Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[LEGEND] Lily Panther The Series #20

Legend dulu di CCS wiro apa DS ya..
 
05: Gantengnya Tamuku

Dari sekian banyak tamu yang sudah aku layani, baru kali ini aku menerima yang benar benar sesuai seleraku, di samping orangnya ganteng juga masih muda, mungkin 2-3 tahun lebih tua dari usiaku, atau bahkan lebih muda. Menurut catatan harianku, dia adalah tamuku yang ke-58 pada hari yang ke-19 aku bekerja, dan merupakan orang yang ke 24 yang aku layani. Ternyata setelah sekian hari baru terpenuhi harapanku untuk mendapatkan tamu yang sesuai keinginan dan selera.

Namanya Jimmy, karena chinesse kupanggil dia Koh Jim, entah apa kerjaannya sehingga bisa membayarku, yang jelas hanya orang yang kelebihan banyak uang yang mampu, bukan orang yang kelebihan uang pas pasan karena tarifku juga tidak murah.

Mulanya aku dingin dingin saja ketika Om Lok memberitahu akan tamuku, karena seperti biasa dia tidak pernah memberitahu detail tentang tamuku yang akan datang kecuali apa yang harus aku persiapkan sesuai permintaan atau tamuku seorang pejabat yang perlu pelayanan khusus. Begitu kubuka pintu kamarku menyambut kedatangannya, aku terkesima takjub akan ketampanannya, mungkin karena terlalu sering melayani orang yang usianya jauh diatasku, maka begitu melihat Jimmy aku langsung tertegun, tak menyangka mendapatkan tamu yang seganteng dan semuda dia.
Dengan agak canggung kupersilahkan dia masuk, entah kenapa aku jadi salah tingkah di depannya, seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta, cinta?? kata kata itu sudah jauh kutanam di dasar batinku yang membatu, tapi apa namanya ini entahlah.

Dia adalah tamuku yang ke 3 hari itu, setelah menemani 2 tamu Chinese seusia papaku yang Cuma besar nafsu saja dibandingkan tenaganya, aku sama sekali tidak mendapatkan kenikmatan apalagi kepuasan, aku berharap Koh Jimmy mempunyai stamina tenaga muda yang bisa memenuhi hasratku.

Sore itu dia mengenakan kaos dan celana jeans, postur tubuhnya cukup atletis, tentu saja dibandingkan tamuku lainnya, menyesal aku mengenakan pakaian yang menurutku kurang sexy, kukenakan celana jeans putih dan kaos yang cukup longgar sehingga tidak bisa mempertunjukkan lekuk tubuhku.

Seperti biasa kami ngobrol di sofa untuk mencairkan suasana, Koh Jimmy orangnya enak untuk diajak bicara, sopan dan tidak kasar, aku makin suka akan penampilannya. Aku sudah bertekad untuk memberikan servis all out semampu yang kubisa berikan, aku ingin membuatnya benar benar puas akan pelayananku.

"Minum dulu Koh, biar kuat" gurauku
"Jangan panggil Koh, toh kita sama usia, paling tak lebih dari tiga tahun, panggil saja Jimmy, biar nggak kaku", pintanya

Entah siapa yang memulai akhirnya kami berpelukan, mulanya dia mencium pipiku, kemudian bibirku dilumatnya, hatiku berdegup kencang ketika dia memainkan bibirku dengan bibirnya, lidah kami saling menyapa. Tangan Jimmy mengelus punggungku, kemudian menyusup di balik kaosku, gosokan tangannya di punggungku terasa hangat dan lembut, kubalas dengan usapan tanganku di selangkangannya, kurasakan ketegangan di balik celananya. Tangan Jimmy bergerak ke depan, mengelus buah dadaku yang masih terbungkus bra, belum ada remasan yang dilakukannya di buah dadaku, dengan gemetar kumulai meremas remas selangkangannya, semakin tegang dan keras, napasku sudah mulai turun naik merasakan gejolak birahi.

"Pakaiannya dilepas ya, ntar kusut" usulku, sebelum aku bertindak lebih jauh dia sudah mengangkat kaosku dan melepasnya, tampaklah buah dadaku yang tertutup bra, menantang dengan mulusnya, aku bangga ketika dia memandangi dengan sorot mata kagum. Kulepas kaosnya, benar dugaanku, dadanya yang bidang dan atletis, tidak gendut seperti tamuku yang lain, aku makin bergairah melihatnya.

Kuciumi dada dan kupermainkan putingnya dengan lidahku, dia mulai mendesis nikmat sambil mulai meremas remas buah dadaku, aku jadi lebih bergairah, bibir dan lidahku turun menyusuri perutnya sambil tanganku membuka celananya, kutarik turun jeansnya dan kukeluarkan kejantanannya dari balik celana dalam. Lumayan, besarnya rata rata chinesse pada umumnya, mungkin panjangnya 15 cm, tapi kerasnya minta ampun seperti besi, kupegang dan kuremas sambil mengamati wajah ganteng Jimmy yang lagi mendesis kenikmatan, makin menggemaskan.

Remasanku tak kulanjutkan, aku berdiri di depannya, kulepas celanaku, tinggal sepasang bikini ungu yang menutupi tubuhku, ditariknya tubuhku dalam dekapannya, dan kembali dilumatnya bibirku sambil meremas remas gemas kedua buah dadaku, aku membalas dengan mengocok kejantanannya yang keras membatu, bibir Jimmy lalu menyusuri leherku, aku mendesis, wajahnya dibenamkan di antara kedua bukit di dadaku, tanpa melepas bra, putingku dikeluarkan dari penutupnya dan langsung mendapat kuluman penuh gairah, tubuhku langsung menggeliat menerima kulumannya, tanpa kusadari tangan kiriku mempermainkan klitorisku sendiri sambil tetap mengocok kejantanannya dengan tangan kanan, kurasakan vaginaku sudah mulai basah menerima cumbuannya, aku benar benar sudah terbakar nafsu birahi.

Tiba tiba Jimmy menghentikan cumbuannya, aku kecewa, dia lalu menuntunku menuju ranjang, setelah menelanjangi tubuhku direbahkannya di atas ranjang, celana dalamnya dilepas sendiri lalu menyusulku ke ranjang. Aku sudah siap menerima cumbuannya, kurasakan desah napasnya menerpa wajahku sebelum bibirnya kembali mendarat di puncak bukitku, cukup lama dia menikmati putingku secara bergantian tanpa melepaskan remasannya. Tubuhnya kemudian menindihku, kami berciuman dengan penuh gairah, tak mau menunggu terlalu lama, kusapukan kejantanannya di bibir vaginaku, dengan perlahan dia mendorongnya masuk, begitu keras kurasakan menggesek dinding vaginaku yang sudah basah, aku mulai mendesis nikmat, kurasakan begitu lama Jimmy melesakkan kejantanannya hingga akhirnya benar benar semua batang kejantanan itu tertanam di dalam.

Dia mendiamkan sesaat sambil mengamati expresi wajahku, kubalas pandangannya, sama sama terbakar birahi, dengan senyum yang menawan ditariknya perlahan dan didorongnya lagi, sungguh pelan dia melakukannya, sepertinya dia begitu menikmati jepitan dan gesekan di vaginaku, diperlakukannya aku dengan penuh perasaan, membuatku makin terhanyut dalam irama permainannya. Pelan, nikmat dan penuh perasaan, sungguh kurasakan baru kali ini aku diperlakukan sebagaimana layaknya wanita, justru makin membuatku melambung tinggi lebih cepat, kocokan Jimmy yang pelan dan lembut terasa makin nikmat seiring dengan ciuman mesra di leher dan bibirku, aku menggeliat dalam kenikmatan yang indah, kulumat bibirnya yang ada di mulutku, kuremas rambutnya, dipeluknya tubuhku, kami menyatu dalam irama nafsu birahi, cukup lama kami saling mencium dan melumat. Berulang kali kami saling memandang dan berulang kali pula kucium pipinya dengan gemas.

Pandangannya sungguh membuatku makin terhanyut dalam nikmat birahi, tak terasa hanya beberapa menit dia mengocokku ternyata aku sudah mencapai orgasme, ya orgasme tercepat selama ini. Aku menahan desahan orgasmeku, malu untuk mengungkapkan dengan expresi, kugigit bibirku, kuremas lengannya seiring dengan denyutan nikmat di vaginaku, tubuhku mengejang lalu perlahan lemas tanpa bisa berbuat lebih banyak. Jimmy tahu aku sudah orgasme lalu mendekapku dan mencium keningku, oh betapa mesranya, tak pernah aku diperlakukan begitu mesra penuh perasaan oleh laki laki yang menikmati tubuhku, kubalas dekapannya dengan pelukan lalu kami kembali berciuman bibir. Setelah napasku berangsur normal dia minta ganti posisi.

Tanpa melepaskan penisnya, kami bergulingan di ranjang, kini aku di atas masih tetap berpelukan dan berciuman mesra. Aku duduk di atasnya, perlahan kugoyang pinggulku, Jimmy memandangiku dengan mesra sambil mengelus elus dan meremas ringan buah dadaku, disibakkannya rambutku yang tergerai di mukaku saat aku bergoyang dan menggeliat nikmat. Tubuhku turun naik sambil sedikit memutar mengocok penisnya, Jimmy mulai ikutan mendesis, desahan demi desahan bersautan antara kami berdua. Kutekankan pantatku ke tubuhnya untuk menanamkan lebih dalam penis itu di vaginaku, lalu kuputar pinggangku, kupermainkan puting di dadanya dengan jari tanganku, Jimmy mendesah keras menikmati permainanku, remasan di buah dadaku makin kencang, aku makin bergairah menggoyangnya, terlalu bergairah hingga dengan segera mencapai puncak kenikmatan sexual kedua kalinya sepuluh menit kemudian, jeritan kenikmatan keluar dari mulutku tanpa aku sadari, otot otot vaginaku berdenyut keras, meremas dan menjepit penisnya, Jimmy menatapku seolah menikmati expresi wajahku yang dilanda orgasme. Tak kupedulikan tatapannya, meski malu tapi orgasmenya terlalu nikmat untuk di tahan, Jimmy hanya tersenyum melihat ekspresiku sambil tetap meremas buah dadaku.

Tubuhku langsung lemas dan roboh di atas tubuh Jimmy, dia memeluk dan mengelus punggungku, napasku turun naik tak karuan, kemudian Jimmy memulai gerakannya mengocokku dari bawah, rasa geli dan nikmat kembali menyelimuti tubuhku, makin lama makin cepat, aku mendesah desah di dekat telinganya, Jimmy mendekapku makin erat, tubuh kami menyatu saling merasakan getaran birahi yang makin tinggi. Tiba tiba Jimmy menghentikan gerakannya, begitu juga aku diminta untuk diam sesaat, kurasakan denyutan lemah dari kejantanannya, dua detik kemudian dia mulai mengocokku lagi, diremasnya pantatku, rupanya dia menahan orgasmenya dengan menghentikan gerakan kami, dan berhasil. Oh betapa nikmatnya kocokan Jimmy di vaginaku, sepertinya lain dari yang lain, membuatku kembali melambung tak lama kemudian.
Sebelum terhanyut lebih lama lagi, Jimmy minta ganti posisi dari belakang, doggie style, dengan senang hati kuturuti permintaannya, kembali Jimmy dengan penuh perasaan memasukkan penisnya ke vaginaku secara perlahan sambil menggosok punggungku, begitu pelan hingga bisa kurasakan gesekan di dinding vaginaku, aku menikmati setiap milimeter masuknya penis itu di vaginaku hingga semuanya melesak sempurna di dalam.

Dengan mesranya dia mengocokku perlahan dari belakang, yang kurasakan hanyalah nikmat dan nikmat, kuimbangi gerakannya dengan goyangan pelan pinggulku, kudengar desisan nikmat keluar dari mulut Jimmy, makin bergairah aku menggoyangkan pinggulku, kenikmatan bagi Jimmy adalah kenikmatan juga bagiku. Kocokan Jimmy makin cepat seirama dengan goyangan pinggulku, kami saling mengocok dengan penuh gairah. Elusan Jimmy di punggung sudah bergeser ke depan, mengelus dan meremas buah dadaku yang menggantung dan bergoyang dengan bebasnya. Tiba tiba Jimmy menyodokku dengan 2-3 kali sodokan keras, terasa penisnya menghantam dinding rahimku.

"Aaauuwww..nakaal..oouughh" teriakku kaget, meski kurasakan nikmat aku pura pura marah, kutoleh kebelakang menatapnya dengan sorot mata marah, tapi dia hanya tersenyum dan kembali menyodok dengan keras.
"Ooouughh..eegh..eegh..oogh..oogh" desahku setiap kali sodokan kerasnya menghantam vaginaku, kombinasi remasannya membikin aku makin melambung dan benar saja tak lama kemudian kugapai orgasme yang ketiga kalinya dengan Jimmy, padahal dia belum orgasme sekalipun, sebenarnya aku agak malu dengan hal ini, tapi sungguh tak bisa kucegah nikmatnya kocokan Jimmy, untuk kesekian kalinya aku menjerit nikmat hingga tubuhku terkulai tengkurap di ranjang.
Jimmy mencabut penisnya, membelaiku mesra, melihat expresi kelelahan di wajahku dia tersenyum.
"Kalau begini siapa memuaskan siapa, jadi siapa yang harus bayar" katanya bergurau sambil tersenyum, aku tak menjawab hanya tersenyum meski dalam hati membenarkan ucapannya, bahkan tak dibayarpun aku mau melakukannya lagi.
"OK, istirahat dulu, nanti kita lanjutin lagi yang lebih asik" lanjutnya sambil menyalakan Marlboro-nya
"Kamu memang luar biasa Jim, pasti habis minum obat kuat deh, KO aku, habis enak sih" candaku sambil mengatur napas.

Akhirnya kami berdua masih dalam keadaan telanjang duduk di sofa, sofa yang entah sudah berapa kali kupakai bercinta entah dengan siapa saja aku sudah tak bisa mengingatnya. Sambil ngobrol dan bercanda, selalu kupegangi kejantanan Jimmy yang masih keras tegang. Setelah beberapa lama aku mulai memberikan rangsangan padanya, mulanya kami berciuman lalu kujilati puting dadanya, dia mendesis, jilatanku segera berpindah ke penisnya, kujilati dan kukulum dengan penuh gairah, gairah yang sesungguhnya bukan dibuat buat seperti biasanya.

Tak lama setelah memberikan kuluman pada penisnya, aku mengatur posisi untuk duduk di pangkuannya, perlahan kuturunkan tubuhku dan melesaklah penis Jimmy ke vaginaku, aku diam sesaat menikmati kenyamanan penisnya di vaginaku, Jimmy menyambut dengan kuluman dan remasan di buah dada membuatku menggeliat dan mulai bergoyang pinggul, penis Jimmy serasa mengaduk aduk vaginaku, kupeluk dia dengan erat, aku mendesah di dekat telinganya,
Dia ikutan mengocokku dari bawah membuatku semakin bergairah, kudekap dia makin erat, wajahnya terbenam diantara kedua buah dadaku, entah dia bisa bernapas atau tidak. Kami saling menggoyang dan mengocok dengan gairahnya, desahan demi desahan saling bersautan, saling melumat bibir, sungguh permainan sex yang paling indah yang aku alami.

Beruntunglah aku hari ini mendapatkan Jimmy, kami berganti posisi, aku duduk dan Jimmy didepanku berlutut, saling berhadapan. Dengan posisi seperti ini aku lebih puas menatap wajah gantengnya saat dilanda kenikmatan, saling tatap dan saling cium disela sela bercinta, kakiku ku naikkan di pundaknya, penisnya lebih dalam masuk ke vaginaku, aku makin suka dengan irama kocokannya yang bervariasi antara pelan mesra dan cepat nakal, mata kami saling bertaut ketika dia menyodokku keras, seolah saling mengukur seberapa nikmat yang dirasakan, bagiku kenikmatan ini sungguh berlebihan dan tak lama kemudian untuk kesekian kalinya aku mendapatkan orgasme dari Jimmy, kembali aku menjerit nikmat sambil meremas lengannya, kali ini Jimmy tidak menghentikan gerakannya tapi justru mempercepat kocokannya, aku makin menjerit nikmat, cengkeramanku dilengannya makin kuat.

Tiba tiba tanpa mempedulikan aku yang sedang dilanda kenikmatan yang hebat, Jimmy menarik keluar penisnya dan langsung berdiri di depanku mengocok sendiri penisnya dengan tangannya, aku tak tahu apa maksudnya, sebelum aku sempat tersadar, menyemprotlah sperma dari penisnya, mengenai dada, muka dan rambutku, begitu banyak semprotan sperma itu hingga kurasakan wajahku basah karenanya. Aku tak tahu harus berbuat apa, dan kembali sebelum aku tersadar harus berbuat apa Jimmy sudah mengusap usapkan penisnya yang basah ke wajahku. Aneh, tak ada rasa jijik merasakan sperma di wajahku, biasanya memegang sperma saja masih ragu dan kini sperma sudah belepotan di wajahku, sambil tersenyum kupegang penis itu dan kuusapkan ke dadaku.

Sebenarnya aku kecewa karena tidak bisa merasakan nikmatnya orgasme Jimmy di vaginaku, tapi tetap berusaha tersenyum meski ada rasa jengkel bercampur marah, aku merasa terhina, tapi dengan senyumnya yang menawan lagi lagi meruntuhkan pertahananku, bahkan ketika dia memintaku mengulumnya setelah itu, akupun seperti orang yang linglung yang hanya menurut saja, kujilat dan kukulum penis Jimmy yang basah kena sperma, inilah pertama kali aku merasakan sperma di mulutku, ternyata rasanya lumayan, gurih. Kembali Jimmy mengocokkan penisnya yang mulai lemas ke mulutku. Mengingat kenikmatan yang telah aku dapatkan darinya, kupikir tidak ada salahnya kalau aku memberikan pelayanan hingga batas kemampuanku ini, dari keterpaksaan lama lama aku menyukai aroma dan rasa sperma dari Jimmy. Kulihat senyum puas di wajahnya, aku ikut senang melihat kepuasannya, meski agak kecewa karena belum merasakan denyut orgasmenya di vaginaku.

Setelah kami beristirahat di sofa, kutinggalkan Jimmy sendirian, aku kekamar mandi membersihkan sisa spermanya dari tubuh, wajah dan rambutku, ketika aku keluar kamar mandi, kulihat dia sudah berpakaian bersiap untuk pulang, tentu saja ini membuatku kecewa berat, aku masih ingin merasakan kenikmatan lagi darinya, masih kurang apa yang kudapatkan barusan, aku harus mendapatkannya lagi darinya, tapi bagaimana caranya untuk menahan kepergiannya lebih lama? aku belum tahu, aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kenikmatan darinya lagi.
"Mau kemana Jim?, kok buru buru sih" tanyaku dengan nada manja
"Pulang dong, emang boleh nginap?" candanya
"Kan bukan berarti harus nginap, lagian masih sore" kataku sambil menggelayutkan tanganku di lehernya dan mencium bibirnya.

Dia balas memelukku yang masih telanjang, kuremas kejantanannya, kubuka kembali celananya dan kulorotkan turun, sebelum dia protes aku langsung berlutut didepannya, meski aku yakin dia belum recovery sepenuhnya tapi kupaksakan juga, kujilati kepala penisnya terus turun ke batang dan kantong bola lalu naik lagi ke kepala penisnya terus kukulum, masih terasa sisa sisa sperma yang menempel karena tidak dicuci, tapi tak kupedulikan.
Jimmy mulai mendesis, penisnya yang lemas perlahan mulai mengeras meski tidak sekeras tadi, dengan sabar aku berusaha membangkitkan kembali birahi-nya, Jimmy memegang kepalaku dan mengocoknya, kuelus elus kantong bolanya sambil tetap membiarkan penisnya keluar masuk mulutku.

Jimmy menarikku berdiri, tubuhku dibalikkan hingga aku membelakanginya, dipeluknya aku dari belakang sambil meremas remas buah dadaku, tengkuk dan telingaku diciuminya, aku merinding dan menggeliat sambil meremas penisnya. Kubungkukkan tubuhku berpegang pada pinggiran meja, tanpa menunggu lebih lama kusapukan penisnya kembali di vaginaku, kudorong tubuhku ke belakang hingga melesaklah penis itu memasuki liang vaginaku, Jimmy tetap diam tidak menggerakkan tubuhnya, hanya mengelus punggungku, maka kuambil inisiatif dengan menggoyangkan pantatku dan menggerakkannya maju mundur.

Diluar dugaanku, ketika pantatku bergerak mundur dia menghentakkan tubuhnya ke arah tubuhku, aku kaget dan menjerit karena penisnya begitu dalam terasa mengenai rahimku, lalu dia langsung mengocok atau lebih tepatnya menghentakkan ke tubuhku, vaginaku terasa seperti di sodok benda keras, kurasakan lebih dari nikmat penisnya memenuhi dan keluar masuk liang vaginaku, aku makin menjerit dalam kenikmatan yang hebat.
Ini bukan pertama kali aku bercinta sambil berdiri seperti ini, tapi dengan Jimmy semuanya terasa lain, baik irama kocokannya maupun kenikmatannya. Kubiarkan hentakan demi hentakan menghantam rahimku, sambil mendesah sesekali kuberikan goyangan perlawanan, tubuhku sudah telungkup di atas meja, tanpa mempedulikanku lagi dia tetap menyodokku, malah makin keras.

Jimmy menarik tanganku kebelakang, kini posisiku menggantung tertahan lengannya, kocokan Jimmy makin menghebat, aku tidak bisa berbuat apa apa dengan posisi ini, hanya mendesah dan mendesah. Kemudian pegangannya beralih ke buah dadaku, kocokannya tetap keras dan cepat, penisnya makin dalam mengisi vaginaku. Kunikmati kocokannya, kemudian dia membalikkan tubuhku, kini kami berdiri berhadapan, diangkatnya kaki kananku dan ditahan dengan lengannya, tubuhku disandarkan di dinding, kuatur penisnya di vaginaku, dengan sekali dorongan keras kembali penisnya melesak dalam di celah vaginaku. Dengan punggung tertahan dinding, terasa kocokannya makin keras menghantam dinding dinding vaginaku, desah dan jeritanku makin berisik, Jimmy dengan dinginnya menatapku yang lagi mendesah.

"Yess..I love it..truss..egh..eh..eh" desahku setiap kali kurasakan rahimku tersentuh penisnya. Tak bisa menahan lebih lama kenikmatan ini, akhirnya akupun mencapai puncak kenikmatan, jeritan kenikmatan terlepas begitu saja dari mulutku.

Lututku langsung lemas tapi Jimmy tetap saja mengocokku, aku sudah tak bisa berdiri lebih lama lagi, kudorong tubuh Jimmy menjauh hingga terlepas penisnya dari vaginaku, dia tidak marah tapi memintaku berlutut di depannya, kuturuti kemauannya ketika dia kembali memintaku mengulum penis itu, kurasakan cairan vaginaku yang ada di batang kejantanannya dan dia kembali mengocok mulutku, tak lama kemudian kurasakan penis itu mulai menegang pertanda segera orgasme, aku berusaha mengeluarkannya dari mulutku tapi tangan Jimmy menahannya, aku tak bisa mengeluarkan penisnya dari mulutku, dan menyemprotlah sperma Jimmy di mulutku, rasanya mau muntah ketika cairan sperma itu memasuki rongga mulutku, terasa aneh, semprotan itu cukup kencang hingga beberapa bagian langsung meluncur masuk ke tenggorokanku tanpa bisa kutahan. Jimmy masih tetap menahan kepalaku, dengan bebasnya penisnya menyemprotkan sperma membasahi mulutku, aku berusaha mengeluarkan spermanya dari celah celah mulutku, beberapa berhasil tapi beberapa tak dapat kuhindari tertelan masuk.

Setelah puas "memperhinakan"-ku, Jimmy melepaskan tangannya dari kepalaku, aku segera meludahkan sisa sperma yang ada di mulutku ke karpet lantai, kuusap sisa sperma yang ada di bibirku, kutatap dia dengan pandangan protes tapi disambutnya dengan senyum kepuasan.

Aku marah tertahan, segera aku berdiri dan kucium bibirnya, supaya dia juga ikutan merasakan spermanya, tapi dia memalingkan muka menghindari ciumanku, didorongnya tubuhku menjauh dan dia berkelit langsung memelukku dari belakang, dengan begini aku tak bisa lagi menciumnya. Akhirnya kami berdua tertawa bahagia, sudah kulupakan bagaimana dia "menghina" ku tadi.

Kami sempat sekali lagi bercinta di kamar mandi, tapi lagi lagi dia mengeluarkan spermanya di luar vaginaku, terakhir kali dia keluarkan di pantatku ketika posisi doggie style. Hingga dia pulang aku tidak mendapatkan orgasmenya di vaginaku, tapi aku tetap puas, entah sudah berapa kali aku mengalami orgasme, sungguh tipe tamu yang paling aku idamkan.

Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi baik ketika aku masih di hotel maupun setelah freelance, tapi dengan dia pertama kali aku merasakan sperma dan menelannya. Sejak saat itu aku berani menelan sperma tamuku, baik dia yang minta maupun aku yang minta, tapi sangat selektif tergantung tipe tamu yang aku suka, tentu saja dengan imbalan tip yang lumayan gede untuk servis yang satu ini.

To Be Conticrot...
LANJUTKAN...6
 
06: Dan Bintang-Bintang pun Berebut

Part 1

Aku diberitahu Om Lok untuk segera bersiap karena seorang pejabat akan datang, seperti bisa kalau pejabat baik itu sipil maupun militer, bisaanya beliau datang saat jam istirahat, biasa Sex After Lunch or Sex During Lunch.
Saat itu aku tak tahu dari mana seorang Jendral atau pejabat punya duit berlebih untuk membayarku, tak terlintas dalam benakku kalau sebenarnya mereka tidak membayar dari kantungnya sendiri, tapi atas service dari orang lain, kolega, konco KKN, rekanan bisnis atau lainnya. Baru belakangan setelah aku freelance aku tahu semua permainan para pejabat dan pengusaha, terlalu busuk untuk diikuti memang, tapi toh sedikit banyak aku ikutan menikmati manisnya era Orde Baru.

Tepat pukul 12 siang muncullah sang pejabat, dia diantar Om Lok, seorang Chinese lainnya dan Pak Sam, mereka bertiga berada di kamarku, setelah menemani sebentar kemudian Om Lok dan Chinese satunya meninggalkan kamar.
Meskipun aku tidak dikenalkan siapa beliau, tapi aku langsung tahu karena sebagai pejabat militer di Jatim dia sering muncul di Koran atau TV. Aku tahu namanya Pak Im, beliau lebih memilih berkarir di Sipil, sekarang masih menjabat sebagai pejabat tinggi di Jatim.

"Oh, ini toh primadona si Lok", begitu komentar Pak Im ketika melihatku yang waktu itu mengenakan gaun hijau berbelahan dada rendah sehingga tampak tonjolan bukit dadaku.
Aku menawari minuman pada mereka berdua, tentu mereka bisa menikmati tonjolan buah dadaku ketika aku membungkuk menyajikan minuman di meja.
Pak Im memintaku duduk di sampingnya setelah aku memberikan minuman, Pak Sam hanya memandangku dengan penuh arti.
"Jangan bilang Bapak kalau kita udah pernah, pura pura saja kita belum pernah kenal", kata Pak Sam pelan ketika Pak Im sedang ke kamar mandi, padahal Pak Sam sudah lebih dari tiga kali menikmati manisnya tubuhku, sehingga aku cukup akrab mengenalnya.
"Sekali-kali komandan merasakan sisa anak buahnya" lanjut Pak Sam dengan senyum nakal, ada perasaan sakit hati ketika Pak Sam menyatakan "sisa", sepertinya aku ini sesuatu yang habis dipakai lalu dibuang, tapi aku hanya tersenyum penuh pengertian.
Pak Sam segera pamit ketika Pak Im kembali duduk di sampingku.
"Pak, aku tinggal dulu, kalau ada perlu saya ada di lobby dengan si Lok, jangan lupa Pak, nanti kita ada rapat jam 2", Pak Sam mengingatkan seraya pamit meninggalkan kamarku.

Kini aku berdua dengan Pak Im, seorang komandan militer di Jatim saat itu, agak kikuk aku berhadapan dengan seorang pejabat yang berwibawa, apalagi dengan kumisnya yang tebal terlihat lebih galak dan tegas.
Mengingat waktu beliau tidak banyak, aku harus segera menyesuaikan tanpa bertele tele.
"Sepertinya Bapak tidak banyak waktu ya", kataku membuka percakapan
"He eh, memang timingnya nggak pas sih, tapi aku terpengaruh promosi dari Yongki dan si Lok itu, jadi kusempatkan saja, sekalian refreshing sebelum rapat nanti, biar segar dan tidak tegang saat rapat".

Aku memberanikan diri duduk di pangkuannya hingga dadaku tepat di depan beliau. Pak Im mencium pipi lalu bibirku sambil tangannya mulai meraba raba di dadaku, kubalas dengan elusan dan remasan di selangkangannya yang kurasakan mulai menegang, ciuman beliau mulai turun ke leher dan bahu, kuremas lebih kuat kejantanannya yang mengeras. Tanpa melepaskan bibirnya dari tubuhku Pak Im menarik turun resliting bajuku, dengan sedikit gigitan beliau menurunkan gaun yang kukenakan hingga turun ke perutku, tampaklah buah dadaku yang menantang tertutup bra.

Sedetik beliau memandangi buah dadaku, ada sorot mata kagum sebelum kepalanya ditanamkan di antara kedua bukit itu, tangan beliau dengan cekatan membuka kaitan bra di punggungku dan kembali giginya menarik penutup tubuhku, untuk kedua kalinya beliau memandang buah dadaku dengan penuh kekaguman, tapi lagi lagi tanpa bicara kepalanya mengusap usap kedua buah dadaku sambil meremas remas dengan gemas.

Bibir Pak Im mulai menyentuh putingku, kurasakan kegelian karena kumis beliau yang tebal serasa menggelitik di dadaku, Pak Im langsung menyedot putingku seperti seorang bayi yang menetek, sambil menyedot lidahnya bermain main di putingku, sementara tangannya tak pernah lepas dari kedua bukit itu. Aku mendesis perlahan di dekat telinganya, bergantian beliau mengulum dari satu puting ke puting lainnya, kuremas rambutnya dan kutekan kepalanya ke dadaku. Begitu rakus beliau terhadap buah dadaku, entah mungkin gemas atau mungkin sudah nafsu.

Kubuka kancing baju premannya dan melepaskannya, lalu kaos dalamnya hingga kini beliau hanya mengenakan celana dinas, terkagum aku memandang postur tubuhnya, begitu padat berisi, meski sudah 50 tahun tapi tetap menjaga kondisi tubuhnya, salut aku dibuatnya, apalagi dengan sedikit bulu di dadanya, sexy rasanya. Mungkin aku sudah terlalu sering melayani orang seusia papa-ku hingga mempengaruhi selera bercintaku terhadap orang seusia mereka. Aku berlutut di depannya, kulepas sepatu dan kaos kakinya, Pak Im hanya tersenyum melihat perbuatanku. Aku mulai membuka ikat pinggang dan reslitingnya, kutarik turun hingga terlepas, hanya celana dalam yang menempel di tubuhnya.

Kusimpan rapi pakaiannya di lemari, lalu aku kembali berlutut di antara kakinya, kugosok gosok dan kuremas kejantanannya yang mulai menegang dari balik celana dalam, kuciumi dadanya yang bidang berbulu, terasa dadanya turun naik, napasnya mulai menderu, aku tahu beliau sedang menahan birahi. Tangannya sudah meraba raba dadaku kembali, kukulum putingnya, beliau mulai meremas remas, jilatanku beralih turun ke perut, kukeluarkan kejantanannya dari sarangnya, lumayan besar dan tegang, kubelai, kuremas, kuciumi dan kukocok dengan tanganku, sesekali kujilat kepala kejantanannya, cairan bening sudah meleleh dari ujungnya, kulirik Pak Im mendesis sambil memperhatikanku menjilati kejantanannya, kulepas celana dalamnya, beliau sudah telanjang. Lidahku terus menjelajahi daerah kejantanannya, dari ujung hingga pangkal bahkan kantong bola, desisan Pak Im makin keras kudengar meski masih sayup.

Setelah hampir dua minggu bekerja, kegiatanku diluar menemani tamu adalah menonton film porno dan tuntutan sebagian besar tamuku, aku mulai terbisaa menikmati oral sex, baik terhadap tamuku maupun mereka terhadap aku, bahkan kudengar aku dikenal "supel" (bahasa jawanya: suka peli alias suka penis) karena permainanku terhadap penis yang membikin sebagian tamuku mendesah desah nikmat, meski belum se-piawai bintang film porno yang sering aku tonton. Begitu juga dengan Pak Im, mendapat permainanku di penisnya, desah kenikmatan keluar dari mulutnya, kombinasi antara jilatan dan kocokan tangan membuatnya merem melek, tangannya meremas remas rambutku sambil menekan kepalaku ke penisnya.

Pak Im memintaku berdiri di atasnya, kuturuti kemauannya, aku berdiri di atas kursi menghadap tempat beliau duduk, kukangkangi beliau atas kemauannya hingga vaginaku tepat didepan wajahnya, kakiku diangkatnya ke sandaran kursi, dengan begitu kepala Pak Im berada di selangkanganku, lidah Pak Im langsung mendarat di bibir vaginaku, menari nari di klitoris dan vagina, aku mendesah menikmati jilatan beliau, tanpa kusadari pinggulku bergoyang mengikuti iramanya, kurasakan jilatannya semakin menghebat menyapu vaginaku, aku menggeliat seakan menjepit kepala Pak Im di selangkanganku, kutekan pantatku ke mukanya hingga kepalanya tertekan ke sandaran kursi, goyangan pantatku semakin tak terkontrol sehingga vaginaku menyapu seluruh wajah Pak Im, Pak Jendral seperti menikmati sapuan vaginaku di wajahnya, aku semakin kegelian ketika kurasakan kumisnya ikutan menyapu daerah kewanitaanku, kuremas rambut beliau dan makin kutekankan pantatku ke wajahnya, aku sudah tak peduli lagi bahwa yang kukangkangi ini adalah seorang Jendral bintang dua yang begitu berkuasa dan dihormati, yang kupedulikan hanya seorang laki laki yang sedang mengharapkan kenikmatan seks dariku.

"Ouh.. oh.. udah ..udah Pak, ntar..ntar.. a.. a.. aku keluar", desahku.
Pak Im lalu menuntun dan merebahkanku di ranjang, tapi bukannya langsung memulai tapi kembali beliau berada di selangkanganku, kami saling menjilat dengan posisi 69, cukup lama dengan posisi itu hingga akhirnya Pak Im membalikkan tubuhku, beliau lalu menindih tubuhku, bibirnya kembali menyusuri leher dan dadaku, tercium aroma vagina ketika Pak Im melumat bibirku.

Kami masih saling melumat bibir ketika kusapukan penisnya di bibir vaginaku yang sudah basah, baik dari dalam maupun dari ludahnya, pelan pelan beliau mendorong masuk kejantanannya, makin lama makin dalam tertanam di liang kenikmatanku, tatapan matanya yang tajam tak pernah lepas dari expresi wajahku saat penisnya melesak hingga semua tertanam ke vaginaku, kulawan tatapan matanya dan terlihat expresi kenikmatan terpancar di wajahnya. Beliau mencium bibirku ketika mulai menarik dan mendorong kejantanannya di vaginaku, aku mendesis nikmat menerima kocokan ringannya, makin lama makin cepat keluar masuk, desahanku makin keras. Tubuh beliau menindih rapat tubuhku, berkali kali ciuman gemas mendarat di pipi dan bibirku, aku menggeliat ketika bibir dan lidah beliau menyusuri leher dan telingaku, kumis beliau terasa menggelitik daerah sensitive itu, sambil mempercepat kocokannya, antara geli dan nikmat bercampur menjadi satu.

Kujepitkan kakiku di pinggul beliau sambil memeluknya erat, kejantanannya makin dalam melesak di vaginaku.
"Aaahh.. aahh", jeritku ketika beliau menyodokku keras, kuremas rambut beliau, sodokan demi sodokan makin melambungkanku tinggi ke awan kenikmatan. Entahlah aku begitu menikmati cumbuan dan kocokan beliau, kini kedua kakiku sudah berada di pundak beliau, pinggulku sedikit terangkat, membuat Pak Im makin bebas dan dalam melesakkan kejantanannya ke vaginaku, dan tentu saja makin nikmat kurasakan.

Hampir duapuluh menit beliau mengocokku tapi belum ada tanda tanda orgasme, aku salut dengan fisik beliau mengingat usianya yang sudah sekitar 50-an, beliau begitu pintar mengatur irama kocokannya, sepertinya saat mau mencapai orgasme ditahan dengan menghentikan gerakan kocokannya beberapa detik kemudian kembali mengocok dengan cepat.

Kami berganti posisi, beliau mengocokku dari belakang, posisi doggy, sambil mengocok tangannya mengelus punggungku, kedua buah dadaku menggantung dan bergoyang dengan bebasnya seirama dengan kocokan Pak Im. Tanpa membuang waktu beliau langsung meraih kedua buah dadaku dan meremasnya, remasan lembut yang makin liar seliar kocokannya.

"Aaahh..ya pak..trus pak..truuss", desahku sekeras kocokannya yang makin menghebat.
Aku menggoyang pinggulku melawan gerakannya, dan effekknya sungguh hebat, vaginaku terasa teraduk aduk penis Pak Im, beliau makin dalam menancapkan penisnya, makin nikmat tentu saja. Goyanganku makin liar melawan kocokan Pak Im, dan tak lama kemudian tubuhku menegang, aku mencapai orgasme terlebih dahulu, vaginaku berdenyut kencang meremas remas kejantanan Pak Im, beliau tak menghentikan kocokannya justru lebih cepat. Aku menjerit keras dalam nikmat orgasme, sungguh nikmat dalam selingan kocokannya, tiba tiba kurasakan denyutan hebat dari penis Pak Im menghantam dinding vaginaku, seperti meriam yang menembakkan pelurunya secara beruntun, semprotan cairan sperma yang hangat menyirami vaginaku, kembali aku menjerit nikmat menerima denyutan demi denyutan, Pak Im meremas pantatku ketika menyemprotkan spermanya di vaginaku, kemudian tubuhnya melemas dan memelukku dari belakang, kami berdua jatuh telungkup dan Pak Im masih di atas punggungku, napas kami saling berpacu kencang, lalu kami berdua telentang dalam kelelahan yang indah.

Beberapa saat kami membisu, kubersihkan penis Pak Im dengan tissue yang ada di meja kemudian kutinggalkan beliau ke kamar mandi membersihkan diri dan vaginaku. Ketika aku kembali dengan berbalut handuk di tubuhku, ternyata Pak Im sudah berpakaian lengkap bersiap untuk pulang, jam sudah menunjukkan pukul satu lebih.

"Ly, aku pergi dulu, nanti setelah sekitar jam 5 kembali lagi, bersiaplah".
"Siap pak", jawabku manja sambil bergayut di lengannya
"Kamu nggemesin sih, cantik dan menggairahkan, terlalu sayang kalau cuma sekali, istirahat dulu dan jangan terima orang lagi sampai nanti, aku akan bicara sama si Lok", jawabnya sambil mengangkat daguku dan mencium bibirku.

Tak lama kemudian Om Lok, Pak Sam dan Chinese yang tadi masuk kamar, entah kapan Pak Im memanggil mereka, aku masih hanya berbalut handuk ketika menemani mereka berempat. Tak lama kemudian mereka keluar kamar, diluar dugaanku Pak Sam memberiku secarik kertas di genggamanku, setelah mereka pergi kubuka kertas tersebut dan sungguh mengagetkan aku.

"Aku akan kembali nanti setelah mengantar Bapak ke kantor, bersiaplah"
Kuremas dan kusobek kertas itu, "Memangnya aku piala bergilir yang bisa dipindah tangankan", pikirku, kutelepon Om Lok memprotes pengaturan ini, bukannya aku keberatan, tapi pengaturannya yang harus jelas. Setelah dijelaskan Om Lok dan negosiasi akhirnya dicapai kesepakatan sebagai harga satu paket, aku menerima meski dengan sedikit kecewa karena tidak semua sesuai dengan keinginanku.

Next Update
 
Terakhir diubah:
06: Dan Bintang-Bintang pun Berebut

Part 2

Aku mandi menyegarkan tubuh, karena masih jengkel, kukenakan pakaian tidur sutra yang transparan, tanpa pakaian dalam hingga terlihat postur tubuhku dari balik pakaian tidur itu. Pukul tiga Pak Sam datang, beliau begitu takjub ketika melihat penampilanku yang lain dengan biasanya.

"Wah seperti pulang ke rumah disambut wanita cantik, kamu memang bisa aja bikin orang gemes dan lebih merangsang", komentarnya. Aku hanya tersenyum bangga melihat kekagumannya.
"Kita punya waktu sampai jam setengah lima sebelum aku menjemput Bapak kembali", katanya langsung memelukku, memang antara Hotel Hilton dan markasnya tidaklah jauh, mungkin hanya limabelas menit.

Ciuman Pak Sam langsung mendarat di bibirku dan tangannya menjamah di kedua bukit dadaku, meremas remas gemas. Bibirnya berada di leherku ketika tanganku meraih kejantanannya, kami masih berdiri sambil saling meremas. Kukeluarkan penis tegangnya dari lubang reslitingnya dan kukocok kocok, aku lalu berlutut di depannya, kujilati kepala penisnya dan kumasukkan ke mulutku, kukulum kepala penisnya hingga ke batang penis, kucoba sebanyak mungkin memasukkan ke mulutku. Pak Sam memegang kepalaku dan mengocokkan penisnya di mulutku, batang penis itu dengan cepatnya keluar masuk mulutku.

Aku kemudian berdiri menghadap meja, tubuhku condong ke depan dengan tumpuan tanganku di meja, Pak Sam menyingkap baju suteraku, tanpa membuka pakaiannya lalu menyapukan penisnya di vaginaku, kubuka kakiku lebih lebar memberi jalan kejantanan beliau menembus liang vaginaku. Perlahan tapi pasti kejantanan Pak Sam melesak memasuki celah sempit vaginaku hingga semua tertanam di dalam. Beliau meremas buah dadaku dari belakang saat menarik penisnya dan kembali memasukkan dengan dorongan kuat, aku terdongak kaget, antara sakit dan enak bercampur dengan nikmat. Kocokannya makin cepat dan makin nikmat terasa, remasan pada buah dadaku makin kuat, aku mendesah nikmat, semakin cepat semakin nikmat.

Tanpa memperlambat kocokannya, tangannya meremas dan menjambak rambutku, aku hanya mendesah, kuangkat kaki kananku ke atas meja, penis Pak Sam makin dalam tertanam di vaginaku, ada perbedaan cara bercinta dan irama kocokan Pak Sam dengan Pak Im, tapi bagiku dua duanya sama sama enak menghanyutkan. Dengan keras Pak Sam menyodokku tiga kali lalu dengan kasar menarik keluar penisnya, aku menoleh protes, tapi beliau tersenyum dan membalikkan tubuhku, dinaikkan tubuhku di atas meja, kakiku dibuka lebar dan kembali beliau memasukkan penisnya, langsung mengocok dengan cepat. Kami bercinta berhadapan, dengan bebasnya Pak Sam mengocokku sambil menciumi sekujur tubuhku sejauh bisa dijangkau, tangannya tak pernah meninggalkan daerah di dadaku, mengelus dan meremas sesukanya.

Kami masih berpakaian, aku dengan baju tidur sutraku dan beliau masih dengan pakaian lengkap, tapi tak menurunkan gairah bercinta kami, kuterima sodokan demi sodokan dengan penuh kenikmatan. Pak Sam mengangkat dan menjepitkan kakiku di pingganggnya, beliau melesakkan penisnya dalam dalam sambil mencium bibirku, lalu beliau menarik tubuhku dan mendekapku erat.

Tanpa kuduga beliau mengangkat tubuhku dan menggendongku sambil tetap menanamkan penisnya di vaginaku, aku kagum dengan fisiknya yang bisa menggendongku, tubuhku diangkat turun naik di gendongannya memberikan efek kocokan di vagina. Aku memeluknya erat takut terjatuh, beliau membawaku ke arah ranjang, lalu kami terjatuh di ranjang, aku menindihnya, penisnya terlepas dari vaginaku, kami berdua tertawa riang, segera kumasukkan penisnya kembali dan dengan posisi duduk di atasnya kini aku yang gantian menggoyangnya.

Pak Sam kembali meremas buah dadaku ketika goyanganku makin cepat, aku tak berani menggoyang terlalu cepat karena resliting celananya mengganggu dan sakit apabila terkena di vagina. Tapi Pak Sam tak mau terlalu lama di bawah, dibaliknya tubuhku dan langsung menindihku, kuminta beliau melepas celananya karena reslitingnya mengganggu, dengan tersenyum diturutinya permintaanku, tapi beliau tak mau melepas semuanya, hanya melorotkan saja, entah apa alasannya. Kakiku dinaikkan di pundaknya dan dengan posisi push up beliau mengocokku, bukan main ternyata jauh lebih nikmat, disamping makin dalam penisnya tertanam, pada saat keluar masuk menggesek klitorisku, aku menjerit nikmat, beliau tersenyum melihat expresi kenikmatan di wajahku. Kuremas sendiri kedua buah dadaku sambil mempermainkan putingnya, Pak Sam mencegah ketika aku berusaha menurunkan baju sutraku, sesekali dilumatnya bibirku yang lagi tengadah mendesah.

Tubuh Pak Sam turun naik memompaku dari atas, sesekali pantatnya ditekankan pada vaginaku, penisnya makin dalam tertanam, aku makin mendesah desah nikmat. Dan tak lama kemudian kuraih orgasme, tubuhku tegang, otot vaginaku mencengkeram penis beliau yang masih keluar masuk vagina, kuremas lengannya sambil menjerit dalam kenikmatan. Pak Sam kemudian menindih dan mendekapku dalam pelukannya, tanpa memperlambat kocokannya bibirnya sudah menjelajahi leherku, kuelus kepala botaknya, kakiku menjepit pinggangnya, dan tak lama kemudian beliau menyusulku mencapai puncak kenikmatan. Kurasakan cairan hangat membasahi liang vaginaku, penisnya serasa membesar dan berdenyut keras, memenuhi rongga rongga vaginaku, menghantam dinding dinding sempit yang menjepitnya, kembali aku menjerit menerima semprotan spermanya. Tubuh Pak Sam terkulai lemas di atas tubuhku, napasnya turun naik, kudengar dengusan dari hidungnya dekat telingaku, kubiarkan sesaat beliau menindihku sebelum kudorong halus turun dan terlentang di sampingku.

Kurasakan sperma Pak Sam menetes keluar dari vaginaku, segera aku ke kamar mandi membersihkannya, tak lebih sepuluh menit aku di kamar mandi ketika kembali ternyata Pak Sam sudah tidur mendengkur dengan kejantanan yang sudah lemas lunglai, kupandangi wajah beliau, tampak garis tegas matang yang sudah mulai menua, kepalanya yang botak tanpa kumis sungguh jauh dari kesan tampan, sama sekali tidak menarik. Kalau kupikir lebih jauh, inilah orang yang sudah beberapa kali menikmati tubuhku, menyetubuhiku, dan juga sedikit banyak memberi kenikmatan padaku.

Lamunanku buyar ketika kudengar bunyi hand phone dari celana Pak Sam, segera beliau terbangun dan menerima telephone itu, ternyata dari Pak Im, dengan agak gugup beliau menjawab Pak Im. Kutinggalkan Pak Sam yang lagi bicara dengan atasannya, aku mandi bersiap menerima kedatangan Pak Im sebentar lagi. Ketika kubuka pintu kamar mandi, Pak Sam sudah berdiri di depan pintu masih dalam keadaan telanjang, sambil tersenyum beliau langsung menarikku ke pelukannya, ditariknya handuk yang memlilit tubuhku hingga terlepas, kami berdua telanjang berpelukan dan berciuman. Kembali tangan dan bibirnya menjelajahi sekujur tubuhku yang baru mandi, Pak Sam lalu berlutut di depanku, diangkatnya kakiku di pundaknya dan lidahnya langsung menjelajah di vaginaku, dengan rakusnya beliau menjilat dan menghisap sisa sisa cairan yang masih tersisa di vaginaku.

Aku mendesis menerima permainan lidahnya, tak lama ketika beliau kembali berdiri menghadapku, didorongnya tubuhku hingga bersandar ke dinding cermin, kakiku diangkat dan disanggah lengannya, kuusapkan kejantanannya ke bibir vaginaku, kubasahi dengan ludah di kepala penisnya untuk memberi pelumas dan memudahkan kejantanannya memasuki vaginaku, perlahan beliau mendorong masuk hingga semua tertanam ke dalam, langsung mengocoknya, karena tinggi badan kami sama, tak ada kesulitan bagi beliau untuk mengocokku dari depan sambil berdiri. Tubuh kami saling menempel, hanya pantat Pak Sam yang bergerak mendekat dan menjauhi tubuhku, sementara bibirnya sudah menjelajah di leher dan wajahku sambil sesekali bibir kami menyatu dalam birahi. Kemudian beliau membalikkan tubuhku, kembali Pak Sam menyetubuiku dari belakang, beliau mendekapku sambil mengocok, tangannya meremas remas kedua buah dadaku dari belakang dan tubuh kami masih menyatu dalam percintaan.

Aku mendesis menerima kocokan dan jilatan Pak Sam dari belakang, kudorong pantatku kebelakang supaya penis beliau bisa masuk lebih dalam, kuluman di telingaku membuatku makin menggelinjang geli dan nikmat, ditambah lagi remasan dan permainan di putingku, kulihat bayangan kami di cermin, sungguh menambah erotik permainan ini, tanpa kusadari karena terhanyut dalam permainan Pak Sam, tiba tiba kurasakan badanku menegang dan otot otot vaginaku berdenyut, aku menjerit nikmat mengalami orgasme, dan jeritanku lebih keras lagi ketika Pak Sam tanpa henti mengocokku justru lebih cepat hingga beberapa menit kemudian menyusulku ke puncak kenikmatan, denyutan penisnya tidak sekuat sebelumnya tapi tetap membuatku menjerit nikmat.

Pak Sam meremas remas buah dadaku, pantatnya digoyang goyangkan seakan menggodaku, kutoleh ke belakang, senyuman puas mengembang di wajah beliau, kutarik dan kubalikkan tubuhku, kami kembali berhadapan, beliau langsung memelukku dan mencium kedua pipiku, berakhir di bibirku.
"Kamu memang benar benar luar bisaa dan menggairahkan", katanya sambil melepas pelukanku. Pak Sam langsung mengenakan kembali pakaiannya tanpa mencuci terlebih dahulu.
"Pak Im sebentar lagi datang, mandi sana lagi biar segar dan Pak Im tidak curiga", katanya sambil meninggalkanku sendirian di kamar masih dalam keadaan telanjang.


Part 3
Kurebahkan tubuhku di ranjang, istirahat sejenak sebelum kedatangan Pak Im, badanku terasa letih yang hebat, mungkin terlalu banyak orgasme, lututku terasa ngilu dan lemas.
"Ntar aja mandinya, toh Pak Im masih empat puluh lima menit lagi" pikirku.
Tapi diluar dugaanku, tak lebih limabelas menit setelah Pak Sam pergi, ternyata Pak Im datang, beliau sudah di depan pintu, sendirian tanpa ditemani siapapun, entah bagaimana beliau menyelinap di hotel ini tanpa diketahui banyak orang karena wajah beliau pasti sudah banyak dikenal di Surabaya ini.

Agak gugup aku melihat kedatangannya, tak kusangka begitu cepat beliau datang, entah apa mereka sempat ketemu atau tidak, semoga tidak supaya aku tidak perlu repot menutupi kejadian ini, aku belum sempat mandi sehabis bercinta dengan Pak Sam tadi. Tak mau membuat Pak Im menunggu lebih lama, segera kusambar baju tidur sutraku yang tergeletak di lantai, tanpa mengenakan pakaian dalam lagi dengan agak takut kubukakan pintu menyambut Pak Im.

Melihat penampilanku yang super sexy dengan pakaian seperti itu, Pak Im langsung memelukku dari belakang begitu kututup pintu kamar, tangannya sudah berada di kedua buah dadaku, mengelus dan meremasnya, bibirnya menjelajah di leherku yang jenjang seterlah menyibakkan rambutku, aku menggeliat.

"Kamu memang benar benar penggoda dan menggairahkan", bisiknya.
Terus terang aku khawatir kalau Pak Im langsung mau menjilati vaginaku karena sperma Pak Sam masih banyak di dalam dan belum sempat kubersihkan. Sebelum keduluan Pak Im, aku langsung jongkok di depannya, kubuka ritsluiting celananya dan kukeluarkan kejantanannya yang masih sedikit menegang, tanpa membuang waktu lebih lama, kejantanan itu langsung masuk mulutku dan segera keluar masuk, batang penis di mulutku makin lama makin tegang membesar seiring dengan desisan dari beliau.

Dipegangnya kepalaku dan beliau mulai mengocokkan penisnya di mulutku, sambil tetap mengulum kubuka ikat pinggang dan kutarik celananya turun. Setelah kurasa kejantanannya sudah siap, aku berdiri dan kutuntun Pak Im dengan menarik penisnya mengikutiku, beliau hanya nurut saja ketika kutuntun mendekati meja, tangan kananku menyapukan penis ke vaginaku sementara tangan kiri menarik bajunya supaya mendekatiku dan kucium bibirnya supaya beliau tidak perlu melihat ke bawah, aku takut sisa sperma Pak Sam terlihat oleh beliau.

Dengan mudahnya kejantanan Pak Im melesak masuk ke vaginaku yang masih basah, entah beliau tahu apa tidak kalau vaginaku habis dipakai, agak khawatir aku kalau kalau Pak Im tahu, aku hanya berharap beliau berfikir bahwa vaginaku masih basah sisa dari permainannya tadi siang. Kucumbu dan kukulum bibir Pak Im dengan penuh gairah, tanganku memeluk kepala dan meremas rambutnya untuk memberikan sensasi pengalih perhatian supaya tidak terlalu terkonsentrasi di vaginaku. Aku berusaha agar Pak Im segera orgasme sehingga tertutuplah "jejak" Pak Sam di vaginaku, untuk itu aku harus extra aktif dengan segala upaya erotis yang aku mampu.

Diperlakukan dengan penuh gairah, nafsu beliau langsung naik tinggi, ketika kubuka baju sutraku beliau mencegahnya, kubuka pakaiannya sambil tetap kami bercinta. Beliau tersenyum memandangku, lalu meremas buah dadaku, aku mendesis nikmat, diciuminya pipi dan bibirku dengan gemas, kocokannya makin cepat dan keras kurasakan. Sesekali tubuhnya dihentakkan ke tubuhku membuat kejantanannya makin dalam tertanam.

"Uh..aahh..aaugghh.. yess", desahku setiap kali tubuhnya menghentakku, kupandang matanya dengan sorot mata penuh kenikmatan, beliau hanya tersenyum di balik kumis tebalnya.
Aku telentang di atas meja, kakiku kunaikkan di pundaknya, dengan berpegang pada kedua buah dadaku beliau meremas dan mengocokku makin keras, tubuhku menggeliat ke-enak-kan, makin mendesah makin cepat kejantanannya keluar masuk vaginaku.
"Ooohh..oohh..aahh" teriaknya seiring dengan semburan sperma di vaginaku, tangannya mencengkeram keras buah dadaku, cairan hangat kembali terasa membasahi celah celah vaginaku, tubuhnya menegang, entah sudah keberapa kali beliau orgasme denganku hari ini.

Aku sepertinya sudah lama kenal dengan beliau, maka tanpa segan dengan kakiku kudorong dadanya menjauh hingga terlepaslah penisnya dari tubuhku, beliau hanya tersenyum melihat kenakalanku, lalu menarikku berdiri dan memeluknya.
"Kamu memang benar benar menggairahkan dan penuh kejutan variasi", katanya sambil memelukku.
"Bapak juga hebat, membuatku kewalahan, sini aku bersihkan", kembali kutuntun Pak Im dengan memegang penisnya yang sudah lemas menuju kamar mandi.

Setelah membersihkan, kami rebahan di ranjang dalam keadaan telanjang. Singkat cerita kami akhirnya kembali bercinta dua kali lagi di ranjang, sungguh aku salut dengan stamina beliau. Sebelum tengah malam beliau meninggalkan kamarku dengan meninggalkan amplop di meja. Aku kembali tercenung dalam kesendirian malam sebelum tidur, dalam satu hari aku sudah bercinta dengan dua orang jendral yang begitu dihormati, ada rasa bangga terselip dan meninggikan rasa percaya diri.

Sekarang saat tulisah ini dibuat di awal 2003, kedua jendral tadi masih menjabat di negara ini, aku hanya tersenyum sendiri kalau melihat mereka muncul di TV, mengenang bagaimana mereka memperlakukan atau kuperlakukan di atas ranjang, bagaimana desah mereka saat orgasme, atau bagaimana ekspresi kenikmatan terpancar di wajah mereka ketika bercinta, sungguh jauh dari kesan mereka saat di lapangan ataupun TV, terlihat begitu tegas dan berwibawa. Lain ladang, lain pula tingkah laku belalang, lain di ranjang lain pula di lapangan.
 
07: Sayap-Sayap Tak Berkepak

SANG DIRJEN

Tamuku kali ini sungguh lain, berbeda dengan tamuku sebelumnya, aku diminta datang ke kamarnya yang kebetulan atau memang sengaja berada di satu hotel, cuma letaknya agak berjauhan. Om Lok berpesan supaya aku berpakaian resmi seperti halnya orang kantoran, tentu saja bukan masalah bagiku karena di samping koleksi bajuku dan gaunku memang banyak, juga Om Lok selalu menyediakan gaun dan segala perlengkapan pakaian tidur yang sexy, termasuk urusan bra dan celana dalam, karena dia memang sudah mengerti ukuranku dan selera para tamu, bermacam busana baik yang resmi, santai, gaun pesta, gaun malam, baju tidur, lingerie semuanya terpajang di lemari kamarku seperti layaknya butik.

Aku sih tak keberatan dan senang senang saja dengan pengaturan seperti ini, toh meski aku tidak suka busana yang dia belikan, aku kan tidak harus pakai tiap hari dalam waktu yang lama, paling juga saat menemani tamu, itupun disesuaikan dengan selera atau permintaan tamu, ada yang minta supaya aku mengenakan busana sexy, pakaian santai, pakaian tidur, busana resmi, pakaian ketat, tanpa pakaian dalam, bahkan ada yang memintaku langsung telanjang ketika menyambutnya, biasanya kalau sudah lebih dua kali bertemu, permintaan yang aneh-aneh timbul, mungkin karena sudah merasa saling mengenal jadi mereka juga nggak segan untuk memintaku tampil berbeda, itu semua kuturuti demi kepuasan tamuku, toh bagiku nggak ada bedanya, toh semua itu akhirnya dibuka juga, toh akhirnya aku harus telanjang di depan mereka, jadi apalah bedanya semua itu bagiku, tapi sangat beda bagi mereka yang memintaku seperti itu untuk memenuhi fantasinya, yang tidak didapat di rumah.

Hari itu sebenarnya cukup melelahkan bagiku, karena mulai pagi jam 10 sudah menerima tamu, dan tamuku ketiga baru selesai jam setengah tujuh malam, kini aku masih harus melayani tamuku keempat hari itu. Meskipun dari ketiga tamuku tadi hanya satu yang bisa membuatku orgasme, tapi justru dari tamu terakhirlah aku mendapatkannya, bahkan lebih dari 2 kali, jadi capeknya masih terasa hingga malam hari. Ingin aku menolak, tapi karena Om Lok memberiku iming iming pembayaran lebih karena tamuku ini seorang pejabat, Dirjen, maka kuturuti saja karena aku juga tak ingin mengecewakan Om Lok dan pasti kalau aku menolak gadis lain yang akan menggantikannya, disamping itu keterangan dari Om Lok bahwa Pak Dirjen ini sudah tua, mungkin sudah lebih 60 tahun, jadi dua kali usiaku, "jangan jangan seusia opa-ku" pikirku, tentunya tak perlu kerja keras melayaninya, paling juga nggak lebih lima menit sudah KO dan rasanya seusia dia tak mungkin melakukannya dua kali.

Jam 19:45 Om Lok sudah menjemputku untuk di antar ke kamar Pak Yono, sang Dirjen, kukenakan pakaian kerja kantoran, rok resmi dipadu dengan blus You Can See yang ditutupi blazer biru tua, seperti orang ke kantor. Ini adalah pertama kali aku "keluar kandang", menemui panggilan tamuku di kamarnya, tidak seperti biasanya aku melayani mereka di kamarku, bercinta dan bercumbu di ranjangku, kembali ada rasa bimbang dan gugup menggelayut di batinku, sepanjang jalan ke kamar Pak Yono kepercayaan diriku makin mengecil, seperti anak kecil pertama kali keluar dari rumah, takut tersesat dan merasa tidak aman, padahal tidak jarang kalau lagi suntuk di kamar aku jalan jalan sekitar Lobby, atau berenang di pagi hari sebelum "jam kerja" dimulai.

Ketika sampai di kamar suite Pak Yono, ternyata ada beberapa tamu yang sedang ditemui beliau, ada lima orang, dua diantaranya chinese, yang lainnya masih mengenakan seragam dari instansi tertentu. Mengetahui masih ada tamu, Om Lok mengajakku menunggu di lobby atau di kamarku, tapi salah seorang chinese tadi menghampiri Om Lok, mereka berdua bicara menjauh dariku, kemudian chinese tadi masuk kamar sebentar dan kembali menemui kami seraya mempersilahkan masuk. Aku langsung dikenalkan ke Pak Dirjen, aku kaget ketika mengetahui yang mana Pak Yono, benar dugaanku, orangnya seusia Opaku, yang jelas lebih dari 60 tahun, ada sedikit rasa jijik melihat orang sudah setua itu dan sudah bau kubur masih suka sama wanita muda. Aku dipersilakan duduk di antara mereka di kamar tamu, mereka membicarakan masalah proyek angkutan darat di Jawa Timur.

Sambil bicara sesekali para laki laki itu melirik ke arahku, aku jadi canggung dan jengah mendapat perhatian dari mereka, entah mereka tahu atau tidak siapa aku ini, tapi aku yakin ingin mereka sudah mengetahuinya, rasanya aku ingin pergi dari ruangan itu, lebih baik aku menunggu di kamarku dari pada jadi kambing bodoh di antara laki laki dengan sorot mata yang ingin menelanjangiku itu.

Untunglah Pak Yono cepat tanggap, aku dipersilakan menunggu di kamar tidurnya, ada rasa canggung berada di kamar tidur orang lain, meski itu kamar hotel tetapi beberapa barang pribadi Pak Yono menggeletak di situ, ada bungkusan menggeletak di tempat duduk satu satunya yaitu sofa panjang, aku tak berani menyentuh barang pribadi beliau, sehingga mau tak mau aku harus duduk di ranjang menunggu beliau masuk.

Menunggu adalah siksaan yang berat, lebih setengah jam aku menunggunya tapi tak nongol juga, sementara badanku yang capek makin terasa capek dengan hanya duduk tak nyaman di ranjang Pak Yono sambil nonton MTV di TV, akhirnya kuberanikan diri rebahan di ranjang itu, entah sudah berapa lama aku menunggu hingga akhirnya ketiduran di ranjang Pak Yono dengan pakaian masih lengkap.

Dalam tidurku, aku merasa sekujur tubuhku mendapatkan rangsangan tanpa sadar dan kemudian ada beban berat menindih dadaku, membuatku susah bernafas, ketika kubuka mataku Pak Yono sudah menindihku sembil menciumi pipiku, wajah jeleknya tepat di depan wajahku, aku kaget, mau marah dan teriak tapi untunglah kesadaranku segera pulih.

"Eh Bapak, mengagetkanku saja, maaf Pak aku ketiduran", kataku segera menghilangkan kekagetanku.
"Nggak apa, aku yang minta maaf membuatmu menunggu terlalu lama", jawabnya tanpa beranjak dari atas tubuhku, bagian kejantanannya ditekankan di selangkanganku yang ternyata kakiku sudah terbuka dengan rok yang tersingkap di perut sehingga menampakkan celana dalamku, dua kancing atas bajuku sudah terbuka sehingga bra bagian buah dadaku sudah bisa dinikmati, rupanya aku terlalu lelap tidur, mungkin Pak Yono sudah menggerayangi seluruh tubuhku saat aku tidur.
"Orang tua kurang ajar", pikirku tapi tetap menampakkan senyuman di bibirku sambil memeluknya, baru aku tahu ternyata Pak Yono sudah melepas pakaiannya dan tinggal celana dalam yang menempel di tubuhnya.
Mukanya yang jelek dan hitam sudah menempel di pipiku, menciumi dan menjilati leherku, membuatku makin jijik dibuatnya, digumuli orang setua beliau, opa-ku saja tak pernah menciumiku sebanyak itu.
"Aku lepas baju dulu ya Pak biar nggak kusut", pintaku

Seperti terlepas dari beban berat ketika tubuh Pak Yono beranjak dari tubuhku, beliau melarangku ketika aku mau melepas baju di kamar mandi, dengan terpaksa dan dipenuhi perasaan marah kulepas penutup tubuhku satu persatu di depannya, hingga aku benar benar telanjang bulat di hadapannya.

Begitu melihat tubuh telanjangku, beliau langsung menarikku di pelukannya, kembali wajah jeleknya menyusuri seluruh tubuhku, tangannya dengan bebasnya menjamah seluruh daerah erotisku, tangannya meremas remas pantatku kemudian beralih ke buah dadaku dan dengan rakusnya beliau mengulum putingku, aku makin muak melihat tingkah lakunya.

Kemuakanku makin bertambah ketika beliau berada di antara kakiku, dengan mata jelalatan diamatinya vaginaku, kebetulan habis aku rapihkan bulu rambutnya sehingga tampak indah, beliau memandangku dengan tersenyum lalu secepat kilat lidahnya langsung mendarat di klitorisku, aku menjerit kaget dan marah, tapi beliau tak memperdulikanku, lidahnya sudah mempermainkan klitorisku, kemudian menyusuri daerah kewanitaanku, disapukannya lidah tuanya ke bibir vagina. Tak lama kemudian jari tangannya sudah mulai ikutan mempermainkan sekitar vaginaku, dimasukkannya satu jari kemudian dua jari ke liang vaginaku, dan mengocokknya. Jujur harus aku akui bahwa permainan lidahnya sungguh menghanyutkanku, mungkin karena pengalamannya yang sudah banyak sehingga beliau bisa membuatku ikut terhanyut meski sebenarnya aku tidak menghendaki.

Sungguh aku membenci diriku sendiri ketika tanpa sengaja desahan nikmat keluar dari mulutku, permainan lidahnya terlalu nikmat bagiku, desahanku makin sering keluar tanpa kontrol, kupegang kepala Pak Yono dan kutekankan ke vaginaku, gerakan lidah Pak Yono makin ganas dan liar menyusuri celah celah kewanitaanku. Tanpa kusadari pantatku sudah bergoyang mengimbangi jilatan Pak Yono, tentu ini membuat beliau makin menjadi jadi mempermainkan vaginaku, jilatan di klitoris dan kocokan jarinya secara kompak bermain di vaginaku, memainkan irama birahinya.

Pak Yono kemudian menindih tubuhku, kupejamkan mataku ketika beliau menciumi wajahku, aku jijik melihatnya, ciumannya turun ke leher dan berhenti di kedua putingku, mengulum dengan rakusnya, aku masih memejamkan mata, jari tangannya menggosok klitorisku dan mengocoknya. Meski aku biasa melayani orang yang jauh lebih tua, tapi terhadap Pak Yono rasanya belum siap, tak seperti biasanya, entah kenapa perasaan jijik selalu menyelimutiku setiap kali wajah Pak Yono mendekat ke mukaku.

Pak Yono lalu rebah di sampingku, aku mengerti maksudnya, kugeser posisi tubuhku di antara kedua kakinya, aku kaget, ternyata kejantananku masih lemah lunglai, kupegang penisnya yang loyo, kuremas remas untuk memberikan rangsangan, mulai mengeras tapi masih jauh memenuhi syarat, belum bisa berdiri sendiri. Dengan menahan rasa muak dan jijik, kubelai dan kuciumi, belum juga bangun, maka terpaksa kujilati kepala penisnya, kemudian batangnya hingga ke kantong bola, tetap tidak membuahkan hasil yang diharapkan, kemudian kumasukkan ke mulutku, semua penisnya yang loyo masuk ke mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, kukulum dan kupermainkan lidahku di kepala penisnya, berharap segera "bangkit", tapi tetap sia-sia, hanya sedikit menegang, bahkan ketika kusapukan kepala penisnya ke putingku, masih saja tidak ada perubahan. Aku tak tahu apa yang terjadi, apakah beliau impoten, atau aku kurang bisa memberikan rangsangan atau memang sudah hilang kemampuan ereksinya, padahal biasanya hanya dengan pegangan dan sedikit ciuman para tamu sudah kelocotan mendesah nikmat.

Berbagai upaya kulakukan untuk membuatnya "hidup" tapi tetap tak membawa hasil, akhirnya kunaiki tubuh Pak Yono, kuatur posisiku di atas penisnya dan kuusap usapkan menyapu bibir vaginaku, berharap hal ini memberikan rangsangan, tapi tetap saja penis itu tak bisa bereaksi secara maximal, kembali kukulum dan kukocok dengan mulutku, aku sudah kehilangan jurus untuk membuatnya "hidup", segala kemampuanku sudah kukerahkan tapi tetap tak seperti yang harapan.
"Susah ya nduk?", katanya, "nduk" adalah panggilan untuk gadis kecil di jawa, kujawab dengan senyuman terpaksa, sambil kembali memasukkan penisnya ke mulutku.
"Ya sudah sini nduk, kalo memang nggak bisa nggak usah dipaksain, maklum sudah tua", katanya sambil menarikku ke atas, rebah di sampingnya.

Pak Yono kembali menindihku, bibir dan lidahnya kembali dengan rakus menjelajah sekujur tubuhku, berkali kali beliau menyapukan penisnya ke vaginaku dan berusaha mendorong masuk tapi berkali kali pula beliau gagal melakukannya, entah sudah berapa liter ludah yang digunakan untuk membasai penis dan vaginaku, toh gagal juga.

Ketika penisnya sudah mulai agak menegang, dipaksanya mendorong masuk, kubuka kakiku lebar lebar, juga kubantu memperlebar bibir vaginaku dengan tangan, beliau berhasil memasukkan penisnya dengan paksa, bagiku tak ada artinya tapi bagi beliau sudah sangat berharga, merupakan kemajuan yang besar, kurasakan penis itu seperti "berlari-lari" di vaginaku, tapi tak sampai lima kali kocokan kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku, tak ada denyutan atau semprotan, sepertinya sperma itu menetes dengan sendirinya, tubuh Pak Yono terkulai lemas menindihku kemudian berguling dan rebah di sisiku. Beliau miring memelukku, kaki kanannya ditumpangkan ke pahaku, sedangkan mukanya dekat telingaku, bisa kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku, membuatku semakin muak dalam pelukannya.

Kami terdiam pada posisi seperti ini, tak lama akupun ikut ketiduran karena memang sebelumnya sudah kecapekan. Belum kurasakan nyenyaknya tidurku, tiba tiba kurasakan tangan Pak Yono sudah kembali menjelajah di vaginaku, digosoknya bibir dan klitorisku dengan jarinya, tentu saja aku makin risih, kuraih penisnya yang lunglai dan kuremas remas, tetap seperti tadi lemas tak berdaya.

Baru kusadari, mulailah penyiksaan seksual terhadapku, beliau menggumuli tubuhku dengan bibir dan lidahnya menjelajah seluruh tubuhku, aku makin jijik dengan perbuatannya, lebih dari satu jam beliau memperlakukanku seperti mainan, menjilat, mengulum, mencium, mengocok dengan jarinya, ingin rasanya kutampar mukanya ketika beliau berada di selangkanganku, aku hanya menggigit bibirku menahan amarah.

Aku tak tahu dan tak bisa memperkirakan bagaimana berakhirnya permainan ini, karena tentunya tidak ada klimaks-nya.
Ternyata penyiksaanku tak berakhir begitu saja, sepanjang malam dia menggerayangi tubuhku yang tetap telanjang, hanya saat dia tertidurlah penyiksaan itu berhenti tapi begitu terbangun kembali tangan dan lidahnya menggerayangi sekujur tubuhku, dan itu berlangsung hingga pagi hari, kurasakan vaginaku panas dan lecet karena gosokan jari tangannya yang kasar.

Inilah pengalaman terberat dan terburuk yang aku alami selama menjalani profesi ini, baik saat itu maupun perjalananku selanjutnya, begitu berat aku memendam perasaan muak terhadapnya. Ketika aku pamit meninggalkannya, dia memberiku beberapa lembar uang lima puluh ribu yang menurutku tidak ada artinya, sangat tidak sepadan dengan "pengorbanan dan service" yang kuberikan, dua kali kecewa olehnya, dalam hati aku bersumpah tak akan mau menemui dia lagi. Namun sungguh konyol ketika aku sudah menjadi freelancer, beberapa bulan kemudian, aku kembali terperangkap mendapatkan tamu beliau, bahkan 2 kali terperosok dalam kubangan yang sama.

SANG LAKSAMANA

Pengalaman serupa kembali terulang ketika aku menemani Pak Ari, orang penting di jajaran Angkatan Laut di Armada Timur yang berpusat di Surabaya, ARMATIM.

Diantar Om Lok dan seorang Chinese yang aku tak kenal, kami menyusuri jalanan Surabaya menuju Hotel Majapahit yang terletak ditengah kota. Seorang pejabat penguasa kota Jakarta adalah tujuan kami, sebenarnya bukan dia yang minta tapi Yongki, si Chinese, berhasil membujuk Om Lok untuk "mengumpankan" aku ke pejabat tersebut, siapa tahu setelah melihat penampilanku hatinya tergoda, katanya. Aku keberatan kalau nggak pasti seperti itu, tapi dengan persetujuan bahwa begitu aku keluar kamar, maka "argo carteran" sudah mulai jalan, akupun mengikutinya.
"Kalau dia nggak mau juga, berarti dia laki laki bodoh atau nggak normal, jangan khawatir, kalau dia nggak mau juga, aku yang akan booking", tantang Yongki pada Lok.

Kami langsung menuju kamar suite beliau, ternyata banyak tamu disana dan juga 2 gadis seusiaku, melihat "sainganku" aku merasa bahwa mereka bukanlah kelasku apalagi sainganku, nggak level. Aku dan 2 gadis itu menunggu di ruang tidur, sepertinya mereka memberi kesempatan beliau untuk memilih gadis yang dia mau, baru kali ini aku diperlakukan menunggu untuk dipilih, agak malu juga diperlakukan seperti itu, biasanya tamu sudah ngantri untuk menikmatiku tapi kini aku harus ikutan antri, tapi toh aku akan dibayar penuh, baik dipilih maupun tidak, nggak ada ruginya.

Aku masih belum tahu siapakah beliau ini, karena banyak orang di ruang tamu, tak sempat aku mengamati siapa siapa yang hadir disitu terus masuk kamar tidur. Yongki cuma memberitahu bahwa tamunya adalah seorang penguasa Jakarta. Lima belas menit kami menunggu ketika Yongki menyuruh kedua gadis itu pulang, tinggallah aku sendiri di kamar itu.
Aku tak berani rebahan di ranjang atau mulai melepas pakaianku menunggu kedatangannya, meski aku yakin sudah terpilih, trauma atas perlakuan Pak Yono tempo hari masih kurasakan.

Tinggallah aku, Om Lok, Yongki, pejabat itu ditemani ajudannya, ternyata beliau adalah Pak Sur, memang dia penguasa yang "punya" Jakarta, aku sangat mengenalnya dari seringnya beliau muncul di TV.
"Ly kamu temani Pak Surya, kalau beliau minta nginap ya ikutin aja", pesan Om Lok sebelum meninggalkanku berdua dengan beliau.

Kulihat wajah dingin beliau seolah tanpa ekspresi menyambutku, disuruhnya aku duduk di sebelahnya, aroma minyak angin begitu menyengat, sepertinya beliau lagi tidak enak badan.
"Kamu duduk aja di sini, aku nggak tahu apa maunya mereka, kamu disuruh tinggal ya tinggal aja disini", katanya dingin tak ada senyum meski terdengar ramah, memang beliau dikenal tidak bisa tersenyum.
Aku tak tahu harus berbuat apa, nggak mungkin kalau beliau nggak tahu maksud dan tujuanku berada di kamar ini. Aku diam saja tak berani bertindak lebih jauh, secara halus sebenarnya ada isyarat penolakannya, entah kurang cocok denganku atau memang lagi nggak enak badan atau juga memang nggak suka perempuan, seperti isunya selama ini.

"Mau dipijitin Pak?", aku memberanikan
"Nggak usah, sebentar lagi dipakai tidur juga hilang".
Sebentar lagi dipakai tidur? apa berarti dia nggak mau sama aku?, pikirku, belum pernah kudengar penolakan dari laki laki seperti ini.
"Dipijitin sambil tiduran kan bisa cepat tidur Pak", pancingku mulai mengarah.
"Ntar malah nggak bisa tidur, tambah pusing nanti", beliau tetap menolak halus sambil menggosok minyak angin ke kepalanya.
"Sini aku bantuin Pak".
"Gini aja udah enakan kok".

Berbagai usaha yang mengarah sudah aku lakukan tapi tetap saja keluar penolakan darinya, aku menyerah, belum pernah kutemui laki laki yang membiarkanku sendirian seperti ini. Aku jadi serba salah, sepertinya dia tak mau ditemani tapi nggak mungkin kalau aku meninggalkannya begitu saja, satu satunya jalan keluar adalah dia menyuruhku pergi, tapi itu terlalu menyakitkan bagiku, ada perasaan terusir.

"Kalau Bapak nggak enak badan dan mau istirahat, aku pulang boleh?", akhirnya menyerah.
"Gini lho mbak, bukannya aku nggak suka kamu, sebagai laki laki normal aku menyukai wanita apalagi secantik kamu, tapi itu bukan berarti aku harus tidur sama kamu kan? Kalaupun aku mau ingin rasanya ngobrol denganmu sampai pagi, tapi aku lagi nggak enak badan jadi kamu ngerti kan?".

Beliau mengatakan banyak hal yang sudah tak kudengarkan lagi, aku hanya menunduk malu, melihat pintu keluar sudah terbuka lebar, cuma sekarang bagaimana meninggalkan beliau tanpa ada yang sakit hati, terutama aku.
"Kalau begitu Bapak istirahat saja, mungkin kalo aku disini Bapak terganggu istirahatnya, aku pulang saja gimana?", tanyaku sambil menatap matanya yang tajam berwibawa, tak sanggup aku menatapnya lebih lama lagi.
"Kamu nggak usah tersinggung, aku memang nggak biasa melakukan ini", tetap sopan meski tanpa senyum.

Akhirnya kutinggalkan beliau sendirian di kamar tanpa terjadi apa apa, dalam hati aku menghargai dan hormat pada sikap beliau, tak tega juga kalau memaksa merayu dia untuk bertindak lebih jauh. Kulihat Om Lok dan Yongki masih duduk di Lobby bersama si ajudan, segera kuhampiri mereka dan kuceritakan yang terjadi.

"Nah, aku menang", teriak si ajudan dan kulihat Om Lok memberikan beberapa lembar 50 ribuan ke ajudan itu. Ternyata mereka taruhan, Om Lok dengan percaya diri bertaruh bahwa aku berhasil meruntuhkan Imannya, dia kalah. Pak Sur telah menyuruhku pulang, berarti aku harus menemani Yongki, bagiku nggak ada masalah toh dengan Yongki atau lainnya sama saja bagiku, tak ada yang istimewa.
"Berarti memang rejekimu", kata Om Lok pada Yongki.

Tak kusangka ternyata Yongki masih punya "Plan B", kembali aku disodorkan pada pejabat lainnya yang tak kalah tinggi pangkatnya, seorang laksamana di Angkatan Laut wilayah Timur, ARMATIM, namanya Pak Ari, entah ada acara apa banyak penggede negeri yang menginap di hotel ini.
"Kalau dia nggak mau juga, baru itu jatahku, tapi rasanya dia nggak akan menolak kok, aku pernah servis dia sih sebelumnya", katanya.

Ternyata benar kata Yonki, singkat cerita akhirnya aku menemani Pak Ari yang berpangkat Laksamana itu (kalau nggak salah sih), orangnya tinggi besar agak botak tapi tertutup model rambutnya, meski dia seorang tentara tapi tutur katanya sopan dan lembut. Sebelum sempat aku berbuat apa apa, dia sudah membuatkan teh hangat dan menyodorkan ke arahku, biar segar, katanya. Aku yang biasa melayani agak canggung juga menerima "kebaikannya".

Sebelum sempat melepas pakaianku, beliau sudah memijit kakiku, terasa enak dan nyaman pijatannya, beliau hanya memandangku meringis keenakan. Aku berusaha mencegahnya lebih lanjut tapi beliau menyuruhku diam dan menikmati pijitannya, sebenarnya aku menikmati pijitan itu, tapi bukan tugasnya, adalah tugasku untuk melayani beliau.

"Udah Pak, gantian Bapak yang aku pijitin", desakku.
"Ah nggak usah, paling juga pijitanmu pijitan nakal", tolaknya.
Pijitannya sudah mencapai betis dan sebentar lagi ke paha.
"Lepas dulu celananya".
"Bapak juga lepas dong".

Akhirnya kulepas piyamanya setelah aku melepas pakaianku, meninggalkan bikini pink yang semi transparan. Tubuhnya yang tegap tak menyisakan lemak di perutnya aku kagum dengan postur seperti itu, tapi tak kulihat sorot kekaguman di matanya melihatku semi telanjang, sepertinya beliau udah biasa mengamati tubuh seperti ini, justru beliau memintaku langsung tengkurap karena dia mau melanjutkan pijatannya, masih mengenakan celana dalamnya. Tak ada salahnya kuturuti, toh beliau yang mau, bukan kehendakku.

Pijatannya memang menghanyutkan, apalagi ketika tangannya sudah mencapai paha mendekati selangkanganku, mungkin vaginaku sudah basah hanya karena pijitan itu. Cukup lama ketika tangannya mencapai pantatku, beliau melepas celana dalamku, sesekali pijitan itu ke celah celah selangkangan dan nyerempet ke daerah vagina, makin basah aku dibuatnya. Bra dilepasnya ketika sampai di punggung, kali ini beliau langsung memijat ke arah depan, diremasnya buah dadaku yang masih tergencet tubuhku, dia menolak ketika aku berusaha berbalik, remasan remasan halus menegakkan bulu romaku, terasa geli geli terangsang mendapat remasan dari tangannya yang kekar dan berbulu.

Aku makin merinding saat kurasakan ciuman di tengkuk dan punggungku, sementara remasan di dadaku masih lembut. Ciumannya turun ke punggung lalu ke pantat, tangannya kembali menyelip di antara kakiku, menggosok bibir vaginaku dari sisi belakang, aku mulai mendesah sambil menaikkan pantatku secara reflek. Desahanku semakin keras saat kurasakan lidahnya menjilati pantat, kutekuk kakiku hingga aku nungging, semakin terbuka daerah kewanitaanku.
Tapi beliau tak melanjutkan jilatannya, beliau telentang disampingku, meski agak kecewa akupun bergeser di antara kakinya, kulepas celana dalamnya.

Sesaat aku terkaget heran, ternyata kejantanannya tak setegar penampilan postur tubuhnya, terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang tegap dan gagah, agak kecewa aku melihat kenyataan itu, tapi tak mungkin kuungkapkan kekecewaanku. Kugenggam penis tegangnya, hanya seukuran genggaman tanganku, segera kucium dan kubelai penis itu, meski tidak besar tapi tugasku untuk membuatku terpuaskan dan syukur kalau aku juga bisa ikutan terpuaskan, tapi kali ini rasanya nggak mungkin.

Lidahku menyusuri penis yang sudah menegang tak lama kemudian meluncur keluar masuk mulutku, semua batang kejantanannya bisa kumasukkan ke rongga mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, beliau memegang kepalaku dan membenamkan lebih dalam ke selangkangannya.

Tak lebih tiga menit aku mengulumnya, beliau menarikku ke atas dan merebahkanku ke ranjang, menciumi pipi dan bibirku, baru kusadari kalau kami tadi belum sempat berciuman. Lidahnya dengan lembut menyapu kedua putingku, dikulum dan dipermainkannya dengan lembut. Beliau menolak ketika tanganku hendak meremas penisnya kembali, tarian lidahnya yang lembut membuatku mulai melayang.

Aku mulai mendesah sambil meremas remas rambut Pak Ari yang berada di dadaku, baru kutahu kalau ternyata dia agak botak, tak terlihat dalam keadaan biasa. Beliau kembali mencium bibirku saat kejantanannya mulai kusapukan ke bibir vaginaku. Tanpa melepas ciuman kami dia menyodokkan penisnya masuk, kupeluk dan kucium beliau dengan penuh gairah, berharap aku juga ikut merasakan kenikmatan dari beliau yang gagah perkasa ini. Satu, dua, tiga kocokan pelan telah dilakukan, aku merasakan kehangatan dekapannya, pada kocokan ke lima kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku mengiringi lenguhan panjang Pak Ari, lalu tubuhnya menegang kemudian melemas telungkup di atasku.

Dia sudah mencapai puncak kenikmatannya pada kocokan ke lima, hanya beberapa detik penis itu berada di vaginaku, kini sudah mengakhiri kenikmatan itu, tentu saja aku kecewa tapi sekali lagi kekecewaanku tak mungkin kutunjukkan pada tamuku. Napasnya masih menderu di telingaku, detak jantungnya seakan mau meledak di dadaku, begitu kencang. Kubiarkan tubuhnya masih telungkup menindih meski kurasakan agak sesak napasku terhimpit tubuhnya.

"Kamu belum ya", bisiknya ditelingaku dengan nada seperti sesal.
Aku hanya tersenyum, dia memandangku, kulihat tatapan kekecewaan dari sorot matanya, hilang rasanya ke-angkeran dan ke-gagahan yang tampak sebelumnya.
"Istirahat dulu, mungkin Bapak terlalu buru buru, ntar aku bantu deh", hiburku.
"Habis kamu nggemesin sih", dia turun dari tubuhku, kami telentang bersebelahan.

Beberapa saat kami beristirahat dan bersantai, kembali aku dibuatkan teh hangat, bersantai kami nonton TV sambil sesekali beliau mengomentari acaranya. Tangannya mulai menggerayangi dada dan pahaku, aku diam saja tak bereaksi terhadapnya, kubiarkan pula saat tangannya mulai meremas, hanya desahku yang terdengar ketika mulutnya mengulum putingku. Kubiarkan kejantanannya menegang dengan sendirinya, aku takut kalau dia terlalu cepat selesai. Namun aku tak bisa hanya mendesah ketika bibirnya sudah beradu dengan bibir vaginaku, desahanku makin keras, kuremas rambut dan kuelus kepala botaknya.

Untuk kesekian kalinya seorang Jendral bertekuk lutut di antara kedua kakiku dengan kepala terjepit di selangkangan dan mulut terkunci di vagina. Jilatan lidahnya makin ganas, sesekali seakan dia menyedot semua isi tubuhku dari vagina, aku menjerit nikmat, apalagi jari tangannya mulai ikutan mengocokku. Beliau berdiri dan menyodorkan penis kecilnya yang keras menegang, kubelai dan kuciumi dengan manja, sebentar kukocok, sebentar kuremas, desahnya mulai terdengar penuh nafsu.

Tanpa diperintah aku nungging di depannya, di atas sofa, dengan posisi ini dia punya keleluasaan untuk mengatur permainan. Kurasakan kejantanannya mulai memasuki vaginaku, aku mendesah pelan, beliau membiarkan penisnya berdiam di dalam beberapa saat lamanya sambil mengusap punggung dan pantatku. Aku tak berani menggerakkan pantatku seperti biasanya, khawatir beliau selesai sebelum waktunya, pelan ditariknya penisnya dan pelan pula didorongkan kembali, lalu didiamkan lagi. Sebenarnya ini merupakan siksaat tersendiri bagiku, tapi demi kepuasan tamuku, tentu tak boleh egois.

Beberapa kali dia melakukan dengan pelan, tarik, dorong dan diam, diremasnya erat pantatku ketika kucoba mengimbanginya, kuurungkan gerakanku, hanya terdiam menanti kocokan pelannya. Lima kocokan sudah berlalu, aku masih tetap mematung dan mendesah menerimanya, tak ada kenikmatan sama sekali bagiku, tapi mungkin bagi beliau ada kenikmatan tersendiri, biarlah demi kepuasan Bapak Jendral yang terhormat.

Rupanya beliau cukup percaya diri ketika pada kocokan selanjutnya tak terjadi apa apa, kocokannya mulai cepat dan akupun mulai memberanikan diri untuk menggerakkan pantatku. Namun seperti sebelumnya, tak lebih semenit aku menggoyangkan pinggulku mengimbangi gerakannya, dia sudah teriak dalam orgasme, kurasakan penisnya berdenyut pelan di vaginaku. Kudiamkan saja sampai dia puas menumpahkan spermanya di vagina. Tak ada kenikmatan sama sekali yang bisa kudapatkan darinya, kecuali pijitannya.

Kutinggalkan beliau sendirian di sofa setelah membersihkan kejantanannya, ketika aku kembali dari kamar mandi Pak Ari sudah telentang di ranjang menanti kedatanganku, kurebahkan tubuhku dan kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, terasa ada kedamaian dalam pelukan tubuh kekarnya, apalagi ketika beliau membelai ramputku sambil kami bercakap cakap, terasa romantis. Sebenarnya melihat postur tubuhnya yang terbilang sexy, aku sungguh berharap banyak mendapatkan kenikmatan darinya, tapi harapanku tinggallah harapan belaka.

Lebih dari setengah jam aku dalam pelukannya, beliau mengangkat daguku, dicium dan dilumatnya bibirku, dengan mesra kubalas kuluman bibirnya sambil mulai tanganku menggerayang ke selangkangannya. Kuremas dan kukocok kejantanannya, perlahan mulai menegang meski masih kecil dalam genggamanku, tak berani mengocok cepat, takut terlalu cepat berlalu. Kususuri leher dan dadanya, sesekali kukulum putingnya, ciuman dan lidahku bermain main di dada dan perutnya, kurasakan penisnya mulai mengeras.

Kembali kepalaku berada di selangkangannya, aku nungging di sampingnya sambil mencium dan menjilati kejantanannya, akhirnya penis itu meluncur keluar masuk mulutku tak lama kemudian. Pak Ari mendesah merasakan kulumanku, semakin kupercepat kocokan mulutku sambil mempermainkan lidahku di kepala penisnya, tangannya meremas remas buah dadaku penuh gairah. Aku ingin membuatnya benar benar siap sebelum kumasukkan penisnya ke vaginaku, namun kembali terpaksa menelan kekecewaan saat kudengar teriakannya.

Segera kukeluarkan penis dari mulutku tapi terlambat, penisnya berdenyut hanya beberapa saat setelah keluar dari mulutku, sedikit semprotan mengenai wajahku. Tanpa ragu kusapukan penis itu ke wajahku, beliau mengerang nikmat sambil meremas remas rambutku, kumasukkan kembali penisnya ke mulutku, dia mengerang kaget dan segera menarik kejantanannya dari mulut dan genggamanku.
"Ugh.. nakal ya", katanya, aku hanya tersenyum sambil membersihkan wajahku dengan sprei.

Pukul 2 tengah malam kutinggalkan beliau yang masih terlelap, tentu saja seijinnya. Si ajudan hanya tersenyum ketika melihatku melintasi lobby. Aku yang masih terbakar birahi terpaksa harus memendamnya, entah sampai kapan, sampai kudapatkan kepuasan dari tamuku nantinya, karena aku sendiri tak tahu siapakah tamuku besok, apakah aku bisa mendapatkan kepuasan darinya, itulah pertanyaan yang selalu menggelayut di benakku. Sempat terlintas dalam benakku, apa istrinya bisa terpuaskan dengan kondisi Pak Ari yang seperti itu, mengingat aku sering melihatnya di TV betapa cantiknya istrinya meskipun sudah termakan usia, namun masih menampakkan sisa sisa kecantikannya.

Keesokan siang harinya, si ajudan nongol di depan pintu kamarku dengan di antar Om Lok, rupanya dia iri ketika aku melayani komandannya, sekarang dia ingin mendapatkan service yang telah kuberikan ke atasannya malam sebelumnya.
Tentu saja aku terkaget, tapi apa salahnya sejauh dia bisa membayarku toh tak ada bedanya. Ternyata dari dialah akhirnya kudapatkan kepuasan dan orgasme yang berulang ulang, meski pangkatnya masih kapten tapi permainannya bahkan melebihi si laksamana yang hanya mampu bertahan tak lebih dari semenit.

Itulah manis, pahit dan getirnya menjalani profesi ini, meski tak banyak frekuensinya tapi cukup menyiksa untuk dilakoni. Banyak kisah seperti ini yang aku jalani, bahkan tak jarang juga dari mereka yang masih muda, tentunya merupakan siksaan tersendiri bagiku, mungkin akan kutuangkan dalam kisah kisah tersendiri.
 
07: Sayap-Sayap Tak Berkepak

SANG DIRJEN

Tamuku kali ini sungguh lain, berbeda dengan tamuku sebelumnya, aku diminta datang ke kamarnya yang kebetulan atau memang sengaja berada di satu hotel, cuma letaknya agak berjauhan. Om Lok berpesan supaya aku berpakaian resmi seperti halnya orang kantoran, tentu saja bukan masalah bagiku karena di samping koleksi bajuku dan gaunku memang banyak, juga Om Lok selalu menyediakan gaun dan segala perlengkapan pakaian tidur yang sexy, termasuk urusan bra dan celana dalam, karena dia memang sudah mengerti ukuranku dan selera para tamu, bermacam busana baik yang resmi, santai, gaun pesta, gaun malam, baju tidur, lingerie semuanya terpajang di lemari kamarku seperti layaknya butik.

Aku sih tak keberatan dan senang senang saja dengan pengaturan seperti ini, toh meski aku tidak suka busana yang dia belikan, aku kan tidak harus pakai tiap hari dalam waktu yang lama, paling juga saat menemani tamu, itupun disesuaikan dengan selera atau permintaan tamu, ada yang minta supaya aku mengenakan busana sexy, pakaian santai, pakaian tidur, busana resmi, pakaian ketat, tanpa pakaian dalam, bahkan ada yang memintaku langsung telanjang ketika menyambutnya, biasanya kalau sudah lebih dua kali bertemu, permintaan yang aneh-aneh timbul, mungkin karena sudah merasa saling mengenal jadi mereka juga nggak segan untuk memintaku tampil berbeda, itu semua kuturuti demi kepuasan tamuku, toh bagiku nggak ada bedanya, toh semua itu akhirnya dibuka juga, toh akhirnya aku harus telanjang di depan mereka, jadi apalah bedanya semua itu bagiku, tapi sangat beda bagi mereka yang memintaku seperti itu untuk memenuhi fantasinya, yang tidak didapat di rumah.

Hari itu sebenarnya cukup melelahkan bagiku, karena mulai pagi jam 10 sudah menerima tamu, dan tamuku ketiga baru selesai jam setengah tujuh malam, kini aku masih harus melayani tamuku keempat hari itu. Meskipun dari ketiga tamuku tadi hanya satu yang bisa membuatku orgasme, tapi justru dari tamu terakhirlah aku mendapatkannya, bahkan lebih dari 2 kali, jadi capeknya masih terasa hingga malam hari. Ingin aku menolak, tapi karena Om Lok memberiku iming iming pembayaran lebih karena tamuku ini seorang pejabat, Dirjen, maka kuturuti saja karena aku juga tak ingin mengecewakan Om Lok dan pasti kalau aku menolak gadis lain yang akan menggantikannya, disamping itu keterangan dari Om Lok bahwa Pak Dirjen ini sudah tua, mungkin sudah lebih 60 tahun, jadi dua kali usiaku, "jangan jangan seusia opa-ku" pikirku, tentunya tak perlu kerja keras melayaninya, paling juga nggak lebih lima menit sudah KO dan rasanya seusia dia tak mungkin melakukannya dua kali.

Jam 19:45 Om Lok sudah menjemputku untuk di antar ke kamar Pak Yono, sang Dirjen, kukenakan pakaian kerja kantoran, rok resmi dipadu dengan blus You Can See yang ditutupi blazer biru tua, seperti orang ke kantor. Ini adalah pertama kali aku "keluar kandang", menemui panggilan tamuku di kamarnya, tidak seperti biasanya aku melayani mereka di kamarku, bercinta dan bercumbu di ranjangku, kembali ada rasa bimbang dan gugup menggelayut di batinku, sepanjang jalan ke kamar Pak Yono kepercayaan diriku makin mengecil, seperti anak kecil pertama kali keluar dari rumah, takut tersesat dan merasa tidak aman, padahal tidak jarang kalau lagi suntuk di kamar aku jalan jalan sekitar Lobby, atau berenang di pagi hari sebelum "jam kerja" dimulai.

Ketika sampai di kamar suite Pak Yono, ternyata ada beberapa tamu yang sedang ditemui beliau, ada lima orang, dua diantaranya chinese, yang lainnya masih mengenakan seragam dari instansi tertentu. Mengetahui masih ada tamu, Om Lok mengajakku menunggu di lobby atau di kamarku, tapi salah seorang chinese tadi menghampiri Om Lok, mereka berdua bicara menjauh dariku, kemudian chinese tadi masuk kamar sebentar dan kembali menemui kami seraya mempersilahkan masuk. Aku langsung dikenalkan ke Pak Dirjen, aku kaget ketika mengetahui yang mana Pak Yono, benar dugaanku, orangnya seusia Opaku, yang jelas lebih dari 60 tahun, ada sedikit rasa jijik melihat orang sudah setua itu dan sudah bau kubur masih suka sama wanita muda. Aku dipersilakan duduk di antara mereka di kamar tamu, mereka membicarakan masalah proyek angkutan darat di Jawa Timur.

Sambil bicara sesekali para laki laki itu melirik ke arahku, aku jadi canggung dan jengah mendapat perhatian dari mereka, entah mereka tahu atau tidak siapa aku ini, tapi aku yakin ingin mereka sudah mengetahuinya, rasanya aku ingin pergi dari ruangan itu, lebih baik aku menunggu di kamarku dari pada jadi kambing bodoh di antara laki laki dengan sorot mata yang ingin menelanjangiku itu.

Untunglah Pak Yono cepat tanggap, aku dipersilakan menunggu di kamar tidurnya, ada rasa canggung berada di kamar tidur orang lain, meski itu kamar hotel tetapi beberapa barang pribadi Pak Yono menggeletak di situ, ada bungkusan menggeletak di tempat duduk satu satunya yaitu sofa panjang, aku tak berani menyentuh barang pribadi beliau, sehingga mau tak mau aku harus duduk di ranjang menunggu beliau masuk.

Menunggu adalah siksaan yang berat, lebih setengah jam aku menunggunya tapi tak nongol juga, sementara badanku yang capek makin terasa capek dengan hanya duduk tak nyaman di ranjang Pak Yono sambil nonton MTV di TV, akhirnya kuberanikan diri rebahan di ranjang itu, entah sudah berapa lama aku menunggu hingga akhirnya ketiduran di ranjang Pak Yono dengan pakaian masih lengkap.

Dalam tidurku, aku merasa sekujur tubuhku mendapatkan rangsangan tanpa sadar dan kemudian ada beban berat menindih dadaku, membuatku susah bernafas, ketika kubuka mataku Pak Yono sudah menindihku sembil menciumi pipiku, wajah jeleknya tepat di depan wajahku, aku kaget, mau marah dan teriak tapi untunglah kesadaranku segera pulih.

"Eh Bapak, mengagetkanku saja, maaf Pak aku ketiduran", kataku segera menghilangkan kekagetanku.
"Nggak apa, aku yang minta maaf membuatmu menunggu terlalu lama", jawabnya tanpa beranjak dari atas tubuhku, bagian kejantanannya ditekankan di selangkanganku yang ternyata kakiku sudah terbuka dengan rok yang tersingkap di perut sehingga menampakkan celana dalamku, dua kancing atas bajuku sudah terbuka sehingga bra bagian buah dadaku sudah bisa dinikmati, rupanya aku terlalu lelap tidur, mungkin Pak Yono sudah menggerayangi seluruh tubuhku saat aku tidur.
"Orang tua kurang ajar", pikirku tapi tetap menampakkan senyuman di bibirku sambil memeluknya, baru aku tahu ternyata Pak Yono sudah melepas pakaiannya dan tinggal celana dalam yang menempel di tubuhnya.
Mukanya yang jelek dan hitam sudah menempel di pipiku, menciumi dan menjilati leherku, membuatku makin jijik dibuatnya, digumuli orang setua beliau, opa-ku saja tak pernah menciumiku sebanyak itu.
"Aku lepas baju dulu ya Pak biar nggak kusut", pintaku

Seperti terlepas dari beban berat ketika tubuh Pak Yono beranjak dari tubuhku, beliau melarangku ketika aku mau melepas baju di kamar mandi, dengan terpaksa dan dipenuhi perasaan marah kulepas penutup tubuhku satu persatu di depannya, hingga aku benar benar telanjang bulat di hadapannya.

Begitu melihat tubuh telanjangku, beliau langsung menarikku di pelukannya, kembali wajah jeleknya menyusuri seluruh tubuhku, tangannya dengan bebasnya menjamah seluruh daerah erotisku, tangannya meremas remas pantatku kemudian beralih ke buah dadaku dan dengan rakusnya beliau mengulum putingku, aku makin muak melihat tingkah lakunya.

Kemuakanku makin bertambah ketika beliau berada di antara kakiku, dengan mata jelalatan diamatinya vaginaku, kebetulan habis aku rapihkan bulu rambutnya sehingga tampak indah, beliau memandangku dengan tersenyum lalu secepat kilat lidahnya langsung mendarat di klitorisku, aku menjerit kaget dan marah, tapi beliau tak memperdulikanku, lidahnya sudah mempermainkan klitorisku, kemudian menyusuri daerah kewanitaanku, disapukannya lidah tuanya ke bibir vagina. Tak lama kemudian jari tangannya sudah mulai ikutan mempermainkan sekitar vaginaku, dimasukkannya satu jari kemudian dua jari ke liang vaginaku, dan mengocokknya. Jujur harus aku akui bahwa permainan lidahnya sungguh menghanyutkanku, mungkin karena pengalamannya yang sudah banyak sehingga beliau bisa membuatku ikut terhanyut meski sebenarnya aku tidak menghendaki.

Sungguh aku membenci diriku sendiri ketika tanpa sengaja desahan nikmat keluar dari mulutku, permainan lidahnya terlalu nikmat bagiku, desahanku makin sering keluar tanpa kontrol, kupegang kepala Pak Yono dan kutekankan ke vaginaku, gerakan lidah Pak Yono makin ganas dan liar menyusuri celah celah kewanitaanku. Tanpa kusadari pantatku sudah bergoyang mengimbangi jilatan Pak Yono, tentu ini membuat beliau makin menjadi jadi mempermainkan vaginaku, jilatan di klitoris dan kocokan jarinya secara kompak bermain di vaginaku, memainkan irama birahinya.

Pak Yono kemudian menindih tubuhku, kupejamkan mataku ketika beliau menciumi wajahku, aku jijik melihatnya, ciumannya turun ke leher dan berhenti di kedua putingku, mengulum dengan rakusnya, aku masih memejamkan mata, jari tangannya menggosok klitorisku dan mengocoknya. Meski aku biasa melayani orang yang jauh lebih tua, tapi terhadap Pak Yono rasanya belum siap, tak seperti biasanya, entah kenapa perasaan jijik selalu menyelimutiku setiap kali wajah Pak Yono mendekat ke mukaku.

Pak Yono lalu rebah di sampingku, aku mengerti maksudnya, kugeser posisi tubuhku di antara kedua kakinya, aku kaget, ternyata kejantananku masih lemah lunglai, kupegang penisnya yang loyo, kuremas remas untuk memberikan rangsangan, mulai mengeras tapi masih jauh memenuhi syarat, belum bisa berdiri sendiri. Dengan menahan rasa muak dan jijik, kubelai dan kuciumi, belum juga bangun, maka terpaksa kujilati kepala penisnya, kemudian batangnya hingga ke kantong bola, tetap tidak membuahkan hasil yang diharapkan, kemudian kumasukkan ke mulutku, semua penisnya yang loyo masuk ke mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, kukulum dan kupermainkan lidahku di kepala penisnya, berharap segera "bangkit", tapi tetap sia-sia, hanya sedikit menegang, bahkan ketika kusapukan kepala penisnya ke putingku, masih saja tidak ada perubahan. Aku tak tahu apa yang terjadi, apakah beliau impoten, atau aku kurang bisa memberikan rangsangan atau memang sudah hilang kemampuan ereksinya, padahal biasanya hanya dengan pegangan dan sedikit ciuman para tamu sudah kelocotan mendesah nikmat.

Berbagai upaya kulakukan untuk membuatnya "hidup" tapi tetap tak membawa hasil, akhirnya kunaiki tubuh Pak Yono, kuatur posisiku di atas penisnya dan kuusap usapkan menyapu bibir vaginaku, berharap hal ini memberikan rangsangan, tapi tetap saja penis itu tak bisa bereaksi secara maximal, kembali kukulum dan kukocok dengan mulutku, aku sudah kehilangan jurus untuk membuatnya "hidup", segala kemampuanku sudah kukerahkan tapi tetap tak seperti yang harapan.
"Susah ya nduk?", katanya, "nduk" adalah panggilan untuk gadis kecil di jawa, kujawab dengan senyuman terpaksa, sambil kembali memasukkan penisnya ke mulutku.
"Ya sudah sini nduk, kalo memang nggak bisa nggak usah dipaksain, maklum sudah tua", katanya sambil menarikku ke atas, rebah di sampingnya.

Pak Yono kembali menindihku, bibir dan lidahnya kembali dengan rakus menjelajah sekujur tubuhku, berkali kali beliau menyapukan penisnya ke vaginaku dan berusaha mendorong masuk tapi berkali kali pula beliau gagal melakukannya, entah sudah berapa liter ludah yang digunakan untuk membasai penis dan vaginaku, toh gagal juga.

Ketika penisnya sudah mulai agak menegang, dipaksanya mendorong masuk, kubuka kakiku lebar lebar, juga kubantu memperlebar bibir vaginaku dengan tangan, beliau berhasil memasukkan penisnya dengan paksa, bagiku tak ada artinya tapi bagi beliau sudah sangat berharga, merupakan kemajuan yang besar, kurasakan penis itu seperti "berlari-lari" di vaginaku, tapi tak sampai lima kali kocokan kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku, tak ada denyutan atau semprotan, sepertinya sperma itu menetes dengan sendirinya, tubuh Pak Yono terkulai lemas menindihku kemudian berguling dan rebah di sisiku. Beliau miring memelukku, kaki kanannya ditumpangkan ke pahaku, sedangkan mukanya dekat telingaku, bisa kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku, membuatku semakin muak dalam pelukannya.

Kami terdiam pada posisi seperti ini, tak lama akupun ikut ketiduran karena memang sebelumnya sudah kecapekan. Belum kurasakan nyenyaknya tidurku, tiba tiba kurasakan tangan Pak Yono sudah kembali menjelajah di vaginaku, digosoknya bibir dan klitorisku dengan jarinya, tentu saja aku makin risih, kuraih penisnya yang lunglai dan kuremas remas, tetap seperti tadi lemas tak berdaya.

Baru kusadari, mulailah penyiksaan seksual terhadapku, beliau menggumuli tubuhku dengan bibir dan lidahnya menjelajah seluruh tubuhku, aku makin jijik dengan perbuatannya, lebih dari satu jam beliau memperlakukanku seperti mainan, menjilat, mengulum, mencium, mengocok dengan jarinya, ingin rasanya kutampar mukanya ketika beliau berada di selangkanganku, aku hanya menggigit bibirku menahan amarah.

Aku tak tahu dan tak bisa memperkirakan bagaimana berakhirnya permainan ini, karena tentunya tidak ada klimaks-nya.
Ternyata penyiksaanku tak berakhir begitu saja, sepanjang malam dia menggerayangi tubuhku yang tetap telanjang, hanya saat dia tertidurlah penyiksaan itu berhenti tapi begitu terbangun kembali tangan dan lidahnya menggerayangi sekujur tubuhku, dan itu berlangsung hingga pagi hari, kurasakan vaginaku panas dan lecet karena gosokan jari tangannya yang kasar.

Inilah pengalaman terberat dan terburuk yang aku alami selama menjalani profesi ini, baik saat itu maupun perjalananku selanjutnya, begitu berat aku memendam perasaan muak terhadapnya. Ketika aku pamit meninggalkannya, dia memberiku beberapa lembar uang lima puluh ribu yang menurutku tidak ada artinya, sangat tidak sepadan dengan "pengorbanan dan service" yang kuberikan, dua kali kecewa olehnya, dalam hati aku bersumpah tak akan mau menemui dia lagi. Namun sungguh konyol ketika aku sudah menjadi freelancer, beberapa bulan kemudian, aku kembali terperangkap mendapatkan tamu beliau, bahkan 2 kali terperosok dalam kubangan yang sama.

SANG LAKSAMANA

Pengalaman serupa kembali terulang ketika aku menemani Pak Ari, orang penting di jajaran Angkatan Laut di Armada Timur yang berpusat di Surabaya, ARMATIM.

Diantar Om Lok dan seorang Chinese yang aku tak kenal, kami menyusuri jalanan Surabaya menuju Hotel Majapahit yang terletak ditengah kota. Seorang pejabat penguasa kota Jakarta adalah tujuan kami, sebenarnya bukan dia yang minta tapi Yongki, si Chinese, berhasil membujuk Om Lok untuk "mengumpankan" aku ke pejabat tersebut, siapa tahu setelah melihat penampilanku hatinya tergoda, katanya. Aku keberatan kalau nggak pasti seperti itu, tapi dengan persetujuan bahwa begitu aku keluar kamar, maka "argo carteran" sudah mulai jalan, akupun mengikutinya.
"Kalau dia nggak mau juga, berarti dia laki laki bodoh atau nggak normal, jangan khawatir, kalau dia nggak mau juga, aku yang akan booking", tantang Yongki pada Lok.

Kami langsung menuju kamar suite beliau, ternyata banyak tamu disana dan juga 2 gadis seusiaku, melihat "sainganku" aku merasa bahwa mereka bukanlah kelasku apalagi sainganku, nggak level. Aku dan 2 gadis itu menunggu di ruang tidur, sepertinya mereka memberi kesempatan beliau untuk memilih gadis yang dia mau, baru kali ini aku diperlakukan menunggu untuk dipilih, agak malu juga diperlakukan seperti itu, biasanya tamu sudah ngantri untuk menikmatiku tapi kini aku harus ikutan antri, tapi toh aku akan dibayar penuh, baik dipilih maupun tidak, nggak ada ruginya.

Aku masih belum tahu siapakah beliau ini, karena banyak orang di ruang tamu, tak sempat aku mengamati siapa siapa yang hadir disitu terus masuk kamar tidur. Yongki cuma memberitahu bahwa tamunya adalah seorang penguasa Jakarta. Lima belas menit kami menunggu ketika Yongki menyuruh kedua gadis itu pulang, tinggallah aku sendiri di kamar itu.
Aku tak berani rebahan di ranjang atau mulai melepas pakaianku menunggu kedatangannya, meski aku yakin sudah terpilih, trauma atas perlakuan Pak Yono tempo hari masih kurasakan.

Tinggallah aku, Om Lok, Yongki, pejabat itu ditemani ajudannya, ternyata beliau adalah Pak Sur, memang dia penguasa yang "punya" Jakarta, aku sangat mengenalnya dari seringnya beliau muncul di TV.
"Ly kamu temani Pak Surya, kalau beliau minta nginap ya ikutin aja", pesan Om Lok sebelum meninggalkanku berdua dengan beliau.

Kulihat wajah dingin beliau seolah tanpa ekspresi menyambutku, disuruhnya aku duduk di sebelahnya, aroma minyak angin begitu menyengat, sepertinya beliau lagi tidak enak badan.
"Kamu duduk aja di sini, aku nggak tahu apa maunya mereka, kamu disuruh tinggal ya tinggal aja disini", katanya dingin tak ada senyum meski terdengar ramah, memang beliau dikenal tidak bisa tersenyum.
Aku tak tahu harus berbuat apa, nggak mungkin kalau beliau nggak tahu maksud dan tujuanku berada di kamar ini. Aku diam saja tak berani bertindak lebih jauh, secara halus sebenarnya ada isyarat penolakannya, entah kurang cocok denganku atau memang lagi nggak enak badan atau juga memang nggak suka perempuan, seperti isunya selama ini.

"Mau dipijitin Pak?", aku memberanikan
"Nggak usah, sebentar lagi dipakai tidur juga hilang".
Sebentar lagi dipakai tidur? apa berarti dia nggak mau sama aku?, pikirku, belum pernah kudengar penolakan dari laki laki seperti ini.
"Dipijitin sambil tiduran kan bisa cepat tidur Pak", pancingku mulai mengarah.
"Ntar malah nggak bisa tidur, tambah pusing nanti", beliau tetap menolak halus sambil menggosok minyak angin ke kepalanya.
"Sini aku bantuin Pak".
"Gini aja udah enakan kok".

Berbagai usaha yang mengarah sudah aku lakukan tapi tetap saja keluar penolakan darinya, aku menyerah, belum pernah kutemui laki laki yang membiarkanku sendirian seperti ini. Aku jadi serba salah, sepertinya dia tak mau ditemani tapi nggak mungkin kalau aku meninggalkannya begitu saja, satu satunya jalan keluar adalah dia menyuruhku pergi, tapi itu terlalu menyakitkan bagiku, ada perasaan terusir.

"Kalau Bapak nggak enak badan dan mau istirahat, aku pulang boleh?", akhirnya menyerah.
"Gini lho mbak, bukannya aku nggak suka kamu, sebagai laki laki normal aku menyukai wanita apalagi secantik kamu, tapi itu bukan berarti aku harus tidur sama kamu kan? Kalaupun aku mau ingin rasanya ngobrol denganmu sampai pagi, tapi aku lagi nggak enak badan jadi kamu ngerti kan?".

Beliau mengatakan banyak hal yang sudah tak kudengarkan lagi, aku hanya menunduk malu, melihat pintu keluar sudah terbuka lebar, cuma sekarang bagaimana meninggalkan beliau tanpa ada yang sakit hati, terutama aku.
"Kalau begitu Bapak istirahat saja, mungkin kalo aku disini Bapak terganggu istirahatnya, aku pulang saja gimana?", tanyaku sambil menatap matanya yang tajam berwibawa, tak sanggup aku menatapnya lebih lama lagi.
"Kamu nggak usah tersinggung, aku memang nggak biasa melakukan ini", tetap sopan meski tanpa senyum.

Akhirnya kutinggalkan beliau sendirian di kamar tanpa terjadi apa apa, dalam hati aku menghargai dan hormat pada sikap beliau, tak tega juga kalau memaksa merayu dia untuk bertindak lebih jauh. Kulihat Om Lok dan Yongki masih duduk di Lobby bersama si ajudan, segera kuhampiri mereka dan kuceritakan yang terjadi.

"Nah, aku menang", teriak si ajudan dan kulihat Om Lok memberikan beberapa lembar 50 ribuan ke ajudan itu. Ternyata mereka taruhan, Om Lok dengan percaya diri bertaruh bahwa aku berhasil meruntuhkan Imannya, dia kalah. Pak Sur telah menyuruhku pulang, berarti aku harus menemani Yongki, bagiku nggak ada masalah toh dengan Yongki atau lainnya sama saja bagiku, tak ada yang istimewa.
"Berarti memang rejekimu", kata Om Lok pada Yongki.

Tak kusangka ternyata Yongki masih punya "Plan B", kembali aku disodorkan pada pejabat lainnya yang tak kalah tinggi pangkatnya, seorang laksamana di Angkatan Laut wilayah Timur, ARMATIM, namanya Pak Ari, entah ada acara apa banyak penggede negeri yang menginap di hotel ini.
"Kalau dia nggak mau juga, baru itu jatahku, tapi rasanya dia nggak akan menolak kok, aku pernah servis dia sih sebelumnya", katanya.

Ternyata benar kata Yonki, singkat cerita akhirnya aku menemani Pak Ari yang berpangkat Laksamana itu (kalau nggak salah sih), orangnya tinggi besar agak botak tapi tertutup model rambutnya, meski dia seorang tentara tapi tutur katanya sopan dan lembut. Sebelum sempat aku berbuat apa apa, dia sudah membuatkan teh hangat dan menyodorkan ke arahku, biar segar, katanya. Aku yang biasa melayani agak canggung juga menerima "kebaikannya".

Sebelum sempat melepas pakaianku, beliau sudah memijit kakiku, terasa enak dan nyaman pijatannya, beliau hanya memandangku meringis keenakan. Aku berusaha mencegahnya lebih lanjut tapi beliau menyuruhku diam dan menikmati pijitannya, sebenarnya aku menikmati pijitan itu, tapi bukan tugasnya, adalah tugasku untuk melayani beliau.

"Udah Pak, gantian Bapak yang aku pijitin", desakku.
"Ah nggak usah, paling juga pijitanmu pijitan nakal", tolaknya.
Pijitannya sudah mencapai betis dan sebentar lagi ke paha.
"Lepas dulu celananya".
"Bapak juga lepas dong".

Akhirnya kulepas piyamanya setelah aku melepas pakaianku, meninggalkan bikini pink yang semi transparan. Tubuhnya yang tegap tak menyisakan lemak di perutnya aku kagum dengan postur seperti itu, tapi tak kulihat sorot kekaguman di matanya melihatku semi telanjang, sepertinya beliau udah biasa mengamati tubuh seperti ini, justru beliau memintaku langsung tengkurap karena dia mau melanjutkan pijatannya, masih mengenakan celana dalamnya. Tak ada salahnya kuturuti, toh beliau yang mau, bukan kehendakku.

Pijatannya memang menghanyutkan, apalagi ketika tangannya sudah mencapai paha mendekati selangkanganku, mungkin vaginaku sudah basah hanya karena pijitan itu. Cukup lama ketika tangannya mencapai pantatku, beliau melepas celana dalamku, sesekali pijitan itu ke celah celah selangkangan dan nyerempet ke daerah vagina, makin basah aku dibuatnya. Bra dilepasnya ketika sampai di punggung, kali ini beliau langsung memijat ke arah depan, diremasnya buah dadaku yang masih tergencet tubuhku, dia menolak ketika aku berusaha berbalik, remasan remasan halus menegakkan bulu romaku, terasa geli geli terangsang mendapat remasan dari tangannya yang kekar dan berbulu.

Aku makin merinding saat kurasakan ciuman di tengkuk dan punggungku, sementara remasan di dadaku masih lembut. Ciumannya turun ke punggung lalu ke pantat, tangannya kembali menyelip di antara kakiku, menggosok bibir vaginaku dari sisi belakang, aku mulai mendesah sambil menaikkan pantatku secara reflek. Desahanku semakin keras saat kurasakan lidahnya menjilati pantat, kutekuk kakiku hingga aku nungging, semakin terbuka daerah kewanitaanku.
Tapi beliau tak melanjutkan jilatannya, beliau telentang disampingku, meski agak kecewa akupun bergeser di antara kakinya, kulepas celana dalamnya.

Sesaat aku terkaget heran, ternyata kejantanannya tak setegar penampilan postur tubuhnya, terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang tegap dan gagah, agak kecewa aku melihat kenyataan itu, tapi tak mungkin kuungkapkan kekecewaanku. Kugenggam penis tegangnya, hanya seukuran genggaman tanganku, segera kucium dan kubelai penis itu, meski tidak besar tapi tugasku untuk membuatku terpuaskan dan syukur kalau aku juga bisa ikutan terpuaskan, tapi kali ini rasanya nggak mungkin.

Lidahku menyusuri penis yang sudah menegang tak lama kemudian meluncur keluar masuk mulutku, semua batang kejantanannya bisa kumasukkan ke rongga mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, beliau memegang kepalaku dan membenamkan lebih dalam ke selangkangannya.

Tak lebih tiga menit aku mengulumnya, beliau menarikku ke atas dan merebahkanku ke ranjang, menciumi pipi dan bibirku, baru kusadari kalau kami tadi belum sempat berciuman. Lidahnya dengan lembut menyapu kedua putingku, dikulum dan dipermainkannya dengan lembut. Beliau menolak ketika tanganku hendak meremas penisnya kembali, tarian lidahnya yang lembut membuatku mulai melayang.

Aku mulai mendesah sambil meremas remas rambut Pak Ari yang berada di dadaku, baru kutahu kalau ternyata dia agak botak, tak terlihat dalam keadaan biasa. Beliau kembali mencium bibirku saat kejantanannya mulai kusapukan ke bibir vaginaku. Tanpa melepas ciuman kami dia menyodokkan penisnya masuk, kupeluk dan kucium beliau dengan penuh gairah, berharap aku juga ikut merasakan kenikmatan dari beliau yang gagah perkasa ini. Satu, dua, tiga kocokan pelan telah dilakukan, aku merasakan kehangatan dekapannya, pada kocokan ke lima kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku mengiringi lenguhan panjang Pak Ari, lalu tubuhnya menegang kemudian melemas telungkup di atasku.

Dia sudah mencapai puncak kenikmatannya pada kocokan ke lima, hanya beberapa detik penis itu berada di vaginaku, kini sudah mengakhiri kenikmatan itu, tentu saja aku kecewa tapi sekali lagi kekecewaanku tak mungkin kutunjukkan pada tamuku. Napasnya masih menderu di telingaku, detak jantungnya seakan mau meledak di dadaku, begitu kencang. Kubiarkan tubuhnya masih telungkup menindih meski kurasakan agak sesak napasku terhimpit tubuhnya.

"Kamu belum ya", bisiknya ditelingaku dengan nada seperti sesal.
Aku hanya tersenyum, dia memandangku, kulihat tatapan kekecewaan dari sorot matanya, hilang rasanya ke-angkeran dan ke-gagahan yang tampak sebelumnya.
"Istirahat dulu, mungkin Bapak terlalu buru buru, ntar aku bantu deh", hiburku.
"Habis kamu nggemesin sih", dia turun dari tubuhku, kami telentang bersebelahan.

Beberapa saat kami beristirahat dan bersantai, kembali aku dibuatkan teh hangat, bersantai kami nonton TV sambil sesekali beliau mengomentari acaranya. Tangannya mulai menggerayangi dada dan pahaku, aku diam saja tak bereaksi terhadapnya, kubiarkan pula saat tangannya mulai meremas, hanya desahku yang terdengar ketika mulutnya mengulum putingku. Kubiarkan kejantanannya menegang dengan sendirinya, aku takut kalau dia terlalu cepat selesai. Namun aku tak bisa hanya mendesah ketika bibirnya sudah beradu dengan bibir vaginaku, desahanku makin keras, kuremas rambut dan kuelus kepala botaknya.

Untuk kesekian kalinya seorang Jendral bertekuk lutut di antara kedua kakiku dengan kepala terjepit di selangkangan dan mulut terkunci di vagina. Jilatan lidahnya makin ganas, sesekali seakan dia menyedot semua isi tubuhku dari vagina, aku menjerit nikmat, apalagi jari tangannya mulai ikutan mengocokku. Beliau berdiri dan menyodorkan penis kecilnya yang keras menegang, kubelai dan kuciumi dengan manja, sebentar kukocok, sebentar kuremas, desahnya mulai terdengar penuh nafsu.

Tanpa diperintah aku nungging di depannya, di atas sofa, dengan posisi ini dia punya keleluasaan untuk mengatur permainan. Kurasakan kejantanannya mulai memasuki vaginaku, aku mendesah pelan, beliau membiarkan penisnya berdiam di dalam beberapa saat lamanya sambil mengusap punggung dan pantatku. Aku tak berani menggerakkan pantatku seperti biasanya, khawatir beliau selesai sebelum waktunya, pelan ditariknya penisnya dan pelan pula didorongkan kembali, lalu didiamkan lagi. Sebenarnya ini merupakan siksaat tersendiri bagiku, tapi demi kepuasan tamuku, tentu tak boleh egois.

Beberapa kali dia melakukan dengan pelan, tarik, dorong dan diam, diremasnya erat pantatku ketika kucoba mengimbanginya, kuurungkan gerakanku, hanya terdiam menanti kocokan pelannya. Lima kocokan sudah berlalu, aku masih tetap mematung dan mendesah menerimanya, tak ada kenikmatan sama sekali bagiku, tapi mungkin bagi beliau ada kenikmatan tersendiri, biarlah demi kepuasan Bapak Jendral yang terhormat.

Rupanya beliau cukup percaya diri ketika pada kocokan selanjutnya tak terjadi apa apa, kocokannya mulai cepat dan akupun mulai memberanikan diri untuk menggerakkan pantatku. Namun seperti sebelumnya, tak lebih semenit aku menggoyangkan pinggulku mengimbangi gerakannya, dia sudah teriak dalam orgasme, kurasakan penisnya berdenyut pelan di vaginaku. Kudiamkan saja sampai dia puas menumpahkan spermanya di vagina. Tak ada kenikmatan sama sekali yang bisa kudapatkan darinya, kecuali pijitannya.

Kutinggalkan beliau sendirian di sofa setelah membersihkan kejantanannya, ketika aku kembali dari kamar mandi Pak Ari sudah telentang di ranjang menanti kedatanganku, kurebahkan tubuhku dan kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, terasa ada kedamaian dalam pelukan tubuh kekarnya, apalagi ketika beliau membelai ramputku sambil kami bercakap cakap, terasa romantis. Sebenarnya melihat postur tubuhnya yang terbilang sexy, aku sungguh berharap banyak mendapatkan kenikmatan darinya, tapi harapanku tinggallah harapan belaka.

Lebih dari setengah jam aku dalam pelukannya, beliau mengangkat daguku, dicium dan dilumatnya bibirku, dengan mesra kubalas kuluman bibirnya sambil mulai tanganku menggerayang ke selangkangannya. Kuremas dan kukocok kejantanannya, perlahan mulai menegang meski masih kecil dalam genggamanku, tak berani mengocok cepat, takut terlalu cepat berlalu. Kususuri leher dan dadanya, sesekali kukulum putingnya, ciuman dan lidahku bermain main di dada dan perutnya, kurasakan penisnya mulai mengeras.

Kembali kepalaku berada di selangkangannya, aku nungging di sampingnya sambil mencium dan menjilati kejantanannya, akhirnya penis itu meluncur keluar masuk mulutku tak lama kemudian. Pak Ari mendesah merasakan kulumanku, semakin kupercepat kocokan mulutku sambil mempermainkan lidahku di kepala penisnya, tangannya meremas remas buah dadaku penuh gairah. Aku ingin membuatnya benar benar siap sebelum kumasukkan penisnya ke vaginaku, namun kembali terpaksa menelan kekecewaan saat kudengar teriakannya.

Segera kukeluarkan penis dari mulutku tapi terlambat, penisnya berdenyut hanya beberapa saat setelah keluar dari mulutku, sedikit semprotan mengenai wajahku. Tanpa ragu kusapukan penis itu ke wajahku, beliau mengerang nikmat sambil meremas remas rambutku, kumasukkan kembali penisnya ke mulutku, dia mengerang kaget dan segera menarik kejantanannya dari mulut dan genggamanku.
"Ugh.. nakal ya", katanya, aku hanya tersenyum sambil membersihkan wajahku dengan sprei.

Pukul 2 tengah malam kutinggalkan beliau yang masih terlelap, tentu saja seijinnya. Si ajudan hanya tersenyum ketika melihatku melintasi lobby. Aku yang masih terbakar birahi terpaksa harus memendamnya, entah sampai kapan, sampai kudapatkan kepuasan dari tamuku nantinya, karena aku sendiri tak tahu siapakah tamuku besok, apakah aku bisa mendapatkan kepuasan darinya, itulah pertanyaan yang selalu menggelayut di benakku. Sempat terlintas dalam benakku, apa istrinya bisa terpuaskan dengan kondisi Pak Ari yang seperti itu, mengingat aku sering melihatnya di TV betapa cantiknya istrinya meskipun sudah termakan usia, namun masih menampakkan sisa sisa kecantikannya.

Keesokan siang harinya, si ajudan nongol di depan pintu kamarku dengan di antar Om Lok, rupanya dia iri ketika aku melayani komandannya, sekarang dia ingin mendapatkan service yang telah kuberikan ke atasannya malam sebelumnya.
Tentu saja aku terkaget, tapi apa salahnya sejauh dia bisa membayarku toh tak ada bedanya. Ternyata dari dialah akhirnya kudapatkan kepuasan dan orgasme yang berulang ulang, meski pangkatnya masih kapten tapi permainannya bahkan melebihi si laksamana yang hanya mampu bertahan tak lebih dari semenit.

Itulah manis, pahit dan getirnya menjalani profesi ini, meski tak banyak frekuensinya tapi cukup menyiksa untuk dilakoni. Banyak kisah seperti ini yang aku jalani, bahkan tak jarang juga dari mereka yang masih muda, tentunya merupakan siksaan tersendiri bagiku, mungkin akan kutuangkan dalam kisah kisah tersendiri.
Mbak lily-nya masih ada kah? Masih aktif? Luar biasa, legend

Terimakasih suhu @yobolet updatenya :beer::semangat:
 
07: Sayap-Sayap Tak Berkepak

SANG DIRJEN

Tamuku kali ini sungguh lain, berbeda dengan tamuku sebelumnya, aku diminta datang ke kamarnya yang kebetulan atau memang sengaja berada di satu hotel, cuma letaknya agak berjauhan. Om Lok berpesan supaya aku berpakaian resmi seperti halnya orang kantoran, tentu saja bukan masalah bagiku karena di samping koleksi bajuku dan gaunku memang banyak, juga Om Lok selalu menyediakan gaun dan segala perlengkapan pakaian tidur yang sexy, termasuk urusan bra dan celana dalam, karena dia memang sudah mengerti ukuranku dan selera para tamu, bermacam busana baik yang resmi, santai, gaun pesta, gaun malam, baju tidur, lingerie semuanya terpajang di lemari kamarku seperti layaknya butik.

Aku sih tak keberatan dan senang senang saja dengan pengaturan seperti ini, toh meski aku tidak suka busana yang dia belikan, aku kan tidak harus pakai tiap hari dalam waktu yang lama, paling juga saat menemani tamu, itupun disesuaikan dengan selera atau permintaan tamu, ada yang minta supaya aku mengenakan busana sexy, pakaian santai, pakaian tidur, busana resmi, pakaian ketat, tanpa pakaian dalam, bahkan ada yang memintaku langsung telanjang ketika menyambutnya, biasanya kalau sudah lebih dua kali bertemu, permintaan yang aneh-aneh timbul, mungkin karena sudah merasa saling mengenal jadi mereka juga nggak segan untuk memintaku tampil berbeda, itu semua kuturuti demi kepuasan tamuku, toh bagiku nggak ada bedanya, toh semua itu akhirnya dibuka juga, toh akhirnya aku harus telanjang di depan mereka, jadi apalah bedanya semua itu bagiku, tapi sangat beda bagi mereka yang memintaku seperti itu untuk memenuhi fantasinya, yang tidak didapat di rumah.

Hari itu sebenarnya cukup melelahkan bagiku, karena mulai pagi jam 10 sudah menerima tamu, dan tamuku ketiga baru selesai jam setengah tujuh malam, kini aku masih harus melayani tamuku keempat hari itu. Meskipun dari ketiga tamuku tadi hanya satu yang bisa membuatku orgasme, tapi justru dari tamu terakhirlah aku mendapatkannya, bahkan lebih dari 2 kali, jadi capeknya masih terasa hingga malam hari. Ingin aku menolak, tapi karena Om Lok memberiku iming iming pembayaran lebih karena tamuku ini seorang pejabat, Dirjen, maka kuturuti saja karena aku juga tak ingin mengecewakan Om Lok dan pasti kalau aku menolak gadis lain yang akan menggantikannya, disamping itu keterangan dari Om Lok bahwa Pak Dirjen ini sudah tua, mungkin sudah lebih 60 tahun, jadi dua kali usiaku, "jangan jangan seusia opa-ku" pikirku, tentunya tak perlu kerja keras melayaninya, paling juga nggak lebih lima menit sudah KO dan rasanya seusia dia tak mungkin melakukannya dua kali.

Jam 19:45 Om Lok sudah menjemputku untuk di antar ke kamar Pak Yono, sang Dirjen, kukenakan pakaian kerja kantoran, rok resmi dipadu dengan blus You Can See yang ditutupi blazer biru tua, seperti orang ke kantor. Ini adalah pertama kali aku "keluar kandang", menemui panggilan tamuku di kamarnya, tidak seperti biasanya aku melayani mereka di kamarku, bercinta dan bercumbu di ranjangku, kembali ada rasa bimbang dan gugup menggelayut di batinku, sepanjang jalan ke kamar Pak Yono kepercayaan diriku makin mengecil, seperti anak kecil pertama kali keluar dari rumah, takut tersesat dan merasa tidak aman, padahal tidak jarang kalau lagi suntuk di kamar aku jalan jalan sekitar Lobby, atau berenang di pagi hari sebelum "jam kerja" dimulai.

Ketika sampai di kamar suite Pak Yono, ternyata ada beberapa tamu yang sedang ditemui beliau, ada lima orang, dua diantaranya chinese, yang lainnya masih mengenakan seragam dari instansi tertentu. Mengetahui masih ada tamu, Om Lok mengajakku menunggu di lobby atau di kamarku, tapi salah seorang chinese tadi menghampiri Om Lok, mereka berdua bicara menjauh dariku, kemudian chinese tadi masuk kamar sebentar dan kembali menemui kami seraya mempersilahkan masuk. Aku langsung dikenalkan ke Pak Dirjen, aku kaget ketika mengetahui yang mana Pak Yono, benar dugaanku, orangnya seusia Opaku, yang jelas lebih dari 60 tahun, ada sedikit rasa jijik melihat orang sudah setua itu dan sudah bau kubur masih suka sama wanita muda. Aku dipersilakan duduk di antara mereka di kamar tamu, mereka membicarakan masalah proyek angkutan darat di Jawa Timur.

Sambil bicara sesekali para laki laki itu melirik ke arahku, aku jadi canggung dan jengah mendapat perhatian dari mereka, entah mereka tahu atau tidak siapa aku ini, tapi aku yakin ingin mereka sudah mengetahuinya, rasanya aku ingin pergi dari ruangan itu, lebih baik aku menunggu di kamarku dari pada jadi kambing bodoh di antara laki laki dengan sorot mata yang ingin menelanjangiku itu.

Untunglah Pak Yono cepat tanggap, aku dipersilakan menunggu di kamar tidurnya, ada rasa canggung berada di kamar tidur orang lain, meski itu kamar hotel tetapi beberapa barang pribadi Pak Yono menggeletak di situ, ada bungkusan menggeletak di tempat duduk satu satunya yaitu sofa panjang, aku tak berani menyentuh barang pribadi beliau, sehingga mau tak mau aku harus duduk di ranjang menunggu beliau masuk.

Menunggu adalah siksaan yang berat, lebih setengah jam aku menunggunya tapi tak nongol juga, sementara badanku yang capek makin terasa capek dengan hanya duduk tak nyaman di ranjang Pak Yono sambil nonton MTV di TV, akhirnya kuberanikan diri rebahan di ranjang itu, entah sudah berapa lama aku menunggu hingga akhirnya ketiduran di ranjang Pak Yono dengan pakaian masih lengkap.

Dalam tidurku, aku merasa sekujur tubuhku mendapatkan rangsangan tanpa sadar dan kemudian ada beban berat menindih dadaku, membuatku susah bernafas, ketika kubuka mataku Pak Yono sudah menindihku sembil menciumi pipiku, wajah jeleknya tepat di depan wajahku, aku kaget, mau marah dan teriak tapi untunglah kesadaranku segera pulih.

"Eh Bapak, mengagetkanku saja, maaf Pak aku ketiduran", kataku segera menghilangkan kekagetanku.
"Nggak apa, aku yang minta maaf membuatmu menunggu terlalu lama", jawabnya tanpa beranjak dari atas tubuhku, bagian kejantanannya ditekankan di selangkanganku yang ternyata kakiku sudah terbuka dengan rok yang tersingkap di perut sehingga menampakkan celana dalamku, dua kancing atas bajuku sudah terbuka sehingga bra bagian buah dadaku sudah bisa dinikmati, rupanya aku terlalu lelap tidur, mungkin Pak Yono sudah menggerayangi seluruh tubuhku saat aku tidur.
"Orang tua kurang ajar", pikirku tapi tetap menampakkan senyuman di bibirku sambil memeluknya, baru aku tahu ternyata Pak Yono sudah melepas pakaiannya dan tinggal celana dalam yang menempel di tubuhnya.
Mukanya yang jelek dan hitam sudah menempel di pipiku, menciumi dan menjilati leherku, membuatku makin jijik dibuatnya, digumuli orang setua beliau, opa-ku saja tak pernah menciumiku sebanyak itu.
"Aku lepas baju dulu ya Pak biar nggak kusut", pintaku

Seperti terlepas dari beban berat ketika tubuh Pak Yono beranjak dari tubuhku, beliau melarangku ketika aku mau melepas baju di kamar mandi, dengan terpaksa dan dipenuhi perasaan marah kulepas penutup tubuhku satu persatu di depannya, hingga aku benar benar telanjang bulat di hadapannya.

Begitu melihat tubuh telanjangku, beliau langsung menarikku di pelukannya, kembali wajah jeleknya menyusuri seluruh tubuhku, tangannya dengan bebasnya menjamah seluruh daerah erotisku, tangannya meremas remas pantatku kemudian beralih ke buah dadaku dan dengan rakusnya beliau mengulum putingku, aku makin muak melihat tingkah lakunya.

Kemuakanku makin bertambah ketika beliau berada di antara kakiku, dengan mata jelalatan diamatinya vaginaku, kebetulan habis aku rapihkan bulu rambutnya sehingga tampak indah, beliau memandangku dengan tersenyum lalu secepat kilat lidahnya langsung mendarat di klitorisku, aku menjerit kaget dan marah, tapi beliau tak memperdulikanku, lidahnya sudah mempermainkan klitorisku, kemudian menyusuri daerah kewanitaanku, disapukannya lidah tuanya ke bibir vagina. Tak lama kemudian jari tangannya sudah mulai ikutan mempermainkan sekitar vaginaku, dimasukkannya satu jari kemudian dua jari ke liang vaginaku, dan mengocokknya. Jujur harus aku akui bahwa permainan lidahnya sungguh menghanyutkanku, mungkin karena pengalamannya yang sudah banyak sehingga beliau bisa membuatku ikut terhanyut meski sebenarnya aku tidak menghendaki.

Sungguh aku membenci diriku sendiri ketika tanpa sengaja desahan nikmat keluar dari mulutku, permainan lidahnya terlalu nikmat bagiku, desahanku makin sering keluar tanpa kontrol, kupegang kepala Pak Yono dan kutekankan ke vaginaku, gerakan lidah Pak Yono makin ganas dan liar menyusuri celah celah kewanitaanku. Tanpa kusadari pantatku sudah bergoyang mengimbangi jilatan Pak Yono, tentu ini membuat beliau makin menjadi jadi mempermainkan vaginaku, jilatan di klitoris dan kocokan jarinya secara kompak bermain di vaginaku, memainkan irama birahinya.

Pak Yono kemudian menindih tubuhku, kupejamkan mataku ketika beliau menciumi wajahku, aku jijik melihatnya, ciumannya turun ke leher dan berhenti di kedua putingku, mengulum dengan rakusnya, aku masih memejamkan mata, jari tangannya menggosok klitorisku dan mengocoknya. Meski aku biasa melayani orang yang jauh lebih tua, tapi terhadap Pak Yono rasanya belum siap, tak seperti biasanya, entah kenapa perasaan jijik selalu menyelimutiku setiap kali wajah Pak Yono mendekat ke mukaku.

Pak Yono lalu rebah di sampingku, aku mengerti maksudnya, kugeser posisi tubuhku di antara kedua kakinya, aku kaget, ternyata kejantananku masih lemah lunglai, kupegang penisnya yang loyo, kuremas remas untuk memberikan rangsangan, mulai mengeras tapi masih jauh memenuhi syarat, belum bisa berdiri sendiri. Dengan menahan rasa muak dan jijik, kubelai dan kuciumi, belum juga bangun, maka terpaksa kujilati kepala penisnya, kemudian batangnya hingga ke kantong bola, tetap tidak membuahkan hasil yang diharapkan, kemudian kumasukkan ke mulutku, semua penisnya yang loyo masuk ke mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, kukulum dan kupermainkan lidahku di kepala penisnya, berharap segera "bangkit", tapi tetap sia-sia, hanya sedikit menegang, bahkan ketika kusapukan kepala penisnya ke putingku, masih saja tidak ada perubahan. Aku tak tahu apa yang terjadi, apakah beliau impoten, atau aku kurang bisa memberikan rangsangan atau memang sudah hilang kemampuan ereksinya, padahal biasanya hanya dengan pegangan dan sedikit ciuman para tamu sudah kelocotan mendesah nikmat.

Berbagai upaya kulakukan untuk membuatnya "hidup" tapi tetap tak membawa hasil, akhirnya kunaiki tubuh Pak Yono, kuatur posisiku di atas penisnya dan kuusap usapkan menyapu bibir vaginaku, berharap hal ini memberikan rangsangan, tapi tetap saja penis itu tak bisa bereaksi secara maximal, kembali kukulum dan kukocok dengan mulutku, aku sudah kehilangan jurus untuk membuatnya "hidup", segala kemampuanku sudah kukerahkan tapi tetap tak seperti yang harapan.
"Susah ya nduk?", katanya, "nduk" adalah panggilan untuk gadis kecil di jawa, kujawab dengan senyuman terpaksa, sambil kembali memasukkan penisnya ke mulutku.
"Ya sudah sini nduk, kalo memang nggak bisa nggak usah dipaksain, maklum sudah tua", katanya sambil menarikku ke atas, rebah di sampingnya.

Pak Yono kembali menindihku, bibir dan lidahnya kembali dengan rakus menjelajah sekujur tubuhku, berkali kali beliau menyapukan penisnya ke vaginaku dan berusaha mendorong masuk tapi berkali kali pula beliau gagal melakukannya, entah sudah berapa liter ludah yang digunakan untuk membasai penis dan vaginaku, toh gagal juga.

Ketika penisnya sudah mulai agak menegang, dipaksanya mendorong masuk, kubuka kakiku lebar lebar, juga kubantu memperlebar bibir vaginaku dengan tangan, beliau berhasil memasukkan penisnya dengan paksa, bagiku tak ada artinya tapi bagi beliau sudah sangat berharga, merupakan kemajuan yang besar, kurasakan penis itu seperti "berlari-lari" di vaginaku, tapi tak sampai lima kali kocokan kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku, tak ada denyutan atau semprotan, sepertinya sperma itu menetes dengan sendirinya, tubuh Pak Yono terkulai lemas menindihku kemudian berguling dan rebah di sisiku. Beliau miring memelukku, kaki kanannya ditumpangkan ke pahaku, sedangkan mukanya dekat telingaku, bisa kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku, membuatku semakin muak dalam pelukannya.

Kami terdiam pada posisi seperti ini, tak lama akupun ikut ketiduran karena memang sebelumnya sudah kecapekan. Belum kurasakan nyenyaknya tidurku, tiba tiba kurasakan tangan Pak Yono sudah kembali menjelajah di vaginaku, digosoknya bibir dan klitorisku dengan jarinya, tentu saja aku makin risih, kuraih penisnya yang lunglai dan kuremas remas, tetap seperti tadi lemas tak berdaya.

Baru kusadari, mulailah penyiksaan seksual terhadapku, beliau menggumuli tubuhku dengan bibir dan lidahnya menjelajah seluruh tubuhku, aku makin jijik dengan perbuatannya, lebih dari satu jam beliau memperlakukanku seperti mainan, menjilat, mengulum, mencium, mengocok dengan jarinya, ingin rasanya kutampar mukanya ketika beliau berada di selangkanganku, aku hanya menggigit bibirku menahan amarah.

Aku tak tahu dan tak bisa memperkirakan bagaimana berakhirnya permainan ini, karena tentunya tidak ada klimaks-nya.
Ternyata penyiksaanku tak berakhir begitu saja, sepanjang malam dia menggerayangi tubuhku yang tetap telanjang, hanya saat dia tertidurlah penyiksaan itu berhenti tapi begitu terbangun kembali tangan dan lidahnya menggerayangi sekujur tubuhku, dan itu berlangsung hingga pagi hari, kurasakan vaginaku panas dan lecet karena gosokan jari tangannya yang kasar.

Inilah pengalaman terberat dan terburuk yang aku alami selama menjalani profesi ini, baik saat itu maupun perjalananku selanjutnya, begitu berat aku memendam perasaan muak terhadapnya. Ketika aku pamit meninggalkannya, dia memberiku beberapa lembar uang lima puluh ribu yang menurutku tidak ada artinya, sangat tidak sepadan dengan "pengorbanan dan service" yang kuberikan, dua kali kecewa olehnya, dalam hati aku bersumpah tak akan mau menemui dia lagi. Namun sungguh konyol ketika aku sudah menjadi freelancer, beberapa bulan kemudian, aku kembali terperangkap mendapatkan tamu beliau, bahkan 2 kali terperosok dalam kubangan yang sama.

SANG LAKSAMANA

Pengalaman serupa kembali terulang ketika aku menemani Pak Ari, orang penting di jajaran Angkatan Laut di Armada Timur yang berpusat di Surabaya, ARMATIM.

Diantar Om Lok dan seorang Chinese yang aku tak kenal, kami menyusuri jalanan Surabaya menuju Hotel Majapahit yang terletak ditengah kota. Seorang pejabat penguasa kota Jakarta adalah tujuan kami, sebenarnya bukan dia yang minta tapi Yongki, si Chinese, berhasil membujuk Om Lok untuk "mengumpankan" aku ke pejabat tersebut, siapa tahu setelah melihat penampilanku hatinya tergoda, katanya. Aku keberatan kalau nggak pasti seperti itu, tapi dengan persetujuan bahwa begitu aku keluar kamar, maka "argo carteran" sudah mulai jalan, akupun mengikutinya.
"Kalau dia nggak mau juga, berarti dia laki laki bodoh atau nggak normal, jangan khawatir, kalau dia nggak mau juga, aku yang akan booking", tantang Yongki pada Lok.

Kami langsung menuju kamar suite beliau, ternyata banyak tamu disana dan juga 2 gadis seusiaku, melihat "sainganku" aku merasa bahwa mereka bukanlah kelasku apalagi sainganku, nggak level. Aku dan 2 gadis itu menunggu di ruang tidur, sepertinya mereka memberi kesempatan beliau untuk memilih gadis yang dia mau, baru kali ini aku diperlakukan menunggu untuk dipilih, agak malu juga diperlakukan seperti itu, biasanya tamu sudah ngantri untuk menikmatiku tapi kini aku harus ikutan antri, tapi toh aku akan dibayar penuh, baik dipilih maupun tidak, nggak ada ruginya.

Aku masih belum tahu siapakah beliau ini, karena banyak orang di ruang tamu, tak sempat aku mengamati siapa siapa yang hadir disitu terus masuk kamar tidur. Yongki cuma memberitahu bahwa tamunya adalah seorang penguasa Jakarta. Lima belas menit kami menunggu ketika Yongki menyuruh kedua gadis itu pulang, tinggallah aku sendiri di kamar itu.
Aku tak berani rebahan di ranjang atau mulai melepas pakaianku menunggu kedatangannya, meski aku yakin sudah terpilih, trauma atas perlakuan Pak Yono tempo hari masih kurasakan.

Tinggallah aku, Om Lok, Yongki, pejabat itu ditemani ajudannya, ternyata beliau adalah Pak Sur, memang dia penguasa yang "punya" Jakarta, aku sangat mengenalnya dari seringnya beliau muncul di TV.
"Ly kamu temani Pak Surya, kalau beliau minta nginap ya ikutin aja", pesan Om Lok sebelum meninggalkanku berdua dengan beliau.

Kulihat wajah dingin beliau seolah tanpa ekspresi menyambutku, disuruhnya aku duduk di sebelahnya, aroma minyak angin begitu menyengat, sepertinya beliau lagi tidak enak badan.
"Kamu duduk aja di sini, aku nggak tahu apa maunya mereka, kamu disuruh tinggal ya tinggal aja disini", katanya dingin tak ada senyum meski terdengar ramah, memang beliau dikenal tidak bisa tersenyum.
Aku tak tahu harus berbuat apa, nggak mungkin kalau beliau nggak tahu maksud dan tujuanku berada di kamar ini. Aku diam saja tak berani bertindak lebih jauh, secara halus sebenarnya ada isyarat penolakannya, entah kurang cocok denganku atau memang lagi nggak enak badan atau juga memang nggak suka perempuan, seperti isunya selama ini.

"Mau dipijitin Pak?", aku memberanikan
"Nggak usah, sebentar lagi dipakai tidur juga hilang".
Sebentar lagi dipakai tidur? apa berarti dia nggak mau sama aku?, pikirku, belum pernah kudengar penolakan dari laki laki seperti ini.
"Dipijitin sambil tiduran kan bisa cepat tidur Pak", pancingku mulai mengarah.
"Ntar malah nggak bisa tidur, tambah pusing nanti", beliau tetap menolak halus sambil menggosok minyak angin ke kepalanya.
"Sini aku bantuin Pak".
"Gini aja udah enakan kok".

Berbagai usaha yang mengarah sudah aku lakukan tapi tetap saja keluar penolakan darinya, aku menyerah, belum pernah kutemui laki laki yang membiarkanku sendirian seperti ini. Aku jadi serba salah, sepertinya dia tak mau ditemani tapi nggak mungkin kalau aku meninggalkannya begitu saja, satu satunya jalan keluar adalah dia menyuruhku pergi, tapi itu terlalu menyakitkan bagiku, ada perasaan terusir.

"Kalau Bapak nggak enak badan dan mau istirahat, aku pulang boleh?", akhirnya menyerah.
"Gini lho mbak, bukannya aku nggak suka kamu, sebagai laki laki normal aku menyukai wanita apalagi secantik kamu, tapi itu bukan berarti aku harus tidur sama kamu kan? Kalaupun aku mau ingin rasanya ngobrol denganmu sampai pagi, tapi aku lagi nggak enak badan jadi kamu ngerti kan?".

Beliau mengatakan banyak hal yang sudah tak kudengarkan lagi, aku hanya menunduk malu, melihat pintu keluar sudah terbuka lebar, cuma sekarang bagaimana meninggalkan beliau tanpa ada yang sakit hati, terutama aku.
"Kalau begitu Bapak istirahat saja, mungkin kalo aku disini Bapak terganggu istirahatnya, aku pulang saja gimana?", tanyaku sambil menatap matanya yang tajam berwibawa, tak sanggup aku menatapnya lebih lama lagi.
"Kamu nggak usah tersinggung, aku memang nggak biasa melakukan ini", tetap sopan meski tanpa senyum.

Akhirnya kutinggalkan beliau sendirian di kamar tanpa terjadi apa apa, dalam hati aku menghargai dan hormat pada sikap beliau, tak tega juga kalau memaksa merayu dia untuk bertindak lebih jauh. Kulihat Om Lok dan Yongki masih duduk di Lobby bersama si ajudan, segera kuhampiri mereka dan kuceritakan yang terjadi.

"Nah, aku menang", teriak si ajudan dan kulihat Om Lok memberikan beberapa lembar 50 ribuan ke ajudan itu. Ternyata mereka taruhan, Om Lok dengan percaya diri bertaruh bahwa aku berhasil meruntuhkan Imannya, dia kalah. Pak Sur telah menyuruhku pulang, berarti aku harus menemani Yongki, bagiku nggak ada masalah toh dengan Yongki atau lainnya sama saja bagiku, tak ada yang istimewa.
"Berarti memang rejekimu", kata Om Lok pada Yongki.

Tak kusangka ternyata Yongki masih punya "Plan B", kembali aku disodorkan pada pejabat lainnya yang tak kalah tinggi pangkatnya, seorang laksamana di Angkatan Laut wilayah Timur, ARMATIM, namanya Pak Ari, entah ada acara apa banyak penggede negeri yang menginap di hotel ini.
"Kalau dia nggak mau juga, baru itu jatahku, tapi rasanya dia nggak akan menolak kok, aku pernah servis dia sih sebelumnya", katanya.

Ternyata benar kata Yonki, singkat cerita akhirnya aku menemani Pak Ari yang berpangkat Laksamana itu (kalau nggak salah sih), orangnya tinggi besar agak botak tapi tertutup model rambutnya, meski dia seorang tentara tapi tutur katanya sopan dan lembut. Sebelum sempat aku berbuat apa apa, dia sudah membuatkan teh hangat dan menyodorkan ke arahku, biar segar, katanya. Aku yang biasa melayani agak canggung juga menerima "kebaikannya".

Sebelum sempat melepas pakaianku, beliau sudah memijit kakiku, terasa enak dan nyaman pijatannya, beliau hanya memandangku meringis keenakan. Aku berusaha mencegahnya lebih lanjut tapi beliau menyuruhku diam dan menikmati pijitannya, sebenarnya aku menikmati pijitan itu, tapi bukan tugasnya, adalah tugasku untuk melayani beliau.

"Udah Pak, gantian Bapak yang aku pijitin", desakku.
"Ah nggak usah, paling juga pijitanmu pijitan nakal", tolaknya.
Pijitannya sudah mencapai betis dan sebentar lagi ke paha.
"Lepas dulu celananya".
"Bapak juga lepas dong".

Akhirnya kulepas piyamanya setelah aku melepas pakaianku, meninggalkan bikini pink yang semi transparan. Tubuhnya yang tegap tak menyisakan lemak di perutnya aku kagum dengan postur seperti itu, tapi tak kulihat sorot kekaguman di matanya melihatku semi telanjang, sepertinya beliau udah biasa mengamati tubuh seperti ini, justru beliau memintaku langsung tengkurap karena dia mau melanjutkan pijatannya, masih mengenakan celana dalamnya. Tak ada salahnya kuturuti, toh beliau yang mau, bukan kehendakku.

Pijatannya memang menghanyutkan, apalagi ketika tangannya sudah mencapai paha mendekati selangkanganku, mungkin vaginaku sudah basah hanya karena pijitan itu. Cukup lama ketika tangannya mencapai pantatku, beliau melepas celana dalamku, sesekali pijitan itu ke celah celah selangkangan dan nyerempet ke daerah vagina, makin basah aku dibuatnya. Bra dilepasnya ketika sampai di punggung, kali ini beliau langsung memijat ke arah depan, diremasnya buah dadaku yang masih tergencet tubuhku, dia menolak ketika aku berusaha berbalik, remasan remasan halus menegakkan bulu romaku, terasa geli geli terangsang mendapat remasan dari tangannya yang kekar dan berbulu.

Aku makin merinding saat kurasakan ciuman di tengkuk dan punggungku, sementara remasan di dadaku masih lembut. Ciumannya turun ke punggung lalu ke pantat, tangannya kembali menyelip di antara kakiku, menggosok bibir vaginaku dari sisi belakang, aku mulai mendesah sambil menaikkan pantatku secara reflek. Desahanku semakin keras saat kurasakan lidahnya menjilati pantat, kutekuk kakiku hingga aku nungging, semakin terbuka daerah kewanitaanku.
Tapi beliau tak melanjutkan jilatannya, beliau telentang disampingku, meski agak kecewa akupun bergeser di antara kakinya, kulepas celana dalamnya.

Sesaat aku terkaget heran, ternyata kejantanannya tak setegar penampilan postur tubuhnya, terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang tegap dan gagah, agak kecewa aku melihat kenyataan itu, tapi tak mungkin kuungkapkan kekecewaanku. Kugenggam penis tegangnya, hanya seukuran genggaman tanganku, segera kucium dan kubelai penis itu, meski tidak besar tapi tugasku untuk membuatku terpuaskan dan syukur kalau aku juga bisa ikutan terpuaskan, tapi kali ini rasanya nggak mungkin.

Lidahku menyusuri penis yang sudah menegang tak lama kemudian meluncur keluar masuk mulutku, semua batang kejantanannya bisa kumasukkan ke rongga mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, beliau memegang kepalaku dan membenamkan lebih dalam ke selangkangannya.

Tak lebih tiga menit aku mengulumnya, beliau menarikku ke atas dan merebahkanku ke ranjang, menciumi pipi dan bibirku, baru kusadari kalau kami tadi belum sempat berciuman. Lidahnya dengan lembut menyapu kedua putingku, dikulum dan dipermainkannya dengan lembut. Beliau menolak ketika tanganku hendak meremas penisnya kembali, tarian lidahnya yang lembut membuatku mulai melayang.

Aku mulai mendesah sambil meremas remas rambut Pak Ari yang berada di dadaku, baru kutahu kalau ternyata dia agak botak, tak terlihat dalam keadaan biasa. Beliau kembali mencium bibirku saat kejantanannya mulai kusapukan ke bibir vaginaku. Tanpa melepas ciuman kami dia menyodokkan penisnya masuk, kupeluk dan kucium beliau dengan penuh gairah, berharap aku juga ikut merasakan kenikmatan dari beliau yang gagah perkasa ini. Satu, dua, tiga kocokan pelan telah dilakukan, aku merasakan kehangatan dekapannya, pada kocokan ke lima kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku mengiringi lenguhan panjang Pak Ari, lalu tubuhnya menegang kemudian melemas telungkup di atasku.

Dia sudah mencapai puncak kenikmatannya pada kocokan ke lima, hanya beberapa detik penis itu berada di vaginaku, kini sudah mengakhiri kenikmatan itu, tentu saja aku kecewa tapi sekali lagi kekecewaanku tak mungkin kutunjukkan pada tamuku. Napasnya masih menderu di telingaku, detak jantungnya seakan mau meledak di dadaku, begitu kencang. Kubiarkan tubuhnya masih telungkup menindih meski kurasakan agak sesak napasku terhimpit tubuhnya.

"Kamu belum ya", bisiknya ditelingaku dengan nada seperti sesal.
Aku hanya tersenyum, dia memandangku, kulihat tatapan kekecewaan dari sorot matanya, hilang rasanya ke-angkeran dan ke-gagahan yang tampak sebelumnya.
"Istirahat dulu, mungkin Bapak terlalu buru buru, ntar aku bantu deh", hiburku.
"Habis kamu nggemesin sih", dia turun dari tubuhku, kami telentang bersebelahan.

Beberapa saat kami beristirahat dan bersantai, kembali aku dibuatkan teh hangat, bersantai kami nonton TV sambil sesekali beliau mengomentari acaranya. Tangannya mulai menggerayangi dada dan pahaku, aku diam saja tak bereaksi terhadapnya, kubiarkan pula saat tangannya mulai meremas, hanya desahku yang terdengar ketika mulutnya mengulum putingku. Kubiarkan kejantanannya menegang dengan sendirinya, aku takut kalau dia terlalu cepat selesai. Namun aku tak bisa hanya mendesah ketika bibirnya sudah beradu dengan bibir vaginaku, desahanku makin keras, kuremas rambut dan kuelus kepala botaknya.

Untuk kesekian kalinya seorang Jendral bertekuk lutut di antara kedua kakiku dengan kepala terjepit di selangkangan dan mulut terkunci di vagina. Jilatan lidahnya makin ganas, sesekali seakan dia menyedot semua isi tubuhku dari vagina, aku menjerit nikmat, apalagi jari tangannya mulai ikutan mengocokku. Beliau berdiri dan menyodorkan penis kecilnya yang keras menegang, kubelai dan kuciumi dengan manja, sebentar kukocok, sebentar kuremas, desahnya mulai terdengar penuh nafsu.

Tanpa diperintah aku nungging di depannya, di atas sofa, dengan posisi ini dia punya keleluasaan untuk mengatur permainan. Kurasakan kejantanannya mulai memasuki vaginaku, aku mendesah pelan, beliau membiarkan penisnya berdiam di dalam beberapa saat lamanya sambil mengusap punggung dan pantatku. Aku tak berani menggerakkan pantatku seperti biasanya, khawatir beliau selesai sebelum waktunya, pelan ditariknya penisnya dan pelan pula didorongkan kembali, lalu didiamkan lagi. Sebenarnya ini merupakan siksaat tersendiri bagiku, tapi demi kepuasan tamuku, tentu tak boleh egois.

Beberapa kali dia melakukan dengan pelan, tarik, dorong dan diam, diremasnya erat pantatku ketika kucoba mengimbanginya, kuurungkan gerakanku, hanya terdiam menanti kocokan pelannya. Lima kocokan sudah berlalu, aku masih tetap mematung dan mendesah menerimanya, tak ada kenikmatan sama sekali bagiku, tapi mungkin bagi beliau ada kenikmatan tersendiri, biarlah demi kepuasan Bapak Jendral yang terhormat.

Rupanya beliau cukup percaya diri ketika pada kocokan selanjutnya tak terjadi apa apa, kocokannya mulai cepat dan akupun mulai memberanikan diri untuk menggerakkan pantatku. Namun seperti sebelumnya, tak lebih semenit aku menggoyangkan pinggulku mengimbangi gerakannya, dia sudah teriak dalam orgasme, kurasakan penisnya berdenyut pelan di vaginaku. Kudiamkan saja sampai dia puas menumpahkan spermanya di vagina. Tak ada kenikmatan sama sekali yang bisa kudapatkan darinya, kecuali pijitannya.

Kutinggalkan beliau sendirian di sofa setelah membersihkan kejantanannya, ketika aku kembali dari kamar mandi Pak Ari sudah telentang di ranjang menanti kedatanganku, kurebahkan tubuhku dan kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, terasa ada kedamaian dalam pelukan tubuh kekarnya, apalagi ketika beliau membelai ramputku sambil kami bercakap cakap, terasa romantis. Sebenarnya melihat postur tubuhnya yang terbilang sexy, aku sungguh berharap banyak mendapatkan kenikmatan darinya, tapi harapanku tinggallah harapan belaka.

Lebih dari setengah jam aku dalam pelukannya, beliau mengangkat daguku, dicium dan dilumatnya bibirku, dengan mesra kubalas kuluman bibirnya sambil mulai tanganku menggerayang ke selangkangannya. Kuremas dan kukocok kejantanannya, perlahan mulai menegang meski masih kecil dalam genggamanku, tak berani mengocok cepat, takut terlalu cepat berlalu. Kususuri leher dan dadanya, sesekali kukulum putingnya, ciuman dan lidahku bermain main di dada dan perutnya, kurasakan penisnya mulai mengeras.

Kembali kepalaku berada di selangkangannya, aku nungging di sampingnya sambil mencium dan menjilati kejantanannya, akhirnya penis itu meluncur keluar masuk mulutku tak lama kemudian. Pak Ari mendesah merasakan kulumanku, semakin kupercepat kocokan mulutku sambil mempermainkan lidahku di kepala penisnya, tangannya meremas remas buah dadaku penuh gairah. Aku ingin membuatnya benar benar siap sebelum kumasukkan penisnya ke vaginaku, namun kembali terpaksa menelan kekecewaan saat kudengar teriakannya.

Segera kukeluarkan penis dari mulutku tapi terlambat, penisnya berdenyut hanya beberapa saat setelah keluar dari mulutku, sedikit semprotan mengenai wajahku. Tanpa ragu kusapukan penis itu ke wajahku, beliau mengerang nikmat sambil meremas remas rambutku, kumasukkan kembali penisnya ke mulutku, dia mengerang kaget dan segera menarik kejantanannya dari mulut dan genggamanku.
"Ugh.. nakal ya", katanya, aku hanya tersenyum sambil membersihkan wajahku dengan sprei.

Pukul 2 tengah malam kutinggalkan beliau yang masih terlelap, tentu saja seijinnya. Si ajudan hanya tersenyum ketika melihatku melintasi lobby. Aku yang masih terbakar birahi terpaksa harus memendamnya, entah sampai kapan, sampai kudapatkan kepuasan dari tamuku nantinya, karena aku sendiri tak tahu siapakah tamuku besok, apakah aku bisa mendapatkan kepuasan darinya, itulah pertanyaan yang selalu menggelayut di benakku. Sempat terlintas dalam benakku, apa istrinya bisa terpuaskan dengan kondisi Pak Ari yang seperti itu, mengingat aku sering melihatnya di TV betapa cantiknya istrinya meskipun sudah termakan usia, namun masih menampakkan sisa sisa kecantikannya.

Keesokan siang harinya, si ajudan nongol di depan pintu kamarku dengan di antar Om Lok, rupanya dia iri ketika aku melayani komandannya, sekarang dia ingin mendapatkan service yang telah kuberikan ke atasannya malam sebelumnya.
Tentu saja aku terkaget, tapi apa salahnya sejauh dia bisa membayarku toh tak ada bedanya. Ternyata dari dialah akhirnya kudapatkan kepuasan dan orgasme yang berulang ulang, meski pangkatnya masih kapten tapi permainannya bahkan melebihi si laksamana yang hanya mampu bertahan tak lebih dari semenit.

Itulah manis, pahit dan getirnya menjalani profesi ini, meski tak banyak frekuensinya tapi cukup menyiksa untuk dilakoni. Banyak kisah seperti ini yang aku jalani, bahkan tak jarang juga dari mereka yang masih muda, tentunya merupakan siksaan tersendiri bagiku, mungkin akan kutuangkan dalam kisah kisah tersendiri.
👍7x. LANJUTKAN ke 8.
 
08: Menggapai Matahari

Part 1

Akhirnya kutinggalkan Hotel Hilton yang telah menjadi rumahku selama hampir sebulan ini, sesuai kontrak kerja sama dengan Om Lok. Sebelum meninggalkan kamar kuamati sejenak kamar itu, begitu banyak kisah yang telah kulalui disini, ranjang yang telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupku yang penuh warna kelabu, duka dan duka (sedikit suka) telah kulewati, tak ada kesedihan saat meninggalkan segala "kemewahan" yang ada, semua telah siap kutinggalkan.

Beberapa Room Boy melepasku dengan sedih, dengan kepaergianku tentu mereka tidak lagi mendapatkan tip yang hampir tiap hari kuberikan secara rutin setelah membereskan kamar, mereka semua tahu akan profesiku, tak bisa disangkal itu meskipun tak pernah mengatakannya, apalagi aku sering membantu keuangan apabila mereka mengalami masalah. Kubagikan masing masing 100 ribu setelah mengangkut semua barangku ke mobil, toh ini terakhir dan aku yakin dan tak ingin akan ketemu mereka lagi.

Koh Wi, si pengacara (tamu pertamaku, baca seri cerita pertama) menjemput dan membawaku ke Hotel Garden Palace. Dialah orang yang berhasil membujukku untuk meninggalkan Om Lok dan hidup bersamanya, meski tak jelas hidup bersama seperti apa, tapi bagiku yang penting hidup bebas dari ikatan Om Lok terlebih dahulu, setelah itu bagaimana jadinya, itu urusan belakang. Aku harus keluar dari kandang buaya ini, tak mungkin selamanya disini, lebih baik pergi selagi masih dibutuhkan dari pada disuruh pergi setelah manisnya tubuhku habis terhisap, tentu akan sangat menyakitkan.

"Kenapa kamu mau pergi Ly?", tanya Om Lok beberapa hari sebelum kontrakku berakhir.
Kutolak perpanjangannya karena aku ingin bebas mengatur hidupku sendiri, tidak tergantung dia, aku juga berhak atas diriku yang selama ini selalu dalam genggaman orang lain, suatu kehidupan yang dengan sengaja "kugadaikan" ditukar dengan limpahan materi, ternyata kurasakan begitu gersang.
"Aku ingin bebas Om".
"Kenapa? apa disini kurang bebas? semua kebutuhan sudah kucukupi, uang yang kamu dapat tidak berkurang sedikitpun, tamu juga terus berdatangan tak pernah sepi, kamu ingin apa? Mobil? Ntar Om belikan BMW, rumah? Kamu pilih sendiri yang mana? Tinggal bilang saja", Om Lok masih berusaha membujukku dengan iming iming berbagai limpahan materi.
Tapi tentu saja dia sudah berhitung dengan cermat antara yang diberikan dan yang akan dia dapat, sebenarnya itu juga sebagian besar adalah hasil keringatku sendiri.

Aku tetap bersikukuh untuk keluar, apapun resikonya, apalagi Koh Wi sudah berjanji mendukungku apabila Om Lok bertindak macam-macam, dia kan pengacaranya dalam beberapa hal, tentu Om Lok tak berani kalau harus berhadapan dengannya. Akhirnya dia menyerah tak berhasil membujukku dengan berbagai cara dan iming-iming, tekadku sudah bulat, tak bisa ditawar lagi, hal ini juga berkat tekanan dari Koh Wi padanya. Sejak saat itu Om Lok tak pernah telepon apalagi datang ke kamarku, hanya anak buahnya yang memberi tahu kalau akan ada tamu, sekalian memberikan uang bagianku.

Beberapa hari terakhir tamuku makin banyak, tidak pernah kurang dari 3 orang, rupanya Om Lok ingin memanfaatkanku habis habisan sebelum aku lepas dari genggamannya, bahkan di hari terakhir aku harus melayani 5 tamu dalam sehari.
Kugunakan kesempatan ini untuk mulai "marketing" diriku sendiri, secara nggak langsung kuberitahu mereka kalau aku tidak akan disini sebentar lagi, terutama pada tamu tamuku yang sudah menjadi langganan. Kuberikan nomer pagerku, atas bantuan Room Boy aku telah mendapatkan pager tanpa setahu Om Lok, maklum waktu itu handphone masih belum sepopuler sekarang, nomernya masih terbatas sekali, apalagi di daerah Surabaya, masih menggunakan 082-310xx dan pesawatnya sebesar handy talkie, bisa untuk ganjal mobil mogok. Beruntung beberapa tamu tak keberatan memberiku nomer telepon, tentu saja mereka yang sudah percaya diri dan mempercayaiku.

Sengaja kutinggalkan beberapa barang pemberian Om Lok, terutama gaun malam sexy, sebagian barang rumah tangga kubagi bagikan ke Room Boy yang kupikir lebih membutuhkan. Kutinggalkan kamar itu sebagai wanita yang sama sekali berbeda dengan saat masuk sebulan yang lalu, kini namaku Lily, nama pemberian Om Lok, berbeda dengan nama pemberian orang tua yang sudah lebih dari 25 tahun kusandang (tentu saja pembaca tak perlu tahu siapa nama asliku).

"Kita sudah sampai", kata Koh Wi menyadarkanku dari lamunan.
Ternyata Mercy sudah masuk pelataran parkir Hotel Garden Palace. Aku sendiri masih tak tahu kenapa pilihanku jatuh ke Koh Wi, padahal sudah banyak tamu yang menawarkan diri untuk "melindungiku", menjadikan simpanannya, menjadikan istri kedua dan sebagainya, tapi aku lebih condong ke Koh Wi. Padahal dia sudah seusia papa-ku, wajahnya tidak ganteng bahkan menyeramkan dengan sedikit bekas cacar di mukanya. Mungkin karena dia "telah berjasa membimbing dan meyakinkanku" sehingga aku punya rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalani profesi ini. Aku tak berfikir materi saat ini, karena kurasakan perhatian dan kasih sayang tersendiri darinya, dimana tak kudapatkan dari para tamu yang hanya melampiaskan nafsunya saja. Mungkin saat itu aku terlalu haus kasih sayang sehingga menjadi buta tidak melihat kenyataan bahwa dia sudah berkeluarga dan mempunyai anak seusiaku.

Sesampai di kamar kubongkar pakaianku dan kumasukkan ke lemari, kamar itu cukup luas meski lebih kecil dari Hilton, bertemakan Roman sehingga kurasakan suasana berbeda, pemandangan kota Surabaya yang lama tak kunikmati terlihat jelas dari lantai 12. Hari ini kurasakan kembali kemerdekaanku yang telah beberapa lama tergadai, hatiku begitu ceria dengan kebebasan ini. Kuutarakan niatanku membeli mobil, Koh Wi berjanji membelikanku tapi aku menolak, khawatir nanti menjadi suatu ikatan dan kemerdekaanku kembali tergadai, akhirnya kuputuskan untuk membeli Isuzu Panther dari hasil keringatku sendiri selama hampir sebulan, tanpa bantuan sedikitpun dari Koh Wi. Sengaja tidak kupilih sedan, disamping untuk menghemat pengeluaranku, juga karena aku masih berkeinginan memiliki BMW yang masih belum terjangkau saat ini, paling tidak harga jual kembali tidak terlalu jatuh, apalagi aku sedang merenovasi rumah hasil pembagian harta saat cerai dulu, selama ini tak pernah kuperhatikan, tak mungkin selamanya aku tinggal di Hotel. Aku sekarang harus berpikir sendiri soal keuangan, tak tahu bagaimana pemasukanku nanti setelah lepas dari Om Lok, meskipun optimis tapi masih belum tahu bagaimana nantinya.

Sehabis mandi sore itu, kukenakan pakaian santai, celan pendek dan T-shirt polos, rambut kukuncir ke belakang tanpa make up, toh dia bukan tamuku kali ini, jadi aku lebih bebas. Koh Wi hanya memandangku dengan pandangan yang lain dari biasanya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Nggak, kamu masih tetap cantik walaupun tanpa make up atau accessories lainnya", pujinya melihat penampilanku yang apa adanya.
Aku hanya tersenyum dan duduk di pangkuannya. Tentu saja penampilanku jauh berbeda dengan saat menemani tamu, kini aku merasa seperti di rumah, tanpa beban untuk melayani dan memuaskannya dengan segala cara. Koh Wi mencium pipiku, kami berciuman, entah kenapa jantungku berdetak keras, padahal udah berulangkali kami berciuman sebelumnya, tapi kali ini ada perasaan lain saat aku mencium bibirnya, perasaan yang sudah lama tak kurasakan. Cukup lama kami saling melumat, aku benar benar menikmati ciuman ini, tangan Koh Wi sudah menjelajah ke dadaku, diremasnya kedua bukitku yang tanpa bra, aku menggelinjang dalam pangkuannya, tangannya menyusup di balik kaos dan mengusap usap dadaku dengan lembut, makin menggelinjang aku dibuatnya, ciumannya beralih ke telinga dan leherku membuatku tak tahan berlama lama dalam pangkuannya.

Tubuhku merosot turun ke bawah, dia melepas kaosku, kubuka resleting celananya dan kukeluarkan penisnya yang gede, inilah penis yang telah "mem-perawani" aku saat pertama kali berprofesi, penis yang telah berulang kali membuatku terkapar dalam lautan kepuasan sex. Kuusap usapkan ke buah dada dan putingku, lalu kuciumi dengan gemas sambil kupermainkan lidahku di ujungnya, dia mendesis seraya mengelus dan membelai rambutku. Belaian berubah menjadi remasan ketika kumasukkan kejantanannya ke mulutku, desisnya makin keras apalag saat aku lidah dan bibirku menyusuri batang tegangnya. Sungguh kurasakan nikmat tersendiri melakukan oral seperti ini tanpa paksaan, beberapa menit kupermainkan kejantanannya di mulutku. Dia merebahkanku di ranjang, dilepasnya celana pendek dan celana dalamku dengan sekali tarik, terpesona melihat selangkanganku, padahal udah berulang kali dia menikmatinya, tapi kali ini memang lain, semalam sebelum aku tidur yang terakhir kalinya di kamar itu, kucukur habis bulu bulu kemaluanku, ingin penampilan yang berbeda sekalian meninggalkan semua "jejak" masa lalu.

"Ha? Cantik..", komentarnya melihat selangkangan gundul di antara kakiku.
Aku hanya tersenyum tak sempat berkomentar karena Koh Wi sudah mendaratkan bibirnya di bibir vaginaku. Aku menjerit kaget dan nikmat, lidahnya dengan lincah menari nari di klitoris dan vagina, diselingi permainan jari jemarinya yang keluar masuk liang kenikmatanku, desahanku terlepas bebas tanpa ke-pura pura-an, aku benar benar menikmati dengan setulus hati. Hampir saja aku orgasme hanya dengan permainan mulut dan jarinya, kalau saja Koh Wi tidak segera menghentikannya. Dia melepas semua pakaiannya tanpa bantuanku seperti biasanya, penisnya terlihat besar menegang, masih memegang rekor penis terbesar dalam catatanku.

Aku hanya telentang pasrah menanti, dijilatinya kedua putingku yang sudah besar agak kehitaman (terlalu sering dikulum dan disedot kuat, mulanya sih kecil kemerahan tapi kini sudah berubah, meski bentuknya masih tetap kencang seperti sebelumnya, aku sangat bersukur diberi karunia buah dada yang indah, bahkan mungkin aku berani adu keindahan dengan Tamara Blezinski yang konon katanya mempunyai buah dada terindah, Pede aja lagi), lidahnya menyusuri leherku sebelum akhirnya tubuh gendut Koh Wi menindih.

Kusapukan penisnya ke vaginaku yang basah, perlahan tapi pasti melesak mengisi rongga kewanitaanku, makin lama makin dalam hingga penis gede itu sempurna memenuhi vaginaku, rintihan kenikmatanku membuat Koh Wi makin gairah menciumi leher dan telinga, aku menggelinjang nikmat, apalagi setelah dia memulai kocokannya, perlahan dan kurasakan penuh perasaan.

Oh betapa nikmatnya, sudah lama tak kurasakan kenikmatan seperti ini, sudah lama kulupakan bersetubuh dengan penuh perasaan, kini kembali aku mengalaminya, suatu kenikmatan yang luar biasa, berkali kali kucium dan kulumat bibir Koh Wi. Kocokannya makin cepat, kuimbangi dengan gerakan pinggulku, tak kupedulikan apakah aku orgasme lebih dulu, tak kupedulikan apakah dia bisa puas apa tidak, aku ingin orgasme secepatnya sebelum dia.

Gerakanku penuh gairah, segairah hatiku membuat Koh Wi makin cepat mengocok, aku benar benar bermain total, tidak separuh hati seperti biasanya, kukerahkan segala imajinasi dan kemampuanku untuk mencapai puncak kenikmatan secepatnya, sebelum permainan menjadi liar seperti sebelum sebelumnya. Harapanku terkabul, tak lebih 10 menit Koh Wi menyetubuhiku, aku langsung terbang ke puncak, kupeluk erat tubuhnya, jeritan kenikmatanku begitu lepas keluar dekat telinganya, dibalas pelukanku dengan kuatnya meski tak menghentikan irama kocokannya, justru membuatku melambung makin tinggi.. Dan langsung lemas terkulai tak berdaya dalam tindihannya. Meskipun aku tipe wanita yang bisa orgasme ber-ulang ulang, dan itu sudah terbukti, tapi kali ini aku langsung kehilangan tenaga sesaat setelah orgasme pertamaku, mungkin terlalu dipengaruhi perasaan dan terlalu bernafsu sehingga makan banyak energi, orgasme terindah selama ini.

Koh Wi hanya tersenyum melihat aku sudah tidak menggerakkan tubuhku, bahkan mendesaHPun rasanya berat. Koh Wi masih saja sabar seperti dulu, meski dia belum orgasme.
"Oke kita istirahat saja dulu", katanya sambil turun dari tubuhku, padahal keringat belum sempat keluar dan rokok yang dinyalakan tadi belumlah habis.
"Kok tumben udah KO duluan, masih capek ya kemarin habis di-forsir habis", katanya ketika kusandarkan kepalaku di dadanya, kami telanjang berpelukan.
Aku hanya tersenyum, tak mungkin dia mengerti perasaan yang tengah kualami, capek bukanlah alasan bagiku, itu hal yang biasa, apalagi kalau capeknya capek enak. Justru ini adalah rekorku, karena hari hampir menjelang malam baru kurasakan satu laki laki, biasanya paling tidak sudah 2 penis yang telah mengisi vaginaku untuk waktu seperti ini.
Sambil berpelukan kuelus elus penisnya yang masih tegang, aku benar benar menyukai penis ini.

Tak lama kemudian aku sudah bergoyang kembali di atasnya, tubuhku turun naik mengocoknya, desahan kami beriringan bersahutan, tangannya yang kekar membelai dan meremas kedua buah dadaku yang berayun ayun bebas sambil sesekali menyibakkan rambut yang menutupi mukaku. Keringat kami mulai menetes deras, entah sudah berapa lama aku bergoyang pinggul di atas tubuhnya, kuputar pantatku hingga terasa penisnya mengaduk aduk rongga rongga di vaginaku, ouuhh.. betapa nikmatnya, meskipun ini yang kesekian kalinya kami bercinta, tapi masih saja kurasakan kenikmatan yang hebat, sudah beberapa kali kugapai puncak kenikmatan, tapi kepuasan memang tiada batas.

Posisi doggie yang dia minta tak menurunkan hasrat birahiku, sodokan demi sodokan menghantam rahimku, terasa sakit dan nikmat, sesekali ditariknya rambutku ke belakang sambil menyodok keras, desahan bebas lepas memenuhi kamar ini, aku benar benar bebas meng-ekspresikan kenikmatan yang kuraih, tanpa beban, tanpa malu, semua kulakukan dengan penuh perasaan, seakan tak ada lagi hari esok.

Setelah beberapa lama mengocokku, akhirnya kurasakan semprotan keras menghantam dinding vaginaku seiring dengan cairan hangat yang membasahi dan memenuhi relung relung kenikmatanku. Aku menjerit kaget dan nikmat bersamaan dengan jeritan orgasmenya, dicabutnya penis itu dan diusap usapkan ke pantatku, kurasakan spermanya meleleh keluar membasahi pahaku, akupun telungkup dalam kelelahan nan nikmat. Napas kami menderu seperti habis berlari lari, dia mengusap punggungku dengan mesranya.

"Kita ke Tretes yuk", ajaknya setelah napas kami normal kembali tak lama kemudian.
"Kapan? udah lama aku tak kesana", dengan girang kusambut ajakannya.
"Sabtu lusa deh kita berangkat, nginap semalam, minggu sore baru balik, gimana?"
"Asal tidak keduluan tamu bulanan yang satu itu", jawabku, dia hanya tersenyum, kucium keningnya dan kunaiki perut buncitnya, kubiarkan spermanya menetes keluar mengenai perutnya, lalu kutinggalkan ke kamar mandi.

Layaknya pasangan yang sedang berbulan madu, kami habiskan malam itu dengan penuh gairah, tiada waktu yang terbuang sia sia, seperti orang yang kehausan di padang pasir. Tak malu aku membangunkannya di tengah malam hanya karena ingin bercinta, tentu saja dia menuruti permintaanku dengan senang hati dan tak perlu terburu buru karena yang kami punya saat ini adalah waktu yang panjang. Tak kuhiraukan lagi kenyataan bahwa aku melakukan ini tanpa dibayar, namun justru itu yang membuatku terbebas dari beban.

Ketika kubuka mataku keesokan paginya, sejenak agak asing rasanya melihat sosok laki laki masih berada di ranjangku, masih tertidur. Biasanya, setiap bangun di pagi hari (agak siang sih) selalu kutemui kesendirian dan kesunyian di kamar, kali ini terasa lain, ada Koh Wi disampingku. Selama di Hilton, belum pernah aku "keluar kandang" dan menginap sampai pagi begini, biasanya sebelum pukul 6 aku sudah meninggalkan tamuku kembali ke Hilton, karena memang biasanya tak pernah sempat tidur pulas, selalu "diganggu" dikala tertidur, baru kulanjutkan tidurku sesampai di kamarku sendiri di Hotel Hilton.

Pukul 9 pagi, Koh Wi berangkat ke kantor, meninggalkanku sendirian di kamar, kuantar dia sampai di pintu kamar, masih mengenakan piyama tanpa pakaian dalam, dikecupnya keningku sebelum pergi. Kembali kurasakan kesepian sepeninggalnya, terus terang aku tak tahu dari mana harus memulai untuk melanjutkan perjalananku, tak seorangpun yang kukenal di duniaku kecuali Om Lok, entahlah kupikir nanti saja setelah renang dan sarapan. Kuhabiskan waktu pagi di hari jum'at itu di kolam renang, bahkan makan pagi kulakukan di pinggir kolam. Kusadari beberapa pasang mata memandangku penuh, tapi tak kupedulikan. Waktu makan siang Koh Wi datang untuk makan siang bersama dilanjutkan dengan percintaan kembali hingga jam 2, lalu dia kembali ke kantornya. Besok paginya kami tidak jadi berangkat kerena keduluan datangnya tamu bulanan, tapi bukan berarti kami tidak melakukan apa apa, justru kerjaku lebih berat karena harus melakukan oral untuk membuatnya orgasme, meskipun begitu aku melakukannya dengan senang hati tanpa keterpaksaan.

Kami lewati hari hari yang menyenangkan, tiap jam istirahat Koh Wi menjengukku untuk makan siang atau sekedar Quickie, disamping itu aku sudah mulai melakukan kontak dengan tamu yang sudah memberi nomer teleponnya. Beberapa tamu bahkan telah menghubungi lewat pager, hanya berselang dua hari setelah kepindahanku, tapi dengan berbagai alasan aku sementara menghindar.

Ternyata lepasnya aku dari genggaman Om Lok sudah menyebar di kalangan GM kelas atas, entah darimana mereka mendapat informasi itu, padahal aku tidak mengenal mereka, beberapa GM menghubungi via pager ingin membicarakan "bisnis", tentu kusambut dengan tangan terbuka, semakin banyak semakin bagus, pikirku. Diam diam tanpa setahu Koh Wi, aku menemui mereka sambil makan pagi atau sambil menemani berenang di hotel, tentu saja membicarakan tariff-nya, dari sini aku mulai melihat jalan ke depan sudah terbuka. Selama masa haid, kulakukan kontak untuk memastikan bahwa aku masih exist, bahkan beberapa sudah melakukan appointment, tentu saja saat ini tak bisa kulakukan saat jam istirahat, paling tidak setelah jam 2 siang dan selesai sebelum jam 5 sore. Meskipun Koh Wi tahu profesiku memang itu, tapi sementara aku harus menjaga perasaannya, walaupun dia tidak pernah mengucapkan melarang atau mengijinkan, entahlah nanti.

To be conticrot....
 
Bimabet
08: Menggapai Matahari

Part 2

Hari itu hari Senin, tepat sehari setelah masa haid berakhir, setelah melayani Koh Wi di siang itu dengan penuh gairah karena sudah menahan hasrat birahi selama haid, aku segera menghubungi tamuku di kamarnya di lantai 8. Sengaja kuarahkan dan kubantu tamuku untuk check-in di hotel itu supaya tidak terlalu lama diperjalanan, tentu saja menggunakan nama asliku, tak seorangpun tahu, disamping itu aku juga merasa lebih aman kalau melakukannya masih di Hotel. Kukenakan celana jeans dan kaos yang ketat sehingga terkesan sexy, apalagi ditambah bra "push-up" makin menonjokan lekuk lekuk tubuhku. Dengan tinggi 167 cm ditambah sepatu hak 7 cm, aku yakin akan membuat laki laki normal menelan ludah.

Pak David atau lebih akrab kupanggil David adalah tamu pertamaku sebagai wanita panggilan, dia adalah salah satu tamu yang datang di hari hari terakhirku di Hilton. Di usia yang relatif muda, mungkin 40 tahunan, dia mempunyai beberapa toko accessories mobil, salah satunya di daerah Kedungdoro. Pada mulanya dia menolak ketika kuajak, tapi dengan bujuk rayu dan tariff "perkenalan" untuk orang dan servis yang sama, akhirnya dia setuju tertarik.
Sesaat David terpesona melihat penampilanku yang lain dari sebelumnya, sekarang jauh lebih modis, rambut model Shaggy dan disemir agak kemerahan menambah pesonaku.
"Kamu makin cantik dan sexy", pujinya ketika kami sudah berada di kamar dan langsung mencium kedua pipiku.
"Udah makan?", tanyanya sambil melucuti pakaianku.
"Nggak ah lagi diet", jawabku bohong membalas melucuti pakaiannya.
"Mandi dulu yuk, biar segar", ajakku setelah kami sama sama telanjang, kutuntun dia ke kamar mandi dan kumandikan, tangannya tak pernah berhenti menjamah seluruh tubuhku selama kumandikan.
Kini kubiasakan untuk mengajak tamuku mandi sebelum bercinta, selain biar bersih dan segar, juga untuk menghilangkan bau keringat terutama di daerah selangkangan.

Akhirnya kami berpelukan telanjang dan saling melumat bibir di atas ranjang, ciuman penuh nafsu menyusuri leher dan dadaku, diremas remas dengan gemas sambil mengulum kedua puncak bukitku, kurasakan kenikmatan mulai menjalar di sekujur tubuhku, aku menggeliat. Sejenak pandangannya terpaku ketika melihat selangkanganku yang gundul, dia menatapku tersenyum lalu mulai menjilati klitorisku, aku mulai mendesah dan desahanku makin keras saat lidahnya mulai bermain di bibir vaginaku. Tak kupedulikan bahwa belum sejam yang lalu vagina itu telah diobok obok penis Koh Wi dan dibanjiri dengan spermanya, aku yakin tak ada lagi sisanya karena sudah kucuci bersih. Begitu bergairah David menjilati vagina gundulku sambil jari tangannya ikutan mengocok.

Kami berganti posisi, dia telentang menikmati jilatan dan kulumanku pada penisnya yang tidak sebesar punya Koh Wi, tangannya meremas remas rambutku. Kuminta dia mengangkat kakinya, kujilati penisnya hingga ke pangkal, terus turun sampai ke lubang anusnya. Belum pernah kulakukan hal itu pada tamuku sebelumnya tapi sudah sering terhadap Koh Wi, banyak improvisasi bercinta yang kulakukan, sebagai "kelinci percobaan" kulakukan terhadap Koh Wi, kalau dia menyukainya berarti laki laki lain aku yakin pasti suka, kucoba memberikan kesan dan kepuasan tersendiri pada tamuku kini.

Desahan David makin keras ketika lidahku dengan lincat bermain di sekitar lubang anusnya, kepalanya diangkat menatapku yang masih diselangkangannya, seakan tak percaya aku melakukannya. Kami ber-69, vaginaku tepat di atas wajahnya, dia langsung menjilat dengan rakus, bagitu juga aku terhadap penisnya. Puas bermain oral dan vaginaku sudah basah terangsang, aku berbalik menghadapnya, dengan posisiku di atas, kuusapkan penisnya yang menegang ke vaginaku, perlahan kuturunkan tubuhku dan melesaklah penis itu ke vaginaku, penis kedua yang kurasakan setelah seminggu hanya merasakan penis Koh Wi.

Ooohh.. sungguh nikmat merasakan penis yang lain, padahal dulu aku biasa merasakan lebih dari 3 penis dalam sehari, lebih dari 3 penis yang berbeda bentuk dan ukurannya selalu mengobok obok vaginaku setiap harinya, tapi kini lain rasanya, begitu kunikmati perbedaannya. Baru kusadari nikmatnya perbedaan setelah hanya kurasakan satu macam, mungkin itu yang membuat orang sering selingkuh, untuk mencari nikmatnya perbedaan dari satu wanita ke wanita lainnya diluar yang sudah ada di rumah.

Kudiamkan sejenak setelah semua penis itu melesak di vaginaku, kupandang wajah David yang penuh nafsu, ditariknya tubuhku dalam pelukannya dan dilumatnya bibirku sambil mulai mengocokku dari bawah. Aku mendesah dekat telinganya, kocokannya makin cepat dan pelukannya makin erat. Kami sama sama mendesah nikmat memacu nafsu menuju puncak kenikmatan. Kulepaskan pelukannya, aku mulai mengocok, tubuhku turun naik diatasnya sambil mengelus elus paha dan kantong bolanya. Aku menggeliat nikmat ketika tiba tiba dia menyodokku dari bawah, kedua tenganku tertumpu di pahanya kugoyang pantatku, dia mendesah mencengkeram buah dadaku, membalas goyanganku dengan kocokan.

Ditariknya kembali tubuhku dalam pelukannya, kami bergulingan, kini posisiku di bawah, menindih tubuhku, dada dan napas kami menyatu dalam irama kenikmatan birahi, penisnya makin cepat keluar masuk vaginaku. Kakiku kujepitkan di pinggangnya mengimbangi, makin dalam kejantanannya menembus masuk liang vaginaku, aku mendesah nikmat tak tertahankan.

Sebelum kugapai puncak kenikmatan dia sudah terlebih dahulu menyemprotkan spermanya di vaginaku, cairan hangat terasa memenuhi rongga kenikmatanku disertai denyutan denyutan kuat menghantam dinding dindingnya, aku menjerit melambung, dia terdiam menikmati saat saat orgasmenya, kugoyangkan pinggulku sambil memeras habis sperma yang masih tersisa, kudengar jeritan kaget tapi tak kuhiraukan, orgasmeku tinggal selangkah lagi dan aku tak mau kehilangan momen, goyangan pinggulku makin kuat hingga akhirnya kugapai kenikmatan tertinggi, jeritan keras mengiringi orgasmeku sambil meremas rambut David. Akhirnya kami berdua terkulai lemas tak bertenaga, tubuhnya masih diatasku, detak jantung dan napas kami saling mengisi, diciumnya bibir dan keningku sebelum turun dari tubuhku, kami telentang di atas ranjang dalam kelelahan.
"Kamu lebih hebat daripada sebelumnya", komentarnya tanpa memandangku, cairan spermanya masih terasa menetes keluar dari vaginaku dan kubiarkan saja.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3:20 sore, cukup lama juga kami tadi bercinta, masih ada waktu satu jam lebih, masih lama, cukup untuk satu babak panjang sekali lagi. Setelah beberapa lama kami telentang saling peluk, kutinggalkan dia, kubersihkan tubuhku di kamar mandi, kucuci vaginaku dari spermanya. Kami bercinta sekali lagi dengan penuh gairah dan nafsu di sofa dan kamar mandi, tak sedetikpun waktu kami biarkan berlalu tanpa desahan penuh nafsu hingga kami sama sama terkulai tak bertenaga.

Pukul 16:45 aku sudah kembali ke kamarku, inilah "perselingkuhan" pertamaku sejak bersama Koh Wi, memang tidak ada ikatan atau perjanjian diantara kami tapi dari nada bicaranya dia keberatan kalau aku bekerja kembali, sebagai konsekuensinya dia memenuhi segala kebutuhanku termasuk uang jajan, meski nilainya jauh tidak sebanding dengan pendapatanku sewaktu di Hotel Hilton, namun ada kepuasan tersendiri dalam hal ini. Ketika Koh Wi datang, aku bersikap sewajarnya seperti tidak terjadi sesuatu, seperti hari hari lainnya, kamipun bercinta di malam harinya.

Sejak saat itu aku lakukan "perselingkuhan" dengan tamu, pada mulanya kulakukan di Hotel yang sama, namun makin lama aku semakin berani untuk "keluar kandang" ke hotel lainnya asal masih diseputaran daerah itu. Meski demikian aku tak pernah "melalaikan tugas" untuk melayani nafsunya tiap jam istirahat dan malam harinya, hampir setiap hari. Banyak alasan kalau dia menanyakan kepergianku, lagi ke rumah saudara, lagi shopping, lagi mencoba mobil baru dan sebagainya.


Next Update
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd