Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisah Tengah Malam

Kisah Tengah Malam:
Tujuh Hari Menjelang (1)






Mereka muncul lagi. Sosok-sosok transparan yang kerap menembus pintu dan dinding itu muncul di hadapanku lagi. Aku yakin, mereka dapat melihatku seperti halnya aku melihat mereka. Kadang, sosok-sosok itu muncul dan melirikku, lalu kembali berkeliaran tak tentu arah.

Sebelumnya, aku tidak dapat melihat mereka. Tidak sama sekali. Keanehan pada indera penglihatanku ini dimulai sekitar satu bulan lalu. Aku tidak tahu pastinya kapan, tapi yang kuingat, keanehan ini terjadi saat aku berada di rumah sakit.

Awalnya, momen pertamaku dapat melihat mereka terjadi setelah aku jatuh dari tangga kampus. Kepalaku membentur lantai dengan keras, tapi untunglah setelah cek ke dokter, tidak ada luka dalam yang parah. Hanya benjol di belakang kepala. Tapi sesaat setelah keluar dari ruangan dokter yang memeriksaku, ada pemandangan baru yang diproyeksikan mataku saat aku memandang ke koridor.

Mereka seperti kabut tipis yang berbentuk siluet manusia. Melayang rendah sambil mondar-mandir menembus ruangan demi ruangan. Saat memperhatikan mereka, waktuku terasa berjalan lambat. Entah karena aku yang sedang syok dan takut, atau gerak mereka yang memang lamban.

Hari-hari setelahnya, aku seperti diteror mereka. Tidak secara langsung, mereka tidak menggangguku. Tapi keberadaan mereka cukup mampu untuk membuatku tertekan. Mereka ada dimana-mana. Di jalan sepi yang selalu kulewati saat pulang ngampus, duduk di sampingku saat aku makan di warteg langganan, di toilet kostku, di angkot yang sepi, dan, dan... karena terlalu sering, aku sudah tak bisa mengingat dimana lagi mereka muncul.

Semakin lama, mataku dapat melihat sosok mereka dengan lebih jelas. Sekarang, di penglihatanku, mereka seperti manusia pada umumnya. Hanya saja tubuhnya lebih transparan. Mereka juga memakai baju, bentuk wajahnya beda-beda, ada yang perempuan, juga ada yang laki-laki. Serius, mereka tidak mengganggu. Hanya mondar-mandir dan berkeliling pada pola dan rute yang berulang.

Misalnya, sosok transparan yang menghuni ruang makan rumah kostku. Di awal-awal aku bisa melihat dia, aku dipenuhi rasa takut luar biasa, jadi tak sempat mengobservasi. Setelah agak beradaptasi, aku jadi tahu kalau 'penghuni' ruang makan itu bergerak dalam pola. Dia selalu diam di ruang makan selama dua puluh menit, lalu pergi ke ruang tamu untuk berdiri di depan pintu selama tiga menit, sampai akhirnya kembali ke ruang makan dan mengulangi hal yang sama. Memang, sih, beberapa kali kami melakukan kontak mata, tapi dia kembali pada pola rutinitasnya.

Aku pikir... masalahnya ada di aku, bukan mereka. Aku kerap kali takut saat melihat mereka mungkin karena belum terbiasa. Tapi aku yakin, aku tidak akan pernah bisa terbiasa, karena, apa reaksimu kalau tiba-tiba kamu bisa melihat sesuatu yang seumur hidupmu belum pernah muncul dalam penglihatanmu, dan sialnya, cuma kamu yang bisa melihatnya?

Bukan berarti aku tidak mencari pertolongan tentang apa yang terjadi padaku. Kutanya beberapa teman yang dikenal punya pengalaman, bahkan kemampuan supranatural. Kujabarkan apa yang terjadi padaku, apa yang kulihat, bagaimana bentuk mereka, dan berlangsung berapa lama. Rata-rata dari teman-temanku bilang, kalau aku bisa melihat arwah gentayangan.

"Apa itu arwah gentayangan?" tanyaku, waktu itu.

Aku memang tidak familiar dengan hal-hal mistis. Latar belakang keluargaku yang ateis dan penggila ilmu eksak tidak mengajarkanku bahwa ada alam lain, selain alam yang manusia dan binatang huni. Pengalaman mistisku nihil. Makanya, saat mereka bilang bahwa yang kulihat adalah arwah gentayangan, aku pun heran.

Setelah pasang ekspresi tak percaya, teman-teman yang kutanya pun menjawab, bahwa arwah gentayangan atau roh penasaran adalah roh dari orang-orang yang matinya tidak wajar. Ada yang dibunuh, bunuh diri, karena kecelakaan, mati sambil memendam penyesalan hebat, dan lain-lain. Saat manusia mati, kata teman-temanku, rohnya lepas dari badan tapi terjebak di alam fana karena ada urusan semasa hidup mereka yang belum selesai. Mereka jadi bergentayangan, tak bisa mencapai akhirat.

Penjelasan dari teman-temanku itu pun terngiang di kepalaku, terbawa dari kelas hingga kantin kampus. Logikaku mencoba mengerti konsep roh, arwah, dan akhirat. Tapi aku tetap berakhir kebingungan karena logikaku tak mampu menelaahnya.

"Lu percaya Qorin, ga, Len?"

Aku mengernyitkan kening. Raihan, salah satu teman kampusku, tiba-tiba datang dan menanyakan sesuatu yang tidak aku mengerti. "Korin tuh apa, Han?" Aku bertanya balik.

"Pake "q", Lena, bukan "k". Qorin, "q"nya diteken."

"Iya, itu apa emangnya?"

"Ah, serius lu ga tau?" Raihan langsung duduk di depanku. Mukanya serius. Aku pikir, ini akan jadi awal dari pembahasan yang panjang. "Jadi gini, Len. Gua jelasin konsep spiritualitas manusia dulu. Di agama gua—"

"—Emang agama lo apaan, deh?" potongku.

"Islam, anjiiiiir! Emang lu kagak liat, kalo saban Jum'at gua solat Jum'at di masjid kampus?"

Aku kembali mengernyit. "Lah, gue juga Islam, temen-temen gue juga banyak yang Islam, tapi ga ada yang ke masjid kampus kalo Jum'at siang?"

"Cewek ga solat Jum'at, Lena."

"Temen-temen gue yang cowok juga Islam, tapi ga solat Jum—"

"Ini mau gua lanjutin, ga, nih?" tanya Raihan, nadanya sewot sekali.

"Oh, iya. Oke. Maaf jadi kemana-mana."

Sambil bersungut-sungut, Raihan pun menjelaskan, kalau di agamanya (dan agamaku, tapi berbeda dengannya, aku hanya sekedar status di KTP saja) diajarkan bahwa saat manusia lahir, ada entitas lain yang menyertai kelahirannya. Raihan menyebutnya sebagai jin Qorin. Nah, jin Qorin ini seperti kembaran manusia. Bisa tumbuh dan besar, bisa menyerupai manusia yang dia dampingi, dan bisa menirukan gerak-geriknya.

Saat manusia mati, jiwanya dibawa oleh malaikat maut, sementara jin Qorinnya tinggal. Mereka biasanya mengambil rupa persis seperti saat manusia yang mereka dampingi berada di ambang kematiannya. Raihan lalu memberi contoh, misal ada seseorang yang tewas kecelakaan, maka jin Qorinnya akan terlihat seperti kondisi orang yang kecelakaan itu.

"Sebagai jin yang dampingin manusia sampe manusia itu wafat, Qorin tuh hafal banget sama gerak-gerik si manusia itu. Misal, gua kan suka ngoprek motor. Pas gua meninggal, Qorin gua nanti kebiasaannya sama kayak gua pas masih idup. Entar dia pake baju singlet, berkeliarannya di bengkel gua, muter dari bengkel ke rumah, balik lagi, ulang lagi. Gitu terus," lanjut Raihan, "Makanya, jadi kayak pola geraknya. Soalnya tuh Qorin ngerjain yang gua kerjain semasa hidup."

"Konsepnya mirip arwah penasaran, ya, Han. Mirip tapi ada bedanya juga," balasku. Aku menyeruput es kopi dingin yang tersaji di meja kayu.

"Di Islam, arwah penasaran itu ga ada, Len. Kalo manusia mati, ya rohnya dibawa malaikat maut ke alam kubur. Udah ga ada urusan sama dunia. Fenomena penampakan arwah penasaran yang sering dibilang orang tuh, ya... jin Qorin yang lagi nampakin diri."

Aku mengangguk-angguk sambil terus mendengarkan. Input baru untuk khasanah mistisku yang minim. Rupanya, aku menikmati pembasahan tentang hal-hal mistis ini. Sesuatu yang tidak bisa kupikir dengan logika, tapi ada saja teori cocokloginya. Meski akal sehatku menolak menerima, tapi aku cukup menikmati konsep teori yang dijelaskan.

"Lo ngapain ujug-ujug dateng terus nanya beginian, Han?" tanyaku, penasaran. Iya, lho, aku heran sekali kok bisa ada orang yang niat mendatangi teman kampusnya cuma untuk menanyakan soal Qorin.

"Gua nguping obrolan lu sama cewek-cewek di kelas tempo hari. Tapi yang mereka jelasin ke elu ga sesuai sama apa yang gua yakini, jadi gua coba ngasih pandangan gua ke elu. Soalnya, kayaknya lu lagi penasaran banget sama yang begituan. Gitu, Lena."

"Eh, makasih, loh!" aku tertawa sambil menampar lengannya, "Meski gue ga minta lo kasih tau."

"Tapi, Len...," tiba-tiba, entah kenapa Raihan menatapku dalam-dalam, "Lu nanya-nanya soal arwah penasaran tuh gara-gara lu jadi bisa 'ngeliat', ya?"

"Ya gitu, deh." Aku pun menceritakan ke Raihan semua hal yang kualami, yang sudah kuceritakan ke teman-temanku di kelas waktu itu. Dengan seksama, Raihan menyimak tiap kata.

"Manusia itu seharusnya udah ga bisa ngeliat hal-hal gaib, Len," respon Raihan. Mukanya serius sekali. "Dari yang gua tau, indera keenam manusia itu dikunci sejak jaman Nabi Sulaiman. Dulu, manusia ngeliat setan dan jin kayak mereka liat manusia lain, binatang, dan tumbuhan. Jaman sekarang, cuma ada satu-dua orang dari sekian ratus ribu orang yang terlahir bisa ngeliat alam gaib. Sisanya, lewat kejadian khusus...."

"Kejadian khusus... gimana, Han?"

"Ya ada yang lewat belajar ilmu spiritual, minta dibukain sama praktisi supranatural, ada juga yang kebuka mata batinnya gara-gara ngalamin kejadian mistis yang traumatis banget, terus... ada juga yang bisa ngeliat makhluk gaib gara-gara kecelakaan," tutup Raihan.

Aku menelan ludah. Seketika aku ingat kejadian saat aku jatuh dari tangga. Apa itu penyebabnya? Tapi dokter bilang tak ada luka dalam serius di kepalaku. Kondisi otakku pun masih nornal, dan fungsinya masih berjalan baik. Jadi, apa yang berubah dariku sehingga aku jadi bisa melihat makhluk-makhluk semi-transparan ini?

"Tapi inget, Lena, sekali mata batin manusia terbuka... dia jadi bisa ngeliat banyak hal. Qorin ga mengganggu manusia, Len, tapi di alam gaib ada entitas lain selain jin Qorin. Ada juga jin yang bukan Qorin, tapi sama ga mengganggu juga."

Kalimat terakhirnya langsung mengusikku. "Berarti ada jin yang mengganggu manusia?"

"Ada," Raihan menatapku tanpa berkedip, "Para manusia sebut golongan kami sebagai jin jahat, Lena."

"Kami? Maksudnya?" Aku mengernyitkan kening. Aku tidak mengerti ucapan terakhir Raihan. Tapi aku terlalu terusik dengan ekspresinya yang sekarang dingin dan misterius, membuatnya jadi terkesan agak menyeramkan.

"Lena!" Sebuah suara memanggilku, dari arah kanan. Aku refleks menengok ke asal suara. Ada Raihan yang sedang berlari menghampiriku. Saat dia sudah lebih dekat, dia kembali berteriak, "Jangan nengok ke kiri lu, Len!"

Terlambat. Kepalaku bergerak ke kiri, ke arah Raihan satunya yang sedang duduk di depanku, atau mungkin... ke sosok yang menyerupai Raihan.

Di hadapanku, kini duduk sosok itu. Sosok pria berwajah pucat dan membiru, sedang tersenyum lebar padaku. Kedua ujung sisi bibirnya tertarik hingga mencapai telinga. Itu... bukan senyum manusia. Tidak ada manusia yang bisa tersenyum hingga selebar telinga ke telinga.

Aku tidak sempat untuk merasa takut, karena aku dibuat semakin yakin bahwa sosok di depanku ini bukan manusia, saat dirinya bangun dari duduknya... tidak, dia melompat ke atas meja! Memperlihatkan tubuhnya yang hanya sampai perut, karena dia tidak punya bagian bawah tubuhnya.

...Dan dia sekarang tertawa, nyaring dan menyeramkan, sambil melayang-layang rendah di atas meja. Sementara tubuhku mendadak kaku. Mataku tak bisa berpaling dari memandanginya. Ketakutan menyeruak cepat ke seluruh tubuhku, serta meremangkan bulu-bulu di kulit.

Di akhir ketidakberdayaanku, sebuah tangan bergerak cepat menutup mataku. Aku pikir ini tangan Raihan. Entah, aku tak sempat mencari tahu. Karena setelahnya, aku langsung tak ingat apapun lagi.


———


Setelah kejadian pingsan di kantin kampus, aku diantar pulang Raihan. Karena dia tidak tahu kostku, jadinya dia menunggu aku hingga siuman, baru menanyakan alamat dan menawarkan antar pulang. Sepanjang perjalanan pulang dari kampus, teman kampusku itu memintaku untuk selalu menundukkan pandangan. Entah bagaimana, aku mengerti tujuannya. Karena bahkan saat pandanganku menunduk pun, aku bisa melihat lewat ekor mataku, sosok-sosok menyeramkan yang mengejar di kiri dan kananku.

"Cuekin aja, Len. Jangan direspon omongan mereka," ucap Raihan, sambil terus menggandeng lenganku saat menyusuri koridor.

Kenapa Raihan bisa tahu kalau makhluk-makhluk yang mengejar di sampingku ini sedang berusaha mengobrol denganku? Serius, mereka berisik sekali. Ada yang tanya nama, rumahku dimana, ada yang minta tolong, bahkan ada yang sekedar mau ikut aku pulang. Bulu-bulu halusku meremang saat mendengar suara mereka, maka aku langsung tutup telinga.

Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Raihan terus merapal sesuatu. Kalau tidak salah dia pakai bahasa Arab. Aku tidak mengerti apa yang dia rapal. Mungkin ini yang disebut sebagai baca-bacaan yang orang sering lafalkan saat bertemu hantu, persis seperti yang aku pernah dengar dari cerita teman-temanku.

"...Walaa yauuduhuu hifdhuhumaa wahuwal aliyyul adhiim." Begitu yang kudengar saat Raihan menutup rapalannya. Setelahnya, makhluk-makhluk yang mengejarku serentak berhenti. Entah ini ada hubungannya dengan rapalan Raihan atau hanya kebetulan.

Saat sudah di motor dan melaju meninggalkan area kampus, aku dan Raihan sedikit mengobrol. Membahas tentang hal-hal baru yang kulihat. Kuceritakan padanya, bahwa sebelumnya aku tidak bisa melihat makhluk gaib, apalagi yang menggangguku. Dari sebulan lalu sampai kemarin, yang kulihat hanya makhluk hampir transparan menyerupai manusia yang keberadaannya tidak mengganggu. Tapi tadi siang... ada makhluk yang berbeda, menyeramkan, dan memang berniat mengusikku. Makhluk itu bahkan bisa menyamar menjadi Raihan, dan berinteraksi seperti selayaknya manusia.

"Sekali mata batin lu terbuka, lu akan ngeliat semua penghuni alam gaib, Len." Raihan berkata dengan suara keras, memastikan aku mendengarnya. "Termasuk juga jin jahat. Jangan sekali-sekali lu komunikasi sama mereka. Bahaya, Lena!"

"Tapi kenapa gue baru bisa liat jin jahatnya sekarang, Han? Kan gue udah bisa ngeliat alam gaib dari sebulan lalu."

"Yang bisa gua prediksi, sih... tadinya mata batin lu ga terbuka sepenuhnya. Tapi semakin lu dapet paparan energi dari makhluk gaib di sekitar lu, ya makin terbuka mata batin lu. Meski jin Qorin dan jin jahat ada di alam yang sama, tapi frekuensi mereka beda. Lu bisa liat Qorin, belom tentu lu bisa liat jin jahat. Tapi kalo lu bisa liat jin jahat, lu udah pasti bisa liat Qorin, Len."

Aku terdiam. Berarti, setelah ini, selama aku hidup aku akan terus bisa melihat makhluk-makhluk menyeramkan itu? Memikirkannya saja membuatku merinding. Aku harus melakukan sesuatu, atau aku akan berakhir gila nantinya!

"Gue... mesti ngapain supaya ga bisa ngeliat mereka lagi, Han?" tanyaku. Ada kepanikan yang terdengar jelas dalam nada bicaraku.

"Gua bisa bawa lu ke guru ngaji gua, tapi ga sekarang. Orangnya baru pulang dari luar kota dua hari lagi."

"Lama banget, gilaaaa! Gue gimana nasibnya?!" pekikku. Baru ditampakkan sebentar saja aku sudah ketakutan hebat, apalagi harus menunggu sampai dua hari?

"Lu mau nginep di rumah gua? Kalo mau—"

Tapi aku memotong perkataan Raihan, "Heh! Gila lo, ya? Ngapain gue nginep di rumah lo?! Buat lo macem-macemin, mentang-mentang gue lagi ketakutan?!"

"Di rumah gua rame, ancrit! Ada Baba sama Emak gua, sodara gua bejibun! Sekalipun gua punya niat jelek, kaga bakal bisa gua lakuin karena rame! Suudzon aja lu sama gua." Raihan, dengan nada yang sama emosinya denganku, kembali bicara setelah sedikit jeda. "Rumah gua udah biasa diinepin orang yang punya masalah kayak elu. Jadi jangan mikir yang kaga-kaga, Len. Tersinggung nih gua. Niat mau bantu malah dituduh macem-macem."

Lagi-lagi aku terdiam. Dalam kondisi takut dan panik begini, penilaianku jadi mudah bias. Seharusnya, aku lebih sabar untuk mendengar penjelasannya. "Sori, Han. Gue lagi panik banget, jadi gampang kebawa emosi. Sekali lagi, maaf, ya?"

"Iya, yaudah. Sekarang intinya lu bawa barang-barang yang penting dari kosan lu. Gua tunggu di depan kosan. Bawa baju buat dua hari," balasnya, menutup pembicaraan kami.

Di sisa perjalanan, cuma ada hening di antara kami berdua. Karena Raihan tak lagi mengajakku bicara, aku jadi sering larut dalam lamunan. Tapi tiap kali aku hampir masuk ke fase melamun, Raihan menggeber gas motornya. Aku jadi tersadar dan kembali fokus ke sekitar.

Apa dia masih emosi ke aku, ya, makanya dia geber motornya? Entah.

Begitu sampai di depan rumah kostku, Raihan memarkirkan motornya di tepi jalan. Dia memintaku untuk cepat mengemasi barang, karena sebentar lagi sudah waktu Maghrib. Aku yang masih ketakutan, malah meminta dia menemaniku masuk ke kamar, tapi dia bersikeras mau menunggu di luar. "Nanti gua disangka mau ngapa-ngapainin lu lagi, kayak tadi," begitu alasannya.

"Yah, Han... kan tadi gue lagi panik. Please, lah, beneran kali ini gue ga mikir gitu, kok."

"Kaga, Len. Gua nunggu aja. Lu bawa HP, kan?" Aku mengangguk, "Nah, nanti kalo ada apa-apa tar gua samperin. Lu hubungin gua aja."

"Yaudah. Kamar gue nomor sembilan, ya." Lalu aku balik badan dan mendorong pagar.

Sebelum aku masuk ke rumah kostku, langkahku terhenti. Aku berbalik badan lagi. "Raihan, kok tadi lo bisa tau kalo gue ada di kantin? Lo nyamper gue buat apa?" tanyaku, tiba-tiba.

"Tempo hari, gua ga sengaja nguping obrolan lu sama cewek-cewek geng fansnya Risa Sarasvati. Obrolan mereka mah ga jauh-jauh dari yang mistis, makanya gua jadi nguping beneran. Yang gua denger, lu lagi nanya-nanya soal arwah gentayangan—"

"—Sebentar, Han! Kok gue jadi deja vu? Tadi... makhluk yang nakutin gue di kantin juga gitu alesannya...."

"Ya makanya, pas lu lagi nanya-nanya, gua liat ada jin yang ikut nyimak obrolan lu di kelas. Gua pikir lu ga bisa liat yang begituan, makanya gua santai aja. Pas tadi si Fikri ngasih tau sambil ketawa-tawa, kalo dia mergokin lu lagi ngobrol sendirian di kantin. Ya gua langsung ngebut nyusulin lu, mana belom bayar kopi lagi guanya. Gua takut lu beneran diincer itu jin jahat, Len."

"Oh, gitu. Makasih ya udah peduli sama gue," aku pun tersenyum padanya, "Tapi gue udah punya pacar, Han. Jadi kalo lo suka gue, ya maaf... guenya ga bisa nerima."

"Dih? Gua kaga suka lu, anak setaaaan!"

Omelan Raihan jadi pecut bagiku untuk melangkah cepat, kabur darinya. Di momen panik, tegang, dan takut ini aku masih bersyukur karena berkat Raihan, aku jadi bisa sedikit tertawa.

Saat tiba di dalam rumah, aku kembali bersyukur karena ternyata banyak teman kostku yang sudah pulang. Beberapa dari mereka sedang santai di ruang tamu, sisanya berpapasan denganku di koridor menuju kamarku. Setelah buka pintu, aku buru-buru mengambil koper dari sudut kamar, lalu membuka lemari.

Tapi aku langsung terpaku. Ada sosok aneh di lemariku. Berambut panjang nan kusut, juga wajah yang tertutup rambut. Makhluk ini memakai kain panjang berwarna putih lusuh, agak merah kecoklatan, seperti... warna darah yang mengering. Sosok itu berdiri membungkuk. Tangan-tangan pucat berkuku panjangnya merentang ke depan. Berusaha meraihku.

Tentu saja, aku langsung mundur. Teriak. Aku harus teriak. Tapi kenapa suaraku tidak bisa keluar, padahal mulutku membuka lebar? Kenapa sekarang tubuhku jadi kaku? Kenapa aku jadi tak bisa bergerak?

DAN KENAPA AKU BISA MERASAKAN ADA YANG BERNAPAS DI TENGKUKKU?! LEHERKU KAKU, JADI AKU TIDAK BISA MENENGOK KE BELAKANG... TAPI KENAPA AKU MERASA MEMANG ADA SESUATU DI BELAKANGKU?!

Aku harus kabur! Pergi dari sini! Persetan dengan barang-barang, aku harus keluar kamar! Oh, iya. Raihan. Mana ponselku? Aku harus telepon dia! Ayo, dong, bergerak. Tubuhku... bergerak. Aku mohon. Makhluk di dalam lemariku sudah dekat. Aku tidak mau dia menyentuhku. Aku takut. Aku takut sekali. Raihan, tolong aku. Aku tak bisa bergerak. Aku takut. Raihan. Tolong. Aku takut. Tolong aku. Ke sini. Cepat. Aku mohon.

Oh, iya. Ada Tuhan. Harusnya di saat seperti ini, ada Tuhan yang akan menolongku kalau aku berdo'a pada-Nya, kan? Jadi, aku mohon... tolong aku, Tuhan. Aku mohon. Aku....

"Lena... seumur hidup kamu tidak percaya Tuhan. Memang sekarang sesuatu yang tidak kamu percaya itu... mau menolong kamu?"

Makhluk itu bicara. Dia bicara padaku. Lalu dia tertawa. Nyaring dan menggema hingga ke kepala. Dan kini... tangan-tangannya sudah menyentuh leherku. Aku mau diapakan?

...Heerrkkhh. Sakit...

Aku tidak bisa bernapas. Tolong. Dia sedang mencekikku. Tolong... aku takut. Cekikannya makin... kuat... dan aku....

Ah... pandanganku kembali gelap.






Bersambung ke bagian dua
Nympherotica👻
 
Terakhir diubah:
Sosok Yang Bergentayangan Berasal Dari Jin Qorin Manusia Yang Tertinggal di Dunia Ketika Ia Meninggal. Jin Qorin Mampu Menampakkan Dirinya Dalam Berbagai Bentuk.


Ketika Manusia Meninggal, Jin Qorin Bisa Mengaktifkan Empat Dari Kelima Indera Yang Berpusat Pada Kepala Manusia. Keempat Indera Itu Berasal Dari Dua Lubang Mata, Dua Lubang Hidung, Dua Lubang Telinga, Serta Lubang Mulut. Jin Qorin Ini Berarti Bisa Melihat, Mendengar, Mencium Bau, Juga Bisa Berbicara Tapi Ia Tidak Bisa Mengucapkannya.

"Qorin Adalah Jin Yang Hadir Menyertai Seseorang Dalam Kelahirannya"
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd