Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

Yeaahhh kegeser hehehe.. matur suwun semuanya 🤣

Oke kalau gitu bagian 17 akan langsung saya rilis ya, tapi saya boleh minta tolong enggak?

Jadi seperti biasa, update akan dipecah nih karena enggak cukup kalau dijadiin satu. Jadi jangan ada yang komen dulu ya sebelum ada kata BERSAMBUNG di akhirnya hihihi

Thankyu semuanya.
 
BAGIAN 17 : SIMALAKAMA
POV3D

Angin berembus dengan kencang, deras hujan jatuh bak air mata perempuan yang tengah luka hatinya. Langit menggelap dengan guntur yang sahut menyahut tiada henti.

Empat tubuh terkapar bergelimpangan di atas tanah yang basah oleh curah hujan.

Tubuh-tubuh tubuh sudah bergelimpangan di tanah, beberapa di antaranya sudah tak lagi memiliki sukma, hanya bersisa raga tanpa jiwa.

Dua tubuh lelaki bertelanjang dada tergeletak dengan kepala hancur nan remuk. Dua tubuh itu adalah Jaya dan Agus, yang tewas setelah kepalanya diremukkan Aswatama menggunakan karang banyu.

Dua tubuh lelaki lain berada di sekitar pohon yang mengikat tubuh Abah Ependi yang terengah lemah, setengah sadar.

Dua tubuh tersebut adalah tubuh Tono dan Broto. Tono sudah sedari awal meregang nyawa sebab hujaman belati yang bersarang di lehernya. Di sekitar tubuh Abah pula, Ideung si kucing hitam meraung-raung pada sang majikan, tak peduli pada hujan dan petir, kucing itu terlihat melompat-lompat kesana kemari, khawatir pada kondisi sang majikan.

Sedang beberapa meter dari tubuh Tono, ada Broto yang baru saja kehilangan nyawanya. Di antara keempat orang Hematala tersebut, Broto bisa dibilang yang paling mengenaskan kondisinya.

Kedua tangannya putus sebatas lengan atas. Kepalanya terpisah entah kemana, menyisakan buntungan leher yang masih memancarkan darah.

Tak jauh dari tubuh Broto dan Tono, terlihat Kinaya yang meraung-raung memeluk tubuh tak berdaya Ambunya.

Leher sang Ibu mengeluarkan darah deras sebab sayatan yang dibuat Broto beberapa saat sebelum Aswatama menghabisinya.

Sedang Aswatama sendiri melayang beberapa meter di atas tanah, di sekujur tubuhnya kepulan energi berwarna biru dan ungu jahit menjahit terpancar.

Mengundang Guntur dan hujan untuk semakin deras mengamuk. Mata pemuda itu sudah sepenuhnya membiru keunguan, kedua tangannya terentang lebar-lebar dengan kepala tertengadah ke langit gelap.

DUUAAARRRRR...

“AAAAAAAAAAAARRRRGGGGHHHHHH...”

Teriakan demi teriakan terus keluar dari mulut Aswatama yang membuka lebar, dan tiap teriakan tersebut bersumber dari sambaran petir yang rapat menghujani areal luas perbukitan ini.

Dan Kinaya benar-benar takut akan hal itu, seumur hidup ia belum pernah melihat hal seperti ini. Belum pernah melihat sambaran-sambaran petir sebanyak dan serapat ini.

“A' Aswa..” Kinaya bergumam lirih memanggil Aswatama yang sudah dikendalikan kekuatannya sendiri.

Tidak ada ketakutan di hati perempuan muda itu pada Aswatama yang menjelma bak iblis saat ini.

Yang ada hanya kekhawatiran dan rasa iba sebab teriakan-teriakan parau Aswatama yang terdengar begitu kesakitan.

Badai yang begitu dahsyat bangkit dengan cepat, bersumber dari seorang pemuda yang terlepas kendali akan kekuatan yang ada di dalam dirinya.

Beralih ke sisi lain perbukitan, gerombolan orang yang sadar akan apa yang terjadi melesat di antara pepohonan, menuju sumber pancaran energi dahsyat yang saat ini tengah membabi buta menghantam alam.

Gerombolan tersebut adalah para punggawa Hematala, tiga kelompok penyergap yang bersatu padu dalam satu rombongan.

Rombongan tersebut dipimpin oleh tiga orang sekaligus, mereka adalah Aming, Petruk dan Darsa. Dengan punggawa-punggawa riuh melesat di belakang mereka.

Beberapa punggawa dari rombongan tersebut ada yang terhempas dan tak lagi bergerak ketika sambaran petir turun dan menggelegarkan pohon sekitar mereka, namun satu pun dari mereka tak ada yang berusaha menolong sesama rekan, karena mereka tahu, menolong seseorang yang tersambar petir hanya akan membuang waktu. Apalagi mereka meyakini bahwa petir ini bukanlah petir alami.

Dari itu mereka tetap fokus ke tujuan, dengan tingkat kewaspadaan yang amat tinggi menghindari tiap-tiap petir yang turun menyambar pohon dan tanah.

Kembali lagi ke Aswatama, pemuda itu kian didera kesakitan yang maha hebat, teriakan-teriakannya parau dan keras. Namun meski begitu, ia belum sepenuhnya kehilangan kesadaran.
Sisi kewaspadaannya menangkap kedatangan kekuatan yang menggerombol, isi kepalanya semakin kacau. Antara rasa sakit, dan keharusan menghadapi gerombolan energi yang kian mendekat ke tempat ia berada saat ini.

Dan benar saja, dari arah jurang melesat tubuh-tubuh dengan kekuatan yang bervariasi. Membuat Aswatama dengan sekuat tenaga memusatkan pikiran dan arah pandangannya. Menatapi tubuh-tubuh yang mulai datang tersebut.

“Lima.. delapan.. tiga belas.. tujuh belas! Aaarrfghh..” Aswatama membatin penuh rasa sakit ketika mendapati tujuh belas tubuh berdiri dengan raut wajah penuh keterkejutan.

“ASSSSSUUUU!!!!” Beberapa orang yang datang itu pun langsung berlari menyerbu Aswatama, sembari berlari mereka berusaha menyalakan api di tangan dan senjata mereka masing-masing, namun naas.. tak ada satupun among geni milik mereka yang berhasil keluar.

Melihat itu Aswatama langsung mengarahkan tangan kirinya ke depan, sekuat tenaga dan penuh kesakitan. Lalu telapak tangan kirinya yang terbuka itu pun terangkat ke atas, kemudian dengan cepat dibanting ke bawah.

Sontak saja, petir demi petir langsung rapat menghujam orang-orang tersebut. Membuat tubuh-tubuh mereka hangus dan terpental, beberapa yang lainnya berhasil menghindar, sedang beberapa yang lain segera mencari posisi untuk berlindung dan menyusun rencana serangan.

Aswatama mengeram, tangan kanannya yang terentang penuh kesakitan itu pun membuka lebar-lebar. Di fokuskan pada satu titik arah yang ia kehendaki. Jemarinya bergerak-gerak kaku, menekuk dan membuka dengan berat dan rasa sakit hebat.

Ia tengah berusaha mengambil sesuatu, sesuatu yang harusnya tidak pernah ia gunakan, namun terpaksa harus ia gunakan saat ini.
Beralih ke sisi lain perbukitan ini, tepat di tepian sungai yang airnya mengalir deras di antara celah batu.

Hujan dan angin pun sama derasnya di sini, pohon-pohon bergoyang ringkih dan penuh ketakutan. Hewan-hewan bersembunti di tempat-tempat perlindungan, takut akan badai yang tiba-tiba datang.

Dan di tepian sungai itu, di dekat sebuah batu besar yang ringkih ditimpa hujan, ada sebuah gundukan batu yang bentuknya memanjang. Gundukan batu itu tadinya hanya diam, seperti seharusnya batu yang tak bisa bergerak kecuali jika ada yang menggerakkan. Namun beberapa detik yang lalu, tumpukan batu yang menggunduk panjang itu mulai bergetar.

Seperti ada sesuatu yang hendak keluar dari dalam sana. Satu persatu batu yang ada di bagian paling atas pun menggelinding ke bawah, bergetar dengan hebat dan mulai merekah perlahan-lahan. Hingga..

BRAAAAKKKKKK...
WUUSSSSSSHHH..

Sesuatu keluar dari balik gundukan batu tersebut dan langsung meluncur kencang ke atas, melesat bak peluru kendali yang tengah menyasar musuh.

Dan sesuatu tersebut tak lain adalah sebuah tongkat kayu yang tepat di bagian tengah lekukannya terdapat sebuah kalung hitam yang melingkar, dan tongkat tersebut adalah tongkat yang tengah diincar oleh orang-orang Hematala.

Ya.. itu adalah Anggaraksa. Pusaka mandraguna milik Lemah Kidul yang tengah dalam perjalanan. Benda itu sekarang tengah melesat di udara membelah pepohonan dan lebatnya hujan.

Terus melesat.. terus melesat.. dan terus melesat..

Sampai benar-benar meninggalkan tempat peristirahatannya beberapa hari ini. Dan tak menunggu waktu lama, tongkat itu sudah hampir sampai di bagian atas perbukitan, melesat dengan kecepatan yang kian menggila. Lalu..

WUUUSSSHHH..
TAAAAPPPPPP..

Tongkat tersebut langsung bersarang digenggaman tangan kanan Aswatama yang telah memanggilnya. Dan dengan cepat, kepulan energi biru ungu yang sedari tadi menyelimuti keseluruhan tubuh Aswatama pun mulai menyelimuti Anggaraksa. Menyelimuti keseluruhan tongkat tersebut yang kian menambah kesakitan di tubuh Aswatama saat ini.

“AAARRRRRRRRGGGGGGHHHH!!!!!!!”
Aswatama berteriak nyalak dan menggelegar, seolah terkoyak seluruh tubuhnya, merasakan rajaman rasa sakit yang sungguh-sungguh begitu dahsyatnya.

Dan teriakan Aswatama tersebut semakin membuat hujan dan angin kian deras, petir semakin rapat tak beraturan, dan membuat badai yang menerjang alam raya semakin dahsyat, semakin menyebar luas.

“A’a...” Kinaya berujar lirih mendapati tubuh Aswatama yang kian meninggi, perempuan itu tak memedulikan orang-orang yang datang mengancam, tak peduli pada tongkat aneh yang baru saja melesat dalam genggaman Aswatama, tak peduli sama sekali.

Ia hanya peduli pada teriakan parau Aswatama yang membelah ulu hatinya saat ini, menyalurkan rasa sakit yang begitu lirih di dadanya sekarang ini.

Sedang di sudut lain, para punggawa-punggawa Hematala yang menyaksikan hal tersebut pun menatap ngeri, tubuh mereka gemetar bukan main, ketakutan langsung menyelimuti hati mereka masing-masing.

Penyesalan-penyesalan mulai hadir di inti terdalam hati mereka. Dan salah satu di antara mereka pun bergumam lirih :

“Kita harusnya ndak datang ke tempat ini..”


**​
Purantara..

POV REGAN



Indah-Permatasari-1.jpg


Maharani Sukma

Hujan pun turun dengan begitu derasnya, disertai angin kencang dan petir yang seolah sahut menyahut mencoba beradu lantang.
Aneh.. bener-bener aneh cuaca hari ini.

Langit yang tadinya cerah tanpa awan tiba-tiba aja berubah jadi badai hujan yang bikin bulu kudukku berdiri saking kencangnya.

“Baru juga mandi gua..” Aku menggerutu sebab kaosku basah terkena tampias yang masuk lewat jendela ketika tengah berusaha menutup jendela kamarku yang terbuka tadi.

Bersamaan itu aku mengibas-ngibaskan jemari tangan kiriku yang tadi terjepit daun jendela, tak sengaja terjepit ketika aku dan Hani bahu membahu menutup jendela tadi.

“Hahaha lebay dah lo, tinggal ganti baju doang jugaan..” Sahut Hani yang baju atasnya juga basah, ia tersenyum-senyum sambil mengeringkan rambutnya di atas kasurku.

“Bukan gitu Han.. enggak enak gua sama Teh Arum..” Sahutku sambil melepas kaos oblongku, kemudian mengambil gantungan di lemari untuk kugunakan menggantung kaos basahku itu.

“Hahaha.. elo sih segala ngeribetin gue, jadi basah kuyup kan kita hahaha..” Timpal Hani dengan tawanya yang terdengar riang.

“Siake.. bahagia bangat dah lu.. nih telunjuk sama jari tengah gua masih nyut-nyutan juga..” Gerutuku sambil mengusapi jemariku sendiri.

“Utu utu utu.. sini sini sini.. biar gue usapin, siapa tau langsung ilang sakitnya” Tukas Hani sambil menyodorkan tangannya ke arahku.

“Eleh.. enggak ngaruh kali..” Sahutku pendek, bersamaan dengan itu aku turunkan celana trainingku dengan santainya di depan Hani.

“Ishh.. bebel banget sih lu!” Gerutu Hani sambil menutupi wajahnya dengan handuk karena menyaksikanku yang hanya mengenakan celana dalam saja saat ini.

“Bodoamat.. kamar gua ini hahaha..” Tawaku santai tak perduli sembari mengambil gantungan berikutnya untuk celana trainingku.

“TEH ARUUUUUMMM.. NGGAN NIH TEH!!” Seru Hani lantang dengan wajah tetap ditutupi handuk.

Aku yang panik pun segera menutup pintu kamarku, menguncinya sekaligus.

Gila ye Hani.. tereak-tereak kaya toa. Enggak mikir apa dia kalau ada Om Damar di luar?

“Han.. lu gila kali ya? Kalo Om Damar denger gimana? Bisa abis gua..” Gerutuku sebal sersya berjalan ke lemari, memilih boxer bola dan langsung mengenakannya.

“Biarin! Abis lo mesum banget jadi orang!” Sahut Hani masih dengan wajah ditutupi.

“Iya ini gua udah pake celana et dah..” Ucapku sebal.

“Boong disamber gledek lo..” Ucap Hani menyumpahiku, dan bersamaan dengan itu kilatan petir pun langsung menyala di luar. Membuatku langsung melompat ke kasur dan..

DUUUUAARRRRR

“AAAAA..” Teriak Hani sembari menjatuhkan tubuhnya ke kasur, posisi nyungsep gitu.

“HAHAHAHA.. mamam!! sekata-kata sih kalo ngomong..” Aku berkata sembari tertawa kepada Hani yang masih nyungsep di kasur, tepat di samping tubuhku.

“Tuh kan gledeknya dateng, berarti lo belom pake celana ish ish ish..” Geram Hani sambil memukuli perutku pelan.

“Astaga Hani.. nih lu liat sendiri kalo enggak percaya..” Seruku berusaha menahan pukulan tangannya.

Hani pun berhenti, kemudian dengan perlahan ia mengangkat wajahnya dari kasur, menatap tubuhku yang bertelanjang dada di atas kasur.

“Isshhh bilang kek dari tadi!” Ketus Hani sambil melemparkan handuk ke wajahku.

“Yeh gua kan udah bilang, lu nya aja enggak percayaan..” Sahutku sambil hendak menyisihkan handuk dari wajah, namun Hani dengan cepat mengambil bantal dan menutupi wajahku dengan keras.

Ini dia niat ngebunuh aku apa gimana sih?

“Han ngapain sih?” Tanyaku mencoba memberontak.

“Ih udah gitu aja, gue mau ganti baju soalnya..” Rengek Hani masih menahan bantal di wajahku.

“Et enggak gini juga.. bisa mati keabisan napas gua..” Protesku sembari memegang kedua pergelangan tangannya, berusaha menepikan bantal ini dari wajahku.

“Bodo.. pokoknya gue ganti baju dulu!”

“Ya elu ganti bajunya di kamar mandi kek..”

“Enggak mau ih! Jauh..” Tolak Hani tetap menahan bantal di wajahku.

“Heikhh.. heikh.. heikhh..” Aku berpura-pura sesak napas supaya Hani mau menyingkirkan bantal ini dari wajahku. Tapi boro-boro, yang ada dia malah makin neken bantal ini.

“Iya iya iya.. gua gak ngintip nih, udah sono ganti baju, gua pegangin bantalnya..” Ucapku mencoba bernegosiasi. Dan sepertinya berhasil, sebab Hani terasa mengendurkan tekanannya.

“Awas lo kalo boong.. gue teriak biar Om Damar sama Teh Arum denger!” Ancam Hani sambil melepas tekanan tangannya, dan memposisikan tanganku di bantal.

“Iya iya.. udah cepetan..” Ucapku sebal sambil menahan bantal di wajahku. Bersamaan dengan itu kurasakan gerakan Hani yang turun dari kasur.

Tak lama terdengar bunyi pintu lemariku terbuka, pertanda Hani tengah memilih-milih bajuku sebagai ganti bajunya yang basah.

“Jangan ngintip lo.. awas aja..” Ancam Hani lagi.

“Iya iya.. cepetan ah!” Sahutku terus memegangi bantal.

Terbayang di kepalaku bahwa saat ini Hani tengah membuka bajunya yang basah, menampilkan tubuh indahnya yang putih bersih dan mengkilap air hujan. Payudaranya yang sekal dan menantang indah, serta perutnya yang rata menggemaskan.

Arrggghhh.. sialan.. pengen ngintip tapi aku takut diaduin ke Om Damar. Tapi enggak ngintip juga gimana.. pengen banget soalnya.

Dan akhirnya kuputuskan untuk menurunkan sedikit pegangan bantalku, namun baru saja mataku hendak memanjat teriakan Hani kembali membuatku membenarkan letak bantal tersebut.

“Bener-bener ye lo Nggan.. bebel banget isshh.. gue ngejerit sekenceng-kencengnya nih!” Ancam Hani dengan suara yang.. aahh entah kenapa kok jadi agak ngegemesin ya di telinga sekarang?

“Iya iya ampun..” Sahutku lagi dengan hati menggerutu dan Si Marco yang menggeliat bangun.

Aku pun pada akhirnya hanya bisa membayangkan saja keindahan tubuh Hani dari balik tutupan handuk dan bantal yang membekap wajahku. Membayangkan betapa seksinya sahabat kecintaanku itu ketika tiada sehelai benang pun menutup tubuhnya.

Uhhhhh.. Han.. Han..

Kalo aja aku maniak, udah kutubruk dia sampe enggak bisa bergerak sssshhh..

“Udahan nih..” Seru Hani pada akhirnya. Membuatku lekas membuang bantal dan menyingkap tutupan handuk di wajahku.

Namun setelah kulakukan itu semua, aku justru tertegun dalam-dalam ketika mendapati Hani yang sudah berganti pakaian, mengenakan jersey biru Chelsea yang terlihat kebesaran di tubuhya. Membuat bagian bawah jersey home Chelsea dengan kerah merah putih tersebut jatuh di bagian tengah pahanya.

Menampilkan Hani yang seolah-olah tak mengenakan celana lagi di tubuh bagian bawahnya. Meski sebenarnya, samar-samar ujung celana pendek Hani terlihat di sana. Tapi tetap saja, keliatan seksi banget coyy..

Dan yang paling nge-bangsatin-nya adalah.. Sepasang tonjolan kecil di bagian dada Hani yang mengintip malu-malu!

IYA COY.. HANI ENGGAK PAKE BH ITU WOOYY!! JAJARAN!!!

“Tuh elo mah mesum..” Protes Hani sembari menghentak-hentak kakinya dan berjalan ke arahku, membuat puting payudaranya yang imut itu naik turun, bergesekan dengan jersey biru tersebut.

Kampreto madafakah.. cobaan banget punya sahabat seksi begini! Emang dia enggak geli itu ya pentilnya kegesek-gesek?

“Lu enggak pake bh ye?” Tanyaku masih dalam keterpanaanku. Sedang Hani kini sudah kembali naik ke atas kasur, berdiri dengan lututnya tepat di depanku.

“Basah abisnya..” Jawab Hani dengan bibir dimanyunkan, seperti sebal sendiri.

“Iya.. enggak bae emang Han pake bh basah, entar lo kedinginan, terus masuk angin lagi..” Sahutku dengan wajah terangkat menatap wajahnya.

“Dibanding masuk angin, sebenernya gue lebih takut sama mata lo kali..” Ujar Hani sambil mengalungkan lengannya di leherku, lalu merapatkan tubuhnya.

“Kenapa takut?” Tanyaku dengan mata tak bisa lepas dari wajah Hani.

“Takut aja.. mata lo kalo udah ngeliatin tajem banget abisnya..” Sahut Hani sembari merendahkan punggungnya, membuat wajahnya kian dekat dengan wajahku. Membuat hembusan napasnya langsung menghangat di ranah wajahku.

“Lu enggak suka kalo gue ngeliatin lu ya, Han?” Tanyaku ketika wajah kami kian rapat. Hani tersenyum sembari menggelengkan kepala. Kemudian secara perlahan dan amat pelan kepalanya pun dimiringkan, matanya perlahan terpejam, mengundangku untuk melakukan hal yang sama.

Lalu..

CUPPP..

Di tengah gemuruh hujan di luar rumah bibir kami pun bertautan dengan amat lembut, menyalurkan hangat ke sepenjuru wajahku, menyebar cepat ke seluruh tubuh, yang mengundang kedua tanganku untuk langsung mendarat di pinggang rampingnya.

MMMPPHHH..

Baik aku maupun Hani sudah saling memberikan lumatan dan sapuan lembut, menambah hangat pagutan bibir yang tengah terjadi di antara kami. Dingin akibat perubahan cuaca pun perlahan menghilang, berganti dengan hangat yang begitu terasa di ufuk birahiku saat ini.

Kurasakan pula Hani semakin menurunkan tubuhnya, seraya kian memberatkan tubuhnya ke arah depan, menyambut tiap lumatan yang tengah membasahi bibir kami masing-masing.

Kedua tanganku yang tadinya hanya diam menempel di pinggang Hani pun mulai bereaksi, mengusap lembut ke atas dan ke bawah, dari pinggang berpindah ke samping perutnya, sesekali sampai ke bagian bawah dadanya.

“Mmmpphh..” Terdengar desahan tertahan keluar dari bibirnya seiring pagutan bibir kami yang sudah sampai ke tahap penautan lidah. Tubuhnya kian merapat dan semakin mendorong tubuhku ke belakang.

MPPHH.. MUACCHH.. CUP.. MMPPH..

Ciuman ini pun kurasakan begitu mampu membangkitkan birahiku, membuat perlahan sekujur tubuhku terasa meremang, kadung saja langsung kurengkuh punggung Hani.

Kupeluk erat sembari kuputar tubuhnya ke arah samping, dan kurebahkan di atas kasur dengan bibir masih saling berpagut dalam alunan lembut birahi.

MUAACCHHH..

Kulepas ciumanku dari bibirnya dan langsung kutenggelamkan wajahku di putih dan harumnya leher Hani, membuat gadis yang belum kunjung mampu menjadi gadisku ini mendesah pelan dengan jemari meremas-remas rambutku.

“Nggaaaaann.. ssshhh..” Hani mengerang manja ketika aku mulai mencumbu kulit lehernya, membuatnya tanpa sadar mulai merenggangkan pahanya.

Aku pun lekas memposisikan pinggangku di sana. Menggesek-gesek lembut pangkal paha Hani, membuat sahabt tercintaku itu kian mendesah lirih.

Aku pun menghentikan cumbuanku di lehernya, membawa wajahku kembali naik untuk memagut bibir Hani yang setengah terbuka. Sebelah tanganku perlahan kubawa memanjat ke tepian samping payudara Hani yang tegak menantang meski tak lagi dibalut bra, kugesek-gesek lembut di sana.

Dan meski masih terbalut jersey, aku bisa merasakan betul kelembutan dan kekenyalan payudara Hani yang selalu menjadi kecintaanku ini.

MMPPHHH..

Aku terus memagut bibirnya dengan intensitas yang lebih rapat dan bernafsu, membuat Hani tak mau kalah dan terus memenjarakan lidahku dengan cumbuannya yang maha lembut itu. Kedua tangannya kini sudah berpindah ke pipiku, seolah menahan wajahku agar tak pergi jauh dari wajahnya.

“Hhhhmmm..” Hani mengeram tertahan ketika sebalah tanganku sudah sepenuhnya berada di payudara indahnya, menangkup di sana dan meremas pelan payudaranya yang benar-benar menggugah seleraku tanpa mengenal kata bosan.

Kuremas dan kugesek-gesek pelan dari luar jersey yang ia kenakan, membuat telapak tanganku berkali-kali “menabrak” puting payudaranya yang mungil namun tegak di dalam sana. Dan tiap kali putingnya tersenggol atau tertekan, Hani selalu mengeram tertahan di sela ciuman kami, serta menyerang bibirku lebih bergairah lagi.

Tapi tiba-tiba..

TOK TOK TOK

“NGAAAN.. ADA TEMENNYA NIH..”
Ketukan pintu dan seruan dari Teh Arum terdengar melaung mengalahkan derasnya riuh hujan di luar, membuat percumbuanku dan Hani langsung terhenti perlahan.

Dan sebelum benar-benar terlepas, aku memberikan pagutan yang amat mesra di bibir merah muda Hani yang selalu menjadi dambaan hatiku ini.

MUAACHH..

“Hu.. hu.. hu..” Deruh napasku langsung memuai bersamaan keningku yang kutempelkan di kening Hani. Mata kami pun perlahan-lahan terbuka, senyum-senyum kemesraan hadir merekah di sana.

“NGAAANN..” Kembali seruan Teh Arum terdengar, sebab aku memang belum menyahuti seruan pertamanya tadi.

“IYA TEH.. NGGAN KELUAR BENTAR LAGI..” Sahutku dengan mata menyelami sepasang purnama yang bersembunyi di balik kelopak mata Hani.

“Siapa?” Tanya Hani dengan kedua Ibu jarinya yang mengelusi tepian pipiku.

“Enggak tau..” Jawabku pendek sembari memberi remasan terakhir di payudara Hani.

“Ssshhh..” Hani mendesah sembari menggigit bibir bawahnya ketika aku melakukan itu, membuatku gemas sendiri dan mengecup lembut bibirnya lagi, setelah itu tanganku membenarkan kembali posisi jersey-nya yang sedikit naik ke atas, memamerkan sedikit perut putih Hani yang rata nan menggemaskan.

“Beneran enggak tau?” Tanya Hani sembari menurunkan tangannya, membelai lembut bulu-bulu halus yang tumbuh di dadaku. Aku menganggukkan kepala sembari membersihkan tepian bibir Hani yang sedikit basah bekas percumbuan kami tadi.

Dan aku emang bener-bener enggak tau siapa yang dateng, karena emang enggak ada janji dan enggak ada komunikasi dengan siapapun semenjak Si Davis diservice.

“ENGGAAAN..” Terdengar suara Teh Arum kembali melaung, namun dengan jarak yang agaknya lebih jauh.

“IYA TEH.. BENTAR LAGI..” Sahutku sambil memberi kecupan di kening Hani, membuatnya tersenyum begitu manis. Setelah itu aku pun mengangkat tubuhku, membebaskan Hani dari tindihanku.

“Hihihi ada yang menonjol tapi bukan bakat..” Ujar Hani yang sudah merapatkan pahanya lagi ketika aku bersiap turun dari kasur, matanya terarah ke bagian bawah tubuhku, tepatnya ke selangkanganku yang memang sedikit menggembung sebab terpancing birahi tadi.

“Elu sih..” Sahutku santai sambil berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Hani, mengajaknya untuk ikut melihat siapa yang datang.

Barangkali itu salah satu dari kawanku di 4arah. Mungkin Wawi, Dito atau Oman, atau mungkin malah tiga-tiganya. Secara mereka itu lumayan sering main ke sini, apalagi Dito, paling sering.

Hani pun menyambut uluran tanganku, bangkit dari kasur dan langsung berdiri tepat di depanku. Aku yang masih menggenggam tangannya pun langsung merengkuh tubuh Hani erat-erat, yang olehnya dibalas dengan elusan pelan dipunggungku.

“Gua kangen Han sama lu..” Ucapku random sembari mengecupi tengkuknya.

“Sok romantis euw..” Sahut Hani. Setelah itu kami pun melepas pelukan. Aku keluar lebih dulu dari kamar sebab Hani mau rapih-rapih bentar katanya, bukan rapih-rapih dirinya ya, tapi rapih-rapih kamarku yang memang sejak aku bangun belum aku beresin.

Di luar kamar aku pun langsung berpapasan dengan Teh Arum yang berjalan dari arah dapur, ia membawa segelas teh hangat yang masih mengepul di tangannya.

“Siapa sih Teh?” Tanyaku pada menunggu Teh Arum yang sedang berjalan ke arahku.

“Liat aja sendiri hihihi..” Jawab Teh Arum dengan senyum kecil sedikit mencurigakan seraya terus berjalan melewatiku, membuatku bingung sendiri. Siapa ya kira-kira?

Aku pun akhirnya berjalan ke arah ruang tamu dengan penasaran, dan tepat ketika kakiku menapak di ubin pertama ruang tamu, langkahku langsung terhenti seketika.

Pandanganku langsung menyudut, terpusat pada seseorang yang berdiri di dekat pintu rumahku, berdiri berhadap-hadapan dengan Teh Arum yang sedang menyodorkan cangkir teh.

Orang itu terlihat basah kuyup, dengan handuk lebar berwarna biru terlampir di bahunya dan kedua tangan memegang sebuah keranjang parsel buah, dengan sebuah handphone yang berada di bagian bawah keranjangnya.

Jagat Dewa Batara.. mimpi apa aku semalam, sampai-sampai ada gadis langit yang terdampar di ruang tamu rumahku yang sedang diamuk hujan angin ini.

Ya.. orang yang tengah berdiri bersama Teh Arum itu adalah sesosok gadis muda, dengan rambut kuncir kudanya yang juga sudah basah ditimpah hujan.

Dan di tengah keterpanaanku itu, tiba-tiba gadis hujan tersebut menjatuhkan pandang ke arahku, keterkejutan pun sempat hadir di wajahnya, sebelum sedetik kemudian wajahnya yang sedikit memucat sebab dingin air hujan itu langsung menampilkan senyum merekah, bibirnya sendiri sedikit bergemeratak kedinginan.

Tatapan kami pun beradu amat dalam, bahkan mungkin terlalu dalam sebab ketidakpercayaan yang masih menyelimuti sepenjuru hatiku saat ini.
Lalu beberapa detik kemudian Teh Arum juga memutar tubuhnya, ikut memandang ke arahku, disertai dengan lambaian tangan gemas.

Aku pun terkesiap, langsung berjalan cepat seraya menyambar remote AC di dinding ruang tamu, segera kumatikan AC yang masih menyala itu, lalu kulempar remote ac tersebut dengan sembarang ke arah sofa. Berjalan cepat ke arah pintu.

“Dira? Kok ujan-ujanan?” Tanyaku dengan langkah cepat.

Dan ya.. kalian enggak salah baca, aku juga enggak salah nulis. Gadis hujan yang turun dari langit itu adalah Dira! Ya.. Di..ra!!

Jagat Dewa Batara.. mimpi apa sih aku semalem sampe Dira bisa berada di rumahku? Tahu dari mana dia rumahku? Terus ada perlu apa dia kesini? Atau ini Cuma kebetulan aja? Dia lagi jalan, terus karena hujan tiba-tiba turun di neduh? Tapi kan pintu depanku dengan gerbang jauh? Gimana cara Dira bisa neduh di dalem kaya gini? Dia ngeloncatin pager gitu? Aaarrggghh..

“Hehehe iya Kak.. kehujanan tadi..” Jawab Dira dengan senyum ragu-ragu dan wajah sedikit tertunduk. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah dadaku.

“Kok bisa? Emang kamu dari mana? Terus mau kemana? Ini kamu sendirian enggak ada yang nganter?” Tanyaku susul menyusul sembari memandangi tubuh Dira dari rambut hitam kuncir kudanya yang basah, sampai ke putih punggung telapak kakinya yang putih bersih itu.

“Itu Kak.. hhmm..” Dira menjawab ragu-ragu, membuatku kembali hendak mengajukan pertanyaan lanjutan, namun oleh Teh Arum segera dicegah.

“Gini loh Nggan.. tadi kan aku nganter Mas Damar ke depan karena dia tiba-tiba ada panggilan tugas. Nah pas aku mau masuk lagi, aku ngeliat ada yang lagi neduh di gerbang. Ya aku samperin, aku mau tawarin masuk. Eh ternyata kebetulan emang mau ketemu kamu, mau jenguk kamu katanya..” Teh Arum menerangkan padaku perihal kronologi bagaimana Dira bisa sampai di sini.

Dan penjelasannya benar-benar padat akan poin penting.

Pertama, tentu saja aku agak kaget karena ternyata di tengah hujan angin gini Om Damar justru pergi buat menuhin panggilan tugas. Terus yang kedua, ternyata Dira bukan enggak sengaja terdampar neduh di sini, tapi memang dia ke sini buat jengukin aku. Yang mungkin menurut Dira aku masih sakit kaya waktu ketemu di sekolah kemarin.

“Bener kata Teh Arum Ra?” Tanyaku sembari memegang kedua bahu Dira, berusaha merapatkan handuk yang terlampir menutupi kardigan kuning Dira yang basah.

“I.. iya Kak.. aku kira Kak Regan masih sakit..” Ujar Dira terbata dengan bibir gemeratak. Matanya kembali mencuri pandang ke arah dadaku yang tak dibungkus apa-apa.

“Terus kenapa ujan-ujanan sih? Nanti kalau.."

“Enggan.. nanya-nanya nya nanti aja, ini Diranya disuruh ganti baju dulu, pake baju aku aja, nanti aku siapin ya.” Teh Arum memotong pembicataanku seraya mengelus bahu Dira. Bersamaan itu Teh Arum menyerahkan cangkir teh yang dibuat untuk Dira kepadaku.

“Eng.. enggak usah, aku Cuma mau ngasih ini aja ke Kak Regan. Dan Puji Tuhan karena ternyata Kak Regan udah sembuh, aku ikut lega ngeliatnya.” Ujar Dira sembari menyodorkan parsel buahnya ke arahku, aku pun langsung menerimanya dengan isi kepala yang masih agak bingung.

“Kalau gitu aku langsung pamit pulang aja ya Kak Regan.. Kak Arum..” Ucap Dira yang satu tangannya gemetaran menggenggam handphone, sedang tangan yang lainnya berusaha menyibakkan handuk di bahunya.

“Eh jangan.. nanti aja pulangnya.. liat tuh hujan masih deres banget. Kamu istirahat dulu aja ya, ganti baju pakai baju aku, pasti muat kok sama kamu.” Ucap Teh Arum sembari menahan handuk yang hendak dilepaskan Dira, sedang aku hanya bisa diam dan bingung dengan tangan kiriku memegang cangkir teh, dan tangan kananku memegang keranjang parsel.

“Enggak apa-apa, aku mau langsung pamit aja.. makasih tawarannya..” Ucap Dira lagi kekeuh dengan keputusannya. Dan kulihat Teh Arum sempat melirikku sebentar, seraya memainkan alis dan bola matanya, membuatku langsung tersadar dari kebingunganku sendiri.

Segera saja aku sangkilkan keranjang buah pemberian Dira di siku tanganku, kemudian kupegang pergelangan tangannya, bersamaan dengan itu kuserahkan cangkir teh di tangan kiriku pada Dira, yang mau enggak mau olehnya pun diterima dengan raut kebingungan.

“Kamu kesini buat jenguk orang sakit kan niatnya? Jangan sampe pulang dari sini malah kamu yang sakit.” Ucapku datar dengan tatapan penuh ke bola mata Dira. Membuat adik kelasku itu langsung terhenyak dalam diam. Tak berkata apa-apa dan tak memberikan respons apa-apa.

“Kalau gitu aku siapin baju dulu ya, sini handphonenya biar aku pegang dulu. Oh iya Nggan.. aku udah masak air panas juga di belakang tadi buat Dira.” Ujar Teh Arum sambil menerima handphone Dira yang sepertinya memang tidak terkena hujan, mungkin terlindung dibalik keranjang parsel atau bagaimana, entahlah.

Setelah itu Teh Arum pun berlalu ke arah kamarnya, meninggalkanku dengan Dira yang masih saling berdiri diam. Aku pun perlahan melepaskan genggaman tanganku pada jemari Dira, kemudian bergeser sedikit untuk meletakkan parsel buah pemberiannya di lemari kecil yang di atasnya terdapat vas berisikan bunga lavender berwarna ungu.

“Diminum dulu tehnya Ra..” Ujarku pada Dira seraya kembali berdiri di hadapannya, yang dengan cepat direspons olehnya, segera saja Dira mendekatkan cangkir teh ke bibirnya dengan tangan sedikit gemetar, mungkin saking dinginnya kali ya?

Jadi aku putuskan untuk menangkupkan kedua telapak tanganku di sepasang punggung telapak tangan Dira yang gemetar memeluk cangkir teh hangat itu. Kupegang dengan lembut di sana, kemudian kudorong lembut cangkir tersebut sampai benar-benar menempel di bibir Dira.

Dan ketika aku melakukan hal itu, mata Dira yang indah itu menatapku dalam-dalam, ia belum mereguk tehnya barang sereguk pun, jadi kuberi anggukkan untuk meyakinkannya, membuat Dira segera mereguk teh hangat buatan Teh Arum itu. Seteguk dua teguk saja, hanya untuk menghangatkan tubuhnya yang mendingin ditimpa hujan.

Setelah itu aku pun menjauhkan cangkir teh dari bibir Dira, namun aku enggak mengangkat telapak tanganku dari punggung telapak tangannya, kudiamkan di sana dan ku genggam dengan lebih tegas dari sebelumnya, dan kuberikan gesekan-gesekan kecil.

“Udah angetan belom?” Tanyaku pada Dira, dan ia mengangguk dengan senyum manis overdosisnya. Membuatku enggak bisa buat enggak ngebales senyumnya.

“Makasih Kak..” Ujar Dira sedikit menundukkan wajah.

“Saya yang harusnya makasih karena kamu udah repot-repot ke sini..” Jawabku sambil menarik tangan dari punggung telapak tangan Dira.

“Nggan.. kasian loh Diranya kedinginan itu..” Seru Teh Arum yang keluar dari kamarnya dengan membawa pakaian ganti untuk Dira, plus handuk baru, sebab handuk yang ada di punggung Dira sudah cukup basah pastinya.

“Iya Teh.. ini mao dianter kok..” Sahutku pendek sambil memberi anggukkan pada Dira untuk mengikuti langkahku.

Dan sembari berjalan aku mengambil pakaian ganti yang udah disiapin sama Teh Arum, lalu melanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Sedang Teh Arum sendiri berjalan ke arah pintu depan, enggak tahu mao ngapain.

Tapi tepat ketika kami akan melewati kamarku, pintu kamarku tiba-tiba terbuka, lalu Hani muncul di sana dan langsung membuat langkahku serta langkah Dira terhenti seketika. Begitu pun Hani, ia mematung di ambang pintu kamarku dengan raut wajah sedikit terkejut.

Dan itu entah mengapa langsung membangkitkan makian di dalam hatiku, yang enggak kepikiran kalo ada Hani di kamar.

Silaing..

Terus sekarang ada Dira juga. Hani pasti bingung kenapa Dira bisa ada di sini, dan Dira juga pasti bingung kenapa Hani bisa ada di sini juga.
Berserak lah ini..

“Di.. dira? Kok di sini? Basah kuyup lagi..” Tanya Hani terdengar sedikit tercekat. Namun ia terlihat berusaha tetap profesional sebagai kakak kelas, ditampilkannya senyum kaku untuk Dira yang kulihat semakin erat menggenggam cangkir teh di depan dadanya.

“I.. iya Kak.. tadi kehujanan di depan, soalnya hujannya dateng tiba-tiba..” Jawab Dira dengan mengkondisikan senyumnya juga.

“Kok bisa keujanan?” Tanya Hani lagi sambil memajukan tubuhnya.

“Iya Kak.. soalnya..”

“Ini Han.. jadi Dira ini mao jenguk gua, tapi pas sampe depan ujan tiba-tiba. Akhirnya Dira neduh di gerbang, untungnya Teh Arum ngeliat pas lagi nganter Om Damar ke depan, jadi Dira langsung diajak masuk.” Jawabku memotong penjelasan Dira yang sedikit terbata, mencoba mewakili Dira.

Hani pun menatapku lamat-lamat, kemudian kembali menatap Dira.

“Oh.. yaudah.. ganti baju dulu Ra, nanti masuk angin.” Ucap Hani sembari mengelus bahu Dira dengan senyuman yang diperlebar, membuat Dira pada akhirnya berani sepenuhnya mengangkat wajah, memberikan anggukan.

“Iya Kak.. ini mau ganti baju..” Jawab Dira sekenanya.

“Lo gimana sih Nggan? Sana cepetan anterin Dira ke kamar mandi, udah kedinginan gini eh malah lo ajak diem di sini.”

Coyy.. Hani loh mulutnya Coy.. enteng banget.. pake melotot-melotot segala lagi, membuatku merasa terzolimi banget, asli.

Padahal kan yang bikin berenti di sini gara-gara dia ngajak ngobrol Dira ya? Kenapa malah jadi aku yang kena dah?

“Iya Han.. ini juga emang mao ke belakang kok. Kan gara-gara elu ngajak ngomong makanya kita berhen..” Kata-kataku pun enggak menemui garis finish, karena bola mata Hani tiba-tiba semakin melebar, dengan alis ditautkan kencang. Bikin aku ngilu-ngilu ngeri sendiri jadinya.

“Eh ayo Ra..” Ajakku pada Dira seraya berjalan lebih dulu, enggak berani lama-lama natap Hani yang lagi masuk mode kyubi ekor sembilannya.

“Duluan ya Ka..” Terdengar suara Dira di belakangku yang sedang pamit pada Hani.

“Iya Ra.. kalo Regan macem-macem teriak aja ya, biar langsung aku urus nanti.” Sahut Hani seperti sengaja dilantangkan, tapi aku pura-pura enggak denger aja. Ngeri soalnya kalo harus noleh lagi.

Sesampainya di dapur aku pun segera masuk ke kamar mandi untuk menaruh baju ganti Dira, kemudian keluar lagi untuk mengecek air panas yang tengah di masak Teh Arum, sudah lumayan panas, tinggal menunggu “ngegulak” alias mendidih aja. Jadi aku putusin buat langsung matiin kompor, lalu ngebawa air panas itu ke kamar mandi.

Dan sepertinya kolam yang berfungsi sebagai bak penampungan air di kamar mandi pun sudah disiapin sama Teh Arum, airnya udah susut sisa setengah, itu pun enggak sampe.

Aku pun langsung menuangkan semua air panas tersebut ke dalam bak, menunggu beberapa saat, kemudian kuaduk dengan gayung merah berbentuk love yang tersedia di gantungan paku.

Dan karena masih kepanasan, aku pun menyalakan keran dengan bukaan setengah, membiarkan nanti Dira sendiri aja yang ngatur suhu airnya. Dan ketika aku berbalik badan hendak keluar kamar mandi, aku sedikit terkaget karena Dira sudah berdiri tepat di belakangku, membuat tubuhnya ampir aja kuterabas.

“Ma.. maaf..” Ucapku sebab akibat gerakan refleks kedua telapak tanganku sudah hinggap di bahu Dira.

Sedang kedua telapak tangan Dira menempel di dada telanjangku, reflek menahan tubuhku juga.

“Aku yang harusnya minta maaf karena udah ngerepotin Kak Regan..” Tukas Dira dengan senyum kecil sembari menarik telapak tangannya dari dadaku.

“Apasih Ra.. ada juga saya yang udah ngerepotin kamu, sampe kamu harus basah kuyup kaya gini. Makasih ya..”

Aku berkata sembari memberikan elusan di bahunya, setelah itu aku pun berjalan keluar dari kamar mandi, meninggalkan Dira untuk bersih-bersih dan mengganti bajunya yang basah.

Aku pun berjalan ke arah kamar, dan mendapati Kamarku sudah tertata rapih sekali. Spreinya udah enggak berantakan lagi, bantal-bantal dan guling disusun sedemikian rupa, meja belajarku pun udah di tata, dan gantungan baju basahku juga udah dipindahin ke sudut kamar, pokoknya kamarku rapi banget deh. Kerjaannya Hani pasti ini. Calon istri idaman dia itu emang hehehe.

Aku mengambli kaos hitam polosku, kemudian mengenakannya dan kembali keluar dari kamar, menuju ruang tamu di mana terlihat Hani sedang berdiri di dekat jendela, memandang rintik hujan yang udah enggak segila sebelumnya. Tetap deras, Cuma angin sama petirnya udah enggak serapat tadi.

Hani berdiri di sana dengan tatapan kosong, kedua tangannya dilipat di depan dada, dengan raut wajah sendu dan muram. Hani kok cemberut lagi ya? Padahal tadi udah asik becanda juga.

“Tak ada yang lebih tabah.. dari hujan bulan Juni.. Dirahasiakannya rintik rindunya.. kepada pohon berbunga itu..” Aku berjalan santai ke arah Hani sembari membacakan penggalan puisi Hujan Bulan Juni milik Eyang Sapardi. Membuat Hani reflek menoleh ke padaku.

“Ini Agustus kali..” Sahut Hani sembari sedikit memutar tubuhnya ke arahku. Aku tersenyum kecil, udah berdiri tepat di depannya.

“Tapi kan sama-sama ujan.. enggak boleh banget heran.” Ujarku sambil melirik hujan di halaman lewat jendela, setelah itu kembali menatap Hani yang diam saja tak menanggapi ucapanku.

“Kenapa?” Tanyaku dengan tone nada yang kubuat selembut mungkin. Dan Hani pun langsung menggelengkan kepalanya.

“Kenapa Han?” Tanyaku lagi dengan nada yang jauh lebih lembut, Hani terlihat menghela napasnya dalam-dalam.

“Enggak apa-apa..” Jawab Hani pendek sambil melangkahkan kaki ke arah sofa, meninggalkanku begitu saja.

Dan kini giliran aku yang menghela napas dalam, ikut melangkahkan kaki ke sofa di mana Hani sekarang sudah duduk di sana. Aku mengambil posisi duduk di sampingnya, dekat dan rapat, kusenggol pelan bahunya dengan bahuku.

“Kenapa sih Han? Cemberut gitu.. gua bikin salah lagi ya?” Tanyaku sembari menempatkan telapak tangan di kulit paha Hani. Namun dengan cepat Hani menepiskan lembut tanganku.

Membuatku mengernyitkan dahi, tumben-tumbenan Hani “ngusir” tanganku.

“Gue enggak apa-apa Nggan.. Cuma lagi kepikiran Mamah gue doang. Kesian sendirian di rumah, malah lagi ujan gede gini..”
Aku menghela napasku lagi, sebab aku merasa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Hani saat ini.

Dan aku yakin itu bukan karena Mamahnya, sangat yakin. Karena biasanya juga Hani sering main kok di rumahku, hujan badai banjir gledek juga enggak pernah dia kaya begini.

Apa ini karena kedatangan Dira? Makanya Hani jadi cemberut kaya gini?

Aku dan Hani pun akhirnya hanya saling diam, menatap layar tv yang menghitam karena emang enggak dinyalain. Aku sibuk dengan pemikiranku, dan Hani pun sibuk dengan pemikirannya yang entah sedang memikirkan apa.

Aku merasa.. apa Hani cemburu dengan kedatangan Dira? Seperti yang dia bilang tadi sebelum hujan turun. Bahwasanya dia cemburu ketika melihatku membonceng dan bermanis-manisan sama Dira tempo hari.

Berarti kan kalo dia cemburu dia sayang sama aku? Ya maksudnya aku tau Hani pasti punya perasaan kepadaku, sama seperti aku yang selalu memiliki sejuta perasaan kepadanya. Tapi yang enggak tau itu seberapa besar perasaan Hani kepadaku, karena kalo emang perasaannya sebesar yang aku punya, harusnya dia enggak berkali-kali menolak perasaanku kan?

Arggghh.. Hani.. kenapa sih dia harus nempatin perasaanku se-menggantung ini? Kalo emang dia juga sayang sama aku, kenapa dia enggak terima aja aku jadi pacarnya? Kenapa dia enggak ngijinin hubungan kami berjalan ke tahap selanjutnya dari pada sebatas sahabat seperti ini? Kenapa coba? Aarrrgghhh..

“Tv-nya dinyalain dong.. masa nontonin tv tapi tv-nya mati..” Teh Arum yang baru keluar dari kamar langsung bergabung bersamaku dan Hani, ia berjalan ke sofa yang berada di seberang kami, meletakkan handphone Dira yang tadi ia “rawat” dan langsung duduk sembari menyalakan tv.

“Banyak geledek Teh, takut Nggan mah..” Jawabku seraya menyandarkan tubuh. Sedang Hani kulihat sedikit menggeser posisi duduknya, membuat kami sedikit berjarak dengannya saat ini.

“Ada ada aja kamu mah ah..” Jawab Teh Arum seraya menaikan kaki kirinya di atas kaki kanan, lalu memandangku dan Hani bergantian.

“Hani..” Panggil Teh Arum lembut.

“Iya Teh?” Jawab Hani sambil menegakkan tubuh.

“Nggan galakin kamu ya?” Tanya Teh Arum dengan mata disipitkan.

Aku pun mengangkat sebelah alisku, bingung dengan pertanyaan Teh Arum yang sepertinya menangkap juga kegusaran Hani, namun kok kampretnya malah aku yang dicurigai sebagai tersangkanya?

“Enggak kok Teh, Hani lagi kepikiran jemuran aja kok, takutnya lupa diangkat sama Mamah..” Jawab Hani dengan senyum kecil di bibirnya.

Loh.. loh loh.. kok jawabnya beda? Tadi dia bilang kepikiran Mamahnya di rumah, sekarang bilang kepikiran sama jemuran. Mana sih yang bener?

“Oh.. kirain Nggan galakin kamu lagi. Kalau dia galakin kamu bilang aja sama aku, nanti biar aku yang jewer hehehe..” Ujar Teh Arum.

Coy.. Teh Arum pake kata-kata “lagi” coy.. kesannya kaya aku sering banget gitu nyakitin Hani.

Padahal kan kenyataannya aku yang selalu tersakiti. Tersakiti karena selalu gagal menjadikan Hani gadisku.

“Teteh yang jewer terus Hani yang nyubit ya Teh? Hehehe..” Sahut Hani dengan psikopatnya, tanpa melirikku sama sekali.

“Iya Han.. abis itu kita minta Bogi buat gigit dia hahaha..” Kelakar Teh Arum dengan seremnya. Serem lah coy, bayangin kalo gigi Bogi yang gede-gede dan tajem-tajem itu mengoyak tubuhku? Hiihhh.. bisa tinggal nama aku nanti.

“Ajak Kepin juga Teh, biar dicakar-cakar nanti hihihi..” Hani menyahuti dengan riangnya, sudah hilang wajah cemberutnya, berganti senyum dan tawa riang yang selalu berhasil membuatku tenteram.

Enggak apa-apa deh aku digeragotin Bogi dan dicakarin Kepin, asal bisa ngeliat Hani tertawa kaya gini mah enggak apa-apa sumpah. Rela aku asli.

Loh.. ini kenapa aku jadi setuju sama para psikopat ini? Berarti aku psikopat juga dong? Ajuurr.. ajuuurr..

“Kenapa? Enggak terima?” Tanya Hani tiba-tiba dengan sudah mengarahkan wajahnya padaku yang tersenyum-senyum kecil saja mendengar celotehan mereka berdua.

“Asal kowe seneng aku yo nrimo-nrimo aja Dek..” Jawabku santai dengan menggunakan logat daerah Ayahku.

“Iyuhh.. sok manis banget sih!” Gerutu Hani sembari mendorong pipiku. Hal tersebut langsung disambut tawa kecil dari Teh Arum.

Beuhh.. Teh Arum ini kalo udah ketawa bener-bener mampu membuat seluruh ruang perasaanku gedubrak loh. Luluh lantak tak bersisa.

Manis coy.. kaya martabak terang bulan yang diisi coklat sama kacang, plus dikasih susu banyak. Lumer banget pokoknya hihihi..

“Sini Ra.. duduk..”

Ketika aku tengah tersepona memandangi senyum Teh Arum, tiba-tiba Hani berseru dengan wajah riang terarah ke belakangku, membuatku reflek menoleh ke belakang.

Dan betapa langsung terdistraksinya degup jantungku ketika melihat Dira berdiri di ambang ruang tamu dengan sudah berganti pakaian.

Kedua telapak tangannya memeluk cangkir teh buatan Teh Arum yang belum sempat ia tandaskan tadi.

Rambutnya yang biasa dikuncir pun dibiarkan tergerai dengan indah. Dan pakaian yang diberikan Teh Arum kepada Dira benar-benar membuat adik kelasku itu menjelma bak dewi khayangan yang maha indah.

Kemeja vintage berwarna biru muda pudar dengan aksen floral yang dipadukan dengan rok rempel panjang berwarna putih cerah benar-benar membuat aku terpana bukan main. Ini kaya ngeliat Teh Arum tapi dengan versi yang lebih muda gitu sumpah.

Karena kan biasanya Dira kelihatan sedikit tomboy dengan rambut kuncir kudanya. Ini mah benar-benar enggak coy. Anggun seanggun-anggunnya sumpah.

Apalagi itu tuh, senyumnya..

Beeeuuhhh udah bukan luluh lantak lagi ini isi di dalam dadaku, udah porak poranda dan hancur lebur enggak bersisa.

Berserak coy hatiku ini.. berserak parah sumpah..

“Dira ini handphone kamu ya..” Teh Arum berkata sembari menggeser handphone Dira.

“Iya.. makasih Kak..” Sahut Dira yang memanggil Teh Arum dengan sebutan Kakak.

“Panggilnya Teteh aja ya Ra.. jangan Kakak hihihi..” Ujar Teh Arum lagi dengan tawa renyahnya.

“Iya Teh..” Sahut Dira seraya berjalan mendekat.

“Nggan pindah ih, gue mao duduk deket Dira..” Ucap Hani padaku, membuatku langsung mengalihkan pandangku ke padanya.

Dan betapa terdiamnya lagi aku ini ketika mata kami bersitatap. Wajah Hani yang selalu manis dan indah langsung membuat hatiku makin berantakan, wajah ini coy.. wajah ini yang selalu ada di dalam mimpiku coy..

“Ih malah bengong! Pindah enggak? Kalau enggak gue cubit melintir nih!” Ancam Hani sambil mengangkat tangan kanannya, langsung memosisikan telunjuk dan ibu jarinya yang siap mencubit tepi perutku seperti biasa.

Wajahnya? Jangan ditanya... Gemesin banget coy..

“Iya iya.. nih pindah nih..” Sahutku seraya bangkit.

“Eh enggak usah Kak, enggak apa-apa, aku duduk di sini aja..” Dira yang sudah berjalan mendekat ke sofa pun menahanku lembut, ia hendak duduk bersama Teh Arum.

“Enggak apa-apa Ra, kamu sini aja.. lagian saya ngeri kalo lama-lama duduk di sini, merinding bawaannya.” Tukasku santai seraya berjalan ke arah sofa yang diduduki Teh Arum, dan tepat saat itu juga Hani langsung melemparkan bantal ke arahku.

Dan untungnya raflekku bagus, jadi hanya dengan menggunakan satu tangan aku bisa menangkap bantal tersebut, kemudian memeluk bantal lemparan Hani seraya menjatuhkan tubuh ke sofa, langsung bersandar pada tubuh Teh Arum yang selalu harum, kaya namanya hehehe.

Selepas aku menjatuhkan diri ke Teh Arum, Hani pun mengajak Dira untuk duduk bersamanya, memuai senyum untuk Dira yang juga membalas senyuman Hani dengan ringannya. Mereka langsung asyik mengobrol, kaya adek sama Kakak yang baru ketemu lagi setelah sekian lama.

“Kamu kok bisa tau rumah Regan, Ra? Apa emang udah pernah diajak ke sini?” Tanya Hani bertanya pada Dira, namun sekelibat ia memberikan lirikan kepadaku.

Membuatku langsung menelan ludah sebab lirikannya sedikit menguarkan aura seram.

“Belum Kak, ini baru pertama kali aku ke sini.” Jawab Dira sembari meletakkan cangkir tehnya di meja.

“Terus kok bisa tau? Dikasih tau Regan ya? Ih jahat banget orang mah dijemput, ini malah dikasih tau doang. Enggak gentle banget isshh..” Celoteh Hani lagi, dan kembali.. ia melirikku dengan sinis. Membuatku hanya bisa menghela napas dan makin menyandarkan kepalaku di tubuh Teh Arum.

“Hehehe enggak kok Kak, aku taunya dari Kak Dito. Soalnya aku bbm Kak Regan Cuma ceklis dari kemarin.” Jawab Dira dengan ringannya.

“Hape saya lagi masuk bengkel Ra, maaf ya..” Timpalku memasuki obrolan mereka berdua, Dira menoleh padaku dan memberikan senyumnya. Ia juga hendak membalas ucapanku namun tidak sempat karena Hani lebih dulu angkat suara.

“Isshh nyamber aja dah lo..” Ketus Hani padaku.

“Lah gua kan Cuma..”

“Diem issshhh.. jangan ikut-ikutan!” Geram Hani sambil melempar satu bantal lagi ke arahku. Aku tangkap bantal tersebut lalu kuletakkan di sampingku.

Terlihat Dira maupun Teh Arum tertawa melihat hal tersebut, sedang Hani berusaha mengajak Dira untuk fokus lagi pada pembicaraan mereka.

“Udah Ra.. dia emang gitu, suka nyamber..” Ucap Hani pada Dira sembari mengelus bahu adik kelasnya itu, Dira hanya mengangguk sambil tersenyum dengan sesekali melirikku.

Sedang Hani kembali melanjutkan “interogasinya” kepada Dira, dari mulai naik apa Dira ke sini, beli di mana buah yang dibawa Dira tadi, dan kenapa bisa sampe basah kuyup kehujanan.

Dari pertanyaan-pertanyaan Hani yang kadang menyudutkanku itu aku jadi tau, kalau Dira itu ke sini jalan kaki, karena ojek langganannya itu available Cuma di hari sekolah aja.
Dan tadinya hampir mao balik lagi dan mengurungkan niatnya, karena pas dia hampir tiba di rumahku (sedang mencari-cari nomor rumah), tiba-tiba hujan turun deras, membuat Dira segera berlari untuk berteduh di salah satu gerbang rumah yang ternyata gerbang rumahku.

Dira sempat mau balik lagi, tapi kata Dira tiba-tiba ada yang ngebuka gerbang, dan itu adalah Teh Arum.
Teh Arum langsung nawarin Dira buat masuk (dengan posisi Teh Arum belum tau kalau Dira emang nyari aku). Sempet debat kecil karena Dira kekeuh mau balik, tapi Teh Arum berhasil meyakinkan Dira untuk masuk ke sini.

Aiihhh.. enggak Dira enggak Teh Arum, mantaplah emang.

“Teh..” Bisikku pada Teh Arum pelan, membuat ia menoleh kecil ke arahku.

“Nggan dikacangin masa Teh..” Bisikku lagi dengan amat pelan, yang langsung disambut tawa tertahan oleh Teh Arum.

“Kacian.. hihihi..” Ujar Teh Arum berbisik, kemudian kembali memandang ke arah tv.

“Kepin sama Bogi mana Teh?” Tanyaku lagi mencari keberadaan kedua peliharaanku itu, karena kayanya aku mau maen sama mereka ajalah, dari pada enggak di-orangin di sini.

“Di kamar aku, lagi pada tidur, jangan digangguin awas..” Jawab Teh Arum masih dengan suara pelan. Membuatku langsung membuang napas lelah.

Kepin sama Bogi tidur lagi, terus aku main sama siapa ini?

Aku pun hanya bisa menghela napas dalam-dalam, kemudian bangkit dari dudukku, hendak mencari “udara segar”, karena di sini terasa agak “panas”.

“Mau kemana lo?” Tanya Hani tiba-tiba ketika aku sedang berjalan melewati Teh Arum.

“Tidur..” Jawabku pendek tanpa menoleh seraya terus melangkahkan kaki.

“Issshh enggak sopan banget sih, ada tamu juga malah ditinggal tidur!” Ketus Hani tapi enggak aku gubris.

Lagian ngapain juga aku di sini? Di ajak ngobrol aja enggak. Mau ikut nimbrung enggak dibolehin. Emangnya aku patung gitu?

“NGAAAAN IHH!!” Seru Hani lagi karena ucapannya enggak aku tanggepin. Dan kembali juga, aku enggak nanggepin dia, terus berjalan ke kamar, masuk sebentar untuk mengambil rokok kemudian kembali keluar dari kamar, berjalan ke arah dapur.

Ku buka pintu belakang dan mendapati hujan udah enggak terlalu deras. Dan dengan cepat, tanpa menggunakan alas kaki aku pun berlari menerabas hujan yang tanggung ini. Dibilang deres ya enggak, tapi dibilang gerimis doang juga ya enggak. Pokoknya gerimis besar gitu deh.

Aku berlari dengan rokok dan korek yang kumasukkan ke dalam kaos, langsung menuju saung untuk mencari “udara segar”.

Dan tanpa memedulikan kondisi suang yang lantai panggungnya agak basah sebab tempias, aku pun langsung naik setelah membersihkan kakiku di kucuran air yang jatuh dari atapnya.

Langsung menuju pojok lantai kayu saung ini yang enggak terlalu basah, duduk menekuk lutut di sana, dan langsung menyulut sebatang rokok garpitku. Bersandar sembari memandangi rintik hujan yang jatuh di atas kolam ikan belakang rumahku ini.

Fyyyuuhhhh.. ini baru adem.. adem banget malah.. lebih ke arah dingin sih sebenarnya huhuhu..

Kalau kalian pikir aku ngambek gitu ke Hani, kalian salah. Aku sama sekali enggak masalahin Hani yang emang sering naik turun gitu moodnya, udah terbiasa aku mah.

Jadi alasanku pindah duduk ke sini ya, beneran karena pengen nyari udara segar aja, sambil rokokan juga sih. Walau pun emang ada sedikit rasa enggak enak ke Dira, karena ninggal dia di dalem. Tapi kan ada Hani ya? Dira juga keliatan nyatu kok ngobrol sama Haninya.

Jadi ya.. aku mau ngasih waktu aja sih sama mereka buat ngobrol-ngobrol, dan karena aku enggak boleh masuk obrolan mereka, jadi aku pilih ngelepus di sini aja hehehe.

Tapi jujur, kalau dibilang bingung, ya aku emang agak bingung gitu sih.
Maksudku kaya.. gimana ya.. ini kan ada Dira sama Hani di tempat dan waktu yang bersamaan ya.. nah tujuan Dira sama Hani kan sama, sama-sama mau jenguk aku.

Tapi kok aku ngerasa kaya, bukan ide yang bagus gitu buat nyatuin mereka di tempat dan waktu yang bersamaan gitu.

Kaya.. kaya ada yang salah pokoknya mah. Bingung aku juga.

Bingung ngadepinnya juga sih maksudku, nanti kalau aku ke Hani enggak enak sama Dira. Kalau aku terlalu ke Dira, enggak enak sama Hani, pokoknya ajur seajur-ajurnya coy..

Asli deh.. makanya aku mending milih koyo ngene, tenang tanpa perlu mikirin mau 'mihak' kemana hihihi..

Dan bersamaan hujan yang kian mereda, tinggal menyisakan gerimis-gerimis nanggung aja, aku terus menikmati tiap bunyi kretek yang keluar dari rokok favoritku ini.

Kusandarkan kepalaku, dan mulai menikmati konklusi alam yang begitu menenteramkan hatiku yang dilanda gundah ini. Kuhembuskan asap garpitku tinggi-tinggi, mengepul lalu hilang terbawa angin tipis.

Jagat Dewa Batara.. nikmat mana lagi yang bisa aku dustakan dari ketenteraman ini? Fyyyuuhh..

**
POV3D

Hematala, Di waktu yang sama.

Ajeng Dayana Arshavira membuka matanya perlahan-lahan, wajahnya yang cantik dan manis itu terlihat amat tenang setelah bersemedi selama hampir satu jam lamanya. Ia melakukan hal tersebut untuk mencari jawaban atas anomali langit yang tiba-tiba saja menjatuhkan badai di tanah tercintanya.

Dan dari ketenangan pikirannya tersebut ia pun mendapat banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

Nyimas Ajeng -begitu orang-orang memanggilnya- awalnya mengira bahwa badai yang datang tiba-tiba dan maha dahsyat ini adalah ulah orang-orang Purantara yang hendak menuntut balas atas kematian dari salah satu petinggi mereka.

Namun ternyata bukan, Nyimas Ajeng sangat yakin atas penelusurannya bahwa ini tidak ada hubungan sama sekali dengan pergerakan orang-orang Purantara. Ini adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang bahkan di benak perempuan itu tak pernah terpikirkan sama sekali. Sesuatu yang sangat mampu membuatnya terkejut bukan main.

“Asta braja..” Bibir Nyimas Ajeng bergumam seorang diri. Seolah tengah memberitahukan perkataannya pada dirinya sendiri.

“Tapi bagaimana mungkin?”

Perempuan itu kali ini membatin di dalam hatinya. Hendak menyangkal jawaban yang ia dapati atas kemelut cuaca yang tengah terjadi, yang olehnya dikira hanya melingkupi daerah ini, tapi ternyata cakupan badai ini hampir menutup keseluruhan pulau utama negeri.
Mengerikan.. itu saja yang ada di benaknya saat ini.

Tapi di saat bersamaan ia tersenyum kecil, setidaknya saat ini ia tahu kalau Pancawara. Di mana sebelumnya diketahui, bahwa lima kuasa dasar di pulau ini sudah tidak utuh, itu terjadi sebab salah satu dari lima kuasa tersebut tak memiliki pewaris, dan kuasa yang dimaksud adalah Asta Braja yang selama ini di anggap sudah punah dan hanya menjadi cerita sejarah.

Sejatinya kenyataan ini akan sangat menyulitkan bagi Nyimas Ajeng, karena Asta Braja ini berpotensi menjadi batu sandungan besar untuk rencana-rencananya. Namun meski begitu, di lubuk hati terdalamnya ia merasa bahagia, karena garis kejayaan leluhur pulau ini ternyata masih utuh, tak lapuk dihantam zaman.

Tetapi Nyimas Ajeng tetap mengutuk Natha utama Lemah Kidul yang ternyata bisa sebegitu lihainya mengelabui seluruh daerah penopang pulau utama, sampai keseluruhan pulau percaya dan mengamini bahwa Asta Braja sudah punah berpuluh-puluh tahun lamanya.

“Salah sekali aku telah menganggap remeh Lemah Kidul, ternyata di balik ketidakberdayaan tanah itu, mereka menyimpan sesuatu yang amat besar dan berharga..” Batin Nyimas Ajeng lagi sembari bangkit dari posisi duduk bersilanya.

Perempuan pemuncak Pegunungan Utara itu pun berdiri dengan anggun, dengan dagu yang terangkat penuh wibawa. Ia pun memutar tubuhnya ke arah pintu ruangan pribadinya tersebut, membenarkan kain jarik bermotif batik warna cokelat yang ia kenakan, merapihkan kebaya hitam yang menutupi tubuh bagian atasnya, kemudian merapikan sanggulan rambutnya.

Setelah itu ia berjalan dengan anggun menuju pintu ruangan ini, membuka pintu tersebut dengan lembut dan keluar dari ruangan itu dengan penuh wibawa. Ia berjalan menyusuri lorong yang kosong menuju ruang tengah rumah besarnya itu.

Dan setelah sampai di ruangan utama yang dipenuhi oleh para punggawa Hematala, ia pun disambut dengan bungkukkan badan.

Terhitung hampir dua puluh orang punggawa-punggawa utama Hematala ada di sana, semuanya merundukkan tubuh ke arah Nyimas Ajeng yang keluar dengan aura kemisteriusannya.

Nyimas Ajeng pun menganggukkan kepala, lalu berjalan dengan ringan membelah orang-orang tersebut, menuju sebuah kursi besar yang ditempatkan di ujung ruangan utama, diletakkan dengan alas lantai yang lebih tinggi dari lantai sekitarnya.

Dan di depannya berjejer kursi-kursi panjang yang hadap berhadapan.
Setelah melewati kursi-kursi kecil tersebut, Nyimas Ajeng pun sampai di kursi utama dan tertinggi di antara kursi lainnya.

Dan tanpa membuang waktu, ia pun langsung memutar tubuh dan duduk di kursi tersebut, memandang seluruh punggawa-punggawanya dengan seksama, hingga matanya berhenti pada seorang pemuda yang tak lain adalah Sena, sang keponakan tercinta yang selalu memberikan kebahagiaan untuknya, dan tanpa sadar perempuan itu pun menyunggingkan senyum kecil.

Setelah itu Nyimas kembali mengarahkan pandangnya lurus ke depan, menyamankan posisi duduknya, kemudian menempatkan satu siku tangannya di pegangan kursi, menghela napasnya pelan.



w644


AJENG DAYANA ARSHAVIRA


"Selain Pancabara silahkan tinggalkan ruangan ini.." Ucap Nyimas Ajeng dengan datar dan dinginnya, yang langsung direspons oleh para punggawa dengan memundurkan langkah dan berbalik meninggalkan ruangan ini.

Satu demi satu, hingga tersisa lima orang yang tetap berdiri di posisinya, sudah tidak dalam posisi membungkuknya.

Kelima orang yang tersisa tersebut adalah Sang Keponakan, Andhra Nawasena. Lalu Saptadi Purwaka atau kebanyakan orang memanggilnya Ki Saptadi yang saat ini tengah tersenyum penuh kegembiraan sebab telah berhasil membunuh satu petinggi musuh.

Kemudian tiga orang lainnya adalah Hasto Balakosa seorang lelaki paruh baya berusia 55 berperawakan gemuk dengan rambut yang sudah menipis di bagian depannya. Lalu ada Suryo Raharjo yang seusia dengan Ki Saptadi, berperawakan agak gempal namun dengan perut membuncit, seluruh rambutnya sudah memutih utuh, dengan sorot mata tajam dan beringas bak elang yang dikirim dari neraka.

Dan yang terakhir adalah Jenar Maheswari, seorang perempuan muda berusia 26 tahun. Perawakannya tinggi bersih dengan kulit kuning langsat yang cerah menyala, sesuai namanya.

Ia adalah Satu-satunya perempuan di dalam Pancabara. Memiliki tatapan mata yang datar namun teduh, dengan alis hitam tebal. Wajahnya ayu khas perempuan desa, dengan rambut hitam bergelombang yang selalu ia ikat rapi ke belakang.
Sungguh.. siapapun takkan menyangka Jika perempuan tersebut adalah salah satu jenderal utama dari Hematala.

“Silahkan duduk..” Ujar Nyimas Ajeng pada kelima orang di hadapannya, dan kelima orang tersebut pun langsung mengambil posisi duduk berhadap-hadapan di kursi yang sudah tersedia di sana.

Tiga orang di sisi kiri, dan dua orang di sisi kanan. Yang di sisi kiri diisi oleh Ki Saptadi, Suryo Raharjo dan Hasto Balakosa. Sedang dua kursi di seberangnya diisi oleh Sena dan Jenar.

Seolah posisi duduk mereka melambangkan antara generasi muda dengan generasi tua.

Dan kini, kelima mata dari Pancabara pun kini terarah kepada Nyimas Ajeng yang terlihat tenang dalam posisi duduknya, sebelum akhirnya perempuan itu pun menghela napasnya pelan dan agak dalam.

“Aku takkan bertele-tele, jadi langsung saja..” Ujar Nyimas tanpa berniat membuang waktu, dan ucapan Nyimas langsung disambut dengan tatapan serius dari kelima orang di hadapannya.

“Ada berita baik dan berita buruk yang akan aku sampaikan saat ini. Berita baiknya adalah, ada satu warisan leluhur pulau ini yang sebelumnya sudah dianggap punah tetapi ternyata kembali muncul, dan itu berkaitan dengan badai yang sedang terjadi saat ini. Warisan tersebut adalah Asta Braja, kalian tentunya sudah tahu apa itu Asta Braja, jadi aku tidak akan menjelaskan panjang lebar.” Nyimas Ajeng berbicara dengan tatapan tegas dan penuh wibawa, memandang bergantian lima orang di hadapannya.

Dan kelima orang tersebut langsung memasang raut wajah heran serta terkejut, mereka berlima tak menyangka bahwa Asta Braja yang sudah lama punah ternyata masih ada.

“Sedang berita buruknya adalah, dengan kembalinya Asta Braja itu berarti batu sandungan untuk rencana kita bertambah besar.” Ujar Nyimas Ajeng menutup pemberitahuannya.

Kelima anggota Pancabara pun terdiam keluh, untuk sejenak mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Sampai Ki Saptadi meminta izin bicara, yang oleh Nyimas Ajeng disambut dengan anggukkan kepala.

“Maaf Nyimas, saya memohon izin untuk melakukan pergerakan. Sebab kemungkinan besar, punggawa-punggawa kita yang saya tempatkan di sana berada dalam bahaya.” Ucap Ki Saptadi dengan sebelah tangan di tempatkan di dada.

“Pergerakan seperti apa kiranya?” Tanya Nyimas dengan tatapan datar.

“Izinkan saya kembali ke Lemah Kidul Nyimas, saya akan pergi sendiri untuk memastikan keadaan punggawa-punggawa kita di sana. Serta jika memungkinkan saya akan berusaha meringkus pemilik Asta Braja tersebut.” Jawab Ki Saptadi dengan wajah ditundukkan.

“Tidak.. kecerobohanmu kemarin sudah cukup bagiku Ki.. lagi pula kamu sedang dibebas tugaskan untuk sementara waktu bukan? Atau kamu sudah melupakan perkataanku di pertemuan semalam?” Sahut Nyimas Ajeng dengan tatapan yang dipertajam ke arah Ki Saptadi.

Membuat keempat orang Pancabara lainnya langsung tertunduk dalam.

“Kalau begitu saya memohon pengampunan atas kelancangan saya kemarin Nyimas, dan mohon izinkan saya untuk kembali ke Lemah Ki.. Heikkkhhhh...” Kata-kata Ki Saptadi tak selesai, sebab tiba-tiba ia merasakan sesuatu mencekik lehernya dengan keras dan kencang.

Membuat lelaki tua itu kelojotan memegangi lehernya, dan perlahan-lahan pula, tubuhnya mulai terangkat.
Keempat Pancabara lain pun hanya bisa melihat dengan ngeri ketika tubuh Ki Saptadi semakin naik meninggalkan kursinya, kaki lelaki itu mengerjat-ngerjat, wajahnya mulai memerah dengan napas yang amat terasa sulit dihela.

Sena yang berada tepat di seberang Ki Saptadi pun menoleh ke arah Nyimas Ajeng, dan mendapati Bibi-nya itu masih dalam posisi yang sama seperti tadi, duduk santai dengan tatapan mata yang sayu ke arah Ki Saptadi. Hanya saja, jemari tangan kiri Nyimas Ajeng terlihat mencengkeram erat ujung pegangan kursinya.

“Untuk apa kamu hendak ke sana Ki? Untuk menyelamatkan sisa punggawa kita yang kau tahan kepulangannya pagi ini? Percuma saja.. karena setibanya kamu di sana mereka pasti hanya tinggal tulang belulang. Andai saja kamu tidak melanggar titahku, tidak mengambil keputusan diam-diam di belakangku, tidak seenaknya bergerak, maka seluruh punggawa kita pasti sudah berada di tanah ini dan bisa berkumpul dengan keluarganya.” Ujar Nyimas Ajeng masih dengan tatapan datarnya, nada suaranya pun tidak berubah sama sekali.

Ki Saptadi pun semakin tercekik hebat, wajahnya mulai memucat karena kehabisan udara. Namun tubuhnya justru semakin terangkat tinggi ke udara.

“Lagi pula, kalau kamu bertemu dengan pemilik Asta Braja itu, aku yakin.. tubuhmu tidak akan pernah bisa kembali ke tanah ini.” Ujar Nyimas Ajeng dengan begitu datar. Jemari tangan kirinya masih meremas-remas ujung pegangan kursi.

“Nyimas..” Ucap Sena yang merasa perlu bertindak pun buka suara, namun baru saja ia hendak berdiri, Nyimas langsung memotong ucapannya seraya menatap Sena dengan tatapan datar namun terasa menyudutkan.

“Diam Sena! dan duduklah yang tenang. Tidak ada yang memintamu bicara di sini.” Tukas Nyimas seraya kembali mengarahkan pandangnya ke Ki Saptadi yang semakin melemah dalam cekikan.

Lalu dengan hanya memberi gerakan mengetuk di jari telunjuknya, tubuh Ki Saptadi pun terlempar keras dan langsung menghantam dinding ruangan ini dengan telaknya. Jatuh berdebum tanpa ada gerakkan berarti.

“Sekali lagi aku mendengar kamu berulah, maka kupastikan bahwa kamu akan kehilangan kepalamu.” Nyimas berkata dengan raut wajah datarnya yang benar-benar tak menampilkan sedikit pun ekspresi.

Sedang Ki Saptadi yang jatuh masih belum bergerak, namun ia tidak kehilangan kesadarannya.

Hanya saja ia merasa seluruh tenaganya hilang begitu saja, bahkan untuk sekedar membenarkan posisi wajahnya yang tertelungkup ke lantai pun ia tak sanggup.

Ya.. entah bagaimana caranya, cekikan tak kasat mata milik Nyimas Ajeng telah meluruhkan sementara kekuatan lelaki tua tersebut.

Dan meski Ki Saptadi tergolek tak berdaya dengan tubuh tertelungkup di lantai, tidak ada satu pun dari anggota Pancabara yang berani bangkit dari duduknya untuk menolong Ki Saptadi.

“Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, titahku tetap sama seperti pertemuan semalam. Sekarang kalian semua silahkan melanjutkan kegiatan, jangan lengah, tetap bersiaga, kita tidak pernah tau apa yang akan datang kepada kita setelah Ki Saptadi memamerkan kecerobohannya.” Ujar Nyimas Ajeng seraya berdiri dari duduknya.

Keempat Pancabara yang tersisa di hadapannya pun ikut berdiri dan memberi bungkukkan badan. Nyimas Ajeng pun berjalan anggun menuruni singgasananya, dan melewati keempat Pancabara yang tersisa dengan aura kengerian yang amat pekar.

“Jenar.. Sena.. ikut aku..” Tukas Nyimas tanpa menghentikan langkah dan tanpa menolehkan kepala, terus berjalan menuju pintu utama ruangan ini.

Sena dan Jenar pun saling berpandangan, lalu bergegas bangkit untuk menyusul Nyimas Ajeng.

Sedang Pancabara yang tersisa yaitu Hasto Balakosa dan Suryo Raharjo segera bergegas membantu Ki Saptadi yang masih tertelungkup di lantai ruangan ini.

*
 
Terakhir diubah:
*


Kini Nyimas sudah berada di dalam kamar pribadinya yang hanya diterangi temaram lilin yang nyalanya terlihat resah. Ia tengah berdiri menatap dua anggota Pancabara yang ia panggil secara pribadi tadi. Sudah sempat bercakap-cakap juga sepanjang perjalanan ke kamar Nyimas tadi.


Dua anggota tersebut adalah Sena dan Jenar, yang kini tengah berlutut di hadapan Nyimas Ajeng dengan wajah tertunduk.


“Jika Nyimas mengizinkan, saya bisa menghanguskan tubuh para tetua yang acap kali lancang bertindak itu.” Jenar membuka suara dengan perasaan geramnya. Nyimas Ajeng tersenyum, kemudian meminta kedua orang di hadapannya untuk berdiri.


“Itu akan mengurangi pion kita Jenar, kau cukup bergerak di balik bayangan saja, dan tetap laporkan segala kemungkinan kepadaku. Lagi pula.. mereka melakukan itu juga pada dasarnya untuk kepentingan Hematala, hanya saja memang cara mereka salah, jadi bagaimana pun.. mereka tetaplah saudara kita, Jenar.” Ujar Nyimas Ajeng sembari mengelus bahu Jenar dengan lembut.


“Baiklah Nyimas, segala perkataan Nyimas adalah titah bagi saya, dan saya akan usahakan yang terbaik untuk bisa memenuhi segala tugas yang Nyimas beri.” Ucap Jenar dengan tatapan tajam dan sedikit membungkukkan tubuh. Yang oleh Nyimas direspons dengan anggukan kepala pelan.


“Terimakasih banyak Jenar, sekarang beristirahatlah dulu, aku tahu kamu belum tidur dari semalam.” Ujar Nyimas dengan tatapan keibuannya, membuat Jenar menatap haru sebelum akhirnya kembali menundukkan wajah.


“Terimakasih Nyimas, kalau begitu saya undur diri.” Tukas Jenar yang langsung disambut kembali dengan anggukan kepala.


Setelah itu, satu-satunya perempuan yang menjadi anggota Pancabara itu pun berbalik badan dan berjalan ke arah pintu kamar Nyimas Ajeng.


Dan tepat ketika Jenar hampir sampai di ambang pintu yang tertutup tersebut, perlahan-lahan tubuh perempuan itu lenyap seiring dengan samar-samar nyala bara yang keluar dari tubuhnya.


Kurang lebih seperti selembar kertas yang terlahap api. Hanya menyisakan abu-abu kecil di dekat pintu kamar Nyimas Ajeng.


Dan selepas kepergian Jenar, Nyimas pun berbalik badan menuju tempat peristirahatannya, meninggalkan Sena yang masih berdiri mematung di posisinya.


Nyimas pun duduk di sana dengan tatapan datar ke arah Sena yang terlihat memendam sesuatu.


“Aku tahu apa yang di pikiranmu, aku juga tahu apa yang sedang kau rencanakan saat ini, dan aku takkan melarangmu, atau lebih tepatnya aku tidak bisa melarangmu. Nanti aku yang akan mengurus perizinanmu ke pihak istana. Tapi aku harap kamu lekas kembali..” Ujar Nyimas dengan wajah dibuang ke arah lain.


Sena yang mendengar itu pun segera mengangkat wajahnya, berjalan pelan mendekat pada sang bibi dan langsung menurunkan tubuhnya dan bertumpu dengan kedua lutut di hadapan Nyimas Ajeng.


“Tidak Nyimas, saya tidak akan pergi jika Nyimas memang merasa keberatan. Itu hanya niatan saja Nyimas..” Ucap Sena seraya memegang kedua tangan sang bibi, ditautkan jadi satu, dan digenggam dengan lembut.


“Tidak Sena, aku tidak merasa keberatan sama sekali. Ini memang di luar perkiraan kita, dan tidak ada yang lebih pantas melakukannya selain dirimu. Tapi aku mohon, kembali lah ke sini dengan keadaan sama seperti ketika kamu pergi.” Sahut Nyimas masih dengan wajahnya yang dibuang, tak menatap wajah Sena yang tertengadah ke arahnya.


“Saya melakukan ini untuk Nyimas, dan saya akan usahakan untuk segera kembali, demi Nyimas.” Ucap Sena seraya mengecup punggung telapak tangan Nyimasnya, membuat sang bibi pada akhirnya menghadapkan wajah ke arah Sena.

“Lekaslah kembali..” Ujar Nyimas seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Sena, dan memberikan kecupan lembut di kening pemuda itu.

Sena memejamkan mata, dan meresapi kecupan mesra dari bibinya tersebut. Kemudian mereka pun saling berpelukan erat.

“Tapi di luar masih hujan besar Sena, apa tidak sebaiknya menunggu hujan reda terlebih dulu?” Ucap Nyimas dengan pelukan yang semakin dipererat.

“Iya Nyimas, saya akan menunggu sampai hujan reda.” Jawab Sena balas mempererat pelukannya.

Setelah itu mereka pun saling melepaskan pelukan, lalu saling memandang dalam. Sena lekas menempatkan telapak tangannya di pipi sang Bibi, lalu mengelus pelan dan amat lembut. Setelah itu dipagutnya bibir Nyimas Ajeng dengan penuh perasaan mendalam.

Mmmmpphh..

Mereka pun larut dalam ciuman untuk beberapa saat, sebelum akhirnya saling melepas pagutan dan berdiri bersamaan. Dengan napas yang mulai terhela lebih cepat, mereka pun saling melucuti pakaian.

Jemari Sena membuka kebaya hitam yang tengah dikenakan Nyimas, sedang jemari Nyimas Ajeng melepaskan kemeja abu-abu yang melekat di tubuh Sena, mereka melakukan hal tersebut dengan sesekali diselingi pagutan.

Dan setelah tubuh mereka sudah tak lagi tertutupi benang barang sehelai pun, serta sanggul Nyimas Ajeng yang telah dilepas oleh Sena, dan kacamata Sena yang sudah dilepaskan pula dari wajahnya, mereka pun segera berpagutan dalam sembari saling merangkul dan merapatkan tubuh di antara deruh hujan di luar sana.

Bibir bibi dan keponakan itu pun saling lumat melumat, dengan telapak-telapak tangan yang menggerayang ke mana-mana. Sena terlihat langsung mendominasi, ia memagut bibir Nyimas Ajeng dan meneroboskan lidahnya ke dalam mulut sang bibi.

Tangan kanan pemuda itu menyusup di balik rambut Nyimas Ajeng, dan mengelusi leher sang pemuncak kuasa di Hematala itu. Sedang tangan kiri Sena sudah hinggap di payudara sang bibi, meremas-remas dengan lembut gundukan daging indah yang besar dan tegak menantang tersebut. Diremas, diusap, dan dipilin-pilin dengan penuh perasaan.

“Mppphh.. Sena.. aku.. mmpphh..” Nyimas Ajeng mendesah ketika jemari sena memuntir putingnya dengan gemas, menyalurkan perasaan geli yang begitu nikmat di syaraf-syaraf payudaranya.

Namun Sena tetaplah Sena, ia tak memberi Nyimas kesempatan untuk sekedar berbicara, langsung dilumat kembali bibir bibinya itu dengan ganas.

Setelah lidahnya mengobrak-abrik rongga mulut sang bibi, Sena yang matanya terpejam itu pun menciumi keseluruhan wajah bibinya, hinggap di telinga lalu turun menjilati leher putih milik Nyimas Ajeng dengan penuh gairah.

“Aahhh.. Sena.. hhhmmm.. oohhh..” Erang Nyimas Ajeng ketika lehernya di serang oleh Sena, dan kedua payudaranya sudah diremasi oleh keponakannya itu.

Dan erangan itu semakin menjadi-jadi ketika bibir Sena mulai berpindah mengecupi payudaranya, hingga puncaknya ketika mulut sang keponakan melahap puting payudara kanan Nyimas Ajeng, membuat tubuh perempuan itu bergetar hebat dan sedikit melenting ke belakang.

“Aaaaaahhhhhh.. Ssshhhh...” Erang Nyimas panjang menikmati rangsangan yang Sena berikan.

Dan selama hampir sepuluh menit lamanya, Sena menguleni kedua payudara Nyimasnya itu dengan telaten, membangkitkan desahan dan erangan erotis yang begitu merdu di telinganya.

Sena menutup permainannya terhadap payudara Nyimas dengan menghisap kuat-kuat puting payudara sebelah kanan Nyimas Ajeng, membuat tubuh bibinya itu melenting ke belakang dengan kepala tertengadah ke langit-langit kamar.

“AAAAHHHHH..” Erang Nyimas Ajeng dengan bibir terbuka lebar dan kedua tangan meremas rambut Sena. Dan setalah itu Sena pun menegakkan tubuhnya, mencium kembali bibir Nyimasnya dengan penuh perasaan.

Nyimas pun menempatkan kedua tangannya di pipi Sena, mengelus tepian kelopak mata Sena yang terkatup rapat, setalah itu melepas ciuman mereka dengan penuh kelembutan.

“Tak apa Sena, aku di sini.. lepaskanlah..” Ujar Nyimas Ajeng tepat di depan wajah Sena, meminta Sena untuk membuka matanya yang terkatup rapat itu.

Dan perlahan-lahan, Sena pun membuka matanya. Untuk sejenak Nyimas pun terhenyak ketika bola mata sebelah kiri milik keponakannya itu sudah berubah, tak seperti bola mata kanannya yang terlihat normal.

Bagian putih di bola mata kiri Sena berubah jadi hitam, sedang pupil matanya yang tadinya hitam berubah menjadi kuning kejinggaan yang menyala redup, dihiasi titik hitam kecil di bagian tengahnya.

Bersamaan itu pula, di dahi Sena muncul simbol tiga garis miring bergelombang yang susun bersusun membentuk simbol api. Seram, itu saja jika melihat penampilan Sena saat ini.

Nyimas pun menghela napasnya sejenak, kemudian mengangkat telapak tangannya dari pipi Sena, dan mengarah jari telunjuk dan jari tengahnya untuk menyentuh pola api yang mulai menyala di kening keponakannya tersebut.

Tap..

“Hhherrrgghh.. herrgghhh..” Sena mengeram dengan napas menderu, dicengkeramnya pergelangan tangan Nyimas Ajeng yang hendak menyentuh keningnya itu, diremas keras.

“Kamu percaya padaku kan, Sena?” Tanya Nyimas Ajeng masih dengan wajah tenang meski sejatinya merasakan sakit akibat cengkeraman keponakannya tersebut.

Dan perlahan Sena pun merenggangkan cengkeramannya, sampai terlepas, kemudian oleh Nyimas kedua tangan Sena itu di arahkan untuk meremas payudaranya.

“Ssssshh.. yahhh.. pelan-pelan Sayang..” Ujar Nyimas ketika Sena mulai meremasi kedua payudaranya dengan agak kasar. Namun sepertinya Sena sedang tidak berniat mendengarkan bibinya, terus diperas-peras buah dada sang bibi dengan kasarnya.

Nyimas pun menggigit bibir bawahnya, berusaha menguasai dirinya, dan melanjutkan apa yang tadi hendak ia lakukan, yaitu menyentuh pola di kening Sena. Telunjuk dan jari tengah Nyimas Ajeng pun dirapatkan, kemudian kembali di arahkan ke pola tersebut.

“..Kembang darsana kang munggwing jarijiningong.. kapurancak ri kuku.. nyangga geni..”

CESSHH…

Nyimas Ajeng berhasil menyentuh pola tersebut dengan ujung-ujung jemarinya, menekan lembut di sana. Asap tipis mengepul dari kening Sena, membuat Sena langsung berhenti memeras-meras kasar payudara sang bibi.

“Heikkhhh..” Sena menahan napasnya sejenak, teras sesuatu di dalam dirinya memberontak sebelum akhirnya hilang memudar.

Pola di keningnya tetap ada, tapi tidak menyala, hanya seperti tato hitam saja. Mata kirinya pun tetap sama, tetap berbeda warna, namun sudah kuning di pupil matanya lebih redup saat ini.

Dan Setelah dirasa cukup, Nyimas pun berhenti. Ia kembali mengelus pipi Sena yang terlihat terengah-engah hebat. Kemudian dipagutnya lagi bibir Sena yang masih keluh itu, dielusnya dada Sena dengan penuh perasaan.

“Muaaaccchhh.. huh huh huh.. terimakasih Nyimas..” Ujar Sena ketika ciuman mereka terlepas, dan sang bibi hanya tersenyum, kemudian menenggelamkan wajahnya di leher Sena, menjilati leher sang keponakan dengan mesra dan penuh perasaan.

“Ssssshhh.. Nyimas..” Sena mengerang sebab selain lehernya tengah dicumbu Nyimas, batang kejantanannya pun kini sudah berada dalam genggaman Nyimas Ajeng, diurut-urut dan dikocok dengan pelan oleh sang bibi.

“Sssshhh aahh..” Desah Sena ketika ciuman bibinya mulai turun ke arah dada, menjilati sejenak puting dadanya bergantian, sebelum akhirnya turun ke arah perut.

Nyimas pun menurunkan tubuhnya, menjilati perut bidan Sena dengan penuh gairah, sampai akhirnya ia pun sudah sepenuhnya berjongkok di depan sang keponakan, dipandanginya batang besar nan panjang milik Sena yang berada dalam genggaman tangannya. Terpesona, itu saja yang selalu Nyimas alami.

Lalu perempuan itu pun mendekatkan bibirnya pada kepala penis Sena, dikecup lembut dan dijilat-jilat pelan, membuat sang pemilik penis bergetar bukan main tubuhnya.

“Sudah Nyimas.. Ssshh.. Nyimas tak perlu Aaarrrgghhh..” Sena tak berhasil menyelesaikan kata-katanya sebab tiba-tiba Nyimas Ajeng langsung melahap kepala penisnya.

Memasukkan kepala penis tersebut ke dalam mulutnya dengan sedikit kesusahan, dan setelah sedikit menyesuaikan bukaan bibirnya, Nyimas pun mulai menghisap-hisap pelan dan memainkan lidahnya di kepala penis Sena yang tenggelam dalam mulutnya.

“Ouuhhhhh Nyimas..” Erang Sena sembari memegang kedua bahu sang bibi, kelojotan bukan main.

Tidak sampai di situ, Nyimas Ajeng pun mulai memajukan kepalanya, membawa batang kejantanan Sena semakin tenggelam dalam rongga mulutnya, membuat Sena bergetar terserang kenikmatan tiada tara.

“Errrrgghhhh..” Sena mengerang dengan kepala tertengadah ke atas, matanya terpejam menikmati kehangatan rongga mulut sang bibi yang menelan separuh batang kejantanannya.

Dan kenikmatan itu semakin menjadi-jadi tatkala Nyimas Ajeng mulai memaju-mundurkan kepalanya, mengoral penis Sena sebatas bagian tengah. Mulut Nyimas pun terasa penuh sesak, pipinya menggelembung sebab diameter penis Sena.

Air mata pun turun dari sudut mata Nyimas Ajeng, namun bukan air mata kesedihan, itu adalah air mata bahagia sebab telah membuat sang keponakan mengerang-ngerang dalam ruang kenikmatan.

“Orrgghh.. orrrgghhh.. orrggh..” Bunyi merdu keluar masuknya batang penis Sena di mulut Nyimas Ajeng terdengar mengalun ke sepenjuru ruangan.

Sepuluh menit lamanya Nyimas mengoral penis Sena, hingga akhirnya ia menutup kegiatan tersebut dengan membenamkan seluruh penis Sena ke dalam rongga mulutnya, masuk sepenuhnya hingga tandas menyentuh pangkal tenggorokan, membuat bibir Nyimas menempel pada pangkal batang milik Sena.

“Eeerrgggghhh..” Sena mengejan hebat tatkala dirasakan kepala penisnya menyentuh pangkal tenggorokan sang bibi, tubuh pemuda itu melenting ke depan, refleks memegang kepala Nyimas agar tertahan sejenak dalam posisinya.

Sedang Nyimas menahan napas dan rasa tersedaknya untuk beberapa saat, ruang-ruang tenggorokan dan mulutnya terasa penuh sesak tiada tara. Air mata pun tanpa terkendali keluar dari sudut kelopak mata perempuan itu.

Hingga akhirnya Sena menarik pinggulnya ke belakang secara perlahan, menarik batang penisnya dari rongga mulut Nyimas Ajeng dengan tubuh sedikit merinding didera kenikmatan.

FLOPPP..

Bunyi perpisahan kepala penis sang pemuda itu ketika terlepas dari bibir bibinya.

Nyimas Ajeng pun lekas menghela udara banyak-banyak, bibirnya megap-megap terbuka dengan liur membasah di mana-mana.

Sena pun segera menarik tubuh sang bibi untuk lekas berdiri, langsung dipagutnya bibir Nyimas Ajeng dengan penuh kelembutan, dipeluknya erat-erat pula tubuh Nyimas dengan penuh perasaan.

MMMPPHHH.. MUAAACHHH..

Ciuman mereka pun terlepas, bibir mereka sama-sama basah air liur.

Sena pun menempelkan keningnya pada kening sang bibi, memejamkan matanya dalam-dalam merengkuh tubuh perempuan indah itu.

“Terimakasih Nyimas.. terimakasih.. huh.. huhh..” Ucap Sena dengan perasaan membuncah birahi.

“Aku milikmu Sena.. aku milikmu..” Sahut Nyimas yang tangannya kini terkalung di leher Sena.

Setelah itu Sena pun membuka matanya, kemudian mendorong lembut tubuh sang bibi hingga terlentang di tepian ranjang pembaringan.

Tanpa banyak bicara Sena pun membuka paha Nyimas Ajeng lebar-lebar, menampilkan vagina indah Nyimas yang dipenuhi bulu-bulu hitam lebat nan basah. Indah merekah dengan bagian tengahnya yang mengintip berwarna merah.

Sena terpesona sejenak, sebelum akhirnya mulai menciumi paha bagian dalam Nyimasnya dengan lembut, perlahan-lahan demi perlahan hingga akhirnya bibir Sena pun tiba di gundukan vagina milik bibinya tersebut, dikecupnya lembut tepian vagina basah Nyimas dengan penuh perasaan, dielusnya lembut rambut-rambut kemaluan sang bibi dengan penuh gairah mendalam.

“Sssshhh.. ya.. di sana Sayang.. uh..” Erang Nyimas Ajeng yang kepalanya terangkat untuk memandang wajah Sena.

Sena pun mengerti, segera saja ia benamkan dalam-dalam wajahnya di vagina Nyimas Ajeng. Menekan hidung mancungnya tepat di rekahan vagina sang bibi sembari dihirup dalam-dalam aroma lendir pelumas yang keluar dari sana .

“Ouuhhhhh.. Senaaaa... Ssshhh..” Desah Nyimas menjatuhkan kepalanya. Kenikmatan menjalari tiap-tiap inci vaginanya saat ini.

Terlebih ketika Sena mulai memainkan lidahnya, menyapu dari bawah ke atas lipatan tengah vagina basah nan memerah itu. Menjilati cairan kenikmatan yang keluar dari liang senggama sang bibi.

Sluurrpp.. sluurrpp.. slurrrpp..

“Ahh.. ahh.. sssshhh... Mmmpphh.. geli sayang.. sshhh..”

Mendengar desahan sang bibi, Sena pun semakin bersemangat. Ia cucukkan sesekali ujung lidahnya, ia mainkan pula jemarinya di klitoris sang bibi. Membuat Nyimas Ajeng kian mengerjat-ngerjat menahan geli di pangkal pahanya.

Setelah lima menit lamanya, Sena pun menambahkan 'servicenya' dengan memasukan jari telunjuknya ke lipatan rapat vagina Nyimas Ajeng. Dimaju-mundurkannya telunjuk itu untuk menggesek bagian dalam vagina sang bibi. Membuat Nyimas Ajeng kian resah dilanda birahinya.

CLLOK.. CLLOKKK.. CLOKK..
SLUURRPP.. SLUURRP..

“OOUUUGGGHHH.. YAAHH.. TERUS SAYANG.. SSSHH..”

Kombinasi sapuan lidah dan kocokkan telunjuk Sena benar-benar membuat Nyimas Ajeng blingsatan bukan main. Pahanya semakin terbuka lebar dengan pinggul mengentak-entak menyambut tiap colokan telunjuk Sena.

Dan tak menunggu lama, tak sampai sepuluh menit semenjak telunjuk Sena masuk ke dalam liang senggamanya, Nyimas pun mengentak-entak hebat pinggulnya ke atas, betisnya lekas melilit kepala Sena dan kepalanya menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri.


“YAH.. YAH.. UUHHH.. TERUS SAYANG.. OOUUH..”

Nyimas Ajeng berteriak-teriak hebat, ia hampir sampai pada puncak kenikmatan pertamanya hari ini. Namun ketika orgasmenya sudah di ambang mata, Sena tiba-tiba menghentikan segala aktivitasnya. Telunjuknya ia tarik keluar dan sapuan lidahnya pun ia hentikan.

“Oohhh.. hhuhhh.. huhh.. ssshh.. aku hampir sampai sayang..” Protes Nyimas manja kepada Sena yang sudah membuka kaitan betis Nyimas Ajeng. Tengah merambat naik ke tubuh sang bibi dengan bibir sesekali mengecupi kulit tubuh Nyimas Ajeng.


“Saya sayang pada Nyimas.. sayang sekali.. mmpphh..” Ucap Sena sembari memagut bibir sang bibi, kedua tangannya meremas payudara Nyimas Ajeng yang sedang dalam tingkat tertinggi sensitifnya.

Nyimas Ajeng pun membalas pagutan bibir Sena dengan rakus dan penuh kehausan, dibelitkannya lidah Sena dengan penuh dahaga.

Sedang Sena melebarkan paha Nyimas dengan masing-masing lututnya, kemudian menempatkan pinggulnya di antara paha Nyimas Ajeng dengan penuh gairah cinta.

Sena pun merapatkan pinggulnya pada pangkal paha Nyimas, membenturkan kepala penisnya yang mengacung bak tongkat baja itu di gerbang vagina basah milik Nyimas Ajeng. Menyundul-nyundul di sana, mencoba mencari jalan masuk untuk menuju kenikmatan surgawi yang tengah dicarinya.

Tahu jika kejantanan sang keponakan tengah mencari jalan masuk dengan menggesek-gesek helaian rambut kemaluan vaginanya, Nyimas pun segera menggenggam batang penis Sena itu, mengarahkan kepala penis Sena yang bak payung jamur itu ke gerbang senggamanya. Menggesek-gesek di sana dengan penuh rasa geli menjalari syaraf-syarafnya.

“Mmmpphh.. muaachh.. ssshh.. tekan Sayang.. sshh..” Bisik Nyimas di sela-sela cumbuan mereka, dan tanpa menunggu perintah kedua, Sena pun segera menekan pinggulnya ke bawah, membawa batang penisnya membelah lipatan vagina berbulu milik sang bibi, mulai memasuki lubang senggama yang saat ini terasa hangat membasahi ujung-ujung kepala penisnya.

“Sssshhh.. mmpphhh..” Desah Nyimas di sela-sela cumbuan mereka ketika dirasakan kepala penis Sena mulai menguak lipatan vaginanya, masuk perlahan.

“Mmmpphhh... Ahhhhh...” Pagutan mereka pun terlepas sebab Nyimas Ajeng menjatuhkan kepalanya dan menegang hebat ketika kepala penis Sena sudah sepenuhnya masuk dan terjepit bibir vaginanya. Menahan rasa perih yang mulai menyeruak di sana.

Hangat dan sempitnya liang senggama milik Nyimas Ajeng benar-benar membuat Sena gemetar bukan main, lututnya bahkan harus ia perkuat sebab rasa ngilu di kepala penisnya menjalar ke sepenjuru tubuh.

Sena pun membenamkan wajahnya di leher Nyimas Ajeng. Mencium, mengecup, menghisap, dan menjilati kulit leher milik Nyimas Ajeng dengan penuh gairah.

Sementara itu Tangannya terus memberi remasan di kedua payudara sang bibi dengan sesekali memelintir puting coklat kemerahan milik bibinya itu.

Merasa cukup memberikan waktu adaptasi pada liang vagina sang bibi, Sena pun kembali melanjutkan dorongan pinggulnya, menguak dinding-dinding bagian dalam vagina Nyimas Ajeng dengan tempo lambat namun pasti, tanpa jeda.

Sementara dirasakan Sena pinggul sang bibi menegang hebat, remasan dinding vagina bagian dalam milik Nyimas benar-benar kuat menghisap, membuat kenikmatan tiada tara dirasakan Sena saat ini. Sedang sang bibi bak orang kepedasan, kombinasi rasa geli yang begitu nikmat dengan setitik rasa perih benar-benar memabukkan bagi Nyimas Ajeng saat ini.

Membuat tangannya yang kini melingkar punggung Sena ikut bereaksi, mencengkeram erat-erat di sana, sampai kuku-kuku Nyimas Ajeng mulai membenam di kulit punggung Sena, menyalurkan rasa perih pula bagi Sena yang didera kehangatan dari liang senggama sang bibi saat ini.

“Heikkkhhh... Mmmppphh..” Nyimas Ajeng menahan sekuat tenaga lonjakan birahinya ketika penis sena semakin dalam menyeruak bagian bawah tubuhnya. Menikmati tiap-tiap detik dan tiap-tiap gesekan yang terasa meluluhlantakkan dirinya saat ini.

BRREEERRRTT... BRREEERRRTT.. BLEESSSSSSSHHH..

“AAAHHHHHHHHH.. SSSHHHH..” Nyimas Ajeng berteriak sekencang-kencangnya dengan kuku yang semakin menancap di kulit punggung Sena tatkala kepala penis Sena terasa menyentuh pangkal rahimnya, kepala Nyimas yang tadi dijatuhkan ke kasur terangkat dan langsung ditenggelamkan pada bahu Sena, Nyimas Ajeng pun menggigit bahu Sena sebagai bentuk kenikmatan birahinya saat ini.

“Ssssshhh... Mmmpphh..” Sesang Sena mendesah tertahan tatkala berhasil membenamkan keseluruhan batang penisnya, berbarengan dengan itu ia meresapi remasan-remasan kuat yang begitu nikmat di keseluruhan penisnya saat ini, dan kenikmatan tersebut dikombinasikan pula dengan rasa perih dan sakit dari cengkeraman kuku dan gigitan Nyimas saat ini.

Sena memejamkan matanya rapat-rapat, menguatkan remasannya dan memelintir keras puting payudara sang bibi sebagai respon birahinya saat ini.

Ia diamkan sejenak batang penisnya di sana, ia resapi baik-baik kenikmatan tiada tara yang tengah melandanya saat ini. Bermenit-menit lamanya.

Hingga dirasa Bibinya sudah mulai tenang, dan ketegangan di otot-otot vagina Nyimas sudah mulai mengendur, Sena pun mengangkat wajahnya, kedua tangannya berpindah dari payudara Nyimas ke atas pembaringan, digunakan sebagai tumpuan.

Setelah itu Sena memagut kembali bibir Sang Bibi, melumat lembut bibir yang selalu menjadi kecintaannya selama ini. Nyimas pun membalas pagutan Sena tak kalah lembutnya.

Mmmmpphhh.. Muaacchh..

“Huh.. huh.. ssshhh..” Nyimas Ajeng menderu, tubuhnya menggeliat kecil berusaha menyamankan diri. Sedang Sena meringis sedikit sebab pergerakan pinggul Nyimas Ajeng memberikan remasan bersifat kejut yang membuat ngilu seluruh tubuhnya.

“Sssshhh.. apa masih sakit, Nyimas?” Tanya Sena dengan mata yang menatap dalam-dalam. Nyimas Ajeng menggeleng pelan, menyajikan senyum penuh birahinya pada Sena.

“Sakitnya tidak seberapa Sena Sshhh.. dan itu justru melengkapi keutuhanku tiap kali punyamu masuk ahhhh.. sshh..” Jawab Nyimas dengan wajah memerah padam.

“Punyaku itu maksudnya apa Nyimas? Saya tidak mengerti..” Ujar Sena jahil memancing Bibinya, bersamaan dengan itu ia tarik perlahan pinggulnya ke atas. Memberikan gesekan yang amat geli untuk mereka berdua.

“Kamu sedang memancingku ya? Hhhmm..” Desah Nyimas menikmati gesekan kepala penis Sena di dinding dalam liang senggamanya.

“Maaf Nyimas.. tapi saya benar-benar ingin mendengarnya hhhmm..” Sahut Sena yang kini menahan pergerakannya. Batang penisnya sudah terlepas dari cengkeraman vagina sang bibi. Hanya menyisakan kepala penisnya saja yang masih tertanam di sana.

“Kontolmu Sayang.. ssshh.. tiap kali kontolmu memenuhi memekku, aku selalu merasa utuh hhmm..” Ucap Nyimas menuruti permintaan Sena, dan mendengar sang bibi berbicara kotor membuat Sena tersenyum lebar, dan tanpa aba-aba lagi, ia hentakkan pinggulnya keras-keras, membenamkan kembali batang penisnya ke dalam liang senggama sang bibi.

“Heikkkkhhhh... Mmpphh.. Sena! Kamu.. Ouuuhhh..” Protes Nyimas Ajeng sebab tak siap dengan hujaman penis Sena yang mengoyak vaginanya secara tiba-tiba itu. Tubuh perempuan itu melenting ke belakang, membusungkan payudaranya tinggi.

Sena tersenyum lebar, menegakkan tubuhnya kemudian merenggangkan paha Nyimas lebar-lebar. Dipandanginya vagina indah Nyimas Ajeng yang tengah melahap batang penisnya itu. Vagina rimbun yang begitu basah tersebut terlihat menggelembung dan berkedut-kedut di bagian bibir vaginanya.

“Pelan dulu Sayang.. ssshh..” Pinta Nyimas dengan wajah terangkat, Sena tersenyum kecil, dielusnya paha bagian dalam Nyimas Ajeng kemudian mulai memaju mundurkan pinggulnya dengan pelan, memompa vagina sang bibi yang dibasahi lendir kenikmatan.

“Ahhh.. iya sayang.. hhhmm iya.. ouhh..” Desah Nyimas yang merasakan kenikmatan tiada tara.

“Hhhmmm.. ssshh..” Pun dengan Sena, ia merasakan ngilu yang begitu nikmat di sekujur batang penisnya yang tengah keluar masuk di liang senggama sang bibi.

“Aku berjanji Nyimas.. aku berjanji akan mengerahkan seluruh kekuatanku, agar bisa melumpuhkan pemilik Asta Braja itu.. oohh.. supaya rencana kita tidak terganggu.. aaahh..” Racau Sena yang mulai mempercepat tempo genjotannya.

Membuat Nyimas Ajeng semakin blingsatan, tubuh perempuan itu tersentak-sentak mengikuti hantaman pinggul Sena, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan kedua tangan terentang lebar mencengkeram sprei pembaringan ini.

PLOK.. PLOK.. PLOK..

“Yaahhh.. sssshhh.. aku tidak bisa menahanmu sayang.. hhhmm.. tapi tolong.. kembalilah padaku.. ah.. ah.. apa pun yang terjadi.. mmmpphhh..” Sahut Nyimas di tengah-tengah kenikmatan yang melanda sekujur syaraf tubuhnya, dan kenikmatan itu bersumber dari pangkal pahanya yang tengah dipompa oleh Sena.

PLOK.. PLOK.. PLOK..

“Tapi jika pun saya tidak kembali.. sshh.. saya mohon agar Nyimas tidak menangis.. aahh.. saya tidak mau menjadi sumber air mata bagi perempuan yang paling saya cintai ini.. ssshh..” Racau Sena menyampaikan isi hatinya, dan tiba-tiba saja kaki Nyimas langsung membelit pinggulnya, menahan gerakan Sena untuk Sementara waktu.

Setelah itu Nyimas segera melingkarkan lengannya di tubuh Sena, menarik pemuda itu untuk turun menindihnya, memagut bibir Sena dengan penuh perasaan birahi yang bercampur dengan cinta dan kesedihan. Setitik air mata kembali menetes dari kelopak mata Nyimas Ajeng, dan air mata ini sungguh-sungguh adalah air mata kesedihan.

Mmmpphh... Muuaacchhh..

“Huhh.. huhh.. kamu harus kembali Sena.. harus kembali!! Jangan sampai tidak..” Ujar Nyimas Ajeng dengan deraian air mata tambahan, kedua tangannya memegang pipi Sena dengan erat, matanya dalam-dalam menatap kedua bola mata Sena.

“Saya akan berusaha untuk kembali Nyimas.. tapi saya sungguh-sungguh tidak bisa berjanji..” Jawab Sena sembari menghapus linangan air mata sang bibi. Nyimas Ajeng menggelengkan kepalanya keras.

Menarik kepala Sena untuk kembali melumat bibir pemuda itu dengan keras, melumat dengan perasaan sesak tiada tara.

Mmmpphh.. Muaacchhh..

“Aku mau kamu berjanji, Sena..” Ujar Nyimas dengan mata memerah tangis. Sena menghela napas pelan, diusapnya kepala Nyimas dengan penuh perasaan.

“Saya tidak..”

“Kamu harus berjanji!” Potong Nyimas dengan tangan dilingkarkan seketika ke leher Sena, menarik kepala pemuda itu dan merengkuhnya erat-erat.

“kamu harus berjanji.. hiks..” Sambung Nyimas lagi sembari memeluk erat-erat kepala Sena. Kesedihan mulai menguasai hatinya saat ini.

“Nyimas..” Sena hendak kembali berucap di sela bibirnya yang mengecupi tengkuk sang bibi, namun ucapannya kembali terpotong oleh Nyimas Ajeng.

“Kalau kamu kembali, aku berjanji akan mewujudkan keinginan terbesarmu selama ini..” Bisik Nyimas tepat di telinga Sena, berusaha memberikan dorongan tekad kepada Sang Keponakan.

Dan mendengar hal tersebut Sena pun segera mengangkat wajahnya. Dipandangnya mata Nyimas dalam-dalam, dipegangnya pipi Nyimas dengan penuh kasih sayang.

“Katakan sekali lagi, Nyimas..” Ujar Sena dengan mata berkaca-kaca.

“Aku berjanji akan mewujudkan impian terbesarmu Sena. Aku akan mewujudkan keinginanmu itu..” Ucap Nyimas dengan perasaan berat namun tetap yakin pada ucapannya.

“Sungguh?” Tanya Sena dengan air mata yang keluar membasahi pipinya. Nyimas pun lekas mengusap air mata itu, dan segera memberikan anggukan kepala.

“Ya.. aku bersedia Sena.. aku akan membuka penutup rahimku jika kamu kembali..” Jawab Nyimas Ajeng dengan penuh keyakinan. Dan kembali, setetes air mata turun membasahi pipi Sena.

“Saya berjanji Nyimas.. saya berjanji akan kembali.. apapun yang terjadi.. saya berjanji akan kembali.. demi Nyimas.. mmpphh..” Sena berkata dengan semangatnya seraya langsung memagut bibir Nyimas Ajeng dengan penuh bahagia.

Mereka pun saling melumat dengan perasaan membuncah.

Nyimas Ajeng meneteskan air mata, sebab pertahanan yang selama ini ia bangun untuk Sena pada akhirnya runtuh jua. Sedang Sena begitu berbahagia, sebab impiannya untuk bisa menghamili Nyimas, untuk bisa memiliki anak dari perempuan yang paling ia cintai akhirnya akan terwujud.

Sena memagut lembut dan mendayu bibir sang bibi, pinggulnya mulai kembali bergerak memompa pangkal paha Nyimas Ajeng. Tangannya mulai kembali menggerayangi payudara bibinya itu dengan birahi yang diselimuti kebahagiaan tingkat tinggi.

Kedua insan sedarah itu pun kembali melanjutkan pacuan birahi yang sempat terjeda. Dan di tiap detiknya, genjotan Sena pada vagina Nyimas Ajeng kian cepat dan bersemangat. Membuat Nyimas Ajeng kembali terbakar birahi dan mengerang-ngerang tak terkendali.

Sena menegakkan tubuhnya, lalu dengan segera ia pun merapatkan paha Nyimas, dan menempatkan kaki perempuan itu di bahunya, kembali merojok-rojok vagina sang bibi dengan birahi yang meluap-luap tinggi.

PLOK.. PLOK.. PLOK..
PLOK.. PLOK.. PLOK..

“AH.. AH.. AH.. AH.. TERUS SAYANG OUUHHH.. TERUS.. SSSHH..” Nyimas kian meracau dalam lautan birahinya. Sedang Sena kian bersemangat mengeluar-masukkan batang keperkasaannya di liang senggama sang bibi.

Senyumnya merekah, birahinya terbakar pada titik tertinggi, mendidih penuh gelora.

Di kepala Sena saat ini terbayang gambaran jika nanti Nyimas tengah mengandung anaknya, gambaran Nyimas yang tengah hamil besar berjalan-jalan menyusuri tepian sungai bersamanya, gambaran di mana ia akan menggendong tubuh Nyimas dengan perut membuncit besar, gambaran di mana Nyimas menimang buah hati mereka dengan dirinya berdiri memeluk Nyimas Ajeng dari belakang.

Sena tersenyum semakin lebar, semakin dipercepat tempo keluar masuk batang penisnya di vagina sang bibi, gelora birahi diselimuti semangat menggebu yang dibalut dengan cinta mahadahsyat yang akan menuju kata sempurna membuat Sena benar-benar bak terlahir kembali ke dunia.

“Saya mencintaimu Nyimas.. dan saya berjanji akan kembali.. Demi Nyimas.. dan demi masa depan kita.” Batin Sena bahagia dengan linangan air mata di tengah pompaannya pada tubuh Sang Bibi.

**​

Purantara di waktu yang sama..

POV REGAN


Terhitung udah tiga batang garpitku tandas selama aku menikmati kidung alam nan teduh diterpa gerimis ini, angin sepoi-sepoi tipis serta gerimis yang kian menipis. Ini aku sekarang lagi ngabisin batang ke empat. Ah gila.. sepur juga aku ya? Pantes dadaku mulai berasa panas. Sumpah.. enggak berasa loh, nyambung terus aja gitu.

Bisa bengek nih kalau aku nyundut sebatang lagi hahaha..

Dan di tengah lamunan panjangku serta kepulan asap rokokku. Tiba-tiba dari arah pintu aku lihat Dira muncul sembari membawa semacam bakul dari anyaman bambu yang sudah diisi buah, mungkin itu buah yang tadi ia serahkan kepadaku, sudah dipindahkan ke bakul sepertinya.

Kemudian di tangan yang lain ia menggenggam sebuah gelas yang diberi penutup. Rambutnya sudah kembali ia kuncir rapi dan tinggi, menampilkan aura kecantikan yang amat hakiki. Membuat sekelilingku seperti mengabur dan hanya terfokus pada dirinya seorang.


92491fac822df502f989b2bdcd89832c.jpg



DIRA



Dira pun tersenyum ke arahku yang tengah memandanginya lamat-lamat, aku membalas dengan senyuman seraya menegakkan dudukku. Bersamaan itu Dira mulai berjalan menembus rinai gerimis dengan bertelanjang kaki. Membuat hatiku entah mengapa merasakan gedegub tersendiri di setiap langkah Dira yang anggun menerabas gerimis.

Indah.. itu saja yang bisa kudefinisikan saat ini..

“Katanya mau tidur tadi hihihi..” Ucap Dira ketika sampai di saung, aku pun semakin melebarkan senyum, beringsut mendekat ke tepian lantai kayu saung ini.

“Becanda Ra..” Jawabku sembari membantu Dira menurunkan barang-barang bawaannya.

“Kirain aku beneran tau..” Ujar Dira sembari berdiri merapikan kunciran rambutnya.

“Ya enggaklah, masa kamu udah repot-repot ke sini malah saya tinggal tidur, enggak tau diri banget dong saya.” Sahutku sambil menjuntaikan kaki.

“Apasih Kak.. enggak boleh ngomong gitu, namanya juga orang sakit, ya perlu banyak istirahat dong..” Tukas Dira seraya memutar tubuhnya kemudian duduk menjuntai kaki di sebelahku, mengapit bakul buah dan gelas yang ia bawa.

Dan aku hanya bisa tersenyum atas perhatian Dira yang menurutku lembuuuuuuuut sekali, dan manis sekali diterimanya. Bohong kalo aku bilang aku enggak tersentuh saat ini.

“Diminum dulu Kak tehnya..” Ujar Dira dengan wajah tertoleh ke arahku. Kening dan pipinya sedikit basah akibat bulir gerimis yang belum kunjung ia tepikan.

“Jadi ini buat saya?” Tanyaku sembari mengambil gelas tersebut, membuka penutupnya, dan menghirup baik-baik aroma teh melati yang khas.

Dira tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

“Kamu yang bikin?” Tanyaku lagi memastikan, Dira pun segera menganggukkan kepala lagi.

“Ditemenin Kak Hani tadi bikinnya..” Jawab Dira dengan senyum merekah yang begitu ikhlas. Aku mengangguk pelan, kemudian menyeruput teh buatan Dira yang memiliki suhu begitu pas.

Panas.. tapi panas yang bisa diminum gitu, tapi enggak anget ya. Pokoknya ada di suhu mahal gitu deh.

“Makasih ya Ra..” Ucapku sambil meletakkan gelas tersebut, kembali memasang penutupnya. Dira tersenyum begitu indahnya seraya memberikan anggukan kepala. Kemudian ia memutarkan pandangnya ke mengelilingi halaman belakang rumahku, tersenyum sejuk dengan wajah dihiasi bulir air hujan.

“Oh iya Ra, Hani masih di dapur?” Tanyaku kepikiran Hani. Dan untuk sekelibat mata, aku mendapati senyum Dira sedikit memudar sebelum kemudian terkembang lagi dengan khasnya, menolehkan kepala ke arahku.

“Kak Hani pergi sama Teh Arum, mau ke pasar katanya, mumpung hujannya mulai reda.” Jawab Dira sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

Aku mengangguk pelan, jika Hani berada di rumah, Teh Arum memang acap kali mengajak Hani untuk ke pasar, atau tepatnya Hani yang meminta ikut.

“Bagus deh.” Ucapku bergumam dan merasa sedikit di luar kendali alam sadarku.

“Bagusnya?” Tanya Dira bingung dengan kepala sedikit dimiringkan.

Duhh.. kenapa aku malah bilang gitu ya tadi? Apa itu berasal dari alam bawah sadarku yang lega karena Hani dan Teh Arum enggak ada di rumah? Yang artinya hanya tinggal aku dan Dira saja di sini? Uhhh.. gak taulah..

“Maksudnya bagus karena nanti Teh Arum pasti beli sesuatu buat dimasak.. iya.. itu maksudnya..” Jawabku asal.

“Oh..” Sahut Dira pendek.

Lalu beberapa saat kami pun saling diam, Dira kembali mengedarkan pandangannya, sedang aku kembali meneguk teh buatan Dira. Kami sama-sama membisu entah karena apa. Kalau aku mah karena gugup berduaan sama Dira kaya gini. Enggak tau kalau Dira.

Kebisuan itu baru pecah ketika Dira menawarkan buah bawaannya kepadaku. Ada bermacam-macam sebenarnya, dari apel, pisang, anggur dan lain-lain, khas parcel buah buat jenguk orang sakit gitu.

Aku akhirnya mengambil sebuah apel berwarna merah tua yang terlihat menggiurkan, mau aku caplok langsung niatnya, tapi tiba-tiba Dira menahanku, dan menawarkan diri untuk mengupaskan kulit apel di tanganku itu.

“Enggak usah lah Ra, langsung caplok aja..” Tolakku halus, namun tiba-tiba Dira memegang pergelangan tanganku, membuat apel yang sudah berada di ambang mulutku terhenti.

Lalu oleh Dira ditariknya lembut tanganku, diambilnya apel tersebut, kemudian dengan pisau yang memang sudah dipersiapkan di dalam bakul, ia mulai mengupas kulit apel tersebut.

“Kata Kak Hani.. Kak Regan pasti bakal milih apel, terus Kak Hani juga bilang, kalau Kak Regan enggak suka kulit apelnya. Makanya aku siapin pisau buat ngupasin apel Kak Regan. Soalnya kata Kak Hani, nanti Kak Regan buang sisa kulit apelnya sembarangan hihihi..” Ujar Dira dengan mata sesekali melirikku, membuatku terenyuh bukan main.

Dan terenyuhku itu berasal dari dua sumber berbeda. Satu karena Dira begitu perhatian dan telaten sekali dalam memperlakukanku. Dua karena Hani, ya.. sebab meski jutek-jutek gitu Hani masih aja nyempetin buat ngasih tau Dira apa yang aku suka dan aku enggak suka.

Huffftt.. Hani itu, bener-bener bisa bikin perasaanku amburadul enggak jelas.

“Aaaa..”

Aku terkesiap tatkala Dira menyodorkan potongan apel yang sudah dikupas sebagian di depan bibirku, kepalanya sedikit dimiringkan dengan tatapan melebar dan senyum merekah.

“Aaaa..” Dira kembali menggerak-gerakkan potongan apel di tangannya sebab aku yang masih diam.

Dan dengan ragu-ragu, aku pun memajukan kepala dan membuka bibirku, menggigit potongan apel tersebut dengan perasaan yang alakazama banget pokoknya.

“Hihihi.. manis enggak Kak?” Tanya Dira ketika aku tengah mengunyah daging apel di dalam mulutku.

“Manis.. manis banget malahan..” Jawabku dengan mata yang tenggelam di sepasang bola mata indah milik Dira.

Membuat Dira semakin melebarkan senyumnya, tersipu sendiri dengan semu pipi memerah.

“Lagi?” Tanya Dira yang tengah membersihkan biji dari potongan apel berikutnya. Aku menganggukkan kepala, dan kembali Dira menyuapkan potongan tersebut kepadaku. Aku mengunyahnya dengan riang.

“Ini apel termanis yang pernah saya makan. Manis banget..” Tukasku dengan bahagia sembari mengusap bulir gerimis yang hinggap di kening Dira, membuat Dira seketika membeku keluh.

“Mungkin apel ini enggak bakal semanis ini kalo bukan kamu yang ngupasin Ra..” Lanjutku lagi dengan usapanku yang sudah turun ke pelipisnya, membersihkan sisa-sisa basah di sana.

Dira pun kian terdiam, senyumnya yang tadi melebar berangsur hilang, berganti dengan raut yang begitu sulit dijelaskan.

“Terimakasih banyak Ra, terimakasih banyak karena kamu udah baik sama saya.” Ucapku lagi dengan jemari yang sudah hinggap di pipi lembut milik Dira, mengusap-usap di sana, membuat raut wajah Dira memerah padam.

“Makasih ya..” Tukasku lembut dengan tangan yang kini berpindah ke atas kepala Dira, mengusap rambutnya yang rapih terikat ke belakang.

“I.. iya Kak..” Jawab Dira gugup dengan anak mata yang tak lepas dari tatapanku.

Lalu, entah mendapat keberanian dari mana. Aku mendekatkan wajahku, hendak mengecup kening Dira.

Tapi beberapa inci sebelum bibirku mendarat bayangan wajah Hani terpampang di kepalaku, membuatku langsung tersadar dan mengurungkan niatku.

Sialan.. lagi pula, aku kok kaya manfaatin keadaan banget sih. Aku enggak boleh kaya gini harusnya. Enggak boleh, apalagi ke Dira. Enggak boleh banget aku manfaatin dia.

Alhasil aku pun menggigit bibirku sendiri, dan hanya memberikan usapan lembut di rambut Dira, setelah itu kutarik kembali wajah dan tubuhku sedikit menjauh.

“Terimakasih karena kamu udah ada di sini.” Ujarku mengumbar senyum, kini tanganku sudah ikut tertarik dari kepala Dira, langsung kuposisikan menjadi tumpuan di lantai saung.

Kutatap Dira dalam-dalam ketika kukatakan hal tersebut, namun wajah Dira tetap keluh meski senyumku telah kupugar untuknya.

Hening..

Dira hanya menatapku dengan tatapan nanar yang sulit aku terjemahkan.

Apa mungkin ia merasa tersinggung atas perlakuanku barusan yang hampir mengecup keningnya? Tapi kan aku mengurungkan niatanku itu. Tapi apa emang aku udah terlalu lancang karena berani memiliki niat buat mengecup keningnya?

Entahlah.. aku sendiri bingung.

“Maaf.” Ujarku pendek pada Dira, dan tiba-tiba saja raut wajah Dira berubah seketika, tidak setegang sedetik yang lalu, seperti tersadar akan sesuatu.

Kemudian dengan cepat ia meletakan pisaunya, dan tangan kanannya pun langsung menangkup telapak tanganku, digenggamnya erat kemudian diangkatnya telapak tanganku itu ke atas, lalu diletakkan kembali di atas kepalanya. Tepat di rambut bagian depannya yang tadi sempat aku usap.

Bibir Dira merekahkan kembali senyum, tatapannya kembali berbinar, dan wajahnya sudah tidak keluh. Ia bahkan menahan tanganku di kepalanya menggunakan tangannya.

“Makasih juga Kak.. makasih karena Kak Regan selalu berhasil bikin Dira seneng..” Seru Dira dengan bahagianya, dengan senyum yang dikembangkan lebih lebar sebelumnya.

Dan entah mengapa, perlahan-lahan bibirku langsung menyunggingkan senyum kecil, telapak tanganku yang tadinya hanya diam di atas kepala Dira mulai bergerak lembut, memberikan usapan di sana.

Lalu kami sama-sama tertawa, aku mengusap-usap kepalanya yang membuat ikatan rambutnya sedikit berantakan, sedang Dira hanya diam sembari tersenyum dengan mata sesekali dipejamkan. imut banget sumpah..

“Dasar..” Ucapku pendek menyudahi usapanku, kemudian kembali tertawa bersama Dira.

Sembari mengudarakan tawanya, Dira pun mengangkat kedua tangan untuk merapikan kembali rambutnya, membenarkan anak-anak rambutnya yang terlepas dari ikatan, lalu mengencangkan kembali ikatan rambutnya.

Dan ketika Dira melakukan itu, sungguh.. seperti seluruh dunia berhenti bergerak. Enggak ada hal lain yang bisa menjadi pusat pandangku selain kegiatan Dira yang tengah menguncir rambut itu. Terbius, terpana dan semacam itulah pokoknya.

Indah banget sumpah.. indah banget enggak boong..

Dan sebelum aku semakin tenggelam dalam kebodohan tatapanku itu, aku pun segera membuang pandang ke arah lain, kuhela napasku beberapa kali sebelum akhirnya memberanikan diri kembali bersitatap dengan Dira yang sudah selesai dengan kunciran rambutnya.

Hendak mengambil pisau untuk melanjutkan potong memotong apelnya, tapi aku segera menahannya, dan tanpa bicara aku mengambil lembut pisau dan apel dari tangan Dira.

“Gantian dong..” Aku berkata sembari memotong bagian apel yang kulitnya sudah dikupas oleh Dira, lalu kubuang bagian bijinya, setelah itu kusodorkan kepada Dira.


“Aaa...” Ujarku seraya menggerak-gerakkan potongan apel ke bibir Dira, membuat Dira semakin melebarkan senyum, lalu dengan pelannya ia menyambut sodoran apelku, membuat potongan apel tersebut hilang tertelan bibir mungil nan menggemaskan miliknya.

“Maniskan?” Tanyaku riang. Dira mengangguk tegas dengan senyum mengembang di tengah kunyahannya.

Membuatku semakin melebarkan senyum, sesuatu terasa mekar di dalam ruang-ruang perasaanku saat ini. Dan itu bersumber dari seorang gadis yang sangat menggemaskan di hadapanku ini, gadis yang beberapa hari ini mulai mengisi lubang kosong yang berada di sudut lain dinding perasaanku.

Kami pun terus bertukar tawa, saling mengabarkan tatap, saling melempar senyuman penuh bahagia.

Buah apel yang udah enggak utuh itu kini berpindah-pindah. Dari tanganku ke tangan Dira, lalu kembali lagi ke tanganku, kemudian pindah lagi ke tangan Dira.

Ya.. kami saling menyuapi apel manis yang terasa semakin manis berkat konspirasi alam raya di tengah gerimis ini.

Tawa berderai, senyum mengembang, usapan demi usapan jemari Dira di tepian bibirku, maupun usapan-usapan telapak tanganku di atas kepalanya. Dan aku sungguh-sungguh merasakan kebahagiaan saat ini, kebahagiaan yang aku sendiri sulit untuk menjelaskan maknanya. Tapi yang jelas, aku bahagia.. aku bahagia karena bisa bertukar canda tawa dengan Dira, itu saja.

Setelah menandaskan dua buah apel dan satu buah jeruk, aku dan Dira pun memutuskan menyudahi kongkow-kongkow kami di saung belakang rumahku ini. Kami beranjak masuk dengan sisa-sisa gerimis tipis menaungi, dan tawa riang Dira yang meningkahi, lembut dan sopan banget masuk ke telingaku, nyaman sekali didengarnya.

“Aku boleh nanya sesuatu enggak Kak?” Tanya Dira ketika kami berjalan bersisian menuju pintu belakang.

“Pake izin segala, kaya saya security komplek aja..” Jawabku santai sembari membuang puntung rokokku yang sudah mendekati filternya.

Dira tertawa kecil sebelum akhirnya memutar tubuh dan berjalan mundur mengimbangi langkahku. Ini dia ini bener-bener gemesssssin banget asli.

Ada aja gitu tingkahnya yang bikin aku pengen gendong terus bawa ke kamar hehehe.

“Kakak sama Kak Hani itu sodaraan apa gimana?” Tanya Dira dengan alis tertaut.

“Kenapa nanya itu?” Tanyaku balik karena bingung. Iya bingung.. kenapa Dira bisa mikir kalo aku ini sodaranya Hani?

“Ya abis Kak Regan kayanya deket banget sama Kak Hani, di sekolah sering bareng, di rumah juga sering main bareng. Aku pikir sepupuan mungkin hihihi..” Dira berujar seraya kembali memutar tubuhnya, berjalan dengan benar enggak mundur kaya tadi.

“Saya sama Hani itu temen sekelas waktu SMP, terus sahabatan ampe sekarang deh.” Jawabku sambil mengajak Dira untuk mencuci kaki di keran belakang yang memang disediakan untuk menyiram tanaman, letaknya persis di samping pintu.

“Temen satu sekolah maksudnya?” Tanya Dira memastikan.

“Iya temen satu sekolah dan temen sekelas juga waktu di SMP. Saya duduk di belakang dia malahan.” Jawabku sambil menyalakan keran air, mempersilahkan Dira untuk mencuci kakinya lebih dulu.

“Temen sekelas? Tapi kan Kak Hani kelas 3 Kak..” Tukas Dira kebingungan, dan aku baru engeh kalo Dira kan enggak tahu perihal aku yang sempat pindah sekolah dan nunda setahun.

“Gini Ra.. jadi pas kelas 2 SMP saya dipindahin sekolahnya ke kampung Uwak saya, nah pas pindah itu saya nunda dulu setahun, baru abis itu lanjut lagi ngelulusin SMP di sana. Jadi ya.. harusnya sih kalo enggak nunda saya udah kelas 3 sekarang, barengan sama Hani.” Jawabku menjelaskan pada Dira, ia yang sedang membersihkan tumit kakinya mengangguk-anggukkan kepala, tanda memahami ucapanku.

“Kenapa pindah Ka?” Tanyanya lagi yang sudah selesai membersihkan kaki. Kini gantian aku yang membasuh kakiku di aliran air keran tersebut.

“Saya dulu bandel banget, bikin masalah mulu, makanya sama orangtua saya dipindahin ke kampungnya Uwak, biar tobat katanya hehehe.” Jawabku santai saja sambil bergantian membersihkan kakiku.

“Sekarang juga masih bandel kok.. sering bikin Pak Gopur tolak pinggang hihihi..” Sahut Dira yang sudah berada di ambang pintu.

“Hehehe iya juga ya.. sama aja padahal hahaha..” Timpalku seraya mematikan keran. Dan bergabung bersama Dira.


“Hihihi dasar..” Sambung Dira yanh tertawa riang sambil memutar tubuh, berjalan denganku memasuki dapur.

Di dapur Dira berhenti sejenak untuk mencuci gelas bekas tehku, sudah aku larang sih, tapi dia maksa, jadi yaudah aku biarin. Dan setelah selesai, barulah kami berjalan ke ruang tamu. Duduk di satu sofa yang sama dan melanjutkan obrolan ke berbagai hal.

Dari mulai membahas sekolah, membahas teman-temannya dan teman-temanku, membahas guru-guru di sekolah, mana yang asik mana yang enggak, sampai membahas tentang rencana LDKS sekolah yang akan diadakan pertengahan minggu nanti, hari rabu sampai jumat tepatnya.

“Kakak sama temen-temen kakak berangkat bareng kan sama anak-anak yang lain?” Tanya Dira sembari mengambil handphonenya yang tergeletak di meja, sebuah Handphone BlackBerry bold, sama kaya handphone Ayah dan Ibuku dulu sebelum beralih ke produk SUMSANG.

“Enggak Ra, saya sama yang lain khusus malam terakhir aja. Jadi berangkatnya pas kamis siang paling.”

“Loh.. aku kira bareng sama anak kelas satu hhuffftt..” Ujar Dira terlihat sedikit kecewa.

“Hahaha enggak, lagian saya enggak bisa naek bis jauh Ra, mabokan saya mah. Makanya nanti mao turing dari sininya. Tapi alat-alat band udah dibawa duluan, jadi 4arah mah tinggal terima beres. Maklum.. guest-star gituloh hehehe..” Ujarku pura-pura menyombong, membuat Dira tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Terus nanti mau bawain lagu apa aja Kak?” Tanya Dira lagi.

“Rahasia dong.. pokoknya asik deh lagunya..” Jawabku santai.

“Ih aku penasaran, bawain lagu apa aja nanti?” Tanya Dira lagi.

“Dibilang rahasia..” Jawabku bersikeras tak mau memberitahu.

“Pelit ih..” Rajuk Dira sambil menggelembungkan pipinya, membuatku gemas buka main.

“Udah tenang aja, lagunya enggak aneh-aneh kok, yang umum-umum aja, biar semuanya bisa nyanyi bareng.” Aku berkata sembari membujuk Dira supaya enggak cemberut kaya gitu. Bukannya apa-apa nih, soalnya cemberutnya Dira itu bener-bener gemesin, aku takut khilaf sumpah.

“Bawain lagu Payung Teduh dong Kak, pleaaseee..” Mohon Dira sambil menggoyang-goyangkan lenganku.

Payung Teduh? Aku kayanya tau tuh.. itu Band Indie yang alirannya folk kalo enggak salah, emang lagi lumayan terkenal lagu-lagunya. Cuman aku belom pernah denger.

“Belom pernah denger lagunya Ra..” Jawabku padanya. Kemudian tanpa bicara Dira mengutak-atik BB-nya, entah lagi ngapain.

“Nih aku banyak nih Kak lagunya, enak-enak soalnya, bikin adem. Kakak mau denger yang mana?” Tanya Dira menyodorkan pemutar musik di BB-nya yang sudah menampilkan deretan lagu dari Band Payung Teduh.

Aku pun membaca satu persatu list lagu tersebut..

Angin Pujaan Hujan..
Berdua Saja..
Biarkan..
Cerita tentang gunung dan laut..
Di ujung malam..

Mari bercinta.. eh bercerita maksudnya.. mari bercerita.. salah baca aku..

Terus ada Menuju Senja.. Rahasia.. Resah.. Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan.. Tidurlah dan banyak lagi..

Wagelashh.. banyak juga lagunya, judulnya keren-keren lagi.

“Kamu ada rekomen enggak?” Tanyaku sambil garuk-garuk kepala, bingung sendiri karena disuruh milih lagu yang aku belom pernah dengerin.

“Kakak mau yang gimana? Yang agak ngebeat, yang santai, atau yang mendayu-dayu?” Tanya Dira balik dengan mata berbinar.

Fyuh.. kayanya dia pengen banget aku dengerin lagu band ini deh.

“Hhhhhmm.. yang menurut kamu paling enak aja..” Jawabku asal.

“semuanya enak.. gimana dong Kak?” Tanya Dira balik.

“Yaudah, yang mana aja yang menurut kamu.. kalau saya denger saya pasti langsung sreg gitu..”

“Hhhhmm.. oke deh.. aku puterin lagu yang paling aku suka. Hhmm.. tapi speaker BB-ku agak kresek-kresek Kak, Kak Regan ada headset enggak?” Tanya Dira antusias.

“Enggak ada sih, tapi kalo kamu mao, di kamar saya ada speaker. Gimana?”

“Iyaudah di kamar Kakak aja, soalnya lagu-lagu Payung Teduh itu paling enak didenger pake headset atau pake speaker. Biar kedengaran semua instrumennya..”

Dira berkata dengan sangat amat antusiasnya, seolah ini adalah sesuatu yang akan sangat menyenangkan. Aku pun mengajaknya bangkit dan beranjak ke kamar. Seraya Dira yang terus berbicara mengenai band tersebut.

Dari mulai lagu-lagunya, personelnya, tempat biasa manggung, sampe mitos dari salah satu lagu band tersebut yang berjudul “Resah”.

Aku sih cuman dengerin aja, bukan kepaksa dengerin ya, tapi emang aku tertarik sama cara penceritaan Dira. Bikin aku jadi lumayan excited buat dengerin lagu band ini.

Sesampai di kamar, dengan membiarkan pintu tetap terbuka, aku pun memasangkan kabel Jack ke BB milik Dira, lalu mempersilahkan Dira memilih lagunya, sedang aku langsung berjalan ke jendela untuk membuka lebar-lebar daun jendela kamarku. Kemudian duduk di atas kusen jendela tersebut.

Kupandangi langit muram yang masih mengirimkan gerimis dan guntur-guntur kecil, kuhirup dalam-dalam udara segar yang menaungi alam raya ini. Hingga tiba-tiba..

Sebuah petikan gitar yang berasal dari speaker kamarku membuatku terenyuh. Petikan gitar dan tebasan bass-nya kok syahdu banget ya? Eh bukan bass deh kayanya, kontra bass sih kayanya.

Tapi bener deh.. ini suaranya Sopan banget gitu masuk ke telingaku.



(Payung Teduh-Berdua Saja)

*diplay ya.. biar tambah syahdu*

Aku pun menoleh ke arah Dira yang masih berdiri di dekat meja belajarku. Ia terlihat memejamkan matanya dalam-dalam seraya sedikit mengangkat kepalanya, menikmati tiap petikan gitar dari lagu ini yang benar-benar biadab ademnya.

Anjir.. aku kok langsung jatuh cinta ya? Padahal ini baru petikan gitar doang loh.. belom masuk ke lirik sama sekali.

Ada..
Yang tak sempat tergambarkan..
Oleh kata.. ketika.. kita berdua..
Hanya.. aku yang bisa bertanya..
Mungkinkah.. kau tahu.. jawabnya..

Aku terhenyak, alunan syahdu lagu yang entahlah apa judulnya ini benar-benar meresap ke inti-inti sel darahku coy..

Malam jadi.. saksinya..
Kita berdua di antara kata..
Yang tak terucap..
Berharap waktu membawa.. keberanian..
Untuk datang membawa.. jawaban..

Beuhh.. sumpah.. ini lagu macem apa coy? Kok ngejarem banget ya? Ngena langsung gitu. Tiap lirik dan instrumen musiknya bener-bener kurang ajar banget, masuk banget coy asli.

Apalagi ditambah pemandangan Dira yang berdiri dengan berpejam mata, menggerakkan tubuh dan kepalanya tipis-tipis mengikuti irama lagu ini.

Indah sumpah.. indah banget..

Jagat Dewa Batara.. lagunya makjleb banget, dan gerakan Dira selaras banget.. sumpah.. terpana aku coy.. jarang-jarang aku langsung jatuh cinta sama sebuah lagu ketika pertama kali diputar..

Dan entah kenapa, kakiku pun bergerak sendiri, bangkit dan melangkah, mendekat pada Dira yang masih syahdu dengan pejaman matanya.

Kemudian aku berdiri dengan mata nanar menatap wajah Dira di hadapanku. Dan seperti tahu keberadaanku, Dira membuka perlahan matanya, sayu menatapku dengan sudut bibir sedikit menyunggingkan senyum.

Dan perlahan, ia merapatkan tubuhnya padaku yang berdiri kaku memandangi wajahnya. Kemudian tanpa kuduga sama sekali, dengan begitu lembutnya Dira menyusupkan kedua tangannya di punggungku, melingkar di sana dan memeluk tubuhku, langsung menjatuhkan kepalanya di dadaku.

Aku pun terdiam dalam sekali, keluh menikmati simfoni nan indah yang tengah melingkupi ruang-ruang perasaanku saat ini.

Dan tepat ketika suara sang vokalis redam, berganti dengan solo gitar yang dipetik begitu penuh perasaan, aku pun membalas pelukan Dira, merengkuh tubuhnya agar semakin dalam tenggelam dalam dekapanku.

Tubuh kami bergerak tipis ke kanan dan ke kiri, mengikuti petikan demi petikan lagu ini. Mataku pun perlahan-lahan terpejam, tenggelam dalam sebuah ruang imaji yang begitu tenteram dan meneduhkan hati.

Di kepalaku perlahan terputar moment-moment kebersamaan ku dengan Dira sebelum hari ini.

Senyumnya ketika kami sarapan bersama di taman komplek pagi itu, senyumnya di kantin ketika aku datangi, kebersamaan kami ketika duduk di bibir sungai dekat jembatan gantung ketika membolos, kebersamaan kami ketika meniti jembatan gantung saat hendak menyeberang ke warung soto, serta pelukan Dira ketika kami menyusuri bagian tengah taman pemakaman dekat sekolah selepas membolos hari itu.

Semuanya terputar begitu jelas, teriring petikan gitar yang maha syahdu.

Teduh.. sungguh.. teduh sekali..

Kami terus seperti itu, terus saling memeluk dan menikmati alunan lagu dari sebuah band yang ke depannya mungkin akan lebih sering ku perdengarkan lagunya. Meresap dalam-dalam moment ini, sebagai pengingat untuk hari-hari setelah hari ini.

Sampai lagu ini habis, dan berganti dengan lagu berikutnya yang bernuansa lebih ranca, aku dan Dira pun sama-sama membuka mata. Dira yang wajahnya sudah tertengadah ke arahku pun menyunggingkan senyum, aku balas senyumnya dengan tatapan dalam.

“Enak kan kak lagunya?” Tanya Dira yang tangannya masih melingkar di tubuhku. Aku mengangguk pelan dengan tangan tetap melingkar di tubuhnya juga.

“Sesuai namanya.. teduh..” Jawabku pada Dira yang langsung disambut dengan senyum merekah.

Dan ketika kami sedang dalam-dalamnya berpandangan, ketika kami sedang meresap-meresapnya perasaan.

Lagu ranca dari band yang sama terhenti, berganti dengan dering panggilan telfon yang langsung membuat kami tersadar dari penenggelaman rasa ini.

Aku perlahan-lahan melepas pelukanku pada tubuh Dira, hal yang sama ia lakukan. Kemudian ia pun mengambil BB-nya, dan mencopot kabel jack yang tersambung ke handphonenya. Menerima panggilan tersebut.

Ia sempat menatapku sebelum benar-benar mengangkat panggilan terlfon itu, dan ketika aku menganggukkan kepala, Dira pun langsung mengangkat panggilan tersebut.

“Hallo Pah..”

Oh.. dari papahnya ternyata..

“Iya..”

....

“kenapa?” Tanya Dira terlihat sedikit murung.

....

“Kok dadakan?”

....

“Iya ini Dira masih dengerin..” Ujar Dira sendu.

....

“Yaudah.. nanti Dira sampein ke Mamah..”

....

“Iya..”

...

“Miss you Pah..” Dira pun menutup panggilan telfon tersebut dengan helaan napas berat. Terlihat sedikit raut kekecewaan di wajahnya.

“Kenapa?” Tanyaku pada Dira. Ia terlihat menghela napas berat sebelum akhirnya menyunggingkan senyum terpaksa. Berjalan ke arah tempat tidurku dan duduk di pinggirannya.

Aku pun menyusul Dira, dan ikut duduk di sampingnya. Kuberanikan diri menggenggam telapak tangan Dira. Mencoba memberikan ketenangan padanya.

“Papah janji pulang malem tadi, tapi malah enggak ada kabar, terus sekalinya nelfon malah bilang kalau enggak jadi pulang karena ada tugas tambahan katanya.” Dira berkata dengan raut wajah yang dipaksakan tersenyum.

“Emang papah kamu lagi dimana?” Tanyaku pada Dira, ia menoleh dan kembali membuang napasnya dengan resah.

“Papah kan emang lagi ditugasin buat bantu evakuasi di Lemah Kidul pasca tsunami Kak, dan harusnya kemarin papah pulang. Tapi kata Papah ada longsor gitu di daerah Cikiridang kemarin, jadi Papah sibuk bantu-bantu pembersihan sisa longsor itu.” Jawab Dira yang mencoba tersenyum, meski terpaksa.

Aku mengerti bagaimana rasanya, aku aja sekarang kangen banget sama Ayah dan Ibu, yang belom balik-balik. Jadi aku mengerti kenapa Dira terlihat murung, ia pasti sudah menunggu Papahnya pulang dari tugas, tapi harus kecewa karena ternyata Papahnya urung pulang. Terlebih, sebagai prajurit, tentu saja Papahnya Dira akan selalu mengemban apapun tugas yang diberikan kepadanya.

“Hey.. jangan muram gitu ah, kan Cuma ketunda aja pulangnya..” Ujarku mencoba membangun ketenangan di hati Dira, ia tersenyum lebih lebar, berusaha mengentaskan keresahannya.

Tinung..

Handphone Dira berdering pendek beberapa kali, tanda ada pesan bbm yang masuk, ia pun segera membuka pesan tersebut.

“Dari papah..” Gumam Dira tanpa melihatku, namun seolah tengah memberitahuku bahwa pesan tersebut dari Papahnya.

Dan begitu room chat terbuka, ada beberapa kiriman gambar yang masuk di sana. Sedang didownload oleh Dira untuk melihat kiriman gambar tersebut. Dan setelah keseluruhan gambar terkirim, Dira pun melihat-lihat beberapa gambar tersebut.

“Ini lokasi longsornya kak..” Gumam Dira lagi terus terfokus pada Handphonenya. Aku pun ikut melihat apa yang Dira lihat.

Dan memang itu adalah gambar retakan-retakan tanah dan longsoran tanah gitu, berantakan deh pokoknya kalau aku lihat dari foto itu. Banyak pohon yang tumbang juga.

“Lumayan parah ya longsornya?” Tanyaku bergumam.

“Iya.. semoga enggak ada korban jiwa ya Kak.. kasian..” Ujar Dira menyahuti, sambil terus berpindah-pindah gambar.

Sampai di gambar yang sekian, aku meminta Dira memperlihatkan gambar yang sebelumnya, karena aku merasa ada sesuatu yang familiar di mataku.

Dira pun mengembalikan tampilan ke gambar yang sebelumnya, di mana terlihat retakan tanah lebar dan beberapa pohon tumbang, namun bukan itu yang menarik perhatianku.

Aku pun meminta Dira untuk memperbesar gambar tersebut, menzoom-nya. Kemudian aku meminta Dira untuk mengarahkan ke sudut bawah kiri gambar, melihat sesuatu yang menarik perhatianku.

Dan ketika sampai di bagian yang kumaksud, aku pun menajamkan pandanganku. Di sudut gambar yang agak ngeblur itu, ada beberapa mobil yang yang terlihat terbalik, aku memperhatikan salah satu mobil tersebut, karena mobil itu mirip sama mobil Ayah.

Lalu aku minta Dira memutar handphonenya, agar aku bisa dengan mudah membaca plat nomor mobil tersebut, dan begitu layar diputar oleh Dira, dan begitu aku bisa membaca plat nomor mobil tersebut dengan jelas walau gambarnya agak pecah, aku langsung merasakan rasa sesak yang teramat sangat di dadaku.

Napasku perlahan menderu, urat-urat leherku menegang, wajahku berkeringat dingin dengan deras, dan jari-jari tanganku pun perlahan gemetar.

“Kak?” Suara Dira yang bertanya padaku terdengar samar, tertutup dengingan kasar di gendang telingaku.

Itu.. mobil itu.. itu mobil Ayahku.. jelas sekali tanpa perlu dipertanyakan lagi. Salah satu mobil yang terbalik itu adalah mobil Ayah.

Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mobil Ayah bisa ada di sana?

“Kak.. Kakak baik-baik aja?” Tanya Dira meletakkan handphonenya dan memegang tanganku erat-erat.

Napasku memburu, kemungkinan-kemungkinan mulai muncul di dalam kepalaku. Kenapa? Kenapa mobil Ayah bisa di sana? Kenapa mobil Ayah berada dalam posisi terbalik seperti itu? Apa yang sebenernya terjadi?

“Kak Regan..” Dira kembali memanggilku dengan kedua telapak tangan ditempelkan di pipi. Dan bersamaan itu pula, air mataku turun membasahi pipiku.

“Kak.. kakak kenapa? Kak Regan kenapa?” Tanys Dira dengan suara panik. Aku memandangnya dalam-dalam, dengan hati yang gusar bukan main. Aku enggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Sumpah.. aku beneran enggak ngerti.

“Lokasi longsornya.. dimana lokasi longsornya Ra?” Tanyaku dengan napas pendek.

“Kak Regan kenapa?” Tanya Dira dengan raut wajah khawatirnya.

“Jawab Ra.. dimana lokasi longsornya? Tolong Ra..” Tanyaku lagi dengan tangan yang mulai terkepal.

Ayah.. Ibu.. Mang Diman.. mereka bagaimana sekarang? Kenapa mobil Ayah ada di sana?

“Ci.. Cikiridang Kak..” Jawab Dira terbata.

Cikiridang? Aku pernah dengar nama daerah itu. Kalo enggak salah itu adalah jalur alternatif menuju Lemah Kidul.

Beberapa hari yang lalu ketika aku dan kawan-kawan sedang membahas tsunami yang terjadi di Lemah Kidul. Wawi sempat cerita pengalaman dia ke satu pantai di sana, pantai itu terkena hantaman tsunami juga, dan kalo enggak salah, Wawi bilang dia lewat Cikiridang pas menuju pantai tersebut.

“Longsornya kapan Ra kata Papah kamu tadi?” Tanyaku mencoba mengondisikan napasku sendiri. Dira terlihat bingung sekali dengan perubahan raut wajahku ini, membuatnya sedikit gagap ketika aku bertanya.

“Ra.. please.. kejadian longsor itu kapan?” Tanyaku memohon pada Dira.

Sungguh.. aku enggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Kata Teh Arum Ayah sama Ibu belom bisa pulang karena ada urusan tambahan di sana.

Tapi kenapa sekarang justru aku mendapati mobil Ayah ringsek terbalik kaya gitu? Ini sebenarnya apa sih yang terjadi sama keluargaku?

“Ke.. kemarin sore Kak kata Papah..” Jawab Dira dengan raut bingung bercampur kekhawatiran.

Longsor di Cikiridang? Kemarin sore? Dan foto itu.. Apa mungkin.. Aaarrrgghhh..

Dan di tengah kebingungan dan kekalutanku itu, terdengar suara pintu terbuka dan langkah-langkah yang diiringi suara mengobrol antara Teh Arum dan Hani yang sepertinya baru pulang dari pasar.

Teh Arum.. ya.. aku harus tanya Teh Arum..

Aku pun langsung bangkit dari dudukku dan berjalan ke arah pintu kamarku yang sedari tadi terbuka lebar, dan tepat ketika aku keluar dari kamar hendak menuju ruang tamu, aku langsung mendapati Teh Arum dan Hani yang hendak berjalan ke arah dapur dengan tentengan belanjaan di tangan mereka masing-masing.

Melihatku yang muncul dengan keadaan kalut, Teh Hani dan Arum pun segera menyambut kedatanganku dengan wajah bingung.

“Nggan..” Teh Arum bergumam ketika aku muncul di depannya, kedua alisnya tertaut bingung. Pun Hani, ia menatapku dengan tatapan bingung juga.

“Kamu kenapa?” Tanya Teh Arum seraya meletakkan plastik belanjaannya di lantai, merapatkan tubuh ke arahku.

Tak lama kulihat Dira bergabung, ia berjalan melewatiku dan langsung berdiri di dekat Hani yang memberi gesture tanya kepada Dira, namun Dira hanya bisa menggelengkan kepala.

“Ayah sama Ibu.. Ayah sama Ibu sekarang dimana Teh?” Tanyaku dengan napas sesak dan kelopak mata yang menghangat.

Sejenak kulihat raut keterkejutan di wajah Teh Arum ketika aku menanyakan hal tersebut, dan itu semakin menguatkan dugaanku, dan semakin membuat kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepalaku mengembang utuh.

“Jawab Teh.. jawab yang jujur..” Tanyaku lagi sembari mengusap rembesan air mata yang turun dari kelopak mataku.

“Ehem.. Itu.. Bapak sama Ibu masih di sana lah Nggan.. masih ada urusan yang harus..”

“Kenapa Teh?” Tanyaku memotong kalimat Teh Arum, membuat Teh Arum terdiam sejenak. Hani dan Dira terlihat semakin kebingungan di belakang Teh Arum, namun bukan itu yang menjadi prioritasku saat ini.

“Kenapa Teteh boongin Nggan?” Tanyaku dengan suara berat dan perasaan sesak yang amat dalam. Teh Arum pun semakin menampilkan raut wajah yang sulit aku definisikan.

“Aku enggak ngerti yang kamu omongin Nggan, kamu sebenarnya kenapa sih?” Teh Arum bertanya seraya hendak menyentuh pipiku, namun aku menepis halus tangannya.

Teh Arum.. kenapa dia enggak langsung jawab aja pertanyaanku? Kenapa dia malah berusaha terus membohongiku? Kenapa harus berbohong? Apa sebagai anak aku enggak berhak mengetahui keadaan orangtuaku? Separah apa sampai Teh Arum harus membohongiku seperti ini?

Cukup.. kalo Teh Arum enggak mao ngasih tau apa yang sebenarnya terjadi, aku bisa nyari tau sendiri.

“Nggan enggak suka diboongin Teh..” Ucapku dengan hati yang begitu sakit seraya membalikkan tubuh dan langsung berjalan ke kamarku.

Kututup pintu dan langsung kukunci kamarku. Kukepalkan tanganku keras-keras, mencoba menenangkan napasku yang kian memburu hebat.

Terdengar gedoran dan seruan dari Teh Arum, maupun Hani yang memintaku untuk membuka pintu. Tapi enggak aku peduliin, sekarang yang terpenting, aku harus memastikan keadaan Ayah dan Ibu.

“NGGAAANN.. BUKA NGGAN.. PLEASE.. LO KENAPA? CERITA AMA GUE NGGAN.. NGGAAAN..” Terdengar suara Hani lantang di luar kamar, namun sungguh, aku butuh lebih dari sekedar teman bercerita saat ini, aku butuh kejujuran Teh Arum!

Kalau Teh Arum emang enggak mau ngasih tau apa yang sebenarnya terjadi, aku bisa nyari tau sendiri!

Aku langsung berjalan ke lemari, kulepas celana pendekku dan kuganti dengan celana jeans panjang. Lalu kuambil kemeja flanel abu-abuku dan langsung kukenakan untuk membalut kaosku.

Kutarik sepasang sepatu dari bawah lemariku, langsung kukenakan tanpa memakai kaos kaki terlebih dahulu. Setelah itu aku mengantungi dompet dan rokokku, setelah itu menyambar kunci motorku.

Biar aku pastiin sendiri kondisi Ayah dan Ibu..

Aku tadinya hendak lewat pintu, namun menilik gedoran dan panggilan yang masih kencang di sana, aku pun memilih keluar lewat jendela kamarku.

Langsung berjalan cepat dengan air mata yang sialannya terus keluar membasahi pipiku. Aku bahkan kini sudah berlari menuju gerbang rumahku, langsung membukanya dengan lebar dan setelah itu berbalik untuk menghampiri Si Kopet yang terlindung di dalam garasi.

Dengan cepat kunaiki RX-King warisan Ayah ini, kunyalakan mesinnya dengan nyalak, dan tanpa menunggu mesin motor tua ini panas, langsung kubebat gasnya keluar dari garasi.

“NGGAAANNNN..” Seruan kencang terdengar dari arah belakang ketika aku membebat si kopet melewati gerbang yang terbuka lebar.

Entah itu suara Teh Arum atau Hani, aku enggak peduli lagi. Bahkan tanpa menutup gerbang lagi, aku langsung menjalankan motorku ini membelah jalan raya, membebat gasnya sedalam mungkin meninggalkan rumah.

Kusentak gasnya dalam-dalam, membuat motorku ini meraung dengan nyalak dan bisingnya.

Kuterabas polisi tidur yang menyembul di badan jalan, kusalip satu demi satu kendaraan. Tanpa memedulikan makian dari pengguna jalan lain yang merasa terganggu dengan gaya berkendaraku yang ugal-ugalan.

Aku harus mencari tahu sendiri! Aku harus memastikan sendiri!

*

Setelah 15 menit lamanya aku berkendara gila dengan pikiran mampet, kini aku sudah memasuki sebuah gang kecil, kulajukan Si Kopet dengan terburu-buru tanpa memperdulikan polisi tidur di gang ini. Tujuanku satu, rumah Wawi.

Semoga ia ada di rumah, karena aku hendak meminjam helm sekaligus bertanya patokan arah kepadanya.

Dan ketika aku sampai di depan rumah Wawi, aku langsung menepikan motorku tepat di belakang motor Wawi yang terparkir bisu.

Aku pun langsung mematikan mesin motorku, dan bersamaan dengan itu Wawi langsung muncul dari balik pintu rumahnya, bertelanjang dada dengan hanya mengenakan celana jeans panjang robek-robeknya. Wajahnya bingung karena tiba-tiba aku datang.

“Nggann.. ada apaan men?” Tanya Wawi menuruni tangga di depan rumahnya, menyongsongku yang juga tengah berjalan ke arahnya.

“Cikiridang.. kasih gua patokan arah ke Cikiridang Wi, kemaren lo bilang pernah lewat situ kan? Sama sekalian gua minjem helm, gua lupa bawa helm soalnya..” Ujarku terengah-engah kepada Wawi.

“Ada apaan sih Men? Terus lu mao ngapain ke sana?” Tanya Wawi dengan raut wajah bingung.

Aarrrgghh.. Sialan.. biasanya Wawi enggak banyak tanya gini!

“Gua enggak bisa jelasin sekarang Wi..” Jawabku seraya melewati Wawi dan berjalan ke arah pintu rumahnya.

Kulepas sepatuku secara asal dan langsung masuk ke rumah Wawi tanpa permisi, ya aku emang enggak sopan. Terserah..

Aku langsung berjalan ke arah lemari yang berada di ruang depan rumah Wawi, kusambar helm sahabatku itu dan langsung berbalik badan. Hendak berjalan kembali keluar rumah.

Kalo emang Wawi banyak tanya, aku bisa jalan sendiri, nanti tinggal bertanya di jalan aja lah..

“Tunggu sini bentar Men..” Wawi yang memapasiku di pintu menahan tubuhku, setelah itu ia berjalan ke arah kamar meninggalkanku.

Tapi aku enggak ngindahin kata-kata Wawi, aku tetap berjalan ke luar, sembari mengenakan helm. Langsung kunaiki Si Kopet dengan buru-buru. Tapi sialnya ketika aku hendak menyalakan mesin RX-King ku ini, kunci motorku enggak ada. Padahal tadi aku inget banget aku tinggal di sini. Setang motorku juga dalam posisi terkunci. Sialan ini..

Aaaaaarrrrggghhh..

Dan di tengah kebingunganku itu, tiba-tiba Wawi muncul dengan sudah mengenakan kaos putih polos, dan bersepatu convers sama sepertiku. Di tangan kanannya ia menenteng helm, sedang di tangan kirinya menenteng jaket jeans.

“Konci Si Kopet di dalem, lagian motor lu bensinnya tiris itu, tinggal aja.. ntar biar Kak Ranti yang urus.” Ucap Wawi seraya mengenakan helm dan jaketnya.

“Lah lu ngapain Wi?” Tanyaku bingung melihat Wawi yang tengah memutar arah motornya.

“Lu lagi buru-buru kan? Jadi enggak usah banyak tanya.. bantuin gua angkat buntutnya..” Tukas Wawi padaku dengan datarnya. Yang membuatku langsung turun dari Si Kopet dan mengangkat bagian belakang motor Wawi.

Setelah itu wawi pun naik ke atas trail kebanggaannya.

“Ayo cepet.. kata lu buru-buru..” Ucap Wawi kepadaku yang masih berdiri memandanginya.

“Serius lu?” Tanyaku sekali lagi karena mengerti niatan Wawi.

“Ayolah.. baru gua fullin nih tangki, bablas langsung kita..” Ujar Wawi santai dengan senyum dan angkatan alis khas miliknya, bersamaan itu ia pun menyalakan mesin motornya. Menggeber-geber sejenak.

“Wi.. ini bukan masalah tonjok-tonjokan kok serius, jadi lu enggak perlu ikut Men..” Ujarku lagi pada Wawi, ia pun menoleh kepadaku dengan tatapan datarnya.

“Gua temenin, apapun alesan lu ke sono, gua temenin!” Ujar Wawi dengan tegasnya, aku pun hanya bisa menghela napas dalam, kemudian naik ke jok boncengannya.

Setelah itu tanpa bicara lagi Wawi langsung menjalankan motornya, menghantam polisi tidur dengan sembarang tanpa memikirkan aku yang duduk di boncengan, dan aku pun enggak masalahin itu.

Sebab sekarang pemikiranku sedang penuh, tentang kemungkinan apa yang dialami Ayah, Ibu dan Mang Diman tentunya.

Lalu apa alasan Teh Arum berbohong padaku, dan setelah kurenungkan di jalan menuju ke sini tadi, aku berpikir apa mungkin Om Damar juga tau hal ini? Dan kalo tau kenapa Om Damar enggak ngasih tau aku juga?

Terus ditambah lagi sekarang ini, Si Wawi. Niatku yang hanya ingin meminjam helm sembari bertanya patokan arah, malah berujung pada ikutnya kawanku dalam perjalananku ini. Aku enggak ngerti lagi harus gimana, aku enggak ngerti lagi sumpah.

Dan yang paling penting, Ayah sama Ibu sekarang dimana? Apa mereka baik-baik aja? Kalo ngeliat kondisi mobil Ayah yang kebalik kaya gitu, pastinya Ayah, Ibu sama Mang Diman.. Aarrrgghhh.. bangsatt!!!

Wawi pun membebat gas motornya dalam-dalam, melibas jalan raya dengan enggak kalah gilanya denganku ketika tadi menuju ke rumahnya. Mobil demi mobil ia salip dengan lugas, raungan demi raungan knalpot motornya membuat pekak telinga-telinga pemotor lain yang ia salip dengan gila.

Wawi.. meski dia enggak tau apa tujuanku ke sana, tapi dia enggak peduli akan itu. Yang dia tahu sekarang, mungkin hanya kami harus segera sampai.

**​

Ruang informasi Purantara..

“KIRIM TIM PENGEJAR SECEPATNYA, HENTIKAN DIA DENGAN CARA APAPUN! APA PUN! KALAU PERLU TABRAK SEKALIAN DAN LANGSUNG BIUS!! PASTIKAN DIA NDAK MELEWATI PERBATASAN, DAN YANG PALING PENTING.. JANGAN SAMPAI DIA TIBA LOKASI PENGHADANGAN KEMARIN!” Teriak Damar kencang sembari menggebrak meja di depannya.

Beberapa punggawa pun langsung berlarian keluar dari ruangan tersebut, sedang yang lainnya sibuk mengutak-atik komputer masing-masing, berusaha menemukan keberadaan Regan.

Damar pun sudah menghubungi Anung Benawi untuk meminta bantuan. Namun pengetatan penjagaan di perbatasan wilayah yang dijaga Anung Benawi membuat punggawa-punggawa dengan kemampuan mumpuni berada terlalu jauh dari jalur yang akan dilalui Regan.

“Tenang Mas.. sabar..” Arum mengelusi punggung Damar, mencoba menenangkan lelaki yang tengah diliputi kekhawatiran itu.

“HUBUNGI MAS GOFUR.. SURUH DIA KESINI SECEPATNYA! HUBUNGI JUGA JANUR GUNUNG DAN SURUH DIA MEREKA ULANG INFORMASI TERKAIT PRAJURIT BODOH TERSEBUT!” Seru Damar seraya berbalik badan, tak memedulikan Arum yang berada di dekatnya. Berjalan cepat meninggalkan ruangan tersebut dengan Bogi mengekor di belakangnya.

“Mas tenang dulu..” Seru Arum sembari mengejar Damar yang beberapa langkah di depannya, masih mencoba menenangkan lelaki tersebut.

“Bagaimana aku bisa tenang Rum? Kita kecolongan! Kalau sampai Regan tiba di lokasi tersebut dan mendapati keadaan sebenarnya, itu sangat berbahaya. Belum lagi kemungkinan sisa-sisa orang Hematala yang masih berada di sekitar perbatasan, kalau sampai mereka menyadari jika putra mahkota Purantara sudah berada di luar Rejeg Wesi, itu akan sangat berbahaya!” Ujar Damar seraya terus berjalan, tak mengindahkan Arum yang langkahnya terseok mencoba mengimbangi.

“Iya aku ngerti, Cuma Mas Damar juga harus tenang.. kalau Regan dilumpuhkan dengan cara sembarangan, bukannya itu sama berisikonya dengan Regan jika sampai di sana?” Tanya Arum yang kini sudah berhasil mengimbangi langkah Damar.

“Setidaknya itu lebih aman dibandingkan dia tertangkap oleh orang-orang Hematala..” Jawab Damar mulai menuruni anak tangga, hendak menuju ruangan Rengganis untuk mengabari kekacauan ini.

Pikiran lelaki itu benar-benar kacau balau, baru saja ia dikejutkan oleh badai besar yang bersumber dari kemunculan Asta Braja, kini ia dihadapkan dengan sang Keponakan yang coba mencari tahu apa alasan sebenarnya di balik ketidakpulangan Rengganis dan Saka.

Belum lagi kemungkinan orang-orang Hematala yang masih tersisa, dan yang lebih mengkhawatirkan Damar adalah.. terlepasnya Sasah Sukma yang ia tanam di tubuh Regan jika sampai emosi anak itu berada di luar batas pengendalian.

Karena, semalam ia hanya memperkuat segel penahan di tubuh Regan, ia tidak sempat memperkuat Sasah Sukmanya sebab sudah kehabisan tenaga lebih dulu.

Riuh.. itu saja yang sekarang tengah melanda keseluruhan bangunan di bawah tanah tersebut. Punggawa-punggawa sibuk menyisir areal-areal yang kemungkinan dilalui sang Putra Mahkota, dengan berpatokan pada motor RX-King dikendarai sang anak yang selalu dalam perlindungan itu.



Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd