Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LOVE SCENARIO

Status
Please reply by conversation.
-PART 3 - DEJAVU-



POV DENI



Yang biasanya aku makan sore di temani dua lelaki mata keranjang, sore ini aku justru ditemani dua wanita cantik. Mbak Tari istrinya Bang Jhoni dan Ratih adiknya Mbak Tari, mereka baru saja menyelesaikan makan sorenya. Sedangkan aku, hampir lima menit yang lalu aku sudah menghabiskan makananku.

“Mbak, nanti malam gak apa-apakan jaga Ibu sendirian?. Bukan aku gak mau nemanin, tapi aku harus selesain tugas kuliahku Mbak, biasa Mbak akhir semester jadi banyak tugas” kata Ratih.

“Iya gak apa-apa Dek, utamakan kuliah kamu, biar Ibu Mbak yang jaga. Lagian tuh ada Deni yang nanti bisa Mbak jadiin teman ngobrol” kata Mbak Tari.

“Syukur deh kalau begitu” tutur Ratih. “Den, makasih ya!. Selain di traktir makan, kamu juga mau nemanin Mbak Tari sekalian jagain Ibu” kata Ratih padaku.

“Iya Tih, lagian Mbak Tari tuh dah seperti keluarga sendiri bagiku, jadi keluarga Mbak Tari juga keluargaku” ungkapku.

“Kalian nikah saja, biar beneran jadi keluarga” celetuk Mbak Tari.

“Apaan sih Mbak, aku belum kepikiran nikah” kata Ratih dengan sedikit menunduk menyembunyikan wajahnya yang merona merah.

“Gak mau nikah muda, tapi malu-malu gitu jawabnya” kata Mbak Tari.

“Malu apa sih Mbak, iihhhhhhh, dah ah, aku pulang dulu Mbak” kata Ratih sambil menyambar tas kecil miliknya.

“Buru-buru amat Dek, kamu gak mau di anterin Deni?” tanya Mbak Tari.

“Gak Mbak, aku bawa motor sendiri” jawab Ratih tanpa menoleh dan setelahnya di segera menghilang dari pandanganku.

“Hihihihi.... ” tawa lirih Mbak Tari terdengar di telingaku.

“Ada yang lucu ya Mbak kok tertawa terus dari tadi, dan tuh si Ratih juga kenapa Mbak kok seperti buru-buru?” tanyaku.

“Tau ah, mungkin si Ratih udah kebelet nikah sama kamu, hihihihi....” jawab Mbak Tari yang masih saja tertawa.

“Duh, bisa gila aku nanti kalau lama-lama di sini Mbak!” kataku seraya melangkah menuju pintu untuk keluar dari kamar rawat Ibunya Mbak Tari.

“Mau nyusulin Ratih ya Den?. Ya sudah sana buruan, keburu jauh Ratihnya, hihihihi....” kata Mbak Tari.

“Dasar wanita stres!” kataku membatin dan begitu saja aku berjalan meninggalkan Mbak Tari.

Setelah keluar ruangan, aku bingung mau kemana, namun akhirnya langkah kakiku yang gak menentu membawaku ke kantin rumah sakit. Gak ada salahnya aku meniknati segelas minuman di tempat ini. Dari daftar minuman dan makanan yang di jual, mataku langsung tertuju ke minuman jutaan umat, apa lagi kalau bukan kopi.

Segelas kopi hitam sudah aku pesan, dan gak butuh waktu lama pesananku sudah di antar ke tempat dudukku. Jika biasanya orang menikmati kopi dengan hisapan batang rokok, aku yang gak menyukai rokok hanya bisa menikmati kopi pahitku sambil melihat acara yang di tayangkan televisi di kantin ini.

Kantin ini selain untuk makan dan minum, ternyata juga di gunakan sebagai tempat istirahat orang-orang yang sedang menemani keluarganya yang sedang di rawat di rumah sakit ini. Melihat situasi ini, aku gak malu lagi berlama-lama di tempat ini.

Sekitar satu jaman aku berdiam diri di kantin rumah sakit sambil menikmati acara tv. Saat hari mulai gelap aku putuskan untuk kembali ke tempat Ibunya Mbak Tari di rawat.

Langkahku yang ringan saat menaiki tangga, tiba-tiba terhenti di anak tangga terakhir saat aku mendengar dua orang sedang berbicara.

“Mana Da cowok yang lo bilang ganteng?. Yang gue lihat cuma Ibu yang lagi sakit sama anak perempuannya” suara wanita yang aku dengar, dan aku merasa tidak asing dengan suara itu.

“Gak tau deh Na, mungkin dia sedang pulang atau sedang di tempat lain tapi masih di rumah sakit ini” aku mendengar nada kekecewaan dari suara wanita yang beberapa jam lalu aku dengar.

“Barusan suara Dokter yang tadi memeriksa Ibunya Mbak Tari, itu artinya dia saat ini sedang berada di depan kamar Ibunya Mbak Tari dan dia gak sendirian. Aku gak tau siapa cowok yang sedang mereka bahas, namun aku penasaran dengan teman si Dokter, karena aku begitu gak asing dengan suara itu” kataku membatin.

“Sepertinya lo gak berjodoh dengan tuh cowok” cibir teman si Dokter.

“Ih, dasar Mona nyebelin!. Jelek banget doa elo ke gue!”.

Jantungku terasa berdetak lebih kencang saat aku mendengar nama seseorang yang baru saja melintas di pikiranku, di sebut-sebut oleh Dokter yang tadi sempat aku kenal.

Dokter Farida barusan menyebut nama Mona, dan suara wanita yang mengobrol dengannya tadi memang mengingatkanku dengan suara Mona, salah satu teman kakakku yang dulu sempat mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan.

“Apa benar wanita itu adalah Mona, wanita yang sekarang ada di pikiranku” gumamku lirih, dan saat aku sedang tertunduk dengan pikiran menerawang ke masa lalu. Aku melihat dua pasang kaki ada di depanku, yang artinya ada dua orang kini sedang berdiri di depanku.

Aku yang semula menunduk, perlahan mengangkat kepala dan melihat siapa yang sedang berdiri di depanku.

“Masnya tidak apa-apa?” tanya salah satu dari dua orang perawat yang saat ini sedang berada di hadapanku.

“Gak apa-apa Mbak” jawabku.

“Ya sudah, kalau begitu kita permisi dulu!” kata perawat yang lain, dan mereka berdua melewatiku menuruni tangga.

Setelah kepergian dua perawat yang barusan menyapaku, aku kembali melanjutkan langkah kaki yang tadi sempat terhenti. Tiba di depan kamar rawat Ibunya Mbak Tari, aku melihat Dokter Farida dan rekannya sudah berjalan cukup jauh dari tempat ini. Saat mereka berbelok ke tempat yang lain, dengan kedua mataku aku melihat wajah rekan Dokter Farida. Meski hanya sekilas dan begitu cepat, aku sangat yakin rekan Dokter Farida itu adalah Mona, dan jika Mona ada di rumah sakit ini, bisa jadi ka,....

“Sudah cukup kamu bersembunyi dariku!” seru seorang wanita yang hanya dari mendengar suaranya, aku bisa langsung mengenali siapa si pemilik suara.

Tubuhku bergetar mendengar suara itu. Kepalaku tertunduk, dan aku hanya bisa berdiri mematung tak berani melihat ke arah pemilik suara yang barusan menyapaku.

“Kamu boleh membenci orangtua kita, tapi apa kamu juga membenciku?” suara itu terdengar lagi di telingaku, suara yang sedikit bergetar yang tak lain adalah suara Kak Indah, Kakak perempuan yang dari dulu sangat menyayangiku.

“Bodoh, kenapa kamu malam itu gak menemuiku?. Mengapa kamu justru pergi menghilang begitu saja, dan seolah kamu membiarkan semua orang mempercayai akan kematianmu?” tanya Kak Indah, dan kini aku mendengar tangisan Kak Indah.

“Dulu kamu berjanji gak akan bikin aku menangis, tapi setahun ini kamu justru terus membuatku menangis!” kata Kak Indah.

Mendengar kata-kata Kak Indah, aku segera membalikkan tubuhku, melihat Kak Indah yang sedang melihatku dengan mata berairnya. Teringat janjiku untuk selalu membuatnya tersenyum, aku tanpa ragu berjalan mendekat Ke Kak Indah dan begitu saja aku memeluk tubuh Kak Indah.

Mendengar tangisan Kakakku itu suatu yang sangat menyakitkan bagiku, tapi aku justru membuatnya begitu lama bersedih dan menangis karenaku. Karena emosi dan sakit hati ke orangtuaku, aku justru melupakannya, melupakan sosok Kakak perempuan yang begitu menyanyangiku.

“Pulang!” kata lirih Kak Indah padaku.

Perlahan aku lepaskan pelukanku. Dengan tanganku aku menyeka air mata Kak Indah. Mata bulat Kak Indah masih terus menatap ke arahku, seolah dia menanti jawabanku atas perkataannya barusa.

Aku tersenyum ke arah Kak Indah seraya menggelengkan kepalaku.

“Kamu gak ingin pulang dengan ku?” tanya Kak Indah.

“Aku gak ingin bertemu mereka” jawabku.

“Apa kamu lupa kalau Kakak kamu ini sudah punya rumah sendiri?”.

“Aku gak lupa, tapi bukannya mereka sering ke tempat Kakak. Bahkan Ibu sering menginap di tempat Kakak” jawabku.

“Kalau begitu, aku yang akan ikut denganmu!” seru Kak Indah.

“Tempat tinggalku yang sekarang ada di kota sebelah, dan butuh beberapa jam untuk ke kota ini. Lagian tempat tinggalku sekarang bukan rumah mewah seperti rumah Kak Indah, tempat tinggalku hanyalah kosan sederhana yang adanya di pinggir kota” kataku.

Satu-satunya kota yang bertetanggaan dengan kota ini adalah kota yang sekarang aku tinggali. Jadi gak perlu aku jelaskan, tentu Kak Indah tau di kota mana sekarang aku tinggal.

“Tiga minggu lagi aku dan dua rekanku akan pindah ke rumah sakit yang lebih besar, dan rumah sakit itu ada di kota sebelah. Aku harap kamu gak pergi ninggalin aku lagi!” tutur Kak Indah.

“Dua rekan Kakak!” kataku.

“Iya, dua rekanku, Dokter Farida dan si Mona. Tentu kamu sudah mengenal mereka, secara Dokter Farida adalah Dokter yang merawat pasien yang kamu jaga, dan Mona tentu kamu lebih mengenalnya karena kamu sudah sering bertemu dengannya” terang Kak Indah.

“Oh iya, sebenarnya siapa orang yang kamu jaga di rumah sakit ini?” tanya Kak Indah.

“Sebenarnya aku bukan menjaga, tapi cuma nemanin. Yang sakit tuh Ibunya Mbak Tari, dan aku tuh cuma nemanin Mbak Tari, Kak” jawabku yang membuat Kak Indah melotot ke arahku.

“Jadi kamu pacaran sama Mbak, mbak?”.

“Gak gitu Kak!” kataku. “Mbak Tari tuh istrinya Bang Jhoni, dan Bang Jhoni ini teman kerja sekaligus teman satu kosanku. Mereka berdua ini sering membantu dan menolongku, karena itu ini aku gantian membantu mereka” terangku.

“Aku kira kamu ada hubungan khusus sama Mbak, mbak!” ungkap Kak Indah.

“Kamu malam ini mau nginap di rumah sakit?” tanya Kak Indah dengan kedua mata yang masih menatap ke arahku.

“Iya Kak, kan aku mau nemanin Mbak Tari”.

“Kalau begitu aku ikut nemanin” seru Kak Indah.

“Eh,....” kataku tertahan.

“Tau aku punya Kakak saja mungkin akan membuat Mbak Tari terkejut. Ini malah Kak Indah mau ikut nginap, bisa geger di dalam nanti” kataku membatin.

“Boleh kan?” tanya Kak Indah.

“Bukannya gak boleh Kak, tapi aku gak enak dengan keluarga Mbak Tari. Apa lagi selama ini aku menutup rapat identitasku dan keluargaku dari mereka. Pasti Mbak Tari nanti bakalan terkejut kalau tau aku punya Kakak seorang Dokter” jawabku.

“Ya sudah, besok pagi aku akan ke sini lagi, dan malam ini juga lebih baik kamu cerita ke Mbak Tari itu tentang kamu yang sebenarnya!” pinta Kak Indah.

“Iya Kak aku akan cerita semua ke Mbak Tari”.

“Awas saja kalau kamu pergi lagi!. Sekarang aku mau ke tempat Dokter Farida, setidaknya aku harus berterima kasih padanya karena dia aku bisa bertemu lagi denganmu”.

“Emang apa yang di lakukan Dokter Farida, Kak?”.

“Kamu ingat saat kamu tadi sore beli makanan di warung depan rumah sakit?” tanya Kak Indah yang aku jawab dengan anggukan kepala.

“Waktu itu Dokter Farida melihat kamu dan dia terus nunjuk-nunjuk ke arah kamu. Saat itu aku yang cuma melihat punggungmu merasa itu adalah kamu. Awalnya sih aku gak percaya dengan apa yang aku rasakan saat itu. Namun karena penasaran akhirnya aku diam-diam ngikutin kamu untuk memastikan apa yang aku rasakan. Dan akhirnya aku mendapat kepastian akan yang aku rasakan saat melihat wajah serta senyum kamu ketika membeli kopi di kantin rumah sakit. Saat itu juga aku yakin orang itu adalah kamu, dan aku semakin yakin saat barusan kamu memelukku. Pelukan kamu masih nyaman seperti dulu!” tutur Kak Indah.

“Senyaman apa pelukan kuli, Kak?” tanyaku.

“Eh, kuli, apa maksut kamu, Dek?” tanya balik Kak Indah.

“Iya kuli Kak, kan aku sudah beberapa bulan ini kerja sebagai kuli. Maklum waktu aku di usir, dompet dan ijazahku kan ketinggalan. Jadi cuma bekerja sebagai kuli yang bisa aku lakukan untuk mendapatkan uang” jawabku.

“Pantesan!....” kata Kak Indah tertahan.

“Pantesan apa Kak?” tanyaku.

“Keras” kata lirih Kak Indah.

“Apa yang keras?” tanyaku yang semakin penasaran dengan sikap Kak Indah yang terlihat malu-malu.

“Eh, bukan apa-apa” jawab Kak Indah. “Oh iya, setelah aku pindah ke kota sebelah, kamu gak boleh lagi kerja nguli, pokoknya kamu harus kuliah, Dek. Nanti aku akan bawakan ijazah serta dompet kamu, karena selama ini aku yang menyimpan barang-barang kamu” sambung Kak Indah, namun aku merasa dia sedang mengalihkan topik dari apa yang tadi aku tanyakan.

“Apa orangtua kita gak curiga Kak, kalau tiba-tiba Kak Indah membawa semua barang-barangku ke kota sebelah?”.

“Aman Dek, barang-barang kamu ada di rumah ku, jadi Ayah dan Ibu gak akan tau kalau aku membawa tuh barang-barang kamu”.

“Syukur deh kalau begitu, soalnya aku benar-benar butuh KTP dan ijazahku Kak. Setidaknya dengan KTP dan ijazah, aku bisa cari kerja yang lebih baik” kataku.

“Kenapa kamu masih mikir kerja?. Bukannya aku tadi sudah meminta kamu untuk kuliah, dan lagi aku yang akan membiayai kuliah kamu serta uang jajan kamu. Kalau perlu kamu nanti tinggal bersama aku, Dek” ungkap Kak Indah.

“Aku akan lakuin permintaan Kak Indah, tapi aku gak ingin terlalu tergantung dengan Kak Indah. Lagian kan banyak tuh mahasiswa yang kuliah sambil kerja untuk tambahan uang saku sekalian ngeringanin biaya kuliahnya” kataku.

“Emangnya kamu mau kerja apa Dek?” tanya Kak Indah.

“Kerja kuli bangunan gak mungkin bisa kerja setengah hari, ehm palingan kalau gak jaga toko ya jadi pelayan restoran, Kak. Mungkin cuma itu yang ngizinin kerja paruh waktu!” jawabku.

“Kalau itu mau kamu, aku gak bisa ngelarang. Tapi yang jelas kamu harus kuliah untuk ke depannya dapat kerjaan yang lebih baik” pesan Kak Indah.

“Iya, iya Kak Indah yang cerewet!” kataku, dan tanpa segan aku memeluknya kembali. Meski hanya pelukan sesaat, tapi sepertinya pelukanku cukup mengejutkan Kak Indah.

“Kak, kamu kenapa?” tanyaku karena Kak Indah masih saja diam.

“Ehm, gak apa-apa kok, Dek. Ya sudah, sampai ketemu besok!” ungkap Kak Indah, dan setelahnya dia pergi menuruni tangga.

“Ini pertemuan pertamaku dengannya setelah hampir satu tahun ini kita terpisah. Kak Indah tetap terlihat sebagai sosok Kakak yang sangat sempurna. Selalu menyayangi dan baik denganku, dan satu sifatnya yang terlihat masih sama bahkan sejak kecil, Kak Indah masihlah tipe wanita pemalu” gumamku lirih.

Setelah pertemuanku dengan kak Indah, kini aku sudah kembali di dalam kamar rawat Ibunya Mbak Tari. Mbak Tari yang melihat kedatanganku terlihat tersenyum, dan Ibunya sepertinya sudah beristirahat.

“Sini!” panggil Mbak Tari.

Aku yang merasa di panggil, segera berjalan mendekat ke arahnya dan ikut duduk di ranjang kosong di sebelah ranjang Ibunya Mbak Tari. Saat berada di dekat Mbak Tari, aku mencium aroma parfum Mbak Tari yang perlahan memenuhi rongga hidungku. Sambil menikmati acara TV, aku dan Mbak tari mengobrol, dan sepertinya ini saat yang tepat untuk meceritakan padanya tentang identitasku.

Aku akhirnya mengungkap jati diriku yang sebenarnya ke Mbak Tari. Cerita tentang siapa keluargaku dan di usirnya aku, semua aku ceritakan, termasuk tentang Kak Indah.

Mbak Tari semula terkejut dengan pengakuanku, tapi cuma sebentar dia sudah kembali seperti biasa. Berlaki baik padaku, dan dia sama sekali gak mempermasalahkan aku yang selama ini menutup rapat jati diriku.

•>

•>


POV INDAH




Aku bahagia, bukan hanya bahagia, tapi aku sangat bahagia. Keyakinanku selama ini benar adanya, Adikku masih hidup dan hari ini aku bertemu dengannya. Tapi, harusnya aku tadi memarahinya dan memintanya untuk minta maaf. Kenapa tadi aku justru memanjain dia?....

“Ihhhhh, sebel!.... Kenapa tadi aku justru malu-malu di depan Adikku sendiri, dan kenapa juga aku tadi langsung pergi?. Akukan masih kangen” gumamku lirih seraya masuk ke ruangan kerjaku.

“Ndah, dari mana lo tuh?, dari tadi kita cariin kemana-mana tapi gak ketemu” tanya Mona yang melihatku masuk ke ruang kerjaku yang tak lain juga ruang kerja Farida dan Mona.

“Baru cari udara segar di rooftop” jawabku seraya duduk di tempat dudukku dan aku mulai merapikan barang-barangku di atas meja.

“Cari angin apa cari cowok?” celetuk Farida.

“Cari angin Da, kalau cari cowok tuh kan kerjaan kamu” jawabku.

“Kalau soal cowok gue setuju sama lo Nda, tapi gue ngerasa ada yang lain dari lo!” tutur Mona.

“Iya Mon, gue juga ngrasa gitu. Gue ngelihat si Indah seperti lebih cerah dan lebih bahagia dari biasanya” ujar Farida.

“Nah, gue juga ngerasa gitu Da” ungkap Mona.

“Apaan kalian tuh, dah ah, yuk pulang!. Ingat besok kita kan masuk pagi, setidaknya beberapa hari ke depan kita harus meninggalkan kesan yang lebih baik lagi sebelum kita meninggalkan rumah sakit ini, dan kesan baik pertama jangan telat!” kataku dan tak lupa aku tersenyum.

“Iya Bu Dokter, kita pulang istirahat dan besok berangkat pagi!” saut Farida.

Selesai beres-beres dan berganti baju, aku dan dua temanku akhirnya pulang. Farida yang paling periang selalu berjalan di depanku. Sedangkan Mona, dia berjalan sejajar denganku.

“Baru tadi gue lihat lo begitu lepas tersenyum setelah kepergian Deni. Gue gak maksa lo untuk cerita, tapi gue cuma mau tau apa yang bisa bikin lo terlihat hidup kembali?” tanya Mona dengan suara begitu lirih.

“Sulit membohongi kamu ternyata!” kataku.

“Karena kita sudah dari kecil berteman, jadi gue sudah begitu paham tentang lo. Jadi lo bisa jawab kan pertanyaan gue?”.

“Iya aku jawab, tapi kamu harus bisa jaga rahasia” kataku, dan Mona sedikit melirik ke arahku.

“Lo bisa percaya ke gue soal menjaga rahasia” kata Mona dengan begitu meyakinkan.

“Kamu tau kan kalau meski di nyatakan meninggal jenazah Deni belum di temukan?” tanyaku.

“Iya gue tau, terus kenapa?”.

“Karena jenazah yang belum di temukan, aku selama ini yakin kalau Deni masih hidup, dan keyakinan ku memang benar adanya. Kamu tau Mon, Deni memang masih hidup dan barusan aku bertemu dengannya” mendengar jawabanku seketika Mona terdiam dengan kedua matanya melihat tajam ke arahku.

“Mon, Mona, kamu kenapa, kamu sakit?” tanyaku karena aku merasa aneh dengan tingkah Mona.

“Gak Ndah, lo pasti bercanda atau lo jangan-jangan lagi halu!. Deni sudah gak ada Ndah, kecelakaan itu sudah menewaskannya” ungkap Mona.

“Kamu salah Mon, Deni beneran masih hidup, dan dia ada di rumah sakit ini. Kalau kamu gak percaya, besok pagi kamu ikut denganku menemuinya!” kataku.

“Ka.ka.kalau benar dia di rumah sakit ini, beri tau gue dia di bagian mananya rumah sakit!” pinta Mona dengan suara bergetarnya.

“Besok saja Mon, lagian dia lagi jagain orang sakit” kataku.

“Gak Ndah, gue harus nemuin dia, ada yang harus gue om,....”

“Sebenarnya kamu sama Deni ada hubungan apa sih Mon?. Dari dulu kamu gak pernah jawab pertanyaan ku soal hubungan kamu sama Deni. Bukan cuma sekali, tapi aku cukup sering lihat kamu dulu jalan dengan Deni, dan kalian terlihat cukup mesra mirip orang lagi pacaran!” tanyaku yang menyela perkataan Mona.

“Gue gak ada hubungan apa-apa Ndah sama Deni, lo kan tau gue sudah pacaran sama Nino beberapa tahun ini, dan lo juga tau beberapa bulan lagi gue sama Nino bakal tunangan dan Nikah” jawab Mona.

“Terus kenapa kamu barusan,....”

“Wooiii kalian buruan napa, gue dah capek nungguin nih” teriak Farida yang ternyata sudah sampai di parkiran.

“Iya....” jawabku dan Mona bersamaan.

Akhirnya aku gak ngelanjutin pertanyaanku ke Mona, dan aku kembali melanjutkan perjalananku dengan Mona.

Tiba di parkiran, aku segera masuk ke mobilku, dan kulihat Farida dan Mona mereka juga sudah masuk ke dalam mobil masing-masing. Setelah berbalas klakson, kami segera berpisah. Aku arahkan mobilku menuju rumahku yang butuh waktu satu jam perjalanan dengan mobil dari rumah sakit.

“Mona, dan Deni, sepertinya kalian menyembunyikan sesuatu, dan besok aku akan mencari tahu apa yang kalian sembunyikan dariku” kataku membatin seraya mengemudikan mobilku.

•>

•>


POV DENI



Sampai larut malam aku belum juga bisa memejamkan mataku. Dari dulu, aku memang susah tidur di tempat yang baru bagiku. Apa lagi malam ini aku tidur sempit-sempitan seranjang dengan Mbak Tari. Posisi tidur seperti ini membuatku Dejavu dengan peristiwa yang dulu pernah aku alami saat berdua dengan kekasihku.

Bedanya, malam itu aku berdua dengan dia dalam kondisi saling berpelukan dan tanpa ada kain penutup di antara kita waktu itu. Tapi kini aku justru saling beradu punggung dengan Mbak Tari. Meski beradu punggung, aku cukup risik dengan daging kenyal pantat Mbak Tari yang bersentuhan dengan pantatku.

“Uuhhhmmmm” lenguh Mbak Tari dan aku merasa dia merubah posisi tidurnya.

Posisi Mbak Tari kini sedang menghadap ke arahku, dan satu hal yang tak aku duga tangannya memelukku dari arah belakan.

Nafas Mbak Tari terasa meniup leherku dan seketika membustku merinding. Lama-lama pelukan Mbak Tari terasa semakin erat, dan kembali aku merasakan sensasi seperti saat membonceng Mbak Tari dengan motor. Dua bukit kembar Mbak Tari terasa semakin menusuk punggungku saat pelukannya semakin erat.

Jika cowok pada umumnya akan menikmati situasi seperti ini, tentu berbeda denganku yang merasa begitu risih dengan situasi seperti ini. Bukannya aku gak normal, tapi aku gak menginginkan situasi seperti ini bersama istri orang, apa lagi dia istri teman baikku. Rasa risih dan gak enak hati semakin membuatku gak nyaman dengan situasi saat ini.

Perlahan aku memindahkan tangan Mbak Tari, namun baru juga aku pindah tangan Mbak Tari sudah kembali memelukku bahkan kini pelukannya lebih erat dari pada tadi.

“Kamu belum tidur Den?” tanya lirih Mbak Tari.

“Belum Mbak” jawabku. “Mbak kenapa bangun?” tanyaku balik.

“Terlalu dingin Den AC kamarnya” jawab Mbak Tari.

“Di naikin saja Mbak suhunya biar gak dingin” saranku.

“Kalau suhunya di naikin, Ibu nanti yang bangun Den. Ibu Mbak tuh bisa tidur nyenyak kalau dingin” kata Mbak Tari. “Maaf ya Den, Mbak jadinya meluk kamu karena tubuh kamu hangat” imbuh Mbak Tari.

“Meluk sih meluk Mbak, tapi aku yang gak enak”.

“Sudah di enakin saja Den, Mbak tau kamu juga kedinginan”.

“Kalau kamu bukan istri Bang Jhoni, dari tadi sudah aku enakin Mbak” kataku membatin.

“Mbak, lebih baik jangan meluk!. Gak enak nanti kalau ada yang ngelihat” ungkapku.

“Siapa juga yang mau lihat Den?. Ini sudah malam, gak bakalan ada yang masuk ke kamar ini. Satu-satunya yang bisa ngelihat tuh cuma Ibu, tapi Ibu kan sudah tidur. Lagian tempat ini dan tempat tidur Ibu juga ada tirai yang menghalangi, jadi gak mungkin Ibu ngelihat kita” tutur Mbak Tari.

“Tapi Mbak!”.

“Sssttttt, gak usah berisik, nanti Ibu bangun!” bisik Mbak Tari.

Akhirnya aku cuma diam sambil mencoba memejamkan mata, meski akhirnya aku tetap tidak bisa memejamkan mataku.

“Hihihihihi....” terdengar tawa lirih Mbak Tari.

“Ada yang lucu Mbak?” tanyaku dengan suara lirih.

“Ada, tuh kamu yang lucu Den” jawab Mbak Tari.

“Lucu dari mananya Mbak?”.

“Ya lucu aja Den, karena kamu justru menolak saat seorang wanita ingin dekat denganmu”.

“Yee, kalau itu namanya bukan lucu Mbak, tapi aku gak enak saja kalau Mbak mepet gitu denganku, secara kan Mbak itu istri temanku”.

“Tapi, kenapa kamu diam saja dengan yang ini, padahal aku sudah melakukannya sejak kamu bonceng dan sampai sekarang?” tanya Mbak Tari seraya dia semakin merapatkan dadanya ke punggungku.

“Kamu pasti bingung kan, mau menolak tapi kamu meniknatinya. Mau terus meniknati tapi kamu merasa gak enak. Benar kan tebakan Mbak?”.

“Udah tau nanya” jawabku lirih.

“Maaf ya Den, sebenarnya Mbak tuh sengaja ngelakuin ini karena Mbak tuh curiga sama kamu!”.

“Curiga tentang apa Mbak?” tanyaku.

“Ya curiga kalau kamu tuh cowok gak normal”.

“Kok Mbak sampai mikir ke situ, emang apa yang membuat Mbak Tari sampai mikir aku cowok gak normal?”.

“Mbak tuh cewek Den, dan Mbak sering lihat dua mahasiswi cantik yang kos di samping kamarmu, diam-diam mereka sering memperhatikan kamu. Bukan hanya mereka, tapi tuh si Sari dan Nisa dari cara mereka melihat kamu, Mbak yakin mereka punya rasa ke kamu. Dan yang paling baru, tuh Dokter Farida, dari tingkah malu-malunya saat berbicara dengan kamu, sepertinya dia juga menyukai kamu. Tapi dari sekian banyak wanita yang selalu melirik ke kamu, kamu selalu cuek dan bertingkah biasa saja seolah kamu tidak menaruh harapan ke satu wanitapun” ungkap Mbak Tari.

“Tapi Mbak yakin kamu tuh normal, saat barusan tanpa sengaja Mbak nyentuh tuh yang di selangkangan kamu. Baru juga Mbak gesek-gesek pakei dada, itu kamu udah keras, hihihihi.... Punya kamu gede, mau dong Mbak di tusuk-tusuk!” bisik Mbak Tari dengan suara genitnya.

“Jangan ngawur Mbak kalau ngomong, bisa-bisa di mutilasi aku nanti sama Bang Jhoni” kataku. “Lagian kalau soal cewek, bukannya aku gak berharap ke salah satu Mbak. Tapi aku memang belum kepikiran punya hubungan spesial dengan salah satu dari mereka, yang artinya aku masih ingin menikmati kesendirianku” lanjutku.

“Apa kamu masih berharap sama mantan kamu itu?” tanya Mbak Tari.

“Sedikitpun aku sudah gak berharap sama dia Mbak, lagian dia sudah punya calon Mbak. Setelah setahun ini aku yakin mereka pasti sudah semakin jauh hubungannya, mungkin malah sudah nikah” jawabku.

“Setelah tadi mendengar cerita kamu tentang siapa kamu, siapa keluargamu, dan tentang semuanya. Mbak justru semakin yakin buat jodohin kamu dengan Ratih, Mbak pikir kalian pasti cocok, hihihihi....” ungkap Mbak Tari.

“Di bilangin aku masih pingin sendiri, ini malah di jodohin!. Tidur aja aku Mbak” protesku.

“Iya, iya tidur. Selamat tidur calon adikku” kata Mbak Tari yang gak aku jawab.

Meski belum bisa tidur, aku mencoba tenang. Mbak Taripun kini sudah kembali memunggungiku dan sedikit memberi jarak antara tubuh kami. Kondisi seperti ini lebih membuatku nyaman, namun aku tetap gak bisa tidur. Pikiranku masih terbang kemana-mana.

Kuliah, pekerjaan, dan wanita, tiga hal itu terus berputar di pikiranku. Aku gak keberatan melanjutkan kuliah, lagian aku juga masih ingin melanjutkan belajarku. Tapi aku sekaran bukan Deni yang manja dan selalu tergantung dengan orang lain. Aku akan kuliah tapi dengan uangku sendiri. Soal pekerjaan, setelah mendapatkan KTP dan ijazahku, aku harus segera mencari pekerjaan yang pas untuk seorang mahasiswa, dan terakhir urusan soal wanita. Aku sebenarnya sadar saat mereka sedang mengawasiku, tapi aku memang benar-benar masih ingin sendiri.

•>

•>

Terpaan angin yang menerpa wajahku, sepertinya mampu membuatku terbangun dari tidurku. Aku gak tau sejak kapan aku tertidur, yang aku ingat semalam aku sedang berfikir dan begitu saja tertidur.

Saat aku sudah tiga seper empat terbangun dari tidurku, baru aku merasa ada yang aneh dengan angin yang menerpa wajahku. Angin yang menerpa wajahku terasa bukan angin yang berasal dari alam maupun AC, aku merasa ada orang yang sengaja meniup ke arah wajahku. Ketika mataku terbuka, dengan jelas aku melihat Kak Indah yang tengah meniup-niup wajahku. Melihat aku yang sudah bangun, Kak Indah hanya tersenyum dan mentowel hidungku.

“Baru begadang ya Dek, jam segini baru bisa di bangunin?” tanya Kak Indah.

“Bukannya begadang Kak, tapi aku susah tidur di tempat yang baru?” jawabku sambil aku mengucek kedua mataku.

“Ternyata kamu masih sama, suka rewel di tempat baru. Sudah sana, cuci muka dan gosok gigi dulu!” suruh Kak Indah.

“Bukan rewel, tapi cuma susah tidur” elakku, dan akupun segera beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi.

Buang air kecil, cuci tangan, cuci muka dan gosok gigi semua aku lakukan dengan cepat. Selesai dengan kegiatan di kamar mandi, aku segera keluar dan mendapati Dokter Farida yang sedang memeriksa keadaan Ibunya Mbak Tari. Namun aku gak ngelihat keberadaan Mbak Tari dan Kak Indah di kamar ini.

“Pagi Bu Dokter” sapaku ramah setelah melihat Dokter Farida menyelesaikan tugasnya.

“Oh, eh.... Pagi juga Mas Deni” jawab Dokter Farida yang sepertinya terkejut dengan kedatanganku.

“Oh iya Dok, gimana keadaan Ibu?” tanyaku.

“Keadaannya sudah baik, tekanan darah sudah normal, dan hari ini juga sudah boleh di bawa pulang” jawab Dokter Farida tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

“Cklek” suara pintu terbuka yang membuatku dan Dokter Farida bersamaan melihat ke arah pintu yang terbuka.

“Gitu ya, pagi-pagi udah pacaran” seru Mbak Tari yang datang bersamaan dengan Kak Indah.

“Siapa yang pacaran Mbak, ini kan cuma ngobrol. Lagian yang kita omongin juga Ibunya, Mbak” kataku menolak tuduhan Mbak Tari.

“Pacaran juga gak apa Den, tuh si Dokter Farida kan juga lagi jomblo, sama seperti kamu” ungkap Kak Indah.

“Loh, Dokter Indah sudah kenal dengan Deni?” tanya Dokter Farida yang sepertinya belum tau kalau Kak Indah dan aku masih bersaudara.

“Sejak dia lahir, aku sudah mengenalnya Dok” jawab Kan Indah.

Dokter Farida terlihat semakin bingung dengan jawabab Kak Indah.

“Dokter Farida gak usah bingung, Dokter Indah tuh Kakak kandungku Dok. Tentu dia mengenaliku sejak lahir” terangku.

“Jadi kalian berdua itu saudara?” tanya Dokter Farida yang aku jawab dengan anggukan kepala. “Duh, bukannya kamu pernah cerita kalau Adik kamu sudah meninggal?” kali ini Dokter Farida bertanya seraya menatap ke arah Kak Indah.

“Ceritanya panjang Dok, nanti saja aku ceritain. Sekarang lebih baik kita lanjut kerja” ajak Kak Indah. “Oh iya Tar, nanti sore saja ya kamu bawa Ibu pulang, biar sekalian aku antar” kata Kak Indah.

“Eh, gak usah Dok, nanti malah ngrepotin” tolak Mbak Tari.

“Sudah gak apa-apa, sekalian aku balas budi karena kamu udah jagain Adikku selama ini” ungkap Kak Indah.

“Kalau begitu terimakasih Dok. Sebenarnya aku juga berencana agak sore membawa Ibu pulang, maklum Dok, nunggu Adikku yang pulang kuliahnya sore” tutur Mbak Tari.

Setelah pamit, Kak Indah dan Dokter Farida segera keluar dari ruang rawat Ibunya Mbak Tari. Namun sebelum keluar, Kak Indah sempat memberikan dompet dan HP ku yang setahun lalu tertinggal di rumah.

“Seru juga lihat anak muda sedang ngobrol” kata Ibunya Mbak Tari.

“Yang muda kan mereka tuh Bu, kalau Tari kan udah gak muda lagi, hihihihi.... ” kata Mbak Tari sambil tertawa lirih.

Aku yang mendengar perkataan Mbak Tari hanya bisa tersenyum. Biar Mbak Tari bilang dia sudah gak muda, tapi aku kira umurnya mungkin cuma berbeda satu atau dua tahun dengan Kak Indah.

“Tar, Adik kamu sudah ngomong ke kamu apa belum soal Rumah yang mau di sita pihak Bank karena kita tidak bisa membayar hutang Ayah kamu?” tanya Ibunya Mbak Tari.

“Dua hari lalu, Ratih sudah cerita Bu. Aku dan Mas Jhoni juga udah cari jalan keluar yang terbaik untuk masalah ini” jawab Mbak Tari.

“Apa yang kamu rencanakan dengan Jhoni, Tar?”.

“Jadi gini Bu, setelah Ibu keluar dari rumah sakit, dua atau tiga hari Ibu nanti istirahat dulu di rumah sambil aku dan Mas Jhoni nyiapin tempat tinggal baru untuk Ibu dan Ratih. Rencananya, untuk sementara Ibu dan Ratih akan ngekos di sebelah kosan kami. Kebetulan, orang yang ngekos di sebelah kami hari ini akan pindah kosan” jawab Mbak Tari yang membuat Ibunya tersenyum lega.

“Maafkan Ayah kamu ya Tar?. Sejak masih hidup sampai kematiannya, masih saja dia merepotkan anak-anaknya. Bahkan Mas kamu harus kerja jauh untuk nyicil hutang Ayah kamu, meski akhirnya kita semua harus rela kehilangan rumah” ungkap Ibunya Mbak Tari.

“Sudah Bu, yang penting kita semua masih sehat dan bisa berkumpul. Soal rumah, kita nanti bisa membelinya lagi” kata Mbak Tari seraya memeluk tubuh Ibunya.

Mendengar masalah keluarga Mbak Tari, aku sebenarnya ingin membantunya, namun aku tidak punya apa-apa untuk membantu mereka. Meminta ke Kak Indah, itu gak mungkin aku lakukan. Meminta ke orangtuaku, itu suatu kemustahilan yang bisa aku lakukan.

•>

•>

“Mbak, aku udah beres ngurus kepindahanku. Nanti setelah ujian, aku bisa langsung pindah ke kampus di kota sebelah” ungkap Ratih yang baru saja datang.

Sore ini setelah aku membatu Mbak Tari beres-beres, Ratih datang dan memberikan kabar tentang kuliahnya.

“Kapan ujian kamu Dek?” tanya Mbak Tari.

“Dua minggu lagi ujiannya Mbak. Mungkin tiga minggu lagi aku baru bisa pindah” jawab Ratih.

“Terus kamu mau tinggal di mana Dek, kan satu minggu lagi rumah di sita?. Mau tinggal di kosan, kampus kamu kan jauh. Bisa berjam-jam kamu di jalan”.

“Itu juga yang bikin aku bingung Mbak, teman-temanku yang kos di sekitaran kampus gak ada yang bisa nampung aku karena kosan mereka sudah penuh” ungkap Ratih.

“Gimana kalau kamu tinggal di rumah Kakak ku Rat!” usulku.

“Kakak!....” gumam Ratih.

“Apa mungkin Kakak mu ngebolehin Adikku tinggal sementara di rumahnya?” tanya Mbak Tari.

“Kalau gak di tanyakan ke orangnya mana aku tau jawabannya Mbak” jawabku. “Ya sudah Mbak, aku cari Kakakku dulu nanyain soal Ratih tinggal di rumahnya sekalian bilang kalau kita sudah siap pulang. Oh iya, tuh sekalian Mbak Tari kasih tau Ratih soal aku dan Kakak ku!” pintaku yang di jawab anggukan kepala Mbak Tari.

Selesai berkata, aku segera mencari keberadaan Kak Indah. Setelah bertanya ke resepsionis rumah sakit, mereka memberitahuku ruangan Kak Indah. Setelah mengetahui ruangan Kak Indah, aku langkahkan kaki menuju ruangan itu.

“Tok...tok...tok!” tiga kali aku mengetuk pintu. “Permisi....” kataku di balik pintu.

“Sebentar!....” seru seorang wanita dari arah dalam ruangan.

Mendengar jawaban dari dalam ruangan, kini aku hanya berdiri menunggu pintu di depanku terbuka.

“Cklek....” bunyi pintu yang perlahan terbuka dan menunjukkan siapa yang kini sedang membuka pintu.

Mataku dan matanya saling melihat satu sama lain. Ingin aku segera pergi dari tempat ini setelah melihat siapa yang ada di balik pintu. Tapi aku urung melakukannya, karena itu akan menunjukkan kalau aku masih belum mampu melupakannya. Akhirnya aku hanya bisa tersenyum di hadapannya.

“De..Deni!....”.


•>

•>


Bersambung....

Terima kasih om @ryan9933 updatenya, ijin baca dulu
 
Bimabet
Deni diusir dari rumah, deni pernah berhubungan sama mona tanpa sepengerahuan indah, padahal waktu itu mona dah punya cowok, sekarang deni ga mau ketemu mona berarti deni sakit hati, kira2 indah terima ga ya deni disakiti sama mona,
Bikin mona menyesal den udah nyakitin dirimu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd