Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

Ceritanya bagus bahkan menurut saya ini adalah salah satu cerita terbaik yg pernah saya baca, jauh lebih bagus dari cerita2 yg katanya dibuat oleh "suhu" sepuh hehe
 
BAB 6

"Bagaimana Fahri, apakah kamu benar-benar sudah tak menghargaiku sebagai pamanmu?" Amir masih tak terima dengan keputusan Fahri.

"Paman Amir, Fahri selalu menghormati Paman bukan hanya sebagai Paman, tetapi sebagai pengganti abi. Tapi, Paman, tolong hormati juga keputusan Fahri. Shella bukan gadis yang baik, dia sudah mendua sebelum kami bersama. Bagaimana kalau kami sudah berumah tangga?"

Fahri berusaha menjelaskan dengan sopan, tanpa emosi. Hasan--ayah Shella dan Salma--ibu Shella, hanya menghela napas panjang.
"Om yakin dia pasti berubah kalau kalian sudah menikah. Dan Om juga yakin kamu bisa mendidiknya dengan baik." Hasan masih berusaha membujuk Fahri.

"Tapi, Om, Fahri tidak bisa menerima sebuah pengkhianatan. Kalau memang kesalahan lain seperti pergi ke klub malam bersama teman-temannya, pergi shopping dan main ke rumah temannya sampai tengah malam, okelah Fahri memaafkan meskipun Fahri tidak suka. Tapi ini, Shella sudah berani berhubungan dengan pria lain, bahkan terang-terangan pacaran di depan umum. Maaf, Paman, Om, Fahri tidak bisa menerimanya." Fahri menolak dengan tegas.

"Fahri, Tante masih berharap kamu bisa menerima Shella. Tante ingin memiliki menantu yang shalih seperti kamu. Tante tahu, Shella sebenarnya gadis yang baik. Dia seperti itu hanya ingin mencari perhatianmu saja."

Salma sangat menyayangi Fahri, seperti putranya sendiri. Apalagi Hasan dan Salma tidak memiliki anak laki-laki. Hasan dan Amir sudah bersahabat semenjak Fahri dan Shella masih balita. Oleh karena itu, mereka sepakat menjodohkan Fahri dan Shella agar bisa menjadi satu keluarga.

"Sekali lagi, Fahri mohon maaf. Fahri tidak bisa meneruskan rencana pernikahan ini." Fahri kembali meyakinkan mereka dengan keputusannya.

"Aini, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak bisa menasihati putramu dengan baik?" Suara Amir terdengar menggelegar mengejutkan Aini yang sedang memandang iba putranya.

"Paman, jangan salahkan ummi! Ummi sudah mendidik Fahri dengan sangat baik. Kalau masalah jodoh, Ummi menyerahkan semuanya pada Fahri karena Fahri yang menjalaninya. Jadi tolong, jangan bawa Ummi dalam masalah ini!" teriak Fahri tak terima. Dia tak suka sikap Amir yang kasar pada Aini.

"Sombong sekali kamu, mentang-mentang sekarang sudah sukses, kamu berani sama Pamanmu!" Amir tak terima dengan teguran Fahri.

"Terserah tanggapan Paman seperti apa pada kami. Selama ini Fahri dan Ummi selalu menuruti apa pun perintah Paman. Tapi kali ini, maaf, Fahri tidak bisa memenuhi permintaan Paman. Sekali lagi maafkan Fahri, Om, Tante. Semua pembatalan untuk acara pernikahan sudah Fahri selesaikan semuanya. Kalian jangan khawatir." Amir berdecak kesal mendengar ucapan Fahri. Hasan dan Salma saling berpandangan. Akhirnya mereka sama-sama menganggukkan kepala.

"Baiklah, maafkan Shella, Fahri," ucap Hasan. Dia terpaksa menyerah karena semua ini kesalahan putrinya.

"Tidak apa-apa, Om. Fahri tidak sakit hati karena terus terang saja Fahri juga belum ada rasa sama sekali pada Shella. Selama ini Fahri hanya menganggap Shella sebagai seorang adik. Fahri menerima perjodohan ini karena menghormati Paman, Om dan Tante. Tapi ternyata Allah tidak berkehendak dengan pernikahan kami. Sekali lagi, Fahri mohon maaf." Inilah yang dikagumi Hasan dan Salma, sikap dan ucapan Fahri yang selalu sopan. Fahri pemuda yang shalih dan pekerja keras. Dia sangat menghargai wanita. Fahri juga menjunjung tinggi agama dan tata krama.

"Saran Fahri, sebaiknya Om dan Tante cepat-cepat menikahkan Shella dengan kekasihnya yang bernama Bagas itu, sebelum hubungan mereka terlanjur jauh dan sesuatu terjadi pada mereka. Maaf, tolong jangan tersinggung dengan ucapan Fahri, bukannya Fahri ikut campur urusan keluarga ini. Fahri sayang sama Om dan Tante." Hasan dan Salma mengangguk mengerti.

"Terima kasih, Fahri. Kami akan memikirkannya," balas Hasan.

Hasan sangat paham apa yang dimaksud Fahri. Sebagai pengusaha yang kaya raya, dia juga memiliki mata-mata khusus untuk menjaga Shella. Namun, Shella ternyata lebih nakal dari dugaannya. Dia juga menyadari semua ini kesalahannya, karena sudah memanjakan putri tunggalnya itu.

"Kalau begitu, kami pamit. Ayo, Ummi, kita pulang." Fahri beranjak dari duduknya dan mendekati Aini. Wanita itu hanya diam dan mengangguk pasrah. Sorot mata tajam Amir, membuat Aini tak berkutik. Terpaksa Aini memilih bungkam.

Setelah berpamitan, Fahri dan Aini berjalan meninggalkan ruangan itu menuju kendaraan mereka yang terparkir di halaman. Amir mengikuti mereka dari belakang. Sebelum masuk ke dalam mobil, Amir mencekal tangan lengan Aini dengan kencang.

"Kamu jangan tenang dulu, saya tidak akan membiarkan kalian bebas begitu saja karena sudah merusak rencana saya! Ingat itu!" ancam Amir dengan tatapan tajam ke arah wanita itu.

Aini duduk dengan kepala yang disandarkan. Dia hanya diam dengan kedua mata terpejam. Ancaman Amir mengganggu pikirannya. Amir adalah sosok yang kejam bagi Aini. Hanya saja, Aini tidak pernah bercerita apa pun pada Fahri. Dia selalu menutupi keburukan Amir di hadapan putranya.

Fahri melihat perubahan wajah Aini yang tiba-tiba pucat pasi. "Ummi, apa yang Ummi pikirkan? Ummi sakit?" tanya Fahri cemas.

"Ummi tidak apa-apa. Ummi berharap, semoga semuanya baik-baik saja. Ummi hanya takut sesuatu terjadi sama kamu."

Aini memandang putranya dengan tatapan mata yang sendu. Fahri tersenyum dan menggenggam tangan Aini dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengendalikan kemudi. Dikecupnya jemari tangan Aini dengan lembut.

"Kita mohon perlindungan dari Allah. Dengan do'a Ummi, insyaa Allah Fahri pasti baik-baik saja." Fahri meyakinkan Aini.

"Kamu benar, Nak. Kita hanya bisa memohon perlindungan pada Allah," sahut Aini.

"Yang penting Ummi sekarang harus tenang. Urusan kita dengan keluarga Om Hasan sudah selesai. Fahri yakin, setelah ini Om Hasan pasti akan menikahkan Shella dengan Bagas. Jadi, insyaa Allah Fahri bisa melanjutkan ta'aruf dengan Fania. Bagaimana, Ummi pasti senang, kan?"

Wajah Fahri memancarkan kebahagiaan, tetapi tidak dengan Aini. Seandainya Amir tidak mengancamnya, mungkin perasaan Aini sama bahagianya dengan Fahri. Aini menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengambil keputusan yang terasa berat baginya.

"Fahri, untuk sementara kita jangan mendekati Fania dulu. Ummi takut jika tahu kita berhubungan dengan Fania, pamanmu akan menyakiti gadis itu."
*******

Fahri hanya diam meskipun dalam hati tak terima. Dia melajukan kendaraannya dengan tenang. Pikirannya teringat pada Azam yang juga sedang berusaha mendapatkan hati Fania. Apakah dia harus menuruti keputusan ibunya? Sementara dia yakin, di luar sana pasti banyak Fauzan-fauzan lain yang sedang mendekati gadis bercadar itu. Setelah sampai di rumah, Fahri langsung masuk ke dalam kamar. Dia melepas pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi, mendinginkan badan serta pikiran. Tak lupa berwudhu karena suara adzan maghrib sudah berkumandang, Setelah pulang dari masjid, Fahri duduk di samping Aini yang sedang melamun di dikamarnya. Fahri menggenggam erat jemari tangan ibunya itu dengan penuh kasih sayang. Kebiasaan Fahri sejak dulu, jika ingin menenangkan hati ibunya atau ingin membicarakan sesuatu. Aini tersenyum lalu mengusap kepala putranya dengan lembut.

"Ummi, Fahri ingin bertanya sesuatu, tolong jawab dengan jujur." Fahri duduk menghadap Aini.

"Ada apa, Fahri?" Perasaan Aini tiba-tiba gelisah melihat pandangan mata putranya.

"Kenapa Ummi takut sekali dengan Paman Amir? Tolong jujur sama Fahri, Ummi. Fahri bukanlah anak kecil. Insyaa Allah Fahri bisa melindungi Ummi." Aini bingung mendengar pertanyaan putranya. Dia belum siap menceritakan semuanya.

"Fahri, Ummi takut kamu nanti marah. Ummi takut kamu nggak bisa mengendalikan emosi." Aini berusaha menolak memberi jawaban.

"Insyaa Allah Fahri tidak begitu, Ummi. Fahri berjanji akan diam dan tidak akan marah. Fahri hanya ingin tahu, kenapa Ummi sangat takut dengan Paman Amir. Ini pasti bukan hanya masalah hutang budi. Fahri yakin pasti ada yang Ummi sembunyikan." Fahri meyakinkan Aini agar mau bercerita.

"Kenapa kamu begitu yakin kalau ini bukan hanya tentang balas budi?" tanya Aini.

"Karena Fahri tahu Ummi bukanlah wanita penakut. Tapi ... Fahri memperhatikan setiap Ummi melihat Paman Amir, Ummi seperti gelisah dan ketakutan. Bahkan Ummi tak pernah memandang wajah Paman Amir. Dan sekarang, apakah Fahri harus menuruti permintaan Ummi untuk menunda ta'aruf dengan Fania hanya karena Ummi takut dengan Paman Amir? Apakah Paman Amir sejahat itu?"

Fahri memberondong pertanyaan yang membuat Aini bingung mencari jawaban. Aini menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tak menduga putranya merasa keberatan dengan keputusannya dan bertanya tentang Amir.

"Fahri, pamanmu tak sebaik yang kamu kira. Pamanmu memang telah membantu kita selama ini, tapi terus terang saja, pamanmu juga mengharapkan imbalan dari semua yang telah dilakukan pada kita."

"Imbalan apa, Ummi?" tanya Fahri penasaran.

"Kamu tahu tujuan Paman Amir menikahkanmu dengan Shella?"

"Mungkin karena paman sudah bersahabat dengan Om Hasan sejak lama. Hal seperti bukankah wajar dalam keluarga besar keturunan bangsa kita?"

Fahri sudah terbiasa mendengar teman-temannya yang sama-sama berdarah Arab, dijodohkan oleh orang tuanya. Bahkan sebagian dari mereka dijodohkan dengan sepupunya. Fahri sangat bersyukur cara berpikir Aini berbeda.

Aini tidak pernah memaksa dan membebaskan Fahri memilih pasangan hidupnya. Justru pamannya yang sering menjodohkan Fahri dengan gadis pilihannya.

"Kamu belum paham dengan sifat asli pamanmu. Fahri, pamanmu itu tipe orang yang tidak akan mau berhubungan tanpa ada keuntungan," jelas Aini.

"Maksud Ummi?" Fahri semakin penasaran.

"Pamanmu ingin kembali membangun kerajaan bisnisnya. Dengan kamu bisa menjadi menantu di keluarga Hasan, pamanmu lebih mudah masuk ke dalam akses Perusahaan Hasan. Pamanmu sangat berharap padamu apalagi saat ini perusahaan pamanmu sedang di ambang kebangkrutan. Dan kita sudah mengacaukan semuanya." Fahri menggelengkan kepala tak percaya.

"Fahri tidak sampai berpikiran seperti itu. Ummi tahu dari mana kalau Perusahaan paman bangkrut?"

"Tanpa sengaja, Ummi pernah mendengar pamanmu sedang bicara masalah hutang-hutangnya dengan pengacaranya di salah satu rumah makan. Mereka berbicara serius di salah satu sudut ruangan tapi karena Ummi merasa curiga, Ummi nekat menguping pembicaraan mereka. Waktu itu Ummi sedang ada undangan makan siang dengan teman," jawab Aini terus terang.

"Hemmm... terus kenapa Ummi selalu takut pada Paman Amir kalau Ummi punya kartu rahasia paman?" Fahri bingung dengan ketakutan Aini yang menurutnya berlebihan.

"Fahri, Ummi ingin jujur padamu. Setelah abimu meninggal dunia, pamanmu pernah melamar Ummi untuk dijadikan istrinya." Jawaban Aini sangat mengejutkan Fahri.

"Benarkah? Bukankah paman sudah punya istri?" tanya Fahri tak percaya.

"Pamanmu ingin menjadikan Ummi istri kedua." Fahri semakin terkejut mendengarnya.

"Astaghfirullah ...."

"Ummi nggak mau, Ummi menolak tapi Paman sempat memaksa dan sempat melecehkan Ummi. Makanya Ummi takut sama pamanmu. Ummi akhirnya berusaha membuat usaha sendiri. Ummi tidak mau bergantung sama pamanmu, tapi pamanmu marah. Usaha Ummi dihancurkan. Ummi bingung, Ummi pasrah, dan akhirnya Ummi berusaha mendirikan usaha Ummi lagi diam-diam. Alhamdulillah bisa mencukupi kebutuhan kita. Apalagi kamu bisa membuatnya berkembang seperti sekarang."

Aini menghela napas berat sebelum melanjutkan cerita. Fahri menggenggam jemari tangan Aini dengan lembut, memberi kekuatan pada wanita yang sangat disayanginya itu.


Flashback ummi aini

Amir menyerahkan map plastik yang berisi dokumen yang cukup tebal. Aini membuka dokumen tersebut, membacanya dengan seksama. Raut wajah Aini terlihat tegang, keningnya berkerut, dan keringat sebesar jagung mulai membasahi dahinya.

"Tidak mungkin, apa maksud semua ini." Cecar Aini.

Amir mencodongkan tubuhnya ke depan, menatap tajam Aini. "Seperti yang kamu lihat, Suamimu telah menggelapkan uang perusahaan." Amir memberi jeda sesaat. "Hasil dari penyelidikan kami, uang tersebut di gunakan untuk membangun rumah yang kamu tinggali ini dan beberapa asset lain." Jelas Amir.

"Gak mungkin, ini pasti ada kesalahan. Suamiku adalah orang baik dan jujur, ini tidak mungkin."

"Namanya juga manusia, kalau sudah di kasih jabatan pasti lupa diri." Ujar Amir seraya menatap tajam kearahnya.

Aini tidak bisa membayangkan kalau sampai semua asset peninggalan suaminya disita kemana dia dan anaknya fahri yang masih kecil harus pergi.

"Tolong jangan sita rumah ini amir! Saya tak tau harus kemana." Melas Aini.

Amir kembali tersenyum. "Itulah mengapa sebagai saudara iparmu saya ada di sini aini. Saya bermaksud ingin membantumu. Hanya saja ada syaratnya." Jelasnya, membuat perasaan Aini menjadi tidak tenang, ia merasa kalau Amir punya niat busuk.

"Apa syaratnya?"

"Mungkin Mira istriku bisa bantu saya menjelaskannya." Ujar Amir.

Aini menoleh ke saudara iparnya yang duduk di sampingnya. Tampak Mira kini menghela napas. Sekitar lima menit mereka berdiam diri, menunggu Mira mengatakan sesuatu.

"Mbak... mas Amir bersedia tutup mata soal masalah ini, asalkan... Asalkan..." Mira terlihat ragu untuk mengatakannya.

"Asalkan apa?"

"Asalkan mbak mau jadi istri kedua mas amir atau mbak mau menemani mas Amir tidur!" Mira kembali memeluk erat saudaranya.

Mulut Aini menganga tak percaya, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetar. Tidak mungkin, ini semua pasti bohong, bagaimana mungkin dia menjadi istri kedua saudara iparnya itu. Apapun alasannya, dia tidak mau menjadi istri kedua amir. Tapi pilihan kedua aku harus berzina dengannya.

"Ya Allah..." Aini menggigit bibirnya, menahan emosi yang bergejolak di dadanya.

"Jadi bagaimana aini?" Tanya Amir. "Apa kamu bersedia menerima syarat dari saya?" Sambung Amir dengan tatapan tajam.

Aini terdiam, ia terlihat gelisah. Dari raut wajahnya ia terlihat tegang, beberapa kali ia mengusap wajahnya, menggigit bibirnya dengan tatapan sayu. Haruskah dia melakukannya? Tetapi jika ia menolak hidupnya dan anaknya menjadi taruhannya.

Setelah melalui lautan gejolak batinnya, Aini mengangguk lemah. "Baiklah, kamu menang, aku pilih syarat yang kedua." Lirih Aini, ia merasa tidak ada pilihan lain.

"Bagus kita buktikan kesungguhan mu. kamu pasti tau sekarang harus pergi kemana?" Perintah Amir seraya tersenyum.

Dengan langkah gontai Aini berjalan melewati mereka berdua, menuju kamar tidurnya. Sekilas Mira membalas senyuman Amir yang kemudian mengikuti langkah Aini. Istri dari kakak kandungnya sendiri. Amir meraih kursi yang berada di dekat meja rias, ia duduk santai sembari memandangi Aini yang tampak kebingungan.

"Apa kita bisa mulai sekarang." Ujar Aini tak sabar.

Amir terkekeh pelan. "Sabar aini, sudah kebelet ya." Ledek Amir, membuat hati Aini bergetar menahan amarah.

"Yang sopan amir! Aku ini masih kakak iparmu." Ancam Aini.

Amir meringis jengkel mendengar ancaman istri dari saudaranya itu. Tetapi ia berusaha bersikap tenang di hadapan mangsanya. Tiba-tiba Mira ikut masuk ke dalam kamar sembari membawa kamera di tangannya.

"Mira?" Aini tampak kebingungan.

Mira mendesah pelan. "Maaf Mbak, kata mas Amir ia butuh dokumentasi." Jelas Mira takut, kehadiran Mira membuat Aini tidak bisa menerimanya. Ia merasa harga dirinya di lecehkan oleh Amir.

"Tidak perlu banyak basa basi, kita bisa mulai sekarang. Hmmm..." Amir mengetuk dagunya. "Mungkin kita bisa mulai dengan melepas pakaianmu." Ujar Amir, dari kilatan matanya terlihat sekali kalau ia sudah tidak sabar.

"Tidak dengan kamera amir." Kesal Aini.

Amir berdiri, ia menatap marah kearah Aini. Dan tanpa banyak bicara Amir melangkah hendak keluar kamar, tapi di cegah oleh Mira.
"Mbak... Saya mohon! Anggap saja saya tidak ada." Melas Mira.

Aini mendengus kesal. "Ayo kita lakukan sekarang Amir! Saya ingin semuanya cepat selesai." Geram Aini.

Amir kembali duduk di kursinya, ia menyandarkan punggungnya sembari menatap Hj Aini yang berdiri di depannya. "Buka pakaianmu!" Suruh Amir lagi.

Aini sempat melihat kearah Mira yang sedang mengarahkan kameranya kearah dirinya.

"Ya Allah apakah hambamu harus benar-benar melakukan ini semua?" Jerit hati Aini. Rasanya ia tidak Ridho kalau tubuhnya harus di lihat oleh pria lain selain Suaminya.

Tangan Aini bergetar hebat saat dia melepaskan resleting gamisnya, membiarkan pakaian kebesaran miliknya jatuh kelantai. Pandangan mata Amir tidak lepas dari payudara Aini yang masih tertutup tanktop berwarna hitam, ia menunggu dengan penuh harap untuk menyaksikan payudara Aini dalam kondisi tidak tertutup sehelai benang pun. Aini ingin berhenti, tapi ia sadar kalau semuanya sudah terlambat, perlahan ia melepas tanktop yang ia kenakan. Bh dan isinya yang putih mulus dan montok menjadi perhatian utama Amir.
Walaupun Aini sudah melahirkan 11 tahun yang lalu tetapi ia masih memiliki payudaranya yang terbilang masih kencang. Aini meraih kancing BH di belakang punggungnya dan melepaskannya. Saat BH itu menggantung di atas payudaranya, air mata Aini sudah tidak terbendung ketika ia melepas BH miliknya, hingga putingnya terlihat oleh Amir. Ia merasa sangat berdosa karena membiarkan auratnya menjadi santapan pria lain.

"Lanjutkan." Suruh Amir tak sabar.

Mira menjulurkan tangannya, dengan ragu-ragu Aini memberikan BHnya ke Mira.

Dengan cepat ia menyilangkan satu tangannya diatas dadanya, berusaha menyembunyikan payudaranya yang berukuran 36F. Kedua jemari Aini menarik kedua sisi celana leging yang di kenakannya secara bergantian, perlahan ia menarik turun celana leging miliknya. Amir memperhatikan celana dalam yang di pakai Aini. Celana dalam hitam yang terlihat kontras dengan kulit Aini yang putih mulus. Saat hendak melepas celana dalamnya, lagi-lagi Aini tampak ragu, hingga membuat Amir tidak sabar. Ia membuka tasnya dan melambaikan amplop coklat kearah Aini. Aini tau betul apa yang di inginkan Amir, ia mengumpulkan segenap keberaniannya, dengan satu tarikan nafas ia menarik celana dalamnya dan langsung menutup selangkangannya kembali. Ia berusaha menyembunyikan tubuh telanjangnya dengan menyilangkan kedua tangannya. Amir sangat menikmati ekspresi wajah Aini yang tampak tidak nyaman. Sudah jelas bagi Amir bagaimana malunya Istri saudaranya saat ini, Amir sangat yakin kalau dirinya adalah pria kedua yang beruntung bisa melihat Aini telanjang.

"Letakan tanganmu ke samping." Suruh Amir.

Aini tahu inilah saatnya. Saat-saat penentuan. Apakah dia akan menunjukkan tubuh telanjangnya pada laki-laki di hadapannya ini? Setelah mempertimbangkan resiko tidak melakukannya, Aini menarik napas panjang dan menyerah. Berdiri tegap dan bergetar hebat, Aini akhirnya mempersembahkan keindahan tubuh telanjangnya yang luar biasa mempesona pada pria selain suaminya. Aini sangat membenci tatapan mesum Amir pada dirinya, tapi ia tak berdaya. Terlihat dari raut wajah Amir, ia tampak mengagumi kesempurnaan tubuh Aini. Di usianya yang masih 30 tahun, Aini memiliki sepasang payudara yang indah berukuran jumbo dengan putting yang cukup besar menghiasi payudaranya. Perutnya yang langsing dan memeknya yang di tumbuhi rambut lebat, sama sekali tidak mengurangi keindahan tubuh Aini.

Sementara itu Mira dengan keahlian ala kadarnya mengezoom muka Aini yang tampak gelisah, lalu turun merekam sepasang payudara Aini yang berukuran 36F dengan puting berwarna kecoklatan yang cukup besar. Kamera ia arahkan kebawah, menuju selangkangan Aini yang tampak rimbun, hingga menambah keseksian tubuh Aini. Sebagai seorang wanita, Mira tampak iri melihat kesempurnaan tubuh Istri dari Kakak Iparnya itu. Walaupun usianya sudah 30 tahun, tetapi Aini masih memiliki tubuh yang sempurna seperti wanita berusia 20an.

"Berbaliklah dengan perlahan." Suruh Amir.

Aini menurut, ia berputar dan berhenti ketika pantatnya berada di hadapan Amir. Di usianya yang masih terbilang muda, pantat Aini terbilang masih sangat kencang dan merangsang.

"Membungkuk dan buka kedua kakimu. Lalu lihatlah kemari melalui sela-sela kakimu." Suruh Amir.

Aini menahan nafas ketika ia melihat Amir dari sela-sela kedua kakinya. Tampak celana panjang hitam dan dalaman Amir sudah ia lepas, dan kontolnya yang tegang berdiri kokoh seakan tengah menodongnya. Tidak hanya keras, kontol Amir juga berurat dan besar melebihi milik Suaminya. Bulu-bulu halus di tubuhnya tampak merinding membayangkan kontol Amir yang akan mengaduk-aduk liang kewanitaannya. Kemudian Mira berjongkok di depan pantat Aini, kedua jarinya membuka cela-cela pipi pantat Kakak Iparnya sembari merekam lobang pantat Aini yang terlihat berkedut-kedut, mekar seperti bunga mawar. Mira tersenyum diam-diam. Aini menjadi panik, ia malu salah satu lobang intimnya di lihat dengan jarak yang begitu dekat.

"Mira... Jangan di rekam!" Mohon Aini.

Tetapi Mira tidak memperdulikannya, ia merekam dari jarak yang sangat dekat. "Masih perawan mas." Ujar Mira mengkonfirmasi status pantat Aini kepada Amir yang tersenyum kegirangan.

"Kemarilah, dan berdiri di sampingku." Suruh Amir.

Aini melangkah perlahan mendekati Amir dan berdiri di sampingnya. Ia sempat menghindar ketika Amir mengelus pahanya, tetapi pada akhirnya ia berdiri diam dan membiarkan Amir membelai paha mulusnya, naik turun hingga berhenti di kemaluannya. Mira mendekatkan kamera kearah selangkangan Aini yang tengah di jamah oleh suaminya itu. Perlahan kamera Mira dapat menangkap cairan bening yang keluar dari celah-celah bibir kamaluan Aini.

"Ya Tuhan..." Jerit Aini, ketika ia merasakan jari manis Amir masuk ke dalam memeknya.

Mira memfokuskan kameranya merekam kedua jari Amir yang berada di dalam memek Kakak Iparnya. Tampak jari itu bergerak maju-mundur, menusuk lembut memek Aini. Sesekali jemari itu berputar, mengorek-ngorek kemaluannya Aini. Jemarinya yang tadi kering kini terlihat basah, di selimuti oleh lendir kewanitaan Aini. Sebagai seorang wanita Mira sangat memahami yang di rasakan Kakak Iparnya.

"Sudah basah ya aini sayang?" Tanya Amir.

"Sssstttt.... Eeehkk...." Lenguh Aini, ia berusaha menutupi kegelisahannya saat ini.

Aini tidak tau berapa lama lagi ia bisa menahan rasa malunya. Sebagai Istri soleha, ia sangat malu terhadap dirinya sendiri. Bagaimana mungkin jemari tua itu bisa membuatnya basah. Dan parahnya lagi, Mira merekam momen tersebut. Cukup lama Amir mengorek-ngorek kemaluannya, mencolok dan menusuk-nusuk memeknya. Aini akhirnya bisa bernafas lega ketika Amir mencabut jarinya.

"Sini, duduk di pangkuan saya." Suruh Amir.

Aini menggelengkan kepalanya. "Tolong amir, aku tidak bisa, ini bisa menjadi skandal! Saya mohon amir, ini zinah." Aini merengek.

"Masukan kontolku ke memekmu, atau?" Ancam Amir.

Tubuh Aini terasa lemas mendengar ancaman tersebut, Aini mengerti kalau ia tidak punya pilihan, kecuali menuruti apa yang di inginkan Amir. Aini menatap Mira yang di jawab anggukan kecil oleh Mira. Perlahan ia merangkak naik keatas selangkangan Amir. Ia mencoba memasukan kemaluannya Amir tanpa menyentuhnya, tetapi usahanya gagal. Dengan sangat terpaksa Aini menggenggam dan menuntun kontol Amir ke depan bibir kemaluannya. "Maafin hambamu ini ya Allah." Jerit hati Aini.

"Aaahkk... Sssttt..." Desah Aini.

Inci demi inci kontol Amir membelah, menembus bibir kemaluannya. Aini bisa merasakan kontol gemuk itu menjamah dinding rahimnya, terasa keras dan kaku di dalam sana. Aini dan Amir saling bertatapan ketika kontol itu masuk ke dalam rahimnya. Amir tersenyum puas karena bisa menikmati jepitan hangat kemaluan dari seorang Istri soleha, seorang Istri pemimpin pondok pesantren. Ada kebanggaan dari dalam diri Amir bisa tidur dengan seorang wanita sealim Aini. Sementara Mira tampak tertegun melihat kontol suaminya yang menembus memek Kakak Iparnya. Tangan Amir meraih buah dada Aini yang besar, montok dan kencang itu. Ia mengelus, meremas dan memilin puting Aini. Sebisa mungkin Aini untuk tidak terangsang oleh sentuhan Amir, tapi ia gagal, putingnya membesar dan mengeras. Sementara di bawah sana, memek Aini berhasil memandikan kontol Amir dengan lendirnya.

"Oughk... Enak sekali aini! Aaahkk..." Desah Amir.

Kedua tangan Amir menangkup pantatnya, mengangkat lalu menurunkannya, mengangkatnya lagi dan menurunkannya lagi, Amir melakukannya berulang-ulang dengan di ritme perlahan. Sementara bibirnya meraih payudara Aini, ia menjilat dan menghisap puting Istri Soleha tersebut berulang kali secara bergantian kiri dan kanan, membuat Aini mulai kehilangan jati dirinya sebagai seorang wanita soleha. Tanpa sadar perlahan Aini menggerakkan sendiri pantatnya naik turun, menyambut kontol Amir. Amir memanfaatkan momen tersebut dengan menjamah pantat bahenol Istri yang telah ditinggal mati saudaranya itu, jemarinya mengelus, menstimulasi lobang anus Aini.

"Oughk... Ya Tuhan..." Pekik Aini sembari memeluk kepala Amir yang berada di payudaranya.

"Uhhmmm... Sruuuupsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss..." Dengan rakus Amir menghisap payudaranya, seperti balita yang sedang kelaparan.

Rasa nikmat yang menderanya membuat Aini tanpa sadar semakin keras menghentak-hentakkan pantatnya ke bawah, hingga kontol Amir mentok ke dalam rahimnya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Aini menggeleng-gelengkan kepalanya, ia berusaha untuk tidak sampai orgasme. Tetapi usahanya terasa semakin sulit, ketika satu jari Amir tiba-tiba menusuk lobang anusnya.

"Aaaaaaaaasssrrrrrtttttt...." Jerit Aini.

Pantatnya tersentak-sentak, sembari menahan nafas, tampak cairan cintanya meledak, berhamburan keluar seperti air bah yang sudah tidak tertampung lagi. Momen tersebut tidak luput dari tangkapan kamera yang di pegang oleh Mira. Aini merasa seperti terbang ke nirwana, tubuhnya mendadak lemas jatuh ke dalam pelukan Amir. Selama beberapa menit Amir membiarkan Aini mengumpulkan kembali tenaganya yang terkuras habis, lalu dengan perlahan Amir menggendong Aini menuju pembaringan. Ia menindih Aini, sembari menatap mata Aini yang tampak sayu.

"Sudah berapa lama kamu kekeringan?" Tanya Amir.

Mira memalingkan wajahnya, ia merasa sangat malu untuk saat ini. "Cukup amir, saya mohon." Melas Aini, tapi ia hahya diam ketika Amir mengangkat satu kakinya, sembari mengarahkan terpedonya ke depan bibir memeknya.

"Ayo jawab." Paksa Amir.

"Dua... Dua tahun amir!" Jawab Aini di depan kamera Mira.

Rasanya malu sekali ketika ia harus mengakui hubungan ranjangnya di depan kamera, di hadapan Adik iparnya yang sibuk merekam kegiatan mereka. Sejak suaminya meninggal 2 tahun lalu aini tak pernah bersetubuh.

Amir mendorong kembali kontolnya, masuk ke dalam lobang peranakan Aini. "Mulai hari ini, kamu tidak akan pernah kekeringan lagi." Dengan perlahan Amir mendorong, menarik, lalu mendorong lagi dan menarik lagi kontolnya dari dalam memek Aini.

"Aaahkk... Aaahkk... Amiir! Aaahkk... Ya Tuhaaaan... Amiirr... Aaahkk..." Erang Aini keras.

semakin lama Amir semakin cepat menyodok-nyodok memek Aini, membuat tubuh Aini tersentak-sentak hingga kedua payudaranya yang berukuran jumbo berayun-ayun. Tidak butuh waktu lama Aini kembali di buat orgasme. Walaupun tidak sedahsyat sebelumnya, tapi tetap saja menguras tenaganya.

"Nungging sekarang! Ini penutup." Suruh Amir.

Dengan sisa-sisa tenaganya Aini memutar tubuhnya, ia mengangkat pantatnya di depan Amir yang tampak mengagumi bulatan pantat Aini. Jemari Amir membelai dan menampar pelan pantat Aini hingga memerah. Aini yang terlalu lelah hanya pasrah ketika Amir membuka pipi pantatnya, mengelus lobang anusnya yang berkedut-kedut. Amir meludahi kejantanannya, lalu meludahi lobang anus Aini yang masih perawan.

"Amir..." Lirih Aini.

"Sakitnya cuman sebentar, nanti juga kamu akan keenakan." Jawab Amir enteng.

Aini memohon memelas saat merasakan kepala kontol Amir sudah berada di depan pintu anusnya. Sementara Mira dengan siaga merekam momen terpenting hari ini. Tidak mudah memang, tapi Amir terus mencobanya walaupun beberapa kali menemui kegagalan. Hingga akhirnya dengan perlahan kepala kontol Amir mendobrak pintu anus Aini yang masih rapet.

"Ya Tuhaaaaaan.... Sakiiiiiit..." Jerit Aini.

Tangan Amir memegangi pinggul Aini, sembari terus mendorong kontolnya, hingga mentok. Kedua tangan Aini mencengkram erat seprei tempat tidur. Ia melolong sakit, merasakan perih di anusnya. Aini merasa perutnya mules karena di masukan benda asing dengan ukuran yang sangat besar.

"Sssttt... Aaahkk... Sempit sekali." Gumam Amir.

Kedua tangan Amir mencengkeram pantat Aini, menikmati pijitan hangat cincin anus Aini di kemaluannya.

"Cabut Amir... Oughk... Perih... Ya Tuhaaaan... Ammiiir... Aaahkk..." Desah Aini.

"Jangan di lawan! Sssstt.... Aaahkk... Nikmati saja sayang." Bisik Amir.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Perlahan Amir menarik penisnya keluar, membuat Aini tampak mengejan karena rasa sakit itu kembali menyiksa. Ketika penisnya hampir terlepas dari genggaman anus Aini, Amir kembali mendorongnya dengan perlahan. Awalnya ia melakukan gerakan tersebut dengan tempo pelan, tapi lama kelamaan ia mulai meningkatkan tempo sodokannya.

"Eeeeeeengkkkkk......" Erang Aini.

“SPlooookss...SPlooookss...SPlooookss...SPlooookss...SPlooookss...SPlooookss....”

"Oohk... Enak sekali Aini! Pantat mu enaaak... Aaaahkk... Sssstt...." Ujar Amir yang semakin menggila menyodok-nyodok lobang anus Aini.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaaak...

Layaknya seorang joki, Amir menunggangi Aini sembari menampar pantat Aini.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..." Desah Aini.

Rasa sakit yang sempat ia rasakan perlahan memudar dan di gantikan dengan rasa nikmat yang sulit ia gambarkan. Aini sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa menikmati perzinahan terlarang ini. Tidak lama kemudian untuk ketiga kalinya Aini di buat tak berdaya.

"Ouuuuuuuughhhkkk....."

Seeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeerrrr....

"Saya sampe Aini." Jerit Amir tiba-tiba.

Ia menekan sedalam mungkin penisnya di dalam anus Aini. Setelah berkedut beberapa kali, sperma Amir meledak di dalam anus Aini.

Croootss... Croootss... Croootss...

"Oughk...." Lenguh Amir.

Amir tersenyum puas, ia mebaringkan tubuhnya ke samping, mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah. Tetapi di balik rasa lelah itu Amir merasa puas karena telah membobol gawang belakang Istri soleha, Istri dari kakak kandungnya. Aini memejamkan matanya, ia masih dapat merasakan hangatnya sperma Amir. Jauh di lubuk hatinya ia merasa bersalah karena telah berzina. Aini merasa malu terhadap dirinya sendiri yang dengan mudanya menikmati pemerkosaan yang ia alami. Beberapa menit kemudian, masih dengan posisi tengkurap, Aini melihat Amir mengenakan kembali pakaiannya. Pria itu tersenyum dengan bangga menatap Aini.

"Terimakasih atas kerjasamanya Aini." Ucap Amir sembari meninggalkannya di dalam kamar.

Mira mendekati Aini, menatap Kakak Iparnya yang tergolek lemas. Ia membantu Aini untuk duduk, perlahan ia memeluk iparnya tersebut, menenangkan Aini yang menangis di dalam pelukannya.

"Maaf Mbak, tapi terimakasih sudah memuaskan mas amir." Ujar Mira.

"Tolong rahasiakan ini dari siapapun."

Mira mengangguk...

Kemudian Mira membantu Kakak Iparnya kembali mengenakan pakaian. Sepintas Aini melihat seprei tempat dirinya di eksekusi, diatas seprei yang sudah tidak lagi berbentuk itu, ia melihat bercak darah dan sperma dari anusnya.
End flashback

"Bahkan sampai bibimu meninggal dunia, pamanmu terkadang masih saja merayu Ummi untuk jadi istrinya. Ummi trauma, Fahri. Makanya Ummi nggak berani melawan pamanmu. Dia selalu mengancam. Bahkan pamanmu masih sering mengirimkan video pelecehannnya pada ummi untuk mengancam ummi" Lagi-lagi Fahri dibuat tak percaya.

Aini kemudian menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tanpa sepengtahuan umminya, Fahri segera mengambil HP yang ada di meja kamar dan membukanya. Fahri membuka pesan whatsaap yang dikirim pamannya ke hp umminya. Dicarinya video ancaman itu dan dibukanya.

Isi video

"Sentuh dengan telapak tangan." Suruh Amir.

Tangan Aini gemetar ketika jemarinya mulai menyentuh kemaluan Amir, hangat dan keras, itu yang di rasakan Aini saat ini, ketika ia menggenggam kemaluan pria yang bukan muhrimnya. Perlahan Aini menggerakkan tangannya naik turun, mengocok perlahan penis Amir.

"Bagaimana rasanya? Kontol ini yang kemarin membobol pantatmu. Hahaha..." Tawa puas Amir yang terdengar menjijikkan di telinga Aini.

"......" Aini menjawabnya dengan tatapan penuh emosi.

Amir menekan kebawah kepala Aini, hingga wajahnya begitu dekat dengan penis Amir yang tengah mengintimidasi dirinya, tetapi Aini sama sekali tidak berani melawan.

"Kulum!" Suruh Amir.

Aini menggelengkan kepalanya, menolak perintah Amir, tapi Amir tidak mau menyerah, ia menjambak dan menekan kepala Aini hingga bibirnya menyentuh kepala penis Amir.

Dengan amat terpaksa, Aini membuka mulutnya, melahap penis Amir sebisanya. "Hueeek... Ohhkk..." Aini hampir muntah merasakan dan mencium aroma penis Amir yang menyengat.

Seakan tidak perduli dengan penderitaan Aini, Amir kembali memaksa Aini untuk mengulum penisnya. Kali ini Aini mencoba menahan rasa mualnya ketika melahap penis Amir. Kepala Aini naik turun mengikuti arahan dari Amir. Di saat Aini merasa tersiksa, Amir malah terlihat sangat menikmati kuluman Aini. Semenit berlalu, Amir sudah tidak lagi mengarahkan Aini, kini Aini bergerak sendiri, kepalanya naik turun, sementara jemari tangannya menggenggam penis Amir, sembari mengocoknya naik turun. Semakin lama Aini terlihat makin terbiasa dengan tugasnya, bahkan untuk orang yang pertama kali melakukan oral sex, Aini tergolong cepat belajar. Aini yang mulai kelelahan, mengistirahatkan sebentar rahangnya mulai terasa pegal, ia menggantinya dengan sapuan lidahnya di kemaluan Amir.

"Enak sekali Aini! Aaahkk..." Desah Amir.

Mendengar hal tersebut membuat Aini merasa malu, tetapi walaupun begitu ia tetap melakukan tugasnya dengan baik. Bahkan Aini tanpa sadar mulai menikmati tugasnya. Lidahnya menari-nari di kepala penis Amir, mengitarinya, hingga mengecup kepala penisnya Amir beberapa kali. Kemudian ia kembali melahap penis Amir, menghisap dan menyedotnya.

"Kekkekkek.... Enak ya Aini."

Mendadak Aini menghentikan perbuatannya. "Astaghfirullah..." Lirih Aini atas apa yang barusan ia lakukan.

Amir menarik lengan Aini, lalu mendudukkannya di sofa. Dengan sangat kasar ia memposisikan Aini duduk mengangkang. Kini giliran dirinya yang menservis Aini. Dengan sangat kasar Amir menarik celana panjang sekaligus celana dalam Aini.

"Aaauuww..." Jerit Aini.

Amir cengengesan sembari menatap nanar kearah bibir kemaluan Aini yang terlihat mekar, berwarna coklat tua yang terlihat sudah sangat basah. Sebisa mungkin Aini menutupinya dengan telapak tangannya, walaupun usahanya sia-sia saja.

"Memekmu indah sekali, saya sudah tidak sabar ingin mencicipinya." Seloroh Amir, membuat Aini menjerit-jerit frustasi.

Tetapi jeritan itu berubah menjadi desahan ketika Amir mencucup dan menjilati kemaluan Aini dengan rakus. Lidahnya menusuk-nusuk, mengorek bagian dalam vagina Aini yang semakin basah, seiring dengan pelumasnya yang keluar semakin banyak. Wajah Aini mendongak keatas dengan mata merem melek, ketika Amir menyedot clitorisnya yang telah membengkak.

"Oughk... Ya Tuhan! Aaaahkk..." Jerit Aini.

"Srruuuuupsss.... Srruuuuupsss... Srruuuuupsss...." Amir menyeruput kuat-kuat clitoris Aini.

Aini menggelengkan kepalanya tak tahan. "Sudah Amir! Ya Allah... Aaahkk... Cukuuuup..." Jerit Aini, memohon agar Amir berhenti merangsang.

"Yakin mau berhenti?" Goda Amir sembari mengusap bibir kemaluan Aini dengan kedua jarinya.

Kedua tangan Aini mengepal erat, sembari mengigit bibir bawahnya ketika kedua jari Amir menerobos liang senggamanya, pinggul Aini sedikit terangkat ketika Amir memutar jemarinya sembari bergerak maju mundur.

"Ouughk... Amir! Aaahkk..." Jerit Aini.

Amir menarik kedua jarinya, lalu memasukkannya kembali tapi kali ini langsung ke tiga jarinya, hingga bibir kemaluan menyeruak lebar, hingga vagina Aini terlihat penuh. Dengan gerakan cepat ia memompa kemaluan Aini, membuat Aini menjerit-jerit gak karuan, kepalanya terbanting kekiri dan kanan.

"Ouggghkk.... Tuhaaaaan.... Aaaahhhkkk..." Erang Aini keras.

Ploooopsss...

Creeettss... Creeettss... Creett....

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Pantat Aini tersentak-sentak, dari bibir kemaluannya menyemburkan cairan bening yang cukup banyak, hingga lantai berbahan marmer yang ada di bawahnya menjadi tergenang. Amir menjilati jari jemarinya di hadapan Aini yang tampak kelelahan.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Amir beralih duduk di samping Aini, ia menarik pundak Aini, bibir tebal Amir melahap rakus bibir Aini, menghisapnya dan mengulumnya. Aini yang lemas hanya pasrah menerima cipokan dadakan dari Amir. Sembari berciuman, telapak tangan Amir bergerilya diatas payudara Aini. Meremas-remas kasar kepayudara Aini dengan gemas. Dengan kasar ia membuka kancing gamis Aini, lalu menurunkannya hingga sebatas pinggangnya. Istri dari saudaranya tersebut hanya pasrah ketika Amir melepas pengait branya, dan menanggalkannya. Dengan lahapnya Amir menghisap payudara berukuran jumbo milik Aini. Ia menghisapnya, dan menjilati putingnya dengan rakus. Aini lagi-lagi hanya bisa menghempaskan kepalanya ke kiri dan kanan sembari menggigit punggung tangannya. Tangan kanannya yang menganggur ia gunakan untuk menggosok-gosok clitoris Aini, membuat wanita yang masih cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi itu menggelinjang tak tahan.

"Sudaaaaah Amir! Ooughkk..." Jeritnya.

Dengan kedua tangannya ia mendorong dada Amir, hingga tubuhnya terjatuh diatas sofa. Segera Amir memanfaatkan momen tersebut menindih tubuh Aini. Tak ingin menyerah begitu saja, Aini mencoba mendorong pinggang Amir, tetapi pria itu dengan muda mengatasinya, ia menarik kedua tangan Aini keatas kepalanya lalu menahannya, sementara tangan kirinya menuntun terpedo miliknya untuk memasuki lerung senggama milik Istri saudaranya itu.

Bleeesss...

"Oughk...." Jerit Aini.

Matanya merem melek merasakan tusukan kasar dan bertenaga dari Amir. Tanpa halangan, Amir menggoyang pantatnya maju mundur, maju mundur dan semakin lama semakin cepat menyodok-nyodok lobang surgawi milik seorang ustadzah, seorang wanita muslimah yang Soleha, seorang Istri yang alim.

"Enak sekali Aini! Aaahkk... Memekmu rasanya menjepit." Racau Amir, sembari meremas payudara Aini yang berukuran 36D dengan kasar.

"Lepaskaaaan... Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Dengan kecepatan penuh Amir melakukan penetrasi di lobang vagina Aini, dan anehnya wanita Soleha tersebut malah semakin membanjir, bahkan desahannya terdengar makin nyaring di telinga Amir, hingga pria paruh baya itu ikut menyunggingkan senyuman. Sadar kalau mangsanya sudah tidak berdaya, Amir melepas pegangan tangannya, sehingga kedua tangannya dengan leluasa memainkan sepasang buah pepaya milik Aini.

"Amiirr... Aaahkk... Sudah Mirr! Sssttt..." Lenguh Aini.

Jemari Amir memilin puting Aini dengan lembut. "Apa yang sudah Aini! Bukannya kamu menikmati kontol saya. Tuh memeknya makin licin." Ledek Amir sembari cengengesan.

"Aaahkk... Tidaaaaak... Aaahkk..." Jerit Aini makin frustasi.

"Akui saja Aini, hahaha..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Tanpa sadar Aini melingkarkan kedua kakinya di pinggul Amir, sehingga genjotan Amir semakin dalam memasuki rahimnya.

"Aaaaahk.... Aaaaahk... Oughhkk..." Aini melolong panjang, sembari menekan pinggul Amir, hingga membuat penis Amir tertancap semakin dalam.

Pantatnya bergetar, seiring dengan datangnya orgasme yang tidak bisa lagi ia hindari. Vagina Aini berkedut-kedut nikmat, seakan memijit batang kemaluan Amir yang masih bersarang di dalam rahimnya. Perlahan orgasme itu mereda, seiring dengan tenaga Aini yang terkuras habis.

Ploooops...

Amir mencabut penisnya, tampak kemaluan Amir berkilauan berkat lendir vagina Aini.

"Ganti gaya Aini." Ujarnya.

Aini menggeleng lemah, tetapi ia tidak berdaya ketika Amir memutar dan menarik pinggulnya hingga menghadap kearah Amir. Sembari memohon, Aini menutupi lobang vaginanya dengan telapak tangannya, berharap Amir tidak bisa lagi menikmatinya.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaaak...

Amir menampar beberapakali pantat Aini, hingga memerah. Kemudian ia mencengkram membuka paksa pipi pantat Aini, hingga terlihat anus Aini yang sudah ia renggut paksa kehormatannya. Aini mendadak panik, ketika merasakan benda tumpul itu di gesekan-gesekan ke lobang anusnya. Ia mencoba mempertahankan diri dengan sisa-sisa tenaganya, tapi apa daya Aini benar-benar sudah kelelahan.

"Cuiih..."

Amir meludahi telapak tangannya, kemudian menggosok-gosokkan nya di batang kemaluannya. Setelah di rasa cukup Amir menekan penisnya masuk, membela, merobek anus Aini untuk ke dua kalinya.

"Oughk..."

Tubuh Aini menegang, nafasnya tertahan dan rasa mules bercampur sesak di bawah sana.

"Sempit sekali Aini! Uuhk..." Lenguh Amir.

Aini mengepal erat kedua tangannya, dengan mata melotot, dan mulut mengangah, ia menjerit kecil. "Sakiiiiit, ngilu Amiirr..." Erang Aini tertahan, seiring inci demi inci senjata Amir memasuki anusnya.

Cengkraman di pantat Aini semakin kencang. "Enak sekali Aini! Hehehe..." Ejeknya, mempermainkan perasaan Hj Aini.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Perlahan tapi pasti penis Amir bersemayam penuh di lobang anusnya. Dengan gerakan perlahan, ia mulai memompa, menggerakkan pantatnya maju mundur, maju mundur, berulang kali, menyodok, menyeruak masuk ke dalam lobang anus sang wanita Soleha, Istri setia dari saudaranya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Oughkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Enak sekali Aini!" Racau Amir.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaaak...

Beberapa kali Amir kembali menampar pantat bahenol Aini, hingga meninggalkan bekas kemerah-merahan di pantatnya. Rasa sakit, perih dan ngilu yang sempat di rasakan Aini, perlahan mulai berkurang dan di gantikan dengan rasa nikmat yang sulit di jelaskan. Sanking nikmatnya, Aini tidak sadar kalau jemarinya kini malah sibuk menggosok-gosok clitorisnya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Tiba-tiba Amir menarik kedua tangan Aini ke belakang, hingga tubuh bagian atas Aini melayang, membuat sepasang payudaranya yang berbentuk pepaya itu menggantung bebas, mental mentul mengikuti gerakan tubuh Aini.

"Ammiir saya sudah tidak kuat lagi..." Jerit Aini.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Akhir video

Setelah melihat video itu dan beberapa video ancaman lainnya, tanpa sepengetahuan umminya fahri mengirimkannya ke nomer HPnya untuk disimpan sebagai bukti ancaman dan pelecehan pamannya terhadap umminya. Ada rasa marah dalam diri fahri namun fahri juga merasa terangsang melihat video itu. Fahri baru sadar ternyata umminya masih cantik dan tubuhnya begitu seksi di usianya yang kepala 4.

"Kenapa Ummi nggak pernah cerita? Hidup Ummi tertekan dan Ummi memendamnya sendiri selama ini. Maafkan Fahri, Ummi. Fahri berjanji akan selalu melindungi Ummi. Tapi tolong biarkan Fahri tetap ta'aruf dengan Fania. Fahri nggak mau keduluan Fauzan dan Fauzan-fauzan lainnya." Aminah tersenyum, tangan kanannya mengusap rambut hitam putranya dengan lembut.

"Fahri, kalau jodoh tidak akan ke mana. Ummi hanya nggak mau sesuatu terjadi pada Fania dan keluarganya kalau sampai pamanmu tahu kamu berhubungan dengan gadis lain. Ummi yakin, pamanmu pasti sedang mencari mangsa baru lagi. Kamu ingat Om Bagas?" Fahri mengernyitkan keningnya mendengar nama yang disebut Aminah.

"Om Bagas yang anaknya mau dijodohkan sama Fahri?" tanya Fahri ragu.

"Iya, Ummi yakin Om Bagas sasaran kedua pamanmu." Fahri semakin bingung dengan jawaban ibunya.

"Bukankah putrinya itu sudah menikah?"

"Beberapa bulan lalu sudah bercerai dan sekarang statusnya sudah janda." Fahri mengangguk mengerti.

"Kalau begitu, Fahri harus cepat-cepat menikahi Fania," tegas Fahri.

"Tidak semudah itu, Fahri. Pamanmu pasti tak akan membiarkanmu menikahi gadis lain. Kalau pamanmu tahu, lalu ada apa-apa dengan Fania, bagaimana?" Fahri berdecak kesal.

"Kenapa paman harus mengorbankan Fahri, Ummi? Kenapa paman tidak mencari istri yang kaya raya saja yang bisa membantu bisnisnya?"

Fahri tak terima dengan kenyataan yang sedang dihadapi. Paman yang selama ini dihormati, tak ubahnya seperti serigala berbulu domba. Semenjak kecil, Amir terlihat sangat sayang padanya.

"Karena kalau punya istri kaya raya, belum tentu warisannya jatuh ke tangan pamanmu. Dan yang pasti, bibimu waktu masih hidup pernah bilang, pamanmu tidak akan mau menikah lagi kalau bukan sama Ummi." Fahri kembali terkejut dengan cerita Aminah.

"Astaghfirullah ... kenapa urusannya jadi panjang begini? Lalu hubungan Fahri dengan Fania selanjutnya bagaimana? " tanya Fahri frustasi.

"Sabar, kita harus tenang dulu. Beri Ummi waktu satu atau dua bulan. Insyaa Allah Ummi do'akan kamu dan Fania berjodoh. Teruslah berdo'a, terutama di sepertiga malam." Fahri mengangguk pasrah.

"Baiklah, Ummi. Demi ketenangan dan kebahagiaan Ummi, Fahri akan menuruti perintah Ummi."

"Terima kasih, Fahri. Kamu anak yang baik. Insyaa Allah Fania akan menjadi jodohmu. Entah kenapa, Ummi sudah sayang sama gadis itu. Apakah kamu juga tertarik dengan Fania? Karena Ummi tidak mau memaksa kalau kamu nggak setuju."

"Tentu saja Fahri tertarik, Ummi. Dia gadis yang sangat baik dan langka." Fahri meyakinkan Aminah.

"Keyakinan Ummi sama denganmu. Ya sudah, kita berdo'a saja untuk sementara. Kalau ada kesempatan, insyaa Allah Ummi akan mampir ke tokonya. Semoga pamanmu tidak mengirimkan orang untuk memata-matai kita," balas Aminah.


"Semoga saja, Ummi. Tapi benar kata Ummi, lebih baik kita cari aman dulu." Aminah mengangguk dan mereka berdua pun tersenyum, saling menguatkan.​
 
Terakhir diubah:
BAB 7

Fania melepas lelah setelah seharian bekerja. Orderan yang masuk hari ini sangat banyak jumlahnya, baik itu orderan set gamis atau pun orderan tas wanita dan juga aksesoris. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Setelah makan bersama, Fania berniat langsung merebahkan badan. Pintu kamarnya terbuka, Laras masuk dan mendekati putrinya.

"Fania, dicari Bu RT." Fania mendesah perlahan kemudian mengangguk.

"Iya, Ummi. Fania ganti baju dulu." Setelah selesai berpakaian, Fania keluar kamar dan menyapa Rahma dengan sopan. Dia duduk di samping umminya.

"Assalamu'alaikum, Tante."

“wa'alaikumussalaam ... maaf, ya, Fania. Tante mengganggu," ucap Rahma sedih.

"Nggak mengganggu, kok. Fania lagi santai. Bagaimana, Tante?" Pertanyaan Fania langsung pada intinya. Fania tak lagi berbasa-basi karena mengerti tujuan Rahma datang ke rumahnya.

"Hemm ... begini, Fania. Ini Tante mau bayar sisa DP seragam. Tapi ... maaf kalau Tante belum bisa kasih semuanya, soalnya ibu-ibu banyak yang belum membayar. " Rahma terlihat gelisah sekaligus bingung.

"Bagaimana, ya, Bu? Kan perjanjiannya waktu itu satu minggu," balas Fania mengingatkan.

"Hemm ... begini, Fania. Kata ibu-ibu, kalau memang dengan uang segini nggak bisa, kami sepakat pesanan gamisnya dibatalkan saja ...."
Menghadapi tetangga seperti di lingkungan Fania memang dilema. Dibantu salah, nggak dibantu lebih salah lagi. Fania tak henti-hentinya mengucapkan istighfar dalam hati, menenangkan perasaannya sendiri.

Wajah Laras terlihat merah menahan amarah. Fania tahu perubahan ekspresi wajah umminya. Dia pun mengusap punggung wanita itu dengan lembut agar tak terpancing emosi. Namun, Laras sudah tak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.

"Hey, Bu RT! Nggak bisa begitu, dong! Sudah dibilang dari awal kalau orderan yang masuk tidak bisa di-cancel! Coba Bu RT jadi Fania, apa yang akan Bu RT lakukan?" teriak Laras tak terima.

"Maaf, Bu, saya bingung. Kalau saya teruskan orderan ini, terus mereka pada nggak bayar, siapa yang bertanggung jawab? Saya nggak mungkin bisa membayar semuanya sendiri. Saya nggak ada uang," balas Rahma dengan ekspresi wajah sedih. "Saya juga maunya sesuai dengan kesepakatan, Bu Laras, tapi ternyata warga kita benar-benar nggak bisa diajak kerja sama. Maafkan Tante, Fania," lanjut Rahma.

"Bukankah waktu itu sudah saya peringatkan kalau jangan pakai uang pribadi Bu RT?" Suara Laras melemah, dia pun duduk kembali. Laras dan Fania iba melihat Rahma yang kebingungan.

"Saya niatnya 'kan bantu, Bu, tapi nggak tahu kalau ternyata seperti ini," balas Rahma dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.
"Bagaimana, Ummi,?" tanya Fania pada umminya.

"Terserah kamu saja, Ummi juga bingung. Ummi yakin kalau kamu yang mengambil keputusan pasti sudah dipikirkan dan diperhitungkan. Beda sama Ummi. Kalau Ummi pasti nggak mau karena Ummi merasa dirugikan. Ummi pusing!" jawab Laras sembari memijit pelipisnya. Fania menarik napas dalam sebelum berbicara. Apa pun keputusan yang akan diambil, sama-sama merugikan baginya.

"Tolong, Fania, Tante tidak tahu lagi harus bagaimana. Sepertinya ada yang mempengaruhi mereka. Padahal mereka sudah sepakat akan membayar setelah gajian. Sekarang sudah tanggal lima, hanya beberapa orang saja yang membayar." Rahma berusaha memberi penjelasan agar Fania mau mengerti.

"Baiklah, Tante. Maaf, terpaksa Fania memilih mengembalikan uangnya saja. Tapi untuk uang DP sebelumnya, Fania baru bisa kasih besok karena Fania nggak ada uang tunai. Kalau Tante mau, uangnya bisa Fania transfer sekarang." Fania akhirnya mengalah.

"Tapi... nggak ada potongan, kan? Semacam denda gitu?" tanya Rahma cemas.

"Nggak, Tante. Meskipun dalam hal ini Fania merasa dirugikan, tapi Fania tidak akan mengambil satu rupiah pun uang Tante," jawab Fania dengan sabar.

"Terima kasih, Fania. Kalau begitu, ditransfer saja uangnya. Biar besok pagi bisa langsung Tante ambil." Rahma pun tersenyum senang.

"Baiklah, Tante. Fania ambil ponsel dulu di kamar."

Fania berjalan ke kamarnya dan mengambil ponsel. Dia kembali duduk dan meminta nomer rekening Rahma. Setelah Fania mentransfer sejumlah uang melalui aplikasi mobile banking, Rahma pun langsung pamit pulang.

Laras berdecak kesal, rasanya ingin memaki orang-orang di sekitarnya. Emosi di hatinya masih belum reda, meskipun Rahma sudah tak ada lagi di hadapannya.

"Ummi rasanya ingin pindah. Ummi nggak kuat lama-lama tinggal di sini ...." Belum selesai Laras meluapkan amarahnya, terdengar suara Bambang memberi salam.

"Assalamu'alaikum ...." Laras dan Fania pun menjawab salam. "Wa'alaikumussalaam ...." Mereka berdua kemudian mencium punggung tangan Bambang secara bergantian.

Bambang melihat wajah istrinya yang cemberut.

"Kenapa, Ummi?" tanya Bambang.

"Nggak ada apa-apa, Pak." Laras tak ingin bercerita saat suaminya baru pulang bekerja.

"Maaf kalau Abi pulang terlambat. Kalau ada apa-apa, terus terang saja sama Abi," ujar Bambang sembari tersenyum.

"Abi mau mandi? Ummi masakin air hangat dulu, ya?" Laras mengalihkan pembicaraan.

"Nggak usah, Ummi. Abi mandi air dingin saja. Badan Abi gerah banget, lengket semua rasanya."

"Ya, sudah kalau begitu. Ummi buatin madu hangat ya, Pak, biar segar badannya."

"Sudahlah, Ummi, Ummi lanjutkan ngobrol sama Fania saja. Abi mandi dulu." Bambang tak mau merepotkan istrinya. Apalagi wanita yang sangat dicintainya itu wajahnya tampak murung.

"Ummi mau siapin baju Abi saja kalau begitu." Laras beranjak dari duduknya dan berjalan ke kamar, begitu juga dengan Bambang yang pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, Bambang duduk menemani Fania yang duduk di ruang keluarga. Laras masih di dalam kamar, menangis karena kesal.

"Ummimu kenapa? Kok kelihatan kesal, sedih, nggak semangat." Bambang bertanya pada Fania yang sedang menatap layar ponselnya.

"Biasa itu, Pak, ibu-ibu di sini,” jawab Fania. Dia pun segera meletakkan ponselnya di atas meja.

"Ada apa lagi?" tanya Bambang penasaran.

"Hemm ... Bu RT baru saja dari sini, bilang kalau pesanan gamisnya dibatalkan."

"Astaghfirullah ... terus ummimu marah?"

"Nggak, ummi hanya kesal. Ya sudah Fania batalkan saja dan uang DP-nya Fania kembalikan."

"Yang sabar ya, insyaa Allah akan ada pembeli yang akan menggantikannya."

"Aamiin ... siap, Pak."

Laras mendengar percakapan suami dan putrinya, hatinya semakin kesal. Dia keluar kamar dan duduk di hadapan mereka dengan wajah yang sudah basah karena air mata.

"Abi sama Fania sama saja. Sabaarrr terus. Ummi nggak bisa, Pak. Ummi lama-lama nggak betah tinggal di sini. Ummi mau pindah!" Bambang beranjak dari duduknya kemudian mendekat dan duduk di samping Laras.

"Ummi, istighfar. Tinggal di manapun sama saja, Ummi. Sifat manusia ya seperti ini, bermacam-macam. Kita harus bisa bersabar dan tidak ambil pusing dengan ucapan mereka." Bambang berusaha menenangkan perasaan istrinya.

"Abi sama Fania sih enak, kalau siang nggak pernah ada di rumah. Kalau Ummi 'kan setiap hari menghadapi mereka. Mereka kadang ngomongin Fania di depan rumah. Apa itu nggak bikin hati Ummi panas? Ummi kesal lama-lama. Apa salah Fania sama mereka? Anak kita juga nggak pernah mengganggu mereka. Mengganggu orang tuanya saja nggak pernah. Ummi nggak terima, Pak!" Laras meluapkan emosi yang ada di hatinya. Dia kembali menangis. Bambang mendekap erat wanita yang sangat dicintainya itu. Sementara Fania diam tak bisa bersuara, hanya air mata yang tak mau berhenti berlinang, membasahi kedua pipinya.

"Silakan mereka kalau mau ngomongin Ummi, nggak apa-apa. Tapi jangan ngomongin Fania. Ummi lama-lama nggak kuat, Ummi ingin pindah biar tenang." Laras berkata di sela-sela tangisnya.

"Ummi, coba jawab pertanyaan Abi. Ummi ingin pindah ke mana?" tanya Bambang hati-hati. Perasaan Laras sedang sensitif.

"Ummi juga nggak tahu, Pak," jawab Laras terus terang.

Laras memang tak tahu dan tak ada rencana ingin pindah ke mana. Dia hanya ingin mengungkapkan semua isi hatinya. Bambang pun membiarkan Laras menumpahkan kekesalannya agar hatinya lega. Setelah tangisnya reda, Laras pun mengurai pelukan. Dia menghela napas Panjang kemudian mengembuskannya perlahan, menenangkan perasaan dan pikirannya.

"Maaf, kalau Ummi bicara aneh-aneh. Ummi lagi kesel saja. Nggak usah dipikirkan omongan Ummi tadi. Maafkan Ummi ya, Fania." Fania mengangguk sembari mengusap air matanya. Dia berjalan mendekat kemudian memeluk umminya.

"Ummi nggak salah, Fania yang harusnya minta maaf. Fania sangat bersyukur punya Ummi. Maaf kalau Fania belum bisa membuat Ummi bahagia."

"Nggak, Nak, Ummi bahagia punya anak seperti kamu. Sekali lagi maafkan Ummi." Laras mengecup kening putrinya dengan lembut.

"Sudah, ayok siapa yang mau menemani Abi makan. Abi lapar." Bambang berusaha mencairkan suasana. Dia tak ingin kedua wanita yang disayanginya larut dalam kesedihan.

"Ayok, kita temani Abi makan, Ummi. Tapi Fania nggak makan, Fania mau ngemil saja sambil minum teh lemon hangat. Apa Ummi dan Abi mau?" Bambang dan Laras mengangguk dan tersenyum.

"Mau, Nduk. Buat tiga sekalian," jawab Bambang.

"Siap, Pak."

Akhirnya Laras dan Fania menemani Bambang makan malam. Mereka duduk bertiga dan berbincang santai, tanpa menyinggung masalah yang membuat Laras emosi. Sesekali ekor mata Fania memandang wajah umminya yang kembali ceria dan abinya yang selalu membuat umminya bahagia. Dia sangat bersyukur Laras selalu membelanya, bukan menyalahkan. Begitu juga dengan Bambang yang selalu mengingatkannya tentang rasa ikhlas dan sabar.

******

Pagi harinya, Fania dan Bambang bersiap untuk berangkat bekerja. Laras mengantar mereka sampai di depan pagar. Namun, sebelum Bambang melajukan kendaraan roda duanya, terdengar suara seseorang memanggil nama Fania.

"Fania, tunggu!!"

Bambang, Fania dan Laras memandang ketiga orang yang sedang berjalan dengan cepat ke arah mereka. Fania mendesah lirih, mengucapkan istighfar, begitu juga Laras dan Bambang. Mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kamu itu lho, Fania, sekali-sekali bantuin tetangga kenapa, sih! Katanya pemilik toko, kenapa nggak diterima saja uang muka kemarin. Kalau gamisnya datang, kita bayarnya nyicil. Pasti kita bayar, kok!" teriak Rani dengan jari telunjuk tertuju pada gadis bercadar itu.

"Iya, betul. Kita pasti bayar. Anggap saja kita beli kredit. Masak kalah sama Bu Wiwin, dia bisa mengkreditkan baju dan kita bayarnya tiga bulan. Lha kamu yang punya toko di tengah kota kenapa nggak bisa?" Sari pun menimpali ucapan Rani.

"Perawan itu jangan pelit-pelit, nanti jodohnya jauh." Mirna--tetangga yang rumahnya di samping Rahma, ikut berbicara.

Belum hilang keterkejutan Fania, sebuah mobil mewah tiba-tiba berhenti di depan mereka. Seorang wanita cantik dan anggun berpakaian syar'i keluar dari mobil dan berjalan ke arah mereka. Dia tersenyum pada Bambang dan juga Fania kemudian mengucap salam.

"Assalamu'alaikum ....

Wa'alaikumussalaam ...."

"Pagi-pagi sudah pada kumpul. Ada acara apa ini?" Wanita itu menyapa mereka dengan ramah.

"Ini lho Ummi. Kita sudah pesan gamis buat acara pengajian akbar di masjid agung dua minggu lagi. Ternyata sama Fania dibatalkan hanya karena uang DP kita kurang. Kita ini 'kan tetangganya, apa nggak ada toleransi?" Rani bersemangat menceritakan keburukan Fania pada wanita itu.

"Memang DP-nya kurang berapa, Fania? Biar Ummi bayar lunas semuanya!"

Bambang mendekat dan mengajak masuk istri, anak, dan juga wanita itu. Terpaksa dia ijin datang terlambat ke kantor. Dia ingin mengurus masalah keluarganya terlebih dahulu. Apalagi dengan kedatangan wanita itu yang menawarkan bantuan jutaan rupiah, pasti mengandung maksud tertentu. Sementara trio kwak-kwak yang sudah mengacaukan suasana pagi putrinya, terpaksa harus pulang. Bambang mengusir mereka dengan sopan, tanpa kemarahan apalagi cacian. Setelah duduk di ruang tamu, Bambang pun memulai percakapan.

"Maaf, Mbak Laila, tolong jangan campuri urusan putri saya."

Wanita itu adalah Laila--ibunya Fauzan. Dia datang ke rumah Fania untuk meminta maaf dan berterima kasih karena Fania sudah mengembalikan gelang permatanya. Selain itu,Laila juga ingin berusaha mendekati Bambang agar mau menjadikan Fauzan menantunya.

"Kenapa Bambang? Apa kamu masih dendam padaku? Bukankah dulu aku sudah meminta maaf padamu? Aku sangat menyesal, Bambang," sahut Laila dengan pandangan matanya yang sendu.

"Bukan masalah itu, Mbak. Saya tidak pernah mengungkit masa lalu, yang saya pikirkan adalah putri saya. Biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Saya juga nggak mau masyarakat sini semakin bersikap kurang ajar padanya dan seenaknya sendiri."

Bambang membalas ucapan Laila dengan tenang. Fania dan Laras hanya diam mendengarkan. Pandangan mata Laras hanya tertuju pada Laila, menahan rasa cemburu.

Bagaimana Laras tidak cemburu? Wajah Laila begitu cantik meskipun usia mereka hampir sama. Kulit putih, hidung mancung, alis tebal, bulu mata panjang dan lentik, payudaranya juga besar membuat Laila terlihat semakin menarik. Gamis dan khimarnya pun dari brand terkenal, penampilan Laila sangat elegan. Siapa pun yang memandangnya, terutama pria, pasti akan tertarik.

"Aku hanya ingin membantu Fania biar nggak rugi. Apa itu salah? Justru jika Fania memberikan pesanan mereka hanya dengan membayar DP yang mereka punya, bukankah mereka akan menghargai Fania?" Laila berusaha membujuk Bambang agar mau menerima bantuannya.

"itu pendapat Mbak, karena Mbak Laila tidak tahu seperti apa sifat mereka. Semakin dibantu, semakin tak tahu diri," jelas Bambang.

"Lalu, kenapa kalian masih tinggal di kampung ini? Apa mau aku carikan tempat tinggal yang lebih baik, jauh dari masyarakat toxic? Aku bisa membantumu."

Laras berdecih lirih mendengar ucapan Laila. Wanita keturunan Arab itu terlihat sangat bersemangat memberi bantuan pada suaminya. Bahkan Laila sama sekali tak memandang ke arahnya. Jangankan memandang, melirik pun tidak.

"Terima kasih sudah mau peduli dengan keluarga saya. Tapi saya masih mampu menghidupi mereka." Bambang terus berusaha menolak tawaran Laila, tetapi wanita itu tak mau menyerah begitu saja.

"Aku bukan bermaksud merendahkanmu, Bambang. Aku hanya ingin membantu kalian. Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga. Bukankah begitu, Fania?" Pertanyaan Laila membuat Fania terkejut.

"Maksud, Ummi?" tanya Fania tak mengerti.

"Fauzan sangat memujamu. Ummi datang ke sini untuk Fauzan," jawab Laila terus terang. Bambang menggelengkan kepala.

"Maaf, Mbak Laila. Saya rasa kami tidak akan mungkin bisa menjadi bagian dari keluarga kalian. Bukankah kakek nenek Anda selalu menentang perjodohan di luar kebangsaan kalian?"

Bambang yang pernah bekerja pada keluarga Laila selama bertahun-tahun, sudah hafal dengan tradisi keluarga Laila. Wanita yang berparas cantik itu pun menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Bambang.

"Aku akan memperjuangkan Fania untuk Fauzan. Aku rela melakukan semuanya untuk putraku satu-satunya. Apapun akan aku lakukan. Kalau hanya membayar sepuluh juta untuk set gamis yang diinginkan ibu-ibu kampung sini, itu bukan sesuatu yang besar. Asalkan Fania bahagia dan bisa menerima Fauzan."

"Jadi bantuan Anda itu ditukar dengan Fania?" tanya Laras dengan geram. Bibir Laras sudah tak tahan lagi ingin ikut bersuara.

"Bukan ... bukan begitu maksudku. Tolong jangan salah paham dulu." Laila memandang Laras dengan tatapan memohon.

"Mbak Laila, saya sangat mengenal keluarga Anda. Silakan rundingkan dulu jika ingin mempersunting putri saya. Jika keluarga besar Anda menerima, datanglah lagi ke rumah ini. Saya akan menerima dengan senang hati. Tapi soal diterima atau tidak, saya menyerahkan sepenuhnya pada Fania." Bambang mencoba mencairkan suasana yang mulai tegang. Istrinya sudah terlihat menahan emosi. Laila merasa lega mendengar ucapan Bambang.

"Tolong, Fania. Jangan menerima lamaran dari orang lain dulu. Fauzan benar-benar menginginkanmu jadi istrinya. Bahkan dia ingin langsung menikah seandainya kamu menerimanya." Laras berdecak kesal tapi Laila tak menghiraukannya. Fania menarik napas dalam sebelum bicara.

"Ummi, kalau jodoh tidak akan ke mana. Meskipun banyak halangan, pasti kami akan bersama. Tapi kalau kami memang bukan jodoh, jalan yang mudah pun tak akan bisa menyatukan kami." Laila mengangguk pasrah.

"Kamu benar. Fania, Ummi minta maaf, ya. Ummi sudah menghinamu dan merendahkanmu. Ummi menyesal, Fania." Laila sangat menyesali ucapannya saatpertama kali datang menemui gadis bercadar itu.

"Iya, Ummi. Fania sudah memaafkan Ummi," balas Fania dengan ramah. Dia tak pernah menyimpan dendam.

"Lalu bagaimana dengan pesanan set gamis itu?" Laila berharap Fania mau menerima bantuannya.

"Maaf, Ummi, Fania berterima kasih Ummi berniat baik membantu. Tapi sekali lagi Fania mohon maaf, seperti yang disampaikan Abi, Fania juga tidak setuju kalua Ummi membayarkan gamis mereka. Sekali lagi, Fania mohon maaf," jawab Fania dengan sopan. Laila mengangguk mengerti.

"Baiklah kalau begitu. Tapi kalau kamu berubah pikiran, tolong hubungi Fauzan." Laila masih tak mau menyerah.

"Insyaa Allah Fania tidak berubah pikiran. Sekali lagi terima kasih tawaran Ummi," tegas Fania.

"Kalau begitu, Ummi pamit dulu. bambang, maaf kalau kedatanganku mengganggu. Bu ... maaf dengan Bu siapa?" tanya Laila pada Laras.

"Laras!" jawab Laras singkat.

"Bu Laras, saya mohon maaf kalau ada kata-kata yang membuat Anda tersinggung." Laila mengulurkan tangan mengajak Laras bersalaman.

"Ya, sama-sama!" balas Laras dengan ketus.

Laila berjalan menuju mobil mewahnya, diantar Fania. Bambang dan Laras hanya memandang mereka dari teras rumah. Laila menyadari, sikap dan cara bicara Fania memang sangat lembut dan sopan. Bahkan Fania mau mengantar dan menunggu, sampai kendaraan roda empatnya melaju meninggalkan rumah. Laila mengendarai mobilnya dengan perlahan. Jalan di kampung Fania tidak lebar dan tidak sempit. Sangat pas untuk dua kendaraan roda empat jika berpapasan. Apalagi di pagi hari seperti ini, banyak ibu-ibu yang berkumpul sambil menyuapi anaknya yang masih balita. Laras berkendara dengan hati-hati dan juga waspada. Tepat di ujung gang, terlihat oleh Laila beberapa orang wanita menghadang jalannya. Kening Laila berkerut memperhatikan mereka melalui kaca mobilnya. Laila terpaksa keluar dari mobil untuk menemui mereka. Siapa lagi kalau bukan Rani, Sari, Mirna, ditambah Mak Ijah. Mereka sengaja menunggu Laila pulang dan menghadangnya.

"Bagaimana, Ummi jadi membayar semua set gamis ibu-ibu kampung sini, kan?" tanya Rani dengan ramah.

"Mohon maaf, Ibu-ibu semuanya. Ternyata jumlahnya cukup banyak jadi saya tidak bisa membantu kalian."

Laila sengaja berbohong. Dia tak mau menjelekkan Fania di depan mereka. Namun, mereka tak percaya begitu saja. Ekspresi wajah mereka langsung berubah kesal.

"Bilang saja Fania menolak bantuan Ummi. Anak perawan kok gitu banget, sih! Pakaiannya saja alim tapi nggak punya perasaan," sahut Mak Ijah kesal.

"Fania tidak menolak, tapi saya yang menolak membantu kalian. Lagi pula, Fania itu calon menantu saya. Jadi saya akan lebih menuruti keinginan Fania." Mendengar ucapan Laila, keempat orang itu tertawa.

"Calon menantu? Apa Ummi nggak menyesal menjadikan Fania menantu? Apa Ummi sudah pernah lihat wajah Fania?" tanya Sari penasaran.

"Hemm ... belum, sih." Laila menjawab dengan jujur.

"Kalau belum, kenapa mau menjadikan Fania menantu? Dia itu wajahnya jelek, kulitnya banyak bekas cacat air. Nggak ada cantik-cantiknya."

Laila terkejut mendengar penjelasan Mak Ijah. Dia berusaha tak terpengaruh dengan ucapan mereka.

"Memangnya ibu-ibu sudah pernah melihat wajah Fania?" Mereka semua menggelengkan kepala, tak bisa menjawab pertanyaan Laila.

"Tapi, kecilnya Fania begitu. Dia kurus, dekil, kulitnya hitam dan banyak bekas cacat airnya. Ummi 'kan cantik, apa nggak malu punya menantu seperti Fania?" Rani tak mau kalah dan berusaha mempengaruhi Laila.

Tanpa sepengetahuan mereka, seseorang tak jauh dari mereka, memperhatikan dan mendengar semua percakapan Laila dengan keempat wanita itu. Dia pun tak terima dan berusaha membela fania. Alif yang akan berangkat bekerja, sedang duduk di atas motor sportnya, menunggu seorang teman. Dia pun turun dari motor dan berjalan mendekat.

"Jangan percaya sama mereka, Tante. Mereka semuanya biang gosip!" Teriakan Alif sangat mengejutkan mereka.

"Hei, Alif, kamu itu nggak usah ikut-ikutan. Kerja sana yang benar!" sahut Rani tak terima.

"Kamu kenal sama Fania?" Laila heran melihat pemuda tampan itu begitu membela gadis bercadar itu.

"Nggak kenal lagi. Dia juga fans-nya Fania makanya selalu dibela!" Sari memberi jawaban.

"Kasihan sekali kamu, Alif. Percuma kamu membela Fania, nggak akan dapat apa-apa. Lihat Ummi ini, kaya raya, mobilnya saja mewah. Anaknya pasti tampan kearab-araban. Nggak mungkin kamu menang!" cibir Mak Ijah.

"Kita lihat saja nanti. Alif pantang menyerah sebelum berperang!" tegas Alif tak mau kalah.

Laila memijit pelipisnya melihat tingkah Alif. Apalagi melihat Alif yang berkulit putih dengan wajah oriental. Alif pun memiliki tubuh yang tinggi dan tegap. Dalam hati, Laila mengakui ketampanan pemuda yang ada di hadapannya membuat gairahnya muncul. Alif pun juga tertarik dengan kecantikan Laila, tubuh Laila juga sangat sexy dimata alif. Setelah ibu-ibu itu pergi Laila masih tinggal berdua dengan alif. Laila mengajak alif berkenalan bahkan mereka saling bertukar nomer.

"Hemm ... ternyata Fauzan banyak saingannya. Nggak cuma yang berwajah Arab, yang seperti Oppa Korea juga ada ...."

******

"Laila itu kenapa sih datang-datang terus? Bikin Ummi kesal saja!" Laras merasa kesal dengan kedatangan Laila. Dia masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang dengan kasar.

"Kesal apa cemburu?" Bambang tersenyum dan menggoda istrinya.

"Memangnya ummi nggak boleh cemburu?"

"Ya boleh saja, yang penting nggak pakai marah-marah." Bambang mencubit gemas hidung mungil istrinya.

"Abi suka 'kan si Laila sering datang ke sini?" Rasa cemburu Laras semakin menjadi.

"Astaghfirullah ... jangan mikir macam-macam, ummi. Laila juga punya suami ...."

"Oh kalau dia janda, Abi mau?" Laras semakin kesal mendengar ucapan suaminya.

"Astaghfirullah ... Laila ke sini 'kan tujuannya buat Fania, ummi. Dia ingin melamar putri kita buat Fauzan. Nggak ada hubungannya sama Abi." Bambang berusaha mereda kemarahan Laras.

"Ummi yakin ada hubungannya dengan Abi. Kemarin saja waktu belum tahu kalau Fania anaknya Abi, Laila marah-marah, menghina, jelek-jelekin Fania. Eh waktu tahu Abi, kok dia jadi baik dan setuju kalau Fauzan berhubungan sama Fania. Jelas itu ada hubungannya." Bambang menghela napas dalam, berusaha sabar menghadapi kecemburuan istrinya.

"Ya, mungkin kebetulan saja, Ummi. Kita nggak tahu juga hatinya orang, bisa jadi berubah karena nggak mau anaknya sedih."

"Jadi Abi setuju kalau Fania sama Fauzan?" Emosi Laras mulai mereda.

"Ummi sendiri 'kan juga senang kalau punya menantu Fauzan. Bener, kan?" Bambang mengingatkan Laras yang dulu pernah mendambakan Fauzan menjadi menantunya.

"Itu dulu, tapi setelah tahu Laila itu mantannya Abi, Ummi jadi malas. Ummi nggak mau punya menantu Fauzan." Bambang kembali menggelengkan kepala mendengar ucapan istrinya.

"Astaghfirullah ... Laila itu bukan mantan Abi, Ummi. Abi nggak punya mantan."

"Bukan mantan, tapi pernah sayang. Sama saja!"

"Terserah ummi saja, Abi mau berangkat. Sudah terlambat berapa jam ini?" Bambang mengalah karena istrinya tak pernah mau kalah.

"Semua 'kan gara-gara Laila itu! Pagi-pagi sudah bertamu. Apa dia nggak ada kerjaan di rumahnya? Paling juga pengen cepet-cepet ketemu Abi." Bambang tersenyum kemudian mencuri ciuman di pipi Laras.

"Sudah ya, Sayang. Abi libur saja kalau ummi masih marah-marah. Abi mau menemani ummi seharian." Laras berdecak kesal, Bambang semakin menggodanya.

"Ish, Abi ini! Iya... iya ... ummi minta maaf. Abi berangkat saja. Kasihan Fania sudah menunggu di teras."

Laras selalu seperti itu, mudah marah tetapi mudah luluh dengan sikap suaminya. Bambang memeluk dan mengecup kening istrinya dengan lembut.

"Bener nih, nggak mau ditemani seharian?"

"Abi ini! Bisa bahaya kalau Abi di rumah seharian nggak ada Fania." Bambang terkekeh mendengar jawaban Laras.

"Ya sudah, Abi berangkat dulu. Jangan lupa kunci pintunya. Di rumah saja nggak usah ke mana-mana. Kalau butuh apa-apa, nanti Abi saja yang belikan waktu pulang kerja. Ummi telepon saja."

"Iya, abi. Ummi mau lihat YouTube kajian saja di rumah," sahut Laras.

"Masyaa Allah, istriku memang the best."

"Mulai, deh, Abi ini. Nggak malu sama umur." Bambang kembali tertawa.

"Abi berangkat dulu, Ummi. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Bambang dan Fania segera berangkat bekerja karena hari sudah beranjak siang. Laras pun kembali pada aktivitas rumah tangganya. Setelah sampai di toko, terlihat oleh Fania Citra dan Mawar yang sudah melayani beberapa orang pembeli. Fania segera berjalan menuju ruangannya kemudian fokus pada layar laptop yang sudah menyala. Beberapa saat kemudian, Citra datang mendekat.

"Mbak, ada ibu Maryam mau bertemu," ujar Citra.

"Suruh masuk sini saja, Citra."

"Baik, Mbak."

Maryam sudah mengirim pesan pada Fania sebelum dia berangkat. Dia pun menerima kedatangan Maryam dengan senang hati. Maryam adalah salah satu pelanggan yang menyenangkan dan tak pernah rewel.

"Assalamu'alaikum, Fania. Apa Ibu mengganggu?" sapa Maryam sembari mengajak Fania berjabat tangan.

"Wa'alaikumussalaam, nggak kok, Bu. Silakan duduk," jawab Fania dengan sopan. "Terima kasih, Fania." Fania mengangguk dan tersenyum di balik cadarnya.

"Ada yang bisa Fania bantu, Bu?"

Maryam menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan gadis bercadar itu.

"Fania, tolong bicara terus terang pada Ibu. Di mana kamu kenal dengan Shella?"

"Gimana, ya, Fania nggak enak membicarakan orang," jawab Fania terus terang.

"Tolong, Fania, Ibu tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa Ibu percaya kecuali kamu. Bagas sudah cinta mati sama Shella, tapi terus terang saja Ibu kurang setuju. Ibu terpaksa karena Bagas selalu mengancam akan meninggalkan rumah kalau Ibu nggak merestui hubungannya dengan Shella." Maryam mulai menceritakan masalahnya dengan Bagas--putranya.

"Maaf, Bu, Fania sebenarnya berat sekali menceritakan ini..."

"Ibu mohon ... tolong Ibu, Fania," sahut Maryam dengan pandangan memohon.

"Hemm, sebenarnya Fania nggak kenal sama Shella. Fania hanya bertemu satu kali saja waktu di rumah calon suaminya. Itu pun karena mereka sudah memutuskan untuk membatalkan pernikahan dengan Shella, jadi bukan karena Fania, Bu. Fania ke rumah calon suaminya karena mengembalikan dompet Ummi Aminah yang tertinggal di sini."

Fania menjelaskan dengan jujur, tanpa ada yang ditutupi.

"Jadi memang benar Shella itu sudah mau menikah?" Fania terpaksa mengangguk mengiakan.

"Iya, Bu. Pernikahan batal karena pihak laki-laki sering melihat Shella pergi berduaan bersama putra Ibu. Itu yang mereka bilang pada Shella karena Fania juga ada di situ waktu mereka bertengkar." Maryam percaya dengan cerita Fania.

"Menurutmu, apa yang harus Ibu lakukan sekarang? Belum apa-apa, Shella sudah terbukti memfitnah kamu. Ibu takut kalau jadi menantu Ibu nantinya seperti apa? Tapi kalau Ibu melarang atau menegur Bagas, pasti dia nggak peduli. Justru Ibu yang kena marah," ucap Maryam sedih.

"Do'akan saja yang terbaik buat putra Ibu. Jangan meremehkan do'a, apalagi do'a orang tua pada putra putrinya itu tidak tertolak. Sabar, ya, Bu. Semoga putra Ibu mendapatkan hidayah dan bersikap baik pada Ibu." Fania berusaha memberi saran dengan hati-hati, takut Maryam tersinggung.

"Terima kasih, Fania. Ibu sebenarnya bingung harus menerima Shella atau tidak. Tapi melihat Bagas yang terlihat sangat membelanya, Ibu takut untuk tidak menyetujuinya." Kedua bola mata Maryam mulai berkaca-kaca mengingat sikap putranya.

"Fania paham, semua Ibu ingin yang terbaik. Kembali pada Allah, pasrahkan semua urusan. Kalau memang jodoh, bagaimanapun Ibu berusaha memisahkan mereka, pasti mereka tetap bersatu. Begitu pun jika bukan jodoh, mereka akan terpisah, semudah membalikkan telapak tangan. Yakinlah dengan do'a jika Ibu sudah berusaha mengingatkannya." Fania memandang iba wanita di hadapannya.

"Kamu memang gadis yang luar biasa, Fania. Terima kasih sudah membuat hati Ibu tenang. Insyaa Allah Ibu akan menuruti nasihatmu. Ibu akan berdo'a terutama di sepertiga malam." Fania mengangguk setuju.

"Insyaa Allah, Allah akan mendengar dan mengabulkan do'a Ibu."

"Maaf, kalau Ibu mengganggu waktumu. Oh ya, Fania, anggota pengajian di daerah tempat tinggal adikku ingin memesan gamis 40 set. Apakah bisa pesan untuk minggu depan?" Pertanyaan Maryam membuat kedua bola mata indah Fania berbinar.

"Model dan warnanya bagaimana?" tanya Fania bersemangat.

"Mereka percaya pada pilihanmu," jawab Maryam sembari tersenyum.

"Kalau Ibu berkenan, ada pembatalan pemesanan 50 set gamis. Ini model dan warnanya. Insyaa Allah beberapa hari ini sudah ready. Barangkali ibu-ibu pengajian di daerah adik Ibu mau, Fania sangat bersyukur sekali." Fania menunjukkan foto set gamis berwarna mauve yang ada di ponselnya pada Maryam.

"Ini juga bagus, insyaa Allah mereka pasti mau. Bagaimana bisa mereka membatalkan pesanan dalam jumlah besar?" tanya Maryam geram.

"Qadarullah ... semua bisa terjadi atas kehendak Allah. Seperti Ibu yang baru saja menyampaikan ada pesanan 40 set gamis ini, insyaa Allah set gamis yang sudah dibatalkan adalah memang sudah jatah mereka," jawab Fania dengan tenang.

"Masyaa Allah, kamu benar. Akan Ibu kabari secepatnya, Ibu pulang dulu. Sekali lagi terima kasih atas waktunya."

"Sama-sama, Bu."

Maryam memeluk dan mencium kedua pipi Fania sebelum beranjak pergi. Fania membalasnya dengan penuh kasih. Setelah Maryam pergi, Fania kembali melanjutkan pekerjaannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Setelah makan dan menjalankan kewajiban empat rakaat, Fania kembali duduk di ruang kerjanya. Dia memeriksa laporan penjualan hari ini. Fania tersenyum dan tak henti-hentinya mengucap syukur. Tak lama kemudian, Mawar masuk ke dalam ruangannya dan menyampaikan sesuatu yang mengusik perasaannya.

"Mbak, ada cowok di depan, ingin bertemu. Namanya Mas Fauzan."

"Mawar, Citra, kalian nggak ada acara, kan?" tanya Fania.

"Nggak ada, Mbak." Kedua gadis itu menjawab dengan serempak.

"Kalau begitu, nanti setelah sholat ashar, kalian mau menemani Fania?"

"Ke mana, Mbak?" tanya Mawar penasaran.

"itu tadi teman Fania mau nraktir makan. Fania nggak mau kalau hanya berdua, makanya dia ngajak kalian. Nanti pulangnya diantar lagi ke sini, bagaimana?"

"Mau, Mbak," jawab Mawar senang,

"Siap, Mbak." Citra mengangguk mengiakan.

"Alhamdulillah, terima kasih, ya."

"Sama-sama, Mbak."

Setelah selesai sholat dan menutup toko, mereka berjalan mendekati mobil Fauzan yang sudah menunggu. Mereka bertiga membuka pintu tengah, membuat Fauzan kecewa.

"Fania, kamu nggak duduk di depan?"

"Kamu mau kami semua turun?" ancam Fania, membuat Fauzan tak berkutik.

"Iya, deh. Maaf...."

Fauzan melajukan kendaraan roda empatnya dengan kecepatan sedang. Sesekali matanya melirik Fania melalui kaca spion. Fauzan tersenyum bahagia. Sementara Fania yang merasa diperhatikan, mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Dia mendesah lirih, menenangkan perasaannya yang tiba-tiba gelisah. Sesampainya di sebuah restoran yang cukup mewah, mereka berjalan masuk beriringan dan duduk saling berhadapan. Fania terpaksa duduk di hadapan Fauzan. Citra duduk di samping Fauzan, berhadapan dengan Mawar.

"Kalian pilih saja, Fauzan mau ke kamar mandi sebentar. Fania, samakan saja pesanan Fauzan denganmu.”

Fauzan memberikan lembaran menu pada Fania sebelum beranjak pergi. Fania mengangguk mengerti. Seorang pramusaji menunggu dan mencatat semua pesanan mereka. Seorang pemuda tampan menyadari kedatangan Fania dan kedua karyawannya. Dia tersenyum kemudian berjalan mendekat dan menyapa gadis bercadar itu.

"Assalamu'alaikum, Fania."

"Wa'alaikumussalaam ... Eh, Fahri. Kamu kok di sini?" Fania pun tersenyum dan bertanya pada Fahri dengan heran.

"Iya, Fahri bekerja di sini," jawab Fahri dengan tenang. Fahri terpaksa berbohong karena dia selalu seperti itu. Dia bukan pemuda yang bangga dengan kekayaan yang dimiliki orang tuanya.

"Ooh ... Fania pikir kamu punya usaha sendiri. Selama ini Fania perhatikan, waktu kerjamu santai, tidak seperti seorang karyawan yang harus berangkat pagi dan pulang sore tepat waktu." Fania yakin Fahri tidak mau berkata jujur padanya, terapi Fania tidak memaksa.

"Kalian hanya bertiga? Apa ada janji?" Fahri duduk di hadapan Fania dan berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Fahri tahu, Fania bukan gadis yang bodoh dan ucapan Fania membuat Fahri merasa bersalah.

Fauzan keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah mereka. Pandangan matanya langsung tertuju pada Fahri yang duduk di kursinya, berhadapan dengan gadis pujaannya. Fauzan mempercepat langkahnya karena kesal dan cemburu.

"Fania tadi ke sini sama ...." Fania belum selesai bicara, Fauzan sudah berdiri di hadapan mereka. Dia pun berkata pada Fahri dengan nada tegas, sedikit emosi.

"Ya sudah, silakan kalian nikmati hidangannya. Fahri mau ke dalam dulu." Fahri hendak beranjak pergi tapi Fania mencegahnya.

"Kenapa nggak ikut makan sekalian? Mumpung ditraktir sama Fauzan. Boleh 'kan kalau Fahri ikut kita makan di sini, Zan?" tanya Fania pada Fauzan.

"Eh... i... iya, deh. Boleh!" Fauzan terpaksa mengiakan. Tak mungkin dia menolak permintaan gadis pujaannya meskipun dalam hati tak setuju.

Fahri menepuk pundak Fauzan dengan perlahan. Dia mengambil kursi dan duduk di dekat Fauzan dan Fania. Fahri tersenyum senang melihat Fauzan yang cemberut.

"Terima kasih, ya, Zan. Kalau rame-rame begini 'kan lebih nikmat makannya. Betul nggak, Citra, Mawar?" tanya Fania pada kedua gadis di sampingnya.

"Betul, Mbak!" jawab mereka berdua serempak.

"Terima kasih, ya, Zan," ucap Fahri dengan senyuman menggoda. Dia tahu Fauzan kesal padanya.

"Ya!" sahut Fauzan ketus. Fania menggelengkan kepala melihat tingkah kedua pemuda itu.

Setelah pesanan datang, mereka makan bersama. Sesekali Fania mengajak bicara mereka secara bergantian. Terkadang mengajak bicara Mawar dan Citra, terkadang mengajak bicara Fauzan dan juga Fahri. Fania bukan tipe gadis yang hanya diam saat makan, seperti orang-orang pada umumnya. Bambang selalu membuat suasana santai dan ceria di mana pun dan kapan pun, bahkan saat makan. Berbicara ketika makan ternyata hal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, bukan adab yang tercela sebagaimana disangka oleh Sebagian orang. Bahkan berbicara ketika makan adalah adab yang mulia karena menimbulkan kebahagiaan bagi orang-orang yang makan. Begitu yang diajarkan Bambang pada istri dan putrinya. Makanan di piring mereka pun habis tak bersisa. Fania memuji masakan yang ada di restoran itu di hadapan mereka. Begitu pun dengan Fauzan. Fahri hanya tersenyum mendengarnya.

"Ayam bakarnya sedap sekali. Fania suka," ucap Fania sembari mengacungkan kedua ibu jari tangannya.

"Fauzan juga suka. Sayur asem dan gurami gorengnya juga mantap. Apalagi sambalnya. Padahal dengar-dengar yang punya restoran ini bukan orang Jawa lho," sahut Fauzan.

"Oh ya, bisa-bisa yang punya restoran keturunan Arab seperti kalian." Fania membalas ucapan Fauzan dengan senyuman. Kedua bola matanya melirik ke arah Fahri.

"Nggak mungkin, lah. Mana ada orang Arab bisa masakan Jawa seenak ini. Kalau owner restoran ini memang orang Arab, Fauzan janji akan belajar masak dari dia!" tegas Fauzan, membuat Fahri ingin tertawa.

"Beneran lho, ya? Mawar dan Citra, kalian berdua saksinya. Kita lihat ke depannya nanti. Sampai yang punya restoran ini owner-nya orang Arab, Fauzan akan belajar memasak di sini!"

Fania berkata pada kedua karyawannya dengan menahan senyum di balik cadarnya. Melihat Fahri senyum-senyum sendiri, Fania semakin yakin restoran tempat mereka makan adalah milik Fahri atau Aminah.

"Siap, Mbak." Mawar dan Citra kembali menjawab dengan serempak.

"Ngapain kamu senyum-senyum? Iri bilang, Bos!" Fauzan memandang Fahri dengan tajam.

"Ngapain juga Fahri iri, Fahri sudah jago masak. Nggak perlu belajar seperti kamu." Fahri berkata dengan tenang.

"Hebat kamu, cowok tapi bisa masak." Fania menimpali ucapan Fahri.

"Fauzan juga bisa masak, tapi masakan modern. Bukan masakan Jawa seperti ini," sahut Fauzan tak mau kalah.

"Masyaa Allah, kalian berdua memang keren." Fania tersenyum di balik cadarnya melihat tingkah Fauzan.

"Iya, dong!" Fahri dan Fauzan menjawab dengan serempak, membuat Fania menggelengkan kepala.

Mawar dan Citra terkekeh melihat tingkah kedua pemuda tampan itu. Fania hanya tersenyum, apalagi mendengar janji Fauzan yang terkesan kekanak-kanakan. Fania pun yakin kalau Fahri pemilik restoran, bukan hanya karyawan.

"Fauzan, tadi katanya mau ada yang kamu bicarakan. Ada apa?" Fania teringat dengan tujuan Fauzan mengajaknya.

"Oh itu, Ummi cerita katanya ada pembatalan pesanan 50 set gamis dari ibu-ibu pengajian di kampungmu, ya?" Fauzan bertanya dengan terus terang.

"Memangnya kenapa?" Fania sudah menduga tujuan Fauzan bertanya seperti itu, tetapi dia ingin memastikan.

"Kalau boleh Ummi dan Fauzan mau bantu kamu, biar kami yang beli semua pesanan gamis itu," jawab Fauzan.

"Buat siapa?" tanya Fania penasaran.

"Ada, deh. Yang penting kamu nggak rugi," jawab Fauzan yakin.

"Alhamdulillah Fania nggak rugi, kok. Alhamdulillah juga sudah ada yang ganti." Fania membalas ucapan Fauzan dengan sabar, tanpa emosi.

"Oh, ya? Siapa?" tanya Fauzan tak percaya.

"Yang pasti itu semua rizqi dari Allah yang tak disangka-sangka. Lagi pula, semua itu juga bukan salah Fania. Mereka sendiri yang minta uang DP dikembalikan karena takut nggak mampu membayar kalau barangnya datang. Apa Fania mau marah-marah sama mereka? Fania yakin semuanya kehendak Allah, rizqi sudah ada yang mengatur. Yang pasti, Fania tidak mau dikasihani!" tegas Fania.

"Ummi nggak berniat mengasihanimu, hanya membantu." Fauzan tak ingin gadis pujaannya salah paham.

"Iya, Fania paham. Terima kasih atas niat baik Ummi Laila," balas Fania dengan lembut.

Fania memahami niat baik Laila dan Fauzan, tetapi Fania tidak ingin berhutang budi pada mereka. Fahri hanya diam dan mendengarkan percakapan Fauzan dan Fania, begitu juga dengan Mawar dan Citra.

"Baiklah, kalau begitu. Fauzan dan Ummi hanya berniat menolongmu, jangan salah paham." Fania mengangguk mengerti.

"Sekali lagi terima kasih. Kalau sudah tidak ada lagi yang mau dibicarakan, lebih baik kita segera pulang," ajak Fania dan Fauzan pun setuju.

"Baiklah kalau begitu. Fauzan mau ke kasir dulu."

Fauzan beranjak menuju meja kasir untuk membayar pesanan makanan mereka. Fahri membiarkan Fauzan membayar meskipun dia bisa memberi gratis. Fania hanya memperhatikan Fahri yang senyum-senyum sendiri sambil memandang Fauzan di meja kasir.

"Fahri ... Fahri ... Fania tahu kamu ini pemilik restoran. Bisa-bisanya kamu seperti itu sama Fauzan."

Fahri terkekeh mendengar sindiran Fania. Namun, belum sempat Fahri membalas ucapan Fania, seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi dan ramping berjalan mendekat dan menyapanya.

"Fahri, apa kabar?" Fahri terkejut dengan kedatangan gadis itu.

"Nazifa?" Gadis yang bernama Nazifa itu mengangguk dan tersenyum.

"Ternyata kamu masih ingat. Zifa ke sini disuruh sama Paman Amir."

Kening Fahri berkerut mendengar nama yang disebut Nazifa. Bibirnya langsung mengerucut. Fania hanya memperhatikan sosok cantik yang ada di hadapannya. Fania bahkan mengagumi kecantikan gadis itu. Nazifa mirip artis India menurutnya.

"Ada apa?" tanya Fahri ketus.

"Katanya kamu butuh asisten manager. Zifa disuruh melamar kerja untuk jabatan itu." Nazifa mengatakan tujuannya datang ke restoran Fahri.

"Ya sudah, kirim saja CV lewat email," balas Fahri dengan kesal.

"Lho, kata Paman Amir, Zifa bisa langsung kerja," protes Nazifa.

"Maaf, di sini tidak menerima KKN. Kalau mau diterima, silakan kirim surat lamaran dan CV sesuai prosedur. Banyak yang ingin bekerja, bukan hanya kamu saja," tegasFahri.

"Kamu kok gitu, sih? Kita 'kan bukan orang lain, Fahri. Zifa ini calon istrimu. Paman Amir sudah melamar Zifa buat kamu dan abi juga sudah menerimanya." Nazifa menjelaskan pada Fahri dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

"Yang mau nikah siapa? Fahri atau Paman Amir? Dengar ya, Zifa! Fahri sudah tidak mau dijodohkan lagi. Kalau Paman Amir melamar kamu tanpa sepengetahuan Fahri, lamaran itu tidak sah! Paham?! Ayo, Fania, biar Fahri antar pulang kalian." Fahri berniat mengantar pulang Fania untuk menghindar dari Nazifa. Fauzan yang sudah datang dari kasir dan mendengar percakapan Fahri dan Nazifa, langsung protes.

"Hei, enak saja. Fania pulang sama Fauzan. Kamu urus itu calon istrimu!"

"Fahri juga mau pulang. Rumahmu 'kan berlawanan sama Fania. Biar Fahri saja yang mengantar sekalian pulang. Kita 'kan searah."
Fahri tak mau menyerah begitu saja. Nazifa memperhatikan Fania yang saat ini menjadi rebutan kedua pemuda tampan di hadapannya. Dalam pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan tentang siapa gadis bercadar itu?

"Tidak bisa! Fauzan yang mengajaknya, jadi Fauzan yang harus mengantarnya pulang. Lagi pula Fania pulang kembali ke tokonya, kok, bukan ke rumahnya," tegas Fauzan tak terima.

"Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati bawa anak gadis orang!"

Fahri terpaksa mengalah. Beberapa pasang mata mulai memperhatikan mereka. Keinginannya untuk dekat dengan Fania, membuatnya lupa akan keberadaan Nazifa. Fahri yakin, gadis itu adalah mata-mata pamannya. Dia tak ingin Fania menjadi korban.

"Nggak usah dikasih tahu, Fauzan pasti menjaga dan melindungi gadisnya. Oke, kita semua pamit,”" ucap Fauzan dengan senyum kemenangan. Fania hanya menggelengkan kepala.

"Jangan lupa, mulai besok belajar masak di sini." Rasa kesal melihat Fauzan Bersama Fania, membuat Fahri lupa diri.

"Lha, kenapa jadi kamu yang ngatur?" Fauzan heran mendengar ucapan Fahri.

"Tadi 'kan sudah janji kalau owner-nya orang Arab, kamu akan belajar masak sama dia," sahut Fahri mengingatkan.

"Kamu itu sok-sokan. Memang kamu kenal sama owner-nya?" tanya Fauzan tak terima. Fahri tersenyum kemudian mengajak Fauzan berjabat tangan.

"Kamu mau kenal? Nih, kenalkan, Muhammad Fahri Ardana, owner restoran Pelangi Nusantara ini!"

**********

Uztadzah Haifa memanggut bibir Alif untuk menuntaskan hasratnya yang tidak dipenuhi suaminya, mereka berciuman sangat panas, saling bertukar air liur selama beberapa menit. Sembari berciuman tak henti-hentinya telapak tangan Alif membelai punggung dan pantat Uztadzah Haifa yang masih memakai pakaian lengkap. Uztadzah Haifa melepaskan ciumannya ketika Alif menarik keatas gamis yang ia kenakan.

"Tetek Uztadzah indah sekali." Puji Alif.

"Kamu suka?"

Alif mengangguk. "Sangat suka Uztadzah ." Jawab Alif cepat.

"Tetek ini milikmu sayang." Bisik manja Uztadzah Haifa.

Alif langsung menyambar payudara Uztadzah Haifa, mulutnya mencaplok payudara Uztadzah Haifa, menghisapnya dengan rakus. Lidahnya dengan perlahan mengitari aurola puting Uztadzah Haifa, lalu kembali melahapnya, menghisapnya dengan lembut. Kedua tangan Uztadzah Haifa mendekap kepala Alif, ia membiarkan pemuda itu mengulum dan menjamah payudaranya secara bergantian.

"Enak Uztadzah ... Srruuppss..." Lirih Alif.

"Oughk... Enak lif! Aaahkk..." Desah Uztadzah Haifa, dengan wajah mendongak keatas.

Sesekali Alif menggigit puting Uztadzah Haifa, lalu kembali menghisap puting Uztadzah Haifa yang terasa semakin membesar. Uztadzah Haifa mendorong pelan pundak Alif, lalu ia berjongkok di depan Alif. Kedua tangannya dengan tangkas melepas celana Alif, merogoh kontol Alif keluar dari celananya. Sembari tersenyum ia mengurut kontol Alif yang berbentuk seperti buah pisang.
"Kontol kamu besar Lif!" Puji Uztadzah Haifa.

Wanita yang telah bersuami itu mulai menciumi kontol Alif, mula-mula bagian kepalanya, lalu turun ke batang kemaluan Alif. Ia menuntun kontol Alif masuk ke dalam mulutnya, dan mengulumnya dengan lembut sembari mengurut batang kontol Alif. Wajah Alif menegang, ia menikmati setiap sentuhan bibir dan lidah Uztadzah Haifa.

"Enak lif?" Tanya Uztadzah Haifa.

Pemuda itu mengangguk. "Enak banget Uztadzah ! Aaahk... Terus Uztadzah ." Erang Alif, sembari membelai rambut hitam Uztadzah Haifa.

"Sluuuppsss... Kontol kamu keras banget lif! Beda dengan kontol Mas bambang. Sruuupsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss..." Pujinya sembari mengulum kontol Alif, jemarinya mengurut kantung zakar Alif.

Telapak tangan Alif meraih payudara Uztadzah Haifa dan meremasnya dengan perlahan. Setelah di rasa cukup, Uztadzah Haifa kembali berdiri. Di depan Alif ia melepas celana piyamanya, memamerkan kemolekan tubuhnya. Pemuda itu tampak tegang menatap tubuh telanjang Uztadzah Haifa untuk yang kesekian kalinya.

"Masukan sekarang lif!" Pinta Uztadzah Haifa.

Wanita cantik itu berbalik menghadap tembok, sedikit mencondongkan pantatnya kearah Alif. Alih-alih langsung menyetubuhi tetangganya itu, Alif malah berlutut di depannya. Kedua tangan Alif merenggangkan kedua kaki Uztadzah Haifa hingga ia dapat melihat bibir kemaluan Uztadzah Haifa yang tampak bergelembir.

"Lif..." Tegur Uztadzah Haifa.

Alif menatapnya. "Sebentar aja Uztadzah ..." Jawab Alif setengah berbisik.

Kemudian ia mendekatkan bibirnya kearah memek Uztadzah Haifa, menciumnya dengan lembut. Menghisap bibir Mayoranya dengan rakus. Tubuh Uztadzah Haifa bergetar hebat, dari kemaluannya tampak cairan bening keluar sedikit demi sedikit yang langsung di seruput oleh Alif. Ia dapat merasakan lidah Alif yang menyeruak masuk ke dalam lobang memeknya, mengorek-ngorek liang kemaluannya.

"Uughk... Lif! Aaahkk..." Desah tertahan dari Uztadzah Haifa.

Dengan rakus Alif menyedot clitoris Uztadzah Haifa yang semakin membengkak, menggigit kecil membuat Uztadzah Haifa memekik pelan. Tubuh Uztadzah Haifa menggelinjang, kedua kakinya melejang-lejang, bergetar tak tertahankan. Dengan mata membelalak ia merasakan sensasi yang begitu nikmat yang membuatnya mengerang lebih keras. Di bawah sana Alif makin bergairah menyeruput cairan cinta Uztadzah Haifa yang baru saja Orgasme. Pemuda itu kembali berdiri, dari belakang Alif memeluk tubuh Uztadzah Haifa, mencium aroma tubuh Uztadzah Haifa yang membuatnya makin bergairah, lidahnya terjulur menjilati leher Uztadzah Haifa. Perlahan Alif menuntun kontolnya kearah cela sempit memek Uztadzah Haifa.

"Pelan-pelan sayang." Bisik Uztadzah Haifa.

Perlahan kontol Alif membela masuk ke dalam lobang memek Uztadzah Haifa. "Sempit... Hangat." Puji Alif yang menikmati jepitan dinding vagina Uztadzah Haifa yang terasa nikmat.

"Ughh... Aaaahk... Tusuk lebih dalam sayang! Aaahk... Yeaaaa... Eenggk..." Erang Uztadzah Haifa yang ikut menggoyangkan pantatnya.

Dengan gerakan perlahan ia menghujamkan kontolnya, lalu menariknya lagi hingga kontolnya hampir terlepas, dan memasukannya lagi. Gerakan tersebut ia lakukan berulang-ulang. Kedua tangan Alif menyusup dari bawah ketiak Uztadzah Haifa, ia meraih buah dada Uztadzah Haifa dan keremasnya dengan perlahan.

“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”

“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”

“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”

"Aaahkk... Hah... Hah... Aaahkk... Hah... Terus lif! Aaahkk... Makin cepat sayang... Uugkk..." Uztadzah Haifa menjerit-jerit keenakan.

"Jangan keras-keras Uztadzah , nanti ada yang bangun." Bisik Alif agak khawatir dengan suara Uztadzah Haifa yang mengerang semakin keras.

Kepala Uztadzah Haifa terbanting ke kiri dan kanan sanking nikmatnya. "Enak banget Lif! Aaahkk... Uztadzah gak tahan sayang... Aaahkk... Aaahkk..." Jerit Uztadzah Haifa yang seakan mengabaikan peringatan Alif.

Tubuhnya yang bermandikan keringat kelajotan merasakan setiap tusukan bervariasi dari Alif yang terkadang kasar dan cepat tapi terkadang lembut tapi menghentak. Belum lagi sentuhan kedua jari Alif di kedua putingnya, membuatnya makin menggeliat keenakan. Tidak butuh waktu lama bagi Uztadzah Haifa untuk kembali mendapatkan orgasmenya. Pinggulnya bergetar hebat, dan tampak cairannya yang hangat menenggelamkan kontol Alif yang masih sibuk melakukan penetrasi di dalam memeknya.

"Aliifff... Ougk..." Jerit Uztadzah Haifa.

Tapi tiba-tiba...

Tok... Tok... Tok...

Deg...

Mereka berdua saling pandang, raut wajah yang tadi penuh kepuasan berubah menjadi pucat pasih.

"Umi..."

"Intan." Bisik Uztadzah Haifa kepada Alif.

"Jawab Uztadzah ."

"I-iya sayang ada apa?" Tanya Uztadzah Haifa gugup, sementara kontol Alif masih tertancap di dalam memeknya.

"Umi kenapa kok teriak-teriak..."

Uztadzah Haifa tampak gugup. "Anu... Gak apa-apa sayang! U..Umi lagi BAB." Jawab Uztadzah Haifa membuat Alif terkikik pelan.

"Iih... Ya udah Intan ke kamar lagi."

Mereka berdua dapat mendengar suara derap langkah Intan yang menjauh dari kamar mandi. Sejenak mereka saling pandang, kemudian tertawa renyah.

"Hampir saja..." Gumam Alif.

"Masih mau lanjut?" Bisik Uztadzah Haifa.

Alif mengangguk. "Masih Uztadzah ..." Jawab Alif sembari membelai bibir kemaluan Uztadzah Haifa.

Kedua tangan Uztadzah Haifa melingkar di leher Alif, ia memanggut mesrah bibir anak kenalannya itu. Perbedaan usia mereka seakan tidak menjadi penghalang bagi mereka berdua. Kedua tangan Alif mengangkat kedua kaki Uztadzah Haifa, lalu menopang pantatnya agar Uztadzah Haifa tidak sampai terjatuh. Tangan kanan Uztadzah Haifa melingkar di leher Alif, sementara tangan kirinya menuntun kontol Alif kearah lobang peranakannya. Bleeesss... Dengan satu hentakan kontol Alif bersemayam di dalam lobang peranakan Uztadzah Haifa.

"Ughk... Dalem banget sayang!" Erang Uztadzah Haifa.

Perlahan Alif mulai mengayun-ayunkan tubuh Uztadzah Haifa, membuat kontolnya menusuk semakin dalam ke dalam memek Uztadzah Haifa.

"Enak Uztadzah ... Aaahkk..." Desah Alif.

“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”

“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”

“Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...”

Tubuh Uztadzah Haifa terhentak-hentak di dalam gendongan Alif. Kontol Alif yang tidak hanya panjang tapi juga sangat besar dan tebal, hingga membuat memek Uztadzah Haifa terasa penuh. Beberapakali Uztadzah Haifa terpekik ngilu ketika kontol Alif menusuk memeknya hingga ke rahimnya. Sudah lima belas menit Alif menggenjotnya dalam kondisi berdiri, tetapi belum ada tanda-tanda kalau pemuda itu kelelahan.

"Alif... Aaahkk... Kamu kuat sekali sayang." Erang Uztadzah Haifa.

Alif memanggut mesrah bibir Uztadzah Haifa, menjulurkan lidahnya ke dalam mulut Uztadzah Haifa yang di balas liar oleh Uztadzah Haifa. Tidak lama kemudian tubuh Uztadzah Haifa kembali kelajotan, untuk kesekian kalinya ia mendapatkan orgasmenya. Memek Uztadzah Haifa yang terasa semakin licin membuat kontol Alif makin leluasa menjelajahi relung memek Uztadzah Haifa.

"Saya keluar Uztadzah ..."

"Di luar aja Lif! Uztadzah belum minum obat." Erang Uztadzah Haifa.

Tetapi peringatan Uztadzah Haifa terlambat, Alif keburu menumpahkan spermanya ke dalam rahim Uztadzah Haifa. Croooottss... Croooottss... Croooottss... Uztadzah Haifa dapat merasakan betapa banyaknya sperma Alif di dalam rahimnya yang kini terasa hangat. Setelah puas Alif menurunkan tubuh Uztadzah Haifa yang tampak kelelahan.

Sejenak mereka berdua terdiam mengingat apa yang baru saja mereka lakukan. Dan sedetik kemudian Uztadzah Haifa tersenyum menatap Alif.

"Maaf Uztadzah , kelepasan." Lirih Alif.

Uztadzah Haifa menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa sayang! Siapa tau jadikan?" Goda Uztadzah Haifa membuat Alif panik.

"Ya jangan dong Uztadzah ."

"Hihihi... Emang kenapa kalau Uztadzah mengandung anak kamu." Goda Uztadzah Haifa.

"Tapi Uztadzah ..."

"Jangan takut, walaupun Uztadzah hamil sekalipun, Uztadzah gak akan minta pertanggung jawaban dari kamu. Uztadzah kan punya suami." Ujar Uztadzah Haifa, tetapi tetap saja Alif merasa takut.

"Mudah-mudahan gak jadi ya Uztadzah ."

Lagi-lagi Uztadzah Haifa tertawa renyah. "Kamu ini, mau berbuat tapi gak mau bertanggung jawab." Goda Uztadzah Haifa membuat Alif serba salah.

"Bukan begitu Uztadzah ."

"Udah gak usah di pikirin! Sekarang kamu pulang ya, takut nanti ada yang bangun lagi."

"Iya Uztadzah ."

"Tunggu sini, Uztadzah mau cek dulu."

Uztadzah Haifa perlahan membuka pintu kamar mandinya, melihat kondisi aman terkendali, barulah ia mengizinkan Alif untuk segera keluar dari kamar mandi. Sebelum pergi meninggalkan kediaman Uztadzah Haifa, mereka berciuman bibir selama beberapa detik, lalu barulah Alif pamit. Dengan cara mengendap-endap ia kembali ke rumahnya.

 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd