Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

BAB 3

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Seperti biasanya, Fania masih sibuk memeriksa laporan penjualan di ruangannya. Dalam waktu satu minggu, sudah terdapat lima pesanan seragam dari berbagai kelompok pengajian, termasuk dari kampungnya sendiri. Fania menarik napas dalam melihat nominal pesanan seragam yang tidak sedikit jumlahnya. Sementara uang tabungannya masih kurang untuk menambah modal.

"Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar dan bisa selesai tepat waktu," gumam Fania.

Ponsel Fania berbunyi pertanda notifikasi pesan. Rahma mengirim model, warna, dan juga ukuran set gamis yang dipilih. Fania pun melamun, teringat kembali saat Rahma datang ke rumahnya pagi-pagi sekali untuk memesan gamis. Sebelum Fania berangkat kerja, Rahma sudah memberikan uang muka sesuai dengan yang Fania minta. Rahma sangat bersemangat dengan acara pengajian itu, sampai dia mau menggunakan uang tabungannya untuk membayar uang muka seragam. Sebenarnya Fania dan Ustadzah laras sudah mengingatkan agar Rahma menunggu warga yang ikut pengajian, membayar seragam terlebih dahulu. Namun, Rahma tetap pada pendiriannya. Bukan tanpa alasan Fania dan ustadzah laras melarang Rahma memakai uang tabungannya sendiri. Hanya saja mereka sudah tahu sifat dan karakter para tetangganya. Fania takut, uang yang sudah dibayarkan oleh Rahma tidak kembali sepenuhnya dan dia pasti akan terkena imbasnya. Fania bukannya berburuk sangka, tetapi dia harus mempersiapkan dirinya terlebih dahulu, jika hal itu benar-benar terjadi.

"Astaghfirullah ... semoga yang aku pikirkan ini tidak terjadi." Ketukan pintu, membuyarkan lamunan Fania. Mawar sudah berdiri di hadapannya sambil tersenyum.

"Maaf, Mbak, saya langsung masuk tadi soalnya Mbak Fania asyik melamun. Saya panggil-panggil nggak dengar."

"Maaf, Mawar, memang lagi keasyikan melamun. Ada apa?"

"Ada tamu mencari Mbak. Namanya Bu Aini," jawab Mawar dengan sopan.

"Orangnya sudah berumur tapi cantik dan hidungnya sangat mancung, seperti orang Arab," lanjutnya.

"Oh, suruh langsung masuk ke sini," balas Fania.

"Baik, Mbak."

Mawar pun beranjak pergi dan berjalan mendekati Aini. "Langsung masuk saja ke ruangan Mbak Fania, Bu."

"Terima kasih, ya," ucap Aini dengan ramah. Mawar tersenyum dan mengangguk sopan.

"Assalamu'alaikum, Fania. Ummi mengganggu, ya?" Fania menyambut kedatangan Aini dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Aini membalas dengan mencium kedua pipi Fania yang tertutup cadar.

"Wa'alaikumussalaam ... insyaa Allah tidak menggangu, Ummi. Silakan duduk. Ada yang bisa Fania bantu?"

"Ummi hanya ingin mengajakmu makan siang. Kira-kira bisa nggak, ya? Sebagai rasa terima kasih Ummi buat kamu yang sudah mengembalikan dompet Ummi." Fania mengangguk karena tak kuasa menolak permintaan Aini yang terlihat sangat tulus.

"Baiklah, Ummi. Saya pamit dulu sama Mawar dan Citra."

Setelah berpamitan dengan kedua karyawannya, Fania dan Aini berjalan keluar toko menuju kendaraan roda empat yang sudah menunggu. Didalam mobil sudah ada fahri menunggu mereka berdua. Fahri pun mengendari kendaraan roda empatnya menuju sebuah restoran langganan Aini. Sebuah restoran seafood yang ada di tengah kota. Mereka bertiga berjalan menuju tempat duduk yang dipilih Aini. Wanita itu tersenyum dan menggandeng tangan Fania tanpa melepasnya. Fahri semakin heran dengan tingkah ibunya yang tak pernah seperti ini. Padahal wajah Fania juga belum pernah dilihatnya, tetapi Aini terlihat sangat menyayangi Fania.

"Ummi akan pilihkan menu special di restoran ini untuk Fania. Apakah Fania tidak keberatan? Atau ada alergi dengan makanan tertentu?"

"Tidak, Ummi, Fania tidak punya alergi. Semua makanan Fania terima dengan senang hati, apalagi Ummi yang memilihnya."

"Terima kasih ya, Sayang." Fania mengangguk. Fahri selalu saja memperhatikan. Sikap Aini kepada Fania, sudah seperti pada anak kandungnya sendiri. Aini tersenyum penuh arti pada putranya. Dia tahu Fahri diam-diam memperhatikan gadis bercadar itu.

Aini sendiri tak mengerti dengan perasaannya. Semenjak mengenal Fania, dirinya merasa sudah lama dekat dan sangat sayang pada gadis itu. Bahkan pada Shella yang hampir tiap minggu berkunjung ke rumahnya, Aini tidak pernah bersikap selembut itu. Mereka bertiga makan bersama dalam diam. Sesekali terdengar suara Aini yang menawarkan ini itu pada Fania dan juga pada Fahri. Fania masih merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Aini. Dia hanya mengangguk atau menggelengkan kepala sebagai jawaban. Setelah selesai makan, mereka masih tetap duduk sambil menikmati minuman. Bahkan Aini juga memesan tiga bungkus makanan dan minuman untuk karyawan di toko Fania. Fahri hanya menggelengkan kepala melihat tingkah berlebihan ibunya.

"Ummi, sudah waktunya Fania kembali ke toko. Ada pekerjaan yang harus Fania selesaikan. Fania juga belum sholat dhuhur." Fania berbicara dengan hati-hati. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Apalagi makanan dan minuman yang di atas meja sudah habis tak bersisa.

"Iya, Ummi, kasihan Fania." Fahri pun ikut menimpali ucapan Fania. Aini menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan.

"Sebenarnya ada yang mau Ummi sampaikan pada kalian."

"Memangnya apa yang mau Ummi bicarakan?" tanya Fahri penasaran. Aini hanya tersenyum dan memandang Fahri dan Fania secara bergantian. Tiba-tiba perasaan Fahri dan juga Fania tak enak.

"Ummi jangan bicara macam-macam, lho," ucap Fahri mengingatkan.

"Ummi nggak macam-macam, kok, hanya satu macam," balas Aini tersenyum penuh arti.

“ada apa, ummi? Ada yang bisa fania lakukan untuk ummi?” tanya fania yang juga penasaran

“baiklah ummi akan bicara pada kalian. Setelah ummi berpikir dan mempertimbangkan semuanya, ummi ingin kalian berdua menikah”

“apa”

"Bagaimana, Fania? Apakah kamu mau menjadi menantu Ummi? Kalau Fahri sendiri, Ummi yakin dia tidak akan pernah menolak permintaan Ummi. Fahri anak yang baik dan shalih, dia akan selalu berusaha membuat Umminya bahagia." Aini menggenggam tangan Fania dengan lembut. Fahri hanya menggelengkan kepala mendengar permintaan ibunya itu. Fahri memang anak yang penurut dan tidak pernah membantah apa pun yang diperintahkan Aini padanya.

Akan tetapi permintaan Aini kali ini sungguh tak masuk akal bagi Fahri. Mereka baru bertemu dua hari, belum mengenal satu sama lain, bahkan belum tahu bagaimana wajah Fania yang sebenarnya. Namun, Fahri hanya diam tanpa berniat membantah ucapan ibunya.

"Ummi, alangkah baiknya jika dipikirkan kembali. Ummi juga baru mengenal Fania dua hari. Begitu juga dengan Fahri. Fania ingin tidak ada pemaksaan dalam suatu hubungan pernikahan. Apalagi Fahri baru saja membatalkan pernikahannya dengan Shella. Semuanya harus dipertimbangkan dengan matang, Ummi." Fania memberi penjelasan, menolak secara halus. Bukan tanpa alasan Fania berkata seperti itu, Fania sudah trauma dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Seorang suami-isteri datang melamar Fania untuk putranya. Fania tidak tahu apa yang terjadi, tetapi pria yang akan dijodohkan dengan Fania, datang ke rumah dan menghina dirinya.

"Ummi yakin Fahri pasti mau." Suara Aini menyadarkan Fania dari lamunan.

"Justru karena itu, Ummi. Fania tidak ingin Fahri menikah dengan Fania karena terpaksa. Beri kami waktu untuk mempertimbangkan semuanya. Apalagi Ummi dan Fahri mendengar sendiri apa yang Mak Ijah ucapkan tadi soal wajah buruk Fania. Bagaimana kalau hal itu benar? Apa Ummi dan Fahri tidak menyesal?" Fania menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya.

"Fania tidak ingin Ummi mengambil keputusan dengan buru-buru, jangan sampai menyesal ke depannya. Fania ingin pernikahan ini cukup terjadi satu kali saja tanpa ada perpisahan apalagi pengkhianatan. Maaf, Ummi, Fania tidak bermaksud menggurui. Fania bicara apa adanya."

"Kamu benar juga. Maafkan, Ummi ya, Sayang." Aini pun menyadari kesalahannya.

"Tidak apa-apa, Ummi. Fania paham. Mungkin Ummi atau Fahri bisa mencari informasi dulu soal Fania. Bisa juga ke rumah untuk berkenalan dengan ibu dan abi."

"Maksud mu ta'aruf?"

"Insyaa Allah seperti itu, Ummi. Kami dari keluarga sederhana dan orang Jawa asli. Berbeda dengan Ummi dan Fahri. Pasti Ummi juga lebih tahu masalah ta'aruf ini." Aini pun mengangguk setuju.

"Bagaimana Fahri, apa kamu sependapat dengan Fania? Kenapa kamu diam saja?" tanya Aini penasaran.

"Fahri terserah Ummi saja. Tapi Fahri juga sependapat dengan Fania. Siapa tahu Fania sudah dijodohkan sama orang tuanya," jawab Fahri terus terang walaupun dalam hati Fahri tidak menginginkan itu terjadi.

"Insyaa Allah secepatnya Ummi dan Fahri akan berkunjung ke rumah Fania. Atau nanti kita mengantar Fania pulang?" tanya Aini bersemangat.

"Ummi, bukannya Fahri nggak mau tapi Fahri nggak bisa. Fahri harus kembali ke kantor jam tiga nanti, ada klien yang ingin langsung bertemu dengan Fahri." Fahri berusaha memberi pengertian pada Aini.

"Baiklah kalau begitu, insyaa Allah secepatnya kami akan menemui abi dan ibumu. Ayo kita pulang. Kita semua belum sholat dhuhur. Bagaimana kalau kita mampir dulu ke Masjid Agung dekat alun-alun?"

"Terserah Ummi saja." Fahri dan Fania menjawab secara bersamaan, membuat Aini terkekeh.

"Belum apa-apa kalian sudah kompak. Ummi yakin kalian memang berjodoh. Ummi benar-benar nggak sabar ingin menjadikan Fania menantu." Di balik cadarnya, kedua pipi Fania merah merona. Sementara Fahri hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena salah tingkah.

Fania saat ini sudah kembali berada di ruangannya. Setelah mengantar Fania, Aini dan Fahri langsung pulang. Fania kembali berkutat dengan angka-angka yang berjajar rapi di layar laptopnya. Pukul lima tepat, Bambang sudah menunggu Fania di depan toko. Mawar dan Citra sudah pulang. Fania pun sudah bersiap dan mengunci pintu tokonya. Mereka berdua berboncengan pulang ke rumah. Di depan supermarket yang mereka lewati, Bambang berhenti. "Fania, tolong kamu beli beberapa cemilan dan juga minuman botol. Di rumah ada tamu."

"Baiklah, Abi." Fania menuruti perintah Bambang tanpa bertanya.

Selama dalam perjalanan, Fania pun bertanya-tanya dalam hati, siapa tamu yang datang kerumahnya. Mereka tak punya saudara karena baik Bambang atau pun Ustadzah laras adalah anak tunggal. Sesampainya di depan rumah, terlihat oleh mereka sebuah mobil mewah berwarna hitam. Mereka pun masuk ke rumah dan memberi salam. Seorang pemuda tinggi dan tampan berdiri di teras menyambut kedatangan mereka. Pemuda tampan itu mencium punggung tangan Bambang dengan takzim kemudian menangkupkan kedua tangannya di dada pada Fania. Dia pun tersenyum manis melihat Fania yang masih berdiri dan memandangnya tak percaya.

"Assalamu'alaikum, Fania, bagaimana kabarmu?" Fania seketika tersadar dari lamunannya, saat mendengar salam dari pemuda berhidung mancung dan beralis tebal, yang berdiri di hadapannya.

"Alhamdulillah baik, Fauzan. Kamu sendiri, apa kabar?"

"Alhamdulillah baik." Mereka pun duduk berhadapan, dengan Ustadzah laras di samping Fania. Kedua orang tua Fania tak pernah membiarkan putrinya bicara berdua dengan seorang pria, meskipun mereka mengenalnya dengan baik.

Fauzan ingin memulai percakapan, tetapi tiba-tiba suara salam dari seorang pria terdengar dari luar pagar

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

"Itu Alif, mau ngapain dia ke sini?" Laras sudah memasang wajah cemberut melihat siapa yang datang,

"Sabar, Bu, biar dia masuk dulu." Fania berusaha menenangkan umminya dan menyuruh Alif masuk. "Masuk, Lif!"

Alif pun berjalan mendekat ke arah mereka. Pandangan matanya langsung tertuju padapemuda tampan yang duduk dengan tenang dan tersenyum padanya. Fania Kembali bertanya pada Alif yang hanya berdiri diam.

"Alif, tumben ke sini, ada apa?"

"Duduk dulu, Lif!"

"Terima kasih, Fania."

Alif mengatur napasnya, menghalau rasa minder dan juga cemburu. Melihat wajah tampan kearab-araban di hadapannya, membuat Alif yakin kalau Fauzan adalah kekasih Fania.

"Hemm ... Fania, maaf kalau mengganggu. Alif ke sini cuma mau bilang terima kasih. Alhamdulillah Alif diterima kerja di perusahaan yang kamu kasih emailnya itu," ucap Alif dengan suara sedikit gemetar. Dia tiba-tiba merasa gugup.

"Alhamdulillah kalau begitu. Selamat ya, Lif!" balas Fania dengan nada gembira.

"Iya, Fania, sekali lagi terima kasih." Mendengar suara Fania, Alif mulai merasa tenang.

"Bersyukurlah pada Allah, Fania tidak berbuat apa-apa, hanya memberi info lowongan kerja saja." Fania selalu rendah hati. Dia adalah gadis yang tidak gila pujian. Fauzan dan Alif memandang kagum gadis bercadar itu.

"Pokoknya Alif mengucapkan banyak terima kasih."

"Iya. Kamu harus semangat kerjanya." Alif menganggukkan kepala. Sesaat kemudian, Alif nekat bertanya pada Fania sembari melirik Fauzan.

"Dia siapa, pacarmu?" tanya Alif penasaran. Laras berdecak kesal mendengar pertanyaan Alif.

"Kepo!!" sahut Laras.

Fania tersenyum dan menggelengkan kepala melihat umminya yang selalu ketus pada Alif.

"Kenalkan, dia Fauzan--kakak angkatan waktu kuliah dulu. Maaf, Alif, Fania nggak punya pacar karena memang Fania nggak mau pacaran. Dalam agama kita, pacaran itu dosa." Fania memberi penjelasan pada Alif dengan hati-hati. Alif hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Fauzan tersenyum melihat tingkah polos Alif. Dia mengulurkan tangannya mengajak Alif bersalaman dan Alif pun menyambutnya dengan ramah.

"Kenalkan, Fauzan!"

"Alif!"

"Kalau nggak pacaran, terus gimana? Maunya langsung nikah, gitu?" Alif masih saja penasaran. Dia merasa belum puas dengan jawaban Fania. Gadis bercadar itu terkekeh mendengar pertanyaan absurd yang keluar dari mulut Alif.

"Kalau ada yang suka, silakan datang ke rumah dan melamar Fania. Soal diterima atau tidak, terserah ummi dan abi yang menilai. Fania juga akan melibatkan Allah dalam urusan memilih pasangan hidup." Fania memberi penjelasan dengan jujur dan tak ada yang ditutup-tutupi.

"Hemm ... berat amat," gumam Alif lirih sembari melirik ke arah Laras.

Laras yang merasa Alif meliriknya, langsung tersenyum geli pada pemuda itu. Bukannya Laras tak suka pada Alif, tapi sikap Intan yang plin-plan dan tak punya pendirian, sering membuat Laras kesal.

"Itulah, lif, kenapa sekarang saya berada di sini. Saya ingin melamar Fania. Tapi sepertinya lamaran saya tidak diterima."

Ucapan Fauzan sangat mengejutkan Alif. Fania hanya menggelengkan kepala mendengar Fauzan yang terlalu terus terang. Fauzan adalah kakak kelas angkatan saat kuliah dulu. Fauzan mendapat beasiswa di salah satu universitas di Yordania. Sebelum Fauzan berangkat keluar negeri, Fauzan pernah melamar Fania, tetapi Fania menolak karena kedua orang tua Fauzan tidak setuju.

"Ganteng dan tajir begini nggak diterima sama Fania, apalagi aku?" Alif menggerutu dalam hati. Semakin mengenal Fania, dia semakin jatuh hati pada tetangganya itu.

"Semoga sukses, Zam. Kamu saja ditolak apalagi aku?" Alif menggaruk kepalanya yang tidak gatal, salah tingkah dengan ucapannya. Fauzan tertawa mendengarnya. Sementara Fania dan Laras hanya menggelengkan kepala. Fania pun baru menyadari kalau Alif adalah pemuda yang sangat lugu dan apa adanya. Alif tak pernah malu bertanya jika dia tak tahu. Tidak seperti pemuda lainnya yang bersikap sok tahu, demi membuat kagum lawan jenisnya.

"Kalau begitu, Alif permisi dulu, ya. Sudah adzan maghrib. Sekali lagi terima kasih, Fania."

"Oke," sahut Fania singkat.

"Ayo, Zam, Alif pulang dulu. Mari, Tante ... Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Sepeninggal Alif, Bambang keluar dan mengajak Fauzan ke musholla. Suara adzan maghrib sudah berkumandang. Fauzan pun mengangguk patuh dan berjalan mengikuti langkah Bambang.

"Fauzan sudah lama, ummi?" tanya Fania penasaran. Dia yakin abinya sudah mengetahui kedatangan Fauzan dari ibunya. Cemilan dan minuman botol yang dibelinya di supermarket tadi ditujukan untuk Fauzan.

"Ya, hampir satu jam dia menunggu. ummi nggak tega, Fania. Dia bilang ingin bertemu denganmu. Dia baru datang di Indonesia tadi malam. Ayo, kita sholat dulu. Nanti dilanjutkan ngobrolnya."

"Iya, ummi. Tapi ummi duluan sholatnya, Fania mau mandi dulu."

"Ya sudah, jangan lama-lama mandinya."

"Iya, ummi."

Ustadzah laras dan Fania berjalan ke belakang dan menuju kamar mandi. Setelah selesai mengerjakan kewajiban tiga rakaat, mereka berdua duduk di ruang tamu. Bambang dan Fauzan sudah menunggu.

"Bagaimana, Abi, ustazah, apakah lamaran saya bisa diterima?" Fauzan datang dengan tujuan melamar Fania menjadi istrinya. Bambang menarik napas dalam sebelum menjawab pertanyaan pemuda itu.

"Bukannya kami menolak lamaran Nak Fauzan, tapi kami ingin kedua orang tua Nak Fauzan juga menyetujui rencana Nak Fauzan ini," jawab Bambang dengan hati-hati.

Bambang berusaha menolak lamaran Fauzan dengan halus, karena tak ingin menyinggung perasaan pemuda yang terlihat sangat mencintai putrinya.

"Tapi saya yang menikah, saya yang menjalani, dan saya hanya ingin menikah dengan Fania!" tegas Fauzan.

"Memang benar Nak Fauzan yang menjalani pernikahan ini. Tapi menikah bukan hanya menyatukan dua individu. Pernikahan yang baik hendaknya juga menyatakan dua keluarga." Fauzan pun terdiam. Dia mengerti usahanya kali ini gagal.

"Nak Fauzan, sebaiknya dibicarakan dulu baik-baik dengan kedua orang tua Nak Fauzan. Terus terang saja, sebagai orang tua pihak wanita, saya khawatir dengan putri saya kalua dia harus menikah dengan pria yang orang tuanya tidak merestui hubungan kalian. Bagaimanapun Fania juga ingin disayang mertua. Benar begitu 'kan, Fania?" Fania mengangguk setuju.

"Baik, Om, saya mengerti. Tolong beri saya waktu, saya akan memperjuangkan Fania. Saya sudah mencintai Fania sejak lama." Fauzan memandang sedih wajah gadis pujaannya.

"Meskipun Nak Fauzan tidak pernah melihat wajah Fania?" Fauzan menganggukkan kepala dengan yakin, tanpa keraguan, sebagai jawaban pertanyaan Bambang.

"Saya tidak peduli dengan wajah Fania. Keshalihan dan kepribadiannya sudah cukup membuat saya jatuh cinta." Bambang dan Ustadzah laras tersenyum mendengar jawaban Fauzan.

"Terima kasih, Nak Fauzan. Baru kali ini saya melihat seorang pemuda yang jatuh cinta tanpa perlu melihat wajah orang yang dicintainya. Apalagi Nak Fauzan tahu benar gossip tetangga yang selalu mengatakan keburukan wajah putri saya."

Fauzan sudah mengenal Fania sebelum dia berangkat melanjutkan pendidikan S-2 di luar negeri. Dia juga sering mendengar gosip dari tetangga tentang keburukan wajah Fania, tetapi Fauzan tidak percaya.

"Saya tidak peduli dengan semua gosip itu, Om. Saya yakin dengan perasaan saya." Fauzan kembali meyakinkan Bambang.

"Sekali lagi terima kasih, Nak Fauzan. Seandainya saja kedua orang tua Nak Fauzan setuju, saya adalah orang tua yang paling bahagia memiliki menantu seperti Nak Fauzan."

"Saya akan berjuang untuk itu, Om. Kalau begitu, saya pamit dulu. Insyaa Allah saya akan kembali dengan kedua orang tua saya."

"Aamiin ...." Setelah berpamitan dengan sopan, Fauzan beranjak pergi meninggalkan halaman rumah Fania. Gadis bercadar itu memandang kepergian Fauzan sampai hilang dari pandangan.

"Kalau jodoh, tidak akan ke mana ...."

"Iya, Abi. Fania paham. Justru itu yang Fania takutkan. Fauzan akan nekat ...."

"Kalau Fauzan nekat, apakah kamu juga masih menolak?"

"ummi, jangan terlalu memaksa Fania menerima lamaran Fauzan," ujar Bambang mengingatkan.

"Terus terang saja ummi suka sama dia. Orang tua mana sih, Abi, yang nggak ingin punya menantu kayak Fauzan. Udah tampan, keturunan Arab, kaya, mapan, pendidikan tinggi, lulusan luar negeri pula, sopan, baik. Masya Allah ... orang tua yang anaknya dilamar sama pemuda seperti Fauzan terus menolak, sepertinya hanya kita!" stadzah laras hanyalah seorang ibu yang pasti sangat mendambakan memiliki menantu seperti Fauzan. Sudah dua kali Fauzan melamar putrinya dan Bambang menolaknya. Fania juga tidak pernah bicara apa pun tentang perasaannya.

Bukan karena Bambang tak suka dengan Fauzan, tetapi Bambang ingin kedua orang tua Fauzan juga terlibat dalam urusan pernikahan putrinya. Apalagi Fauzan berterus terang kalau kedua orang tuanya tidak setuju kalau Fauzan menikah dengan gadis Indonesia, yang bukan keturunan Arab seperti dirinya. Fania pun demikian, dia bukan gadis yang akan nekat menerima lamaran seorang pemuda seperti Fauzan, meskipun kedua orang tua Fauzan tak setuju. Fania ingin pernikahan mereka atas persetujuan kedua belah pihak. Bagi Fania, sebuah pernikahan bukan hanya masalah cinta tapi juga masalah keluarga besar. Jika orang tua calon suaminya tak merestui pernikahan mereka, pasti rumah tangganya nanti tidak akan bahagia, dan Fania tidak mau hal itu terjadi pada mereka nanti.

"ummi, bukannya Abi tidak mau punya menantu seperti Fauzan, tapi apa ummi nggak kasihan sama Fania kalau mertuanya nggak sayang sama dia? Ingat, ummi, yang menikah itu Fania, bukan ummi." Bambang menghela napas dalam, mencoba menenangkan perasaannya sendiri. Sebagai seorang ayah, dia hanya ingin yang terbaik bagi putri satu-satunya.

"Ya ummi tahu ... ummi tidak memaksa, ummi tadi 'kan hanya bertanya. Maaf, ummi salah." Ustadzah laras akhirnya mengakui kesalahannya.

"Sudahlah, Abi, ummi, jangan bertengkar. Kita lihat saja nanti ke depannya. Kalau ummi menginginkan jodoh seperti Fauzan dan Fauzan bukan orangnya, insyaa Allah, Allah akan memilihkan yang lebih baik dari Fauzan. Mungkin saja lebih tampan, lebih shalih, dan orang tuanya sayang sama Fania dan sayang sama ummi dan Abi."

Fania mencoba melerai perdebatan yang bisa membuat suasana rumahnya menjadi tak nyaman, hanya karena kedatangan Fauzan. Itulah alasannya Fania tidak suka kalau Fauzan datang ke rumah.

"Aamiin ... kamu benar, Fania. Maafkan ummi ya, Nak. ummi tahu kamu pasti sebenarnya juga ingin suami seperti Fauzan, tapi kamu menahan keinginanmu demi kebaikan semuanya. Padahal kita ini juga bukan orang miskin, kamu juga punya usaha. Sombong sekali sih orang tuanya Fauzan itu. Seandainya saja mereka tahu kalau ...."

"ummi, sudahlah. Tolong jangan diteruskan, nanti jatuhnya kita mengghibah mereka. Buat apa Fania menikah dengan Fauzan kalau orang tuanya tidak merestui hubungan kami, ummi. Fania tidak mau Fauzan sampai durhaka pada orang tuanya hanya karena Fania. Apalagi anak laki-laki itu selamanya milik ibunya." Fania langsung memotong ucapan Ustadzah laras yang sudah merambat ke mana-mana.

"Ya, kamu benar, Nduk. Abi juga nggak setuju kalau sampai Fauzan seperti itu."

"Iya... iya... Sekali lagi ummi mengaku salah. Ibu minta maaf. Ibu tidak akan mengungkit masalah Fauzan lagi. Semoga Allah memberikan jodoh yang terbaik buat putriku yang cantik jelita ini." Fania tersenyum dan mendekati Ustadzah laras. Dia memeluk ibunya dari belakang dengan penuh kasih sayang.

"Aamiin, terima kasih ya, ummi. Fania sayang sama ummi ... dan juga Abi. Fania bangga dan bersyukur memiliki orang tua seperti Abi dan juga ummi."

*********

"Assalamu'alaikum, Ma ...."

Dari mana kamu? Pasti dari gadis kampung itu. Benar, kan? Baru tadi malam pulang dari luar negeri, bukannya istirahat di rumah, malah ke rumah gadis kampung itu! Sekali nggak setuju, Mama tetap nggak setuju!" Laila--mama Fauzan, menegur putranya yang baru datang. Ekspresi wajah Laila terlihat marah karena putranya kembali berhubungan dengan gadis yang tidak direstuinya. Fauzan menghentikan langkahnya, kemudian duduk di samping Laila. Dia ingin menjawab pertanyaan ibunya tanpa emosi.

"Namanya Fania, Ma. Meskipun gadis kampung, dia sudah mandiri, punya agama dan akhlak yang baik." Fauzan berusaha menjelaskan dengan lembut, meskipun dia tidak yakin ibunya mau menerima.

"Pokoknya Mama nggak setuju. Titik!!" tegas Laila.

"Kenapa, sih, Ma? Apa salah Fania? Bahkan Mama belum pernah bertemu dengannya." Fauzan heran dengan ibunya yang tak pernah menyetujui hubungannya dengan Fania, tanpa memberi alasan yang jelas. Dulu alasannya karena Fauzan masih kuliah dan harus menyelesaikan pendidikan S-2. Suatu saat Fauzan mencoba membicarakan Fania lagi, alasan mamanya karena Fania bukan keturunan Arab, seperti keluarga mereka.

"Mama tidak suka dengan wanita bercadar! Paham? Lagi pula, keluarganya nggak selevel sama kita," jawab Laila dengan sinis seolah merendahkan status Fania yang dari keluarga sederhana. Fauzan memijit pelipisnya mendengar alasan yang didengarnya sekarang.

"Astaghfirullah ... Mama jangan begitu, bukannya Mama juga paham agama? Di mata Allah derajat kita semua sama, Ma!" Fauzan berusaha membela Fania.

"Pokoknya Mama nggak setuju! Kalau kamu ingin berbakti, kamu tidak boleh melanggar perintah orang tua, mengerti?!" Laila tetap pada pendiriannya.

"Kenapa Mama seperti ini? Mama sama sekali tidak menyayangi Fauzan! Mama mementingkan diri Mama sendiri!" Fauzan mulai terpancing emosi, tak terima dengan alasan mamanya yang tak masuk akal.

"Fauzan! Dia berbeda dengan kita. Sebagai keturunan Arab, Mama juga harus memiliki menantu dari bangsa kita. Semua itu sudah ada aturannya!" Fauzan berdecak kesal mendengar ucapan Laila.

"Itu lagi, itu lagi! Aturan apa itu? Kalian membuat aturan sendiri tanpa memikirkan perasaan anak-anak kalian! Kalau Mama memang tidak setuju dengan Fania, aku akan keluar dari rumah ini. Aku menyesal dilahirkan dari keturunan Arab kalau tidak bisa memilih pasangan sendiri." Laila terkejut dengan ucapan Fauzan. Dia tak percaya putranya bisa bicara seperti itu. Selama ini Fauzan tak pernah bicara kasar padanya. Hanya karena membela seorang gadis pujaannya, Fauzan mulai berani melawan, membuat Laila semakin membenci gadis bercadar itu.

"Fauzan! Hanya karena gadis itu, kamu sudah berani melawan orang tua? Semakin kamu melawan, Mama akan semakin membencinya. Paham?!"

"Terserah!!" Fauzan beranjak pergi meninggalkan Laila menuju kamar dan membanting pintu dengan sangat kencang. Hatinya kesal karena mamanya yang tak pernah menyetujui gadis pilihannya. Laila hanya menggelengkan kepala dan mengusap dadanya sendiri berulang-ulang. Dia tak menyangka Fauzan berani melawan.

"Lihat saja kamu gadis kampung, aku tidak akan membiarkan putraku berhubungan denganmu." Laila bertekad menemui Fania dan akan menyuruh gadis itu menjauhi putranya. Dia pun segera menelepon seseorang untuk mencari tahu keberadaan Fania dan keluarganya.

"Seberapa istimewanya kamu sampai membuat putraku berani melawan orang tuanya? Kita akan segera bertemu, Fania!"

*******

SPlooookss... SPlooookss... SPlooookss...

Di dalam sebuah kamar tampak sepasang anak manusia berlainan jenis tengah memadu kasih. Dengan gaya konvensional, seorang pemuda tengah memacu birahinya diatas seorang tubuh wanita yang usianya jauh lebih tua darinya. Tetapi perbedaan usia tersebut tidak menjadi sebuah penghalang bagi mereka.

Sembari menghentak-hentakkan pinggulnya, telapak tangan Alif bergerilya diatas payudara Ustadzah Haifa, ia meremas dan sesekali memilin puting Ustadzah Haifa. Keduanya tampak begitu menikmati perzinahan mereka, seakan mereka sudah tidak lagi perduli dengan ancaman dosa yang saat ini tengah membayangi keduanya, yang mereka inginkan saat ini hanya sebuah kepuasaan batin.

"Lif... Aahkk... Terus sayang... Aaahkk..." Lenguh Ustadzah Haifa, tubuhnya yang bermandikan keringat tampak terhentak-hentak menerima setiap sodokan kasar kontol Alif yang tengah berada diatasnya.

Jemari kiri Alif membelai kepala Ustadzah Haifa, ia menatap wajah Ustadzah Haifa yang tampak merona merah. "Nikmat sekali memeknya Ustadzah... Sssttt... Aku gak perna bosan ngentotin Ustadzah Haifa." Racau Alif, pemuda itu tampak senang sekali karena bisa menyetubuhi tetangganya itu kapanpun dia mau.

"Nafsu kamu gede... Tapi Ustadzah suka." Lirih manja Ustadzah Haifa.

Alif memanggut bibir tetangganya itu, melumatnya sembari menjejalkan lidahnya ke dalam mulut Ustadzah Haifa yang dengan gesit membelit lidah Alif, menyedotnya, hingga menelan air liur Alif yang memenuhi rongga mulutnya. Mereka berciuman sangat liar dan panas. Telapak tangan Alif makin liar bergerilya diatas payudara Ustadzah Haifa yang ranum. Ia memainkan putingnya yang telah membesar, memberinya stimulasi-stimulasi nikmat, yang membuat syahwatnya Ustadzah Haifa kian terbakar.

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...



Suara hentakan kontol Alif yang menembus relung memek Ustadzah Haifa terdengar semakin nyaring, seiring dengan cepatnya pinggulnya bergoyang maju mundur, maju mundur menyodok-nyodok memek Ustadzah Haifa yang sudah sangat basah itu. Sanking keras dan cepatnya, Ustadzah Haifa di buatnya kelimpungan. Wanita berusia 35 tahun itu sudah tidak sanggup lagi, dorongan nafsunya begitu besar hingga akhirnya iapun orgasme.

Tubuhnya meliting-liting, kedua betisnya menegang dan pantatnya terangkat cukup tinggi. "Ustadzah dapat Lif.... ustadzaaahh... Dapat..." Jerit Ustadzah Haifa, matanya memutih dan wajah cantiknya memerah.

Sejenak Alif mendiamkan kontolnya, membiarkan Ustadzah Haifa menikmati sisa-sisa orgasmenya. Suasana yang tadinya di penuhi suara-suara erotis kini mendadak hening. Alif terpaku diam memandangi wajah cantik Ustadzah Haifa yang bermandikan keringat tampak sayu. Entah kenapa ada kepuasan tersendiri setiap kali ia berhasil membuat wanita nya tergolek lemas setelah di hantam terpedonya.

"Kamu belum keluar juga Lif?" Tanya Ustadzah Haifa.

Alif berbaring di samping Ustadzah Haifa, sembari memeluk pinggang ramping Ustadzah Haifa. "Gak apa-apa kok Ustadzah! Yang penting Ustadzahnya puas." Ujar Alif, sembari menatap lembut mata Ustadzah Haifa.

"Sepertinya kamu butuh wanita lain Lif! Hihihi..."

"Emang Ustadzah Haifa gak cemburu kalau aku ngentotin cewek lain?" Goda Alif, ia mencium lembut pipi merah Ustadzah Haifa.
Ustadzah Haifa menggelengkan kepalanya. "Ustadzah malah senang, itu artinya didikan Ustadzah berhasil." Canda Ustadzah Haifa, Alif ikut tertawa, mengingat memang benar Ustadzah Haifalah yang mengajarkannya bagaimana cara merayu wanita.

"Kalau begitu aku harus mencobanya." Alif meraih dagu Ustadzah Haifa dan kembali melumat bibir Ustadzah Haifa dengan rakus, sebagai ungkapan terimakasih.

Tangan Ustadzah Haifa meraih batang kemaluan Alif yang masih terasa kaku dan besar. Tubuhnya merinding setiap merasakan kontol Alif yang tidak hanya besar tapi sangat keras seperti batu. Dalam sekejap Ustadzah Haifa kembali terbakar api birahi. Syahwatnya menggebu-gebu, ia ingin kembali merasakan kejantanan Alif kembali mengobok-obok liang syurgawi miliknya.

Ustadzah Haifa mendorong tubuh Alif hingga telentang, dengan cepat ia naik keatas selangkangan Alif, menuntun kontol Alif tepat berada di celah-celah bibir kemaluannya yang sudah sangat licin. Dengan perlahan kontol besar itu membela masuk ke dalam lobang memek Ustadzah Haifa.

"Aahkk... Sekarang giliran Ustadzah." Racau Ustadzah Haifa.

Kedua tangan Ustadzah Haifa menggenggam kedua tangan Alif, ia meletakkan tangan mereka tepat di samping kepala Alif, membuatnya seakan-akan terlihat sedang memperkosa Alif. Sembari memandangi wajah polos Alif, Ustadzah Haifa mulai menggerakan tubuhnya dengan perlahan.

Alif memejamkan matanya, menikmati permainan liar Ustadzah Haifa yang tengah naik turun diatas selangkangannya. Harus diakui permainan Ustadzah Haifa sungguh luar biasa, tidak heran kalau Alif sampai ketagihan menikmati goyangan erotis dari seorang wanita secantik Ustadzah Haifa. Sesekali Ustadzah Haifa juga meliukkan pinggulnya, maju mundur, dan sesekali melakukan gerakan memutar membuat kontol Alif seakan di peras oleh dinding kemaluannya yang menjepit erat kontol Alif.

"Oughk... Ustadzah! Aaahkk..." Lenguh Alif.

Gerakan tubuh Ustadzah Haifa semakin liar, seiring dengan gairahnya yang kian memuncak. Rasa nikmat yang tidak pernah ia dapatkan dari Suaminya kini ia dapatkan dari Alif. "Aaahkk... Aaahkk... Lif! Aaahkk... Oughk... Sssttt... Aaahkk... Aaahkk..." Desah Ustadzah Haifa, wajahnya mendongak keatas, dan jemarinya semakin erat memeremas jemari Alif.

Tidak mau tinggal diam, Alif juga ikut menggerakan pinggulnya, menusuk keatas menyambut lobang memek Ustadzah Haifa yang membuat tubuh indah Ustadzah Haifa telonjak-lonjak.

"Aku dapaaaat sayaaaaang..." Jerit Ustadzah Haifa.

Tubuh indahnya melejang-lejang, dan wajah cantiknya sampai mendongak keatas. Untuk kesekian kalinya Ustadzah Haifa di buat orgasme oleh Alif, membuat tubuh indahnya terasa remuk, setelah menerima orgasme ke empat kalinya sore ini. Alif yang merasa sudah waktunya mengakhiri permainan mereka, segera memposisikan tubuh Ustadzah Haifa menungging.

Dengan pasrah ustadzah Haifa menuruti permintaan Alif. "Ayo Lif! Ustadzah sudah siap..." Goda Ustadzah Haifa, sembari menggoyangkan pantatnya.

Plaaak... Plaaaak... Plaaak...

Beberapa kali Alif menampar pantat Ustadzah Haifa, meremasnya hingga meninggalkan bekas merah di pantat semok Ustadzah Haifa.

"Aku masukan sekarang ya Ustadzah." Kata Alif.

Sembari mencengkram kedua pinggul Ustadzah Haifa, Alif mendorong masuk kontolnya ke dalam lobang memek Istri tetangganya itu. Wajah Alif tampak meringis, menikmati sensasi jepitan memek Ustadzah Haifa yang tengah memeluk erat batang kemaluannya. Dengan gerakan perlahan pinggul Alif bergerak maju mundur, menusuk-nusuk lobang memek Ustadzah Haifa hingga mentok. Lima menit kemudian Alif mulai merasakan aliran darahnya yang berkumpul di satu titik kemaluannya yang membuat kontolnya kian terasa panas. Setelah beberapa kali hentakan akhirnya Alif bisa menuntaskan birahinya. Sembari membenamkan kontolnya, ia meneustadzahkan amunisinya ke dalam rahim Ustadzah Haifa.

Tubuhnya bergetar sesaat seiring dengan semburan lahar panasnya. Croooottss... Croootss... Croootss. "Oughk... Enak banget Ustadzah." Racau Alif.

Ploooopss...

Alif mencabut kontolnya dari dalam memek Ustadzah Haifa, tampak lelehan spermanya mengalir keluar, mentes hingga jatuh kelantai. Mereka mengakhiri cumbuan malam ini dengan berpelukan mesrah.

 
Mmmmmmaaaakkkkkk nnnnyyyyooossss.

huft. Huft. Huft. (Lelah seperti habis berlari). Baru marathon 3 chapter, berasa 3 buku.

Ni cerita kacau. GG parah, calon oscar. Wkwkw

Semangat suhu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd