Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

Hallo semuanya, selamat siang dan salam rindu. Sebelumnya terimakasih atas segala masukan dan pendapatnya mengenai kelanjutan threads ini.

Jujur.. kemarin-kemarin memang saya sempet stuck dan gak nyentuh sama sekali file cerita ini, tapi setelah baca komen-komen para suhu sekalian saya mutusin buat kembali megang file ini di laptop. Bener-bener terimakasih banget supportnya, dan saya bakal lanjutin ini sesuai draft awalnya.

Untuk penulisan update selanjutnya (Bagian 16) sudah 70% (baru sekitar 14k word) , jadi doakan beberapa hari kedepan bisa rilis ya. Terimakasih dan salam cinta dari seluruh jajaran tokoh cerita ini 🙏
Semangat hu,saya menikmati karya suhu..dikasih cerita bagus kok komen ga jelas yg satu itu..terus berkarya hu..👍👍👍
 
Hallo semuanya, selamat siang dan salam rindu. Sebelumnya terimakasih atas segala masukan dan pendapatnya mengenai kelanjutan threads ini.

Jujur.. kemarin-kemarin memang saya sempet stuck dan gak nyentuh sama sekali file cerita ini, tapi setelah baca komen-komen para suhu sekalian saya mutusin buat kembali megang file ini di laptop. Bener-bener terimakasih banget supportnya, dan saya bakal lanjutin ini sesuai draft awalnya.

Untuk penulisan update selanjutnya (Bagian 16) sudah 70% (baru sekitar 14k word) , jadi doakan beberapa hari kedepan bisa rilis ya. Terimakasih dan salam cinta dari seluruh jajaran tokoh cerita ini 🙏
Semangat hu,saya menikmati karya suhu..dikasih cerita bagus kok komen ga jelas yg satu itu..terus berkarya hu..👍👍👍
 
Hallo semuanya, selamat siang dan salam rindu. Sebelumnya terimakasih atas segala masukan dan pendapatnya mengenai kelanjutan threads ini.

Jujur.. kemarin-kemarin memang saya sempet stuck dan gak nyentuh sama sekali file cerita ini, tapi setelah baca komen-komen para suhu sekalian saya mutusin buat kembali megang file ini di laptop. Bener-bener terimakasih banget supportnya, dan saya bakal lanjutin ini sesuai draft awalnya.

Untuk penulisan update selanjutnya (Bagian 16) sudah 70% (baru sekitar 14k word) , jadi doakan beberapa hari kedepan bisa rilis ya. Terimakasih dan salam cinta dari seluruh jajaran tokoh cerita ini 🙏

Semangat suhu. Karya ente sungguh luar binasa. Jangan pedulikan 1 suara yang merespon negatif, karna ane yakin pembaca yang lain pasti sangat ingin menyimak kelanjutan karya ente yg luar binasa ini.

Dan menurut ane, tidak ada satupun hal yang menunjukkan sifat-sifat rasis dalam karya ente ini. Jadi, stay strong aja ya suhu.

Tidak ada satu hal pun yang dapat menghentikan imajinasi liar seseorang dalam berkarya. So keep up the good work. 👍

Jangan lupa, ditunggu updatenya suhu..😂😂
 
BAGIAN 16 : TERLEPAS
POV3D

Pagi bergelayut kabut dengan semburat keunguan di batas cakrawala.. di tengah hutan perbukitan wilayah Herang.

Aswatama berdiri dengan bahu tersandar di sebuah pohon cemara gunung, persis di bibir sebuah jurang kecil yang tak seberapa dalam, ditemani suara gemericik sungai yang tak terlihat di bawah sana. Wajahnya menyemburatkan senyum kecil tersebab suasana tempat ini yang begitu menenteramkan hati dan pikirannya.

Pohon-pohon yang diam keluh dibalut kabut, seolah tiada satu desah angin pun yang bertiup di belantara hutan perbukitan tersebut. Langit yang menjingga keunguan, bersiap menyambut gelayut mentari yang coba memanjat tebing-tebing tinggi cakrawala.

Daun-daun yang berbalut embun, hawa dingin yang menusuk tubuh, dan sayup-sayup bunyi serangga hutan yang menandai awal pagi.
Indah sekali, tenteram sekali.

Dan di tengah konklusi alam yang begitu menenteramkan jiwa, Aswatama disadarkan dari kebisuannya oleh sebuah suara derap langkah lembut nan lemah, menyebabkan suara gemerisik pelan di telinganya, itu suara dari dedaunan maupun rumput yang terinjak kaki. Aswatama hendak memasang sikap waspada, seperti biasanya. Namun ia urungkan, sebab ia sama sekali tidak merasakan pancaran energi berlebih dari yang datang menujunya kini.

“Punten A’..” Suara lembut mengalun di antara embun perbukitan, memecah jalinan kabut, hingga tiba di telinga awas milik pemuda yang tubuhnya masih dalam tahap pemulihan.

Dan entah mengapa, ada setitik senyum kecil di bibir Aswatama ketika mengetahui siapa yang datang. Ia pun lekas menarik sandaran tubuhnya dari pohon, menegakkan posisi berdirinya, memutar tubuhnya perlahan mengikuti arah datangnya suara tersebut.

Pemilik suara lembut itu tak lain adalah Kinaya, perempuan muda yang tengah berbadan dua. Perempuan itu kini tengah berjalan menuju ke arah Aswatama. Sebelah tangan Kinaya membawa bambu kecil yang dipergunakan sebagai penopang jalannya, yang memang terlihat cukup kesulitan dengan ukuran perutnya yang kian membesar di tiap harinya. Sedang tangannya yang lain mengangkat sedikit belahan kain jariknya, berusaha mempermudah langkah.​


cd9825cac8a13f8d0b4f47e67586d027.jpg

Kinaya Arum Sari
Aswatama melebarkan senyum, memandang Kinaya yang semakin dekat ke tempatnya berdiri. Kesederhanaan jelas terlihat dari cara berpakaian perempuan dengan usia kandungan sudah menginjak bulan ke tujuh itu, kain batik putih melilit sebatas dada lalu ditutup dengan kebaya putih menerawang yang tak dikancingkan bagian depannya.

Tubuhnya mungil, dengan perut yang membuncit ditopang payudara sekal yang terlihat proposional, dalam keadaan berbadan dua sekalipun kecantikan perempuan dusun tersebut tak pudar sama sekali. Pesonanya kuat dan lekat, senada dengan geraian rambut hitamnya yang menjuntai indah sebatas punggung.

Aswatama terdiam, menunggu sampai Kinaya benar-benar tiba. Tatapan Aswatama menunduk sesekali, segan untuk menatap Kinaya jika terlalu lama. Sedang Kinaya tersenyum kecil, sesekali ia menyisihkan helaian rambutnya yang mengganggu di tepian wajah. Menatap pemuda yang sudah dua hari ini tinggal bersama ia dan keluarganya.

“Aa teh kan masih sakit, kenapa malah jalan-jalan sendirian..” Ujar Kinaya lembut ketika sudah berada di hadapan Aswatama. Ucapannya berada di antara batas pertanyaan dan pernyataan. Namun Aswatama memutuskan untuk menjabarkan alasannya berada di sini.

“Saya sudah tidak apa-apa, lagi pula saya senang dengan tempat ini, makanya saya putuskan buat melihat-lihat.” Jawab Aswatama dengan nada suara datar namun terdengar lembut.

Kinaya tersenyum kecil, ia pandangi tubuh Aswatama yang sudah dua hari ini berada di dalam perawatan ia dan Ambunya, dan selama itu pula, Aswatama memang selalu bertelanjang dada, tengah mengeringkan sisa-sisa luka bakar ringan di bahu kirinya.

Untuk ukuran pemuda desa, tubuh Aswatama termasuk cukup indah. Otot-otot di lengannya tegas terbentuk, bahunya lebar dan terlihat tegap bak sayap mengepak, dadanya bidang dengan bulu-bulu halus menghias di sana, dan bulu-bulu itu pun membentuk garis panjang dari bawah dada hingga ke bawah pusar, plus otot-otot perutnya yang terbentuk samar-samar. Kinaya tak bisa untuk tidak terkagum dengan tubuh Aswatama, sangat tidak bisa.

“Tapi Aa teh belum sembuh, tidak usah jalan-jalan jauh dulu atuh.. nanti kalau sakit lagi bagaimana?” Tanya Kinaya seraya menyandarkan tongkat bambunya ke pohon, sejenak tangannya berpegangan di sana, lelah sebab jarak dari rumah ke tepi jurang ini memang cukup jauh, dan sedikit menanjak juga yang jelas.

“Saya sudah sangat baik, sungguh..” Jawab Aswatama dengan senyum kecil di bibirnya, membuat Kinaya tak lagi sanggup mendebat perkataan sang lawan bicara, tertunduklah wajahnya, sebab merasakan kegugupan yang amat sangat, kegugupan yang selalu ia rasakan ketika Aswatama menatap matanya dibarengi dengan sebuah senyuman.

Namun Aswatama justru mengira sikap Kinaya merupakan sebuah sikap ketersinggungan atau semacamnya. Dan hal tersebut membuat Aswatama sedikit merasa bersalah, merasa sebagai orang yang sedikit tidak tahu terimakasih pada orang yang sudah memberikan pertolongan kepadanya.

“Kinaya..” Panggil Aswatama lembut seraya merendahkan tubuhnya. Membuat Perempuan di hadapannya segera mengangkat wajah ragu-ragu.

“Terimakasih ya.. terimakasih atas segala pertolongan yang kamu, Ambu dan Abah berikan kepada saya.” Ujar Aswatama seraya memegang pergelangan tangan Kinaya yang tengah bertopang di batang pohon. Sedang tangannya yang lain segara memegang bahu Kinaya lembut.

Aswatama melakukan hal tersebut bukan hendak berbuat kurang ajar, tapi karena matanya menangkap bahwa Kinaya cukup kelelahan, dimana tanpa perempuan itu sadari, wajah Kinaya yang gugup ragu-ragu itu, menampilkan sedikit gurat meringis dengan tangannya yang lain memegang bagian bawah perutnya sendiri, menahan sedikit nyeri sebab berjalan terlalu jauh hari ini.

Ya.. akumulasi rasa lelah dan kegugupan entah mengapa membuat Kinaya sedikit merasakan keram nan nyeri di perut bagian bawahnya.

“Dalam keadaan seperti ini, harusnya kamu perbanyak istirahat, apalagi perjalanan ke sini jauh, menanjak juga, tentunya itu tidak baik untuk keadaan janinmu, Kinaya.” Ujar Aswatama seraya menuntun Kinaya untuk duduk, dibantunya perempuan itu dengan amat hati-hati, diposisikan bersandar pada pokok pohon yang bagian atasnya menjulang tinggi.

Kinaya tertegun sebab diperlakukan amat baik dan lembut oleh Aswatana, ia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya ketika Aswatama mendudukkan dirinya di atas tanah, begitu pun ketika Aswatama yang tengah berjongkok di sampingnya membantu Kinaya untuk meluruskan ke dua kaki.

Membuat Kinaya tak bisa untuk tidak tersanjung akan perlakuan pemuda yang mengancam akan membunuh abahnya itu di tempo hari.

“Apa masih sakit?” Tanya Aswatama dengan wajah terlihat sedikit khawatir.

“Sedikit..” Jawab Kinaya seraya terus memegangi dan mengelus lembut perut bagian bawahnya, sedikit ngilu ia rasakan di sana.

“Apa di sini sakitnya?” Tanya Aswatama lagi menunjuk perut bagian bawah yang tengah diusap-usap oleh Kinaya, perempuan itu mengangguk pelan, berusaha menguarkan senyum untuk mengentaskan nyeri di perutnya.

“Saya mohon maaf sebelumnya..” Ucap Aswatama pendek, dan tanpa menunggu perizinan lagi, pemuda itu langsung menangkupkan telapak tangan kanannya di punggung telapak tangan kiri Kinaya, membuat elusan Kinaya berhenti, membuat perempuan itu terdiam bisu.

Baru kali ini lagi ada lelaki yang menyentuh tubuhnya.

Sedang Aswatama tak menyadari keterpanaan Kinaya, ia hanya memfokuskan diri untuk mengontrol aliran tenaga di dalam tubuhnya agar terkumpul di telapak tangan, mengatur sedemikian rupa titik-titik simpul tenaga dalamnya, supaya mengalirkan kuantitas energi sesuai yang ia butuhkan.

Lalu dibawanya telapak tangan Kinaya yang berada dalam tangkupan telapak tangannya itu untuk bergerak lembut mengusapi keseluruhan perut membusung nan indah di mana seorang bayi tengah berlindung nyaman di dalamnya.

Kinaya yang sedari awal sudah terpana kini malah kian tenggelam dalam keterpanaannya, sebab selain ia tersanjung dengan apa yang Aswatama lakukan padanya, ia juga merasakan telapak tangannya menghangat, dan kehangatan itu seolah terpancar dan mengalir dari telapak tangan Aswatama, menyatu dan menyebar ke seluruh tubuhnya, menghangatkan tiap jengkal perut membusungnya, memberikan kenyamanan tersendiri dan mengentaskan rasa nyeri yang sempat hadir.

“Apa sudah lebih baik?” Tanya Aswatama menghentikan gerakan telapak tangan mereka berdua. Mata pemuda itu yang selalu terlihat tajam, kini menyelam dalam-dalam ke bola mata Kinaya.

Perempuan muda itu mengangguk, pipinya bersemu merah, segera saja ia palingkan wajahnya dari pemuda itu. Berusaha mengentaskan rasa gugupnya. Aswatama balas mengangguk, lalu ditariklah telapak tangan miliknya dari punggung telapak tangan Kinaya.

Aswatama pun duduk bersila di samping kaki Kinaya, duduk membelakangi jurang menghadap perempuan tersebut. Memandang sejenak wajah bersemu milik Kinaya.

“Apa yang membawa kamu sampai ke sini, Kinaya? Apa ada perlu dengan saya?” Tanya Aswatama lembut, Kinaya memalingkan wajahnya sejenak, mengatur napasnya sesaat.
“Enggak apa-apa, aku Cuma bosan dan lagi pingin jalan-jalan.” Jawab Kinaya menyembunyikan maksud utamanya.

“Jangan terlalu sering berjalan-jalan jauh seperti ini, Kinaya. Tidak baik untuk kandunganmu kalau kamu beraktivitas berat. Jalan ke tempat ini kan menanjak.” Tegur Aswatama lagi dengan aura keteduhannya. Kinaya menghela napas berat, berusaha mengendalikan dirinya sendiri.

“Maaf..” Ujar Kinaya pendek saking bingungnya mencari kata-kata. Ruang dadanya berdegup sedikit lebih kencang dari biasanya.

Aswatama mengernyit dahi, bingung mengapa Kinaya justru meminta maaf kepadanya. Dan merasa tak seharusnya Kinaya menghaturkan kata-kata tersebut kepadanya. Dan juga, ia merasa terlalu lancang sudah mempertanyakan perihal apa yang saat ini tengah Kinaya lakukan.

“Apa Kinaya haus?” Tanya Aswatama mencoba mengalihkan topik pembicaraan, Kinaya menggelengkan kepala ragu, meski di dalam hatinya tentu saja ia merasa sedikit haus. Karena bagaimana pun benar yang di katakan Aswatama, jalan menuju ke tempat ini sangat menanjak dan juga cukup jauh.

Namun tentu saja Kinaya tak berani menyampaikan hal tersebut, sebab ia sendiri benar-benar tak terpikir untuk membawa air minum. Dan bagaimana jika ternyata Aswatama juga haus? Dari mana mereka akan mendapatkan air? Karena jalan satu-satunya yaitu pulang kembali ke rumah.

“Tunggu di sini sebentar ya, jangan kemana-mana.” Ujar Aswatama seraya berdiri, Kinaya hanya bisa menampilkan raut wajah bingung menatap Aswatama.

Kemudian pemuda itu berbalik badan, mendekat ke tepian jurang, menerka-nerka sejenak. Sebelum sedetik kemudian ia melonjak, berlarian menuruni tanah miring dengan tatapan yakin.

Kinaya hanya tersenyum kecil ketika melihat tubuh Aswatama menghilang ke dalam jurang, tidak ada raut keterkejutan sama sekali di wajahnya, yang ada malah senyum penuh kekaguman.

Sebab memang, sedari awal ia sudah menebak, Aswatama pasti bukanlah pemuda biasa. Luka-luka di tubuhnya, ketegasannya ketika menanyakan anggaraksa, aura kuatnya, ditambah kemarin sore sampai malam tadi Aswatama tak segan untuk memperlihatkan kepiawaiannya mengolah tubuh, berlatih berbagai macam gerakan perenggangan, sampai beberapa pukulan dan tendangan ringan, bahkan sempat ia melihat Aswatama dengan ringan meloncat dari satu titik ke titik lainnya dengan tubuh yang ringan melayang.

Ahli beladiri.. itu saja yang ada di kepala Kinaya untuk menerjemahkan Aswatama.

Dan oleh Abah maupun Ambunya ia diberitahu, bahwa di setiap daerah, akan ada garis keturunan tertentu yang memiliki kemampuan dalam mengolah tenaga dalam. Dan baik dari Abah maupun Ambunya tahu, ada alasan kuat mengapa Aswatama bisa terdampar di tepi sungai malam itu, dan mengapa Aswatama begitu khawatir dengan tongkat yang ia bawa. Namun meski begitu, Kinaya beserta kedua orangtuanya yakin secara penuh, bahwa Aswatama bukanlah orang jahat.

Setidaknya bagi Kinaya.. Aswatama adalah ahli beladiri yang sudah sangat hebat. Itu saja.
Dan mengenai tujuan Kinaya ke sini, salah satunya karena ia memang hendak mencari udara segar, dan iseng-iseng ketika ia bertanya pada Abahnya di mana kira-kira Aswatama, tempat inilah yang diberitahukan oleh Abah. Entahlah.. perempuan itu merasa penasaran saja pada apa yang dilakukan Aswatama, serta.. ia ingin memiliki waktu berbicara dengan Aswatama lebih banyak.

Ya.. karena memang seharian kemarin, ia jarang berbicara empat mata dengan pemuda itu. Karena Aswatama lebih sering menundukkan pandangan matanya ketika berpapasan, juga karena Aswatama lebih banyak menghabiskan waktu berbicaranya dengan Abah. Dan itu membuat Kinaya merasa masih agak asing dengan Aswatama. Tapi tatapan pemuda itu, tutur kata serta gerak tubuhnya, entah mengapa membuat Kinaya betah berlama-lama ketika mencuri pandang.

Terlebih lagi, ia senang dengan keberadaan Aswatama. Setidaknya ia tidak merasa menjadi anak kecil sendirian. Karena selama ini hanya ada Abah dan Ambu, yang selalu dan selalu saja menempatkan Kinaya layaknya anak kecil, meski hakikatnya Kinaya sudah dewasa, bahkan sekarang tengah berbadan dua.

Sebenarnya ada satu sosok lain di kediaman Kinaya, Ideung namanya (diambil dari kata Hideung, yang berarti Hitam), seekor kucing hitam peliharaan Abah, yang bahkan lebih didewasakan dari Kinaya sendiri. Terbukti dengan Ideung yang selalu diajak Abah berpergian, entah ke dalam hutan, atau ke perkampungan untuk menjual hasil kebun.

Berbeda dengan Kinaya yang hanya diizinkan bermain di sekitar rumah saja, apalagi semenjak ia berbadan dua, Abah dan Ambu malah semakin protektif kepadanya, dimana Kinaya sama sekali tidak boleh melakukan hal-hal yang menurut Abah dan Ambu akan berisiko terhadap janin yang berada di kandungannya. Namun meski begitu Kinaya sadar betul, Abah dan Ambu seperti itu sebab sayang kepadanya, perempuan muda itu hanya kadang merasa jenuh saja, tidak lebih.

Kinaya pun menyeret perlahan tubuhnya untuk mendekat ke tepi jurang, memandang ke bawah di mana Aswatama tadi terjun dengan santainya. Kepala Kinaya bergerak menyapu keseluruhan jurang di bawahnya, mencoba menerka-nerka dari sudut mana nanti Aswatama akan muncul. Senyum perempuan itu kian mengembang, ia benar-benar ingin melihat Aswatama menampakkan diri dari rimbun pepohonan.

Bermenit-menit lamanya Kinaya menunggu di tepian jurang itu. Dan hal tersebut tanpa disadari Kinaya telah membawa tubuhnya benar-benar berada di bibir jurang, semakin condong ke depan, semakin berusaha membaca tiap gerak-gerik gemerisik daun, mencoba menemukan titik kemunculan Aswatama.

“Hati-hati, Kinaya..” Sebuah suara terdengar lembut memecah keheningan. Membuat perempuan itu sedikit tersentak kaget. Hal itu membuatnya reflek memutar punggung, hendak melihat siapa yang datang.

Namun hal itu justru membuatnya kehilangan keseimbangan, tubuhnya limbung ke arah belakang, hendak terjengkang. Melihat itu sang pemilik suara yang memang hanya tiga meter jauhnya pun segera bergegas, dengan cekatan ia melesat dan langsung merengkuh punggung Kinaya. Menahan perempuan itu agar tidak jatuh ke dalam jurang.

Lengang.. untuk sepersekian detik hening menyergap bibir tebing itu.

Saat ini, tubuh Kinaya sudah berada dalam rengkuhan lengan kanan Aswatama, sedang lengan kiri pemuda tersebut mencengkeram sulur tanaman, menahan tubuhnya dan tubuh Kinaya agar tidak jatuh ke dalam jurang.

Kedua kaki pemuda itu mantap menjejak tanah, seolah telapak kakinya itu memiliki perekat kuat agar bisa menahan beban tubuh mereka berdua. Kemudian Aswatama menekuk lengan yang digunakannya sebagai pegangan, sebelah kakinya mendorong ke atas, menarik tubuh Kinaya agar menjauh dari tepi jurang.

“Apa kamu baik-baik saja, Kinaya?” Tanya Aswatama setelah memastikan posisi duduk Kinaya jauh dari bibir jurang, berjongkok di depan Kinaya seraya memegang bahu perempuan itu, khawatir mendera hati Aswatama saat ini.

“Hahh.. hahh..” Kinaya tak menjawab, napasnya terengah, shock efect itu minih bersisa-sisa di dalam dadanya.

“Maafkan saya Kinaya, saya sama sekali tidak bermaksud mengagetkanmu. Saya mohon, maafkan saya ya..” Ujar Aswatama lembut, membuat Kinaya berangsur-angsur mulai tenang kembali.

“Enggak apa-apa, aku yang salah..” Jawab Kinaya sekenanya, berusaha meredakan keterkejutannya. Aswatama membuang napas lega, tak berniat mendebat Kinaya lebih jauh lagi.

Aswatama kemudian mengalihkan pandang ke arah daun pisang yang tadi ia gunakan sebagai wadah pembawa air dari sungai, sayangnya daun tersebut sudah tidak lagi memiliki air, terkoyak dan lepas sebab Aswatama tadi reflek menjatuhkannya.

“Kenapa?” Tanya Kinaya ketika melihat Aswatama sedikit murung wajahnya.

“Maaf.. air untuk minum kamu tumpah..” Ujar Aswatama lemas, dan Kinaya mengerti hal tersebut, ia entah mengapa memberanikan diri menggenggam tangan Aswatama, dan memberanikan diri juga untuk menatap dalam-dalam mata pemuda tersebut.

“Terimakasih..” Ucap Kinaya lembut, dan itu membuat Aswatama sedikit kebingungan.

“Tapi kan airnya..” Tukas Aswatama menggantung. Segera direspon Kinaya dengan gelengan kepala.

“Terimakasih karena udah nolong aku..” Tutur Kinaya lembut sekali, sembari memberikan usapan pada punggung telapak tangan Aswtaama. Membuat pemuda itu entah mengapa merasakan desiran aneh di relung perasaannya.

“Apa Aswatama haus?” Tanya Kinaya sudah berani memanggil nama Aswatama tanpa embel-embel “Aa” lagi.

Membuat Aswatama semakin merasa kebingungan dengan debar di dalam dadanya. Yang membuatnya hanya bisa terpekur diam, menatap dalam-dalam mata Kinaya.

“Ikut aku yuk..” Ajak Kinaya semangat seraya mengambil daun penampung air Aswatama yang teronggok di atas rerumputan, lalu bangun dari duduknya, dan meski bingung, Aswatama tetap tidak kehilangan kesigapannya, ia pun segera membantu Kinaya bangkit dari duduknya. Memegang tangan perempuan itu erat-erat.

“Kemana?” Tanya Aswatama pada Kinaya, namun oleh perempuan itu hanya dijawab dengan senyuman. Seraya mengajak Aswatama berjalan.

Dan akhirnya, Aswatama pun menjelma kerbau yang dicucuk hidungnya, menurut kemana arah tarikan tangan Kinaya mengarah. Lalu dengan senyuman manis, Kinaya pun mengajak Aswatama untuk menyusuri jalan setapak tersebut, mengarah ke sebuah semak belukar yang ditumbuhi tanaman-tanaman pendek berdaun lebar, mirip pohon pisang.

Setelah itu, Kinaya pun mulai mengumpulkan tetes demi tetes embun yang berada di dedaunan, mengajak Aswatama untuk ikut membantunya. Dan mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh Kinaya, Aswatama pun dengan ringan tangan dan senyuman turut membantu perempuan muda itu, mengumpulkan embun.

Kinaya bertugas menempatkan daun pisang yang sudah dibentuk seperti bungkus ‘Pincuk’ (pembungkus pecel pincuk), sedang Aswatama bertugas menjatuhkan embun-embun agar tergelincir dari singgasananya. Mereka melakukan hal tersebut dengan penuh perasaan riang, sedikit bicara banyak senyumnya.

Sedang di ufuk timur, sang fajar sudah mulai memunculkan keseluruhan tubuhnya. Lengan-lengan putih cahayanya menyebar ke sepenjuru semesta, menerabas untaian-untaian kabut, menyusup ke sela-sela pepohonan, menyinari utuh areal hutan perbukitan tersebut.

“Ini A, diminum dulu..” Tukas Kinaya seraya menyodorkan embun-embun yang sudah mengisi setengah pincuk daun pisang itu kepada Aswatama. Sudah kembali memanggil Aswatama dengan sebutan “Aa”.

“Kinaya saja dulu..” Sahut Aswatama.

“Ih enggak apa-apa, Aa aja dulu..” Kinaya memaksa halus, ia semakin dekatkan lipatan daun pisang yang ia genggam dengan kedua tangan itu ke bibir Aswatama.

“Kinaya dulu ya, kan Kinaya yang lebih dulu haus..” Ucap Aswatama sembari kedua telapak tangannya langsung tertangkup di punggung telapak tangan Kinaya, ikut menggenggam pincuk daun pisang tersebut, membuat Kinaya harus tertegun untuk kesekian kali.

Aswatama melempar senyuman, kemudian diarahkannya pincuk daun pisang tersebut mendekat ke bibir Kinaya.

Dan kini giliran Kinaya lah yang menjelma kerbau dengan cucuk di hidungnya, menurut saja ketika Aswatama terus menatap dalam-dalam bola matanya, mulai membuka bibir mungilnya, dan meneguk dingin air dari embun pagi yang mereka kumpulkan.

Aswatama tersenyum, ada setitik ketenteraman yang meraga di hatinya ketika melihat Kinaya meneguk air embun itu, seperti keteduhan meresap hingga ke sela-sela inti jiwanya.

“Sudah?” Tanya Aswatama ketika Kinaya menarik bibirnya, menyudahi kegiatan minumnya, menyisakan beberapa kubik embun di dalam pincuk daun pisang tersebut.

“Sudah A.. terimakasih..” Jawab Kinaya malu-malu, sebab punggung telapak tangannya masih berada dalam tangkupan Aswatama. Dan menyadari hal tersebut, Aswatama segera menarik kedua telapak tangannya, merasa tidak enak sendiri karena sudah berani-beraninya menyentuh istri orang.

“Maaf..” Gugup Aswatama seraya menyimpan tangannya ke belakang.

“Enggak apa-apa, yuk A.. kumpulin embunnya lagi..” Kinaya berkata cepat, berusaha mengentaskan kegugupannya juga.

Dan akhirnya, mereka pun kembali melanjutkan acara kumpul mengumpulkan embun itu, kali ini tentunya diperuntukkan untuk minum Aswatama. Awalnya sedikit canggung, tapi lama kelamaan, akhirnya kecanggungan itu pun pergi jauh, membuat semuanya terasa menyenangkan bagi mereka.
Aktivitas pagi dari penghuni hutan perbukitan itu pun mulai menggeliat, serangga-serangga kecil mulai keluar dari sarangnya, berterbangan pendek dari satu daun ke daun lainnya.

Berbagai macam dan jenis kupu-kupu mulai pula menampakkan diri, dari yang berukuran paling kecil sampai yang berukuran paling besar, dari yang berwarna hijau polos, sampai yang berwarna kuning cerah dengan aneka pola yang indah.

Mereka bahagia, itu saja. Saling tersenyum dan melempar tawa, serta saling menjaga jikalau dirasa pijakan kaki melemah.

Air untuk Aswatama pun sudah terkumpul, lekas diminum oleh pemuda itu dengan berpegangan kembali pada punggung telapak tangan Kinaya yang memeluk pincuk daun pisang tersebut, sekali lagi membuat Kinaya keluh, namun luruh begitu utuh.

“Mata kamu indah, Kinaya..” Kata-kata meluncur begitu saja dari bibir Aswatama, tak terkendali, dan langsung menusuk tepat di relung terdalam perasaan Kinaya. Membuat gadis itu tertunduk dalam, bersemu merah pipinya.

“Maaf.. saya tidak bermaksud..” Aswatama hendak menghaturkan maaf, ia kembali menyadari kesalahannya, sebab secara tak langsung ia sudah menggoda istri orang.

“JAAAAANNNGG..”

Namun kata-kata Aswatama tak selesai, sebuah seruan lantang memecah keheningan hutan. Membuat Aswatama lekas melepas tangkupan telapak tangannya pada kedua punggung telapak tangan Kinaya, sebab itu adalah suara Abah, beliau muncul dari jalan setapak, sudah melambai-lambaikan tangan penuh semangat.

Ambu mengekor di belakangnya bersama Ideung yang berjalan tak beraturan, salip menyalip di antara kaki Abah dan Ambu.

“Bah.. Ambu..” Sapa Aswatama sembari menyimpan kedua tangannya ke belakang pinggang, menganggukkan kepalanya penuh hormat kepada Abah dan Ambu yang sudah berada di depannya.

“Atuh bener kan kata Abah.. Si Ujang teh pasti jalan-jalan kesini..” Seru Abah kepada Ambu dengan raut jumawa.

“Atuh Ambu juga tau, Cuma ngetes Abah aja tadi mah..” Jawab Ambu yang pagi ini hanya mengenakan daster rumah yang sedikit lusuh bermotif kembang.

“Maaf.. Ambu sama Abah teh mau kemana?” Tanya Aswatama sopan tak berniat basa-basi. Ditatapnya lamat-lamat Abah dan Ambu dari Kinaya itu, sebab terlihat pakaian mereka lebih ‘rapih’ hari ini.

Mengenakan luaran, dan tutup kepala, serta membawa beberapa karung kosong dan rantang makanan. Seperti hendak pergi piknik.
“Ini.. Ambu sama Abah mau ke atas, mau nyari Porang..” Jawab Ambu dengan wajah sumringah. Porang sendiri adalah tanaman jenis umbi-umbian yang tumbuh liar di hutan. Memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi jika dijual di tempat yang tepat.

“Porang?” Tanya Aswatama bingung, sebab ini adalah kali pertamanya ia mendengar kata tersebut. Akhirnya Abah pun menjelaskan perihal porang ini kepada Aswatama. Menyampaikan pula niatan mereka untuk menitipkan Kinaya kepada Aswatama, sebab kedua orang tua tersebut baru akan pulang sore nanti.

“Kalau begitu, biar saya saja yang menemani Abah..” Ujar Aswatama penuh semangat.

“Ah tidak usah Jang, atuh kamu kan belum sembuh benar. Biar Abah sama Ambu saja..” Sahut Abah sembari menepuk pelan bahu Aswatama.

“Tidak apa-apa Bah, tubuh saya sudah jauh lebih baik sekarang. Saya bisa bantu Abah untuk bawa porang-porangnya nanti.” Yakin Aswatama lagi.

“Atuh mah tidak apa-apa Kasep.. kamu di sini saja, jagain Kinaya. Biar Ambu sama Abah saja ya..” Kini Ambu ikut meyakinkan Aswatama, karena sebaik apapun kondisi tubuh pemuda itu saat ini, bagi Ambu Aswatama masih perlu banyak istirahat.

“Lagi pula.. Abah sama Ambu mau sekalian pacaran Jang.. jarang-jarang soalnya Abah sama Ambu bisa jalan-jalan berdua, biasanya kan selalu digangguin sama Kinaya hehehe..” Timpal Abah dengan tawa kecilnya.

“Abah ih..” Protes Kinaya kecil kepada Abahnya, membuat Abah dan Ambu malah tertawa, sedang Aswatama hanya tersenyum, mencoba menerima penolakan dari Abah dan Ambu.

“Yasudah.. Abah sama Ambu berangkat dulu titip Kinaya ya Jang..” Ujar Abah kepada Aswatama, yang langsung dijawab dengan anggukkan pelan, segera diraih punggung telapak tangan lelaki tua itu, diciumnya dengan penuh rasa hormat. Hal yang sama dilakukan Kinaya.

“Atuh sarapan dulu sana, Ambu sudah buatkan bubur buat kalian berdua..” Tukas Ambu ketika Aswatama dan Kinaya bergantian menciumi tangannya. Dielusnya lembut kepala Aswatama, lalu dipeluknya erat-erat tubuh Kinaya.

Kinaya sempat terdiam, sebab tidak biasanya Ambu memeluknya seperti itu, tepatnya jarang sekali. Dan entah mengapa ada rasa tenteram yang begitu mengungkung hati Kinaya saat ini, dibalasnya pelukan Ambu dengan erat, merasakan kehangatan peluk yang jarang sekali ia dapatkan.

“Kinaya ikut ya Ambu..” Ucap Kinaya ketika pelukan mereka telepas, segera saja Ambu menghadiahi kecupan di kedua pipi Kinaya, mengusap lembut rambut sang anak dengan penuh kasih sayang.

Kinaya pun tak mengerti mengapa ia merasa bahwa ingin sekali ikut dengan Abah dan Ambunya, seperti tak ingin ditinggalkan dulu, padahal hari-hari sebelumnya pun ia sering ditinggal pergi sendirian di rumah.

“Atuh aya-aya wae kamu mah.. sudah.. Ambu berangkat..” Ucap Ambu sembari mengeratkan pegangannya pada gagang rantang.

“Dirawat biar bener si Aa-nya..” Bisik Ambu sebelum akhirnya berjalan beriringan bersama Abah. Mulai menapaki terjal jalanan setapak bukit ini, dengan harapan bisa mendapatkan porang sebanyak-banyaknya untuk dijual ke perkampungan. Yang uangnya nanti bisa untuk menambah biaya persalinan Kinaya yang sudah semakin dekat bulannya.

Sedang Kinaya dan Aswatama masih berdiri menatapi punggung Abah dan Ambu yang kian menjauh. Mereka terdiam dan menatap dengan senyum ketika dengan mesranya Abah menggenggam tangan Ambu yang terlihat sedikit kesulitan untuk melewati rintangan akar. Romantisme masa tua yang telah mengalahkan waktu, melenggang dari masa muda hingga usia senja, selalu bersama menggalang suka maupun duka.

Hingga sampai tubuh Abah dan Ambu sudah tak terlihat lagi, menghilang di kelokan jalan, barulah Aswatama dan Kinaya mulai saling berpandangan bingung. Bingung.. karena ditinggal hanya berdua saja.

Kruuuyyyuuk.. kruuuyyyuuk...

Aswatama dan Kinaya saling berpandangan ketika terdengar suara demonstrasi menguar dari perut Aswatama. Lalu mereka tertawa bersama.

“Hehehe maaf..” Kekeh Aswatama garuk-garuk kepala.

“Atuh minta maaf mulu si Aa mah.. hihihi..” Sahut Kinaya tersenyum merekah seraya mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Aswatama yang hanya bisa garuk-garuk kepala saja, menyusul jua pada akhirnya, mensejajari langkah pelan dari Kinaya yang berhati-hati menuruni jalan setapak hutan ini.

Dan ditemani aroma pagi yang menusuk sejuk ke sela-sela penciuman, dibarengi kupu-kupu yang hilir mudik berterbangan, kedua anak manusia itu pun menuruni tiap jengkal titian tanah yang dibalut rerumputan nan basah. Sisa embun semalam.

“Sudah berapa bulan?” Tanya Aswatama mencoba mengusir keheningan di antara mereka. Kinaya menoleh, lalu mengusap lembut perutnya.

“Tujuh bulan A.” Jawab Kinaya penuh tatapan mesra ke perutnya sendiri.

“Laki-laki atau perempuan?” Tanya Aswatama lagi, ikut memandangi perut membuncit milik Kinaya.

“Belum tahu A.. belum pernah diperiksain..” Jawab Kinaya sembari mengangkat wajah, menangkap mata Aswatama yang tengah memandangi perutnya.

“Lalu, suami Kinaya sekarang di mana? Dua hari ini saya tidak pernah melihatnya. Apa beliau merantau ke kota?” Tanya Aswatama penasaran, karena seperti yang ia katakan, bahwa ia sendiri belum pernah melihat suami dari Kinaya semenjak ia ‘terdampar’ di sini.

Dan mendengar pertanyaan tersebut, Kinaya pun mendadak menghentikan langkahnya, kedua tangannya langsung mengelusi perutnya sendiri, tatapannya dalam ke arah jabang bayinya yang terlindung di dalam sana.

Dan melihat hal tersebut, entah kenapa membuat Aswatama berpikir bahwa mungkin Kinaya kembali merasakan nyeri di perutnya, ia yang sudah dua langkah di depan Kinaya pun segera mendekat, sedikit kekhawatiran menguar di wajahnya.

“Apa perut Kinaya sakit lagi?” Tanya Aswatama.

“Eh.. hhmm.. enggak kok A’.. aku Cuma..” Kinaya berkata dengan kalimat menggantung, mencoba menenangkan dirinya dari belenggu pikiran, serta terpaan perhatian Aswatama.

“Kenapa?” Tanya Aswatama menunggu penyelesaian kalimat. Kinaya hanya tersenyum kecil, menggelengkan kepalanya pelan, dan segera melangkahkan kakinya agak cepat. Karena lagi-lagi, Kinaya merasakan kegugupan jika Aswatama bersikap seperhatian tadi.

Sedang Aswatama yang tertinggal hanya bisa mengerutkan dahi, bingung sendiri. Namun ketika menyadari bahwa jarak antara dirinya dengan Kinaya yang sudah semakin menjauh sebab tertinggal langkah, membuat Aswatama lekas melangkahkan kakinya lebar-lebar, berusaha kembali menyusul Kinaya.

“PELAN-PELAN KINAYA.. TANAHNYA MASIH LIC..”

“AAAAA...”

Belum tuntas kata-kata Aswatama terucap, teriakan Kinaya mendenging ke sepenjuru ruang telinga pemuda itu. Dan bak adegan lambat di film-film laga yang pernah Aswatama tonton di hajatan warga, ia menyaksikan bagaimana telapak kaki sebalah kanan Kinaya terpeleset tepian jalan setapak yang basah rumputnya, membuat Kinaya langsung kehilangan keseimbangannya, tubuh perempuan itu hendak terjengkang ke belakang, dengan kedua tangan reflek terangkat.

Dan Aswatama benar-benar bisa menangkap itu semua dalam gerakan lambat.

Maka tanpa pikir panjang, dengan secepat kilat, ia aliri kedua telapak kakinya dengan gelombang energi yang maha besar, berkumpul dan bertumpu di sana. Aswatama pun langsung menghentakkan kaki kanannya dengan keras, membuat tubuhnya melesat ke depan dengan arah menyerong ke kiri, dan sejatinya itu bukanlah arah yang benar jika Aswatama hendak menolong Kinaya. Tapi ternyata..

SSSSHHHH... DAGHHH.. WUUUSSHHH...

Tubuh Aswatama yang melayang cepat itu ternyata mengarah ke sebuah batu kapur besar, kaki pemuda itu sudah terlapisi kepulan energi berwarna keunguan pun menjejak keras batu kapur tersebut, kemudian melonjak zig-zag ke arah Kinaya yang dalam pandangan Aswatama baru setengah terjengkang ke belakang. Lalu..

HUPPP.. WUUUSSSHHH..

Punggung Kinaya yang tak sampai 50cm lagi akan menyentuh tanah pun berhasil ditangkap dengan sempurna oleh Aswatama. Dan dengan posisi menggendong tubuh perempuan tersebut, Aswatama melesat menuruni jurang, melayang dari dahan satu ke dahan lain dengan lembut.

Sedang Kinaya yang matanya sempat terpejam pun mulai terbuka, ia sempat berpikir bahwa tubuhnya akan jatuh terguling-guling, menggelinding sampai ke bawah, lalu perutnya yang membesar itu terhantam-hantam, sungguh.. itu saja yang ada di kepala Kinaya sebenarnya. Namun begitu ia membuka mata, ia justru mendapati rerimbunan daun yang datang salah berganti ke padanya, mendekat lalu tertinggal.

Dan begitu ia menengadahkan pandang, ia mendapati wajah Aswatama yang terlihat begitu tegas dan serius, tangan yang menopang punggung dan bawah pahanya, membopong Kinaya, membawanya melayang-layang di antara pepohonan. Kinaya terpana dalam-dalam, bukan karena ia sedang dibawa melayang-layang dari dahan satu ke dahan yang lain, namun karena ia mendapati satu pola aneh yang muncul di kening Aswatama saat ini.

Satu pola samar yang lebih mirip tato itu berbentuk segitiga lima sisi, namun dalam bentuk terbalik, yakni bagian puncaknya mengarah ke bawah. Seperti bentuk permata, itu saja yang ada di kepala Kinaya, terukir samar di kening Aswatama.

Dan belum hilang keterpanaan Kinaya, Aswatama kini sudah berhenti di salah satu dahan pohon besar, berpijak mantap di sana, lalu menurunkan perempuan di gendongannya dengan hati-hati, didudukkan bersandar pada pokok pohon dengan berlurus kaki, dipegang erat kedua bahu Kinaya, memastikan keadaan perempuan tersebut, sekaligus memantapkan posisi Kinaya di atas dahan pohon yang menjulang tinggi dari tanah.

“Kamu baik-baik saja, Kinaya? Apa ada yang sakit?” Tanya Aswatama dengan raut khawatir di wajah, kepulan energi berwarna ungu di kakinya perlahan-lahan tersamar, masuk kembali ke dalam tubuhnya.

Namun Kinaya hanya diam, ia masih tertegun menatap pola di kening Aswatama, tenggelam sendiri dalam keterpanaannya.

Meski ia mengetahui bahwa Aswatama bukanlah orang biasa, namun mendapati kenyataan bahwa pemuda itu bisa melesat dengan cepat menolongnya, lalu terbang dengan ringan di antara dahan pohon sembari menggendongnya benar-benar diluar perkiraan, dengan “kabut” ungu di kaki dan pola aneh di kening, itu benar-benar membuat Kinaya berada di antara ambang kekaguman dan ketakutan.

Karena ia sejatinya mengira, bahwa Aswatama hanyalah pemilik kemampuan bela diri tingkat tinggi. Bukan pemilik kekuatan aneh nan sakti mandraguna seperti yang ia dapati kini.

Aswatama sangat menyadari keterkejutan Kinaya, sadar akan arah bola mata Kinaya yang mengarah ke keningnya.

Sejatinya Aswatama berusaha sebisa mungkin menyembunyikan kekuatannya. Itulah alasan yang membuatnya sedari kemarin hanya berlatih fisik saja, itu juga alasan yang membuatnya lebih memilih mengambilkan Kinaya minum ke sungai, meski sejatinya, ia bisa saja mengumpulkan seluruh embun-embun yang ada di sekitarnya.

Dan alasan itu juga, yang membuat Aswatama menahan betul kekuatannya ketika menghadapi para penghadang di dua pertarungan sebelumnya. Ia berusaha menekan keras tenaga yang ia pergunakan agar pancaran energi yang keluar dari tubuhnya tidak terlalu menghentak alam, supaya posisinya tetap tersamar dari para pengejar yang dikirim untuk merebut Anggaraksa.

Tapi karena satu kejadian tak terduga, yang diliputi oleh keinginannya untuk melindungi Kinaya, membuat Aswatama tak berpikir panjang ketika mengeluarkan kekuatannya. Bahkan bisa dibilang, ia langsung mengerahkan salah satu energi yang menjadi kerahasiaannya, yang tak lain adalah bagian dari Asta Braja miliknya, yang memiliki kesatuan energi senada dengan energi petir. Kuasa itulah yang membuat ia bisa memperlambat pandangannya, dan mempercepat gerakannya.

“Maaf..” Ujar Aswatama seraya menundukkan wajah, menyadari bahwa mungkin ia sedikit berlebihan karena mempertontonkan kuasanya itu di depan Kinaya.

Sedang Kinaya langsung sadar, meski pun ia sedikit merasakan keterkejutan atas apa yang ia rasakan saat ini, namun sedikit pun ia tak merasakan takut, hanya terkejut saja. Dan Kinaya langsung menyadari, bahwa mungkin sikap diam keterkejutannya dan pandangannya ke arah kening pemuda itu telah membuat Aswatama merasa terganggu.

“Te.. terimakasih..” Ucap Kinaya seraya memegang kedua lengan Aswatama, merendahkan pandangannya, mencoba menatap raut tertunduk dari pemuda yang berada di hadapannya. Masih sedikit penasaran akan pola samar di kening Aswatama.

Namun Aswatama tetap menundukkan wajahnya, tak membalas tatapan Kinaya. Di hatinya ia merasa terlalu ceroboh, padahal ia sudah berjanji pada Abah Natha -selaku gurunya- bahwa ia hanya akan mengeluarkan segala kemampuan petirnya hanya untuk keadaan mendesak.

Bahkan ketika menghadapi dua kelompok penghadang sebelumnya, ia hanya menggunakan “tepi alur” dari Asta Braja miliknya, yang tak lain adalah gerbang terluar dan paling kecil pancaran energinya. Meski itu harus ia bayar dengan kewalahan hebat ketika menghadapi lima penghadang terakhir, yang membuatnya berakhir di dalam perawatan Abah dan Ambu hari ini.

Kepala Aswatama langsung penuh, terpikir bahwa seharusnya ia menggunakan cara lain untuk menolong Kinaya tadi. Setidaknya ia harusnya menggunakan Talang Drawa dahulu, bukan malah langsung mengerahkan Asta Brajanya. Meski ia sendiri tidak yakin, jika ia menggunakan Talang Drawa.. apakah ia akan berhasil menolong Kinaya atau tidak. Sebab Jika ia menggunakan Talang Drawa, tentunya ia takkan mampu bergerak secepat tadi.

(Talang Drawa : Kemampuan mengendalikan dan memanipulasi molekul air. Kemampuan khas orang-orang terpilih Hematala )

Dan Aswatama terus berpikir keras. Karena bagaimanapun, energi petir yang ia keluarkan tadi bisa berdampak buruk, sentakan petir yang keluar cukup banyak akan menyebabkan anomali kecil di langit, hal itu jika tertangkap mata orang-orang Hematala yang memiliki kepekaan tinggi tentu akan sangat berbahaya. Terlebih, peredam aura yang Aswatama miliki sedang tidak ada (kalung hitam yang diberikan Aswatama kepada Abah untuk diikatkan pada Anggaraksa).

Salah sekali.. ia merasa salah sekali..

“A’.. maaf kalau aku bikin Aa sedih..”

“Tidak Kinaya, tidak apa-apa. Saya hanya merasa.. tidak seharusnya saya menunjukkan ini semua kepadamu.” Ujar Aswatama masih dengan wajah tertunduk.

“Kenapa? Apa karena aku Cuma orang biasa?” Tanya Kinaya.

“Bukan.. bukan, Kinaya. Bukan itu..” Timpal Aswatama.

“Lalu?” Tanya Kinaya lagi.

“Tidak apa-apa, tidak usah dibahas lagi. Yang jelas sekarang kita harus pulang, saya harus berkemas.” Ucap Aswatama mulai mengangkat wajahnya, pola di kening pemuda itu sudah sepenuhnya lenyap, tak berbekas sama sekali. Namun Kinaya berusaha sebisa mungkin tak menunjukkan raut keheranannya.

“Berkemas? Apa Aa udah mau pergi? Tapi luka Aa kan belum..”

“Semakin lama saya di sini, itu akan semakin membahayakan bagi kamu dan keluargamu, Kinaya.” Aswatama memotong ucapan Kinaya dengan tegas namun lembut. Dan entah mengapa, mendengar bahwa Aswatama akan berkemas membuat hati perempuan itu terasa tak nyaman.

“Tapi..”

“Ada orang-orang yang sedang mengejar saya dan Anggaraksa, Kinaya. Dan mereka bukan orang-orang yang bisa diajak berdiskusi.” Ujar Aswatama berusaha memberikan pengertian.

Mendengar itu Kinaya terhenyak sejenak, bukan karena ia takut pada orang-orang yang dibicarakan Aswatama, sebab hal tersebut sudah ia duga sebelumnya. Namun ia takut akan hal lain, lebih tepatnya.. ia khawatir pada Aswatama yang masih perlu penyembuhan barang satu atau dua hari ke depan jika merujuk pada ucapan Ambunya.

“Ayo Kinaya, kita pulang sekarang..” Ucap Aswatama seraya berdiri dari duduknya, kemudian dengan ringannya ia langsung terjun ke bawah dan mendarat dengan mantap. Mata Kinaya pun segera mengikuti tubuh Aswatama yang kini sudah berada di bawah sana, menatap lamat-lamat pemuda itu dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa jelaskan.

“Ayo Kinaya..” Seru Aswatama pada Kinaya yang tengah memandanginya dari atas pohon.

“Tapi A..” Sahut Kinaya mulai diterpa kebimbangan.

“Saya harap kamu mengerti, karena semakin lama saya di sini, maka..”

“Iya aku ngerti!” Seru Kinaya lantang memotong ucapan Aswatama, membuat Aswatama terdiam dengan kepala tertengadah ke atas. Wajah perempuan itu terlihat sedikit kebingungan.

“Tapi aku bingung turunnya gimana..” Sambung Kinaya lagi sembari menatap sekelilingnya.

Aswatama pun reflek menepuk dahinya, mengutuk kebodohannya sendiri. Dan segera saja Aswatama melompat lagi ke atas, melompat ke dahan terendah lalu ke dahan yang lebih tinggi, sampai akhirnya ia sampai ke dahan di mana Kinaya terduduk bingung.

“Maaf..” Ujar Aswatama kepada Kinaya, meminta maaf atas keteledorannya, serta maaf itu ditujukan untuk hal yang akan ia lakukan berikutnya, yakni kembali membawa Kinaya dalam bopongannya.

“Pegangan ya..” Ucap Aswatama dengan mata menatap wajah Kinaya yang tengah memandangi wajahnya. Kinaya mengangguk, kemudian mengalungkan lengannya ke leher Aswatama. Membuat pemuda itu keluh untuk beberapa saat, kegugupan menerpanya.

Aswatama menghela napasnya dalam-dalam, berusaha mengentaskan kegugupannya. Lalu mulai berlari pelan meniti dahan itu, melompat ke dahan pohon lain yang lebih rendah, kemudian melompat lagi ke dahan yang lebih rendah lainnya, sampai akhirnya ia kembali berpijak di atas tanah.

Setelah itu Aswatama pun berjalan dengan langkah kaki dibuat selembut mungkin menapak, berusaha meminimalisir mungkin guncangan pada tubuh Kinaya yang berada dalam gendongannya.

“A’..” Kinaya berucap seraya mengendurkan lingkar lengannya di leher Aswatama, namun begitu pemuda itu menurunkan wajah untuk menatapnya, tiba-tiba saja lidah Kinaya langsung keluh dan beku.

“Tidak apa-apa, biar saya gendong sampai rumah ya, Kinaya..” Ucap Aswatama dengan sunggingan senyum kecil, yang seketika saja langsung meluluh lantakan ruang perasaan Kinaya. Membuat perempuan itu kembali mengeratkan lingkar lengannya, kemudian menenggelamkan wajahnya di dada bidang milik Aswtama, menghirup baik-baik aroma tubuh Sang pemuda, yang mungkin akan ia rindukan sesekali di hari-hari setelah hari ini.

*

Puncak Perbukitan Wilayah Herang..

Empat orang laki-laki berjalan menuruni puncak bukit dengan langkah tegas dan cepat, dua orang di belakang, dan dua orang di depan. Salah satu di antara tiga lelaki tersebut adalah pemimpinnya, dengan usia menginjak angka 40 tahun, sedang tiga lainnya masih berusia di bawah 25 tahun.

“Apa ndak sebaiknya kita bergegas, Mas? Takutnya orang itu keburu pergi jauh.”

Agus, seorang pemuda yang berjalan di sebelah sang pimpinan memberi saran.

“Ndak usah terburu-buru Gus, toh aku sudah mengabari kelompok lain, dia akan kita kepung dari empat arah, jadi mau kenceng atau pun pelan, kita bakal tetep ketemu sama dia kok.” Jawab Jaya dengan entengnya, dia adalah pimpinan dari kelompok ini.

“Kok Mas Jaya bisa yakin banget?” Tanya Tono yang berjalan di belakang.

“Coba To, jelasin ke Tono sama Agus, aku lagi ngerokok soalnya..” Ujar Jaya kepada Broto yang berjalan di belakang dengan entengnya seraya menghisap rokok.

“Gini loh.. Mas Jaya kan wes ngasih kabar ke kelompok penyisir yang lain. Nah kelompok penyisir yang akan ikut penyergapan ini kan ada empat. Kelompok kita, kelompoknya Pakde Aming, kelompoknya Mas Petruk, sama kelompoknya Mas Darsa. Kenapa kelompok mereka yang diutus buat ngepres si bangsat itu? Karena posisi kelompok kita berempat lah yang paling ideal cuk. Kita dari barat, kelompoknya Pakde Aming dari timur, terus kelompoknya Mas Petruk sama Mas Darsa dari selatan dan utara. Jadi mau buruan kita bergerak ke arah mana pun, dia bakal tetep ketemu sama kelompok penyisir...” Terang Broto dengan gerakan-gerakan tangan sebagai pendukung.

“Lah terus, hubungannya sama yang dibilang Mas Jaya tadi opo? Yg bilang kalau kita bakal tetep ketemu sama buruan kita itu?” Tanya Agus dengan kepala tertoleh.

“Gini loh.. posisi buruan kita ini kan ternyata ndak terlalu jauh dari posisi penyergapan terakhir. Yang bisa diartiin kalau dia ini kemungkinan terluka cukup parah kemaren, makanya masih ada si sekitar sini. Kalau dia ndak terluka parah, dan terus lanjut jalan, pasti dia udah keluar dari wilayah Lemah Kidul Cuk!” Geram Broto karena penat dengan keterlambatan pikiran dari kedua rekannya.

Kedua rekannya pun saling berpandangan bingung, bagi mereka penjelasan Broto sangat sulit dimengerti.

“Gini deh.. misal dia mulai lari lagi ke arah timur, nah dia pasti bakal ketemu sama kelompoknya Pakde Aming, dan dalam keadaan terluka, pasti dia ndak bakal ngambil keputusan bodoh buat maksa ngelawan, dia pasti bakal ngindar Cuk. Terus kalau dia ngindar ke Utara atau selatan, dia juga bakal ketemu sama kelompoknya Mas Petruk atau Mas Gareng, dia ngindar lagi pasti.” Broto menjelaskan dengan menahan sabar.

“Jadi intinya opo?” Tanya Tono semakin bingung.

“Intinya dia ada di tengah-tengah kepungan kita, dan tiap detiknya, dia makin ke press dari segala arah. Nah kita selaku kelompok dari arah barat menjadi pilihan terakhir bagi dia buat lari. Karena kita ada di belakang dia. Wes.. jangan banyak tanya lagi, yang penting sekarang kita press pelan-pelan anjing itu, dan setelah kita mendapatkan Anggaraksa, kita akan langsung pulang ke Hematala buat ngerayain keberhasilan Ki Saptadi menumbangkan Serigala Terakhir pulau ini..” Jaya yang sedari tadi bingung sendiri akhirnya pun ikut buka suara, sebal karena ketiga anak buahnya malah sibuk berdebat panjang lebar.

“Eits.. mantap ini.. aku ndak sabar buat ke kenduri hohoho.. belum lagi nanti pasti Nyimas Ajeng bakal hadir, beuhhh.. ndak sabar banget aku..” Seru Broto begitu bersemangat, karena terbebas dari keruwetan dalam memperjelas rencana mereka ke dua rekannya, juga karena membayangkan kemeriahan kenduri yang akan diadakan di kampung halamannya atas keberhasilan besar salah satu jenderal mereka.

“Eleh.. ndak usah sok-sokan mau ketemu Nyimas Ajeng.. kalo ngomong aja masih muter-muter..” Cibir Agus dengan tatapan mengejek.

“Asuuu.. kamu yang bodoh kok malah nyalahin aku?” Seru Broto dengan geramnya, emosinya dipancing lagi.

“Emang bener kok kata Agus, kamu iku ndak berbakat jadi penerjamah rencana To.. amatiran..” Ejek Tono menimpali.

“Bangsat!” Maki Broto dengan kekesalannya. Namun itu justru disambut Tono dan Agus dengan tawa bahaya.

“Sssttt!!”

Di tengah tawa Tono dan Agus yang mengejek Broto, tiba-tiba Jaya mengangkat tangan dan meminta mereka berhenti, ketiganya pun langsung terdiam dan menunggu apa sebenarnya yang menyebabkan sang pimpinan berhenti.

“Ono opo to Mas?” Tanya Agus berbisik.

“Lihat itu..” Ujar Jaya seraya menunjuk ke bawah, ketiga bawahannya pun langsung mengikuti arah tunjukan sang pimpinan.

Ternyata yang membuat Jaya berhenti karena di bawah sana ada dua orang yang tengah beraktivitas, lelaki dan perempuan, dengan umur di atas Jaya, sudah lewat paruh baya. Kedua orang itu tak lain adalah sepasang suami istri, mereka terlihat tengah menggali-gali sesuatu di dalam tanah, bahu membahu sembari mengobrol dan tertawa ringan.

“Opo kita ambil jalur lain aja, Mas?” Tanya Agus. Sang pimpinan menggeleng pelan, menatap satu persatu bawahannya dengan tatapan serius.

“Yo ndaklah.. sayang banget kalau dilewatin..” Ujar Jaya dengan senyum menyeringai, tatapannya terarah ke perempuan paruh baya di depan sana. Memandang dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Kita sergap aja kalo emang Mas mau..” Saran Agus, mengerti akan niatan yang ada di dalam hati sang pimpinan. Namun oleh Jaya ditahan.
“Sabar.. coba kalian dengar baik-baik apa yang mereka omongin.” Ujar Jaya sembari menatap dalam-dalam kedua orang yang tengah mengangkat sebuah umbi besar dari dalam tanah tersebut. Senyumnya semakin terkembang lebar, selebar-lebarnya.

Hal yang sama dilakukan ketiga anak buahnya, mereka semua menajamkan pendengaran dan mencoba mencerna obrolan kedua orang tersebut.

Dan khusus Jaya, ia yang sedari awal tidak terlalu bersemangat menjalani misi tambahan dikala banyak kelompok yang ditarik pulang, mulai sedikit merasa bahagia, dan itu disebabkan karena pandangannya yang berbinar ketika melihat ke arah perempuan paruh baya di depan sana, perempuan yang membangkitkan perasaan menggebu kecil di dalam dadanya.

Terlebih-lebih, ketika mata Jaya memandangi keseluruhan tubuh perempuan yang tengah mengenakan daster lusuh dengan kening dipenuhi bulir keringat tersebut, kontras dengan putih kulitnya. Dan itu membuat ada sesuatu di dalam diri Jaya yang sangat ingin ia salurkan saat ini.

*

“Memangnya Si Ujang teh mau kamana ya Bah?” Tanya Ambu Asih, kepada Abah Ependi sang suami.

“Abah tanya mah Cuma mau ke kota aja bilangnya, tidak tahu kemana tepatnya.” Jawab Abah Ependi kepada sang istri, seraya membersihkan umbi porang berukuran besar yang baru ia cabut dari tanah.

“Tapi Bah.. Ambu mah malah pengen Si Ujang di sini aja, tinggal bareng kita.” Seloroh Ambu Asih sembari memilah-milah umbi porang yang sudah dicabut Abah, mengelompokkan ukurannya.

“Aya-aya wae Ambu mah..” Kekeh Abah Ependi.

“Ih iya atuh Bah, Ambu mah malah awalnya ngira Si Ujang bakal lupa ingatan, kaya di pelem-pelem gitu.” Tukas Ambu Asih.

“Husst.. doanya jelek pisan Ambu mah..” Sahut Abah Ependi cepat.

“Ari bukan doain, Abah.. abis kejadiannya pan mirip sama di pelem-pelem.”

“Mirip di mananya, Ambu?” Tanya Abah Ependi lembut.

“Ya itu Bah.. tiba-tiba nemuin orang yang lagi luka di sungai, kan kaya di pelem-pelem.. bedanya mah paling kalau di pelem orangnya kecelakaan gitu, abis itu lupa ingatan, terus di temuin, di rawat, terus orangnya jatuh cinta sama anak gadis yang ngerawat..” Terang Ambu Asih dengan riang.

“Atuh Ambu mah kebanyakan nonton pelem kalau begitu..” Sahut Abah seraya mendekat pada Ambu dengan membawa umbi porang sebesar kepala anak bayi.

“Ya kan Ambu mah Cuma berandai-andai Bah..”

“Sudah ah.. tidak baik ngomongin orang kaya gitu..” Tukas Abah sembari mengelap keningnya yang berpeluh keringat menggunakan bagian bawah bajunya.

“Ih kan ngomonginnya mah yang baik-baiknya, bukan yang jelek Bah..” Lanjut Ambu seraya menyodorkan air minum yang ditempatkan di botol plastik bekas kepada sang suami.

“Iya tetap saja atuh.. sama-sama ngomongin..” Ujar Abah sambil meminum airnya. Ambu pun hanya tersenyum saja, ia mengerti betul perangai sang suami.

“Eh tapi Bah, Ambu mah penasaran pisan bentuk tongkatnya Si Ujang teh kaya gimana?” Tanya Ambu terpikir sesuatu di kepalanya.

“Ya tidak gimana-gimana, tongkat kayu saja, Ambu..” Jawab Abah seraya menyerahkan botol berisi air tersebut pada Sang Istri.

“Ya tetap saja atuh Ambu mah penasaran, apalagi kayanya itu tongkat sakti ya Bah? Sampe Abah saja tidak kuat kan ngangkat tongkat Si Ujang, terus mah ditinggal.. tidak dibawa ke rumah..” Seloroh Ambu meminum airnya.

“Aih bukan tidak kuat, Abah Cuma sedang tidak enak badan saja kemarin..” Elak Abah Ependi yang langsung membuat Asih tertawa.

“Abah itu, aya-aya wae alasan na..” Ambu berujar sambil tertawa kecil, dan tawa itu pun menular pada Abah.

“Tapi sebenarnya.. tongkat itu ditinggalnya di mana sih Bah? Di bubulak sebelah mana maksud Ambu..” Tanya Ambu Asih penasaran, karena memang dia sendiri belum tahu persis dimana posisi tongkat itu ditinggalkan suaminya, sebab memang tempat Abah memasang Bubu ikan (perangkap ikan) bukan hanya di satu tempat saja.

“Ya di bubulak pas Abah nemuin Si Ujang dong Mbu..” Jawab Abah pendek.

“Ari Ambu juga tahu, maksudnya Bubulak yang sebelah mana.. apa yang di bawah, apa yang agak di atas?” Tanya Ambu.

“Bubulak baru pokokna mah.. jauh.. Ambu tidak akan sanggup kalau ke Bubulak itu, jalannya belum Abah buka soalnya..” Jawab Abah Ependi.

“Ari si Abah Mah.. kan Ambu udah sering bilang, pasang Bubu-nya jangan jauh-jauh, ini malah bandel pisan, pasang bubu-nya makin jauh saja..” Ucap Ambu pada Abah Ependi.

“Atuh maaf Ambu.. habisnya kalau pasang di tempat itu-itu saja sedikit dapatnya. Makanya Abah coba pasang agak ke atas lagi.."

“Tidak perlu banyak-banyak hasilnya Bah, asal cukup saja buat makan..” Timpal Ambu lagi, yang dimaksudkan agar suaminya mengerti, bahwa ia tak mau suaminya harus memasang perangkap ikan sampai ke sungai bagian atas.

“Hehehe.. Ambu khawatir ya sama Abah?” Goda Abah sembari memandang istrinya lamat-lamat.

“Hih.. Abah itu.. kepedean banget..” Jawab Ambu meniru kata-kata “gaul” yang diajarkan Kinaya.

“Ah Ambu ini.. tidak usah malu-malu hehe..”

“Ari bukan seperti itu Bah.. Ambu itu Cuma kepikiran, kalau Abah pasang Bubu-nya jauh-jauh, nanti tidak kuat pas pulangnya..” Kilah Ambu.

“Aih.. mana mungkin. Abah kan lelaki perkasa Mbu..”

“Ih meni sombong pisan.. padahal mah dikit-dikit minta kerokan hihihi..” Timpal Ambu bercanda pada suaminya.

“Ya tetap saja Abah mah lelaki perkasa Ambu.. buktinya.. ngangkat Ambu semalaman saja Abah masih kuat kan?” Seloroh Abah Ependi sembari menoel pelan dagu sang istri.

“Ih Abah mah.. genit..” Protes Ambu sedikit manja pada suaminya, ia layangkan cubitan lembut ke lengan Abah Ependi. Meski usia sudah tak lagi muda, namun romansa dua insan manusia tersebut memang tak pernah lekang oleh jaman.

“Aih kenapa Abah dicubit? Kan memang benar kalau Abah masih kuat ngangkat Ambu semalaman, buktinya tadi malam Ambu sampai..”

“Kalau begitu kenapa Abah tidak kuat bawa tongkatnya Si Ujang?” Tanya Ambu yang pipinya sudah bersemu, mencoba mengalihkan diri dari godaan-godaan sang suami.

“Ari itu mah beda kasusnya, kalau Si Ranggasasa kan memang tidak mau di angkat sama Abah, tapi kalau Ambu mah kan memang mauan kalau Abah angkat sambil Abah genjot berdiri, sampai Ambu..”

“Abah ih!” Protes Ambu lagi seraya memotong kalimat sang suami yang membuatnya begitu tersipu.

“Ari Ambu mah pakai malu-malu segala, pan memang benar.."

“Ih siapa yang malu, Ambu itu nyubit Abah karena Abah salah..” Seloroh Ambu memalingkan wajahnya.

“Salah dimana coba?” Tanya Abah terkekeh.

“Anu.. hhmm.. Abah salah nyebut nama tongkatnya Si Ujang..” Tukas Ambu mencoba menenangkan dirinya dari godaan-godaan sang suami.

“Loh salah apanya? Memang nama tongkat Si Ujang mah Ranggasasa..”

“Ih bukan Ranggasasa Bah.. tapi Ang.. ga.. rak.. sa..” Ambu membenarkan ucapan sang suami dengan gemas.

“Aih Ambu yang salah.. yang benar itu Rang.. ga.. sa.. sa..” Sanggah Abah.

“Ih Abah mah dibilanginnya tidak percayaan, yang benar itu Anggaraksa, bukan Ranggasasa..” Gemas Ambu sendiri. Dan Abah Ependi pun sebenarnya menyadari kesalahannya barusan, hanya saja ia senang menggoda sang istri yang meski usianya kini sudah tidak lagi muda, namun tetap cantik di mata Abah.

“Ranggasasa ah yang benar..” Goda Abah lagi dengan jahilnya.

“Anggaraksa yang benar Abah..” Tukas Ambu tak mau kalah.

“Ranggasasa Ambu..” Goda Abah terus kepada sang istri. Hingga tiba-tiba..

SRAAK.. SRAAK.. SRAKK..

“BENAR KATA ISTRI SAMPEAN.. NAMA TONGKAT ITU ANGGARAKSA, BUKAN RANGGA SASA..” Suara lantang tiba-tiba menengahi obrolan Abah dan Ambu, membuat sepasang suami istri tersebut langsung terkaget dan menatap ke arah sumber suara. Dari logat yang keluar, baik Abah maupun Ambu mengetahui benar bahwa itu adalah logat dari daerah yang jauh dari sini.

Dan betapa bingungnya mereka ketika mendapati empat orang sudah berdiri bersisian, mereka tak lain adalah Jaya dan anak buahnya, dan yang barusan membuka suara lantang adalah Jaya, si lelaki paruh baya yang menyeringai dengan tatapan tajam ke arah Abah dan Ambu.

“Kalian teh saha?” Tanya Abah memasang sikap waspada, segera ditariknya sang istri mendekat, diposisikan berdiri di belakangnya. Karena entah mengapa, Abah Ependi memiliki firasat tidak enak tentang orang-orang yang tiba-tiba muncul dari atas bukit itu.

Sebab sepengalaman Abah Ependi yang sudah bertahun-tahun lamanya beraktivitas di hutan perbukitan ini, jarang sekali ada orang yang lalu-lalang di areal ini, bahkan pemburu satwa saja jarang yang sampai ke sini.

“Mereka kok bisa tahu tentang Ranggasasa, Bah?” Ambu Asih berbisik kepada suaminya tanpa melepaskan pandang dari keempat orang yang baru saja datang.

“Ari Anggaraksa Ambu, bukan Ranggasasa.. kumaha teh Ambu mah..” Bisik Abah mengoreksi ucapan sang istri.

“Ih gara-gara Abah atuh.. Ambu teh jadi ikut-ikutan..” Sahut Ambu Asih.

“Ini mereka teh temennya Si Ujang apa bagaimana ya Bah?” Bisik Ambu lagi memperhatikan keempat orang tersebut yang mulai berjalan mendekat.

“Dari cara ngomongnya mah kayanya bukan Mbu.. beda sama Si Ujang..” Jawab Abah Ependi sembari memundurkan langkahnya.

“Ari berarti mah mereka jangan-jangan musuhnya Si Ujang Bah kalau gitu, kumaha ie teh Bah?” Ujar Ambu Asih sembari ikut memundurkan langkahnya. Namun tiba-tiba..

WUSSSHH.. TAP.. TAP..

“Ngomong-ngomong tentang Anggaraksa, apa kalian bisa tunjukkan kepada kami dimana tongkat itu di simpan?” Ujar Jaya yang kini sudah berada tepat di belakang Abah dan Ambu, mencengkeram bahu pasangan suami istri tersebut dengan tegas.

Abah Ependi dan Ambu Asih pun kaku seketika, terkesiap akan apa yang mereka dapati saat ini. Sebab dalam sekejap mata saja, jumlah orang di hadapan mereka sudah berkurang satu, berpindah tempat dengan begitu cepatnya ke belakang mereka.

“Bah..” Ambu Asih berkata dengan ngerinya, kedua tangannya sudah melingkar di lengan Abah Ependi.

“Tadi aku sempat mendengar, kalau tongkat itu ditinggalkan di suatu tempat.. bisa kalian bawa kami semua ke tempat yang kalian maksud?” Jaya melanjutkan kata-katanya dengan dingin, cengkeramannya berubah menjadi elusan lembut, dan itu langsung dimanfaatkan Abah dan Ambu untuk segera membuat jarak, tergesa dengan napas terengah.

“Saya tidak tahu.. sungguh.. saya tidak tahu mengenai tongkat yang..” Ucap Abah Ependi yang memposisikan dirinya untuk melindungi sang istri, namun belum selesai kata-katanya, Jaya sudah memotong.

“Jangan ditutup-tutupi, aku sudah mendengar semua obrolan kalian tadi.”

Abah dan Ambu terdiam kelu, mereka termundur perlahan, mereka sepenuhnya sadar, bahwa orang-orang yang berada di kanan dan kiri mereka bukanlah orang-orang baik, itu terlihat betul dari sorot mata dan seringai mereka.

“Kalian teh sebenarnya saha? Tolong jangan ganggu saya dan istri saya..” Seru Abah Ependi lantang, menebarkan pandangnya, memasang sikap waspada.

Namun ucapan lelaki tua itu hanya disambut dengan gelak tawa dari empat orang di hadapan mereka, tawa yang begitu merendahkan.

“Siapa yang mau ganggu kalian berdua coba? Kami kan Cuma bertanya..” Ucap Jaya seraya berjalan ke arah rantang makanan yang tergelatak di atas sebuah tikar, diambilnya rantang tersebut, dibuka, lalu dimakan isinya yang tak lain adalah singkong dan ubi rebus.

“Kami tidak tahu, sungguh.. kami tidak tahu..” Ujar Ambu Asih dengan lantang, namun sekali lagi, gelak tawa justru menyambut mereka.

Di tengah gelak tawa itu Jaya melemparkan singkong dan ubi ke anak buahnya masing-masing, ditangkap dengan baik dan dilahap bersama-sama.

“Aku itu paling ndak suka dibohongi, jadi biar aku tanya satu kali lagi, dimana tongkat itu?” Tanya Jaya yang sudah menghabiskan sepotong ubi di tangannya, matanya menatap tajam ke arah Abah Ependi, mencoba mengintimidasi.

“Jangan dikasih tahu Bah, kayanya teh mereka ada niat jahat, bahaya buat Kinaya nanti..” Bisik Ambu Asih kepada sang suami, yang langsung dibalas dengan anggukkan kepala, hal yang sama juga terlintas dipikiran Abah Ependi.

“Sekarang Ambu lari saja, Abah akan berusaha menahan mereka..”

“Tidak Bah.. Ambu tidak akan..”

“Jangan berbisik-bisik seperti itu.. lagi pula, mau berlari sekencang apapun, kalian bakal tetep berada di dalam cengkeramanku”

Jaya berkata dengan dinginnya ketika Abah dan Ambu tengah berdiskusi, membuat sepasang suami istri tersebut terdiam sejenak. Mereka sependapat dengan perkataan orang asing di hadapan mereka ini, merujuk pada kejadian ketika tiba-tiba Jaya melesat dan berpindah ke belakang mereka tadi.

“Sepertinya mereka ndak bisa diajak kerja sama, Mas..” Agus yang sedari tadi terdiam akhirnya buka suara, sudah selesai dengan singkong rebusnya, menatap ke arah Jaya yang sedang meneguk air yang juga hasil jarahannya.

....​
 
Terakhir diubah:
...

“Kalau begitu ndak ada pilihan lain Gus..” Sahut Jaya dengan dingin seraya menyeka tepian bibirnya, sedang Agus mengerti betul arti dari ucapan sang pimpinan, ia pun segera menatap kedua rekannya bergantian.

“Alon-alon wae..” Ucap Agus pelan, yang langsung disambut dengan anggukkan kepala oleh Tono dan Broto.

Sedang Abah sadar, bahwa ada suatu rencana yang tengah dirundingkan oleh ketiga pemuda yang berada di bawah komando sang pimpinan, Jaya, yang kini sudah terduduk di atas tikar sembari mengeluarkan bungkusan rokoknya.

“Bah..” Ujar Ambu lirih ketika melihat tiga pemuda di hadapannya mulai berjalan mendekat dan mengelilingi mereka berdua, seolah bersiap menerkam sepasang suami istri tersebut.

“Ambu tetap di belakang Abah..” Ujar Abah Ependi. Dan tiba-tiba..

“HYAAA!!!”

Tono menerjang bak banteng matador, dengan kepalan tangan tertarik ke belakang dan siap menghujam kepala lelaki tua di hadapannya.

Melihat itu Abah pun segera beringsut, ia dorong kesamping tubuh sang istri, seraya menyapukan kakinya ke samping, melalukan tendangan balik.

WUSSHHH..

Abah mendelik ketika tendangannya dengan mudah dielakkan, dan belum selesai kakinya terayun di udara, tiba-tiba saja sebuah terjangan kaki yang amat keras menghantam tubuh bagian sampingnya.

BUGGGHHH..

“ABAH!!” Teriak Ambu Asih yang menyaksikan tubuh suaminya terpelanting beberapa meter darinya, bergulingan di atas tanah sebab tendangan dari Broto. Pemuda itu memanfaatkan kelengahan Abah Ependi yang sedang menghunuskan tendangan ke arah Tono.

Ambu pun segera berlari ke arah Abah Ependi yang tertelungkup merasakan sesak, berusaha membangunkan sang suami yang napasnya sedikit megap-megap.

“Piye? Wes mau buka mulut?” Tanya Agus santainya. Sedang Broto dan Tono terlihat saling melempar senyum, strategi pengalihan yang memang sudah biasa mereka praktekkan ternyata begitu efektif menghadapi orang tua itu.

“Abah.. hiks..” Ambu Asih memeluk tubuh Sang Suami dengan menahan tangisan, terlihat jelas raut kesakitan terpugar di wajah Abah Ependi.

“Abah.. uhuk.. tidak apa-apa Mbu..” Ucap Abah Ependi sembari berusaha bangkit.

“Tapi Bah..”

“Ambu.. janji sama Abah, apapun yang terjadi, Ambu jangan sampai memberitahu pada mereka arah ke rumah.. ataupun ke bubulak ya.. uhuk.. mereka pasti punya niat jahat ke Si Ujang..” Tukas Abah seraya mencoba berdiri.

Karena meski Ambu tidak tahu posisi pasti di mana ia menemukan Aswatama dan Anggaraksanya, namun jika sang istri memberitahu arah ke sungai di mana ia biasa menanam bubu ikan, itu akan tetap percuma, akan mudah bagi mereka menemukan Anggaraksa nantinya, karena tinggal menyusuri sungai ke arah hulu saja.

Lelaki tua itu maju selangkah, memunggungi sang istri yang terlihat begitu ketakutan. Langsung memasang kuda-kuda.

Karena meski bukan berasal dari orang-orang spesial yang bisa mengolah tenaga dalam, Abah Ependi memiliki dasar-dasar ilmu bela diri sisa masa mudanya dulu. Dan ia berdoa, semoga ia bisa sedikit memberikan perlawanan.

“Wes angel.. Angel.. angel temen iki..” Seloroh Broto dengan cengengesan.

“Weslah.. sikat..” Timpal Tono sembari mengangkat kedua alisnya, sedang Agus hanya menganggukkan kepala, dan setelah itu Tono dan Broto pun melonjak ke depan, menyerang Abah Ependi dengan gemas.

WUSSSHHH..

Kepalan tangan Tono yang mengarah ke kepala Abah lewat begitu saja sebab sang lawan mengelak ke samping, namun itu tentu sudah diperhitungkan oleh Tono, ia melempar sekelibat senyum ke arah Broto yang menyeringai di sampingnya, lalu..

BUGGHH...

Pukulan keras milik Broto bersarang dengan telak di wajah Abah, membuat lelaki tua itu termundur selangkah. Namun belum sempat ia bernapas, telapak kaki milik Tono langsung bersarang dengan mulusnya di dada lelaki tua itu, membuat Abah terpental ke belakang, jatuh berdebum di tanah.

“ABAH!!” Ambu Asih berteriak kencang melihat tubuh suaminya kembali terkapar di tanah, ia pun segera melonjakan kaki, hendak mendekat pada sang suami, namun..

“Wes to.. Budeh di sini saja sama aku..”

Tubuh Ambu Asih langsung dikunci oleh Agus, ditahan dengan pelukan erat, membuat perempuan Ambu memberontak keras.

“Lepaskan!!” Teriak Ambu Asih dalam dekapan Agus. Namun tenaga perempuan itu jelas kalah jauh dari Agus yang masih muda dan bugar.

“Lepaskan istri saya!!” Teriak Abah yang sudah bangkit, lelaki tua itu berlari dengan nyalak, berusaha menyelamatkan sang istri, namun lagi-lagi..

BUGGHH..

“Hup..”

Sebuah sapuan kaki dari broto menyasar tubuh bagian depan Abah Ependi, yang segera direspon dengan membuat blok silang di depan dada. Namun jelas sekali, lelaki tua itu bukanlah tandingan para pemuda Hematala yang masih segar bugar, apalagi dengan jumlah yang jelas tak mendukung.

Karena tepat ketika Abah Ependi memblok tendangan Broto, Tono dengan bringasnya menerjang lutut Abah Ependi dengan telapak kaki kanannya, menerjang keras, lurus dan tegas seperti para pemain bola yang melakukan tackling kepada striker tim lawan.

DUGGHHH.. KRAAAKK..

“AAARRGGHH..” Abah berteriak kencang dengan tubuh berdebum ke depan, lutut kirinya terhantam telak dan keras, membuat bunyi patahan sendi jelas sekali terdengar mesra menyapu udara.

“Abaaahhh...” Ambu Asih berteriak lirih dalam dekapan erat Agus, sedang Agus sendiri tersenyum bengis seraya memberi gesture angkatan kepala kepada Broto.

Sedang di saat bersamaan ketika Abah Ependi mengangkat kepalanya lemah, matanya mengedarkan pandang mencari sesuatu, sampai akhirnya mata lelaki tua itu berhenti pada semak belukar yang terlihat bergoyang bagian atasnya, kemudian tanpa disadari siapapun, dari sana muncul Ideung, kucing hitam peliharaan Abah Ependi yang selama ini selalu menemani si lelaki tua tersebut.

Langkah kucing itu terhenti seketika, belalang kuning berukuran sebesar telunjuk manusia yang berada dalam gigitan kucing tersebut pun jatuh ke tanah, seolah kucing itu merasakan kekagetan melihat keadaan sang tuan yang tertelungkup di tanah. Kucing itu terlihat menaikkan ekornya tinggi-tinggi, bersiap menyongsong Abah Ependi.

Namun Abah Ependi segera memberi gesture usiran tangan, serata bibirnya menggumamkan sesuatu yang jika dibaca oleh mata manusia memiliki arti “KINAYA”.

Ya.. Abah meminta kucing itu untuk segera pergi menjauh, kembali ke rumah bersama Kinaya. Dan kucing itu pun menurunkan secara utuh ekor panjangnya, memasang wajah memelas kemudian berbalik badan dan kembali masuk ke semak belukar, berlari kencang tanpa melihat lagi ke belakang.

Lalu..

BAAGGGHH..

Sebuah sapuan keras dari punggung kaki Broto langsung menyambar kepala Abah dengan begitu telak, tanpa ampun, bak seorang algojo penalti yang tengah mengeksekusi bola. Membuat tubuh lelaki tua itu sampai tergeser ke samping dengan mulut mengeluarkan darah segar.

Melihat itu Tono tak tinggal diam, ia segera mengangkat kakinya dan menginjak berkali-kali dengan keras tubuh lelaki tua tersebut tanpa ampun. Broto juga ikut berpartisipasi, kedua pemuda itu dengan beringasnya menginjak-injak tubuh Abah Ependi yang sudah lemas dan berpeluh luka.

BAGHH.. BUGHH.. BAGHH.. BUGHH..
BAGHH.. BUGHH.. BAGHH.. BUGHH..

“Sudaaaaahhh.. cukup... tolong berhenti.. hiks..” Ambu Asih yang berada dalam dekapan Agus pun memohon dengan tangis lemahnya, tubuhnya luruh tak bertenaga melihat lelaki yang sudah puluhan tahun menemaninya sedang jadi bulan-bulanan.

“Wes.. cukup..” Agus berseru lantang pada Broto dan Tono, membuat kedua rekannya itu menghentikan aktivitas ‘menyenangkan’ mereka berdua, terkekeh memandangi “hasil karya” mereka tersebut.

Bersamaan dengan itu Agus pun melepaskan dekapannya pada Ambu Asih, membiarkan perempuan itu untuk “bersua haru” dengan sang suami yang sudah terkapar setengah sadar.

“Bah.. Abah.. hiks..” Ambu Asih pun segera bersimpuh, lalu dengan tangan gemetar ia balikkan tubuh Abah, sesak napasnya ketika melihat darah sudah bernokta di ranah wajah sang suami. Segera ia tempatkan kepala Abah Ependi di pahanya, dipeluk dengan tangis, sembari berusaha membersihkan darah yang memenuhi wajah sang suami, utamanya di sekitar bibir.

“Ambu.. uhuk..” Abah berucap dengan napas sesak, ditatapnya wajah sang istri dalam-dalam.

“Abah.. hiks..” Ambu Asih segera menggenggam tangan suaminya, diciumi dengan penuh air mata, ditatapnya dalam-dalam sang suami.

“Ambu.. uhuk..” Abah Ependi berusaha mengangkat kepalanya, dan sebagai istri yang sudah puluhan tahun mendampingi sang suami, Ambu Asih pun mendekatkan telinganya, ia tahu bahwa Abah hendak membisikan sesuatu.

“Jangan beri tahu arah ke mereka.. uhuk..”
“Tapi Bah.. nanti Abah..”

“Demi Kinaya Mbu..” Bisik Abah Ependi lemah, napasnya sudah satu dua. Dan Ambu Asih yang tadinya hendak menyerah, hendak memberitahukan arah ke sungai dimana suaminya biasa memasang bubu ikan pun mengurungkan niatnya.

Di satu sisi ia tahu bahwa jika ia memberi tahu mereka tentang di mana kemungkinan sang suami meninggalkan Anggaraksa, maka setelah mendapatkan Anggaraksa perempuan itu takut jika orang-orang ini akan mengejar Aswatama, yang itu berarti sama saja ia menuntun mereka pada Kinaya yang sedang bersama Aswatama.

Namun ia juga takkan tega melihat kondisi sang suami kini, bagaimana pun ia tak ingin hal yang lebih mengerikan dialami suaminya.

“Janji Mbu.. apapun yang terjadi, jangan kasih tahu mereka ya.. janji sama Abah..” Tukas Abah Ependi yang kini napasnya sudah lebih leluasa. Dan akhirnya dengan berat hati, Ambu Asih pun menganggukkan kepalanya.

“Asal kalian tau.. aku karo kancaku iku Cuma pake seperempat kekuatan hahaha..” Tono berseru dengan jumawanya.

“Iyo.. kalau kami mau, kalian berdua wes dadi abu musti hahaha..”

Tawa Tono dan Broto menggema ke udara, sedang Agus hanya tersenyum kecil, ia menoleh ke arah Jaya sang pimpinan, dan mendapati anggukan pelan dari lelaki paruh baya yang terlihat santai sekali menghisap rokok kreteknya.

Agus pun tersenyum, kemudian ia menepuk kedua bahu rekannya, membuat Tono dan Broto berangsur menyudahi tawa mereka, lalu berjalan ke depan, mendekat pada Ambu Asih dan Abah Ependi.

“Piye? Masih mau main rahasia-rahasiaan sama kita?” Tanya Agus seraya berjongkok di depan Ambu Asih, membuat perempuan itu semakin ketakutan, dengan hati yang begitu bimbang.

“Kalau Budeh kasih tau kita arah ke tempat tongkat itu disimpan, aku janji.. aku bakal ngampunin Pakde ini..” Sambung Agus lagi dengan tangan yang sudah mengelusi lengan bagian atas Ambu Asih, membuat perempuan itu mengelak dengan menggeser tubuhnya.

“Jangan.. Ambu.. uhuk..” Abah Ependi berbicara di tengah ketidakberdayaannya.

Dan itu seketika langsung membuat Agus mengerem, pemuda itu sudah mengepalkan tinjunya keras-keras, sudah pula mengalirkan tenaga dalam untuk membentuk gumpalan panas di ujung kepalannya, berniat memberikan pelajaran terakhir pada lelaki tua di hadapannya tersebut.

Namun tiba-tiba saja bahunya dicengkeram kuat oleh Jaya, yang entah sejak kapan sudah berpindah dari posisi duduknya, berdiri di samping Agus.

“Yo kalau bojone ndak mau buka mulut, kita bikin si tua bangka ini yang buka mulut, Gus..” Ujar sang pimpinan dengan senyum licik ke arah Agus, membuat pemuda itu balas tersenyum.

Sedang Ambu Asih dan Abah Ependi menatap kedua orang tersebut dengan tatapan bingung dan ketakutan, menerka apa yang sebenarnya tengah mereka rencanakan. Hingga tiba-tiba..

TEKH.. TEKHH..

Jaya dengan cepat menyarangkan dua totokan di bagian bahu depan Ambu Asih, kanan dan kiri, membuat tubuh perempuan berusia 55 tahun tersebut seketika kehilangan seluruh daya dan tenaga, membuat tubuh Ambu Asih luruh tak bertenaga, seolah seluruh syaraf penggerak tubuhnya tak lagi mampu merespons.

Melihat itu, Agus pun segera mendekap tubuh Ambu Asih yang hendak terjatuh ke samping, didekap baik-baik. Melihat itu Abah pun mengeratkan genggaman tangannya pada sang istri, seolah takut jika mereka akan terpisah, sedang Ambu Asih yang terkena totokan Jaya hanya bisa mengalirkan air mata dari pipinya. Ia tak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya, bahkan untuk sekedar menggerakkan alis saja ia tak mampu.

“Kalian apakan istri saya? Kalian apa..”

DEBHH..

“Heikhh..” Kata-kata Abah Ependi tak selesai sebab Jaya tiba-tiba menjejak perut lelaki tua tersebut, membuat tubuh Abah melengkung ke depan, kepalanya terangkat dari paha sang istri.

Kemudian dengan sangat santai, Jaya menggulingkan tubuh Abah Ependi dengan kakinya, membuat tubuh lelaki tua itu terjatuh ke samping, memunggungi tubuh sang istri yang kini sudah sepenuhnya berada dalam dekapan Agus, diposisikan sedemikian rupa, lalu dibopongnya tubuh Ambu Asih oleh Agus, dibawa menjauh dari tubuh Sang Suami yang masih meresapi kesakitan di sekujur tubuhnya.

“Wes to.. ndak usah melototin aku.. Bojone Budeh ndak akan mati kok, yo ndak sekarang tepatnya hehehe..” Ujar Agus kepada Ambu Asih yang hanya bisa menggerak-gerakkan bola mata mengutuk pemuda tersebut, beserta kawan-kawannya.

Sedang di sudut lain Jaya membalikkan tubuhnya pada Tono dan Broto, memanggil kedua anak buahnya itu untuk mendekat.

Jaya pun memberikan gesture anggukan seraya melangkahkan kaki melewati kedua anak buahnya, menyusul Agus yang kini sudah tengah membaringkan tubuh perempuan di gendongannya, dibaringkan di atas terpal yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan pasangan suami istri itu untuk melepas penat setelah memanen umbi-umbi porang mereka.

BUGHH.. BUGHH.. BUGHH.. BUGHH..
DUGHH.. DUGHH.. DUGHH.. DUGHH..

Broto dan Tono pun mulai melayangkan injakan-injakan serta tendangan pada tubuh Abah Ependi yang kian terlihat ringkih, hanya bisa meringkuk pasrah menutupi kepalanya, menerima dengan penuh rasa sakit teramat sangat setiap injakan dan tendangan yang bersarang di tubuh rentanya.

Tanpa ampun.. itu saja yang terlihat di wajah Broto dan Tono saat ini.

Sementara itu, air mata Ambuh Asih semakin deras mengalir ketika mendengar bunyi injakan dan tendangan yang begitu menyiksa gendang telinganya, dibalut dengan rintihan dari sang suami, sungguh-sungguh membuat hati perempuan tersebut serasa dicabik-cabik.

“Mas.. aku boleh nanya ndak?” Tanya Agus yang kini sudah kembali berdiri, meninggalkan tubuh Ambuh Asih terbaring tak berdaya sendirian.

“Hemm..” Sahut Jaya dingin sembari duduk.

“Kenapa kita ndak langsung sergap pembawa tongkatnya Mas? Kenapa harus main-main sama mereka dulu?” Tanya Agus ikut duduk.

“Kamu denger kan tadi mereka bilang kalau Anggaraksa posisinya terpisah sama penjaganya?” Tanya Jaya balik pada Agus, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh pemuda tersebut.

“Misi kita itu dari awal bertujuan buat ngerebut tongkat pusaka Lemah Kidul yang berhasil lolos Gus, jadi kalau memang ada kesempatan buat kita ngerebut tongkat itu tanpa harus bersinggungan sama penjaganya yang sekarang lagi pemulihan luka, yo kenapa ndak?” Terang Jaya seraya melapas sepatunya satu persatu.

“Tapi kan orang itu sudah membantai saudara-saudara kita Mas..” Ucap Agus pelan.

“Yo itu biarin diurus sama Aming dan kelompok lainnya, prioritas kita sekarang yo nyari tahu dimana tongkat itu disimpen Gus, malah bagus kalau kita ndak harus ketemu sama penjaga tongkatnya to?” Ujar Jaya mencoba berpikir serealistis mungkin, sebab meski ia pun sama geramnya dengan Agus atas gugurnya beberapa orang Hematala di tangan sang penjaga tongkat, namun ia juga harus bisa memanfaatkan peluang yang ada di depannya kini.

Selain itu, ada setitik kekhawatiran di hatinya jikalau harus berhadapan langsung dengan si penjaga tongkat tersebut, karena bukan tidak mungkin ia akan berakhir seperti orang-orang Hematala yang gugur selama misi perburuan ini.

“Tapi Mas.. apa ndak sebaiknya kita ngasih tahu kelompok lain kalau posisi tongkat itu terpisah dengan penjaganya?” Usul Agus.

“Yo jangan.. nanti malah rebutan. Wes to.. percaya aja karo aku, ini aku lakuin demi kebaikan kita. Lah kalau kita berhasil bawa tongkat itu balik ke Hematala, pasti pangkat kita akan langsung dinaikkan sama Nyimas Ajeng, dan di kenduri nanti, bukan Cuma Ki Saptadi yang bakal disanjung, tapi kita berempat juga..” Terang Jaya yang sudah selesai melepas sepatu dan kaos kakinya, kini ia tengah menanggalkan jaketnya.

Sedang Agus terdiam sejenak, meski sedikit berat, ia akhirnya harus menerima rencana dari pimpinannya tersebut.

“WES CUKUP.. SEKARANG IKET DIA DI SANA..” Seru Jaya kepada Broto dan Tono yang sedari tadi masih asik menganiaya Abah Ependi, bersamaan dengan itu Jaya juga menunjuk sebuah pohon yang berada tak jauh dari terpal di mana Ambu Asih terbaring lemah.

Broto dan Tono pun mengerti, mereka yang sudah menghentikan keasyikannya pun segera menyeret tubuh Abah Ependi yang sudah lunglai tak bertenaga tersebut ke titik yang dimaksud oleh sang pimpinan. Di seret dengan tak berperikemanusiaan sama sekali.

Tono memegang kaki kanan Abah yang posisinya tertelungkup, sedang Broto memegang kaki kanan lelaki tua itu, ditarik dengan acuh tanpa memperdulikan gundukan tanah dan akar-akar yang menghantam wajah Abah Ependi. Wajah yang sudah penuh darah dan hampir lepas kesadarannya.

“Kenapa pak tua iku ndak dihabisi saja Mas? Nanti kan bojone tau kalau kita ndak main-main, jadi bakal lebih gampang buat kita maksa dia ngasih tau tempat Anggaraksa di simpan..” Saran Agus pada Jaya, sedikit menyayangkan mengapa lelaki tua yang sudah babak belur tak berdaya itu masih dibiarkan bernapas.

“Gini loh Gus.. iki perempuan kayanya tipe yang manut banget sama bojone, yang kalau suami wes bilang A, yo bakal tetep A..” Terang Jaya, yang justru membuat Agus semakin tak mengerti.

“Gini.. kamu meratiin ndak? Dari tadi kita sudah ngehajar bojone berkali-kali, tapi iki perempuan tetep ae tutup mulut, dan aku yakin, iku karena bojone nyuruh dia buat tutup mulut. Lah terus kebayang ndak kalau misal kita tetep maksa iki perempuan buka mulut dengan cara kita abisin bojone di depan matanya dia? Yang ada bukannya buka mulut, malah tambah rapet mulutnya nanti..” Tukas Jaya.

“Yo tinggal kita paksa aja to Mas? Setelah ngeliat bojone mati, mustinya dia bakalan takut karo kita.. iya to?” Ujar Agus menyampaikan pendapatnya, namun oleh Jaya segera direspon dengan gelengan kepala.

“Belum tentu, piye kalau ternyata dia malah makin berani dan makin berkeras hati buat ndak buka mulut?” Tanya Jaya sembari melirik dua anak buahnya yang lain, yang tengah mengikat tubuh Abah Ependi di batang pohon.

“Yo paksa terus Mas..” Saran Agus.

“Angel Gus.. percaya deh.. lagian kamu denger sendiri to.. kalau yang tau posisi pastinya itu bukan dia..” Tukas Jaya seraya menatap ke arah Ambu Asih. Ya, sepengupingan Jaya tadi, ia tahu kalau Cuma Abah Ependi lah yang mengetahui persis letak Anggaraksa.

Agus pun menganggukkan kepalanya, namun tetap bingung dengan arah pemikiran pimpinannya, mencoba mengulang kembali penjelasan-penjelasan dari Jaya yang bertolak-belakang dengan isi kepala pemuda itu sendiri.

“Jadi daripada susah-susah maksa perempuan iki nuntut kita ke tempat yang dia sendiri belum tahu, mending kita lakuin sesuatu yang lebih gampang dan nikmat..”

“Maksudnya Mas?” Tanya Agus cepat mendengar lanjutan kalimat dari pimpinannya.

“Kita bikin bojone buka mulut..” Ujar Jaya seraya menunjuk ke arah Abah Ependi yang sudah terduduk lemas terengah-engah.

“Carane?” Tanya Agus bingung.

“Percoyo karo aku.. sekeras-kerasnya lelaki, seteguh-teguhnya lelaki, kalau udah ngeliat perempuannya tersakiti pasti bakal lembek selembek-lembeknya..” Ujar Jaya sembari berdiri dari duduknya, langsung berjalan menuju tempat di mana tubuh Abah Ependi tertahan.

Sedang melihat Jaya datang mendekat, Abah Ependi hanya bisa menatap lemah, namun dipenuhi kutuk mengutuk di dalam hatinya.

Bagaimana kedatangan orang-orang di hadapannya kini, benar-benar sudah merusak pagi indah sang lelaki tua tersebut.

“Aku kasih kesempatan sampean sekali lagi, kalau sampean ngasih tau di mana tongkat itu disimpan, maka aku bakal ngampunin sampean dan istri. Gimana?” Jaya bertanya sembari menepuk-nepuk pipi Abah.

“Lepaskan istri saya, dia tidak tahu apa-apa uhukk..” Abah berucap terengah, dengan tatapan khawatir ke arah sang istri yang terbaring lemas.

“Yo aku tau, tapi kamu harus kasih tau aku duluk..” Ujar Jaya sembari mencengkeram dagu Abah Ependi, namun Abah sedikit pun tak berniat memberitahukan posisi dimana ia mengubur Anggaraksa, karena selain ia tak mau orang-orang ini membahayakan Anaknya, ia juga yakin, orang-orang ini memiliki niatan jahat.

Dari itu Abah Ependi pun memilih merapatkan bibir dan memalingkan wajahnya. Berkeras hati.

“Kita liat, sejauh mana kamu bakal tutup mulut..” Geram Jaya sembari berdiri, Abah pun hanya memalingkan wajahnya.

Sedang Jaya tersenyum licik, berbalik badan dan berjalan ke arah Ambu Asih yang masih terbaring. Ambu pun memandangi Jaya dengan tatapan takut bercampur marah.

Namun Jaya sedikit pun tak terpengaruh, ia justru merendahkan tubuhnya, mengelusi pipi Ambu Asih. Membuat perempuan tersebut menggerak-gerakkan bola matanya tanda protes, tak sudi disentuh Jaya. Jaya tersenyum, kemudian merendahkan tubuhnya.

“Kamu tau Mba.. aku itu sudah hampir semingu lebih ini ndak nyentuh perempuan.. dan kamu.. sshh.. kamu bener-bener jadi pelepas dahagu Mba.. asshhh..” Bisik Jaya tepat di telinga Ambu Asih, membuat wajah Ambu Asih langsung menegang.

“Dan tubuh Mba bener-bener indah.. sshh...” Sambung Jaya lagi sembari menghembuskan napasnya di telinga Ambu Asih, membuat perempuan itu semakin khawatir sendiri.

“Aku ndak akan maksa Mba buat buka mulut kok, karena aku tahu.. Mba ndak tau persis posisi tongkat itu kan? Jadi baiknya Mba itu diam saja ya.. Ssshhh..” Lanjut Jaya lagi berbisik, namun kali ini sudah dibarengi dengan ciuman-ciuman tipis di sekitar telinga Ambu Asih. Membuat perempuan tua itu semakin mengutuki di dalam hatinya, sebab ia tahu.. kemana arah pembicaraan Jaya ini.

Mata Ambu melotot lebar, seolah seluruh maki memaki tengah tertuang di batinnya.

“Tenang Mba, aku ndak akan nyakitin Mba kok, malah sebaliknya, aku bakal bikin Mba melayang. Sekaligus aku mau ngehukum bojomu yang berani-beraninya nentang aku..” Bisik Jaya lagi sembari memberi menempelkan hidungnya di telinga Ambu Asih.

“Pengecut! Jauhi istri sa..” Seru Abah Ependi dari belakang Jaya tak selesai.

BUGHH..

Karena sebuah sodokan lutut langsung menghantam wajah Abah Ependi, Tono yang melakukan itu, membuat darah segar langsung mengucur lebih deras dari hidung lelaki tua itu.

Abah..

Batin Ambu Asih lirih di dalam hati, sembari berusaha menggerakkan bola matanya ke samping, mencoba melihat sang suami. Namun terhalang sebab wajah Jaya tepat berada di depannya.


“Kamu ndak perlu mikirin dia Mba, urusanmu sama aku sekarang soalnya Hehehe..” Ucap Jaya dengan jemari ditempatkan di bibir Ambu Asih.

Sedang Ambu Asih benar-benar sudah diliputi ketakutan yang bercampur dengan amarah, ia sangat mengutuk orang-orang yang telah mengganggu ketenteramannya dengan Abah Ependi pagi ini.

Jaya pun tersenyum, kemudian tangan kirinya merogoh saku belakang celananya, mengambil sebilah belati yang disimpan di sana, kemudian ditunjukkan belati itu pada Ambu.

“Ndak usah takut, aku ndak akan ngelukain tubuh apikmu iki Mba.. wes.. ndak usah melotot gitu..” Ucap Jaya sembari mengarahkan ujung belatinya ke bawah, ke bagian atas daster lusuh yang dikenakan Ambu Asih, tepat ke sela payudara perempuan tua itu.

Kemudian di selipkan ujung belati tersebut ke bawah kerah daster Ambu, lalu diangkat ke atas belati itu oleh Jaya, mengiris kain lusuh bermotif bunga tersebut secara cepat.

Srreeeetttt... Sreettt.. Sreeeett..

Dengan belatinya, Jaya membuka daster Ambu, mengiris lurus sampai robek ke bawah, membuat tubuh bagian depan Ambu terekspos sinar matahari. Terlihat gundukan payudara yang dibalut bra lusuh berwarna putih kekuningan yang terlihat lemah menyangga payudara Ambu Asih, serta celana dalam lusuh berwarna hitam, menggunduk tebal. Payudara perempuan tua itu terlihat menggoda sekali di mata Jaya, yang sedari muda memang penyuka wanita paruh baya.
Apalagi ukuran payudara Ambu Asih yang terlihat menggemaskan di mata Jaya, tidak terlalu besar, namun melewati batas ukuran sedang.

Jaya pun segera menepikan bagian kanan dan kiri daster Ambu yang ia robek tadi, lalu meletakkan belatinya di tanah, kemudian dengan lembut Jaya meremas payudara Ambu Asih yang masih terbalut bra itu. Membuat Ambu Asih langsung meneteskan air mata, merasa terhina.

“Le.. pas.. kan.. istri..”

BUGGHH

“Heikhh..” Abah Ependi melengkungkan tubuhnya ke depan saat sebuah injakan keras dari Broto bersarang di perutnya, Membuat kata-kata yang hendak keluar dari bibir Abah tertahan.

Posisi Broto dan Tono sendiri memang berdiri menghadap Abah Ependi, membelakangi Jaya dan Ambu Asih, hal yang sama pun dilakukan Agus. Sebab mereka sudah hafal tabiat sang pimpinan, dan ini bukan kali pertama mereka melihat sang pimpinan kelompok menikmati tubuh perempuan, di beberapa misi sebelumnya pun Jaya memang sering menyalurkan hasratnya ke para perempuan-perempuan paruh baya yang ia temui di tengah misi.

“Semenjak aku tiba di tanah ini, baru kamu yang punya kulit seputih dan semulus ini Mba.. baru kamu yang berhasil ngebangkitin gairahku..” Puji Jaya yang tangannya sudah menyusup di balik bra milik Ambu Asih, meremas lembut payudara perempuan paruh baya tersebut. Membuat derai air mata Ambu semakin mengalir dari kelopak matanya.

“Aku buka ya, sayang..” Bisik Jaya sembari menindih tubuh Ambu Asih, tangannya pun lekas mengambil kembali belatinya, lalu memotong bagian tengah bra putih lusuh milik Ambu, sampai terpecah jadi dua cup.

Jaya pun segera meletakkan kembali belatinya, langsung membuka kedua cup bra tersebut, membuat payudara putih milik Ambu Asih yang sudah sedikit mengendur ke samping terpampang di depan mata Jaya, dengan puting sebesar ujung kelingking berwarna coklat tua, kontras dengan kulit payudara yang putih.

Jaya pun segera merendahkan kepalanya, menciumi bagian atas payudara Ambu Asih, menjilati kulit payudara perempuan tersebut yang dipenuhi keringat beraroma harum sabun dengan sedikit aroma khas tubuh, membuat Jaya semakin terangsang.

Ya.. sedari awal ia memang memendam hasrat pada Ambu Asih, sedari pertama melihat malahan, ketika mereka masih menguping tadi.

“Aku suka bau tubuhmu Mba.. hhmm..” Puji Jaya lagi sembari menyapukan lidahnya ke seluruh bagian dada Ambu, kanan dan kiri, dengan kedua tangan yang sudah sepenuhnya melingkar di punggung Ambu Asih.

Jaya pun mulai menghisapi bergantian puting payudara Ambu Asih, untuk beberapa detik pertama ciuman dan hisapan Jaya cukup lembut, namun lama kelamaan hisapan dan ciuman lelaki itu semakin kuat dan rakus, membuat Ambu Asih semakin deras mengucurkan air matanya.

Abah Ependi pun berderai air mata, ia meraung meminta berhenti, namun tiap kali lelaki tua itu bersuara, tendangan maupun pukulan langsung bersarang di tubuhnya, membuat Abah berkali-kali terbatuk darah, terengah sakit. Sakit di tubuh, dan sakit di hatinya.

Keteguhan lelaki itu pun mulai pudar, tak tega melihat istrinya digagahi lelaki lain.

Jaya yang sudah selesai dengan payudara milik mangsanya pun berdiri, gairah lelaki paruh baya itu membuncah sudah, segera saja Jaya menanggalkan seluruh pakaiannya, bertelanjang bulat dengan batang penis mengacung tegak. Penis yang memiliki panjang sekitar 14cm itu memang terlihat tidak terlalu panjang, namun lingkar diameternya yang cukup besar dan gemuk jelas membuat Ambu Asih semakin ketakutan.
Jaya pun kembali merendahkan tubuhnya, kali ini ia sudah melumat bibir keluh nan bisu milik Ambu Asih, dibuka paksa dan langsung mengacak-acak rongga mulut Ambuh Asih yang hanya bisa menangis dan menangis, dalam bisu.

Beberapa menit kemudian, Jaya pun menegakkan tubuhnya, mengarahkan penis hitamnya ke bibir Ambu Asih, dibukanya paksa bibir tak bertenaga tersebut dan mulai dilesakkanlah penisnya menyetubuhi bibir Ambu Asih yang bak boneka, tak bergerak sama sekali.

“Sshshh... Aaaaahhhh..” Jaya mendesah menikmati kenikmatan yang membelenggu batang penisnya kini, mulai mempercepat goyangan pinggulnya mengentoti bibir Ambu Asih sembari terus meremasi payudara perempuan tersebut. Membuat air mata Ambu semakin mengalir lagi dan lagi, merasa terhina sehina-hinanya.

“Sudah.. cukup.. aku akan memberi..”

BUGGHH..

Kata-kata Abah Ependi pun kembali tak selesai, sebab lagi-lagi Tono dengan santainya menendang dada lelaki tua itu.

“Nanti saja bicaranya Asu, jangan ganggu Bosku..” Hardik Tono sembari menjambak rambut Abah Ependi.

“Aaarrgghhh..” Jaya mengeram dengan suara berat sembari melesakkan penisnya dalam-dalam ke rongga mulut Ambu Asih, membuat perempuan itu mendelikkan matanya lebar-lebar, tersedak dan sulit bernapas dengan pipi menggelembung.

“Ya.. uhhh..” Desah Jaya sembari menarik keluar penisnya dari bibir Ambu yang sudah basah liur itu.

Jaya pun beringsut, ia segera meloloskan celana dalam milik Ambu Asih sampai terlepas, langsung dikangkangkan paha Ambu lebar-lebar, ditekuknya ke atas kaki putih Ambu Asih, kemudian Jaya memposisikan tubuhnya di antara paha Ambu Asih.

Jaya memandang takjub pada gundukan vagina gemuk yang diselimuti bulu tebal itu, segera saja Jaya menciumi vagina Ambu Asih dengan rakus, berusaha membasahi vagina itu dengan liurnya, tak lupa juga Jaya menyusupkan dua jarinya ke dalam liang senggama Ambu Asih, mengobok-obok sembari menjilati vagina tersebut dengan penuh nafsu serakah.

SLURRRPP... SLUURRPP.. SLUURRP..

“Hhhmm.. bau memekmu benar-benar membuatku terangsang Mba..” Ujar Jaya sembari mempercepat colokannya pada vagina Ambu Asih, membuat perempuan itu semakin menangis dalam diamnya.

Dan tak menunggu lama, Jaya pun segera menyudahi kegiatan oral singkatnya itu, langsung memposisikan penisnya di depan gerbang kenikmatan milik Ambu Asih, digesek-gesekan sebentar, lalu mulai didorong perlahan.

BREETT.. BREETT.. BLESSS..

“Uuuhhhh.. sialan.. memekmu anget banget Mba.. uuhhh.. masih lumayan peret lagi sshhh..” Racau Jaya ketika batang penisnya benar-benar sudah tenggelam di dalam liang senggama Ambu Asih. Jaya mendiamkan sejenak, menikmati legit dan hangat liang senggama perempuan paruh bayanya itu.

Sedang di sisi lain, Tono terlihat tengah menyumpal mulut Abah Ependi dengan sebuah kain yang tak lain adalah ikat kepala Abah sendiri. Terdengar raungan Abah Ependi teredam ketika di depan matanya, sang istri terdiam kaku dengan linangan air mata sedang ditindih lelaki lain, terkoyak sudah hati Abah Ependi.

“Ssshhh.. jangan nangis dong sayang hhmm.. kamu juga pasti keenakan, kan? Mmmpphh..” Ujar Jaya sembari melumat bibir Ambu Asih, pelan-pelan pinggulnya mulai naik turun, menggoyang vagina hangat milik Ambu Asih yang sudah berhasil ia tanamkan penisnya.

“Muaahh.. huh.. huh.. asuu.. enak banget memekmu Mba.. shhh..” Racau Jaya seraya mempercepat goyangan pinggulnya.

“AGUUSSS!! SSHHH.. SINI GUS..” Seru Jaya ditengah kesibukannya memperkosa tubuh Ambu Asih.

“I.. Iya Mas..” Agus menyahut seraya berlari mendekat, setelah itu Jaya pun meminta Agus menanggalkan seluruh pakaiannya, ikut menikmati sajian yang tengah ia nikmati tersebut.

Dan tanpa ba bi bu lagi, Agus pun sudah bertelanjang bulat, ia kemudian berlutut mengarahkan penisnya yang memang sudah tegang sedari tadi ke mulut Ambu Asih.

Ya.. layaknya Jaya, Agus pun memang tipe pemuda yang menyukai perempuan berumur.

Kini, Ambu Asih pun benar-benar sudah merasa menjadi manusia paling rendah. Karena bagaimana tidak, ia bahkan bukan Cuma diperkosa oleh satu orang, melainkan oleh dua orang sekaligus. Lubang vaginanya yang terasa perih digenjot dengan kasar oleh Jaya, sedang mulutnya kini tersumpal penis lelaki lainnya, payudaranya pun tak luput, jadi sasaran hisap dan remasan dari dua orang tersebut.

PLOK.. PLOK.. PLOK..
CLOK.. CLOK.. CLOK..

Bunyi peraduan pinggul Jaya dengan pangkal paha Ambu Asih bersahutan dengan bunyi keluar masuk penis Agus di mulut perempuan tersebut. Diiringi desahan-desahan nikmat yang membuat Tono dan Broto kegerahan sendiri, mulai terangsang. Sedang Abah Ependi? Beliau hanya bisa mengeram tertahan, seraya menangis sejadi-jadinya.

“Ahhhh.. yah.. terus..”

“Hhhmm.. asuu.. hoh.. hoh..”

Jaya dan Agus semakin beringas dalam mempermainkan tubuh Ambu Asih. Dan setelah beberapa saat, Jaya menghentikan genjotannya. Meminta Agus untuk membalikkan tubuh Ambu Asih.

“Kamu harus ngerasain memeknya Gus! Legit banget..” Seru Jaya seraya meminta Agus berbaring di bawah, sedang Ambu Asih diposisikannya menungging di atas tubuh Agus.

“Makasih Mas..” Ucap Agus seraya mengarahkan batang penisnya ke arah vagina Ambu Asih, Jaya membantu dengan sedikit mengangkat pantat Ambu Asih. Dan..

Blesss...

“Uhhh..” Agus melenguh nikmat ketika batang penisnya masuk dengan mulus, Jaya pun tersenyum melihat bawahannya itu merintih nikmat. Setelah itu Jaya pun meremas-remas bokong Ambu Asih dengan gemas, dibukanya daging bokong tersebut, lalu diludahinya berkali-kali lubang anus milik Ambu Asih, sembari dicolok-colokan jemarinya di sana.

Setelah itu Jaya pun mulai menempatkan kepala penisnya tepat di depan anus kecoklatan mili Ambu Asih, ditekannya perlahan-lahan untuk menguak lubang sempit nan rapat, yang bahkan oleh Abah Ependi saja tidak pernah disentuh sebelumnya.

Dan Ambu sadar apa yang akan terjadi, ia pun menangis sejadi-jadinya di dalam hati, deras air mata terus mengalir di pipi. Perih dan pedih yang teramat sangat terasa di lubang anusnya saat ini, sebab penis milik Jaya terus menerobos masuk dengan paksa, merobek dinding-dinding lubang anusnya, inci demi inci.

BREETT.. BREETT.. BLESSS..

“Uhhhhh.. assuu.. silitmu rapet banget Mba.. oohh..” Racau Jaya membenamkan penisnya sampai benar-benar tandas. Ia pejamkan matanya kuat-kuat menikmati remasan dinding dalam lubang anus Ambu Asih.

Sedang Agus di bawah sana masih menikmati hangatnya lubang vagina Ambu Asih, sembari meremas-remas dan menciumi payudara perempuan tersebut. Dan setelah beberapa saat, Jaya pun mulai memaju mundurkan pinggulnya, mulai menyetubuhi lubang pantat milik Ambu Asih sembari sibuk mendesah dan meremasi bongkahan kenyal bokong perempuan tersebut.

“Ahh.. ahh.. ahh..” Jaya bak kesetanan, mempercepat maju mundur pinggulnya, tanpa peduli bahwa di batang penisnya kini, terlihat samar-samar merah darah yang berasal dari dinding bagian dalam lubang anus Ambu Asih yang lecet.

Agus sendiri di bawah hanya menggoyangkan pinggulnya kecil, mencoba mengimbangi goyangan sang pimpinan di atas sana. Mereka berdua benar-benar menjadikan tubuh Ambu Asih sebagai pelampiasan nafsu hewani mereka.

Tidak cukup sampai di situ, Jaya kembali memanggil satu anak buahnya, kali ini Broto. Membuat pemuda itu lekas mendekat, dan setelah mendengar intruksi sang pimpinan, ia pun segera menanggalkan seluruh pakaiannya. Meski awalnya tak terbesit sama sekali untuk menyetubuhi perempuan paruh baya, namun setelah mendengar desahan dan kecipak persetubuhan Jaya dan Agus, membuat Broto pada akhirnya terpancing jua nafsunya.

Ia pun segera mengangkat kepala Ambu Asih yang tak bertenaga itu, dipegang kedua sisinya, seraya melesakkan penisnya ke dalam mulut Ambu Asih dengan begitu kasar, membuat sungguh-sungguh pipi perempuan itu sudah basah sebasah-basahnya oleh air mata.

Kini, seluruh lubang di tubuh Ambu benar-benar tengah disetubuhi oleh batang-batang berbeda. Penis Agus yang menyetubuhi liang vaginanya, penis Jaya yang merojok-rojok lorong duburnya, serta penis Broto yang tengah menyodok-nyodok mulutnya. Benar-benar membuat Ambu merasa tersiksa seluruh perasaannya, terhina sehina-hinanya.
Begitu pun Abah Ependi, yang hanya bisa mengerung-ngerung, menangis hebat dan mengutuki pemandangan di depannya kini. Pemandangan tubuh istrinya yang sedang diperkosa oleh tiga lelaki sekaligus.

*

Di halaman rumah Abah Ependi, terlihat Aswatama yang tengah duduk bersila kaki di atas balai bambu. Matanya menatap langit di kejauhan, meski terhalang rimbun dedaunan, Aswatama masih bisa melihat cerah langit pagi ini. Biru bersih tanpa awan. Membuat sinar matahari tegas menyusup ke sela-sela pepohonan.

Udara yang segar.. suasana yang tenang.. dan hawa yang dingin.. membuat Aswatama sangat senang bisa berada di tempat ini.

Ia yang pada awalnya berniat untuk langsung pergi pun mengurungkan niatnya, sebab ia teringat bahwa ia memiliki sebagai sebuah amanat yang harus dijaga, setidaknya sampai sore nanti ketika Abah dan Ambu sudah pulang.

Ya.. ia memutuskan untuk pergi sore nanti, karena rasanya tidak sopan juga jika pergi begitu saja tanpa pamit pada Abah dan Ambu. Dan jikalau pergi sekarang pun, jujur Aswatama merasa tidak tega membiarkan Kinaya menunggu seorang diri.

“Ini minumnya A..” Kinaya tiba-tiba sudah muncul sembari menyodorkan segelas air putih kepada Aswatama, yang oleh pemuda itu langsung diterima dengan senyuman mengembang.

“Terimakasih Kinaya..” Ujar Sang Pemuda sembari meneguk air tersebut untuk mengentaskan hawa lengket di tenggorokannya setelah menandaskan segelas kopi hitam, yang tadi dibuatkan Kinaya.

Kinaya tersenyum, kemudian ikut duduk di atas balai bambu tersebut, pelan-pelan membereskan gelas kopi Aswatama yang sudah surut, serta piring kecil yang hanya bersisa satu potong singkong rebus.

Ya.. setelah sarapan, Aswatama dan Kinaya mengobrol ringan di halaman sembari menikmati singkong dan ubi rebus. Ditemani kopi dan teh, mereka sempat mengobrol hangat sembari mulai berusaha saling mengenali.

Dari obrolan kecil itu, Aswatama jadi mengetahui, bahwa Kinaya pernah bekerja di kota selama dua tahun lebih sebelum akhirnya pulang lagi ke daerah ini sekitar tujuh bulan lalu. Dari itulah Aswatama mengetahui mengapa cara berbicara dan logat Kinaya terdengar agak asing di telinga Aswatama, sudah tercampur dengan logat kota rupanya.

Aswatama sempat terpikir untuk kembali bertanya mengenai suami Kinaya, karena memang ia sedikit penasaran. Namun pemuda itu mengurungkan niatnya, merasa mungkin ia terlalu tidak sopan jika bertanta terlalu jauh.

Dan baginya, cukup mengetahui sedikit tentang Kinaya sudah sangat menyenangkan. Apalagi ketika mendengar cerita-cerita Kinaya tentang kemajuan-kemajuan yang ada di kota sana, benar-benar membuat Aswatama kagum.

Maklum, seumur hidupnya, Aswatama tidak pernah pergi ke kota. Bahkan paling jauh, ia hanya ke pelelangan ikan yang ada di kecamatan, itu pun sudah jauh sekali menurut Aswatama.

“Kinaya mau minum juga?” Tanya Aswatama menyodorkan gelasnya ke arah Kinaya, masih bersisa setengah. Kinaya tersenyum, mengangguk pelan.

Dan tanpa menunggu Kinaya mengangkat tangan untuk menyentuh gelas yang berada di tangan Aswatama, pemuda itu segera mendekatkan bibir gelas ke bibir merah muda milik Kinaya, membuat perempuan itu sedikit terdiam, namun dengan anggukkan dari Aswatama, Kinaya pun segera memajukan bibirnya, meneguk air yang disodorkan Aswatama kepadanya.

Dan sembari meneguk air tersebut, mata Kinaya terkunci pada mata Aswatama yang tajam namun teduh. Membuat Kinaya tak bisa untuk tidak tersenyum.

“Kenapa?” Tanya Aswatama pada Kinaya setelah perempuan itu selesai menandaskan air yang disodorkan Aswatama.

“Enggak apa-apa..” Jawab Kinaya sembari menyeka bibirnya. Ia pun memilih memalingkan wajah, tak mau lama-lama memandang Aswatama yang entah mengapa, bagi Kinaya pemuda itu memiliki pesona tersendiri yang amat kuat, membuat ia sesekali gugup jika dipandangi oleh sang kuda utama pesisir selatan itu.

“NGAAOOOWW.. NGAOOOWW..”

Sayup-sayup terdengar suara auman kucing, membuat Kinaya dan Aswatama segera berpandangan bingung. Dan semakin lama suara auman kucing itu semakin jelas terdengar.

Dan ternyata itu Ideung, ia berlari kencang sekali dari jalan setapak yang menuju bagian atas bukit. Membuat Kinaya segera berdiri, menyambut kedatangan kucing hitam itu dengan raut bingung.

“Ideung?” Gumam Kinaya bingung sembari merendahkan tubuhnya, menggendong Ideung yang terlihat agak risau.

Bersamaan itu Kinaya menatap ke arah jalan setapak yang tadi dilalui Ideung, mencari keberadaan Abah dan Ambunya, namun nihil. Di sana tidak ada siapa-siapa. Dan itu membuat Kinaya bingung, karena Ideung tidak biasa pulang sendiri, selalu bersama Abahnya.

“Nggaaoongg... Ngaaoonng..” Ideung mengeong ke arah Kinaya dengan tubuh tak tenang, tidak bisa diam, risau sendiri.

“Ideung kok pulang sendiri? Abah sama Ambu mana?” Tanya Kinaya mengajak bicara kucing hitam tersebut.

“Maooowww..” Jawab Ideung seraya bergerak-gerak tak jelas.

“Apa dia biasa seperti ini, Kinaya?” Tanya Aswatama yang sudah ikut berdiri.

“Enggak A.. dia biasanya enggak kaya gini, biasanya gak aktif gini. Dan dia itu enggak pernah pulang sendiri A biasanya, selalu barengan sama Abah. Tapi kayaknya ini dia pulang sendiri deh.. aneh..” Jawab Kinaya sembari menatap Aswatama. Dan pemuda itu pun segera mengernyitkan dahi, kepalanya segera berpikir dengan cepat, kemungkinan-kemungkinan pun langsung muncul.

“Maaf Kinaya, coba taruh dia di bawah lagi..” Ucap Aswatama pada Kinaya, dan meski bingung, Kinaya pun menuruti permintaan Aswatama.

Dan begitu Ideung ditaruh di tanah, kucing itu langsung berlari kembali ke arah jalan setapak tadi, berhenti sejenak untuk menoleh pada Aswatama dan Kinaya, mengeong keras, dengan kepala berulang kali menatap arah jalan.

“Dia meminta kita untuk mengikutinya, mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Abah atau Ambu..” Ujar Aswatama membaca situasi. Dan kekhawatiran seketika mengungkung isi kepalanya.

“Abah.. Ambu..” Kinaya bergumam sembari memegang dadanya, perasaan tidak enak yang sempat ia rasakan ketika berpisah dengan Ambu dan Abahnya di jalan tadi pagi mendadak muncul lagi.

Dan tanpa pikir panjang, Kinaya pun segera melangkahkan kakinya, hendak mengikuti Ideung, namun dengan cepat Aswatama menahan tangan Kinaya.

“Biar saya saja, kamu tunggu di sini..” Ujar Aswatama tegas. Namun oleh Kinaya segera dijawab dengan gelengan kepala.

“Kinaya.. biar saya saja ya..” Aswatama berkata sembari memegang kedua bahu Kinaya. Yang dijawab dengan anggukan oleh Kinaya, Aswatama tersenyum.

“Tapi aku ikut..” Ujar Kinaya cepat, membuat senyum di bibir Aswatama segera memudar lagi.

“Tapi..”

“Aku.. i.. kut!” Ujar Kinaya lagi dengan sedikit penekanan. Membuat Aswatama akhirnya menyerah, menganggukkan kepalanya.

“Kamu tau tempat Abah dan Ambu ambil porang dimana?” Tanya Aswatama lembut, Kinaya pun segera menganggukkan kepala, ia pernah satu kali ke sana ketika kandungannya baru hitungan minggu, diajak Ambu ketika mengantar bekal untuk Abah.


“Baik.. sekarang kamu gendong kucing kamu. Saya ambil sesuatu dulu.” Ucap Aswatama sembari meninggalkan Kinaya, berjalan masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar yang ia tempati.

Dengan cepat Aswatama pun mengambil ikat kepalanya yang tergantung di kepala ranjang dan langsung dikenakannya. Setelah itu Aswatama memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya membuka dan menutup beberapa beberapa kali, setelah itu tangannya benar-benar mengepal, fikirannya benar-benar ia pusatkan.

Aswatama tengah mencoba memetakan daerah sekitar, mencoba mencari keberadaan derap langkah Abah dan Ambu lewat kepekaan telinganya, beberapa detik ia fokuskan pikirannya, namun tak kunjung menemukan derap langkah apapun selain derap langkah lembut milik Kinaya yang berada di sekitarnya. Itu berarti posisi Abah dan Ambu di luar batas jangkauan pendengarannya yang memang berbatas.

Aswatama lekas membuka matanya, dengan segera ia pun melangkah keluar kamar, berjalan cukup cepat dan menutup pintu rumah dengan asal, setelah itu ia melangkah menuju Kinaya yang tengah menunggunya sambil menggendong Ideung, kucing itu terlihat benar-benar gusar.

Langkah Aswatama pun melambat, bersamaan dengan itu ia memusatkan energinya, langsung dialirkan ke telapak kakinya, membuat kaki bagian bawahnya mulai terselimuti kepulan energi berwarna keunguan, sebatas betis ke bawah, pola samar di keningnya pun timbul kembali, namun takkan bisa dilihat oleh siapa-siapa, sebab sudah Aswatama tutup dengan ikat kepala.

Ya.. Aswatama kembali membuka asta brajanya, tak peduli pada risiko yang akan ia hadapi nanti, yang terpenting saat ini, ia harus segera memastikan kondisi Abah dan Ambu.

Dan Kinaya pun kembali terhenyak ketika melihat kepulan energi berwarna ungu menyelimuti kaki Aswatama, persis seperti ketika pemuda itu menolongnya tadi pagi. Aura kuat nan pekat pun segera terasa sedikit mengintimidasi Kinaya.

“Maaf Kinaya, tapi kita harus bergegas..” Ujar Aswatama ketika menyadari Kinaya kembali memasang raut yang sama seperti tadi pagi. Dan Kinaya pun menganggukkan kepala, berusaha meredam segala keterkejutannya ini.

“Tinggal mengikuti jalan setapak ini saja kan?” Tanya Aswatama lagi, memastikan. Kinaya pun menganggukkan lagi kepalanya.

“Ya.. tinggal ngikutin jalannya aja..” Jawab Kinaya berusaha menyembunyikan kegugupannya.

“Baik, kalau begitu.. hephh..”

Tanpa permisi lagi, Aswatama langsung membopong Kinaya. Membuat perempuan itu terdiam seribu bahasa, dipereratnya pelukan kepada Ideung, takut jika kucing hitam itu melompat dari dekapannya. Namun nyatanya kucing itu justru terlihat tak segusar sebelumnya, ia seperti mengerti bahwa ini bukanlah hal yang berbahaya.

“Jangan khawatir Kinaya, kita akan sampai dengan cepat..” Ucap Aswatama sembari memundurkan satu kakinya ke belakang, lalu..
WUSSSHHH..

*

“Ahhh... Asseeemm.. ternyata memek perempuan ini masih lumayan enak.. ouuhh..” Tono meracau keenakan sembari memaju-mundurkan pinggulnya menggenjot tubuh Ambu Asih yang sedari awal memang hanya diam tak bergerak.

Kini tubuh Ambu Asih direbahkan di atas tubuh Broto, sedang Tono berada di atas tubuh Ambu Asih. Dua pemuda itu tengah mendapatkan giliran menggarap tubuh perempuan paruh baya tersebut setelah Jaya sang pimpinan dan Agus selesai mengayuh kenikmatan.

Broto yang berada di bawah terlihat memejamkan mata menikmati kenikmatan di batang penisnya, efek dari remasan dinding anus milik Ambu Asih, tak peduli meski pun darah terlihat terus keluar dari lubang anus perempuan tersebut.

Sedang Tono yang berada di atas dengan semangat menggebu terus menyodok-nyodokan penisnya menguak liang senggama Ambu. Lenguhan dan desahan dua pemuda itu berbalas lirih air mata Ambu Asih yang sudah mengering, sudah habis air matanya, hanya tersisa tangisan lirih nan sakit di relung hatinya saat ini.

Sedang Abah Ependi hanya bisa meraung-raung terbungkam, tangisnya seolah hanya menjadi musik latar bagi pemerkosaan yang tengah dialami istrinya.

Di kanan dan kiri lelaki tua itu ada Jaya dan Agus yang terduduk santai, sudah kembali mengenakan celana mereka, namun tetap bertelanjang dada. Terkekeh menikmati pemandangan erotis di hadapan mereka. Sembari menghisap rokok masing-masing.

“Anggap saja ini hukuman buat kamu, karena kamu sudah berani main-main denganku hehehe..” Kekeh Jaya pada Abah Ependi yang terus meraung-raung lemah, sekujur tubuhnya remuk sebab penganiayaan yang dialami, plus hatinya hancur karena melihat istrinya diperkosa bergilir dengan sadis di depan matanya.

“Setelah anak buahku selesai, aku akan kasih kamu kesempatan satu kali lagi, kamu bakal ngasih tau aku di mana tongkat itu di simpan, dan bojomu akan aku bebaskan. Gampang to?” Tanya Jaya dengan santai.

“Eeemmnggg... Eemmmngg..” Raung Abah Ependi yang mulutnya tersumpal ke pada Jaya, seolah hendak mengatakan sesuatu.

“Ssssttt.. kamu ngasih taunya nanti aja, kalau anak buahku sudah menyemprotkan pejuh mereka di rahim dan silit bojomu yo.. hehehe..” Jaya berkata dengan tawa jahatnya, yang diikuti oleh Agus dengan senyum mengembang, mereka benar-benar merasa puas pada apa yang mereka lakukan saat ini.

Karena bagaimana tidak? Selain berhasil menyalurkan birahi, mereka juga hampir pasti akan mendapatkan Anggaraksa dalam genggaman mereka setelah ini. Tentu itu adalah sebuah kebahagiaan yang berlipat-lipat bagi mereka.

“Ouhhh.. assuu.. silitmu rapet banget.. remesannya puuooll aaahhh..” Broto mendesah sembari meremasi payudara Ambu Asih yang sudah memerah di sana sini, dan mencoba mengimbangi hentakan pinggul dari Tono di atasnya yang tengah menggarap vagina berbulu yang sudah basah aneka cairan itu.

“Aku dikit lagi keluar To.. ooouuhhh.. kamu.. sshh.. masih lama ndak?” Tanya Tono sembari menempatkan kedua kaki Ambu di pundaknya.
“Bentar lagi Ton.. ossshh.. silitne bener-bener ngeremes banget ini.. ouuhhh.. anget banget assuu..” Jawab Broto sembari menciumi leher Ambu Asih yang kepalanya tergeletak lemah ke di bahu Broto.

PLOK.. PLOKK.. PLOK..

Tono semakin mempercepat genjotannya, berusaha menggapai kenikmatannya, diciuminya betis bagian dalam Ambu Asih dengan gemas, dijilati dengan penuh nafsu.
Meski Broto dan Tono aslinya bukanlah penikmat perempuan setengah baya seperti Jaya dan Agus, namun jika birahi sudah bicara, segala jenis perempuan bagi mereka tak masalah, asalkan memiliki lubang untuk menampung penis dan semburan sperma mereka.

“Ossshh.. osshh..”

“Ahhh.. ahh...”

Desahan Broto dan Tono pun sahut menyahut meriuhkan alam raya, hentakan demi hentakan, rintihan demi rintihan, hingga di detik ke sekian, ketika puncak kenikmatan dirasa semakin dekat, tiba-tiba..

WUSSSHHH..

DEEBBHHH..

Jaya dengan cepat melesat di udara melewati tiga tubuh yang susun menyusun itu, langsung mendarat tak jauh dari ketiga tubuh tersebut, mata Jaya awas menyapu ke depan, ke arah tepi jurang yang berada di depan sana.

Broto dan Tono pun memperlambat sejenak gerakan mereka, puncak kenikmatan mereka tertunda sebab kaget dengan pimpinannya yang tiba-tiba memasang sikap waspada.
“Ono opo to Mas?” Tanya Tono tanpa mencabut penisnya.

“Lanjutkan saja kegiatan kalian, tapi lakukan dengan cepat, karena aku merasakan ada yang datang..” Jawab Jaya dengan tatapan awas, bersamaan dengan itu Agus sudah melompat dan berdiri di sampingnya, ikut memasang sikap waspada.
“Kalau gitu aku tunda sa..”

“NDAK!! Cepat lanjutkan, aku tau kalian berdua sudah mau muncak..” Bentak Jaya memotong kalimat Broto yang hendak mendorong tubuh Ambu ke samping, membuat pemuda itu urung melakukan niatnya.

“Wes To.. kita tuntasin ini..” Ucap Tono berbisik-bisik pada Broto, yang dibalas dengan anggukan. Dan Tono pun langsung menggenjot kembali tubuh Ambu Asih dengan kecepatan tinggi, Broto pun mengimbangi di bawah, mereka berusaha mengejar puncak kenikmatan yang sempat terjeda tadi.

PLOK.. PLOK.. PLOK.. PLOK..

“AHH.. AH.. AH..”

“OUHH.. SSSHH.."
Kedua pemuda itu pun kembali tenggelam dalam Kayuhan birahi mereka, menikmati lubang vagina dan lubang anus milik Ambu Asih yang memberi kenikmatan tiada tara di batang penis mereka masing-masing. Sudah tak terpikirkan kemungkinan orang yang akan datang, karena bagi mereka saat ini adalah mereka bisa menuntaskan birahi di tubuh tak berdaya milik Ambu Asih.

“Seberapa kuat energi yang datang itu Mas?” Tanya Agus pelan kepada Jaya.

“Sangat kuat, dan energi ini sama asingnya dengan energi yang tadi aku rasain di puncak bukit..” Jawab Jaya sembari menghembuskan asap rokoknya ke udara.

“Apa jangan-jangan..” Ucap Agus menggantung.

“Kemungkinan besar iya.” Sahut Jaya mengeraskan kepalan tangan kirinya. Dan kata-kata Jaya langsung membuat jantung Agus berdetak lebih cepat.

Emosi, dendam, amarah, dan sedikit rasa gentar bercampur di dada pemuda itu. Iya mengeratkan kepalan tangannya, menyalak tatap menunggu kedatangan sang penjaga Anggaraksa.

PLOOKKK.. PLOOKK... PLOKK..

“AH... AH.. AH... AH..”

Di sisi lain, Tono yang sudah berada di ambang orgasmenya menggempur vagina Ambu Asih tanpa ampun, tubuh pemuda itu merunduk rendah, direngkuhnya tubuh Ambu Asih dan dilumatnya secara kasar bibir perempuan tersebut.

“AAAAAHHHHHHH...”

CRROOTT.. CROOTT.. CROOTT.. CROOTT.. CROOTTT..

Tubuh Tono menegang, ia lepas ciumannya pada bibir Ambu Asih, kemudian ia tenggelamkan wajahnya di leher tak berdaya milik Ambu Asih, menggigit dengan keras kulit leher perempuan tersebut menikmati gejolak orgasmenya yang maha dahsyat. Dipeluk erat-erat nya punggung Ambu seraya dihentak dalam-dalam pinggulnya, membenamkan dalam-dalam batang penisnya yang tengah memuntahkan sperma tersebut, merojok-rojok dan menghangatkan liang senggama perempuan tua itu.

Ambu Asih pun terus menangis lirih di dalam hati, habis sudah harga dirinya sebagai manusia, menangis bisu dalam ketidakberdayaan dan seluruh rasa sakit yang mendera tubuhnya.

CLOKKK.. CLOOKK.. CLLOKKK.. CLLOKK..

Sedang di bawah, Broto berusaha mengangkat sedikit pinggul milik Ambu Asih yang tertekan ke bawah sebab tertindih tubuh Tono yang sedang menikmati orgasmenya. Broto tak mau menunggu lagi, ia merasakan gelombang orgasmenya pun sudah dekat.

Dari itu ia pacu kembali batang penisnya yang berlumuran darah itu di lubang anus milik Ambu Asih yang jelas sudah robek dinding-dindingnya, digempur dengan ritme pendek dan cepat. Membuat kenikmatan yang ia rasakan semakin dekat, mata pemuda itu terpejam dan terbuka sembari mendesah. Semakin dipererat pegangannya pada pinggang Ambu, dan terus dihantamnya lubang anus Ambu Asih tanpa belas kasih.

“YA.. YA.. YA... OUUUHHH...”

CRROTTT.. CROOTT... CROOTT..

Broto menghentak pinggulnya ke atas dengan keras, membenamkan dalam-dalam batang penisnya di lubang anus Ambu Asih, bersamaan dengan itu batang penisnya menyemburkan sperma yang sangat banyak, mengisi lubang pembuangan Ambu dengan jutaan benih-benih kenikmatan dengan deras.

Bersamaan itu..

“Bersiaplah..” Ujar Jaya pada Agus, yang disambut anggukan kepala. Mereka pun langsung memasang kuda-kuda, bersamaan pula mereka menghembuskan asap rokok masing-masing, sedang di jemari mereka, puntung rokok masih menyela terjepit keras.

Hingga..

WUSSSHHH..

Sesosok tubuh dengan aura kuat muncul dari bawah jurang, melesat ke atas dengan luapan energi besar menghentak sampai ke pada Jaya dan Agus yang sudah menunggunya.
Dan tanpa menunggu orang tersebut mendarat, Agus langsung menjentikkan puntung rokoknya ke depan, kemudian dengan cepat mendekatkan kedua telapak tangannya yang terbuka ke arah depan seraya memusatkan tenaganya di telapak tangan, lalu dengan keras Agus pun menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kemudian..

Kretek.. kretek.. kretek..

Bara menyala di puntung rokok yang dilempar Agus pun memercik-mercikan api kecil. Lalu..

WWUURRRRRRHHHHHHH...

Api besar langsung keluar dengan cepat dan meluncur ke arah tubuh seseorang yang datang sembari menggendong sesuatu tersebut. Namun dengan sigap, orang dengan kaki diselimuti kepulan kabut berwarna ungu itu segera menghindar dengan cara memutar-mutar tubuhnya di udara, melayang ke samping dan mendarat dengan lembut di atas rerumputan. Orang tersebut tak lain adalah Aswatama, Sang Kuda Utama pesisir selatan yang tengah menggendong tubuh Kinaya dan Ideung.

Aswatama menundukkan wajah, menurunkan tubuh Kinaya dengan hati-hati. Sedang Kinaya yang sempat shock karena melihat api besar yang tadi hampir menerjangnya segera berdiri. Dan belum selesai rasa shock yang menderanya, ia kembali disajikan pemandangan yang seketika langsung membuatnya semakin terdiam, terhenyak sedalam-dalamnya.

Di mana selain ia melihat dua lelaki tengah berdiri menyambut mereka, mata perempuan muda itu juga mendapati tiga tubuh telanjang di belakang dua orang tersebut, tindih menindih jadi satu. Dan setelah memerhatikan baik-baik, kaki Kinaya pun langsung lemas, tubuhnya hampir terjatuh jika saja Aswatama tidak sigap menangkapnya.

Wajar Kinaya seperti itu, karena ia bisa dengan jelas melihat tubuh Ambunya yang tak tertutup benang barang sehelai pun, tengah berada di atas tubuh seorang lelaki, dengan lelaki lainnya menindih di atas tubuh Ambunya.

Belum lagi ketika ia menggeser pandangnya, ia mendapati Abahnya tengah terduduk dengan tubuh terikat ke pohon, dengan mulut tersumpal, sudah berdarah-darah.

“Am.. ambu.. Abah..” Kinaya bergumam lirih dengan mata membelalak, sedang Ideung yang berada di dalam gendongan Kinaya melompat, hendak berlari menuju tubuh Abah Ependi. Namun belum sempat tubuh kucing itu menyentuh tanah, Aswatama lekas menangkapnya. Langsung dipegang erat-erat di dada.

“Biadab!” Geram Aswatama tertahan seraya menyerahkan Ideung kembali kepada Kinaya. Mata Aswatama nyalak menatap sekeliling, satu persatu. Dari tubuh Abah yang lemah tak berdaya, lalu ke tiga tubuh yang Ambu yang diapit dua pemuda, hingga berhenti di dua orang lain yang berdiri tegap menyambut kedatangan Aswatama.

“Oh jadi ini si penjaga Anggaraksa yang sudah menumbangkan rekan-rekanku. Cih..” Seru Jaya sembari meludah ke samping, menggeser tubuhnya sedikit dan menutup arah pandang Aswatama terhadap tiga tubuh yang baru saja mencapai puncak birahi di belakangnya.

Dan Jaya pun langsung mengeluarkan belati dari belakang tubuhnya. Dipanaskan belati tersebut dengan Among Geninya.

Sejujurnya, ia agak gentar, sebab baru kali ini ia merasakan aura sekuat dan sepekat ini. Dan kabut energi ungu yang menyelimuti kaki Aswatama benar-benar membuat Jaya menelan ludah dengan berat. Energinya terasa asing, itu saja yang Jaya rasakan. Ia sudah pernah bertemu aneka macam pancaran energi, namun belum pernah bertemu dengan yang dibawa Aswatama ini.

Sedang Agus di sampingnya terlihat menatap nyalak, geram karena Among Geninya tak berhasil menyambar sasaran, padam begitu saja di udara.

“Kalian sudah keterlaluan! Huh.. kali ini saya tidak akan menahan diri lagi.” Sahut Aswatama dengan geram seraya maju selangkah di depan Kinaya, berdiri tepat di depan perempuan itu.

“A’.. Ambu A'.. hiks..” Kinaya menangis dengan lirih, mengadu pada Aswatama yang sudah mengepalkan keras-keras kepalan tangannya.

“Tutup mata kamu Kinaya..” Ucap Aswatama pelan.

“Tapi A..”

“Tolong Kinaya, tutup mata kamu..” Ujar Aswatama lagi dengan sedikit penekanan.

Membuat Kinaya akhirnya menurut dan segera menutup matanya dan memeluk Ideung dengan erat. Kinaya tahu, bahwa Aswatama akan melakukan sesuatu untuk menolong Ambu dan Abahnya.

“Jangan terlalu jumawa bangsat!” Ujar Jaya berusaha menutupi kegugupannya, bersamaan dengan itu ia melemparkan belatinya yang sudah memerah nyala, mengepulkan asap, dilemparkan dengan kencang ke arah Aswatama.

Setelah itu Jaya segera menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, memusatkan pikirannya. Dan bersamaan dengan itu, belati milik Jaya yang tengah meluncur itu langsung diselimuti nyala api. Meluncur bak anak panah di medan perang.

Dan api di belati itu pun dengan cepat berkobar, melebar bak disiram bensin, membentang bak sayap-sayap burung raksasa yang siap menyapu apa saja yang dilewatinya.
Dan Aswatama bisa memperhatikan dengan jelas pemandangan yang ada di depannya, tak terlewat barang sedetik pun, sebab di penglihatan Aswatama, semuanya bergerak lambat.

Hingga visual gerak lambat tersebut sekejap sirna ketika kepulan energi berwarna ungu yang menyelimuti kaki pemuda itu susut ke dalam dengan cepat, menghilang dalam sekejap.

Kemudian dengan cepat pula.. sebuah kepulan energi berwarna biru terang langsung keluar dari seluruh tubuh pemuda itu, menutupi keseluruhan tubuh Aswatama dari ujung rambut sampai telapak kakinya.
Dan hsnya dengan satu hentakan kaki, Aswatama melompat ke depan, menyambut kedatangan belati api tersebut. Lalu..

CESSSSSSSHHHHHH..

....
 
Terakhir diubah:
...

Aswatama menangkap belati tersebut dengan mudah, tak terpengaruh dengan kobaran api sama sekali. Bahkan setelah Aswatama berhasil menangkap belati tersebut, api yang berkobar di belati itu langsung padam dengan cepat, hanya menyisakan besi hitam yang berada dalam genggaman tangan Aswatama.
Melihat itu Jaya pun terkesiap, ia tak menyangka bahwa serangan pembuka yang ia kerahkan sepenuh tenaga dengan mudah diredam oleh sang penjaga tongkat. Selain itu ia juga terkejut sebab sang lawan di hadapannya ternyata menguasai energi biru yang amat kuat, energi khas orang-orang Lemah Kidul.

Jaya semakin merasa gugup, tak menyangka bahwa penjaga tongkat di hadapannya benar-benar seseorang yang perlu dan sangat harus ditakuti. Terlebih dari awal ia amat sadar, kekuatan kelompoknya berada satu level di bawah dua kelompok yang dikabarkan menghilang sebelumnya ketika mengejar Anggaraksa (dua kelompok penghadang yang ditemui Aswatama Sebelumnya).

“Dua energi berbeda? Bangsat!” Maki Jaya dalam hati.

Dan belum sempat ia bereaksi apa-apa, Aswatama langsung melemparkan belati hitam tersebut ke arah lain, meluncur dengan cepat dan deras. Hingga..

JRRREEEBBB...
CRAARRRTT...

“Orrrgghhh.. orrrgghhh..”

Belati tersebut langsung bersarang di leher Tono dengan telak, membuat leher pemuda yang baru saja menarik penisnya keluar dari vagina Ambu itu langsung memancarkan darah segar, menggelepar-gelepar dan jatuh ke samping.

“TONO!!” Raung Broto yang melihat dengan jelas ketika mata Tono membelalak, tercabut nyawanya dari badan.

“BANGSAT!!!!” Agus bereaksi paling awal, ia dengan tanpa sopan santun segera merebut puntung rokok di jemari sang pimpinannya, dan langsung berlari ke depan menyongsong Aswatama.

“Tunggu Gus!” Seru Jaya mencoba menahan Agus. Namun terlambat, Agus sudah berada beberapa langkah di depan.

Agus yang sudah terbakar amarah pun segera melemparkan puntung rokok menyala milik Jaya ke arah depan, lalu memusatkan energinya sejenak dan langsung menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, berusaha melakukan serangan yang sama untuk kedua kalinya.

Melihat itu Aswatama pun segera berlutut seraya menempelkan kedua telapak tangannya di tanah, matanya tajam menatap ke depan dengan bibir mulai melafalkan sesuatu yang tiada orang lain akan bisa mendengarnya.

Dan tepat ketika puntung rokok yang dilempar Agus memercikkan api, Aswatama segera mengalirkan tenaga dalamnya menyusup ke dalam tanah, mengalirkan kepulan-kepulan energi biru itu masuk ke sana. Terlihat sekali bahwa Aswatama sedang dalam konsentrasi yang amat tinggi.

Lalu...

WUURRRHHHH

Puntung rokok tersebut kembali mengobarkan api besara yang langsung menyusur udara menuju Aswatama.

“Alur laut..” Ucap Aswatama pelan menyelesaikan pelafalan kalimatnya. Dan di saat bersamaan juga dari dalam tanah, air tiba-tiba memancar dengan deras, langsung menangkup api tersebut dengan kubik air yang kian detik kian banyak. Membuat api yang dikobarkan Agus langsung padam tak bersisa.

Agus tercekat, langkahnya langsung terhenti ketika untuk kedua kalinya ia harus menerima bahwa serangannya dengan mudah diatasi oleh sang penjaga tongkat tersebut. Juga karena ia terkesiap mendapati gumpalan air sebesar drum melayang-layang di atas tanah.

Tanpa menunggu lama, Aswatama pun mendorong lengannya ke depan, bergerak dengan sangat lembut bak ombak di tengah teluk. Lalu..

BBUURRR..

Belum sempat Agus bereaksi lebih jauh, air yang berada dalam kendali Aswatama langsung menerjang tubuhnya dengan kencang. Bak ombak di tepi pantai yang menghantam karang. Agus pun terlempar ke belakang, melayang di udara melewati tubuh sang pimpinan yang masih tercekat.

BUMMM..

Tubuh Agus langsung jatuh berdebum dengan keras, berguling-guling dengan pakaian sudah basah sebasah-basahnya. Sementara air yang menerjang tubuhnya sudah kembali masuk ke dalam tanah. Agus pun merintih kesakitan, bukan sebab jatuhnya, melainkan karena kencangnya hantaman air membuat dadanya sesak bukan main.

“Sudah saya bilang, saya tidak akan menahan diri kali ini..” Gumam Aswatama sembari berdiri, bersamaan dengan itu.. bulir-bulir air pun keluar dari dalam tanah, membentuk bulatan-bulatan sempurna sebesar bola tenis, melayang-layang mengelilingi tubuh Aswatama dengan jumlah puluhan.
Sementara itu Aswatama masih menggumamkan kata-kata rapalan pelan dari bibirnya.

Melihat itu Jaya menelan ludahnya keras, tak menyangka bahwa sang penjaga tongkat yang mereka kejar adalah seorang Talang Drawa yang sangat mahir.

“Ja.. jangan sombong dulu bocah!” Seru Jaya geram bercampur gugup, ia pun segera mengambil ranting kering di dekatnya.

Digenggamnya erat-erat sembari mengalirkan anergi ke telapak tangannya, memanaskan ranting tersebut sampai mengeluarkan asap.

Setelah mengepulkan asap cukup banyak, Jaya melempar ranting itu pelan ke atas, kemudian mengarahkan telapak tangan kanannya ke ranting itu. Dan..

WUURRRHHH

Seketika api pun membumbung dari ranting tersebut, melahap habis ranting mungil itu sampai jadi abu. Kemudian Jaya mengarahkan juga telapak tangan kirinya ke api yang baru menyala itu, langsung membelah kobaran Api itu jadi dua. Di kanan dan kirinya.

“Aku bakal bikin banyu-banyumu itu menguap!” Seru Jaya lantang sembari menurunkan tangannya, membuat dua kobaran api sebesar ban truk di kedua sisi tubuhnya ikut terturun. Ia atur napasnya, berusaha mengejar ketenangan diri sendiri.

Aswatama tersenyum, ia masih bergumam sendiri dengan pelafalannya. Membuat Jaya sebal sendiri sebab ucapannya tak mendapatkan tanggapan. Dan tanpa pikir panjang, Jaya langsung menghentak tangannya ke depan, mengirimkan gumpalan-gumpalan api guna menyerang Aswatama.

WUSSHH..
WUSSHH..
WUSSHH..
WUSSHH..

“..karang banyu..” Ucap Aswatama sembari menggerakkan kedua tangannya ke depan, membuat puluhan bola-bola air sebesar bola tenis itu pun langsung melesat, menyambut kedatangan gumpalan-gumpalan api yang dikirim Jaya padanya.

CESSSHH.. CESSHH.. CESHH.. CESHH..

Satu persatu api yang datang pada Aswatama padam sebelum sempat mendekat. Teredam oleh sebagian bola-bola air yang dikirimkan Aswatama, sedang sebagian yang lainnya terus meluncur ke arah Jaya. Membuat lelaki itu segera berlarian cepat menghindari kejaran karang banyu milik Aswatama.

Jaya tahu, bola-bola air tersebut adalah karang banyu, salah satu kemampuan yang dimiliki seorang Talang Drawa. Di mana gumpalan air akan dialiri energi, yang mebuat molekul air dalam pengendalian talang drawa bisa dimanipulasi sesuka hati, dipadatkan atau pun diuraikan. Serta digerakan kemanapun si pengendali inginkan.

Dan Jaya tahu betul, sesakit apa jika sampai ia terkena sambaran air tersebut, akan lebih sakit dari apa yang dirasakan Agus yang saat ini bahkan belum mampu bangkit. Padahal air yang dihantamkan Aswatama bukanlah karang banyu, melainkan alur laut, dimana molekul airnya tidak sepadat karang banyu.

Dengan kaki gesitnya, Jaya terus berlari ke kanan dan ke kiri menghindari karang banyu tersebut, sembari berusaha terus meluncurkan serangan balasan. Namun tetap, api-api yang ia kirimkan selalu padam sebelum sampai ke sasaran. Membuat Jaya semakin kewalahan dan semakin terjepit saja rasanya.

Hingga tiba di satu moment, Jaya terpojok di bibir jurang, membuatnya reflek menghentikan gerakan. Hal tersebut langsung dimanfaatkan Aswatama, ia segera mengarahkan lima bola-bola airnya melingkari kepala Jaya. Membuat lelaki itu memucat, game over bagi Jaya jika saja Aswatama langsung meremukan kepala lelaki paruh baya tersebut.

“BERHENTI!! ATAU KU HABISI MEREKA BERDUA!!” Tiba-tiba Broto berteriak lantang, tubuhnya gemetaran dengan wajah dipenuhi cipratan darah dari rekannya yang sudah terbaring tak bernyawa.

Posisi Broto pun sudah tak lagi berada di bawah tubuh Ambu Asih, ia kini sudah berbalik menduduki perut perempuan paruh baya yang terkolek penuh cipratan darah tersebut.

Dan masih dengan tubuh telanjang bulatnya, Broto mengarahkan sebuah belati yang ia cabut dari leher Tono. Menggenggam erat gagang belati tersebut dengan tangan kirinya, dengan bagian tajam belati yang ia tempelkan di kulit leher Ambu Asih, siap menyayat urat leher perempuan paruh baya yang sudah pasrah akan nasib tragis yang dialaminya.

Sedang telapak tangan kanan Broto terbuka dan diarahkan ke Abah Ependi yang masih dalam posisi terikat dan tersumpal mulutnya. Tapi bukan itu saja, beberapa centi meter di depan telapak tangan Broto terdapat gumpalan api sebesar buah apel yang menyala, seolah siap dilemparkan ke arah yang dikehendaki Broto.

“Herrrggghb.. herrrggghhh..” Abah Ependi dengan mulut tersumpal meraung-raung teredam, air matanya berderai. Bukan sebab ia takut pada nyala api yang diarahkan padanya, bukan sama sekali. Melainkan ia takut jikalau belati di leher sang istri akan merenggut nyawa perempuan kecintaannya itu.

“Jangan.. tolong jangan.. hiks..” Dan Kinaya pun ikut bersuara, ia tak lagi menutup matanya seperti permintaan Aswatama. Perempuan muda itu sudah terduduk di tanah dengan tangis berderai, mendekap erat kucing hitam di pelukannya. Khawatir pada keselamatan kedua orangtuanya.

Dan Aswatama pun terpekur dalam, ia yang tadinya berniat langsung meremukan batok kepala Jaya pun terdiam, ia berhenti dan terpaku menatap lamat-lamat ke arah Broto, namun tanpa melepaskan fokusnya pada Jaya yang sudah dalam genggamannya.

“Hentikan talang drawamu itu, atau bakal kucabut nyawa mereka berdua.. huh.. huh..” Broto berucap dengan raut gusar, antara takut namun juga marah di saat bersamaan.

“Turunkan dulu among genimu, dan jauhkan belati itu dari lehernya!” Aswatama berucap dengan geram sembari menggerakkan tangan kirinya ke arah Agus yang mulai bangkit dari kesakitannya, membuat karang banyu lainnya keluar dari tanah di sekitar pemuda yang tadi terhantam alur laut itu, langsung berputar dan melayang-layang rapat di sekitar leher rekan dari Broto tersebut.

“Heppph..” Agus tercekat mendapati bola-bola air terbang mengitari lehernya, membuat pemuda itu segera mengangkat kedua tangannya, tak berusaha melawan lagi.

Aswatama sebenarnya bisa saja langsung menempatkan karang banyu-nya itu di sekitar tubuh Broto yang tengah menyandera Abah dan Ambu, atau bahkan bisa langsung menghantam tubuh pemuda telanjang itu, namun Aswatama tak mau mengambil resiko, sebab salah-salah.. Broto yang wajahnya dipenuhi cipratan darah tersebut akan hilang iendali dan langsung melepaskan api di telapak tangannya ke arah Abah Ependi.

Broto pun semakin diliputi ketakutan, matanya berpindah-pindah dari Aswatama, lalu ke Jaya, kemudian ke Agus. Broto benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ia sudah kehilangan Tono, dan ia tak siap jika harus kehilangan Agus dan Jaya sang pimpinan.

Bukan karena ia terlalu menyayangi kedua orang tersebut, namun karena ia sadar, jika kedua orang tersebut tewas seperti Tono, maka kesempatan baginya untuk lepas dari situasi membahayakan ini akan semakin kecil. Dan bukan tidak mungkin ia pun akan kehilangan nyawanya jika hanya menghadapi sang penjaga tongkat seorang diri.

“LE.. LEPASKAN DULU KANCA-KANCAKU!!”

Seru Broto dengan tangan gemetar, dan itu tanpa sadar telah membuat belatinya mulai menekan kulit leher Ambu Asih, mengiris kulit putih leher Ambu yang dihiasi bekas-bekas ciuman dan hisapan, membuat sedikit demi sedikit darah segar mulai keluar sedikit dari sana.

Ambu Asih meringis kesakitan dalam hati, perih di lehernya benar-benar terasa menyakitkan. Namun sang pemegang belati itu benar-benar tak menyadari bahwa ia mulai menekan belatinya sendiri.

“JAUHKAN BELATIMU DARI LEHERNYA!!!” Bentak Aswatama keras dan gahar, lantang menggema ke seluruh penjuru. Membuat Broto langsung tersadar dan langsung mengatur jarak belatinya.

Sedang seluruh orang yang mendengar teriakan Aswatama langsung dirundung ketakutan hebat, sebab suara Aswatama terdengar berat dan menggelegar. Juga karena kepulan energi ungu mulai menjalari kembali tubuh Aswatama.

Kali ini bukan hanya di bagian kaki, namun juga ke seluruh tubuhnya, tindih menindih dan jahit menjahit dengan kepulan energi biru yang sebelumnya sudah keluar.

Pancaran energi pun langsung menguar dengan deras dari tubuh Aswatama, bersamaan dengan itu angin mulai berhembus lebih kencang dari sebelumnya, membuat pohon-pohon bergoyang hebat.

Bahkan saking derasnya energi yang memancar dari tubuh Aswatama, membuat perlahan-lahan ikat kepala pemuda itu terangkat dan terlepas dari kepalanya, terbang entah kemana. Menampilkan pola menyala di kening pemuda itu dengan jelas, memancarkan sinar ungu dan biru bergantian.
Angin pun kian riuh berembus, langit yang tadinya cerah biru mulai diselimuti awan kelabu yang pekat, dengan suara guntur menggelegar di ketinggian.

Jaya, Broto dan Agus langsung memucat pasi, mereka dilanda ketakutan yang amat besar di dalam hati.

Hal yang sama dirasakan Kinaya, ia yang terduduk di tanah pun hanya bisa memeluk kucingnya erat-erat, rambutnya yang tergerai bergerak-gerak acak diterpa angin kencang.

Sedang Abah yang sedari tadi meraung-raung teredam, sudah terdiam keluh menatap langit yang jelas sekali mulai didatangi awan-awan pekat nan gelap. Dan Ambu.. perempuan itu hanya bisa menatap kosong langit di atasnya, ia sudah tak peduli lagi pada apa yang akan terjadi kepadanya.


*

Purantara beberapa saat sebelumnya..


POV REGAN


“Hhhooaaammss..”

Ah sialan.. kepalaku berat banget rasanya. Ini pasti gara-gara dicekokin TM sama Mansion gepeng semalem nih sama Om Damar. Tapi ngemeng-ngemeng, kok aku bangun-bangun ada di kamar? Siapa yang mindahin? Masa Om Damar?

Ah enggak urus lah..

Aku pun bangkit dari rebahku, kemudian duduk bersandar sambil memukul-mukul pelan kepalaku make telapak tangan, mencoba ngondisiin spaneng yang rada masih berasa.

Huh..

Dan setelah agak mendingan, aku pun beringsut ke pinggir ranjang. Lalu bangkit dan berjalan ke arah jendela kamarku yang posisinya udah kebuka lebar, jendela ini juga nih yang bikin aku mau enggak mau kudu bangun, silaunya jatoh tepat di muka coy..
Kuhela napasku dalam-dalam, kupegang pembatas jendela tersebut sembari menatap langit cerah yang membiru tanpa awan. Angin sepoi-sepoi langsung membelai wajahku.

Anjay membelai.. rada puitis tuh kata-kata..

Aku pun mencondongkan kepalaku ke luar, menatap ke arah halaman depan, dan langsung mendapati Bogi yang tengah berlari-larian mengitari Kepin, nyoba ngajak main kayanya. Cuman Si Kepin mah tetep aja begitu, kaya enggak ada semangat hidup, rebahan mulu.

“BOGI!” Seruku lantang, membuat Bogi dan Kepin langsung menoleh. Dan tanpa menunggu perintah lanjutan, Bogi langsung berlari dengan semangat, meninggalkan Kepin yang masih santai di posisi wuenaknya.

“AUGH.. AUGGHH.. AUGHH..” Gonggong Bogi sembari melompat-lompat di depan jendela, tubuhnya yang gempal tersebut terlihat mengkilat diterpa cahaya matahari.

“Udah makan belom?” Tanyaku sembari merendahkan tubuh, mengelus kepala Bogi yang kini sudah menaikan kakinya ke pembatas jendela kamarku.

“OUGH!! Heh.. heh.. heh..” Sahut Bogi terlihat riang, menandakan kalau ia udah dalam mode perut yang terisi.

“Pasti Teh Arum ya yang kasih kamu makan? Maaf ya aku baru bangun soalnya..” Ujarku lagi mengajak Bogi bicara, bersamaan itu kuberikan garukan-garukan lembut di bawah dagu anjing kesayanganku ini.

“OUGGH!! OUGGGHH!!” Sahut Bogi dengan kepala menggeleng pelan, aku pun mengernyitkan dahi.

“Terus siapa yang kasih kamu makan?” Gumamku bingung.

“AUGGHH...” Gonggong Bogi sembari memiringkan kepalanya, menatap ke arah belakangku. Aku pun mengikuti apa yang Bogi lakukan, menoleh ke belakang.

Dan betapa terkejut dan bingungnya aku ketika di ambang pintu kamarku udah ada Hani yang lagi berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Wajahnya datar-datar saja menatapku.


Indah-Permatasari-1.jpg

Maharani Sukma

“Lah.. lu ngapa bisa ada di marih?” Tanyaku spontan.

“Emang kenapa? Enggak boleh gue kesini? Oke fine.. bye!” Sahut Hani entengnya seraya berlalu, pergi gitu aja.

Tuh manusia kenapa dah?

“Ouugghh.. ouugghh..” Bogi kembali menggonggong, kali ini terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Aku pun kembali menatap anjingku ini.

“Hani yang ngasih makan kamu?” Tanyaku penasaran.

“Heh.. heh.. heh..” Bogi menyahutiku hanya dengan juluran lidah dan senyumannya yang ngegemesin itu. Membuat aku manggut-manggut.

“Yaudah.. sana main sama Kepin lagi.. aku mau mandi dulu..” Perintahku pada Bogi, dan dia pun memberikan gonggongan tanda mengerti, langsung berlari dengan riang kembali ke halaman depan.

Setelah kepergian Bogi, aku pun segera menyambar handuk dan keluar kamar, mau mandi lah biar segeran dikit. Sembari bersiul-siul aku pun berjalan ke arah belakang, dan begitu sampai di dapur, aku melihat Teh Arum sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam gelas.

“Pagi Teh..” Sapaku pada Teh Arum.
“Eh kamu udah bangun Nggan.. kirain aku kamu bakal nerus tidurnya sampe sore..” Jawab Teh Arum mengangkat pandangannya.

Aku hanya membalas ucapan Teh Arum dengan senyuman, bersamaan dengan itu kulirik jam dinding yang menunjukkan angka 08.33, masih pagi jugaan.. masa mikir aku bakal nerus tidur sampe sore? Emang segitu kebonya apa aku ini?


“Bikin apa, Teh?” Tanyaku penasaran seraya mendekat padanya. Padahal aku sih tau, dari aromanya.. ini mah kopi hitam.

“Bikin kopi..” Jawab Teh Arum.

“Tumben..” Ucapku pendek.

“Hehehe iya.. kamu mau aku bikinin juga?” Tanya Teh Arum dengan senyuman manisnya. Yang entah kenapa, pagi ini terasa lebih manis dari biasanya. Kaya lebih berseri gitu wajahnya Teh Arum.

“Enggak Teh makasih.. oh iya, Om Damar udah pulang kan Teh?” Tanyaku sembari mencomot potongan pisang goreng yang tersaji di atas piring, langsung mencaploknya sekaligus.

“Kamu ngusir aku, hah?”

“UHUK..”

Sialan..

Aku pun segera berjalan ke arah kulkas, mengabaikan pemilik suara berat nan menyeramkan yang tiba-tiba muncul di pintu halaman belakang, lengkap dengan kepulan asap bentoel birunya.

Langsung kuteguk air dingin guna meredam rasa tersedakku. Dengan mata sesekali melirik Om Damar yang sudah berjalan masuk ke dapur.

“Makanya.. rokokmu itu dikurangin, ndak baik buat kesehatan..” Ujar Om Damar santai sembari mengembuskan asap rokoknya ke langit-langit, bersamaan itu ia pun langsung menerima gelas pemberian Teh Arum yang berisi kopi hitam.

Kampret ya.. Aku kan batuk gara-gara kaget, bukan karena kebanyakan ngerokok. Ituloh dia nasehatin buat jangan banyak ngerokok, tapi sendirinya lagi ngelepus. Kan biadab itu namanya.

“Kenapa kamu ngeliatin aku kaya gitu? Ndak seneng aku tidur di sini?” Tanyanya lagi ketika aku tengah mengusap-usap dadaku, sudah selesai meredakan ketersedakanku.

“Eng.. enggak Om.. seneng kok.. seneng banget malahan.. he he he..” Jawabku tergagap sendiri.

“Oh kirain kamu keberatan aku tidur di sini, soalnya nanti malem mungkin aku bakal tidur di sini lagi, jadi kalau kamu emang keberatan ya kamu tinggal tidur aja di rumah temenmu nanti..” Sahut Om Damar santai seraya menyeruput kopinya, ngegatelin sih emang omongannya Omku ini, tapi ya mau gimana lagi, mau ditinju aku kalau berani-berani nyahutin.

“Hehehe enggak kok Om, yaudah kalau gitu Nggan mandi dulu ya Om..” Ucapku dengan senyum lebar yang amat palsu.

“Hhhmm..” Sahut Om Damar memberikan anggukan kepala, tanpa ekspresi wajah sama sekali, berbeda dengan Teh Arum yang tersenyum ke arahku.

Huh.. bahaya kalau lama-lama berhadapan dengan Om Damar, bisa kena punch lagi salah-salah.

Dari itu aku pun memutuskan langsung masuk ke kamar mandi, kututup pintu kamar mandi rapat-rapat dan kukunci dengan pasti. Setelah itu kunyalakan shower dan keran air bersamaan, berusaha membisingkan kamar mandi ini, biar kalau Om Damar ngajak ngobrol.. aku bisa pura-pura enggak denger hehehe..


Setelah menelanjangi tubuh, aku pun langsung berdiri di bawah shower sambil menyabuni tubuhku, sesekali bersiul santai, berusaha melepaskan kepenatan yang ada di kepalaku. Dan entah kenapa, ketika aku tengah keramas, kepalaku langsung menampilkan pemikiran tentang Budeh Sekar. Membuat Si Marco bangkit perlahan.

Bajilak.. baru kemarenan juga mantap-mantap dan kelonan, masa sekarang udah kangen lagi? Aseeemm hahaha..

Tapi emang sih, aku mendadak kangen sama Budeh Sekar. Pengen banget liat senyumnya lagi. Pengen banget meluk dia lagi. Pengen banget genjot Budeh lagi hahaha.. nantilah aku main lagi ke tempat Budeh, nengokin memeknya yang aduhai menggairahkan itu wkwkwk

Setelah selesai membilas seluruh tubuh, aku mengeringkan tubuhku sejenak, setelah itu baru aku melilitkan handuk di pinggang. Dan sebelum aku keluar kamar mandi, aku pun berdiri sejenak, mengamati kondisi di luar sana dengan telingaku yang enggak tajem-tajem banget, menerka apakah Om Damar masih ada di dapur apa enggak. Soalnya aku rada ngeri aja kalau berhadapan dengan dia, bukannya enggak suka ya, ngeri doang.

Dan setelah memastikan kondisi aman, aku segera membuka pintu dan berjalan cepat ke kamarku. Aku sempet denger suara di halaman belakang, kayanya Om Damar lagi ngobrol sama Teh Arum di saung. Kesempatan emas buatku kabur hehehe..

Begitu masuk kamar langsung kukunci saja. Biar aman total.

Tanpa menutup jendela, aku pun dengan santai mengenakan pakaianku. Hhmm.. kira-kira enaknya kemana ya? Mau ke tempat Budeh Sekar langsung, masih pagi. Budeh pasti lagi sibuk nyiapin soto. Mau ngobrol sama Teh Arum, ada Om Damar, digangguin pasti. Mau ke tempat Wawi, aku enggak yakin kalau dia udah bangun.

Huh.. ngapain ya? Malahan BB-ku si davis belom dianter-anter juga. Coba kalau udah, aku kan bisa berkabar dulu kalau pengen kemana-mana.

Dahlah.. mending maen sama Bogi aja di luar, enak.. enggak banyak omong wuehehe..
Langsung kusambar bungkus rokok dan korek yang tergeletak di meja belajarku, kemudian kedua barang itu pun kumasukan ke saku celana training yang kukenakan.

Dan dengan beramunisikan celana training serta kaus oblong aku pun keluar kamar, dengan hawa yang lebih segar dan dengan semangat yang lebih berkobar. Tak sabar menunggu waktu sampai sore tiba supaya bisa ngapel ke tempat Budeh Sekar, asik-asik mantap..

Tapi sesampainya di ruang tengah, langkahku langsung terhenti ketika mendapati Hani sedang rebahan santai di sofa, sambil nonton film yang diputer di dvd.

Lah aku kira udah cabut dia.. tadi kan katanya “oke fine.. bye!”, eh tapi kok masih ngejogrok di sini? Aku pun mengurungkan niatku bermain dengan Bogi, berjalan mendekati Hani.

“Gua kira udah balik lu..” Sapaku sambil duduk di pegangan sofa, tepat di kaki Hani. Ia hanya melirikku sebentar, kemudian fokus kembali ke film yang tengah ditontonnya.

“Tanggung, dikit lagi selesai filmnya..” Jawabnya ketus. Membuatku mengerutkan dahi. Bingung sendiri.

“Film apaan sih?” Tanyaku dengan manta menatap ke layar televisi.

“A moment to remember..” Jawab Hani penfek dan jutek. Aku mengernyitkan dahi, kayanya aku pernah liat nih film. Emang di buku kaset CD ada film yang dulunya itu, tapi aku sih enggak pernah nonton, soalnya film lama korea, belum tertarik. Walaupun kata Ibu itu film bagus (iya itu koleksi filmnya Ibu).

“Geser dong..” Ucapku sambil menurunkan tubuh, berpindah duduk ke sofa yang ditiduri Hani, dan ia pun langsung menekuk kakinya, tanpa mengubah posisinya sama sekali.

Aku menatapi Hani sejenak, terlihat raut juteknya itu sedikit muram, menahan kesedihan, mungkin karena terlalu menghayati filmnya kali. Tapi walaupun begitu dia tetep cantik kok, tetep gemesin.

Dan cukup dengan melihat wajah itu, sudah berhasil membuat hatiku diterpa angin perbukitan yang kencang. Teringat kembali senyum riang Hani ketika naik ke boncengan motor vixion kemarin, membuat kecemburuan yang sempat tak lagi kupikirkan menyeruak ke angkasa raya.

Namun di saat bersamaan pula, aku langsung teringat perkataan Wawi bahwa Hanilah yang telah merawatku di uks kemarin. Terbayang wajah khawatirnya ketika merawatku, dan itu sudah cukup untuk mengentaskan kecemburuanku. Meredam setitik emosi di kepalaku.

“Han..” Panggilku pendek sembari menempatkan telapak tangan kiriku di betis putihnya.

“Hhmm?” Jawab Hani tanpa mengalihkan pandangnya. Aku menghela napasku sejenak, ingin rasanya aku mengajak bicara Hani perihal ini, tapi melihat Hani yang tengah khusyuk menyaksikan film membuatku mengurungkan niat.

“Entar aja deh..” Ucapku seraya berdiri dan melangkah meninggalkan Hani.

Berjalan ke luar rumah untuk sekedar mencari udara segar. Aku menyapu pandang ke halaman, kembali mendapati Bogi yang tengaj bermain bola dengan Kepin. Atau tepatnya, Bogi yang berlarian menggigit bola untuk diberikan pada Kepin, namun setelah itu oleh Kepin bola tersebut digelindingkan jauh, membuat Bogi mengejar bola itu lagi, dan memberikannya pada Kepin, digelindingkan lagi oleh kucing tersebut dengan malas, dan dikejar lagi oleh Bogi.

Begitu seterusnya entah sampai kapan.
Kemudian aku mengarahkan langkahku ke tepian teras rumah, duduk di sana sambil menatap kebodohan Bogi yang jadi mainan empuk buat Kepin. Kukeluarkan sebatang rokokku, dan kusulut dengan santai.

Kuembuskan tinggi-tinggi asapnya ke udara, mencoba mencari ketenangan dari inci-inci tembakau yang berada di jepitan jemariku.
Huhh.. gak ada obat emang garpit ini.. pedes-pedes tipisnya selalu berhasil menghangatkan rongga dadaku..

Hingga di hisapan ke sekian, tiba-tiba Hani duduk di sampingku sembari menyodorkan gelas berisikan teh hangat kepadaku. Ia melakukan itu dengan mata diarahkan ke Bogi yang sedang dipermainkan oleh Kepin. Aku pun menerima gelas tersebut dan langsung meneguknya sedikit, kemudian kuletakkan gelas tersebut di sampingku. Kembali menikmati hisapan garpitku.

“Dah kelar filmnya?” Tanyaku berbasa-basi.

“Belom..” Jawab Hani pendek.

“Terus ngapain lu di sini? Sono kelarin..” Ucapku sembari mengembuskan asap tembakauku ke udara.

“Emang kenapa sih? Lo enggak suka gue duduk di sini?” Tanya Hani sembari menolehkan wajahnya padaku.

“Ya enggak gitu juga..” Tukasku sembari menghela napas dalam, bingung dengan Hani yang bawaannya jutek banget.

Lalu hening..

Kuputar-putar sejenak batang rokokku yang sudah setengah jalan itu, kemudian kutatap Hani yang sudah memugar senyum kecil ke arah Bogi, dan senyum itu benar-benar membuatku tak bisa untuk tidak tersenyum. Menyenangkan hatiku selalu.

“Makasih ye Han..” Ucapku pendek dengan mata tetap memandangi wajah Hani. Ia menoleh, balas menatapku dengan senyum yang kembali dihilangkan.

“Buat?” Tanya Hani dengan alis tertaut.

“Buat kemaren..” Jawabku pendek.

“Emang gue ngapain?” Tanya Hani acuh sembari membuang pandangnya lagi.

“Makasih karena udah ngobatin luka gua, makasih juga karena elu enggak bangunin gua.” Jawabku dengan tetap menatap wajah Hani, terlihat sekelibat senyum kecil ketika aku mengatakan itu, namun sekelibat saja, karena setelah itu ya balik lagi kaya biasa.

“Dasarnya emang lo Kebo, jadi mau gue apain juga lo gak bakal bangun pasti.” Jawabnya santai. Aku tersenyum kecil.

“Ya pokoknya makasih Han..” Sahutku sembari menyeruput lagi teh buatan Hani.

“Hhhmm..” Jawabnya seraya menganggukkan kepala kecil.

“Hhhmm.. gua boleh nanya sesuatu enggak Han?” Tanyaku ragu-ragu, terpikirkan tentang si pengendara Vixion yang menjemput Hani kemarin.

“Nanya aja..” Jawabnya pendek.

Aku menghela napasku dalam-dalam, menguatkan hatiku untuk menanyakan hal ini kepada Hani. Karena bagaimana kalau nanti dia bilang tuh cowok gebetannya dia? Atau malah lebih parah, itu pacarnya dia. Apa enggak nyelekit nanti? Tapi ya enggak ditanya juga gimana, ngeganjel banget soalnya.

Fyuhh..

“Lo kemaren kemana Han?” Tanyaku pendek, deg-degan nya panjang.

“Enggak kemana-mana.. di rumah doang..” Jawab Hani acuh tanpa menatapku.

“Maksud gua pulang sekolah kemaren lo kemana..” Tukasku lagi mempertegas pertanyaanku.

“Enggak kemana-mana, pulanglah..” Jawabnya pendek.

Fyuhh.. kayanya emang harus to the point nih..

“Maksud gua.. pulang sekolah kemaren lu dijemput siapa? Terus abis itu kemana?” Tanyaku dengan jelas, dan saat itu juga Hani langsung menolehkan wajahnya ke arahku, memandangku dengan alis ditautkan erat-erat.

“Penting banget emang buat lo?” Tanya Hani, membuatku diam sejenak, namun pada akhirnya memberikan angkatan bahu.

“Ya enggak sih.. pengen tau aja..” Jawabku mencoba menutupi kejujuran hati. Terlihat Hani menghela napasnya agak dalam.

“Udahlah gak usah dibahas, gak penting juga kan buat lo?” Ucap Hani pelan sembari membuang pandangnya lagi.

Alah sial.. masa iya aku harus bilang kalau aku cemburu? Kalau penting banget buatku tau itu siapa, buat ngeredam rasa camburuku ini. Lah tapi itu sama aja aku menjatuhkan harga diriku sebagai seorang laki-laki di depan Hani kan?

Emohlah aku..

“Lu kesini ngapain Han? Ada perlu ama gua apa gimana?” Tanyaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan, maleslah ngelanjutin penyelidikan tadi, Hani-nya ngeselin.

“Emang salah ya kalo gue jenguk sahabat gue sendiri?” Tanya Hani kini sudah memutar tubuhnya ke arahku, membuat aku sedikitpun gelagapan karena respon Hani di luar dugaanku.

“Ya.. emang penting banget apa gua buat lu?” Tanyaku asal mencoba menyembunyikan kegugupanku sendiri.

Dan kayanya.. ini kayanya ya.. belom pasti banget. Kayanya pemilihan kalimatku salah deh. Soalnya mukanya Hani langsung sedih, bahkan pas aku lirik telapak tangannya.. dia malah lagi terkepal gitu.

Masa iya dia mao nampol aku? Masa abis dirawat-rawat mao langsung dibonyokin lagi? Yang kemaren aja belom hilang bener padahal.
Kemudian tanpa kata-kata lagi Hani langsung berdiri, dan berjalan masuk, meninggalkanku begitu saja.

Tuh kan.. salah lagi aku pasti.

“Han..” Panggilku sambil ikut berdiri dan menyusulnya ke dalam. Terlihat Hani sedang mengemas handphonenya ke dalam tas slempang adat yang tengah ngetrend. Langsung dijinjing dan berjalan kembali ke arahku yang baru saja melewati pintu.

“Han.. Han.. lu mao kemana sih?” Tanyaku seraya menahan bahunya, menghentikan langkahnya yang hendak pergi.

“Awas Nggan.. gue mau pulang..” Balas Hani sembari menggeser tubuhnya ke samping, aku segera melakukan hal yang sama, menutup jalannya.

“Lu kenapa sih Han? Kayanya sekarang gua salah mulu di mata lu.” Ujarku sembari merapatkan tubuh, tak memberi celah untuk Hani mengelak.

Dan ia pun menatapku dengan tatapan yang.. ah sialan.. tatapan marah sedihnya ini bikin aku keblinger coy. Raut mukanya marah, tapi kelopak matanya memerah dengan bening air mata yang samar-samar membening di dalam bola matanya.

“Gue kesini pagi-pagi dan lo masih nanya sepenting apa lo buat gue?” Hani berucap tanpa memedulikan pertanyaanku sebelumnya. Bola matanya semakin mengkilap sebab tampungan air mata yang siap turun.

Sialanlah.. perkara kata-kata tadi aja sampe bikin dia tersungging kaya gini.

“Lu enggak fair Han..” Gumamku balas menatapnya dengan wajah semakin kudekatkan. Hani terdiam keluh, matanya masih menatap nyalak ke bola mataku.

“Lu masalahin pertanyaan gua tentang sepenting apa gua buat lu, tapi lu sendiri nanya hal yang sama ke gua..” Ucapku lagi menyambung kata-kataku sebelumnya. Hani terdiam sejenak, sebelum akhirnya membuang pandang dan menggeser tubuhnya, mencoba melewatiku. Namun aku kembali menutup jalannya, membuat ia kembali terhenti.

“Awas Nggan gue mau pulang!” Gertak Hani sembari mendorong-dorong pelan dadaku.

“Lu enggak fair Han. Lu tau alesan kenapa gua nanya tentang cowok yang jemput lu kemaren, dan lu masih nanya sepenting apa itu buat gua?” Ku lafalkan kalimat tersebut dengan urat leher yang sedikit menegang. Hani terdiam keluh, raut wajahnya mulai melunak.

“Iya itu penting buat gua.. iya gua cemburu ngeliat lu dijemput cowok laen.. puas Han?” Tanyaku lagi namun tetap berusaha tidak meninggikan suaraku. Terlihat setetes air mata turun di pipi Hani, bersama getar yang tertahan di bibir merah mudanya.

“Terus lo pikir lo doang yang cemburu Nggan? Sekarang apa kabar gue yang ngeliat lo boncengin cewek laen di depan mata gue sendiri? Lo manis-manisan dengan santainya, lo pegang tangan dia, lo elus kepalanya, dan semua itu lo lakuin tepat di depan mata gue! Lo yang gak fair Nggan.. Elo yang enggak..”

HUPPHH..

Tanpa pikir panjang aku langsung merengkuh tubuh Hani ke dalam pelukanku, kupeluk dengan erat punggungnya seraya menahan gejolak di dalam hatiku atas semua perkataan Hani.

Ya.. aku tersadar, bahwa bagaimana aku bisa mempermasalahkan ia yang dijemput cowok lain sedangkan aku sendiri melakukan hal yang sama kepadanya?

Bahkan mungkin bisa dibilang aku jauh lebih parah, sebab membawa Dira ke hadapan Hani waktu di warkop Bang Jali waktu itu, yang bikin Hani cabut gitu aja naik taksi.

“Lo yang enggak fair Nggan.. lo yang enggak fair hiks..” Ucap Hani yang sudah menangis dalam pelukanku, wajahnya ia tenggelamkan di dadaku, lengannya memeluk punggungku dan bahunya berguncang kecil.

Sialan.. aku yang tadinya merasa teraniaya karena kejutekan Hani beberapa hari belakangan, malah sekarang ngerasa jadi orang yang telah menganiaya. Bapet emang aku ini.

“Han.. udah.. jangan nangis ngapa..” Ucapku mencoba menenangkan Hani yang kian terisak.

“Elo yang enggak fair Nggan.. hiks..”
Duhileh.. bukannya tenang malah makin tersedu-sedu lagi. Duh Gusti.. gimana ini..

“Iya iya.. gua minta maaf Han.. udah jangan nangis lagi.. gua enggak jago ngediemin cewek nangis soalnya.. tapi pokoknya gua minta maaf sama lu ya..” Aku berkata sembari mengelusi rambut Hani yang tergerai di punggungnya, kurasakan pelukan Hani mengerat, bersamaan dengan ia yang coba meredam tangisannya sekuat tenaga.

“Hikss... Hiks..” Lirih.. lirih banget coy isak tangis Hani, sialan.. bikin hatiku krisik-krisik sendiri ini.

“Udah ngapa Han.. jangan nangis terus.. gua jadi ngerasa jahat bangat ini sumpah.. gua jadi pengen nangis juga ini.. tapi gua malu..” Tukasku yang makin bingung karena Hani nangisnya belom kelar-kelar juga.

“Bebel!” Ucap Hani masih dalam posisinya yang memelukku, tanpa mengangkat wajah.
“Iya Han gua bebel.. makanya gua suka enggak mikir kalo ngapa-ngapain. Maapin gua tapi ya..” Sahutku terus mengelusi punggungnya.

“Dasar bebel!” Ucap Hani lebih seperti terdengar memakiku, kurasakan rengkuhannya mulai mengendur, dan tangisannya juga udah enggak sedalem tadi. Mungkin gara-gara maki aku jadi berkurang bebannya, mungkin ya.

“Iyaudah gua bebel.. gua ngaku.. tapi maapin gua ngapa Han..” Pintaku seraya ikut mengendurkan pelukanku, menarik tubuhku sedikit berusaha mencuri pandang ke arah wajah Hani yang ternyata sudah basah oleh air matanya sendiri.

“Maapin gua ya Han.. ya ya ya.. maapin gua..” Ujarku sembari mengarahkan kedua tanganku ke pipinya, mengusap lembut bekas basah di sana, sembari berusaha mengangkat wajah Hani biar enggak nunduk ke bawah.

Dan akhirnya mata kami pun kembali beradu, kembali saling memandang, kembali saling mengikat. Aku pasang raut paling bersalahku kepadanya sembari terus memberikan elusan lembut di pipinya.

“Maapin gua ya.. please..” Ucapku lirih dan hati-hati, biar enggak salah-salah pilih kata lagi.

“Gedek gue ama lo!” Hardik Hani dengan sisa sesenggukannya.

“Iya gua tahu.. makanya kan gua minta maap..” Sahutku masih dengan raut bersalahku. Hani memajukan bibirnya, menampilkan wajah cemberutnya yang ngegemesin banget.

“Lo tuh bisa enggak sih baikin cewek pake cara yang romantis dikit.. gedek gue, bebel banget sih jadi cowok isshh!” Ucap Hani dengan raut geregetan dan kepalan tangan yamg dipukul-pukulkan pelan ke dadaku.

Dan aku membiarkan dia melakukan apa saja, mao dipukulinnya lama juga bodoamat, yang penting dia jangan nangis lagi dah. Bingung aku soalnya kalau ngadepin cewek yang nangis. Susah sumpah.. masih mending ngadepin Bogi atau Kepin asli.

“Bebel! Bebel! Bebel! Bebbeeeeel! Isshh..” Hani memperkeras pukulannya kemudian langsung menubruk tubuhku lagi, kembali memelukku dengan kedua lengan menyusup di bawah ketiakku dan naik ke atas, langsung menempatkan kedua telapak tangannya di bahuku, menenggelamkan wajahnya di dadaku namun kali ini tanpa tangisan lagi.

Aku tersenyum kecil, kemudian aku membalas pelukannya dengan cara kurengkuh pinggangnya, kurapatkan tubuhnya dan kukecupi lembut rambutnya. Untuk beberapa saat kami diam dalam posisi tersebut, saling menyalurkan hangat dan mencari ketenangan diri.

Beberapa kali Hani mendusel-duselkan wajahnya di dadaku, menjadikan kaos bagian depanku sebagai tissue bagi basah air mata di ranah wajahnya. Tapi tak apa, aku tak mempermasalahkan itu sama sekali.

“Ini berarti gua dimaapin kan ya?” Tanyaku pendek, membuat Hani langsung mengangkat wajahnya, menautkan tatapan kami jadi satu. Kupulas senyum hati-hati yang sedikit kaku padanya.

“Maafin gue juga tapi..” Rengek Hani dengan raut muram.

“Maaf buat apaan emang?” Tanyaku bingung.

“Maaf karena gue malah ngindar waktu lo ke rumah..” Ujar Hani dengan raut sedih, membuatku teringat ketika aku ke rumahnya tapi Cuma ditemuin sama Mamahnya doang, dianya pura-pura tidur.

Tapi yasudahlah, toh sudah lewat juga. Dan yang terpenting.. karena hal tersebut aku kan malah dapet anugerah besar.

Ituloh.. mantap-mantap sama Budeh Sekar. Lah coba kalau waktu itu Hani nemuin aku, terus aku enggak magabut ke tempat Budeh Sekar, enggak bakalannya aku bisa ganti oli sambil kelon sama Budeh Sekar yang aduhai nikmat dan memabukan itu. Uehehehe..

“Nggan ih.. malah bengong, lo masih marah ya?” Tanya Hani sembari menghentakkan kakinya, membuatku tersadar dari lamunanku.

“Enggak kok.. udah lewat juga, lagian lu enggak perlu minta maaf kali, orang pas gua kesitu kan lu udah tidur..” Ucapku santai namun malah makin bikin mukanya Hani cemberut.

“Lu ngeledek gue ya? Isshh..”

“Awww aduh aduh.. ampun Han.. iya iya iya.. ampun..”

Aku memelintirkan tubuhku ke samping sebab Hani tiba-tiba menyarangkan cubitan yang aduhaii.. pedes banget rasaya.

Ini konsepnya gimana sih? Ini kok ujung-ujungnya pasti aku yang kena. Sialan nih TS kampret. Padahal kan di sini Hani lagi minta maaf, tapi tetep aja aku enggak punya power sama sekali. Bajingan kau Aarrrggg..

“Yaudah jadinya gue dimaafin apa enggak?” Tanya Hani sambil terus memelintir cubitannya, membuat rasa sakitnya makin enggak karuan.

“Iya iya iya.. gua maafin iya..” Ucapku panik, dan bersamaan itu langsung saja Hani melepas cubitannya.

Kemudian dengan santainya seperti tak terjadi apa-apa ia melingkarkan kedua lengannya di leherku, menjinjitkan kakinya dan langsung mengecup pipiku tanpa permisi, setelah itu ia memugar senyum manis yang langsung meredakan sakit di bekas cubitannya tadi.

“Makasih Nggan..” Ucapnya lembuuuuuuuuuutt sekali, dengan senyumnya yang beuh.. maniiiiiiiis sekali. Bikin aku gemes-gemes bingung sendiri jadinya.

“Gantian boleh?” Tanyaku sembari memonyongkan bibirku padanya, yang oleh Hani langsung direspon dengan gelengan kepala.

“Dikit aja..” Pintaku lagi sambil menggerak-gerakkan alisku.

“Hm.. hm..” Jawab Hani kembali menggelengkan kepalanya.

“Please?” Ucapku lirih banget, berharap Hani memperbolehkanku menciumnya.

“Hhhmm.. enggak!” Sahut Hani seraya melepaskan rangkulannya di leherku dan berbalik badan, hendak berjalan ke sofa, namun lekas saja kutahan tangannya dan kutarik agar kembali kepadaku yang masih berdiri di sini.

Tubuh Hani pun terputar kembali padaku, langsung kurengkuh pinggangnya, dan kurendahkan tubuhku. Lalu..

CUPPP..

Bibirku pun akhirnya berhasil bersua dengan bibir lembut milik Hani, kupagut lembut-lembut bibirnya seraya terus kurapatkan tubuhnya ke tubuhku. Mataku pun kini sudah terpejam sepenuhnya.

Dan seolah mengingkari kata-kata penolakannya tadi, Hani membalas pagutanku dengan tak kalah mesra, kurasakan kedua lengannya kembali melingkar di leherku, menarikku untuk lebih merunduk dalam memagut bibirnya.

“Hhhmmm..”
“Hhhhmm..”

Tak ada kata-kata di antara kami, hanya lumatan demi lumatan dengan sesekali pertemuan lidah yang terjadi, tubuh kami kini sudah sepenuhnya menempel, dengan kedua tanganku yang kian merengkuh pinggangnya, mengelusi di sana.

MUAACHHH..

Pagutan bibir kami pun terlepas, mataku pun perlahan-lahan terbuka, dan mendapati tatapan sayu Hani yang bibirnya masih setengah terbuka, sedikit terengah.

“Gua say..”

“Sssttt..”

Hani dengan cepat menempatkan jemarinya di bibirku, senyumnya mengembang, dibelai-belainya lembut bibir bagian bawahku. Ditatapnya dalam-dalam mataku, kemudian dijinjitkan kembali kakinya, mengecup lembut bibirku dengan mesra.

Sedang aku hanya diam.. mengapa selalu seperti ini? Mengapa tiap kali aku mengajaknya melangkah jauh selalu saja seperti ini?

“Makasih Nggan..” Ujar Hani sembari menempatkan kepalanya di dadaku. Satu lengannya yang berada di leher pun turun dan mengarah ke punggungku, sedang tangannya yang lain menyelinap dari bawah lenganku, menjalari punggungku, memelukku dengan begitu hangat.

Aku masih terdiam, sampai akhirnya aku putuskan membalas pelukan gadis yang tak kunjung menjadi gadisku ini. Kudekap erat-erat tubuhnya, sembari kubenamkan wajahku di hitam dan legam rambut milik gadis bernama Maharani Sukma ini.

Kami berpelukan lama sekali, saling meresapi perasaan kami masing-masing. Aku dengan perasaan lirihku sebab kembali tertolak oleh Hani, dan Hani dengan perasaannya yang entah bagaimana kepadaku.

Sesak sekali.. sungguh..
Sesak yang berkali-kali selalu terjadi.

DUUAARRRRRR...

“AAA!!” Hani berteriak kencang seraya mengeratkan pelukannya kepadaku tatkala suara guntur terdengar menggelegar keras dan dekat sekali rasanya. Membuat aku pun kaget di saat bersamaan. Cuma ya aku enggak selebay Hani yang sampe teriak.

“Geledek doangan juga..” Ucapku menenangkan Hani, meski sebenarnya aku juga bingung. Perasaan tadi cerah-cerah aja, kok tiba-tiba bisa ads petir sekenceng itu ya.

“Kaget doang jugaan..” Ucap Hani sembari melepaskan pelukannya, menarik tubuhnya dari tubuhku segera merapihkan rambutnya.
Sedang aku hanya tersenyum, dengan jahil justru ku acak-acak rambut bagian depan Hani, sembari mataku menatap ke jendela dimana halaman rumah memang sudah menggelap.

Kok tiba-tiba banget sih mendungnya?

“Nggan ih.. berantakan nih..” Ucap Hani manja sambil memundurkan langkah, sibuk merapihkan rambutnya.

Dan bersamaan dengan itu Teh Arum dan Om Damar yang muncul dari arah belakang. Wajah mereka serius sekali dengan tatapan mata di arahkan ke pintu rumah. Sampai tiba-tiba kilatan cahaya kembali datang, membuat Hani segera kembali memelukku.

DUUUAAARRR

Kembali bunyi guntur terdengar menggelegar, bersamaan dengan itu Bogi dan Kepin berlari masuk dengan paniknya, rusuh dan heboh sendiri. Kepin langsung sembunyi di bawah meja, sedang Bogi langsung melompat ke gendongan Om Damar. Tak lama setelah itu hujan deras pun langsung turun, tanpa aba-aba, tanpa gerimis terlebih dulu, langsung deres aja pokoknya.

“Kepin.. sini sama aku..” Teh Arum terlihat berusaha merayu Kepin yang ketakutan dari bagian bawah meja. Sedang aku malah enak dipeluk sama Hani hehehe..

“Ra usah cengar-cengir Nggan.. jendela kamarmu wes ditutup belum?” Tanya Om Damar tenang sambil mengelus-elus punggung Bogi yang enggak bisa diam di gendongannya.

Kampret.. jendelaku kan masih kebuka..

“Kamar kamar kamar kamar!”
“Kamar kamar kamar kamar!”

Ucapku dan Hani panik secara bersamaan, sambil melepas pelukan kami, langsung menghambur ke kamarku sembari main dorong-dorongan.


POV3D


DUAAARRRR...

GRUDUKGRUDUK..

DUAAARRR...

Petir dan guntur terus sahut menyahut, bersamaan dengan Damar dan Arum yang bahu membahu menutup jendela dan pintu-pintu rumah yang masih terbuka. Wajah mereka terlihat menegang hebat, dengan Bogi yang mengekor di belakang, dan Kepin yang berada dalam gendongan Arum.

“Aku turun dulu ke bawah ya.. kamu pastiin Regan ndak kemana-mana..” Ucap Damar pada Arum, yang langsung direpons perempuan itu dengan anggukan kepala.

“Aku ambil payung dulu ya Mas..” Saran Arum seraya hendak berlalu, namun oleh Damar ditahan.

“Ndak usah.. deket aja kok. Tapi aku minta tolong kamu cariin alesan kalau Regan nanya aku kemana ya..” Ucap Damar sambil memakai jaketnya dan berjalan ke arah pintu depan.

“Iya Mas..” Sahut Arum mengikuti langkah Damar. Dan begitu pintu dibuka oleh Damar, hujan angin yang teramat deras dan kencang langsung menyambut mereka, membawa tampias-tampias sampai ke lantai dengan telaknya.

“Aku jalan ya..” Ucap Damar pada Arum, yang oleh perempuan itu langsung dijawab dengan anggukan kepala.

“Aku titip salam ke Ibu ya Mas..” Tukas Arum pendek, menitip salam pada Rengganis maksudnya. Damar pun mengangguk, setelah itu ia pun segera berlari menerabas lebatnya hujan dengan Bogi mengekor di belakangnya, sedang Kepin tetap dalam pelukan Arum.

Damar pun terus berlari menembus hujan bersama Bogi menuju garas rumah, langsung masuk dan mengarah ke sudut garasi tersebut. Berjongkok sebentar untuk membuka tangga menuju ruang bawah tanah istana purantara, dan langsung masuk ke dalamnya.

Berjalan cepat dan tegas menuju lift utama yang kemudian membawa mereka turun ke lebih jauh ke dalam tanah.

“Gggrrrrrrr...” Bogi yang berdiri di samping Damar bergetar, giginya bergemeratak hebat.

“Hey.. tenangkan dirimu.. kita belum tau apa yang terjadi..” Ucap Damar sembari mengelusi tubuh basah Bogi, membuat anjing itu sedikit lebih tenang.

Dan begitu pintu lift terbuka, Damar dan Bogi pun langsung berlari menuju ruang informasi. Oleh Damar tak dipedulikan anggukan demi anggukan dari para punggawa yang ditemui, berlalu begitu saja menuju titik utama fokusnya.

Seorang penjaga lekas membukakan pintu, Damar dan Bogi pun langsung masuk ke sana dengan wajah tegang. Sama tegangnya dengan orang-orang yang berada di ruang informasi tersebut.

“Apa yang terjadi?” Tanya Damar tanpa basa-basi, membuat seluruh mata yang tadinya terpusat pada layar komputer besar di ruangan tersebut langsung memandang ke arahnya.

“Lapor Pak, ada sebuah ledakan energi besar yang bersumber dari Lemah Kidul, tepatnya di perbukitan wilayah Herang..” Jawab salah seorang punggawa yang tengah menenteng sebuah tablet di tangannya.

“Seberapa besar pancaran energinya?” Tanya Damar mendekat punggawa itu, ikut memandang ke arah tablet pintar tersebut.

“Hampir separuh pulau utama, sampai ke perbatasan Parung Wetan..” Jawab punggawa tersebut menampilkan peta pulau utama yang sebagiannya berwarna merah.

“Asuuu.. kekuatan macam apa yang bisa mengundang badai sebesar ini?” Gumam Damar geram sembari memperhatikan lamat-lamat layar tablet tersebut.

“Titik ledakan energi ini tidak terlalu jauh dari penemuan lima mayat orang-orang Hematala sebelumnya Pak..” Seru Punggawa lainnya sembari memperbesar tampilan di monitor utama, membuat pandangan Damar kini teralihkan ke monitor utama tersebut.

“OUUGHH!!” Gonggong Bogi nyalak membuat seluruh punggawa di dalam ruangan tersebut langsung menjaga jarak, wajah mereka menegang hebat sejak melihat Damar masuk membawa anjing tersebut, dan semakin menegang tat kala anjing itu mengeluarkan suaranya.

“Tenangkan dirimu.. jangan buat gaduh di sini!” Ujar Damar tegas kepada Bogi, membuat Anjing itu langsung terdiam keluh, merengut.
“Apa ini yang dimaksud Mas Saka?” Gumam Damar pelan mengingat-ingat informasi yang sempat disampaikan sang Kakak ketika masih berada di Lemah Kidul.

“Asta Braja..” Tiba-tiba seluruh orang di ruangan tersebut langsung menoleh ke arah pintu ruangan ketika suara yang amat mereka kenal terdengar melaung memecah ketegangan.

Bersamaan dengan itu seorang perempuan dengan kebaya biru memasuki ruangan tersebut, kecantikannya menguar ke sepenjuru ruangan, meredamkan ketegangan yang sempat mengisi tempat tersebut.

Perempuan itu tak lain adalah sang pemuncak kuasa Purantara, Raden Ayu Anggana Raras Rengganis.

Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Pagi semuanya, berikut saya lampirkan update bagian 16, semoga berkenan untuk dibaca keseluruhannya. Terimakasih sudah menunggu, terimakasih atas segala supportnya, terimakasih atas apresiasinya. Suaru kehormatan ketika cerita ecek-ecek ini bisa diterima dan disukai, hatur nuhun pisan pokokna mah 🙏🙏🙏🙏🙏

Kritik dan saran selalu ditunggu ya. Salam rindu dari DIRA ❤️
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd