...
Aswatama menangkap belati tersebut dengan mudah, tak terpengaruh dengan kobaran api sama sekali. Bahkan setelah Aswatama berhasil menangkap belati tersebut, api yang berkobar di belati itu langsung padam dengan cepat, hanya menyisakan besi hitam yang berada dalam genggaman tangan Aswatama.
Melihat itu Jaya pun terkesiap, ia tak menyangka bahwa serangan pembuka yang ia kerahkan sepenuh tenaga dengan mudah diredam oleh sang penjaga tongkat. Selain itu ia juga terkejut sebab sang lawan di hadapannya ternyata menguasai energi biru yang amat kuat, energi khas orang-orang Lemah Kidul.
Jaya semakin merasa gugup, tak menyangka bahwa penjaga tongkat di hadapannya benar-benar seseorang yang perlu dan sangat harus ditakuti. Terlebih dari awal ia amat sadar, kekuatan kelompoknya berada satu level di bawah dua kelompok yang dikabarkan menghilang sebelumnya ketika mengejar Anggaraksa (dua kelompok penghadang yang ditemui Aswatama Sebelumnya).
“Dua energi berbeda? Bangsat!” Maki Jaya dalam hati.
Dan belum sempat ia bereaksi apa-apa, Aswatama langsung melemparkan belati hitam tersebut ke arah lain, meluncur dengan cepat dan deras. Hingga..
JRRREEEBBB...
CRAARRRTT...
“Orrrgghhh.. orrrgghhh..”
Belati tersebut langsung bersarang di leher Tono dengan telak, membuat leher pemuda yang baru saja menarik penisnya keluar dari vagina Ambu itu langsung memancarkan darah segar, menggelepar-gelepar dan jatuh ke samping.
“TONO!!” Raung Broto yang melihat dengan jelas ketika mata Tono membelalak, tercabut nyawanya dari badan.
“BANGSAT!!!!” Agus bereaksi paling awal, ia dengan tanpa sopan santun segera merebut puntung rokok di jemari sang pimpinannya, dan langsung berlari ke depan menyongsong Aswatama.
“Tunggu Gus!” Seru Jaya mencoba menahan Agus. Namun terlambat, Agus sudah berada beberapa langkah di depan.
Agus yang sudah terbakar amarah pun segera melemparkan puntung rokok menyala milik Jaya ke arah depan, lalu memusatkan energinya sejenak dan langsung menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, berusaha melakukan serangan yang sama untuk kedua kalinya.
Melihat itu Aswatama pun segera berlutut seraya menempelkan kedua telapak tangannya di tanah, matanya tajam menatap ke depan dengan bibir mulai melafalkan sesuatu yang tiada orang lain akan bisa mendengarnya.
Dan tepat ketika puntung rokok yang dilempar Agus memercikkan api, Aswatama segera mengalirkan tenaga dalamnya menyusup ke dalam tanah, mengalirkan kepulan-kepulan energi biru itu masuk ke sana. Terlihat sekali bahwa Aswatama sedang dalam konsentrasi yang amat tinggi.
Lalu...
WUURRRHHHH
Puntung rokok tersebut kembali mengobarkan api besara yang langsung menyusur udara menuju Aswatama.
“Alur laut..” Ucap Aswatama pelan menyelesaikan pelafalan kalimatnya. Dan di saat bersamaan juga dari dalam tanah, air tiba-tiba memancar dengan deras, langsung menangkup api tersebut dengan kubik air yang kian detik kian banyak. Membuat api yang dikobarkan Agus langsung padam tak bersisa.
Agus tercekat, langkahnya langsung terhenti ketika untuk kedua kalinya ia harus menerima bahwa serangannya dengan mudah diatasi oleh sang penjaga tongkat tersebut. Juga karena ia terkesiap mendapati gumpalan air sebesar drum melayang-layang di atas tanah.
Tanpa menunggu lama, Aswatama pun mendorong lengannya ke depan, bergerak dengan sangat lembut bak ombak di tengah teluk. Lalu..
BBUURRR..
Belum sempat Agus bereaksi lebih jauh, air yang berada dalam kendali Aswatama langsung menerjang tubuhnya dengan kencang. Bak ombak di tepi pantai yang menghantam karang. Agus pun terlempar ke belakang, melayang di udara melewati tubuh sang pimpinan yang masih tercekat.
BUMMM..
Tubuh Agus langsung jatuh berdebum dengan keras, berguling-guling dengan pakaian sudah basah sebasah-basahnya. Sementara air yang menerjang tubuhnya sudah kembali masuk ke dalam tanah. Agus pun merintih kesakitan, bukan sebab jatuhnya, melainkan karena kencangnya hantaman air membuat dadanya sesak bukan main.
“Sudah saya bilang, saya tidak akan menahan diri kali ini..” Gumam Aswatama sembari berdiri, bersamaan dengan itu.. bulir-bulir air pun keluar dari dalam tanah, membentuk bulatan-bulatan sempurna sebesar bola tenis, melayang-layang mengelilingi tubuh Aswatama dengan jumlah puluhan.
Sementara itu Aswatama masih menggumamkan kata-kata rapalan pelan dari bibirnya.
Melihat itu Jaya menelan ludahnya keras, tak menyangka bahwa sang penjaga tongkat yang mereka kejar adalah seorang Talang Drawa yang sangat mahir.
“Ja.. jangan sombong dulu bocah!” Seru Jaya geram bercampur gugup, ia pun segera mengambil ranting kering di dekatnya.
Digenggamnya erat-erat sembari mengalirkan anergi ke telapak tangannya, memanaskan ranting tersebut sampai mengeluarkan asap.
Setelah mengepulkan asap cukup banyak, Jaya melempar ranting itu pelan ke atas, kemudian mengarahkan telapak tangan kanannya ke ranting itu. Dan..
WUURRRHHH
Seketika api pun membumbung dari ranting tersebut, melahap habis ranting mungil itu sampai jadi abu. Kemudian Jaya mengarahkan juga telapak tangan kirinya ke api yang baru menyala itu, langsung membelah kobaran Api itu jadi dua. Di kanan dan kirinya.
“Aku bakal bikin banyu-banyumu itu menguap!” Seru Jaya lantang sembari menurunkan tangannya, membuat dua kobaran api sebesar ban truk di kedua sisi tubuhnya ikut terturun. Ia atur napasnya, berusaha mengejar ketenangan diri sendiri.
Aswatama tersenyum, ia masih bergumam sendiri dengan pelafalannya. Membuat Jaya sebal sendiri sebab ucapannya tak mendapatkan tanggapan. Dan tanpa pikir panjang, Jaya langsung menghentak tangannya ke depan, mengirimkan gumpalan-gumpalan api guna menyerang Aswatama.
WUSSHH..
WUSSHH..
WUSSHH..
WUSSHH..
“..karang banyu..” Ucap Aswatama sembari menggerakkan kedua tangannya ke depan, membuat puluhan bola-bola air sebesar bola tenis itu pun langsung melesat, menyambut kedatangan gumpalan-gumpalan api yang dikirim Jaya padanya.
CESSSHH.. CESSHH.. CESHH.. CESHH..
Satu persatu api yang datang pada Aswatama padam sebelum sempat mendekat. Teredam oleh sebagian bola-bola air yang dikirimkan Aswatama, sedang sebagian yang lainnya terus meluncur ke arah Jaya. Membuat lelaki itu segera berlarian cepat menghindari kejaran karang banyu milik Aswatama.
Jaya tahu, bola-bola air tersebut adalah karang banyu, salah satu kemampuan yang dimiliki seorang Talang Drawa. Di mana gumpalan air akan dialiri energi, yang mebuat molekul air dalam pengendalian talang drawa bisa dimanipulasi sesuka hati, dipadatkan atau pun diuraikan. Serta digerakan kemanapun si pengendali inginkan.
Dan Jaya tahu betul, sesakit apa jika sampai ia terkena sambaran air tersebut, akan lebih sakit dari apa yang dirasakan Agus yang saat ini bahkan belum mampu bangkit. Padahal air yang dihantamkan Aswatama bukanlah karang banyu, melainkan alur laut, dimana molekul airnya tidak sepadat karang banyu.
Dengan kaki gesitnya, Jaya terus berlari ke kanan dan ke kiri menghindari karang banyu tersebut, sembari berusaha terus meluncurkan serangan balasan. Namun tetap, api-api yang ia kirimkan selalu padam sebelum sampai ke sasaran. Membuat Jaya semakin kewalahan dan semakin terjepit saja rasanya.
Hingga tiba di satu moment, Jaya terpojok di bibir jurang, membuatnya reflek menghentikan gerakan. Hal tersebut langsung dimanfaatkan Aswatama, ia segera mengarahkan lima bola-bola airnya melingkari kepala Jaya. Membuat lelaki itu memucat, game over bagi Jaya jika saja Aswatama langsung meremukan kepala lelaki paruh baya tersebut.
“BERHENTI!! ATAU KU HABISI MEREKA BERDUA!!” Tiba-tiba Broto berteriak lantang, tubuhnya gemetaran dengan wajah dipenuhi cipratan darah dari rekannya yang sudah terbaring tak bernyawa.
Posisi Broto pun sudah tak lagi berada di bawah tubuh Ambu Asih, ia kini sudah berbalik menduduki perut perempuan paruh baya yang terkolek penuh cipratan darah tersebut.
Dan masih dengan tubuh telanjang bulatnya, Broto mengarahkan sebuah belati yang ia cabut dari leher Tono. Menggenggam erat gagang belati tersebut dengan tangan kirinya, dengan bagian tajam belati yang ia tempelkan di kulit leher Ambu Asih, siap menyayat urat leher perempuan paruh baya yang sudah pasrah akan nasib tragis yang dialaminya.
Sedang telapak tangan kanan Broto terbuka dan diarahkan ke Abah Ependi yang masih dalam posisi terikat dan tersumpal mulutnya. Tapi bukan itu saja, beberapa centi meter di depan telapak tangan Broto terdapat gumpalan api sebesar buah apel yang menyala, seolah siap dilemparkan ke arah yang dikehendaki Broto.
“Herrrggghb.. herrrggghhh..” Abah Ependi dengan mulut tersumpal meraung-raung teredam, air matanya berderai. Bukan sebab ia takut pada nyala api yang diarahkan padanya, bukan sama sekali. Melainkan ia takut jikalau belati di leher sang istri akan merenggut nyawa perempuan kecintaannya itu.
“Jangan.. tolong jangan.. hiks..” Dan Kinaya pun ikut bersuara, ia tak lagi menutup matanya seperti permintaan Aswatama. Perempuan muda itu sudah terduduk di tanah dengan tangis berderai, mendekap erat kucing hitam di pelukannya. Khawatir pada keselamatan kedua orangtuanya.
Dan Aswatama pun terpekur dalam, ia yang tadinya berniat langsung meremukan batok kepala Jaya pun terdiam, ia berhenti dan terpaku menatap lamat-lamat ke arah Broto, namun tanpa melepaskan fokusnya pada Jaya yang sudah dalam genggamannya.
“Hentikan talang drawamu itu, atau bakal kucabut nyawa mereka berdua.. huh.. huh..” Broto berucap dengan raut gusar, antara takut namun juga marah di saat bersamaan.
“Turunkan dulu among genimu, dan jauhkan belati itu dari lehernya!” Aswatama berucap dengan geram sembari menggerakkan tangan kirinya ke arah Agus yang mulai bangkit dari kesakitannya, membuat karang banyu lainnya keluar dari tanah di sekitar pemuda yang tadi terhantam alur laut itu, langsung berputar dan melayang-layang rapat di sekitar leher rekan dari Broto tersebut.
“Heppph..” Agus tercekat mendapati bola-bola air terbang mengitari lehernya, membuat pemuda itu segera mengangkat kedua tangannya, tak berusaha melawan lagi.
Aswatama sebenarnya bisa saja langsung menempatkan karang banyu-nya itu di sekitar tubuh Broto yang tengah menyandera Abah dan Ambu, atau bahkan bisa langsung menghantam tubuh pemuda telanjang itu, namun Aswatama tak mau mengambil resiko, sebab salah-salah.. Broto yang wajahnya dipenuhi cipratan darah tersebut akan hilang iendali dan langsung melepaskan api di telapak tangannya ke arah Abah Ependi.
Broto pun semakin diliputi ketakutan, matanya berpindah-pindah dari Aswatama, lalu ke Jaya, kemudian ke Agus. Broto benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ia sudah kehilangan Tono, dan ia tak siap jika harus kehilangan Agus dan Jaya sang pimpinan.
Bukan karena ia terlalu menyayangi kedua orang tersebut, namun karena ia sadar, jika kedua orang tersebut tewas seperti Tono, maka kesempatan baginya untuk lepas dari situasi membahayakan ini akan semakin kecil. Dan bukan tidak mungkin ia pun akan kehilangan nyawanya jika hanya menghadapi sang penjaga tongkat seorang diri.
“LE.. LEPASKAN DULU KANCA-KANCAKU!!”
Seru Broto dengan tangan gemetar, dan itu tanpa sadar telah membuat belatinya mulai menekan kulit leher Ambu Asih, mengiris kulit putih leher Ambu yang dihiasi bekas-bekas ciuman dan hisapan, membuat sedikit demi sedikit darah segar mulai keluar sedikit dari sana.
Ambu Asih meringis kesakitan dalam hati, perih di lehernya benar-benar terasa menyakitkan. Namun sang pemegang belati itu benar-benar tak menyadari bahwa ia mulai menekan belatinya sendiri.
“JAUHKAN BELATIMU DARI LEHERNYA!!!” Bentak Aswatama keras dan gahar, lantang menggema ke seluruh penjuru. Membuat Broto langsung tersadar dan langsung mengatur jarak belatinya.
Sedang seluruh orang yang mendeng
ar teriakan Aswatama langsung dirundung ketakutan hebat, sebab suara Aswatama terdengar berat dan menggelegar. Juga karena kepulan energi ungu mulai menjalari kembali tubuh Aswatama.
Kali ini bukan hanya di bagian kaki, namun juga ke seluruh tubuhnya, tindih menindih dan jahit menjahit dengan kepulan energi biru yang sebelumnya sudah keluar.
Pancaran energi pun langsung menguar dengan deras dari tubuh Aswatama, bersamaan dengan itu angin mulai berhembus lebih kencang dari sebelumnya, membuat pohon-pohon bergoyang hebat.
Bahkan saking derasnya energi yang memancar dari tubuh Aswatama, membuat perlahan-lahan ikat kepala pemuda itu terangkat dan terlepas dari kepalanya, terbang entah kemana. Menampilkan pola menyala di kening pemuda itu dengan jelas, memancarkan sinar ungu dan biru bergantian.
Angin pun kian riuh berembus, langit yang tadinya cerah biru mulai diselimuti awan kelabu yang pekat, dengan suara guntur menggelegar di ketinggian.
Jaya, Broto dan Agus langsung memucat pasi, mereka dilanda ketakutan yang amat besar di dalam hati.
Hal yang sama dirasakan Kinaya, ia yang terduduk di tanah pun hanya bisa memeluk kucingnya erat-erat, rambutnya yang tergerai bergerak-gerak acak diterpa angin kencang.
Sedang Abah yang sedari tadi meraung-raung teredam, sudah terdiam keluh menatap langit yang jelas sekali mulai didatangi awan-awan pekat nan gelap. Dan Ambu.. perempuan itu hanya bisa menatap kosong langit di atasnya, ia sudah tak peduli lagi pada apa yang akan terjadi kepadanya.
*
Purantara beberapa saat sebelumnya..
POV REGAN
“Hhhooaaammss..”
Ah sialan.. kepalaku berat banget rasanya. Ini pasti gara-gara dicekokin TM sama Mansion gepeng semalem nih sama Om Damar. Tapi ngemeng-ngemeng, kok aku bangun-bangun ada di kamar? Siapa yang mindahin? Masa Om Damar?
Ah enggak urus lah..
Aku pun bangkit dari rebahku, kemudian duduk bersandar sambil memukul-mukul pelan kepalaku make telapak tangan, mencoba ngondisiin spaneng yang rada masih berasa.
Huh..
Dan setelah agak mendingan, aku pun beringsut ke pinggir ranjang. Lalu bangkit dan berjalan ke arah jendela kamarku yang posisinya udah kebuka lebar, jendela ini juga nih yang bikin aku mau enggak mau kudu bangun, silaunya jatoh tepat di muka coy..
Kuhela napasku dalam-dalam, kupegang pembatas jendela tersebut sembari menatap langit cerah yang membiru tanpa awan. Angin sepoi-sepoi langsung membelai wajahku.
Anjay membelai.. rada puitis tuh kata-kata..
Aku pun mencondongkan kepalaku ke luar, menatap ke arah halaman depan, dan langsung mendapati Bogi yang tengah berlari-larian mengitari Kepin, nyoba ngajak main kayanya. Cuman Si Kepin mah tetep aja begitu, kaya enggak ada semangat hidup, rebahan mulu.
“BOGI!” Seruku lantang, membuat Bogi dan Kepin langsung menoleh. Dan tanpa menunggu perintah lanjutan, Bogi langsung berlari dengan semangat, meninggalkan Kepin yang masih santai di posisi wuenaknya.
“AUGH.. AUGGHH.. AUGHH..” Gonggong Bogi sembari melompat-lompat di depan jendela, tubuhnya yang gempal tersebut terlihat mengkilat diterpa cahaya matahari.
“Udah makan belom?” Tanyaku sembari merendahkan tubuh, mengelus kepala Bogi yang kini sudah menaikan kakinya ke pembatas jendela kamarku.
“OUGH!! Heh.. heh.. heh..” Sahut Bogi terlihat riang, menandakan kalau ia udah dalam mode perut yang terisi.
“Pasti Teh Arum ya yang kasih kamu makan? Maaf ya aku baru bangun soalnya..” Ujarku lagi mengajak Bogi bicara, bersamaan itu kuberikan garukan-garukan lembut di bawah dagu anjing kesayanganku ini.
“OUGGH!! OUGGGHH!!” Sahut Bogi dengan kepala menggeleng pelan, aku pun mengernyitkan dahi.
“Terus siapa yang kasih kamu makan?” Gumamku bingung.
“AUGGHH...” Gonggong Bogi sembari memiringkan kepalanya, menatap ke arah belakangku. Aku pun mengikuti apa yang Bogi lakukan, menoleh ke belakang.
Dan betapa terkejut dan bingungnya aku ketika di ambang pintu kamarku udah ada Hani yang lagi berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Wajahnya datar-datar saja menatapku.
Maharani Sukma
“Lah.. lu ngapa bisa ada di marih?” Tanyaku spontan.
“Emang kenapa? Enggak boleh gue kesini? Oke fine.. bye!” Sahut Hani entengnya seraya berlalu, pergi gitu aja.
Tuh manusia kenapa dah?
“Ouugghh.. ouugghh..” Bogi kembali menggonggong, kali ini terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Aku pun kembali menatap anjingku ini.
“Hani yang ngasih makan kamu?” Tanyaku penasaran.
“Heh.. heh.. heh..” Bogi menyahutiku hanya dengan juluran lidah dan senyumannya yang ngegemesin itu. Membuat aku manggut-manggut.
“Yaudah.. sana main sama Kepin lagi.. aku mau mandi dulu..” Perintahku pada Bogi, dan dia pun memberikan gonggongan tanda mengerti, langsung berlari dengan riang kembali ke halaman depan.
Setelah kepergian Bogi, aku pun segera menyambar handuk dan keluar kamar, mau mandi lah biar segeran dikit. Sembari bersiul-siul aku pun berjalan ke arah belakang, dan begitu sampai di dapur, aku melihat Teh Arum sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam gelas.
“Pagi Teh..” Sapaku pada Teh Arum.
“Eh kamu udah bangun Nggan.. kirain aku kamu bakal nerus tidurnya sampe sore..”
Jawab Teh Arum mengangkat pandangannya.
Aku hanya membalas ucapan Teh Arum dengan senyuman, bersamaan dengan itu kulirik jam dinding yang menunjukkan angka 08.33, masih pagi jugaan.. masa mikir aku bakal nerus tidur sampe sore? Emang segitu kebonya apa aku ini?
“Bikin apa, Teh?” Tanyaku penasaran seraya mendekat padanya. Padahal aku sih tau, dari aromanya.. ini mah kopi hitam.
“Bikin kopi..” Jawab Teh Arum.
“Tumben..” Ucapku pendek.
“Hehehe iya.. kamu mau aku bikinin juga?” Tanya Teh Arum dengan senyuman manisnya. Yang entah kenapa, pagi ini terasa lebih manis dari biasanya. Kaya lebih berseri gitu wajahnya Teh Arum.
“Enggak Teh makasih.. oh iya, Om Damar udah pulang kan Teh?” Tanyaku sembari mencomot potongan pisang goreng yang tersaji di atas piring, langsung mencaploknya sekaligus.
“Kamu ngusir aku, hah?”
“UHUK..”
Sialan..
Aku pun segera berjalan ke arah kulkas, mengabaikan pemilik suara berat nan menyeramkan yang tiba-tiba muncul di pintu halaman belakang, lengkap dengan kepulan asap bentoel birunya.
Langsung kuteguk air dingin guna meredam rasa tersedakku. Dengan mata sesekali melirik Om Damar yang sudah berjalan masuk ke dapur.
“Makanya.. rokokmu itu dikurangin, ndak baik buat kesehatan..” Ujar Om Damar santai sembari mengembuskan asap rokoknya ke langit-langit, bersamaan itu ia pun langsung menerima gelas pemberian Teh Arum yang berisi kopi hitam.
Kampret ya.. Aku kan batuk gara-gara kaget, bukan karena kebanyakan ngerokok. Ituloh dia nasehatin buat jangan banyak ngerokok, tapi sendirinya lagi ngelepus. Kan biadab itu namanya.
“Kenapa kamu ngeliatin aku kaya gitu? Ndak seneng aku tidur di sini?” Tanyanya lagi ketika aku tengah mengusap-usap dadaku, sudah selesai meredakan ketersedakanku.
“Eng.. enggak Om.. seneng kok.. seneng banget malahan.. he he he..” Jawabku tergagap sendiri.
“Oh kirain kamu keberatan aku tidur di sini, soalnya nanti malem mungkin aku bakal tidur di sini lagi, jadi kalau kamu emang keberatan ya kamu tinggal tidur aja di rumah temenmu nanti..” Sahut Om Damar santai seraya menyeruput kopinya, ngegatelin sih emang omongannya Omku ini, tapi ya mau gimana lagi, mau ditinju aku kalau berani-berani nyahutin.
“Hehehe enggak kok Om, yaudah kalau gitu Nggan mandi dulu ya Om..” Ucapku dengan senyum lebar yang amat palsu.
“Hhhmm..” Sahut Om Damar memberikan anggukan kepala, tanpa ekspresi wajah sama sekali, berbeda dengan Teh Arum yang tersenyum ke arahku.
Huh.. bahaya kalau lama-lama berhadapan dengan Om Damar, bisa kena punch lagi salah-salah.
Dari itu aku pun memutuskan langsung masuk ke kamar mandi, kututup pintu kamar mandi rapat-rapat dan kukunci dengan pasti. Setelah itu kunyalakan shower dan keran air bersamaan, berusaha membisingkan kamar mandi ini, biar kalau Om Damar ngajak ngobrol.. aku bisa pura-pura enggak denger hehehe..
Setelah menelanjangi tubuh, aku pun langsung berdiri di bawah shower sambil menyabuni tubuhku, sesekali bersiul santai, berusaha melepaskan kepenatan yang ada di kepalaku. Dan entah kenapa, ketika aku tengah keramas, kepalaku langsung menampilkan pemikiran tentang Budeh Sekar. Membuat Si Marco bangkit perlahan.
Bajilak.. baru kemarenan juga mantap-mantap dan kelonan, masa sekarang udah kangen lagi? Aseeemm hahaha..
Tapi emang sih, aku mendadak kangen sama Budeh Sekar. Pengen banget liat senyumnya lagi. Pengen banget meluk dia lagi. Pengen banget genjot Budeh lagi hahaha.. nantilah aku main lagi ke tempat Budeh, nengokin memeknya yang aduhai menggairahkan itu wkwkwk
Setelah selesai membilas seluruh tubuh, aku mengeringkan tubuhku sejenak, setelah itu baru aku melilitkan handuk di pinggang. Dan sebelum aku keluar kamar mandi, aku pun berdiri sejenak, mengamati kondisi di luar sana dengan telingaku yang enggak tajem-tajem banget, menerka apakah Om Damar masih ada di dapur apa enggak. Soalnya aku rada ngeri aja kalau berhadapan dengan dia, bukannya enggak suka ya, ngeri doang.
Dan setelah memastikan kondisi aman, aku segera membuka pintu dan berjalan cepat ke kamarku. Aku sempet denger suara di halaman belakang, kayanya Om Damar lagi ngobrol sama Teh Arum di saung. Kesempatan
emas buatku kabur hehehe..
Begitu masuk kamar langsung kukunci saja. Biar aman total.
Tanpa menutup jendela, aku pun dengan santai mengenakan pakaianku. Hhmm.. kira-kira enaknya kemana ya? Mau ke tempat Budeh Sekar langsung, masih pagi. Budeh pasti lagi sibuk nyiapin soto. Mau ngobrol sama Teh Arum, ada Om Damar, digangguin pasti. Mau ke tempat Wawi, aku enggak yakin kalau dia udah bangun.
Huh.. ngapain ya? Malahan BB-ku si davis belom dianter-anter juga. Coba kalau udah, aku kan bisa berkabar dulu kalau pengen kemana-mana.
Dahlah.. mending maen sama Bogi aja di luar, enak.. enggak banyak omong wuehehe..
Langsung kusambar bungkus rokok dan korek yang tergeletak di meja belajarku, kemudian kedua barang itu pun kumasukan ke saku celana training yang kukenakan.
Dan dengan beramunisikan celana training serta kaus oblong aku pun keluar kamar, dengan hawa yang lebih segar dan dengan semangat yang lebih berkobar. Tak sabar menunggu waktu sampai sore tiba supaya bisa ngapel ke tempat Budeh Sekar, asik-asik mantap..
Tapi sesampainya di ruang tengah, langkahku langsung terhenti ketika mendapati Hani sedang rebahan santai di sofa, sambil nonton film yang diputer di dvd.
Lah aku kira udah cabut dia.. tadi kan katanya “oke fine.. bye!”, eh tapi kok masih ngejogrok di sini? Aku pun mengurungkan niatku bermain dengan Bogi, berjalan mendekati Hani.
“Gua kira udah balik lu..” Sapaku sambil duduk di pegangan sofa, tepat di kaki Hani. Ia hanya melirikku sebentar, kemudian fokus kembali ke film yang tengah ditontonnya.
“Tanggung, dikit lagi selesai filmnya..” Jawabnya ketus. Membuatku mengerutkan dahi. Bingung sendiri.
“Film apaan sih?” Tanyaku dengan manta menatap ke layar televisi.
“A moment to remember..” Jawab Hani penfek dan jutek. Aku mengernyitkan dahi, kayanya aku pernah liat nih film. Emang di buku kaset CD ada film yang dulunya itu, tapi aku sih enggak pernah nonton, soalnya film lama korea, belum tertarik. Walaupun kata Ibu itu film bagus (iya itu koleksi filmnya Ibu).
“Geser dong..” Ucapku sambil menurunkan tubuh, berpindah duduk ke sofa yang ditiduri Hani, dan ia pun langsung menekuk kakinya, tanpa mengubah posisinya sama sekali.
Aku menatapi Hani sejenak, terlihat raut juteknya itu sedikit muram, menahan kesedihan, mungkin karena terlalu menghayati filmnya kali. Tapi walaupun begitu dia tetep cantik kok, tetep gemesin.
Dan cukup dengan melihat wajah itu, sudah berhasil membuat hatiku diterpa angin perbukitan yang kencang. Teringat kembali senyum riang Hani ketika naik ke boncengan motor vixion kemarin, membuat kecemburuan yang sempat tak lagi kupikirkan menyeruak ke angkasa raya.
Namun di saat bersamaan pula, aku langsung teringat perkataan Wawi bahwa Hanilah yang telah merawatku di uks kemarin. Terbayang wajah khawatirnya ketika merawatku, dan itu sudah cukup untuk mengentaskan kecemburuanku. Meredam setitik emosi di kepalaku.
“Han..” Panggilku pendek sembari menempatkan telapak tangan kiriku di betis putihnya.
“Hhmm?” Jawab Hani tanpa mengalihkan pandangnya. Aku menghela napasku sejenak, ingin rasanya aku mengajak bicara Hani perihal ini, tapi melihat Hani yang tengah khusyuk menyaksikan film membuatku mengurungkan niat.
“Entar aja deh..” Ucapku seraya berdiri dan melangkah meninggalkan Hani.
Berjalan ke luar rumah untuk sekedar mencari udara segar. Aku menyapu pandang ke halaman, kembali mendapati Bogi yang tengaj bermain bola dengan Kepin. Atau tepatnya, Bogi yang berlarian menggigit bola untuk diberikan pada Kepin, namun setelah itu oleh Kepin bola tersebut digelindingkan jauh, membuat Bogi mengejar bola itu lagi, dan memberikannya pada Kepin, digelindingkan lagi oleh kucing tersebut dengan malas, dan dikejar lagi oleh Bogi.
Begitu seterusnya entah sampai kapan.
Kemudian aku mengarahkan langkahku ke tepian teras rumah, duduk di sana sambil menatap kebodohan Bogi yang jadi mainan empuk buat Kepin. Kukeluarkan sebatang rokokku, dan kusulut dengan santai.
Kuembuskan tinggi-tinggi asapnya ke udara, mencoba mencari ketenangan dari inci-inci tembakau yang berada di jepitan jemariku.
Huhh.. gak ada obat emang garpit ini.. pedes-pedes tipisnya selalu berhasil menghangatkan rongga dadaku..
Hingga di hisapan ke sekian, tiba-tiba Hani duduk di sampingku sembari menyodorkan gelas berisikan teh hangat kepadaku. Ia melakukan itu dengan mata diarahkan ke Bogi yang sedang dipermainkan oleh Kepin. Aku pun menerima gelas tersebut dan langsung meneguknya sedikit, kemudian kuletakkan gelas tersebut di sampingku. Kembali menikmati hisapan garpitku.
“Dah kelar filmnya?” Tanyaku berbasa-basi.
“Belom..” Jawab Hani pendek.
“Terus ngapain lu di sini? Sono kelarin..” Ucapku sembari mengembuskan asap tembakauku ke udara.
“Emang kenapa sih? Lo enggak suka gue duduk di sini?” Tanya Hani sembari menolehkan wajahnya padaku.
“Ya enggak gitu juga..” Tukasku sembari menghela napas dalam, bingung dengan Hani yang bawaannya jutek banget.
Lalu hening..
Kuputar-putar sejenak batang rokokku yang sudah setengah jalan itu, kemudian kutatap Hani yang sudah memugar senyum kecil ke arah Bogi, dan senyum itu benar-benar membuatku tak bisa untuk tidak tersenyum. Menyenangkan hatiku selalu.
“Makasih ye Han..” Ucapku pendek dengan mata tetap memandangi wajah Hani. Ia menoleh, balas menatapku dengan senyum yang kembali dihilangkan.
“Buat?” Tanya Hani dengan alis tertaut.
“Buat kemaren..” Jawabku pendek.
“Emang gue ngapain?” Tanya Hani acuh sembari membuang pandangnya lagi.
“Makasih karena udah ngobatin luka gua, makasih juga karena elu enggak bangunin gua.” Jawabku dengan tetap menatap wajah Hani, terlihat sekelibat senyum kecil ketika aku mengatakan itu, namun sekelibat saja, karena setelah itu ya balik lagi kaya biasa.
“Dasarnya emang lo Kebo, jadi mau gue apain juga lo gak bakal bangun pasti.” Jawabnya santai. Aku tersenyum kecil.
“Ya pokoknya makasih Han..” Sahutku sembari menyeruput lagi teh buatan Hani.
“Hhhmm..” Jawabnya seraya menganggukkan kepala kecil.
“Hhhmm.. gua boleh nanya sesuatu enggak Han?” Tanyaku ragu-ragu, terpikirkan tentang si pengendara Vixion yang menjemput Hani kemarin.
“Nanya aja..” Jawabnya pendek.
Aku menghela napasku dalam-dalam, menguatkan hatiku untuk menanyakan hal ini kepada Hani. Karena bagaimana kalau nanti dia bilang tuh cowok gebetannya dia? Atau malah lebih parah, itu pacarnya dia. Apa enggak nyelekit nanti? Tapi ya enggak ditanya juga gimana, ngeganjel banget soalnya.
Fyuhh..
“Lo kemaren kemana Han?” Tanyaku pendek, deg-degan nya panjang.
“Enggak kemana-mana.. di rumah doang..” Jawab Hani acuh tanpa menatapku.
“Maksud gua pulang sekolah kemaren lo kemana..” Tukasku lagi mempertegas
pertanyaanku.
“Enggak kemana-mana, pulanglah..” Jawabnya pendek.
Fyuhh.. kayanya emang harus to the point nih..
“Maksud gua.. pulang sekolah kemaren lu dijemput siapa? Terus abis itu kemana?” Tanyaku dengan jelas, dan saat itu juga Hani langsung menolehkan wajahnya ke arahku, memandangku dengan alis ditautkan erat-erat.
“Penting banget emang buat lo?” Tanya Hani, membuatku diam sejenak, namun pada akhirnya memberikan angkatan bahu.
“Ya enggak sih.. pengen tau aja..” Jawabku mencoba menutupi kejujuran hati. Terlihat Hani menghela napasnya agak dalam.
“Udahlah gak usah dibahas, gak penting juga kan buat lo?” Ucap Hani pelan sembari membuang pandangnya lagi.
Alah sial.. masa iya aku harus bilang kalau aku cemburu? Kalau penting banget buatku tau itu siapa, buat ngeredam rasa camburuku ini. Lah tapi itu sama aja aku menjatuhkan harga diriku sebagai seorang laki-laki di depan Hani kan?
Emohlah aku..
“Lu kesini ngapain Han? Ada perlu ama gua apa gimana?” Tanyaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan, maleslah ngelanjutin penyelidikan tadi, Hani-nya ngeselin.
“Emang salah ya kalo gue jenguk sahabat gue sendiri?” Tanya Hani kini sudah memutar tubuhnya ke arahku, membuat aku sedikitpun gelagapan karena respon Hani di luar dugaanku.
“Ya.. emang penting banget apa gua buat lu?” Tanyaku asal mencoba menyembunyikan kegugupanku sendiri.
Dan kayanya.. ini kayanya ya.. belom pasti banget. Kayanya pemilihan kalimatku salah deh. Soalnya mukanya Hani langsung sedih, bahkan pas aku lirik telapak tangannya.. dia malah lagi terkepal gitu.
Masa iya dia mao nampol aku? Masa abis dirawat-rawat mao langsung dibonyokin lagi? Yang kemaren aja belom hilang bener padahal.
Kemudian tanpa kata-kata lagi Hani langsung berdiri, dan berjalan masuk, meninggalkanku begitu saja.
Tuh kan.. salah lagi aku pasti.
“Han..” Panggilku sambil ikut berdiri dan menyusulnya ke dalam. Terlihat Hani sedang mengemas handphonenya ke dalam tas slempang adat yang tengah ngetrend. Langsung dijinjing dan berjalan kembali ke arahku yang baru saja melewati pintu.
“Han.. Han.. lu mao kemana sih?” Tanyaku seraya menahan bahunya, menghentikan langkahnya yang hendak pergi.
“Awas Nggan.. gue mau pulang..” Balas Hani sembari menggeser tubuhnya ke samping, aku segera melakukan hal yang sama, menutup jalannya.
“Lu kenapa sih Han? Kayanya sekarang gua salah mulu di mata lu.” Ujarku sembari merapatkan tubuh, tak memberi celah untuk Hani mengelak.
Dan ia pun menatapku dengan tatapan yang.. ah sialan.. tatapan marah sedihnya ini bikin aku keblinger coy. Raut mukanya marah, tapi kelopak matanya memerah dengan bening air mata yang samar-samar membening di dalam bola matanya.
“Gue kesini pagi-pagi dan lo masih nanya sepenting apa lo buat gue?” Hani berucap tanpa memedulikan pertanyaanku sebelumnya. Bola matanya semakin mengkilap sebab tampungan air mata yang siap turun.
Sialanlah.. perkara kata-kata tadi aja sampe bikin dia tersungging kaya gini.
“Lu enggak fair Han..” Gumamku balas menatapnya dengan wajah semakin kudekatkan. Hani terdiam keluh, matanya masih menatap nyalak ke bola mataku.
“Lu masalahin pertanyaan gua tentang sepenting apa gua buat lu, tapi lu sendiri nanya hal yang sama ke gua..” Ucapku lagi menyambung kata-kataku sebelumnya. Hani terdiam sejenak, sebelum akhirnya membuang pandang dan menggeser tubuhnya, mencoba melewatiku. Namun aku kembali menutup jalannya, membuat ia kembali terhenti.
“Awas Nggan gue mau pulang!” Gertak Hani sembari mendorong-dorong pelan dadaku.
“Lu enggak fair Han. Lu tau alesan kenapa gua nanya tentang cowok yang jemput lu kemaren, dan lu masih nanya sepenting apa itu buat gua?” Ku lafalkan kalimat tersebut dengan urat leher yang sedikit menegang. Hani terdiam keluh, raut wajahnya mulai melunak.
“Iya itu penting buat gua.. iya gua cemburu ngeliat lu dijemput cowok laen.. puas Han?” Tanyaku lagi namun tetap berusaha tidak meninggikan suaraku. Terlihat setetes air mata turun di pipi Hani, bersama getar yang tertahan di bibir merah mudanya.
“Terus lo pikir lo doang yang cemburu Nggan? Sekarang apa kabar gue yang ngeliat lo boncengin cewek laen di depan mata gue sendiri? Lo manis-manisan dengan santainya, lo pegang tangan dia, lo elus kepalanya, dan semua itu lo lakuin tepat di depan mata gue! Lo yang gak fair Nggan.. Elo yang enggak..”
HUPPHH..
Tanpa pikir panjang aku langsung merengkuh tubuh Hani ke dalam pelukanku, kupeluk dengan erat punggungnya seraya menahan gejolak di dalam hatiku atas semua perkataan Hani.
Ya.. aku tersadar, bahwa bagaimana aku bisa mempermasalahkan ia yang dijemput cowok lain sedangkan aku sendiri melakukan hal yang sama kepadanya?
Bahkan mungkin bisa dibilang aku jauh lebih parah, sebab membawa Dira ke hadapan Hani waktu di warkop Bang Jali waktu itu, yang bikin Hani cabut gitu aja naik taksi.
“Lo yang enggak fair Nggan.. lo yang enggak fair hiks..” Ucap Hani yang sudah menangis dalam pelukanku, wajahnya ia tenggelamkan di dadaku, lengannya memeluk punggungku dan bahunya berguncang kecil.
Sialan.. aku yang tadinya merasa teraniaya karena kejutekan Hani beberapa hari belakangan, malah sekarang ngerasa jadi orang yang telah menganiaya. Bapet emang aku ini.
“Han.. udah.. jangan nangis ngapa..” Ucapku mencoba menenangkan Hani yang kian terisak.
“Elo yang enggak fair Nggan.. hiks..”
Duhileh.. bukannya tenang malah makin tersedu-sedu lagi. Duh Gusti.. gimana ini..
“Iya iya.. gua minta maaf Han.. udah jangan nangis lagi.. gua enggak jago ngediemin cewek nangis soalnya.. tapi pokoknya gua minta maaf sama lu ya..” Aku berkata sembari mengelusi rambut Hani yang tergerai di punggungnya, kurasakan pelukan Hani mengerat, bersamaan dengan ia yang coba meredam tangisannya sekuat tenaga.
“Hikss... Hiks..” Lirih.. lirih banget coy isak tangis Hani, sialan.. bikin hatiku krisik-krisik sendiri ini.
“Udah ngapa Han.. jangan nangis terus.. gua jadi ngerasa jahat bangat ini sumpah.. gua jadi pengen nangis juga ini.. tapi gua malu..” Tukasku yang makin bingung karena Hani nangisnya belom kelar-kelar juga.
“Bebel!” Ucap Hani masih dalam posisinya yang memelukku, tanpa mengangkat wajah.
“Iya Han gua bebel.. makanya gua suka enggak mikir kalo ngapa-ngapain. Maapin gua tapi ya..” Sahutku terus mengelusi punggungnya.
“Dasar bebel!” Ucap Hani lebih seperti terdengar memakiku, kurasakan rengkuhannya mulai mengendur, dan tangisannya juga udah enggak sedalem tadi. Mungkin gara-gara maki aku jadi berkurang bebannya, mungkin ya.
“Iyaudah gua bebel.. gua ngaku.. tapi maapin gua ngapa Han..” Pintaku seraya ikut mengendurkan pelukanku, menarik tubuhku sedikit berusaha mencuri pandang ke arah wajah Hani yang ternyata sudah basah oleh air matanya sendiri.
“Maapin gua ya Han.. ya ya ya.. maapin gua..” Ujarku sembari mengarahkan kedua tanganku ke pipinya, mengusap lembut bekas basah di sana, sembari berusaha mengangkat wajah Hani biar enggak nunduk ke bawah.
Dan akhirnya mata kami pun kembali beradu, kembali saling memandang, kembali saling mengikat. Aku pasang raut paling bersalahku kepadanya sembari terus memberikan elusan lembut di pipinya.
“Maapin gua ya.. please..” Ucapku lirih dan hati-hati, biar enggak salah-salah pilih kata lagi.
“Gedek gue ama lo!” Hardik Hani dengan sisa sesenggukannya.
“Iya gua tahu.. makanya kan gua minta maap..” Sahutku masih dengan raut bersalahku. Hani memajukan bibirnya, menampilkan wajah cemberutnya yang ngegemesin banget.
“Lo tuh bisa enggak sih baikin cewek pake cara yang romantis dikit.. gedek gue, bebel banget sih jadi cowok isshh!” Ucap Hani dengan raut geregetan dan kepalan tangan yamg dipukul-pukulkan pelan ke dadaku.
Dan aku membiarkan dia melakukan apa saja, mao dipukulinnya lama juga bodoamat, yang penting dia jangan nangis lagi dah. Bingung aku soalnya kalau ngadepin cewek yang nangis. Susah sumpah.. masih mending ngadepin Bogi atau Kepin asli.
“Bebel! Bebel! Bebel! Bebbeeeeel! Isshh..” Hani memperkeras pukulannya kemudian langsung menubruk tubuhku lagi, kembali memelukku dengan kedua lengan menyusup di bawah ketiakku dan naik ke atas, langsung menempatkan kedua telapak tangannya di bahuku, menenggelamkan wajahnya di dadaku namun kali ini tanpa tangisan lagi.
Aku tersenyum kecil, kemudian aku membalas pelukannya dengan cara kurengkuh pinggangnya, kurapatkan tubuhnya dan kukecupi lembut rambutnya. Untuk beberapa saat kami diam dalam posisi tersebut, saling menyalurkan hangat dan mencari ketenangan diri.
Beberapa kali Hani mendusel-duselkan wajahnya di dadaku, menjadikan kaos bagian depanku sebagai tissue bagi basah air mata di ranah wajahnya. Tapi tak apa, aku tak mempermasalahkan itu sama sekali.
“Ini berarti gua dimaapin kan ya?” Tanyaku pendek, membuat Hani langsung mengangkat wajahnya, menautkan tatapan kami jadi satu. Kupulas senyum hati-hati yang sedikit kaku padanya.
“Maafin gue juga tapi..” Rengek Hani dengan raut muram.
“Maaf buat apaan emang?” Tanyaku bingung.
“Maaf karena gue malah ngindar waktu lo ke rumah..” Ujar Hani dengan raut sedih, membuatku teringat ketika aku ke rumahnya tapi Cuma ditemuin sama Mamahnya doang, dianya pura-pura tidur.
Tapi yasudahlah, toh sudah lewat juga. Dan yang terpenting.. karena hal tersebut aku kan malah dapet anugerah besar.
Ituloh.. mantap-mantap sama Budeh Sekar. Lah coba kalau waktu itu Hani nemuin aku, terus aku enggak magabut ke tempat Budeh Sekar, enggak bakalannya aku bisa ganti oli sambil kelon sama Budeh Sekar yang aduhai nikmat dan memabukan itu. Uehehehe..
“Nggan ih.. malah bengong, lo masih marah ya?” Tanya Hani sembari menghentakkan kakinya, membuatku tersadar dari lamunanku.
“Enggak kok.. udah lewat juga, lagian lu enggak perlu minta maaf kali, orang pas gua kesitu kan lu udah tidur..” Ucapku santai namun malah makin bikin mukanya Hani cemberut.
“Lu ngeledek gue ya? Isshh..”
“Awww aduh aduh.. ampun Han.. iya iya iya.. ampun..”
Aku memelintirkan tubuhku ke samping sebab Hani tiba-tiba menyarangkan cubitan yang aduhaii.. pedes banget rasaya.
Ini konsepnya gimana sih? Ini kok ujung-ujungnya pasti aku yang kena. Sialan nih TS kampret. Padahal kan di sini Hani lagi minta maaf, tapi tetep aja aku enggak punya power sama sekali. Bajingan kau Aarrrggg..
“Yaudah jadinya gue dimaafin apa enggak?” Tanya Hani sambil terus memelintir cubitannya, membuat rasa sakitnya makin enggak karuan.
“Iya iya iya.. gua maafin iya..” Ucapku panik, dan bersamaan itu langsung saja Hani melepas cubitannya.
Kemudian dengan santainya seperti tak terjadi apa-apa ia melingkarkan kedua lengannya di leherku, menjinjitkan kakinya dan langsung mengecup pipiku tanpa permisi, setelah itu ia memugar senyum manis yang langsung meredakan sakit di bekas cubitannya tadi.
“Makasih Nggan..” Ucapnya lembuuuuuuuuuutt sekali, dengan senyumnya yang beuh.. maniiiiiiiis sekali. Bikin aku gemes-gemes bingung sendiri jadinya.
“Gantian boleh?” Tanyaku sembari memonyongkan bibirku padanya, yang oleh Hani langsung direspon dengan gelengan kepala.
“Dikit aja..” Pintaku lagi sambil menggerak-gerakkan alisku.
“Hm.. hm..” Jawab Hani kembali menggelengkan kepalanya.
“Please?” Ucapku lirih banget, berharap Hani memperbolehkanku menciumnya.
“Hhhmm.. enggak!” Sahut Hani seraya melepaskan rangkulannya di leherku dan berbalik badan, hendak berjalan ke sofa, namun lekas saja kutahan tangannya dan kutarik agar kembali kepadaku yang masih berdiri di sini.
Tubuh Hani pun terputar kembali padaku, langsung kurengkuh pinggangnya, dan kurendahkan tubuhku. Lalu..
CUPPP..
Bibirku pun akhirnya berhasil bersua dengan bibir lembut milik Hani, kupagut lembut-lembut bibirnya seraya terus kurapatkan tubuhnya ke tubuhku. Mataku pun kini sudah terpejam sepenuhnya.
Dan seolah mengingkari kata-kata penolakannya tadi, Hani membalas pagutanku dengan tak kalah mesra, kurasakan kedua lengannya kembali melingkar di leherku, menarikku untuk lebih merunduk dalam memagut bibirnya.
“Hhhmmm..”
“Hhhhmm..”
Tak ada kata-kata di antara kami, hanya lumatan demi lumatan dengan sesekali pertemuan lidah yang terjadi, tubuh kami kini sudah sepenuhnya menempel, dengan kedua tanganku yang kian merengkuh pinggangnya, mengelusi di sana.
MUAACHHH..
Pagutan bibir kami pun terlepas, mataku pun perlahan-lahan terbuka, dan mendapati tatapan sayu Hani yang bibirnya masih setengah terbuka, sedikit terengah.
“Gua say..”
“Sssttt..”
Hani dengan cepat menempatkan jemarinya di bibirku, senyumnya mengembang, dibelai-belainya lembut bibir bagian bawahku. Ditatapnya dalam-dalam mataku, kemudian dijinjitkan kembali kakinya, mengecup lembut bibirku dengan mesra.
Sedang aku hanya diam.. mengapa selalu seperti ini? Mengapa tiap kali aku mengajaknya melangkah jauh selalu saja seperti ini?
“Makasih Nggan..” Ujar Hani sembari menempatkan kepalanya di dadaku. Satu lengannya yang berada di leher pun turun dan mengarah ke punggungku, sedang tangannya yang lain menyelinap dari bawah lenganku, menjalari punggungku, memelukku dengan begitu hangat.
Aku masih terdiam, sampai akhirnya aku putuskan membalas pelukan gadis yang tak kunjung menjadi gadisku ini. Kudekap erat-erat tubuhnya, sembari kubenamkan wajahku di hitam dan legam rambut milik gadis bernama Maharani Sukma ini.
Kami berpelukan lama sekali, saling meresapi perasaan kami masing-masing. Aku dengan perasaan lirihku sebab kembali tertolak oleh Hani, dan Hani dengan perasaannya yang entah bagaimana kepadaku.
Sesak sekali.. sungguh..
Sesak yang berkali-kali selalu terjadi.
DUUAARRRRRR...
“AAA!!” Hani berteriak kencang seraya mengeratkan pelukannya kepadaku tatkala suara guntur terdengar menggelegar keras dan dekat sekali rasanya. Membuat aku pun kaget di saat bersamaan. Cuma ya aku enggak selebay Hani yang sampe teriak.
“Geledek doangan juga..” Ucapku menenangkan Hani, meski sebenarnya aku juga bingung. Perasaan tadi cerah-cerah aja, kok tiba-tiba bisa ads petir sekenceng itu ya.
“Kaget doang jugaan..” Ucap Hani sembari melepaskan pelukannya, menarik tubuhnya dari tubuhku segera merapihkan rambutnya.
Sedang aku hanya tersenyum, dengan jahil justru ku acak-acak rambut bagian depan Hani, sembari mataku menatap ke jendela dimana halaman rumah memang sudah menggelap.
Kok tiba-tiba banget sih mendungnya?
“Nggan ih.. berantakan nih..” Ucap Hani manja sambil memundurkan langkah, sibuk merapihkan rambutnya.
Dan bersamaan dengan itu Teh Arum dan Om Damar yang muncul dari arah belakang. Wajah mereka serius sekali dengan tatapan mata di arahkan ke pintu rumah. Sampai tiba-tiba kilatan cahaya kembali datang, membuat Hani segera kembali memelukku.
DUUUAAARRR
Kembali bunyi guntur terdengar menggelegar, bersamaan dengan itu Bogi dan Kepin berlari masuk dengan paniknya, rusuh dan heboh sendiri. Kepin langsung sembunyi di bawah meja, sedang Bogi langsung melompat ke gendongan Om Damar. Tak lama setelah itu hujan deras pun langsung turun, tanpa aba-aba, tanpa gerimis terlebih dulu, langsung deres aja pokoknya.
“Kepin.. sini sama aku..” Teh Arum t
erlihat berusaha merayu Kepin yang ketakutan dari bagian bawah meja. Sedang aku malah enak dipeluk sama Hani hehehe..
“Ra usah cengar-cengir Nggan.. jendela kamarmu wes ditutup belum?” Tanya Om Damar tenang sambil mengelus-elus punggung Bogi yang enggak bisa diam di gendongannya.
Kampret.. jendelaku kan masih kebuka..
“Kamar kamar kamar kamar!”
“Kamar kamar kamar kamar!”
Ucapku dan Hani panik secara bersamaan, sambil melepas pelukan kami, langsung menghambur ke kamarku sembari main dorong-dorongan.
POV3D
DUAAARRRR...
GRUDUKGRUDUK..
DUAAARRR...
Petir dan guntur terus sahut menyahut, bersamaan dengan Damar dan Arum yang bahu membahu menutup jendela dan pintu-pintu rumah yang masih terbuka. Wajah mereka terlihat menegang hebat, dengan Bogi yang mengekor di belakang, dan Kepin yang berada dalam gendongan Arum.
“Aku turun dulu ke bawah ya.. kamu pastiin Regan ndak kemana-mana..” Ucap Damar pada Arum, yang langsung direpons perempuan itu dengan anggukan kepala.
“Aku ambil payung dulu ya Mas..” Saran Arum seraya hendak berlalu, namun oleh Damar ditahan.
“Ndak usah.. deket aja kok. Tapi aku minta tolong kamu cariin alesan kalau Regan nanya aku kemana ya..” Ucap Damar sambil memakai jaketnya dan berjalan ke arah pintu depan.
“Iya Mas..” Sahut Arum mengikuti langkah Damar. Dan begitu pintu dibuka oleh Damar, hujan angin yang teramat deras dan kencang langsung menyambut mereka, membawa tampias-tampias sampai ke lantai dengan telaknya.
“Aku jalan ya..” Ucap Damar pada Arum, yang oleh perempuan itu langsung dijawab dengan anggukan kepala.
“Aku titip salam ke Ibu ya Mas..” Tukas Arum pendek, menitip salam pada Rengganis maksudnya. Damar pun mengangguk, setelah itu ia pun segera berlari menerabas lebatnya hujan dengan Bogi mengekor di belakangnya, sedang Kepin tetap dalam pelukan Arum.
Damar pun terus berlari menembus hujan bersama Bogi menuju garas rumah, langsung masuk dan mengarah ke sudut garasi tersebut. Berjongkok sebentar untuk membuka tangga menuju ruang bawah tanah istana purantara, dan langsung masuk ke dalamnya.
Berjalan cepat dan tegas menuju lift utama yang kemudian membawa mereka turun ke lebih jauh ke dalam tanah.
“Gggrrrrrrr...” Bogi yang berdiri di samping Damar bergetar, giginya bergemeratak hebat.
“Hey.. tenangkan dirimu.. kita belum tau apa yang terjadi..” Ucap Damar sembari mengelusi tubuh basah Bogi, membuat anjing itu sedikit lebih tenang.
Dan begitu pintu lift terbuka, Damar dan Bogi pun langsung berlari menuju ruang informasi. Oleh Damar tak dipedulikan anggukan demi anggukan dari para punggawa yang ditemui, berlalu begitu saja menuju titik utama fokusnya.
Seorang penjaga lekas membukakan pintu, Damar dan Bogi pun langsung masuk ke sana dengan wajah tegang. Sama tegangnya dengan orang-orang yang berada di ruang informasi tersebut.
“Apa yang terjadi?” Tanya Damar tanpa basa-basi, membuat seluruh mata yang tadinya terpusat pada layar komputer besar di ruangan tersebut langsung memandang ke arahnya.
“Lapor Pak, ada sebuah ledakan energi besar yang bersumber dari Lemah Kidul, tepatnya di perbukitan wilayah Herang..” Jawab salah seorang punggawa yang tengah menenteng sebuah tablet di tangannya.
“Seberapa besar pancaran energinya?” Tanya Damar mendekat punggawa itu, ikut memandang ke arah tablet pintar tersebut.
“Hampir separuh pulau utama, sampai ke perbatasan Parung Wetan..” Jawab punggawa tersebut menampilkan peta pulau utama yang sebagiannya berwarna merah.
“Asuuu.. kekuatan macam apa yang bisa mengundang badai sebesar ini?” Gumam Damar geram sembari memperhatikan lamat-lamat layar tablet tersebut.
“Titik ledakan energi ini tidak terlalu jauh dari penemuan lima mayat orang-orang Hematala sebelumnya Pak..” Seru Punggawa lainnya sembari memperbesar tampilan di monitor utama, membuat pandangan Damar kini teralihkan ke monitor utama tersebut.
“OUUGHH!!” Gonggong Bogi nyalak membuat seluruh punggawa di dalam ruangan tersebut langsung menjaga jarak, wajah mereka menegang hebat sejak melihat Damar masuk membawa anjing tersebut, dan semakin menegang tat kala anjing itu mengeluarkan suaranya.
“Tenangkan dirimu.. jangan buat gaduh di sini!” Ujar Damar tegas kepada Bogi, membuat Anjing itu langsung terdiam keluh, merengut.
“Apa ini yang dimaksud Mas Saka?” Gumam Damar pelan mengingat-ingat informasi yang sempat disampaikan sang Kakak ketika masih berada di Lemah Kidul.
“Asta Braja..” Tiba-tiba seluruh orang di ruangan tersebut langsung menoleh ke arah pintu ruangan ketika suara yang amat mereka kenal terdengar melaung memecah ketegangan.
Bersamaan dengan itu seorang perempuan dengan kebaya biru memasuki ruangan tersebut, kecantikannya menguar ke sepenjuru ruangan, meredamkan ketegangan yang sempat mengisi tempat tersebut.
Perempuan itu tak lain adalah sang pemuncak kuasa Purantara, Raden Ayu Anggana Raras Rengganis.
Bersambung..