Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

BAB 2


Di dalam ruangan sebuah toko pakaian Muslimah, fania duduk sembari memeriksa laporan penjualan dan keuangan bulan ini. meskipun toko fania bukan toko yang besar, tetapi pengaturan di dalamnya sangat tertata rapi sehingga terlihat luas. Selain lemari etalase, rak aluminium, juga beberapa manekin yang digunakan untuk memamerkan dagangannya, sebuah ruangan khusus untuk membungkus pesanan online juga tersedia di tokonya. Di bagian belakang terdapat dapur yang sudah lengkap dengan lemari es dan beberapa perabot. Semua disiapkan fania untuk karyawannya jika ingin membuat minuman atau mie instan. Tak lupa juga ada kamar mandi yang bersih. Ruang kerja fania pun sederhana tapi sangat bersih, hanya terdiri dari kursi dan satu meja yang terdapat laptop di atasnya Suara mawar, membuat fania mengalihkan pandangan dari layar laptop.

“mbak, ada mbak safira ingin bertemu”

“suruh masuk saja mawar”

“baik, mbak”

Safira puspita, sahabat fania semenjak di pondok pesantren. Safira juga memakai pakaian seperti fania, dan namun tidak bercadar. Safira anak seorang pemilik pesantren dan sekarang sedang bekerja sebagai pengajar di pesantren milik keluarganya. Wajahnya cantik dan manis dengan kulit putih terawat.

“hemm…senyum2 sendiri, tandanya sebentar lagi aku ditraktir nih!” goda safira sembari duduk dihadapan fania

“alhamdulillah .. kamu minta ditraktir apa? Cilok?” fania menahan tawa melihat ekpresi safira. Sahabatnya itu berdecak kesal mendengar pertanyaannya.

“owner toko busana Muslimah kok nraktirnya cilok, agak keren dikit lah. Pizaa kek!”

“yakin hanya pizza?”

“pizaa, mia ayam, bakso, es kacang ijo, es boba…”

“hahaha… kamu itu memang ratunya kalo soal makanan” fania menggelengkan kepala mendengar ucapan safira. Badan safira tinggi dan langsing tapi sangat suka ngemil.

“bagaimana kalo kita makan diluar? Aku ingin membicarakan sesuatu” ajak safira

"Tapi... kasihan Mawar, dia sendirian”.

"Baiklah, aku akan menunggu. Setelah itu kita keluar, ya? Ada yang ingin aku bicarakan, please." Fania mengangguk pasrah. Kalau sudah seperti ini, Fania tidak bisa menolak.

"Insyaa Allah. Sekarang duduklah, aku akan melanjutkan pekerjaanku sebentar. Aku pesankan minuman dan cemilan dulu bagaimana?"

"Nggak usah, aku mau minta Mawar minuman dingin saja. Lanjutkan saja pekerjaanmu."

"Baiklah."

Safira keluar ruangan dan menemui Mawar yang sedang sibuk dengan isolasi dan gunting. Beberapa barang sudah selesai di-packing dan siap dijemput kurir.

"Mawar, banyak sekali paket untuk hari ini." Kedua bola mata Safira berbinar melihat tumpukan paket yang siap dikirim.

"Alhamdulillah, Mbak, ini semua pesanan online kemarin sore dan pagi ini," jawab Mawar senang.

"Mawar, aku ambil minuman dingin satu, ya." Meskipun Safira sudah sering berkunjung ke toko Fania, dia selalu meminta ijin sebelum mengambil sesuatu di dapur.

"Iya, Mbak, silakan. Maaf tamunya jadi ambil sendiri."

"Nggak apa-apa, aku tahu kamu sibuk. Aku mau bantuin juga takut salah."

"Iya, Mbak, ini juga sudah selesai. Tinggal satu alamat lagi."

Safira mengangguk dan tersenyum. Dia sangat bahagia melihat perkembangan usaha sahabatnya itu. Setelah mengambil satu minuman kotak rasa buah di lemari es, Safira duduk kembali bersama Mawar.

******

Beberapa saat kemudian fania dan safira sedang berada di kafe yang berada di deretan pertokoan, tak jauh dari toko Fania.

“tadi katanya mau bicara. Bicara apa?” tanya fania Kembali mengingatkan

“aku lagi malas pulang nih. Aku mau dijodohkan..”

“alhamdulillah … sahabatku mau menikah” perasaan fania Bahagia, berbeda dengan safira yang cemberut.

“aku masih ingin seperti kamu, kerja sambil ngumpulin modal, bikin usaha sendiri” safira mengutarakan keinginannya.

“kamu itu anak kiyai sekaligus pengusaha, kenapa nggak minta modal abimu saja?” fania heran dengan keinginan safira. Sahabatnya itu adalah anak pengusaha kaya raya.

“abi nggak mau, dia bilang kalo sudah nikah, aku nggak perlu bekerja. Jadi ibu rumah tangga itu sudah Lelah” jawab safira jujur

“jangan langsung menolak, lihat dulu calon suamimu” sahut fania menghibur safira

“sudah tapi aku nggak mau. Sorot matanya kelihatan kalo playboy”

“jangan suudzon..”

“kamu mau lihat wajah calon suamiku?’

“memang kenapa? Pasti abimu memilih cowok yang tampan dan mapan, serta shalih. Abimu pasti berusaha memilihkan yang terbaik untuk putrinya.” Fania meyakinkan sahabatnya itu. Safira berdecak kesal mendengarnya.

“shalih apanya, coba kamu lihat dua orang yang duduk di pojokan itu. Kalo kamu ingin tahu, itu calon suamiku. Biar aku foto dan tunjukkan ke abi”

“safira, mungkin dia Bersama adiknya” fania hanya ingin safira tidak berprasangka buruk pada pemuda pilihan orang tuanya.

“adik dari hongkong? Dia itu gak punya saudara cewek. Aku sudah kenal dengan kakak dan adiknya, semuanya cowok”. Fania pun tak berkata apa2

"Hemm ... semoga abimu percaya padamu dan tidak memaksamu lagi. Tapi kamu nggak mau nyamperin dia? Kamu santai banget, nggak marah atau gimana," tanya Fania penasaran.

"Ngapain juga aku marah? Aku nggak ada perasaan apa-apa sama dia. Lagi pula, kalua aku langsung melabrak, dia pasti akan cari alasan. Aku takut, kalau dia akan bicara bohong pada abi dan ummi." Fania tersenyum dan mengacungkan kedua ibu jari tangannya pada Safira.

"Kamu memang keren, Safira. Seperti sudah punya banyak pengalaman soal begini."

"Hahaha ... aku memang sedikit nakal, nggak seperti kamu. Lihat saja tingkahnya, saking asyiknya pacaran, dia sama sekali nggak melihat kiri kanan. Tapi alhamdulilah sih, jadinya dia nggak melihatku di sini."

"Aku kadang takut melihat gaya pacaran anak jaman sekarang. Seperti dunia milik mereka, bermesraan tanpa melihat sekelilingnya, nggak peduli di mana mereka berada. Naudzubillahi min dzalik ... miris sekali melihatnya," ucap Fania sedih.

"Ya, begitulah. Yang penting kita jangan sampai seperti mereka." Fania pun mengangguk setuju.

"Aku nggak mau pacaran, langsung menikah saja. Pacaran setelah menikah sepertinya lebih indah." Fania tersenyum geli mendengar ucapannya sendiri.

"Kamu seperti abi dan ummiku saja. Fania, aku boleh nggak gabung di tokomu? Aku ingin belajar mandiri. Nanti aku tanam saham deh, bagaimana?" Fania menarik napas dalam mendengar ucapan Safira.

"Bukannya aku menolak tapi aku takut nggak amanah. Kalau kamu mau belajar, kamu bisa ke tokoku kapan saja kamu mau."

Fania menolak tawaran Safira. Sudah beberapa kali sahabatnya memberi penawaran seperti itu. Bukannya Fania tidak butuh tambahan modal, tetapi Fania takut tidak amanah dan membuat persahabatan mereka berantakan karena uang.

"Kalau misalnya aku menitipkan barang dagangan bagaimana? Seperti perlengkapan sholat atau mungkin tas wanita. Di tokomu 'kan belum ada." Safira sangat ingin bergabung dan memajukan usaha Fania.

"Boleh juga idemu. Kalau seperti itu aku mau, biar banyak pilihan di tokoku."

"Kalau soal keuntungannya, kita pakai sistem fee, apa kamu setuju?" Fania tersenyum dan mengangguk setuju.

"Baiklah, kamu atur saja bagaimana baiknya."

"Terima kasih, Fania. Kalau sudah siap, aku akan bilang pada abi kalau aku akan bekerja di tokomu," ucap Safira senang.

"Aku ragu abimu akan setuju."

"Pasti abi setuju kalau aku menyebutkan namamu. Kata abi, seandainya anak laki-lakinya belum menikah, pasti sudah dijodohkan denganmu." Ucapan Safira membuat Fania terkekeh.

"Kamu bisa saja membuat perasaanku berbunga-bunga. Yuk, aku harus kembali ke toko, kasihan Mawar."

"Baiklah, biar aku yang bayar." Fania pun mengangguk pasrah karena Safira selalu seperti itu.

"Jazaakillahu khayran, ukhti."

"Waiyyaki ...."

Setelah dari kasir, mereka berdua berjalan kembali ke toko. Safira langsung pamit pulang dan Fania masuk ke dalam. Mawar menyambut Fania dengan ekspresi wajah yang ceria.

"Mbak, tadi ada pesanan seragam lagi. Jumlahnya lima puluh set. Saya belum memberi jawaban pasti, takut salah. Untuk detail model, warna, dan ukurannya, sudah saya kirim ke ponselnya Mbak."

"Alhamdulillah, terima kasih ya. Maaf kalau aku tadi perginya lama.

"Iya, Mbak. Saya permisi dulu mau lanjut merekap pesanan," pamit Mawar dan Fania membalas dengan anggukan.

Fania kembali ke ruangannya dan fokus menatap layar laptop. Bibir Fania tersenyum di balik cadarnya. Beberapa saat kemudian, Mawar mengetuk pintu ruangannya yang terbuka.

"Mbak, ada pembeli yang ingin bertemu langsung dengan Mbak."

"Baiklah, suruh tunggu sebentar." Fania mematikan laptopnya dan segera berjalan menemui pembeli yang sedang melihat-lihat koleksi pakaian.

Seorang wanita paruh baya, memakai gamis berwarna hitam dengan khimar Panjang warna senada, tersenyum padanya. Fania membalas senyuman wanita yang Bernama Zahira itu, dan bertanya dengan sopan.

"Maaf, Bu, ada yang bisa saya bantu?"

"Masyaa Allah, Mbak pemilik toko ini? Ternyata masih muda," ucap Zahira kagum. Meskipun Fania bercadar, Zahira meyakini usia Fania masih sangat muda.

"Benar, Bu. Bagaimana, ada yang bisa saya bantu?" Fania kembali bertanya dengan ramah.

"Begini, Mbak, saya butuh gamis couple untuk menghadiri acara pernikahan. Nggak banyak sih, hanya delapan saja. Kira-kira ada model yang cocok nggak untuk Wanita segala usia? Warna bebas, bisa untuk yang muda dan juga yang tua."

"Baik, Bu. Saya akan memilihkan set gamis yang seperti Ibu inginkan, semoga saja cocok."

Fania berjalan menuju salah satu lemari kaca. Diambilnya satu gamis yang tergantung di dalamnya. Sebuah gamis berwarna mauve polos dengan kombinasi brokat di bagian tengah dan pergelangan tangan. Terlihat sederhana tapi elegan.

"Menurut saya ini cocok untuk acara pernikahan dan juga segala usia. Warnanya soft dan tidak mencolok." Zahira mengangguk setuju dan senang dengan pilihan Fania.

"Bagus, Ibu setuju. Untuk size-nya apa tersedia lengkap? Saya mau M dua, L tiga, XL tiga."

"Alhamdulillah ini produk baru datang kemarin, insyaa Allah size-nya masih lengkap. Tapi biar dicek dulu ya, Bu. Mawar, tolong carikan size M, L, dan XL untuk gamis ini."

"Siap, Mbak." Mawar pun mengerjakan perintah Fania dengan cekatan.

"Alhamdulillah ada semua ini, Mbak." Mawar menunjukkan beberapa pakaian yang masih terbungkus rapi.

"Alhamdulillah, kalau begitu berapa semuanya, Mbak?" Fania berjalan menuju meja kasir dan menghitungnya. Zahira pun mengikuti langkahnya.

"Semuanya dua juta lima ratus ribu, sudah termasuk diskon karena Ibu sudah membeli lebih dari enam set." Kedua mata Zahira berbinar mendengar jawaban Fania.

"Murah sekali, saya kira satu set gamis ini harganya lima ratus ribu. Padahal bahannya lembut dan adem."

"Insyaa Allah semua pakaian yang saya jual di sini harganya di bawah lima ratus ribu, Bu. Saya memang menjual pakaian dengan kualitas bagus, jahitan rapi, tapi harga terjangkau," balas Fania sembari tersenyum.

"Masyaa Allah, semoga usahamu lancar ya, Mbak. Maaf, nama kamu siapa?" tanya Zahira penasaran.

"Saya Fania, Bu. Terima kasih do'anya."

"Lain kali saya pasti akan datang lagi ke sini. Kalau begitu saya permisi dulu." Zahira pun pamit dan mengulurkan tangan kanannya, mengajak Fania berjabat tangan.

"Sekali lagi terima kasih sudah berbelanja di toko kami. Biar saya bawakan, Bu."

"Terima kasih, Fania."

Fania membawa empat buah tote bag yang berisi set gamis yang sudah dibeli Zahira, dibantu Mawar. Setelah semua barang sudah masuk ke dalam mobil, Fania dan Mawar kembali masuk ke dalam toko.

Tak lama kemudian Mawar pun pamit pulang. Sementara Fania, masih menunggu Bambang menjemputnya. Ayah Fania sudah mengirim pesan kalau pulang terlambat. Fania pun kembali menyelesaikan pekerjaannya di depan layar laptop. Toko Fania hanya buka dari pagi hingga sore hari. Keterbatasan tenaga, membuat Fania tak bisa membuka toko saat malam. Apalagi mencari karyawan yang bisa dipercaya sangat sulit.

"Kenapa tiba-tiba perutku lapar?" gerutu Fania sembari memegang perutnya.

"Sebaiknya aku membeli makanan dulu, sambil menunggu bapak," gumam Fania.

Fania beranjak dari duduknya dan berjalan keluar toko. Dia pergi ke supermarket yang ada di seberang jalan. Fania membeli roti dan beberapa camilan. Untuk minuman, dia masih ada stock di lemari es yang ada di tokonya. Fania keluar dari supermarket dan berniat kembali ke toko. Terlihat olehnya seorang wanita paruh baya yang berdiri di pinggir jalan hendak menyeberang, tanpa melihat ke arah kiri dan kanan. Dari arah kiri, sebuah motor tiba-tiba melaju dengan kencang. Fania berteriak dan berlari menarik lengan wanita itu sehingga mereka berdua jatuh di trotoar. Beberapa camilan yang baru saja dibelinya berserakan di jalan. Orang-orang yang sedang berada di sekitar pun berkerumun dan membantu mereka.

"Ibu tidak apa-apa?" tanya Fania setelah berdiri. Dia mendekat dan bertanya pada wanita itu dengan cemas.

"Alhamdulillah, Ibu tidak apa-apa, Nak. Hanya lecet-lecet sedikit. Terima kasih sudah menyelamatkan Ibu," jawab wanita paruh baya yang bernama Aini itu.

"Sebaiknya ikut saya ke toko saja. Ibu bisa beristirahat sebentar di sana," ajak Fania dan Aini pun mengangguk pasrah.

Setelah berada di dalam toko, mereka duduk di dalam ruangan Fania. Fania mengambil kotak P3K dan membantu Aini mengobati beberapa luka wanita itu dan lukanya sendiri. Fania juga mengambilkan air mineral untuk Aini.

"Ibu tadi mau ke mana? Sepertinya terburu-buru," tanya Fania dengan sopan. Dia duduk di samping wanita itu.

"Ibu sebenarnya mau mengejar calon menantu Ibu, sampai nggak melihat kiri kanan," jawab Aini dengan jujur.

"Terus calon menantu Ibu sekarang di mana? Barangkali masih ada, biar saya panggilkan."

"Nggak usah, Nak. Sepertinya dia sudah jauh. Tadi Ibu melihatnya keluar dari kafe. Ibu hanya ingin memastikannya karena ...."

Aini menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia berusaha menahan emosi, mengingat pemandangan yang sempat dilihatnya sebelum menyeberang jalan.

"Karena dia bergandengan tangan dengan seorang pria. Ibu curiga dia selingkuh," lanjut Aini.

"Maaf, Bu, mungkin saja calon menantu Ibu itu sedang bersama saudaranya," balas Fania yang selalu berpikir positif.

"Ibu sudah kenal dengan semua saudaranya. Shella pasti selingkuh. Padahal putra Ibu sangat sayang padanya. Apalagi mereka akan menikah bulan depan."

Gurat kesedihan terpancar dari wajah Aini. Fania pun mengerti perasaan Aini saat ini. Dia mengusap lengan Aini dengan lembut.

"Sabar ya, Bu. Kalau memang kenyataannya seperti itu, semoga putra Ibu mendapat jodoh yang lebih baik. Bersyukur Allah memberi petunjuk sebelum mereka menikah." Aini mengangguk setuju.

"Aamiin ... semoga saja ya, Nak. Dari awal sebenarnya Ibu juga tidak setuju dengan Shella. Tapi Ibu mengalah karena Ibu ingin melihat putra Ibu bahagia."

"Suatu saat nanti pasti keinginan Ibu diijabah," sahut Fania, Aini pun tersenyum mendengarnya.

"Aamiin, semoga keinginanmu juga ya, Nak. Kamu gadis yang baik, pasti wajahmu yang tertutup itu sangat cantik."

"Ibu bisa saja."

Kedua pipi Fania merona di balik cadarnya. Baru kali ini ada orang yang memujinya meskipun belum tahu wajahnya. Selama ini hanya hinaan yang dia dengar dari masyarakat sekitarnya. Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu toko dan mengucap salam. Fania bergegas berjalan menuju pintu dan membukanya. Seorang pemuda tinggi tegap dan tampan dengan hidungnya yang mancung, berdiri di hadapannya.

"Wa'alaikumussalaam, maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya Fania dengan heran. Dia sama sekali tidak mengenal pria itu.

"Maaf... saya mencari ummi. Beberapa orang di depan tadi bilang, ummi saya ada di dalam toko ini." Fania mengangguk mengerti.

"Ummi Anda ada di dalam. Kalau begitu silakan masuk."

Fania berjalan terlebih dahulu menuju ruangannya. Pemuda itu mengikuti Langkah Fania, sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan toko yang tertata rapi dan bersih. Aini tersenyum, menyambut kedatangan putranya.

"Ummi nggak apa-apa? Kata orang-orang tadi Ummi jatuh." Pemuda yang Bernama Fahri itu bertanya dengan cemas.

"Alhamdulillah Ummi nggak apa-apa. Oh ya, kenalkan ini Fania, yang menolong Ummi tadi. Fania, ini putra Ibu, Fahri."

Fania mengangguk dan menangkupkan kedua tangannya di dada. Fahri pun membalas dengan melakukan hal yang sama. Setelah berulang kali mengucapkan terima kasih, Aini dan Fahri pun pamit pulang.

Beberapa saat kemudian, Fania melihat bambang datang. Fania segera merapikan meja kerjanya dan mematikan laptop. Terlihat olehnya, sebuah dompet kulit wanita tergeletak di bawah meja. Dia pun segera mengambil dompet itu dan memeperhatikannya

“pasti dompet itu milik ibu tadi” gumamnya

Suara Bambang yang berdiri di depan ruangan, mengejutkan fania. Dia segera memasukkan dompet itu ke dalam tasnya.
*********

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Fania sudah mulai mengantuk. Bambang dan Laras masih terjaga di ruang keluarga, menonton berita di televisi. Rasa kantuk yang sudah tidak tertahan, membuat Fania ingin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Namun suara ponsel yang berdering tiada henti, membuat Fania terpaksa menerima panggilan telepon dari Sandra--teman kuliahnya.

"Assalamu'alaikum, Fania. Kamu sudah tidur, ya? Lama sekali jawab teleponnya."

"Astaghfirullah, belum juga sepuluh menit. Aku tadi mau tidur, sudah ngantuk banget. Eh, ponselku bunyi terus-terusan."

"Hahaha ... maaf. Aku sudah nggak sabar mau kasih kamu berita penting."

"Berita apa?"

"Waktu itu 'kan kamu tanya lowongan kerja buat tetanggamu. Alhamdulillah di perusahaan tempatku bekerja, sedang membuka lowongan kerja baru, khusus sarjana IT. Tapi...."

"Tapi apa?"

"Tapi waktunya kurang dua hari lagi. Aku summik banget beberapa hari ini, jadinya ketinggalan berita."

"Kalau begitu kirim saja alamat email-nya. Nanti aku kasih tahu ke tetanggaku. Semoga saja rizqinya."

"Aamiin ... Oke, aku kirim sekarang alamatnya. Insyaa Allah diterima karena yang dummituhkan bukan hanya satu orang saja. Perusahaan sedang butuh beberapa karyawan. Nanti aku bantu rekomendasikan temenmu pada bosku."

"Terima kasih banget, ya. Semoga Allah memudahkan dan melancarkan semua urusanmu, sebagai balasannya."

"Aamiin ... terima kasih do'anya. Kalau begitu, aku tutup ya teleponnya. Alamat email-nya sudah aku kirim. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Fania membuka aplikasi pesan di ponselnya, melihat alamat email yang dikirim Sandra padanya. Dia tersenyum tapi beberapa saat dia bingung. Bagaimana cara memberikan informasi lowongan pekerjaan pada Alif?

"Besok pagi saja, biar Abi mengantarku ke rumah Alif," gumam Fania. Dia pun kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata.

*******

Keesokan paginya……

“ummi boleh aku ngomong sebentar sama ummi?” ucap alif saat dia duduk dimeja makan saat sarapan dengan uminya

“mau ngomong apasih kayanya serius banget?” ucap humaira

“sebelumnya aku mau minta maaf ummi kalo ucapanku ini sedikit lancang” ucap alif pelan

“serius banget kayanya” ucap humaira lagi yang seolah sudah melupakan kejadian kemarin

“aku pengen berjimak lagi sama ummi” ucap alif pelan

Alif sudah tak perduli apa reaksi uminya marah atau tidak yang jelas dia hanya mengungkapkan perasaannya.

“apa kamu ini sudah gila alif, atau kamu memang tidak waras pagi-pagi gini kamu sudah ngomong ngelantur” ucap humaira panjang

“aku ga ngelantur ummi aku cuma ngungkapin apa yang mengganjal di hatiku” ucap alif meyakinkan

“tapi itu gila alif, apa kata orang kalo tau kita berbuat begitu? Aku ini ummimu” ucap humaira mulai keras

“aku ga perduli kata orang ummi, yang aku mau cuma bisa berjimak sama ummi” ucapku sedikit sopan

“kamu memang sudah gila alif” ucap humaira lagi

“aku memang tergila-gila memekmu ummi” ucap alif mulai berani

“plaaaak” kembali tangan humaira menampar alif

“apa ummi sudah puas dengan menamparku?” tanya alif pelan

“ummi sebenarnya sedih alif bila harus menamparmu” ucap humaira pelan

“lalu mengapa ummi lakukan itu?” alif balik bertanya

“karena kamu tidak memberi ummi pilihan lain” ucap humaira pelan

“kenapa ummi bilang begitu? Apa tadi aku bilang tampar aku ummi?” ucap alif

“engga kan aku cuma bilang aku pengen berjimak sama ummi” lanjut alif lagi

“tapi aku ini ummimu lif orang yang melahirkanmu” jawab humaira

“aku ga perduli itu ummi karna aku sudah benar-benar tergila-gila pada memek ummi” ucap alif lagi

“pikirkan lagi ucapanmu itu lif?” ucap humaira sedikit keras

“jadi ummi mau apa ga, yang jelas kalo ummi nolak aku bakal perkosa ummi lagi seperti kemarin” ancam alif

“kalo kamu nekat ngelakuin itu ummi bakal teriak” humaira mencoba balik mengancam

“aku ga peduli ummi, mau ummi teriak-teriak itu ga akan merubah keinginanku” ucap alif

“pasti kamu bakal di hakimi warga alif” humaira mulai terdengar takut

“biarpun aku di hakimi warga, ummi juga akan kena imbasnya semua orang akan menjauhi ummi” alif mencoba menghasut uminya

Mendengar itu humaira diam sejenak memikirkan ancaman alif itu seperti menimbang-nimbang sesuatu di kepalanya. Setelah lama menjanda sebenarnya Humaira juga sangat menginginkannya tapi dengan cara yang halal bukan dengan anak kandung sendiri. Namun bayangan betapa besarnya kontol alif yang menggesek-gesek memeknya kemarin membuatnya bimbang.

“tapi ummi takut lif” ucap humaira yang mulai terdengar pasrah

“apa yang membuat ummi takut? Kita dirumah cuma berdua, ayah sudah meninggal, ummi sudah lama menjanda. Asal kita sama-sama jaga rahasia tidak ada yang mungkin tau dengan perbuatan kita itu ummi” ucap alif mencoba meyakinkan

“baiklah, ummi akan menuruti permintaan kamu tapi dengan syarat kamu ga boleh ngeluarin peju kamu di dalem kaya kemarin” ucap humaira yang mengaku kalah

“kenapa begitu ummi? Bukankah keluar di dalem lebih enak ummi?” ucap alif

“ummi takut hamil” ucap humaira

“baiklah ummi aku terima syarat dari ummi” ucap alif semangat

Kemudian alif bangkit dan meraih tangan umminya.

“di kamar aku aja ummi” ajak alif seraya menariknya bangun

Setelah mereka masuk dalam kamar mereka duduk di pinggir kasur dan alif mulai mencium bibir umminya.

“crup...cuuup...mcuup...” suara kecupan alif di mulut umminya

“bales dong ummi ciuman aku masa diem aja” ucap alif

“ummi ga tau caranya” ucap humaira polos karna memang belum pernah melakukan ciuman seperti itu

“ummi buka mulut ummi trus keluarin lidahnya sedikit coba” ucap alif meminta

“perhatiin ya ummi” ucap alif sebelum melumat bibir umminya yang sensual itu

“sruup....sluruup....slruuup.. eeemmmuuaaah...eemmmmuuuaahhh” suara emutan dan kecupan alif di bibir umminya

Sekitar 5 menit alif melakukan itu sambil tangannya yang tak henti-hentinya meremas payudara umminya yang masih tertutup baju gamisnya.

“emmmm...heemmm..eehmmm” suara humaira mulai mendesah

“sekarang coba ummi lakuin kaya yang barusan aku contohin” ucap alif

“eeemmmuuaaah...eemmmmuuuaahhh sruup....sluruup....slruuup..” suara mulut humaira yang mulai mahir menghisap dan melumat mulut anaknya

Alif kemudian juga membalas ciuman umminya dengan tak kalah panasnya.

“sruup....sluruup....slruuup..sruup....sluruup....slruuup..” “eehmmmm....eehmmmm.....eeemmmuuaaah...eemmmmuuuaahhh” suara mulut mereka yang kini beradu

Alif membuka sleting gamis umminya. Setelah gamis itu turun ke perut umminya dan membuat bagian atasnya hanya tertutup bra saat ini.

Alif langsung melumat kembali bibir umminya sambil tangannya membuka pengait bra umminya dari belakang.

“eehmmmm....eehmmmm.....eeemmmuuaaah...eemmmmuuuaahhh”

Bebaslah payudara humaira yang nampak masih kencang dan kenyal itu. Tangan alif langsung meremasnya tak henti henti. Alif juga sesekali memilinnya. Kemudian alif merebahkan umminya di kasur dan menarik gamisnya lepas dari ujung kakinya yang membuat tubuh umminya hanya di tutupi oleh cd putih dan kerudungnya yang belum kulepas. Alif kemudian menurunkan mulutnya tepat di payudara umminya dan langsung menghisap dan menggigit putingnya secara bergantian.

"ooooohhhh....ooooohhhhhh....ooohhhh"
"ooooohhhh....ooooohhhhhh....ooohhhh"
"ooooohhhh....ooooohhhhhh....ooohhhh" suara erangan humaira yang tak karuan di iringi dengan nafasnya yang kian tersengal saat ini. Karna harus menerima hisapan dan pilinan tangan dan mulut anaknya yang bersamaan di payudaranya.

Sesekali alif melihat expresi wajah umminya yang ternyata berbeda dari saat dia memperkosanya. Keringatnya semakin banyak keluar dari kulitnya yang mulus itu. Kemudian alif menurunkan mulutnya ke perut humaira sambil tak henti-henti menjilatinya. Saat wajahnya turun lagi sampailah alif di kain kecil yang menutupi memek umminya yang sudah basah itu. Lif menjilati benda itu sambil tanganku terus mengesek-geseknya.

"ooooohhhh....ooooohhhhhh....ooohhhh" suara humaira yang saat ini terdengar kencang.

Tak lama kemudian alif melepas benda itu dari tempatnya. Saat benda itu terlapas terpampanglah memek umminya yang begitu indah dan bersih selain karna berkulit putih bulunya juga tak terlalu banyak karna sepertinya humaira baru saja mencukurnya. Saat alif membuka sedikit kaki umminya terlihatlah daging kecil berwarna agak kecoklatan dengan warna merah jambu di daging bawahnya. Melihat memek umminya yang begitu menawan alif langsung menjilatnya dengan mulutnya.

"ooooohhhh....ooooohhhhhh....ooohhhh" desahan Humaira saat alif mulai menjilati memek umminya yang indah itu

“sruup....sluruup....slruuup..sruup....sluruup....slruuup..” suara hisapan dan jilatan alif yang semakin cepat di memek umminya di bantu dengan jari Tengah alif yang terus menusuk-nusuk lubangnya.

"aaaaaaaaaahhhhh...aaaahhhh....aaahhhh...aaaahhh" suara humaira semakin tak karuan dengan keringat yang makin bercucuran

“oooohhh....aalliiifff ummi...sampe liiiff....oooohhh” ucap humaira yang di ikuti gerakan tak karuan

“aaaallliiiffff...aaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh” erang humaira saat dia mendapat orgasmenya kemudian alif menghisap semua cairan itu dengan mulutnya lalu menelannya

humaira masih tersengal-sengal menikmati orgasmenya. kemudian alif turun dan membuka semua pakaiannya lalu dia naik kembali di antara kedua kaki umminya lalu mulai menggesek-gesek kontolnya di bibir memek humaira. Saat alif melihat umminya sudah mulai tenang dia lalu mendorong kontolnya masuk kememek umminya dan ternyata masih sulit seperti kemarin. Tapi alif tak kehabisan akal, tangannya langsung memilin kedua payudara umminya dan membuat memek itu sedikit longgar lalu alif kembali mendorong masuk semua kontolnya ke memek umminya

“Bleess”.

“aaaaahhhh... ini enak banget ummi” saat aku merasakan.

kembali betapa menjepit dan mencengkramnya memek humaira

alif mendiamkan sejenak kontolnya sambil menikmati remasan dan cengkraman memek umminya di kontolnya. Kemudian alif menggerakan pantatnya perlahan menusuk dan menarik kontolnya di memek umminya yang terasa begitu mencengkram.

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."suara itu keluar saat alif mulai mengencangkan sodokannya di memek umminya

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

"aaaaaaaaaahhhhh...aaaahhhh....aaahhhh...aaaahhh" erangan humaira yang mengiringi bunyi setiap kelamin mereka beradu.

Tangan milik alif tak henti-hentinya meremas dan memilin payudara umminya yang membuat memek umminya makin mencengkram di bawah sana. Sekitar 5 menit mereka dalam gaya misionary lalu alif meminta umminya membalikkan badannya dan menaruh bantal di depan memek umminya yang membuat pantatnya sedikit menungging. kemudian alif memasukan kembali kontolnya dalam gaya favoritnya itu. Setelah 10 menit alif menyodok memek umminya dalam gaya itu, kembali dia merubah gayanya ke gaya doggy style.

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....." suara itu semakin kencang seiring sodokan alif yang dipercepat di memek umminya

"aaaaaaaaaahhhhh...aaaahhhh....aaahhhh...aaaahhh” suara erangan humaira pun semakin menggila.

“aaalliiifff.. ummi keluar.....” ucap humaira tak lama alif langsung mencabut kontolnya dan memasukannya kemulut umminya.

"Crooottt...crrooott...crooot..Crooottt...crrooott...crooot.."
Peju milik alif keluar banyak sekali di mulut umminya. lalu alif menyuruh umminya menelannya dan membersihkan kontolnya dengan mulutnya. Walaupun masih amatir tapi kuluman humaira cukup memuaskan alif. humaira terus saja menjilati kontol alif yang anehnya tak mau mengecil padahal baru saja menyemburkan lahar panas.

“ko ga mau ngecil ya ummi, apa aku masukin lagi aja ya” ucap alif saat melihat kontolnya yang tak lemas meski sudah habis ngecrot
“udah ah ummi cape” ucap humaira menjawab omongan alif

“sekali lagi ummi tanggung” ucap alif sambil kembali mendekati memek umminya yang masih dalam keadaan nungging

Saat alif memasukan kembali kontolnya tiba-tiba, Ada suara orang mengucap salam di depan rumah padahal baru sekitar 5 sodokan alif menusuk memek umminya yang seret itu.

“ada tamu alif… udah cabut” ucap humaira gugup

“tanggung ummi sekali lagi” ucap alif enteng

“tapi didepan ada tamu” ucap humaira yang terlihat tegang

“ya biarin aja mereka kan di depan bukan disini” ucap alif lagi sambil tak berenti menyodokan kontolnya

“tapi nanti mereka denger”

“udah ummi tenang aja mereka ga bakal denger” ucap alif lagi

“oke, tapi buruan ummi gamau mereka denger kita” ucap humaira masih dengan nada takut

“splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

Sekitar 15 menit kemudian "Crooottt...crrooott...crooot.." alif menyemprotkan pejunya di perut umminya. Kemudian humaira membersihkan peju diperutnya dengan sprei kemudian dia keluar sambil memunguti pakaiannya 1 per 1 dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah bersih-bersih seadanya dan mengganti baju dia menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Sedangkan alif masih tiduran dikasur menikmati sisa-sisa persetubuhannya tadi.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Humaira membalas salam itu. Sambil membuka pintu depan.

"Ada apa, Fania?" tanya Humaira dengan ramah.

"Alif ada, Tante?" jawab Fania jujur.

"Kamu mencari Alif? Ada perlu apa?" tanya Humaira penasaran.

"Saya mau memberikan informasi lowongan pekerjaan pada Alif, Tante. Alhamdulillah ada lowongan pekerjaan di perusahaan teman saya yang sesuai dengan Alif."

"Yuk, masuk! Alif ada di dalam." Humaira langsung menggandeng tangannya, mengajaknya masuk ke dalam rumah.

"Alif, dicari Fania!" Humaira mendekat ke arah putranya yang sedang menonton televisi. Alif sangat terkejut, melihat Humaira yang berdiri di ruang tamu.

"Eh, Fania, tumben ke sini. Ada apa?" tanya Alif penasaran.

"Alif, ada teman kasih info lowongan kerja bagian IT. Barangkali saja kamu berminat," jawab Fania.

"Wah, Alhamdulillah. Alif pasti berminat, dong!" sahut Alif.

"Ini alamat email-nya. Kamu langsung saja kirim CV ke situ. Insyaa Allah teman Fania nanti akan membantu merekomendasikan namamu. Semoga saja rizqi." Fania memberikan selembar kertas yang sudah disiapkan dari rumah.

"Terima kasih ya, Fania. Kamu nggak duduk dulu?" Alif sangat senang dengan kedatangan Fania ke rumahnya.

"Maaf, Fania nggak bisa lama-lama. Fania harus berangkat kerja. Abi juga sudah menunggu," tolak Fania dengan sopan.

"Baiklah, hati-hati. Sekali lagi terima kasih," balas Alif.

"Terima kasih ya, Fania. Kamu masih saja memperhatikan keluarga kami." Humaira menimpali ucapan putranya.

"Iya, Tante, sama-sama. Qadarullah teman Fania tadi malam menelepon memberi tahu tentang kabar ini. Fania cepat-cepat ke sini karena waktunya juga tinggal dua hari lagi. Mari, Tante. Fania pergi dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Alif dan Humaira mengantar Fania sampai di luar pagar. Bambang menunggu dan duduk di atas motor matic. Setelah urusan Fania selesai, Bambang pun melajukan kendaraan roda duanya menuju tempat kerja.

"Fania baik ya, Ma," ucap Alif memuji Fania.

"Tentu saja, orang tuanya juga baik. Apa kamu akan melamar di perusahaan itu, lif?" Humaira bertanya pada Alif yang sedang serius memperhatikan layar laptopnya.

"Tentu saja, ummi. Ini kesempatan bagus. Apalagi Alif lihat kalau perusahaan ini memang akan membuka cabang baru. Mereka sedang mencari banyak karyawan. Ini perusahaan besar, ummi," seru Alif kegirangan.

"Fania kok punya kenalan orang-orang seperti itu? Sementara kamu ... kenapa nggak?"

Humaira heran, Fania dan putranya sangat berbeda. Padahal Alif juga kuliah di universitas yang ternama, tetapi putranya itu tidak memiliki teman seperti teman-teman Fania. Bahkan Alif pun sudah beberapa kali tes wawancara, tetapi sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan. Apa yang kurang dari putranya? Wajah tampan, kulit putih dan bersih, tubuhnya tinggi tegap, dan kontolnya juga besar. Nilai Alif juga terbilang lumayan. Humaira memandangi putranya, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Alif yang merasa diperhatikan umminya, menjadi risih.

"Ummi ini kenapa? Kok lihat Alif sampai begitu?" protes Alif.

"Ummi heran, apa ada yang salah dengan anak Ummi? Kenapa kamu nggak punya teman seperti Fania? Padahal dia 'kan perempuan?" Alif berdecak kesal mendengar pertanyaan Humaira.

"Ya nggak tahu, ummi. Mungkin karena teman-teman Fania rata-rata anak pengusaha. Apalagi Fania 'kan dulu sekolah di pondok pesantren terkenal. Wajar kalua teman-temannya juga bukan anak sembarangan." Penjelasan Alif masuk akal dan Humaira pun mengerti.

"Oooh ...."

“kita lanjutin yang tadi nanggung aja yuk ummi” ajak alif

“nanti aja malem, takut ada yang ganggu lagi kan ga enak kalo nanggung” ucap Humaira sambil meninggalkan alif masuk ke kamarnya.

******

Sementara Fania sudah sampai di tokonya dan mulai menjalankan aktivitas kerjanya. Memeriksa laporan, mengecek barang, dan membantu Mawar mengepak barang pesanan. Fania kembali fokus pada layar laptop di hadapannya. Setelah beberapa saat, dia teringat dengan dompet yang ada di dalam tasnya. Fania mangambil dompet itu dan memeriksa kartu identitas di dalamnya.

"Aku akan mengantarnya. Alamatnya cukup dekat dari sini."

Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Seorang gadis berkerudung ungu yang bernama Citra datang ke toko Fania untuk melamar kerja. Fania menyambutnya dengan ramah. Setelah memberikan beberapa pertanyaan, Fania memutuskan untuk menerimanya. Apalagi Hasna sudah merekomendasikan gadis itu. Citra gadis yang sopan dan ramabh, cara bicaranya pun santun, sesuai dengan keinginan Fania. Mawar pun menyukai gadis berkulit kuning langsat itu sehingga mereka berdua langsung akrab dan bisa bekerja sama. Fania bersyukur, dengan adanya Citra yang membantu Mawar, dia bisa meninggalkan toko dengan tenang.

"Mawar, aku akan keluar sebentar, ada urusan. Insyaa Allah sebelum jam empat, aku akan kembali. Kalau abi sudah datang, suruh tunggu di ruanganku dulu saja, ya." Fania pamit pada Mawar karena ingin mengantar dompet milik Aini yang tertinggal di tokonya waktu itu.

"Baik, Mbak. Hati-hati."

Fania mengangguk kemudian berjalan keluar toko menuju taksi online yang sudah dipesannya. Setelah sampai di sebuah perumahan yang cukup elite, Fania bertanya alamat Aini pada sekuriti. Setelah berkendara sesuai arahan sekuriti, taksi online yang membawa Fania itu pun berhenti di depan sebuah rumah megah berlantai dua dan berpagar tinggi.

"Pak, tolong ditunggu, ya. Saya nggak lama."

"Baik, Mbak."

Pintu pagar rumah itu terbuka dan terlihat dua mobil mewah berjajar rapi di halaman depan. Seorang sekuriti yang melihat Fania, berjalan mendekat dan bertanya dengan sopan.

"Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu?"

"Maaf, Pak, apakah benar ini rumah Ibu Aini Hariyanti?"

"Betul, Mbak."

"Maaf, boleh saya bertemu dengan beliau? Saya ada perlu penting."

"Apa sudah ada janji? Kalau boleh tahu dengan siapa?"

"Saya belum ada janji. Nama saya Fania, Pak. Tolong bilang saja kalau saya mau mengembalikan dompet beliau yang ketinggalan di toko."

"Baiklah, tunggu sebentar. Biar saya sampaikan dulu pada Bu Aini." Fania mengangguk dan berdiri menunggu sekuriti yang bernama Marwan itu menelepon

seseorang melalui telepon di pos sekuriti. Setelah menutup panggilan teleponnya, Marwan kembali berjalan mendekati Fania.

"Mbak, silakan masuk saja. Bu Aini sudah menunggu," ucap Marwan ramah.

"Terima kasih, Pak."

Tin... Tin... Tin!

Suara klakson mobil mengejutkan Fania yang akan berjalan masuk ke dalam rumah Aini. Fania segera berjalan ke samping, memberikan jalan pada kendaraan mewah beroda empat itu. Marwan menggelengkan kepala dan mengusap dadanya sendiri berulang kali.

"Astaghfirullah, cewek kok nggak ada sopan-sopannya. Jangan kaget ya, Mbak, dia memang selalu begitu." Marwan merasa tak enak hati dengan Fania.

"Iya, Pak, nggak masalah. Kalau begitu saya masuk dulu."

"Silakan, Mbak."

Fania terus berjalan masuk melewati halaman rumah. Dia sama sekali tak peduli dengan tatapan mata seorang gadis, yang baru keluar dari mobil di hadapannya.

Brakk!!

Gadis itu menutup pintu mobilnya dengan kasar dan berjalan dengan cepat masuk ke dalam rumah. Langkahnya terburu-buru dengan ekspresi wajah yang terlihat marah. Fania tetap berjalan dengan tenang. Sesampainya di depan pintu, Fania hanya bisa diam, berdiri sembari memperhatikan pertengkaran kedua wanita berbeda usia.

"Ummi nggak bisa seenaknya begitu, Shella sudah mempersiapkan semuanya. Pokoknya shella nggak terima! Hanya karena gosip murahan, Ummi langsung percaya dan membatalkan pernikahan kami?"

Tanpa mengucap salam, Shella berteriak pada Aini yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Aini menarik napas berat melihat sikap dan cara bicara Shella yang kasar.

"Belum jadi menantu, sudah begini tingkahnya," gerutu Aini dalam hati.

"Ummi hanya ingin yang terbaik buat Fahri. Semua itu bukan gosip tapi Ummi melihat sendiri kamu selingkuh!" tegas Aini.

"Shella nggak selingkuh. Yang Ummi lihat di kafe itu bukan siapa-siapa, dia hanya teman!" sahut Shella mencari alasan.

"Teman kok cium-ciuman segala. Pokoknya Ummi nggak percaya lagi sama kamu!" balas Aini membuat Shella tak berkutik. Shella tak terima tetapi dia berusaha menahan emosi. Dia berusaha membujuk Aini.

"Ummi... tolong dengarkan Shella dulu ...."

"Ummi sudah tak percaya lagi padamu! Pulanglah!"

"Waduh, sepertinya aku datang di waktu yang salah, nih. Gimana, ya? Apa besok saja aku kembali?" ucap Fania dalam hati.

Fania terpaksa memutar badan dan berniat pulang. Namun, suara teriakan Shella menghentikan langkahnya.

"Hei, siapa kamu?"

"Eh... maaf... maaf kalau saya datang di waktu yang kurang tepat. Sebaiknya besok saja saya ke sini lagi." Fania menjawab pertanyaan Shella dengan gugup.

"Lho, kamu yang punya toko busana muslimah itu, kan?" Aini berjalan mendekati Fania.

"I... iya, Bu."

"Masuklah, jangan sungkan. Kita bicara di ruang keluarga saja biar lebih nyaman." Aini langsung menggandeng tangan Fania dan berniat mengajaknya masuk.

"Eh, nggak usah, Bu. Saya hanya berniat mengembalikan dompet Ibu yang tertinggal di meja ruangan saya. Ini, tolong dicek. Maaf kalau saya tadi lancang membuka dompet Ibu untuk melihat alamat rumah." Fania berusaha menolak dan segera menyerahkan dompet berwarna merah maron itu pada Aini.

"Panggil saja Ummi. Alhamdulillah dompetnya ada sama kamu. Ummi dari kemarin bingung mencari. Ummi kira jatuh di jalan. Terima ka ...."

"Ummi kok percaya gitu aja sih sama dia? Jangan-jangan dia memang sengaja mencuri dan mengembalikan ke sini biar dapat imbalan besar." Shella langsung memotong ucapan Aini, membuat Aini marah.

"Shella! Ummi nggak suka dengan cara bicaramu! Jangan menuduh sembarangan!" Shella tak terima dengan sikap Aini yang terlalu membela Fania--gadis bercadar yang baru pertama kali dilihatnya. Shella memandang Fania dengan tatapan benci, juga merendahkan.

"Kenapa Ummi membelanya? Ummi nggak bisa memperlakukan Shella seperti ini. Memangnya siapa dia?"

"Dia calon menantu Ummi yang baru, calon istrinya Fahri!" Fahri penasaran

"Ummi?"

Tanpa mereka sadari, seorang pria tampan masuk dan mendengar ucapan Aini. Dia sangat terkejut sekaligus bingung.

"Fahri?"

Aini dan Shella pun terkejut dengan kedatangan Fahri. Shella tersenyum sinis pada Fania kemudian mendekati pria itu.

"Sayang, Ummi sudah membatalkan rencana pernikahan kita dan katanya gadis ini adalah calon istri barumu, tapi Shella nggak percaya. Tolong, Fahri, jangan biarkan Ummi berbuat seperti ini. Kita sudah bertunangan dan pernikahan kita juga sudah dekat

"Lalu kenapa? Semuanya masih bisa dibatalkan dan aku juga setuju dengan Ummi," sahut Fahri memotong ucapan Shella.

"Tapi, Sayang ...."

"Jangan panggil aku sayang kalau kepada pria lain kamu juga memanggilnya sayang. Aku tidak mentolerir pengkhianatan!" tegas Fahri.
"Itu semua hanya gosip! Dia hanya teman!" balas Shella tak mau kalah.

"Gosip? Teman? Apa kamu pikir aku nggak tahu kalau kalian diam-diam jalan di mall dan sering nonton bioskop berdua? Apa kamu pikir aku nggak pernah melihat kalian makan malam berdua dan suap-suapan? Bukan hanya Ummi saja yang melihat, tapi aku juga melihatnya, mengerti?"

"Tapi.

"Tapi apa? Kalian hanya teman? Kalian hanya iseng?" Pandangan mata Fahri tajam, membuat Shella tak berkutik. Dia bingung harus bicara apa lagi untuk membela diri.

"Karena kamu nggak pernah mau diajak jalan! Shella juga ingin merasakan bagaimana rasanya pacaran seperti pasangan yang lain. Apa itu salah? Yang penting 'kan setelah menikah, Shella akan setia." Shella terpaksa bicara jujur karena tak punya alasan. Fahri pun tertawa mendengar ucapan gadis cantik itu.

"Hahaha ... alasan apa itu? Aku 'kan sudah bilang, kita bisa pacaran setelah menikah! Sudahlah, itu pilihanmu. Aku dan Ummi sudah membatalkan semuanya. Aku juga sudah bilang pada Paman Amir dan juga kedua orang tuamu. Maaf, Shella, aku tak bisa melanjutkan pernikahan ini. Aku tahu, aku bukan pria impianmu. Pulanglah!"

Fahri berjalan mendekati Aini dan mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim. Aini tersenyum dan menggandeng tangan Fania lalu mengajaknya duduk di sofa yang ada di ruang keluarga. Fahri mengikuti langkah Aini. Fahri memang bukan pria impian Shella, tapi siapa yang tak mau menikah dengan pria tampan dan kaya raya seperti Fahri? Mereka berdua dijodohkan oleh Amir—paman Fahri--sahabat ayah Shella. Tentu saja Shella setuju karena Fahri sangat tampan. Namun sayang, Fahri terlalu agamis dan kaku, tak pernah mau diajak jalan berdua, apalagi pacaran. Jangankan jalan, memegang tangannya pun juga tak pernah mau. Shella yang masih muda, ingin merasakan pacaran seperti remaja lainnya. Apalagi teman-temannya sering bercerita tentang kekasih-kekasih mereka yang selalu romantis, membelikan ini itu, nonton bioskop, bergandengan tangan bahkan berciuman. Darah muda Shella memanas, setiap kali mereka bercerita.

Hingga suatu hari, Shella berkenalan dengan Bagas, pemuda gaul berwajah tampan dan berkulit putih seperti aktor Korea. Bagas yang pandai merayu wanita, membuat hati Shella berbunga-bunga. Akhirnya mereka sering pergi berdua dan Shella mulai menikmatinya. Ditambah sikap dan cara bicara Bagas yang selalu romantis, membuat Shella lupa diri. Shella terpaksa pulang karena sudah tak bisa membela diri. Rencana pernikahannya dengan Fahri pun tak mungkin dilanjutkan lagi. Shella sadar dia salah tetapi dia tak mau kalah. Apalagi melihat Aini mengenalkan Fania sebagai calon istri baru Fahri. Shella tak terima. Dia tak akan membiarkan semua itu terjadi.

"Maafkan Ummi ya, Fania, sampai harus melibatkanmu. Maaf kalau Fania kurang berkenan dengan kata-kata Ummi tadi." Berulang kali Aini mengucapkan kata maaf. Dia sebenarnya hanya menggertak Shella karena lelah dengan sikap gadis itu.

"Nggak apa-apa, Ummi. Fania kaget saja dan takut Shella berpikiran macam-macam," balas Fania dengan sopan.

"Soalnya Ummi bingung mencari cara biar dia cepat pulang. Ummi lelah dengan sikapnya. Padahal saat kami mengenalnya pertama kali, Shella itu gadis yang baik dan sopan. Ternyata akhir-akhir ini dia mulai menampakkan sifat aslinya. Kamu lihat sendiri

'kan bagaimana dia berteriak seperti itu sama Ummi." Aini sedih mengingat sikap Shella padanya.

"Mungkin saja karena pergaulan, Ummi, apalagi Shella masih sangat muda. Seusia dia terkadang masih labil." Fania berusaha menanggapi ucapan Aini dengan kalimat positif.

"Ya mungkin saja. Shella memang masih sangat muda, baru dua puluh tahun. Tapi ... Ummi yakin kalau kamu juga pasti masih muda. Berapa usiamu sekarang? Sudah lulus kuliah? Atau kuliah sambil usaha toko itu?" Aini penasaran. Wajahnya yang tertutup cadar, membuat Aini tak bisa menerka berapa usia Fania.

"Hemm ... Fania dua puluh tiga tahun, Ummi. Alhamdulillah sudah wisuda tahun ini," ucap Fania jujur.

"Masyaa Allah, kamu saja masih dua puluh tiga tahun tapi tidak labil. Sudah punya usaha sendiri lagi. Sementara Shella sikapnya masih seperti ABG."

Fania hanya diam mendengarkan, tidak berniat menanggapi ucapan Aini. Begitu juga dengan Fahri, yang hanya diam memperhatikan. Sesekali pandangan matanya melirik gadis bercadar itu. Mata yang indah, cara bicara yang sopan, suaranya pun terdengar lembut dan sangat merdu di telinganya. Pertemuan keduanya dengan Fania, membuat Fahri mulai penasaran.

"Tapi Ummi sudah lega, ada alasan membatalkan pernikahan ini. Dari awal Ummi nggak setuju kalau Fahri menikah dengan Shella. Ini semua karena pamannya Fahri yang memaksa dan kami tidak bisa menolak." Aini kembali geram.

"Ummi, lebih baik kita sudahi pembahasan soal Shella, nggak enak sama Fania," sahut Fahri mengingatkan.

"Eh, iya, maafkan Ummi sekali lagi, kamu harus melihat pertengkaran kami tadi." Fania mengangguk mengerti.

"Iya, Ummi, nggak apa-apa. Kalau begitu, Fania pamit pulang dulu. Kasihan taksinya sudah menunggu dari tadi."

"Baiklah, terima kasih sudah mengembalikan dompet Ummi." Fania kembali mengangguk dan mencium tangan Aini dengan takzim. Aini memeluk gadis itu dan mencium kedua pipinya. Aini tiba-tiba merasa sayang dan dekat dengan gadis bercadar itu.

Fahri hanya memandang kepergian Fania. Dia heran dengan sikap Aini. Ibunya bukan wanita yang mudah bergaul dengan orang yang baru dikenalnya. Apalagi sampai bicara panjang lebar seperti pada Fania. Bahkan Aini memeluk dan mencium pipi gadis itu dengan penuh kasih sayang. Setelah Fania meninggalkan rumah mereka, Aini mengajak bicara putranya. Dia menghela napas panjang sebelum bicara.

"Paman Amir pasti sebentar lagi ke sini. Dia pasti marah."

"Jangan khawatir, Ummi, biar nanti Fahri yang menghadapi." Fahri berusaha menenangkan perasaan Aini.

"Terima kasih, Nak. Ummi hanya nggak mau Paman Amir memaksamu lagi. Ummi sudah jenuh dengan tingkahnya. Ummi menyesal menerima bantuannya selama ini. Ternyata tidak ada yang tulus. Fahri, maafkan Ummi. Gara-gara Ummi, sekarang kamu yang jadi korban."

Aini berkata dengan sedih, penuh rasa sesal. Dia adalah seorang janda. Ammar--suaminya--meninggal dunia saat Fahri berusia dua belas tahun. Amir—kakak kandung Ammar, yang mencukupi semua kebutuhan Fahri selama ini.

"Ummi jangan sedih, Fahri tidak apa-apa, Ummi." Fahri mendekat kemudian menggenggam erat kedua tangan Aini dengan lembut. Dia tidak ingin Aini selalu merasa bersalah.

"Sebaiknya Ummi istirahat di kamar. Kalau nanti Paman Amir datang, biar Fahri yang menjelaskan." Aini mengangguk pasrah. Dia selalu tak punya keberanian kalau harus melawan kakak iparnya itu. Sebelum beranjak pergi, Fahri bertanya pada Aini karena penasaran.

"Ummi... soal ucapan Ummi tadi. Apakah Ummi benar-benar ingin menjadikan Fania menantu?"

"Apa yang sudah kalian lakukan? Kalian tidak bisa seenaknya membatalkan pernikahan yang persiapannya sudah lebih dari 70%! Aku harus menanggung malu pada keluarga Shella!" Tanpa mengucap salam, seseorang berbicara dengan suara yang lantang pada Aini dan Fahri. Dialah Amir--paman Fahri.

"Ummi duduk saja, biar Fahri yang menjelaskan. Semuanya akan baik-baik saja." Fahri berbisik pada Aini dan Aini pun menuruti perintah putranya. Bahkan dia belum sempat beranjak pergi ke kamar, kakak iparnya sudah datang.

"Paman, duduklah. Kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Fahri akan menjelaskan pada Paman." Amir menarik napas panjang kemudian mengembuskannya dengan kasar. Dia menuruti ucapan keponakannya itu, tanpa membantah. Pandangan matanya tajam, membuat tubuh Aini menegang karena takut. Fahri kembali menggenggam erat tangan Aini, menenangkan perasaan ibunya. Wanita yang sudah melahirkannya itu selalu seperti itu jika berhadapan dengan Amir.

"Paman, aku tahu Paman akan marah. Tapi perlu Paman tahu, niatku sudah bulat dan jangan harap Fahri akan melanjutkan pernikahan ini, meskipun Paman memaksa!" tegas Fahri. Bibir Amir menyeringai mendengar ucapan keponakannya itu.

"Atas dasar apa kamu menghentikan pernikahan ini? Kamu ingin membuat malu Pamanmu, hah?! Ini pasti karena hasutan ibumu!" Aini hanya bisa menggelengkan kepala mendengar tuduhan Amir.

"Paman, Ummi tidak ada hubungannya dengan pembatalan pernikahan ini. Aku sendiri yang memutuskan. Entah Paman percaya atau tidak, Shella sudah selingkuh dan Fahri tidak mau punya istri pengkhianat!"

"Shella tidak selingkuh, dia hanya ingin membuatmu cemburu. Kamu sendiri kenapa tidak pernah mau diajak jalan? Dia juga butuh pria normal yang bisa mengajaknya berkencan seperti yang lainnya." Amir tetap pada pendiriannya dan terus membela Shella.

"Paman ... Paman ... kalau memang selugu itu gadis pilihan Paman, nikahi saja dia!" Fahri sudah mulai tak sabar.

"Jangan kurang aja kamu pada Pamanmu! Akan aku buat kamu menyesal dengan perbuatanmu ini!"

Setelah mengucapkan kalimat ancaman untuk Fahri, Amir pun beranjak pergi dan meninggalkan rumah Aini dengan geram.

"Ayo, Ummi, Fahri antar istirahat di kamar."

Aini mengangguk patuh dan berjalan perlahan menuju kamarnya. Fahri menuntun Aini yang masih gemetaran. Dia sangat sedih melihat keadannya ibunya yang selalu seperti ini saat berhadapan dengan pamannya. Fahri tahu ibunya adalah seorang wanita yang tegar dan tegas. Namun dia sangat heran, tubuh Aini selalu gemetar dan takut saat berhadapan dengan pamannya. Setiap Fahri bertanya, Aini selalu berkata tidak ada masalah, tetapi Fahri tidak percaya. Dia bertekad akan mencari tahu sendiri kebenarannya.
*******

 
Tipikal drama yg umum, tantangan TS bakalan berat untuk bikin cerita ini menarik dan berbeda dari yg lain.
Layak untuk dinantikan, kutunggu update selanjutnya suhu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd