*
Kini Nyimas sudah berada di dalam kamar pribadinya yang hanya diterangi temaram lilin yang nyalanya terlihat resah. Ia tengah berdiri menatap dua anggota Pancabara yang ia panggil secara pribadi tadi. Sudah sempat bercakap-cakap juga sepanjang perjalanan ke kamar Nyimas tadi.
Dua anggota tersebut adalah Sena dan Jenar, yang kini tengah berlutut di hadapan Nyimas Ajeng dengan wajah tertunduk.
“Jika Nyimas mengizinkan, saya bisa menghanguskan tubuh para tetua yang acap kali lancang bertindak itu.” Jenar membuka suara dengan perasaan geramnya. Nyimas Ajeng tersenyum, kemudian meminta kedua orang di hadapannya untuk berdiri.
“Itu akan mengurangi pion kita Jenar, kau cukup bergerak di balik bayangan saja, dan tetap laporkan segala kemungkinan kepadaku. Lagi pula.. mereka melakukan itu juga pada dasarnya untuk kepentingan Hematala, hanya saja memang cara mereka salah, jadi bagaimana pun.. mereka tetaplah saudara kita, Jenar.” Ujar Nyimas Ajeng sembari mengelus bahu Jenar dengan lembut.
“Baiklah Nyimas, segala perkataan Nyimas adalah titah bagi saya, dan saya akan usahakan yang terbaik untuk bisa memenuhi segala tugas yang Nyimas beri.” Ucap Jenar dengan tatapan tajam dan sedikit membungkukkan tubuh. Yang oleh Nyimas direspons dengan anggukan kepala pelan.
“Terimakasih banyak Jenar, sekarang beristirahatlah dulu, aku tahu kamu belum tidur dari semalam.” Ujar Nyimas dengan tatapan keibuannya, membuat Jenar menatap haru sebelum akhirnya kembali menundukkan wajah.
“Terimakasih Nyimas, kalau begitu saya undur diri.” Tukas Jenar yang langsung disambut kembali dengan anggukan kepala.
Setelah itu, satu-satunya perempuan yang menjadi anggota Pancabara itu pun berbalik badan dan berjalan ke arah pintu kamar Nyimas Ajeng.
Dan tepat ketika Jenar hampir sampai di ambang pintu yang tertutup tersebut, perlahan-lahan tubuh perempuan itu lenyap seiring dengan samar-samar nyala bara yang keluar dari tubuhnya.
Kurang lebih seperti selembar kertas yang terlahap api. Hanya menyisakan abu-abu kecil di dekat pintu kamar Nyimas Ajeng.
Dan selepas kepergian Jenar, Nyimas pun berbalik badan menuju tempat peristirahatannya, meninggalkan Sena yang masih berdiri mematung di posisinya.
Nyimas pun duduk di sana dengan tatapan datar ke arah Sena yang terlihat memendam sesuatu.
“Aku tahu apa yang di pikiranmu, aku juga tahu apa yang sedang kau rencanakan saat ini, dan aku takkan melarangmu, atau lebih tepatnya aku tidak bisa melarangmu. Nanti aku yang akan mengurus perizinanmu ke pihak istana. Tapi aku harap kamu lekas kembali..” Ujar Nyimas dengan wajah dibuang ke arah lain.
Sena yang mendengar itu pun segera mengangkat wajahnya, berjalan pelan mendekat pada sang bibi dan langsung menurunkan tubuhnya dan bertumpu dengan kedua lutut di hadapan Nyimas Ajeng.
“Tidak Nyimas, saya tidak akan pergi jika Nyimas memang merasa keberatan. Itu hanya niatan saja Nyimas..” Ucap Sena seraya memegang kedua tangan sang bibi, ditautkan jadi satu, dan digenggam dengan lembut.
“Tidak Sena, aku tidak merasa keberatan sama sekali. Ini memang di luar perkiraan kita, dan tidak ada yang lebih pantas melakukannya selain dirimu. Tapi aku mohon, kembali lah ke sini dengan keadaan sama seperti ketika kamu pergi.” Sahut Nyimas masih dengan wajahnya yang dibuang, tak menatap wajah Sena yang tertengadah ke arahnya.
“Saya melakukan ini untuk Nyimas, dan saya akan usahakan untuk segera kembali, demi Nyimas.” Ucap Sena seraya mengecup punggung telapak tangan Nyimasnya, membuat sang bibi pada akhirnya menghadapkan wajah ke arah Sena.
“Lekaslah kembali..” Ujar Nyimas seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Sena, dan memberikan kecupan lembut di kening pemuda itu.
Sena memejamkan mata, dan meresapi kecupan mesra dari bibinya tersebut. Kemudian mereka pun saling berpelukan erat.
“Tapi di luar masih hujan besar Sena, apa tidak sebaiknya menunggu hujan reda terlebih dulu?” Ucap Nyimas dengan pelukan yang semakin dipererat.
“Iya Nyimas, saya akan menunggu sampai hujan reda.” Jawab Sena balas mempererat pelukannya.
Setelah itu mereka pun saling melepaskan pelukan, lalu saling memandang dalam. Sena lekas menempatkan telapak tangannya di pipi sang Bibi, lalu mengelus pelan dan amat lembut. Setelah itu dipagutnya bibir Nyimas Ajeng dengan penuh perasaan mendalam.
Mmmmpphh..
Mereka pun larut dalam ciuman untuk beberapa saat, sebelum akhirnya saling melepas pagutan dan berdiri bersamaan. Dengan napas yang mulai terhela lebih cepat, mereka pun saling melucuti pakaian.
Jemari Sena membuka kebaya hitam yang tengah dikenakan Nyimas, sedang jemari Nyimas Ajeng melepaskan kemeja abu-abu yang melekat di tubuh Sena, mereka melakukan hal tersebut dengan sesekali diselingi pagutan.
Dan setelah tubuh mereka sudah tak lagi tertutupi benang barang sehelai pun, serta sanggul Nyimas Ajeng yang telah dilepas oleh Sena, dan kacamata Sena yang sudah dilepaskan pula dari wajahnya, mereka pun segera berpagutan dalam sembari saling merangkul dan merapatkan tubuh di antara deruh hujan di luar sana.
Bibir bibi dan keponakan itu pun saling lumat melumat, dengan telapak-telapak tangan yang menggerayang ke mana-mana. Sena terlihat langsung mendominasi, ia memagut bibir Nyimas Ajeng dan meneroboskan lidahnya ke dalam mulut sang bibi.
Tangan kanan pemuda itu menyusup di balik rambut Nyimas Ajeng, dan mengelusi leher sang pemuncak kuasa di Hematala itu. Sedang tangan kiri Sena sudah hinggap di payudara sang bibi, meremas-remas dengan lembut gundukan daging indah yang besar dan tegak menantang tersebut. Diremas, diusap, dan dipilin-pilin dengan penuh perasaan.
“Mppphh.. Sena.. aku.. mmpphh..” Nyimas Ajeng mendesah ketika jemari sena memuntir putingnya dengan gemas, menyalurkan perasaan geli yang begitu nikmat di syaraf-syaraf payudaranya.
Namun Sena tetaplah Sena, ia tak memberi Nyimas kesempatan untuk sekedar berbicara, langsung dilumat kembali bibir bibinya itu dengan ganas.
Setelah lidahnya mengobrak-abrik rongga mulut sang bibi, Sena yang matanya terpejam itu pun menciumi keseluruhan wajah bibinya, hinggap di telinga lalu turun menjilati leher putih milik Nyimas Ajeng dengan penuh gairah.
“Aahhh.. Sena.. hhhmmm.. oohhh..” Erang Nyimas Ajeng ketika lehernya di serang oleh Sena, dan kedua payudaranya sudah diremasi oleh keponakannya itu.
Dan erangan itu semakin menjadi-jadi ketika bibir Sena mulai berpindah mengecupi payudaranya, hingga puncaknya ketika mulut sang keponakan melahap puting payudara kanan Nyimas Ajeng, membuat tubuh perempuan itu bergetar hebat dan sedikit melenting ke belakang.
“Aaaaaahhhhhh.. Ssshhhh...” Erang Nyimas panjang menikmati rangsangan yang Sena berikan.
Dan selama hampir sepuluh menit lamanya, Sena menguleni kedua payudara Nyimasnya itu dengan telaten, membangkitkan desahan dan erangan erotis yang begitu merdu di telinganya.
Sena menutup permainannya terhadap payudara Nyimas dengan menghisap kuat-kuat puting payudara sebelah kanan Nyimas Ajeng, membuat tubuh bibinya itu melenting ke belakang dengan kepala tertengadah ke langit-langit kamar.
“AAAAHHHHH..” Erang Nyimas Ajeng dengan bibir terbuka lebar dan kedua tangan meremas rambut Sena. Dan setalah itu Sena pun menegakkan tubuhnya, mencium kembali bibir Nyimasnya dengan penuh perasaan.
Nyimas pun menempatkan kedua tangannya di pipi Sena, mengelus tepian kelopak mata Sena yang terkatup rapat, setalah itu melepas ciuman mereka dengan penuh kelembutan.
“Tak apa Sena, aku di sini.. lepaskanlah..” Ujar Nyimas Ajeng tepat di depan wajah Sena, meminta Sena untuk membuka matanya yang terkatup rapat itu.
Dan perlahan-lahan, Sena pun membuka matanya. Untuk sejenak Nyimas pun terhenyak ketika bola mata sebelah kiri milik keponakannya itu sudah berubah, tak seperti bola mata kanannya yang terlihat normal.
Bagian putih di bola mata kiri Sena berubah jadi hitam, sedang pupil matanya yang tadinya hitam berubah menjadi kuning kejinggaan yang menyala redup, dihiasi titik hitam kecil di bagian tengahnya.
Bersamaan itu pula, di dahi Sena muncul simbol tiga garis miring bergelombang yang susun bersusun membentuk simbol api. Seram, itu saja jika melihat penampilan Sena saat ini.
Nyimas pun menghela napasnya sejenak, kemudian mengangkat telapak tangannya dari pipi Sena, dan mengarah jari telunjuk dan jari tengahnya untuk menyentuh pola api yang mulai menyala di kening keponakannya tersebut.
Tap..
“Hhherrrgghh.. herrgghhh..” Sena mengeram dengan napas menderu, dicengkeramnya pergelangan tangan Nyimas Ajeng yang hendak menyentuh keningnya itu, diremas keras.
“Kamu percaya padaku kan, Sena?” Tanya Nyimas Ajeng masih dengan wajah tenang meski sejatinya merasakan sakit akibat cengkeraman keponakannya tersebut.
Dan perlahan Sena pun merenggangkan cengkeramannya, sampai terlepas, kemudian oleh Nyimas kedua tangan Sena itu di arahkan untuk meremas payudaranya.
“Ssssshh.. yahhh.. pelan-pelan Sayang..” Ujar Nyimas ketika Sena mulai meremasi kedua payudaranya dengan agak kasar. Namun sepertinya Sena sedang tidak berniat mendengarkan bibinya, terus diperas-peras buah dada sang bibi dengan kasarnya.
Nyimas pun menggigit bibir bawahnya, berusaha menguasai dirinya, dan melanjutkan apa yang tadi hendak ia lakukan, yaitu menyentuh pola di kening Sena. Telunjuk dan jari tengah Nyimas Ajeng pun dirapatkan, kemudian kembali di arahkan ke pola tersebut.
“..Kembang darsana kang munggwing jarijiningong.. kapurancak ri kuku.. nyangga geni..”
CESSHH…
Nyimas Ajeng berhasil menyentuh pola tersebut dengan ujung-ujung jemarinya, menekan lembut di sana. Asap tipis mengepul dari kening Sena, membuat Sena langsung berhenti memeras-meras kasar payudara sang bibi.
“Heikkhhh..” Sena menahan napasnya sejenak, teras sesuatu di dalam dirinya memberontak sebelum akhirnya hilang memudar.
Pola di keningnya tetap ada, tapi tidak menyala, hanya seperti tato hitam saja. Mata kirinya pun tetap sama, tetap berbeda warna, namun sudah kuning di pupil matanya lebih redup saat ini.
Dan Setelah dirasa cukup, Nyimas pun berhenti. Ia kembali mengelus pipi Sena yang terlihat terengah-engah hebat. Kemudian dipagutnya lagi bibir Sena yang masih keluh itu, dielusnya dada Sena dengan penuh perasaan.
“Muaaaccchhh.. huh huh huh.. terimakasih Nyimas..” Ujar Sena ketika ciuman mereka terlepas, dan sang bibi hanya tersenyum, kemudian menenggelamkan wajahnya di leher Sena, menjilati leher sang keponakan dengan mesra dan penuh perasaan.
“Ssssshhh.. Nyimas..” Sena mengerang sebab selain lehernya tengah dicumbu Nyimas, batang kejantanannya pun kini sudah berada dalam genggaman Nyimas Ajeng, diurut-urut dan dikocok dengan pelan oleh sang bibi.
“Sssshhh aahh..” Desah Sena ketika ciuman bibinya mulai turun ke arah dada, menjilati sejenak puting dadanya bergantian, sebelum akhirnya turun ke arah perut.
Nyimas pun menurunkan tubuhnya, menjilati perut bidan Sena dengan penuh gairah, sampai akhirnya ia pun sudah sepenuhnya berjongkok di depan sang keponakan, dipandanginya batang besar nan panjang milik Sena yang berada dalam genggaman tangannya. Terpesona, itu saja yang selalu Nyimas alami.
Lalu perempuan itu pun mendekatkan bibirnya pada kepala penis Sena, dikecup lembut dan dijilat-jilat pelan, membuat sang pemilik penis bergetar bukan main tubuhnya.
“Sudah Nyimas.. Ssshh.. Nyimas tak perlu Aaarrrgghhh..” Sena tak berhasil menyelesaikan kata-katanya sebab tiba-tiba Nyimas Ajeng langsung melahap kepala penisnya.
Memasukkan kepala penis tersebut ke dalam mulutnya dengan sedikit kesusahan, dan setelah sedikit menyesuaikan bukaan bibirnya, Nyimas pun mulai menghisap-hisap pelan dan memainkan lidahnya di kepala penis Sena yang tenggelam dalam mulutnya.
“Ouuhhhhh Nyimas..” Erang Sena sembari memegang kedua bahu sang bibi, kelojotan bukan main.
Tidak sampai di situ, Nyimas Ajeng pun mulai memajukan kepalanya, membawa batang kejantanan Sena semakin tenggelam dalam rongga mulutnya, membuat Sena bergetar terserang kenikmatan tiada tara.
“Errrrgghhhh..” Sena mengerang dengan kepala tertengadah ke atas, matanya terpejam menikmati kehangatan rongga mulut sang bibi yang menelan separuh batang kejantanannya.
Dan kenikmatan itu semakin menjadi-jadi tatkala Nyimas Ajeng mulai memaju-mundurkan kepalanya, mengoral penis Sena sebatas bagian tengah. Mulut Nyimas pun terasa penuh sesak, pipinya menggelembung sebab diameter penis Sena.
Air mata pun turun dari sudut mata Nyimas Ajeng, namun bukan air mata kesedihan, itu adalah air mata bahagia sebab telah membuat sang keponakan mengerang-ngerang dalam ruang kenikmatan.
“Orrgghh.. orrrgghhh.. orrggh..” Bunyi merdu keluar masuknya batang penis Sena di mulut Nyimas Ajeng terdengar mengalun ke sepenjuru ruangan.
Sepuluh menit lamanya Nyimas mengoral penis Sena, hingga akhirnya ia menutup kegiatan tersebut dengan membenamkan seluruh penis Sena ke dalam rongga mulutnya, masuk sepenuhnya hingga tandas menyentuh pangkal tenggorokan, membuat bibir Nyimas menempel pada pangkal batang milik Sena.
“Eeerrgggghhh..” Sena mengejan hebat tatkala dirasakan kepala penisnya menyentuh pangkal tenggorokan sang bibi, tubuh pemuda itu melenting ke depan, refleks memegang kepala Nyimas agar tertahan sejenak dalam posisinya.
Sedang Nyimas menahan napas dan rasa tersedaknya untuk beberapa saat, ruang-ruang tenggorokan dan mulutnya terasa penuh sesak tiada tara. Air mata pun tanpa terkendali keluar dari sudut kelopak mata perempuan itu.
Hingga akhirnya Sena menarik pinggulnya ke belakang secara perlahan, menarik batang penisnya dari rongga mulut Nyimas Ajeng dengan tubuh sedikit merinding didera kenikmatan.
FLOPPP..
Bunyi perpisahan kepala penis sang pemuda itu ketika terlepas dari bibir bibinya.
Nyimas Ajeng pun lekas menghela udara banyak-banyak, bibirnya megap-megap terbuka dengan liur membasah di mana-mana.
Sena pun segera menarik tubuh sang bibi untuk lekas berdiri, langsung dipagutnya bibir Nyimas Ajeng dengan penuh kelembutan, dipeluknya erat-erat pula tubuh Nyimas dengan penuh perasaan.
MMMPPHHH.. MUAAACHHH..
Ciuman mereka pun terlepas, bibir mereka sama-sama basah air liur.
Sena pun menempelkan keningnya pada kening sang bibi, memejamkan matanya dalam-dalam merengkuh tubuh perempuan indah itu.
“Terimakasih Nyimas.. terimakasih.. huh.. huhh..” Ucap Sena dengan perasaan membuncah birahi.
“Aku milikmu Sena.. aku milikmu..” Sahut Nyimas yang tangannya kini terkalung di leher Sena.
Setelah itu Sena pun membuka matanya, kemudian mendorong lembut tubuh sang bibi hingga terlentang di tepian ranjang pembaringan.
Tanpa banyak bicara Sena pun membuka paha Nyimas Ajeng lebar-lebar, menampilkan vagina indah Nyimas yang dipenuhi bulu-bulu hitam lebat nan basah. Indah merekah dengan bagian tengahnya yang mengintip berwarna merah.
Sena terpesona sejenak, sebelum akhirnya mulai menciumi paha bagian dalam Nyimasnya dengan lembut, perlahan-lahan demi perlahan hingga akhirnya bibir Sena pun tiba di gundukan vagina milik bibinya tersebut, dikecupnya lembut tepian vagina basah Nyimas dengan penuh perasaan, dielusnya lembut rambut-rambut kemaluan sang bibi dengan penuh gairah mendalam.
“Sssshhh.. ya.. di sana Sayang.. uh..” Erang Nyimas Ajeng yang kepalanya terangkat untuk memandang wajah Sena.
Sena pun mengerti, segera saja ia benamkan dalam-dalam wajahnya di vagina Nyimas Ajeng. Menekan hidung mancungnya tepat di rekahan vagina sang bibi sembari dihirup dalam-dalam aroma lendir pelumas yang keluar dari sana .
“Ouuhhhhh.. Senaaaa... Ssshhh..” Desah Nyimas menjatuhkan kepalanya. Kenikmatan menjalari tiap-tiap inci vaginanya saat ini.
Terlebih ketika Sena mulai memainkan lidahnya, menyapu dari bawah ke atas lipatan tengah vagina basah nan memerah itu. Menjilati cairan kenikmatan yang keluar dari liang senggama sang bibi.
Sluurrpp.. sluurrpp.. slurrrpp..
“Ahh.. ahh.. sssshhh... Mmmpphh.. geli sayang.. sshhh..”
Mendengar desahan sang bibi, Sena pun semakin bersemangat. Ia cucukkan sesekali ujung lidahnya, ia mainkan pula jemarinya di klitoris sang bibi. Membuat Nyimas Ajeng kian mengerjat-ngerjat menahan geli di pangkal pahanya.
Setelah lima menit lamanya, Sena pun menambahkan 'servicenya' dengan memasukan jari telunjuknya ke lipatan rapat vagina Nyimas Ajeng. Dimaju-mundurkannya telunjuk itu untuk menggesek bagian dalam vagina sang bibi. Membuat Nyimas Ajeng kian resah dilanda birahinya.
CLLOK.. CLLOKKK.. CLOKK..
SLUURRPP.. SLUURRP..
“OOUUUGGGHHH.. YAAHH.. TERUS SAYANG.. SSSHH..”
Kombinasi sapuan lidah dan kocokkan telunjuk Sena benar-benar membuat Nyimas Ajeng blingsatan bukan main. Pahanya semakin terbuka lebar dengan pinggul mengentak-entak menyambut tiap colokan telunjuk Sena.
Dan tak menunggu lama, tak sampai sepuluh menit semenjak telunjuk Sena masuk ke dalam liang senggamanya, Nyimas pun mengentak-entak hebat pinggulnya ke atas, betisnya lekas melilit kepala Sena dan kepalanya menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri.
“YAH.. YAH.. UUHHH.. TERUS SAYANG.. OOUUH..”
Nyimas Ajeng berteriak-teriak hebat, ia hampir sampai pada puncak kenikmatan pertamanya hari ini. Namun ketika orgasmenya sudah di ambang mata, Sena tiba-tiba menghentikan segala aktivitasnya. Telunjuknya ia tarik keluar dan sapuan lidahnya pun ia hentikan.
“Oohhh.. hhuhhh.. huhh.. ssshh.. aku hampir sampai sayang..” Protes Nyimas manja kepada Sena yang sudah membuka kaitan betis Nyimas Ajeng. Tengah merambat naik ke tubuh sang bibi dengan bibir sesekali mengecupi kulit tubuh Nyimas Ajeng.
“Saya sayang pada Nyimas.. sayang sekali.. mmpphh..” Ucap Sena sembari memagut bibir sang bibi, kedua tangannya meremas payudara Nyimas Ajeng yang sedang dalam tingkat tertinggi sensitifnya.
Nyimas Ajeng pun membalas pagutan bibir Sena dengan rakus dan penuh kehausan, dibelitkannya lidah Sena dengan penuh dahaga.
Sedang Sena melebarkan paha Nyimas dengan masing-masing lututnya, kemudian menempatkan pinggulnya di antara paha Nyimas Ajeng dengan penuh gairah cinta.
Sena pun merapatkan pinggulnya pada pangkal paha Nyimas, membenturkan kepala penisnya yang mengacung bak tongkat baja itu di gerbang vagina basah milik Nyimas Ajeng. Menyundul-nyundul di sana, mencoba mencari jalan masuk untuk menuju kenikmatan surgawi yang tengah dicarinya.
Tahu jika kejantanan sang keponakan tengah mencari jalan masuk dengan menggesek-gesek helaian rambut kemaluan vaginanya, Nyimas pun segera menggenggam batang penis Sena itu, mengarahkan kepala penis Sena yang bak payung jamur itu ke gerbang senggamanya. Menggesek-gesek di sana dengan penuh rasa geli menjalari syaraf-syarafnya.
“Mmmpphh.. muaachh.. ssshh.. tekan Sayang.. sshh..” Bisik Nyimas di sela-sela cumbuan mereka, dan tanpa menunggu perintah kedua, Sena pun segera menekan pinggulnya ke bawah, membawa batang penisnya membelah lipatan vagina berbulu milik sang bibi, mulai memasuki lubang senggama yang saat ini terasa hangat membasahi ujung-ujung kepala penisnya.
“Sssshhh.. mmpphhh..” Desah Nyimas di sela-sela cumbuan mereka ketika dirasakan kepala penis Sena mulai menguak lipatan vaginanya, masuk perlahan.
“Mmmpphhh... Ahhhhh...” Pagutan mereka pun terlepas sebab Nyimas Ajeng menjatuhkan kepalanya dan menegang hebat ketika kepala penis Sena sudah sepenuhnya masuk dan terjepit bibir vaginanya. Menahan rasa perih yang mulai menyeruak di sana.
Hangat dan sempitnya liang senggama milik Nyimas Ajeng benar-benar membuat Sena gemetar bukan main, lututnya bahkan harus ia perkuat sebab rasa ngilu di kepala penisnya menjalar ke sepenjuru tubuh.
Sena pun membenamkan wajahnya di leher Nyimas Ajeng. Mencium, mengecup, menghisap, dan menjilati kulit leher milik Nyimas Ajeng dengan penuh gairah.
Sementara itu Tangannya terus memberi remasan di kedua payudara sang bibi dengan sesekali memelintir puting coklat kemerahan milik bibinya itu.
Merasa cukup memberikan waktu adaptasi pada liang vagina sang bibi, Sena pun kembali melanjutkan dorongan pinggulnya, menguak dinding-dinding bagian dalam vagina Nyimas Ajeng dengan tempo lambat namun pasti, tanpa jeda.
Sementara dirasakan Sena pinggul sang bibi menegang hebat, remasan dinding vagina bagian dalam milik Nyimas benar-benar kuat menghisap, membuat kenikmatan tiada tara dirasakan Sena saat ini. Sedang sang bibi bak orang kepedasan, kombinasi rasa geli yang begitu nikmat dengan setitik rasa perih benar-benar memabukkan bagi Nyimas Ajeng saat ini.
Membuat tangannya yang kini melingkar punggung Sena ikut bereaksi, mencengkeram erat-erat di sana, sampai kuku-kuku Nyimas Ajeng mulai membenam di kulit punggung Sena, menyalurkan rasa perih pula bagi Sena yang didera kehangatan dari liang senggama sang bibi saat ini.
“Heikkkhhh... Mmmppphh..” Nyimas Ajeng menahan sekuat tenaga lonjakan birahinya ketika penis sena semakin dalam menyeruak bagian bawah tubuhnya. Menikmati tiap-tiap detik dan tiap-tiap gesekan yang terasa meluluhlantakkan dirinya saat ini.
BRREEERRRTT... BRREEERRRTT.. BLEESSSSSSSHHH..
“AAAHHHHHHHHH.. SSSHHHH..” Nyimas Ajeng berteriak sekencang-kencangnya dengan kuku yang semakin menancap di kulit punggung Sena tatkala kepala penis Sena terasa menyentuh pangkal rahimnya, kepala Nyimas yang tadi dijatuhkan ke kasur terangkat dan langsung ditenggelamkan pada bahu Sena, Nyimas Ajeng pun menggigit bahu Sena sebagai bentuk kenikmatan birahinya saat ini.
“Ssssshhh... Mmmpphh..” Sesang Sena mendesah tertahan tatkala berhasil membenamkan keseluruhan batang penisnya, berbarengan dengan itu ia meresapi remasan-remasan kuat yang begitu nikmat di keseluruhan penisnya saat ini, dan kenikmatan tersebut dikombinasikan pula dengan rasa perih dan sakit dari cengkeraman kuku dan gigitan Nyimas saat ini.
Sena memejamkan matanya rapat-rapat, menguatkan remasannya dan memelintir keras puting payudara sang bibi sebagai respon birahinya saat ini.
Ia diamkan sejenak batang penisnya di sana, ia resapi baik-baik kenikmatan tiada tara yang tengah melandanya saat ini. Bermenit-menit lamanya.
Hingga dirasa Bibinya sudah mulai tenang, dan ketegangan di otot-otot vagina Nyimas sudah mulai mengendur, Sena pun mengangkat wajahnya, kedua tangannya berpindah dari payudara Nyimas ke atas pembaringan, digunakan sebagai tumpuan.
Setelah itu Sena memagut kembali bibir Sang Bibi, melumat lembut bibir yang selalu menjadi kecintaannya selama ini. Nyimas pun membalas pagutan Sena tak kalah lembutnya.
Mmmmpphhh.. Muaacchh..
“Huh.. huh.. ssshhh..” Nyimas Ajeng menderu, tubuhnya menggeliat kecil berusaha menyamankan diri. Sedang Sena meringis sedikit sebab pergerakan pinggul Nyimas Ajeng memberikan remasan bersifat kejut yang membuat ngilu seluruh tubuhnya.
“Sssshhh.. apa masih sakit, Nyimas?” Tanya Sena dengan mata yang menatap dalam-dalam. Nyimas Ajeng menggeleng pelan, menyajikan senyum penuh birahinya pada Sena.
“Sakitnya tidak seberapa Sena Sshhh.. dan itu justru melengkapi keutuhanku tiap kali punyamu masuk ahhhh.. sshh..” Jawab Nyimas dengan wajah memerah padam.
“Punyaku itu maksudnya apa Nyimas? Saya tidak mengerti..” Ujar Sena jahil memancing Bibinya, bersamaan dengan itu ia tarik perlahan pinggulnya ke atas. Memberikan gesekan yang amat geli untuk mereka berdua.
“Kamu sedang memancingku ya? Hhhmm..” Desah Nyimas menikmati gesekan kepala penis Sena di dinding dalam liang senggamanya.
“Maaf Nyimas.. tapi saya benar-benar ingin mendengarnya hhhmm..” Sahut Sena yang kini menahan pergerakannya. Batang penisnya sudah terlepas dari cengkeraman vagina sang bibi. Hanya menyisakan kepala penisnya saja yang masih tertanam di sana.
“Kontolmu Sayang.. ssshh.. tiap kali kontolmu memenuhi memekku, aku selalu merasa utuh hhmm..” Ucap Nyimas menuruti permintaan Sena, dan mendengar sang bibi berbicara kotor membuat Sena tersenyum lebar, dan tanpa aba-aba lagi, ia hentakkan pinggulnya keras-keras, membenamkan kembali batang penisnya ke dalam liang senggama sang bibi.
“Heikkkkhhhh... Mmpphh.. Sena! Kamu.. Ouuuhhh..” Protes Nyimas Ajeng sebab tak siap dengan hujaman penis Sena yang mengoyak vaginanya secara tiba-tiba itu. Tubuh perempuan itu melenting ke belakang, membusungkan payudaranya tinggi.
Sena tersenyum lebar, menegakkan tubuhnya kemudian merenggangkan paha Nyimas lebar-lebar. Dipandanginya vagina indah Nyimas Ajeng yang tengah melahap batang penisnya itu. Vagina rimbun yang begitu basah tersebut terlihat menggelembung dan berkedut-kedut di bagian bibir vaginanya.
“Pelan dulu Sayang.. ssshh..” Pinta Nyimas dengan wajah terangkat, Sena tersenyum kecil, dielusnya paha bagian dalam Nyimas Ajeng kemudian mulai memaju mundurkan pinggulnya dengan pelan, memompa vagina sang bibi yang dibasahi lendir kenikmatan.
“Ahhh.. iya sayang.. hhhmm iya.. ouhh..” Desah Nyimas yang merasakan kenikmatan tiada tara.
“Hhhmmm.. ssshh..” Pun dengan Sena, ia merasakan ngilu yang begitu nikmat di sekujur batang penisnya yang tengah keluar masuk di liang senggama sang bibi.
“Aku berjanji Nyimas.. aku berjanji akan mengerahkan seluruh kekuatanku, agar bisa melumpuhkan pemilik Asta Braja itu.. oohh.. supaya rencana kita tidak terganggu.. aaahh..” Racau Sena yang mulai mempercepat tempo genjotannya.
Membuat Nyimas Ajeng semakin blingsatan, tubuh perempuan itu tersentak-sentak mengikuti hantaman pinggul Sena, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan kedua tangan terentang lebar mencengkeram sprei pembaringan ini.
PLOK.. PLOK.. PLOK..
“Yaahhh.. sssshhh.. aku tidak bisa menahanmu sayang.. hhhmm.. tapi tolong.. kembalilah padaku.. ah.. ah.. apa pun yang terjadi.. mmmpphhh..” Sahut Nyimas di tengah-tengah kenikmatan yang melanda sekujur syaraf tubuhnya, dan kenikmatan itu bersumber dari pangkal pahanya yang tengah dipompa oleh Sena.
PLOK.. PLOK.. PLOK..
“Tapi jika pun saya tidak kembali.. sshh.. saya mohon agar Nyimas tidak menangis.. aahh.. saya tidak mau menjadi sumber air mata bagi perempuan yang paling saya cintai ini.. ssshh..” Racau Sena menyampaikan isi hatinya, dan tiba-tiba saja kaki Nyimas langsung membelit pinggulnya, menahan gerakan Sena untuk Sementara waktu.
Setelah itu Nyimas segera melingkarkan lengannya di tubuh Sena, menarik pemuda itu untuk turun menindihnya, memagut bibir Sena dengan penuh perasaan birahi yang bercampur dengan cinta dan kesedihan. Setitik air mata kembali menetes dari kelopak mata Nyimas Ajeng, dan air mata ini sungguh-sungguh adalah air mata kesedihan.
Mmmpphh... Muuaacchhh..
“Huhh.. huhh.. kamu harus kembali Sena.. harus kembali!! Jangan sampai tidak..” Ujar Nyimas Ajeng dengan deraian air mata tambahan, kedua tangannya memegang pipi Sena dengan erat, matanya dalam-dalam menatap kedua bola mata Sena.
“Saya akan berusaha untuk kembali Nyimas.. tapi saya sungguh-sungguh tidak bisa berjanji..” Jawab Sena sembari menghapus linangan air mata sang bibi. Nyimas Ajeng menggelengkan kepalanya keras.
Menarik kepala Sena untuk kembali melumat bibir pemuda itu dengan keras, melumat dengan perasaan sesak tiada tara.
Mmmpphh.. Muaacchhh..
“Aku mau kamu berjanji, Sena..” Ujar Nyimas dengan mata memerah tangis. Sena menghela napas pelan, diusapnya kepala Nyimas dengan penuh perasaan.
“Saya tidak..”
“Kamu harus berjanji!” Potong Nyimas dengan tangan dilingkarkan seketika ke leher Sena, menarik kepala pemuda itu dan merengkuhnya erat-erat.
“kamu harus berjanji.. hiks..” Sambung Nyimas lagi sembari memeluk erat-erat kepala Sena. Kesedihan mulai menguasai hatinya saat ini.
“Nyimas..” Sena hendak kembali berucap di sela bibirnya yang mengecupi tengkuk sang bibi, namun ucapannya kembali terpotong oleh Nyimas Ajeng.
“Kalau kamu kembali, aku berjanji akan mewujudkan keinginan terbesarmu selama ini..” Bisik Nyimas tepat di telinga Sena, berusaha memberikan dorongan tekad kepada Sang Keponakan.
Dan mendengar hal tersebut Sena pun segera mengangkat wajahnya. Dipandangnya mata Nyimas dalam-dalam, dipegangnya pipi Nyimas dengan penuh kasih sayang.
“Katakan sekali lagi, Nyimas..” Ujar Sena dengan mata berkaca-kaca.
“Aku berjanji akan mewujudkan impian terbesarmu Sena. Aku akan mewujudkan keinginanmu itu..” Ucap Nyimas dengan perasaan berat namun tetap yakin pada ucapannya.
“Sungguh?” Tanya Sena dengan air mata yang keluar membasahi pipinya. Nyimas pun lekas mengusap air mata itu, dan segera memberikan anggukan kepala.
“Ya.. aku bersedia Sena.. aku akan membuka penutup rahimku jika kamu kembali..” Jawab Nyimas Ajeng dengan penuh keyakinan. Dan kembali, setetes air mata turun membasahi pipi Sena.
“Saya berjanji Nyimas.. saya berjanji akan kembali.. apapun yang terjadi.. saya berjanji akan kembali.. demi Nyimas.. mmpphh..” Sena berkata dengan semangatnya seraya langsung memagut bibir Nyimas Ajeng dengan penuh bahagia.
Mereka pun saling melumat dengan perasaan membuncah.
Nyimas Ajeng meneteskan air mata, sebab pertahanan yang selama ini ia bangun untuk Sena pada akhirnya runtuh jua. Sedang Sena begitu berbahagia, sebab impiannya untuk bisa menghamili Nyimas, untuk bisa memiliki anak dari perempuan yang paling ia cintai akhirnya akan terwujud.
Sena memagut lembut dan mendayu bibir sang bibi, pinggulnya mulai kembali bergerak memompa pangkal paha Nyimas Ajeng. Tangannya mulai kembali menggerayangi payudara bibinya itu dengan birahi yang diselimuti kebahagiaan tingkat tinggi.
Kedua insan sedarah itu pun kembali melanjutkan pacuan birahi yang sempat terjeda. Dan di tiap detiknya, genjotan Sena pada vagina Nyimas Ajeng kian cepat dan bersemangat. Membuat Nyimas Ajeng kembali terbakar birahi dan mengerang-ngerang tak terkendali.
Sena menegakkan tubuhnya, lalu dengan segera ia pun merapatkan paha Nyimas, dan menempatkan kaki perempuan itu di bahunya, kembali merojok-rojok vagina sang bibi dengan birahi yang meluap-luap tinggi.
PLOK.. PLOK.. PLOK..
PLOK.. PLOK.. PLOK..
“AH.. AH.. AH.. AH.. TERUS SAYANG OUUHHH.. TERUS.. SSSHH..” Nyimas kian meracau dalam lautan birahinya. Sedang Sena kian bersemangat mengeluar-masukkan batang keperkasaannya di liang senggama sang bibi.
Senyumnya merekah, birahinya terbakar pada titik tertinggi, mendidih penuh gelora.
Di kepala Sena saat ini terbayang gambaran jika nanti Nyimas tengah mengandung anaknya, gambaran Nyimas yang tengah hamil besar berjalan-jalan menyusuri tepian sungai bersamanya, gambaran di mana ia akan menggendong tubuh Nyimas dengan perut membuncit besar, gambaran di mana Nyimas menimang buah hati mereka dengan dirinya berdiri memeluk Nyimas Ajeng dari belakang.
Sena tersenyum semakin lebar, semakin dipercepat tempo keluar masuk batang penisnya di vagina sang bibi, gelora birahi diselimuti semangat menggebu yang dibalut dengan cinta mahadahsyat yang akan menuju kata sempurna membuat Sena benar-benar bak terlahir kembali ke dunia.
“Saya mencintaimu Nyimas.. dan saya berjanji akan kembali.. Demi Nyimas.. dan demi masa depan kita.” Batin Sena bahagia dengan linangan air mata di tengah pompaannya pada tubuh Sang Bibi.
**
Purantara di waktu yang sama..
POV REGAN
Terhitung udah tiga batang garpitku tandas selama aku menikmati kidung alam nan teduh diterpa gerimis ini, angin sepoi-sepoi tipis serta gerimis yang kian menipis. Ini aku sekarang lagi ngabisin batang ke empat. Ah gila.. sepur juga aku ya? Pantes dadaku mulai berasa panas. Sumpah.. enggak berasa loh, nyambung terus aja gitu.
Bisa bengek nih kalau aku nyundut sebatang lagi hahaha..
Dan di tengah lamunan panjangku serta kepulan asap rokokku. Tiba-tiba dari arah pintu aku lihat Dira muncul sembari membawa semacam bakul dari anyaman bambu yang sudah diisi buah, mungkin itu buah yang tadi ia serahkan kepadaku, sudah dipindahkan ke bakul sepertinya.
Kemudian di tangan yang lain ia menggenggam sebuah gelas yang diberi penutup. Rambutnya sudah kembali ia kuncir rapi dan tinggi, menampilkan aura kecantikan yang amat hakiki. Membuat sekelilingku seperti mengabur dan hanya terfokus pada dirinya seorang.
Dira pun tersenyum ke arahku yang tengah memandanginya lamat-lamat, aku membalas dengan senyuman seraya menegakkan dudukku. Bersamaan itu Dira mulai berjalan menembus rinai gerimis dengan bertelanjang kaki. Membuat hatiku entah mengapa merasakan gedegub tersendiri di setiap langkah Dira yang anggun menerabas gerimis.
Indah.. itu saja yang bisa kudefinisikan saat ini..
“Katanya mau tidur tadi hihihi..” Ucap Dira ketika sampai di saung, aku pun semakin melebarkan senyum, beringsut mendekat ke tepian lantai kayu saung ini.
“Becanda Ra..” Jawabku sembari membantu Dira menurunkan barang-barang bawaannya.
“Kirain aku beneran tau..” Ujar Dira sembari berdiri merapikan kunciran rambutnya.
“Ya enggaklah, masa kamu udah repot-repot ke sini malah saya tinggal tidur, enggak tau diri banget dong saya.” Sahutku sambil menjuntaikan kaki.
“Apasih Kak.. enggak boleh ngomong gitu, namanya juga orang sakit, ya perlu banyak istirahat dong..” Tukas Dira seraya memutar tubuhnya kemudian duduk menjuntai kaki di sebelahku, mengapit bakul buah dan gelas yang ia bawa.
Dan aku hanya bisa tersenyum atas perhatian Dira yang menurutku lembuuuuuuuut sekali, dan manis sekali diterimanya. Bohong kalo aku bilang aku enggak tersentuh saat ini.
“Diminum dulu Kak tehnya..” Ujar Dira dengan wajah tertoleh ke arahku. Kening dan pipinya sedikit basah akibat bulir gerimis yang belum kunjung ia tepikan.
“Jadi ini buat saya?” Tanyaku sembari mengambil gelas tersebut, membuka penutupnya, dan menghirup baik-baik aroma teh melati yang khas.
Dira tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.
“Kamu yang bikin?” Tanyaku lagi memastikan, Dira pun segera menganggukkan kepala lagi.
“Ditemenin Kak Hani tadi bikinnya..” Jawab Dira dengan senyum merekah yang begitu ikhlas. Aku mengangguk pelan, kemudian menyeruput teh buatan Dira yang memiliki suhu begitu pas.
Panas.. tapi panas yang bisa diminum gitu, tapi enggak anget ya. Pokoknya ada di suhu mahal gitu deh.
“Makasih ya Ra..” Ucapku sambil meletakkan gelas tersebut, kembali memasang penutupnya. Dira tersenyum begitu indahnya seraya memberikan anggukan kepala. Kemudian ia memutarkan pandangnya ke mengelilingi halaman belakang rumahku, tersenyum sejuk dengan wajah dihiasi bulir air hujan.
“Oh iya Ra, Hani masih di dapur?” Tanyaku kepikiran Hani. Dan untuk sekelibat mata, aku mendapati senyum Dira sedikit memudar sebelum kemudian terkembang lagi dengan khasnya, menolehkan kepala ke arahku.
“Kak Hani pergi sama Teh Arum, mau ke pasar katanya, mumpung hujannya mulai reda.” Jawab Dira sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
Aku mengangguk pelan, jika Hani berada di rumah, Teh Arum memang acap kali mengajak Hani untuk ke pasar, atau tepatnya Hani yang meminta ikut.
“Bagus deh.” Ucapku bergumam dan merasa sedikit di luar kendali alam sadarku.
“Bagusnya?” Tanya Dira bingung dengan kepala sedikit dimiringkan.
Duhh.. kenapa aku malah bilang gitu ya tadi? Apa itu berasal dari alam bawah sadarku yang lega karena Hani dan Teh Arum enggak ada di rumah? Yang artinya hanya tinggal aku dan Dira saja di sini? Uhhh.. gak taulah..
“Maksudnya bagus karena nanti Teh Arum pasti beli sesuatu buat dimasak.. iya.. itu maksudnya..” Jawabku asal.
“Oh..” Sahut Dira pendek.
Lalu beberapa saat kami pun saling diam, Dira kembali mengedarkan pandangannya, sedang aku kembali meneguk teh buatan Dira. Kami sama-sama membisu entah karena apa. Kalau aku mah karena gugup berduaan sama Dira kaya gini. Enggak tau kalau Dira.
Kebisuan itu baru pecah ketika Dira menawarkan buah bawaannya kepadaku. Ada bermacam-macam sebenarnya, dari apel, pisang, anggur dan lain-lain, khas parcel buah buat jenguk orang sakit gitu.
Aku akhirnya mengambil sebuah apel berwarna merah tua yang terlihat menggiurkan, mau aku caplok langsung niatnya, tapi tiba-tiba Dira menahanku, dan menawarkan diri untuk mengupaskan kulit apel di tanganku itu.
“Enggak usah lah Ra, langsung caplok aja..” Tolakku halus, namun tiba-tiba Dira memegang pergelangan tanganku, membuat apel yang sudah berada di ambang mulutku terhenti.
Lalu oleh Dira ditariknya lembut tanganku, diambilnya apel tersebut, kemudian dengan pisau yang memang sudah dipersiapkan di dalam bakul, ia mulai mengupas kulit apel tersebut.
“Kata Kak Hani.. Kak Regan pasti bakal milih apel, terus Kak Hani juga bilang, kalau Kak Regan enggak suka kulit apelnya. Makanya aku siapin pisau buat ngupasin apel Kak Regan. Soalnya kata Kak Hani, nanti Kak Regan buang sisa kulit apelnya sembarangan hihihi..” Ujar Dira dengan mata sesekali melirikku, membuatku terenyuh bukan main.
Dan terenyuhku itu berasal dari dua sumber berbeda. Satu karena Dira begitu perhatian dan telaten sekali dalam memperlakukanku. Dua karena Hani, ya.. sebab meski jutek-jutek gitu Hani masih aja nyempetin buat ngasih tau Dira apa yang aku suka dan aku enggak suka.
Huffftt.. Hani itu, bener-bener bisa bikin perasaanku amburadul enggak jelas.
“Aaaa..”
Aku terkesiap tatkala Dira menyodorkan potongan apel yang sudah dikupas sebagian di depan bibirku, kepalanya sedikit dimiringkan dengan tatapan melebar dan senyum merekah.
“Aaaa..” Dira kembali menggerak-gerakkan potongan apel di tangannya sebab aku yang masih diam.
Dan dengan ragu-ragu, aku pun memajukan kepala dan membuka bibirku, menggigit potongan apel tersebut dengan perasaan yang alakazama banget pokoknya.
“Hihihi.. manis enggak Kak?” Tanya Dira ketika aku tengah mengunyah daging apel di dalam mulutku.
“Manis.. manis banget malahan..” Jawabku dengan mata yang tenggelam di sepasang bola mata indah milik Dira.
Membuat Dira semakin melebarkan senyumnya, tersipu sendiri dengan semu pipi memerah.
“Lagi?” Tanya Dira yang tengah membersihkan biji dari potongan apel berikutnya. Aku menganggukkan kepala, dan kembali Dira menyuapkan potongan tersebut kepadaku. Aku mengunyahnya dengan riang.
“Ini apel termanis yang pernah saya makan. Manis banget..” Tukasku dengan bahagia sembari mengusap bulir gerimis yang hinggap di kening Dira, membuat Dira seketika membeku keluh.
“Mungkin apel ini enggak bakal semanis ini kalo bukan kamu yang ngupasin Ra..” Lanjutku lagi dengan usapanku yang sudah turun ke pelipisnya, membersihkan sisa-sisa basah di sana.
Dira pun kian terdiam, senyumnya yang tadi melebar berangsur hilang, berganti dengan raut yang begitu sulit dijelaskan.
“Terimakasih banyak Ra, terimakasih banyak karena kamu udah baik sama saya.” Ucapku lagi dengan jemari yang sudah hinggap di pipi lembut milik Dira, mengusap-usap di sana, membuat raut wajah Dira memerah padam.
“Makasih ya..” Tukasku lembut dengan tangan yang kini berpindah ke atas kepala Dira, mengusap rambutnya yang rapih terikat ke belakang.
“I.. iya Kak..” Jawab Dira gugup dengan anak mata yang tak lepas dari tatapanku.
Lalu, entah mendapat keberanian dari mana. Aku mendekatkan wajahku, hendak mengecup kening Dira.
Tapi beberapa inci sebelum bibirku mendarat bayangan wajah Hani terpampang di kepalaku, membuatku langsung tersadar dan mengurungkan niatku.
Sialan.. lagi pula, aku kok kaya manfaatin keadaan banget sih. Aku enggak boleh kaya gini harusnya. Enggak boleh, apalagi ke Dira. Enggak boleh banget aku manfaatin dia.
Alhasil aku pun menggigit bibirku sendiri, dan hanya memberikan usapan lembut di rambut Dira, setelah itu kutarik kembali wajah dan tubuhku sedikit menjauh.
“Terimakasih karena kamu udah ada di sini.” Ujarku mengumbar senyum, kini tanganku sudah ikut tertarik dari kepala Dira, langsung kuposisikan menjadi tumpuan di lantai saung.
Kutatap Dira dalam-dalam ketika kukatakan hal tersebut, namun wajah Dira tetap keluh meski senyumku telah kupugar untuknya.
Hening..
Dira hanya menatapku dengan tatapan nanar yang sulit aku terjemahkan.
Apa mungkin ia merasa tersinggung atas perlakuanku barusan yang hampir mengecup keningnya? Tapi kan aku mengurungkan niatanku itu. Tapi apa emang aku udah terlalu lancang karena berani memiliki niat buat mengecup keningnya?
Entahlah.. aku sendiri bingung.
“Maaf.” Ujarku pendek pada Dira, dan tiba-tiba saja raut wajah Dira berubah seketika, tidak setegang sedetik yang lalu, seperti tersadar akan sesuatu.
Kemudian dengan cepat ia meletakan pisaunya, dan tangan kanannya pun langsung menangkup telapak tanganku, digenggamnya erat kemudian diangkatnya telapak tanganku itu ke atas, lalu diletakkan kembali di atas kepalanya. Tepat di rambut bagian depannya yang tadi sempat aku usap.
Bibir Dira merekahkan kembali senyum, tatapannya kembali berbinar, dan wajahnya sudah tidak keluh. Ia bahkan menahan tanganku di kepalanya menggunakan tangannya.
“Makasih juga Kak.. makasih karena Kak Regan selalu berhasil bikin Dira seneng..” Seru Dira dengan bahagianya, dengan senyum yang dikembangkan lebih lebar sebelumnya.
Dan entah mengapa, perlahan-lahan bibirku langsung menyunggingkan senyum kecil, telapak tanganku yang tadinya hanya diam di atas kepala Dira mulai bergerak lembut, memberikan usapan di sana.
Lalu kami sama-sama tertawa, aku mengusap-usap kepalanya yang membuat ikatan rambutnya sedikit berantakan, sedang Dira hanya diam sembari tersenyum dengan mata sesekali dipejamkan. imut banget sumpah..
“Dasar..” Ucapku pendek menyudahi usapanku, kemudian kembali tertawa bersama Dira.
Sembari mengudarakan tawanya, Dira pun mengangkat kedua tangan untuk merapikan kembali rambutnya, membenarkan anak-anak rambutnya yang terlepas dari ikatan, lalu mengencangkan kembali ikatan rambutnya.
Dan ketika Dira melakukan itu, sungguh.. seperti seluruh dunia berhenti bergerak. Enggak ada hal lain yang bisa menjadi pusat pandangku selain kegiatan Dira yang tengah menguncir rambut itu. Terbius, terpana dan semacam itulah pokoknya.
Indah banget sumpah.. indah banget enggak boong..
Dan sebelum aku semakin tenggelam dalam kebodohan tatapanku itu, aku pun segera membuang pandang ke arah lain, kuhela napasku beberapa kali sebelum akhirnya memberanikan diri kembali bersitatap dengan Dira yang sudah selesai dengan kunciran rambutnya.
Hendak mengambil pisau untuk melanjutkan potong memotong apelnya, tapi aku segera menahannya, dan tanpa bicara aku mengambil lembut pisau dan apel dari tangan Dira.
“Gantian dong..” Aku berkata sembari memotong bagian apel yang kulitnya sudah dikupas oleh Dira, lalu kubuang bagian bijinya, setelah itu kusodorkan kepada Dira.
“Aaa...” Ujarku seraya menggerak-gerakkan potongan apel ke bibir Dira, membuat Dira semakin melebarkan senyum, lalu dengan pelannya ia menyambut sodoran apelku, membuat potongan apel tersebut hilang tertelan bibir mungil nan menggemaskan miliknya.
“Maniskan?” Tanyaku riang. Dira mengangguk tegas dengan senyum mengembang di tengah kunyahannya.
Membuatku semakin melebarkan senyum, sesuatu terasa mekar di dalam ruang-ruang perasaanku saat ini. Dan itu bersumber dari seorang gadis yang sangat menggemaskan di hadapanku ini, gadis yang beberapa hari ini mulai mengisi lubang kosong yang berada di sudut lain dinding perasaanku.
Kami pun terus bertukar tawa, saling mengabarkan tatap, saling melempar senyuman penuh bahagia.
Buah apel yang udah enggak utuh itu kini berpindah-pindah. Dari tanganku ke tangan Dira, lalu kembali lagi ke tanganku, kemudian pindah lagi ke tangan Dira.
Ya.. kami saling menyuapi apel manis yang terasa semakin manis berkat konspirasi alam raya di tengah gerimis ini.
Tawa berderai, senyum mengembang, usapan demi usapan jemari Dira di tepian bibirku, maupun usapan-usapan telapak tanganku di atas kepalanya. Dan aku sungguh-sungguh merasakan kebahagiaan saat ini, kebahagiaan yang aku sendiri sulit untuk menjelaskan maknanya. Tapi yang jelas, aku bahagia.. aku bahagia karena bisa bertukar canda tawa dengan Dira, itu saja.
Setelah menandaskan dua buah apel dan satu buah jeruk, aku dan Dira pun memutuskan menyudahi kongkow-kongkow kami di saung belakang rumahku ini. Kami beranjak masuk dengan sisa-sisa gerimis tipis menaungi, dan tawa riang Dira yang meningkahi, lembut dan sopan banget masuk ke telingaku, nyaman sekali didengarnya.
“Aku boleh nanya sesuatu enggak Kak?” Tanya Dira ketika kami berjalan bersisian menuju pintu belakang.
“Pake izin segala, kaya saya security komplek aja..” Jawabku santai sembari membuang puntung rokokku yang sudah mendekati filternya.
Dira tertawa kecil sebelum akhirnya memutar tubuh dan berjalan mundur mengimbangi langkahku. Ini dia ini bener-bener gemesssssin banget asli.
Ada aja gitu tingkahnya yang bikin aku pengen gendong terus bawa ke kamar hehehe.
“Kakak sama Kak Hani itu sodaraan apa gimana?” Tanya Dira dengan alis tertaut.
“Kenapa nanya itu?” Tanyaku balik karena bingung. Iya bingung.. kenapa Dira bisa mikir kalo aku ini sodaranya Hani?
“Ya abis Kak Regan kayanya deket banget sama Kak Hani, di sekolah sering bareng, di rumah juga sering main bareng. Aku pikir sepupuan mungkin hihihi..” Dira berujar seraya kembali memutar tubuhnya, berjalan dengan benar enggak mundur kaya tadi.
“Saya sama Hani itu temen sekelas waktu SMP, terus sahabatan ampe sekarang deh.” Jawabku sambil mengajak Dira untuk mencuci kaki di keran belakang yang memang disediakan untuk menyiram tanaman, letaknya persis di samping pintu.
“Temen satu sekolah maksudnya?” Tanya Dira memastikan.
“Iya temen satu sekolah dan temen sekelas juga waktu di SMP. Saya duduk di belakang dia malahan.” Jawabku sambil menyalakan keran air, mempersilahkan Dira untuk mencuci kakinya lebih dulu.
“Temen sekelas? Tapi kan Kak Hani kelas 3 Kak..” Tukas Dira kebingungan, dan aku baru engeh kalo Dira kan enggak tahu perihal aku yang sempat pindah sekolah dan nunda setahun.
“Gini Ra.. jadi pas kelas 2 SMP saya dipindahin sekolahnya ke kampung Uwak saya, nah pas pindah itu saya nunda dulu setahun, baru abis itu lanjut lagi ngelulusin SMP di sana. Jadi ya.. harusnya sih kalo enggak nunda saya udah kelas 3 sekarang, barengan sama Hani.” Jawabku menjelaskan pada Dira, ia yang sedang membersihkan tumit kakinya mengangguk-anggukkan kepala, tanda memahami ucapanku.
“Kenapa pindah Ka?” Tanyanya lagi yang sudah selesai membersihkan kaki. Kini gantian aku yang membasuh kakiku di aliran air keran tersebut.
“Saya dulu bandel banget, bikin masalah mulu, makanya sama orangtua saya dipindahin ke kampungnya Uwak, biar tobat katanya hehehe.” Jawabku santai saja sambil bergantian membersihkan kakiku.
“Sekarang juga masih bandel kok.. sering bikin Pak Gopur tolak pinggang hihihi..” Sahut Dira yang sudah berada di ambang pintu.
“Hehehe iya juga ya.. sama aja padahal hahaha..” Timpalku seraya mematikan keran. Dan bergabung bersama Dira.
“Hihihi dasar..” Sambung Dira yanh tertawa riang sambil memutar tubuh, berjalan denganku memasuki dapur.
Di dapur Dira berhenti sejenak untuk mencuci gelas bekas tehku, sudah aku larang sih, tapi dia maksa, jadi yaudah aku biarin. Dan setelah selesai, barulah kami berjalan ke ruang tamu. Duduk di satu sofa yang sama dan melanjutkan obrolan ke berbagai hal.
Dari mulai membahas sekolah, membahas teman-temannya dan teman-temanku, membahas guru-guru di sekolah, mana yang asik mana yang enggak, sampai membahas tentang rencana LDKS sekolah yang akan diadakan pertengahan minggu nanti, hari rabu sampai jumat tepatnya.
“Kakak sama temen-temen kakak berangkat bareng kan sama anak-anak yang lain?” Tanya Dira sembari mengambil handphonenya yang tergeletak di meja, sebuah Handphone BlackBerry bold, sama kaya handphone Ayah dan Ibuku dulu sebelum beralih ke produk SUMSANG.
“Enggak Ra, saya sama yang lain khusus malam terakhir aja. Jadi berangkatnya pas kamis siang paling.”
“Loh.. aku kira bareng sama anak kelas satu hhuffftt..” Ujar Dira terlihat sedikit kecewa.
“Hahaha enggak, lagian saya enggak bisa naek bis jauh Ra, mabokan saya mah. Makanya nanti mao turing dari sininya. Tapi alat-alat band udah dibawa duluan, jadi 4arah mah tinggal terima beres. Maklum.. guest-star gituloh hehehe..” Ujarku pura-pura menyombong, membuat Dira tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Terus nanti mau bawain lagu apa aja Kak?” Tanya Dira lagi.
“Rahasia dong.. pokoknya asik deh lagunya..” Jawabku santai.
“Ih aku penasaran, bawain lagu apa aja nanti?” Tanya Dira lagi.
“Dibilang rahasia..” Jawabku bersikeras tak mau memberitahu.
“Pelit ih..” Rajuk Dira sambil menggelembungkan pipinya, membuatku gemas buka main.
“Udah tenang aja, lagunya enggak aneh-aneh kok, yang umum-umum aja, biar semuanya bisa nyanyi bareng.” Aku berkata sembari membujuk Dira supaya enggak cemberut kaya gitu. Bukannya apa-apa nih, soalnya cemberutnya Dira itu bener-bener gemesin, aku takut khilaf sumpah.
“Bawain lagu Payung Teduh dong Kak, pleaaseee..” Mohon Dira sambil menggoyang-goyangkan lenganku.
Payung Teduh? Aku kayanya tau tuh.. itu Band Indie yang alirannya folk kalo enggak salah, emang lagi lumayan terkenal lagu-lagunya. Cuman aku belom pernah denger.
“Belom pernah denger lagunya Ra..” Jawabku padanya. Kemudian tanpa bicara Dira mengutak-atik BB-nya, entah lagi ngapain.
“Nih aku banyak nih Kak lagunya, enak-enak soalnya, bikin adem. Kakak mau denger yang mana?” Tanya Dira menyodorkan pemutar musik di BB-nya yang sudah menampilkan deretan lagu dari Band Payung Teduh.
Aku pun membaca satu persatu list lagu tersebut..
Angin Pujaan Hujan..
Berdua Saja..
Biarkan..
Cerita tentang gunung dan laut..
Di ujung malam..
Mari bercinta.. eh bercerita maksudnya.. mari bercerita.. salah baca aku..
Terus ada Menuju Senja.. Rahasia.. Resah.. Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan.. Tidurlah dan banyak lagi..
Wagelashh.. banyak juga lagunya, judulnya keren-keren lagi.
“Kamu ada rekomen enggak?” Tanyaku sambil garuk-garuk kepala, bingung sendiri karena disuruh milih lagu yang aku belom pernah dengerin.
“Kakak mau yang gimana? Yang agak ngebeat, yang santai, atau yang mendayu-dayu?” Tanya Dira balik dengan mata berbinar.
Fyuh.. kayanya dia pengen banget aku dengerin lagu band ini deh.
“Hhhhhmm.. yang menurut kamu paling enak aja..” Jawabku asal.
“semuanya enak.. gimana dong Kak?” Tanya Dira balik.
“Yaudah, yang mana aja yang menurut kamu.. kalau saya denger saya pasti langsung sreg gitu..”
“Hhhhmm.. oke deh.. aku puterin lagu yang paling aku suka. Hhmm.. tapi speaker BB-ku agak kresek-kresek Kak, Kak Regan ada headset enggak?” Tanya Dira antusias.
“Enggak ada sih, tapi kalo kamu mao, di kamar saya ada speaker. Gimana?”
“Iyaudah di kamar Kakak aja, soalnya lagu-lagu Payung Teduh itu paling enak didenger pake headset atau pake speaker. Biar kedengaran semua instrumennya..”
Dira berkata dengan sangat amat antusiasnya, seolah ini adalah sesuatu yang akan sangat menyenangkan. Aku pun mengajaknya bangkit dan beranjak ke kamar. Seraya Dira yang terus berbicara mengenai band tersebut.
Dari mulai lagu-lagunya, personelnya, tempat biasa manggung, sampe mitos dari salah satu lagu band tersebut yang berjudul “Resah”.
Aku sih cuman dengerin aja, bukan kepaksa dengerin ya, tapi emang aku tertarik sama cara penceritaan Dira. Bikin aku jadi lumayan excited buat dengerin lagu band ini.
Sesampai di kamar, dengan membiarkan pintu tetap terbuka, aku pun memasangkan kabel Jack ke BB milik Dira, lalu mempersilahkan Dira memilih lagunya, sedang aku langsung berjalan ke jendela untuk membuka lebar-lebar daun jendela kamarku. Kemudian duduk di atas kusen jendela tersebut.
Kupandangi langit muram yang masih mengirimkan gerimis dan guntur-guntur kecil, kuhirup dalam-dalam udara segar yang menaungi alam raya ini. Hingga tiba-tiba..
Sebuah petikan gitar yang berasal dari speaker kamarku membuatku terenyuh. Petikan gitar dan tebasan bass-nya kok syahdu banget ya? Eh bukan bass deh kayanya, kontra bass sih kayanya.
Tapi bener deh.. ini suaranya Sopan banget gitu masuk ke telingaku.
(Payung Teduh-Berdua Saja)
*diplay ya.. biar tambah syahdu*
Aku pun menoleh ke arah Dira yang masih berdiri di dekat meja belajarku. Ia terlihat memejamkan matanya dalam-dalam seraya sedikit mengangkat kepalanya, menikmati tiap petikan gitar dari lagu ini yang benar-benar biadab ademnya.
Anjir.. aku kok langsung jatuh cinta ya? Padahal ini baru petikan gitar doang loh.. belom masuk ke lirik sama sekali.
Ada..
Yang tak sempat tergambarkan..
Oleh kata.. ketika.. kita berdua..
Hanya.. aku yang bisa bertanya..
Mungkinkah.. kau tahu.. jawabnya..
Aku terhenyak, alunan syahdu lagu yang entahlah apa judulnya ini benar-benar meresap ke inti-inti sel darahku coy..
Malam jadi.. saksinya..
Kita berdua di antara kata..
Yang tak terucap..
Berharap waktu membawa.. keberanian..
Untuk datang membawa.. jawaban..
Beuhh.. sumpah.. ini lagu macem apa coy? Kok ngejarem banget ya? Ngena langsung gitu. Tiap lirik dan instrumen musiknya bener-bener kurang ajar banget, masuk banget coy asli.
Apalagi ditambah pemandangan Dira yang berdiri dengan berpejam mata, menggerakkan tubuh dan kepalanya tipis-tipis mengikuti irama lagu ini.
Indah sumpah.. indah banget..
Jagat Dewa Batara.. lagunya makjleb banget, dan gerakan Dira selaras banget.. sumpah.. terpana aku coy.. jarang-jarang aku langsung jatuh cinta sama sebuah lagu ketika pertama kali diputar..
Dan entah kenapa, kakiku pun bergerak sendiri, bangkit dan melangkah, mendekat pada Dira yang masih syahdu dengan pejaman matanya.
Kemudian aku berdiri dengan mata nanar menatap wajah Dira di hadapanku. Dan seperti tahu keberadaanku, Dira membuka perlahan matanya, sayu menatapku dengan sudut bibir sedikit menyunggingkan senyum.
Dan perlahan, ia merapatkan tubuhnya padaku yang berdiri kaku memandangi wajahnya. Kemudian tanpa kuduga sama sekali, dengan begitu lembutnya Dira menyusupkan kedua tangannya di punggungku, melingkar di sana dan memeluk tubuhku, langsung menjatuhkan kepalanya di dadaku.
Aku pun terdiam dalam sekali, keluh menikmati simfoni nan indah yang tengah melingkupi ruang-ruang perasaanku saat ini.
Dan tepat ketika suara sang vokalis redam, berganti dengan solo gitar yang dipetik begitu penuh perasaan, aku pun membalas pelukan Dira, merengkuh tubuhnya agar semakin dalam tenggelam dalam dekapanku.
Tubuh kami bergerak tipis ke kanan dan ke kiri, mengikuti petikan demi petikan lagu ini. Mataku pun perlahan-lahan terpejam, tenggelam dalam sebuah ruang imaji yang begitu tenteram dan meneduhkan hati.
Di kepalaku perlahan terputar moment-moment kebersamaan ku dengan Dira sebelum hari ini.
Senyumnya ketika kami sarapan bersama di taman komplek pagi itu, senyumnya di kantin ketika aku datangi, kebersamaan kami ketika duduk di bibir sungai dekat jembatan gantung ketika membolos, kebersamaan kami ketika meniti jembatan gantung saat hendak menyeberang ke warung soto, serta pelukan Dira ketika kami menyusuri bagian tengah taman pemakaman dekat sekolah selepas membolos hari itu.
Semuanya terputar begitu jelas, teriring petikan gitar yang maha syahdu.
Teduh.. sungguh.. teduh sekali..
Kami terus seperti itu, terus saling memeluk dan menikmati alunan lagu dari sebuah band yang ke depannya mungkin akan lebih sering ku perdengarkan lagunya. Meresap dalam-dalam moment ini, sebagai pengingat untuk hari-hari setelah hari ini.
Sampai lagu ini habis, dan berganti dengan lagu berikutnya yang bernuansa lebih ranca, aku dan Dira pun sama-sama membuka mata. Dira yang wajahnya sudah tertengadah ke arahku pun menyunggingkan senyum, aku balas senyumnya dengan tatapan dalam.
“Enak kan kak lagunya?” Tanya Dira yang tangannya masih melingkar di tubuhku. Aku mengangguk pelan dengan tangan tetap melingkar di tubuhnya juga.
“Sesuai namanya.. teduh..” Jawabku pada Dira yang langsung disambut dengan senyum merekah.
Dan ketika kami sedang dalam-dalamnya berpandangan, ketika kami sedang meresap-meresapnya perasaan.
Lagu ranca dari band yang sama terhenti, berganti dengan dering panggilan telfon yang langsung membuat kami tersadar dari penenggelaman rasa ini.
Aku perlahan-lahan melepas pelukanku pada tubuh Dira, hal yang sama ia lakukan. Kemudian ia pun mengambil BB-nya, dan mencopot kabel jack yang tersambung ke handphonenya. Menerima panggilan tersebut.
Ia sempat menatapku sebelum benar-benar mengangkat panggilan terlfon itu, dan ketika aku menganggukkan kepala, Dira pun langsung mengangkat panggilan tersebut.
“Hallo Pah..”
Oh.. dari papahnya ternyata..
“Iya..”
....
“kenapa?” Tanya Dira terlihat sedikit murung.
....
“Kok dadakan?”
....
“Iya ini Dira masih dengerin..” Ujar Dira sendu.
....
“Yaudah.. nanti Dira sampein ke Mamah..”
....
“Iya..”
...
“Miss you Pah..” Dira pun menutup panggilan telfon tersebut dengan helaan napas berat. Terlihat sedikit raut kekecewaan di wajahnya.
“Kenapa?” Tanyaku pada Dira. Ia terlihat menghela napas berat sebelum akhirnya menyunggingkan senyum terpaksa. Berjalan ke arah tempat tidurku dan duduk di pinggirannya.
Aku pun menyusul Dira, dan ikut duduk di sampingnya. Kuberanikan diri menggenggam telapak tangan Dira. Mencoba memberikan ketenangan padanya.
“Papah janji pulang malem tadi, tapi malah enggak ada kabar, terus sekalinya nelfon malah bilang kalau enggak jadi pulang karena ada tugas tambahan katanya.” Dira berkata dengan raut wajah yang dipaksakan tersenyum.
“Emang papah kamu lagi dimana?” Tanyaku pada Dira, ia menoleh dan kembali membuang napasnya dengan resah.
“Papah kan emang lagi ditugasin buat bantu evakuasi di Lemah Kidul pasca tsunami Kak, dan harusnya kemarin papah pulang. Tapi kata Papah ada longsor gitu di daerah Cikiridang kemarin, jadi Papah sibuk bantu-bantu pembersihan sisa longsor itu.” Jawab Dira yang mencoba tersenyum, meski terpaksa.
Aku mengerti bagaimana rasanya, aku aja sekarang kangen banget sama Ayah dan Ibu, yang belom balik-balik. Jadi aku mengerti kenapa Dira terlihat murung, ia pasti sudah menunggu Papahnya pulang dari tugas, tapi harus kecewa karena ternyata Papahnya urung pulang. Terlebih, sebagai prajurit, tentu saja Papahnya Dira akan selalu mengemban apapun tugas yang diberikan kepadanya.
“Hey.. jangan muram gitu ah, kan Cuma ketunda aja pulangnya..” Ujarku mencoba membangun ketenangan di hati Dira, ia tersenyum lebih lebar, berusaha mengentaskan keresahannya.
Tinung..
Handphone Dira berdering pendek beberapa kali, tanda ada pesan bbm yang masuk, ia pun segera membuka pesan tersebut.
“Dari papah..” Gumam Dira tanpa melihatku, namun seolah tengah memberitahuku bahwa pesan tersebut dari Papahnya.
Dan begitu room chat terbuka, ada beberapa kiriman gambar yang masuk di sana. Sedang didownload oleh Dira untuk melihat kiriman gambar tersebut. Dan setelah keseluruhan gambar terkirim, Dira pun melihat-lihat beberapa gambar tersebut.
“Ini lokasi longsornya kak..” Gumam Dira lagi terus terfokus pada Handphonenya. Aku pun ikut melihat apa yang Dira lihat.
Dan memang itu adalah gambar retakan-retakan tanah dan longsoran tanah gitu, berantakan deh pokoknya kalau aku lihat dari foto itu. Banyak pohon yang tumbang juga.
“Lumayan parah ya longsornya?” Tanyaku bergumam.
“Iya.. semoga enggak ada korban jiwa ya Kak.. kasian..” Ujar Dira menyahuti, sambil terus berpindah-pindah gambar.
Sampai di gambar yang sekian, aku meminta Dira memperlihatkan gambar yang sebelumnya, karena aku merasa ada sesuatu yang familiar di mataku.
Dira pun mengembalikan tampilan ke gambar yang sebelumnya, di mana terlihat retakan tanah lebar dan beberapa pohon tumbang, namun bukan itu yang menarik perhatianku.
Aku pun meminta Dira untuk memperbesar gambar tersebut, menzoom-nya. Kemudian aku meminta Dira untuk mengarahkan ke sudut bawah kiri gambar, melihat sesuatu yang menarik perhatianku.
Dan ketika sampai di bagian yang kumaksud, aku pun menajamkan pandanganku. Di sudut gambar yang agak ngeblur itu, ada beberapa mobil yang yang terlihat terbalik, aku memperhatikan salah satu mobil tersebut, karena mobil itu mirip sama mobil Ayah.
Lalu aku minta Dira memutar handphonenya, agar aku bisa dengan mudah membaca plat nomor mobil tersebut, dan begitu layar diputar oleh Dira, dan begitu aku bisa membaca plat nomor mobil tersebut dengan jelas walau gambarnya agak pecah, aku langsung merasakan rasa sesak yang teramat sangat di dadaku.
Napasku perlahan menderu, urat-urat leherku menegang, wajahku berkeringat dingin dengan deras, dan jari-jari tanganku pun perlahan gemetar.
“Kak?” Suara Dira yang bertanya padaku terdengar samar, tertutup dengingan kasar di gendang telingaku.
Itu.. mobil itu.. itu mobil Ayahku.. jelas sekali tanpa perlu dipertanyakan lagi. Salah satu mobil yang terbalik itu adalah mobil Ayah.
Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mobil Ayah bisa ada di sana?
“Kak.. Kakak baik-baik aja?” Tanya Dira meletakkan handphonenya dan memegang tanganku erat-erat.
Napasku memburu, kemungkinan-kemungkinan mulai muncul di dalam kepalaku. Kenapa? Kenapa mobil Ayah bisa di sana? Kenapa mobil Ayah berada dalam posisi terbalik seperti itu? Apa yang sebenernya terjadi?
“Kak Regan..” Dira kembali memanggilku dengan kedua telapak tangan ditempelkan di pipi. Dan bersamaan itu pula, air mataku turun membasahi pipiku.
“Kak.. kakak kenapa? Kak Regan kenapa?” Tanys Dira dengan suara panik. Aku memandangnya dalam-dalam, dengan hati yang gusar bukan main. Aku enggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Sumpah.. aku beneran enggak ngerti.
“Lokasi longsornya.. dimana lokasi longsornya Ra?” Tanyaku dengan napas pendek.
“Kak Regan kenapa?” Tanya Dira dengan raut wajah khawatirnya.
“Jawab Ra.. dimana lokasi longsornya? Tolong Ra..” Tanyaku lagi dengan tangan yang mulai terkepal.
Ayah.. Ibu.. Mang Diman.. mereka bagaimana sekarang? Kenapa mobil Ayah ada di sana?
“Ci.. Cikiridang Kak..” Jawab Dira terbata.
Cikiridang? Aku pernah dengar nama daerah itu. Kalo enggak salah itu adalah jalur alternatif menuju Lemah Kidul.
Beberapa hari yang lalu ketika aku dan kawan-kawan sedang membahas tsunami yang terjadi di Lemah Kidul. Wawi sempat cerita pengalaman dia ke satu pantai di sana, pantai itu terkena hantaman tsunami juga, dan kalo enggak salah, Wawi bilang dia lewat Cikiridang pas menuju pantai tersebut.
“Longsornya kapan Ra kata Papah kamu tadi?” Tanyaku mencoba mengondisikan napasku sendiri. Dira terlihat bingung sekali dengan perubahan raut wajahku ini, membuatnya sedikit gagap ketika aku bertanya.
“Ra.. please.. kejadian longsor itu kapan?” Tanyaku memohon pada Dira.
Sungguh.. aku enggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Kata Teh Arum Ayah sama Ibu belom bisa pulang karena ada urusan tambahan di sana.
Tapi kenapa sekarang justru aku mendapati mobil Ayah ringsek terbalik kaya gitu? Ini sebenarnya apa sih yang terjadi sama keluargaku?
“Ke.. kemarin sore Kak kata Papah..” Jawab Dira dengan raut bingung bercampur kekhawatiran.
Longsor di Cikiridang? Kemarin sore? Dan foto itu.. Apa mungkin.. Aaarrrgghhh..
Dan di tengah kebingungan dan kekalutanku itu, terdengar suara pintu terbuka dan langkah-langkah yang diiringi suara mengobrol antara Teh Arum dan Hani yang sepertinya baru pulang dari pasar.
Teh Arum.. ya.. aku harus tanya Teh Arum..
Aku pun langsung bangkit dari dudukku dan berjalan ke arah pintu kamarku yang sedari tadi terbuka lebar, dan tepat ketika aku keluar dari kamar hendak menuju ruang tamu, aku langsung mendapati Teh Arum dan Hani yang hendak berjalan ke arah dapur dengan tentengan belanjaan di tangan mereka masing-masing.
Melihatku yang muncul dengan keadaan kalut, Teh Hani dan Arum pun segera menyambut kedatanganku dengan wajah bingung.
“Nggan..” Teh Arum bergumam ketika aku muncul di depannya, kedua alisnya tertaut bingung. Pun Hani, ia menatapku dengan tatapan bingung juga.
“Kamu kenapa?” Tanya Teh Arum seraya meletakkan plastik belanjaannya di lantai, merapatkan tubuh ke arahku.
Tak lama kulihat Dira bergabung, ia berjalan melewatiku dan langsung berdiri di dekat Hani yang memberi gesture tanya kepada Dira, namun Dira hanya bisa menggelengkan kepala.
“Ayah sama Ibu.. Ayah sama Ibu sekarang dimana Teh?” Tanyaku dengan napas sesak dan kelopak mata yang menghangat.
Sejenak kulihat raut keterkejutan di wajah Teh Arum ketika aku menanyakan hal tersebut, dan itu semakin menguatkan dugaanku, dan semakin membuat kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepalaku mengembang utuh.
“Jawab Teh.. jawab yang jujur..” Tanyaku lagi sembari mengusap rembesan air mata yang turun dari kelopak mataku.
“Ehem.. Itu.. Bapak sama Ibu masih di sana lah Nggan.. masih ada urusan yang harus..”
“Kenapa Teh?” Tanyaku memotong kalimat Teh Arum, membuat Teh Arum terdiam sejenak. Hani dan Dira terlihat semakin kebingungan di belakang Teh Arum, namun bukan itu yang menjadi prioritasku saat ini.
“Kenapa Teteh boongin Nggan?” Tanyaku dengan suara berat dan perasaan sesak yang amat dalam. Teh Arum pun semakin menampilkan raut wajah yang sulit aku definisikan.
“Aku enggak ngerti yang kamu omongin Nggan, kamu sebenarnya kenapa sih?” Teh Arum bertanya seraya hendak menyentuh pipiku, namun aku menepis halus tangannya.
Teh Arum.. kenapa dia enggak langsung jawab aja pertanyaanku? Kenapa dia malah berusaha terus membohongiku? Kenapa harus berbohong? Apa sebagai anak aku enggak berhak mengetahui keadaan orangtuaku? Separah apa sampai Teh Arum harus membohongiku seperti ini?
Cukup.. kalo Teh Arum enggak mao ngasih tau apa yang sebenarnya terjadi, aku bisa nyari tau sendiri.
“Nggan enggak suka diboongin Teh..” Ucapku dengan hati yang begitu sakit seraya membalikkan tubuh dan langsung berjalan ke kamarku.
Kututup pintu dan langsung kukunci kamarku. Kukepalkan tanganku keras-keras, mencoba menenangkan napasku yang kian memburu hebat.
Terdengar gedoran dan seruan dari Teh Arum, maupun Hani yang memintaku untuk membuka pintu. Tapi enggak aku peduliin, sekarang yang terpenting, aku harus memastikan keadaan Ayah dan Ibu.
“NGGAAANN.. BUKA NGGAN.. PLEASE.. LO KENAPA? CERITA AMA GUE NGGAN.. NGGAAAN..” Terdengar suara Hani lantang di luar kamar, namun sungguh, aku butuh lebih dari sekedar teman bercerita saat ini, aku butuh kejujuran Teh Arum!
Kalau Teh Arum emang enggak mau ngasih tau apa yang sebenarnya terjadi, aku bisa nyari tau sendiri!
Aku langsung berjalan ke lemari, kulepas celana pendekku dan kuganti dengan celana jeans panjang. Lalu kuambil kemeja flanel abu-abuku dan langsung kukenakan untuk membalut kaosku.
Kutarik sepasang sepatu dari bawah lemariku, langsung kukenakan tanpa memakai kaos kaki terlebih dahulu. Setelah itu aku mengantungi dompet dan rokokku, setelah itu menyambar kunci motorku.
Biar aku pastiin sendiri kondisi Ayah dan Ibu..
Aku tadinya hendak lewat pintu, namun menilik gedoran dan panggilan yang masih kencang di sana, aku pun memilih keluar lewat jendela kamarku.
Langsung berjalan cepat dengan air mata yang sialannya terus keluar membasahi pipiku. Aku bahkan kini sudah berlari menuju gerbang rumahku, langsung membukanya dengan lebar dan setelah itu berbalik untuk menghampiri Si Kopet yang terlindung di dalam garasi.
Dengan cepat kunaiki RX-King warisan Ayah ini, kunyalakan mesinnya dengan nyalak, dan tanpa menunggu mesin motor tua ini panas, langsung kubebat gasnya keluar dari garasi.
“NGGAAANNNN..” Seruan kencang terdengar dari arah belakang ketika aku membebat si kopet melewati gerbang yang terbuka lebar.
Entah itu suara Teh Arum atau Hani, aku enggak peduli lagi. Bahkan tanpa menutup gerbang lagi, aku langsung menjalankan motorku ini membelah jalan raya, membebat gasnya sedalam mungkin meninggalkan rumah.
Kusentak gasnya dalam-dalam, membuat motorku ini meraung dengan nyalak dan bisingnya.
Kuterabas polisi tidur yang menyembul di badan jalan, kusalip satu demi satu kendaraan. Tanpa memedulikan makian dari pengguna jalan lain yang merasa terganggu dengan gaya berkendaraku yang ugal-ugalan.
Aku harus mencari tahu sendiri! Aku harus memastikan sendiri!
*
Setelah 15 menit lamanya aku berkendara gila dengan pikiran mampet, kini aku sudah memasuki sebuah gang kecil, kulajukan Si Kopet dengan terburu-buru tanpa memperdulikan polisi tidur di gang ini. Tujuanku satu, rumah Wawi.
Semoga ia ada di rumah, karena aku hendak meminjam helm sekaligus bertanya patokan arah kepadanya.
Dan ketika aku sampai di depan rumah Wawi, aku langsung menepikan motorku tepat di belakang motor Wawi yang terparkir bisu.
Aku pun langsung mematikan mesin motorku, dan bersamaan dengan itu Wawi langsung muncul dari balik pintu rumahnya, bertelanjang dada dengan hanya mengenakan celana jeans panjang robek-robeknya. Wajahnya bingung karena tiba-tiba aku datang.
“Nggann.. ada apaan men?” Tanya Wawi menuruni tangga di depan rumahnya, menyongsongku yang juga tengah berjalan ke arahnya.
“Cikiridang.. kasih gua patokan arah ke Cikiridang Wi, kemaren lo bilang pernah lewat situ kan? Sama sekalian gua minjem helm, gua lupa bawa helm soalnya..” Ujarku terengah-engah kepada Wawi.
“Ada apaan sih Men? Terus lu mao ngapain ke sana?” Tanya Wawi dengan raut wajah bingung.
Aarrrgghh.. Sialan.. biasanya Wawi enggak banyak tanya gini!
“Gua enggak bisa jelasin sekarang Wi..” Jawabku seraya melewati Wawi dan berjalan ke arah pintu rumahnya.
Kulepas sepatuku secara asal dan langsung masuk ke rumah Wawi tanpa permisi, ya aku emang enggak sopan. Terserah..
Aku langsung berjalan ke arah lemari yang berada di ruang depan rumah Wawi, kusambar helm sahabatku itu dan langsung berbalik badan. Hendak berjalan kembali keluar rumah.
Kalo emang Wawi banyak tanya, aku bisa jalan sendiri, nanti tinggal bertanya di jalan aja lah..
“Tunggu sini bentar Men..” Wawi yang memapasiku di pintu menahan tubuhku, setelah itu ia berjalan ke arah kamar meninggalkanku.
Tapi aku enggak ngindahin kata-kata Wawi, aku tetap berjalan ke luar, sembari mengenakan helm. Langsung kunaiki Si Kopet dengan buru-buru. Tapi sialnya ketika aku hendak menyalakan mesin RX-King ku ini, kunci motorku enggak ada. Padahal tadi aku inget banget aku tinggal di sini. Setang motorku juga dalam posisi terkunci. Sialan ini..
Aaaaaarrrrggghhh..
Dan di tengah kebingunganku itu, tiba-tiba Wawi muncul dengan sudah mengenakan kaos putih polos, dan bersepatu convers sama sepertiku. Di tangan kanannya ia menenteng helm, sedang di tangan kirinya menenteng jaket jeans.
“Konci Si Kopet di dalem, lagian motor lu bensinnya tiris itu, tinggal aja.. ntar biar Kak Ranti yang urus.” Ucap Wawi seraya mengenakan helm dan jaketnya.
“Lah lu ngapain Wi?” Tanyaku bingung melihat Wawi yang tengah memutar arah motornya.
“Lu lagi buru-buru kan? Jadi enggak usah banyak tanya.. bantuin gua angkat buntutnya..” Tukas Wawi padaku dengan datarnya. Yang membuatku langsung turun dari Si Kopet dan mengangkat bagian belakang motor Wawi.
Setelah itu wawi pun naik ke atas trail kebanggaannya.
“Ayo cepet.. kata lu buru-buru..” Ucap Wawi kepadaku yang masih berdiri memandanginya.
“Serius lu?” Tanyaku sekali lagi karena mengerti niatan Wawi.
“Ayolah.. baru gua fullin nih tangki, bablas langsung kita..” Ujar Wawi santai dengan senyum dan angkatan alis khas miliknya, bersamaan itu ia pun menyalakan mesin motornya. Menggeber-geber sejenak.
“Wi.. ini bukan masalah tonjok-tonjokan kok serius, jadi lu enggak perlu ikut Men..” Ujarku lagi pada Wawi, ia pun menoleh kepadaku dengan tatapan datarnya.
“Gua temenin, apapun alesan lu ke sono, gua temenin!” Ujar Wawi dengan tegasnya, aku pun hanya bisa menghela napas dalam, kemudian naik ke jok boncengannya.
Setelah itu tanpa bicara lagi Wawi langsung menjalankan motornya, menghantam polisi tidur dengan sembarang tanpa memikirkan aku yang duduk di boncengan, dan aku pun enggak masalahin itu.
Sebab sekarang pemikiranku sedang penuh, tentang kemungkinan apa yang dialami Ayah, Ibu dan Mang Diman tentunya.
Lalu apa alasan Teh Arum berbohong padaku, dan setelah kurenungkan di jalan menuju ke sini tadi, aku berpikir apa mungkin Om Damar juga tau hal ini? Dan kalo tau kenapa Om Damar enggak ngasih tau aku juga?
Terus ditambah lagi sekarang ini, Si Wawi. Niatku yang hanya ingin meminjam helm sembari bertanya patokan arah, malah berujung pada ikutnya kawanku dalam perjalananku ini. Aku enggak ngerti lagi harus gimana, aku enggak ngerti lagi sumpah.
Dan yang paling penting, Ayah sama Ibu sekarang dimana? Apa mereka baik-baik aja? Kalo ngeliat kondisi mobil Ayah yang kebalik kaya gitu, pastinya Ayah, Ibu sama Mang Diman.. Aarrrgghhh.. bangsatt!!!
Wawi pun membebat gas motornya dalam-dalam, melibas jalan raya dengan enggak kalah gilanya denganku ketika tadi menuju ke rumahnya. Mobil demi mobil ia salip dengan lugas, raungan demi raungan knalpot motornya membuat pekak telinga-telinga pemotor lain yang ia salip dengan gila.
Wawi.. meski dia enggak tau apa tujuanku ke sana, tapi dia enggak peduli akan itu. Yang dia tahu sekarang, mungkin hanya kami harus segera sampai.
**
Ruang informasi Purantara..
“KIRIM TIM PENGEJAR SECEPATNYA, HENTIKAN DIA DENGAN CARA APAPUN! APA PUN! KALAU PERLU TABRAK SEKALIAN DAN LANGSUNG BIUS!! PASTIKAN DIA NDAK MELEWATI PERBATASAN, DAN YANG PALING PENTING.. JANGAN SAMPAI DIA TIBA LOKASI PENGHADANGAN KEMARIN!” Teriak Damar kencang sembari menggebrak meja di depannya.
Beberapa punggawa pun langsung berlarian keluar dari ruangan tersebut, sedang yang lainnya sibuk mengutak-atik komputer masing-masing, berusaha menemukan keberadaan Regan.
Damar pun sudah menghubungi Anung Benawi untuk meminta bantuan. Namun pengetatan penjagaan di perbatasan wilayah yang dijaga Anung Benawi membuat punggawa-punggawa dengan kemampuan mumpuni berada terlalu jauh dari jalur yang akan dilalui Regan.
“Tenang Mas.. sabar..” Arum mengelusi punggung Damar, mencoba menenangkan lelaki yang tengah diliputi kekhawatiran itu.
“HUBUNGI MAS GOFUR.. SURUH DIA KESINI SECEPATNYA! HUBUNGI JUGA JANUR GUNUNG DAN SURUH DIA MEREKA ULANG INFORMASI TERKAIT PRAJURIT BODOH TERSEBUT!” Seru Damar seraya berbalik badan, tak memedulikan Arum yang berada di dekatnya. Berjalan cepat meninggalkan ruangan tersebut dengan Bogi mengekor di belakangnya.
“Mas tenang dulu..” Seru Arum sembari mengejar Damar yang beberapa langkah di depannya, masih mencoba menenangkan lelaki tersebut.
“Bagaimana aku bisa tenang Rum? Kita kecolongan! Kalau sampai Regan tiba di lokasi tersebut dan mendapati keadaan sebenarnya, itu sangat berbahaya. Belum lagi kemungkinan sisa-sisa orang Hematala yang masih berada di sekitar perbatasan, kalau sampai mereka menyadari jika putra mahkota Purantara sudah berada di luar Rejeg Wesi, itu akan sangat berbahaya!” Ujar Damar seraya terus berjalan, tak mengindahkan Arum yang langkahnya terseok mencoba mengimbangi.
“Iya aku ngerti, Cuma Mas Damar juga harus tenang.. kalau Regan dilumpuhkan dengan cara sembarangan, bukannya itu sama berisikonya dengan Regan jika sampai di sana?” Tanya Arum yang kini sudah berhasil mengimbangi langkah Damar.
“Setidaknya itu lebih aman dibandingkan dia tertangkap oleh orang-orang Hematala..” Jawab Damar mulai menuruni anak tangga, hendak menuju ruangan Rengganis untuk mengabari kekacauan ini.
Pikiran lelaki itu benar-benar kacau balau, baru saja ia dikejutkan oleh badai besar yang bersumber dari kemunculan Asta Braja, kini ia dihadapkan dengan sang Keponakan yang coba mencari tahu apa alasan sebenarnya di balik ketidakpulangan Rengganis dan Saka.
Belum lagi kemungkinan orang-orang Hematala yang masih tersisa, dan yang lebih mengkhawatirkan Damar adalah.. terlepasnya Sasah Sukma yang ia tanam di tubuh Regan jika sampai emosi anak itu berada di luar batas pengendalian.
Karena, semalam ia hanya memperkuat segel penahan di tubuh Regan, ia tidak sempat memperkuat Sasah Sukmanya sebab sudah kehabisan tenaga lebih dulu.
Riuh.. itu saja yang sekarang tengah melanda keseluruhan bangunan di bawah tanah tersebut. Punggawa-punggawa sibuk menyisir areal-areal yang kemungkinan dilalui sang Putra Mahkota, dengan berpatokan pada motor RX-King dikendarai sang anak yang selalu dalam perlindungan itu.
Bersambung..