Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kisah Hidup Dokter Anak dan Sopir Ojol (True Story)

Status
Please reply by conversation.
Tanam ide, arahkan si target untuk setuju dengan idenya, tinggal tunggu hasilnya
 
keburu lupa... post update berikutnya

6

Gilang bangun sekitar jam setengah enam pagi. Bu Wita tidak ada di kamar. Gilang mengirimkan pesan padanya dan sambil menunggu jawaban, Gilang mandi. Waktu Gilang mandi, terdengar pintu kamar dibuka dan suara Bu Wita. Rupanya Bu Wita habis video call sama suaminya. Karena di kamar ada Gilang dan dia tidak mau Gilang kelihatan suaminya, dia pura-pura sedang jalan-jalan pagi.

Sekeluarnya dari kamar mandi, Bu Wita sedang dandan. Gilang lumayan kaget melihat Bu Wita yang dandanannya syari sedang memoles wajahnya dengan jilbab yang tidak rapi. Jadi jilbabnya cuma ditaruh di kepala dan dibiarkan menggantung sampai ke dada. Gilang bisa melihat lehernya. Dan betul saja prediksi Gilang, lehernya putih.

Gilang mungkin geer tapi dia beranggapan bahwa jilbabnya yang tidak dipakai dengan benar itu merupakan tanda bahwa pertahanan Bu Wita sudah cukup turun. Jadi dia coba-coba bereksperimen dengan membuka kausnya di belakang Bu Wita dan memosisikan tubuhnya supaya kelihatan dari kaca.

Gilang hendak mencopot handuknya dan memakai celana di situ tapi dia mengurungkan niatnya. Takut Bu Wita takut kalau dia buka celana tiba-tiba dan dia harus tarik ulur. Jadi Gilang membawa celananya ke kamar mandi untuk berganti.

Sekitar sepuluh menit kemudian mereka siap dan turun ke restoran. Di sana mereka menyambut tamu undangan, staf, dan kru yang akan sarapan. Di sana juga Gilang dikenalkan pada JE sebagai penanggung jawab acara. Itulah pertemuan pertama Gilang dengan JE secara face to face.

Acara akan dimulai jam 4 sore jadi semua orang, kecuali EO, punya waktu untuk jalan-jalan di Lombok sampai kira-kira jam 1 sebelum dilakukan gladi resik. Selesai para tamu sarapan, Gilang dan Bu Wita yang sarapan. Mereka makan satu meja sambil ngobrol.

“Ibu tadi pagi saya lihat waktu dandan kayaknya enggak jauh beda, Bu.”

“Maksudnya?”

“Ibu enggak pakai make up juga wajahnya kayak pakai make up. Cantiknya sama,” kata Gilang sambil mengunyah untuk memberikan kesan kalau itu bukan pujian tapi hanya mengatakan kenyataan.

Bu Wita nyengir. “Kamu kurus, tuh, kurang makan kayaknya.”

“Kok, tahu, Bu?”

“Ya, kamu ganti baju di kamar santai banget kayak enggak ada cewek.”

“Eh, iya, ya. Ya, ampun, sori, Bu. Habis sejak semalam ngobrol jadi kayak nyaman sama Ibu. Untung enggak buka celana, ya, Bu.”

Mereka bercanda ketawa ketiwi dan sesekali Bu Wita menepuk pundak Gilang. Gilang sedikit-sedikit mulai berani menyentuh lengan Bu Wita atau lututnya kalau sedang bercanda. Bu Wita tidak keberatan. Aman.

Karena masih ada waktu sampai jam satu, Bu Wita dan Gilang memeriksa kondisi venue dan sudah lengkap semua. Terus mereka jalan-jalan di tepi pantai. Gilang sengaja jalan agak dekat dengan Bu Wita supaya kalau ada apa-apa dia bisa skin contact dengannya. Beruntung, Bu Wita beberapa kali harus berpegangan ke tangan Gilang ketika melewati pasir karena dia pakai sepatu yang tebal dan satu tangannya harus memegang roknya yang panjang. Skin contact: 1.

Habis jalan-jalan mereka kembali ke hotel. Ada tangga yang menuju ke hotel dan Gilang menawarkan tangannya untuk dipegang Bu Wita waktu naik. Bu Wita memegang tangan Gilang dan membiarkannya menuntun sampai ke atas. Skin contact: 2.

Mereka masuk kamar lagi dan berganti baju ke pakaian lain. Gilang pakai setelan jas yang mahal dan disewakan oleh kantor. Waktu pakai dasi, dia melihat Bu Wita sedang touch up dengan posisi jilbab seperti tadi pagi yang cuma disampingkan di kepala. Tring. Ada ide.

“Bu, maaf, bisa ikat dasi?”

Bu Wita menoleh ke Gilang dan mengangguk. Dia bangun lalu berjalan mendekat. Bu Wita mengikatkan dasi Gilang dan tahu sendiri, dong, kalau orang mengikatkan dasi pasti posisinya berdekatan. Muka Gilang dan Bu Wita paling cuma berjarak sepuluh senti. Bu Wita salah mengikat dasi beberapa kali lalu tertawa.

“Kok, susah, sih?”

Gilang ikut tersenyum dan memegang dasinya. Mau tidak mau tangan mereka bersentuhanlah.

“Tangannya awas,” kata Bu Wita.

Skin contact: 3.

Tring. Muncul ide lain.

“Sendiri saja, deh, Bu,” Gilang mundur.

“Loh, itu belum selesai.”

“Saya lihat youtube saja.”

“Kenapa, sih, kok, tiba-tiba?”

“Enggak, Bu. Maaf. Jadi ingat obrolan semalam.”

Bu Wita diam lalu mengangguk. Dia kembali duduk di depan kaca untuk berdandan. Gilang sebetulnya bisa mengikat dasi tapi dia lama-lamain pakainya. Gilang berdiri tepat di belakang Bu Wita untuk berkaca. Pelan-pelan dia bergerak maju sampai pinggulnya, si jenderal, sih, lebih tepatnya, menempel ke punggung Bu Wita. Bu Wita merasakannya dan berhenti berdandan. Dia menengadah melihat Gilang. Gilang menatapnya balik. Lama mereka bertatapan dan Gilang berpikir keras apa maksudnya tatapan itu. Apa itu semacam kode supaya Gilang maju? Atau Bu Wita marah karena Gilang menempelkan si jenderal ke badannya? Tapi Bu Wita diam saja dan lama banget.

Gilang takut jadi dia mundur. “Lurus, ya, Bu, dasinya?”

“Lurus.”

Bu Wita selesai dandan dan mereka bersiap keluar kamar. Bu Wita melirik jam tangannya lalu diam. Dia duduk lagi terus membongkar isi tasnya. Lalu diam lagi.

“Kenapa, Bu?”

“Masih ada waktu, ya, setengah jam lagi sebelum gladi?”

“Iya.”

“Di sini dulu saja?”

“Mending turun, Bu, siapin venue.”

Bu Wita mengangguk. Dia bangun dan berjalan ke pintu tapi berhenti lagi. Bu Wita berbalik dan menatap Gilang. Gilang bingung lagi tapi dia harus mengambil risiko. Tatapan Bu Wita seperti tatapan Tante Yuli kalau lagi sange tapi Gilang takut kalau dia salah dan bakal dipecat.

“Di sini saja dulu kali, Lang.”

“Mending turun, Bu,” kata Gilang. Jujur, karena dia enggak tahu harus ngapain kalau kelamaan berdua di kamar, dia pengin cepat turun.

Bu Wita mengangguk. “Ya, sudah,” dia menyodorkan tangannya untuk dipegang Gilang. Gilang membeku sedetik lalu menyambut tangan Bu Wita.

Bu Wita membuka pintu kamar dan berjalan keluar. Gilang ngerem. Dia menarik Bu Wita supaya berhenti. “Kenapa?”

“Bu. Maaf banget, ya, Bu, ya? Please jangan dipecat.”

Bu Wita diam. Gilang menarik Bu Wita pelan supaya masuk kamar lagi, memegang belakang kepalanya dengan satu tangan dan mencium Bu Wita. Cepat tapi terarah. Bibirnya mendarat tepat di bibir Bu Wita. Tidak disangka Bu Wita mencium balik Gilang.

Bu Wita berubah agresif. Dia mendorong Gilang sampai menempel ke tembok dan mereka berciuman heboh sekali. Gilang tidak menyangka kalau Bu Wita seenak ini dicium. Jenderalnya langsung naik dengan semangat. Tangannya meremas pantat Bu Wita. Uh! Sumpah empuknya bikin nagih.

“Jangan pegang jilbabnya. Sudah rapi. Susah lagi ditata,” kata Bu Wita.

Gilang menyanggupi. Gantinya, Gilang membabat habis payudara Bu Wita dengan kedua tangannya. Ukurannya lebih besar dari standar. Yah, namanya juga ibu anak dua. Tapi tidak kendor, coi. Punya Tante Yuli sedikit lebih kendor. Kalau Bu Wita. Masih enak dimainkan, bro!

Asiknya berhubungan dengan yang lebih tua dan menikah itu adalah: mereka langsung tahu harus ngapain ketika Gilang membuka celana. Bu Wita berlutut dan mengulum penis Gilang. Gilang sempat menahan napas karena Bu Wita jago banget. Dihisap, dijilat, dan dimainkan dengan lidah. Sumpah! Dia pro banget!

Gilang memegang kepala Bu Wita dan dimarahi. “Jangan pegang jilbab!”

“Iya, Bu.”

Bu Wita terus menghajar penis Gilang sampai sudah tidak kuat lagi menahan crot. “Bu, mau keluar.”

“Duduk, duduk,” Bu Wita menggiring Gilang ke kasur. Gilang duduk dan Bu Wita duduk di sampingnya.

“Loh, sudahan, Bu, enggak diemut lagi?”

“Nanti kena baju, ah,” Bu Wita mengocok penis Gilang pakai tangan sambil menciumnya. Tidak masalaaaah. Yang penting crot.

Duar! Muntahlah si jenderal.

Bu Wita terdiam lalu menunjuk Gilang. “Awas kalau bilang-bilang.”

“Ya, enggaklah, Bu. Tapi ini, tuh, apa? Kok, barusan kita….”

“Enggak tahulah. Salah kamu ngomongin sex buddy.”

Bu Wita bangun, merapikan bajunya dan memakai lipstik ulang.

“Bu.”

“Apa?”

“Kita, kan, semalam lagi di sini.”

“Kenapa?” Bu Wita melirik Gilang sinis.

Gilang dag dig dug tapi memberanikan diri bilang, “Saya beli kondom, ya?”

“Iya.”

WUANJIR! BERHASIL MENEMBUS BOS SENDIRI! SETELAH IBU ANAK DIGARAP! GUA BERHASIL GARAP BOS SENDIRI! BANZAAAAAI!

--
 
5

Sehabis mandi, Gilang keluar dari kamar mandi dan melihat Bu Wita lagi telponan. Bu Wita menyuruhnya diam dengan tangannya. Rupanya dia lagi menelepon suami. Gilang diam di tempat sampai Bu Wita selesai menelepon. Bu Wita enggak bilang kalau dia sekamar sama Gilang ke suaminya tentu saja dan sempat panik waktu ditelepon tengah malam. Kata Gilang suami istri punya ikatan batin yang bisa tahu kalau pasangannya lagi ngelakuin yang enggak-enggak.

Eniwei, habis teleponan Bu Wita langsung selimutan buat tidur. Gilang harus mencegah Bu Wita tidur. Kalau tidur kesempatan buat speak-speak iblisnya akan hilang dan Gilang harus SSI pas tengah malam supaya Bu Wita setengah ngantuk. Kata Gilang kalau kita ngobrol sama orang setengah ngantuk, maka orang itu bakal lebih mudah dipengaruhi karena omongan kita akan terbawa ke alam bawah sadar terutama pas nanti dia tidur. Teori ini sempat saya buktikan buat jual asuransi ke teman saya. Saya prospek dia jam sebelas malam pas dia lagi capek pulang kerja dan ngantuk. Malam itu saya jelaskan manfaat asuransi, omongan saya dibawa tidur, tiga hari kemudian dia menelepon buat buka asuransi. Jadi teori ini patut dicoba.

Gilang duduk di kasur sambil menghadap Bu Wita.

“Bu.”

“Ya?”

“Sudah mau tidur?”

“Iya.”

“Bu.”

“Apa?”

“Grogi.”

“Grogi apa?”

“Soal event nanti. Ini, kan, event pertama saya,” dan Gilang sok-sokan jadi orang yang insecure dan gugup soal kerjaannya sebagai pembuka topik. Ini membuat Bu Wita yang tadi rebahan jadi duduk lagi. Bu Wita memberikan tips-tips supaya Gilang tidak grogi. “Lagian, kan, kamu sudah matang persiapannya. Kamu itu jago, loh, cara presentasinya. Pemahaman materi juga bagus,” Bu Wita menjabarkan kelebihan Gilang. Di sini otak Bu Wita seperti dapat konfirmasi ulang bahwa Gilang ini adalah orang yang bernilai lebih dengan cara mengatakan pendapatnya dengan lisan.

Lalu Gilang menggiring percakapan ke obrolan yang menyinggung soal kejombloan Gilang.

“Iya, loh, makanya saya sempat heran kenapa kamu masih jomblo,” kata Bu Wita.

“Ngeri, Bu, pacaran. Banyak yang cerai.”

“Enggak semua Gilang.”

“Iya, sih, tapi banyak banget orang di sekitar saya yang cerai. Bukan orang tua saya, sih, tapi mungkin itu karena Bapak saya meninggalnya cepat jadi enggak sempat cerai,” kata Gilang bercanda.

Lalu Bu Wita bercerita soal pernikahannya. Bu Wita dan suami adalah tim yang baik walaupun pasti pernah bertengkar. Tapi ribut mereka biasanya enggak tahan lama. Cek cok sedikit terus baikan tidak lama kemudian.

“Enggak bosan, Bu, selama itu menikah sama orang yang sama?”

“Maksudnya apa? Kamu nyuruh Ibu punya suami dua?”

“Lah, enggak, Bu. Jadi gini, Bu, saya punya sepupu yang psikolog di Belanda,” eaa Gilang pakai narasi ini lagi, “sepupu saya bilang bahwa insting setiap manusia berakal sehat itu mencari hal yang lebih dari apa yang dia punya sekarang. Setuju, enggak, Bu?”

“Iya.”

“Maka sama dalam percintaan dan hubungan, banyak orang gonta ganti pasangan buat cari yang lebih. Betul, ya, Bu?”

“Betul.”

“Nah, konsep pernikahan monogami itu secara ilmu psikologi menentang insting manusia yang terus mau yang lebih. Makanya di Belanda ada konsep open marriage di mana setiap orang yang menikah boleh pacaran dalam tanda kutip dengan orang lain tapi di penghujung hari mereka tetap pulang ke rumah pasangannya dan berumah tangga.”

“Itu liberal. Karena mereka enggak beragama.”

“Setuju, Bu. Tapi di Islam laki-laki, kan, boleh beristri empat. Nah, itu membuktikan bahwa memang insting manusia mencari yang lebih.”

“Iya, sih. Tapi, kan, cuma laki-laki. Perempuan enggak.”

“Makanya di Belanda agama Islam enggak populer. Di sana, kan, kedudukan laki sama perempuan sama. Jadi open marriage itu jadi konsep yang lebih disukai.”

“Jadi kamu mau nikah pakai konsep begitu?”

“Enggak, Bu. Saya cuma jadi berpikir apa saya bisa kayak Ibu yang sudah menikah lama tanpa berpikir cari yang lebih. Bukan lebih di fisik, ya, Bu, tapi lebih ke pengalaman. Maaf, ya, Bu, yang namanya cowok mau sealim apa pun pasti kalau lihat cewek cantik, ya, minimal pasti nengok. Betul enggak, Bu?”

“Perempuan juga kadang begitu.”

“Nah, di psikologi ada teori yang bisa membuat pernikahan lebih langgeng, Bu. Cuma memang menjauhi agama, sih, jadinya.”

“Apa, tuh?”

“Sex buddy.”

Bu Wita mengernyit.

“Namanya aneh, ya, Bu? Jadi itu konsep di mana setiap yang sudah berkomitmen untuk menikah punya satu teman buat diajak seks selain pasangannya. Gunanya apa? Gunanya untuk merecharge orang itu secara seksual. Karena pasti ada bosannya, kan, kalau berhubungan sama pasangan yang sama. Nah, waktu bosan kita lari ke sex buddy, berhubungan sama dia, bikin mood bagus lagi, di rumah tangga mereka jadi fresh lagi.”

“Justifikasi selingkuh itu namanya.”

“Bisa jadi. Tapi menurut Ibu konsepnya masuk akal enggak?”

“Jelek.”

“Masuk akal atau enggak, Bu, kok, jawabannya enggak nyambung.”

“Oh. Iya, masuk akal, tapi dosa.”

“Betul, ya, Bu, dosa banget itu.”

“Dosa besar.”

“Ah, Bu, buat saya, mah, semuanya dosa besar.”

“Hah? Gimana?”

“Maksud saya orang-orang kadang-kadang kasih tingkatan ke dosa. Misalkan berbohong itu dosanya kecil, mencuri lebih tinggi, terus zina paling tinggi. Padahal kalau menurut saya dosa itu sama efeknya. Pas kita dosa kecil terus kita terbiasa dengan itu, nanti kita lebih mudah melakukan dosa lainnya dan lama-lama bisa ke dosa paling tinggi. Setuju enggak, Bu?”

“Iya.”

“Jadi kalau buat saya dosa berbohong sama makan babi sama levelnya. Toh, mau dosa yang mana pun kalau kita taubatnya betul-betul dimaafkan juga.”

“Ooh, pantas kamu beranggapan kalau sex buddy itu wajar karena buat kamu dosa sama semua bobotnya.”

Gilang nyengir. Kalau Bu Wita sudah bilang begitu berarti dia sudah menangkap dan mencerna dengan baik omongan Gilang. Waktunya Gilang mundur.

“Ya, gitu, deh, Bu. Kalau saya, mohon maaf, ya, Bu, belum berani menikah karena masih berada di situ levelnya. Sampai nanti saya dapat hidayah yang bisa mengubah persepsi saya baru saya mikir soal nikah.”

“Kamu sudah pernah ngeseks, ya, sama pacar kamu?”

“Sudah, Bu,” Gilang sok-sok malu-malu.

“Sudah kuduga,” Bu Wita tidak men-judge Gilang. Dugaan Gilang karena Bu Wita orang kota dan sudah lumrah dengan perilaku seperti itu.

“Ibu belum pernah, ya?”

“Sama suami. Waktu kami belum menikah.”

“Oh. Enggak mau coba sama yang lain?”

“Sudah tua.”

“Masih cantik.”

Lalu mereka tertawa dan Gilang pamit tidur. Tugasnya selesai. Tinggal menuai hasil. Hasilnya? Ada perubahan dalam sikap Bu Wita pada Gilang sewaktu mereka bangun tidur nanti.


Bersambung.

--

Kebaca enggak pola Gilang kalau dia lagi berusaha meyakinkan orang kayak gimana, Hu?
Terima kasih, suhu...
Dapat kuliah gratis ini :Peace:
 
  • Like
Reactions: 534
keburu lupa... post update berikutnya

6

Gilang bangun sekitar jam setengah enam pagi. Bu Wita tidak ada di kamar. Gilang mengirimkan pesan padanya dan sambil menunggu jawaban, Gilang mandi. Waktu Gilang mandi, terdengar pintu kamar dibuka dan suara Bu Wita. Rupanya Bu Wita habis video call sama suaminya. Karena di kamar ada Gilang dan dia tidak mau Gilang kelihatan suaminya, dia pura-pura sedang jalan-jalan pagi.

Sekeluarnya dari kamar mandi, Bu Wita sedang dandan. Gilang lumayan kaget melihat Bu Wita yang dandanannya syari sedang memoles wajahnya dengan jilbab yang tidak rapi. Jadi jilbabnya cuma ditaruh di kepala dan dibiarkan menggantung sampai ke dada. Gilang bisa melihat lehernya. Dan betul saja prediksi Gilang, lehernya putih.

Gilang mungkin geer tapi dia beranggapan bahwa jilbabnya yang tidak dipakai dengan benar itu merupakan tanda bahwa pertahanan Bu Wita sudah cukup turun. Jadi dia coba-coba bereksperimen dengan membuka kausnya di belakang Bu Wita dan memosisikan tubuhnya supaya kelihatan dari kaca.

Gilang hendak mencopot handuknya dan memakai celana di situ tapi dia mengurungkan niatnya. Takut Bu Wita takut kalau dia buka celana tiba-tiba dan dia harus tarik ulur. Jadi Gilang membawa celananya ke kamar mandi untuk berganti.

Sekitar sepuluh menit kemudian mereka siap dan turun ke restoran. Di sana mereka menyambut tamu undangan, staf, dan kru yang akan sarapan. Di sana juga Gilang dikenalkan pada JE sebagai penanggung jawab acara. Itulah pertemuan pertama Gilang dengan JE secara face to face.

Acara akan dimulai jam 4 sore jadi semua orang, kecuali EO, punya waktu untuk jalan-jalan di Lombok sampai kira-kira jam 1 sebelum dilakukan gladi resik. Selesai para tamu sarapan, Gilang dan Bu Wita yang sarapan. Mereka makan satu meja sambil ngobrol.

“Ibu tadi pagi saya lihat waktu dandan kayaknya enggak jauh beda, Bu.”

“Maksudnya?”

“Ibu enggak pakai make up juga wajahnya kayak pakai make up. Cantiknya sama,” kata Gilang sambil mengunyah untuk memberikan kesan kalau itu bukan pujian tapi hanya mengatakan kenyataan.

Bu Wita nyengir. “Kamu kurus, tuh, kurang makan kayaknya.”

“Kok, tahu, Bu?”

“Ya, kamu ganti baju di kamar santai banget kayak enggak ada cewek.”

“Eh, iya, ya. Ya, ampun, sori, Bu. Habis sejak semalam ngobrol jadi kayak nyaman sama Ibu. Untung enggak buka celana, ya, Bu.”

Mereka bercanda ketawa ketiwi dan sesekali Bu Wita menepuk pundak Gilang. Gilang sedikit-sedikit mulai berani menyentuh lengan Bu Wita atau lututnya kalau sedang bercanda. Bu Wita tidak keberatan. Aman.

Karena masih ada waktu sampai jam satu, Bu Wita dan Gilang memeriksa kondisi venue dan sudah lengkap semua. Terus mereka jalan-jalan di tepi pantai. Gilang sengaja jalan agak dekat dengan Bu Wita supaya kalau ada apa-apa dia bisa skin contact dengannya. Beruntung, Bu Wita beberapa kali harus berpegangan ke tangan Gilang ketika melewati pasir karena dia pakai sepatu yang tebal dan satu tangannya harus memegang roknya yang panjang. Skin contact: 1.

Habis jalan-jalan mereka kembali ke hotel. Ada tangga yang menuju ke hotel dan Gilang menawarkan tangannya untuk dipegang Bu Wita waktu naik. Bu Wita memegang tangan Gilang dan membiarkannya menuntun sampai ke atas. Skin contact: 2.

Mereka masuk kamar lagi dan berganti baju ke pakaian lain. Gilang pakai setelan jas yang mahal dan disewakan oleh kantor. Waktu pakai dasi, dia melihat Bu Wita sedang touch up dengan posisi jilbab seperti tadi pagi yang cuma disampingkan di kepala. Tring. Ada ide.

“Bu, maaf, bisa ikat dasi?”

Bu Wita menoleh ke Gilang dan mengangguk. Dia bangun lalu berjalan mendekat. Bu Wita mengikatkan dasi Gilang dan tahu sendiri, dong, kalau orang mengikatkan dasi pasti posisinya berdekatan. Muka Gilang dan Bu Wita paling cuma berjarak sepuluh senti. Bu Wita salah mengikat dasi beberapa kali lalu tertawa.

“Kok, susah, sih?”

Gilang ikut tersenyum dan memegang dasinya. Mau tidak mau tangan mereka bersentuhanlah.

“Tangannya awas,” kata Bu Wita.

Skin contact: 3.

Tring. Muncul ide lain.

“Sendiri saja, deh, Bu,” Gilang mundur.

“Loh, itu belum selesai.”

“Saya lihat youtube saja.”

“Kenapa, sih, kok, tiba-tiba?”

“Enggak, Bu. Maaf. Jadi ingat obrolan semalam.”

Bu Wita diam lalu mengangguk. Dia kembali duduk di depan kaca untuk berdandan. Gilang sebetulnya bisa mengikat dasi tapi dia lama-lamain pakainya. Gilang berdiri tepat di belakang Bu Wita untuk berkaca. Pelan-pelan dia bergerak maju sampai pinggulnya, si jenderal, sih, lebih tepatnya, menempel ke punggung Bu Wita. Bu Wita merasakannya dan berhenti berdandan. Dia menengadah melihat Gilang. Gilang menatapnya balik. Lama mereka bertatapan dan Gilang berpikir keras apa maksudnya tatapan itu. Apa itu semacam kode supaya Gilang maju? Atau Bu Wita marah karena Gilang menempelkan si jenderal ke badannya? Tapi Bu Wita diam saja dan lama banget.

Gilang takut jadi dia mundur. “Lurus, ya, Bu, dasinya?”

“Lurus.”

Bu Wita selesai dandan dan mereka bersiap keluar kamar. Bu Wita melirik jam tangannya lalu diam. Dia duduk lagi terus membongkar isi tasnya. Lalu diam lagi.

“Kenapa, Bu?”

“Masih ada waktu, ya, setengah jam lagi sebelum gladi?”

“Iya.”

“Di sini dulu saja?”

“Mending turun, Bu, siapin venue.”

Bu Wita mengangguk. Dia bangun dan berjalan ke pintu tapi berhenti lagi. Bu Wita berbalik dan menatap Gilang. Gilang bingung lagi tapi dia harus mengambil risiko. Tatapan Bu Wita seperti tatapan Tante Yuli kalau lagi sange tapi Gilang takut kalau dia salah dan bakal dipecat.

“Di sini saja dulu kali, Lang.”

“Mending turun, Bu,” kata Gilang. Jujur, karena dia enggak tahu harus ngapain kalau kelamaan berdua di kamar, dia pengin cepat turun.

Bu Wita mengangguk. “Ya, sudah,” dia menyodorkan tangannya untuk dipegang Gilang. Gilang membeku sedetik lalu menyambut tangan Bu Wita.

Bu Wita membuka pintu kamar dan berjalan keluar. Gilang ngerem. Dia menarik Bu Wita supaya berhenti. “Kenapa?”

“Bu. Maaf banget, ya, Bu, ya? Please jangan dipecat.”

Bu Wita diam. Gilang menarik Bu Wita pelan supaya masuk kamar lagi, memegang belakang kepalanya dengan satu tangan dan mencium Bu Wita. Cepat tapi terarah. Bibirnya mendarat tepat di bibir Bu Wita. Tidak disangka Bu Wita mencium balik Gilang.

Bu Wita berubah agresif. Dia mendorong Gilang sampai menempel ke tembok dan mereka berciuman heboh sekali. Gilang tidak menyangka kalau Bu Wita seenak ini dicium. Jenderalnya langsung naik dengan semangat. Tangannya meremas pantat Bu Wita. Uh! Sumpah empuknya bikin nagih.

“Jangan pegang jilbabnya. Sudah rapi. Susah lagi ditata,” kata Bu Wita.

Gilang menyanggupi. Gantinya, Gilang membabat habis payudara Bu Wita dengan kedua tangannya. Ukurannya lebih besar dari standar. Yah, namanya juga ibu anak dua. Tapi tidak kendor, coi. Punya Tante Yuli sedikit lebih kendor. Kalau Bu Wita. Masih enak dimainkan, bro!

Asiknya berhubungan dengan yang lebih tua dan menikah itu adalah: mereka langsung tahu harus ngapain ketika Gilang membuka celana. Bu Wita berlutut dan mengulum penis Gilang. Gilang sempat menahan napas karena Bu Wita jago banget. Dihisap, dijilat, dan dimainkan dengan lidah. Sumpah! Dia pro banget!

Gilang memegang kepala Bu Wita dan dimarahi. “Jangan pegang jilbab!”

“Iya, Bu.”

Bu Wita terus menghajar penis Gilang sampai sudah tidak kuat lagi menahan crot. “Bu, mau keluar.”

“Duduk, duduk,” Bu Wita menggiring Gilang ke kasur. Gilang duduk dan Bu Wita duduk di sampingnya.

“Loh, sudahan, Bu, enggak diemut lagi?”

“Nanti kena baju, ah,” Bu Wita mengocok penis Gilang pakai tangan sambil menciumnya. Tidak masalaaaah. Yang penting crot.

Duar! Muntahlah si jenderal.

Bu Wita terdiam lalu menunjuk Gilang. “Awas kalau bilang-bilang.”

“Ya, enggaklah, Bu. Tapi ini, tuh, apa? Kok, barusan kita….”

“Enggak tahulah. Salah kamu ngomongin sex buddy.”

Bu Wita bangun, merapikan bajunya dan memakai lipstik ulang.

“Bu.”

“Apa?”

“Kita, kan, semalam lagi di sini.”

“Kenapa?” Bu Wita melirik Gilang sinis.

Gilang dag dig dug tapi memberanikan diri bilang, “Saya beli kondom, ya?”

“Iya.”

WUANJIR! BERHASIL MENEMBUS BOS SENDIRI! SETELAH IBU ANAK DIGARAP! GUA BERHASIL GARAP BOS SENDIRI! BANZAAAAAI!

--
enak banget yaa gilang
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd