaan Alina. Tapi akhirnya dia sanggupi. Sebulan kemudian, Cecil terbang ke Bali dan bertemu dengan Alina di sebuah hotel. Di sana ada Ben juga. Ben tampak berantakan. Tapi dia tersenyum melihat Cecil.

Hotel mereka berada tepat di pinggir pantai. Alina mengajak Cecil untuk makan di restoran yang menghadap laut. Ben tidak ikut. Ben sedang duduk di kursi pantai sambil minum.

“Mau pesan apa?” tanya Alina.

“Bentar. Kok, aku ngerasa aku dibawa ke sini kayak aku punya salah sama kalian?”

Alina menutup menunya. Dia memesan minuman untuk Cecil dan dia. Ketika minumannya datang, Alina menarik napas. “Aku ada cerita. Yang sudah aku pendam selama lebih dari enam tahun ini. Ben juga. Tapi ini sudah kelewat berat. Ben sudah capek memendam cerita ini.”

“Cerita apa?”

“Ini harusnya Ben yang cerita tapi Ben enggak kuat buat natap kamu sambil cerita.”

“Cerita apa, sih, Al?”

**









**
“Ben.”

Ben membuka matanya. Grace membangunkannya dari tidur. “Apa?”

“Enggak bisa tidur.”

Ben duduk di kasurnya. Beberapa jam sebelumnya, Grace mengetuk pintu kontrakannya dan minta diijinkan untuk menginap di sana. Ben ijinkan tanpa banyak tanya. Satu, karena dia sudah ngantuk, dua, karena Ben tidak terlalu peduli alasannya.

“Berdoa sebelum tidur,” Ben bercanda.

Grace tersenyum kecil lalu air mata mengalir di pipinya. Dia menangis.

“Buset. Segitunya enggak mau tidur, Grace? Jangan kayak anak kecil.”

“Gua cinta sama Cecil, Ben.”

“Hah?”

“Gua capek bohongin diri sendiri, bohongin Cecil. Gua cinta sama dia. Gua enggak rela dia punya pacar,” kata Grace sambil menangis.

Ben buru-buru memeluk Grace. “Ya, ampun.”

“Berkali-kali gua bilang kalau kita enggak pacaran padahal gua mau jadi pacar dia. Tapi dia enggak ngerasa gitu sama gua. Gua bohong bilang ke dia kalau gua gak masalah sama hubungan kita yang kayak gini. Padahal gua mau lebih. Dia barusan bilang kalau dia udah ML sama David. Anjir, Ben, gua pengen lompat dari gedung. Sakit banget, Ben.”

Ben tidak tahu harus bilang apa jadi diam saja sambil memeluk Grace.

**

“Kalimantan? Jauh banget. Perlu segitunya buat lupain Cecil?”

Grace mengangguk.

“Terus gua gimana?”

“Ya, lu, kan, ada Alina.”

Ben tidak mau Grace pindah ke Kalimantan. Apalagi kalau alasannya cuma buat melupakan Cecil. Tapi dia bisa apa? Dia tidak tahu sesakit apa penderitaan Grace harus tinggal dengan seseorang yang tidak bisa dia cintai.

**

David mengetuk pintu kontrakan Cecil dan Grace membukakan pintu. “David. Mau beres-beres, ya?”

“Yap,” kata David.

“Barang Cecil banyak banget sumpah. Bakal butuh dua hari buat beresin barang-barang dia.”

“Gua kerjanya cepat, kok.”

Hari itu David datang ke kontrakan untuk membereskan barang-barang Cecil untuk pindahan. Grace pun siap membantu jadi dia memakai kaus kebesaran dan celana pendek yang nyaman untuk keringat-keringatan.

Yang pertama Grace lakukan adalah memisahkan barangnya dengan barang Cecil. Setengah jam dia begitu dan badannya sudah keringatan. Grace mengambil minuman dingin dari kulkas dan memberikan satu botol pada David. Mereka istirahat sejenak.

Grace dan David mengobrol di sofa sambil minum. Lalu tiba-tiba David menciumnya. Grace mendorong David menjauh. David maju dan memegang tangan Grace kuat-kuat. David mencium paksa Grace dan Grace berteriak ketakutan. David menamparnya keras-keras. Grace jatuh ke lantai.

David menarik tubuh Grace dan melemparnya ke sofa. David memelorotkan celananya dan Grace bisa melihat penisnya sudah tegang. Grace mencoba lari tapi David menarik tangannya dengan kasar sehingga dia jatuh lagi. David menimpa Grace dan melepaskan celananya. Grace mencoba berteriak. Tangan David membekap mulut Grace dan menekan kepalanya ke lantai supaya suaranya tidak keluar.

Grace megap-megap mencari napas dan ketika dia lemas, David memasukkan penisnya ke dalam vagina Grace dari belakang. Grace mengerang kesakitan. David tidak berhenti. Dia memaksakan tubuhnya pada Grace. Entah berapa lama Grace dihimpit oleh David dan disakiti olehnya. Ketika semuanya berakhir, David melepaskan spermanya di rambut Grace.

“Jangan bilang Cecil. Gua mau nikah sama dia. Please. Jangan hancurkan hubungan kami.”

**

Grace membuang undangan pernikahan Cecil ke tempat sampah. Butuh enam tahun baginya untuk menghilangkan trauma perkosaannya. Grace tidak bisa datang ke pernikahan Cecil dan melihat David lagi. Ben saja tidak mau datang setelah Grace cerita padanya soal perkosaan itu. Maaf, Cecil, Grace harus berada jauh dari David supaya tidak menyakitimu dan pernikahanmu.

**

Grace mendarat di Ibukota dan langsung menyibukkan diri mengurus ayahnya yang sakit. Grace sempat khawatir kota itu akan membawa kenangan buruk baginya tapi ternyata tidak ada sakit yang datang. Syukurlah.

Perkembangan ayahnya sangat baik dan dia sembuh dengan cepat. Grace sudah bisa melepasnya dan bekerja lagi. Grace memutuskan untuk mencari pekerjaan di Ibukota dan tinggal di sebuah apartemen. Karena bekerja di rumah sakit akan membuat peluang bertemu dengan David menjadi lebih besar, Grace melamar ke sebuah klinik khusus luka di pinggiran Ibukota. Tapi nasib berkata lain dan ketika dia datang, orang yang mewawancarainya adalah David. Rupanya dia bekerja sebagai konsultan di sana.

Grace langsung cabut dari klinik itu tanpa berkata apa-apa. Dia pulang ke apartemennya sambil menangis. Enam tahun dia menghilangkan trauma David dan hanya dengan melihat orang itu selama dua detik, semua ingatan buruk itu kembali.

Grace tidur sambil menangis dan paginya dia berusaha untuk kembali tegar.

Ketika dia sarapan, bel apartemennya berbunyi. Ketika dibuka, Grace melihat David berdiri di luar. Grace membanting pintu tapi David menahannya. Dia merangsek masuk dan mendorong Grace jatuh ke lantai. David mengunci pintu dan menarik Grace lalu melemparnya ke kasur. David membuka celananya. Penisnya sudah ereksi penuh dan Grace tahu apa yang akan terjadi padanya saat itu.

Seketika tubuhnya lemas. Dia tidak bisa bergerak. David menindihnya, membuka baju dan celananya dengan paksa. David membuka kedua kaki Grace dan memasukkan penisnya ke dalam vaginanya. Grace menangis tapi dia tidak berdaya. Dia membiarkan David menodainya sekali lagi.

**

Ben mendapat pesan dari Grace yang isinya:

“Tolong, Ben. Gelap. Gua enggak bisa lihat jalan keluar.”

Ben dengan panik menelepon HP Grace tapi tidak aktif. Dia menelepon ayah Grace dan diberi tahu kalau Grace tinggal di apartemen. Ben dan ayah Grace segera ke sana tapi mereka terlambat. Grace sudah memotong nadinya sendiri
.

**







**

Alina berhenti bercerita dan menunggu reaksi dari Cecil. Cecil diam. Air matanya menggenang.

“Maaf aku cerita begini,” kata Alina.

Cecil menggeleng. Sekuat tenaga dia menahan tangis. “Kenapa Ben enggak cerita ke aku?”

Alina cuma diam. Dia melihat Ben yang duduk di kejauhan.

Cecil bangun dari duduknya lalu berjalan menuju Ben. Ben melihatnya mendekat dan berdiri. Mereka berhadapan sebentar lalu Cecil menamparnya keras sekali. Lalu dia menangis. Ben memeluk Cecil, “Maaf, Cil.”

Cecil menangis menjerit dan jatuh terduduk. Ben hanya bisa memeluknya. Alina ikut menangis memandangnya dari kejauhan.

--
bangsat david
emosi hua
 
5

Sehabis mandi, Gilang keluar dari kamar mandi dan melihat Bu Wita lagi telponan. Bu Wita menyuruhnya diam dengan tangannya. Rupanya dia lagi menelepon suami. Gilang diam di tempat sampai Bu Wita selesai menelepon. Bu Wita enggak bilang kalau dia sekamar sama Gilang ke suaminya tentu saja dan sempat panik waktu ditelepon tengah malam. Kata Gilang suami istri punya ikatan batin yang bisa tahu kalau pasangannya lagi ngelakuin yang enggak-enggak.

Eniwei, habis teleponan Bu Wita langsung selimutan buat tidur. Gilang harus mencegah Bu Wita tidur. Kalau tidur kesempatan buat speak-speak iblisnya akan hilang dan Gilang harus SSI pas tengah malam supaya Bu Wita setengah ngantuk. Kata Gilang kalau kita ngobrol sama orang setengah ngantuk, maka orang itu bakal lebih mudah dipengaruhi karena omongan kita akan terbawa ke alam bawah sadar terutama pas nanti dia tidur. Teori ini sempat saya buktikan buat jual asuransi ke teman saya. Saya prospek dia jam sebelas malam pas dia lagi capek pulang kerja dan ngantuk. Malam itu saya jelaskan manfaat asuransi, omongan saya dibawa tidur, tiga hari kemudian dia menelepon buat buka asuransi. Jadi teori ini patut dicoba.

Gilang duduk di kasur sambil menghadap Bu Wita.

“Bu.”

“Ya?”

“Sudah mau tidur?”

“Iya.”

“Bu.”

“Apa?”

“Grogi.”

“Grogi apa?”

“Soal event nanti. Ini, kan, event pertama saya,” dan Gilang sok-sokan jadi orang yang insecure dan gugup soal kerjaannya sebagai pembuka topik. Ini membuat Bu Wita yang tadi rebahan jadi duduk lagi. Bu Wita memberikan tips-tips supaya Gilang tidak grogi. “Lagian, kan, kamu sudah matang persiapannya. Kamu itu jago, loh, cara presentasinya. Pemahaman materi juga bagus,” Bu Wita menjabarkan kelebihan Gilang. Di sini otak Bu Wita seperti dapat konfirmasi ulang bahwa Gilang ini adalah orang yang bernilai lebih dengan cara mengatakan pendapatnya dengan lisan.

Lalu Gilang menggiring percakapan ke obrolan yang menyinggung soal kejombloan Gilang.

“Iya, loh, makanya saya sempat heran kenapa kamu masih jomblo,” kata Bu Wita.

“Ngeri, Bu, pacaran. Banyak yang cerai.”

“Enggak semua Gilang.”

“Iya, sih, tapi banyak banget orang di sekitar saya yang cerai. Bukan orang tua saya, sih, tapi mungkin itu karena Bapak saya meninggalnya cepat jadi enggak sempat cerai,” kata Gilang bercanda.

Lalu Bu Wita bercerita soal pernikahannya. Bu Wita dan suami adalah tim yang baik walaupun pasti pernah bertengkar. Tapi ribut mereka biasanya enggak tahan lama. Cek cok sedikit terus baikan tidak lama kemudian.

“Enggak bosan, Bu, selama itu menikah sama orang yang sama?”

“Maksudnya apa? Kamu nyuruh Ibu punya suami dua?”

“Lah, enggak, Bu. Jadi gini, Bu, saya punya sepupu yang psikolog di Belanda,” eaa Gilang pakai narasi ini lagi, “sepupu saya bilang bahwa insting setiap manusia berakal sehat itu mencari hal yang lebih dari apa yang dia punya sekarang. Setuju, enggak, Bu?”

“Iya.”

“Maka sama dalam percintaan dan hubungan, banyak orang gonta ganti pasangan buat cari yang lebih. Betul, ya, Bu?”

“Betul.”

“Nah, konsep pernikahan monogami itu secara ilmu psikologi menentang insting manusia yang terus mau yang lebih. Makanya di Belanda ada konsep open marriage di mana setiap orang yang menikah boleh pacaran dalam tanda kutip dengan orang lain tapi di penghujung hari mereka tetap pulang ke rumah pasangannya dan berumah tangga.”

“Itu liberal. Karena mereka enggak beragama.”

“Setuju, Bu. Tapi di Islam laki-laki, kan, boleh beristri empat. Nah, itu membuktikan bahwa memang insting manusia mencari yang lebih.”

“Iya, sih. Tapi, kan, cuma laki-laki. Perempuan enggak.”

“Makanya di Belanda agama Islam enggak populer. Di sana, kan, kedudukan laki sama perempuan sama. Jadi open marriage itu jadi konsep yang lebih disukai.”

“Jadi kamu mau nikah pakai konsep begitu?”

“Enggak, Bu. Saya cuma jadi berpikir apa saya bisa kayak Ibu yang sudah menikah lama tanpa berpikir cari yang lebih. Bukan lebih di fisik, ya, Bu, tapi lebih ke pengalaman. Maaf, ya, Bu, yang namanya cowok mau sealim apa pun pasti kalau lihat cewek cantik, ya, minimal pasti nengok. Betul enggak, Bu?”

“Perempuan juga kadang begitu.”

“Nah, di psikologi ada teori yang bisa membuat pernikahan lebih langgeng, Bu. Cuma memang menjauhi agama, sih, jadinya.”

“Apa, tuh?”

“Sex buddy.”

Bu Wita mengernyit.

“Namanya aneh, ya, Bu? Jadi itu konsep di mana setiap yang sudah berkomitmen untuk menikah punya satu teman buat diajak seks selain pasangannya. Gunanya apa? Gunanya untuk merecharge orang itu secara seksual. Karena pasti ada bosannya, kan, kalau berhubungan sama pasangan yang sama. Nah, waktu bosan kita lari ke sex buddy, berhubungan sama dia, bikin mood bagus lagi, di rumah tangga mereka jadi fresh lagi.”

“Justifikasi selingkuh itu namanya.”

“Bisa jadi. Tapi menurut Ibu konsepnya masuk akal enggak?”

“Jelek.”

“Masuk akal atau enggak, Bu, kok, jawabannya enggak nyambung.”

“Oh. Iya, masuk akal, tapi dosa.”

“Betul, ya, Bu, dosa banget itu.”

“Dosa besar.”

“Ah, Bu, buat saya, mah, semuanya dosa besar.”

“Hah? Gimana?”

“Maksud saya orang-orang kadang-kadang kasih tingkatan ke dosa. Misalkan berbohong itu dosanya kecil, mencuri lebih tinggi, terus zina paling tinggi. Padahal kalau menurut saya dosa itu sama efeknya. Pas kita dosa kecil terus kita terbiasa dengan itu, nanti kita lebih mudah melakukan dosa lainnya dan lama-lama bisa ke dosa paling tinggi. Setuju enggak, Bu?”

“Iya.”

“Jadi kalau buat saya dosa berbohong sama makan babi sama levelnya. Toh, mau dosa yang mana pun kalau kita taubatnya betul-betul dimaafkan juga.”

“Ooh, pantas kamu beranggapan kalau sex buddy itu wajar karena buat kamu dosa sama semua bobotnya.”

Gilang nyengir. Kalau Bu Wita sudah bilang begitu berarti dia sudah menangkap dan mencerna dengan baik omongan Gilang. Waktunya Gilang mundur.

“Ya, gitu, deh, Bu. Kalau saya, mohon maaf, ya, Bu, belum berani menikah karena masih berada di situ levelnya. Sampai nanti saya dapat hidayah yang bisa mengubah persepsi saya baru saya mikir soal nikah.”

“Kamu sudah pernah ngeseks, ya, sama pacar kamu?”

“Sudah, Bu,” Gilang sok-sok malu-malu.

“Sudah kuduga,” Bu Wita tidak men-judge Gilang. Dugaan Gilang karena Bu Wita orang kota dan sudah lumrah dengan perilaku seperti itu.

“Ibu belum pernah, ya?”

“Sama suami. Waktu kami belum menikah.”

“Oh. Enggak mau coba sama yang lain?”

“Sudah tua.”

“Masih cantik.”

Lalu mereka tertawa dan Gilang pamit tidur. Tugasnya selesai. Tinggal menuai hasil. Hasilnya? Ada perubahan dalam sikap Bu Wita pada Gilang sewaktu mereka bangun tidur nanti.


Bersambung.

--

Kebaca enggak pola Gilang kalau dia lagi berusaha meyakinkan orang kayak gimana, Hu?
 
5

Sehabis mandi, Gilang keluar dari kamar mandi dan melihat Bu Wita lagi telponan. Bu Wita menyuruhnya diam dengan tangannya. Rupanya dia lagi menelepon suami. Gilang diam di tempat sampai Bu Wita selesai menelepon. Bu Wita enggak bilang kalau dia sekamar sama Gilang ke suaminya tentu saja dan sempat panik waktu ditelepon tengah malam. Kata Gilang suami istri punya ikatan batin yang bisa tahu kalau pasangannya lagi ngelakuin yang enggak-enggak.

Eniwei, habis teleponan Bu Wita langsung selimutan buat tidur. Gilang harus mencegah Bu Wita tidur. Kalau tidur kesempatan buat speak-speak iblisnya akan hilang dan Gilang harus SSI pas tengah malam supaya Bu Wita setengah ngantuk. Kata Gilang kalau kita ngobrol sama orang setengah ngantuk, maka orang itu bakal lebih mudah dipengaruhi karena omongan kita akan terbawa ke alam bawah sadar terutama pas nanti dia tidur. Teori ini sempat saya buktikan buat jual asuransi ke teman saya. Saya prospek dia jam sebelas malam pas dia lagi capek pulang kerja dan ngantuk. Malam itu saya jelaskan manfaat asuransi, omongan saya dibawa tidur, tiga hari kemudian dia menelepon buat buka asuransi. Jadi teori ini patut dicoba.

Gilang duduk di kasur sambil menghadap Bu Wita.

“Bu.”

“Ya?”

“Sudah mau tidur?”

“Iya.”

“Bu.”

“Apa?”

“Grogi.”

“Grogi apa?”

“Soal event nanti. Ini, kan, event pertama saya,” dan Gilang sok-sokan jadi orang yang insecure dan gugup soal kerjaannya sebagai pembuka topik. Ini membuat Bu Wita yang tadi rebahan jadi duduk lagi. Bu Wita memberikan tips-tips supaya Gilang tidak grogi. “Lagian, kan, kamu sudah matang persiapannya. Kamu itu jago, loh, cara presentasinya. Pemahaman materi juga bagus,” Bu Wita menjabarkan kelebihan Gilang. Di sini otak Bu Wita seperti dapat konfirmasi ulang bahwa Gilang ini adalah orang yang bernilai lebih dengan cara mengatakan pendapatnya dengan lisan.

Lalu Gilang menggiring percakapan ke obrolan yang menyinggung soal kejombloan Gilang.

“Iya, loh, makanya saya sempat heran kenapa kamu masih jomblo,” kata Bu Wita.

“Ngeri, Bu, pacaran. Banyak yang cerai.”

“Enggak semua Gilang.”

“Iya, sih, tapi banyak banget orang di sekitar saya yang cerai. Bukan orang tua saya, sih, tapi mungkin itu karena Bapak saya meninggalnya cepat jadi enggak sempat cerai,” kata Gilang bercanda.

Lalu Bu Wita bercerita soal pernikahannya. Bu Wita dan suami adalah tim yang baik walaupun pasti pernah bertengkar. Tapi ribut mereka biasanya enggak tahan lama. Cek cok sedikit terus baikan tidak lama kemudian.

“Enggak bosan, Bu, selama itu menikah sama orang yang sama?”

“Maksudnya apa? Kamu nyuruh Ibu punya suami dua?”

“Lah, enggak, Bu. Jadi gini, Bu, saya punya sepupu yang psikolog di Belanda,” eaa Gilang pakai narasi ini lagi, “sepupu saya bilang bahwa insting setiap manusia berakal sehat itu mencari hal yang lebih dari apa yang dia punya sekarang. Setuju, enggak, Bu?”

“Iya.”

“Maka sama dalam percintaan dan hubungan, banyak orang gonta ganti pasangan buat cari yang lebih. Betul, ya, Bu?”

“Betul.”

“Nah, konsep pernikahan monogami itu secara ilmu psikologi menentang insting manusia yang terus mau yang lebih. Makanya di Belanda ada konsep open marriage di mana setiap orang yang menikah boleh pacaran dalam tanda kutip dengan orang lain tapi di penghujung hari mereka tetap pulang ke rumah pasangannya dan berumah tangga.”

“Itu liberal. Karena mereka enggak beragama.”

“Setuju, Bu. Tapi di Islam laki-laki, kan, boleh beristri empat. Nah, itu membuktikan bahwa memang insting manusia mencari yang lebih.”

“Iya, sih. Tapi, kan, cuma laki-laki. Perempuan enggak.”

“Makanya di Belanda agama Islam enggak populer. Di sana, kan, kedudukan laki sama perempuan sama. Jadi open marriage itu jadi konsep yang lebih disukai.”

“Jadi kamu mau nikah pakai konsep begitu?”

“Enggak, Bu. Saya cuma jadi berpikir apa saya bisa kayak Ibu yang sudah menikah lama tanpa berpikir cari yang lebih. Bukan lebih di fisik, ya, Bu, tapi lebih ke pengalaman. Maaf, ya, Bu, yang namanya cowok mau sealim apa pun pasti kalau lihat cewek cantik, ya, minimal pasti nengok. Betul enggak, Bu?”

“Perempuan juga kadang begitu.”

“Nah, di psikologi ada teori yang bisa membuat pernikahan lebih langgeng, Bu. Cuma memang menjauhi agama, sih, jadinya.”

“Apa, tuh?”

“Sex buddy.”

Bu Wita mengernyit.

“Namanya aneh, ya, Bu? Jadi itu konsep di mana setiap yang sudah berkomitmen untuk menikah punya satu teman buat diajak seks selain pasangannya. Gunanya apa? Gunanya untuk merecharge orang itu secara seksual. Karena pasti ada bosannya, kan, kalau berhubungan sama pasangan yang sama. Nah, waktu bosan kita lari ke sex buddy, berhubungan sama dia, bikin mood bagus lagi, di rumah tangga mereka jadi fresh lagi.”

“Justifikasi selingkuh itu namanya.”

“Bisa jadi. Tapi menurut Ibu konsepnya masuk akal enggak?”

“Jelek.”

“Masuk akal atau enggak, Bu, kok, jawabannya enggak nyambung.”

“Oh. Iya, masuk akal, tapi dosa.”

“Betul, ya, Bu, dosa banget itu.”

“Dosa besar.”

“Ah, Bu, buat saya, mah, semuanya dosa besar.”

“Hah? Gimana?”

“Maksud saya orang-orang kadang-kadang kasih tingkatan ke dosa. Misalkan berbohong itu dosanya kecil, mencuri lebih tinggi, terus zina paling tinggi. Padahal kalau menurut saya dosa itu sama efeknya. Pas kita dosa kecil terus kita terbiasa dengan itu, nanti kita lebih mudah melakukan dosa lainnya dan lama-lama bisa ke dosa paling tinggi. Setuju enggak, Bu?”

“Iya.”

“Jadi kalau buat saya dosa berbohong sama makan babi sama levelnya. Toh, mau dosa yang mana pun kalau kita taubatnya betul-betul dimaafkan juga.”

“Ooh, pantas kamu beranggapan kalau sex buddy itu wajar karena buat kamu dosa sama semua bobotnya.”

Gilang nyengir. Kalau Bu Wita sudah bilang begitu berarti dia sudah menangkap dan mencerna dengan baik omongan Gilang. Waktunya Gilang mundur.

“Ya, gitu, deh, Bu. Kalau saya, mohon maaf, ya, Bu, belum berani menikah karena masih berada di situ levelnya. Sampai nanti saya dapat hidayah yang bisa mengubah persepsi saya baru saya mikir soal nikah.”

“Kamu sudah pernah ngeseks, ya, sama pacar kamu?”

“Sudah, Bu,” Gilang sok-sok malu-malu.

“Sudah kuduga,” Bu Wita tidak men-judge Gilang. Dugaan Gilang karena Bu Wita orang kota dan sudah lumrah dengan perilaku seperti itu.

“Ibu belum pernah, ya?”

“Sama suami. Waktu kami belum menikah.”

“Oh. Enggak mau coba sama yang lain?”

“Sudah tua.”

“Masih cantik.”

Lalu mereka tertawa dan Gilang pamit tidur. Tugasnya selesai. Tinggal menuai hasil. Hasilnya? Ada perubahan dalam sikap Bu Wita pada Gilang sewaktu mereka bangun tidur nanti.


Bersambung.

--

Kebaca enggak pola Gilang kalau dia lagi berusaha meyakinkan orang kayak gimana, Hu?
wah karya yang menariik ni... berbeda dengan yg laen, ni kayak semacam riset perilaku manusia terhadap seks.... penulis banyak pengalaman kayaknya nii, atau paling pinter berkomunikasi sehingga teman diskuusi mau berbagi pengalaman.... anyway thanks atas karyanya...
 
Keren olah katanya, membuat org lain terpengaruh dan terbuka. Lanjutkan hu..
 
pandai bicara ini gilang...mantaf..jadi kita bisa mendapatkan pendidikan ssi secara tidak langsung..haha
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd